p-issn 2527-497x e-issn 2580-4448 jurnal...

103
p-ISSN 2527-497X INFRASTRUKTUR JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Vol. 2 No. 02 Desember 2016 e-ISSN 2580-4448

Upload: dangnguyet

Post on 09-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR i

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

p-ISSN 2527-497X

INFRASTRUKTURJURNAL

PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONALBADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIAKEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

e-ISSN 2580-4448

Page 2: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTURii

Susunan Redaksi Jurnal Infrastruktur

Pengarah : Dr. Ir. Andreas Suhono, M.Sc.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Penanggung Jawab : Ir. Asep Arofah Permana, MT., MM.

Mitra Bestari : Aine Kusumawati, ST., MT., Ph.D (Institut Teknologi Bandung)

Prof. Dr. Muhammad Yamin Jinca, MS.Tr. (Universitas Hasanuddin Makassar)

Prof. Dr. Ir. Nieke Karnaningroem, M.Sc. (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya)

Dr.techn. Umboro Lasminto, ST., M.Sc (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya)

Redaktur : Ir. Yusdiana Caya, M.Si

Dewan Penyunting : Drs. Haris Marzuki Susila

Diana Febrianti, S.Kom., MMT

Luthfi Ainuddin, ST

Redaksi

Desain : Lamtiur Gustina, A.Md

Fotografer : Imam Syahid Izzatur Rahim, A.Md

Sekretariat : Mardiyan Syah, A.Md

Rosna Kumala Sary, SE

Dini Prilia Gamarlin, S.Sos., M.Si

Website : bpsdm.pu.go.id/jurnal

Email : [email protected]

Alamat : Pusdiklat Manajemen dan Pengembangan Jabatan FungsionalBadan Pengembangan Sumber Daya ManusiaKementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Jl. Sapta Taruna Raya Komplek PU Pasar Jumat Jakarta Selatan 12330Telp. 021-759 08822

Jurnal Volume No Hal Jakarta p-ISSN e-ISSN

INFRASTRUKTUR 2 02 001 - 099 Desember 2016 2527-497X 2580-4448

INFRASTRUKTURJURNAL

Vol. 2 No. 01 April 2017Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Page 3: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR iii

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

DAFTAR ISI

Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

Pengantar Redaksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv

1. MENJAWAB TANTANGAN JALAN TOL 1000 KMHerry Trisaputra Zuna

2. ANALISIS KEGAGALAN KONSTRUKSI PADA BANGUNAN GEDUNG DI PROVINSI JAWA BARATRina Rusdiani

1 - 1

1 - 10

3. IDENTIFIKASI KEBOCORAN PIPA PDAM KOTA MALANG DENGAN METODE STEP TEST

Zahra Aulia Syahidah, Suprapti Bintari

1 - 16

4. PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KETERJANGKAUAN DAYA BELI MASYARAKAT MENGGUNAKAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM) Studi Kasus: PDAM Kota Bukittinggi, Sumatera BaratRicky Fernandez, Suprihanto Notodarmojo

5. UPAYA TEKNIS PERBAIKAN DEFISIENSI KESELAMATAN AKIBAT KETIDAKTEPATAN GEOMETRIK JALAN DAN PENYALAHGUNAAN RUANG BAGIAN JALAN Studi Kasus: Ruas Jalan Nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – WatesTisara Sita, M. Fathoni Jalaluddin

6. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI PEMBANGUNAN BENDUNGAceng Maulana

7. PENERAPAN TELEMETRI BERBASIS WEBSITE PADA PEMANTAUAN DEFORMASI PERMUKAAN BENDUNGAN SERMOAjat Sudrajat

8. KAJIAN STRATEGI PERCEPATAN PENGHUNIAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) BERDASARKAN SISTEM PENGADAAN DAN PENGHUNIANDahlan Prayogo Midian, Iwan Kustiwan

1 - 22

1 - 31

1 - 40

1 - 52

1 - 60

9. ASPEK DESAIN PEMECAH GELOMBANG DAN DERMAGA TERAPUNG DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM MODULARIrham Adrie Hakiki, I Putu Samskerta

10. REKONTRUKSI JALAN INSPEKSI TARUM TIMUR DENGAN LAPIS PONDASI CTRB DAN CHIP SEALSyaeful Anwar

1 - 67

1 - 76

Lampiran Abstrak . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 - 87

Lampiran Pedoman Penulisan Jurnal Infrastruktur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 - 97

Page 4: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTURiv

PENGANTAR REDAKSI

Alhamdulillah kami panjatkan, karena hanya berkat karunia dan pertolongan-Nya saja kami dapat menerbitkan Jurnal Infrastruktur untuk edisi yang ketiga. Pada edisi kali ini, kami tetap berupaya menghadirkan ke ruang baca Anda kesatuan gagasan tentang upaya menghadirkan tulisan bidang infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat melalui sepuluh ragam karya ilmiah buah tangan para Pejabat Fungsional dan Karyasiswa dari lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Karya ilmiah dalam Jurnal Infrastruktur kali ini terdiri dari 5 kajian : Bidang Sumber Daya Air akan diwakili tulisan yang membahas tentang desain bangunan pantai dengan system modular, dan metode pemantauan deformasi permukaan bendungan. Untuk kajian bidang jalan, menyajikan tentang rekonstruksi jalan inspeksi, gometrik dan penyalahgunaan ruang milik jalan, serta gagasan upaya menjawab tantangan membangun jalan tol 1.000 km. Untuk tema Bidang Perumahan dan Permukiman dikupas kegagalan konstruksi bangunan gedung, penghunian rumah susun sederhana sewa. Bidang Penyehatan Lingkungan mengangkat tema mengenai identifikasi dan pengembangan sistem penyediaan air minum. Terakhir, dari Jasa Kostruksi mengambil judul terkait contract change order dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan proyek konstruksi.

Kami sangat senang dapat menghadirkan Jurnal Infrastruktur Edisi Ketiga ini, sebab edisi ini akan menjadi pintu masuk bagi Jurnal Infrastruktur untuk mendapatkan akreditasi, sekaligus membuka jalan proses mewujudkan pengelolaan Jurnal Elektronik atau e-Jurnal. Untuk itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor yang telah merelakan tulisannya kami muat pada jurnal ini, juga kepada para Mitra Bestari dari berbagai akademisi yang dengan tekun memeriksa naskah yang kami sampaikan. Terima kasih juga kami sampaikan pada seluruh kerabat pengelola Jurnal Infrastruktur yang tak henti berupaya untuk menerbitkan edisi pertama hingga edisi ketiga. Semoga seluruh upaya kita dan seluruh pengorbanan kita dalam menghadirkan Jurnal Infrastruktur ini mendapatkan balasan kebaikan dan keberkahan dari Allah SWT. Aamiin.

Pada kesempatan berikutnya kami senantiasa akan selalu mengajak seluruh pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya para Pejabat Fungsional untuk dapat memanfaatkan jurnal ini sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi diri. Manfaat lainnya bagi para kontributor adalah akan dapat mengoptimalkan perannya sebagai Pejabat Fungsional untuk turut berkontribusi dalam penyelenggaraan infrastruktur PUPR melalui karya tulis atau karya ilmiah.

Akhir kata, saya ucapkan selamat membaca jurnal ini. Semoga langkah awal kami dalam pembinaan jabatan fungsional menuju profesionalisme akan mendapatkan kesempatannya. Kritik dan saran guna penyempurnaan jurnal ini, sangat kami nantikan.

Redaksi

Jurnal Infrastruktur

Page 5: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 1

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

MENJAWAB TANTANGAN JALAN TOL 1000 KM

Herry Trisaputra Zuna

Kepala Badan Pengatur Jalan TolBadan Pengatur Jalan Tol,

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan [email protected]

Abstract

Interconnected and integrated infrastructure system is a necessity to ensure better mobility and accessibili-ty among people and goods. Toll Road Strategic Planning is conducted to increase connectivity in supporting competitiveness through development of more than 1000 km new toll roads and improvement of toll road user satisfaction by providing reliable service. To fulfill the plan, toll road development policies are directed by conducting 4 (four) main actions which are focusing in Public Private Partnership (PPP), namely: new PPP scheme; procedure simplification; government supportsare guaranteed; and land acquisition acceleration. This basic direction in toll road policy could improve more conducive investment climate to support accelera-tion in toll road development and providing better toll road service.

Keywords: infrastructure, toll road, PPP, toll road service

Abstrak

Infrastruktur yang terkoneksi dan terintegrasi dapat memastikan kelancaran pergerakan manusia dan ba-rang. Hal ini berdampak langsung pada efisiensi, peningkatan daya saing dan kelancaran kegiatan sosial-ekonomi. Rencana strategis jalan tol dilaksakanakan dalam rangka meningkatkan dukungan konektivitas bagi penguatan daya saing melalui pembangunan lebih dari 1000 km jalan tol baru dan meningkatkan kepuasan pengguna jalan tol yang dipenuhi dengan pelayanan jalan tol yang handal. Untuk mencapai tu-juan tersebut, arah kebijakan pengembangan jalan tol dilaksanakan melalui 4 (empat) kegiatan utama den-gan menitikberatkan pada pola Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), yaitu mencari skema KPBU baru, penyederhanaan prosedur, penambahan dukungan pemerintah, dan percepatan pengadaan lahan. Arahan dasar kebijakan sektor jalan tol tersebut dapat menciptakan iklim investasi yang lebih kon-dusif yang mendukung program percepatan pembangunan jalan tol dan menyediakan pelayanan jalan tol yang lebih baik.

Kata Kunci: infrastruktur, jalan tol, KPBU, pelayanan jalan tol

Page 6: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 2

1. PENDAHULUAN

1.1. Target 1000 KM Jalan Tol

Sesuai program Nawa Cita butir Dimensi Pembangu-nan Pemerataan dan Kewilayahan, tantangan utama dalam pengembangan wilayah untuk pemerataan pembangunan adalah mengurangi kesenjangan an-

tarwilayah yang ditunjukkan dengan semakin be-sarnya kontribusi wilayah luar Jawa melalui aksel-erasi pertumbuhan ekonomi di luar Jawa. Tantangan lainnya adalah mendorong pembangunan pusat-pusat pertumbuhan (industri) untuk meningkatkan nilai tambah sektor unggulan yang diprioritaskan be-rada di luar Jawa dan Kawasan Timur Indonesia se-bagai motor penggerak perekonomian wilayah yang didukung dengan peningkatan kualitas dan kuanti-tas infrastruktur dasar dan pendukung. Dalam pro-gram pembangunan jalan, salah satu prioritas yang mendukung agenda Nawa Cita tersebut adalah ren-cana pembangunan 1000 km jalan tol pada 2015-2019 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 yang telah dicanangkan pemerintah(Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015). Jalan tol direncanakan un-tuk dibangun di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi dan Kalimantan untuk mendorong pertumbuhan ekono-mi dan sosial. Pembangunan jalan tol merupakan strategi peningkatan mobilitas pada koridor-koridor utama di Indonesia. Selain itu, pembangunan jalan tol juga diharapkan dapat mengurangi waktu tem-puh koridor-koridor utama serta menjadi pendorong peningkatan kualitas logistik di Indonesia. Jalan tol dikembangkan sebagai tulang punggung transpor-tasi darat pulau-pulau besar di Indonesia.

1.2. Kebutuhan Infrastruktur Jalan Tol

Jaringan jalan merupakan salah satu infrastruktur

utama dalam pengembangan suatu kawasan atau daerah. Adanya kemudahan akses menuju suatu daerah akan memudahkan mobilitas barang dan orang, sehingga mampu memicu pertumbuhan eko-nomi daerah tersebut. Dengan dua per tiga jaringan jalan nasional sudah mengalami kemacetan dan lalu lintas diperkirakan akan tumbuh dua kali lipat dalam 15 tahun mendatang (Gambar 1).

Diperlukan infrastruktur jalan tol untuk memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat yang semakin me-ningkat seiring pertumbuhan dan perkembangan kegiatan perekonomian di Indonesia.

Menurut Indonesia Infrastructure Initiative (2016) seluruh jaringan jalan baik tol maupun non tol di Pulau Jawa saat ini berada pada situasi yang mem-butuhkan penanganan segera. Hasil kajian menun-jukkan apabila tidak segera dilakukan penambahan jaringan baru, Pulau Jawa akan mengalami kelebi-han kapasitas (over capacity) pada tahun 2035. Apa-bila jalan tol Trans Jawa dari Merak sampai dengan Banyuwangi terwujud pada tahun 2019, jalan non tol akan lebih terurai tetapi pada kondisi yang sama pada tahun 2035 sebagian besar jaringan mengala-mi kejenuhan. Penambahan jalan tol di bagian utara dan selatan Jawa dapat meningkatkan pelayanan di-karenakan lalu lintas dapat terdistribusikan melalui jalan tol maupun non tol dengan baik.

Perkembangan infrastruktur dibutuhkan dalam per-tumbuhan ekonomi dan pembangunan diseluruh daerah, juga untuk persaingan dalam pasar inter-nasional (Omirin, 2011). Kualitas infrastruktur di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan den-gan negara lain. Dalam hasil survey yang dilakukan World Economic Forum (2016), Indonesia berada pada peringkat 41 dari 138 negara dengan nilai 4,52 skala 7 dalam Global Competitiveness Index (GCI) dan peringkat 60 dengan nilai 4,24 dalam

Gambar 1. Perkiraan Kondisi Lalu Lintas pada Pulau Jawa Tahun 2035 (Indonesia Infrastructure Initiative, 2016)

Page 7: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 3

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

hal perkembangan infrastruktur. Meski dengan nilai yang sama, peringkat Indonesia turun jika diband-ingkan dengan tahun sebelumnya yaitu peringkat 37 dari 140 negara. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia perlu memajukan pembangu-nan salah satunya dalam hal infrastruktur sehingga dapat membantu meningkatkan perekonomian neg-ara.

1.3. Permasalahan Jalan Tol

Dalam rangka mewujudkan 1000 km jalan tol sam-pai dengan tahun 2019, terdapat berbagai tantan-gan mendasar antara lain lambatnya progress de-livery yang hanya mencapai 100 km/5 tahun atau sama dengan 20km/tahun. Permasalahan utama yang menjadi hambatan dalam pengusahaan jalan tol adalah ketersediaan tanah. Pemerintah berkewa-jiban menjamin ketersediaan tanah bagi pemban-gunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum beserta peraturan-peraturan turunannya. Akan tetapi dengan kesiapan tanah yang relatif belum tersedia dan kebutuhan dana ta-nah yang sangat besar membuat target penyediaan tanah sulit untuk dicapai.

Permasalahan lainnya adalah kelayakan proyek yang tidak sepenuhnya komersial, sementara skema pen-gusahaan jalan tol hanya terbatas pada BOT dan OM sehingga mengakibatkan transaksi sulit ditawarkan kepada sektor swasta. Kondisi ini diperberat den-gan belum tersedianya jaminan pemerintah serta kelangkaan dukungan pemerintah. Disisi lain, pros-es pengadaan investasi membutuhkan waktu lama dan tidak final sehingga perlu waktu 2 sampai 3 tahun sejak pengadaan sampai dengan konstruksi dimulai.

Penyediaan jalan tol bersifat monopoli dan bukan merupakan pasar yang kompetitif sehingga faktor kualitas pelayanan kurangberpengaruh terhadap keputusan pengguna jalan tol. Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol telah diatur dalam Per-aturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2014, sebagai usaha pemerintah untuk melindun-gi pengguna jalan tol. Pelayanan jalan tol secara umum masih belum maksimal baik disebabkan oleh kurangnya usaha dari BUJT maupun disebabkan oleh SPM jalan tol yang belum sepenuhnya mencer-minkan keinginan pengguna.

1.4. Maksud dan Tujuan Penulisan

Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran ten-tang permasalahan, tantangan dan upaya pemer-intah mendukung program 1000 km jalan tol dan meningkatkan pelayanan jalan tol.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Tulisan ini adalah penelitian kualitatif dengan studi

pustaka. Penelitian ini berusaha memecahkan ma-salah dengan menggambarkan problematika yang terjadi. Studi pustaka digunakan untuk membukti-kan bahwa penelitian yang dilakukan menjawab ru-musan masalah yang ada, meruntutkan alur pene-litian dan memperkuat latar belakang (Gay, et al, 2006).

3. METODE PENELITIAN

Penulis ingin memahami, mengkaji secara men-dalam serta memaparkannya dalam tulisan ini men-genai bagaimana upaya pemerintah untuk mewu-judkan program pembangunan jalan tol 1000 km, kendala apa yang dihadapi serta jalan keluarnya. Karena tujuan tersebut, maka relevan jika peneli-tian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) Jalan Tol

Kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau public-private partnership (PPP) merupakan kontrak jangka panjang antara pemerintah dengan perusahaan swasta untuk menyediakan servis dan aset untuk masyarakat, perusahaan swasta yang menanggung resiko dan bertanggung jawab dalam manajemennya (World Bank, 2014). Menurut Euro-pean Commission (2003) KPBU dianggap sebagai suatu metode alternatif yang efektif untuk mengatur modal tambahan dan keuntungan yang didapat dari sektor swasta. KPBU pada dasarnya bukan meru-pakan sumber pendapatan, bukan privatisasi sektor publik, tidak dapat digunakan untuk seluruh proyek, bukan jawaban untuk segala masalah infastruktur, tidak bebas dan mudah diimplementasikan, serta ti-dak menjamin keberhasilan (IPD Academy, 2013). Kebijakan menyangkut KPBU yang berlaku di Indo-nesia tercantum pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Dalam Peraturan pemerintah Nomor 15 Tahun 2005, disebutkan bahwa pengusahaan jalan tol dilaku-kan oleh Pemerintah dan/atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan. Dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pengusahaan jalan tol dapat dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha atau Pemerintah dan Badan Usaha. Pengusahaan jalan tol oleh Pemerintah terutama diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi teta-pi belum layak secara finansial, pengusahaan jalan tol oleh Badan Usaha diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi dan finansial, sedangkan pengusahaan jalan tol oleh Pemerintah dan Badan Usaha diperuntukkan untuk ruas jalan tol yang layak secara ekonomi tetapi keseluruhan proyek tidak layak secara finansial. Skema kemi-traan Pemerintah-Swasta ini dapat disebut dengan

Page 8: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 4

Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partneship (PPP). Model yang digunakan sampai dengan tahun 2014 adalah Build Operation Transfer (BOT), Subsidize Build Operation Transfer (SBOT) dan Operation and Maintenance (OM). Ske-ma ini terus didorong oleh pemerintah karena masih ada celah yang perlu diperbaiki.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan, Jalan tol merupakan jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol atau tarif yang telah diten-tukan. Jalan tol berguna untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang berkembang, meningkatkan hasil dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa agar menunjang pertumbuhan ekonomi, mer-ingankan beban dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan, serta dapat meningkatkan pemer-ataan hasil pembangunan dan keadilan. Keuntungan dari jalan tol dibanding dengan jalan non tol adalah pelayanan yang diberikan. Dengan biaya yang dike-luarkan, pengguna jalan dapat menghemat waktu tempuh perjalanan, mendapat fasilitas seperti tem-pat beristirahat, hingga pertolongan darurat ketika dibutuhkan.

Sesuai data Badan Pengatur Jalan Tol (2014),seja-rah jalan tol di Indonesia dimulai pada tahun 1987 dengan dioperasikannya jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) dengan panjang 59 km (termasuk jalan akses. Pembangunan jalan tol yang dimulai tahun 1975 ini, dilakukan oleh pemerintah den-gan dana dari anggaran pemerintah dan pinjaman luar negeri yang diserahkan kepada PT. Jasa Marga (persero) Tbk. sebagai penyertaan modal. Selanjut-nya PT. Jasa Marga ditugasi oleh pemerintah untuk membangun jalan tol dengan tanah yang dibiayai oleh pemerintah. PT. Jasa Marga kemudian bertin-dak sebagai regulator dan operator jalan tol.

Mulai tahun 1987 swasta mulai ikut berpartisipasi dalam investasi jalan tol sebagai operator jalan tol dengan menanda tangani perjanjian kuasa pen-gusahaan (PKP) dengan PT Jasa Marga. Pada peri-ode 1995 hingga 1997 dilakukan upaya percepatan pembangunan jalan tol melalui tender 19 ruas jalan tol sepanjang 762 km. Namun upaya ini terhenti akibat adanya krisis moneter pada Juli 1997 yang mengakibatkan pemerintah harus menunda pro-gram pembangunan jalan tol dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 39/1997. Akibat penundaan tersebut pembangunan jalan tol di Indonesia men-galami stagnansi, terbukti dengan hanya terban-gunnya 13,30 km jalan tol pada periode 1997-2001.

Pada tahun 2004 diterbitkan Undang-Undang No.38 tahun 2004 tentang Jalan yang mengamanatkan pembentukan BPJT sebagai pengganti peran regula-tor yang selama ini dipegang oleh PT Jasa Marga. Proses pembangunan jalan tol kembali memasuki fase percepatan mulai tahun 2005 dengan peneru-san terhadap 19 proyek jalan tol yang pembangu-

nannya ditunda pada tahun 1997 kembali dilakukan. Selama tahun 2005-2014, panjang jalan tol yang telah dioperasikan adalah 213,64 km, sehingga panjang jalan tol yang beroperasi sampai Oktober tahun 2014 adalah sepanjang 816 km.

4.2. Arah Kebijakan KPBU Sektor Jalan Tol

Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan perwu-judan industri Jalan Tol yang sehat dalam mendu-kung Program Pembangunan Jalan Tol (1000 Km), disusunlah arahan dasar kebijakan KPBU sektor jalan tol (Gambar 2). Arahan tersebut diwujudkan dalam empat kegiatan utama yaitu Skema KPBU baru, Penyederhanaan Prosedur, Penambahan Du-kungan Pemerintah dan Percepatan Pengadaan Ta-nah.

4.3. Skema KPBU baru

Arahan tersebut dilaksanakan untuk mencari model pengusahaan jalan tol alternatif. Model pengusa-haan yang sekarang digunakan adalah pada prak-tek Build Operation Transfer (BOT) konvensional dan Supported Build Operational Tender (SBOT) dan kontrak konstruksi.

Strategi pendanaan Jalan Tol, diupayakan menggu-nakan dana non APBN, dimana proyek harus layak secara ekonomi dan finansial. Apabila kelayakan fi-nansial rendah/marjinal, perlu diupayakan dukun-gan pemerintah (government support) baik berupa Viability Gap Funds (VGF) maupun dukungan kon-struksi melalui kontribusi pinjaman lembaga bilat-eral/multilateral atau APBN.

Saat ini telah dikembangkan skema-skema baru dalam penyediaan infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau PPP ( Gambar 3) untuk mensiasati terbatasnya alokasi dana pemerintah untuk pembangunan dan menarik lebih banyak investor untuk bekerja sama dalam penyediaan infrastruktur (BAPPENAS, 2015). Ske-ma baru yang dimaksud adalah Performance-Based Annuity Scheme/Annuity Payment (PBAS/AP) dan penugasan BUMN untuk proyek-proyek infrastruktur tertentu.

Pelaksanaan skema PBAS/ Availability Payment dalam pengusahaan jalan tol telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2015 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam rangka KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. Skema ini muncul untuk menjawab tantangan besarnya du-kungan Pemerintah untuk membiayai model SBOT dan besarnya dukungan pemerintah di awal untuk model Design and Build. Seperti yang dikatakan oleh Smith,et al. (2015) pendanaan pemerintah dibayar setiap tahunnya dengan jumlah bergantung den-gan kinerja atau ketersediaan aset sesuai skema.Skema Modified PBAS untuk jalan tol dilaksanakan

Page 9: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 5

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

dengan mekanisme BOT dengan AP dan BOT dengan AP dan Pinjaman Jangka Panjang. John Lee (2015) menjelaskan bahwa salah satu manfaat terpenting dari skema PBAS/AP yaitu memberi insentif pada mutu siklus hidup dalam pelaksanaan pengopera-siannya. Pilot Proyek Modified PBAS adalah jalan tol Serang-Panimbang.

Terdapat dua tipe KPBU berdasarkan metode pem-bayaran yang digunakan yaitu, Revenue Based PPP dan Availability Based PPP (PPIAF, 2009). Secara garis besar pengembalian investasi RevenueBased

PPP dilakukan melalui pembayaran oleh pengguna jalan tol selama masa konsesi. Sementara dalam metode Availability Payment PPP pengembalian in-vestasi dilakukan secara langsung oleh pemerintah berdasarkan capaian kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian.

Selain skema PBAS, model baru pengusahaan ja-lan tol dilaksanakan melalui optimalisasi penugasan BUMN. Penugasan BUMN dilaksanakan pada proyek (Gambar 4) yang bertujuan untuk mendorong pengembangan wilayah dengan kondisi terbatasnya

Gambar 2. Pemilihan Skema KPBU Sektor Jalan Tol(Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)

Gambar 3. Skema Metode Availibility Payment PPP(Deloitte Research, 2013)

Page 10: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 6

pendanaan Pemerintah untuk proyek tersebut. Pem-biayaan proyek jalan tol yang dibiayai melalui ske-ma penugasan BUMN adalah proyek jalan tol Trans Sumatra antara lain Medan-Binjai, Pekanbaru-Du-mai, Palembang-Indralaya, dan Bakaheuni-Tebanggi Besar.

4.4. Penyederhanaan Prosedur

Penyederhanaan prosedur untuk percepatan pen-gusahaan jalan tol dilaksanakan melalui percepatan proses pelelangan. Proses pelelangan yang tadinya selama ±12 bulan dipersingkat menjadi ±5 bulan. Pada proses ini, para pemangku kepentingan, yaitu pemberi pinjaman (bank), kontraktor, PT. SMI dan PII (penjamin) juga dilibatkan lebih awal dan peser-ta lelang wajib mencantumkan nama kontraktor yang akan melakukan konstruksi dan nama pemberi pinjaman untuk pelaksanaan proyek. Penyempur-naan peraturan tersebut dilaksanakan untuk menja-min kepastian konstruksi dan kepastian pembiayan proyek. Sebelum proses pelelangan, dilaksanakan juga competitive dialogantara panitia lelang dengan peserta untuk membahas dokumen lelang; nego-sisasi Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dan biaya penjaminan juga dibahas pada tahapan ini. Competitive dialog dilaksanakan dengan maksud agar Request for Proposal (RFP) yang dikirimkan peserta lelang sudah final.

4.5. Dukungan yang Beragam

Pemerintah akan menyediakan dukungan yang se-makin beragam dalam rangka mewujudkan program 1000 km jalan tol baru. Dukungan tersebut berupa Viability Gap Funds (VGF) yang diatur dalam per-aturan Presiden Nomor 13 tahun 2010, atau beru-pa pelaksanaan sebagian konstruksi (meliputi ruas Cileunyi-Sumedang-Dawuan, Ngawi-Kertosono, Manado-Bitung, Balikpapan-Samarinda)dan atau pembiayaan bersama. VGF diberikan dengan tu-juan meningkatkan kelayakan finansial proyek guna menimbulkan minat dan partisipasi swasta, menin-gkatkan kepastian pengadaan/lelang proyek infra-

struktur sesuai kualitas dan waktu yang ditentukan serta mewujudkan layanan infrastruktur publik den-gan tarif yang terjangkau oleh masyarakat (Surach-man,2014).

Pilihan pembiayaan lain adalah fasilitas pembiayaan oleh PT. SMI dan fasilitas penjaminan oleh PT PII.Fasilitas Pembiayaan yang dapat disediakan oleh PT. SMI antara lain: Long Term Tenor: 25 Tahun, den-gan 10 Tahun grace period; A B Loan: Pinjaman den-gan tenor lebih panjang, dan struktur pembayaran lebih fleksibel (Senior Loan); Cash Deficiency Sup-port: Untuk mendukung pada periode awal operasi; Mezzanine Loan & Subordinated Loan: Pinjaman dengan prioritas bayar lebih rendah (Junior Loan); dan Equity. Sedangkan fasilitasPenjaminan PT. PII terdiri atas: Risiko Politik Tradisional, yang terdiri dari Pengadaan Tanah, PenyesuaianTarif, Perubahan Peraturan, danTerminasi; serta Risiko terkait Bank-ability, yaitu Risiko “Ramp Up Period” (Periode awal Operasi).

4.6. Percepatan Pengadaan Tanah

Proses percepatan pengadaan tanah diwujudkan dengan keluarnya Undang-Undang No 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 ten-tang Perubahan ketiga Atas Perpres No. 71 / 2012 Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan demi Kepent-ingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 38 Ta-hun 2015. Keluarnya peraturan tersebut membuka keran debottlenecking untuk proses pengadaan ta-nah dalam penyediaan infrastruktur jalan tol. Ke-bijakan baru yang diatur pada peraturan tersebut yaitu: pengadaan tanah yang lebih awal sesuai taha-pan, pengadaan tanah terintegrasi dengan rencana tata ruang dan kawasan, pelaksanaan dan pembiay-aan pengadaan tanah ditanggung oleh pemerintah, dan dioptimalkannya peran Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara (BLU LMAN) seb-agai Land Banking. Pendanaan tanah dilakukan me-lalui skema dana talangan BUJT (Gambar 5) yang

Gambar 4. Skema Penugasan Proyek Jalan Tol Trans Sumatra(Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)

Page 11: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 7

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

nantinya akan diganti oleh BLU LMAN ketika sudah beroperasi penuh. Saat ini dana talangan tanah yang disediakan oleh BUJT sebesar 32 Triliun den-gan dana yang sudah dibayar sebesar 4,4 Triliun.

4.7. Pelayanan Jalan Tol

Dalam hal pengawasan, Pemerintah sebagai regula-tor jalan tol, menetapkan dua kebijakan mengenai penyediaan jalan tol untuk melindungi pengguna ja-lan tol, yaitu standar pelayanan minimum jalan tol (Gambar 6) yang harus dipenuhi oleh operator dan keputusan penyesuaian tarif tol yang akan diber-lakukan kepada pengguna jalan tol.

Terdapat sembilan atribut yang perlu menjadi pri-oritas dalam pelayanan jalan tol dan menjadi uku-ran kepuasan pelanggan, yaitu: kelancaran lalu lin-tas, keselamatan berkendara, kerataan permukaan jalan, keamanan dari tindak kriminal, jumlah dan fasilitas gardu tol, rambu lalu lintas, penerangan ja-lan, penanganan kecelakaan, ketanggapan perbai-kan jalan yang rusak. (Zuna et al, 2015). Merespon atribut-atribut tersebut, pemerintah telah menerap-kan beberapa kebijakan untuk meningkatkan kuali-tas pelayanan jalan tol, yaitu integrasi gerbang tol dan penggunaan e-payment.

Integrasi gerbang tol dimaksudkan untuk mengu-rangi kepadatan antrian pada barrier gate di ruas jalan tol antarkota. Dengan sistem ini, pengguna ja-lan tol hanya perlu melaksanakan transaksi masing-masing 1 kali pada saat masuk dan keluar jalan tol.

Penerapan integrasi gerbang tol dilaksanakan pada gerbang tol Cikarang Utama sampai Brebes Timur pada ruas jalan tol Jakarta-Cikampek, Cikopo-Pali-manan, Palimanan-Kanci, Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang; dimana pada ruas-ruas jalan ini penggu-

na tol cukup melaksanakan transaksi pengambilan kartu tol pada gerbang tol masuk dan membayar tol sesuai tarif di gerbang keluar tol tujuan.

Tujuan penggunaan e-payment adalah untuk mem-percepat transaksi pembayaran tol di gerbang tol dan mengurangi antrian kendaraan di gerbang pem-bayaran sehingga tidak menimbulkan kemacetan di badan jalan.

Pemerintah juga sedang mengembangkan Intelli-gent Transportation System (ITS) yang terencana dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas layanan kepada pengguna jalan tol. Pengembangan ITS dilakukan demi tercip-tanya pelayanan jalan tol yang efektif, efisien, aman dan nyaman serta berkeselamatan dengan berbasis teknologi informasi. Ruang lingkup ITS sendiri terdi-ri dari: Sistem Informasi Lalu Lintas, Sistem Trans-aksi Tol, Sistem Informasi Keadaan Darurat, Sistem Pengendalian Angkutan Berat, Sistem Manajemen Aset dan Ruang Kendali (Gambar 7).

4.10. Progres Pembangunan 1000 Km Jalan tol

Dua tahun setelah dikeluarkannya rencana jangka menengah untuk program pembangunan 1000 km

Gambar 5. Rekapitulasi Kebutuhan Dana Talangan Tanah (Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)

Gambar 6. Atribut Standar Pelayanan Minimum(Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)

Gambar 7. Road Map ITS(Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)

Page 12: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 8

jalan tol, progress pelaksanaan pembangunan jalan tersebut mengalami kemajuan yang cukup signifi-kan (Gambar 8). Jalan tol yang sudah beroperasi pada tahun 2015 adalah sepanjang 132.35 km, me-liputi jalan tol Gempol-Pandaan (12.05 km); jalan tol Porong-Gempol (3.55 km), dan jalan tol Cikampek-Palimanan (116.75 km). Pada tahun 2016 sendiri direncanakan untuk membangun sebanyak 14 ruas jalan tol dengan total ruas sepanjang 105.13 km. Sampai denganSeptember 2016 jalan tol yang su-dah beroperasi sepanjang 38.67 km, yaitu jalan tol Surabaya-Mojokerto seksi IV (18.47 km) dan jalan tol Pejagan-Pemalang Seksi I dan II (20.20 km).

Hingga saat ini, terdapat 176 km jalan tol yang berarti 17,6% dari rencana 1000 km. Terlihat dari data, konstruksi jalan tol mencakup 30 PPJT dalam pembangunan 1.299 km, dan didukung rencana pelelangan 9 proyek dengan panjang total 1.158 km. Target ini juga termasuk dengan PPJT yang be-lum melalui proses konstruksi sebanyak 18 proyek dengan panjang 621 km dan dua diantaranya masih dilakukan ground breaking.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Program pembangunan 1000 km jalan tol bisa jadi merupakan program yang ambisius mengingat praktek pengusahaan jalan tol pada masa sebelum-nya yang dianggap kurang berhasil dari segi capaian panjang jalan yang dibangun. Namun demikian, be-lajar dari pengalaman tersebut, pemerintah menge-luarkan kebijakan-kebijakan baru dan berkomitmen untuk mewujudkan program pembangunan jalan tol dimaksud. Selama 2 tahun pelaksanaan program, terlihat bahwa upaya yang dilakukan pemerintah tersebut menampakkan kemajuan yang signifikan,

dengan bertambahnya panjang jalan tol yang berop-erasi, jumlah jalan tol konstruksi, jumlah PPJT yang telah ditandatangani, dan jumlah jalan tol yang se-dang dilelang. Selain itu, upaya untuk peningkatan kualitas layanan jalan tol juga sedang digalakkan dengan tujuan akhir meningkatkan kepuasan lay-anan jalan tol bagi pengguna.

5.2. Saran

Pemerintah secara perlahan-lahan berbenah untuk menyediakan infrastruktur jalan tol yang bisa dian-dalkan dan menciptakan iklim yang lebih kondusif untuk industri jalan tol yang lebih sehat. Kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan diharapkan dapat me-narik lebih banyak investor untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur bagi kepentingan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengatur Jalan Tol. (2014). Peluang Investasi Jalan Tol di Indonesia. Jakarta.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2015). Public Private Partnership Infrastructure Proj-ect Plan in Indonesia 2015. Jakarta.

Deloitte Research. (2013). Partnering for Value: Structuring Effective Public-Private Partner-ship for Infrastructure.

European Commission. (2003). Guidelines for Suc-cessful Public-Private Partnerships. Director-ate-General Regional Policy.

Gay, L. R., Mills, G. E., & Airasian, P.W. (2006). Educational Research: Competencies for analysis and applications (8th edition). Upper

Gambar 8. Progress Pembangunan Jalan Tol 2015-2016(Badan Pengatur Jalan Tol, 2016)

Page 13: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 9

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Saddle River, NJ: Merrill Prentice Hall. Gay, pp29-44.

Indonesia Infrastructure Initiative. (2016). Facility Review and Planning Document. Canberra. Australian Goverment.

Innovative Program Delivery Academy. (2013). Web-Based Course: Introduction to Public-Private Partnership. Federal Highway Administration.

Lee, John. (2015). Indonesia’s Road Infrastructure: Accelerating the Private Sector Contribution. Prakarsa, 22: 22-27.

Omirin, M.N. (2011). Infrastructure Provision and Private Lands Acquisition Grievances: Social Benefit and Private Cost. Journal of Sustain-able Development, 4 (6).

Presiden Republik Indonesia. (2015). Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Ren-cana Pembangunan Jangka Menengah Nasi-onal Tahun 2015-2019. Jakarta. Presiden Re-publik Indonesia.

Public-Private Infrastructure Advisory Facility. (2009). Main Types of PPP. Toolkit for Public-Private Partnership in Roads and Highways.

Surachman, E.N. (2014). Dana Dukungan Tunai Infrastruktur (Viability Gap Fund): Harapan Baru Pembangunan Infrastruktur. http://www.kemenkeu.go.id/kemenkeu/artikeldano-pini (diakses Oktober 2016)

Smith, J., Agung, W., dan Tim, B. (2015). Building Indonesia’s Future-Unblocking The Pipeline of Projects. Prakarsa, 22: 11-16.

World Bank. (2014). Public Private Partnership : Reference Guide (ver. 2.0). Washington D.C.

World Economic Forum. (2016). The Global Compet-itiveness Report 2016-2017. Geneva.

Zuna, H. T., Hadiwardoyo, S., Rahadian, H. (2015). Atribut Pelayanan Jalan Tol dalam Peningka-tan Kualitas Berkendara di Jalan Tol Makassar. Jurnal HPJI, 1(2), 115-126.

Page 14: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 10

ANALISIS KEGAGALAN KONSTRUKSI PADA BANGUNAN GEDUNG DIPROVINSI JAWA BARAT

Rina Rusdiani1

Sarwono Hardjomuljadi2

Mahasiswa Magister Manajemen Proyek Konstruksi1 Dosen Sekolah Pascasarjana2

1,2Universitas ParahyanganEmail : [email protected], [email protected]

Abstract

The failure of construction may negatively impact on the quality of building construction, especially for the service user/owner as owner. This study aims to determine the dominant factors causing the failure of ef-forts to reduce the construction and construction failure. Using multivariant analysis and factors with the help of the program Statistical Package for Social Science (SPSS) version 22.0 for Windows. From the re-sults of calculation of Relative Importance Index (RII) obtained the main factors causing the failure of con-struction, namely: aspects of service providers/ contractors (Related Skills/Training Training and sloppiness of Labor as well as the use of materials under Standart), aspects of planning consultants (Design & Speci-fications Not Available Standart technical & Rules) and the General Conditions aspect is Legal. Measures to reduce construction failure, namely: Need held a training and certification of construction of buildings to increase the ability and skills of the workforce in construction building of buildings should be to increase the competence of work in the construction world to improve the quality of Human Resources (HR) in the field of construction owned company, which will also be improve the quality of the construction company, to achieve quality objectives, the project design planning must be detailed to facilitate implemantion of con-struction. Completion of the Act and the Regulations on Construction Failure needs to be done immediately. Review the design needs to be done by the service providers / contractors to facilitate the implementation of construction contractors and Routine Monitoring should be done Engineer / Consultant supervisor so that the quality and the quality of building construction as expected.

Keywords: failure construction, dominant factor, relative importance index (RII)

Abstrak

Terjadinya kegagalan konstruksi dapat memberikan dampak buruk pada kualitas bangunan konstruksi, terutama bagi pengguna jasa/ owner sebagai pemilik. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor dominan penyebab kegagalan konstruksi dan usaha mengurangi kegagalan konstruksi,menggunakan anali-sis Multivariant dan faktor dengan bantuan program Statistical Package for Social Science (SPSS) for Win-dows version 22.0. Dari hasil Perhitungan Relative Importance Index (RII) diperoleh faktor utama penyebab terjadinya kegagalan konstruksi yaitu: aspek penyedia jasa/ kontraktor (terkait Keterampilan/Pelatihan dan Kecerobohan Tenaga Kerja serta penggunaan Material di bawah Standart), aspek konsultan perencana (Desain & Spesifikasi Tidak Sesuai Standart Teknis & Peraturan) dan aspek Ketentuan Umum adalah Ma-salah Hukum. Tindakan-tindakan untuk mengurangi kegagalan konstruksi yaitu : Perlu di adakan pelatihan dan sertifikasi tenaga konstruksi gedung untuk menambah kemampuan dan keterampilan tenaga kerja di bidang konstruksi banguan gedung Perlu peningkatan kompetensi kerja dalam dunia konstruksi untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang konstruksi yang dimiliki perusahaan, yang juga akan meningkatkan kualitas perusahaan jasa konstruksi, Untuk mencapai sasaran mutu proyek maka perencanaan desain harus mendetail untuk memudahkan dalam pelaksanaan konstruksi. Penyempurnaan Undang-undang dan Peraturan tentang Kegagalan Konstruksi perlu dilakukan segera. Review desain perlu dilakukan oleh penyedia jasa/ kontraktor untuk memudahkan kontraktor dalam pelaksanaan konstruksi dan Pengawasan Rutin harus dilakukan Engineer/Konsultan pengawas agar mutu dan kualitas bangunan konstruksi sesuai dengan yang diharapkan.

