pelabuhan donggala: dulu, kini, dan nanti | mohamad isnaeni & zulkifly pagessa

70
PELABUHAN DONGGALA dulu, kini, dan nanti

Upload: neni-muhidin

Post on 11-Mar-2016

301 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

Buku tentang sejarah pelabuhan tua di Sulawesi Tengah, dinamika perdagangan kopra, dan pembentukan kawasan urban. Diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kabupaten Donggala, Desember 2013

TRANSCRIPT

Page 1: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

PELABUHAN DONGGALAdulu, kini, dan nanti

Page 2: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa
Page 3: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

PELABUHAN DONGGALAdulu, kini, dan nanti

Page 4: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Donggala Tahun 2013

76 halaman, 21 cm x 14 cm

Cetakan pertama, Desember 2013

PenulisMohammad IsnaeniZulkifly Pagessa

Dinas Kebudayaan dan PariwisataKabupaten Donggalad/a : Kompleks Perkantoran Kabupaten DonggalaGunung Bale, Donggala

ii

Kapal Imhoff di Pelabuhan Donggala antara tahun 1900 - 1920(www.tropenmuseum.nl)

Page 5: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Daftar Isi .................................................................................................................................. iv

Bab 1 : PROLOG ..................................................................................................................... 1

Posisi Strategis Donggala ....................................................................................................... 3

Donggala dalam Lintasan Sejarah .......................................................................................... 7

Ketika Pelabuhan Berpindah dari Donggala ke Pantoloan ..................................................... 11

Bab 2 : REEDE .......................................................................................................................... 16

Bukan Port, tapi Reede Donggala .......................................................................................... 16

Kopra dan Pelabuhan Donggala ............................................................................................ 23

Pelabuhan Donggala dan Dinamika Sosial ........................................................................... 30

Bab 3 : EPILOG ........................................................................................................................ 38

Arsitektur Kawasan Pelabuhan Donggala .............................................................................. 41

Pelabuhan Donggala Riwayatmu Kini ................. .................................................................. 49

Kawasan Pelabuhan Donggala sebagai Cagar Budaya ........................................................ 50

Donggala dalam Linimasa ...................................................................................................... 54

Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 58

Daftar Isi

iv

Page 6: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bab I

PROLOG

Page 7: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bab 1PROLOG

1Rembang di Tanjung

betapa dinginnya air di kalidinginnya merambat peraduan inibetapa inginnya lelakiyang kembali rembang di tanjungmenapak bukit hijaudi kejauhanmerangkum bunga senjadi halaman

DONGGALA bukanlah sekadar nama tempat di pesisir barat Pulau Sulawesi, tapi juga merupakan penanda dalam sejarah nusantara. Wacana-wacana historiografi tentang Donggala sebagaimana kota-kota tua di nusantara yang berada di pesisir, adalah wacana kemaritiman. Sebagai kota pantai, letaknya berada di jalur perdagangan penting selain Selat Malaka dan Laut Banda. Donggala berada di Selat Makassar yang menghubungkan Laut Jawa di selatan dan Laut Sulawesi di utara.

Jalur di Selat Makassar adalah jalur sibuk tempat aktifitas perdagangan komoditi hasil bumi dan ternak, juga misionaris, petualangan –ekspedisi, penyelundupan candu, dan aktifitas bajak laut, yang menghubungkan banyak kota-kota pantai di pesisir barat Sulawesi dan pesisir timur Kalimantan yang berada di jalur itu dengan

1 Masyhuda, Masyhuddin H. (1935-2000), dalam kumpulan puisi Dari Kuala Hingga Samudra, Makassar, De La Macca, Oktober 2012. Puisi Rembang di Tanjung ditulis penyair di Tanjung Karang Donggala tahun 1991.

1

Page 8: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

kawasan di utara melalui Laut Sulawesi dan Laut Sulu,sebelum akhirnya menuju bentang laut lepas yang lebih luas yang menghubungkan Nusantara ke negeri-negeri jauh melalui Laut Cina Selatan atau melalui Samudera Pasifik. Interaksi Donggala dan kota-kota pantai lainnya di Selat Makassar telah terjadi sebelum Spanyol dan Portugis membagi dunia dalam duopoli

2kolonial melalui Perjanjian Tordesillas (7 Juni 1494) yang kemudian berubah oleh perubahan letak pembagian eksklusif itu dalam Perjanjian

3Zaragoza (22 April 1528), termasuk sebelum nusantara menjadi koloni Eropa sejak Selat

4Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511 .5

Catatan tertua tentang Donggala ditemukan dalam sumber-sumber Cina sebelum abad 15 yang ditulis oleh J. V. Mills dan disunting Marcell Bonet di buku Chinese Navigation (1965). Sejak tahun 1430 Donggala sudah dikenal sebagai pelabuhan yang memperdagangkan hasil bumi kopra, damar, dan kemiri, juga ternak sapi.

Di rentang waktu yang panjang itu, Donggala adalah suatu kesatuan sebagai wilayah Kerajaan Banawa, yang bersamaan dengan masuknya Belanda dan kongsi dagang milik kerajaan, Vereenigde Oost-Indische

Pelabuhan Donggala 1901 (www.tropenmuseum.nl)

2 Turner, Jack. Sejarah Rempah Dari Erotisme sampai Imperialisme, Jakarta, Komunitas Bambu, 2011.3 http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Saragosa4 Prabantoro, Putut. 1511 Lima Ratus Tahun Kemudian, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2010.5 Lamarauna, Andi Mas Ulun La Parenrengi. Sejarah Singkat Pembentukan Kabupaten Donggala, Palu, Yayasan Pudjananti, 2006.

2

Page 9: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Compagnie (VOC). Sebelumnya, pada tahun 1605 Belanda telah menguasai kawasan timur melalui Laut 6Banda dan merebut wilayah Ambon dari Portugis . VOC, melalui Traktat Banawa tahun 1667, yang selanjutnya

7mengikat Donggala untuk kali pertama dalam perjanjian penyerahan emas .

Perdagangan di bawah koloni Belanda di kota-kota pantai di kawasan itu, termasuk Donggala menjadi lebih intensif hingga memasuki abad 20. Intensitas perdagangan antar kota dan ekspor impor melalui Donggala menjadikan pelabuhan di kota itu ramai. Booming Kopra (1920-1939) menjadi kata kunci dalam catatan sejarah selanjutnya, lalu Jepang menggantikan Belanda, dan selanjutnya fase pergolakan-pergolakan politik nasional pasca kemerdekaan, dan terakhir saat pelabuhan berpindah ke Pantoloan dan kisah hiruk pikuk pelabuhan di kota itu sekarang tinggallah kenangan, serupa metafora lelaki pada puisi Rembang di Tanjung karya Masyhuddin H. Masyhuda.

Posisi Strategis Donggala

Jelang akhir abad 18, Tolitoli sudah dikenal sebagai pangkalan bajak laut.Menurut 8

orang setempat, mereka semuanya disebut Mangindano . Jarak laut antara Donggala dengan Tolitoli ± 250 km,dengan dua kota penting di Pulau Kalimantan jarak Donggala ke Balikpapan ± 300 km dan ke Tawau ± 580 km. Lalu dengan pusat perdagangan di Makassar ± 650 km.

Jarak dengan kota-kota perdagangan di jalur Selat Makassar itu, menjadikan posisi Donggala yang berada di tengah menjadi strategis sebagai wilayah penghubung, terlebih bagi Makassar dan Manado, dua wilayah yang ditetapkan sebagai Celebes residensi – oost (selatan) dan midden (tengah) oleh Belanda pada tahun 1903 – 1918, dua wilayah yang kemudian membentuk struktur hierarkis pemerintah kolonial menjadi afdeeling, onder afdeling, hingga landschap. Kota Donggala menjadi

9tempat asisten residen pertama Belanda A.J.N. Engelenberg sejak 28 Agustus 1903 .

6 Miller, George. Indonesia Timur Tempoe Doeloe 1544-1992, Jakarta, Komunitas Bambu, 2012.7 Kruyt, Albert Christian. De West Toradja op Midden Celebes, Amsterdam, N. V. Noord-Hollandsche, 1938.8 Lapian, Adrian Bernard. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009.9 Lamarauna, op.cit., 2006, h. 10.

A.J.N. Engelenberg(www.djambitempodoeloe.

blogspot.com)

3

Page 10: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Oleh Belanda, Donggala dijadikan titik tengah di Selat Makassar untuk mengamankan jalur perdagangan laut di wilayah tersebut yang menghubungkan Makassar dan Manado. Atas kondisi itu, Belanda telah jauh-jauh hari, melalui Plakat Panjang (Lange Verklaring) tahun 1888 – sebelumnya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) menetapkan Donggala sebagai jalur eksklusif perusahaan kapal dagangnya, KPM

10(Koninklijk Paketvaart Maatschappij). Jalur penting itu diberi nama Jalur 14 .

Sejak Traktat Banawa 1667, Donggala telah menjadi penting tidak saja bagi Belanda (VOC) tapi juga bagi perebutan kuasa tiga kerajaan: Ternate, Gowa (Makassar), dan Bugis (Bone). Kepentingan di bawah pengaruh koloni Belanda itu kemudian berkaitan dengan penentuan Donggala sebagai wilayah penunjang (periphery) Oost Celebes di Makassar dan Midden Celebes di Manado. Jalur darat antara Donggala ke Makassar yang lebih baik dibanding Donggala ke Manado di masa Gubernur Jendral Belanda G. Baron van der Cappelen itu melahirkan sarkasme, “lebih cepat ke Eropa dari Manado dari pada dari Manado ke Sulawesi

11Tengah (Donggala)” .12

Kedalaman Selat Makassar yang mencapai 2.029 hingga 3.215 meter , membuat sejak dahulu kala ketika teknologi kapal ekspedisi masih menggunakan layar hingga kapal uap, kapal-kapal telah lalu-lalang di Donggala dan merapat di sana. Kapal-kapal perang Belanda merapat ke tanjung hingga memasuki perairan di Teluk Palu. Penaklukan Belanda untuk kali pertama dilakukan melalui kedatangan kapalnya di perairan

13Donggala pada 7 Juli 1854 . Sebelumnya, pada tahun 1824, di masa pemerintahan kolonial van der Capellen (11 Maret 1816 -15 Agustus 1816), Donggala telah didatangi Kapal Kourier, dan lalu pada tahun 1860 oleh

14kedatangan kapal perang Reinier Claeszen .

10 Junarti.Elit dan Konflik Politik di Kerajaan Banawa Sulawesi Tengah 1888-1942, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada (tesis), 2001.11 Junarti, op.cit.,2001, h. 3.12 KNAG, De zeeen van Nederlandsch Oost-Indie, 1922, dalam Adrian B. Lapian, op.cit.,2009, h. 48.13 Junarti, op.cit., 2001, h. 5.14 Junarti, ibid.

G. Baron van der Capellen(www.hetutrechtsarchief.nl)

4

Page 11: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Kapal Perang Reinier Claeszen (Foto : van J.W.D. Robijns - www.tropenmuseum.nl) 5

Page 12: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Atas aktifitas yang ramai di ja lur i tu, sebuah pulau ditetapkan oleh Belanda sebagai Noordwachter atau penjaga gawang utara Selat Makassar. Pulau itu bernama Toguan, Pangalasiang, Sojol.

15Pada 23 Juni 1904 , Raja Banawa menyerahkan pulau dengan nama lain Tingowa yang letaknya di Pantai Barat Sulawesi itu pada Belanda untuk dibangun menara api (mercusuar) yang mengontrol arus pelayaran dan arus keluar masuk kapal dari dan ke Selat Makassar.

Selain di Toguan, saksi bisu sejarah Donggala dalam navigasi kemaritiman di Selat Makassar yang masih dapat dijumpai adalah menara suar setinggi 25 meter yang berada di atas bukit di Bone Oge, terletak tak begitu jauh dari Tanjung Karang. Menara suar di Bone Oge dan sebuah rumah yang berada tak jauh dari menara itu dibangun dan

16telah dioperasionalkan oleh Belanda sejak tahun 1902 .

Posisi strategis Donggala itu berkaitan dengan aktifitas pelabuhan di kota itu. Donggala menjadi pusat bagi Sulawesi Tengah (Midden Celebes), bersama Poso di jazirah timur perairan Teluk Tomini, sekaligus periphery bagi Makassar, pusat lainnya di selatan, dan Manado di utara Sulawesi.

15 Junarti, op.cit., 2001, h. 105. 16 Wawancara dengan Abdul Rahman (53 tahun), penjaga menara suar Bone Oge (12/10/2013)

Menara Suar di Bone Oge

Peta Pulau Toguan

6

Page 13: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Donggala dalam Lintasan Sejarah

Sebagian besar wilayah-wilayah di Pulau Sulawesi, khususnya bagian tengah pulau itu, termasuk Donggala, mengidentifikasi muasal catatan peradaban awal tentangnya dari syair panjang (epos) Sureq I La Galigo. Di Donggala, mitos dari Luwu (Sulawesi Selatan) itu ditandai oleh penamaan dan hubungan antar tokoh yang tersebut dalam karya sastra itu.

