pbl blok 18 sistem respirasi ii
DESCRIPTION
PPOKTRANSCRIPT
Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Dewasa
Andy Santoso Hioe
102011314
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no.6 - Jakarta Barat
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi terpadat di dunia. Dengan
populasi yang banyak, rakyat Indonesia banyak mengalami masalah-masalah kesehatan, salah
satunya penyakit pernapasan. Polusi udara, asap rokok, pajanan terhadap bahan-bahan yang
berhubungan dengan pekerjaan dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada manusia.
salah satu penyakit pernapasan yang ada adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
PPOK merupakan penyakit paru dimana terjadi sumbatan pada jalan napas yang berlangsung
lama. Terdiri dari empat penyakit yaitu asma bronkialee, bronkiektasis emfisema, dan
bronkitis kronis. Pada tinjauan pustaka ini penulis akan menjelaskan PPOK.
Anamnesis
Dalam anamnesis pasien dengan gangguan pernapasan dilakukan wawancara terhadap
identitas pasien terlebih dahulu seperti nama lengkap pasien, umur, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, agama, dan alamatnya. Tanyakan keluhan utama pasien datang berobat ke dokter
dan sudah berapa lama keluhan utama ini terjadi.1,2
Pada riwayat penyakit sekarang, tanyakan pada pasien pertanyaan-pertanyaan seperti:3
o Sudah berapa lama pasien merasa sesak napas ?
o Kapan pasien merasa sesak napas : saat istirahat atau aktivitas ? (gunakan skala
sesak napas dan keluhan menurut aktivitas, dapat dilihat pada Tabel 1)
o Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas ?
o Berapa jauh pasien dapat berjalan ?
o Apakah pasien batuk ? Jika ya, adakah sputum, berapa banyak, dan apa
warnanya?
1
o Apakah terdapat mengi ? Jika ya, kapan ?
o Berapa lama pasien mengalami keadaaan seburuk ini ?
o Kira-kira apa pemicunya ?
o Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring?
o Pernahkah pasien mendapat ventilasi ?
o Pernahkah pasien di rawat di rumah sakit ? (Jika ya, berapa hasil spirometri dan
gas darah awal )
Tabel 1 .Skala sesak dan Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas4
Skala Arti Skala
Skala 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
Skala 1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga satu
tingkat
Skala 2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
Skala 3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
Skala 4 Sesak bila mandi atau berpakaian
Pada riwayat penyakit dahulu, tanyakan pada pasien pertanyaan-pertanyaan seperti:1-3
o Tanyakan kondisi pernapasan terdahulu (misalnya asma, TB, karsinoma bronkus,
bronkiektasis, atau emfisema)
o Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan lain
o Pernahkah ada episode pneumonia ?
o Tanyakan gejala apnoe saat tidur (mengantuk di siang hari, mendengkur).
o Adakah kemunduran dimusim dingin ?
o Apakah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya ? Jika ya, apakah sudah
berobat ke dokter dan apa diagnosisnya serta pengobatan yang diberikan ?
Riwayat obat-obatan perlu ditanyakan pula untuk mengetahui sampai dimana
perkembangan pasien dan dapat mengetahui efek-efek yang diberikan oleh obat yang
diminum oleh pasien. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan sebagai berikut: 1-3
o Tanyakan respons pasien terhadap kortikosteroid, nebulizer, oksigen dirumah ?
2
o Apakah pasien menggunakan oksigen di rumah ? Jika ya, selama berapa jam
sehari digunakan ?
Riwayat Status Sosial Ekonomi1-3
Menanyakan :
o Bagaimana riwayat pekerjaan pasien ?
o Adakah riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga ?
o Dimana kamar tidur/kamar mandi pasien, dan sebagainya ?
o Siapa yang berbelanja, memasak, mencuci dan sebagainya ?
Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan1-3
Adakah riwayat merokok pasien, jika ada tanyakan berapa bungkus perhari ?
Bagaimana keadaan lingkungan rumah maupun pekerjaannya? Apakah sering
terpapar dengan zat-zat yang bersifat allergen?
Bagaiman hygieni pribadi?
Bagaimana rumahnya? Apakah cukup ventilasi?
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien dengan gangguan pernapasan perlu diketahui status tanda-tanda vital
pasien, pemeriksaan paru meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tekanan darah,
temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan tingkat keparahan penyakit.
Seorang pasien dengan sesak napas dengan tanda-tanda vital normal biasanya hanya
menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya
perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita gangguan akut yang memerlukan
evaluasi dan pengobatan segera.3-5
Temperatur di bawah 35°C atau diatas 41°C atau tekanan darah sistolik dibawah
90mmHg menandakan keadaan gawat darurat.
Pulsus paradoksus-pada fase inspirasi terjadi peningkatan tekanan arterial lebih besar
dari 10mmHg-tanda ini bermanfaat dalam menentukan adanya kemungkinan udara
terperangkap (air trapping) pada keadaan asma dan PPOK eksaserbasi akut. Ketika
obstruksi napas memburuk, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi membaik,
pulsus paradoksus menurun.
3
Frekuensi napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan hipoventilasi dan
kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebih dari 35 kali/menit menunjukkan
gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum
otot-otot napas menjadi lelah dan terjadi gagal napas.
Pada pemeriksaan fisik paru dilakukan pemeriksaan dada bagian anterior dan dada
bagian posterior. Pemeriksaan harus urut dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. 3-5
1. Inspeksi3-5
Amatilah bentuk dada pasien dan gerakan dinding dada Perhatikan adanya deformitas
atau asimetri, retraksi abnormal ruang sela iga bawah pada saat inspirasi,
tertinggalnya atau terganggunya bagian dada yang bersifat lokal pada gerakan
respirasi.
2. Palpasi3-5
Palpasi memiliki empat manfaat yang potensial yaitu :
Identifikasi daerah-daerah yang nyeri ketika ditekan.
Penilaian terhadap abnormalitas yang terlihat.
Penilaian lebih lanjut terhadap ekspansi dada.
Penilaian fremitus taktil.
3. Perkusi3-5
Lakukan perkusi pada bagian anterior dan lateral, serta posterior, dengan
sekali lagi membandingkan kedua sisi dada. Jantung dalam keadaan normal akan
menghasilkan daerah redup di sebelah kiri os sternum dari sela iga ke-3 hingga ke-5.
Lakukan perkusi paru kiri di sebelah lateral daerah redup ini. Kenali dan tentukan
lokasi setiap daerah dengan bunyi perkusi yang abnormal.
Dengan jari pleksimeter Anda berada di atas dan sejajar dengan daerah yang
diperkirakan sebagai batas atas pekak hati tepi bawah, lakukan perkusi dengan
langkah-langkah progresif ke arah kanan bawah pada linea midclavicularis kanan.
4. Auskultasi3-5
Auskultasi paru merupakan teknik pemeriksaan yang paling penting dalam menilai
aliran udara melalui percabangan trakeobronkhial. Auskultasi meliputi :
mendengarkan bunyi yang dihasilkan pernpasan, mendengarkan setiap bunyi
tambahan, dan jika terdapat kecurigaan akan abnormalitas, mendengarkan bunyi yang
ditimbulkan oleh suara atau bisikan pasien ketika suara tersebut ditransmisikan
melalui dinding dada. Bunyi napas paru yang normal adalah vesikuler atau pelan dan
4
bernada rendah, bronkovesikuler dengan bunyi inspirasi dan ekspirasi yang lebih
kurang sama panjangnya, dan bronkiale atau bunyi yang keras dan bernada lebih
tinggi.
Dengarkan dada di sebelah anterior dan lateral ketika pasien melakukan
pernapasan dengan mulut terbuka yang agak lebih dalam daripada pernapasan normal.
Bandingkan daerah-daerah paru yang simetris, dengan menggunakkan pola yang
dianjurkan untuk perkusi dan lanjutkan pemeriksaan auskultasi ini ke daerah-daerah
sekitarnya sebagaimana diperlukan.
Dengarkan bunyi pernapasan dengan memperlihatkan intensitasnya dan
mengenali setiap variasi dari pernapasan vesikuler yang normal. Biasanya bunyi
pernapasan lebih keras pada lapang paru anterior atas. Bunyi pernapasan
bronkoversikuler dapat terdengar pada salurang napas yang besar, khusunya pada sisi
sebelah kanan.
Kenali setiap bunyi tambahan, tentukan waktu terdengarnya dalam siklus
respiratory, dan tentukan lokasi bunyi tersebut pada dinding dada. Apakah bunyi
tambahan menghilang pada saat pasien bernapas dalam?