Kata Kunci: kegagalan konstruksi, faktor dominan, relative importance index (RII)

Page 15: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 11

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

1. PENDAHULUAN

Sekarang ini, semakin meningkatnya kebutuhan akan banguanan gedung sebagai tempat permuki-man, perkantoran, industri, fasiliatas-fasilitas umum lainnya. Oleh karena kebutuhan bangunan gedung tersebut maka berkembang pula perusahaan jasa konstruksi. Namun industri jasa konstruksi tersebut mengalami berbagai kendala atau masalah dalam pelaksanaannnya. Masalah yang terjadi merupak-an penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung yang sedang dibangun. Hal ini mendorong Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Un-dang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Ta-hun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagai payung hukum terhadap kegiatan jasa kon-struksi.

Industri Jasa konstruksi merupakan industri yang sangat berisiko, karena pekerjaannya dilakukan di alam terbuka, sehingga cuaca dan kondisi alam sangat berpengaruh dalam tahap pelaksanaan kon-struksi. Kualitas yang buruk atau cacat mutu pada proses pembangunan gedung yang telah selesai atau dalam tahap pelaksanaan pembangunan akan mengakibatkan kegagalan konstruksi. Kegagalan konstruksi yang berupa robohnya bangunan gedung sehingga menimpa gedung lainnya yang ada di seki-tar bangunan gedung tersebut dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

Dalam pembangunan suatu gedung harus sesuai kontrak perjanjian yang telah disepakati oleh peng-guna jasa konstruksi dan penyedia jasa konstruksi. Apabila terjadi kegagalan konstruksi akan menim-bulkan kerugian bagi pihak yang terlibat langsung dalam proses pembangunan maupun pihak luar yang tidak terlibat.

Besarnya kebutuhan akan sarana gedung sebagai tempat industri, perkantoran, hotel, dan lain se-bagainya maka diadakan proyek konstruksi yang melibatkan pihak konsultan perencana, pengguna jasa,/ owner, penyedia jasa / kontraktor dan kon-sultan pengawas/ engineer. Apa faktor dominan ap penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat menurut persepsi pengguna jasa dan penyedia jasa?

Tujuan penelitian adalah menganalisis dan mengi-dentifikasi faktor-faktor dominan penyebab kega-galan konstruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat. .Tindakan-tindakan apa saja yang perlu lakukan untuk mengurangi terjadinya kegagalan konstruksi pada banguanan gedung tersebut.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ma-sukan bagi para pelaku industri konnstruksi dalam mengurangi terjadinya kegagalan konstruksi, teru-tama pada konstruksi bangunan gedung yang akan datang.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kegagalan Konstruksi

Menurut N. Ananda Coomarasamy, Senior Civil En-gineer, Construction and Maintenance Department Port of Singapore Authority, “Construction Related Structural Failures”, International Conference on Struktural Failure, ICSF 87, Singapore, 31-31 March 1987 mengemukakan, Struktural failure may be de-fined as the behaviour or performance of a struc-ture not in agreement with the expected condition of stability and desired service. Failure can also refer to total collapse and defects of such nature that are irrepairable or uneconomical to repair for proper us-age.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pasal 31 mendefinisikan kegagalan konstruksi adalah ke-adaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaaan sebagaimana yang disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik se-bagian maupun keseluruhan sebagai akibat dari ke-salahan dari pengguna jasa atau penyedia jasa.

Pada tahun 2001 HAKI mencoba mendefinisikan kegagalan konstruksi yang dikaitkan dengan Un-dang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi, definisi umumnya yaitu suatu bangunan baik sebasgian maupun keseluruhan dinyatakan mengalami kegagalan bila tidak mencapai atau melampaui nilai-nilai kinerja tertentu (persyaratan minimum, maksimum, dan toleransi) yang ditentu-kan oleh Peraturan, Standar dan Spesifikasi yang berlaku saat itu sehingga bangunan tidak berfungsi dengan baik.

Lembaga Perlindungan Konsumen dan Industri Jasa Konstruksi Indonesia (LKJK-I) juga menerangkan definisi kegagalan konstruksi sebagai rendahnya mutu yang meliputi cacat fisik dan cacat prosedur hingga terjadi keruntuhan konstruksi, disfungsi ban-gunan, high cost economics, dimana dapat menim-bulkan sengketa konsumen jasa konstruksi, yang berujung pada kerugian masyarakat secara materil, imateril, ekonomi, cacat hingga kematian. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kegagalan konstruksi merupakan bukti dan indikator tindak pidana ko-rupsi di sektor konstruksi.

2.2. Penyebab Kegagalan Konstruksi

Menurut Feld dan Carper (1997), struktur bangunan apabila terjadi kegagalan konstruksi bisa disebab-kan oleh:

A. Pemilihan lokasi yang berisiko: daerah yang rawan gempa, angin yang cukup kencang atau perbe-daan ketinggian tanah, atau kondisi tanah yang labil atau ekspansif. Meskipun demikian selama risiko tersebut dapat diidentifikasi secara tepat, misalnya dengan dilakukan penyeledikan-peny-

Page 16: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 12

elidikan khusus (tambah biaya) dan selanjutnya diperhitungkan secara baik pula maka tentunya hal tersebut tidak menjadi masalah.

B. Ketentuan proyek yang tidak jelas: akibat tidak terjadinya komunikasi yang baik antara pemilik dan pelaksana proyek maka dapat terjadi bahwa ekspektasi pemilik ternyata berbeda dengan yang dia harapkan pada awal mulanya.

C. Kesalahan perencanaan: akibat gambar dan spe-sifikasi yang tidak lengkap, pemilihan sistem struktur yang rentan kerusakan atau detail yang rawan terhadap kerusakan jangka panjang (misal rangka atap menggunakan baja ringan, penutup atapnya menggunakan genteng pelentong), atau karena perencananya sendiri tidak mempunyai kompetensi yang cukup (asal dapat menjalankan program komputer rekayasa dan langsung men-gadopsi hasil, meskipun sebenarnya mengand-ung kesalahan).

D. Kesalahan pelaksanaan: misal pada penggalian tanah, kecelakaan alat, urutan pelaksanaan atau metode pelaksanaan yang tidak disesuaikan den-gan perencanaannya, atau mengganti spesifikasi dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal.

E. Material yang tidak bermutu: meskipun ada sam-pel material yang diuji dan telah memenuhi spe-sifikasi teknis yang ada tetapi dapat saja terjadi cacat yang tidak terdeteksi dan baru ketahuan setelah ada kegagalan sehingga tidak bisa dikat-egorikan kesalahan perencana atau pelaksana.

2.3. Tugas dan Tanggung Jawab Para Pihak Bila Terjadi Kegagalan Konstruksi

Menurut Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan jasa Konstruksi Pasal 32 yang berkaitan dengan kegagalan konstruksi beisi sebagai berikut:

A. Perencana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan peker-jaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi, dan pengawas kon-struksi.

B. Pelaksana konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan peker-jaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pengawas kon-struksi.

C. Pengawas konstruksi bebas dari kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki kegagalan peker-jaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pelaksana kon-struksi.

E. Penyedia jasa wajib mengganti atau memperbaiki kegagalan pekerjaan konstruksi sebagaimana di-maksud dalam Pasal 31 yang disebabkan kesala-han penyedia jasa atas biaya sendiri.

2.4. Pengertian Bangunan Gedung

Pengertian bangunan gedung menurut Peraturan Pemerintah No 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan ke-giatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sos-ial, budaya, maupun kegiatan khusus.

2.5. Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu tentang kegaga-lan kegagalan konstruksi yang terjadi pada proyek konstruksi yang dilakukan oleh 21 peneliti baik dari dalam negeri maupun di luar negeri seperti Nigeria, Palestina,Uni Emirat Arab , Australia, United State dan Negara lainnya. Contoh penelitian Fran Acher-mann et al. (2005) menggunakan metode GSS (Sport System Group) pada proyek-proyek besar dan kompleks di barat. Dengan mengunakan analisis forensik menemukan adanya kegagalan dalam kon-truksi terutama klaim karena keterlambatan proyek dan Janet K. Yates et al. (2002) Penelitian tentang kegagalan konstruksi dengan metode forensic engi-neering pada OSHA, suatu organisasi yang bergerak dalam bidang Keselamatan dan Administrasi Kes-ehatan. Hasil investigasi kegagalan konstruksi dis-elidiki lebih mendalam dan di dokumentasikan se-bagai data hasil penelitian. Hasil penelitian tentang kegagalan konstruksi adalah kegagalan yang terjadi selama konstruksi berlangsung dari sistem struktur yang tidak sesuai dengan spesifikasi.

3. METODE PENELITIAN

Dengan melihat pada tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat yaitu sifatnya objektif, terukur, terbatas, dan data yang hendak diambil adalah melalui kuesioner/survei, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dikuantitatifkan dengan analisis deskriptif.

Kuesioner yang dibuat digunakan untuk menga-nalisis tingkat kepentingan (importance) faktor pe-nyebab/yang mempengaruhi standar, pedoman dan manual pada kegagalan konstruksi banguanan ge-dung di provinsi Jawa Barat. Responden juga akan diminta pendapatnya tentang seberapa pengaruhya dalam pengalamannya dalam kegagalan konstruksi banguanan gedung tersebut. Sebelum dilakukan penyebaran kuesioner, maka sebelumnya dilaku-kan pengujian terhadap validitas dan reliabilitas dari kuesioner tersebut. pengujian reliabilitas instrumen

Page 17: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 13

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

dilakukan dengan metode Alpha. Apabila validitas dan reliabilitas dari kuesioner sudah terpenuhi maka dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner kepada responden.

Dalam penelitian ini akan menggunakan metode simple random sampling yaitu pengambilan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Jumlah sampel sebanyak 102 respon-den yang berasal dari pengguna jasa sebanyak 30 responden dari SKPD dan 72 responden penyedia jasa/kontraktor yang berada di provinsi Jawa Barat. Setelah uji validitas dan reliabilitas terpenuhi digu-nakan Skala Likert untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial, dalam penelitian, ge-jala sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian. (Riduwan, 2007). Tahap Akhir menggu-nakan Analisis Relative Importance Index (RII) dan Analisis Mann- Whitney, U Test.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penyebab Kegagalan Konstruksi Bangunan Gedung di Jawa Barat

Untuk melihat penyebab kegagalan kontruksi pada bangunan gedung di provinsi Jawa Barat ,maka analisis ini menggunakan 30 penyebab kegagalan konstruksi pada bangunan gedung . Dengan asumsi bahwa ke-30 peristiwa tersebut merupakan penye-bab yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang terli-bat selama proses pelaksanaan. Peristiwa penyebab

kegagalan konstruksi pada bangunan gedung diper-lihatkan pada Tabel 1.

Hasil dari kuesioner di analisis dahulu dengan meng-gunakan analisis Relative Importance Index (RII) yang hasilnya terlihat pada Tabel 2 dari pendapat pengguna jasa dan penyedia jasa dan gabungan dari ke-2 pihak tersebut.

Hasil dari kuesioner di analisis dahulu dengan meng-gunakan analisis Relative Importance Index (RII) yang hasilnya terlihat pada Tabel 2 dari pendapat pengguna jasa dan penyedia jasa dan gabungan dari ke-2 pihak tersebut.

4.2. Tindakan preventif mencegah kegagalan konstruksi

Untuk mencegah terjadinya kegagalan konstruksi pada bangunan gedung di provinsin Jawa Barat per-lu dilakukan hal-hal sebagai berikut:

A. Perlu di adakan pelatihan dan sertifikasi untuk menambah kemampuan dan keterampilan tena-ga kerja di bidang konstruksi banguan gedung.

B. Jumlah tenaga ahli teknis yang dipersyaratkan

dalam dokumen kontrak harus sesuai dengan yang melaksanakan pekerjaan konstruksi di la-pangan.

C. Perlu di adakan pelatihan dan sertifikasi untuk menambah kemampuan dan keterampilan tena-ga kerja di bidang konstruksi banguan gedung

Tabel 1. Faktor Penyebab Kegagalan Konstruksi Bangunan Gedung

Page 18: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 14

D. Perlu peningkatan kompetensi kerja dalam dunia konstruksi untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki perusahaan, yang juga akan meningkatkan kualitas perusa-haan jasa konstruksi.

E. Untuk mencapai sasaran mutu proyek maka pe-encanaan desain harus secara sistematis, ter-perinci dan mendetail pada setiap tahap proyek dan langkah-langkah pelaksanaan konstruksi.

F. Penyempurnaan Undang-undang dan Peraturan tentang Kegagalan Konstruksi perlu dilakukan segera.

G. Review desain perlu dilakukan oleh penyedia jasa/ kontraktor untuk memudahkan kontraktor dalam pelaksanaan konstruksi.

H. Pengawasan Rutin harus dilakukan Engineer/Kon-sultan pengawas agar mutu dan kualitas bangu-nan konstruksi sesuai dengan yang diharapkan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data terhadap penyebab kegagalan konstruksi pada banguanan gedung di provinsi Jawa Barat dapat disimpulkan sebagai berikut :

A. Hasil identifikasi terdapat 30 (tiga puluh) faktor-faktor penyebab kegagalan konstruksi pada ban-gunan gedung di provinsi Jawa Barat yang dike-lompokkan menjadi 6(enem ) aspek pihak yang terlibat dalam pembangunan proyek konstruksi.

B. Lima peringkat teratas menurut persepsi Peng-guna Jasa/Owner dan Penyedia Jasa/Kontraktor (gabungan kedua pihak) yaitu : Kurangnya Ket-erampilan/Pelatihan bagi Tenaga Kerja menem-pat peringkat pertama dengan nilai RII tertinggi

yaitu 0,714, Desain & Spesifikasi yang Tidak Sesuai Standar Teknis & Peraturan berada di-urutan ke-2 dengan nilai RII 0,712, urutan ke-3 yaitu Kecerobohan Tenaga Kerja dengan nilai RII 0,709, sedangkan peringkat ke-4 yaitu Masalah Hukum dengan nilai RII 0,703 dan Menggunakan Material di bawah Standart peringkat ke-5.

C. Penilaian kriteria terhadap kegagalan konstruksi masih perlu di kembangkan lagi untuk mereduksi subyetifitas penilai ahli.

5.2. Saran

Perlu menganalisis lebih mendalam penyebab kega-galan konstruksi pada bangunan gedung yang ter-jadi di provinsi Jawa Barat dan untuk mengurangi harus ada sanksi yang lebih tegas lagi

DAFTAR PUSTAKA

Achermann, Fran and Aden, Colin, (2005) “ Using Causal Mapping with Group Support Systems to Elicit an Understanding of Failure in Com-plex Projects: Some Implications for Organi-zational Research”

Barrie, D.S., and Paulson, B.C., Professional Con-struction Management. Mc. Graw-Hill,New York, 1992.

Feld, J. and Carper, K. (1997).Construction Failure. John Wiley &Sons, New York.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 Ten-tang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Bangunan Gedung.

Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.

Tabel 2. Perbandingan Peringkat RII

Page 19: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 15

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.29 Tahun 2006 (PERMEN PU NO 29 / PRT / 2006) ten-tang persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

Riduwan (2007). Metode dan Teknik Menyusun Te-sis. Bandung : cetakan kedelapan, Alfabeta.

Tumilar, Steffie ,2006 “Latar Belakang dan Krite-ria Dalam Menentukan Tolak Ukur Kegagalan Bangunan” HAKI, Jakarta , Mei 2006.

Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, 2007, Bandung Citra Umbara.

Undang-Undang Jasa Konstruksi Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Yates K, Janet and Lockley, E . Edward ,2002 “De-cumenting And Analyzing Construction Fail-ures”.

Page 20: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 16

IDENTIFIKASI KEBOCORAN PIPA PDAM KOTA MALANG DENGAN METODE STEP TEST

Zahra Aulia Syahidah1 Suprapti Bintari2

Penata Penyehatan Lingkungan1

Penelaah Penyehatan Lingkungan Permukiman2

1,2Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan [email protected], [email protected]

Abstract

PDAM Malang who has successfully served of clean water needs until 80.4 %, still face the potential loss that caused by water losses. Total water losses of PDAM Malang in 2013 are 26.92 %. One of the problem is because of pipeline leak. It is necessary to test the pipeline for identification of leak location, so that PDAM Malang can perform curative action appropriately. Pipeline leak testing conduct at District Meter Area (DMA) Wendit, on Malang City aims to identify the point of leakage and determine action for further improvement. In addition, this study aims to assess the magnitude of the losses of PDAM Malang due to water losses. The method is performed by step test method which are directly applicable on the field at night. Then the result and financial analysis are analyzed with qualitative and quantitative method. The result of step test indicate that pipeline on Amandit street are in the classes of high leak, with the value of dQ/dSR 0,1011. Priority handling of the leak will be started from this area. The usage of step test method has been assist PDAM Malang to decreasing the precentage of water losses of 3 % per month, so that it could be increasing the revenue until Rp. 1.033.000,00 per month. When the handling of water losses not taken immediately, the estimated of loss is about Rp. 32.441.472,00 per month or Rp 413.297.664,00 per year.

Keywords : step test, pipeline leakage, district meter area (DMA), PDAM Malang

Abstrak

PDAM Kota Malang yang telah berhasil melayani kebutuhan air bersih sebesar 80.4%, masih menghadapi potensi kerugian akibat kehilangan air. Total kehilangan air yang dialami PDAM Kota Malang tahun 2013 adalah sebesar 26.92%. Salah satu penyebab kehilangan air ini adalah kebocoran pipa. Perlu dilakukan uji identifikasi lokasi kebocoran pipa, sehingga PDAM Kota Malang dapat melakukan tindakan kuratif secara tepat. Pengujian kebocoran pipa yang dilakukan di District Meter Area (DMA) Wendit Kota Malang bertu-juan untuk mengidentifikasi titik kebocoran air dan menentukan langkah perbaikan selanjutnya. Selain itu, penelitian ini bertujuan menaksir besarnya kerugian yang dialami PDAM Kota Malang akibat kehilangan air. Metode yang dilakukan menggunakan metode step test secara langsung di lapangan pada malam hari. Setelah itu dilakukan analisis hasil dan analisis keuangan secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil uji step test menunjukkan pipa yang berada di Jl. Amandit berada dalam klasifikasi kelas bocor yang tinggi, dengan nilai dQ/dSR sebesar 0,1011. Prioritas penanganan kebocoran akan dimulai dari area ini. Penggunaan metode step test telah membantu PDAM Kota Malang menurunkan presentase kehilangan air sebesar 3% per bu-lannya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.033.000,00 per bulan. Jika penanganan kebocoran air tidak segera dilakukan, maka estimasi kerugian mencapai Rp 32.441.472,00 per bulan atau Rp 413.297.664,00 per tahun.

Kata kunci : step test, kebocoran pipa, district meter area (DMA), PDAM Kota Malang

Page 21: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 17

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

nentukan banyak air yang digunakan, dan keran ke-bakaran. Dua hal penting yang harus diperhatikan pada sistem distribusi adalah tersedianya jumlah air yang cukup dan tekanan yang memenuhi (kontinui-tas pelayanan), serta menjaga keamanan kualitas air.

Kehilangan air adalah selisih antara volume input sistem dan konsumsi resmi. Kehilangan air dalam suatu perencanaan sistem distribusi ini selalu ter-jadi. Kehilangan air terdiri dari 3 macam (Modul Ajar Sistem Penyaluran Air Minum Teknik Lingkungan ITS, 2010), yakni:

A. Kehilangan Air RencanaKehilangan air yang dialokasikan untuk melan-carkan operasi dan pemeliharaan fasilitas penye-diaan air bersih. Kehilangan air ini akan diperhi-tungkan dalam penetapan harga air dimana biaya akan dibebankan pada konsumen.

B. Kehilangan air percumaKehilangan ini menyangkut aspek penggunaan fasilitas penyediaan air bersih serta pengelolaan-nya. Hal ini sangat tidak diharapkan dan harus diusahakan untuk ditekan dengan cara penggu-naan dan pengelolaan fasilitas air bersih secara baik dan benar. Kehilangan air percuma ini dibagi menjadi 2 macam yaitu:

1. Leakage (bocor) berarti kehilangan air percu-ma pada komponen fasilitas yang tidak diken-dalikan dengan baik oleh pengelola.

2. Wastage (terbuang), berarti kehilangan air percuma pada proses pemakaian fasilitas oleh konsumen.

C. Kehilangan air insidentilKehilangan air diluar kekuasaan manusia misal-nya bencana alam.

Secara umum, kehilangan air dapat berupa kehilan-gan fisik dan non-fisik (Malcolm Farley, et al., 2008). Kehilangan fisik berupa kebocoran pada pipa distri-busi dan transmisi, kebocoran dan luapan dari tang-ki penyimpanan PDAM, dan kebocoran di pipa dinas hingga ke meter pelanggan. Kehilangan non-fisik berupa konsumsi tak resmi (pencurian), sambungan pipa ilegal, ketidakakuratan meter pelanggan, dan kesalahan penanganan data. Dalam merencanakan distribusi air minum ini, harus memperhitungkan ke-bocoran agar titik pelayanan tetap dapat terpenuhi kebutuhannya akan air.

Untuk menjaga kuantitas dan kontinuitas pelayanan air minum maka diperlukan pemeliharaan jaringan perpipaan, dimana sistem perpipaan air minum ten-tunya tidak dapat lepas dari adanya kemungkinan kebocoran. Dalam mengidentifikasi kebocoran air, terdapat 2 metode identifikasi yang biasa dilakukan (Modul Ajar Sistem Penyaluran Air Minum Teknik Lingkungan ITS, 2010), yaitu:

1. PENDAHULUAN

Sejalan dengan adanya program penyehatan PDAM di seluruh Kabupaten/Kota oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR, maka PDAM di selu-ruh Indonesia berupaya keras meningkatkan kinerja mereka. Untuk mewujudkan pelayanan prima dalam penyediaan air bersih, PDAM Kota Malang terus berusaha memuaskan pelanggannya. Hingga tahun 2014, PDAM Kota Malang telah berhasil melayani kebutuhan air bersih siap minum kepada masyara-kat sebesar 80,4% dan saat ini PDAM Kota Malang tengah bekerja keras dalam mewujudkan program pemenuhan target 100% akses aman air minum. Namun demikian, PDAM Kota Malang masih meng-hadapi potensi kerugian akibat kehilangan air. Data tahun 2013, menunjukkan total kehilangan air yang dialami PDAM Kota Malang adalah sebesar 26,92% sehingga mengakibatkan potensi kerugian finansial.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kehilangan air akibat kebocoran pipa adalah menggunakan metode step test. Step test merupakan teknik untuk mencari lokasi/area dengan jumlah kehilangan air terbesar. Pencarian lokasi tersebut berdasarkan pembagian wilayah DMA (District Meter Area). DMA telah sempurna dan terisolasi dengan baik (tidak ada cross connection aliran air dengan DMA lain) menjadi faktor penting keberhasilan penaksiran kebocoran melalui metode ini. Untuk mendukung penggunaan metode ini, PDAM Kota Malang telah memasang meter induk di 130 DMA dari total 155 DMA yang telah terbentuk.

Tujuan dilakukannya step test di PDAM Kota Malang adalah untuk mengidentifikasi titik kebocoran air dan menentukan langkah perbaikan selanjutnya. Pada penelitian ini juga akan ditaksir besarnya kerugian komersial yang dialami PDAM Kota Malang akibat kehilangan air. Dengan demikian, diharapkan pemeliharaan jaringan perpipaan yang dilakukan PDAM dapat terbantu dan berjalan efektif, sehingga pada akhirnya dapat menekan persentase kehilan-gan air fisik yang dialami PDAM Kota Malang. Selain itu, dapat pula meningkatkan produktivitas, kinerja dan meningkatkan pendapatan PDAM Kota Malang.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Sistem distribusi air minum adalah sistem yang langsung berhubungan dengan konsumen, yang mempunyai fungsi pokok mendistribusikan air yang telah memenuhi syarat ke seluruh daerah pelay-anan. Sistem ini meliputi unsur sistem perpipaan dan perlengkapannya, hidran kebakaran, tekanan tersedia, sistem pemompaan (bila diperlukan), dan reservoir distribusi (Enri Damanhuri, 1989). Sistem distribusi air minum ini terdiri atas perpipaan, kat-up-katup, dan pompa yang membawa air dari res-ervoir menuju pemukiman, perkantoran dan indus-tri yang mengkonsumsi air. Juga termasuk dalam sistem ini adalah fasilitas penampung air yang telah diolah (reservoir distribusi), meter air untuk me-

Page 22: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 18

A. Tes Isolasi ZonaSistem perpipaan dibagi kedalam zona–zona per-pipaan yang disebut waste zone. Tes ini dimak-sudkan untuk memastikan bahwa aliran air yang masuk ke dalam zona hanya aliran yang melewa-ti meter air pada titik tapping (satu titik tapping) pada zona jaringan tertentu.

B. Step TestStep test merupakan teknik untuk mencari area dengan jumlah kehilangan air terbesar. Pencarian lokasi tersebut berdasarkan pembagian wilayah DMA (District Meter Area). Waktu pelaksanaan-nya pada waktu terjadinya AMM (Aliran Malam Minimum). Bila pada malam hari dimana pada umumnya tidak ada pemakaian air oleh pelang-gan, tetapi dalam pendataan melalui pemeriksaan meter air pada suatu DMA menunjukkan terdapat AMM, berarti kemungkinan terjadi kebocoran pada salah satu area. Jika lokasi kebocoran telah ditemukan (di dalam jaringan transmisi atau dis-tribusi), pihak PDAM perlu mengetahui berbagai jenis kebocoran, dampak waktu bocor atau ALR pada total volume kehilangan fisik. Jenis dan lo-kasi (misalnya pipa utama atau pipa dinas) satu semburan berpengaruh pada total waktu bocor Malcolm Farley, et al., 2008), yaitu:

1. Semburan yang dilaporkan Terlihat dan biasanya dilaporkan dengan cepat oleh masyarakat atau teramati oleh staf peru-sahaan air minum. Waktu kesadaran pendek.

2. Semburan yang tidak dilaporkanBiasanya terjadi di bawah tanah dan tidak ter-lihat di permukaan. Semburan seperti ini bi-asanya ditemukan selama survei deteksi kebo-coran dan seringkali ada waktu kesadaran yang panjang tentang kebocoran.

3. Kebocoran kecil (Background leakage)Akumulasi kebocoran-kebocoran yang sangat kecil yang sulit dan tidak efektif dari segi biaya untuk dideteksi dan diperbaiki satu persatu.

3. METODE PENELITIAN

Metode yang dilakukan menggunakan metode step test secara langsung di lapangan. Step test ini di-lakukan di District Meter Area (DMA) Wendit Malang (Gambar 1) pada tanggal 28 Oktober 2015 pada waktu pemakaian air minimum yaitu antara pukul 23.00 – 02.00 WIB. Jaringan yang akan dilaku-kan pengujian terdiri dari 5 valve yang berada di Jl. Kampal hingga Jl. Kapuas. Untuk mempermudah identifikasi valve dilakukan pemberian nomor valve secara berurutan.

Kelengkapan yang diperlukan dalam uji step test ini adalah:

A. Alat ukur debit/Ultrasonic Flow Meter (Gambar 2)

B. Alat ukur tekanan (manometer)

C. Alat buka tutup valve (spendel)

D. Alat komunikasi (HP atau HT)

E. Alat penerangan

F. Blanko step test

Step test (Gambar 3) dimulai dari mengukur dan mencatat debit awal yang tertera pada watermeter induk, menutup valve mulai dari lokasi valve yang terjauh dari meter induk, lalu membuka valve mu-lai dari lokasi valve yang terdekat dari meter induk. Kemudian mencatat debit air saat valve dibuka dan ditutup. Dengan demikian, akan diketahui secara pasti lokasi yang diduga mengalami kebocoran.

Data sekunder berupa peta jaringan distribusi di-

Gambar 2. Ultrasonic Flow MeterSumber: Dokumentasi Penulis, 2015

Gambar 1. Skematik DMA Wendit, Kota MalangSumber: PDAM Kota Malang, 2015

Page 23: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 19

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

peroleh dari pihak PDAM Kota Malang serta untuk tarif pelayanan air minum berdasarkan Peraturan Walikota Malang Nomor 39 Tahun 2014. Analisis ha-sil dijabarkan secara kualitatif deskriptif, sedangkan untuk analisis keuangan dijabarkan secara kuanti-tatif.

3.1. HASIL STEP TEST

Keterangan: A. Evaluasi Kelas Bocor Rendah: 0,001 - 0,0049 B. Evaluasi Kelas Bocor Sedang: 0,005 - 0,019 C. Evaluasi Kelas Bocor Tinggi: ≥ 0,02

Data debit yang diperoleh merupakan titik stabil debit sesaat setelah valve ditutup. Losses meru-pakan selisih antara debit di suatu valve dengan debit di valve sebelumnya. SR (Sambungan Rumah) menunjukkan jumlah pelanggan yang terhubung dalam pipa tersebut. Nilai yang diperhatikan adalah

perbandingan antara nilai debit (dQ) dengan jumlah sambungan rumah (dSR).

Hasil uji step test (Tabel 1) menunjukkan pipa yang berada di Jl. Amandit (valve 4) memiliki kelas bo-cor yang tinggi, dengan dQ/dSR sebesar 0,1011. Tekanan dalam pipa berkisar antara 1,7 – 1,9 atm. Prioritas penanganan dan perbaikan akan dilakukan

pada lokasi ini, dilanjutkan lokasi dengan kelas bo-cor sedang. Hal ini dimaksudkan untuk mengefek-tifkan penanganan kebocoran pipa sehingga dapat menghemat biaya pemeliharaan. Untuk kebocoran dengan kelas bocor rendah, tidak dilakukan pena-nangan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan kebocoran ini sulit dan tidak efektif dari segi biaya untuk dide-teksi dan diperbaiki satu persatu.

Hasil ini harus diverifikasi dengan menggunakan analisis komponen (pendekatan top-down) atau pengkajian kehilangan fisik (pendekatan bottom

Gambar 3. Metodologi PenelitianSumber: Pengolahan Penulis, 2015

Tabel 1. Hasil Pengujian Kebocoran Pipa

Page 24: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 20

up). Pengujian step test di PDAM Kota Malang ini telah memenuhi syarat karena DMA yang telah sem-purna dan terisolasi dengan baik (tidak ada cross connection aliran air dengan DMA lain) menjadi fak-tor penting keberhasilan penaksiran kebocoran me-lalui metode ini. Untuk mendukung penggunaan metode ini, PDAM Kota Malang telah memasang meter induk di 130 DMA dari total 155 DMA yang telah terbentuk.

Kelemahan metode step test ini adalah terjadinya pemutusan aliran sementara sehingga pelanggan tidak mendapatkan air dalam waktu pengujian ber-langsung. Selain itu, terdapat resiko berupa kon-taminasi melalui lubang bocor pada jaringan saat pengisian air kembali ke dalam pipa. Pemakaian air oleh pelanggan pada saat step test juga tidak mu-dah dikontrol, oleh karena itu Net Night Flow sulit dicapai. Namun, metode step test ini sangat direko-mendasikan dan dianggap masih relevan untuk di-aplikasikan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebocoran pipa yang terjadi di Jl. Amandit (valve 4) ini dapat terjadi karena berbagai hal seperti kebo-coran pipa itu sendiri, pemasangan aksesoris yang kurang sempurna, atau kualitas aksesoris yang ren-dah. Secara umum, tiga komponen utama kehilan-gan fisik antara lain adalah:

A. Kebocoran dari pipa transmisi dan distribusi. Ke-bocoran ini biasanya merupakan peristiwa be-sar berupa semburan-semburan. Karena ukuran dan visibilitasnya, semburan dilaporkan dengan cepat dan kemudian diperbaiki atau dimatikan segera sesudahnya.

B. Kebocoran dan limpahan dari reservoir dan tanki penyimpanan perusahaan air minum. Kebocoran ini dapat diukur dengan mengamati limpahan dan memperkirakan durasi rata-rata dan laju aliran peristiwa limpahan tersebut. Kebanyakan lim-pahan terjadi saat malam hari ketika kebutuhan akan air rendah dan oleh karenanya perlu untuk melakukan pengamatan rutin setiap malam terh-adap setiap reservoir. Pengamatan-pengamatan ini dapat dilakukan baik secara fisik atau dengan memasang satu alat penyimpan data (data log-ger) yang kemudian akan mencatat tinggi per-mukaan reservoir secara otomatis dalam interval yang telah ditentukan sebelumnya.

C. Kebocoran pada pipa dinas hingga ke meter pelanggan. Jenis kebocoran seperti ini biasanya lebih sulit dideteksi dan menghasilkan volume kehilangan fisik yang terbesar.

Untuk memastikan penyebab kebocoran tersebut, perlu dilakukan tindak lanjut dengan mendeteksi titik kebocoran menggunakan alat sebagai berikut:

A. Alat Perekam Suara (Leak Noise Logger)Leak noise logger ini menyempitkan area DMA yang berisi dugaan kebocoran. Alat ditempatkan di area survei dengan setiap logger ditempatkan pada satu hidran, meter, atau surface fitting lain-nya. Suara-suara yang diduga disebabkan oleh kebocoran dapat dikonfirmasikan, lalu lokasi ke-bocoran dapat ditemukan dibantu dengan meng-gunakan peralatan lain seperti ground micro-phone.

B. Korelator Suara Kebocoran (Leak Noise Corella-tor)Instrumen ini menggunakan velositas suara yang diakibatkan kebocoran ketika melewati dinding pipa menuju masing-masing dari dua mikrofon yang ditempatkan pada fittings di salah satu sisi dugaan kebocoran. Keefektifan proses ini tergan-tung pada kekuatan suara bocor dan kemampuan bahan pipa untuk menjadi penghantar suara.

C. Ground MicrophoneMikrofon ini secara elektronik melipatgandakan suara kebocoran. Ia dapat dipasang untuk di-gunakan baik dalam mode kontak atau survei. Mode kontak untuk suara pada fitting, serupa dengan pipa suara elektronik. Mode survei digu-nakan untuk mencari kebocoran-kebocoran pada sisi panjang jalur pipa antara fitting. Teknik men-cakup penempatan mikrofon di atas tanah pada interval-interval di sepanjang pipa dan mengi-dentifikasi perubahan peningkatan suara ketika mikrofon mendekati posisi kebocoran. Ketika ke-bocoran terdeteksi oleh alat perekam suara ke-bocoran (leak noise loggers) atau korelator su-ara kebocoran (leak noise correlator), PDAM bisa menggunakan salah satu dari dua mode untuk menentukan lokasi kebocoran.

Pengurangan resiko kebocoran akibat kualitas alat dan aksesoris yang rendah, telah dilakukan PDAM Kota Malang dengan melakukan pengujian alat ter-lebih dahulu sebelum digunakan secara tetap, untuk memastikan agar alat dan aksesoris tersebut memi-liki kualitas prima. PDAM Kota Malang melakukan uji step test sebanyak 6 kali (dalam 2 tim) setiap bu-lannya untuk menekan angka kebocoran pipa. Se-makin cepat operator menganalisis data aliran DMA, semakin cepat semburan atau kebocoran dapat dik-etahui lokasinya.

Sejauh ini PDAM Kota Malang telah berhasil mener-apkan metode step test dengan efektif dan terus berupaya melakukan perbaikan. PDAM Kota Malang telah berhasil mengurangi kebocoran sekitar 3% per bulannya, dan bukan mustahil pada tahun 2019 PDAM Kota Malang dapat menekan angka kebocoran hingga 0%. Hal tersebut dapat dijadikan pembelaja-ran dan contoh baik bagi PDAM di seluruh Indonesia.

Biaya air yang hilang adalah nilai air yang hilang melalui kehilangan fisik maupun nonfisik. Volume kehilangan fisik harus dikalikan dengan biaya op-

Page 25: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 21

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

erasional yang berubah-ubah termasuk tenaga kerja, bahan kimia dan listrik. Volume kehilangan nonfisik harus dikalikan dengan tarif pelanggan ra-ta-rata. Seiring dengan meningkatnya NRW, biaya yang ditanggung karena kehilangan air akan menin-gkat secara proporsional. Untuk menghitung jumlah kerugian yang dialami PDAM jika tidak melakukan penanganan kehilangan air, dapat dilakukan perhi-tungan sederhana. Debit air terproduksi PDAM sebe-sar 1660 liter/detik. Tarif air rata-rata PDAM Kota Malang untuk kelompok Rumah Tangga berdasarkan Peraturan Walikota Malang Nomor 39 Tahun 2014 Tanggal 15 Oktober 2014 adalah Rp. 2.800,- dengan pemakaian 0-10 m3 setiap SR (Sambungan Rumah). Jika kehilangan air sebanyak 26,92% setara dengan 447 liter/detik, maka kehilangan air dapat menca-pai 3.862 m3/hari. Dalam 1 bulan, kehilangan air mencapai 115.862 m3. Jika dikalikan dengan jumlah tarif air Rp. 2.800,00 maka kerugian PDAM dalam 1 bulan mencapai Rp 32.441.472,00. Jumlah kerugian yang akan dialami cukup tinggi sehingga memer-lukan penanganan dan tindak lanjut dengan men-gupayakan perbaikan fisik dan non-fisik, meliputi perbaikan jaringan perpipaan yang bocor maupun aksesoris yang rusak, maupun perbaikan adminis-trasi seperti pembacaan dan pencatatan meteran pelanggan yang tepat. PDAM Kota Malang yang telah berhasil mengurangi kebocoran sekitar 3% per bulannya, telah meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.033.000,00 per bulan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pengujian den-gan metode step test secara efektif dapat mengi-dentifikasi lokasi kebocoran dengan tepat, yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan mende-teksi titik kebocoran menggunakan alat perekam suara (leak noise logger), korelator suara kebocor-an (leak noise corellator), dan ground microphone. Pengujian step test di PDAM Kota Malang ini telah memenuhi syarat karena DMA yang telah sempurna dan terisolasi dengan baik (tidak ada cross con-nection aliran air dengan DMA lain) menjadi faktor penting keberhasilan penaksiran kebocoran melalui metode ini. Penggunaan metode step test telah membantu PDAM Kota Malang menurunkan presen-tase kehilangan air sebesar 3% per bulannya, se-hingga dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.033.000,00 per bulan. Jika penanganan kebocor-an air tidak segera dilakukan, maka estimasi keru-gian mencapai Rp 32.441.472,00 per bulan atau Rp 413.297.664,00 per tahun.

5.2. Saran

Untuk meningkatkan kinerja penggunaan metode step test di PDAM Kota Malang, maka diperlukan penambahan pengadaan alat pendeteksi titik kebo-

coran seperti ground microphone, agar tindak lan-jut penanganan kebocoran dapat segera dilakukan, tanpa adanya hambatan kekurangan alat. Selain itu, diperlukan penelitian lanjutan mengenai waktu efektif pembacaan watermeter saat debit mencapai titik stabil, sehingga data debit yang diperoleh lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Dian Vita. 2007. Analisa Kinerja Sistem Distribusi Air Bersih PDAM Kecamatan Banyumanik Studi Kasus Perumnas Banyu-manik, Kelurahan Srondol Wetan. Tesis. Semarang: Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro.

Damanhuri, Enri. 1989. Pendekatan Sistem Dalam Pengendalian dan Pengoperasian Sistem Jar-ingan Distribusi Air Minum. Bandung: Juru-san Teknik Lingkungan FTSP-ITB.

Farley, Malcolm, et al. 2008. The Manager’s Non-Revenue Water Handbook: A Guide to Under-standing Water Losses. Bangkok: USAID & Ranhill

Tim Penulis. 2010. Modul Ajar Sistem Penyaluran Air Minum. Surabaya: Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh November.

