musik kontemporer

27
Latar belakang Dalam proses perjalanan seni musik, sejarah menguak beberapa perkembangan yang dialami oleh seni musik itu sendiri. “Dimulai dari musik Renaissance (1350-1600), musik Barok (1600-1750) dan kemudian pada 1750-1820 berganti menjadi musik klasik” (Purwidodo, 1983: 12). Setelah itu masih banyak lagi jenis musik yang berubah mengikuti perkembangan zaman pada waktu itu. Perkembangan ini, menunjukkan keberadaan musik sebagai satu kesatuan yang ikut berkembang seiring jaman. Sekitar zaman Renaissance, abad ke-15 ke atas, muncul satu fenomena, yakni pemahaman “karya musik otonom” yang kemudian disebut “karya seni”. Sejak itulah pengertian seni musik Barat sepenuhnya menuju ke karya seni otonom. Dari perkembangan ini, akhirnya muncullah “musik kontemporer” (Neue Musik). Sejajar dengan perkembangan ini pada abad ke-20 muncul sesuatu yang sangat baru lagi, yaitu musik populer. Musik populer ini tidak dapat disamakan dengan musik rakyat, seperti misalnya dalam tradisi etnik-etnik di Indonesia.

Upload: riskifitrinopina

Post on 10-Nov-2015

684 views

Category:

Documents


79 download

DESCRIPTION

Music kontemporer

TRANSCRIPT

Latar belakangDalam proses perjalanan seni musik, sejarah menguak beberapa perkembangan yang dialami oleh seni musik itu sendiri. Dimulai dari musik Renaissance (1350-1600), musik Barok (1600-1750) dan kemudian pada 1750-1820 berganti menjadi musik klasik (Purwidodo, 1983: 12). Setelah itu masih banyak lagi jenis musik yang berubah mengikuti perkembangan zaman pada waktu itu. Perkembangan ini, menunjukkan keberadaan musik sebagai satu kesatuan yang ikut berkembang seiring jaman.

Sekitar zaman Renaissance, abad ke-15 ke atas, muncul satu fenomena, yakni pemahaman karya musik otonom yang kemudian disebut karya seni. Sejak itulah pengertian seni musik Barat sepenuhnya menuju ke karya seni otonom. Dari perkembangan ini, akhirnya muncullah musik kontemporer (Neue Musik). Sejajar dengan perkembangan ini pada abad ke-20 muncul sesuatu yang sangat baru lagi, yaitu musik populer. Musik populer ini tidak dapat disamakan dengan musik rakyat, seperti misalnya dalam tradisi etnik-etnik di Indonesia.

Sementara dalam proses perdebatan tentang seni yang aktual di Indonesia, seni musik paling sering dipermasalahkan. Untuk pemahaman permasalahan seni musik kontemporer, kita harus menyinggung situasi tersebut terlebih dahulu, fenomena perbedaan persepsi antara jenis-jenis seni kontemporer tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di Barat sendiri sering terdapat hal yang sama. Persepsi dan pendapat yang terjadi didasarkan oleh kesalahpahaman yang fatal. Kenyataan ini harus kita maklumi, siapapun bisa memilih yang diinginkan. Ini dapat memperkuat bahwa perkembangan musik kontemporer di Indonesia jangan dianggap sebagai Penjajahan baru melainkan sebagai sebuah tawaran pemikiran lain.

Adapun proses perselisihan atau dialog antarbudaya merupakan kenyataan yang sekaligus global dan alami. Segala perbedaan pendapat yang muncul dari para pengamat seni ini dapat menimbulkan kesalahpahaman. Hal inilah yang menjadi masalah pokok dan menghambat perkembangan musik kontemporer di Indonesia. Namun dalam hal ini, berbagai hambatan yang amat mendalam tersebut mampu diatasi, apabila hanya ada satu pandangan yang tegas dan bisa menghasilkan berbagai daya tarik yang efektif.

Sering terjadi kerancuan antara pengertian seni kontemporer dan seni modern, bahkan rancu pula dengan seni abstrak. Seni modern dianggap sebagai seni yang baru atau yang baru lahir sehingga tidak terlepas kaitannya dengan masa kini. Karya-karya modern dianggap sebagai karya yang abstrak dimana perkembangannya tumbuh dari gagasan para seniman. Dengan demikian seni kontemporer mencakup seni modern. Namun cakupan pengertian kontemporer lebih luas daripada pengertian modern.