Secara umum pada pemeriksaan fisik penderita PPOK dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut: 3-5
1) Inspeksi3-5
a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)
c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas
d) Pelebaran sela iga
2) Perkusi3-5
a) Ditemukan suara hipersonor
3) Palpasi3-5
a) Pada umumnya normal jarang sekali ditemukan pembesaran organ-organ.
4) Auskultasi3-5
a) Fremitus melemah,
b) Suara napas vesikuler melemah atau normal
c) Ekspirasi memanjang
d) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
e) Ronki
5
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakan
diagnosis, antara lain :
1) Tes Fungsi Paru
PPOK ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume ekspirasi paksa dalam 1
detik < 80% nilai yang diperkirakan, dan rasio FEV1 : kapasitas vital paksa < 70 %. Laju
aliran ekspirasi puncak menurun. Obstruksi saluran napas hanya reversible sebagian bila
diterapi dengan bronkodilator (atau obat lain).5-6
2) Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada dapat menggunakan APE
meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%
nilai awal dan < 200 ml. 5-6
3) Pemeriksaan Radiologi (Foto Thorax)
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan
tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit
paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. Seperti : 5-6
a) Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan
garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang
bertambah. 5-6
b) Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan gambaran
diafragma yang rendah dan mendatar, penciutan pembuluh darah pulmonal, serta
gambaran jantung tampak lebih kecil (jantung menggantung : Jantung pendulum / tear
drop / eye drop appearance.) 5-6
4) Analisis Gas Darah
Harus dilakukan apanila ada kecurigaan gagal napas dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik. 5-6
5) Computed Tomography
Dengan cara menggunakan computer olahan sinar X untuk menghasilkan gambar
tomografi atau potongan dari daerah tertentu pada tubuh. Computed Tomography ini
digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Dengan bantuan computed tomography ini
kita dapat memastikan adanya bula emfisematosa. 5-6
6
6) Uji Provokasi Bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan. 5-6
7) Mikrobiologi Sputum
Digunakan untuk pemilihan antibiotoka (bila terjadi eksaserbasi). 5-6
Diagnosis
Working Diagnosis
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif yang bersifat non
reversibel atau reversibel parsial.1,5
Differential diagnosis
Bronkiektasis
Bronkiektasis merupakan infeksi kronik dengan nekrosis pada bronkus dan bronkiolus
yang menyebabkan dilatasi permanen yang abnormal pada saluran napas ini.7 Bronkiektasis
juga dapat dikatakan adalah kelainan morfologis yang terdiri dari; pelebaran bronkus yang
abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muskular dinding
bronkus. Bronkiektasis diklasifikasikan dalam bronkiektasis silindris, fusiform, dan kistik
atau sakular.
Etiologi dari bronkiektasis secara umum adalah:7
1. Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia yang
sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan
komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis
paru, dan sebagainya. Penyebab infeksi tersering adalah H. influenza dan P.
aeruginosa.
2. Kelainan Herediter atau Kelainan Kongenital
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak dalam kandungan. Faktor genetik atau
faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting. Biasanya
7
memiliki ciri mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau dua paru.
Biasanya disertai dengan penyakit kongenital lainnya.
3. Obstruksi Bronkus
Obstruksi yang dimaksud seperti karsinoma bronkus dan tekanan dari luar lainnya
terhadap bronkus.
Secara epidemiologi, prevalensi terjadinya bronkiektasis saat ini sudah sangat
menurun. Secara umum, penyakit ini semakin berkurang seiring dengan ditemukannya terapi
antibiotic yang tepat.5
Patofisiologi dari bronkiektasis dimulai dari infeksi merusak dinding bronkiale,
menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang
akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkiale menjadi teregang secara permanen
akibat batuk hebat, infeksi melebar sampai ke peribronkiale, sehingga dalam kasus
bronkiektasis sekular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang
eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Brokiektasis biasanya setempat, menyerang
lobus segmen paru. Lobus yang paling bawah sering terkena.8
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan
alveoli disebelah distal obstruksi mengalami kolaps (atelektasis). Jaringan parut atau fibrosis
akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien
mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi,
dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan
campuran gas yang di inspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.8
Tanda dan gejala dari penyakit bronkiektasis sangat beragam, sebagian tanpa gejala
atau tanda sama sekali.5 Gambaran klinisnya secara umum meliputi batuk-batuk, demam dan
produksi sputum purulen yang berlebihan. Berdasarkan gejalanya, bronkiektasis dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Batuk
Hemoptisis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik,
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi hari sesudah
ada posisi tidur atau bangun dari tidur. 8 Sputum terdiri atas tiga lapisan :
a. Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mukus
b. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva
8
c. Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus
yang rusak
2. Hemoptisis
Terjadi akibat nekrosis atau dekstruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh
darah (pecah) dan timbul pendarahan.8
3. Sesak napas (dispnea)
Timbulnya sesak napas tergantung pada luasnya bronkiektasis, kadang-kadang
menimbulkan suara mengi akibat adanya obstruksi bronkus. 8
4. Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi
berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam (demam
berulang). 8
5. Kelainan fisis, seperti: 8
a. Sianosis
b. Jari tabuh (Clubbing Finger)
c. Ronki basah
d. Wheezing
Beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat dijumpai pada pasien Bronkiektasis,
antara lain:
1. Bronkitis kronik
2. Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis4
Bronkiektasis sering mengalami infeksi berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi
pada saluran napas bagian atas. Hal ini sering terjadi pada mereka yang draenase
sputumnya kurang baik.
3. Pleuritis5-8
Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia. Umumnya
merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.
4. Efusi pleura atau empiema (jarang)
5. Abses metastasis di otak
Mungkin akibat septikemia oleh kuman penyebab infeksi supuratif pada bronkus. Sering
terjadi penyebab kematian. 5-8
6. Hemoptisis lanjut
9
Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis), cabang arteri
(arteri brankialis) atau anastomosis pembuluh darah. Komplikasi hemoptisis hebat dan
tidak terkendali merupakan tindakan bedah gawat darurat (indikasi pembedahan). Sering
juga hemoptisis masih yang sulit diatasi ini merupakan penyebab kematian utama pasien
bronkiektasis. 5-8
7. Sinusitis5-8
8. Kor pulmonal kronik (KPK)4,5,7
Komplikasi ini sering terjadi pada pasien bronkiektasis yang berat dan lanjut atau
mengenai beberapa bagian paru. Pada kasus ini bila terjadi anastomosis cabang-cabang
arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus (bronkiektasis), akan terjadi arerio-
venous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah, timbul seanosis sentral, selanjutnya
terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi hipertensi pulmonal, kor-polmonal
kronik. Selanjutnya dapat terjadi gagal jantung kanan.
9. Kegagalan pernapasan5-8
Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien bronkiektasis yang berat dan
luas.
10. Amiloidosis5-8
Keadaan ini merupakan perubahan degeneratif, sebagai komplikasi klasik dan jarang
terjadi. Pada pasien yang mengalami komplikasi amiloidosis ini sering ditemukan
pembesaran hati dan limpa serta proteinuria.
Tujuan dari pengobatan adalah mengendalikan infeksi dan pembentukan dahak,
membebaskan penyumbatan saluran napas serta mencegah terjadinya komplikasi. Yang dapat
dilakukan adalah : 5-8
1. Pemberian antibiotik dengan spekrum luas ( Ampisillin,Kotrimoksasol, atau amoksisilin )
selama 5- 7 hari pemberian.
2. Drainage postural dan latihan fisioterapi untuk pernapasan.serta batuk yang efektif untuk
mengeluarkan sekret secara maksimal (2 kali sehari).
Pada saat dilakukan drainage perlu diberikan bronkodilator untuk mencegah
bronkospasme dan memperbaiki drainage sekret. Serta dilakukan hidrasi yang adekuat
untuk mencegah sekret menjadi kental dan dilengkapi dengan alat pelembab serta
nebulizer untuk melembabkan secret. Sedangkan, bila penderita tidak memberikan respon
terhadap kedua langkkah diatas dan apabila disertai dengan pendarahan, maka dapat
dilakukan pengangkatan paru.