Page 26: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 22

PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KETERJANGKAUAN DAYA BELI

MASYARAKAT MENGGUNAKAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM) Studi Kasus: PDAM Kota Bukittinggi, Sumatera Barat

Ricky Fernandez1

Suprihanto Notodarmojo2

Mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan1

Dosen Jurusan Teknik Lingkungan2 1,2Institut Teknologi Bandung

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

This study aims to provide recommendation alternatives of drinking water supply system in Bukittinggi city West Sumatera based on the selection of the best system and financial feasibility by the affordability of community purchasing ability consideration. Results of the CVM method shows that the value of ability to pay (ATP) is Rp. 3.732 /m3 and value of Willingness To Pay (WTP) is Rp. 7.442 /m3. The result of analysis show that system 4 has the best financial feasibility by the affordability of community purchasing ability consideration. This system use Sutijo Waters spring with capacity 300 liters/second and established in two phase: phase I (2016-2024) with capacity 100 liters/second and phase II (2024-2035) with capacity 200 liters/second. This system need total investment in phase I is Rp. 39.529.387.287 and phase II is Rp. 39.529.387.287. Investment of this system will be funded through “penyertaan modal pemerintah” pro-gram, 100% raw water unit will be funded by APBN through Directorate General of Water Resources, 70% of production unit will be funded by APBN through Directorate General of Human Settlements and 30% will be funded by APBD of Bukittinggi city, 30% of distribution network will be funded by APBD of Bukittinggi city and 70% will be funded by Bank loan. With water sales rate is Rp. 3.700/m3, this financing scheme is financial feasible with NPV Rp. 55.580.153.601, BCR 1,25 and BEP in 7 years with production cost Rp. 2.432/m3. This result of sensitivity analysis shows that this system is still feasible with risk of 10% increase in operating and capital cost, also 10% decrease in revenue.

Keyword: drinking water system development, affordability of community purchasing ability, CVM, finan-cial feasibility.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sebuah alternatif sistem pengembangan air minum di Kota Bukit-tinggi Sumatera Barat yang layak secara finansial dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat untuk air minum. Hasil penelitian keterjangkauan daya beli masyarakat untuk air minum dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) menunjukan bahwa nilai yang mampu dibayar oleh masyarakat (Ability To Pay/ATP) adalah sebesar Rp. 3.732/m3 sementara nilai yang mau dibayar masyarakat dengan adanya peningkatan pelayanan (Willingness To Pay) adalah sebesar Rp. 7.442/m3. Berdasarkan nilai keterjangkau-an daya beli masyarakat tersebut maka sistem 4 merupakan sistem terpilih karena memiliki kelayakan fi-nansial yang terbaik dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sistem 4 merupakan sistem pengembangan air minum dengan menggunakan mata air Sutijo sebagai sumber air baku dengan kapasitas 300 L/detik. Pembangunan akan dilaksanakan melalui dua tahap, tahap I pada tahun 2016-2024 sebesar 100 L/detik dan tahap II pada tahun 2024-2035 sebesar 200 L/detik. Sistem ini membutuhkan biaya investasi pada tahap I sebesar Rp. 39.529.387.287 dan tahap II sebesar Rp. 64.821.997.789. Kebutuhan investasi akan didanai melalui penyertaan modal pemerintah dimana unit air baku 100% dibiayai oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, unit produksi 70% dibiayai oleh Direkrtorat Jenderal Cipta Karya dan 30% melalui pinja-man Bank sementara unit distribusi 30% dibiayai oleh APBD Kota Bukittinggi dan 70% melalui pinjaman Bank. Dengan penggunaan tarif dasar air minum sebesar Rp. 3.700/m3 maka skema pembiayaan ini layak secara finansial dengan nilai NPV, BCR dan BEP secara berurutan sebesar Rp. 55.580.153.601, 1,25 dan 7 tahun serta Harga Pokok Produksi sebesar Rp. 2.432/m3. Analisa sensitivitas menunjukan bahwa sistem ini masih layak untuk dilaksanakan dengan adanya resiko kenaikan biaya operasional, kenaikan biaya in-vestasi, dan penurunan pendapatan air masing-masing sebesar 10%.

Kata kunci: Pengembangan sistem penyediaan air minum, keterjangkauan daya beli masyarakat, Con-tingent Valuation Method (CVM), kelayakan finansial

Page 27: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 23

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

1. PENDAHULUAN

Kota Bukittinggi merupakan salah satu kota yang terletak di Sumatera Barat dengan jumlah pen-duduk 126.896 jiwa. Perusahaan Daerah Air Mi-num (PDAM) Kota Bukittinggi merupakan salah satu unit usaha milik daerah yang bertanggung jawab dalam pelayanan air bersih bagi masyarakat. Saat

ini PDAM Kota Bukittinggi memiliki jumlah pelang-gan ± 13.800 pelanggan aktif dan ± 3.900 pelang-gan non aktif. Pelanggan non aktif adalah pelanggan PDAM yang telah diputus sambungan langsung ke tempat tinggalnya akibat sejumlah persoalan. Ber-dasarkan data yang didapat bahwa pelayanan PDAM Kota Bukittinggi sampai tahun 2014 baru mencapai 42.56%. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya jumlah penduduk yang semakin me-ningkat yang tidak sebanding dengan sumber air baku yang diolah. Peningkatan pertumbuhan pen-duduk yang cukup signifikan di Kota Bukittinggi membuat PDAM Kota Bukittinggi kesulitan untuk menyediakan air bersih, hal ini juga tidak didukung dengan penambahan sumber air baku baru. Akibat-nya banyak pelanggan yang selalu kecewa dengan pelayanan PDAM.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyedian Air Minum me-nyatakan bahwa dalam perencanaan pengemban-gan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) perlu dis-usun studi kelayakan pengembangan salah satunya dengan memperhatikan keterjangkauan daya beli masyarakat. Maka dari itu dalam penelitian ini akan diketahui keterjangkauan daya beli masyarakat un-tuk air minum sehingga akan diperoleh alternatif pengembangan sistem penyediaan air minum yang layak secara finansial dan sesuai dengan keterjang-kauan daya beli masyarakat.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Metode CVM

CVM menggunakan pendekatan secara langsung

yang pada dasarnya menanyakan kepada masyara-kat berapa besarnya Willingness to Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan/atau berapa besarnya Will-ingness to Accept (WTA) sebagai kompensasi dari kerusakan lingkungan (Merryna, 2009). Perbandin-gan teknik CVM dengan teknik lainnya untuk perbai-kan lingkungan ditunjukan pada Tabel 1.

2.2. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk

Dalam melakukan prediksi laju pertumbuhan pen-duduk, dapat digunakan beberapa metode statistik sebagai berikut :

A. Metode Aritmatik

B. Metode Geometrik

C. Metode Regresi Linear

D. Metode Eksponensial

E. Metode Logaritmik

Dari kelima metode diatas untuk memproyeksikan jumlah penduduk, harus dipilih satu metode yang paling mewakili pola pertumbuhan penduduk di wilayah perencanaan, dengan cara melakukan per-hitungan faktor korelasi, standar deviasi dan ke-adaan perkembangan Kota/Kabupaten di masa yang akan datang. Metode proyeksi penduduk yang dipi-lih adalah metode yang memiliki nilai faktor kore-lasi yang paling besar (paling mendekati 1) dan nilai standar deviasi paling kecil.

2.3. Proyeksi Kebutuhan Air

Dalam perencaan suatu Sistem Penyediaan Air Mi-num, perlu diketahui jumlah kebutuhan dan pe-makaian air. Kebutuhan air dipengaruhi oleh jum-lah populasi penduduk, musim, iklim, kebiasaan dan pola hidup masyarakat, fasilitas plumbing yang tersedia dan kegiatan industri (Andey et al. 2009 dalam Dewi 2015).

Tabel 1. Perbandingan Metode Valuasi Ekonomi Lingkungan

Sumber : Hoevanagel dalam Merryna 2009

Page 28: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 24

2.4. Analisa Hidrolis (EPANET)

EPANET adalah program komputer yang dapat me-nampilkan simulasi hidrolis dan kualitas air dalam jaringan pipa bertekanan. Program ini dapat mengi-dentifikasi aliran air dan headloss dalam setiap pipa dan tekanan pada setiap node selama periode simu-lasi. EPANET adalah alat bantu analisis hidrolis yang mampu (Rossman, 2000 dalam Dewi 2015):

A. Menganalisis jaringan seluas mungkin tanpa ba-tasan tertentu

B. Menghitung kehilangan tekan akibat friksi dengan menggunakan persamaan Hazen-William, Darcy-Weisbach, atau Chezy-Manning

C. Menghitung headloss minor untuk bend, fitting, dan sambungan lain

D. Menghitung energi pompa dan biaya yang diper-lukan

E. Memodelkan berbagai jenis valve

F. Memungkinkan perhitungan untuk berbagai ben-tuk tangki penampungan

G. Memperhitungkan berbagai kategori demand pada setiap node dengan pola dan variasi waktu masing-masing

H. Memodelkan berbagai emitter (kepala sprinkler)

I. Dapat dioperasikan dengan sistem dasar pada tangki sederhana dan pada kontrol waktu yang lebih kompleks

2.5 Analisa Finansial

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Kelayakan Investasi Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum, dalam menganalisa kelayakan finansial suatu proyek perlu dibuat suatu proyeksi keuangan proyek yang men-cakup sebagai berikut:

A. Rencana Investasi Proyek Rencana ini menggambarkan besaran total in-vestasi proyek SPAM berdasarkan rencana teknis SPAM mencakup unit air baku, unit produksi, dan unit distribusi, serta tahapan pembangunannya.

B. Pembiayaan Investasi Rencana ini menggambarkan porsi pembiay-aan investasi pembangunan aset-aset produktif SPAM, baik berupa porsi dana equity maupun porsi dana pinjaman.

C. Rencana Volume Air Terjual Rencana ini menggambarkan proyeksi air terjual dalam satuan m3/tahun.

D. Rencana Proyeksi Tarif

Rencana ini menggambarkan proyeksi tarif yang direncanakan.

E. Proyeksi Cashflow Proyek SPAM Proyeksi cashflow dilakukan dengan menghitung rencana cash-in dan rencana cash-out proyek se-lama periode operasional proyek.

1. Rencana cash-in proyek, yaitu pendapatan penjualan air, pendapatan sambungan baru, pendapatan biaya administrasi, dan pendapa-tan biaya beban)

2. Rencana cash-out proyek, yaitu biaya op-erasional (gaji pegawai, listrik, bahan kimia, pembelian air curah), biaya non operasional (penyusutan dan bunga tahun berjalan), bi-aya pemeliharaan, pajak, dan angsuran hu-tang pokok pinjaman.

F. Valuasi Kelayakan ProyekMerupakan hasil perhitungan kelayakan keuan-gan proyek yang terdiri atas Net Present Value (NPV),Benefit Cost Ratio (BCR) dan Break Event Point (BEP) serta analisa sensitivitas proyek yang direncanakan.

G. Proyeksi Neraca dan Rugi Laba Proyek Merupakan proyeksi perhitungan rugi laba dan neraca proyek.

3. METODE PENELITIAN

Untuk mengukur nilai keterjangkauan daya beli masyarakat yakni nilai Willingness To Pay (WTP) maka digunakan metode Contingent Valuation Method (CVM). CVM merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai yang diberi-kan seseorang untuk memperoleh suatu barang (Willingness To Pay, WTP) (Carson dkk, dalam Za-karia, 2013). Nilai tersebut dapat ditentukan den-gan bertanya kepada seseorang untuk memberi-kan sejumlah satuan yang ingin dibayarkan. Dalam penelitian ini kuisioner adalah teknik yang dipakai dalam penentuan nilai tersebut dengan metode per-mainan penawaran (bidding games). Alasan pemili-han metode bidding game karena hanya metode ini yang secara tegas mencerminkan nilai maksimum WTP. Pada metode ini responden akan ditawarkan beberapa nilai yang mau dibayar untuk peningka-tan pelayanan air minum. Nilai maksimum yang mau dibayar oleh responden merupakan nilai WTP dari responden tersebut. WTP dapat diduga dengan menggunakan nilai rata-rata dari penjumlahan ke-seluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah respon-den. Nilai WTP dihitung dengan menggunakan Pers-amaaan 1 (Amanda, 2009).

........................................ (1)Dimana :

WTP = Nilai rata-rata WTP

Page 29: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 25

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Wi = Nilai WTP ke-i

n = Jumlah responden

Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang telah diteri-manya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Analisa ATP dibuat berdasarkan pengeluaran untuk biaya air bersih dari penghasilan per keluar-ga per bulan dan jumlah pemakaian air bersih per keluarga per bulan. Persamaan yang dipakai untuk perhitungan nilai ATP ditunjukkan pada Persamaan 2 (Nasrullah dkk, 2006).

.......................................... (2)

Dimana :

It = Total pendapatan keluarga perbulan (Rp/bu-lan)

Pp = % pengeluaran untuk air besih per bulan dari total pendapatan keluarga (%)

Tt = Total pemakaian air bersih keluarga per bulan (m3/bulan)

Untuk menentukan faktor-faktor yang apa saja yang mempengaruhi nilai kemauan membayar masyara-kat maka dilakukan dengan menggunakan analisa faktor dengan menggunakan software SPSS. Analisa faktor dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel tersebut secara bersama-sama (serentak) memberi pengaruh terhadap kemauan membayar responden (Afroz dkk., 2009). Analisa diskriminan bertujuan untuk mengetahui berapa faktor yang akan terbentuk dari faktor-faktor yang didapat me-lalui analisa faktor sehingga memberikan sebuah bentuk persamaan diskriminan dari faktor-faktor terpilih.

Penyebaran kuesioner dilakukan apabila kuesioner dinyatakan valid dan reliabel. Secara umum, uku-ran sampel yang dibutuhkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus Slovin yang ditunjukkan pada Persamaan 3

.......................................... (3)

Keterangan :

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi

E = persen kesalahan pengambilan sampel (10%)

Jika jumlah Kepala Keluarga Kota Bukittinggi adalah 23.652 KK maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 99.57 ≈ 108 sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dimana teknik sampling dengan menggunakan acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. Penggunaan sampling ini didasarkan pada alasan di mana besarnya WTP dan ATP yang diestimasi akan

memiliki nilai yang berbeda-beda untuk masing-ma-sing pelanggan Rumah Tangga. (Irawan,2009).

Perhitungan proyeksi pertumbuhan penduduk di-lakukan untuk mengetahui perkiraan jumlah pen-duduk di wilayah rencana pengembangan di masa yang akan datang. Perhitungan proyeksi penduduk digunakan dengen beberapa metode diantaranya metode Aritmatik, Geometrik, Regresi Linear, Ekspo-nensial, Logaritmik.

Selanjutnya dilakukan analisa kelayakan proyek yang mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Kelayakan Investasi Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Alternatif Pengembangan SPAM

Dalam pemgembangan Sistem Penyediaan Air Mi-num di Kota Bukittinggi digunakan 6 alternatif sistem. Alternatif sistem 1 - 3 mempunyai perbe-daan yang cukup nyata, dimana alternatif sistem 1 dengan memanfaatkan sumber mata air dengan jarak yang cukup jauh ke reservoir, sementara al-ternatif sistem 2 dengan memanfaatkan sumber air sungai Batang Sianok yang cukup dekat ke reservoir. Sedangkan alternatif sistem 3 merupakan gabungan antara alternatif 1 dan 2.

Alternatif sistem 4 – 6 pada dasarnya sama den-gan alternatif 1 – 3, namun pada sistem 4 – 6 ren-cana pengembangan SPAM akan dibagi menjadi dua tahap, dimana tahap I (2016-2024) dan tahap II (2025-2035). Sehingga nanti akan dilihat sistem alternatif mana yang layak secara finansial dan ter-jangkau oleh daya beli masyarakat untuk setiap tarif yang akan ditetapkan.

Semua alternatif pengembangan sistem penyedi-aan air minum yang akan direncanakan melayani wilayah administratif Kota Bukittinggi yang ter-diri dari 3 Kecamatan: Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh, Kecamatan Guguk Panjang dan Kecamatan mandiangin Koto Selayan. Selain itu jaringan yang direncanakan dalam penelitian ini hanya sampai ja-ringan distribusi utama.

4.2. Analisa Teknis

Berdasarkan analisa hidrolis menggunakan soft-ware Epanet 2.0 didapatkan bahwa semua alternatif sistem pengembangan SPAM sudah sesuai dengan kriteria teknis SNI 06-4829-2005 mengenai kecepa-tan, headloss dan tekanan .

4.3. Analisa Keterjangkauan Daya Beli Ma-syarakat

Berdasarkan hasil olahan data kuisioner, pelayanan PDAM berdasarkan aspek kuantitas, kontiniutas,

Page 30: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 26

kualitas serta rata-rata tagihan per bulan dari re-sponden secara berurutan ditunjukan pada Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4.

Berdasarkan aspek kuantitas hanya sebanyak 10% responden menyatakan sangat memenuhi, 51% re-sponden menyatakan pengaliran air 7 hari dalam seminggu dan 8% responden menyatakan pengali-ran selama 24 jam, sementara dari aspek kualitas hanya sebanyak 8% responden menyatakan bahwa tidak pernah terdapat bau pada air PDAM. Berdasar-kan analisa persepsi ini dapat diketahui bahwa dari aspek kuantitas, kontiniutas dan kualitas pada um-

umnya belum memenuhi kebutuhan masyarakat kota Bukittinggi. Dengan perhitungan statistik di-dapatkan nilai rata-rata tagihan air PDAM responden adalah sebesar Rp. 67.172 per bulan.

4.3.1. Nilai ATP

Dari hasil kuisioner diperoleh nilai rata-rata pendapa-tan keluarga, rata-rata pengeluaran air bersih, serta persentase pengeluaran air bersih per bulan sehing-ga dapat dihitung nilai ATP rata –rata sebesar:

Dari persamaan diatas didapatkan nilai ATP rata-rata sebesar Rp. 4.051/m3. Jika dibandingkan den-gan penggunaan Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat sebesar Rp. 1.615.000 dan berdasarkan Per-aturan Menteri Dalam Negeri No 23 Tahun 2006 ten-tang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum yang menyatakan bahwa tarif air minum tidak boleh me-lebihi rata-rata persentase pengeluaran air bersih sebesar 4% dari total pendapatan maka didapatkan nilai ATP rata-rata adalah :

Berdasarkan hasil diatas, nilai ATP yang didapat melalui data primer dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan nilai ATP jika menggunakan Upah Minimum Provinsi (UMP), dimana nilai ATP dari data primer sebesar Rp. 3.732/m3 dan nilai berdasarkan Upah Minumum Provinsi (UMP) sebesar Rp. 3.588/m3 dengan selisih nilai ATP sebesar Rp. 144/m3

4.3.2. Nilai WTP

Hasil perhitungan rata-rata nilai WTP dari responden ditunjukan pada Tabel 2.

Gambar 1. Aspek kuantitas air PDAM

Gambar 2. Aspek kontiniutas air PDAM

Gambar 3. Aspek kualitas bau air PDAM

Gambar 4. Tagihan air PDAM per Bulan

Tabel 2. Nilai rata-rata WTP

Gambar.5 Perbandingan nilai ATP, WTP dan nilai tarif PDAM

Page 31: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 27

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Perbandingan nilai tarif pdam, nilai ATP tahun 2009, nilai ATP berdasarkan Upah Minimum Provinsi, serta nilai ATP dan WTP berdasarkan hasil penelitian ini ditunjukan pada Gambar 5.

Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa tarif yang berlaku saat ini lebih kecil dari nilai ATP dan WTP. Kondisi ini menunjukan bahwa kemam-puan masyarakat sangat baik, karena tarif yang diberlakukannya ternyata lebih kecil dari daya beli masyarakat. Pada kondisi ini masyarakat mampu membeli jasa atau barang yang ditawarkan tanpa memikirkan untuk mencari alternatif lain (Nasrullah dkk, 2006).

Selain itu, nilai ATP yang didapat lebih kecil dari ni-lai WTP sehingga dapat dikatakan bahwa kemauan membayar masyarakat untuk membayar pelayanan PDAM lebih besar daripada kemampuannya.

Jika dibandingkan dengan tarif ditetapkan oleh pemerintah saat ini adalah sebesar Rp. 800/m3 hal ini sudah sesuai dengan daya beli masyarakat. Na-mun apabila dilihat dari nilai ATP dan WTP dapat di-katakan bahwa masyarakat masih mampu dan mau membayar lebih dari tarif yang ditetapkan sekarang dengan harapan adanya peningkatan pelayanan. Hal ini menjelaskan bahwa ada potensi untuk me-ningkatkan jaringan pelayanan PDAM di Kota Bukit-tinggi dengan melihat kemampuan dan kemauan membayar masyarakat yang cukup tinggi.

Hasil analisa faktor menunjukan bahwa faktor kontiniutas dan kualitas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kemauam membayar masyara-kat dengan model persamaan sebagai berikut :

WTP = 0.357 Kontiniutas + 0.228 Kualitas

4.4. Analisa Finansial

Analisa finansial terdiri dari kebutuhan investasi (Tabel 3), proyeksi volume air terjual (Gambar 6), proyeksi biaya operasional dan pemeliharaan (Tabel 4), proyeksi pendapatan berdasarkan tarif dasar air minum (Tabel 5), proyeksi pendapatan tarif (Gam-bar 6, Gambar 7, dan Gambar 8), proyeksi casflow (Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11), valuasi kelayakan proyek berdasarkan rekapitulasi analisa kelayakan finansial (Tabel 6).

Tabel 3. Kebutuhan Investasi

Gambar 6. Proyeksi Volume Air TerjualTabel 4. Biaya Operasional dan Pemeliharaan

Tabel 5. Tarif Dasar Air Minum Berdasarkan Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat

Gambar 6. Proyeksi Pendapatan Tarif I

Gambar 7. Proyeksi Pendapatan Tarif II

Page 32: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 28

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Nilai kemauan membayar masyarakat (Willingness To Pay /WTP) jika ditawarkan adanya peningkatan pelayanan adalah sebesar Rp. 7.442/m3 sementara nilai kemampuan membayar masyarakat (Ability To Pay /ATP) sebesar Rp. 3.732/m3. Nilai kemauan membayar (WTP) yang lebih besar daripada kemam-puan membayar (ATP) menunjukan bahwa adanya keinginan yang sangat tinggi dari masyarakat untuk peningkatan pelayanan air minum di Kota Bukitting-gi. Nilai yang didapat dengan metode ini tidak jauh berbeda jika menggunakan ketentuan Permendag-ri No 23 Tahun 2006 dan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Barat. Selain itu evaluasi metode ini juga menunjukan bahwa metode CVM yang di-gunakan dalam penelitian ini mampu menjelaskan 87% faktor-faktor yang mempengaruhi kemau-an membayar masyarakat untuk pengembangan sistem penyediaan air minum.

Berdasarkan analisa finansial yang dilakukan den-gan mempertimbangkan nilai keterjangkauan daya beli masyarakat maka alternatif sistem terpilih adalah sistem pengembangan penyediaan air mi-num dengan menggunakan Mata Air Sutijo sebesar 300 L/detik yang akan dibangun melalui dua tahap : tahap I (2016-2025) dengan kapasitas 100 L/detik dan tahap II (2026-2035) dengan kapasitas 200 L/detik. Nilai investasi yang dibutuhkan untuk sistem ini pada tahap I sebesar Rp. 39,529,387,287 dan pada tahap II sebesar Rp. 64,821,997,789.

Gambar 8. Proyeksi Pendapatan Tarif III

Gambar 9. Proyeksi Cashflow Tarif I

Gambar 10. Proyeksi Cashflow Tarif II

Gambar 11. Proyeksi Cashflow Tarif III

Tabel 6. Rekapitulasi Analisa Kelayakan Finansial Untuk Setiap Alnternatif Sistem dan Tarif

Page 33: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 29

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Skema pembiayaan terpilih adalah skema pembiay-aan dimana unit air baku 100% dibiayai oleh Direk-torat Jenderal Sumber Daya Air, unit produksi 70% dibiayai oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya dan 30% melalui pinjaman Bank, sementara unit distri-busi 30% dibiayai oleh APBD Kota Bukittinggi dan 70% melalui pinjaman Bank. Berdasarkan analisa finansial sistem pembiayaan ini layak dengan peng-gunaan tarif 0–10 m3 sebesar Rp. 3.700/m3, 10-20 m3 sebesar Rp. 5.700/m3 dan >20 m3 sebesar Rp. 7.700m/3. Skema pembiayaan ini menghasilkan ni-lai NPV, BCR dan BEP secara berurutan sebesar Rp. 55,580,153,601, 1.25 dan 7 tahun dengan harga pokok produksi sebesar Rp. 2.432/m3.

Analisa sensitivitas terhadap alternatif sistem pengembangan dengan skema pembiayaan dan tarif terpilih menunjukan terjadi perubahan nilai kelay-akan finansial untuk setiap perubahan parameter. Namun jika dilihat secara umum bahwa dengan ad-anya perubahan parameter seperti kenaikan biaya operasional, kenaikan biaya investasi dan penu-runan pendapatan, alternatif sistem pengembangan penyediaan air minum terpilih di Kota Bukittinggi masih layak untuk dilaksanakan

5.2. Saran

Beberapa hal yang harus diperhatikan lebih lanjut antara lain:

A. PDAM Kota Bukittinggi harus mempunyai aturan yang jelas untuk setiap pelanggaran oleh pelang-gan terutama dalam penggunaan pompa oleh pelanggan untuk mengalirkan air agar sampai ke rumah. Hal ini akan mengakibatkan distribusi air yang tidak merata kepada setiap pelanggan.

B. Keterjangkauan daya beli masyarakat hendaknya menjadi pertimbangan PDAM, Pemerintah Dae-rah dan DPRD dalam penetapan tarif air minum.

C. Sebaiknya PDAM Kota Bukittinggi melakukan pe-nyesuaian tarif untuk air minum mengingat tarif yang ada sekarang tidak layak secara finansial untuk pengembangan SPAM di Kota Bukittinggi, selain itu nilai keterjangkauan daya beli ma-syarakat masih jauh diatas nilai tarif yang ber-laku sekarang.

D. Dalam penyebaran kuisioner untuk mengukur ni-lai keterjangkauan daya beli masyarakat sebai-knya digunakan teknik sampling proportionate stratified random sampling yakni pengambilan sampel yang dilakukan secara acak dan berstrata secara porposional. Hal ini bertujuan agar nilai yang diperoleh mewakili semua masyarakat baik yang berpenghasilan tinggi maupun berpenghas-ilan sedang dan rendah.

E. Sebaiknya dilakukan analisa lebih rinci untuk ke-andalan sumber air baku yang digunakan sebagai sumber air minum untuk menjamin ketersediaan

air baku selama periode perencanaan.

DAFTAR PUSTAKA

Armijo, Carlos Quintanilla. Pineda, Felipe Perez (2012) : Estimating Willingness to Pay and Financial Feasibility in Small Water Project in El Salvador. Journal of Business Research 66 (2013) 1750-1758.

Badan Pusat Statistik Kota Bukittinggi. (2014) : Bukittinggi Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kota Bukittinggi, Bukittinggi.

Brouwer, Roy. Khan, Nasreen Islam. Yang, Hong (2012) : Household’s Willingness to Pay for Arsenic Safe Drinking Water in Bangladesh. Journal of Enviromental Management 143 (2014) 151-161.

Dinas Prasarana, Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat (2014). : Penyu-sunan Studi Kelayakan SPAM Regional Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam Provinsi Su-matera Barat. Dinas Prasarana, Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat, Padang.

Evangelinos.K.I, Halvadakis.C.P, Jones.N, Polyzou.E, : Willingness To Pay for Drinking Water Qual-ity Improvement and The Infuence of Social Capital . The Journal of Socio-Economics 40 (2011) 74-80.

Fitria Aidillah., Siswanto., Ari Sandhyavitri. : Anali-sa Willingness To Pay (WTP) dan Kebutuhan Air Bersih Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Riau, Pekanbaru.

He, Jie. Kamata, Takuya. Kim, Yoonhee. Wang, Hua. (2013) : Willingness To Pay for Water Qual-ity Improvments in Chines Reivers. Journal of Enviromental Management 131 (2013) 256-269.

Ntengwe, F.W (2004) : The Impact of Consumer Awareness of Water Sector Issues on Willing-ness To Pay and Cost Recovery in Zambia . Physic and Chemistry of the Earth 29 (2004) 1301-1308.

PDAM Kota Bukittinggi Pemerintah Kota Bukittinggi. (2006) : Coorporate Plan. PDAM Kota Bukit-tinggi Pemerintah Kota Bukittinggi, Bukitting-gi.

PDAM Tirta Jam Gadang Kota Bukittinggi. (2015) : Laporan Kinerja Untuk Tahun Buku Yang Ber-akhir Tanggal 31 Desember 2014. PDAM Tirta Jam Gadang Bukittinggi, Bukittinggi.

PDAM Tirta Jam Gadang Kota Bukittinggi. (2014) : Proposal Reklasifikasi Pelanggan dan Perhi-

Page 34: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 30

tungan Tarif. PDAM Tirta Jam Gadang Bukit-tinggi, Bukittinggi.

Pemerintah Kota Bukittinggi Dinas Pekerjaan Umum. (2010) : Penyusunan Master Plan / Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum Kota Bukittinggi. Pemerintah Kota Bukittinggi Di-nas Pekerjaan Umum, Bukittinggi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 21/PRT/M2009 Tentang Pedoman Teknis Kelay-akan Investasi Pengembangan Sistem Penye-diaan Air Minum Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Putri, Nessa Riana dkk. (2015) : Analisa Willingness To Pay (WTP) dan Kebutuhan Air Bersih Di Kota Pekanbaru. Jom FTEKNIK Volume 2 No. 1 Februari 2015.

Sembiring, Emenda (2011) : Ekonomi Teknik. Insti-tut Teknologi Bandung, Bandung.

Setiawan, Endang. (2013) : Telaah Terhadap Kem-auan Membayar Tinjauan Konsep dan Metode Serta Potensi Aplikasi. Bandung.

Zakaria, Rasdiana. (2013) : Analisis Kemauan Membayar Untuk Peningkatan Kualitas Pen-gelolaan Sampah di Kota Makassar Menggu-nakan Contingent Valuation Method. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Page 35: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 31

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

UPAYA TEKNIS PERBAIKAN DEFISIENSI KESELAMATAN AKIBAT KETIDAKTEPATAN GEOMETRIK JALAN DAN PENYALAHGUNAAN RUANG

BAGIAN JALAN Studi Kasus: Ruas Jalan Nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon –

Sentolo – Milir – Wates

Tisara Sita1

M. Fathoni Jalaluddin2

Mahasiswa Magister Sistem dan Teknik Transportasi1Perancang Teknik Pembangunan Jalan dan Jembatan2

1Universitas Gajah Mada2Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DI Yogyakarta

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

The national highway Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates is one of the roads in Yogya-karta with a relatively high accident rate. This statement indicates that this road has deficiency of infrastruc-ture or road safety deficiency. Therefore, it is necessary to identify road geometric problems and abusement of road space utilization, thus technical recommendations can be obtained to achieve the principles of for-giving road, self-explaining road, self-regulating road, and self-enforcing road. Technical recommendations to improve road safety deficiencies obtained through field observation by dividing roads into four segments and then examine the problems of: (1) the geometric conditions; (2) the condition of the pavement; (3) harmonization of signs and markings; and (4) abusement of road space utilization. The results showed that the improvement of road safety deficiencies in the accident-prone locations prioritized to: (1) the widening of the road; (2) improvement of transverse slope; (3) maintenance of pavement; (4) the construction of the road divider; (5) remarking; (6) paved road shoulder; (7) the harmonization of signs and signals; and (8) controlling the use of road space utilization, road space asset, and road space supervision.

Keywords: road safety deficiencies, road improvement, forgiving road

Abstrak

Ruas Jalan Nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates merupakan salah satu ruas jalan di Yogyakarta dengan angka kecelakaan yang relatif tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada ruas jalan tersebut terdapat defisiensi keselamatan berkendaraan, oleh karena itu diperlukan identifikasi permasalahan geometrik jalan dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan, sehingga didapatkan rekomendasi teknik untuk mencapai prinsip jalan berkeselamatan (forgiving road), self-explain-ing road, self-regulating road, dan self-enforcing road. Rekomendasi teknik untuk memperbaiki defisiensi keselamatan berkendaraan didapatkan melalui peninjauan lapangan dengan membagi ruas jalan tersebut menjadi empat segmen dan kemudian mencermati permasalahan: (1) kondisi geometrik jalan; (2) kondisi perkerasan jalan; (3) harmonisasi rambu dan marka; dan (4) penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ru-ang bagian jalan. Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa penanganan defisiensi keselamatan berkendaraan di lokasi rawan kecelakaan diprioritaskan pada: (1) pelebaran jalan; (2) perbaikan kemirin-gan melintang; (3) pemeliharaan perkerasan jalan; (4) penambahan median jalan; (5) pemarkaan ulang; (6) perkerasan bahu jalan; (7) harmonisasi rambu dan sinyal; dan (8) penertiban pemanfaatan ruang man-faat jalan (rumaja), ruang milik jalan (rumija), dan ruang pengawasan jalan (ruwasja).

Kata Kunci: defisiensi keselamatan berkendaraan, perbaikan jalan, jalan berkeselamatan

Page 36: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 32

1. PENDAHULUAN

Jalan merupakan infrastruktur fisik yang pent-ing untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial budaya suatu wilayah. Hal ini didukung dengan sasaran strategis yang ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jen-deral (Ditjen) Bina Marga Tahun 2015-2019, yaitu meningkatnya dukungan konektivitas bagi pengua-tan daya saing dan meningkatnya kemantapan jalan nasional, dicapai melalui tiga kegiatan utama, yaitu pengembangan jalan nasional, manajemen aset, serta dukungan terhadap jalan daerah. Salah satu kendala dalam mencapai sasaran strategis terse-but adalah angka kecelakaan lalu lintas yang cuk-up tinggi. World Health Organization (WHO) dalam Road Map Strategi Nasional Dekade Aksi Kesela-matan tentang Global Status Report on Road Safety (2015) menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas telah mengambil sedikitnya 1.25 juta penduduk se-tiap tahunnya dengan tingkat fatalitas kecelakaan tertinggi pada negara-negara berpenghasilan ren-dah. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2006) menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas 93.52% disebabkan oleh faktor manusia, 3.23% oleh faktor jalan, 2.76% oleh faktor kendaraan, serta 0.49% oleh faktor lingkungan dan cuaca. The Global Com-petitiveness Report 2014-2015 yang dipublikasikan oleh World Economic Forum (WEF), daya saing atau Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia bera-da pada peringkat ke-34 dunia, sedangkan kualitas infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke- 56 dari 144 negara dunia yang disurvai. Gambaran tersebut memperlihatkan rendahnya kualitas infra-struktur jalan di Indonesia.

Mulyono et al. (2010) menyatakan bahwa penguran-gan resiko dan potensi kecelakaan dapat dilakukan dengan koordinasi penyelenggara jalan dan pihak-pihak terkait yang memiliki wewenang serta kepent-ingan sektoral yang berbeda, yaitu Ditjen Bina Mar-ga, Ditjen Perhubungan Darat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Kesehatan, Kemen-terian Pendidikan dan Kebudayaan, serta lembaga nonpemerintah serta organisasi masyarakat. Ditjen Bina Marga dan Ditjen Perhubungan Darat merupak-an lembaga pemerintah yang menangani infrastruk-tur keselamatan jalan raya di Indonesia. Ditjen Bina Marga sebagai pihak penyelenggara dan pengelola jalan, memiliki wewenang dan tanggung jawab po-kok dalam perencanaan dan desain jalan berkese-lamatan, pembangunan dan pemeliharaan jalan, dan perbaikan lokasi rawan kecelakaan. Ditjen Perhubungan Darat memiliki tanggung jawab un-tuk merencanakan dan melaksanakan harmonisasi rambu atau petunjuk keselamatan jalan terhadap fungsi jalan.

Permasalahan-permasalahan yang masih sering di-jumpai di lapangan antara lain: jalan berlubang dan kerusakan jalan yang tidak segera ditangani, jum-lah rambu yang masih kurang dan marka yang tidak jelas, bangunan utilitas atau papan reklame yang

mengganggu jarak pandang, dan ketidaksesuaian geometrik jalan terhadap peraturan yang ada. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa infrastruk-tur jalan yang ada sekarang ini belum memenuhi prinsip a forgiving road environment, a self-explain-ing road, a self-regulating road, dan a self-enforcing road (Mulyono et al., 2009). Tindakan reaktif dan proaktif harus segera dilakukan untuk menangani defisiensi keselamatan berkendaraan, antara lain dilihat dari sudut pandang persoalan: penyimpan-gan geometrik jalan, kondisi kerusakan perkerasan, ketidakharmonisan perlengkapan jalan, dan peny-alahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian ja-lan. Penanganan defisiensi keselamatan berkenda-raan dilakukan dengan mengamati kondisi lapangan dan mencari rekomendasi atau upaya teknis yang harus segera diimplementasikan sehingga tercipta jalan berkeselamatan atau forgiving road.

A. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan reko-mendasi teknis yang perlu dilakukan untuk perbai-kan defisiensi keselamatan akibat ketidaktepatan geometrik jalan dan penyalahgunaan ruang bagian jalan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi-kan masukan kepada lembaga penegak aturan berlalu lintas dan memberikan gambaran kepada penyelenggara jalan. Batasan dalam penelitian ini adalah:

A. Lokasi penelitian adalah ruas jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta, sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Jalan Nasional No. 631/KPTS/M/2009, yaitu Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates;

B. Survei lapangan yang terdiri dari pengukuran em-pat aspek keselamatan jalan: aspek geometrik jalan, aspek perkerasan jalan, aspek harmonisasi perlengkapan jalan, dan aspek penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan; serta

3. Survei dilaksanakan pada Maret 2015.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Mulyono et al. (2009) melakukan penelitian men-genai Audit Keselamatan Infrastruktur Jalan (Studi Kasus: Jalan Nasional KM 78-KM 79 Jalur Pantura Jawa, Kabupaten Batang) secara kuantitatif dan kualitatif berdasarkan hasil ukur defisiensi kesela-matan di lapangan agar menjadi model evaluasi bagi auditor jalan. Hasil audit keselamatan jalan menunjukkan bahwa beberapa bagian fasilitas ja-lan berada dalam kategori “bahaya” dan atau “san-gat berbahaya”, yang harus segera diperbaiki untuk memperkecil potensi terjadinya kecelakaan, yaitu: aspek geometrik yang meliputi jarak pandang me-nyiap, posisi elevasi bahu jalan terhadap elevasi tepi perkerasan, radius tikungan; aspek perkerasan yang meliputi kerusakan berupa alur bekas roda kenda-raan; dan aspek harmonisasi yang meliputi rambu batas kecepatan di tikungan, lampu penerangan ja-lan, dan sinyal sebelum masuk tikungan.

Page 37: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 33

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

2.1. Dasar Peraturan

Penyelenggaraan jalan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 ta-hun 2004 tentang Jalan (UU No. 38/2004), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22/2009), Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan (PP No. 34/2006), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2010 tentang Tata Cara dan Pesyaratan Laik Fungsi Ja-lan (Permen PU No. 11/2010), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan (Permen PU No. 19/2011), dan Pan-duan Teknis Pelaksanaan Laik Fungsi Jalan Ditjen Bina Marga tahun 2012.

2.2. Kecelakaan dan Keselamatan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas menurut UU No. 22/2009 adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Ha-sil kajian beberapa penelitian dan pengamatan di la-

pangan menyimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas dapat dipengaruhi oleh faktor manusia, kendaraan dan lingkungan jalan, serta interaksi dan kombinasi dua atau lebih faktor tersebut di atas (Austroads, 2002, dalam Prihartono, 2012), seperti terlihat pada Gambar 1. Keselamatan Lalu Lintas dan An-gkutan Jalan berdasarkan UU No. 22/2009 adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkun-gan. Jalan berkeselamatan harus memenuhi empat aspek penting untuk meminimalkan defisiensinya: a forgiving road environment, a self-explaining road, a self-regulating road, dan a self-enforcing road (Mulyono et al., 2009).

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di ruas jalan nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates dengan panjang total pengamatan 26,12 km, yang selanjutnya dibagi menjadi empat seg-men, seperti terlihat pada Gambar 2 dan Tabel 1.

Survei kondisi lapangan dilaksanakan dengan men-gamati dan mencatat berbagai persoalan geometrik jalan dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan. Data sekunder yang didapatkan dari Satuan Kerja Perencanaan dan Pengawasan Ja-lan Nasional Provinsi D.I. Yogyakarta (Satker P2JN DIY), antara lain: data ruas jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta, peta jaringan jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta, strip map kondisi jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta, data survei lalu lintas berupa Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) jalan nasional Prov. D. I. Yogyakarta tahun 2014, dan Rencana Strategis (Renstra) program penanganan jalan Prov. D. I. Yo-gyakarta Tahun 2015-2019. Alur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Faktor-faktor penyebab kecelakaanSumber: Austroads (2002) dalam Prihartono

(2012)

Page 38: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 34

Analisis data dilakukan dengan mengamati defisien-si jalan dan membandingkan dengan peraturan yang berlaku. Aspek yang ditinjau meliputi: (1) kondisi geometrik jalan; (2) kondisi perkerasan jalan; (3) kondisi harmonisasi perlengkapan jalan; dan (4) pe-nyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan.

