patofisiologi sepsis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Syok sepsis termasuk salah satu dari keadaan serius yang
dihadapi para klinisi, walaupun angka kejadiannya jarang ditemukan pada
pasien obstetri akan tetapi tetap menjadi penyebab utama kematian ibu.Di
Amerika Serikat angka tahunan kejadian septik 50-95 per 100.000 kasus
dan angkanya terus meningkat 9% tiap tahunnya, diperkirakan 2 % dari
seluruh pasien dirawat karena sepsis dan 9 % diantaranya berkembang
menjadi sepsis berat dan hanya 3% dari sepsis yang berat berkembang
menjadi syok septik(Pryde PG, 1994; Gordon MC, 1997; Norwitz ER, 2010)
Sepsis adalah kumpulan gejala sebagai manifestasi respon
sistemik terhadap infeksi. Respon inflamasi sistemik adalah keadaan yang
melatarbelakangi sepsis. Respon ini tidak hanya disebabkan oleh adanya
bakteriemia, tetapi juga oleh sebab-sebab lain. Pendapat ini sangat
kontras dengan pendapat sebelumnya yang menganggap bahwa keadaan
sepsis ini semata-mata ditentukan oleh adanya bakteri dalam darah.(Gordon
MC 1997,Wheeler AP 2004)
Terminologi sepsis masih membingungkan karena penggunaan
yang tidak tepat dan berbagai macam definisi yang meyebabkan
kebingungan pada literatur medis. Akhir-akhir ini dibuat standardisasi
terminologi infeksi, bakteriemia, sepsis, dan septik syok sebagai usaha
untuk meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosa, mengobati, dan
membuat formulasi untuk prognosa dari infeksi ini. Dalam terminologi
1
yang baru, sepsis mewakili subgrup dalam “Systemic inflamatory
response syndrome” (SIRS).( Pryde PG ;Gordon MC 1997)
Terdapat banyak kejadian penting dalam patofisiologi sepsis.
Pertama adalah lebih kepada respon host, bukan terhadap patogen, yang
membedakan luaran pasien. Kedua monosit dan sel-sel endotelial
memegang peranan kunci dalam memulai dan menjalankan respon host.
Ketiga, sepsis berhubungan dengan aktivasi dari kaskade inflamasi dan
koagulasi. Terakhir dengan usaha bersama-sama untuk menangkis dan
mengeliminasi patogen, respon host dapat menyebabkan kerusakan
kolateral pada jaringan yang normal. Kegagalan ini dapat disebabkan
karena adanya supresi sistem imun. (Aird CA2003, Hotchkis 2003)
Penyebab bakteriemia yang paling sering (70% sampai 80%) pada
pasien obstetrik adalah terjadinya endometritis setelah persalinan dengan
seksio sesaria; jadi tak mengherankan, mayoritas sepsis (80%) pada
pasien obstetrik terjadi pada periode postpartum. (Pryde PG ;Gordon MC 1997)
Mengingat akan tingginya angka mortalitas pada pasien sepsis
maka perlu diketahui penatalaksanaan sepsis pada pasien obstetri
2
BAB II
DEFINISI DAN PREVALENSI
Sepsis adalah suatu respon sistemik terhadap infeksi. Pada sepsis
gejala klinis yang terdapat pada SIRS diikuti oleh adanya bukti infeksi.
(Gordon MC 1997; Norwitz. 2010)
Terminologi sepsis masih membingungkan karena penggunaan
yang tidak tepat dan berbagai macam definisi yang meyebabkan
kebingungan pada literatur medis. Akhir-akhir ini dibuat standardisasi
terminologi infeksi, bakteriemia, sepsis, dan septik syok sebagai usaha
3
untuk meningkatkan kemampuan untuk mendiagnosa, mengobati, dan
membuat formulasi untuk prognosa dari infeksi ini. Dalam terminologi
yang baru, sepsis mewakili subgrup dalam “Systemic inflamatory
response syndrome” (SIRS).(Gordon MC 1997, Wheeler AP 2004)
SIRS adalah respon sistemik yang menyebabkan aktivasi dari
sistim inflamasi host yang menyebabkan banyak hal yang merugikan dan
terlihat dengan terjadinya berbagai macam kondisi klinis. Selain infeksi,
penyebab lain dari SIRS termasuk pankreatitis, iskemia, hemorargia, syok,
kerusakan organ immune-mediated, dan luka bakar(Norwitz,2010)
Sepsis adalah respon inflamasi sistemik yang disebabkan oleh
berbagai macam organisme yang infeksius; bakteri gram negatif, bakteri
gram positif, fungi, parasit, dan virus. Tidak semua individu yang
mengalami infeksi menjadi sepsis, dan terdapat suatu rangkaian dari
beratnya infeksi dari proses yang terlokalisisir menjadi bakteriemia sampai
ke sepsis dan menjadi septik syok(Norwitz,2010)
Definisi berikut ini dibuat pada konsensus konfrensi dari Members
of the American College of Chest Physician/Society of Critical Care
Medicine Consensus Confrence Committee. American College of Chest
Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Confrence untuk
berbagai macam manifestasi infeksi.
1. Infeksi : Fenomena mikroba dengan karakteristik adanya respon
inflamasi karena adanya mikroorganisme atau invasi dari jaringan
host yang steril oleh organisme ini.
4
2. Bakteriemia : Terdapatnya bakteri yang viabel pada darah.
3. Sepsis (simpel) : Respon sistemik terhadap infeksi dengan
manifestasi dua atau lebih dari keadaan berikut ini:
Septik syok temperatur lebih dari 38C atau kurang dari 36C
Peningkatan denyut jantung lebih dari 90 kali per menit;
Takipnu, pernafasan lebih dari 20 kali per menit atau PaCo2
kurang dari 32 mmHg.
Perubahan hitung lekosit, yaitu lekosit lebih dari 12.000/mm3
atau kurang dari 4000/mm3 , atau terdapatnya lebih dari 10%
netrofil imatur.
4. Sepsis (berat) : Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ,
hipoperfusi, atau hipotensi. Hipoperfusi dan abnormalitas perfusi
dapat termasuk, tetapi tidak terbatas pada laktat asidosis, oliguria,
atau perubahan status mental akut.
5. Multiple organ dysfunction syndrome (MODS) keadaan dimana
ditemukan disfungsi dari beberapa organ.