10
Pencegahan untuk bronkiektasis secara umum adalah : 5-8
Imunisasi lengkap
Imunisasi yang diwajibkan adalah campak dan pertusis pada masa kanak-kanak, dimana
ini dapat membantu menurunkan angka kejadian bronkiektasis
Melakukan vaksinasi
Menghindari rokok serta minuman beralkohol
Menghindari udara beracun, asap (termasuk asap rokok) dan serbuk yang berbahaya
(seperti bedak atau silica)
Prognosis tergantung dari penyebab, lokasi, luas, proses, drajat ganguan faal paru dan
adanya penyulit. Penggunaan antibiotika yang tepat dan tindakan bedah sangat berpengaruh
terhadap prognosis. Tanpa pengobatan penderita bronkiektasis jarang dapat hidup melewati
umur 10-15 tahun. Kebanyakan penderita meninggal pada umur kurang dari 40 tahun,karena
adanya penyulit (komplikasi). 5-8
Asma Bronkiale
Asma bronkiale adalah satu hiper-reaksi dari bronkus dan trakea yang mengakibatkan
penyempitan saluran napas yang bersifat reversible.1 Asma ini merupakan kelainan inflamasi
kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan bronkospasme yang paroksismal tapi
reversibel pada saluran napas trakeobronkial; serangan ini disebabkan oleh hiper-reaktivitas
otot polos.9
Terjadinya serangan asma tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja, terutama diperkirakan
jika terkena alergen dan lingkungan pemicu.1 Sebenarnya penyebab pasti asma bronkialee
masih belum diketahui secara pasti. Penyakit asma dapat dipilah menurut intensitas klinik,
respon terhadap terapi dan agen pemicunya. Secara patofisiologi dikenali 2 tipe yang utama:9
1) Asma atopik (alergik;reagin-mediated) Merupakan tipe yang sering ditemukan. Tipe asma ini dipicu oleh antigen lingkungan
(misalnya debu, serbuk sari, makanan), perubahan cuaca, aktivitas dan sering disertai
riwayat atopi dalam keluarga. Lenih sering terjadi pada anak-anak.
2) Asma nonatopik (nonreaginik, nonimun)
Kerapkali dipicu oleh infeksi saluran napas, zat-zat iritan kimia atau obat-obatan,
pengaruh isiologis seperti stress dan biasanya tanpa riwayat keluarga dan tanpa
11
keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas saluran napas tidak
diketahui. Lenih sering mengenai orang dewasa di atas usia 40 tahun.
Asma bronkiale merupakan penyakit respiratorik kronik yang tersering dijumpai pada
anak. Asma dapat muncul pada usia berapa saja, mulai dari balita, prasekolah, sekolah atau
remaja. Prevalensi di dunia berkisar antara 4-30%, sedangkan di Indonesia sekitar 10% pada
anak usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak usia sekolah menengah.9
Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada
suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang
lebih banyak terkena daripada anak wanita, setelah itu insiden menurut jenis kelamin sama. 9
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama
ekspirasi, karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa di ekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang
berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP 1 (Volume Ekspirasi
Paksa detik pertama) dan APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP
(Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas
dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang
kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.5,9,10
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-
daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut
mengalami hiposekmia. Penurunan O2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub klinis.
Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuan tubuh
terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan, sehingga tekanan CO2
menurun, yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih
berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus, sehingga tidak mungkin
lagi terjadinya pertukaran gas. 5,9,10
Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat
serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan
12
penurunan ventilasi alveolus, menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis
respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis
metabolik dan kontriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu,
peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk
hiperkapnia. Dengan demikian penympitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-
hal sebagai berikut: 5,9,10
1) Gangguan ventilasi berupa hiperventilasi
2) Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara
dengan sirkukasi darah paru.
3) Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.
Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
respiratorik pada tahap yang lanjut. 5,9,10
Gejala-gejala dari penyakit asma bronkiale, antara lain sebagai berikut:
1. Sesak napas yang diikuti suara mengi.
2. Pada umumnya disertai batuk dengan dahak yang lengket dan kental.
3. Gelisah dan cemas.
4. Napas terengah-engah akibat kejang dan rasa berat pada dada.
5. Sulit untuk berbicara.
Komplikasi terjadi akibat :
1. Keterlambatan penanganan.
2. Penanganan yang tidak adekuat.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :9
1) Akut
- Dehidrasi
- Gagal napas
- Infeksi saluran napas
2) Kronis
- Kor-pulmonale
- PPO kronis
- Pneumotorak.
Pengobatan penyakit asma dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu jangka pendek dan
jangka panjang.
13
1. Pengobatan jangka pendek
Pengobatan jangka pendek dilakukan dengan pemberian obat-obatan untuk mengatasi
penyempitan saluran pernapasan, produksi dahak yang berlebihan, dan sembab pada
selaput lendir jalan napas.4-7
2. Pengobatan jangka panjang
Pengobatan jangka panjang dikenal dengan sebutan immunoterapi, yakni penyuntikan
bahan alergi terhadap pengidap alergi yang dosisnya terus dinaikkan secara bertahap.
Pengobatan ini bertujuan mengurangi atau menghilangkan kepekaan orang tersebut
terhadap bahan itu.
Pencegahan pada pasien asama adalah sebagai berikut:9
1. Penyuluhan
Penyuluhan tentang bahaya dan berbagai faktor penyebab penyakit asma bronchial
sangat penting bagi masyarakat agar mereka bisa terhindar dari penyakit ini.
2. Menghindari faktor pencetus
Jika sudah tahu berbagai faktor pencetus penyakit ini (seperti yang telah disebutkan
di atas), maka sebaiknya menghindari berbagai faktor tersebut, terutama sekali jika
orang tersebut memiliki kerabat yang memiliki penyakit asma, maupun jika pasien
sendiri sudah ternjangkit penyakit asma bronchial ini, untuk menghindari penyakit
ini semakin parah.
3. Fisioterapi
4. Pemberian Cairan
5. Pengobatan
6. Obat-obatan seperti orsiprenalin, aminofilin, teofilin
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik. Apabila
asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya
lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa. Prognosis dan angka kematian akan
meningkat, bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai serta tidak ada penanganan yang
tepat. 9
Bronkhitis kronik
Bronkhitis kronik adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus
trakeobronkiale yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan
ekspetorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
14
Terdapat beberapa subklasifikasi, diantaranya bronkitis kronik simpleks, bronkitis
mukopurulen kronik, dan bronkitis kronik dengan obstruksi. Bronkitis kronik simpleks
menjelaskan suatu keadaan yang ditandai dengan pembentukan sputum mukoil. Bronkitis
mukopurulen kronik ditandai dengan sputum purulent yang persisten maupun berulang pada
keadaan tidak ditemukannyapenyakit supuratif setempat seperti bronkiektasis. Karena
mungkin ada dan mungkin juga tidak ditemukan obstruksi yang dinilai dengan penggunaan
maneuver kapasitas vital ekspirasi paksa (force expiration capacity, FEC), bronkitis kronik
dengan obstruksi memerlukan klasifikasi yang terpisah. Selanjutnya ditemukan kelompok
pasien dengan bronkitis kronik dan obstruksi yang mengalami dyspnea berat dan mengi,
berkaitan dengan iritan yang terhirup atau sewaktu infeksi pernapasan akut. Pasien seperti ini
disebut menderita asma infektif kronik atau bronkitis asmatik kronik. Karena obstruksi jalan
napas dapat pulih kembali walau tidak menyeluruh melalui terapi bronkodilator dan
pengurangan inflamasi dan karena hiperresponsif jalan napas terhadap rangsangan
nonspesifik dapat dijumpai pada kelompok pasien ini, keraguan ditemukan pada pasien
keadaan ini dengan pasien asma yang juga mengalami obstruksi jalan napas kronik.
Perbedaan didasarkan terutama pada riwayat perjalanan penyakit. Pasien dengan bronkitis
asmatik kronik memiliki riwayat batuk lama dan pembentukan sputum dengan awitan
selanjutnya yaitu mengi , sedangkan pasien asma dengan obstruksi kronik memiliki riwayat
mengi yang lama dan awitan selanjutnya yaitu batuk produktif kronik.10,11
Epidemiologi
Kurang lebih 20% laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, namun hanya
sejumlah kecil darinya yang secara klinis cacat. Berdasarkan semua survey, laki-laki
lebih sering menderita dibandingkan perempuan. Akan tetapi, dengan meningkatnya
jumlah perokok perempuan, prevalensi bronkitis pada kelompok perempuan
meningkat. Walaupun perokok merupakan faktor etiologi tunggal yang paling
penting, pemajanan akibat kerja dan lingkungan sekarang ini cukup banyak, terutama
sebagai unsur penambah bagi efek yang ditimbulkan oleh merokok. 10,11
Patologi
Bronkitis kronik berhubungan dengan hyperplasia atau hipertrofi kelenjar pembentuk
mukus yang ditemukan di dalam lapisan submukosa jalan napas kartilaginosa besar.