Perkembangan Musik Kontemporer di IndonesiaDi Indonesia, perkembangan musik kontemporer baru mulai dirasakan sejak diselenggarakannya acara Pekan Komponis Muda tahun 1979 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Melalui acara itu komunikasi para seniman antar daerah dengan berbagai macam latar belakang budaya lebih terjalin. Forum diskusi serta dialog antar seniman dalam acara tersebut saling memberi kontribusi sehingga membuka paradigma kreatif musik menjadi lebih luas. Sampai hari ini para komponis yang pernah terlibat dalam acara itu menjadi sosok individual yang sangat memberi pengaruh kuat untuk para komponis musik kontemporer selanjutnya. Nama-nama seperti Rahayu Supanggah, Al Suwardi, Komang Astita, Harry Roesli, Nano Suratno, Sutanto, Ben Pasaribu, Trisutji Kamal, Tony Prabowo, Yusbar Jailani, Dody Satya Ekagustdiman, Nyoman Windha, Otto Sidharta dan masih banyak yang belum disebutkan, adalah para komponis kontemporer yang ciri-ciri karyanya sulit sekali dikategorikan secara konvensional. Karya-karya mereka selain memiliki keunikan tersendiri, juga cukup bervariasi sehingga dari waktu ke waktu konsep-konsep musik mereka bisa berubah-ubah tergantung pada semangat serta kapasitas masing-masing dalam mengembangkan kreatifitasnya. Pada puncaknya, karya-karya musik kontemporer tidak lagi menjelaskan ciri-ciri latar belakang tradisi budayanya walaupun sumber-sumber tradisi itu masih terasa lekat. Akan tetapi sikap serta pemikiran individual-lah yang paling penting, sebagai landasan dalam proses kreatifitas musik kontemporer. Sikap serta pemikiran itu tercermin seperti yang telah dikemukakan komponis kontemporer I wayan Sadra antara lain :Kini tak zamannya lagi membuat generalisasi bahwa aspirasi musikal masyarakat adalah satu, dengan kata lain ia bukan miliki kebudayaan yang disimpulkan secara umum, melainkan milik pribadi orang per orang (Sadra, 2003).