17Tersebutlah Pujananti, yang dalam terjemahannya tertulis Pudjanantiq , nama tempat yang berkembang menjadi cerita rakyat sebagai Ganti yang kemudian identik sebagai Kerajaan Banawa. Tokoh-tokoh dalam sureq itu dikisahkan kawin-mawin dan membentuk generasi. Kisah perjalanan dalam sureq itu menandai interaksi awal Donggala (Kaili) dengan dunia luar, khususnya Bugis di selatan Pulau Sulawesi.

Migrasi awal dari Suku Bugis yang letaknya tak begitu jauh dari Donggala mengidentifikasi penamaan sebagai subkultur baru yang terjadi hingga saat ini. Penyebutan Bugis Donggala, Bugis Wani, dan Bugis lainnya di

wilayah Sulawesi Tengah menandakan pola interaksi awal tidak saja dengan Donggala sebagai kota perdagangan oleh letak memosisikannya sebagai kota pelabuhan, tapi juga dengan wilayah lain di pesisir barat Sulawesi dan juga wilayah pedalaman Sulawesi Tengah khususnya Sigi, kabupaten baru yang dahulunya menjadi bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Donggala.

Perdagangan menjadikan Donggala sebagai ruang interaksi (melting pot) beragam suku bangsa. Beberapa suku bangsa yang dekat secara geografis dengan Donggala, adalah suku-suku bangsa yang kemudian mempengaruhi pola interaksi itu hingga sekarang.

Mengacu pada data statistik perdagangan kopra yang diterbitkan oleh Djawatan Penerangan Republik Indonesia Kabupaten Donggala pada tahun 1956, menguatkan indikasi tentang latar belakang migrasi Bugis ke Donggala oleh karena

18perdagangan (kopra) tersebut .

17 Koolhof, Sirtjo. I La Galigo Jilid I, Jakarta, Penerbit Djambatan dan KITLV, 1995.18 Hassan. Migrasi Orang Bugis ke Lembah Palu Dalam Perspektif Sejarah (1905 – 1980), Jurnal Gagasan No. 21, tahun IX – Juli 1994. (halaman 120-121)

Masyarakat Kaili di Donggala pada awal abad 20

7

ww

w.tro

pen

mu

seu

m.n

l

Page 14: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Dalam perjalanan sejarah itu interaksi juga terjadi dengan Mandar di barat Donggala, Jawa, dan beberapa negara di daratan Asia (Cina) dan Arab di timur tengah. Motif utama dari semua interaksi itu karena perdagangan. Kopra, yang akan dibahas di bab selanjutnya, menjadi komoditi perdagangan utama yang paling banyak menjadi subyek bahasan dari penelitian-penelitian sebelumnya, sekalipun dalam catatan Tania Murray Li, komoditi kopi yang pernah jadi primadona setelah kebijakan tanam paksa Belanda itu dimulai di Minahasa pada tahun 1822 dan lalu hidup di daerah-daerah pedalaman dan di ketinggian di Sulawesi Tengah sebagai hinterland Donggala, menjadikan pelabuhan Donggala pada tahun 1856 menjadi pintu keluar bagi

19ekspor komoditi tersebut . Kolonialisme Belanda –awalnya VOC, yang akhirnya menguasai Nusantara selain Portugis, Inggris, dan Spanyol, oleh motif menguasai perdagangan, menjadikan Donggala yang berada di tengah antara Makassar dan Manado di jalur perdagangan laut Selat Makassar itu kemudian ditetapkan sebagai pintu masuk strategis untuk menguasai wilayah tersebut, sekaligus menjadi penunjang kebijakan perdagangan.

Setahun sejak 1 April 1907 sampai dengan 1908 kebijakan tol pelayaran diberlakukan oleh Belanda sebagai tata niaga perdagangan laut dan pengaturan arus lalu-lintas perkapalan yang menghubungkan Donggala

20dengan wilayah lainnya di perairan Selat Makassar . Semua interaksi perdagangan itu berdinamika sedemikian rupa dengan suku-suku pendatang sebagai pedagang perantara hasil komoditi yang diperjualbelikan dan kebijakan lokal kerajaan.

Gerakan perlawanan lokal atas kebijakan-kebijakan kolonial Hindia Belanda, seperti yang juga terjadi di belahan nusantara lainnya tumbuh bersama kebangkitan nasional ketika organisasi-organisasi modern kemasyarakatan berbasis agama dan nasionalisme yang berjejaring dari pusat pertumbuhannya di Jawa, pun ikut hadir meramaikan dinamika sosial di Donggala.

19 Li, Tania Murray. The Will to Improve Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia, Tangerang Selatan, Marjin Kiri, 2012. Dalam catatan itu Tania Murray Li mengutip John Crawfurd, A Descriptive Dictionary of the Indian Island and Adjacent Countries, London, Bradbury and Evans, 1856. 20 Besluit 7 Januari 1909, dalam Junarti, op.cit. Hukum perkapalan dan pelayaran kolonial diberlakukan dengan tujuan untuk mencegah kerugian atas perkapalan pemerintah dan swasta sebagai akibat dari perompakan maupun benturan dengan para penguasa pribumi, sekaligus untuk menjamin kelangsungan aktifitas ekonomi maritim pemerintah dan swasta Eropa. Syahbandar tunduk pada kepala pelabuhan yang diangkat oleh residen Manado di Donggala. Komoditi yang memberi keuntungan melalui perdagangan ekspor-impor internasional juga diambil alih oleh pemerintah kolonial dari kewenangan sebelumnya yang dimiliki oleh Raja Donggala.

8

Page 15: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Dinamika itu tumbuh bersama hiruk pikuk perdagangan di kawasan pelabuhan dan membentuk kultur urban di kawasan perkotaan hingga ketika Belanda diinvasi Jepang dan menjelang proklamasi kemerdekaan.

Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia berhadapan dengan situasi revolusi oleh niat Belanda (NICA – Nederland Indies Civil Administration) untuk melanjutkan penjajahan, konflik politik kebangsaan oleh pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri, dimulai sejak pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kahar Muzakkar, Perjuangan Semesta (Permesta), dan oleh faksi-faksi ideologis jelang pemilihan umum pertama pasca proklamasi yang

21diselenggarakan tahun 1955. Kopra menjadi topik yang sangat berkaitan dengan timbulnya salah satu pergerakan paling signifikan dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia di kawasan timur Indonesia, Permesta.

Donggala dan Poso, dua wilayah yang secara administratif dibentuk sejak era kolonial itu menjadi sentra dinamika untuk Sulawesi Tengah. Dinamika politik di ruang-ruang publik itu hadir hingga ke kawasan pelabuhan Donggala pada Selat Makassar, Poso pada Teluk Tomini.

Di rentang itu, tata niaga perdagangan di Pelabuhan Donggala berkembang sedemikan pesatnya dengan warisan kolonial yang menjadikan kopra sebagai komoditi utama selain barang ekspor impor lainnya. Lembaga-lembaga bentukan yang mengatur tata niaga kopra sejak Hindia Belanda hingga pendudukan Jepang dan lalu oleh pemerintah Indonesia mewarnai kisah sejarah kejayaan pelabuhan Donggala dan dinamika manusia yang berinteraksi di sana, termasuk Banawa sebagai kawasan perkotaannya. Gudang-gudang kopra dan kantor lembaga Yayasan Kopra Daerah –sebelumnya Stichting Het Coprafonds yang dibentuk Belanda itu sekarang masih ada di kawasan pelabuhan, menjadi bangunan tinggalan sejarah.

21 Asba, A. Rasyid. Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Kapal ikan berbendera Cina yang ditangkap oleh otoritas pelabuhan karena tidak memiliki dokumen

9

Page 16: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Di kawasan yang sama di Pelabuhan Donggala, juga masih tertinggal dua gudang berjajar dan sebuah gedung bertingkat kepabeanan yang dalam bahasa Belanda disebut Douane –ditandai menjadi tulisan pada salah satu ornamen bangunan milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai itu. Pembangunan gedung itu dimulai pada 11 Desember 1967 dan mulai digunakan pada 31 Maret 1969.

Era politik kebangsaan di masa Orde Lama itu mencatat keterikatannya dengan Pelabuhan Donggala dalam faksi-faksi buruh kepelabuhanan. Tercatat di masa itu ada Syarikat Buruh Islam Indonesia (SBII) sebagai cikal bakal Gabungan

22Syarikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo) yang berafiliasi pada Masyumi, juga ada Serikat Buruh Pelabuhan dan Transportasi (SBPT) yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI), yang kemudian pada akhirnya menjadi partai-partai terlarang di zamannya, dan hingga era ketika Orde Baru berkuasa dan serikat buruh di

23pelabuhan menjadi yang kita kenal sekarang dengan penyebutan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) .

Lebih dari satu dasawarsa sejak Orde Baru berkuasa, Donggala sebagai induk dari Palu, Parigi, dan Sigi yang memekarkan diri menjadi daerah-daerah otonom, di era akhir itu masih ramai disinggahi kapal-kapal Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) yang beroperasi di Alur Laut Kepulauan Indonesia dan kapal-kapal barang yang mengangkut hasil alam dan ternak (sapi) dari Sulawesi Tengah ke luar dan sebaliknya. Kehidupan ekonomi perkotaan bergeliat tumbuh bersama dinamika pelabuhan dan membentuk corak urban Kota Donggala.

Gedung Bea Cukai (Douane) di Donggala

22 Wawancara dengan H. Djalil M. (mantan Ketua Koperasi TKBM Pelabuhan Donggala). Wawancara dilakukan di Donggala pada 22 Agustus 201323 Wawancara Abdul Rauf Thalib (pernah bekerja di perusahaan pelayaran Gunung Bale Ship di Donggala). Wawancara dilakukan di Donggala (14/Juli/2013)

10

Page 17: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Pelabuhan Donggala perlahan sunyi ketika pelabuhan Pantoloan dioperasikan menjadi pelabuhan baru di Sulawesi Tengah yang melayani kapal-kapal penumpang dan barang. Inisiasi pembangunan pelabuhan baru di Pantoloan yang terletak di seberang Pelabuhan Donggala dimulakan pada tahun 1975 dan diresmikan pada tahun 1978, dan pada tahun 1985 diserahterimakan operasionalnya. Selanjutnya, Pelabuhan Donggala menjadi pelabuhan kawasan yang diarahkan untuk melayani kegiatan pelayaran rakyat dan berada di bawah pengawasan Pelabuhan Pantoloan.

Ketika Pelabuhan Berpindah

Sepi menjadi kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana Pelabuhan Donggala hari ini jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya ketika Pelabuhan Pantoloan belum ada dan bahkan jauh sebelum itu, ketika pusat perdagangan bergeliat di sana.

Bangunan-bangunan berupa gudang, sekalipun terlihat masih beraktifitas oleh tumpukan barang, masih ada satu-dua kapal bersandar, termasuk di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) di sebelah barat pelabuhan, dan aktifitas kota masih berjalan –bangunan tinggalannya masih ada sebagai saksi bisu sibuk kota itu di masa silam, namun dalam pandangan umum terlihat sepi. Pelabuhan Donggala adalah pelabuhan yang tak bisa melepaskan kisahnya dari sejarah panjang tata kelola kepelabuhanan dari sejak zaman perdagangan VOC, pendudukan Belanda, dan setelah Indonesia merdeka.

Hari ini seluruh pelabuhan di Indonesia, termasuk Pelabuhan Donggala berada dalam tata kelola perusahaan milik negara, PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang dalam tugasnya berkoordinasi dengan Administrator Pelabuhan yang dahulunya dikenal sebagai syahbandar. Sulawesi Tengah masuk dalam wilayah kerja PT. Pelindo IV yang berpusat di Makassar.

Penyambutan Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Gelar Datuk MajaBasa Nan Kuning di Gudang 1 Pelabuhan Donggala

11

Page 18: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Kunjungan Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Gelar Datuk Maja Basa Nan Kuning (berada di tengah) di Pelabuhan Donggala12

Page 19: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Pelindo membagi fase sejarahnya sebagai perusahaan negara yang mengelola pelabuhan dalam enam 24tahap . Tahun 1957 - 1960 adalah fase awal sebagai cikal bakal perusahaan itu. Di fase itu, pengelolaan

pelabuhan berada di bawah koordinasi Djawatan Pelabuhan. Nasionalisasi yang dilakukan atas perusahaan-perusahaan milik Belanda dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 19 tahun 1960 yang menjadikan status pengelolaan pelabuhan dialihkan dari Djawatan Pelabuhan ke Perusahaan Negara (PN).

Tahun 1960 - 1963 adalah fase kedua yang membagi ranah Perusahaan Negara (PN) Pelabuhan dalam delapan wilayah kerja. Di Kawasan Timur Indonesia masa itu ada PN Pelabuhan Banjarmasin, PN Pelabuhan Makassar, PN Pelabuhan Bitung, dan PN Pelabuhan Ambon.