Pada 1990, Centers for Disease Control and Prevention
melaporkan sekitar 450.000 kasus septikemia per tahun di Amerika
Serikat dengan lebih dari 100.000 kematina. Angus et al memperkirakan
terjadi 750.000 kasus sepsis berat per tahun, dengan angka kematian
28,6%. (Aird WC 2003)
5
Prevalensi bakteriemia pada populasi pasien obstetri dan
ginekologi dilaporkan 0,2% sampai 0,7% dari selurun wanita yang dirawat
di bagian obstetri dan ginekologi. Bakteriemia terdapat pada sekitar 5%
sampai 10% pada wanita dengan korioamnionitis akut, pielonefritis, atau
postpartum endometriosis. Dari wanita yang mengalami bakteriemia ini,
4% sampai 5% berkembang menjadi sepsis atau septik syok dan
sebanyak 3% nya meninggal.(Gordon WC,1997)
Mortalitas dari septik syok pada populasi yang tidak hamil jauh
lebih tinggi. Mortalitas septik syok pada populasi ini 20% sampai 50% dan
tergantung dari penyebab medis yang mendasarinya. Prognosa yang lebih
baik pada wanita hamil adalah multifaktorial termasuk:
1. Usia muda
2. Lamanya bakteriemia pada infeksi obstetrik
3. Organisme yang kurang toksik
4. Letak primer dari infeksi lebih mudah untuk diobati
5. Pasien yang sebelumnya sehat tanpa ada penyakit
kronik lain.
Walaupun pasien hamil dengan syok septik mempunyai luaran
yang lebih baik dibandingkan dengan populasi secara umum, penelitian
pada hewan memperlihatkan hewan yang hamil lebih kurang toleran
terhadap syok septik dibandingkan dengan hewan yan tidak hamil. Hewan
yang hamil mati lebih cepat karena sepsis gram-negatif (3,5 jam vs 14
jam) dengan metabolik asidosis yang berat. Sehingga walaupun prognosa
6
pada pasien hamil lebih baik dibandingkan dengan populasi secara
umum, kehamilan menyebabkan seorang wanita mempunyai resiko yang
lebih tinggi untuk perkembangan menjadi septik syok dan lebih kurang
toleransinya terhadap akibat yang timbul dibandingkan dengan wanita
yang tidak hamil.(Gordon MC 1997)
ETIOLOGI
Penyebab bakteriemia yang paling sering (70% sampai 80%) pada
pasien obstetrik adalah terjadinya endometritis setelah persalinan dengan
seksio sesaria; jadi tak mengherankan, mayoritas sepsis (80%) pada
pasien obstetrik terjadi pada periode postpartum. (Gordon MC 1997)
Persalinan dengan seksio sesaria berhubungan dengan tingginya
insidensi bakteriemia dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3% vs
0,1%); jadi persalinan dengan seksio sesaria adalah salah satu dari faktor
yang menyebabkan bakteriemia dan sepsis. Faktor risiko lain dimana
frekuensinya meningkat pada pasien obsteri yang menggunakan obat-
obat imunoprotektif atau sitotoksik, defisiensi imun dan penyakit kronis.
(Gordon MC 1997)
Seperti pada populasi non obstetrik, gram-negatif, kuman penghasil
endotoksin, basil aerobik (sebagian besar Enterobacteriaceae) adalah
yang paling sering ditemukan pada pasien obstetrik dengan bakteriemia
atau sepsis. Mayoritas dari mikroorganisme ini endogen dari flora vagina
dan tidak didapat dari nosokomial. Walaupun bakteri ini menyebabkan
7
sampai 60%-80% dari seluruh sepsis pada kehamilan, organisme lain
dapat menyebabkan sepsis; dan pada 20% dari kasus obstetri penyebab
sepsis adalah polimikroba. Walaupun jarang sepsis juga dapat
disebabkan oleh jamur, virus, parasit dan sampai 10% dari kasus infeksi
tidak ditemukan penyebabnya.(Gordon MC,1997)
8
BAB III
PATOFISIOLOGI SEPSIS
Perubahan sistemik yang dapat dialami pasien terjadi pada saat
lipopolisakarida binding protein mulai terikat pada struktur yang berasal
dari patogen dan dipresentasikan pada tempat pengikatan monosit atau
makrofag. Dari kedua jenis sel ini dapat dilepaskan sitokin dan yang
primer adalah tumor nekrosis faktor (TNF-), interlekuin 1 (IL 1), IL 6,
dan IL 8. Mediator primer ini selanjutnya merangsang pelepasan mediator
sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), Tromboksan A2 (TXA2), platelet
activating factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan
angiotensin, intestinal vasoaktif peptida serta histamin dan serotonin
disamping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari komplemen.( Aird
WC 2003, Riedemann NC 2003,Wheeler AP 2004, Hotchkiss RS 2004)
9
Sumber : http://www.mirm.pitt.edu/medicaldevices/projects/projects7.asp
Sitokin berfungsi untuk mempercepat penyembuhan luka dan
penetralan patogen. Respon sitokin harusnya berangsur-angsur
dideregulasi untuk akhirnya dapat menghentikan efek yang telah
digulirkan. Kesulitan kadang-kadang dapat dialami tubuh untuk
mengembalikan homeostasis ini dan bila semua pengendalian hilang
suatu reaksi sistemik yang dahsyat akan dialami tubuh sendiri.( Aird WC 2003,
Hotchkiss RS 2004)
Lipopolisakarida (LPS) langsung dapat mempengaruhi faktor XII
dan memicu pengaktifan sistem koagulasi. Kaskade koagulasi yang
berujung pada DIC dan fibrinolisis bersama tissue faktor teraktivasi
menyebabkan multiple organ failure mengingat pula bahwa aktivasi
neutrofil baik secara langsung oleh LPS maupun sistem kompolemen
10
dapat menyebabkan kerusakan endotel saat terjadi degranulasi, agregasi
dan adhesi.(Aird WC 2003)
Pelepasan bradikinin yang berujung pada vasodilatasi dan bersama
nitric oksida (NO) yang meningkat akibat hipoksemia jaringan berujung
pada hipotensi dapat juga diinduksi faktor XII.(Aird WC 2003)
Pengaruh yang membahayakan lainnya dari LPS dan produk
sejenis adalah terjadinya pangaktifan sistem komplemen yang dapat
menyebabkan kebocoran kapiler, edema organ vital dan
migrasi/akumulasi serta aktivasi neutrofil.