Mengamati perkembangan musik kontemporer di daerah sunda tampaknya agak lamban. Selain apresiasi masyarakat Sunda belum begitu memadai, para komponisnya yang relatif sangat sedikit, juga dukungan pemerintah setempat atau sponsor-sponsor lain untuk penyelenggaraan konser-konser musik kontemporer sangat kurang. Di Yogyakarta misalnya, secara konsisten selama belasan tahun mereka berhasil menyelenggarakan acara Yogyakarta Gamelan Festival tingkat Internasional yang didalamnya banyak sekali karya-karya musik kontemporer dipentaskan. Kota Solo pada tahun 2007 dan 2008 telah menyelenggarakan acara SIEM (Solo International Ethnic Music). Banyak karya-karya musik kontemporer dipentaskan dalam acara itu dengan jumlah penonton kurang lebih 50.000 orang. Festival World Music dengan nama acara Hitam Putih di Riau, Festival Gong Kebyar di Bali dan lain sebagainya. Acara-acara tersebut secara rutin dilakukan bukan sekedar ritual atau memiliki tujuan memecahkan rekor Muri apalagi mencari keuntungan, karena pementasan musik kontemporer seperti yang pernah dikatakan Harry Roesli merupakan seni yang merugi akan tetapi melaba dalam tata nilai.Sebenarnya banyak komponis kontemporer di daerah Sunda yang cukup potensial, akan tetapi sangat sedikit yang konsisten. Salah satu komponis pertama yang perlu disebut adalah Nano S. Meskipun aktifitasnya lebih cenderung sebagai pencipta lagu, akan tetapi beberapa karyanya seperti karya Sangkuriang atau Warna memberi nafas baru dalam pengembangan musik Sunda. Komponis lain seperti Suhendi Afrianto, Ismet Ruhimat sangat nyata upayanya dalam pengembangan instrumentasi pada gamelan Sunda. Dodong Kodir yang cukup konsisten dalam upaya mengembangkan aspek organologi dalam komposisinya, Ade Rudiana yang sukses dalam pengembangan dibidang komposisi musik perkusi, Lili Suparli yang memegang prinsip kuat dalam pengolahan idiom-idiom musik tradisi Sunda, serta tak kalah penting komponis-komponis seperti Dedy Satya Hadianda, Dody Satya Eka Gustdiman, Oya Yukarya, Dedy Hernawan, Ayo Sutarma yang karya-karyanya cukup variatif dan memiliki orsinalitas dilihat dari aspek kompositorisnya. (posisi penulis sebagai komponis juga memiliki ideologi yang kurang lebih sama dengan para komponis yang terakhir disebutkan).Dari beberapa komponis Sunda seperti yang telah disebutkan di atas, secara kompositoris karakteristik karyanya dapat dipetakan menjadi tiga kategori. Pertama adalah karya musik yang bersifat musik iringan. Konsep komposisi dalam karya seperti ini berdasar pada penciptaan suatu melodi (bentuk lagu/intrumental), kemudian elemen-elemen lainnya berfungsi mengiringi melodi tersebut. Kedua adalah karya musik yang bersifat illustratif. Konsep komposisinya berusaha menggambarkan sesuatu dari naskah cerita, puisi dan lain-lain. Dengan demikian orientasi musiknya lebih tertuju pada penciptaan suasana-suasana yang berdasar pada interpretasi komponisnya. Ketiga adalah karya musik yang bersifat otonom. Karya musik seperti ini biasanya sangat sulit dipahami oleh orang awam. Selain bentuknya yang tidak baku, aspek gramatika musiknya pun sangat berbeda jika dibandingkan dengan karya-karya tradisi. Kadang-kadang karya-karya musik seperti ini sering menimbulkan hal yang kontroversial. Seperti yang anti tradisi, padahal secara sadar atau tidak, semua tatanan konsepnya bersumber dari tradisi. Kategori yang seperti ini lebih dekat atau lebih cocok dengan fenomena musik kontemporer Barat (Eropa-Amerika).Di Bali, aktivitas berkesenian dengan ideologi kontemporer sesungguhnya telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dengan lahirnya seni kekebyaran di Bali Utara. Namun wacana tentang musik kontemporer mulai mengemuka serangkaian adanya Pekan Komponis Muda I yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1979. Komponis muda yang mewakili Bali pada waktu itu adalah I Nyoman Astita dengan karyanya yang berjudul Gema Eka Dasa Rudra. Pada tahun-tahun berikutnya Pekan Komponis Muda diikuti oleh komponis-komponis muda Bali lainnya seperti I Wayan Rai tahun 1982 dengan karyanya Trompong Beruk, I Nyoman Windha tahun 1983 dengan karyanya berjudul Sangkep, I Ketut Gede Asnawa tahun 1984 dengan karyanya berjudul Kosong, Ni Ketut Suryatini dan I Wayan Suweca tahun 1987 dengan karyanya berjudul Irama Hidup, I Nyoman Windha tahun 1988, dengan dua karyanya sekaligus yaitu Bali Age dan Sumpah Palapa.Kehadiran karya musik kontemporer ini mulai terasa mengguncang persepsi masyarakat akademik di ASTI dan STSI (kini ISI) Denpasar dan juga di KOKAR Bali (kini SMK 3 Sukawati), karena musik ini cendrung mengubah cara pandang, cita rasa, dan kriteria estetik yang sebelumnya telah dikurung oleh sesuatu yang terpola, ada standarisasi, seragam, global, dan bersifat sentral. Konsep musik kontemporer menjadi sangat personal (individual), sehingga perkembangannyapun beragam. Paham inilah yang ditawarkan oleh musik kontemporer, sehingga dalam karya-karya yang lahir banyak terjadi vokabuler teknik garapan dan aturan tradisi yang telah mapan ke dalam wujud yang baru, terkesan aneh, nakal, bahkan urakan.Pada tahun 1987 serangkain dengan tugas kelas mata kuliah Komposisi VI, mahasiswa jurusan karawitan ASTI Denpasar semester VIII untuk pertama kalinya menggarap sebuah musik kontemporer dengan judul Apang Sing Keto. Karya yang berbentuk drama musik ini menggunakan instrumen pokok Gamelan Gong Gede dipadu olahan vokal dan penggunaan lagu Goak Maling Taluh sebagai lagu pokok. Karya ini kemudian ditampilkan pada Pesta Kesenian Bali tahun 1987 dan mendapat sambutan meriah dari penonton. Pada tahun 1988 ketika Festival Seni Mahasiswa di Surakarta, saya sendiri selaku komponis mewakili STSI Denpasar menggarap karya musik kontemporer yang berjudul Belabar Agung dengan menggunakan gamelan Gong Gede. Dua karya terakhir ini sempat mendapat kecaman dari beberapa sesepuh karawitan, karena dianggap memperkosa dan melecehkan gamelan Gong Gede yang telah memiliki kaidah-kaidah konvensional yang mapan.Dua tahun kemudian, satu garapan musik kontemporer dengan media ungkap berbeda digarap kolaboratif oleh dua seniman I Wayan Dibia dan Keith Terry yaitu Body Tjak. Karya ini merupakan seni pertunjukan multikultural hasil kerja sama atau kolaborasi internasional yang memadukan unsur-unsur seni dan budaya Barat (Amerika) dan Timur (Bali-Indonesia). Body Tjak digarap dengan penggabungan unsur-unsur seni Kecak Bali dengan Body Music, sebuah jenis musik baru yang menggunakan tubuh manusia sebagai sumber bunyi. Garapan bernuansa seni budaya global ini, lahir dengan dua produksinya yaitu Body Tjak 1990 (BT90) dan Body Tjak 1999 (BT99) (Dibia, 2000:10). Kedua karya ini memang murni lahir dari keinginan seniman untuk mengekspresikan jiwanya yang telah tergugah oleh dinamisme seni kecak dan body music. Dengan berbekal pengalaman estetis masing-masing, dan diilhami oleh obsesi aktualitas kekinian, kedua seniman sepakat melakukan eksperimen dalam bentuk workshop-workshop sehingga lahirlah musik kontemporer Body Tjak.Kehidupan dan perkembangan musik kontemporer yang diawali event-event gelar seni baik dalam dan luar negeri akhirnya juga masuk ke ranah akademik. Mahasiswa jurusan karawitan ISI Denpasar telah banyak menggarap musik kontemporer sebagai materi ujian akhirnya. Hingga tahun 2009 penggarapan musik kontemporer masih mendominasi pilihan materi ujian akhir mahasiswa jurusan karawitan, hal ini menyebabkan secara produktivitas penciptaan musik kontemporer sangat banyak, model dan jenisnyapun sangat beragam. Penggunaan instrumen tidak hanya terpaku pada alat-alat musik tradisional Bali, juga digunakan instrumen musik budaya lainnya, bahkan mahasiswa sudah mengeksplorasi bunyi dari benda-benda apa saja yang dianggap bisa mengeluarkan suara yang mendukung ide garapannya.Musik kontemporer yang berjudul Gerausch karya Sang Nyoman Putra Arsa Wijaya adalah salah satu contoh eksplorasi radikal dalam musik kontemporer Bali. Karya ini sempat memunculkan polemik kecil di kalangan akademik kampus. Berkembang wacana apakah karya ini tergolong musik atau tidak, termasuk karya karawitan atau bukan?. Namun dengan pemahaman yang cukup alot dari masyarakat akademik kampus, akhirnya karya kontroversial inipun telah mengantarkan sang komposer memperoleh gelar S1 Komposisi Karawitan. \