Rekomendasi dalam hal ini upaya teknis terhadap defisiensi keselamatan akibat ketidaktepatan pener-apan geometrik jalan, kondisi perkerasan jalan, har-monisasi perlengkapan jalan, dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan (Tabel 2). Rencana strategis (renstra) program penanganan jalan Prov. D.I. Yogyakarta tahun 2015-2019 akan dikemukakan sebagai informasi penanganan ja-lan yang akan dilakukan oleh penyelenggara jalan, dalam hal ini Ditjen Bina Marga.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data kecelakaan lalu lintas dari Direktorat Lalu Lin-tas Kepolisian Daerah D. I. Yogyakarta mengidenti-fikasi terdapat empat ruas yang memiliki fungsi dan peran yang sama, dengan tingkat kecelakaan yang relatif tinggi yaitu Jalan Wates, Jalan Magelang, Ja-lan Yogyakarta-Solo, dan Jalan Lingkar/Ring Road (Anshari, 2013). Lokasi yang ditinjau dalam peneli-tian ini teridentifikasi sebagai black spot atau daerah rawan kecelakaan di Prov. D. I. Yogyakarta, yaitu ruas jalan nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates. Analisis data dilakukan dengan memberikan rekomendasi teknis sebagai upaya perbaikan defisiensi keselamatan berkenda-raan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. Aspek yang ditinjau meliputi: kondisi geometrik ja-lan, kondisi perkerasan jalan, kondisi harmonisasi

Tabel 1. Segmentasi Lokasi Penelitian

Gambar 3. Alur Penelitian

Page 39: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 35

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Tabel 2. Rekomendasi Teknis Perbaikan Defisiensi Keselamatan Berkendaraan

Page 40: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 36

perlengkapan jalan, dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan. Hasil pengukuran dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa be-berapa defisiensi keselamatan infrastruktur jalan yang memberikan peluang terhadap kejadian ke-celakaan berkendaraan, antara lain lebar lajur yang substandard, yaitu penampang melintang badan ja-lan hanya 2-7-2, bahkan ada lajur yang lebarnya kurang dari 2 meter; tidak ada median jalan, sesuai persyaratan teknis jalan, untuk jalan arteri primer wajib dipisahkan dengan median jalan; ruas ja-lan tidak memiliki ambang pengaman; kemiringan melintang badan jalan sudah tidak memadai akibat kerusakan permukaan (rutting, lendutan); kondisi permukaan perkerasan jalan sangat licin ketika ter-jadi hujan karena luasan rutting dan lendutan pada permukaan sudah melebihi ambang batas minimal yang masih diperbolehkan; rambu batas kecepatan dan petunjuk arah yang kurang, serta tidak ada lam-pu sinyal sehingga pengemudi tidak mengurangi ke-cepatan ketika melintasi ruas jalan yang menikung walaupun dengan lebar lajur yang sudah standar.

Tingkat fatalitas korban kecelakaan yang paling parah terjadi pada kejadian kecelakaan yang dipicu oleh kondisi permukaan jalan yang licin ketika hujan yang didukung oleh kondisi bahu jalan dan guardrail yang kurang memadai. Perletakan rambu batasan kecepatan yang tidak sesuai sehingga pengguna ja-lan mengemudikan kendaraaannya dengan kecepa-tan tinggi tanpa informasi yang jelas, serta didukung tidak adanya sinyal peringatan. Kondisi ketidakhar-monisan rambu, sinyal, marka, guardrail, dan kondi-si bahu jalan terhadap fungsi jalan ini mengindika-sikan infrastruktur jalan tidak self explaining road, artinya jalan tidak mampu menjelaskan informasi keselamatan kepada pengguna dengan benar dan tepat, sehingga pengguna kurang hati-hati ketika melintasi ruas jalan yang menikung walaupun lebar lajur yang ada cukup memadai. Kondisi permukaan perkerasan jalan yang licin karena didukung luasan rutting dan lendutan yang melebihi ambang batas minimal dapat mengindikasikan jalan tidak forgiving road, artinya jalan tidak menghargai nyawa peng-guna ketika pengguna melakukan kelalaian ber-buat kesalahan dengan pengereman mendadak di atas permukaan jalan yang licin. Kondisi lebar jalan yang substandard dan tidak adanya median jalan

mengindikasikan bahwa jalan tidak self-regulating road, artinya komponen-komponen jalan tidak ses-uai dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini Permen PU No. 19/2011. Median jalan juga ber-fungsi sebagai self-enforcing road, terutama pada akses-akses persil, sehingga dapat memaksa peng-guna jalan untuk patuh, tidak menyebrang jalan di lokasi yang rawan kecelakaan.

Rekomendasi teknis sebagai upaya perbaikan de-fisiensi keselamatan berkendaraan dapat dilihat pada Tabel 2. Ditjen Bina Marga, dalam hal ini Sat-ker P2JN DIY selaku penyelenggara jalan, telah menyusun Renstra Program Penanganan Jalan ta-hun 2015-2019. Program yang telah direncanakan sebagai langkah perbaikan defisiensi keselamatan berkendaraan terkait dengan penanganan di ruas jalan Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates dapat dilihat pada Tabel 3.

Aspek yang mempunyai peran penting dalam men-gakibatkan defisiensi keselamatan berkendaraan berdasarkan hasil analisis data, antara lain:

A. Defisiensi aspek geometrik jalan, terjadi pada permasalahan berikut ini:

1. Lebar lajur kiri jalan yang substandard, yaitu kurang dari 3.5 meter. Hal ini tidak sesuai dengan Permen PU No. 19/2011 yang me-nyatakan bahwa untuk jalan raya arteri prim-er lebar jalur lalu lintas adalah 2 x (2 x 3.50) meter untuk jalan raya medan datar dengan LHR 61.000 smp/hari (sesuai data LHR dari Satker P2JN DIY). Dengan demikian, lebar badan jalan maupun lebar rumija dan rumaja juga substandard. Lebar badan jalan yang kurang mengakibatkan kecelakaan akibat volume kendaraan yang tinggi dan ditambah dengan kecepatan yang tinggi.

2. Permasalahan tidak adanya median jalan juga sangat berperan dalam defisiensi ke-selamatan berkendaraan. Jalan raya arteri primer diharuskan menggunakan median untuk menghindari head-on collision.

3. Kemiringan melintang badan jalan dan ke-miringan pada superelevasi kurang, sehingga

Tabel 3. Rencana Strategis Program Penanganan Jalan Prov. D. I. Yogyakarta tahun 2015-2019 di Ruas Jalan Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates

Page 41: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 37

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

mengakibatkan kendaraan tergelincir.

4. Tikungan (alinyemen horisontal) dan akses jalan yang terdapat pada lokasi “Tugu Potlot”. Selain itu, banyak warga yang menyebrang jalan, baik pejalan kaki maupun pengendara, tepat di tikungan. Hal ini tentunya sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan ke-celakaan yang fatal akibat jarak pandang pengendara yang kurang dan kemiringan alinyemen horisontal yang tidak standar.

B. Defisiensi aspek perkerasan jalan, terjadi per-masalahan pada perkerasan jalan yang men-galami rutting, potholes, maupun deformasi. Kondisi perkerasan jalan yang cukup parah ini mengakibatkan kendaraan tergelincir sehingga terjadi kecelakaan. Hal ini didukung dengan data dari Satker P2JN DIY, bahwa nilai IRI di beberapa spots adalah 6-7. Drainase yang tidak memadai juga mempercepat penurunan umur perkerasan jalan, seperti tidak ada dan tidak terpeliharanya selokan samping.

C. Defisiensi aspek harmonisasi perlengkapan jalan, terjadi pada permasalahan rambu (rambu batas kecepatan, rambu petunjuk arah dan rambu peringatan), lampu sinyal, lampu pen-erangan jalan, dan guardrail. Harmonisasi perlengkapan jalan yang tidak memadai ini mengakibatkan pengendara kurang waspada terhadap tikungan tajam dan hambatan lain.

D. Defisiensi aspek penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan, terjadi pada permasalahan penggunaan ruang jalan sebagai tempat usaha, on street parking, media iklan, dan penempatan tiang listrik yang berada di rumaja. Hal ini mengakibatkan badan jalan yang semakin sempit sehingga dapat mengakibatkan kecelakaan.

Aspek-aspek tersebut saling mempengaruhi se-hingga mengakibatkan tingkat fatalitas kecelakaan yang lebih besar. Perkerasan yang mengalami rut-ting dapat menyebabkan kendaraan tergelincir, ter-utama saat musim hujan. Resiko fatalitas dapat di-perkecil apabila tersedia bahu jalan yang memadai, namun pada kondisi di lapangan, bahu jalan kurang memenuhi syarat. Harmonisasi perlengkapan jalan yang kurang memadai dapat membuat pengendara menjadi kurang waspada terhadap adanya tikungan dan hambatan lain, oleh sebab itu dilakukan perbai-kan-perbaikan sebagai berikut.

4.1. Upaya Teknis terhadap Defisiensi Kondisi Geometrik Jalan dan Kondisi Harmonisasi Perlengkapan Jalan

Kondisi bahu jalan yang kurang memadai karena ti-dak diperkeras dan lebar badan jalan yang kurang dapat mengakibatkan kecelakaan yang fatal. Hal ini diperparah dengan kerusakan permukaan jalan

dapat mengakibatkan kendaraan tergelincir. Per-kerasan bahu jalan seharusnya disamakan spesifi-kasinya dengan perkerasan jalan karena peran bahu jalan sangat penting untuk mengantisipasi kendara-an yang mengalami overlap karena terlambat men-gurangi kecepatan pada saat menikung. Kemiringan melintang pada alinyemen horisontal tidak standar dan tidak dilengkapi dengan marka serta median. Jalan raya arteri primer wajib menggunakan median sebagai pemisah arus lalu lintas berlawanan arah, sesuai Permen PU No. 19/ 2011.

Perletakan rambu yang diperlukan pada tikungan ini yaitu: rambu peringatan; rambu batas kecepatan; dan rambu petunujuk arah. Rambu yang pertama kali ditempatkan merupakan rambu peringatan mengenai adanya tikungan tajam yang berbahaya. Rambu ini diletakkan 80 m sebelum tikungan, ram-bu batas kecepatan diletakkan 75 m sebelum tikun-gan, dan rambu peringatan empat persegi panjang diletakkan 70 m sebelum tikungan. Rambu empat persegi panjang diletakkan sepanjang tikungan, ja-rak masing-masing rambu disesuaikan dengan ke-butuhan (untuk tikungan ini jarak masing-masing rambu adalah 10 m).

Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga (1997) menyatakan bahwa den-gan jari-jari kelengkungan diasumsikan sebesar 150 m maka batas kecepatan yang diijinkan yaitu 30 km/jam. Perubahan kecepatan yang cukup sig-nifikan ini (dari 80 km/jam ke 30 km/jam) dapat membuat pengemudi merasa terkejut, oleh karena itu diperlukan road humps. Road humps atau di In-donesia disebut dengan polisi tidur merupakan gun-dukan kecil selebar jalur jalan yang berfungsi untuk memperingatkan pengemudi agar tetap waspada serta memberi kesempatan kepada pengemudi untuk membaca rambu jalan (rambu peringatan, rambu batas kecepatan maupun rambu petunjuk arah). Sinyal peringatan diperlukan agar pengemudi waspada dan mengurangi kecepatan di tikungan. Dengan demikian, maka program aksi yang perlu segera dilakukan adalah pelebaran jalan, perbaikan kemiringan melintang, pemeliharaan perkerasan ja-lan, penambahan median jalan, pemarkaan ulang, perkerasan bahu jalan, penambahan rambu dan lampu sinyal, serta penambahan road humps, sep-erti terlihat pada Gambar 4.

Page 42: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 38

4.2. Upaya Teknis terhadap Defisiensi Kondisi Perkerasan Jalan dan Defisiensi Peny-alahgunaan terhadap Pemanfaatan Ruang Bagian Jalan

Kerusakan perkerasan jalan dan kemiringan melint-ang (crown) yang kurang akan mengakibatkan kendaraan tergelincir. Hal ini diperparah dengan lebar badan jalan yang kurang dan tidak adanya marka yang jelas, maupun median pemisah jalur kendaraan. Penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan, yaitu penggunaan rumaja seb-agai ruang usaha maupun media iklan mengakibat-kan jarak pandang pengemudi berkurang dan dapat mengakibatkan kecelakaan.

On-street parking dikarenakan terdapat ruang us-aha di rumaja yang tidak mempunyai lahan parkir mengakibatkan badan jalan semakin sempit. Den-gan demikian, maka program aksi yang perlu segera dilakukan adalah pelebaran jalan, perbaikan kemir-ingan melintang, pemeliharaan perkerasan jalan, penambahan median jalan, pemarkaan ulang, pen-ertiban pemanfaatan ruang manfaat jalan (rumaja), ruang milik jalan (rumija), maupun ruang peng-wasan jalan (ruwasja), seperti terlihat pada Gambar 5.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Defisiensi keselamatan berkendaraan dapat di-perbaiki dengan beberapa upaya teknis dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi defisiensi keselamatan berkendaraan dan deskripsi defisiensi keselamatan infrastruktur jalan.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

A. perlu dilakukan perbaikan geometrik jalan dan penertiban penyalahgunaan pemanfaatan ruang bagian jalan;

B. penyelenggara jalan, dalam hal ini Ditjen Bina Marga dan Ditjen Perhubungan Darat, perlu menindaklanjuti temuan ini sehingga angka kecelakaan dapat diturunkan dan tercapai jalan yang berkeselamatan;

C. perlu dilakukan analisis defisiensi keselamatan berkendaraan di ruas jalan lain, sehingga ter-cipta prinsip jalan yang berkeselamatan (forgiv-ing road), self-explaining road, self-regulating road, dan self-enforcing road; serta

Gambar 4. Upaya teknis terhadap defisiensi kondisi geometrik jalan dan kondisi harmon-isasi perlengkapan jalan

Gambar 5. defisiensi kondisi perkerasan jalan dan defisiensi penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan

Page 43: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 39

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

D. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan de-tail dengan tinjauan aspek yang menyeluruh, dilengkapi dengan detail ukuran atau dimensi jalan dan jembatan, serta stastioning yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, F. (2013). Analisis Daerah Rawan Kecelakaan (Studi Kasus: Ruas Jogja-Solo km 6-16,5; Segmen Jogja Prambanan). Tugas Akhir, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Bina Marga. (1997). Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (No. 038/TBM/1997). Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Marga. (2015). Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Bina Marga 2015-2019. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. (2006). Laporan Akhir Pedoman Teknis Kampanye Program Keselamatan. Jakarta: Departemen Perhubungan.

Mulyono, A. T., Kushari, B., & Gunawan, H. E. (2009). Audit Keselamatan Infrastruktur Jalan (Studi Kasus Jalan Nasional KM 78-KM 79 Jalur Pantura Jawa, Kabupaten Batang). Jurnal Teknik Sipil , 16 (3), 163-174.

Mulyono, A. T., Rusmanawati, D., Budiarto, A. T., & Liady, A. R. (2010). Implementasi Model Audit Defisiensi Keselamatan Infrastruktur Jalan untuk Mengurangi Potensi Kecelakaan Berkendaraan. Simposium XIII FSTPT, Unika Soegijapranata. Semarang.

Prihartono, B. (2012, November 21). Koordinasi Keselamatan Jalan (Implementasi RUNK Jalan 2011-2035). Peringatan Hari Korban Kecelakaan Lalu Lintas Sedunia . Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum-Bappenas.

World Health Organization. (2015). Global Status Report on Road Safety 2015. Geneva: WHO Press.

Page 44: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 40

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI

PEMBANGUNAN BENDUNG

Aceng Maulana

Mahasiswa Magister Teknik Sipil Universitas Katolik ParahyanganEmail: [email protected]

Abstract

The construction project is a series of activities carried out only one time and short term nature. Implemen-tation of the project faced with the problems such Contract Change Order which will result in amendments to the contract. This study is a policy study or applied studies whose purpose is to find or formulate solutions to problems related to the Contract Change Order (CCO) of the Cost variant (different budgets) and Time variant (the time difference). The data used is the dam construction contract document data X. Based on an analysis of all amendments and Influence diagrams of all the factors that influence each other in the end boils down to three variables, namely: Changes in the value of the contract, the contract completion time change, change contract administration, change contract administration is the outcome of all the changes in the contract and the factors that cause changes in the contract. Amendment of the most common is the change in value of the contract caused by escalation (price adjustments) four times, additional work is less based on calculations MC twice, and design changes once. Technically all of the greatest influence and im-pact on changes in the value of the contract is the design changes that result in the addition of a contract value of 25.11% of the value of the initial contract, followed by escalation of 5.64% and a result of calcula-tion by 3.91% MC. But the greatest influence and impact on the contractual completion timeline changes are extreme weather conditions, removal of quarry locations and additional scope of work that resulted in the addition time for 21.92% of the initial contract period, whereas only design changes resulted in an addition of 10.96% of time contract initially.

Keywords: project construction, amendment, price adjustments, changes in time, completion of contract

Abstrak

Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka pendek. Pelaksanaan proyek dihadapkan pada permasalahan diantaranya Contract Change Or-der yang akan menghasilkan amandemen kontrak. Penelitian ini merupakan studi kebijakan ataupun studi terapan yang tujuannya adalah untuk mengetahui atau merumuskan solusi terhadap permasalahan terkait Contract Change Order (CCO) terhadap Cost variant (perbedaan anggaran)dan Time variant (perbedaan waktu). Data yang digunakan adalah data dokumen kontrak pembangunan bendung X. Berdasarkan analisis dari semua amandemen dan Influence diagram dari semua faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain pada akhirnya bermuara kepada tiga variable yaitu : Perubahan nilai kontrak, Perubahan waktu penyelesa-ian kontrak, Perubahan administrasi kontrak, perubahan administrasi kontrak merupakan muara dari semua perubahan dalam kontrak dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kontrak. Amande-men yang paling sering terjadi adalah perubahan nilai kontrak yang disebabkan oleh eskalasi (penyesuaian harga) sebanyak empat kali, pekerjaan tambah kurang berdasarkan perhitungan MC sebanyak dua kali, dan perubahan desain sebanyak satu kali. Secara teknis kesemuanya itu yang paling besar pengaruh dan dam-paknya terhadap perubahan nilai kontrak adalah perubahan desain yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal, disusul eskalasi sebesar 5,64% dan akibat perhitungan MC sebesar 3,91%. Namun yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan waktu penyelesa-ian kontrak adalah kondisi cuaca ekstrem, pemindahan lokasi quarry dan penambahan lingkup kerja yang mengakibatkan penambahan waktu sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal, sedangkan perubahan desain hanya mengakibatkan penambahan sebesar 10,96% dari waktu kontrak awalnya.

Kata kunci : proyek konstruksi, amandemen, penyesuaian harga, perubahan waktu, penyelesaian kontrak

Page 45: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 41

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

1. PENDAHULUAN

Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian ke-giatan yang mengolah sumber daya proyek men-jadi elemen-elemennya. Proyek konstruksi memiliki 3 karakteristik yaitu: membutuhkan sumber daya (manusia, uang, mesin, metoda, material), bersi-fat unik, , dan membutuhkan organisasi (Ervianto, 2002).

Dalam pelaksanaan proyek konstruksi sering diha-dapkan pada permasalahan, salah satunya adalah terjadinya perubahan-perubahan. Perubahan terse-but dapat terjadi pada tahap awal, tahap pertenga-han, maupun tahap akhir proyek. Hana et al. (2002) mendefinisikan perubahan atau change order (CO) pada proyek konstruksi sebagai sebuah kejadian yang berakibat pada terjadinya modifikasi baik pada lingkup kerja, waktu pelaksanaan, atau biaya. Hal ini tidak dapat dihindari pada sebagian besar proyek akibat dari keunikan dari tiap proyek dan terbatas-nya waktu dan uang dalam proses perencanaan. Akibat tidak dapat dihindarinya CO, Alaryan et al. (2014) menyatakan bahwa CO adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan pada industri konstruksi.

Menurut Hinze (2001) dan Abdel Rashid., et al. (2012) sumber perubahan itu dapat disebabkan karena permintaan owner, kondisi lapangan yang tidak terduga, permintaan kontraktor, dan kesala-han konsultan dalam perancangan. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dan hal ini seringkali berkon-sekuensi pada perubahan biaya dan perubahan wak-tu pelaksanaan proyek. Pada gilirannya penyesuaian yang dilakukan harus juga diakomodasi pada aspek administrasi dan kontrak berupa Contract Change Order (CCO)

Menurut Donald S. Barrie (1992), pengaruh change order pada pelaksanaan proyek dibagi menjadi 3 kategori antara lain: Biaya langsung, Perpanjangan waktu dan Biaya-biaya. Hanna (2002), menyatakan bahwa pengaruh change order pada suatu proyek konstruksi sering terjadi productivity loss, jika ter-jadi productivity loss akan terjadi penambahan waktu dan biaya proyek yang tidak sedikit. Menurut Schaufelberger & Holm (2002), jika terjadi change order akan terjadi penambahan tenaga kerja diser-tai dengan penambahan peralatan proyek

Terjadinya change order pada proyek konstruksi dapat memberikan dampak negatif secara langsung dan tidak langsung, baik bagi kontraktor maupun bagi pemilik. Dampak change order secara langsung adalah penambahan biaya item pekerjaan karena adanya penambahan volume dan material, kon-flik jadwal pelaksanaan, pekerjaan ulang, mening-katkan overhead dan meningkatkan biaya tenaga kerja. Dampak change order secara tidak langsung adalah terjadinya perselisihan antara pemilik dan kontraktor (Hanna et al, 1999). Begitu kompleksnya dampak dari change order, sehingga sangat berpen-garuh pada kinerja suatu proyek konstruksi. Dalam

pelaksanaannya, proyek konstruksi ini diharapkan memiliki kinerja waktu proyek yang maksimal, di-mana proyek dapat selesai tepat waktu, atau bah-kan lebih cepat dari jadwal yang direncanakan, mengingat ketepatan waktu ini sangat mempenga-ruhi penyerapan dana dan realisasi fisik di lapangan yang merupakan indikator kinerja dari Pemerintah

Seperti halnya proyek-proyek konstruksi pada um-umnya, pada proyek pembangunan Daerah Irigasi X ini dalam perjalanan pelaksanaan konstruksinya mengalami banyak perubahan kontrak yang me-nyebabkan perpanjangan waktu (time extension), penambahan maupun pengurangan nilai (harga) kontrak sebagai akibat dari perubahan (revisi) desain karena alasan-alasan maupun penyebab-penyebab lainnya. Semua proses prosedur, doku-men-dokumen pendukung dan hasil dari perubahan kontrak yang telah disetujui dan disepakati dituang-kan dalam dokumen Amandemen Kontrak.

Dalam proyek-proyek pemerintah, khususnya bi-dang sumber daya air sebagian besar menggunakan sistem Kontrak Harga Satuan Pekerjaan. Sistem kontrak ini dinilai paling mudah untuk dilaksanakan dan menganut pembagian risiko perubahan kontrak yang seimbang antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Dengan sistem Kontrak Harga Satuan peker-jaan, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan-perubahan kontrak baik perubahan waktu pelaksa-naan maupun perubahan volume, desain dan nilai (harga) kontrak.

Dengan adanya Contract Change Order (CCO), memberikan dampak yang besar terhadap pelaksa-naan kontrak konstruksi, khususnya proyek-proyek pemerintah bidang sumber daya air, seperti dian-taranya anggaran proyek menjadi lebih besar dari rencana, waktu pelaksanaan mengalami perpanjan-gan, munculnya desain atau item pekerjaan baru yang semula belum direncanakan, dan sebagainya. Dari latar belakang permasalahan tersebut maka di-lakukan suatu penelitian dengan mengangkat judul “Faktor Penyebab Terjadinya Contract Change Or-der (CCO) dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Proyek Konstruksi pada Pembangunan Bendung X

Berdasarkan latar belakang di atas dan melihat kondisi di lapangan secara langsung proyek pem-bangunan Bendung X, permasalahan yang teridenti-fikasi adalah sebagai berikut:

A. Terjadinya keterlambatan (penambahan waktu penyelesaian) dalam pelaksanaan proyek dari waktu yang direncanakan.

B. Terjadinya penambahan biaya dari anggaran yang direncanakan.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

Page 46: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 42

A. Menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya Contract Change Order (CCO) pada proyek Pem-bangunan Bendung X.

B. Mengetahui dampak atau akibat dari faktor-faktor tersebut terhadap cost variant (perbedaan biaya) dan time variant (perbedaan waktu).

2. TINJAUAN PUSTAKA

Kontrak dalam dunia konstruksi tercantum dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5), “Kontrak kerja kon-struksi adalah keseluruhan dokumen yang men-gatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”. Dalam Peraturan Presiden Republik In-donesia No. 70 Tahun 2012, Pasal 1 ayat (22), juga terdapat pengertian mengenai kontrak, “Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK den-gan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana swake-lola”.

2.1. Bentuk-Bentuk Kontrak Konstruksi

Pembagian jenis-jenis kontrak konstruksi terdapat dalam Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 Ten-tang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 50, yang bunyinya sebagai beri-kut.

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa meliputi:

A. Kontrak berdasarkan cara pembayaran;

B. Kontrak berdasarkan pembebanan Tahun Angga-ran;

C. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan; dan

D. Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan.

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas:

A. Kontrak Lump Sum;

B. Kontrak Harga Satuan;

C. Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan;

D. Kontrak Persentase; dan

E. Kontrak Terima Jadi (Turnkey).

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan pem-bebanan Tahun Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri atas:

A. Kontrak Tahun Tunggal; dan

B. Kontrak Tahun Jamak.

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan sum-ber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, terdiri atas:

A. Kontrak Pengadaan Tunggal;

B. Kontrak Pengadaan Bersama; dan

C. Kontrak Payung (Framework Contract).

Kontrak Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, terdiri atas:

A. Kontrak Pengadaan Pekerjaan Tunggal; dan

B. Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi.

Ketentuan mengenai perubahan kontrak dalam Per-pres No. 70 Tahun 2012 terdapat pada pasal 87

Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapan-gan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Doku-men Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan pada Kontrak yang meliputi:

A. Menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak;

B. Menambah dan/atau mengurangi jenis peker-jaan;

C. Mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau

D. Mengubah jadwal pelaksanaan.

Perubahan Kontrak yang disebabkan masalah ad-ministrasi, dapat dilakukan sepanjang disepakati kedua belah pihak.

Ketentuan mengenai Perubahan Kontrak dalam Per-men PU No: 14/PRT/M/2013 pada dasarnya men-gacu pada ketentuan Perubahan Kontrak pada Per-pres No. 70 Tahun 2012, hanya saja dalam Permen PU No: 14/PRT/M/2013, terdapat penjelasan yang lebih terperinci. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. Perubahan harga kon-trak akibat adanya penyesuaian harga (eskalasi/de-eskalasi).

2.2. Istilah-Istilah Dalam Perubahan Kontrak

Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terjadin-ya perubahan kontrak merupakan hal yang umum terjadi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan peker-jaan konstruksi itu sendiri. Besarnya kemungkinan terjadinya perubahan dalam pelaksanaan peker-jaan konstruksi menyebabkan perlunya pengaturan yang jelas mengenai perubahan kontrak konstruksi. Dalam hal perubahan kontrak konstruksi tersebut, terdapat tiga istilah yang sering digunakan, yaitu

Page 47: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 43

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Adendum, Contract Change Order (CCO), dan Varia-tion Order. Agar lebih mudah dipahami, berikut akan diberikan penjelasan mengenai definisi dari masing-masing istilah tersebut.

2.3. Adendum dan Amandemen

Dilihat dari arti katanya, addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. Pendapat lain menyatakan jika pada saat kontrak berlangsung ternyata ter-dapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam kon-trak tersebut, dapat dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat akan hal yang belum diatur tersebut. Untuk itu ketentuan atau hal-hal yang belum dia-tur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah dibuat. Pengaturan ini umum disebut dengan adendum atau amande-men.

Banyak pihak yang menganggap sama arti dari kata adendum dan amandemen. Dari segi arti kat-anya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online Version), definisi kata adendum dan amandemen memang terlihat mirip. Amandemen/amendemen berarti : 1. Usul perubahan undang-undang yang dibicarakan di Dewan Perwakilan Rakyat dsb: hak -; 2. penambahan pada bagian yang sudah ada. Aden-dum : 1. Jilid tambahan (pada buku); lampiran; 2. ketentuan atau pasal tambahan, misal dalam akta.

Jadi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata amandemen dan adendum sama-sama mengand-ung arti ‘penambahan’.

Berdasarkan arti kata tersebut diatas, dapat dilihat bahwa kata amandemen memiliki makna yang lebih luas dari adendum. Kata amandemen mengandung arti merubah, sedangkan kata adendum (berasal dari bahasa inggris add) mengandung arti penam-bahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jika adendum merupakan bagian dari amandemen, dimana jika terjadi penambahan/pengurangan, maka otomatis terjadi perubahan. Dalam perkem-bangannya, istilah yang umum digunakan dalam kontrak konstruksi di Indonesia adalah adendum, seperti yang disebutkan dalam Permen PU No: 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pen-gadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi, Pasal 34 ayat (1).

2.4. Change Order

Dalam setiap proyek konstruksi sering kali terjadi perubahan atau yang biasa disebut dengan change order. Change order tersebut bisa terjadi sejak awal, pertengahan maupun pada akhir pekerjaan konstruksi. Menurut Fisk (2006) change order meru-pakan surat kesepakatan antara pemilik proyek dan kontraktor untuk menegaskan adanya revisi-revisi rencana, dan jumlah kompensasi biaya kepada kon-traktor yang terjadi pada saat pelaksanaan kon-struksi, setelah penandatanganan kontrak kerja antara pemilik dan kontraktor. Pendapat lain, yaitu menurut Schaufelbeger & Holm (2002), change or-

der bisa didefinisikan sebagai modifikasi dari origi-nal contract. Pengertian Change Order menurut Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pe-kerjaan Umum (1999) adalah pekerjaan tambah kurang untuk menyesuaikan volume lapangan atau perubahan skedul tanpa merubah pasal-pasal kon-trak. Berdasarkan pengertian tersebut, change or-der dapat didefinisikan sebagai suatu kesepakatan antara pemilik proyek dan kontraktor untuk mere-visi pekerjaan (baik volume maupun skedul) sesuai dengan kondisi lapangan.

Lebih lanjut, Untung Slamet menyatakan bahwa Ad-endum dan Amandemen Kontrak merupakan produk lanjutan dari CCO (Contract Change Order). Jika ter-jadi CCO berarti akan terjadi Adendum atau Aman-demen Kontrak, sedangkan jika terjadi Adendum atau Amandemen Kontrak belum tentu telah terjadi CCO. Hal ini dikarenakan Adendum atau Amande-men bisa hanya merubah atau menambah isi atau pasal yang terdapat dalam kontrak tanpa merubah ruang lingkup pekerjaan, sehingga Adendum atau Amandemen tidak selalu diikuti dengan CCO.

2.5. Variation Order

Berdasarkan FIDIC dalam klausa 13, perubahan kontrak didefinisikan dalam bentuk istilah variasi (variation) fan penyesuaian (Adjusment). Variasi be-rarti semua perubahan terhadap Pekerjaan, yang di-perintahkan atau disetujui sebagai suatu perubahan berdasarkan Klausula 13 [Variasi dan Penyesuaian]. Sedangkan penyesuaian merupakan bagian dari va-riasi yang dibagi dalam dua jenis yaitu penyesuaian akibat perubahan peraturan dan penyesuaian aki-bat perubahan biaya. Perubahan dalam penyesuaian berasal dari faktor eksternal proyek misalnya keter-lambatan pekerjaan karena perubahan perundang-undangan dan perubahan biaya proyek akibat nilai tukar mata uang yang menurun.

2.6. Amandemen Kontrak

Amandemen Kontrak adalah perubahan Kontrak atas dasar kesepakatan kedua belah Pihak yaitu Kontraktor dan Pengguna Jasa dan harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku. Berdasar-kan ketentuan-ketentuan yang ada sebenarnya CCO (Contract Change Order), Addendum dan Aman-demen Kontrak adalah istilah yang sama, hanya Addendum dan Amandemen Kontrak merupakan produk lanjutan dari CCO (Contract Change Order). Jika terjadi CCO berarti akan terjadi Addendum atau Amandemen Kontrak, sedangkan jika terjadi Ad-dendum atau Amandemen belum tentu telah terjadi CCO. Dilihat dari dasar alasannya Perpres 54 tahun 2010 Pasal 87 Ayat 1 tentang Perubahan Kontrak menyatakan, dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan Kontrak yang meliputi:

Page 48: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 44

A. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak;

B. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan;

C. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau

D. mengubah jadwal pelaksanaan.

Perka LKPP No. 2 tahun 2011 tentang Standar Dokumen Pengadaan pada Bagian Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK) Klausul Addendum atau Perubahan Kontrak dalam hal ini diambil dari Standar Dokumen Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Metoda Pascakualifikasi.

Berdasarkan ketentuan di atas jelas dapat diketahui bahwa Perubahan kontrak dapat dilakukan dengan Adendum Kontrak. Artinya segala sesuatu peruba-han pada kontrak dilakukan melalui Adendum Kon-trak. Jenis Adendum Kontrak adalah:

A. Adendum akibat perubahan lingkup pekerjaan (CCO) atau sering disebut Adendum Tambah/Kurang, yang terbagi menjadi 4 (empat) jenis perlakuan, yaitu:

1. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak tetap;

2. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak ber-tambah;

3. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak tetap, target/sasaran berubah.

4. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak bert-ambah, target/sasaran berubah.

A. Adendum akibat perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan atau sering disebut Adendum Waktu.

B. Adendum akibat penyesuaian harga/eskalasi atau sering disebut sebagai Adendum Penyesuaian Harga/Eskalasi atau sering disebut Adendum Harga/Nilai Kontrak. Basanya adendum jenis ini untuk kontrak tahun jamak (multy years con-tract) atau terdapat kenaikan harga bahan bakar minyak.

2.7. Prosedur Amandemen Kontrak Pada ProyekPembangunan Bendung X

Pembangunan Bendung X yang merupakan salah satu paket pekerjaan dalam proyek Pembangunan Daerah Irigasi (D.I.) adalah salah satu proyek PIR-IMP yang sumber dananya berasal dari dana pin-jaman (loan) Bank Pemerintah Jepang (JBIC/JICA). Oleh karena itu segala peraturan yang berkaitan dengan pendanaan mengikuti peraturan dari JBIC/JICA. Begitu pula peraturan tentang amandemen kontrak, terdapat prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa. Lingkup pe-rubahan/amandemen kontrak yang disetujui oleh penyandang dana dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, seperti terlihat pada Gambar 1, Se-dangkan untuk prosedur pengajuan dan persetu-juan amandemen, seperti terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Untuk prosedur pengajuan dan per-syaratan pekerjaan tambah (additional work) dan klaim penyesuaian harga, dapat dilihat pada Gam-bar 4 dan Gambar 5.

Gambar 1. Lingkup Amandemen Kontrak(Sumber: Hartoyo, 2012)

Page 49: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 45

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Gambar 2. Alur Dokumen Amandemen Kontrak(Sumber: Hartoyo, 2012)

Gambar 3. Alur Amandemen Berdasarkan Kontrak(Sumber: Hartoyo, 2012)

Gambar 4. Prosedur Amandemen Pekerjaan Tambah(Sumber: Hartoyo, 2012)

Page 50: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 46

2.8. Lampiran Amandemen Pekerjaan Tambah (Additional Work)

A. Surat perintah PPK

B. Surat Konfirmasi Kontraktor & Usulan utk penambahan Waktu atau penambahan biaya;

C. Berita Acara Negosiasi berikut data pendukung;

D. Surat usulan PPK ke Direktorat; dan

E. Persetujuan Explanatory Note dari JICA.

2.9. Lampiran Amandemen Klaim Penyesuaian Harga (Price Adjustment)

A. Surat pengajuan Kontraktor; dan

B. LHP BPKP dan Surat Deputi Investigasi BPKP.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi kebijakan ataupun studi terapan yang tujuannya adalah untuk menge-tahui permasalahan terkait Contract Change Order (CCO) terhadap Cost variant (perbedaan angga-ran)dan Time variant (perbedaan waktu)s, dengan pendekatan metode Influence Diagram. Data yang digunakan adalah data dokumen kontrak pemban-gunan bendung, dokumen amandemen kontrak, gambar konstruksi, schedule dan dokumen lainnya yang terkait dengan Amandemen. Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 6.

Karakterisasi sistem merupakan pendekatan kondisi dunia nyata yang berhubungan dengan suatu per-masalahan digambarkan dalam sebuah sistem. Solusi dari permasalahan didefinisikan sebagai tu-juan (goal). Proses mendeskripsikan suatu sistem

Gambar 5. Alur Klaim Penyesuaian Harga(Sumbe: Hartoyo, 2012)

Gambar 6. Diagram Alir Metode Penelitian

Page 51: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 47

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

membutuhkan pemahaman inti dan konsep yang digunakan dalam pendekatan sistem (system ap-proach). Permasalahan dalam dunia nyata, biasanya sangat kompleks. Jika sistem dilihat dan dideskripsi-kan secara keseluruhan, maka permasalahan men-jadi tercampur (involved) dan tidak teratur (unman-ageable). Tidak semua fitur dunia nyata relevan sebagai solusi, sehingga penjelasan secara parsial biasa digunakan. Penjelasan secara parsial biasanya disebut sebagai karakterisasi sistem. Karakterisasi sistem hanya melibatkan fitur-fitur yang relevan membuat sebuah solusi. Karakterisasi sistem meru-pakan proses penyederhanaan (simplification) dan idealisasi (idealization).

Sebuah sistem didefinisikan sebagai sekumpulan objek yang saling berhubungan. Objek memiliki atribut-atribut yang dideskripsikan sebagai param-eter dan variabel. parameter adalah atribut intrinsik sebuah objek. Sedangkan variabel adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan interak-si atau hubungan antar objek-objek dalam suatu sistem. Karakterisasi sistem dapat digambarkan dalam influence diagram. Influence diagram sering digunakan untuk menggambarkan suatu pendeka-tan proses.

Influence diagram adalah representasi grafis dari suatu model keputusan yang digunakan untuk membantu perancangan model, pengembangan dan pemahaman. Kata influence merujuk pada keter-gantungan suatu variabel pada tingkatan tertentu terhadap variabel yang lainnya. Ada 4 simbol utama yang digunakan untuk membuat influence diagram, yaitu:

A. Kotak (rectangle) menunjukkan variabel kepu-tusan, kepastian, sesuatu yang dapat dikendal-ikan (decision, certainty, controllable);

B. Lonjong (oval) menunjukkan variabel ketidakpas-tian, sesuatu yang tidak dapat dikendalikan (un-certainty, uncontrollable);

C. Segi enam (hexagonal) menunjukkan variabel hasil, keluaran baik bersifat intermediate mau-pun final (result, output); dan

D. Garis panah (arrow) menunjukkan pengaruh hubungan, ketergantungan diantara variabel.

3.1. Proses Analisis Data

Dalam melakukan analisis data, proses awal yang dilakukan adalah membuat diagram kronologis ter-jadinya CCO pada setiap dokumen Amandemen I sampai dengan XVI. Dari setiap diagram kronol-ogis amandemen I s/d XVI selanjutnya mencari (mengidentifikasi) penyebab awal yang mendasari terjadinya CCO (amandemen) tersebut. Penyebab awal inilah yang disebut dengan faktor independent, yaitu faktor atau variable yang tidak dipengaruhi/disebabkan oleh faktor atau variable lainnya.

Langkah selanjutnya adalah membuat Influence Diagram, dengan cara menggabungkan semua dia-gram alir kronologis amandemen yang sudah dibuat sebelumnya. Melalui Influence Diagram dapat dik-etahui adanya keterkaitan dan ketergantungan an-tara variabel penyebab amandemen yang satu den-gan yang lainnya. Dari diagram ini semakin jelas teridentifikasi faktor-faktor apa saja yang menjadi faktor independent penyebab terjadinya CCO.

Tahap terakhir adalah mengetahui dampak/akibat dari faktor-faktor tersebut yang berpengaruh ter-hadap pelaksanaan proyek terutama pengaruhnya terhadap perbedaan waktu (time variant) dan per-bedaan biaya (cost variant).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan pada proyek Pembangunan Bendung X, terjadi sampai 15 kali amandemen. Kejadian tersebut bukanlah ses-uatu yang diinginkan semua pihak namun kejadian tersebut mengharuskan diadakannya perubahan untuk mencapai suatu tujuan dan untuk memper-baiki sesuatu yang dinilai masih kurang.