Tahun 1983 - 1992 adalah fase lanjutan yang ditandai dengan diterbitkannya PP No. 11 tahun 1983 dan PP No. 17 tahun 1983 yang menetapkan bahwa pengelolaan pelabuhan dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara berbentuk Perusahaan Umum (Perum).

Fase terakhir adalah tahun 1992, ketika pemerintah menetapkan PP Nomor 59 tahun 1991 yang menetapkan pengelolaan pelabuhan dialihkan bentuknya dari Perum menjadi (Persero) dan selanjutnya beralih menjadi PT (Persero) Pelabuhan Indonesia IV yang berkantor pusat di jalan Soekarno nomor 1 di Makassar. Sebelumnya Pelindo berada di bawah kementerian Keuangan lalu dialihkan ke Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Perjalanan sejarah dalam tata kelola pelabuhan itu memiliki relevansi kuat dengan inisiasi pembangunan pelabuhan-pelabuhan baru sebagai kebutuhan peningkatan layanan kepelabuhanan, yang mana relevansi itu terkait dengan berpindahnya pelabuhan utama dari Donggala ke Pantoloan.

Pertimbangan geografis dan keterbatasan lahan untuk sarana dan prasarana yang memadai untuk kelancaran arus kapal, penumpang, barang, dan hewan ternak menjadi pertimbangan utama berpindahnya pelabuhan. Pertimbangan sebagai solusi alternatif itu akhirnya menabalkan satu hal: pelabuhan utama adalah Pantoloan dan pelabuhan Donggala adalah pelabuhan kawasan yang diarahkan untuk melayani pelayaran rakyat.

24 http://inaport4.co.id/?p=36#

13

Page 20: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Pincara, sejenis perahu tongkang kayu yang digunakan untuk bongkar muat di Pelabuhan Donggala 14

Page 21: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Pelabuhan Pantoloan dibangun sejak tahun 1975. Namun sebelumnya, pada tahun 1971, studi kelayakan pembangunannya telah dimulakan oleh PT. Asa Enginering Jakarta melalui Direktorat Jenderal

25Perhubungan Laut Departemen Perhubungan . Pelabuhan yang berada dalam wilayah administrasi Kota Palu itu terletak di arah utara 23 km dari Kota Palu dan sebagai penanda batas wilayah administrasi antara Kota Palu dan wilayah di pantai barat Kabupaten Donggala. Tepat pada tanggal 2 Mei 1978 pembangunan pelabuhan Pantoloan selesai dilaksanakan dan diresmikan oleh Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin.

Di hari peresmian Pelabuhan Pantoloan itu, selanjutnya segera terlihat secara kasat mata perubahan drastis yang terjadi di Kota Donggala. Berangsur-angsur

26 pelabuhan sepi , sekalipun kapal-kapal penumpang dan barang masih tetap beraktifitas di sana hingga dasawarsa awal memasuki tahun 1980. Perekonomian kota perlahan-lahan surut dan lalu hilang, ditandai oleh pasar dan banyak toko-toko kelontong yang tutup. Sebagian besar pemuda yang dahulunya bekerja di Pelabuhan Donggala hijrah mengadu nasib ke kota-kota pelabuhan lainnya di Pulau Kalimantan, Kota

27Makassar, dan Surabaya .

Apa yang terjadi pada Pelabuhan Donggala juga tak bisa lepas dari perjalanan Palu di sisi yang lain, yang bertumbuh, awalnya menjadi bagian dari Donggala yang kemudian menjadi kotamadya, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Pelabuhan Donggala hingga saat ini tetap beroperasi dan sedang dalam persiapan untuk menjadi pelabuhan pendukung bagi semakin intensifnya kegiatan kepelabuhanan di Pantoloan. Saat ini Pelabuhan Donggala sedang dalam tahap pengembangan dan direncanakan akan selesai pengerjaannya pada tahun 2014. 25 http://education-vionet.blogspot.com/26 Wawancara dengan Kurniawan Tanusra (Kie Lung) pemilik Warung Kopi Nagaya, 21 Agustus 201327 Wawancara dengan Abdul Rauf Thalib, 14 Juni 2013

Peresmian Pelabuhan Pantoloan oleh Menteri PerhubunganRusmin Nuryadin (Foto: Ali Bachmid - www.store.tempo.com

15

Page 22: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bab II

REEDE

Page 23: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bab 2REEDE

1Sejauh-jauh kapal berlayar, sekali kelak ia masuk pelabuhan .

Pelabuhan kadang lebih tua dari kota tempat pelabuhan itu berada. Serupa Pelabuhan Sunda Kelapa bagi Kota Jakarta yang telah ada sejak pelabuhan itu menjadi bagian dari Kerajaan Padjajaran. Definisi kota yang berada di pesisir selanjutnya dibentuk oleh kultur pelabuhan yang membentuk ciri kawasan urban dari aktifitas perdagangan dan interaksi sosial yang terjadi di sana. Dalam bahasa Inggris pelabuhan adalah port atau harbor yang bermakna sebagai tempat yang aman bagi kapal berlabuh. Dalam bahasa Belanda adalah

2Haven .

Bukan Port, Tapi Reede

Pelabuhan Donggala yang secara geografis memiliki arti strategis, mendukung pula secara ekologis, 3prasyarat utama pelabuhan . Sebagai pelabuhan kecil yang pada akhirnya menjadi penopang perekonomian

4lokal, Belanda menyebut Pelabuhan Donggala sebagai Reede atau pangkalan, pelabuhan tradisional.

Penamaan itu tidak terlepas dari posisi Pelabuhan Donggala sebagai pelabuhan penyangga di masa kolonial Hindia Belanda, bagi Makassar sebagai pusat perdagangan, pelabuhan di kawasan timur nusantara. Posisi pusat - pinggiran (periphery) dalam pelabuhan itu adalah orientasi dagang pemerintahan kolonial Hindia

5Belanda yang menempatkan Donggala sebagai tempat penumpukan komoditi alam, khususnya kopra, dari

1 Lapian, Adrian Bernard, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17, Jakarta, Komunitas Bambu, Agustus 2008.2 Lapian.ibid, 2008, h. 95.3 Lapian, ibid, 2008.4 Sadi, Haliadi (editor).Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, Yogyakarta, Pilar Media, Nopember 2009, halaman 164.5 Wawancara Dr. Hassan, M.Hum tanggal 5 Agustus 2013.

16

Page 24: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Sulawesi Tengah sebagai komoditi utama yang ramai diperdagangkan sejak akhir abad 19, yang akan dikirimkan ke Makassar.

Banawa, tempat pelabuhan berada, adalah pusat kota Donggala, kota tua yang berada di tengah dua bukit, Bale dan Lapaloang. Sebuah sungai kecil membelah kota dan bermuara tak jauh dari kawasan pelabuhan. Ke arah selatan kota, sebuah tanjung memanjang, dikenal sebagai Tanjung Karang, berada di bibir teluk yang segera langsung berhadapan dengan Selat Makassar.

Lanskap Donggala yang demikian menjadikan pelabuhannya, sekaligus kota yang menjadi bagian dari pelabuhan itu berada memenuhi aspek aman secara geografis sebagaimana prasyarat definitif pelabuhan.

Dalam perjalanannya, pelabuhan-pelabuhan di nusantara bermetamorfosa dari pelabuhan-pelabuhan terbuka sebagai muasal akulturasi bangsa-bangsa dalam banyak motif interaksi dan ekspedisi –perdagangan, siar agama, dan penaklukan-penaklukan. Interaksi yang terjadi oleh pelabuhan sebagai ruang publik penunjang moda transportasi awal peradaban itu menjadikan bertemunya beragam kultur yang membentuk kultur baru, secara konvensional seringkali menjadi cikal-bakal lahirnya ciri urban pada kawasan di sekitar pelabuhan.

Pada Donggala, pelabuhan menjadi semacam pintu masuk (entry point) yang dapat menjelaskan banyak hal bagi terbentuknya situasi urban tersebut. Sejak menjadi pelabuhan terbuka interaksi-interaksi awal terjadi antar kerajaan, abad 15

Lanskap Donggala 1901 (Foto: De Goeje - www.tropenmuseum.nl)

17

Page 25: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Lanskap Donggala tahun 1911 (Foto; Albert Grubauer - www.tropenmuseum.nl) 18

Page 26: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

(1667) kemudian menjadi penanda awal bagi pelabuhan Donggala yang telah berinteraksi dengan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), perusahaan dagang milik kerajaan Belanda.

Penaklukan-penaklukan atas nama perdagangan menemukan momentumnya. Kolonialisme berjalan beriringan dengan perkembangan pelabuhan di satu sisi dan tumbuhnya ciri urban di sisi yang lain. Lahirnya kebijakan-kebijakan terkait pelabuhan dan kemaritiman untuk menguasai sekaligus mengamankan jalur perdagangan laut adalah bagian penting dalam sejarah pelabuhan.

Penetapan jalur tol pelayaran di Selat Makassar oleh Belanda yang disebut sebagai jalur 14, dan pembangunan menara suar di Pulau Toguan dan di Bone Oge –keduanya masuk dalam wilayah perairan Donggala adalah salah satu indikasi kuat yang menjelaskan betapa pentingnya kebijakan maritim itu dilahirkan pemerintah kolonial untuk kepentingan perdagangan. Donggala berada di tengah Pulau Sulawesi yang menghubungkan pusat perdagangan di Makassar dan Manado.

Penaklukan laut itu berlanjut ke daratan dalam kebijakan-kebijakan administratif yang mengatur pola relasi 6antara pemerintah kolonial dan kerajaan, pembagian wilayah yang beiringan dengan fase politik etis (1905 -

1930), kebijakan kolonial Hindia Belanda di sektor pendidikan, mendorong terjadinya emigrasi, serta peningkatan produksi pertanian melalui pengembangan irigasi.

Di pelabuhan, kopra sebagai salah satu komoditi utama perdagangan, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan kolonial. Pasca booming kopra yang ditandai lesunya harga kopra dunia, pada 13 September 1940, Belanda mendirikan Stichting Het Coprafonds (Dana Kopra), tata niaga kopra yang bertugas untuk memborong dan menimbun kopra dari petani untuk mengendalikan harga kopra. Keuangan lembaga yang didukung oleh Javasche Bank, dan untuk operasionalisasi , ditunjuk inspektur yang berpusat di Makassar dan

6 Kebijakan kolonial Belanda pasca era tanam paksa (cultuurstelsel). Abraham Kuyper adalah politisi Belanda yang mendorong lahirnya kebijakan ini diterapkan bagi negeri-negeri koloni. Lihat Murray Li, Tania. The Will to Improve, Jakarta, 2012, Marjin Kiri, halaman 81.

Bangunan irigasi Gumbasa peninggalan Kolonial Belanda yang ada di Kabupaten Sigi.

19

Page 27: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Kapal S.S. Reynst di Teluk Palu (www.tropenmuseum.nl) 20

Page 28: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

ajun inspektur di Manado sebagai pengawas. Gudang-gudang penimbunan kopra dibangun di Tahuna, 7Manado, Bitung, Kema, Kotabunan, Amurang, Inobonto, Kwandang, Gorontalo, Toli-Toli, Donggala, dan Poso .

Di rentang waktu tersebut, gudang-gudang memanjang berbentuk silinder tinggalannya masih dapat kita temui di kawasan Pelabuhan Donggala, termasuk kantor Pusat Koperasi Kopra Daerah Donggala yang berada dekat dari gudang-gudang itu. Perubahan nama dari Coprafonds ke Yayasan (Jajasan) Kopra terjadi seiring pergantian masa koloni dari Belanda ke Jepang.

Arsitektur kemudian menjadi penanda penting lainnya dalam konteks terbentuknya ciri urban kawasan di sekitar Pelabuhan Donggala. Pengaruh gaya arsitektur a la Hindia Belanda dengan mudah dapat ditemui di tengah kota, termasuk beberapa tinggalan sejarah bangunan di kawasan pelabuhan. Pengaruh arsitektural itu bertemu dengan kebudayaan Kaili, Bugis, dan etnis Tionghoa yang ada di Donggala.

Pelabuhan Donggala telah ikut menjadi saksi tumbuhnya kesadaran nasional pada organisasi-organisasi modern berbasis agama (Islam) sebelum proklamasi kemerdekaan, berjejaring hingga ke Donggala. Syarikat Islam dan Muhammadiyah menjadi dua organisasi yang tercatat telah berinteraksi di sana bersama pergerakan lokal, menyusul hadirnya pendidikan Islam Alkhairaat yang didirikan oleh Sayyid Idrus Bin Salim Al Jufri atau yang lebih dikenal sebagai Guru Tua membuka madrasahnya di Palu pada 11 Juni 1930. Syarikat

8Islam telah hadir di Donggala sejak 1916 oleh HOS Tjokroaminoto , menyusul Muhammadiyah oleh Buya

9Hamka pada tahun 1934 .