Konteks Istilah KontemporerKontemporer merupakan bentuk seni yang baru. Kriteria kontemporer atau masa kini bukan semata-mata ditentukan oleh bentuk baru, tetapi terutama ditentukan oleh kreasi yag baru. Bentuk seni kontemporer dapat imitative, ekpresif, realistis, non realisits atau abstrak (Bastomi, 1992: 46). Seni kontemporer cenderung melepaskan diri dari keterikatan bentuk objek, seniman kontemporer berusaha menemukan ide dan kreasi baru yang lain sama sekali dari penemuan-penemuan sebelumnya.Sering terjadi kerancuan antara pengertian seni kontemporer dan seni modern, bahkan rancu pula dengan seni abstrak. Seni modern dianggap sebagai seni yang baru atau yang baru lahir sehingga tidak terlepas kaitannya dengan masa kini. Karya-karya modern dianggap sebagai karya yang abstrak dimana perkembangannya tumbuh dari gagasan para seniman. Dengan demikian seni kontemporer mencakup seni modern. Namun cakupan pengertian kontemporer lebih luas daripada pengertian modern.Kontemporer dianggap sebagai salah satu gaya tertentu, padahal kontemporer mesti diartikan sebagai suatu sikap menggarap di ujung perkembangan seni yang digeluti. Secara spesifik, musik kontemporer hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan perkembangan sejarah musik Barat di Eropa dan Amerika. Atau dengan kata lain, pengertian kata ini di Barat adalah sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan waktu. Itulah sebabnya, terutama bagi mereka yang awam, seni atau musik kontemporer banyak menimbulkan kesalahpahaman yang berlarut-larut.

Apabila kehadiran budaya baru ini hendak ditransmisikan ke Indonesia sebagai salah satu transformasi budaya modern kita, maka dasar-dasar pijak dan posisinya cepat atau lambat harus ditegaskan. Kalau tidak demikian adanya, maka fenomena budaya besar dunia itu hanya akan kita tangkap sebagai hobi dan klangenan, sebagaimana kita menangkap seni klasik, modern dan sebagainya hingga saat ini (Hardjana, 1992: 7).