Penilaian perubahan ini dikenal sebagai indeks Reid, didasarkan pada rasio ketebalan
kelenjar submukosa dengan dinding bronkus. Pada pasien tanpa riwayat bronkitis
kronik, rasio rata-rata adalaj 0,44 dengan standar baku ± 0,09, sedangkan pada pasien
dengan riwayat bronkitis kronik rasio rata-rata adalah 0,52 ± 0,08. Walaupun indeks
15
yang rendah jarang sekali berhubungan dengan gejala dan indeks yang tinggi pada
umumnya berhubungan dengan gejala sewaktu hidup, masih ditemukan adanya
tumpang tindih. Oleh karena itu, banyak pasien mengalami perubahan morfologik
dalam jalan napas besar tanpa disertai bronkitis kronik. 10,11
Mungkin yang jauh lebih penting daripada kelainan yang ditemukan dalam
jalan napas besar adalah perubahan yang sering ditemukan di dalam jalan napas kecil
yang tidak mempunya tulang rawan. Hyperplasia sel goblet, sel radang mukosa dan
submukosa, edema, fibrosis peribronkiale, kumpulan mukus intraluminal dan
peningkatan otot polos merupakan penemuan khas dalam jalan napas kecil. Frekuensi
ditemukan hal tersebut dalam hubungannya dengan status klinis pascamati dan
fungsional masih belum dapat ditemukan. Akan tetapi, pada pasien dengan PPOM
yang telah diamati pascamati, obstruksi aliran udara yang utama telah ditunjukkan
pada jalan napas kecil. 10,11
Etiologi
Bronkitis kronik diduga terjadi karena merokok, terpajan polusi udara, debu, infeksi,
bahkan faktor genetik.
- Merokok
Merokok merupakan temuan paling umum berhubungan dengan bronkitis
kronik selama kehidupan. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa
aktivitas merokok yang lama mengganggu pergerakan silia, mengahmbat
fungsi makrfag alveolus dan akhirnya menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia
kelenjar pengsekresi mukus. Disamping efek kronik ini, kemungkinan
merokok menghambat antiprotease dan menyebabkan sel PMN melepaskan
enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat menghasilkan
peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba akibat konstriksi otot polos
melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan submukosa.
Hubngan antara episode konstriksi bronkiale akut berulang dengan
perkembangan dan kemajuan obstruksi jalan napas berhubungan dengan
kemajuan yang lebih cepat pada pasien dengan obstruksi jalan napas kronik. 10,11
Sekarang telah diketahui secara pasti bahwa beberapa perokok muda
asimtomatik mengalami perubahan anatomic dan fungsional dalam jalan napas
kecil tanpa adanya pengurangan volume ekspirasi paksa dalam satu detik.
Akan tetapi, nilai kecepatan di atas atau di bawah rentang kapasitas vital-
16
pertangahan sering tidak ditemukan pada individu dengan obstruksi jalan
napas ringan. Telah diperlihatkan bahwa obstruksi jalan napas kecil
merupakan cacat mekanik yang paling cepat ditunjukkan pada perokok muda
dan obstruksi dapat hilang secara menyeluruh bila berhenti merokok.
Walaupun berhenti merokok tidak dapat menyebabkan berulangnya seluruh
obstruksi yang lebih berat, ditemukan penurunan fungsi paru secara perlahan
yang bermakna pada semua perokok yang berhenti merokok. 10,11
- Polusi udara
Insidensi dan angka kematian akibat bronkitis kronik dapat lebih tinggi di
daerah urban yang padat industrialisasi, eksaserbasi bronkitis jelas
berhubungan dengan periode polusi berat dengan sulfur dioksida (SO2) dan
unsur yang sangat kecil. Sementara nitrogen oksida (NO2) dapat menimbulkan
obstruksi jalan napas kecil (bronkitis) pada binatang percobaan yang terpajan
dengan konsentrasi, tidak ada data yang secara pasti melibatkan NO2 pada
proses pathogenesis atau perburukan obstruksi jalan napas pada manusia,
bahkan pada kadar polutan yang sangat tinggi sekalipun.10,11
- Pekerjaan
Bronkitis kronik lebih serinng ditemukan pada pekerja yang berhubungan
dengan pekerjaan yang terpajan dengan debu anorganik, organic, ataupun
terhadap gas beracun. Penelitian epidemiologik telah berhasil menunjkkan
percepatan penurunan fungsi paru pada banyak pekerja tersebut. Misalnya
pada pekerja di pabrik plastic yang terpapar oleh toluene diisosianida dan
pekerja pemintal kapas.10,11
- Infeksi
Morbiditas, mortalitas, dan frekuensi penyakit pernapasan akut lebih tinggi
pada pasien dengan bronkitis kronik. Banyak usaha telah dilakukan untuk
menghubungkan penyakit ini dengan infeksi virus, mikoplasma dan bakteri.
Akan tetapi, hanya rhinovirus yang lebih sering menyebabkan eksaserbasi.
Berdasarkan intuisi sangat menarik menentukan beberapa peran infeksi
saluran napas dalam pathogenesis dan progresi PPOm dan walaupun
pertanyaan ini masih dipelajari, masih belum ada kesepakatan sampai saat ini.
Akan tetapi, penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa penyakit
pernapasan akut merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
etiologi, demikian juga dengan perkembangan obstruksi jalan napas kronik.
17
Telah ditunjukkan bahwa perokok secara transien dapat menderita atau
memperburuk obstruksi jalan napas kecil yang berhubungan dengan infeksi
virus pernapasan yang ringan sekalipun. Juga ditemukan bukti bahwa
pneumonia berat akibat virus pada awal masa kehidupan dapat mengarah pada
obstruksi kronik, terutama pada jalan napas kecil. 10,11
- Faktor familial dan genetik
Kumpulan bronkitis kronik yang bersifat familia telah diperlihatkan dengan
baik di masa lalu. Penelitian baru-baru ini menujukkan bahwa anak dari orang
tua perokok dapat menderita penyakit pernapasan lebih sering dan lebih berat
dan prevalensi terhadap gejala gangguan pernapasan kronik lebih tinggi.
Selain itu, pasien yang tidak merokok yang tinggal dengan perokok (perokok
pasif) mengalami peningkatan kadar karbon monoksida darah yang
menunjukkan bahwa pasien juga secara bermakna terpajan oleh asap rokok.
Bentuk polusi udara dalam ruangan yang terdokumentasi dengan baik
berhubungan dengan penggunaan gas alam untuk memasak. Akan tetapi,
beberapa penelitian terhadap kembar monozigot menyatakan bahwa beberapa
faktor predisposisi genetik terhadap perkembangan bronkitis kronik tidak
bergantung pada kebiasaan individu atau familial perokok dan polusi udara
rumah lainnya. Model transmisi genetik yang sesungguhnya, bila ada, masih
belum dapat dipastikan.10,11
Patofisiologi
Kondisi yang terlihat pada bronkitis kronik adalah hipersekresi mukus,
dimulai dari jalan napas besar. Iritan-iritan lingkungan seperti asap rokok, SO2, dan
NO2, menginduksi hipertrofi kelenjar mukus pada trakea dan cabang utama bronkus
dan berkembang menuju peningkatan populasi sel goblet pengsekresi-musin pada
permukaan epitel bronkus kecil dan bronkiolus. Selai itu, zat-zat irirtan ini
menyebabkan peradangan dangen inflitrasi sel T CD8+, makrofag, dan netrofil.
Berbeda dengan asma, eosinophil jarang ditemukan pada bronkitis kronis kecuali
pasien mengalami bronkitis asmatik. Meskipun penampang dari bronkitis kronik
merupakan bayangan dari gangguan bronkus primer, landasan morfologis dari
obstruksi jalan napas pada bronkitis kronik lebih perifer dan berasal dari (1) small
airway disease, yang diinduksi oleh metaplasia sel goblet dengan sumbatan mukus
pada lumen bronkiolus, peradangan, dan fibrosis dinding bronkiolus. (2) emfisema
koeksis. Secara umum dipercaya bahwa ketika small airway disease adalah komponen
18
penting dalam obstruksi ringan dini, bronkitis kronik dengan obstruksi jalan napas
yang asignifikan selalu berkomplikasi menjadi emfisema. Dipostulasikan bahwa
banyak efek epithelial respirasi yang dicetuskan iritan lingkungan dimediasi oleh
pelepasan local sitokin sel T seperti IL-13. Trasnkripsi gen musin, dan netrofil
elastase MUC5AC, dimana bertambah sebagai konsekuensi dari terpajan terhadap
asap rokok secara in vitro maupun in vivo. Infeksi mikroba sering terjadi sebagai
infeksi sekunder, terjadi karena peradangan dan gejala eksaserbasi. 10,11
Manifestasi Klinis
Pada bronkitis kronis biasanya mempunyai riwayat batuk dan produksi sputum yang
mengesankan serta sudah berlangsung bertahun-tahun dengan kebiasaan merokok
yang cukup berat. Pada mulanya batuk hanya terjadi di musim dingin dan pasien
cenderung untuk minta pertolongan dokter paling tidak pada saat sering terdapat
relaps mukopurulen yang semakin berat. Dalam beberapa tahun, gejala batuk
berlanjut dari hibernal menajdi perennial dan frekuensi, durasi serta intensitas relaps
mukopurulen semakin bertambah. Setelah mulai mengalami gejala dyspnea
pengerahan tenaga, pasien sering mencari pertolongan dokter dan derajat obstruksi
paru yang cukup berat akan ditemukan dalam keadaan ini. Kadang-kadang pasien
tersebut akan memeriksakan dirinya ke dokter sesudah timbulnya edema perifer yang
terjadi sekunder akibat gagal ventrikel kanan yang nyata. Lebih jarang lagi, kontak
medis yang pertama terjadi atas inisiatif keluarga yang membawa pasien dengan
gejala sianosis berat, edema dan dalam keadaan stupor yang menyertai insufisiensi
respirasi akut. 10,11
Pasien ini seringkali memiliki berat badan berlebih dan tampak sianotik.
