muscle relaxant non depolarisasi

13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ROKURONIUM BROMIDA Merupakan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi turunan aminosteroidal, dengan efek utamanya pada post junctional dan selektifitas yang tinggi pada reseptor neuromuscular junction. Obat ini dipublikasikan pada tahun 1988 pada World Congress of Anesthesiology IX di Washington dan diperkenalkan pada praktek anestesi tahun 1994 di Prancis. Obat golongan ini mencegah depolarisasi dengan jalan bereaksi dengan reseptor asetilkolin dengan cara : a. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptor, jadi mencegah depolarisasi motor end plate b. Bila konsentrasi relaksan non depolarisasi banyak, molekul relaksan akan masuk ke terowongan reseptor, menyebabkan blokade channel. c. Relaksan non depolarisasi bekerja pada presynaptic site, memblok terowongan Na + dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa site ke release site. Paralisis otot dihasilkan dengan antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik nikotinik otot rangka, potensinya kurang lebih 15-20 % vekuronium. Rokuronium tidak menghasilkan blok pada ganglia autonom, mempunyai onset kerja cepat, masa kerja sedang, pemulihan cepat dan kumulasi minimal, juga mempunyai tendensi yang rendah untuk menghasilkan pelepasan histamin. 3 a. Sifat Fisik dan Kimia 3,7,19 Rokuronium adalah suatu 2-morpholino, 3-desacetyl, 16-allyl-pyrrolidino derivat dari vekuronium, yang berbeda dari vekuronium pada posisi 3 nukleus steroid. Rumus kimiawinya C 32 H 53 BrN 2 O 4 dengan berat molekul 609.70. Koefisien partisi dalam n-octanol/water adalah 0,5 pada 20 o C dan memiliki pH 4. Osmolaritas (osmol.litre -1 ) dan osmolalitas (osmol.kg -1 ) antara 260 dan 330,6. Universitas Sumatera Utara

Upload: anggun-pratissa

Post on 29-Dec-2015

133 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

anastesi

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ROKURONIUM BROMIDA

Merupakan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi turunan

aminosteroidal, dengan efek utamanya pada post junctional dan selektifitas yang tinggi

pada reseptor neuromuscular junction. Obat ini dipublikasikan pada tahun 1988 pada

World Congress of Anesthesiology IX di Washington dan diperkenalkan pada praktek

anestesi tahun 1994 di Prancis.

Obat golongan ini mencegah depolarisasi dengan jalan bereaksi dengan reseptor

asetilkolin dengan cara :

a. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptor, jadi mencegah depolarisasi

motor end plate

b. Bila konsentrasi relaksan non depolarisasi banyak, molekul relaksan akan masuk

ke terowongan reseptor, menyebabkan blokade channel.

c. Relaksan non depolarisasi bekerja pada presynaptic site, memblok terowongan

Na+ dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa site ke release site.

Paralisis otot dihasilkan dengan antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik

nikotinik otot rangka, potensinya kurang lebih 15-20 % vekuronium. Rokuronium tidak

menghasilkan blok pada ganglia autonom, mempunyai onset kerja cepat, masa kerja

sedang, pemulihan cepat dan kumulasi minimal, juga mempunyai tendensi yang rendah

untuk menghasilkan pelepasan histamin. 3

a. Sifat Fisik dan Kimia3,7,19

Rokuronium adalah suatu 2-morpholino, 3-desacetyl, 16-allyl-pyrrolidino

derivat dari vekuronium, yang berbeda dari vekuronium pada posisi 3 nukleus steroid.

Rumus kimiawinya C32H53BrN2O4 dengan berat molekul 609.70. Koefisien partisi

dalam n-octanol/water adalah 0,5 pada 20oC dan memiliki pH 4. Osmolaritas

(osmol.litre-1) dan osmolalitas (osmol.kg -1) antara 260 dan 330,6.

Universitas Sumatera Utara

Karakteristik molekuler yang menarik dari rokuronium adalah tidak adanya

fragmen mirip asetilkolin yang ditemukan pada nukleus steroid (A ring) dari

pankuronium dan vekuronium. Fragmen mirip asetilkolin terletak pada D ring yang

sesuai untuk bergabung dengan reseptor neuromuscular junction dan umumnya ada

pada obat pelumpuh otot dengan potensi tinggi. Fragmen mirip asetilkolin ini dapat

tetap tampak pada struktur rokuronium. Namun penggantian methyl group yang terletak

pada quaternary nitrogen dari pankuronium dan vekuronium, oleh allyl group dan tidak

adanya fragmen mirip asetilkolin pada A ring mungkin yang bertanggung jawab pada

penurunan potensi yang tampak pada rokuronium. Penggantian acetate group yang

terletak pada A ring oleh hydroxy group, yang mungkin menyebabkan rokuronium

sebagai larutan yang stabil.