Penegasan Suka Hardjana memang benar. Hanya kalau kita mengetahui konteks istilah kontemporerdi Barat sendiri, kita baru bisa memahami artinya. Bahkan hal ini berlaku untuk semua jenis musik lain yang dari Barat, termasuk proses sebaliknya, yaitu kalau unsur-unsur budaya Indonesia ditransfer kepada suatu jenis karya di Barat. Perlu diwaspadai proses perpaduan yang juga sudah cukup ngetrend di Barat, terutama dalam lingkungan yang disebut world music (musik campuran dengan unsur dari berbagai musik etnis), sedangkan hasil usaha-usaha itu rata-rata amat sederhana oleh karena salahpaham dan kedangkalan persepsi sendiri. Namun, selama konteks dan kepentingan perkembangan historis (yang amat dititikberatkan di Barat) tidak dipahami, estetika musik Barat dan fenomena musik Barat tidak bisa dipahami juga apalagi dengan aplikasinya. Maka langkah pertama di dunia masa kini adalah saling perkenalan ciri khas dan latar belakang perbedaan yang berada di dunia kita. Masalahnya, semua yang disebut kontemporer di Indonesia tidak selalu bisa dimuat di bawah payung kontemporer, baik secara historis maupun secara fenomenologis. Segala perbedaan pendapat yang muncul dan perkembangan musik itu sendiri menjadi pertanyaan medasar atas perkembangan musik di Indonesia. Namun, sejauh mana istilah kontemporer bisa diaplikasikan di Indonesia masih memerlukan pembahasan yang luas.

Pengaruh budaya Barat terhadap awal perkembangan MKIKalau kita berbicara tentang tradisi Barat, bagi seorang Barat apa yag dimaksud tradisi Barat akan membingungkan. Ternyata di Indonesia sendiri tradisi musik Barat selalu dihubungkan dengan musik tonal sederhana yang muncul sekitar pada abad ke-17. Walaupun sistem tonal sendiri memang amat berperan. Di Indonesia persepsi dan pemahaman akan tradisi Barat tertentu itu belum mencapai hasil yang memadai, terkecuali pencapaian beberapa orang saja. Demikianlah kalau kita analisis sebagian bentuk musik di Indonesia penggarapannya dengan gaya barat itu. Perkembangan seni musik yang terjadi khususnya di Indonesia tentunya mampu menjelaskan seberapa besar peranan sistem tonal itu sendiri.

Namun penggunaan istilah kontemporer di Indonesia, terutama cara yang ditawarkan Franki, mengarah kepada sesuatu yang bagi orang Barat sama sekali tidak berhubungan dengan aspek kontem-porer, melainkan dengan suatu saat atau masa dalam perkembangan musik Barat yang telah menyerbu Indonesia melalui jalur kolonialisme, dalam hal ini, yaitu peranan kolonialisme saya setuju dengan Franki (Mack, 2004: 12).

Sampai saat ini tidak ada suatu alasan pun, kenapa MKI dikaitkan secara mutlak dengan pengaruh musik tonal Barat. Penalaran semacam ini mengabaikan kenyataan bahwa dalam berbagai budaya musik Indonesia terdapat pembaharuan yang juga bisa dibandingkan dengan pengertian kontemporer di Barat. Akan tetapi selalu berhubungan dengan gramatika atau bahasa seni musik yang asli Indonesia, misalnya gaya Kebyar di Bali.Memang sulit untuk mengumpulkan data yang akurat mengenai pengaruh budaya Barat terhadap MKI. Karena musik itu sendiri dimulai dari barat sendiri. Namun, bukan berarti MKI yang terdapat di Indonesia sepenuhnya mendapat pengaruh dari budaya Barat. MKI masuk ke Indonesia memang mengikuti perkembangan dari gaya barat. Tetapi itu bukan argumentasi yang dapat menyatakan bahwa MKI keluar dari tradisi musik dalam negeri sendiri.

Pembangunan suatu bangsa yang mengabaikan kebudayaannya akan melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa itu sendiri. Pembangunan yang tidak berakal pada nilai fundamental budaya bangsanya, akan berakibat pada hilangnya kepribadian dan jati diri bangsa yang bersangkutan ( Sutrisno, 1993: 15).

Pendapat dari seorang pengamat seni seperti Franki bisa saja menimbulkan kesalahpahaman yang besar karena pendapatnya mencoba menggabungkan komersialisasi dengan aspek seni itu sendiri. Sementara analisisnya hanya diperkuat dengan alibi yang menghubungkan MKI dengan objek komersial sebagai tujuan utama dari jenis musik maka dapat disimpulkan bahwa, argumentasi Franki yang menyatakan MKI sepenuhnya berkembang berdasarkan musik Barat tidak sepenuhnya benar. Banyak argumen lainnya yang menyatakan musik barat memang berpengaruh terhadap perkembangan MKI namun MKI tetap berpegang pada kebudayaan sendiri.