Peran trombosit pada kaskade sepsis belum diketahui pasti, namun
diduga pada endotel rusak dapat menginduksi vasokontrikasi dan juga
stimulasi netrofil. Pada endotel utuh, zat yang menghasilkan trombosit
(ADP, ATP) dan serotonin (5-HT) akan menyebabkan pelepasan
Endoteliun Derived Relaxing Factor (EDRF) dan prostasiklin (PGI2). Hal
serupa akan tejadi setiap kali terbentuk trombin. EDRF yang dilepas
merelaksasi otot polos vaskular dan melebarkan pembuluh sehingga
membilas mikroagregat. .( Aird WC 2003)
Dalam lumen, EDRF menghalangi agregasi trombosit. Monoamin
oksidase (MAO) memecah serotonin dan mengurangi monoamin yang
berdifusi menuju otot polos. Dengan kata lain, endotel berfungsi sebagai
inhibitor serotonin dan TXA2 untuk mencapai otot polos. Berbagai fungsi
yang berbeda ini memainkan peran yang dalam mencegah koagulasi dan
episode vasospasme yang tidak dikehendaki. .( Aird WC 2003)
11
Jika sel endotel rusak, peran proteksi endotel akan hilang secara
lokal, trombosit beradesi dan beragregasi, diikuti konstriksi seperti terjadi
pada hemostasis fase vaskuler. Di jaringan dapat terjadi pelepasan zat
yang mendepresi kerja miokard menyebabkan ventrikel berdilatasi dan
berkurangnya ejeksi ventrikel kiri. .( Aird WC 2003)
Endotoksin dan berbagai sitokin, khusunya IL-1, IFN- dan TNF-
menyebabkan pengaktifan reseptor endothelial yang menginduksi influks
kalsium kedalam sitoplasma sel endotel, kemudian setelah berinteraksi
dengan kalmodulin, akan mengaktifkan Nitric Oxide Synthase (NOS) yang
berperan dalam pembentukan Nitirc Oxide (NO) dan menimbulkan
pelepasan EDHF (Endithelium Derived Hyperpolarizing Factor).
Peningkatan NO menyebabkan relaksasi otot polos dengan mengaktifkan
sintesis cyclic-3’5’ Guanosine Monophospate cGNP dan Guanosine
Triphospate (GTP) . EDHF menyebabkan hiperpolarisasi dan relaksasi
otot polos dengan cara membuka saluran kalium (K+). Hal ini
menyebabkan vasodilatasi yang diduga dapat mengakibatkan hipotensi. .
( Aird WC 2003)
Perkembangan paling mutakhir dalam masalah sepsis meliputi
pengenalan sinyal terhadap mikroba dari sistem imun yang dapat
memberi respon melalui apa yang disebut dengan toll-like receptor (TLRs).
Mutasi pada reseptor ini pada hewan percobaan dapat mengakibatkan
kematian pada sepsis yang berhubungan dengan mutasi pada gen 4 TLR.
Gen ini juga ditemukan pada manusia sehingga kemungkinan kerentanan
12
terhadap infeksi dan sepsis akan dapat dialami pasien yang memiliki ciri
genetik ini.(Hotchkis RS 2003,Aird WC 2003)
Teori yang menyebutkan bahwa kematian yang disebabkan sepsis
adalah peran dari overstimulasi sistem imun berdasarkan penelitian pada
hewan yang tidak menggambarkan gambaran klinik pada manusia.
Penelitain-penelitian ini menggunakan dosis endotoksin dan bakteri yang
besar; sebagai konsekuensinya kadar sitokin yang bersirkulasi seperti
tumor necrosis faktor α (TNF-α) lebih tinggi pada hewan dibandingkan
pada pasien dengan sepsis. Pada penelitian ini hewan mati karena “badai
sitokin,” dan gabungan dan makromolekul yang menghambat mediator ini
peningkatkan survival..(Hotchkis RS 2003)
Pada bentuk yang pasti dari sepsis -contohnya, meningococcemia-
TNFα yang bersirkulasi tinggi dan berhubungan dengan mortalitas. Dari
55 anak-anak dengan infeksi purpura yang berat (32 diantaranya dengan
infeksi Neisseria meningitidis), 91 persen didapatkan kadar TNF-α
sirkulasi yang meningkat. Debet et al melaporkan bahwa hanya 11 dari 43
pasien dengan sepsis terdeteksi TNF di sirkulasinya (batas kadar
terdeteksi 5 – 10 pg per milliliter). Pada penelitian yang lain pasien dengan
sepsis, kurang dari 10 persen terukur TNF-α atau interlekuin-1.(Hotchkis RS
2003)
Walaupun sitokin dianggap jahat, tetapi juga mempunyai manfaat
pada sepsis. Penelitian pada hewan dengan peritonitis memperlihatkan
bahwa penghambatan TNF-α memperburuk survival. Imunoterapi
13
kombinasi melawan TNF-α dan reseptor interlekuin-1 fatal pada model
sepsis neutropeni. Pada percobaan klinis antagonis TNF meningkatkan
angka kematian. Peran dari TNF-α dalam memerangi infeksi telah
digarisbawahi dengan penemuan bahwa sepsis dan komplikasi infeksi lain
berkembang pada pasien dengan rematoid artritis yang diobati dengan
antagonis TNF.(Hotchkis RS 2003)
Meningkatnya pengetahuan tentang sinyal sel pathway sebagai
mediasi respon terhadap mikroba memperlihatkan bahwa konsep untuk
menghambat endotoksin sebagai usaha untuk mencegah komplikasi
infeksi septik mungkin terlalu sederhana. Sel-sel dari sistem imun
mengenali mikroorganisme dan menginisiasi respon melalui pola
pengenalan reseptor yang disebut toll-like receptor (TLRs). Melihat
peranan TLRs dalam memerangi infeksi telah dibuktikan dalam penelitian
pada tikus. yang resisten terhadap endotoksin karena mutasi dari pada
gen reseptor toll-like 4 (TLR4).Walaupun resistensinya terhadap
endotoksin, mortalitas tikus ini meningkat dengan sepsis yang otentik.
Mutasi TLR4 telah diidentifikasi pada manusia dan menyebabkan
seseorang lebih mudah terkena infeksi. Jadi walaupun endotoksin
mempunyai efek yang buruk, penghambatan total terhadap endotoksin
dapat mengganggu. (Hotchkis RS 2003, Aird WC 2003)
14
Kegagalan Sistem Imun
Pasien dengan sepsis mengalami imunosupresi, termasuk
kehilangan atau terhambatnya hipersensitifitas, kemampuan
menbersihkan infeksi, dan sebagai predisposisi terhadap infeksi
nosokomial. Satu alasan kegagalan dari strategi anti inflamasi pada
pasien dengan sepsis adalah perubahan sindroma dari waktu ke waktu.