Dinamika sosial politik lokal, nasional, dan internasional karena kebijakan kolonial sejak tumbuhnya organisasi-organsasi itu, hingga pergolakan politik nasional pasca kemerdekaan mengikuti catatan panjang sejarah Pelabuhan Donggala. Sebagian besar dinamika itu tentulah bermula dari sana. Dinamika itu ikut mempengaruhi langgam seni, fesyen, kuliner, dan komunitas subkultur, membentuk tren gaya hidup warga kota Donggala.

7 Wahyono, Effendi. Minahasa dalam Jaringan Perdagangan Kopra di Hindia Belanda 1900-1941, Titik Balik Historiografi di Indonesia, Jakarta, Wedatama Widya Sastra dan Departemen Sejarah FIB UI, 2008.8 Sadi, Ibid, 2009, halaman 67.9 Apipah, Dinamika Muhammadiyah di Donggala 1934-1991, Palu, skripsi FKIP Untad, 2002, halaman 165.

21

Page 29: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Gudang memanjang berbentuk silinder di kawasan Pelabuhan Donggala di tahun 1950an 22

Page 30: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Kopra dan Pelabuhan Donggala

Sejak peradaban mengenal kopra –daging buah kelapa yang dikeringkan itu sebagai sumber asupan kalori manusia, selanjutnya Eropa menemukannya sebagai olahan bahan dasar pembuatan mentega (margarin), sabun, dan lalu minyak nabati, kopra telah menjadi satu dari komoditi yang dibutuhkan, diperdagangkan secara internasional.

Komoditi yang awalnya adalah bagian dari kebijakan tanam paksa yang dimulakan di Kampung Baru, Batavia (Jakarta) era Gubernur Jenderal Van Imhoff (1743-1750) itu kemudian menjadi komoditi yang coba dimulakan

10di Minahasa, Sulawesi Utara, pasca dihapusnya kebijakan tanam paksa kopi pada tahun 1850 . Selanjutnya, Kopra dan Sulawesi telah menjadi dua sisi di sebuah koin. Sepanjang tahun 1920-1939 nusantara menyuplai 29 persen kebutuhan kopra dunia.

11Dalam catatan A. Ph. van Aken (1932) dan Tammes (1949), ratusan ribu ton kopra dihasilkan sebagai komoditi ekspor. Kopra-kopra itu terbesar datang dari dua sentra wilayah penghasil, Sangir dan Donggala, di masa booming kopra di awal ketika abad 20 baru saja berjalan tiga dasawarsa.

Berikut adalah angka estimasi ekspor kopra (dalam ton) berdasarkan sub region tahun 1939, yang data ini 12

bersumber dari M. van Rhijn (tahun terbit 1941).

Tabel 1 : Estimasi Ekspor Kopra (dalam Ton) Tahun 1939

10 Wahyono, Ibid, 2008, halaman 130-131.11 Dua catatan statistik produksi kopra itu dirangkum oleh David Henley dalam bukunya, Fertility, Food, and Fever, 2005, Leiden, KITLV.12 Henley, Ibid, 2005, halaman 548.

23

Page 31: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Gudang memanjang berbentuk silinder di kawasan Pelabuhan Donggala saat ini (Foto : Neni Muhidin - 2013) 24

Page 32: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

13Dalam catatan Sejarahwan Universitas Hasanuddin Makasar, A. Rasyid Asba , dua masa pembabakan era kejayaan kopra Sulawesi ditandainya sejak tahun 1883 hingga tahun 1958. Di rentang waktu yang panjang itu, kopra telah menjadi kekuatan ekonomi regional yang mengalami masa-masa fluktuatif: menjadi booming karena ekspansi penjualan dan harga, dan masa ketika kopra mengalami kontraksi hingga tahun 1958 sebelum pada akhirnya lesu. Di rentang waktu yang panjang itu pula, kopra telah saling mempengaruhi dinamika ekonomi dan sosial politik baik lokal, regional, hingga internasional.

Pembangunan pabrik minyak Hindia Belanda, Oliefabrieken Insulinde (OFI) di Makassar tahun 1913 adalah indikasi nyata bagi berlangsungnya situasi saling ketergantungan itu. Pasokan kopra bagi perusahaan OFI dari

daerah-daerah penyangga di Sulawesi. Belanda ingin memastikan monopoli produksi minyak kelapa dari Makassar itu menciptakan ketergantungan bagi Singapura, Eropa, dan Amerika. Tidak hanya itu, Makassar Produce Co, anak cabang perusahaan Aarhus di Denmark, setiap tahunnya membeli kopra Sulawesi di kisaran 30 sampai 50 ribu ton. Kapal angkut Norwegia bernama Noorsche yang disewa perusahaan berlayar ke pelabuhan Tahuna, Amurang, Gorontalo, Donggala, Manado,

14dan Makassar untuk membeli kopra .

Sebagai kota pelabuhan tempat keluar masuknya beragam komoditi hasil bumi dan ternak (sapi) yang diperdagangkan secara terbuka oleh etnis pendatang (Bugis, Cina, Arab) yang

berperan sebagai pedagang perantara, catatan awal yang menghubungkan kopra di satu sisi dengan Donggala di sisi yang lain, adalah ketika dibukanya jalur pelayaran perusahaan perkapalan uap milik kerajaan

15Belanda yang sahamnya dikuasai swasta, Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) pada April 1888 .

13 Asba, A. Rasyid. Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia, 2007, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.14 Di paragraf ini lihat Rasyid Asba, Citra Makassar yang Hilang dari Kota Niaga ke Kota Industri, dalam buku Titik Balik Historiografi di Indonesia, Djoko Marihandono (penyunting), Wedatama Widya Sastra dan Departemen Sejarah FIB UI, 2008, Jakarta.15 Junarti, Elite dan Konflik Politik di Kerajaan Banawa Sulawesi Tengah 1888-1942, 2001, Yogyakarta, Tesis UGM.

Kapal KPM, Van Rees di perairan Donggala pada tanggal2 Oktober 1922 (Foto : KITLV)

25

Page 33: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Jalur pelayaran itu untuk menghubungkan lalu-lintas perdagangan antara dua pusat, Makassar di selatan dan Manado di utara –selain melegitimasi kekuasaan Belanda di masa itu bagi tata niaga perdagangan (kopra) dan juga atas Selat Makassar.

Dalam data statistik Jawatan Penerangan Republik Indonesia Kabupaten Donggala yang terbit pada tahun 161956 , produksi kopra di Lembah Palu, salah satu dari sekian kantong wilayah produksi kopra Donggala, di

rentang tahun 1905 sampai dengan tahun 1942 terdapat 5.990 hektar kebun kelapa yang setiap satu hektar memuat kurang lebih 1000 pohon kelapa. Ada kurang lebih 599.000 pohon kelapa yang setiap pohon kelapa diperkirakan dapat memproduksi 6.000 biji kelapa atau kira-kira 1,2 ton kopra per tahun.

Data statistik di tahun 1969 malah menunjukkan peningkatan produksi kopra Donggala. Proyeksi angka yang dikeluarkan kantor Sensus dan Statistik di Bumi Njiur Palu mencatat, per bulannya Donggala memproduksi kopra sebanyak 2.500 ton, yang dalam setahun mencapai 30.000 ton, lebih besar dari 3 kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah di masa itu Poso, Banggai, dan Buol Tolitoli. Terdapat juga 20 pabrik pengolahan minyak kelapa di tahun 1969 dari dampak tingginya angka produksi kelapa Donggala.

Dalam persentase, Donggala – meliputi Palu, Sigi, Parigi yang saat itu masih menjadi bagiannya, menjadi daerah dengan produksi kopra tertinggi di Sulawesi Tengah (13,01 persen) selama tahun 1952. Toli-Toli 5,05 persen, Poso 10,86 persen, dan Luwuk 12,43 persen. (Kementerian Penerangan RI, Seri Propinsi Sulawesi

17Tengah) . Berikut adalah angka penjualan kopra Sulawesi Tengah tahun 1968-1972.

18Memori GKDH, Propinsi Sulawesi Tengah, 1973

Tabel 2 : Angka Penjualan Kopra Sulawesi Tengah Tahun 1968-1972

16 Hasan, Migrasi Orang Bugis ke Lembah Palu Dalam Perspektif Sejarah (1905 – 1980), 1994, Palu, Jurnal Gagasan Universitas Tadulako No. 21, tahun IX – Juli 1994.17 Gonggong, Anhar dkk. Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, 2005, Palu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah.18 Gonggong, Ibid, halaman 274.

26

Page 34: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Era perdagangan kopra Sulawesi berpuncak di masa ketika perdagangan kopra mengalami situasi yang disebut dalam penjelasan sebelumnya sebagai kontraksi, lesu, dan pemerintah kolonial Hindia Belanda merasa harus membentuk tata niaga perdagangan yang bertugas untuk mengantisipasi jatuhnya harga kopra. Pada 13 September 1940 didirikan Het Stichting Coprafonds (Dana Kopra) yang bertugas memborong dan menimbun kopra dari petani. Pada masa ini dibangun gudang-gudang penimbunan kopra di Tahuna, Manado,

19Bitung, Kema, Kotabunan, Amurang, Inobonto, Kwandang, Gorontalo, Toli-Toli, Donggala, dan Poso .

Gudang-gudang penimbunan kopra beserta kantor pengelolanya yang telah rongsok karena tak terpelihara, tinggalannya masih dapat ditemukan di kawasan Pelabuhan Donggala. Sebuah catatan resmi yang dilansir oleh lembaga

20kajian Belanda, KITLV menyebutkan catatan-catatan korespondensi Thomas Cool, perihal pembentukan Coprafonds di beberapa wilayah di Sulawesi. Dalam salah satu catatan itu disebutkan laporan pembentukan Coprafonds di Donggala pada tahun 1948. Donggala, dalam catatan itu tertulis sebagai wilayah administrasi Sulawesi Selatan (Zuid-Celebes, Makassar). Tak ditemukan sumber resmi sejarah yang secara rigid menetapkan waktu pembangunan dan operasionalisasi gudang-gudang penimbunan kopra dan

kantor pengelolanya itu. Namun bisa dipastikan bangunan-bangunan bersejarah itu telah ada sejak era Coprafonds dibentuk pada tahun 1940.

Salah satu dari kebijakan tata niaga yang mengatur perdagangan kopra di masa itu adalah rakyat yang memiliki 25 ton kopra boleh memasukkan langsung kopranya pada Coprafonds, dan yang tidak mencapai

21angka produksi itu menjualnya pada pedagang perantara.

Kapal Imhoff yang berlabuh di Pelabuhan Donggala sekitar tahun 1900 - 1920 (www.tropenmuseum)

19 Wahyono, Ibid, 2008, halaman 157.20 Cool, Thomas. Correspondentie en nota's afkomstig van ing. Thomas Cool (1921-), weg- enwaterbouwkundige in Indië, Indonesië en Nieuw-Guinea, havenbeheerder te Menadoen Makassar, met foto's, tekeningen,schetskaarten en blauwdrukken. 1945-1955, 2000, KITLV-inventaris 138.21 Gonggong, Ibid, halaman 256.

27

Page 35: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Politik nasional mempengaruhi lanjutan catatan perjalanan sejarah Coprafonds. Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Coprafonds dinasionalisasi menjadi Yayasan Kopra pada tahun 1954.

Dewan Kelapa Indonesia (DEKINDO), sebagai cikal-bakal dari Coprafonds di masa Belanda membagi dua era di awal yang membentuk perkembangan

22institusional tata niaga kopra: era Coprafonds dan era koperasi kopra sebelum pada akhirnya menjadi Dewan Kelapa Indonesia.

Tak begitu jauh dengan aspek waktu penelitian perdagangan kopra A. Rasyid Asba tahun 1883, tinjauan historis perdagangan kopra oleh Dekindo dimulai pada tahun 1884 ketika ekspor kelapa dalam bentuk kopra untuk kali pertama dilakukan tanpa campur tangan Belanda. Monopoli perdagangan kopra baru terjadi pada tahun 1915 ketika Belanda memberikan hak itu kepada Moluksche Handel Mij, setelah terjadi perang Eropa.

Belanda mengubahnya pada tahun 1940 menjadi Coprafonds khusus bagi perdagangan kopra wilayah Indonesia Timur. Pendudukan Jepang di Indonesia selanjutnya mengubah lembaga ini menjadi “Jajasan Kopra”. Di era selanjutnya, Jajasan Kopra di Jakarta menyepakati untuk mengakhiri tugas sejak tanggal 12 Juli 1956 dan menyerahkannya pada Induk Koperasi Kopra Indonesia (IKKI).