Dari keseluruhan kronologis terjadinya amande-men ke-1 sampai dengan ke-16, dapat digabungkan menjadi satu kesatuan sistem dalam bentuk Influ-ence diagram, seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Mengacu pada Gambar 7, kejadian tersebut bermu-la atau diawali oleh sebanyak sepuluh faktor yang merupakan variabel yang bersifat bebas (indepen-dent), yaitu variabel yang tidak dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel lain, tapi justru mempen-garuhi/menyebabkan timbulnya variabel lain, se-hingga variabel inilah yang merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya CCO. Kesepuluh faktor penye-bab terjadinya CCO adalah:

A. Kebijakan/Peraturan Pemerintah

B. Kondisi lapangan/lokasi pekerjaan

C. Kondisi cuaca

D. Perubahan kondisi alam pada Daerah Aliran Sun-gai (DAS)

E. Penyelidikan tanah kurang detail

F. Inflasi

G. Kebijakan penyandang dana Loan dari JICA (com-mitment charge)

H. Kebijakan penyedia jasa

I. Cash flow kontraktor tidak mampu mengejar progress

J. Desain (shop drawing)

Page 52: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 48

Terlihat pada Gambar 7, terdapat sembilan faktor penyebab yang merupakan variabel yang bersifat tidak pasti (uncertainty/uncontrollable), dan hanya satu faktor yang bersifat pasti (certainty/control-lable) yaitu faktor desain (shop drawing).

Amandemen kontrak yang terjadi pada proyek Pem-bangunan Bendung X yang berpengaruh terhadap perubahan nilai kontrak, terbagi menjadi dua pe-rubahan, yaitu perubahan penambahan dan pengu-rangan. Akan tetapi perubahan penambahan adalah yang paling dominan terjadi dan yang paling mem-pengaruhi terhadap perubahan nilai kontrak. Pe-rubahan pengurangan hanya sebagian kecil terjadi dan tidak terlalu berpengaruh. Perubahan nilai kon-trak dari setiap amandemen disajikan pada Tabel 1.

Dari alasan-alasan perubahan amandemen, ber-dasarkan Influence Diagram dapat dicari faktor-

Tabel 1. Kronologis Perubahan Nilai Kontrak

Sumber: Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung

faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pe-rubahan nilai kontrak. Berikut Tabel 2 di bawah ini adalah faktor penyebab terjadinya CCO yang men-gakibatkan perubahan nilai kontrak.

Dari Tabel 1 dan 2, terlihat bahwa terdapat tiga ala-san yang mengakibatkan perubahan nilai kontrak yaitu:

A. Perubahan Desain, yaitu perubahan pada de-sain rencana struktur pondasi bendung setelah dilakukan penyelidikan tanah ulang, mengaki-batkan penambahan sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal.

B. Eskalasi, sesuai dengan kesepakatan dalam kon-trak bahwa untuk proyek multi years dapat di-lakukan penyesuaian harga (eskalasi), mengaki-

Gambar 7. Influence Diagram Proses Terjadinya CCOSumber: Hasil Olahan Data Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X

Page 53: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 49

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

batkan penambahan sebesar 5,64% dari nilai kontrak awal.

C. Perhitungan Mutual Check (MC), mengakibatkan pengurangan sebesar 3,91% dari nilai kontrak awal. Pada saat dilakukan perhitungan MC, ter-jadi pengurangan volume pekerjaan dan pengu-rangan beberapa item pekerjaan yang tidak jadi dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena pada

tahap perencanaan, desain terlalu boros dan kurang detail dalam melakukan pengukuran vol-ume di lokasi pekerjaan.

Berdasarkan Tabel 2, faktor penyebab perubahan nilai kontrak dibagi menjadi dua, yaitu:

A. Faktor yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak :

1. Penyelidikan tanah yang kurang detail pada saat tahap perencanaan

2. Desain rencana (shop drawing) yang kurang matang

3. Inflasi

B. Faktor yang mengakibatkan pengurangan nilai kontrak :

1. Kondisi lapangan/lokasi pekerjaan

Tabel 3. Kronologis Perubahan Waktu Kontrak

Tabel 2. Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Nilai Kontrak

Sumber : Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X

Sumber : Hasil Olahan Pada Dokumen Proyek Pembangunan Bendung X

2. Desain rencana (shop drawing) yang kurang detail dan teliti

Perubahan waktu pelaksanaan kontrak yang terjadi pada proyek Pembangunan Bendung X adalah pe-rubahan penambahan waktu yang sebagian besar disebabkan oleh faktor cuaca. Penambahan waktu penyelesaian kontrak dari setiap amandemen disa-jikan pada Tabel 3.

Dari Tabel 3, penambahan waktu yang terjadi adalah sebesar 360 hari atau sebesar 32,88% dari waktu penyelesaian kontrak awal, dengan rincian alasan perubahan sebagai berikut:

A. Perubahan desain, mengakibatkan penambahan waktu sebesar 120 hari atau sebesar 10,96% dari waktu kontrak awal.

B. Pemindahan lokasi quarry, kondisi cuaca, peruba-han desain dan penambahan lingkup pekerjaan, secara total mengakibatkan penambahan waktu sebesar 240 hari atau sebesar 21,92% dari wak-tu kontrak awal.

Berdasarkan Influence Diagram dan Tabel 3, faktor penyebab terjadinya perubahan waktu penyelesaian kontrak seperti pada Tabel 4.

Page 54: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 50

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah di lakukan pada ke enam belas amandemen, yang paling sering terjadi dan mengakibatkan amandemen itu terbit adalah adanya perubahan nilai kontrak yang dise-babkan oleh eskalasi (penyesuaian harga) sebanyak empat kali, pekerjaan tambah kurang berdasarkan perhitungan MC sebanyak dua kali, dan perubahan desain sebanyak satu kali.

Secara teknis kesemuanya itu yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan nilai kontrak adalah perubahan desain yang mengakibat-kan penambahan nilai kontrak sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal, disusul eskalasi sebesar 5,64% dan akibat perhitungan MC sebesar 3,91%.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan nilai kontrak adalah sebagai berikut:

A. Perubahan desain disebabkan oleh faktor peny-elidikan tanah yang kurang detail; dan gambar desain yang kurang matang.

B. Eskalasi disebabkan oleh faktor inflasi.

C. Perhitungan MC disebabkan oleh faktor kondisi lapangan/lokasi pekerjaan; dan gambar desain yang kurang detail dan teliti.

Disamping karena perubahan nilai kontrak, aman-demen juga disebabkan oleh adanya perubahan waktu penyelesaian kontrak yang disebabkan oleh perubahan desain yang terjadi sebanyak dua kali, dan pemindahan lokasi quarry, kondisi cuaca yang ekstrem, dan penambahan lingkup kerja yang mas-ing-masing terjadi hanya satu kali.

Namun yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan waktu penyelesaian kontrak adalah kondisi cuaca ekstrem, pemindahan lokasi quarry dan penambahan lingkup kerja yang men-gakibatkan penambahan waktu sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal, sedangkan perubahan de-sain hanya mengakibatkan penambahan sebesar

10,96% dari waktu kontrak awalnya.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan waktu kontrak adalah sebagai berikut:

1. Kondisi cuaca ektrem disebabkan oleh faktor cu-aca, pemindahan lokasi quarry disebabkan oleh faktor adanya Kebijakan/Peraturan Pemerintah Daerah dan penambahan lingkup kerja disebab-kan oleh faktor perubahan kondisi alam pada Daerah Aliran Sungai.

2. Perubahan desain disebabkan oleh faktor peny-elidikan tanah yang kurang detail; dan gambar desain yang kurang matang.

Dari semua kesimpulan diatas secara teknis CCO terjadi karena adanya perubahan desain yang dise-babkan oleh penyelidikan tanah yang kurang detail sehingga waktu dan biaya jadi bertambah.

5.2. Saran

Solusi agar kejadian tidak terulang maka diperlu-kan perencanaan yang sedetail mungkin dan dilaku-kan feasibility study untuk meminimalisir terjadinya perubahan desain yang bisa mengakibatkan waktu dan penambahan biaya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdel Rashid Ibrahim; El-Mikawi Mohamed A. & Saleh Mohammed E. Abdel-Hamid, (2012), “The Impact of Change Orders on Construc-tion Projects Sports Facilities Case Study”, Journal of American Science, 8(8), pp: 628 – 631

Alaryan A., Emadelbeltagi, Elshahat A., Dawood M, (2014), ”Causes and Effects of Change Orders on Construction Projects in Kuwait”, Int. Jour-nal of Engineering Research and Applications, Vol. 4, Issue 7( Version 2), pp.01-08

Amin, Jurisman., Said, Taufiq., dan Mubarak. (2013). “Penyebab Variation Order dan Dampak Pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi Jembatan (Studi Kasus Pada Pelaksanaan Proyek Kon-struksi Jembatan di Provinsi Aceh)”, Jurnal Teknik Sipil, Pascasarjana Universitas Syiah

Tabel 4. Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Waktu Kontrak

Sumber : Hasil olahan pada Dokumen proyek Pembangunan Bendung X

Page 55: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 51

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Kuala, Banda Aceh. Volume 2, ISSN 2302-0253.

Barrie, Donald S, and Paulson, Boyd C Jr. (1992). Professional Construction Management, third edition. Singapore, Mc Graw-Hill

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ten-tang Perikatan.

Direktorat Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum dan Kimpraswil, Bagian Proyek Pen-ingkatan Sistim dan Kinerja Manajemen Pelaksana Tengah, Direktorat Bina Pelaksana Wilayah Tengah. (1999). Pedoman Praktis Kendali Mutu Pelaksanaan Proyek. Direktorat Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum dan Kimpraswil, Jakarta.

Echols, John M., dan Shadily, Hassan. (2014). Ka-mus Inggris Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ervianto, Wulfram I. (2002). “Manajemen Proyek Konstruksi”. Andi, Yogyakarta.

Fakhrizal. (2013). “Identifikasi Penyebab dan Dam-pak Contract Change Order Terhadap Biaya dan Kualitas Pada Proyek Gedung di Kota Padang”, Artikel, Program Studi Teknik Sipil, Program Pascasarjana, Universitas Bung Hat-ta.

Gumolili, Sandy A., dan Sompie, B. F., dan Rantung, J.P. (2012). “Analisa Faktor-Faktor Penyebab Change Order dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Waktu Pelaksanaan Proyek Konstruksi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara”, Jurnal Ilmiah Media Engineering Vol. 2, No. 4, ISSN 2087-9334 (247-256).

Hanna, A. S., Camlic, R., Peterson, P. A., Nordheim, E. V. (2002), “Quantitative Definition of proj-ects Impacted by Change Orders”, Journal of Construction Engineering and Management. 128(1)

Hanna, Award S., Russel, Jeffrey S., Gotzion, Timo-thy W., Nordheim, erik V (1999). “Impact of Change Order on Labor Efficiency for Mechani-cal Construction”. Journal of Construc-tion En-gineering and Management, 125,p.176-184

Hartoyo. (2012). Amandemen Kontrak Loan dan APBN.

Hinze, J., “Construction Contracts”, McGraw Hill, Second Edition (2001)

Knapp, Charless L. dan Nathan M. Crystal, 1993:2, dalam Salim H.S. (2010). Hukum Kontrak. Sinar Grafika, Jakarta.

Perka LKPP No. 2 tahun 2011 tentang Standar Do-

kumen Pengadaan pada Bagian Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK) Klausul Addendum atau Perubahan Kontrak.

Permen PU No: 14/PRT/M/2013 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Kon-struksi Dan Jasa Konsultansi.

Perpres No. 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Ked-ua Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Sapulette, Willem. (2009). “Analisa Penyebab dan Pengaruh Change Order Pada Proyek Infra-struktur dan Bangunan Gedung di Ambon”, Jurnal Teknologi, Volume 6 Nomor 2 (627 – 633).

Schaufelberger, John E., and Holm, Len. (2002). Management of Construction Project A Con-structor’s Perspective. Prentice Hall, New Jer-sey.

Schaufelberger, John E., and Holm, Len. (2002). Management of Construction Project A Con-structor’s Perspective, New Jersey, Prentice Hall

Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 Ta-hun 1999.

Wicaksono, Frans S. (2008). “Panduan lengkap membuat surat-surat kontrak”. Visimedia, Jakarta.

http://id.wikipedia.org/wiki/Addendum, tanggal 06 April 2015, pukul 17:06 WIB.

http://id.wikipedia.org/wiki/Amendemen, tanggal 06 April 2015, pukul 17:02 WIB.

http://kbbi.web.id/amendemen, tanggal 06 April 2015, pukul 16:20 WIB.

http://kbbi.web.id/adendum, tanggal 06 April 2015, pukul 16:22 WIB.

http://kbbi.web.id/variasi, tanggal 09/04/2015, pu-kul 11:56 WIB.

http://pengadaaneprocurement.blogspot.com/ 2014/12/pengertian-cco-contract-change-order.html, tanggal 08/04/2015,pukul 16:33

Page 56: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 52

PENERAPAN TELEMETRI BERBASIS WEBSITE PADA PEMANTAUAN DEFORMASI PERMUKAAN BENDUNGAN SERMO

Ajat Sudrajat

Teknik Pengaian Ahli MadyaBalai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak,

Direktorat Jenderal Sumber Daya AirEmail: [email protected]

Abstract

Corresponding decision of the Director General of Water Resources / Dam Safety Commission Chairman, Since the dam exploited examinations performed on the results of periodic checks on the deformation that occurs in the foundation rocks, cliffs pedestal, and the body of the dam. The accuracy of data regarding this should be checked every year, in order to anticipate the prevention of the occurrence of disasters caused by deformation due to the movement of dam horizontally or vertically because of a movement of the dam as earthquakes, avalanches, leakage, etc. can be done through monitoring the deformation of the surface of the dam Sermo with telemetry-based website.

Keyword: deformation monitoring, dam

Abstrak

Sesuai Keputusan Direktur Jenderal Sumber Daya Air/ Ketua Komisi Keamanan Bedungan, Sejak bendungan dieksploitasikan dilakukan pemeriksaan pada hasil pemeriksaan berkala mengenai deformasi yang terjadi pada batuan fondasi, tebing tumpuan, dan tubuh bendungan. Ketelitian data mengenai ini harus diperiksa setiap tahun, agar dapat diantisipasi pencegahan dari terjadinya bencana akibat terjadinya deformasi akibat pergerakan bendungan secara horizontal maupun vertikal yang disebabkan terjadinya pergerakan Bendungan seperti Gempa bumi, longsoran, kebocoran, dan sebagainya, dapat dilakukan melalui pemantauan deformasi permukaan bendungan sermo dengan telemetri berbasis website.

Kata Kunci: pemantauan deformasi, Bendungan

Page 57: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 53

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

1. PENDAHULUAN

Bendungan Sermo berada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak di Kabupaten Kulon Progo, lebih kurang 37 km dari kota Yogyakarta. Studi kelayakan bendungan Sermo dilakukan oleh Mac. Donald tahun 1980, dilanjutkan oleh PT. Indra Karya tahun 1985 dan 1991, dan “Final Assesment of Sermo Dam” dilakukan oleh ELC-Electrocosult pada tahun 1992. Pelaksanaan pembangunan Bendungan Sermo dilakukan oleh Kontraktor Hyundai-Duta Graha Indah, JO. Kontrak kerja ditandatangani 28 Februari 1994, dengan waktu pelaksanaan 32 bulan. Pengawas pelaksanaan konstruksi dilakukan oleh proyek dibantu oleh konsultan pengawas asosiasi antara ELC-Electroconsult dari Itali dengan PT. Bina Karya dan PT. Wiratman dari Indonesia.

Manfaat dibangunnya Bendungan Sermo adalah untuk suplesi daerah irigasi Sistem Kalibawang dengan total area 7.152 Ha, yang merupakan interkoneksi dari beberapa daerah irigasi yang terdiri dari DI (Daerah Irigasi) Kalibawang, DI Clereng, DI Kamal, DI Pengasih, dan DI Pekikjamal. Selain kebutuhan irigasi, air dari bendungan Sermo juga digunakan untuk air baku air minum Kabupaten Kulon Progo sebesar 150 lt/dtk (baru dimanfaatkan 30 lt/dtk) dan penggelontoran kota Wates sebesar 50 lt/dtk. Data teknis bendungan Sermo ditunjukkan dalam Tabel 1.

1.1. Latar Belakang

Wilayah Negara Republik Indonesia berada pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng India-Australia dan apabila kita tinjau secara geologis wilayah Negara Republik Indonesia berada pada pertemuan 2 jalur gempa utama yaitu jalur gempa Sirkum Pasifik dan jalur gempa Alpide Transasiatic, dengan melihat kondisi ini, pergerakan-pergerakan permukaan bumi yang bersumber dari aktivitas gunung api dan gempa bumi merupakan kejadian yang sangat sering dijumpai, bahkan gempa yang cukup besar berkekuatan 5,9 SR melanda Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 dan gempa dengan kekuatan 7,3 SR melanda Tasikmalaya pada tanggal 2 September 2009. Hal ini akan mempengaruhi posisi-posisi infrastruktur

antara lain bendungan, jembatan, gedung-gedung tinggi, pelabuhan udara, serta pelabuhan laut, dan hal ini perlu mendapatkan pemantauan secara intensif agar fungsi dari infrastruktur tersebut dapat dipertahankan.

Kebutuhan akan sistem pemantauan deformasi bendungan secara real time dengan menggunakan sensor secara tiga dimensi dan satu dimensi baik untuk static dan dynamic movements sangat penting dilakukan. Sebagai langkah uji coba, sebuah kegiatan penerapan teknologi pemantauan deformasi bendungan berbasis stasiun aktif GPS/GNSS – CORS (Global Positioning System/Global Navigation Satellite System - Continously Operating Reference Station) akan diimplementasikan di bendungan Sermo di desa Hargowilis, kecamatan Kokap, kabupaten Kulon Progo, propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

1.2. Maksud

Kegiatan ini adalah merupakan implementasi dari early warning system atau peringatan dini yang dimaksudkan untuk melakukan antisipasi dari terjadinya deformasi, yang diakibatkan oleh gempa antara lain dapat meningkatkan deformasi tubuh bendungan, seperti pergeseran secara horizontal, penurunan atau settlement timbunan, longsoran atau sliding yang bermanfaat menjaga keselamatan

warga masyarakat yang tinggal di sekitar bangunan tersebut, dan infrastruktur

Untuk mendukung implementasi peralatan atau infrastruktur monitoring deformasi bendungan yang akan dipasang di bendungan Sermo diperlukan daya dukung sistem komunikasi data yang handal. Mengingat letak peralatan atau infrastruktur monitoring bendungan yang tersebar dibeberapa titik di area waduk Sermo dan sistem monitoring yang harus dapat diakses oleh pada pemangku kepentingan di kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak di Janti Yogyakarta, maka diperlukan perancangan komunikasi data nirkabel yang handal dan sesuai dengan kebutuhan sistem monitoring deformasi pada bendungan yang akan diimplementasikan tersebut.

Tabel 1. Tabel Data Teknis Bendungan Sermo

Page 58: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 54

1.3. Tujuan.Tujuan dari Kegatan ini adalah merupakan kegiatan pemantauan agar dapat diantisipasi pencegahan dari terjadinya bencana akibat terjadinya deformasi akibat pergerakan bendungan secara horizontal maupun vertikal yang disebabkan terjadinya pergerakan Bendungan seperti Gempa bumi, longsoran, kebocoran, dan sebagainya, melalui sistem informasi yang diperoleh secara terus menerus dan waktu nyata (real time). Selain itu metode pemantauan dilakukan secara simultan menggunakan beberapa sensor baik statik maupun dinamik dan di tempat-tempat tertentu dipasang Video Surveilance System menggunakan Internet Protocol (IP) Camera. Data hasil pemantauan dibentuk dalam satu sistem pemantuan yang mudah diakses oleh para pemangku kepentingan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pemantauan Deformasi menggunakan melalui sistem informasi telemetri berbasis web site yang dilakukan secara terus menerus dengan waktu nyata (real time) dibandingkan dengan Hasil yang diperoleh dengan menggunakan metode konvensional akan lebih efisien

Hasil studi menunjukkan korelasi yang jelas antara perubahan tingkat air waduk dan deformasi bendungan, sehingga membuktikan Pemantauan Deformasi telemetri berbasis website menjadi alat yang efektif untuk studi deformasi permukaan bendungan.Untuk mendukung hasil kerja dari setiap peralatan pemantau deformasi bendungan, dipadukan dengan sistem pengamatan manual, selisih hasil menunjukan sampai milli meter (Sunantyo,2012).

3. METODE PENELITIAN

Kegiatan ini merupakan kerjasama penelitian antara Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia melalui Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

3.1. Alur Kegiatan

Alur kegiatan dapat dilihat pada Gambar 1. Peralatan yang diperlukan dalam Pelaksanaan Pemantauan Deformasi, meliputi:

A. Robotic Total Station dari Leica.

B. Master Station Access Point untuk perangkat radio komunikasi data jalur lebar (Broadband Wireless Access) dari Cambium Networks.

C. Client Station Rover untuk perangkat radio komunikasi data jalur lebar (Broadband Wireless Access) dari Cambium Networks.

D. Tower Robotic Total Station.

E. Tower perangkat radio.

F. Tower penangkal petir menggunakan teknologi Early Streamer Emission.

G. Prisma reflektor.

H. Server database.

I. Personal Computer (PC).

J. IP Camera yang dilengkapi Infra Red.

K. GPS/ GNSS (Global Navigation Satelite System) untuk referensi dari Leica.

L. Network Data Logger dari Campbell Sci.

M. Inclination sensor dari RST Instrument (mengukur kemiringan tubuh bendung).

N. Crack meter dari RST Instrument (mengukur rekahan pada tubuh bendung).

O. Piezometer Electric (mengukur bocoran air pada tubuh bendung).

P. Koneksi internet dengan menggunakan IP publik (paska bayar dari Internet Service Provider lokal) di lokasi server.

Q. Koneksi internet dengan menggunakan IP dinamis (paska bayar dari Internet Service Provider lokal)

Gambar 1. Diagram Alir Kegiatan

Page 59: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 55

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

di lokasi pemantauan.

R. Website Sistem Monitoring Bendungan Sermo yang digunakan untuk pemantauan kondisi bendungan secara real time.

3.2. Pemantauan Deformasi.

Sistem Pemantauan Deformasi Bendungan berbasis stasiun aktif GPS/GNSS – CORS yang direkomendasikan oleh Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada melalui melalui Jurusan Teknik Geodesi secara umum dideskripsikan dalam Gambar 2.

Pemantauan deformasi bendungan pada dasarnya adalah mengamati pergerakan 3 dimensi (pergerakan dalam sumbu x, y dan z) pada beberapa titik pengamatan yang sudah ditentukan. Pemantauan dilakukan oleh peralatan yang disebut Robotic Total Station. Perangkat tersebut melakukan pengamatan dari Stasiun Pemantau dengan mengukur jarak titik-titik pengamatan yang sudah ditentukan secara periodis dan mengolahnya menjadi data dan informasi pergerakan titik ukur tersebut.

Stasiun Pemantau Robotic ditempatkan pada suatu jarak tertentu terhadap titik-titik pengamatan. Titik pengamatan merupakan suatu posisi di tubuh bendungan dan pada titik tersebut ditempatkan prima pengamatan. Robotic Total Station akan memancarkan/menembakkan sinar laser kearah sebuah prima dan menangkap sinar laser yang dipantulkan oleh prisma tersebut dan mengolahnya menjadi data jarak atau posisi prisma relatif terhadap Stasiun Pemantau Robotic tersebut. Proses ini dilakukan untuk sejumlah 18 buah prisma yang ditempatkan di titik-titik ukur ditubuh bendungan dan pengukuran diulang secara periodik dan otomatis.

Stasiun Pemantau Deformasi enggunakan Robotic kemudian secara logikal diikatkan dengan sistem posisi global dengan GPS/GNSS yang dipasang di atasnya. GPS/GNSS akan memberikan posisi global yang terstandart sehingga pergerakan titik-titik ukur dapat direferensikan pada posisi global yang

didapatkan tersebut.

Untuk mendapatkan informasi posisi GPS yang presisi, secara ideal diperlukan beberapa titik penerima GPS di area waduk sermo, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dengan kode SRM1 sampai dengan SRM5 dan BKO1. Koreksi diferensial terhadap posisi global yang diterima oleh GPS yang dipasang di area Sermo akan diberikan oleh stasiun CORS (Continuously Operating Reference System) yang dimiliki oleh Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM, yang ditunjukkan dengan kode GMU1.

Best practice penempatan infrastruktur atau peralatan sistem pemantau deformasi bendungan Sermo berbasis GNSS CORS yang direkomendasikan Fakultas Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada ditunjukkan dalam Gambar 3 dan Tabel 2 (Sunantyo, Lelono, Adi, Djawahir, 2010).

Untuk membentuk sistem monitoring deformasi bendungan sermo berbasis GNSS CORS, akan dipasang 3 sensor utama yaitu: (a) Robotic Monitoring Station, (b) GPS GNSS untuk monitoring station dan rover atau reference station, dan (c) AWLR (Automatic Water Level Recorded). Sistem ini akan mempunyai unjuk kerja seperti yang disampaikan di atas. Terdapat empat area di Sermo yang akan digunakan untuk menempatkan peralatan monitoring deformasi bendungan Sermo ini yaitu:

A. Area Kantor DMU (Dam Monitoring Unit), di area ini akan ditempatkan Stasiun Pemantau Robotic dan Stasiun Pemantau GPS GNSS

B. Area Upstream dan Downstream, di sini akan ditempatkan 18 prisma titik pengamatan pergerakan deformasi.

C. Area Intake, di sini akan ditempatkan AWLR, IP camera dan sebuah prisma pengamatan deformasi.

D. Area Stasiun Klimatologi, di sini akan ditempatkan sebuah GPS GNSS rover dan sebuah prisma

Gambar 2. Prinsip Sistem Pemantauan Deformasi Bendungan mengacu Stasiun Aktip GPS/GNSS –

CORS online berbasis website.

Gambar 3. Prinsip GNSS-CORS sebagai Referensi Pemantau Deformasi Bendungan Pada Studi Kasus

di Waduk Sermo

Page 60: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 56

pengamatan deformasi.

Data koreksi deferensial dari stasiun CORS Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM perlu dikoneksikan dengan sistem monitoring ini dan pemangku kepentingan di Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak merencanakan sistem monitoring deformasi bendungan Sermo ini dapat diakses di kantor Jl. Solo Yogyakarta, dengan demikian transmisi data perlu dibentuk untuk menghubungkan tiga tempat yaitu: (a) Sermo, (b) Fakultas Teknik UGM, dan (c) Kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, seperti ditunjukkan dalam Gambar 4. Implementasi GPS

CORS juga sudah dilakukan di PT. Adaro Indonesia. CORS membutuhkan komunikasi data stabil yang terus menerus. karakteristik lokasi penambangan menjadikan permasalahan disisi komunikasi data karena area yang luas serta berbukit - bukit yang cukup tinggi. PT Adaro Indonesia menggunakan 4 radio sebagai master station melalui jaringan LAN, dan untuk area yang terhalang oleh topologi permukaan tanah digunakan radio pancar ulang (repeater) (Nuhidayat, Bahri, 2010).

Penelitian untuk menguji ketelian pengamatan GPS menggunakan metode RTK NTRIP (Real Time Kinematic – Networked Transport of RTCM via

Gambar 4. Posisi alat Pengamatan Deformasi, Data komunikasi nirkabel Sermo – JTETI FT UGM – BBWS SO

Tabel 2. Koordinat Letak/Posisi Peralatan

Page 61: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 57

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Internet Protokol) dengan stasiun CORS UGM sebagai base station terhadap 13 titik sampel TDT (Titik Dasar Teknik) di desa Banyuraden Gamping Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta telah dilakukan. Pada titik sampel TDT digunakan GPS JAVAD GNSS dengan komunikasi data menggunakan jaringan komunikasi data berbasis GSM 3G dari providermobile internet di Indonesia, yaitu provider Telkomsel, XL dan Indosat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keandalan layanan data berpengaruh secara signifikan pada pengujian tersebut dan provider Telkomsel menunjukkan ketelitian paling rendah dan provider XL menunjukkan ketelitian paling tinggi (Sari, Sunantyo, Aries, Subhianto, 2010).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisa

Penelitan untuk menganalisis pengaruh kecepatan koneksi internet dalam komunikasi data NMEA (National Marine Electronics Association) secara real-time berbasis TCP-IP dengan membandingkan kecepatan mengunggah dan mengunduh telah dilakukan. Komputer monitor station dalam komunikasi data NMEA berperan untuk mengunduh data dan kecepatan mengunduh lebih berpengaruh. Komputer monitor station dipasang dengan koneksi internet Kampus Teknik Geodesi UGM dengan kecepatan mengunduh data sebesar 0.98 mbps. Komputer rover station dalam komunikasi data NMEA berperan untuk mengunggah data, kecepatan yang berpengaruh adalah kecepatan mengunggah data. Komputer rover station dikoneksikan dengan modem dengan kecepatan mengunggah data sebesar 0,04 mbps dan 0,05 mbps. Hasil penetilitan

menunjukkan bahwa proses transmisi mengalami keterlambatan rata-rata selama 5 detik.

Untuk mendukung unjuk kerja dari setiap peralatan pemantau deformasi bendungan yang akan diimplementasikan dan membentuk fungsi monitoring seperti yang tersebut, maka dirancang topologi jaringan komunikasi nirkabel yang ditunjukkan pada Gambar 5. Penempatan peralatan

di area waduk sermo dan kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Dari hasil penelitian ini dapat kita

lihat data dan informasi visual diperoleh pada kondisi real time, dan comprehensive (lengkap), dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah juga dengan pengetesan yang dilakukan secara pengukuran manual, perbedaan sampai milimeter.

4.2. Data Yang Ditampilkan

Data yang ditampilkan meliputi:

A. Data pantauan periodik (bisa per 1 jam, per hari, per minggu, dan per tahun).

B. Data statistik dalam bentuk grafik atau tabel.

Data pemantauan bendungan Sermo dapat dilihat menggunakan gadget apapun, contoh dapat dilihat menggunakan PC, notebook, ataupun smartphone dengan syarat perangkat tersebut terkoneksi internet. Pada contoh gambar diatas (Gambar 7) pemantauan real time bendungan sermo menggunakan tablet Samsung Galaxy Tab A. Data pemantauan juga dapat didownload dalam bentuk gambar maupun

Gambar 6. Penempatan Infrastruktur Sistem Pemantauan Deformasi Bendungan Sermo.

Gambar 5. Topologi jaringan komunikasi nirkabel.

Page 62: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 58

tabel excel (Gambar 8), sehingga memudahkan pemangku kepentingan untuk membuat laporan mengenai bendungan Sermo. Pada contoh tampilan website diatas menggunakan contoh pemantauan tinggi muka air bendungan Sermo, juga terdapat indikator level peringatan, penjelasannya jika grafik menyentuh warna hijau, maka tinggi muka air memasuki peringatan siaga 3 (>136,60 mdpl), jika menyentuh warna kuning maka memasuki level siaga 2 (>139,10 mdpl), dan jika menyentuh warna merah maka memasuki peringatan siaga 1 (>140,90 mdpl). Sistem peringatan level siaga ini digunakan sebagai implementasi dari Early Warning System dalam pemantauan bendungan secara real time.

4.3. Pemeliharaan SistemPemeliharaan untuk berfungsinya sistem monitoring bendungan Sermo secara terus menerus, maka diperlukan pemeliharaan instrumen yang meliputi:

(A) (B) (C)

(D) (E) (F)Gambar 7. (A) Tampilan halaman awal website sistem monitoring bendungan sermo, (B) Hasil

pemantauan real time tinggi muka air harian, (C) Hasil pemantauan tinggi muka air mingguan, (D) Hasil pemantauan tinggi muka air bulanan, (E) Hasil pemantauan tinggi muka air tahunan, (F) Tampilan visual

tinggi muka air secara real time.

Gambar 8. Hasil download pemantauan bendungan Sermo dalam bentuk tabel excel.

Page 63: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 59

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

A. Pemeliharaan yang dibutuhkan untuk Sistem Structural Deformation Monitoring bendungan Sermo, meliputi:

1. Robotic Total Station Monitoring Sensor dengan prisma yang terpasang di tubuh bendungan.

2. DTM Meteosensor.

3. Dedicated Power Supply menggunakan Solar Cell dan Deep Cycle Battery.

4. Lighting Protection dengan Grounding Systems.

B. Pemeliharaan sistem Structural Monitoring bendungan Sermo, meliputi:

1. Inclination Sensor dan Piezometer Electric.

2. Dedicated Power Supply menggunakan Solar Cell dan Deep Cycle Battery.

C. Pemeliharaan sistem telemetri Water Level Meter yang terdapat di Intake dan telemetri Water Level Meter untuk memonitor level air di V-Notch.

D. Pemeliharaan sistem pemantauan cuaca.Pemeliharaan sistem Video Surveilance untuk pemantauan visual secara real time kondisi bendungan Sermo.

E. Pemeliharaan Control Room untuk Monitoring System bendungan Sermo dan koneksi internet, meliputi:

1. Server untuk pemantauan bendungan Sermo.

2. Koneksi VPN yang saat ini terpasang.

3. Perekaman Video Surveilance.

4. Dedicated Internet Connection dengan IP publik.

5. Additional License untuk Automatic Geodetic Deformation Monitoring System.

F. Pemeliharaan perangkat radio komunikasi data jalur lebar, meiputi:

1. Perangkat radio Access Point sebagai Master Station.

2. Perangkat radio client untuk Rover Station.

G. Kalibrasi sensor – sensor yang terpasang, meliputi:

1. Sensor pantau deformasi bendungan (robotic dan prisma).

2. Sensor GPS/GNSS dan CORS.

3. Sensor pemantau level air di bendungan dan V-Notch.

4. Sensor pemantau rekahan tubuh bendungan

5. Sensor pemantau rembesan air di OW (Observation Wheel).

6. Sensor Piezometer Electric.

7. Sensor Piezometer Vibrating Wire.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Keamanan bendungan ditujukan untuk melindungi bendungan dari kegagalan bendungan dan melindungi jiwa, harta, serta prasarana umum yang berada di wilayah yang terpengaruh oleh potensi bahaya akibat kegagalan bendungan. Dalam rangka memperkecil resiko kegagalan bendungan, perlu dilakukan pemantauan yang intensif, dan dimana saja melalui data maupun visualisasi dan real time. Dari hasil penelitian ini dapat kita lihat data dan informasi visual diperoleh pada kondisi real time, dan comprehensive (lengkap), dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah juga dengan pengetesan yang dilakukan saecara pengukuran manual.

5.2. Saran

Pengamanan Bendungan melalui pemantauan yang intensif, dan dimana saja melalui data maupun visualisasi dan real time terus menerus dengan Telemetry berbasis Website adalah sangat efektif untuk diterapkan pada setiap Bendungan di seluruh Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Sunantyo TARSISIUS. ARIS1, Suryolelolo KABUL. BASAH.2, Djawahir FAKRURAZZI.1, wastana ADIN., Darmawan ADHI .2, and Adityo SUSILO4, Design and installation for Dam Monitoring Using Multi sensors: A Case Study at Sermo Dam, Yogyakarta Province, Indonesia, 6-10 May 2012

Ali R. , Cross P., and El-Sharkawy A., 2005, High Accuracy Real-time Dam Monitoring Using Low-cost GPS Equipment, FIG Working Week 2005 and GSDI-8 Cairo, Egypt April 16-21

Azdan D. dan Samekto, 2008, Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia, Seminar on Indonesian National Committee on Large Dams (INACOLD) di Surabaya 2-3 Juli 2008).

Brown N., Kaloustian S., Roeckle M., 2011, Monitoring of Open Pit Mines using Combined GNSS Satellite Receivers and Robotic Total Stations, Internet accesed, 6 May 2011.

Ankur Manake & Madhav N. Kulkarni, Page 497-50,: 19 Jul 2013, Study Of The Deformation Of Koyna Dam Using The Global Positioning System.

Page 64: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 60

KAJIAN STRATEGI PERCEPATAN PENGHUNIAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) BERDASARKAN SISTEM

PENGADAAN DAN PENGHUNIAN

Dahlan Prayogo Midian1 Iwan Kustiwan2

Mahasiswa Magister Studi Pembangunan1

Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan2

Institut Teknologi Bandung12

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

Building of low-cost housing (Rusunawa) Ujungberung completed in 2012, was populated by 22 occupancy (8 %) of the total capasity of 267 residential. The purpose of this study is to describe the study of the causes of the building of low-cost housing (Rusunawa) late inhabited by planning/procurement system in the building of low-cost housing (Rusunawa), rsidential selection system, the factors that influence residents to inhabit the building of low-cost housing (Rusunawa), described the acceleration strategies residential building of low-cost housing (Rusunawa) based procurement system and residential.Methods of research using quantitative analysis with the help of SPSS (Statistical Program for Sosial Science ) with descriptive statistical analysis of crosstabs. Data was collected by using a questionnaire distributed at building of low-cost housing (Rusunawa) Ujungberung dwellers and as a comparison, also distributed a questionnaire on building of low-cost housing (Rusunawa) Leuwigajah dwellers, with the number of questionnaires of 50 respondents.From the analysis, which is problematic in residential phase can be caused by a previous phase. This phase is the phase of budget planning. Budget building of low-cost housing (Rusunawa) are located in the central government and eventually assets Budget building of low-cost housing (Rusunawa) will be handed over from the center to the regions. This is an obstacle, because the handover of assets building of low-cost housing (Rusunawa) from central to local needs and process a long time.

Keywords: building of low-cost housing (rusunawa), procurement system building of low-cost housing (rusunawa), residential, factors affecting the occupants to inhabit building of low-cost housing (rusunawa).

Abstrak

Rusunawa Ujungberung selesai dibangun tahun 2012, mulai dihuni sebanyak 22 hunian (8 %) dari total kapasitas 267 hunian. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kajian penyebab terlambat dihuni berdasarkan perencanaan/sistem pengadaan Rusunawa, sistem seleksi penghunian, faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni untuk menghuni Rusunawa, dan strategi percepatan penghunian Rusunawa berdasarkan sistem pengadaan dan penghunian.Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan bantuan software statistik SPSS (Statistical Program for Sosial Science) dengan analisis statistik deskriptif tabulasi silang (crosstabs). Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dibagikan pada penghuni Rusunawa Ujungberung dan sebagai pembanding, dibagikan juga kueisoner pada penghuni Rusunawa Leuwigajah, dengan jumlah kuesioner sebanyak 50 responden. Dari analisis yang dilakukan, fase yang bermasalah di atau pada penghunian bisa diakibatkan oleh fase sebelumnya. Fase ini adalah fase perencanaan anggaran. Anggaran Rusunawa berada di Pemerintah Pusat dan nantinya aset Rusunawa ini akan diserahterimakan dari pusat ke daerah. Hal ini menjadi kendala, karena serah terima aset Rusunawa dari pusat ke daerah perlu proses dan waktu yang lama.

Kata Kunci: rusunawa, sistem pengadaan rusunawa, penghunian, faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni untuk menghuni rusunawa

Page 65: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 61

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

1. PENDAHULUAN

Pada dasarnya pemukiman kumuh adalah ciri khas permasalahan yang terjadi hampir di seluruh kawasan perkotaan di Indonesia. Kepadatan penduduk yang disebabkan oleh tingginya angka urbanisasi serta keadaan ruang yang tetap sementara kebutuhan akan ruang yang semakin bertambah menjadi salah penyebab munculnya kantong-kantong pemukiman kumuh di daerah perkotaan. Kawasan atau pemukiman kumuh sendiri merupakan suatu kawasan dengan tingkat kepadatan populasi yang tinggi di sebuah kota yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selama ini kawasan atau pemukiman kumuh dianggap sebagai sumber dari masalah sosial dan di berbagai kawasan miskin pemukiman kumuh juga menjadi pusat bagi masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis.