Awalnya sepsis mempunyai karakteristik dengan menigkatnya mediator
inflamasi, tetapi bila sepsis menetap, terjadi pergeseran pada keadaan
antiinflamasi imunosepresif. Terdapat bukti bahwa imunosupresi pada
sepsis pada penelitian memperlihatkan bahwa darah yang distimulasi
oleh lipopolisakarida pada pasien sepsis melepaskan sejumlah kecil
sitokin inflamasi TNF-α dan interlekuin-1 dibandingkan pada pasien
kontrol. Sekuele dari sepsis yang diinduksi imunosupresi dikembalikan
dengan pemberian interferon- pada pasien sepsis. Imun stimulan
memperbaiki produksi makrofag TNF-α dan memperbaiki survival. .(Hotchkis
RS 2003)
Mekanisme Supresi Imun Pada Sepsis Sebuah pergeseran ke sitokin
antiinflamasi
Sel-sel T CD4 yang diaktifasi diprogram untuk mensekresi sitokin
dengan salah satu dari dua profil yang berbeda dan antagonis.T sel
mensekresi sitokin dengan sifat inflamasi (Sel T helper tipe 1[Th1]),
termasuk TNF-α, interferon-, dan intrlekuin-2, atau sitokin dengan sifat
15
antiinflamasi (Sel T helper tipe-2 [Th2]), contohnya interlekuin-4 dan
interlekuin 10. Faktor-faktor yang menentukan apakah Sel T CD4
mempunyai respon Th1 atau Th2 tidak diketahui tetapi mungkin
dipengaruhi tipe dari patogen, ukuran dari inokulum bakteri dan, tempat
infeksi. Sel-sel mononuklear dari pasien luka bakar atau trauma
mengurangi kadar sitokin Th1, tetapi meningkatkan kadar sitokin Th2
interlekuin-4 dan interlekuin-10, dan penigkatan dari respon imun Th2
meningkatkan survival pada pasien sepsis. Penelitain lain memperlihatkan
bahwa kadar interlekuin-10 meningkat pada pasien dengan sepsis dan
kadar tersebut memprediksikan mortalitas.(Hotchkis RS 2003)
Anergi
Anergi adalah keadaan dari tidak responsif terhadap antigen. Sel T
adalah anergi pada saat gagal untuk berproliferasi atau mensekresi sitokin
sebagai respon terhadap antigen spesifiknya. Heidecke et al memeriksa
fungsi sel T pada pasien dengan peritonitis dan menemukan bahwa terjadi
penurunan fungsi Th1 tanpa peningkatan produksi sitokin Th2, dimana
konsisten dengan anergi. Ploriferasi dan sekresi sitokin sel T yang tidak
sempurna berhubungan dengan mortalitas. Pasien dengan trauma atau
luka bakar berkurang kadar sel T bersirkulasi, dan sel T yang tersisa
adalah anergi.( Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003)
Kematian sel apoptosis dapat mencetuskan sepsis yang diinduksi
anergi. Walaupun secara konvensional dipercaya bahwa sel mati karena
16
nekrosis, penelitian terakhir memperlihatkan bahwa sel dapat mati dengan
apoptosis-program kematian sel secara genetik. Pada apoptosis sel-sel
melakukan bunuh diri dengan aktivasi protease yang menghancurkan sel.
Meknisme potensial dari apoptosis limfosit mungkin diinduksi dengan
pelepasan glukokrtikoid endogen. Tipe dari sel mati menentukan respon
imunilogi dari sel imun. Apoptosis sel menginduksi anergi atau sitokin
antiinflamasi yang mengganggu respon terhadap patogen, dimana sel
nekrosis menyebabkan stimulasi imun dan meningkatkan pertahanan
antimikroba. ( Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003)
Kematian sel-sel imun
Pada otopsi pasien yang meninggal karena sepsis diungkapkan
adanya kehilangan sel-sel yang menginduksi apoptosis yang progresif dari
sistem imun yang beradapatasi. Walaupun tidak terdapat kehilangan sel-
sel T CD8, natural killer sel, atau makrogfag, sepsis secara nyata
mengurangi kadar dari sel B, T sel CD4 dan sel-sel dendritic folicular.
Kehilangan limfosit dan sel-sel dendrit sangat penting, karena hal ini
terjadi pada infeksi yang mengancam jiwa. ( Hotckiss RS 2003)
Besarnya induksi apotosis pada limfosit selama sepsis terlihat pada
pemeriksaan hitung limfosit dalam sirkulasi. Pada suatu penelitian, 15 dari
19 pasien dengan sepsis mempunyai jumlah limfosit lebih rendah dari
batas bawah. Kehilangan sel-sel B, Sel-sel T CD4, dan sel-sel dendrit
mengurangi produksi antibodi, aktivasi makrofag, dan presentasi antigen.
17
( Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003) Defek imun yang diidentifikasi pada pasien sepsis,
termasuk disfungsi monosit terdapat pada tabel 1
Tabel 1 mekanisme Supresi imun pada Pasien dengan Sepsis
Mekanisme Supresi Imun Pada Pasien dengan Sepsis
Pergeseran dari respon inflamasi (Th1) ke respon antiinflamasi
(Th2)
Anergi
Induksi apoptosis dari sel-sel T CD4, sel-sel B, dan sel-sel
dendritik.
Kehilangan ekspresi makrofag dari MHC kelas II dan molekul-
molekul kostimulator
Efek imunosupresif dari sel-sel apoptosis
Protein C Teraktivasi
Respon inflamasi dan prokoagulan host terhadap infeksi sangat
berhubungan. Sitokin inflamasi, yaitu TNF, interlekuin 1 , dan
interlekuin-6, sanggup mengaktivasi koagulan dan menghambat
fibrinolisis, dimana trombin peokoagulan dapat menstimulasi pathway
inflamasi multipel.. Hasil akhirnya adalah cedera endovaskuler yang difus,
disfungsi multiorgan, dan kematian. Protein C teraktivasi, sebuah protein
yang memfasilitasi fibrinolisis dan menghambat trombosis dan inflamasi,
18
adalah modulator yang penting dari koagulasi dan inflamasi yang
berhubungan dengan sepsis berat. Protein C teraktivasi dikonversi dari
prekursor inaktif, protein C, dengan penggabungan trombin dan
trombomodulin dengan sitokin inflamasi. Pengurangan kadar protein C
ditemukan pada mayoritas pasien dengan sepsis dan meningkatkan
resiko kematian. (Bernard GR 2001)
19
BAB IV
PEMERIKSAAN DAN PENATALAKSANAAN SEPSIS
Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Inisial (Mackenzie I 2001)
Penatalaksanaan awal pada pasien dalam keadaan kritis meliputi
Pemeriksaan segera jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
Riwayat penyakit singkat
Pemeriksaan terbatas pada sistem tubuh yang relevan
Pemeriksaan sekunder setelah stabilisasi pasien termasuk
Riwayat penyakit lengkap, pemeriksaan detil sistem tubuh.
Penatalaksanaan inisial (Mackenzie I 2001,Delinger RP 2004)
Jalan nafas dan pernafasan.
Gagal nafas sering terjadi dan dapat berkembang menjadi keadaan
yang buruk sehingga diperlukan pemeriksaan yang berulang-ulang.
Penurunan kesadaran adalah yang paling sering menyebabkan obstruksi.
Pasien dengan refleks jalan nafas yang tidak adekwat harus dirawat pada
posisi pemulihan dan jika memungkinkan dilakukan intubasi dan ventilasi
mekanik.
Jalan nafas yang bersih tidak menggambarkan pernafasan yang
efektif. Kegagalan pertukaran udara dapat disebabkan oleh masalah
parenkim paru (pneumonia, kolaps paru, edema paru), kegagalan ventilasi
20
mekanik (pneumotorak, hemotorak, ruptur jalan nafas) atau
berkurangnnya pengatur pernafasan (ensepalopati).