Kopra sebagai komoditi hasil bumi yang diperdagangkan juga telah menjadi komoditi politik regional (Sulawesi) yang pergolakannya hingga ke level nasional, bahkan intervensi asing (Amerika Serikat) oleh kepentingan ideologis. Perjuangan Semesta atau lebih dikenal sebagai Permesta yang piagamnya

23diproklamirkan pada 2 Maret 1957 di Makassar, lahir oleh resistensi akan tata niaga kopra . Permesta menuntut 70 persen perdagangan kopra diberikan untuk daerah penghasil dan 30 persen untuk pemerintah pusat di Jakarta. Resistensi itu lahir bersama penerapan pelaksanaan otonomi daerah seperti yang termuat di dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Kapal yang memuat ternak di Pelabuhan Donggala tahun 1948 (C.J. Taillie - www.tropenmuseum)

22 http://www.dekindo.com/media.php?artikel=123 Asba, Ibid, 2007, halaman 10.

28

Page 36: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

28 April 1958, Pelabuhan Donggala menjadi saksi bagi pergolakan politik itu.Sebuah pesawat pembom AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) Permesta yang diawaki Letnan satu penerbang Allan Lawrence Pope meluluhlantakkan Donggala untuk kali pertama.Dalam serangan itu 5 kapal perang berisi logistik militer milik pemerintah Republik Indonesia yang sedang berlabuh di pelabuhan tenggelam.Kelima kapal itu adalah Moro,

24 25Giliraja, Mutiara, Insumar, dan RI Palu. Sumber lain menyebutkan, ada tiga kapal dagang asing yang ikut dibom dalam peristiwa itu: Aquila (Italia), Armonia (Yunani), dan Flying Lark (terdaftar di Panama).

Berselang sehari, pada tanggal 30 April, untuk kali kedua Pope membombardir Donggala dan Palu. Kali ini menghancurkan bangunan gudang dan jembatan. Tak hanya Donggala dan Palu, Pope, penerbang yang bergabung dalam Civil Air Transport (CAT), organisasi front dinas intelijen Amerika Serikat, Central Inteligence Agency (CIA) itu juga membombardir dari udara Kendari dan Ambon.

24 Abubakar, Jamrin. Ensiklopedi Sulawesi Tengah, draft, tanpa tahun.25 http://en.wikipedia.org/wiki/Allen_Lawrence_Pope

Allen Lawrence Pope pada persidangan28 Desember 1959 (en.wikipedia.org)

Bangkai Kapal Mutiara yang karam padaperistiwa Permesta 28 April 1958.

(Foto: Donggala Diving Club)

Bangkai Kapal Giliraja yang karam padaperistiwa Permesta 28 April 1958.

(Foto: Donggala Diving Club)

29

Page 37: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Pelabuhan Donggala dan Dinamika Sosial26Sebagai kota pelabuhan strategis, Donggala telah jadi daerah terbuka setidaknya sejak abad 17 ketika

pengaruh kebudayaan Bugis, Makassar, Ternate, bahkan VOC telah ada di sana berinteraksi untuk saling mempengaruhi dan misi ekspansi. Penanda penting bagi era ini adalah Traktat Banawa (1667) antara Donggala dan VOC, dan Perjanjian Bongaya antara Bone (Bugis) dan Gowa (Makassar) yang secara tidak langsung berdampak pada apa yang terjadi di Donggala.

Pengaruh kebudayaan-kebudayaan itu, khususnya Bugis, masuk hingga ke sendi-sendi kehidupan di Donggala dan beradaptasi sedemikian rupa dalam banyak dimensi sosial dengan kebudayaan lokal (Kaili), dan bersamaan pula dengan datangnya etnis dengan motif ekonomi dan siar agama, khususnya pendatang dari etnis Tionghoa dan Arab yang sebagian besar berperan sebagai pedagang perantara komoditi-komoditi hasil bumi. Selain arsitektural (akan dibahas di bab selanjutnya) penamaan bagi jabatan-jabatan publik dan ritual adat adalah satu dari sekian penanda yang bisa terlihat dari interaksi itu, selain penanda-penanda lainnya yang ikut berakulturasi.

Di masa selanjutnya, migrasi oleh kebijakan politik etis kolonial Hindia Belanda, mempertemukan Donggala dengan etnis Jawa dan Bali, yang kemudian pada masa pasca kemerdekaan diteruskan sebagai program transmigrasi sejak tahun 1962. Pertemuan-pertemuan kebudayaan juga terjadi oleh masuknya gerakan-gerakan organisasi sosial modern pertama berbasis agama (Syarikat Islam dan lalu Muhammadiyah) di era kebangkitan nasional.

Penduduk Donggala pada tahun 1892 dalam catatan Muller telah berada di angka 35.061 jiwa yang terdiri atas Laki-laki 17.803 jiwa, perempuan 17.258 jiwa, dari 37 kampung di sepanjang pantai barat hingga Banawa.

Pelabuhan Donggala tahun 1937 (Foto: Cense, A.A. - KITLV)

26 Junarti, Elit dan Konflik Politik di Kerajaan Banawa Sulawesi Tengah 1888-1942, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada (tesis), 2001

30

Page 38: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Warga Eropa yang terdata dalam catatan itu 28 jiwa laki-laki dan 22 perempuan. Sedangkan etnis Tionghoa 27ada 363 laki-laki dan 183 perempuan.

Lembah Palu, Pantai Barat, dan Parigi dan Moutong di sisi utara Banawa, kota pusat tempat pelabuhan berada, diidentifikasi dalam banyak catatan sebagai wilayah suburban Donggala. Palu yang awalnya berkembang menjadi kota administratif pada tahun 1978 dan menjadi kotamadya pada 1994, adalah salah satu wilayah kecamatan di Donggala dengan jumlah penduduk signifikan dari kecamatan-kecamatan lain di 4 kabupaten di

28Sulawesi Tengah saat itu yang terdiri dari Donggala, Banggai, Poso, dan Buol Tolitoli.

Donggala dalam laporan statistik yang terbit pada tahun 1971 memiliki 16 kecamatan dan 357 desa. Total jumlah penduduk Donggala di tahun itu adalah 389.957 jiwa (2.936 adalah warga negara asing). Palu (49.000) jiwa, Biromaru (31.219 jiwa), Parigi (31.699 jiwa), adalah tiga nama wilayah terbesar yang saat itu adalah

wilayah kecamatan, yang saat ini telah jadi ibukota bagi kotamadya dan 29

kabupaten hasil pemekaran dari Donggala sebagai wilayah induk.

Belanda menancapkan legitimasi kolonialnya di Sulawesi Tengah 30(Midden Celebes) sejak 1905 dengan penaklukan militer, tahun di

mana tatanan sosial menjadi lebih berdinamika oleh resistensi lokal dan nasional. Bangunan-bangunan seperti rumah asisten residen di Gunung Bale dan gedung Gezzagheber untuk Controleur Onder Afdeling di Palu adalah artefak kolonial yang jejaknya masih dapat ditemukan di beberapa tempat. Pada kawasan pelabuhan tinggalan-tinggalan bersejarah itu berkorelasi dengan era kejayaan kopra dan komoditi hasil bumi lain yang ditimbun untuk kebutuhan ekspor.

27 Sadi, Ibid, 2009, halaman 24.28 Kantor Sensus dan Statistik Propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah dalam Angka Tahun 1970, Bumi Njiur - Palu, Biro Pusat Statistik, Djanuari 197129 Statistik, Ibid, 1971, halaman 2. 30 Li, Tania Murray. The Will to Improve Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia, Tangerang Selatan, Marjin Kiri, 2012.

Rumah Asisten Residen di Donggala tahun 1930an (www.tropenmuseum.nl)

31

Page 39: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Dua menara api (mercu suar) yang dibangun pemerintah kolonial di dua tempat terpisah di Donggala –di Bone Oge dan Pulau Toguan, adalah jejak lain kolonialisme dengan ciri arsitekturalnya yang unik dan khas arsitektural Eropa. Ciri khas arsitektural itu ikut mempengaruhi dan berakulturasi dengan ciri bangunan-bangunan lokal dan etnis lainnya yang dibangun semasa dengan era kolonial tersebut.

Masuknya organisasi-organisasi modern berbasis agama yang lahir sebagai reaksi atas kolonialisme turut mempengaruhi dinamika sosial yang terjadi di Donggala, bersamaan dengan resistensi lokal dan konflik elit sebagai eksesnya yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Syarikat Islam atau Syarikat Dagang Islam (SDI) –cikal bakal terbentuknya Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) tahun 1912, telah bergiat di Donggala sejak 1916, dan pada Mei 1917 menyelenggarakan pertemuan kader-kadernya di sana. Menyusul 4 Juli 1934, Muhammadiyah buka cabang di Donggala.

Pembukaan cabang Muhammadiyah diinisiasi oleh ulama yang juga sastrawan asal Maninjau, Sumatera Barat, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka. Kehadiran Hamka di Donggala di rentang waktu antara tahun 1932 sampai dengan 1934 itu telah ikut mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya dan menjadi perbincangan hingga sekarang, roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijck yang di

31belakangan hari diduga plagiat .

Lema Donggala dicatat Hamka dalam karyanya itu,pada sebuah bab yang dikisahkan, tokoh di roman itu, Zainuddin, diberikan hadiah, “sebuah tongkat, berulukan gading, dari kemuning tua bikinan Donggala, kiriman kepala kampung di sana jang ter tar ik dengan karangan-karangan Zainuddin.”(Halaman 203). Guru dan murid-murid Madrasah Mu’allimien

Muhammadijah Donggala di tahun 1957

31 Pada mulanya roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijck adalah cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Hamka pada tahun 1938,yang kemudian dibukukan oleh penerbit M. Sjarkawi Medan cetakan I, II, III. Cetakan IV s/d VII oleh Balai Pustaka. Cetakan VIII s/d X (1966) oleh N.V. Nusantara Bukit Tinggi. Tebal buku 231 halaman itu dituduh plagiat dalam buku berjudul “Aku Mendakwa Hamka Plagiat, Skandal Sastra Indonesia 1962 -1964,” Muhidin M. Dahlan, diterbitkan Scripta Manent, Yogyakarta, September 2011. Perihal roman itu dituding plagiasi dari karya pengarang Prancis Alphonse Karr, Sous les Tilleuls (Di bawah naungan bunga Titilia) yang disadur penyair Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi.

32

Page 40: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Guru Tua pada seremoni penyambutan jemaah haji di Pelabuhan Donggala

Sekolah etnis Tionghoa, Cung Hoa School, foto diambil pasca tragedi 1966

Masjid Raya Donggala yang peletakan batu pertama pembangunannya pada tahun 1969

H. Djuraid, Imam Masjid Raya Donggala

33

Page 41: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Dinamika sosial di Donggala tidak saja mempengaruhi Hamka dalam seni sastra, tapi juga cabang seni lainnya yang hadir kemudian di era pasca kemerdekaan. Teater atau yang kala itu lebih akrab disebut sebagai sandiwara, adalah seni pertunjukan yang digemari warga kota. Sebuah gedung serbaguna yang difungsikan sebagai bioskop untuk pemutaran film juga difungsikan sebagai panggung sandiwara. Di era 1960an, tercatat grup sandiwara terkenal dari Banjarmasin, Nusantara, yang dipimpin oleh Syukri Amin pernah pentas di sana.

Gedung pementasan sandiwara itu adalah bioskop yang dalam perjalanannya telah berganti-ganti nama. Sebelum menjadi Megaria yang tinggalannya masih dapat ditemukan sekarang,

32gedung bioskop itu bernama Empress . Film-film Malaya (Malaysia) menjadi film-film favorit kala itu.Film berjudul Bakti yang rilis pada tahun 1950 dan diproduksi di Singapura adalah satu dari film terkenal yang pernah mempengaruhi dinamika sosial masa itu. Bintang-bintang film seperti Kasma Booty dan P. Ramlee yang membintangi Bakti, menjadi tren masa itu. Juga tercatat film berjudul Putri Solo (1953) yang dibintangi Titien Sumarni pernah menjadi memori kolektif yang mempengaruhi fesyen (pakaian, gaya rambut, dan persepsi). Film kemudian telah ikut mewarnai urban history Donggala.

Tak hanya seni, modernitas baru dari hasil interaksi beragam kebudayaan yang telah terjadi begitu lama itu juga mempengaruhi kuliner.

Syukri Main, pimpinan grup sandiwara Nusantara dari Banjarmasin yang tampil digedung bioskop Megaria

Titien Sumarnibintang film yangberjudul Putri Solo

(1953)

P. Ramlee dan Kasma Booty dalam film Malaya (Malaysia) yang

berjudul Bakti (1950)

32 Wawancara dengan H. Djalil M. (mantan Ketua Koperasi TKBM Pelabuhan Donggala, kiper Tim Persido, 1957). Wawancara dilakukan di Donggala pada 22 Agustus 2013

34

Page 42: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Sebuah warung kopi terkenal yang berada tak begitu jauh dari kawasan pelabuhan telah bertahan dalam hampir lima dasawarsa. Kie Lung (Kurniawan Tanusra, 55 tahun) adalah generasi ketiga yang masih menjalankan usaha warung kopi Nagaya yang telah berjualan sejak tahun 1950.