Pembangunan Rusunawa di Indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum selain menjawab isu pemanfaatan lahan perkotaan secara efisien, juga mendukung penataan kembali area-area perumahan/permukiman yang tidak layak, khususnya ditujukan untuk memfasiltasi hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), termasuk terciptanya layanan prasarana dan sarana serta utilitas yang layak sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dimiliki Direktorat Jenderal Cipta Karya sudah dimulai sejak tahun 2003-2009 serta Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pekerjaan Umum 2010-2014.Berdasarkan data Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan Strategis (Satker PKPSS), Direktorat Pengembangan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya dari tahun 2003-2013 sudah terbangun 353,5 Twin Blok (TB), Rusunawa yang sudah terhuni 240 TB (67,89 %), Rusunawa yang belum terhuni 113,5 TB (32,11 %). Dari data tersebut dapat kita ketahui bahwa ternyata pembangunan Rusunawa yang telah dilaksanakan di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Hal tersebut terlihat dari besarnya persentase Rusunawa yang belum dihuni yaitu sebesar 32,11 %. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kajian penyebab Rusunawa terlambat dihuni berdasarkan perencanaan/sistem pengadaan Rusunawa, mendeskripsikan kajian penyebab Rusunawa terlambat dihuni berdasarkan sistem seleksi penghunian, mendeskripsikan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni untuk menghuni Rusunawa, mendeskripsikan strategi percepatan penghunian Rusunawa berdasarkan sistem pengadaan dan penghunian.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rusun Sewa sebagai Social/Public Housing

Sistem yang diterapkan dalam menunjukkan kepemilikan terhadap rumah yang dihuni oleh seseorang selain merupakan rumah milik, terdapat

juga rumah sewa. Rumah dengan sistem sewa pada dasarnya menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara pemilik dan penyewa. Sistem sewa ditandai dengan terjalinnya perjanjian baik secara lisan atau tertulis antara pemilik dan penyewa. Sistem rumah sewa dapat diterapkan di perumahan formal maupun informal selama telah terjalin kesepakatan di antara keduanya (UN Habitat, 2003)

2.2. Karakteristik Masyarakat Penghuni Rumah Susun

Berdasarkan penelitian Wu (2006) mobilitas tempat tinggal dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, jenis pekerjaan, status kependudukan, alasan memilih rumah dan lokasi rumah serta luas rumah yang dihuni saat ini. Di Indonesia pada umumnya, umur tidak menjadi faktor yang mempengaruhi mobilitas tempat tinggal. Misalnya di usia sekolah seorang pelajar dikoskan oleh orang tuanya. Dalam hal ini pengambil keputusan adalah orang tua si pelajar bukan pelajar yang bersangkutan. Demikian juga dengan jenis kelamin. Kepala keluarga pada umumnya adalah pria, namum pada saat ini banyak wanita yang menjadi kepala keluarga karena berbagai alasan, sehingga jenis kelamin diduga bukan faktor yang mempengaruhi mobilitas tempat tinggal. Sedangkan perubahan status keluarga yang menurut Wu (2006) yang juga disebut oleh Han dan Baum (2002), Rossi (1995), Clark et. al (1994) dan Deurlo et. al (1994). Seseorang yang belum menikah dan mempunyai anak, tentu akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan yang telah menikah, belum mempunyai anak atau dengan yang telah menikah mempunyai anak. Besar kecilnya jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah juga mempengaruhi kenyamanan bertinggal. Jarak rumah dengan lokasi kerja menurut Turner (1968) juga mempengaruhi mobilitas tempat tinggal untuk memperoleh potensi yang lebih baik, misalnya dari sekedar memyewa sampai kemudian dapat memiliki rumah sendiri. Pernyataan Turner tersebut lebih bersifat spekulasi. Faktor kedekatan jarak antara rumah dan tempat pekerjaan juga diutarakan Henley (1998). Mobilitas tidak semata-mata untuk mencari keuntungan tetapi lebih karena mutasi pekerjaan. Kotler dan Armstrong (2004) harga telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan pembeli. Dalam penelitian ini, batasan harga sewa/tarif retribusi Rusunawa dianggap cenderung mempengaruhi keputusan mobilitas tempat tinggal penghuni Rusunawa.

3. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain penelitiannya. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam

Page 66: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 62

penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner diberikan kepada penghuni Rusunawa Ujungberung dan penghuni Rusunawa Leuwigajah sebanyak 50 responden. Untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni Rusunawa Ujungberung untuk mempercepat penghuniannya dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dengan bantuan software statistik SPSS (Statistical Program for Social Science). Analisis deskriptif yang digunakan adalah analisis crosstabs (tabulasi silang) yang dapat menunjukkan distribusi bersama dan pengujian hubungan antara dua variabel.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Rusunawa Ujungberung dibangun di atas tanah milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Gambar 1 dan Gambar 2), terdiri dari 3 (Twin blok) TB, 1 TB dibangun oleh Kementerian Perumahan Rakyat dan 2 TB yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum masing-masing terdiri dari lima lantai, lantai dasar terdiri dari 2 hunian difable, 1 ruang pengelola, lantai 2 terdiri dari 24 hunian, lantai 3 terdiri dari 24 hunian, lantai 4 terdiri 24 hunian, lantai 5 terdiri dari 24 hunian.

Rusunawa Leuwigajah dibangun di atas tanah milik Pemerintah Kota Cimahi terdiri dari 3 (Twin blok) TB, yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum terdiri dari lima lantai, lantai dasar terdiri dari 2 hunian difable, 1 ruang pengelola, lantai 2 terdiri dari 24 hunian, lantai 3 terdiri dari 24 hunian, lantai 4 terdiri 24 hunian, lantai 5 terdiri dari 24 hunian.

Rusunawa Ujungberung dan Rusunawa Leuwigajah (Gambar 3) adalah bantuan dalam bentuk kerja sama, antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Daerah (Tabel 1), Kementerian Pekerjaan Umum membantu membangun Rusunawa, sedangkan Pemerintah Daerah menyiapkan lahan matang beserta fasilitas dan utilitas pendukungnya agar bangunan Rusunawa Ujungberung dan Rusunawa Leuwigajah dapat dimanfaatkan secara layak oleh penghuninya.

4.1. Analisis Potensi Pelaku Pengadaan Rusunawa

Penyelenggaraan Rusunawa menyangkut kesiapan Kementerian Pekerjaan Umum dan juga kesiapan Pemerintah Daerah calon penerima bantuan, maka diperlukan kesepakatan antara para pihak agar tercapai keserasian kegiatan di Pusat dan Daerah. Kesepakatan tersebut disusun berjenjang menunjukkan komitmen para pihak pada setiap tahapan.

4.2. Karakteristik Sosial Ekonomi Penghuni

4.2.1. Usia Penghuni

Usia responden berkisar 22 tahun – 43 tahun, didominasi usia 26 tahun – 30 tahun sebanyak 36 % (Gambar 4).

Gambar 1. Lokasi studi Rusunawa Ujungberung

Gambar 2. Rusunawa Ujungberung

Gambar 3. Rusunawa Leuwigajah

Tabel 1. Kelembagaan antara Pusat dan Daerah

Page 67: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 63

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara rencana menghuni dengan usia penghuni. Hal ini tidak sesuai dengan teori Wu (2006) yang menyatakan bahwa penduduk yang melakukan mobilitas tempat tinggal berada pada usia produktif.

4.2.2. Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga responden berkisar 2 orang – 3 orang, didominasi 3 orang sebanyak 64 % (Gambar 5). Hal ini menunjukkan responden merupakan keluarga muda dengan suami, istri, dan 1 anak.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara rencana menghuni dengan jumlah anggota keluarga. Hal ini tidak sesuai dengan teori Rossi (1955) bahwa mobilitas tempat tinggal dilakukan oleh keluarga-keluarga untuk menyesuaikan rumah mereka dengan kebutuhan akan rumah yang dipicu oleh perubahan komposisi keluarga

4.2.3. Tempat Tinggal Asal

Responden yang tidak punya rumah dengan jumlah 41 %. Responden yang tempat tinggal asalnya dari kontrakan berjumlah 50 % (Gambar 6). Responden yang sebelumnya tinggal di rumah sendiri berjumlah 0 %. Responden yang sebelumnya tinggal di rumah orang tua dengan jumlah berjumlah 9 %. Tempat tinggal asal responden didominasi yang sebelumnya , pada umumnya (50 %) tinggal di kontrakan.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, ada hubungan antara rencana menghuni dengan tempat tinggal asal. Hal ini sesuai dengan teori Turner (1968) bahwa mereka yang biasanya melakukan mobilitas tempat tinggal adalah masyarakat miskin. Motivasi rencana pindah ke Rusunawa terbesar adalah harga sewa/tarif retribusi yang lebih murah

4.2.4. Pekerjaan Penghuni

Responden umumnya bekerja sebagai PNS dengan jumlah 59 %, honorer berjumlah 36 %, karyawan swasta 5 % (Gambar 7). Pekerjaan responden didominasi PNS. Hal ini disebabkan karena syarat menghuni Rusunawa Ujungberung adalah PNS/Honorer.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara rencana menghuni dengan pekerjaan penghuni. Dari keadaan ini dapat diartikan bahwa rencana penghuni untuk menghuni Rusunawa Ujungberung ternyata tidak dipengaruhi oleh jenis pekerjaannya.

4.2.5. Penghasilan Penghuni

Penghasilam responden umumnya berkisar 1 juta – 2,5 juta per bulan berjumlah 45 %, < 1 juta berjumlah 32 %, 2,5 jta – 5 juta berjumlah 23 % (Gambar 8).

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, ada hubungan antara rencana menghuni dengan penghasilan penghuni. Hal ini sesuai dengan teori Dipasquale (1996) bahwa permintaan barang publik akan ditentukan oleh faktor harga dari barang

Gambar 4. Usia Penghuni

Gambar 5. Jumlah Anggota Keluarga

Gambar 6. Tempat Tinggal Asal

Gambar 7. Pekerjaan Penghuni

Page 68: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 64

tersebut. Kondisi ini juga sesuai dengan teori Kotler dan Armstrong (2004) bila konsumen menganggap bahwa harga lebih rendah daripada nilai produk, mereka akan membelinya.

4.3. Persepsi Penghuni terhadap Sarana dan Prasarana

4.3.1. Jarak Rusunawa ke Tempat Pekerjaan

Jarak Rusunawa ke tempat pekerjaan didominasi responden dengan jarak 2 km – 5 km (Gambar 9).

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, ada hubungan antara rencana menghuni dengan jarak Rusunawa ke tempat pekerjaan. Hal ini sesuai dengan Teori Henley (1998) dan Turner (1968) yang menjelaskan mengenai faktor kedekatan dengan tempat pekerjaan diperkirakan menjadi faktor utama bagi mereka untuk memilih bertempat tinggal di Rusunawa.

4.3.2. Kondisi Unit Hunian

Responden yang memberikan persepsi kondisi unit hunian lebih baik dibandingkan rumah sebelumnya dengan jumlah 64 % (Gambar 10). Responden yang memberikan persepsi kondisi unit hunian lebih buruk dibandingkan dengan rumah sebelumnya dengan jumlah 0 %.

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, tidak ada hubungan antara rencana menghuni dengan kondisi unit hunian. Dari keadaan ini dapat diartikan bahwa rencana penghuni untuk menghuni Rusunawa Ujungberung ternyata tidak dipengaruhi oleh kondisi unit hunian.

4.3.3. Harga Sewa/Tarif Retribusi Rusunawa

Harga sewa rusunawa ditunjukkan pada Gambar 11. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, ada hubungan antara rencana menghuni dengan harga sewa. Hal ini sesuai dengan teori Dipasquale (1996) bahwa permintaan barang publik akan ditentukan oleh faktor harga dari barang tersebut. Kondisi ini juga sesuai dengan teori Kotler dan Armstrong (2004) bila konsumen menganggap bahwa harga lebih rendah daripada nilai produk, mereka akan membelinya.

4.5. Strategi Percepatan Penghunian Rusunawa berdasarkan Perencanaan/Sistem Pengadaan

4.6. Rusunawa

Untuk mendorong strategi percepatan penghunian Rusunawa (Tabel 2), maka untuk dana pembangunan Rusunawa dapat berupa dana bansos/dana hibah ke Pemerintah Daerah, yang membangun Rusunawa adalah Pemerintah Daerah, sehingga tidak ada kendala dalam serah terima asetnya, karena sejak perencanaan Rusunawa memang sudah disiapkan untuk menjadi milik Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat memberikan bimbingan teknis.

4.6. Strategi Percepatan Penghunian Rusunawa berdasarkan Sistem Seleksi Penghunian

Untuk mendorong strategi percepatan penghunian dari sistem seleksi penghunian (Tabel 3), sejak awal proses pembangunan Rusunawa, sudah dibuat sistem pendaftaran penghuni Rusunawa dengan sistem online. Dengan sistem pendaftaran online ini

Gambar 9. Jarak Rusunawa ke Tempat kerja

Gambar 10. Kondisi Unit Hunian

Gambar 11. Harga Sewa Rusunawa

Gambar 8. Penghasilan Penghuni

Page 69: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 65

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

maka akan ada daftar tunggu untuk calon penghuni Rusunawa. Hal ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung dengan membuat sistem online untuk pendaftaran calon penghuni apartemen rakyat. Jadi ketika apartemen rakyar ini selesai, sudah terdapat daftar tunggu calon penghuninya.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

A. Dari analisis yang dilakukan, fase yang penghunian yang bermasalah diakibatkan oleh fase sebelumnya antara lain:

1. Fase perencanaan anggaran : Birokrasi proses administrasi serah terima dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 1987 tentang Penyerahan Aset dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2008 tentang Hibah Daerah, mulai dari Ditjen Cipta Karya, ke Sekretariat Jenderal Kementerian PU, Kementerian Keuangan, Sekretariat Negara, terakhir ke Presiden.

2. Keterbatasan anggaran Pemda untuk pengadaan listrik dan air bersih.

Tabel 2. Timeline Strategi Percepatan Penghunian Rusunawa

2. Faktor yang mempengaruhi penghuni tinggal di Rusunawa adalah tempat tinggal asal, penghasilan penghuni, jarak Rusunawa ke tempat pekerjaan, kemudahan untuk mendapatkan angkutan umum, harga sewa.

B. Dalam penelitian ini, perbedaan karakteristik penghuni Rusunawa Ujungberung dan Rusunawa Leuwigajah berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni untuk mempercepat penghuniannya relatif tidak ada.

5.2. Saran

Untuk strategi percepatan penghunian Rusunawa adalah sebagai berikut:

A. Anggaran pembangunan Rusunawa dapat berupa dana bansos/dana hibah ke Pemerintah Daerah dan tugas Pemerintah Pusat memberikan bimbingan teknis kepada Pemerintah Daerah.

B.Perubahan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2008 tentang Hibah Daerah bahwa aset yang akan diserahterimakan yang perlu persetujuan Presiden, nilai asetnya di atas

Tabel 3. Timeline Strategi Percepatan Sistem Seleksi Penghunian

Page 70: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 66

100 miliar. Sehingga aset Rusunawa yang nilainya berkisar 10 miliar, untuk proses serah terima asetnya hanya sampai Kementerian Keuangan.

C. Pengadaan listrik dan air bersih berasal dari dana APBN melalui Kementerian PU.

D. Sistem pendaftaran penghuni Rusunawa dengan sistem online. Dengan sistem pendaftaran online ini maka akan ada daftar tunggu untuk calon penghuni Rusunawa.

E. Menurunkan harga sewa/tarif retribusi Rusunawa sehingga dapat menarik calon penghuni untuk menghuni Rusunawa Ujungberung, meningkatkan sosialisasi kepada calon penghuni tentang adanya Rusunawa Ujungberung.

DAFTAR PUSTAKA

Budiharjo E dan Harjohuboyo S. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan, Bandung Alumni.

Budihardjo, Eko. 1994. Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan, Perkotaan Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Cresswell, John W. 2010. Research Design – Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

DiPasquale, Denise et al. 1996. Urban Economics and Real Estate Markets. Prentice-Hall, Inc. New Jersey.

Direktorat Pengembangan Permukiman, 2013, Draft Pedoman Penyelenggaraan Rusunawa, Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum.

Kotler and Armstrong, Gary. 2004. Principles of Marketing. Edisi IX, Jilid I. PT. Indeks, Jakarta.

Meisheng, Nie. 2004. Policies and Measures on Housing of Chinese Low-income Households.

Environtment and Planning A, 36, pp. 1285-1304.

Peraturan Pemerintah Nomor 6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/ PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/ PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi BMN.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/

PMK.06/2007 tentang Tatacara Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan BMN.

Rapoport, Amos ,1969, House, Form and Culture, Prentice Hall, inc. London.

Rossi, P.H. 1995. Why Families Move : A study of The Social Psychology of Urban \ Residential

Mobility. New York, The Free Press. Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan Strategis,Direktorat Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, 2013.

Page 71: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 67

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

ASPEK DESAIN PEMECAH GELOMBANG DAN DERMAGA TERAPUNG DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM MODULAR

Irham Adrie Hakiki1

I Putu Samskerta2

Penelaah Standar dan Pedoman1

Kepala Seksi Layanan2

Balai Penelitian dan Pengembangan Pantai, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat1,2

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

Floating breakwater and floating dock are kind of structures that will be constructed with floating modular system. Floating structures are still a new field for Ministry of Public Works and People Housing, so there are many important factors that still not known. Therefore a guide needed for supporting the Ministry. For starter, the guide need to cover about design criteria of floating structures, especially for breakwater and dock. The guide made by doing literature study and adopting from international standard. Criteria for breakwater consist of material usage, dimension determination, and performance of floating breakwater. Criteria for floating dock consist of dimension of target ships, component needed, and dock dimension determination. Also mooring system needed for station keeping and one of the most important component.

Keyword: criteria of floating breakwater, criteria of floating dock, modular floating system, mooring system

Abstrak

Pemecah gelombang terapung dan dermaga terapung merupakan bagian dari struktur yang akan dibuat dengan menggunakan sistem modular wahana terapung. Struktur terapung masih merupakan hal baru bagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sehingga belum banyak yang mengetahui faktor-faktor yang diperlukan dalam merencakan struktur terapung. Maka diperlukan sebuah pedoman yang sudah disesuaikan bagi kebutuhan Kementerian PUPR. Pada tahap awal, pedoman yang diperlukan adalah pedoman mengenai kriteria struktur terapung, terutama bagi pemecah gelombang dan dermaga. Penyusunan pedoman dengan melakukan kajian literatur dan mengadopsi kriteria-kriteria yang telah lazim digunakan di dunia internasional. Kriteria bagi pemecah gelombang terapung antara lain berkaitan dengan penggunaan material, penentuan dimensi, dan performa dari pemecah gelombang terapung. Kriteria bagi dermaga apung antara lain penentuan target kapal, komponen-komponen yang diperlukan, serta penentuan dimensi. Sistem mooring diperlukan untuk menjaga posisi dari struktur terapung ini dan merupakan salah satu komponen terpenting.

Kata Kunci: kriteria pemecah gelombang terapung, kriteria dermaga terapung, sistem modular wahana apung, sistem mooring

Page 72: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 68

1. PENDAHULUAN

Sistem modular wahana apung merupakan salah satu kegiatan terpadu yang mulai diinissiasi Balitbang pada tahun 2015. Kegiatan ini merupakan konsep pengembangan suatu kawasan pesisir dengan mengapungkan infrastruktur pada kawasan tersebut, jadi pondasi yang digunakan untuk struktur berdiri adalah air. Infrastruktur yang dimaksud adalah jembatan, hunian, dan dermaga. Struktur tersebut akan ditaruh pada ponton yang disusun dari modul-modul terapung (Balai Pantai, 2015).

Akan tetapi membuat struktur terapung di laut bukanlah perkara mudah, gaya-gaya yang ada di laut seperti gelombang, arus, dan angin sangat rentan untuk membuat struktur tidak stabil. Struktur yang tidak stabil dapat mengalami pergerakan yang sangat besar sehingga menyebabkan struktur terguling dan tenggelam. Selain itu, gaya yang terjadi secara terus menerus ini, dapat menyebabkan struktur lelah dan akhirnya mengalami kegagalan baik pada sttuktur utamanya ataupun pada sambungannya. (Watanabe, Wang, Utsunomiya, & Moan, 2004)

Balai Litbang Pantai berperan untuk melakukan penelitian struktur apung untuk penggunaanya sebagai dermaga dan pemecah gelombang. Dermaga merupakan fasilitas bersandar bagi kapal dan dalam operasinya aspek keselamatan sangat penting untuk diperhatikan. Bila dermaga dijadikan terapung maka penting bagi dermaga untuk tidak tenggelam karena kelebihan beban ataupun mengalami kegagalan karena perencanaan yang tidak tepat. Bila digunakan sebagai pemecah gelombang maka perlu dipahami bagaimana cara perencanaan struktur tersebut agar dapat berfungsi untuk mengurangi energi gelombang. Dan bagi kedua struktur tersebut sangat penting untuk tetap bertahan pada posisinya (tidak berpindah tempat) dalam menerima beban lingkungan yang terjad serta tidak mengalami kegagalan seperti yang telah diutarakan sebelumnya.

Maka untuk dapat memperoleh struktur dermaga dan pemecah gelombang terapung yang tepat guna perlu diketahui komponen-komponen pada

struktur, batasan-batasan dalam perencanaan, dan kriteria-kriteria yang perlu diperhitungkan dalam perencanaan struktur.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan komponen-komponen penting pada perencanaan struktur apung, kriteria dan batasan dalam perencanaan dimensi dan pemilihan material, dan aspek-aspek perencanaan yang tidak boleh dilewatkan untuk membangun dermaga dan pemecah gelombang terapung.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Prinsip Pemecah Gelombang Apung

Pemecah gelombang apung meredam gelombang dengan prinsip interferensi yaitu dengan membuat gelombang yang berbeda fasa bertemu dengan gelombang datang sehingga saling meniadakan dan atau menggunakan gesekan atau turbulensi untuk mengilangkan energi gelombang datang (van Tol, 2008).

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, tipe pemecah gelombang terapung dibagi menjadi (van Tol, 2008):

A. ReflectingDinding vertikal didukung dengan rangka A terapung. Refleksi energi tergantung draft dinding vertikal dan pergerakan lateral pemecah gelombang terapung. Sway dibuat menjadi roll untuk mengurangi gaya tali.

B. DisplacementStruktur menyerap energi gelombang dan ditransmisikan kembali dengan fasa yang diubah. Struktur lebih stabil bisa dicapai pada tipe ini

C. DissipativeEnergi gelombang didisipasi ke dalam turbulensi.

Pada struktur tipe displacement, pemecah gelombang terapung akan mengalami pergerakan akibat gelombang datang. Struktur yang terapung bebas memiliki 6 derajat kebebasan (Gambar 1).

Gambar 1. Derajat kebebasan struktur terapung (McCormick , 2010)

Page 73: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 69

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Pergerakan struktur akan menghasilkan gelombang. Selain itu terdapat juga energi yang mengalir dari bawah struktur (underflow). Maka gelombang yang ditransmisikan adalah penjumlahan dari gelombang

yang dibangkitkan oleh pergerakan struktur dan gelombang akibat underflow. Ilustrasi dari prinsip keja pemecah gelombang terapung ditunjukkan pada Gambar 2. Selain itu sistem mooring yang semakin kaku dapat meredam gelombang dengan lebih baik (Gaythwaite, 1990).

2.1. Bentuk Dermaga Terapung

Kapal akan berlabuh pada modul terapung yang dibentuk menjadi dermaga dengan layout menjari (pier). Dermaga disusun dari modul terapung yang dijaga posisinya dengan sistem mooring, dapat berupa rangkaian dari ponton-ponton dan dihubungkan ke darat dengan jembatan akses (OCDI, 2002). Sistem mooring Ilustrasi dermaga apung dengan sistem modul terapung ditunjukkan Gambar 3.

3. METODE PENELITIAN

Sebagai kajian awal penelitian, penyusunan aspek desain ini dilakukan dengan melakukan studi literatur dan adopsi dari berbagai kriteria dari standar-standar

yang sudah ada tentang perencanaan struktur terapung bagi pemecah gelombang dan dermaga. Sumber yang digunakan antara lain mengacu dari tesis-tesis penelitian tentang pemecah gelombang dan dermaga terapung dan standar-standar resmi yang dikeluarkan oleh instansi-instansi yang telah mendapatkan pengakuan dunia. Tesis-tesis yang digunakan antara lain master tesis oleh (Fousert , 2006) dan (van Tol, 2008) yang berfokuskan pada studi redaman struktur terapung, serta (Saleh, 2010) yang membahas mengenai struktur masif yang terapung. Standar yang digunakan antara lain (OCDI, 2002) yang merupakan standar teknis untuk perencanaan fasilias pelabuhan dan dermaga di Jepang dan telah banyak diterapkan juga dalam pekerjaan dermaga di Indonesia.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pemecah Gelombang Apung

4.1.1. Kondisi Batas Pemecah Gelombang Apung

Dalam perencanaan pemecah gelombang terapung (Gambar 4) perlu diidentifikasi batasan-batasan yang ada bagi struktur tersebut. Batasan yang diidentifikasi ditinjau dari aspek interaksi struktur terhadap lingkungan, interaksi struktur terhadap sistem mooring (penjagaan posisi), dan interaksi struktur terhadap sambungan. Selain itu didefinisikan juga batasan bagi struktur itu sendiri, yaitu (Van Tol, 2008):

A. LingkunganBeban lingkungan terhadap struktur adalah (Tirimanna & Falbr):

1. Gaya angin

2. Gaya gelombang

3. Gaya arus

4. Gaya hidrostatik

Kondisi batas pada lingkungan antara lain:

1. Struktur hanya dapat meredam gelombang pada frekuensi terbatas

2. Batas frekuensi ditentukan dari batas aman diizinkannya operasi (berkaitan dengan pergerakan yang boleh terjadi pada struktur yang dilindungi)

Gambar 2. Prinsip pemecah gelombang terapung

Gambar 3. Dermaga apung (OCDI, 2002)

Gambar 4. Sistem dua pemecah gelombang terapung

Page 74: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 70

3. Kegiatan operasi dihentkan saat gelombang lebih besar dari batas izin, sehingga gelombang ini tidak perlu diredam

4. Bila gelombang transmisi oleh 1 struktur masih terlalu besar, dapat digunakan sistem 2 struktur untuk menghasilkan redaman yang lebih kecil.

B. Sistem mooringKondisi batas pada sistem mooring antara lain:

1. Sistem mooring berperan untuk menjaga posisi struktur

2. Sistem mooring jangan membatasi perilaku dinamik pemecah gelombang terapung yang menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung (terutama heave).

3. Sistem mooring boleh membatasi, meski tidak harus, perilaku dinamik yang tidak menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung.

C. SambunganKondisi batas pada sambungan antara lain:

1. Tidak boleh terjadi damage, baik akibat fatigue atau benturan antar unit struktur

2. Sambungan jangan membatasi perilaku dinamik pemecah gelombang terapung yang menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung (terutama heave).

3. Sambungan boleh membatasi, meski tidak harus, perilaku dinamik yang tidak menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung.

4. Sambungan mampu menyalurkan gaya antar elemen

5. Sambungan tetap menyambung pada kondisi gelombang ekstrim

D. StrukturKondisi batas bagi struktur antara lain:

1. Struktur berbentuk balok dan merupakan tipe pemecah gelombang dengan prinsip displacement.

2. Struktur terapung akibat gaya hidrostatik

3. Badan struktur harus dapat menahan penjumlahan dari tekanan hidrostatik, tekanan gelombang, dan gaya akibat percepatan

4.1.2. Parameter Desain

Dengan telah diketahuinya batasan dari struktur maka berikutnya perlu diidentifikasi parameter-parameter desain agar memenuhi batasan tersebut.

Parameter desain ini akan berpengaruh kepada komponen-komponen struktur yang digunakan, dimensi, dan pemilihan material untuk menghasilkan struktur yang efisien. Parameter desain yang ditinjau untuk perencanaan struktur pemecah gelombang terapung adalah (Fousert , 2006):

A. DimensiDimensi berkaitan dengan ukuran penampang struktur (lebar dan tinggi). Dimensi akan menentukan perilaku struktur pada gelombang.

B. MaterialMaterial berkaitan dengan massa struktur dan permeabilitas struktur yang akan menentukan performa dari pemecah gelombang terapung. Material yang dapat digunakan antara lain:

1. Baja

2. Beton

3. Komposit

Faktor penentuan material:

1. Kondisi struktur yang berada di air

2. Lokasi center of gravity (COG) yang ditentukan oleh massa dan distribusi massanya

C. Sistem mooringSistem mooring berkaitan dengan penjagaan posisi dari struktur. Faktor penentuan sistem mooring:

1. Tidak membatasi pergerakan yang menungtungkan performa struktur

2. Ketersediaan ruang dalam penggunaan sistem mooring

3. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem struktur dan mooring

D. SambunganSambungan berkaitan dengan konstruksi satu sistem pemecah gelombang terapung (struktur pemecah gelombang terapung dan mooring-nya). Dalam satu sistem pemecah gelombang dapat terdiri dari beberapa unit yang dihubungkan dengan sambungan. Tipe sambungan yang dapat digunakan antara lain:

1. Sambungan kakuTidak memungkinkan pergerakan

2. Sambungan lunakMemungkinkan pergerakan dan memiliki koefisien pegas

3. Tidak disambungMemungkinkan pergerakan, tidak memiliki koefisien pegas

Page 75: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 71

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Faktor penentuan sambungan:

1. Daerah yang dilindungi oleh satu sistem pemecah gelombang terapung

2. Performa struktur yang diinginkan dari satu sistem pemecah gelombang terapung

3. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem struktur dan mooring

E. Panjang strukturPanjang struktur berkaitan dengan panjang satu sistem pemecah gelombang terapung. Faktor penentuan panjang elemen:

1. Stabilitas struktur bila struktur diperpanjang

2. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem struktur dan mooring

3. Daerah yang dilindungi oleh satu sistem pemecah gelombang terapung

F. Pembagian elemenPembagian elemen berkaitan dengan konstruksi

satu unit struktur. Tipe pembagian elemen (Gambar 5) yang dapat digunakan antara lain:

1. Tidak dibagi

2. Pembagian memanjang

3. Pembagian melintang

Faktor penentuan pembagian elemen:

1. Kemudahan dan kecepatan konstruksi

2. Stabilitas pada saat instalasi

4.1.3. Perilaku Struktur pada Gelombang

Desain dari struktur akan berpengaruh terhadap perilaku struktur tersebut apabila terkena gelombang yang berimplikasi juga dengan performa pemecah gelombang terapung dalam meredam gelombang. Dengan memahami perilaku struktur bila terkena gelombang, maka perencana dapat menghasilkan suatu struktur yang optimal.

Perilaku struktur pada gelombang ditentukan oleh 3 hal di berikut (van Tol, 2008):

A. Lokasi Center of Gravity (COG)COG menentukan periode natural roll struktur. Periode natural roll dapat diubah dengan menggeser COG. Periode natural roll tidak boleh

sama dengan periode natural heave untuk mendapat performa yang baik, maka COG harus dibuat setinggi atau serendah mungkin selama kestabilan mengizinkan dari center of buoyancy (COB). Namun COG harus diletakkan setinggi mungkin untuk menghindari pengaruh buruk dari gabungan pergerakan sway dan roll dalam meredam gelombang.

B. Rasio lebar/draftRasio lebar/draft menentukan range periode gelombang yang dapat diredam. Struktur mampu meredam gelombang pada rentang terlebar pada rasio lebar/draft sama dengan 5 (lima).

C. UkuranDalam rasio lebar/draft yang sama, struktur yang lebih besar dapat meredam gelombang yang lebih panjang. Selain itu ukuran struktur ditentukan dari gelombang terpanjang yang ingin diredam.

4.2. Dermaga Apung

Perbedaan utama dermaga apung dan dermaga konvensional berada pada desain strukturnya.

Dengan mengapungkan struktur dermaga maka pembebanan yang perlu diperhitungkan juga berbeda. Selain itu desain struktur juga perlu memperhitungkan masalah stabilitas. Namun untuk perencanaan prasarana dermaga pada prinsipnya masih banyak kemiripan dengan dermaga konvensional. Dalam aspek desain ini dibahas kriteria-kriteria yang perlu dipenuhi dalam perencanaan dermaga apung.

a. Tidak dibagi; b. Pembagian memanjang; c. Pembagian melintangGambar 5. Tipe pembagian elemen

Page 76: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 72

4.2.1. Dimensi Kapal

Target dimensi kapal yang akan berlabuh di dermaga dapat mengacu pada Tabel 1.

4.2.2. Alur Pelayaran Dan Kolam Pelabuhan

4.2.2.1. Alur pelayaran

Pada perairan dengan arus dan angin yang kencang, arah alur pelayaran dibuat agar tidak mempersulit navigasi kapal (OCDI, 2002). Lebar alur pelayaran adalah lebih dari dua kali panjang kapal pesiar terbesar yang menggunakan mesin dan lebih dari lima kali panjang kapal persiar terbesar yang tidak menggunakan mesin. Kedalaman alur pelayaran adalah draft kapal terbesar ditambah 0.6 m sampai 1 m. Sudut belokan diharuskan tidak lebih dari 30°. Bila melebihi 30°, maka harus dibuat dalam lengkungan dengan radius lebih dari empat kali panjang kapal. Bila kapal mempunyai mobilitas tinggi, maka belokan dapat disesuaikan dengan kemampuan manuver kapal. Panjang alur pelayaran dari pintu pelabuhan ke daerah kolam pelabuhan ditentukan berdasarkan jarak berhenti kapal. Alur pelayaran di desain agar gelombang pada alur tidak

memiliki periode yang sama dengan periode natural roll kapal dan panjang gelombang tidak menyamai panjang kapal.

4.2.2.2. Kolam Pelabuhan

Kedalaman kolam pelabuhan adalah sama dengan kedalaman alur pelayaran. Tinggi gelombang (H1/3) yang diizinkan pada kolam adalah 0.3 m saat kondisi normal dan 0.5 m saat badai. Pada daerah kolam yang digunakan untuk berlabuh, dermaga yang digunakan berupa berupa tipe pier, maka diberikan jarak antar pier sebagai berikut:

A. Bila kapal yang berlabuh lebih kecil sama degan 3 = 1 L (L=panjang kapal)

B. Bila kapal yang berlabuh lebih besar sama degan 4 = 1.5 L

C. Pada daerah kolam yang digunakan untuk manuver (kolam putar) memiliki area sebesar lingkaran dengan diameter 3L.

4.2.3. Fasilitas Pelindung

Layout fasilitas pelindung harus dapat memfasilitasi keluar masuk yang aman bagi kapal pada saat terjadi perubahan cuaca secara mendadak dan menyediakan area kolam yang cukup (Thoresen, 2003). Arah pintu pelabuhan diatur agar dermaga tidak menerima gelombang dan arus secara langsung, dan juga pintu tidak boleh tertutup oleh sedimen yang terbawa arus. Pintu dermaga harus berada pada kisaran 45° - 90° dari arah datangnya angin untuk keamanan kapal masuk. Struktur pelindung harus mampu menyediakan perairan yang tenang dan ketinggian struktur juga harus mempertimbangkan jarak pandangan yang aman bagi kapal yang bernavigasi (OCDI, 2002).

4.2.4. Layout Fasilitas Mooring

Penyusunan layout fasilitas mooring berkaitan dengan penentuan jarak antar pier dengan dimensi kapal yang direncanakan. Penyusunan layout dapat mengacu pada Gambar 6.

4.2.5. Tinggi jagaan (freeboard)

Tinggi jagaan (freeboard) berkisar 30 – 50 cm dari permukaan air.

4.2.6. Pembebanan

Pembebanan yang ditinjau pada modul terapung untuk dermaga adalah:

1. Gaya arus

2. Gaya gelombang

3. Beban hidup (akibat pejalan kaki)

4. Beban fasilitas (bollard, fender)

Tabel 1. Target dimensi kapal (OCDI, 2002)

Page 77: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 73

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

5. Gaya akibat kapal (berthing & mooring)

6. Gaya hidrostatik

4.2.7. Kriteria Stabilitas

Kriteria stabilitas ini berkaitan dengan stabilitas stuktur ketika menerima beban pejalan kaki atasnya. Pembebanan difokuskan pada salah satu sisi struktur seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Untuk mencapai kondisi stabil maka pada saat menerima beban maksimun pada kondisi diatas disyaratkan:

1. Kemiringan maksimum 1:10

2. Sisi struktur yang diberi beban tidak terendam air

4.2.8. Jembatan akses (access bridge)

1. Lebar minimum 75 cm.

2. Kemiringan maksimum 1:4

4.3. Sistem Mooring

Sistem mooring pada struktur apung diperlukan bukan hanya untuk menjaga posisi struktur tetapi juga menahan gaya-gaya akibat lingkungan. Gaya-gaya lingkungan akan menentukan jumlah dan posisi mooring. Posisi mooring direkomendasikan sesimetris mungkin untuk memastikan kesetimbangan horizontal dan respon struktur yang simetris (Saleh, 2010).Gaya pada sistem mooring ditentukan oleh:

a. Jenis mooring

b. Material mooring

c. Ukuran mooring

d. Kedalaman perairan

e. Posisi mooring

Jenis-jenis mooring yang dapat digunakan antara lain (Saleh, 2010):

1. Dolphin-Frame guide

2. Pier/Quay Wall

3. Kabel/Rantai

4. Sliding piles

4.3.2. Kondisi Batas

Kondisi batas pada sistim mooring menyatakan syarat-syarat yang menjadi batasan dan perlu dipenuhi untuk meminimalisir pengaruh buruk dari gaya mooring pada struktur. Rekomendasi sebagai berikut:

1. Mooring pada dua sisi berada pada satu garis aksi yang sama (simetris)

2. Mooring pada struktur didistribusikan secara seragam

3. Penggunaan bearing spring dan atau dashpot pada titik sambungan untuk meredam efek amplifikasi dari respon dinamik

4. Penggunaan shock absorber pada titik sambungan angkur untuk menguragi efek gaya gelombang

4.3.2. Jenis Mooring

4.3.2.1. Dolphin-Frame Guide

Sistem mooring ini menggunakan rangka batang yang dipancang pada dasar laut. Sistem ini digunakan ketika pergerakan struktur apung secara pada sisi lateral yang diperlukan sangat kecil. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 8.

Gambar 7. Posisi pembebanan (OCDI, 2002)

Page 78: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 74

4.3.2.2. Pier/Quay Wall

Sistem ini digunakan untuk menahan pergerakan akibat arus pada satu arah. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 9.

4.3.2.3. Kabel/Rantai

Sistem Kabel/Rantai terdiri dua bagian, yaitu bagian tali mooring dan angkur. Tali mooring yang digunakan dapat memakai kabel, rantai, atau kombinasi keduanya. Tali mooring dihubungkan ke dasar laut dengan menggunakan angkur atau pancang. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 10.

4.3.2.4. Jenis Tali/Rantai

Jenis tali mooring yang dapat digunakan adalah:

A. Catenary line mooringBentuk tali melengkung karena dipengaruhi berat tali, gaya pengembali akibat berat tali

B. Taut line mooringBentuk catenary dihilangkan akibat berat tali yang ringan, gaya pengembali diakibatkan oleh elastisitas tali.

C. Tension leg mooringTali mooring menahan struktur yang mempunyai kelebihan gaya apung sehingga pergerakan vertical dibatasi.

4.3.2.5. Metode Mooring Tali/Rantai

Metode mooring yang dapat dilakukan dengan sistem kabel/rantai adalah sebagai berikut (Saleh, 2010):

A. Single point mooring (SPM)Struktur dijaga posisinya dengan satu tali mooring, akibatnya struktur dapat menyesuaikan posisi terhadap kondisi gelombang, angin, dan arus. Namun gaya pada struktur akibat mooring sangat besar, selain itu memerlukan tempat yang luas untuk berubah posisi.

B. Multi-buoy mooring (MBM)/ Spread mooringsStruktur dijaga posisinya dengan banyak tali sehingga stuktur tidak bisa bergerak bebas. Namun gaya pada struktur akibat mooring lebih terdistribusi.

C. Dynamic positioning system (DPS)Posisi struktur dipertahankan menggunakan mesin thruster yang juga dikombinasikan dengan sistem mooring lainnya.

4.3.2.6. Sliding Piles

Pile berfungsi sebagai rel struktur yang dapat mengizinkan struktur untuk bergerak secara vertikal, namun pergerakan horizontal dibatasi.

4.3.2.7. Jenis Angkur

Jenis-jenis angkur yang dapat digunakan antara lain:

A. Soft soil anchorsDigunakan untuk diletakan pada perairan dalam dan tanah yang sangat lunak. Angkur berupa beton bertulang yang dilengkapi pipa untuk jet air. Angkur disimpar di dasar laut, kemudian jet air dihidupkan untuk membuat angkur tenggelam di lapisan tanah lunak dan mengunci angkur. Kapasitas angkur dipengaruhi oleh tekanan pasif tanah.

B. Pile anchorsDigunakan untuk perairan yang kurang dari 27 m dan berada di dasar yang keras. Angkur terdiri dari dua H-pile yang dipancang berbarengan dengan suatu kedalaman tertentu. Kedua pile disambung untuk meningkatkan kapasitas angkur.