Biasanya pada saat istirahat tidak terlihat gangguan, frekuensi pernapasan tampak
normal atau hanya sedikit meningkat dan juga tidak dijumpai penggunaan otot-otot
aksesorius. Perkusi dada akan memberikan suara sonor yang normal dan dengan
auskultasi, kita biasanya dapat mendengar suara ronki kasar serta mengi yang lokasi
dan intensitasnya berubah-ubah setelah batuk yang dalam serta produktif. Pulsasi
yang menetap mungkin terlihat di sepanjang margo sternalis kiri bawah yang
menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. Dengan adanya gagal ventrikel kanan
kerapkali terdengar irama gallop diastolik yang dini dan kadang-kadang bising
holosistolik yang keduanya bertambah jelas pada saat inspirasi. Bising yang
disebutkan terakhir ini merupakan petunjuk adanya regurgitasi fungsional tricuspid
yang sering disertai dengan distensi pembuluh vena leher. Dengan terdapatnya gagal
19
ventrikel kanan, gejala sianosis makin bertambah dan edema perifer semakin nyata. 10,11
Desaturasi serta eritrositosis secara bersama-sama akan menyebabkan sianosis
dan vasokonstriksi pulmonal yang hipoksik dan menambah berat gagal jantung kanan.
Karena sianosis dan edema yang terjadi sekunder akibat gagal jantung, pasien tersebut
pernah disebut “blue bloaters”. Blue bloaters terjadi akibat serangan berulang
desaturasi oksigen nokturnal yang berat dengan disertai serangan apnea waktu tidur
atau periode hipoventilasi yang bertambah buruk. Kejadian respirasi yang
berhubungan dengan tidur semacam itu akan memperberat derajat hipertensi
pulmonal dan eritropoiesis sekunder. 10,11
Nilai kapasitas paru total seringkali normal dan terdapat kenaikan nilai volume
residual yang sedang. Kapasitas vital sedikit menurun dan kecepatan aliran ekspirasi
yang maksimal selalu rendah. Sifat recoil elastic pada paru tetap normal atau hanya
sedikit terganggu dan kapasitas patu untuk mengalihkan karbon monoksida dapat
normal atau sedikit menurun. 10,11
Pada pemeriksaan radiologic terlihat lengkungan diafragma yang baik,
corakan bronkovaskuler bertambah pada lapangan paru bawah dan bayangan hitam
jantung agak melebar. Berkaitan dengan gagal ventrikel kanan, bayangan hitam
jantung lebih melebar lagi, gambaran arteri pulmonalis menjadi lebih nyata dan
distribusi perfusi yang melawan gaya berat terlihat jelas.10,11
Meskipun penanganan sudah direncanakan dengan baik, pasien bronkitis
kronik dapat mengalami episode gagal napas yang kesembuhannya seringkali terjadi
setelah dilakukan terapi yang tepat. Akhirnya, paru pasien pada pemeriksaan
pascamati akan memperlihatkan perubahan bronkitis yang berat baik pada jalan napas
yangbesar maupun yang kecil dan hanya menunjukkan emfisema yang sedang.10,11
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari bronkitis kronis antara lain menghentikan kebiasaan merokok,
penggunaan antibiotic terutama untuk H. influenza dan S. pneumonia 7-10 hari,
pemberian nutrisi yang adekuat dan latihan, obat bronkodilator, serta kortikosteroid
yang diberikan setelah pemberian adekuat bronkodilator. 10,11
Prognosis
Angka kematian di rumah sakit rata-rata 30% untuk satu episode dan nilai ketahan
hidup 5-tahun setelah episode pertama rata-rata hanya 15-20%10,11.
Emfisema
20
Emfisema adalah keadaan paru yang ditandai oleh pembesaran abnormal menetap
ruang udara di sebelah distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding-dindingnya
tanpa fibrosis yang nyata.12
PPOK mengenai lebih dari 10 juta orang di Amerika Serikat; bronkitis kronik adalah
diagnosisnya pada sekitar 75% kasus dan emfisema sisanya. Insidens, prevalensi, dan angka
kematian PPOK meningkat seiring pertambahan usia dan lebih tinggi pada pria, orang
berkulit putih, dan golongan social ekonomi lemah.10-12
Merokok masih menjadi kausa utama penyakit pada hampir 90% pasien dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Namun, hanya 10-15% perokok mengalami PPOK. Penyebab
perbedaan pada kerentanan penyakit ini belum diketahui tetapi mungkin mencakup factor
genetik. Satu factor resiko penting untuk timbulnya PPOK yang berhasil diidentifikasi-selain
merokok-adalah defisiensi inhibitor α1-protease. Ketiadaan zat ini menyebabkan emfisema
berat awitan dini. Inhibitor α1-protease adalah suatu protein darah yang mampu menghambat
jenis protease, termasuk elastase neutrofil, yang diperkirakan berperan dalam pembentukan
emfisema.10-12
Mutasi autosomal dominan, terutama pada orang Eropa Utara, menyebabkan kadar
inhibitor ini dalam serum dan jaringan menjadi sangat rendah, dan mengubah keseimbangan
sintesis dan proteolisis jaringan. Mutasi homozigot (genotype ZZ) menyebabkan kadar
inhibitor 10-15% kadar normal. Risiko emfisema, terutama pada perokok yang membawa
mutasi ini, sangat meningkat.10-12
Studi-studi pada populasi mengisyaratkan bahwa pajanan debu (termasuk silica dan
kapas) atau uap zat kimia yang terus-menerus dapat menyebabkan PPOK, tetapi kontribusi
factor-faktor ini tampaknya kecil dibandingkan dengan pemakaian tembakau. 10-12
Proses patologis utama pada emfisema dianggap sebagai proses perusakan
berkelanjutan yang terjadi akibat ketidak seimbangan jejas oksidan dan ativitas proteolitik
local (terutama elastolitik) akibat defisiensi inhibitor protease. Berbagai oksidan, baik yang
endogen (superoksida anion) maupun eksogen (mis.,asap rokok); dapat menghambat fungsi
protektif normal inhibitor protease sehingga terjadi destruksi jaringan yang progresif.10-12
Berbeda dari bronkitis kronik, emfisema adalah penyakit yang bukan terutama
mengenai saluran napas tetapi parenkim paru di sekitarnya. Konsekuensi fisiologis adalah
21
hasil dari kerusakan unit-unit respiratorik terminal dan hilangnya jaringan kapiler alveolus,
serta yang sangat penting, stuktur-struktur penunjang paru, termasuk jaringan ikat elastic.10-12
Hilangnya jaringan ikat elastic menyebabkan paru kehilangan daya recoil elastic dan
mengalami peningkatan compliance. Tanpa recoil elastis yang normal, saluran napas yang
tidak mengandung tulang rawan tidak lagi mendapat topangan. Saluran napas mengalami
kolaps premature saat ekspirasi, disertai gejala obstruktif dan temuan fisiologis yang khas. 10-
12
Gambaran patologis emfisema adalah gambaran kerusakan progresif unit-unit
respiratorik terminal atau parenkim paru di sebelah distal dari bronkiolus terminal.