Ciri khas musik kontemporer di Indonesia Menggambarkan kekhasan musik kontemporer di Indonesia adalah (walaupun hanya satu kelompok, yaitu yang nonkarawitan) tidak mungkin karena pasti terdapat beberapa komponis yang menarik, tetapi tidak sesuai sepenuhnya dengan kriteria-kriteria utama tentang musik kontemporer. Kalau suatu ciri khas kemudian dapat dikaitkan dengan satu orang saja, maka pasti masih ada beberapa di belakangnya yang juga mesti disebut. Keanekaragaman individual musik kontemporer di Indonesia barangkali tidak disangka sebelumnya oleh beberapa orang, terutama ditinjau dari peranan kesadaran hidup secara individual yang masih belum menonjol sebagai ciri khas budaya Indonesia (pengutamaan kesadaran kelompok dan gotong royong misalnya, untuk menyebut berbagai aspek saja).Bagi telinga orang Barat, mula-mula kebanyakan komposisi kontemporer di Indonesia barangkali dirasakan agak sederhana, improvisatif, bahkan seperti main-main saja. Ternyata hal tersebut bisa ditafsirkan sebagai salah satu benang merah hampir antara semua komponis di lingkungan kontemporer. Namun, tetap saja ada konotasi negatif. Tafsiran seperti ini kurang cocok untuk sebagian karya-karya komponis Indonesia, karena justru unsur main-main itu adalah metode tertentu untuk mentransfer unsur kesadaran kolektif pada suatu konsep karya seni yang lebih otonom.Dengan demikian, bentuk musikal sering terjadi pada saat pementasan salah satu karya melalui proses interaksi antar musisi. Dimana esensi kualitatif sebagai karya seni tidak bisa dipelajari dari notasi partitur. Maka tidak mengherankan kalau beberapa musikolog atau kritikus Barat cenderung pada kesalahpahaman karya-karya komponis Indonesia dalam proses penilaiannya.Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang menjadi sanggar musik dengan anggota berumur antara 16-30 tahun merupakan semacam play ground untuk semua eksperimen dan perwujudan konsep-konsep Harry (Komponis Indonesia). Sekali lagi terasa bahwa konsep Harry adalah suatu ide kerjasama antar orang dalam bentuk yang unik, akan tetapi sekaligus sesuai dengan salah satu ciri khas budaya Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari berbagai komponis di Indonesia yang mampu menunjukkan identitas dari budaya Indonesia sendiri.