C. Caisson gravity anchorDigunakan untuk perairan dalam yang tanahnya keras. Dibuat dari beton bertulang dalam balok.

Gambar 9. Tipe Pier/Quay Wall

Gambar 10. Tipe kabel/rantai

Gambar 8. Tipe Dolphin-Frame guide

Page 79: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 75

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

D. Multi-slab gravity anchorAngkur dibuat dari slab beton bertulang dan dipasang bertumpuk-tumpuk. Mirip dengan sistem caisson hanya saja dalam bentuk modular sehingga lebih mudah dibuat dan dipasang. Digunakan untuk perairan dalam dan dangkal yang bertanah keras.

E. Suction pile anchorAngkur dibuat dari kasing baja yang satu sisinya ditutup. Dipasang ke dasar oleh gaya hisap air. Panjang pile ditentukan dari besar gaya yang ingin ditahan. Digunakan pada tanah lunak.

4.4. Prosedur Perencanaan Mooring

Prosedur perencanaan mooring dapat mengikuti langkah-langkah berikut (Saleh, 2010):

A. Memilih jenis mooringDirencakan jenis mooring yang akan dipakai untuk kemudian dicari beban mooring-nya untuk berbagai scenario.

B. Jumlah mooring dan layoutPerilaku struktur untuk berbagai kondisi beban diperiksa untuk mengetahui pergerakan struktur. Kemudian diskenariokan posisi dan jumlah mooring agar gaya mooring terdistribusi rata.

C. Perencanaan spesifikasi mooringPenentuan spesifikasi dari jenis mooring yang dipilih dan beban mooring yang diskenariokan.

D. Pemilihan materialPemilihan jenis material ditentukan dari kondisi lingkungan, durabilitas, dan faktor ekonomi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dalam perencanaan pemecah gelombang terapung batasan-batasan yang ada bagi struktur merupakan aspek pertama yang perlu ditinjau. Dengan telah diketahuinya batasan dari struktur maka dapat diturunkan parameter-parameter desain yang perlu diperhitungkan oleh perencana. Parameter desain ini akan menentukan komponen-komponen struktur yang digunakan, dimensi, dan pemilihan material bagi struktur rencana. Perilaku struktur apung rencana sangat terpengaruh oleh gelombang yang berimplikasikan pada performa pemecah gelombang terapung dalam meredam gelombang sehingga dengan memahami perilaku struktur bila terkena gelombang, maka perencana dapat menghasilkan suatu struktur yang optimal.

5.2. Saran

Dalam perencanaan dermaga apung perlu meninjau aspek stabilitas dari struktur dan syarat kemiringan saat dibebani dan freeboard agar struktur apung

dapat difungsikan sebagai dermaga. Selain itu aspek-aspek prasarana juga harus dipenuhi sesuai dengan rencana jenis kapal dan jumlah kapal yang berlabuh serta penyusunan denah dermaga dan fasilitasnya agar tidak mempersulit manuver kapal dan untuk operasi dan pemeliharaan dermaga.

Sistem mooring diperlukan untuk menjaga posisi struktur terapung agar tidak terbawa oleh gaya-gaya lingkungan. Pemilihan jenis sistem mooring ditentukan dari kondisi geoteknik, kedalaman perairan, dan nilai ekonimis dari pekerjaan di daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pantai. (2015). PROPOSAL KEGIATAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SISTEM MODULAR WAHANA APUNG . Buleleng: Tidak dipublikasi.

Fousert , M. (2006). Floating Breakwater Theoretical study of a dynamic wave attenuating system. Master Thesis, Delft.

Gaythwaite, J. W. (1990). Design of Marine·Facilities , for the Berthing, Mooring, and Repair-of Vessels. New York: VAN NOSTRAND REINHOLD .

McCormick , M. E. (2010). Ocean Engineering Mechanics With Applications. New York: Cambridge University Press .

OCDI. (2002). Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan. Tokyo: Daikousha Printing Co., Ltd.

Saleh, A. H. (2010). MEGA FLOATING CONCRETE BRIDGES. Master Thesis, Delft.

Thoresen, C. (2003). Port Designer’s Handbook: Recommendations and Guidelines. London: ThomasTelford.

Tirimanna, D., & Falbr , J. (n.d.). CONCRETE FLOATING STRUCTURE TECHNOLOGY. Amsterdam.

van Tol, P. (2008). Floating breakwaters A Theoretical Study and Preliminary Design of a Dynamic Wave Attenuating System (Master Thesis). Delft.

Watanabe, E., Wang, C., Utsunomiya, T., & Moan, T. (2004). VERY LARGE FLOATING STRUCTURES: APPLICATIONS, ANALYSIS AND DESIGN. Singapore: Centre for Offshore Research and Engineering National University of Singapore.

Page 80: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 76

REKONTRUKSI JALAN INSPEKSI TARUM TIMUR DENGAN LAPIS PONDASI CTRB DAN CHIP SEAL

Syaeful Anwar

Teknik Jalan dan Jembatan Ahli MadyaBalai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI Jakarta,

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan RakyatEmail: [email protected]

Abstract

The road is a land transport infrastructure that is essential in economic relations and facilitate the activities of other social activities. Changes in the area around Jalan Inspection East Tarum of agriculture into the industrial area causes a change in the function of the road that had road inspection into the access road to the industrial area. Changes in the functions that had low traffic increased to medium traffic, so the strength and function of the road should be adjusted to the development, where the existing road is no longer able to serve existing traffic. It is necessary for the proper handling and efficient costs, see the existing condition that tingga road base irregularly should be no innovations to material existing reuse recycle with construc-tion CTRB (Cement Treated Recycling Base) so that the strength of the foundation structure increases can serve traffic conditions is required. So that the condition CTRB stay protected from the weather and traffic by overburden Chip Seal is the provision of a single layer of asphalt followed by administration of a single layer of Chiping (stone of a certain size, from price comparison between construction purposes foundation class A and Hotmix in terms of lower cost CTRB + chip Seal.

Keyword: recycling, CTRB, chip seal.

Abstrak

Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang sangat penting dalam memperlancar kegiatan hubungan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya. Perubahan kawasan di sekitar Jalan Inspeksi Tarum Timur dari perta-nian menjadi daerah industri menyebabkan perubahan pada fungsi jalan yang tadinya jalan inspeksi men-jadi jalan akses menuju daerah industri. Perubahan fungsi jalan yang tadinya lalu lintas rendah meningkat menjadi lalu lintas sedang, sehingga kekuatan maupun fungsi dari jalan tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan, dimana jalan eksisting sudah tidak mampu lagi melayani lalu lintas yang ada. Untuk itu perlu penanganan yang tepat dan efisien dari biaya, melihat kondisi eksisting yang tingga pondasi jalan yang tidak beraturan perlu ada inovasi agar material eksisting dapat digunakan kembali dengan mendaur ulang yaitu dengan konstruksi CTRB (Cement Treated Recycling Base) sehingga kekuatan struktur pondasi meningkat dapat melayani kondisi lalu lintas yang diperlukan. Agar kondisi CTRB tetap terlindungi dari cu-aca dan lalu lintas diberi lapisan penutup Chip Seal yaitu pemberian satu lapisan aspal yang diikuti dengan pemberian satu lapisan Chiping (batu dengan ukuran tertentu, dari perbandingan harga antara konstuksi pondasi klas A dan Hotmix ditinjau dari biaya lebih murah CTRB + Chip Seal.

Kata Kunci: recycling, CTRB, chip seal.

Page 81: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 77

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

1. PENDAHULUAN

Jalan Inspeksi Tarum Timur adalah ruas jalan lo-kal 2 lajur dua arah dengan volume lalu lintas ren-dah yang berada di wilayah Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1). Jalan ini awalnya hanya berfungsi sebagai jalan inspeksi dari saluran irigasi tarum timur yang merupakan bagian dari jaringan irigasi Waduk Jatiluhur. Seiring dengan perkembangan kawasan industri yang diikuti den-gan meningkatnya jumlah penduduk yang bermu-kim di sekitar saluran, fungsi jalan tersebut menin-gkat menjadi jalan akses untuk beberapa desa dan kegiatan industri baik manufaktur atau pertanian di sepanjang saluran irigasi tarum timur.

Kondisi terakhir jalan pada awal tahun 2010 menun-jukan bahwa perkerasan jalan sudah mengalami kerusakan yang serius. Kurangnya pemeliharaan mengakibatkan kerusakan jalan yang terjadi se-makin bertambah parah, sehingga warga sebagai pengguna harus dihadapkan dengan jalan yang me-miliki tingkat pelayanan rendah, berlubang dan ter-genang air pada musim hujan serta berdebu pada musim kemarau.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Laburan aspal satu lapis (Burtu) adalah lapisan penutup pada permukaan jalan yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi agregat. Sedangkan la-buran aspal dua lapis (Burda) adalah lapisan penu-tup pada permukaan jalan yang terdiri lapisan penu-tup pada permukaan jalan yang terdiri dari lapisan aspal ditaburi agregat yang dikerjakan dua kali se-cara berurutan (Departemen PU, 2007)

3. METODOLOGI PENELITIAN

Pelaksanaan dilakukan diawali dengan persiapan lapangan seperti menutup lubang yang tidak rata, pengukuran panjang dan lebar jalan, pemeriksaan sistem drainase, kalibrasi aspal, dan pemberian la-pis resap ikat pada permukaan aspal. selanjutnya adalah pengangkutan aspal ke lapangan, pengham-paran lapisan pertama, penyiraman aspal, peneba-ran agregat, pemadatan dan penyapuan, dan peng-hamparan lapis kedua (Departemen PU, 1995).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkerasan Eksisting

Perkerasan Jalan Inspeksi Tarum Timur adalah jalan beraspal dengan lebar 5 m dengan volume lalu lin-tas harian < 1000 smp/hari. Adapun secara umum komposisi lapis perkerasan yang ada dapat dilihat pada Gambar 2.

4.2. Survei dan Penyelidikan Lapangan

4.2.1. Survei Kondisi Visual

Pengamatan secara visual yang dilaksanakan pada ruas Jalan Inspeksi Tarum Timur untuk mendata dan mengidentifikasi kondisi perkerasan jalan tersebut. Hasil survey kondisi visual dapat dilihat pada Gam-bar 3.

Hasil survey kondisi visual pada tahun 2009 menun-jukan bahwa kondisi perkerasan Jalan Inspeksi Ta-rum Timur Km. 0+500 – Km. 4+370 dalam keadan rusak berat, tipe kerusakan yang terjadi merupakan kombinasi dari berbagai macam kerusakan seperti retak buaya, jalan berlubang, pelepasan butir agre-gat dan kegagalan pada lapis pondasi jalan.

4.2.2. Tes Pit dan Pengambilan Contoh Material

Tes pit pada perkerasan dilaksanakan untuk menge-tahui kondisi, jenis dan ketebalan material yang me-nyusun lapis perkerasan jalan. Dari 10 lokasi tes pit yang dilaksanakan pada Km. 0+835 dan Km. 2+528 diperoleh data ketebalan dan jenis material seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Lokasi Jalan Inspeksi Tarum TimurSumber: google earth Mei 2010

Gambar 2. Lapis perkerasan eksisting

Gambar 3. Kondisi Eksisting Jalan Inspeksi Tarum Timur

Page 82: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 78

Contoh material RAP (Reclaimed asphalt pavement) dan RAM (Reclaimed Aggregate Material) pada ked-ua lokasi tes pit kemudian diambil dan dibawa ke Laboratorium BBPJN IV untuk di uji dan digunakan sebagai bahan pembuatan formula campuran ren-cana CTRB.

4.2.3. Pengujian Dynamic Cone Penetrometer (DCP)

Pada Tabel 1 ditampilkan data hasil pengujian Dy-namic Cone Penetrometer (DCP) yang telah dilak-sanakan pada tanggal 16 juni 2008.

4.2.4. Kesimpulan Hasil Survai dan penyelidi-kan Lapangan

Berdasarkan pengamatan secara visual dan pengu-jian di lapangan, alur dengan retak buaya pada la-pis permukaan adalah jenis kerusakan paling domi-nan pada Jalan Inspeksi Tarum Timur Km. 0+500 – KM. 4+370. Kerusakan tipe ini disebabkan oleh terjadinya deformasi pada lapis pondasi jalan atau pada lapisan tanah dasar, sehingga lapisan diatas-nya yang memiliki tingkat kekakuan (Stiffness) lebih tinggi mengalami retak. Kurangnya daya dukung ta-nah dasar dapat kita lihat dari data hasil pengujian DCP dengan nilai CBR rerata sebesar 4.75 % kurang

dari spesifikasi minimum CBR untuk tanah dasar sebesar 6 %.

4.3. Rencana Perbaikan

4.3.1. Desain Elevasi Permukaan Jalan

Pada tahap perencanaan telah diputuskan bahwa elevasi muka jalan yang akan diperbaiki akan me-

miliki ketinggian kurang lebih sama dengan elevasi awal jalan yang ada. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan efisiensi biaya dan keselamatan peng-guna jalan. Peningkatan elevasi permukaan jalan akan mengakibatkan perbedaan ketinggian antara badan jalan dan bahu jalan bertambah. Perbedaan yang cukup signifikan akan mengakibatkan faktor keselamatan pengguna jalan terganggu, untuk itu maka elevasi bahu jalan yang ada juga harus diting-katkan mengikuti elevasi muka jalan baru dan itu secara langsung akan menambah jumlah biaya yang harus di keluarkan untuk item pekerjaan bahu jalan. Oleh karena itu maka rencana perbaikan diarahkan

menggunakan metode perbaikan yang tidak me-nambah elevasi muka jalan secara signifikan.

4.3.2. Desain Struktur Perkerasan

Desain struktur perkerasan dilakukan dengan mem-pertimbangkan besarnya volume lalulintas harian, kondisi jalan eksisting, kondisi geografis, biaya dan kemudahan pelaksanaan. Pada bagian 1 telah dise-butkan dua opsi desain perkerasan yang dapat digu-nakan untuk memperbaiki kerusakan Jalan Inspeksi Tarum timur. Desain rencana perbaikan tersebut adalah seperti ditampilkan adalam Gambar 4.

Perbaikan dengan pelaksanaan CTRB dan Chip Seal dijadikan pilihan utama dengan dasar pertimbangan berikut:

A. Kondisi volume lalulintas harian yang rendah dan didominasi kendaraan ringan sehingga tidak me-merlukan struktur lapis permukaan dengan nilai kekakuan/modulus tinggi. Pada kondisi ini lapis permukaan lebih berfungsi sebagai lapis kedap

Tabel 1. Nilai CBR tanah dasar hasil pengujian DCP Jalan Inspeksi Tarum Timur, Karawang

Gambar 4. Opsi desain perkerasan pada Jalan Inspeksi Tarum Timur

Page 83: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 79

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

air serta memberikan kerataan dan kekesatan (skid resistance) pada permukaan jalan.

B. Jalan ini merupakan jalan inspeksi yang berada pada tanggul Saluran Irigasi Tarum Timur, se-hingga lapisan tanah dasar dan pondasi jalan akan selalu terpengaruh oleh air yang mengalir pada saluran dan merembes ke dalam tanggul (muka air tanah tinggi). Oleh karena itu diperlu-kan lapis pondasi yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap pengaruh air (kondisi drainase dan curah hujan). Lapis pondasi yang di stabilisasi dengan semen memiliki tingkat ketahanan lebih baik dibandingkan dengan lapis pondasi granular.

C. Untuk lapis pondasi CTRB, agregat yang digu-nakan adalah sebagian besar merupakan agre-gat lama (existing), sehingga peningkatan nilai struktur yang dicapai tidak diikuti secara signifi-kan oleh peningkatan biaya konstruksi.

D. Metode recycling juga mereduksi penggunaan material baru sehingga laju kerusakan lingkun-gan dapat dikurangi.

Poin-poin diatas merupakan representasi dari ke-butuhan yang ada, sedangkan karakteristik dan keunggulan dari material CTRB dan Chip Seal send-iri adalah sebagai berikut:

4.3.3. Cement Treated Recycling Base (CTRB)

Pondasi yang baik merupakan bagian penting dari suatu struktur, tidak terkecuali dengan perkerasan jalan. Lapis pondasi (base) menyediakan ketebalan (thickness) dan kekakuan (stiffness) yang diperlu-kan untuk memikul beban lalu lintas yang melewat-inya.

CTRB adalah lapis pondasi jalan yang diperoleh dari proses daur ulang perkerasan lama yang distabil-isasi semen dengan atau tanpa penambahan agre-gat baru. CTRB memberikan nilai struktur dan nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan lapis pondasi granular karena memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap pengaruh drainase dan daya dukung tanah dasar yang buruk. Keuntungan dari penggunaan material CTRB adalah sebagai berikut:

A. Stabilisasi menggunakan semen akan menin-gkatkan kekuatan dan kekakuan material lapis pondasi. Pondasi yang lebih kaku akan mengu-rangi lendutan yang terjadi akibat beban lalu lin-tas, sehingga menghasilkan tegangan yang lebih rendah di permukaan atasnya. Hal ini akan mem-perlambat terjadinya kerusakan permukaan sep-erti fatigue cracking dan memperpanjang umur perkerasan.

B. Dukungan yang kuat dan seragam diberikan oleh lapis pondasi CTRB sehingga mengurangi tegan-gan permukaan yang diterima oleh lapisan tanah dasar atau subgrade. Dengan ketebalan yang lebih tipis, lapis pondasi CTRB memiliki kemam-

Gambar 5. Mekanisme penyaluran beban dan reduksi tegangan permukaan pada tanah dasar akibat perbedaan jenis material pondasi jalan.

Sumber: www.cement.org

puan lebih baik dalam mereduksi tegangan yang di terima oleh tanah dasar dibandingkan lapis pondasi granular dengan ketebalan lebih tinggi. Sehingga kegagalan subgrade, lubang dan keti-dak rataan jalan berkurang.

C. Intrusi air akibat drainase lingkungan yang buruk merupakan musuh utama dari lapis pondasi ja-lan. Perkerasan yang di stabilisasi dengan semen membentuk struktur yang lebih kedap, mence-gah intrusi air kedalam struktur perkerasan se-hingga kekuatan dan kekakuan struktur tetap terjaga bahkan pada kondisi jenuh air sekalipun.

D. Lapis CTRB dapat mengurangi kemungkinan ter-jadinya pumping dan intermixing subgrade fines.

Gambar 5 memperlihatkan bagaimana perlakuan lapis pondasi jalan dalam menyalurkan tegangan pada permukaan tanah dasar/subgrade.

4.3.4. Chip Seal

Chip seal adalah pemberian satu lapisan aspal yang diikuti dengan pemberian satu lapisan chiping (Gam-bar 6). Pemberian aspal dan chiping ini dapat di-lakukan berkali-kali dengan teknik dan ukuran chip yang sesuai dengan tipe chip seal yang diinginkan. Tujuan dari chip seal adalah untuk memberikan suatu lapisan penutup (seal) pada lapisan pondasi (base) dan untuk memberikan lapisan yang durable dengan tahanan gelincir yang memadai

Untuk chip yang memiliki daya lekat (adhesi) yang rendah ataupun untuk memperpanjang umur chip seal, precoating pada chip yang digunakan perlu dilakukan untuk meningkatkan adhesinya. Precoat-ing juga berguna untuk menghindari permasalahan yang berkaitan dengan debu ataupun kelembaban. Precoating dapat dilakukan dengan menggunakan

Gambar 6. Ilustrasi dari pengertian Chip seal

Page 84: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 80

aspal cair ataupun aspal emulsi yang mengandung adhesion agent 0,5 – 1 % terhadap kandungan bi-tumen. Beberapa bahan tambah yang umumnya di-gunakan sebagai adhesion agent antara lain adalah amine, diamine, megamine ataupun lelamine (An-war et al, 2008).

Pada umumnya semua jenis aspal dapat digunak-an untuk pekerjaan chip seal, akan tetapi untuk mendapatkan sifat adhesi yang baik antara aspal dengan agregat dan mengurangi kepekaan terha-dap temperatur sebaiknya aspal yang digunakan adalah aspal polimer yang memiliki sifat adhesivi-tas dan titik lembek tinggi (diatas rata-rata tem-peratur perkerasan). Kedua sifat tersebut sangat menentukan tingkat keberhasilan chip seal dalam melayani beban lalu lintas. Dengan menggunak-an aspal polimer yang memiliki daya adhesi yang tinggi, maka kemungkinan terjadinya pelepasan bu-tiran chip (ravelling)dapat diminimalisir. Temperatur rata-rata perkerasan di daerah Pantura Jawa yang tinggi mengakibatkan adanya kebutuhan terha-dap aspal yang memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap perubahan temperatur dan memiliki titik lembek (softening point) tinggi untuk menghindari terjadinya kerusakan fatigue, dan deformasi struk-tur (alur, bleeding, flushing). Pada lapisan chip seal angka titik lembek yang diperlukan untuk meng-hindari terjadinya deformasi harus lebih tinggi jika dibandingkan dengan titik lembek pada aspal yang digunakan pada hot mix, mengingat pada lapisan

chip seal tidak digunakan material filler dan butiran halus yang dapat meningkatkan stabilitas struktur dan mencegah keluarnya aspal (bleeding, flushing)dari campuran seperti pada lapisan hot mix.

Keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan lapis chip seal pada permukaan jalan adalah sebagai berikut:

A. Mengembalikan/menambah kekesatan (skid re-sistance) dan memberikan sifat kedap air pada permukaan jalan, baik untuk jalan baru atau per-mukaan jalan lama dengan kondisi struktur yang relatif masih baik.

B. Dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, untuk kegiatan preservasi gangguan lalu lintas akibat adanya pekerjaan perbaikan dapat

diminimalisir.

C. Memberikan karakteristik tekstur dan kekesatan permukaan yang baik.

D. Dapat memberikan profil longitudinal dan kenya-manan berkendara yang baik.

E. Mengurangi jumlah penggunaan material agregat dan aspal bila dibandingkan dengan lapis hot mix dan perkerasan berpori (porous)sehingga biaya yang dikeluarkan untuk panjang jalan yang sama dapat dikurangi.

F. Dapat digunakan pada permukaan lapis pondasi (base) untuk jalan baru, dan overlay pada per-kerasan lama baik perkerasan beton atau per-kerasan lentur.

4.3.5. Analisis Perencanaan Lapis Perkerasan

Dari penjelasan singkat mengenai lapis pondasi CTRB dan lapis permukaan chip seal, untuk jalan dengan volume lalu lintas rendah dan memiliki kondisi eksisting lapis perkerasan yang buruk pili-han rehabilitasi dengan kedua material tersebut dapat menjadi suatu pilihan yang tepat. Selain dili-hat dari segi teknis, biaya pelaksanaan dan penggu-naan material juga harus dilihat sebagai salah satu faktor penting dalam mendesain suatu struktur lapis perkerasan.

Dari Tabel 2 kita dapat membandingkan secara umum biaya yang digunakan untuk memperbaiki Jalan Inspeksi Tarum Timur dari kedua opsi yang ada. Dengan membandingkan biaya dari kedua opsi struktur perkerasan tersebut kita dapat memilih opsi mana yang lebih efisien dari segi pembiayaan untuk dilaksanakan.

Rasio perbandingan antara peningkatan kapasitas struktur dan biaya yang dikeluarkan untuk berbagai jenis pondasi jalan dapat kita lihat pada tabel 2 beri-kut ini

Dari tabel tersebut dapat kita hitung selisih biaya pondasi antara kedua opsi perbaikan yang di jelas-kan dalam gambar 4 untuk mengetahui seberapa besar efisiensi biaya yang bisa kita dapat.

Tabel 2. Rasio umur pelayanan dan biaya bahan Catatan : nilai SN dan Biaya pada tabel diatas dihitung dengan tebal pondasi sebesar 20 cm.

Page 85: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 81

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

A. Jika perkerasan dilaksanakan dengan opsi per-tama dimana lapis pondasi menggunakan LP A dan LP B, maka peningkatan kapasitas struktur pondasi dan biaya yang dikeluarkan adalah :

Kapasitas Struktur (SN) LP A

Kapasitas Struktur (SN) LP B

Rasio Biaya : LP A

LP B

Total biaya untuk pekerjaan pondasi LP A dan LP B adalah 1, 75.

B. Jika Perkerasan dilaksanakan dengan Opsi ked-ua dimana lapis pondasi menggunakan lapisan CTRB, maka peningkatan kapasitas struktur pon-dasi dan biaya yang dikeluarkan adalah :

Kapasitas struktur (SN) CTRB

Rasio Biaya : CTRB

Total biaya pondasi CTRB adalah 1,86

Gambaran mengenai perbandingan biaya untuk pe-kerjaan chip seal dan hot mix dapat kita lihat dari persentase pengunaan material aspal dan agregat pada kedua tipe lapis permukaan dalam uraian dan Gambar 7.

A. Penggunaan aspalDengan asumsi kadar aspal 6 % untuk lapisan wearing course, maka untuk memproduksi 1 ton hot mix kita akan membutuhkan aspal seban-yak 60kg. Dengan asumsi berat jenis campuran sebesar 2.4 ton/m3, maka untuk mendapatkan 5 cm lapis beraspal kita memerlukan minimal 6 kg/m2 (5.8 liter/m2). Sedangkan jika kita meng-gunakan single layer chip seal dengan asumsi penggunaan aspal sebesar 1,5 liter/m2 , maka biaya aspal yang dapat di hemat sekitar 4,5 kg/m2 hampir 3(tiga) kali kebutuhan aspal untuk Chip Seal. Perbandingan wearing course dan chip seal dapat dilihat pada Gambar 7.

B. Penggunaan agregatJika asumsi kadar aspal pada campuran hot mix adalah sebesar 6 %, maka jumlah agregat yang dibutuhkan untuk 1 ton campuran adalah seban-yak 940 kg. jika ketebalan hamparan hot mix adalah 5 cm berarti setiap 1 ton hot mix dapat dihampar menjadi 8,3 m2 di lapangan. Dari ni-lai tersebut jumlah agregat yang digunakan per meter persegi adalah sebesar 113,3 kg/ m2. Jika

kita bandingkan dengan penggunaan single layer chip seal dengan ukuran chip agregat 9 mm den-gan volume pemakaian agregat sekitar 18 kg/m2, sehingga dapat kita hitung ada penghematan agregat sekitar 95 kg/m2 hampir lima kali kebu-tuhan agregat untuk Chip Seal.

Dari perhitungan desain, nilai struktur yang dihi-tung untuk mengakomodasi beban lalu lintas dan memperhatikan kapasitas daya dukung tanah dasar adalah sebesar 5,1, sehingga dengan menggunakan lapis pondasi CTRB struktur jalan tersebut tidak lagi memerlukan lapis permukaan yang memberikan tambahan nilai struktur terhadap lapis perkerasan di bawahnya. Sedangkan jika menggunakan lapis pondasi granular (LP A dan LP B) masih diperlukan tambahan nilai struktur (SN) dari lapis permukaan sebesar 0,4.

Dengan memberikan lapisan hot mix diatas lapis pondasi granular nilai struktur jalan tersebut akan meningkat, tetapi jumlah biaya yang dikeluarkan akan tidak sebanding dengan nilai struktur yang dibutuhkan. Jika kita melihat pada rasio biaya kon-struksi pondasi CTRB, nilainya memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai biaya konstruksi LP A dan LP B, tetapi nilai tersebut dikompensasi dengan rasio peningkatan kapasitas struktur/nilai struk-turnya sehingga biaya yang dibutuhkan untuk lapis permukaan dapat dikurangi dengan jumlah yang cukup signifikan yaitu untuk aspal dapat di hemat sekitar 4,5 kg/m2 hampir tiga kali kebutuhan aspal dan agregat sekitar 95 kg/m2 hampir 5(lima) kali kebutuhan agregat.

4.3.6. Desain rencana campuran material per-kerasan

Setelah jenis struktur perkerasan yang akan dik-erjakan ditetapkan, tahap pekerjaan selanjutnya adalah mempersiapkan desain rencana campuran untuk material struktur perkerasan baik untuk lapis pondasi maupun lapis permukaan.

Desain rencana campuran CTRB dilakukan di labo-ratorium BBPJN IV untuk mendapatkan kadar se-men minimum, kadar air optimum dan nilai berat isi kering pada kadar air optimum campuranyang memenuhi nilai UCS minimal 30 kg/cm2. Resume desain rencana campuran ditampilkan dalam Tabel 3.

Gambar 7. Perbandingan wearing course dengan Chip seal

Page 86: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 82

Sedangkan untuk lapisan chip seal dengan mem-perhatikan volume lalu lintas dan temperatur per-kerasan yang berkisar pada 60 °C, maka pekerjaan single layer chip seal yang dilaksanakan adalah tipe ALD 9 mm (Average least dimention), dengan peng-gunaan agregat sebesar 18 kg/m2 dan aspal polimer E-65 sebesar 1.5 lt/m2. Precoating chip agregat den-gan aspal emulsi dilakukan sebelum digunakan pada lapis chip seal untuk meningkatkan adhesi antara aspal dan chip agregat. Sedangkan untuk menin-gkatkan bonding antara permukaan CTRB dan chip

seal, pada permukaan CTRB di berikan lapis prime coat dengan aspal emulsi. Data properties material chip agregat dan aspal polimer E-65 yang digunak-an untuk Jalan Inspeksi Tarum Timur ditampilkan dalam Tabel 4 dan Tabel 5.

Material yang digunakan untuk pekerjaan perbaikan Jalan Inspeksi Tarum Timur telah melalui uji labo-ratorium dan dinyatakan memenuhi spesifikasi dan layak untuk digunakan.

Tabel 4. Resume hasil pengujian properties agregat ex. Crusher PT. Kadi Internasional

Tabel 5. Resume hasil pengujian properties aspal polimer E-65

Tabel 3. Resume desain rencana campuran CTRB Jalan Inspeksi Tarum Timur

Page 87: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 83

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

4.4. Pelaksanaan Pekerjaan Perbaikan Jalan Inspeksi Tarum Timur

Pelaksanaan pekerjaan perbaikan Jalan Inspeksi Tarum Timur mulai direalisasikan pada tanggal 20 April 2010 yang diawali dengan pekerjaan CTRB pada km. 4+370.

4.4.1. Pelaksanaan Pekerjaan CTRB

Pelaksanaan pekerjaan lapis pondasi CTRB dilak-sanakan dengan metoda pencampuran dilapangan dengan kadar semen minimum 3,8 % dan kadar air optimum 10,4 %. Adapun tahapan-tahapan pelak-sanaan pekerjaan CTRB adalah sebagai berikut:

A. Penyiapan permukaan jalan, termasuk pembersi-han dan pengalihan arus lalulintas.

B. Penggemburan perkerasan lama dengan alat WR 2500s sesuai dengan kedalaman 30 cm sesuai rencana (Gambar 8).

C. Pemadatan kembali ke elevasi awal jalan.

D. Ukur kadar air RAM kemudian hamparkan semen (PC) pada permukaan jalan sesuai dengan kadar semen minimum pada formula campuran ren-cana (Gambar 9).

E. Lakukan pencampuran RAP dan RAM dengan semen dan air menggunakan alat WR 2500s, penambahan air sesuai dengan kadar air opti-mum rencana dengan memperhatikan kadar air awal RAP dan RAM (Gambar 10).

F. Padatkan campuran CTRB dengan Sheep Foot Roller untuk pemadatan lapisan bawah dan Vibro Roller untuk lapis permukaan (Gambar 11 dan Gambar 12)

G. Bentuk kemiringan dan elevasi muka jalan den-gan menggunakan motor grader sesuai desain rencana (Gambar 13).

Gambar 8. Penggemburan perkerasan lama

Gambar 9. Penghamparan semen

Gambar 10. Pencampuran RAM, semen dan air

Gambar 11. Pemadatan dengan Sheep foot roller

Gambar 12. Pemadatan dengan Vibro roller

Gambar 13. Pembentukan kemiringan dan elevasi muka jalan

Page 88: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 84

H. Pemadatan akhir lapisan CTRB dengan menggu-nakan penggilas roda karet (Gambar 14).

I. Lakukan Curing untuk menghindari terjadinya retakan yang diakibatkan dari proses hidrasi se-men (Gambar 15).

4.4.2. Pelaksanaan Pekerjaan Chip seal

Pelaksanaan pekerjaan single layer chip seal dilak-sanakan dengan menggunakan alat Synchronous Chip Sealer/Binder-Chip Spreader (Gambar 16) yang mengintegrasikan aspal sprayer dengan agre-gat/chip spreader. Keunggulan metode pelaksa-naan dengan menggunakan metode ini adalah wak-tu antara penyemprotan aspal kepermukaan jalan dengan penaburan agregat/chiping hampir bersa-maan sehingga suhu aspal masih dalam kondisi pa-nas ketika ditaburi agregat, akibatnya lekatan aspal dengan agregat akan menjadi lebih kuat.

Untuk tahapan pelaksanaan pekerjaan chip seal, lproses pengerjaannya adalah sebagai berikut:

A. Penyiapan permukaan jalan, termasuk pembersi-han dan pengalihan arus lalulintas.

B. Lakukan precoating terhadap agregat/chip untuk meningkatkan adhesivitas antara aspal dan chip agregat, pada pekerjaan ini precoating dilaku-kan dengan menggunakan aspal emulsi terhadap chip agregat dengan ukuran maksimal 9 mm.

C. Semprotkan aspal emulsi sebagai lapisan prime coat pada permukaan lapisan CTRB (Gambar 17) sebelum pekerjaan chip seal dilaksanakan untuk memberikan lekatan/bonding yang kuat antara chip seal dengan lapisan CTRB.

D. Setelah pekerjaan prime coat selesai, maka pe-kerjaan chip seal siap untuk dikerjakan. Aspal polimer E-65 dan chip agregat dengan uku-ran maksimum 9 mm yang sudah di precoating dimuat ke atas tangki dan bin pada synchronous chip sealer (Gambar 18).

E. Lakukan kalibrasi alat (Gambar 19) untuk men-getahui besar bukaan chip spreader dan aspal sprayer serta kecepatan laju kendaraan yang sesuai dengan rencana pekerjaan chip seal

Gambar 16. Syncronous Chip Sealer/Binder – Chip Spreader

Gambar 17. Pelaksanaan Pekerjaan Prime Coat

Gambar 18. Proses loading chip agregat ke-dalam bin Syncronous chip sealer

Gambar 14. Pemadatan akhir dengan alat penggilas roda karet

Gambar 15. Curing dengan menggunakan water tank

Page 89: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 85

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

Gambar 19. Proses kalibrasi alat

Gambar 20. Pelaksanaan Pekerjaan Chip Seal dengan alat Syncronous chip sealer.

Gambar 21. Pemadatan dengan Peng-gilas Roda Karet

(agregat 18 kg/m2, aspal 1.5 lt/m2)

F. Setelah proses kalibrasi alat selesai, pekerjaan chip seal siap dilaksanakan dengan kecepatan alat 10 km/jam (Gambar 20).

G. Setelah aspal dan agregat dihamparkan, laku-kan pemadatan dengan menggunakan penggilas roda karet (Gambar 21).

4.4.3. Pengendalian Kualitas Pekerjaan

Tingkat keberhasilan pekerjaan perbaikan Jalan In-speksi Tarum Timur Sangat ditentukan oleh pros-es pengendalian kualitas pekerjaan selama proses konstruksi jalan berlangsung. Untuk mendapatkan kualitas yang baik, maka pengawasan dan pengu-jian yang ketat dilakukan pada setiap tahapan pe-kerjaan, seperti pengujian kuat tekan/UCS dan sand cone untuk pekerjaan CTRB dan proses kalibrasi alat pada pelaksanaan pekerjaan chip seal. Hasil pen-gujian UCS dan sand cone CTRB dapat dilihat dalam Tabel 6 dan Tabel 7.

Dari kedua tabel diatas, hasil pekerjaan CTRB untuk pekerjaan Jalan Inspeksi Tarum Timur (Gambar 22)dapat dinyatakan baik dan layak digunakan sebagi lapis pondasi jalan.

Tabel 6. Resume hasil pengujian UCS

Tabel 7. Resume hasil pengujian sand cone

Page 90: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 86

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

A. Dari hasil Survay Lapangan Kondisi jalan Eksist-ing dalam keadaan rusak berat, tipe kerusakan yang terjadi merupakan kombinasi dari berbagai macam kerusakan seperti retak buaya, jalan ber-lubang, pelepasan butir agregat dan kegagalan pada lapis pondasi.

B. Daya dukung tanah (CBR) hasil DCP antara 2,53 - 9,47 % rerata 4,75 % kurang dari spesifikasi minimum CBR untuk tanah dasar sebesar 6%.

C. Hasil perhitungan desain untuk 10 (sepuluh) ta-hun membutuhkan Struktur Number (SN) 5,1 terhadap perkerasan eksisting yang ada.

D. Perbandingan pilihan konstruksi yang akan digu-nakan pada pelaksanaan adalah sebagai berikut:

1. Opsi 1 menggunakan podasi dengan Kontrusi LPA tebal 15 cm dan LPB tebal 20 cm dengan Struktur Number (SN) = 4,7 sementara ke-butuhan SN adalah 5,1 sehingga masih diper-lukan lapisan Surface menggunakan Wearing Course tebal 5 cm Struktur Number(SN) = 0,28 x 5 = 1,4 jumlah keseluruhan SN = 6,1

2. Opsi 2 menggunakan CTRB Struktur Number (SN) = 5,1 kebutuhan SN terpenuhi dan tidak perlu lagi tambahan, tetapi sebagai surface treatmen perlu di lapis dengan Chip Seal.

3. Dari dua opsi tersebut opsi 2 dengan pondasi CTRB dan Surface Chip Seal masih mampu untuk mendukung Struktur Number (SN) 5,1

E. Pilihan Desain Struktur pekerasan dari ke dua opsi ditinjau dari Rasio umur pelayanan dan bi-aya bahan lapis pondasi adalah sebagai berikut:

1. Opsi 1 pondasi LPA dan LPB = 1,75 dan Opsi 2 pondasi CTRB = 1,86 berarti lebih mahal opsi 2 tetapi apabila di bandingkan dengan surface

nya untuk aspal butuh 3(tiga) kali kebutuhan untuk Chip Seal dan untuk Agregatnya butuh 5(lima) kali kebutuhan agregat untuk Chip Seal.

2. Dari hasi perhitungan harga jauh lebih men-guntungkan menggunakan Opsi 2 walaupun pada pondasi sedikit lebih mahal tetapi dari SN lebih tinggi

5.2. Saran

Pilihan konstruksi untuk mengatasi kondisi lingkun-gan sekitar yaitu dengan sungai dan kondisi ta-nah dasar dibawah batas spesifikasi, pilihan opsi 2 menggunakan pondasi CTRB dan Surface Chip Seal merupakan pilihan yang tepat, ditinjau dari kebutu-han SN masih mampu untuk mendukung lalulintas dan dari biaya pelaksanaan ternyata lebih murah

DAFTAR PUSTAKA

Depertemen Pekerjaan Umum, (2007), Spesifikasi Umum – Seksi 6.2, Laburan Aspal Satu Lapis (Burtu) dan Laburan Aspal Dua Lapis (Burda), Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia.

Depertemen Pekerjaan Umum, (1995), Tata Cara Pelaksanaan Laburan Aspal Satu Lapis (Burtu) untuk Perkerasan Jalan, SNI 03-3979-1995, Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia.

Depertemen Pekerjaan Umum, (1995), Tata Cara Pelaksanaan Laburan Aspal Dua Lapis (Burda) untuk Perkerasan Jalan, SNI 03-3980-1995, Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia.

Depertemen Pekerjaan Umum, (2002), Spesifikasi Bahan Laburan Aspal Satu Lapis (Burtu) dan Laburan Aspal Dua Lapis (Burda), SNI 03-6750-1995 Depertemen Pekerjaan Umum, Indonesia.

Depertemen Pekerjaan Umum, (1983), Petunjuk Pelaksanaan Laburan Aspal Satu Lapis (Bur-tu), No.08/PT/B/1983, Depertemen Peker-jaan Umum, Indonesia.

Depertemen Pekerjaan Umum, (1983), Petunjuk Pelaksanaan Laburan Aspal Dua Lapis (Bur-da), No.14/PT/B/1983, Depertemen Peker-jaan Umum, Indonesia.

Direktorat Bina Marga, (2007), Spesifikasi Khusus “Cement Treated Recycling Base dan SubBase (CTRB & CTSB) dicampur di tempat (Mix In Place)

http://www.cement.org/pavements/pv_fdr_start.asp, Cement Treated Base (CTB) (2010)

Wirtgen, 2004, “Wirtgen Cold Recycling Manual”, 2th Edition, Germany.

Gambar 22. JalanInspeksi Tarum Timur den-gan lapis pondasi CTRB dan Bitumen surface

treatment dengan single layer chip seal.