Peradangan saluran napas, jika terjadi, akan minimal, meskipun dapat terlihat hyperplasia
kelenjar mukosa di saluran napas penghubung yang besar. Interstisium unit-unit respiratorik
mengandung beberapa sel radang, tetapi temuan utama adalah hilangnya dinding alveolus dan
membesarnya ruang-ruang udara. Kapiler alveolus juga lenyap, yang dapat menyebabkan
penurunan kapasitas difusi dan hipoksemia progresif, terutama saat berolahraga.10-12
Kerusakan alveolus tidak merata di semua kasis emfisema. Berbagai varian anatomis
telah dilaporkan berdasarkan kerusakan unit respiratorik terminal (atau asinus). Pada
emfisema sentriasinar, kerusakan berpusat di tengah unit respiratorik terminal, dengan
bronchioles respiratorius dan ductus alveolaris yang relative tidak terkena. Pola ini paling
sering berkaitan dengan kebiasaan merokok. Emfisema parasinar adalah kerusakan unit-unit
respiratorik terminal secara umum disertai pelebaran ruang udara difus. Pola ini biasanya,
meskipun tidak khas, dijumpai pada defisiensi inhibitor α1-protease. Penting diperhatikan
bahwa perbedaan antara kedua pola ini umumnya bersifat patologis;tidak terdapat perbedaan
bermakna dalam gambaran klinis. Pola emfisema lain yang penting secara klinis adalah
emfisema bulosa. Bula adalah konfluensi luas ruang-ruang udara yang terjadi akibat
kerusakan local yang lebih besar atau peregangan progresif unit-unit paru. Bula penting
karena efek kompresif yang dapat ditimbulkannya pada jaringan paru sekitar dan
terbentuknya ruang mati fisiologis yang besar. 10-12
Emfisema bermanifestasi sebagai penyakit non peradangan berupa dispnea, obstruksi
progresif saluran napas yang irreversible, dan gangguan pertukaran gas, terutama saat
berolahraga. 10-12
22
1. Bunyi napas. Intensitas bunyi napas pada emfisema biasanya berkurang intensitasnya,
yang mencerminkan berkurangnya aliran udara, memanjangnya waktu ekspirasi, dan
hiperinflasi paru yang berat. Mengi, jika ada, tidak terlalu jelas. Bunyi napas, termasuk
ronki basah dan kering, jarang terdengar tanpa adanya proses lain seperti infeksi. 10-12
2. Pemeriksaan jantung. Mungkin terjadi takikardia seperti pada bronkitis kronik, khususnya
pada eksaserbasi atau hipoksemia. Hipertensi pulmonal adalah konsekuensi umum dari
obliterasi vaskular paru dan hipoksemia yang menyertainya. Pemeriksaan jantung dapat
memperlihatkan penutupan katup pulmonal yang mencolok (peningkatan P2, komponen
pulmonl bunyi jantung kedua) atau peningkatan tekanan vena jugularis serta edema
perifer akibat gagal jantung kanan. 10-12
3. Pencitraan. Hiperinflasi sering terlihat, dengan diafragma yang mendatar dan
pertambahan garis tengah toraks anteroposterior. Kerusakan parenkim menyebabkan
corakan vaskuler perifer paru yang berkurang, seiring dengan pelebaran arteri pulmonalis
proksimal akibat hipertensi pulmonal sekunder. Kelainan kistik atau bulosa juga dapat
terlihat. 10-12
4. Uji fungsi paru. Kerusakan parenkim paru dan hilangnya recoil elastis merupakan kausa
mendasar kelainan yang ditemukan pada uji fungsi paru. Hilangnya daya recoil elastis di
jaringan paru yang menunjang saluran napas menyebabkan peningkatan kompresi
dinamis saluran napas, terutama saat ekspirasi paksa; semua laju aliran berkurang.
Dengan kolapsnya saluran napas secara premature, FEV, FVC, dan rasio FEV1/FVC
(FEV1%) semuanya menurun. Seperti pada bronkitis kronik dan asma, kurva aliran
volume eskpirasi memperlihatkan penurunan substansial aliran. Memanjangnya waktu
ekspirasi, penutupan dini saluran napas, dan terperangkapnya udara menyebabkan
peningkatan RV dan FRC. TLC meningkat, meskipun sebagian peningkatan kapasitas ini
berasal dari gas yang terperangkap di unit-unit paru yang terisolasi atau sulit diakses,
termasuk bula. DLCO umumnya menurun seiring dengan bertambahnya luas emfisema,
yang mencerminkan kerusakan progresif alveolus dan jaringan kapilernya. 10-12
5. Gas darah arteri. Emfisema adalah penyakit dengan destruksi dinding alveolus.
Berkurangnya kapiler alveolus menciptakan daerah-daerah dengan ventilasi yang relative
tinggi terhadap perfusinya. Biasanya, pasien dengan emfisema akan beradaptasi dengan
rasio V/Q yang tinggi dengan meningkatkan ventilasi minornya. Mereka dapat
mempertahakan kadar PO2 dan PCO2 yang mendekati normal, meskipun penyakitnya
sudah lanjut. Pemeriksaan gas darah arteri hampir selalu memperlihatkan peningkatan A-
a∆ PO2. Pada tingkat keparahan penyakit yang lebih besar dan semakin berkurangnya
23
perfusi kapiler, DLCO menurun, yang menyebabkan desaturasi hemoglobin arteri yang
semula hanya timbul saat berolahraga tetapi akhirnya juga pada saat istirahat.
Hiperkapnia, asidosis respiratorik, dan alkalosis metabolic kompensatorik sering dijumpai
pada penyakit berat. 10-12
6. Polisitemia. Seperti pada bronkitis kronik, hipoksemia kronik sering berikatan dengan
peningkatan hematokrit. 10-12
Pada emfisema, prinsip penatalaksanaan dan komplikasi hampir mirip dengan
bronkitis kronik. Prognosis pada emfisema lebih berat daripada bronkitis kronik. 10-12
Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebebkan terjadinya PPOK, baik faktor
eksogen (dalam hal ini lingkungan) maupun faktor endogen (dalam hal ini faktor host atau
faktor dari penderita sendiri).4,5
Faktor Lingkungan : 4,5
Merokok
Asap tembakau
Polisi udara di tempat kerja atau di dalam kota
Faktor Host : 4,5
1. Genetik
Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang jarang
ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini. Alfa 1
antitripsin ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, dimana
berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan. Enzim ini juga berfubgsi untuk
menetralkan tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzin ini rendah sedangkan asupan
rokok tinggi maka akan mengganggu system kerja enzim tersebut, yang bisa
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan
emfisema pada usia muda, yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar
usia 53 tahun) dan bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.
2. Hipereaktifitas Bronkus
Asma dan hiperaktivitas bronkus saluran napas merupakan faktor resiko yang
memberi andil timbulnya PPOK. Apabila ditambah dengan faktor merokok maka
24
akan lebih meningkatkan resiko untuk menderira PPOK disertai dengan penurunan
fungsi dari paru-paru yang drastis. Hipereaktivitas dari bronkus juga dapat terjadi
akibat dari peradangan pada saluran napas atas.
Epidemiologi
PPOK merupakan masalah kesehatan utama dimasyarakat yang menyebabkan 26.000
kematian per tahun di Inggris. Prevalensinya > 600.000. Angka ini lebih tinggi di daerah
maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah, perokok berat dan pada
manula. Insidensi pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat
dengan semakin bertambahnya jumlah perokok wanita. 4,5
Patofisiologi
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas, parenkim
paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan
makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan
mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF yang dapat merusak
struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2
proses lain yang juga penting yaitu; imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan
stres oksidatif. 4,5
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar (central
airway), saluran napas kecil (peripheral airway), parenkim paru dan vaskuler pulmonal. Pada
saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-
kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini
menyebabkan hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang
menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini
akan menghasilkan structural remodeling dari dinding saluran napas dengan peningkatan
kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat, yang menyebabkan penyempitan lumen
dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas
terjadi pada emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan
, namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary
capilary bed. Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh
darah ,yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama
kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding
pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos,
proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.6
25
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas.
Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis
kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2 mm) menjadi lebih sempit dan
berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga
menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru,
penyempitan saluran napas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.13-16
Pembagian anatomi bronkus adalah sebagai berikut:
Bronchus Primer
Struktur dasar bronkus primer tersusun atas epitel pernapasan yang kurang tinggi dan
mengandung sedikit sel goblet. Lamina propria bronkus primer padat dengan jumlah elastin
yang banyak pada lapisan superfisial. Lamina propria dipisahkan dari submukosa oleh lapisan
otot polos tidak utuh yang menjadi lebih menonjol pada jalan napas yang lebih kecil. 13-16
Bronchus Tersier
Dengan mengecilnya diameter bronchi, maka strukturnya secara progresif berubah
menjadi lebih mirip dengan bronkiolus besar. Bronchus tersier tersusun atas sel-sel bertingkat
kolumnar tinggi dan jumlah sel-sel goblet yang sangat berkurang. Lamina proprianya tipis,
elastis, dan dikelilingi oleh otot polos yang tersusun sirkular. Susunan otot polos ini
memungkinkan kontraksi bronchi baik memanjang maupun menurut diameter selama
ekspirasi. 13-16
Pada lapisan submukosa, ditemukan sedikit sekali kelenjar sero-mukosa. Kerangka
kartilago yang menyusun cincin C susunannya sudah mulai tidak teratur dan tidak biasa
terdapat sampai lebih distal dari bronchi tersier. Lapisan submukosa dan adventisia menyatu
dan kemudian dengan parenkim paru. Pada lapisan adventisia terdapat sekelompok kecil
limfosit yang merupakan bagian dari jaringan mukosa limfoid difus. 13-16
Bronchiolus
Bronchiolus merupakan jalan napas dengan diameter kurang dari 1 mm dan tidak
bertulang rawan, sehingga jaringan ini sangat mudah kolaps. Epitel pernapasannya selapis
kolumnar bersilia dengan sedikit sel goblet. Ciri khas dari bronkiolus adalah lapisan otot
polos yang tersusun melingkar. Otot polos bronkiolus sangat efektif mengontrol tahanan
terhadap aliran udara dalam pulmo. Ketidakstabilan otot polos bronkiolus menyebabkan
kontraksi dan berakibat penyempitan jalan napas yang merupakan ciri utama penyakit asma. 13-16
26
Bronchiolus Terminalis
Bronkiolus terminalis adalah saluran berdiameter terkecil dari bagian yang merupakan
penghubung dari bronchiolus; setelah ini, percabangan selanjutnya makin terlibat dalam
pertukaran gas. Setiap bronkiolus terminalis pecah menjadi cabang-cabang berdinding tipis
yang disebut bronkiolus repiratorius. Bronkiolus respiratorius sudah terdapat alveoli tidak
utuh, sehingga di bronchiolus respiratorius sudah mulai terjadi proses ventilasi atau
pertukaran udara luar dengan udara alveol. Epitel bronkiolus respiratorius tidak mengandung
sel goblet dan sebagian besar terdiri atas sel-sel kuboid bersilia dan sel-sel tak bersilia yang
jumlahnya lebih sedikit disebut sel Clara. 13-16
Bagian paling distal bronkiolus respiratorius, epitelnya mengalami transisi menjadi sel
yang lebih menonjol. Tiap bronkiolus respiratorius akan bercabang menjadi beberapa lorong
berkelok panjang yang disebut duktus alveolaris yang sepanjang lorongnya membuka ke
dalam yang disebut kantong alveolar dan alveoli. Pada dinding duktus alveolar terdapat
agregasi kecil sel-sel otot polos dan kolagen terkait, serta serabut elastin yang membentuk
cincin mengelilingi duktus alveolar dan ostium sakus alveolar dan alveoli. Otot polos
bronkiolus respiratorius dan duktus alveolar mengatur gerakan udara alveolar. 13-16
Alveoli
Dinding alveolus terdiri atas tiga komponen jaringan, yaitu: 13-16
o Epitel Permukaan
Sebagian besar permukaan alveolus dilapisi oleh sel-sel gepeng besar yang
disebut pneumosit tipe I (sel pelapis alveolus). Sel ini memiliki sitoplasma yang
menutupi area luas alveol. Sel-sel epitel jenis kedua adalah pneumosit tipe II yang
berbentuk bulat dan hanya menempati ruang yang lebih kecil dari permukaan
alveolus. Pneumosit tipe II memiliki inti bulat, besar, dengan nukleolus menonjol dan
sitoplasma bervakuola. 13-16
Pneumosit tipe I merupakan bagian sawar pertukaran gas yang amat tipis,
sementara pneumosit tipe II mensekresi surfaktan yang berfungsi mengurangi tekanan
permukaan dalam alveoli agar alveol tidak kolaps selama ekspirasi. Pneumosit tipe II
mampu bermitosis dan dapat berkembang menjadi pneumosit tipe I sebagai respon
terhadap kerusakan lapisan alveol. 13-16
27
o Jaringan Penyokong
Membentuk suatu lapisan tipis di bawah epitel dan mengelilingi pembuluh
darah dari dinding alveolus. Lapisan ini terutama terdiri atas serabut retikulin halus,
serabut kolagen dan elastin, serta kadang-kadang terdapat fibroblas. 13-16
o Pembuluh Darah
Sebagian besar kapiler membentuk plexus luas di sekitar setiap alveolus.
Sebagian besar dinding alveolus, terdapat membran basal yang memperkuat kapiler
endotel. Pada dinding alveoli dan pada rongga bebas alveol dapat ditemukan
makrofag yang berfungsi untuk ‘menelan’ partikel-partikel mikro, seperti karbon,
yang mencapai alveol. Makrofag ini disebut sebagai sel-sel debu yang merupakan
derivat dari monosit darah. 13-16
Mekanisme Pernapasan secara Umum
Secara garis besar, mekanisme pernapasan terjadi karena adanya udara luar yang
masuk melalui lubang hidung, berlanjut ke trakea, kemudian mengarah ke bronkus primer
dextra dan sinistra. Pada masing-masing bronkus primer, udara kemudian diteruskan ke
kedua pulmo, kemudian ke bronkus kecil, dan ke bronkiolus terminalis. Lubang hidung
sampai dengan bronkiolus terminalis merupakan sistem respiratorius bagian konduksi karena
bagian-bagian tersebut hanya berfungsi sebagai saluran pernapasan dan belum terjadi adanya
pertukaran gas (belum adanya alveol). Pertukaran gas mulai terjadi pada bronkiolus
respiratorius karena pada bagian ini sudah mulai terdapat alveoli, walaupun bentuknya belum
utuh. Pertukaran gas berlanjut sampai ke duktus alveolaris, kemudian duktus alveolaris dan
sakus alveolaris, selanjutnya berakhir pada alveolus. Dari bronkiolus sampai dengan alveolus,
disebut sistem respiratorius bagian respirasi karena pada bagian-bagian ini, selain berfungsi
sebagai saluran, juga terjadi pertukaran gas. 13-16
Udara masuk (kaya O2) yang telah mencapai alveol akan berdifusi masuk ke dalam
kapiler-kapiler darah pada permukaan alveol. Hal ini dapat terjadi karena tekanan pada O 2
pada alveol jauh lebih besar daripada tekanan O2 pada pembuluh kapiler alveol. O2 yang telah
berdifusi dalam kapiler, kemudian akan diteruskan ke seluruh jaringan tubuh melalui Vena
Pulmonalis. Vena Pulmonalis berjalan dari paru menuju atrium sinistra jantung, kemudian
dilanjutkan ke ventrikel sinistra jantung, sampai akhirnya dipompakan ke seluruh tubuh. 13-16
28
Ketika telah mencapai jaringan-jaringan tubuh yang dituju, O2 akan dilepaskan ke
jaringan tersebut. Tekanan O2 arteri lebih besar daripada tekanan O2 jaringan, sehingga O2
berdifusi dari arteri ke jaringan. Pada saat yang sama, tekanan CO2 dalam jaringan lebih besar
daripada tekanan CO2 di dalam , sehingga CO2 berdifusi dari jaringan ke darah. Darah kaya
akan CO2 ini kemudian dibawa oleh pembuluh darah vena menuju atrium dextra jantung
untuk selanjutnya dialirkan ke ventrikel dextra jantung. Dari ventrikel dextra, melalui Arteri
Pulmonalis, darah kaya CO2 dibawa ke jaringan kapiler alveol di pulmo dan kemudian
dilepaskan ke luar tubuh. 13-16
Mekanisme Pernapasan (Inspirasi)
Mekanisme inspirasi diawali oleh adanya kontraksi otot-otot inspirasi utama. Pada
inspirasi tenang, otot yang berperan adalah M. Intercostales Externus dan diaphragma.