Perkembangan musik kontemporer etnik sundaMengamati perkembangan musik kontemporer di daerah sendiri tampaknya agak menyedihkan. Selain apresiasi masyarakat Sunda belum begitu memadai, para komponisnya yang relatif sangat sedikit, juga dukungan pemerintah setempat atau sponsor-sponsor lain untuk penyelenggaraan konser-konser musik kontemporer sangat kurang. Di Yogyakarta misalnya, secara konsisten selama belasan tahun mereka berhasil menyelenggarakan acara Yogyakarta Gamelan Festival tingkat Internasional yang didalamnya banyak sekali karya-karya musik kontemporer dipentaskan. Kota Solo pada tahun 2007 dan 2008 telah menyelenggarakan acara SIEM (Solo International Ethnic Music). Banyak karya-karya musik kontemporer dipentaskan dalam acara itu dengan jumlah penonton kurang lebih 50.000 orang. Festival World Music dengan nama acara Hitam Putih di Riau, Festival Gong Kebyar di Bali dan lain sebagainya. Acara-acara tersebut secara rutin dilakukan bukan sekedar ritual atau memiliki tujuan memecahkan rekor Muri apalagi mencari keuntungan, karena pementasan musik kontemporer seperti yang pernah dikatakan Harry Roesli merupakan seni yang merugi akan tetapi melaba dalam tata nilai.Sebenarnya banyak komponis kontemporer di daerah Sunda yang cukup potensial, akan tetapi sangat sedikit yang konsisten. Salah satu komponis pertama yang perlu disebut adalah Nano S. Meskipun aktifitasnya lebih cenderung sebagai pencipta lagu, akan tetapi beberapa karyanya seperti karya Sangkuriang atau Warna memberi nafas baru dalam pengembangan musik Sunda. Komponis lain seperti Suhendi Afrianto, Ismet Ruhimat sangat nyata upayanya dalam pengembangan instrumentasi pada gamelan Sunda. Dodong Kodir yang cukup konsisten dalam upaya mengembangkan aspek organologi dalam komposisinya, Ade Rudiana yang sukses dalam pengembangan dibidang komposisi musik perkusi, Lili Suparli yang memegang prinsip kuat dalam pengolahan idiom-idiom musik tradisi Sunda, serta tak kalah penting komponis-komponis seperti Dedy Satya Hadianda, Dody Satya Eka Gustdiman, Oya Yukarya, Dedy Hernawan, Ayo Sutarma yang karya-karyanya cukup variatif dan memiliki orsinalitas dilihat dari aspek kompositorisnya. (posisi penulis sebagai komponis juga memiliki ideologi yang kurang lebih sama dengan para komponis yang terakhir disebutkan).Dari beberapa komponis Sunda seperti yang telah disebutkan di atas, secara kompositoris karakteristik karyanya dapat dipetakan menjadi tiga kategori. Pertama adalah karya musik yang bersifat musik iringan. Konsep komposisi dalam karya seperti ini berdasar pada penciptaan suatu melodi (bentuk lagu/intrumental), kemudian elemen-elemen lainnya berfungsi mengiringi melodi tersebut. Kedua adalah karya musik yang bersifat illustratif. Konsep komposisinya berusaha menggambarkan sesuatu dari naskah cerita, puisi dan lain-lain. Dengan demikian orientasi musiknya lebih tertuju pada penciptaan suasana-suasana yang berdasar pada interpretasi komponisnya. Ketiga adalah karya musik yang bersifat otonom. Karya musik seperti ini biasanya sangat sulit dipahami oleh orang awam. Selain bentuknya yang tidak baku, aspek gramatika musiknya pun sangat berbeda jika dibandingkan dengan karya-karya tradisi. Kadang-kadang karya-karya musik seperti ini sering menimbulkan hal yang kontroversial. Seperti yang anti tradisi, padahal secara sadar atau tidak, semua tatanan konsepnya bersumber dari tradisi. Kategori yang seperti ini lebih dekat atau lebih cocok dengan fenomena musik kontemporer Barat (Eropa-Amerika).Pengkategorian komponis seperti di atas hanyalah bersifat umum. Akan lebih baik jika kita lebih spesifik mengkaji karyanya melalui pandangan yang bersifat analitik baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu uraian berikutnya akan sedikit membahas beberapa karya musik kontemporer di daerah sunda dilihat dari aspek yang paling mendasar yaitu pengembangan gramatik musik serta eksperimentasi bunyi.Pengembangan Gramatik Musik Serta Eksperimentasi Bunyi Sebagai Hal Mendasar Dalam Musik KontemporerSebelum lebih jauh, alangkah baiknya fenomena musik dalam konteks budaya Sunda sedikit dibahas. Hal ini penting sekali, karena fenomena itu sangat berpengaruh terhadap cara berpikir para komponis dalam proses menggarap karya musik.Bagi umumnya masyarakat Sunda, musik selalu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat fungsional. Wacana musik yang memiliki fungsi untuk mengiringi lagu, tarian, upacara, atau menuju pada bentuk-bentuk seni hiburan (baik secara positif maupun negatif) sangat menonjol. Selain itu, sikap masyarakat dalam mengapresiasi antara musik sebagai sebuah komposisi dengan berbagai kompleksitasnya, dengan musik yang hanya dibangun dari sebuah lagu, sepertinya sama saja. Sebagai kesimpulan bahwa apapun bentuk kreatifitas komponis sunda saat ini, yang penting musiknya bisa menghibur, enak untuk didengar dan dapat digunakan untuk kepentingan tertentu. Sedangkan komposisi musik yang dapat dipandang sebagai sesuatu yang bersifat otonom, keberadaannya agak sulit diterima di masyarakat sunda. Karena dalam konteks tradisi, kecenderungan fungsi musik sebagai sesuatu yang berguna, seperti untuk hiburan, upacara, iringan tari dan seterusnya sampai saat ini masih berperan. Dengan demikian sebagian besar komponis Sunda orientasinya lebih cenderung ke arah itu, ketimbang berpikir ke arah perluasan gramatika musiknya yang lebih otonom. Hal itu dapat terlihat dari pernyataan Nano S (Tokoh Seniman, Komponis/pencipta lagu Sunda) tentang eksistensi Mang Koko sebagai seorang seniman yang dianggap sebagai tokoh pembaruan musik Sunda, sebagai berikut.Mang Koko pun mengakui bahwa lagu Saha (Siapa) terilhami oleh lagu Belanda yang berjudul Wie Wast Earst In Paradijs. Lagu Sekar catur (Nyanyian dialog) dari lagu Cerry Pink, yang beliau dengar dari gramopoon. Lagu Ka Abdi (Kepada saya) dari lagu To Me.Mang Koko mentrapkan tabuhan bukan pada alat Kacapi saja, tetapi juga pada alat Gamelan. Seperti halnya lagu Hidup Baru dan Caringcing (Waspada) yang menerapkan irama calipso. Karena ulahnya yang banyak mengolah pembaharuan dalam iringan lagu Sunda perkembangan yang diciptakannya begitu cepat dan diterima. Mang Koko pernah diberi julukan Komponis Gamelan Beatles.[3]Kutipan di atas menjelaskan bahwa dari dulu (jaman Mang Koko) dan sebenarnya hingga saat ini, kreatifitas komponis sunda dalam upaya pembaruan musik atau karawitan, cenderung dipengaruhi oleh gejala musik pop komersial. Kata Pembaharuan dalam iringan lagu Sunda perlu digaris bawahi. Hal itu sangat memberi petunjuk tentang suatu sikap para seniman di Sunda yang memandang bahwa instrumen musik memiliki fungsi hanya sebagai iringan. Pandangan kedua tokoh seniman ini ternyata sangat mempengaruhi para komponis selanjutnya terutama terlihat dari cara pandang serta teknik garapnya dalam upaya pembaruan musik. Untuk itu, ada tiga contoh karya yang menurut penulis perlu untuk dibahas berdasarkan kategori seperti yang dikemukakan di atas termasuk karya penulis sendiri. Tiga karya ini memiliki karakter tersendiri karena sikap serta motivasinya dalam penggunaan gramatika musiknya sangat berbeda.Contoh pertama, penulis ingin membahas tentang salah satu karya yaitu karya dari Ismet Ruchimat (Group Samba Sunda) berjudul Jaleuleu. Karya ini menggunakan beberapa instrumen antara lain, Kendang Sunda, Jembe, timbales, Suling Sunda, Piul (Violin Sunda), Torompet, vokal, serta gamelan bambu berlaras diatonis[4] ditambah dengan bass elektrik. Perlu diketahui bahwa karya ini seringkali diisukan oleh masyarakat Sunda sebagai musik baru atau musik kontemporer Sunda. Terlepas dari hal itu, penulis ingin lebih menyoroti tentang bagaimana penggunaan gramatika musiknya, serta aspek-aspek apa yang dikembangkan ditinjau dari segi kompositorisnya. [5]Dilihat dari penggunaan materi musiknya, bahwa karya ini dibangun dari materi-materi yang hampir secara keseluruhan telah menjadi rahasia umum.[6] Berbagai materi yang dibangun itu memiliki konotasi atau makna yang sebenarnya telah jelas, sehingga kesan mengimitasi dari suatu musik tertentu sangat dirasakan. Beberapa motifis berikut ini,