Kegagalan pernafasan dapat diperkirakan dengan tanda dari
distres pernafasan termasuk dispnu, meningkatnya respiratory rate,
penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, sianosis, kebingungan,
takikardi, berkeringat. Diagnosa dibuat secara klinis, tetapi dapat
dikonfirmasi dengan pulse oximetery dan analisa gas darah. Pasien
dengan kesadaran yang menurun dapat tidak bereaksi secara normal
terhadap hipoksia dan tanda dari gagal nafas menjadi sulit untuk
dideteksi. Pasien dengan ventilasi, pertukaran gas yang tidak adekwat,
membutuhkan alat bantu pernafasan. Biasanya pada keadaan ini
dibutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis walaupun pertukaran gas dan
dan oksigenasi dapat diperbaiki dengan penggunaan continous positive
airway pressure (CPAP) dengan face mask atau ventilasi non invasif.
Sirkulasi.
Takikardi dan hipotensi adalah temuan yang hampir selalu ada
pada pasien sepsis dan menyebabkan beberapa masalah kardiovaskuler.
Pada sepsis awal, dan pada pasien yang telah mendapatkan resusitasi
cairan, tekanan darah yang rendah dan dan denyut jantung yang tinggi
disebabkan oleh tingginya cardiac output dan rendahnya resisitensi
vaskular dengan perifer yang hangat dan nadi yang meningkat.
Kebalikannya pasien yang belum dilakukan resusitasi terdapat cardiac
21
output yang rendah dan resistensi vaskuler sisitemik yang tinggi. Pada
pasien ini didapatkan akral yang dingin, berkeringat, dengan nadi yang
lemah dan dibutuhkan resusitasi segera. Banyak pasien datang dengan
gambaran klinik yang tidak jelas atau campuran. Resusitasi bertujuan
untuk mengembalikan volume sirkulasi, cardiac output dan memperbaiki
hipotensi.
Infus inisial dengan cairan kristaloid atau koloid secara cepat
dengan panduan dari respon klinik. Pada akral yang hangat, pada pasien
dengan vasodilatasi dan kardiak output yang tinggi beberapa liter cairan
kristaloid dibutuhkan untuk mencapai pengisisan intra vaskuler yang
adekuat. Pada pasien dengan gambaran klinik campuran atau gambaran
klinik yang tidak jelas susah untuk menilai secara klinis. Pemberian cairan
dengan jumlah yang banyak pada pasien yang diketahui mempunyai
penyakit jantung atau disfungsi miokard disesuaikan dengan masalah
penyakit akutnya. Pada pasien-pasien ini penggunaan kateter vena
sentral akan membantu dengan cara mengukur tekanan vena sentral
(CVP) untuk memandu resuisitasi cairan dan untuk mendapatkan jalan
infus obat-obat vasopresor atau inotropik.
Riwayat Penyakit.
Penyebab dapat jelas terlihat (trauma, luka bakar atau tindakan
pembedahan) atau lebih sulit untk didiagnosa (pankreatitis, sepsis
ginekologis), terutama pada pasien yang tidak sadar.
22
Pemeriksaan.
Penampilan dari pasien bervariasi ; dapat terlihat baik, hangat dan
perfusi yang baik dengan peningkatan nadi atau dapat dingin,
vasokonstriksi dan sianosis perifer. Pasien-pasien yang hangat dan dingin
menggambarkan dua spektrum dari gejala. Pemeriksaan dapat
menggambarkan derajat kesakitan, status hidrasi intra vaskuler dan dapat
memperlihatkan penyebab dasarnya.
Pada saat mencari penyebab dasar dari infeksi dipertimbangkan :
Sistim saraf pusat : Kelainan neurologis global
(mengantuk, bingung, gelisah, koma) atau fokal
(pergerakan atau sensasi abnormal yang terlokalisir)
Sistim pernafasan : lendir mukopurulen dari saluran
pernafasan, dispneu, konsolidasi paru atau terdapatnya
cairan pleura.
Sistim gastro intestinal : nyeri abdomen dengan rigiditas
menggambarkan iritasi peritoneum.
Saluran vagina atau riwayat dari terminasi
menggambarkan sepsis ginekologis.
Kulit : luka kulit purulen, tanda-tanda inflamasi
(kemerahan, nyeri, bengkak, panas) atau ptekhie
(meningokokaemia).
Pada pasien dengan SIRS terdapat diagnosa-diagnosa
dari penyakit non infeksi. Dipertimbangkan infark miokard,
23
emboli paru, ketoasidosis diabetikum, keracunan obat
atau over dosis obat, eklampsia, serangan
serebrovaskuler.
Pemeriksaan Sekunder
Setelah penilaian inisial dan resuisitasi pasien harus mendapatkan
jalan nafas yang baik, ventilasi yang adekuat dan resuisitasi
kardiovaskuler harus terjaga. Hal ini harus di cek ulang secara berkala.
Prioritas berikut yang harus dilakukan adalah :
Cari dan temukan riwayat penyakit akut terdahulu
pasien.
Lakukan pemeriksaan fisik menyeluruh.
Lakukan penyelidikan yang relevan.
Konsultasi dengan tim terkait pada penatalaksanaan
pasien (ahli bedah untuk infeksi intra abdominal, ahli
ginekologis untuk sepsis ginekologis).
Lanjutkan resuisitasi.
Lakukan penyelidikan untuk mengkonfirmasi atau memastikan
masalah-masalah yang didapat dari temuan klinis, atau untuk mencari
komplikasi yang mungkin dari setiap penilaian klinis. Penyelidikan
tergantung kepada kemampuan dan ketersediaan alat pada masing-
masing senter. Contoh, pada pasien sepsis dengan tanda abdominal pada
24
senter yang tidak mempunyai fasilitas radiologi laparatomi diagnostik
adalah tindakan yang definitif (dan pengobatan).
Monitoring
Tidak tergantung kepada peralatan yang mahal tetapi hal ini
membutuhkan kehadiran perawat yang terlatih. Dokumentasi yang jelas
membantu untuk mengetahui perubahan-perubahan status klinis pasien.
Pasien dengan SIRS/sepsis berat harus diobservasi dan dicatat tiap jam
yaitu suhu, nadi, tekanan darah, jumlah urin, CVP, jumlah pernafasan dan
SpO2. keseimbangan cairan yang akurat sangat penting karena
kehilangan cairan insensibel sangat signifikan pada iklim yang panas.
Idealnya pengukuran suhu secara sentral (rektal atau nasoparingeal).