33Kie Lung berkisah masa jaya pelabuhan Donggala dan efeknya pada usaha yang mulai dilakoninya sejak duduk di bangku SMP pada tahun 1973.Di satu dasawarsa sejak 1970 sebelum akhirnya pelabuhan berpindah ke Pantoloan di dasawarsa berikutnya, warung kopi Nagaya adalah tempat ramai, tempat singgah para anak buah kapal, penumpang, dan buruh pelabuhan, karena tak hanya kapal barang, kapal penumpang Pelni juga merapat di pelabuhan itu. 6 orang pembantu yang bekerja di Nagaya dan menjual beragam kudapan adalah indikasi betapa sibuknya Nagaya masa itu. Sekarang, sepeninggal bapaknya Tan Ing Soen (84 tahun) yang berpulang pada 20 Nopember 2013, Kie Lung masih tetap melayani pelanggan Nagaya yang masih saja ramai itu sendirian. Cara sajian kopinya masih bertahan hingga sekarang seperti ketika warung kopi itu dimulakan oleh nenek dari ibunya.

Di dunia olahraga, dinamika sosial Donggala termanifestasikan dalam sepakbola, olahraga massal paling populer di zamannya. Sebuah lapangan sepakbola yang sekarang telah jadi taman kota adalah saksi bagi olahraga itu dan sebuah tim sepakbola, Persido.

Sepakbola, bahkan telah jadi alat legitimasi lain yang digunakan untuk menegaskan sebuah sikap politik kewilayahan. Donggala sebagai wilayah di Sulawesi Tengah harus memisahkan diri dari Sulawesi Utara. Jelang perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) keempat yang diselenggarakan di Makassar pada 27 September sampai dengan 6 Oktober 1957 menjadi momen penegasan sikap itu melalui sepakbola. Kala itu Sulawesi Tengah diwakili oleh Tim Persatuan Pemuda Donggala.

33 Wawancara Kie Lung di Warung Kopi Nagaya, 21 Agustus 2013.

35

Page 43: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Jelang PON IV Makassar. Tim Persatuan Pemuda Donggala. Sepakbola menjadi legitimasi untuk memisahkan dari Sulawesi Utara. H. Djalil (kiper, berdiri ketiga dari kiri)

36

Page 44: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bab III

EPILOG

Page 45: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bab 3 EPILOG

Beberapa orang buruh masih lalu lalang di dermaga pelabuhan dengan dengan karung dan kotak-kotak kardus di pundaknya. Sebuah kapal kayu berlabuh di dermaga. Di sudut lain, terlihat beberapa orang duduk menunggui kailnya. Ikan-ikanpun sudah jarang bertandang. Tidak banyak aktivitas yang terlihat di pelabuhan hari itu. Bangunan dan gudang-gudang tua beraroma kopra dengan tembok yang diselimuti debu tebal dan cat yang telah mengelupas juga seakan tidak lagi berpenghuni. Seperti hari-hari sebelumnya dalam 35 tahun terakhir, pelabuhan yang dulunya adalah salah satu bagian penting dari penanda sejarah maritim nusantara itu, kini sepi.

---------------------------------------------------------------

Dalam suatu serial diskusi, sekelompok kecil orang muda Kota Donggala di paruh awal tahun 2004, terlontar beberapa pandangan tentang “siapa orang Donggala itu”. Dalam catatan panjang historis tentang kota ini “Orang Donggala” atau yang biasa disebut dalam bahasa lokal To Donggala'e, adalah denonim atau sebutan bagi penduduk yang berdomisili di kota Donggala. Sebutan bagi orang Donggala dengan kata To Donggala-e berbeda halnya dengan sebutan terhadap To Kaili atau To Wana yang jelas menunjuk pada salah satu etnis tertentu, To Kaili untuk orang dengan latar kultural etnis Kaili dan To Wana untuk orang dari etnis Wana.

1 Catatan dan manuskrip audio Diskusi Kaki Lima pada bulan Januari – April 2004 di Donggala

37

Page 46: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

38 Jalan raya di Donggala tahun 1901 (www.tropenmuseum)

Page 47: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Sebutan To' Kaili dan To Wana atau sebutan bagi komunitas etnis tertentu dengan mempergunakan kata To' tersebut, menunjuk orang perorang pada suatu komunitas etnis tertentu di daerah itu. Namun hal itu sangat berbeda pada sebutan To Donggala'e yang lebih merujuk pada sebutan untuk penduduk yang berdomisili di kota Donggala atau yang lahir di kota itu tanpa merujuk pada etnis tertentu.

Sebutan To Donggala'e juga memiliki kemir ipan dengan sebutan yang digunakan pada penduduk Rio De Janeiro yang menyebut diri mereka sebagai

2‘carioca’ , sebutan ini tidak merujuk pada masyarakat asli atau etnis tertentu, namun merupakan denonim bagi mereka yang lahir, berdomisili, dan menjadi warga kota itu. Denonim To Donggala'e ini seakan menegaskan keberagaman kultur masyarakat Donggala sekaligus menyatakan identitas mereka sebagai masyarakat urban.

Seperti lazimnya di banyak kota pelabuhan di nusantara, Donggala juga tumbuh sebagai kota dengan masyarakat multikultur, yang menjadi ciri khas kota-kota pelabuhan di pesisir. Keberagaman kultural itu tidak hanya terlihat dari pola interaksi sosial namun juga terbaca dalam penanda kultural lainnya, bentukan arsitektur.

2 http://id.wikipedia.org

39

Rumah Pangeran Kerajaan Banawa di Donggala tahun 1930an (www.tropenmuseum.nl)

Page 48: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Arsitektur Kawasan Pelabuhan Donggala

Berawal dari tambatan bagi perahu nelayan dan tempat persinggahan kapal-kapal tradisional untuk mengisi perbekalan air tawar, pelabuhan Donggala kemudian tumbuh dan berkembang menjadi salah satu pelabuhan penting di bagian timur nusantara. Kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru nusantara dan belahan dunia lainnya, melabuhkan sauh dan membongkar muatannya di pelabuhan ini. Aktifitas perdagangan dan interaksi sosial yang menyertainya lalu membentuk kultur urban Kota Donggala, kota di mana pelabuhan itu berada.

Persinggungan kultural kota ini dengan kota-kota lain di nusantara yang pernah menjalin perniagaan laut memberi pengaruh besar terhadap kehidupan sosial masyarakatnya. Intensitas yang tinggi dari persinggungan kultural kota ini dengan kota-kota pelabuhan lainnya di Selat Makassar dan kota lainnya di nusantara dan Asia, telah berlangsung jauh sebelum Spanyol dan Portugis tiba dan membangun koloni mereka di nusantara abad 15. Bentuk awal bangunan di pesisir pantai Donggala banyak dipengaruhi oleh bentukan arsitektur bangunan etnis Bugis dan Mandar yang berpanggung dan berdiri di atas tiang-tiang kayu panjang dengan atap berbentuk pelana. Bentukan arsitektur vernakular khas masyarakat pesisir ini masih bisa dijumpai di beberapa sudut kota

Donggala. Seperti halnya dengan kota-kota pesisir di Asia Tenggara dan nusantara, pengaruh besar lainnya terhadap kawasan pelabuhan Donggala juga berasal dari kebudayaan Arab dan Cina.

Ketika memasuki awal abad ke 20, kolonial Hindia Belanda memberikan pengaruh besar pula terhadap bentuk arsitektur, khususnya di kawasan pesisir nusantara dan banyak kota-kota pelabuhan tua di nusantara. Ketika seluruh kendali aktifitas ekonomi maritim di kawasan pelabuhan Donggala telah dikuasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, bangunan dan gudang-gudang bentuk arsitektur kolonial Hindia Belanda mulai dibangun. Bentuk dan gaya arsitektur Hindia Belanda tersebut kemudian diadaptasi dan mempengaruhi bentuk bangunan rumah dan gudang-gudang yang berada di sekitar kawasan pelabuhan Donggala.

Perahu layar di Pelabuhan Donggala 1930 (www.troppenmuseum.nl)

40

Page 49: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Ketika gerakan modernisme arsitektur bergerak di Eropa, di awal abad 20, nusantara menjadi semacam lahan (laboratorium) eksperimen munculnya arsitektur baru (Niuwe Bouwen). Pada tahun 1920 – 1940an, para arsitek Belanda yang bekerja di Indonesia mencoba melakukan inovasi-inovasi dalam seni bangunan, yang berbeda dari apa yang lazimnya dilakukan di negeri asal mereka yang beriklim

3subtropis.

Secara garis besar, arsitektur bangunan di nusantara di masa Hindia Belanda tersebut terbagi dalam dua langgam arsitektur, yaitu Ekletisme Eropa abad 19 dan Indo Eropa, langgam arsitektur yang mempertimbangkan kondisi sosial politik dan peka terhadap arsitektur lokal. Handinoto (1996:163) menyebutkan bahwa, bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada waktu yang bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah bentuk khas yang berlainan

4dengan arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri.

Ketika A.J.N. Engelenberg ditempatkan sebagai Asisten Residen Belanda pertama di Donggala, sebuah rumah dan kantor baginya dibangun di Gunung Bale. Rumah Asisten Residen tersebut adalah salah satu bentuk langgam arsitektur Indo Eropa.

Kantor Asisten Residen di Donggala tahun 1930 (www.tropenmuseum)

3 Martokusumo, Wijaya. Makalah: Arsitektur Kontemporer Indonesia, Perjalanan Menuju Pencerahan, 20074 http://www.iketsa.wordpress.com

41

Page 50: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Rumah Asisten Residen Donggala dan interior ruang dalamnya tahun 1930 (www.tropenmuseum.nl)42

Page 51: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bangunan yang terletak di atas bukit dengan pemandangan langsung ke arah kawasan pelabuhan dan Teluk Palu tersebut dipenuhi oleh elemen-elemen bangunan bercorak Belanda. Elemen arsitektur yang menjadi ciri dalam arsitektur kolonial Hindia Belanda (Handinoto, 1996:165-178) tersebut antara lain: a. Gevel (gable), dinding berbentuk segitiga pada tampak depan bangunanb. Tower, sebuah menara pada bagian bangunanc. Dormer, jendela pada atapd. Windwijzer, penunjuk arah angine. Nok acroterie, hiasan pada puncak atapf. Geveltoppen, (hiasan kemuncak atap depan)g. Ragam hias pada tubuh bangunan; danh. Balustrade, birai atau langkan.

Sayang sekali, bangunan ini ikut hancur tak bersisa ketika kota Donggala di bombardir saat terjadinya peristiwa Permesta, 28 April 1958.

Intensitas bongkar muat yang semakin tinggi di pelabuhan Donggala seiring dengan booming Kopra di tahun 1920 - 1939 yang mendorong pesatnya pertumbuhan ekonomi kala itu, juga mengubah secara signifikan wajah kawasan pelabuhan ini dan kota Donggala secara menyeluruh. Kopra yang menjadi komoditi utama perdagangan ekspor impor di pelabuhan Donggala menjadikan kawasan ini tumbuh dengan pesat. Gudang, toko-toko kelontong, warung makan, jalan, dan berbagai fasilitas publik mulai dibangun.

Keunikan dari arsitektur pada kawasan pelabuhan Donggala seperti halnya pada kebanyakan kota-kota pelabuhan lainnya di nusantara adalah bangunan yang menempel langsung pada jalan atau ruang

5terbuka/taman/plaza .

5 Guidelines Kota Tua. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Tahun 2007.

Jajaran toko kelontong di jalan Mutiara Donggala

43

Page 52: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Suasana Kota Donggala di tahun 1950an44

Page 53: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Di sekitar kawasan pelabuhan itu, paling tidak terdapat tiga bentuk dan tipologi bangunan antara lain:a. Bangunan toko kelontong milik masyarakat Tionghoa yang bergaya Cina Selatan dan campuran dengan

gaya kolonial Eropa yang berjajar di Jalan Mutiara.b. Bangunan masyarakat pribumi (Colonial Indische) yang berupa bangunan rumah panggung dengan tiang-

tiang kayu penyangga yang sebagian berada di permukaan laut.c. Bangunan modern Indonesia (International Style) seperti bangunan kantor Douane dan Kantor PT. Aduma

Niaga yang berada di dalam kawasan pelabuhan.

Pasca booming kopra, kolonial Belanda kemudian mendirikan Stichting Het Coprafonds dan kemudian membangun gudang-gudang penimbunan kopra untuk mengantisipasi lesunya harga kopra saat itu. Gudang penimbunan kopra yang dibangun pada kawasan pelabuhan Donggala adalah tiga unit bangunan berbentuk setengah silinder dengan seluruh konstruksinya terbuat dari besi dengan penutup seng. Bangunan ini masih dapat dijumpai walau kondisinya sudah dalam keadaan rusak dan sebagian telah dirubuhkan.