1. telah menjelaskan bahwa materi-materi itu diadopsi dari genre musik populer (Pop, Rock, Jazz, Latin dll). Bagaimana pola-pola itu diterapkan dalam karya ini, bagi penulis sama saja, antara lain sebagai landasan iringan. Kemudian pola-pola ritme kendang pun sebenarnya diadopsi dari pola-pola kendang jaipong konvensional.Namun di samping itu terdapat hal yang menarik juga, terutama adalah penggunaan melodi tutti yang dimainkan oleh gamelan bambu, suling dan piul. Dalam tradisi musik gamelan sunda, tekstur bunyi semacam ini memang belum pernah ada. Walaupun demikian ditinjau dari karakter melodinya, sumber-sumber materi itu sebenarnya dapat ditemukan, seperti misalnya pada bagian melodi berikut ini.

Selain melodi ini dapat dipastikan menggunakan laras madenda, melodi ini sebenarnya berangkat dari varian-varian melodi yang sering digunakan pada instrumen solist, seperti vokal, suling, rebab dan torompet. Perbedaannya adalah, dalam musik tradisi, bentuk-bentuk melodi ini dimainkan dengan ritme bebas, banyak alternative, yang penting nada-nada pokoknya dapat tercapai. Namun pada karya ini, varian-varian melodi ini seolah-olah dibakukan menjadi bentuk melodi seperti di atas agar dapat dimainkan secara bersamaan. Konsep penciptaan melodi seperti itu merupakan hal yang mendasar pada keseluruhan materi karya Jaleuleu.Bentuk-bentuk melodi itu sebenarnya dapat dijadikan sebagai tema atau bibit yang selanjutnya dapat dikembangkan seluas-luasnya. Akan tetapi orientasinya ternyata bukan ke arah sana. Melodi-melodi itu hanya dicipta saja, seperti halnya membuat lagu yang sederhana[7]. Dari kesederhanaan itu tampaknya sulit sekali mencari hal-hal apa yang dikembangkan atau diperluas. Gramatika musik yang digunakan dalam komposisi ini pun sangat standar. Semua elemen-elemen materi itu telah dipahami serta mudah ditebak arahnya.Akhirnya, bagian demi bagian pada karya ini, sepertinya berjalan begitu saja tanpa ada kaitan sebab akibat antara bagian itu. Jika kita urutkan bagian-bagian itu antara lain.

Alat musik etnik sunda