Pengobatan Masalah Dasar
Terapi antibiotik
Pemberian antibiotik inisial tergantung pada gambaran klinis
pasien, resistensi antibiotik dan ketersediaan. Antibiotik yang diberikan
harus berspektrum luas untuk mengenai sebagian besar kuman patogen,
tetapi harus diperhatikan akibat dari resistensi antibiotik. ( Mackenzie I 2001,Delinger
RP 2004)
25
Surgical Debridement
Abses, empiema, jaringan nekrosis, jaringan terinfeksi dengan
kontaminasi jaringan yang banyak (luka terbuka, peritonitis) tidak dapat
diobati dengan anti biotik saja tetapi harus ditangani secara bedah pada
kesempatan pertama. ( Mackenzie I 2001)
Steroid.
Kortikosteroid intravena (hydrocortisone 200-300 mg/hari,
selama 7 hari dalam 3 – 4 kali pemberian atau dengan drip infus
direkomendasikan pada pasien dengan septik syok. (Mackenzie I 2001,Annane D 2002,
Delinger RP 2004)
Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC)
rhAPC direkomendasikan pada pasien dengan resiko kematian
(Multiple organ failure, septik syok, ARDS). rhAPC , suatu antikoagulan
endogen dengan sifat anti inflamasi memperlihatkan perbaikan suvival
pada pasien sepsis dengan disfungsi organ. (Delinger RP 2004)
Strategi Terapi untuk Mempertahankan Fungsi Organ(Mackenzie I 2001)
Organ failure disebabkan karena oksigenasi yang tidak adekuat
pada organ tersebut disebabkan oleh jeleknya perfusi. Strategi untuk
mempertahankan atau mengembalikan fungsi organ secara umum
26
dengan cara memperbaiki aliran oksigen dan nutrisi pada seluruh
jaringan, atau organ-organ spesifik.
Meningkatkan Pengiriman Oksigen
Pengiriman oksigen ke jaringan (DO2) yaitu : DO2 = curah jantung
x kadar hemoglobin x saturasi oksigen.
Masing-masing dari ketiga faktor ini harus diperbaiki untuk
meningkatkan pengiriman oksigen.
Curah jantung
Pada SIRS curah jantung dapat rendah, tinggi atau normal.
Perubahan curah jantung pada tingkat normal atau supra normal
dibutuhkan untuk mempertahankan pengiriman oksigen, mempertahakan
tekanan darah, juga penting untuk meyakinkan tekanan perfusi adekuat.
Walaupun sebagian besar organ dapat melakukan autoregulasi,
mekanisme ini tidak selalu dapat mengkompensasi ganguan sirkulasi
pada sepsis. Karena itulah mengapa pada pasien vasodilatasi dengan
curah jantung yang tinggi membutuhkan intervensi untuk meningkatkan
curah jantungnya.
Pengobatan utama untuk mempertahankan fungsi kardiovaskular
adalah koreksi hipovolemia dengan terapi cairan, obat-obat inotropik dan
vasopresor. ( Mackenzie I 2001,Delinger RP 2004)
27
Koreksi hipovolemia (terapi cairan). Vasodilatasi
menyebabkan darah berkumpul pada daerah perifer, dan
permiabilitas kapiler yang abnormal meyebakan
kebocoran cairan ke jaringan. Perubahan ini menurunkan
volume darah relatif (dengan vasodilatasi) dan volume
darah absolut (kebocoran kapiler) menyebabkan
penurunan preload jantung dan menyebabkan
penurunan curah jantung. Monitor kemajuan klinis: respon
yang memuaskan dari terapi cairan digambarkan dengan
penurunan denyut jantung, meningkatnya tekanan darah,
penurunan waktu pengisian kapiler dan perbaikan fungsi
organ. Kateter vena sentral berguna jika gambaran klinis
sulit dinilai.
Manfaat yang nyata dari koloid dibandingkan kristaloid
belum pernah dibuktikan, tetapi kristaloid didistribusikan
secara cepat kedalam voume ekstraseluler dan
karenanya harus diberikan volume yang lebih hesar
untuk resusitasi intravaskular. Pada pasien yang anemis
sering dibutuhkan darah.
Penggunaan obat inotropik dan vassopresor. Jika
tekanan darah tetap rendah setelah pasien diberikan
pengisian intravaskuler yang adekuat, pasien mengalami
fungsi pompa miokard yang tidak adekuat atau
28
mengalami tingkat vasodilatasi yang tidak dapat
diperbaiki dengan hanya terapi cairan saja. Jika pasien
terlihat pada vasodilatasi dengan sirkulasi yang
hiperdinamik obat-obatan dengan vasopresor (agonis
adrenoreseptor), seperti noradrenalin berguna untuk
meningkatkan tekanan darah. Jika akral pasien dingin ,
adalah tanda jeleknya perfusi organ dan atau rendahnya
tekanan darah sehingga obat dengan fungsi positif
inotropik adalah pilihan yang terbaik. Contohmya adalah
adrenalin, dobutamin atau dopamin. Intoropik harus
diberikan melalui kateter vena sentral dan pengukuran
langsung tekanan darah intra arterial diperlukan untuk
pembacaan yang akurat dan terus-menerus.
Kateter arteri pulmoner (swan-ganz kateter) secara tidak langsung
mengukur tekanan pada atrium kiri yang dapat mengukur secara lebih
akurat status volume intra vaskuler. Sampel darah saturasi dari arteri
pulmoner memberikan saturasi oksigen darah vena yang dapat digunakan
untuk mengukur kecukupan pengiriman oksigen.
29
Pertukaran gas dan saturasi oksigen. ( Mackenzie I 2001,Delinger RP 2004)
Mayoritas dari pasien yang mengalami sepsis berat membutuhkan
intubasi dan ventilasi dan hampir 50% berkembang dengan masalah
pertukaran gas. Masalah paru-paru yang berhubungan dengan SIRS
disebut acute lung injury (ALI).Acute respiratory distress syndrome
(ARDS) menggambarkan ALI yang lebih berat. Pada kedua kasus ini
paru-paru menjadi udematus dan terjadi kerusakan sehingga
kemampuannya berkurang untuk mengambil oksigen atau mengeluarkan
gas karbon dioksida. ALI dapat membaik dengan pengobatan penyebab
dasar dari SIRS, atau berkembang menjadi keadaan dimana paru-paru
menjadi jaringan fibrosis. Steroid dapat berperan dalam pengobatan ALI
lanjut /ARDS, tetapi tidak efektif pada stadium dini. Beberapa dari
kerusakan paru menetap selama keadaan kritis dapat disebabkan oleh
ventilasi mekanik : pemompaan yang kuat menyebabkan ekspansi yang
berlebihan dan kerusakan alveoli.