Namun, pada inspirasi kuat, terdapat kontraksi otot-otot tambahan, seperti Mm. Pectoralis,
M. Sternocleidomastoideus, Mm. Scalenus, M. Serratus anterior, M. Latissimus dorsi, dan M.
Iliocostalis superior.13-16
Ketika M. Intercostales Externus berkontraksi, bagian sternum dada akan terangkat
meluas ke arah supero-anterior dan os. Costae terangkat ke arah lateral. Perluasan rongga
dada terjadi pada area costae 7. Hal ini disebabkan oleh karena costae 7 adalah iga yang
paling panjang dan memiliki kemiringan paling besar diantara os. Costae lainnya. Kontraksi
otot-otot dinding dada ini meningkatkan volume dada hingga 25%.13-16
Di sisi lain, diaphragma yang mendapatkan perangsangan oleh N. Phrenicus,
mengalami kontraksi, sehingga memiliki kedudukan ke arah inferior (arah rongga abdomen)
dan bentuknya yang semula melengkung menjadi tampak datar. Kontaksi diaphragma ini
meningkatkan volume dada hingga 75%. Pulmo yang dipengaruhi oleh persarafan simpatis,
mengalami bronkodilatasi, sehingga volume paru meningkat. Peningkatan volume rongga
dada dan pulmo mengakibatkan tekanan intra alveol jauh lebih rendah daripada tekanan udara
atmosfer di luar tubuh. Akibatnya, udara dari atmosfer masuk ke dalam pulmo. 13-16
Mekanisme Pernapasan (Ekspirasi)
Mekanisme ekspirasi tenang diawali oleh adanya relaksasi pada otot-otot inspirasi
utama. Namun, pada expirasi kuat, ada otot-otot expirasi yang berkontraksi, antara lain M.
Intercostales Internus, M. Iliocostalis Inferior, M. Longissimus, M. Rectus Abdominis, M.
Obliquus Abdominis Externus, dan M. Obliquus Abdominis Internus. Ketika otot-otot
inspirasi relaksasi atau otot-otot ekspirasi berkontraksi, kedudukan tulang-tulang thorax akan
29
kembali pada kedudukannya semula, sehingga rongga dada akan mengempis. Kemudian,
diaphragma juga akan berelaksasi, sehingga ia akan kembali pada kedudukannya semula,
melengkung ke arah superior (arah rongga dada), menyebabkan volume rongga dada
mengecil.13-16
Pulmo yang dipengaruhi oleh persarafan parasimpatis, melalui N. Vagus (N. X),
mengalami bronkokonstriksi, sehingga volume pulmo menurun. Penurunan volume rongga
dada dan pulmo mengakibatkan tekanan intra alveol jauh lebih tinggi daripada tekanan udara
atmosfer luar tubuh. Akibatnya, udara dari dalam pulmo dilepaskan ke atmosfer. 13-16
Manifestasi Klinik
Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu, sesak napas dan batuk. Adapun
gejala yang terlihat seperti :7
a) Sesak Napas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih
lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah berat
mendadak menandakan adanya eksaserbasi.
b) Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu pagi hari.
Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila eksaserbasi.
a) Wheezing
Kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi dan retensi mukus
menyebabkan pengurangan kaliper saluran napas dan tuberlensi aliran darah
yang berkepanjangan, yang menimbulkan mengi yang dapat didengar langsung
atau dengan stetoskop. Intesitas mengi tidak berkolerasi baik dengan keparahan
penyempitan saluran napas; contohnya, pada obtruksi saluran napas ektrem,
aliran udara dapat sedemikian berkurang, sehingga mengi mungkin sama sekali
tidak terdengar. Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini
menunjukan komponen reversibel penyakitnya.8
d) Batuk Darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran napas
yang radang dan khasnya “blood streaked purulen sputum”.
e) Anoreksia dan berat badan menurun
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.
30
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus mencakup pemeriksaan dan pengurangan faktor risiko selain
penatalaksanaa PPOK yang stabil maupun eksaserbasi. Harus ada peningkatan bertahap
pada pengobatan sesuai dengan keparahan penyakit, yang bisa dikelompokkan sebagai
berikut (Berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia/PDPI) : 9-12
Stadium 0 (beresiko)
Spirometri normal ; Batuk atau sputum kronis
Stadium 1 (ringan)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 =80 %
Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala
- sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Stadium 2 (sedang)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan 30% <FEV1 <80 %
Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala
- sesak napas derajat sesak 2
Stadium 3 (berat)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 <30 % atau FEV1 < 50 %
Gejala klinis : - Ekserbasi lebih sering terjadi
- sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik
- Disertai dengan komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:
1. Pemberian obat obatan9-12
a) Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat yang mengendurkan otot polos di sekitar saluran udara,
meningkatkan kaliber saluran udara dan meningkatkan aliran udara. Mereka dapat
mengurangi gejala sesak napas, mengi dan pembatasan latihan, sehingga
peningkatan kualitas hidup orang dengan PPOK. Mereka tidak memperlambat
laju perkembangan penyakit yang mendasarinya. Bronchodilators biasanya
diberikan dengan inhaler atau melalui nebulizer. Ada dua jenis utama
bronkodilator, β 2 agonis dan antikolinergik.
31
Antikolinergik tampaknya unggul β 2 agonis di PPOK. Antikolinergik mengurangi
kematian pernapasan, sementara β 2 agonis tidak berpengaruh pada pernapasan
kematian. Masing-masing jenis dapat berupa long-acting (dengan efek yang
berlangsung 12 jam atau lebih) atau short-acting (dengan onset cepat efek yang
tidak terakhir sebagai panjang). Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi
kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik.5
b) Anti Inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.
c) Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
d) Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.
e) Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
2. Pengobatan Penunjang9-12
a) Rehabilitasi
b) Edukasi
c) Berhenti merokok
d) Latihan fisik dan respirasi
e) Nutrisi
Menjadi baik berat badan atau kegemukan dapat mempengaruhi gejala, tingkat
kecacatan dan prognosis PPOK. Orang-orang dengan PPOK yang berat badannya
dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan mereka dengan meningkatkan
asupan kalori mereka. Ketika dikombinasikan dengan olahraga teratur atau
program rehabilitasi paru, hal ini dapat mengakibatkan peningkatan gejala PPOK.
3. Terapi Oksigen
Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang
atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati - hati dapat menyebabkan
32
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi
mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan
lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
5. Operasi Paru
Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru
(masih dalam proses penelitian di negara maju).
6. Vaksinasi Influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi influenza
diberikan pada:
a) Usia di atas 60 tahun
b) PPOK sedang dan berat
Prognosis
PPOK biasanya secara bertahap semakin memburuk dari waktu ke waktu dan dapat
menyebabkan kematian. Tingkat di mana parahnya bervariasi antara individu. Faktor-faktor
yang memprediksi prognosis yang lebih buruk adalah: 9-12
- Parah obstruksi aliran udara (FEV rendah)
- Sesak napas terus menerus
- Komplikasi seperti kegagalan pernapasan atau pulmonale cor
- Lanjutan merokok
Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien PPOK bila tidak tidak ditangani secara
lanjut antara lain:
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis. 9-12
2. Asidosis respiratorik
33
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara
lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea. 9-12
3. Infeksi pernapasan
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja napas dan timbulnya dyspnea. 9-12
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini. 9-12
5. Cardiac disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory. 9-12
6. Status asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit
ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon
terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.9-12
Pencegahan
Mencegah kebiasaan merokok, menghindari polusi udara, serta menjaga kesehatan
kerja. Dan yang paling penting adalah menjaga kualitas gaya hidup.11-12
Kesimpulan
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang terjadi karena
adanya sumbata pada jalan napas yang berlangsung lama. PPOK terdiri dari 4 jenis, yaitu
bronkiektasis, asma bronkiale, bronchitis kronis, dan emfisema. Gejalanya terdiri dari sesak
napas dan batuk produktif yang cukup lama. Penyebab dari penyakit ini adalah terutama
karena terpajan asap rokok, polusi, dan faktor genetik. Penanganannya dapat diberikan obat
bronkodilator dan pemberian oksigen.
Daftar Pustaka
1. Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta:EGC, 2009. h. 52-125.
34
2. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta :Erlangga;
2007.h.1-17.
3. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Edisi ke- 8. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.245-48.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pulmonologi. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2006. h. 994-6.
5. Davey P. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga. 2003. h. 181-5.
6. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi. Jakarta :
Erlangga .2008. h. 52-72.
7. Robbins, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta:EGC. 2009. h.434-
5.
8. Price SA. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi-2 .Jakarta:EGC.
2003. h.689-697.
9. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta : EGC;2007.h.255-9.
10. Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. Asma Bronkial. Dalam : Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 53.
11. Asdie AH. editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisisi ke-13. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. h.1347-56.
12. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier Inc. 2007. p. 480-500.
13. Faiz O, Moffat D. At a glance anatomi. Jakarta : Erlangga; 2004.h.2-13.
14. Eroschenko VP. Atlas histologi Di Fiore. Edisi ke-11. Jakarta : EGC;2012.h.352-362.
15. Sherwood L. Fisiologi manusia. Edisi ke-6. Jakarta : EGC;2009.h.277-289.
16. Tambayong J.Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002. h. 96-9.
35