Berada tak jauh dari bangunan gudang setengah silinder tersebut juga terdapat Kantor Pusat Koperasi Kopra Daerah (PKKD) Donggala. Bangunan dengan bentuk tipologi arsitektur International Style ini adalah salah satu bentuk bangunan tropis yang unik dan khas. Bangunan dua lantai yang memiliki bukaan jendela yang cukup besar dan pintu depan dengan lengkungan pada bagian atas, adalah desain indah dari bangunan kolonial Eropa yang mengadaptasi kondisi tropis wilayah pesisir pantai Donggala. Keunikan dari bangunan ini adalah bukaan ventilasi menyeluruh pada lantai atas bangunan yang seakan memisahkan atap dengan dinding bangunannya.

Kantor Pusat Koperasi Kopra Daerah (PKKD) Donggala

45

Page 54: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bangunan yang kini rusak tak terawat itu masih menyisakan keindahan bentukan arsitekturnya di masa lampau. Bentuk arsitektur bergaya Hindia Belanda juga ditemui pada bangunan rumah peninggalan Koninklijk Paketvaart Maatscappij (KPM) yang berada di tengah kota Donggala. Bangunan dengan dengan atap sirap berbentuk perisai yang tinggi dan bukaan jendela yang besar, saat ini juga dalam kondisi rusak dan tidak terawat. Tepat di depan bangunan rumah itu, juga terdapat sebuah taman berbentuk segitiga dan sebuah street furniture yang berada di sudut tanjakan jalan menuju ke Gunung Bale.

Gaya dan tipologi arsitektur warisan kolonial Belanda yang berbeda juga dapat dijumpai pada beberapa peninggalan rumah penduduk di kota Donggala, antara lain pada Rumah Dinas PT. Bank Mandiri, Rumah Keluarga Husen Bachrak, Rumah Keluarga Mohsen Rivai dan lain-lain.

Berikut ini adalah beberapa peninggalan arsitektur, artefak dan city heritage di Kota Donggala yang di 6klasifikasikan dalam dua bentuk tinggalan sejarah .

Rumah peninggalan Koninklijk Paketvaart Maatscappij (KPM) di tengah kota Donggala

I. Bangunan Tinggalan Sejaraha. Bangunan Transportasi

- Dermaga Pelabuhan Donggala dan sarana penunjangnya

- Dermaga Tanjung Perak PKKDb. Bangunan Perkantoran

- Kantor Douane- Kantor Pusat Koperasi Kopra Donggala

(PKKD)

- Kantor Bank BNI- Kantor Bank BDN- Kantor ORPOL- Kantor Pos- Gedung Kantor PT. Aduma Niaga (Eks

Gedung Borneo Sumatra, Maatschappij-Bursumij)

6 Mansur, Fathurrahman. Konservasi dan Revitalisasi Bangunan Lama di Lingkungan Kota Donggala. Majalah Ilmiah Mektek, Tahun VIII No. 2 Mei 2006.

46

Page 55: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

c. Bangunan Perbelanjaan- Pasar Tua Donggala- Front Toko di Jalan Mutiara

d. Tempat Ibadah- Masjid Raya Donggala- Masjid An-Nur Km. 2 Maleni- Surau/Langgar Arab Attaqwa- Mushallah Al-Amin- Mesjid Istiqomah Labuan Bajo- Mesjid Raodhatul Jannah Tanjung Batu- Mesjid Assabirin Maleni- Gereja GPID Efrata- Gereja Pantekosta Jemaat Agape- Gereja Santo Petrus Bukit Maria

e. Bangunan Rumah Tinggal- Rumah Asisten Residen A.J.N. Engelenberg- Rumah Tujuh- Mess Asisten Wedana- Rumah Peninggalan KPM- Rumah Panggung Keluarga Aldjufri- Rumah Keluarga Umar Haruna- Rumah Keluarga Mochsen Rivai- Rumah Keluarga Husen Bachrak- Rumah Keluarga Umar Landeng- Rumah Keluarga Passamalangi- Rumah Dinas PT. Bank Mandiri

f. Bangunan Pendidikan- Sekolah YPPI- Sekolah Mualimin Muhammadiyah

- Sekolah Alkhairaat- SMPN 1- SGA- Eks Chung Hoa School (Sekolah Cina)- SD Inpres Bertingkat

g. Bangunan Pariwisata- Menara Suar - Radio Pantai- Kompleks Kuburan Tua- Makam Raja Banawa- Kompleks Pekuburan Cina

h. Bangunan Gudang- 3 Unit Gudang Silindris- Gudang-gudang Eks KPM di kompleks

Pelabuhan Donggala

II. Ruang Terbuka dan Interaksi Sosial- Taman Segitiga Telkom- Taman Segitiga KPM- Lanskap Kebun Jati- Street Furniture Polsek Donggala- Street Furniture Labuan Bajo- Ruang Terbuka Pantai Tanjung Karang- Hutan Mangrove Lampong- Alun-alun Olah Raga Persido- Alun-alun Olah Raga Kabonga Kecil- Alun-alun Olah Raga Kelurahan Ganti- Ruang Terbuka Kawasan Pelabuhan Donggala

47

Page 56: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

City heritage di kawasan pelabuhan Donggala yang tersisa saat ini sebagian besar dalam keadaan tidak terawat dan lapuk dimakan usia. Sebagian besar toko-toko kelontong dan gudang-gudang telah kosong ditinggalkan penghuninya. Penanda-penanda sejarah keemasan kota pelabuhan ini satu persatu mulai menjadi puing, menghilang atau digantikan oleh bangunan-bangunan baru.

Pelabuhan Donggala Riwayatmu Kini

Tonggak-tonggak kayu ulin berwarna kehitaman yang telah ditumbuhi karang masih menyembul dipermukaan laut itu adalah bagian yang tersisa dari Dermaga Tanjung Perak. Dermaga tertua yang jaraknya tak jauh dari pelabuhan Donggala. Muara sungai yang membelah kota pelabuhan ini menjadi pemisah bagi kedua dermaga bersejarah tersebut. Muara yang dulunya adalah tambatan bagi perahu-perahu nelayan kini juga telah sepi seiring dengan pendangkalannya. Di kawasan dermaga tua inilah berdiri tiga gudang berbentuk silinderis dan sebuah bangunan bekas kantor Coprafonds yang kemudian berganti nama menjadi Pusat Koperasi Kopra Daerah (PKKD) Donggala.

Beberapa bagian dari kompleks ini masih digunakan oleh para nelayan untuk menambatkan perahu-perahu mereka. Demikian juga dengan salah satu gudang silinderis –yang tertinggal hanya separuhnya saja, juga masih digunakan oleh para nelayan merakit bagang bambu, serupa keramba yang diletakkan di tengah laut. Halaman dermaga ini juga terkadang digunakan untuk menjemur tangkapan ikan dan teripang serta kakao.

Pada sudut lain dari dermaga tua ini berdiri sebuah galangan kapal rakyat yang saat ini masih memproduksi kapal-kapal kayu penangkap ikan berukuran kecil. Selain itu, tidak banyak lagi aktifitas di dermaga yang dulunya ramai disinggahi kapal dan riuh buruh-buruh pengangkut kopra..

Dermaga Tanjung Perak ini adalah salah satu saksi bisu peristiwa pengeboman yang dilakukan oleh pesawat AUREV milik Permesta yang menenggelamkan 5 kapal milik Pemerintah Republik Indonesia yang sedang berlabuh kala itu. Salah satu dari kelima kapal yang karam tersebut sedang tertambat di dermaga ini.

Kondisi gudang silinderis PKKD Donggala saat ini

48

Page 57: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Di masa lampau, denyut nadi perekonomian masyarakat Kota Donggala sangat bergantung pada aktifitas ekonomi maritim di Pelabuhan Donggala yang letaknya berdekatan dengan dermaga tua Tanjung Perak tersebut. Namun, bagi sebagian masyarakat Donggala, Pelabuhan Donggala itu tidak hanya sebatas tumpuan ekonomi, namun telah menjadi bagian dari jati diri, penanda kultural, dan kebanggaan kolektif mereka. Pelabuhan Donggala merupakan cara menyatakan diri dengan realitas di luar mereka. Kini ada sedikit harapan berdenyutnya kembali nadi perekonomian di Kawasan Pelabuhan Donggala yang saat ini dalam tahap pengembangan.

Kawasan Pelabuhan Donggala sebagai Cagar Budaya

Bentukan arsitektur di Kawasan Pelabuhan Donggala yang berasal dari masa lalu yang terdiri dari bangunan-bangunan kantor, gudang, dan jajaran toko serta berbagai fasilitas penunjang lainnya memiliki peran penting dalam merangkai dan menghubungkan sejarah Kota Donggala dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Kawasan Pelabuhan Donggala adalah bagian wilayah yang tidak terpisahkan dari rencana menyeluruh Kota Donggala.

Di dalam kawasan pelabuhan yang memanjang di sebagian pesisir Kota Donggala ini berisi tinggalan sejarah dan warisan arsitektur kota tua berupa bangunan-bangunan yang harus dilestarikan keberadaannya. Di sekitar kawasan pelabuhan itu, juga terdapat banyak warisan sejarah kota yang menjadi bagian tidak terpisahkan. Bangunan gudang, toko-toko kelontong, rumah tinggal, pasar tua, dan beberapa fasilitas publik lainnya menjadi penunjang yang tidak kalah pentingnya untuk dilestarikan pula.

Menata Kawasan Pelabuhan Donggala sebagai Cagar Budaya membutuhkan panduan khusus yang disesuaikan dengan karateristik, peruntukan dan fungsi serta pemanfaatannya, khususnya bangunan dan fasilitas yang ada dalam kompleks pelabuhan.

Kantor Douane di kawasan Pelabuhan Donggala

49

Page 58: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Bangunan-bangunan berarsitektur Indo Eropa di kawasan Pelabuhan Donggala50

Page 59: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Hampir keseluruhan bangunan dan fasilitas penunjang yang berada di kawasan Pelabuhan Donggala telah berusia lebih dari setengah abad dan bahkan beberapa di antaranya telah berusia lebih dari satu abad. Mengacu pada UU No. 11 Tahun 2011 Tentang Cagar Budaya7, seluruh kawasan Pelabuhan Donggala memenuhi seluruh kriteria untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Bangunan-bangunan yang ada dalam kawasan ini adalah penanda sejarah penting, tidak hanya bagi Kota Donggala dan Provinsi Sulawesi Tengah, namun juga bagian dari sejarah kemaritiman bangsa Indonesia.

Langkah awal yang dapat dilakukan dalam menetapkan kawasan Pelabuhan Donggala sebagai kawasan cagar budaya adalah mendata dan mendokumentasikannya kembali. Kawasan Pelabuhan Donggala memiliki begitu banyak situs cagar budaya yang berada di sekelilingnya yang meliputi hampir seluruh wilayah di kota tua Donggala. Sebagai lanskap bentukan manusia yang telah berusia berabad-abad, beberapa fungsi ruang dari kawasan ini di masa lampau sampai saat ini masih lestari dan digunakan.

Menjadikan kawasan pelabuhan Donggala sebagai kawasan cagar budaya, diperlukan langkah dan tindakan penyelamatan, pengamanan, membuat zonasi, memelihara, dan melakukan pemugaran situs, bangunan dan fasilitas yang ada dalam kawasan tersebut. Langkah selanjutnya adalah melestarikan nilai-nilai warisan kota tersebut dan atmosfir sejarah kemaritiman yang ada di kawasan pelabuhan ini.

Di masa yang akan datang kawasan Pelabuhan Donggala dapat di kelola menjadi cagar budaya yang memiliki manfaat sosio-ekonomi jangka panjang melalui pengelolaan pariwisata secara berkelanjutan yang bermanfaat bagi masyarakat dan wilayah di sekitarnya.

7 http://www.djpp.depkumham.go.id

51

Page 60: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Gudang silinderis yang berada di dermaga Tanjung Perak Donggala52

Page 61: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Donggala dalam Linimasa

Catatan tertua tentang Donggala ditemukan dalam sumber-sumber Cina sebelum abad 15 yang ditulis oleh J. V. Mills dan disunting Marcell Bonet di buku Chinese Navigation (1965). Sejak tahun 1430 Donggala sudah dikenal sebagai pelabuhan yang memperdagangkan hasil bumi kopra, damar, dan kemiri, juga ternak sapi.

Traktat Banawa. VOC meminta penyerahan emas, adalah kerajaan Kajeli (Kaili) di bawah koloni kerajaan Ternate lalu Gowa, dan diserahkan pada Bone (Bugis) pasca perjanjian Bongaya 1669.

Teluk Palu yang dikuasai Ternate diusulkan VOC diawasi oleh Gubernur Belanda di Makassar.

VOC bersama pelaut Mandar meminta izin ke Bone (Bugis) untuk merebut pengaruh di perairan Teluk Palu.

Gubernur Makassar minta Bone amankan Teluk Palu dari bajak laut.