Page 91: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 87

Vol. 2 No. 02 Desember 2016Lampiran

MENJAWAB TANTANGAN JALAN TOL 1000 KM

Herry Trisaputra Zuna

Kepala Badan Pengatur Jalan TolBadan Pengatur Jalan Tol,

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan [email protected]

Abstract

Interconnected and integrated infrastructure system is a necessity to ensure better mobility and accessibili-ty among people and goods. Toll Road Strategic Planning is conducted to increase connectivity in supporting competitiveness through development of more than 1000 km new toll roads and improvement of toll road user satisfaction by providing reliable service. To fulfill the plan, toll road development policies are directed by conducting 4 (four) main actions which are focusing in Public Private Partnership (PPP), namely: new PPP scheme; procedure simplification; government supportsare guaranteed; and land acquisition acceleration. This basic direction in toll road policy could improve more conducive investment climate to support accelera-tion in toll road development and providing better toll road service.

Keywords: infrastructure, toll road, PPP, toll road service

Abstrak

Infrastruktur yang terkoneksi dan terintegrasi dapat memastikan kelancaran pergerakan manusia dan ba-rang. Hal ini berdampak langsung pada efisiensi, peningkatan daya saing dan kelancaran kegiatan sosial-ekonomi. Rencana strategis jalan tol dilaksakanakan dalam rangka meningkatkan dukungan konektivitas bagi penguatan daya saing melalui pembangunan lebih dari 1000 km jalan tol baru dan meningkatkan kepuasan pengguna jalan tol yang dipenuhi dengan pelayanan jalan tol yang handal. Untuk mencapai tu-juan tersebut, arah kebijakan pengembangan jalan tol dilaksanakan melalui 4 (empat) kegiatan utama den-gan menitikberatkan pada pola Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), yaitu mencari skema KPBU baru, penyederhanaan prosedur, penambahan dukungan pemerintah, dan percepatan pengadaan lahan. Arahan dasar kebijakan sektor jalan tol tersebut dapat menciptakan iklim investasi yang lebih kon-dusif yang mendukung program percepatan pembangunan jalan tol dan menyediakan pelayanan jalan tol yang lebih baik.

Kata Kunci: infrastruktur, jalan tol, KPBU, pelayanan jalan tol

Page 92: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 88

Lampiran

ANALISIS KEGAGALAN KONSTRUKSI PADA BANGUNAN GEDUNG DIPROVINSI JAWA BARAT

Rina Rusdiani1

Sarwono Hardjomuljadi2

Mahasiswa Magister Manajemen Proyek Konstruksi1 Dosen Sekolah Pascasarjana2

1,2Universitas ParahyanganEmail : [email protected], [email protected]

Abstract

The failure of construction may negatively impact on the quality of building construction, especially for the service user/owner as owner. This study aims to determine the dominant factors causing the failure of ef-forts to reduce the construction and construction failure. Using multivariant analysis and factors with the help of the program Statistical Package for Social Science (SPSS) version 22.0 for Windows. From the re-sults of calculation of Relative Importance Index (RII) obtained the main factors causing the failure of con-struction, namely: aspects of service providers/ contractors (Related Skills/Training Training and sloppiness of Labor as well as the use of materials under Standart), aspects of planning consultants (Design & Speci-fications Not Available Standart technical & Rules) and the General Conditions aspect is Legal. Measures to reduce construction failure, namely: Need held a training and certification of construction of buildings to increase the ability and skills of the workforce in construction building of buildings should be to increase the competence of work in the construction world to improve the quality of Human Resources (HR) in the field of construction owned company, which will also be improve the quality of the construction company, to achieve quality objectives, the project design planning must be detailed to facilitate implemantion of con-struction. Completion of the Act and the Regulations on Construction Failure needs to be done immediately. Review the design needs to be done by the service providers / contractors to facilitate the implementation of construction contractors and Routine Monitoring should be done Engineer / Consultant supervisor so that the quality and the quality of building construction as expected.

Keywords: Failure Construction, Dominant Factor, Relative Importance Index (RII)

Abstrak

Terjadinya kegagalan konstruksi dapat memberikan dampak buruk pada kualitas bangunan konstruksi, terutama bagi pengguna jasa/ owner sebagai pemilik. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor dominan penyebab kegagalan konstruksi dan usaha mengurangi kegagalan konstruksi,menggunakan anali-sis Multivariant dan faktor dengan bantuan program Statistical Package for Social Science (SPSS) for Win-dows version 22.0. Dari hasil Perhitungan Relative Importance Index (RII) diperoleh faktor utama penyebab terjadinya kegagalan konstruksi yaitu: aspek penyedia jasa/ kontraktor (terkait Keterampilan/Pelatihan dan Kecerobohan Tenaga Kerja serta penggunaan Material di bawah Standart), aspek konsultan perencana (Desain & Spesifikasi Tidak Sesuai Standart Teknis & Peraturan) dan aspek Ketentuan Umum adalah Ma-salah Hukum. Tindakan-tindakan untuk mengurangi kegagalan konstruksi yaitu : Perlu di adakan pelatihan dan sertifikasi tenaga konstruksi gedung untuk menambah kemampuan dan keterampilan tenaga kerja di bidang konstruksi banguan gedung Perlu peningkatan kompetensi kerja dalam dunia konstruksi untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang konstruksi yang dimiliki perusahaan, yang juga akan meningkatkan kualitas perusahaan jasa konstruksi, Untuk mencapai sasaran mutu proyek maka perencanaan desain harus mendetail untuk memudahkan dalam pelaksanaan konstruksi. Penyempurnaan Undang-undang dan Peraturan tentang Kegagalan Konstruksi perlu dilakukan segera. Review desain perlu dilakukan oleh penyedia jasa/ kontraktor untuk memudahkan kontraktor dalam pelaksanaan konstruksi dan Pengawasan Rutin harus dilakukan Engineer/Konsultan pengawas agar mutu dan kualitas bangunan konstruksi sesuai dengan yang diharapkan.

Kata Kunci: Kegagalan Konstruksi, Faktor Dominan, Relative Importance Index (RII)

Page 93: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 89

Vol. 2 No. 02 Desember 2016Lampiran

IDENTIFIKASI KEBOCORAN PIPA PDAM KOTA MALANG DENGAN METODE STEP TEST

Zahra Aulia Syahidah1 Suprapti Bintari2

Penata Penyehatan Lingkungan1

Penelaah Penyehatan Lingkungan Permukiman2

1,2Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan [email protected], [email protected]

Abstract

PDAM Malang who has successfully served of clean water needs until 80.4 %, still face the potential loss that caused by water losses. Total water losses of PDAM Malang in 2013 are 26.92 %. One of the problem is because of pipeline leak. It is necessary to test the pipeline for identification of leak location, so that PDAM Malang can perform curative action appropriately. Pipeline leak testing conduct at District Meter Area (DMA) Wendit, on Malang City aims to identify the point of leakage and determine action for further improvement. In addition, this study aims to assess the magnitude of the losses of PDAM Malang due to water losses. The method is performed by step test method which are directly applicable on the field at night. Then the result and financial analysis are analyzed with qualitative and quantitative method. The result of step test indicate that pipeline on Amandit street are in the classes of high leak, with the value of dQ/dSR 0,1011. Priority handling of the leak will be started from this area. The usage of step test method has been assist PDAM Malang to decreasing the precentage of water losses of 3 % per month, so that it could be increasing the revenue until Rp. 1.033.000,00 per month. When the handling of water losses not taken immediately, the estimated of loss is about Rp. 32.441.472,00 per month or Rp 413.297.664,00 per year.

Keywords : step test, pipeline leakage, district meter area (DMA), PDAM Malang

Abstrak

PDAM Kota Malang yang telah berhasil melayani kebutuhan air bersih sebesar 80.4%, masih menghadapi potensi kerugian akibat kehilangan air. Total kehilangan air yang dialami PDAM Kota Malang tahun 2013 adalah sebesar 26.92%. Salah satu penyebab kehilangan air ini adalah kebocoran pipa. Perlu dilakukan uji identifikasi lokasi kebocoran pipa, sehingga PDAM Kota Malang dapat melakukan tindakan kuratif secara tepat. Pengujian kebocoran pipa yang dilakukan di District Meter Area (DMA) Wendit Kota Malang bertu-juan untuk mengidentifikasi titik kebocoran air dan menentukan langkah perbaikan selanjutnya. Selain itu, penelitian ini bertujuan menaksir besarnya kerugian yang dialami PDAM Kota Malang akibat kehilangan air. Metode yang dilakukan menggunakan metode step test secara langsung di lapangan pada malam hari. Setelah itu dilakukan analisis hasil dan analisis keuangan secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil uji step test menunjukkan pipa yang berada di Jl. Amandit berada dalam klasifikasi kelas bocor yang tinggi, dengan nilai dQ/dSR sebesar 0,1011. Prioritas penanganan kebocoran akan dimulai dari area ini. Penggunaan metode step test telah membantu PDAM Kota Malang menurunkan presentase kehilangan air sebesar 3% per bu-lannya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1.033.000,00 per bulan. Jika penanganan kebocoran air tidak segera dilakukan, maka estimasi kerugian mencapai Rp 32.441.472,00 per bulan atau Rp 413.297.664,00 per tahun.

Kata kunci : step test, kebocoran pipa, district meter area (DMA), PDAM Kota Malang

Page 94: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 90

Lampiran

PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KETERJANGKAUAN DAYA BELI

MASYARAKAT MENGGUNAKAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM) Studi Kasus : PDAM Kota Bukittinggi, Sumatera Barat

Ricky Fernandez1

Suprihanto Notodarmojo2

Mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan1

Dosen Jurusan Teknik Lingkungan2 1,2Institut Teknologi Bandung

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

This study aims to provide recommendation alternatives of drinking water supply system in Bukittinggi city West Sumatera based on the selection of the best system and financial feasibility by the affordability of community purchasing ability consideration. Results of the CVM method shows that the value of ability to pay (ATP) is Rp. 3.732 /m3 and value of Willingness To Pay (WTP) is Rp. 7.442 /m3. The result of analysis show that system 4 has the best financial feasibility by the affordability of community purchasing ability consideration. This system use Sutijo Waters spring with capacity 300 liters/second and established in two phase: phase I (2016-2024) with capacity 100 liters/second and phase II (2024-2035) with capacity 200 liters/second. This system need total investment in phase I is Rp. 39.529.387.287 and phase II is Rp. 39.529.387.287. Investment of this system will be funded through “penyertaan modal pemerintah” pro-gram, 100% raw water unit will be funded by APBN through Directorate General of Water Resources, 70% of production unit will be funded by APBN through Directorate General of Human Settlements and 30% will be funded by APBD of Bukittinggi city, 30% of distribution network will be funded by APBD of Bukittinggi city and 70% will be funded by Bank loan. With water sales rate is Rp. 3.700/m3, this financing scheme is financial feasible with NPV Rp. 55.580.153.601, BCR 1,25 and BEP in 7 years with production cost Rp. 2.432/m3. This result of sensitivity analysis shows that this system is still feasible with risk of 10% increase in operating and capital cost, also 10% decrease in revenue.

Keyword : drinking water system development, affordability of community purchasing ability, CVM, finan-cial feasibility.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sebuah alternatif sistem pengembangan air minum di Kota Bukit-tinggi Sumatera Barat yang layak secara finansial dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat untuk air minum. Hasil penelitian keterjangkauan daya beli masyarakat untuk air minum dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) menunjukan bahwa nilai yang mampu dibayar oleh masyarakat (Ability To Pay/ATP) adalah sebesar Rp. 3.732/m3 sementara nilai yang mau dibayar masyarakat dengan adanya peningkatan pelayanan (Willingness To Pay) adalah sebesar Rp. 7.442/m3. Berdasarkan nilai keterjangkau-an daya beli masyarakat tersebut maka sistem 4 merupakan sistem terpilih karena memiliki kelayakan fi-nansial yang terbaik dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sistem 4 merupakan sistem pengembangan air minum dengan menggunakan mata air Sutijo sebagai sumber air baku dengan kapasitas 300 L/detik. Pembangunan akan dilaksanakan melalui dua tahap, tahap I pada tahun 2016-2024 sebesar 100 L/detik dan tahap II pada tahun 2024-2035 sebesar 200 L/detik. Sistem ini membutuhkan biaya investasi pada tahap I sebesar Rp. 39.529.387.287 dan tahap II sebesar Rp. 64.821.997.789. Kebutuhan investasi akan didanai melalui penyertaan modal pemerintah dimana unit air baku 100% dibiayai oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, unit produksi 70% dibiayai oleh Direkrtorat Jenderal Cipta Karya dan 30% melalui pinja-man Bank sementara unit distribusi 30% dibiayai oleh APBD Kota Bukittinggi dan 70% melalui pinjaman Bank. Dengan penggunaan tarif dasar air minum sebesar Rp. 3.700/m3 maka skema pembiayaan ini layak secara finansial dengan nilai NPV, BCR dan BEP secara berurutan sebesar Rp. 55.580.153.601, 1,25 dan 7 tahun serta Harga Pokok Produksi sebesar Rp. 2.432/m3. Analisa sensitivitas menunjukan bahwa sistem ini masih layak untuk dilaksanakan dengan adanya resiko kenaikan biaya operasional, kenaikan biaya in-vestasi, dan penurunan pendapatan air masing-masing sebesar 10%.

Kata kunci : Pengembangan sistem penyediaan air minum, keterjangkauan daya beli masyarakat, Con-tingent Valuation Method (CVM), kelayakan finansial

Page 95: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 91

Vol. 2 No. 02 Desember 2016Lampiran

UPAYA TEKNIS PERBAIKAN DEFISIENSI KESELAMATAN AKIBAT KETIDAKTEPATAN GEOMETRIK JALAN DAN PENYALAHGUNAAN RUANG BAGIAN JALAN (Studi Kasus: Ruas Jalan Nasional Yogyakarta – Sedayu

– Klangon – Sentolo – Milir – Wates)

Tisara Sita1

M. Fathoni Jalaluddin2

Mahasiswa Magister Sistem dan Teknik Transportasi1Perancang Teknik Pembangunan Jalan dan Jembatan2

1Universitas Gajah Mada2Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DI Yogyakarta

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

The national highway Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates is one of the roads in Yogya-karta with a relatively high accident rate. This statement indicates that this road has deficiency of infrastruc-ture or road safety deficiency. Therefore, it is necessary to identify road geometric problems and abusement of road space utilization, thus technical recommendations can be obtained to achieve the principles of for-giving road, self-explaining road, self-regulating road, and self-enforcing road. Technical recommendations to improve road safety deficiencies obtained through field observation by dividing roads into four segments and then examine the problems of: (1) the geometric conditions; (2) the condition of the pavement; (3) harmonization of signs and markings; and (4) abusement of road space utilization. The results showed that the improvement of road safety deficiencies in the accident-prone locations prioritized to: (1) the widening of the road; (2) improvement of transverse slope; (3) maintenance of pavement; (4) the construction of the road divider; (5) remarking; (6) paved road shoulder; (7) the harmonization of signs and signals; and (8) controlling the use of road space utilization, road space asset, and road space supervision.

Keywords: road safety deficiencies, road improvement, forgiving road

Abstrak

Ruas Jalan Nasional Yogyakarta – Sedayu – Klangon – Sentolo – Milir – Wates merupakan salah satu ruas jalan di Yogyakarta dengan angka kecelakaan yang relatif tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada ruas jalan tersebut terdapat defisiensi keselamatan berkendaraan, oleh karena itu diperlukan identifikasi permasalahan geometrik jalan dan penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ruang bagian jalan, sehingga didapatkan rekomendasi teknik untuk mencapai prinsip jalan berkeselamatan (forgiving road), self-explain-ing road, self-regulating road, dan self-enforcing road. Rekomendasi teknik untuk memperbaiki defisiensi keselamatan berkendaraan didapatkan melalui peninjauan lapangan dengan membagi ruas jalan tersebut menjadi empat segmen dan kemudian mencermati permasalahan: (1) kondisi geometrik jalan; (2) kondisi perkerasan jalan; (3) harmonisasi rambu dan marka; dan (4) penyalahgunaan terhadap pemanfaatan ru-ang bagian jalan. Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa penanganan defisiensi keselamatan berkendaraan di lokasi rawan kecelakaan diprioritaskan pada: (1) pelebaran jalan; (2) perbaikan kemirin-gan melintang; (3) pemeliharaan perkerasan jalan; (4) penambahan median jalan; (5) pemarkaan ulang; (6) perkerasan bahu jalan; (7) harmonisasi rambu dan sinyal; dan (8) penertiban pemanfaatan ruang man-faat jalan (rumaja), ruang milik jalan (rumija), dan ruang pengawasan jalan (ruwasja).

Kata Kunci: defisiensi keselamatan berkendaraan, perbaikan jalan, jalan berkeselamatan

Page 96: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 92

Lampiran

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI

PEMBANGUNAN BENDUNG

Aceng Maulana

Mahasiswa Magister Teknik SipilUniversitas Katolik Parahyangan,Email: [email protected]

Abstract

The construction project is a series of activities carried out only one time and short term nature. Implemen-tation of the project faced with the problems such Contract Change Order which will result in amendments to the contract. This study is a policy study or applied studies whose purpose is to find or formulate solutions to problems related to the Contract Change Order (CCO) of the Cost variant (different budgets) and Time variant (the time difference). The data used is the dam construction contract document data X. Based on an analysis of all amendments and Influence diagrams of all the factors that influence each other in the end boils down to three variables, namely: Changes in the value of the contract, the contract completion time change, change contract administration, change contract administration is the outcome of all the changes in the contract and the factors that cause changes in the contract. Amendment of the most common is the change in value of the contract caused by escalation (price adjustments) four times, additional work is less based on calculations MC twice, and design changes once. Technically all of the greatest influence and im-pact on changes in the value of the contract is the design changes that result in the addition of a contract value of 25.11% of the value of the initial contract, followed by escalation of 5.64% and a result of calcula-tion by 3.91% MC. But the greatest influence and impact on the contractual completion timeline changes are extreme weather conditions, removal of quarry locations and additional scope of work that resulted in the addition time for 21.92% of the initial contract period, whereas only design changes resulted in an addition of 10.96% of time contract initially.

Keywords: project construction, amendment, price adjustments, changes in time, completion of contract

Abstrak

Proyek konstruksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka pendek. Pelaksanaan proyek dihadapkan pada permasalahan diantaranya Contract Change Or-der yang akan menghasilkan amandemen kontrak. Penelitian ini merupakan studi kebijakan ataupun studi terapan yang tujuannya adalah untuk mengetahui atau merumuskan solusi terhadap permasalahan terkait Contract Change Order (CCO) terhadap Cost variant (perbedaan anggaran)dan Time variant (perbedaan waktu). Data yang digunakan adalah data dokumen kontrak pembangunan bendung X. Berdasarkan analisis dari semua amandemen dan Influence diagram dari semua faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain pada akhirnya bermuara kepada tiga variable yaitu : Perubahan nilai kontrak, Perubahan waktu penyelesa-ian kontrak, Perubahan administrasi kontrak, perubahan administrasi kontrak merupakan muara dari semua perubahan dalam kontrak dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kontrak. Amande-men yang paling sering terjadi adalah perubahan nilai kontrak yang disebabkan oleh eskalasi (penyesuaian harga) sebanyak empat kali, pekerjaan tambah kurang berdasarkan perhitungan MC sebanyak dua kali, dan perubahan desain sebanyak satu kali. Secara teknis kesemuanya itu yang paling besar pengaruh dan dam-paknya terhadap perubahan nilai kontrak adalah perubahan desain yang mengakibatkan penambahan nilai kontrak sebesar 25,11% dari nilai kontrak awal, disusul eskalasi sebesar 5,64% dan akibat perhitungan MC sebesar 3,91%. Namun yang paling besar pengaruh dan dampaknya terhadap perubahan waktu penyelesa-ian kontrak adalah kondisi cuaca ekstrem, pemindahan lokasi quarry dan penambahan lingkup kerja yang mengakibatkan penambahan waktu sebesar 21,92% dari waktu kontrak awal, sedangkan perubahan desain hanya mengakibatkan penambahan sebesar 10,96% dari waktu kontrak awalnya.

Kata kunci : proyek konstruksi, amandemen, penyesuaian harga, perubahan waktu, penyelesaian kontrak

Page 97: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 93

Vol. 2 No. 02 Desember 2016Lampiran

PENERAPAN TELEMETRI BERBASIS WEBSITE PADA PEMANTAUAN DEFORMASI PERMUKAAN BENDUNGAN SERMO

Ajat Sudrajat

Teknik Pengaian Ahli MadyaBalai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak,

Direktorat Jenderal Sumber Daya AirEmail: [email protected]

Abstract

Corresponding decision of the Director General of Water Resources / Dam Safety Commission Chairman, Since the dam exploited examinations performed on the results of periodic checks on the deformation that occurs in the foundation rocks, cliffs pedestal, and the body of the dam. The accuracy of data regarding this should be checked every year, in order to anticipate the prevention of the occurrence of disasters caused by deformation due to the movement of dam horizontally or vertically because of a movement of the dam as earthquakes, avalanches, leakage, etc. can be done through monitoring the deformation of the surface of the dam Sermo with telemetry-based website.

Keyword: deformation monitoring, dam

Abstrak

Sesuai Keputusan Direktur Jenderal Sumber Daya Air/ Ketua Komisi Keamanan Bedungan, Sejak bendungan dieksploitasikan dilakukan pemeriksaan pada hasil pemeriksaan berkala mengenai deformasi yang terjadi pada batuan fondasi, tebing tumpuan, dan tubuh bendungan. Ketelitian data mengenai ini harus diperiksa setiap tahun, agar dapat diantisipasi pencegahan dari terjadinya bencana akibat terjadinya deformasi akibat pergerakan bendungan secara horizontal maupun vertikal yang disebabkan terjadinya pergerakan Bendungan seperti Gempa bumi, longsoran, kebocoran, dan sebagainya, dapat dilakukan melalui pemantauan deformasi permukaan bendungan sermo dengan telemetri berbasis website.

Kata Kunci: pemantauan deformasi, Bendungan

Page 98: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 94

Lampiran

KAJIAN STRATEGI PERCEPATAN PENGHUNIAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) BERDASARKAN SISTEM

PENGADAAN DAN PENGHUNIAN

Dahlan Prayogo Midian1 Iwan Kustiwan2

Mahasiswa Magister Studi Pembangunan1

Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan2

Institut Teknologi Bandung12

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

Building of low-cost housing (Rusunawa) Ujungberung completed in 2012, was populated by 22 occupancy (8 %) of the total capasity of 267 residential. The purpose of this study is to describe the study of the causes of the building of low-cost housing (Rusunawa) late inhabited by planning/procurement system in the building of low-cost housing (Rusunawa), rsidential selection system, the factors that influence residents to inhabit the building of low-cost housing (Rusunawa), described the acceleration strategies residential building of low-cost housing (Rusunawa) based procurement system and residential.Methods of research using quantitative analysis with the help of SPSS (Statistical Program for Sosial Science ) with descriptive statistical analysis of crosstabs. Data was collected by using a questionnaire distributed at building of low-cost housing (Rusunawa) Ujungberung dwellers and as a comparison, also distributed a questionnaire on building of low-cost housing (Rusunawa) Leuwigajah dwellers, with the number of questionnaires of 50 respondents.From the analysis, which is problematic in residential phase can be caused by a previous phase. This phase is the phase of budget planning. Budget building of low-cost housing (Rusunawa) are located in the central government and eventually assets Budget building of low-cost housing (Rusunawa) will be handed over from the center to the regions. This is an obstacle, because the handover of assets building of low-cost housing (Rusunawa) from central to local needs and process a long time.

Keywords: building of low-cost housing (rusunawa), procurement system building of low-cost housing (Rusunawa), residential, factors affecting the occupants to inhabit building of low-cost housing (Rusunawa).

Abstrak

Rusunawa Ujungberung selesai dibangun tahun 2012, mulai dihuni sebanyak 22 hunian (8 %) dari total kapasitas 267 hunian. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kajian penyebab terlambat dihuni berdasarkan perencanaan/sistem pengadaan Rusunawa, sistem seleksi penghunian, faktor-faktor yang mempengaruhi penghuni untuk menghuni Rusunawa, dan strategi percepatan penghunian Rusunawa berdasarkan sistem pengadaan dan penghunian.Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan bantuan software statistik SPSS (Statistical Program for Sosial Science) dengan analisis statistik deskriptif tabulasi silang (crosstabs). Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dibagikan pada penghuni Rusunawa Ujungberung dan sebagai pembanding, dibagikan juga kueisoner pada penghuni Rusunawa Leuwigajah, dengan jumlah kuesioner sebanyak 50 responden. Dari analisis yang dilakukan, fase yang bermasalah di atau pada penghunian bisa diakibatkan oleh fase sebelumnya. Fase ini adalah fase perencanaan anggaran. Anggaran Rusunawa berada di Pemerintah Pusat dan nantinya aset Rusunawa ini akan diserahterimakan dari pusat ke daerah. Hal ini menjadi kendala, karena serah terima aset Rusunawa dari pusat ke daerah perlu proses dan waktu yang lama.

Kata Kunci: Rusunawa, Sistem Pengadaan Rusunawa, Penghunian, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penghuni untuk Menghuni Rusunawa

Page 99: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 95

Vol. 2 No. 02 Desember 2016Lampiran

ASPEK DESAIN PEMECAH GELOMBANG DAN DERMAGA TERAPUNG DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM MODULAR

Irham Adrie Hakiki1

I Putu Samskerta2

Penelaah Standar dan Pedoman1

Kepala Seksi Layanan2

Balai Penelitian dan Pengembangan Pantai, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat1,2

Email: [email protected], [email protected]

Abstract

Floating breakwater and floating dock are kind of structures that will be constructed with floating modular system. Floating structures are still a new field for Ministry of Public Works and People Housing, so there are many important factors that still not known. Therefore a guide needed for supporting the Ministry. For starter, the guide need to cover about design criteria of floating structures, especially for breakwater and dock. The guide made by doing literature study and adopting from international standard. Criteria for breakwater consist of material usage, dimension determination, and performance of floating breakwater. Criteria for floating dock consist of dimension of target ships, component needed, and dock dimension determination. Also mooring system needed for station keeping and one of the most important component.

Keyword: criteria of floating breakwater, criteria of floating dock, modular floating system, mooring system

Abstrak

Pemecah gelombang terapung dan dermaga terapung merupakan bagian dari struktur yang akan dibuat dengan menggunakan sistem modular wahana terapung. Struktur terapung masih merupakan hal baru bagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sehingga belum banyak yang mengetahui faktor-faktor yang diperlukan dalam merencakan struktur terapung. Maka diperlukan sebuah pedoman yang sudah disesuaikan bagi kebutuhan Kementerian PUPR. Pada tahap awal, pedoman yang diperlukan adalah pedoman mengenai kriteria struktur terapung, terutama bagi pemecah gelombang dan dermaga. Penyusunan pedoman dengan melakukan kajian literatur dan mengadopsi kriteria-kriteria yang telah lazim digunakan di dunia internasional. Kriteria bagi pemecah gelombang terapung antara lain berkaitan dengan penggunaan material, penentuan dimensi, dan performa dari pemecah gelombang terapung. Kriteria bagi dermaga apung antara lain penentuan target kapal, komponen-komponen yang diperlukan, serta penentuan dimensi. Sistem mooring diperlukan untuk menjaga posisi dari struktur terapung ini dan merupakan salah satu komponen terpenting.

Kata Kunci: kriteria pemecah gelombang terapung, kriteria dermaga terapung, sistem modular wahana apung, sistem mooring

Page 100: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 96

Lampiran

REKONTRUKSI JALAN INSPEKSI TARUM TIMUR DENGAN LAPIS PONDASI CTRB DAN CHIP SEAL

Syaeful Anwar

Teknik Jalan dan Jembatan Ahli MadyaBalai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI,

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan RakyatEmail: [email protected]

Abstract

The road is a land transport infrastructure that is essential in economic relations and facilitate the activities of other social activities. Changes in the area around Jalan Inspection East Tarum of agriculture into the industrial area causes a change in the function of the road that had road inspection into the access road to the industrial area. Changes in the functions that had low traffic increased to medium traffic, so the strength and function of the road should be adjusted to the development, where the existing road is no longer able to serve existing traffic. It is necessary for the proper handling and efficient costs, see the existing condition that tingga road base irregularly should be no innovations to material existing reuse recycle with construc-tion CTRB (Cement Treated Recycling Base) so that the strength of the foundation structure increases can serve traffic conditions is required. So that the condition CTRB stay protected from the weather and traffic by overburden Chip Seal is the provision of a single layer of asphalt followed by administration of a single layer of Chiping (stone of a certain size, from price comparison between construction purposes foundation class A and Hotmix in terms of lower cost CTRB + chip Seal.

Keyword: recycling, CTRB, chip seal.

Abstrak

Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang sangat penting dalam memperlancar kegiatan hubungan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya. Perubahan kawasan di sekitar Jalan Inspeksi Tarum Timur dari perta-nian menjadi daerah industri menyebabkan perubahan pada fungsi jalan yang tadinya jalan inspeksi men-jadi jalan akses menuju daerah industri. Perubahan fungsi jalan yang tadinya lalu lintas rendah meningkat menjadi lalu lintas sedang, sehingga kekuatan maupun fungsi dari jalan tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan, dimana jalan eksisting sudah tidak mampu lagi melayani lalu lintas yang ada. Untuk itu perlu penanganan yang tepat dan efisien dari biaya, melihat kondisi eksisting yang tingga pondasi jalan yang tidak beraturan perlu ada inovasi agar material eksisting dapat digunakan kembali dengan mendaur ulang yaitu dengan konstruksi CTRB (Cement Treated Recycling Base) sehingga kekuatan struktur pondasi meningkat dapat melayani kondisi lalu lintas yang diperlukan. Agar kondisi CTRB tetap terlindungi dari cu-aca dan lalu lintas diberi lapisan penutup Chip Seal yaitu pemberian satu lapisan aspal yang diikuti dengan pemberian satu lapisan Chiping (batu dengan ukuran tertentu, dari perbandingan harga antara konstuksi pondasi klas A dan Hotmix ditinjau dari biaya lebih murah CTRB + Chip Seal.

Kata Kunci: Recycling, CTRB, Chip Seal.

Page 101: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 97

Vol. 2 No. 02 Desember 2016Lampiran

PEDOMAN PENULISAN JURNAL INFRASTRUKTUR

JUDUL ARTIKEL

(HURUF KAPITAL, Verdana, 12 pt, bold, centered, tidak lebih dari 12 kata)(satu baris spasi kosong, 12 point font)

Penulis Pertama1), Penulis Kedua2), dst (Verdana, 10 pt, bold, centered, dengan gelar)

(satu baris spasi kosong, 10 point font)

1Institusi (Verdana, 10 pt)2Institusi (Verdana, 10 pt)

E-mail: [email protected] (Verdana, 10 pt)(satu baris spasi kosong, 10 point font)

Abstract (Verdana, 9 pt, bold, at most 200 words)

(satu baris spasi kosong, 9 point font)

Abstract should be written in English. The abstract is written with Verdana size 9, and single spacing. The abstract should summarize the content of the paper, including problems, the aim of the research, research method, and the results, and the conclusions of the paper. It should not contain any references or displayed equations. The abstract should be no more than 200 words.

(satu baris spasi kosong, 9 point font)Keywords: up to 5 keywords in English (Verdana, 9 pt, italics)

(dua baris spasi kosong, 9 point font)

Abstrak (Verdana, 9 pt, bold)

(satu baris spasi kosong, 9 point font)

Abstrak dalam Bahasa Indonesia. Ditulis dengan font Verdana size 9 dan single spacing. Abstrak harus merangkum isi makalah, termasuk permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian, dan hasil, dan kesimpulan dari makalah. Abstrak tidak mengandung referensi dan/atau persamaan.Tidak boleh lebih dari 200 kata.

(satu baris spasi kosong, Verdana, 9 point font)

Kata Kunci: terdiri dari 5 kata kunci (Verdana, 9 pt, italics)(dua baris spasi kosong, Verdana, 9 point font)

1. PENDAHULUAN

Template ini digunakan sebagai pedoman penulisan Jurnal Infrastruktur di Pusdiklat Manajemen dan Pengembangan Jabatan Fungsional Badan Pengembangan Sumbar Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Artikel harus memuat Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode penelitian, Hasil dan Pembahasan, Simpulan, serta Daftar Pustaka. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia menggunakan jenis huruf Verdana, font size 9, spasi 1.5, rata kiri kanan, margin kiri – kanan – atas – bawah masing-masing 3 cm, menggunakan kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm). Panjang naskah 8 – 12 halaman, termasuk gambar dan tabel. Bagian pendahuluan meliputi: latar belakang, rumusan masalah atau pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian. Penulisan bagian-bagian dari pendahuluan ini tanpa menggunakan subbab/subjudul. Sumber referensi berasal dari sumber-sumber primer (jurnal) terbitan 5 tahun terakhir. Sumber acuan yang dicantumkan di awal kalimat ditulis menggunakan sistem Nama (tahun), sedangkan bila dicantumkan di akhir kalimat menggunakan sistem (Nama, tahun). Kutipan langsung lebih dari 3 baris, ditulis menggunakan spasi 1, indentasi kiri-kanan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka berisi tentang teori-teori yang berkaitan dengan topik/ masalah yang dibahas (dapat berupa definisi), yang digunakan untuk menjawab masalah yang dibahas. Tinjauan Pustaka tidak sekedar berisi kutipan dari berbagai sumber, tetapi harus ditarik benang merahnya sehingga penulis mempunyai kesimpulan sendiri. Dalam Tinjauan Pustaka, dapat disertakan hipotesis yaitu jawaban sementara atas masalah yang dibahas (jika diperlukan).

3. METODE PENELITIAN

Metode Penelitian setidak-tidaknya menguraikan pendekatan yang digunakan dalam penelitian, populasi dan sampel penelitian, menjelaskan definisi operasional variabel beserta alat pengukuran data atau cara mengumpulkan data, dan metode analisis data.

Apabila alat pengukuran data menggunakan kuesioner, maka perlu dicantumkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Cara penyajian pada bagian ini dapat dilakukan: 1) pembahasan terpisah dari hasil atau 2) pembahasan menyatu dengan penyajian hasil. Hasil yang dimaksud adalah rangkuman hasil-hasil analisis data, bukan hasil penelitian dalam bentuk data mentah. Hasil analisis data dari software pengolah data statistik, disajikan dengan mengetik ulang dalam tabel yang disesuaikan dengan kebutuhan, bukan dengan cara meng-copy output hasil analisis. Contoh penyajian data dalam bentuk tabel seperti Tabel 1. (Lampiran tidak diperbolehkan ada dalam jurnal ini. Jika ada lampiran, mohon disertakan ke dalam Hasil dan Pembahasan)

Page 102: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

Vol. 2 No. 02 Desember 2016

JURNAL INFRASTRUKTUR1 - 98

Lampiran

Tabel 1. Pengungkapan Tanggungjawab Sosial Perusahaan

Sumber: Data sekunder yang diolah, Tahun 2015

Contoh penyajian data dalam bentuk gambar, grafik dan sejenisnya seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil Uji Structural Equation Model (SEM) Sumber: Data primer yang diolah, 2015

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan merupakan ringkasan atas temuan penelitian dan implikasinya. Saran diberikan untuk pengembangan dan penelitian lanjutan.

Saran dibuat berdasarkan kelemahan, pengalaman, kesulitan, kesalahan, temuan baru yang belum pernah dibahas dan berbagai kemungkinan arah pembahasan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka merupakan bagian akhir dari makalah, ditulis dalam urutan alfabetis mengikuti APA Style (http://www.apastyle.org/). Susunannya memuat: nama penulis, tahun publikasi, judul paper atau textbook, nama jurnal atau penerbit, dan halaman. Berikut ini beberapa contoh cara penulisan daftar pustaka menurut APA Style.

Daftar Pustaka : Berdasarkan Jumlah Penulis

Jika ada 2 (dua) Orang Penulis.Wegener, D. T., & Petty, R. E. (1994). Mood management across affective states: The hedonic contingency

hypothesis. Journal of Personality & Social Psychology, 66, 1034-1048.

Jika ada 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) Orang Penulis.Kernis, M. H., Cornell, D. P., Sun, C. R., Berry, A., Harlow, T., & Bach, J. S. (1993). There’s more to self-esteem

than whether it is high or low: The importance of stability of self-esteem. Journal of Personality and Social Psychology, 65, 1190-1204.

Jika ada lebih dari 7 (tujuh) Orang Penulis.Miller, F. H., Choi, M. J., Angeli, L. L., Harland, A. A., Stamos, J. A., Thomas, S. T., . . . Rubin, L. H. (2009). Web

site usability for the blind and low-vision user. Technical Communication 57, 323-335.

Jika Organisasi sebagai Penulis.American Psychological Association. (2003).

Jika Penulis tidak diketahui.Merriam-Webster’s collegiate dictionary (10th ed.).(1993). Springfield, MA: Merriam-Webster.

Jika ada 2 (dua) atau lebih Buku/Jurnal dengan Penulis yang sama.Berndt, T. J. (1981).Berndt, T. J. (1999).Berndt, T. J. (1999). Friends’ influence on students’ adjustment to school. Educational Psychologist, 34, 15-28.Berndt, T. J., & Keefe, K. (1995). Friends’ influence on adolescents’ adjustment to school. Child Development,

66, 1312-1329.Wegener, D. T., Kerr, N. L., Fleming, M. A., & Petty, R. E. (2000). Flexible corrections of juror judgments:

Implications for jury instructions. Psychology, Public Policy, & Law, 6, 629-654.Wegener, D. T., Petty, R. E., & Klein, D. J. (1994). Effects of mood on high elaboration attitude change: The

mediating role of likelihood judgments. European Journal of Social Psychology, 24, 25-43.

Page 103: p-ISSN 2527-497X e-ISSN 2580-4448 JURNAL INFRASTRUKTURbpsdm.pu.go.id/jurnal/wp-content/uploads/2017/07/3.-Isi-Edisi-3... · JURNAL PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL

JURNAL INFRASTRUKTUR 1 - 99

Vol. 2 No. 02 Desember 2016Lampiran

Jika ada 2 (dua) atau lebih Buku/Jurnal dengan Penulis yang sama di tahun yang sama.Berndt, T. J. (1981a). Age changes and changes over time in prosocial intentions and behavior between

friends. Developmental Psychology, 17, 408-416.Berndt, T. J. (1981b). Effects of friendship on prosocial intentions and behavior. Child Development, 52, 636-

643.

Jika pustaka diambil dari Pendahuluan, Kata Pengantar, Dan Penutup.Funk, R., & Kolln, M. (1998). Introduction. In E.W. Ludlow (Ed.), Understanding English Grammar (pp. 1-2).

Needham, MA: Allyn and Bacon.Daftar Pustaka : Artikel dalam Periodik

Artikel dalam Jurnal berdasarkan Volume.Harlow, H. F. (1983). Fundamentals for preparing psychology journal articles. Journal of Comparative and

Physiological Psychology, 55, 893-896.

Artikel dalam Jurnal berdasarkan Terbitan.Scruton, R. (1996). The eclipse of listening. The New Criterion, 15(30), 5-13.

Artikel dalam Majalah.Henry, W. A. (1990, April 9). Making the grade in today’s schools. Time, 135, 28-31.

Artikel dalam Koran.Schultz, S. (2005, December 28). Calls made to strengthen state energy policies. The Country Today, pp. 1A,

2A.

ReviewBaumeister, R. F. (1993). Exposing the self-knowledge myth [Review of the book The self-knower: A hero

under control ]. Contemporary Psychology, 38, 466-467.Daftar Pustaka : Sumber-Sumber lain

Ensiklopedia.Bergmann, P. G. (1993). Relativity. In The new encyclopedia britannica (Vol. 26, pp. 501-508). Chicago:

Encyclopedia Britannica.

Abstrak dalam Disertasi.Yoshida, Y. (2001). Essays in urban transportation (Doctoral dissertation, Boston College, 2001). Dissertation

Abstracts International, 62, 7741A.

Dokumen Pemerintahan.National Institute of Mental Health. (1990). Clinical training in serious mental illness (DHHS Publication No.

ADM 90-1679). Washington, DC: U.S. Government Printing Office.

Prosiding Seminar.Schnase, J. L., & Cunnius, E. L. (Eds.). (1995). Proceedings from CSCL ‘95: The First International Conference

on Computer Support for Collaborative Learning. Mahwah, NJ: Erlbaum.Daftar Pustaka : Sumber Non-Cetak lain

Interview, Email, dan Komunikasi Personal.(E. Junaedi, Interview, 4 January 4, 2008).A. Herman mengklarifikasi terkait kesalahan dalam pembangunan Jalan Tol di Gresik (Interview, 10

Desember, 2008).