Pneumoni yang berhubungan dengan ventilator adalah komplikasi
ventilasi yang sering terjadi. Hal ini diperkirakan terjadi karena
kontaminasi saluran pernafasan karena aspirasi regurgitasi dari lambung (
aspirasi mikro di sekeliling endotrakeal tube). Teknik yang digunakan
untuk mengurangi insidensi pneumoni karena ventilator meliputi :
Teknik aseptik pada saat melakukan suction
Posisikan pasien pada posisi semirekumben
30
Hindari penggunaan proton pump inhibitor atau H2-
antagonis yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri
pada lambung yang disebabkan karena berkurangnya
asiditas. Berikan pemberian makanan nasogastrik secara
dini.
Yakinkan bahwa balon dari Endotrakeal Tube
mengembang secara benar
Hindari intubasi ulang atau manipulasi dari peralatan jalan
nafas
Pengobatan anemia.
Penelitian terakhir memperlihatkan bahwa transfusi darah pada
pasien kritis untuk mempertahankan kadar hemoglobin lebih besar dari 10
gram/dl tidak merobah keluaran pasien. Dengan kemungkinan masalah-
masalah yang akan timbul yang berhubungan dengan transfusi darah, jika
tidak ditemukan penyakit jantung iskemik dapat dipertanggung jawabkan
untuk mempertahankan kadar Hb 7-9 gram/dl. ( Mackenzie I 2001,Delinger RP 2004)
Suplai nutrisi dan perubahan hormonal pada SIRS sekresi insulin
berkurang karena stres penyakit yang berat sedangkan sekresi kortisol
dan growth hormon keduanya meningkat. Pasien rentan terhadap
hiperglkemia disebabkan antagonis insulin dari hormon-hormon tersebut
dan obat-obatan seperti adrenalin infus insulin intravena diberikan
perlahan-lahan (1unit/ml) dibutuhkan untuk mempertahankan kadar gula
31
darah normal ( 5-9 mmol/l), tetapi jika hal ini tidak berhasil kontrol gula
darah yang adekuat dapat dicapai dengan injeksi insulin subkutan
intermiten. Periksa gula darah secara teratur. (Berghe GV 2001, Mackenzie I 2001,Delinger RP
2004)
Selama keadaan sakit yang panjang kebutuhan metabolit pasien
akan meningkat karena pengaruh dari demam dan infeksi, dan pasien
akan mengalami katabolik katabolisme, pemecahan jaringan tubuh
(terutama otot) sebagai bahan metabolisme. Proses ini tidak dapat
diperbaiki, tetapi dapat dibatasi dengan memberikan jumlah energi yang
sesuai (dalam bentuk lemak dan karbohidrat), nitrogen (dalam bentuk
protein,peptida atau asam amino), mineral dan vitamin. Pemberian makan
melalui jalur enteral lebih dipilih karena keuntungan seperti mengurangi
stres ulcer pada lambung, mempertahankan fungsi mukosa usus dan
mengurangi translokasi bakteri dari lumen usus ke dalam sirkulasi. Pada
beberapa kondisi tidak dilakukan pemberian makanan enteral (pada
reseksi usus) tetapi masalah-masalah dapat diatasi (contoh
tubenasojejunal untuk pankreatitis atau gastrostomi perkutaneus untuk
penyakit esofagus). Nutrisi intravena dapat digunakan jika pemberian
makanan enteral tidak memungkinkan, tetapi hal ini sangat mahal dan
berhubungan dengan beberapa komplikasi yang signifikan (tersering
infeksi). ( Mackenzie I 2001,Delinger RP 2004)
32
Strategi spesifik organ( Mackenzie I 2001,Delinger RP 2004)
Saluran gastrointestinal
Usus dapat berperan sebagai penggerak MODS, dengan
mekanisme translokasi bakteri melalui mukosa yang rusak dimana
integritasnya telah dirusak karana hipoksia. Pemberian makanan enteral
dini adalah usaha preventif utama untuk mengatasi hal tersebut.
H2 antagonis dan proton pump inhibitor digunakan untuk
mengurangi kerusakan mukosa pada pasien yang tidak dapat diberi
makan secara enteral. Kerugian dari hal ini adalah mengurangi keasaman
lambung sehingga bakteri akan mengalami pertumbuhan yang berlebih
dan dapat meningkatkan kejadian pneumoni yang berhubungan dangan
ventilator dan tranlokasi bakterial. Sukralfat adalah alternatif yang murah
yang memberikan perlindungan terhadap mukosa tanpa mengurangi
keasaman lambung.
Liver
Pada fase akut dari sepsis (dalam 24-48 jam pertama) liver dapat
rusak karena penurunan tekanan darah, terlihat dari penigkatan yang
tajam enzim-enzim liver sirkulasi (laktat dehidrogenase dan SGOT
/SGPT). Dengan resusitasi yang adekuat kerusakan ini dapat dihentikan
dan bersifat reversibel. Mempertahankan fungsi liver tergantung pada
resusitasi yang efektif, pembuangan yang cepat dari fokus septik
pengobatan antibiotik yang sesuai sokongan nutrisi dini, dan menghindari
33
kerusakan lebih lanjut. Kerusakan hati dapat menyebabkan ensefalopati,
koagulopati dan hipoglikemia.
Ginjal
Saluran ion pada epitel tubular dari medula renal tergantung energi
(oksigen) dan karenanya sangat sensitif terhadap hipotensi dan hipoksia.
Lebih dari 60% pasien dengan sepsis berkembang dengan fungsi renal
yang abnormal dan jika terapi pengganti ginjal (hemofiltrasi atau
hemodialisa) dibutuhkan angka kematian mencapai 75%. Indikasi untuk
terapi penggantian ginjal meliputi, hiperkalemia yang berat atau refraktor,
metabolisasi dosis yang berat, tidak adanya pengeluaran urin atau uremia
simtomatik.
Jika pasien mengalami oliguri lakukan hal berikut ini :
Singkirkan penyebab obstruksi.
Bilas kateter urin pertimbangkan adanya kerusakan uretra karena
trauma.
Resusitasi cairan.
Pengurangan volume darah menstimulasi pelepasan renin, hormon
antidiuretik dan aktivasi dari sisitem saraf simpatik, mengurangi
volume urin yang diproduksi oleh ginjal. Akibat ini dapat diatasi
dengan resusitasi cairan adekuat dipandu secara klinis dan jika perlu
gunakan kateter vena sentral.
34
Tekanan darah.
Autoregulasi ginjal pada tekanan filtrasi di glomerulus dengan
mengubah resisitensi dari arteriol aferen dan eferen. Autoregulasi
gagal jika meanarterial pressure turun di bawah 60mmHg dan aliran
urin menurun atau berhenti. Koreksi dari hipovolemia tidak dapat
mengembalikan tekanan darah pergunakan obat-obat inotropik dan
vasopressor.
Agen-agen nefrotoksik.
Hentikan NSAID, ACE Inhibitor dan hindari pemakaian media kontras
radiografi. Kadar antibiotik aminoglikosida harus diperiksa.
Diuretik.