VOC usulkan bangun menara api (mercusuar) di Banawa.

Komoditi kopi yang pernah jadi primadona setelah kebijakan tanam paksa Belanda itu dimulai di Minahasa pada tahun 1822 dan lalu hidup di

1430

1667

1707

1733

1735

1763

daerah-daerah pedalaman dan di ketinggian di Sulawesi Tengah sebagai hinterland Donggala, menjadikan pelabuhan Donggala pada tahun 1856 menjadi pintu keluar bagi ekspor komoditi tersebut.

Belanda tundukkan Bone. Van Der Capellen datang ke Sulawesi. Banawa berada di bawah karesidenan Manado lalu Makassar. Teluk Palu didatangi kapal perang Kourier di bawah pimpinan Letnan Verteer.

Raja Banawa 1, Sanga Lea Daeng Paluna berkonflik dengan pedagang/pelaut Bugis.

7 Juli 1854. Banawa takluk oleh Belanda dengan kapal perang.

Oktober 1856. Raja Banawa teken korte verklaring dengan Belanda.

2 orang Belanda terbunuh dan memicu konflik. Teluk Palu dikepung kapal perang Reinier Claeszen.

Sejak tahun 1883 hingga tahun 1958. Di rentang waktu yang panjang itu, kopra telah menjadi kekuatan ekonomi regional yang mengalami masa-masa fluktuatif: menjadi booming karena ekspansi penjualan dan harga, dan masa ketika kopra mengalami kontraksi hingga tahun 1958 sebelum pada akhirnya lesu.

1822

1856

1854

1843

1860

1883

1824

53

Page 62: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

2 Mei 1888. Belanda melantik Raja Banawa 2, La Makagili Tomaidoda, memicu kerusuhan di Tolitoli dan Mamuju tentang batas wilayah kerajaan.

April 1888. Akibat kerusuhan itu, Belanda membuat lange contract pembukaan jalur 14 KPM, singgah sekali dalam dua minggu. Jalur pelayaran kapal uap perusahaan Belanda yang sahamnya dikuasai swasta, Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) itu untuk menghubungkan lalu-lintas perdagangan antara dua pusat, Makassar di selatan dan Manado di utara –selain melegitimasi kekuasaan Belanda di masa itu bagi tata niaga perdagangan (kopra) dan juga atas Selat Makassar.

Penduduk Donggala pada tahun 1892 dalam catatan Muller telah berada di angka 35.061 jiwa yang terdiri atas Laki-laki 17.803 jiwa, perempuan 17.258 jiwa, dari 37 kampung di sepanjang pantai barat hingga Banawa. Warga Eropa yang terdata dalam catatan itu 28 jiwa laki-laki dan 22 perempuan. Sedangkan etnis Tionghoa ada 363 laki-laki dan 183 perempuan.

18 Mei 1897. La Makagili Tomaidoda teken kontrak konsesi pertambangan.

23 Juni 1904. Belanda membangun menara api sebagai tempat kontrol pelayaran di Pulau Toguan dan Bone Oge.

Fase politik etis (1905 - 1930)

1 April 1907 - 1 April 1908. Kebijakan tol pelayaran, konsesi lahan, dan penjualan dan impor candu dan garam.

Terlebih bagi Makassar dan Manado, dua wilayah yang ditetapkansebagai Celebes residensi –oost (selatan) dan midden (tengah) oleh Belanda pada tahun 1903 - 1918, dua wilayah yang kemudian membentuk struktur hierarkis pemerintah kolonial menjadi afdeeling, onderafdeling, hingga landschap.

Kota Donggala menjadi tempat asisten residen pertama Belanda A.J.N. Engelenberg sejak 28 Agustus 1903.

Setahun sejak 1 April 1907 sampai dengan 1908 kebijakan tol pelayaran diberlakukan oleh Belanda sebagai tata niaga perdagangan laut dan pengaturan arus lalu-lintas perkapalan yang menghubungkan Donggala dengan wilayah lainnya di perairan Selat Makassar.

Pembangunan pabrik minyak Hindia Belanda, Oliefabrieken Insulinde (OFI) di Makassar tahun 1913

Mei 1917. HOS Tjokroaminoto datang ke Donggala dalam pertemuan massa kader PSII. Disambut Rohana, anak raja.

Booming Kopra (1920-1939). Sepanjang tahun 1920-1939 nusantara mensuplai 29 persen kebutuhan kopra dunia.

1888

1904

1907

1917

1920

1905

1913

1892

1897

54

Page 63: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Guru Tua membuka madrasahnya di Palu pada 11 Juni 1930. Syarikat Islam telah hadir di Donggala sejak 1916 oleh HOS Tjokroaminoto, menyusul Muhammadiyah oleh Buya Hamka pada tahun 1934.

Dalam catatan A. Ph. Van Aken (1932) dan Tammes (1949), ratusan ribu ton kopra dihasilkan sebagai komoditi ekspor. Kopra-kopra itu terbesar datang dari dua sentra wilayah penghasil, Sangir dan Donggala, di masa booming kopra di awal ketika abad 20 baru saja berjalan tiga dasawarsa.

Kehadiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka di Donggala pada rentang waktu antara tahun 1932 sampai dengan 1934

Februari - April 1933. Sekolah Muhammadiyah dibuka di Donggala (di Wani dan Banawa) oleh Lacanda dan Achmad Marzuki.

Pasca booming kopra yang ditandai lesunya harga kopra dunia, pada 13 September 1940, Belanda mendirikan Stichting Het Coprafonds (Dana Kopra), tata niaga kopra yang bertugas memborong dan menimbun kopra dari petani untuk mengendalikan harga kopra.

Warung kopi Nagaya telah berjualan sejak tahun 1950

Dalam persentase, Donggala –meliputi Palu, Sigi, Parigi yang saat itu masih menjadi bagiannya, menjadi daerah dengan produksi kopra tertinggi di Sulawesi Tengah (13,01 persen) selama tahun 1952

1967

1940

1969

1956 Dalam data statistik Jawatan Penerangan Republik Indonesia Kabupaten Donggala yang terbit pada tahun 1956, produksi kopra di Lembah Palu, salah satu dari sekian kantong wilayah produksi kopra Donggala, di rentang tahun 1905 sampai dengan tahun 1942 terdapat 5.990 hektar kebun kelapa yang setiap satu hektar memuat kurang lebih 1.000 pohon kelapa. Ada kurang lebih 599.000 pohon kelapa yang setiap pohon kelapa diperkirakan dapat memproduksi 6.000 biji kelapa atau kira-kira 1,2 ton kopra per tahun.

2 Maret 1957. Piagam Permesta diproklamirkan di Makassar.

28 April 1958, Pelabuhan Donggala menjadi saksi bagi pergolakan politik Permesta itu. Sebuah pesawat pembom AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) Permesta yang diawaki Letnan Satu Penerbang Allan Lawrence Pope meluluhlantakkan Donggala untuk kali pertama.

Program transmigrasi mulai dilaksanakan sejak tahun 1962.

Pembangunan gedung Douane milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dimulai pada 11 Desember 1967 dan mulai digunakan pada 31 Maret 1969.

Data statistik di tahun 1969 malah menunjukkan peningkatan produksi kopra Donggala. Proyeksi angka yang dikeluarkan kantor Sensus dan Statistik di Bumi Njiur Palu mencatat, per bulannya Donggala

1962

1957

1958

1930

1933

1932

1950

1952

55

Page 64: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

memproduksi kopra sebanyak 2.500 ton, yang dalam setahun mencapai 30.000 ton, lebih besar dari 3 kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah di masa itu Poso, Banggai, dan Buol Tolitoli. Terdapat juga 20 pabrik pengolahan minyak kelapa di tahun 1969 dari dampak tingginya angka produksi kelapa Donggala

Tahun 1971. Studi kelayakan pembangunan Pelabuhan Pantoloan telah dimulakan oleh PT. Asa Enginering Jakarta melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Republik Indonesia.

Donggala dalam laporan statistik yang terbit pada tahun 1971 memiliki 16 kecamatan dan 357 desa

Inisiasi pembangunan pelabuhan baru di Pantoloan yang terletak di seberang Pelabuhan Donggala dimulakan pada tahun 1975 dan diresmikan pada tahun 1978, dan pada tahun 1985 diserahterimakan operasionalnya.

2 Mei 1978. Pembangunan pelabuhan Pantoloan selesai dilaksanakan dan diresmikan oleh Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin

Palu yang berkembang menjadi kota administratif pada tahun 1978 dan menjadi kotamadya pada tahun 1994, adalah salah satu wilayah kecamatan di Donggala dengan jumlah penduduk signifikan dari kecamatan-kecamatan lain di 4 kabupaten di Sulawesi Tengah saat itu yang terdiri dari Donggala, Banggai, Poso, dan Buol Tolitoli.

1971

1975

1978

Landskap Donggala 1905 (Foto: A.A. Person - www.tropenmuseum)

56

Page 65: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Daftar Pustaka

Buku

Asba, A. Rasyid. Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Cool, Thomas. Correspondentie en nota's afkomstig van ing. Thomas Cool (1921-), weg- en waterbouwkundige in Indië, Indonesië en Nieuw-Guinea, haven beheerderte Menado en Makassar, met foto's, tekeningen, schetskaarten en blauwdrukken. 1945-1955, 2000, KITLV-inventaris 138.

Gonggong, Anhar dkk. Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Palu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, 2005.

Hamka, Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, N.V. Nusantara Bukit Tinggi, 1966.

Henley, David. Fertility, Food, and Fever, Leiden, KITLV. 2005.

Kantor Sensus dan Statistik Propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah dalam Angka Tahun 1970, Bumi Njiur – Palu, Biro Pusat Statistik, Djanuari 1971.

Koolhof, Sirtjo. I La Galigo Jilid I, Jakarta, Penerbit Djambatan dan KITLV, 1995.

Kruyt, Albert Christian. De West Toradja op Midden Celebes, Amsterdam, N. V. Noord-Hollandsche, 1938.

Lamarauna, Andi Mas Ulun La Parenrengi. Sejarah Singkat Pembentukan Kabupaten Donggala, Palu, Yayasan Pudjananti, 2006.

Lapian, Adrian Bernard. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009.

Lapian, Adrian Bernard. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17, Jakarta, Komunitas Bambu, Agustus 2008.

57

Page 66: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Li, Tania Murray. The Will to Improve Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia, Tangerang Selatan, Marjin Kiri, 2012.

Masyhuda, Masyhuddin H. (1935-2000), dalam kumpulan puisi Dari Kuala Hingga Samudra, Makassar, De La Macca, Oktober 2012.

Miller, George. Indonesia Timur Tempoe Doeloe 1544-1992, Jakarta, Komunitas Bambu, 2012.

Prabantoro, Putut. 1511 Lima Ratus Tahun Kemudian, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Sadi, Haliadi (editor). Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, Yogyakarta, Pilar Media, Nopember 2009.

Turner, Jack. Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme, Jakarta, Komunitas Bambu, 2011.

Karya Ilmiah

Apipah, Dinamika Muhammadiyah di Donggala 1934-1991, Palu, skripsi FKIP Untad, 2002.

Guidelines Kota Tua. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Tahun 2007.

Hassan. Migrasi Orang Bugis ke Lembah Palu Dalam Perspektif Sejarah (1905 – 1980), Jurnal Gagasan No. 21, tahun IX – Juli 1994.

Junarti. Elit dan Konflik Politik di Kerajaan Banawa Sulawesi Tengah 1888-1942, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada (tesis), 2001.

Martokusumo, Wijaya. Makalah: Arsitektur Kontemporer Indonesia, Perjalanan Menuju Pencerahan, 2007.

Mansur, Fathurrahman. Konservasi dan Revitalisasi Bangunan Lama di Lingkungan Kota Donggala. Majalah Ilmiah Mektek, Tahun VIII No. 2 Mei 2006.

Wahyono, Effendi. Minahasa dalam Jaringan Perdagangan Kopra di Hindia Belanda 1900-1941, Titik Balik Historiografi di Indonesia, Jakarta, Wedatama Widya Sastra dan Departemen Sejarah FIB UI, 2008.

58

Page 67: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Website

http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Saragosa

http://inaport4.co.id/?p=36#

http://education-vionet.blogspot.com/

http://www.dekindo.com/media.php?artikel=1

http://en.wikipedia.org/wiki/Allen_Lawrence_Pope

http://www.iketsa.wordpress.com

http://www.djpp.depkumham.go.id

59

Opsir Belanda di Donggala sekitar tahun 1930an (www.tropenmuseum.nl)

Page 68: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Pantai Donggala tahun 1937 (Cense A.A. - www.tropenmuseum.nl)

60

Page 69: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa
Page 70: Pelabuhan Donggala: dulu, kini, dan nanti | Mohamad Isnaeni & Zulkifly Pagessa

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Donggala

d/a: Kompleks Perkantoran Kabupaten Donggala, Gunung Bale, Donggala