Loop diuretik seperti furosemid dapat menghasilkan diuresis tetapi
hanya boleh digunakan setelah pengembalian yang optimal dari
volume intravaskular. Dengan menghambat transpor ion aktif pada
loop of henle yang
memberikan proteksi terhadap sel-sel tubulus dari kerusakan karena
hipoksia.
Jika hal ini tidak memperbaiki aliran urin, maka gagal ginjal telah
terjadi. Bila tidak dipergunakan obat-obat nefrotoksik penyebabnya adalah
karena nekrosis tubular akut, dimana pada sebagian besar bersifat
reversibel. Waktu untuk mengembalikan fungsi ginjal bervariasi (dari
beberapa hari sampai beberapa minggu) dan sebagai panggantinya
35
dilakukan penggantian ginjal yang berguna untuk mengontrol hipovolemia,
asidosis, hiperkalemia dan uremia.
Pemantauan kemajuan pasien( Mackenzie I 2001)
Kegagalan perbaikan atau memburuk peyimpangan pada setiap
tahap harus dilakukan pemeriksaan berkelanjutan pada pasien (ABC,
riwayat penyakit, pemeriksaan dll). Pertimbangkan apakah diagnosis yang
pertama benar, telah berkembang diagnosa baru, pangobatan telah tepat,
atau telah terjadi komplikasi.
Tanda-tanda kedaan yang memburuk termasuk:
Takikardi yang menetap atau bertambah buruk.
Temperatur yang tetap tinggi atau berubah-ubah.
Peningkatan lekosit, protein C-reactive.
Penurunan tekanan darah, atau peningkatan kebutuhan obat-obat
vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah.
Memburuknya output ginjal.
Memburuknya tingkat kesadaran.
Memburuknya fungsi pernafasan
Pencegahan Komplikasi
Pasien dengan SIRS dapat mengalami penurunan fungsi imun dan
banyak dari prosedur yang dilakukan pada ICU mengurangi pertahanan
36
tubuh alami (intubasi orotrakeal, kanul perifer, kanul vena sentral) dan
membuat pasien rentan terhadap infeksi sekunder. ( Mackenzie I 2001)
Pencegahan infeksi
Staf medis terlibat dalam menyebaran infeksi diantara pasien.
Seluruh staf harus mencuci tangan sebelum dan sesudah menangani
pasien. Peralatan (seperti termometer, stetoskop) jika memungkinkan
tidak dipakai bersama-sama antar pasien, tetapi bila tidak memungkinkan
alat yang dipergunakan harus dibersihkan dengan baik. Staf harus
melindungi diri dan pakainnya dari kontaminasi dengan material biologis
dengan menggunakan apron dan sarung tangan. Pasien harus
dimandikan setiap hari dan linen tempat tidur harus selalu bersih. Luka,
termasuk tempat drainase dan tempat kanula intravena harus selalu
diperiksa. Dibersihkan dan diverban secara reguler. Kanula intravena dan
vena sentral harus segera dilepas bila tidak diperlukan. ( Mackenzie I 2001)
Imobilitas dan sakit berat
Pasien diimobilisasi dengan sedasi. Kerusakan karena tekanan
dapat dihindari dengan mengubah posisi pasien setiap dua atau empat
jam, dan mengganti linen yang basah. Perhatian khusus harus diberikan
pada kulit dengan tulang yan menonjol, seperti pada tumit dan siku,
dengan membungkusnya dengan kain yang lembut. Kerusakan mata
dapat dicegah dengan menutup mata atau dengan menggunakan jel
protektif. Pada pasien yang dirawat lama fisioterapi berguna untuk
37
meminimalkan kehilangan masa otot dan mempertahankan rentang
pergerakan aktif dan pasif. ( Mackenzie I 2001)
BAB V
KESIMPULAN
1. Sepsis adalah respon inflamasi sitemik terhadap infeksi. Pada
infeksi, manifestasi dari sepsis sama dengan yang didefinisikan
sebagai SIRS.
2. Kejadian penting dalam patofisiologi sepsis. Pertama adalah
respon host terhadap patogen. Kedua monosit dan sel-sel
endotelial memegang peranan kunci dalam memulai dan
menjalankan respon host. Ketiga, sepsis berhubungan dengan
aktivasi dari kaskade inflamasi dan koagulasi. Terakhir dengan
38
usaha bersama-sama untuk menangkis dan mengeliminasi
patogen, respon host dapat menyebabkan kerusakan kolateral
pada jaringan yang normal. Kegagalan ini dapat disebabkan
karena adanya supresi sistem imun.
3. Penatalaksanaan sepsis adalah penatalaksanaan inisial,
pengobatan masalah dasar, dan strategi untuk mempertahankan
fungsi organ.
DAFTAR PUSTAKA
Aird WC. The role of the endothelium in severe sepsis and multiple organ
dysfunction syndrome. Blood 101.10 p 3765-3777,2003.
Annane D, Sebille V, Carprentier C. Effect of treatment with low doses of
hydrocortisone and fluorocortisone in mortality in patients with
septic shock. J Am Med Assoc. 288(7):862-71. 2002
Berghe GV, Wouters P, Weekers F, et al. Intensive insulin therapy in
critical ill patiens. N Eng J Med.345(19):1359-67.2001
Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, et al. Efficacy and Safety of
Recombinant Human Activated Protein C for Severe Sepsis. N Eng
J Med 344,10 699-709, March 2001
39
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H et al. Surviving Sepsis Campaign
guideline for management of severe sepsis and septic shock. Crit
Care Med Vol 23 No 3. 2004.
Norwitz ER, Lee HJ, Septic Shock dalam Critical Obstetrics Fifth Edition,
Willey-Blackwell – West Sussex , 2010
Gordon MC. Maternal Sepsis in Obstetric Intensive Care. WB Saunders
Company, Philadelphia Tokyo, p129-146. 1997
Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N
Eng J Med 348;2 p 138-149, January 2003.
Imboden JB. T Lymphocytes & Natural Killer Cells. In Basic an Clinical
Imunology. 8Th edition ,Appleton & Lange, London p 94-104. 1994
Mackenzie I. The Management of Sepsis.Update Anesthesia Issue 13 p 1-
3. 2001
Members of the American College of Chest Physician/Society of Critical
Care Medicine Consensus Confrence Committee. American
College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine
Consensus Confrence:Definition for sepsis and organ failure and
guidelines for the use of innovative therapies in sepsis.Crit Care
Med, 20:865-74.1992
Pryde PG , Septic Shock and Sepsis Syndrome in Obstetric patient
in Infectious Disease in Obstetrics and gynecology vol 2
page 190-201 , 1994
Riedemann NC, Guo R, Ward PA. The Enigma of Sepsis. J Clin Invest
40
112, 460-467, 2003
Wheeler AP, Bernard GR. Treating Patient With Severe Sepsis. N Eng J
Med 340,3 p207-214, November 2004
41