 

Digunakan dalam 24 jam setelah pencampuran dan disimpan pada 2-8 derajat

Celcius. Rokuronium dikemas dalam larutan isotonis yang steril dan non pirogen.

b. Interaksi dan Potensi3

Penelitian pada manusia mempunyai potensi 15% vekuronium. ED50

0.105 mg/kg - 0.170 mg/kg, dan ED90 dari 0.259 mg/kg 0.305 mg/kg, tergantung teknik

anestesi dan stimulasi yang digunakan. Enfluran dan isofluran mempunyai efek

potensiasi dengan rokuronium, sedang halotan kurang dibanding enfluran dan isofluran,

hal ini sama dengan obat pelumpuh otot yang lain.

Penelitian mengenai interaksi rokuronium dengan beberapa obat anestesi

intravena seperti droperidol, midazolam, etomidate, thiopentone dan propofol tidak

mempunyai efek yang nyata secara klinis dari rokuronium, namun dosis tinggi obat-

Universitas Sumatera Utara

obatan tersebut dapat mempunyai efek potensiasi yang sedikit, pemberian

suxamethonium sebelumnya tidak memberikan efek pada potensi rokuronium.

c. Efek Kardiovaskuler2,20,22

Pelumpuh otot dapat menghasilkan efek kardiovaskuler pada blok reseptor

muskarinik, blok ganglion, pelepasan noradrenalin dan blokade re-uptake, atau

pelepasan histamin. Rokuronium juga memiliki sedikit efek vagolitik, oleh karena itu

rokuronium cocok juga digunakan untuk operasi yang mempunyai resiko stimulasi

vagal. Begitupun rokuronium tidak menyebabkan perubahan denyut jantung ataupun

tekanan darah

Pada dosis klinis rokuronium mempunyai aktifitas sedikit atau tidak ada pada

reseptor kolinergik nikotinik yang lain diluar otot rangka. Efek vagolitik yang ringan,

yang tampak pada dosis yang lebih tinggi dari rokuronium dapat membantu pencegahan

bradikardia intra operatif yang mana dapat menyebabkan masalah pada anestesia.

Kurangnya bloking ganglion secara relatif atau efek simpatomimetik, biasanya

tidak menyebabkan masalah pada pasien-pasien yang menggunakan terapi (anti

depresan, β bloker ) yang mana tergetnya pada sistim simpatis.

Tidak ada perubahan hemodinamik yang berarti oleh karena pemberian

rokuronium. Tidak ada peningkatan plasma histamin pada dosis 1,2 mg/kg iv (4xED95).

Perubahan hemodinamik sedikit pernah diobservasi sewaktu operasi bypass koroner

jantung. Reaksi anafilaksis pernah juga dilaporkan, namun ternyata dianggap tes positip

palsu, karena lebih 50% dari populasi menunjukkan tes intradermal dengan hasil

positip. Penemuan terbaru disimpulkan bahwa tidaklah tepat untuk menghindari

rokuronium karena alasan reaksi anafilaksis.

d. Sifat Pelepasan Histamin3

Pelepasan histamin dapat menyebabkan efek yang tak diinginkan yang mana

efek kardiopulmonal adalah masalah penting pada klinis. Kebanyakan obat pelumpuh

otot yang digunakan sekarang ini adalah derivat aminosteroidal, benzylisoquinoline,

atau molekul asetilkolin. Perbedaan pada obat tersebut adalah matriks molekuler yang

mensuport struktur amonium bisquaternary. Suatu yang paling penting diantara obat

pelumpuh otot tersebut adalah kemampuan untuk melepaskan histamin dari sel mast.

Universitas Sumatera Utara

Hal ini telah diperlihatkan bahwa benzylisoquinoline dari obat pelumpuh otot

mempunyai kemungkinan bahan yang lebih tinggi untuk melepaskan histamin dari sel

mast dari pada aminosteroidal. Rokuronium merupakan pelumpuh otot dari

aminosteroidal, sehingga kurang melepaskan histamin. Hal ini telah diperlihatkan pada

pasien yang mana tidak ada peningkatan level histamin plasma yang tampak pada 1, 3

dan 5 menit setelah bolus intravenous yang cepat dari penggunaan dosis yang lebih dari

1,3 mg/kg iv (2,4x ED95).

e. Farmakokinetik3,7,20,22

Farmakokinetik rokuronium mirip dengan vekuronium, kecuali volume

distribusinya lebih kecil, ini menunjukkan lipophilicity rokuronium lebih rendah dari

vekuronium.

Penelitian farmakokinetik dilakukan di Spain, Northern Ireland dan Netherlands

dengan menggunakan teknik anestesi inhalasi dengan halotan atau isofluran. Hasil dari

ketiganya tidak berbeda.

Setelah penyuntikan dosis bolus secara intravena, maka proses waktu

konsentrasi plasma berjalan dalam tiga tahapan. Pada orang dewasa sehat, waktu paruh

eliminasi rata-rata 73 menit, volume distribusi pada kondisi yang tetap 203 ml.kg-1 dan

pembersihan plasma adalah 3,7ml kg-1 min-1. Rokuronium terutama dieliminasi melalui

jalur hepatobiliary dan 10% di ginjal. Umumnya kumulasi berdasarkan pada dosis dan

sifat farmakologi dari obat, kumulasi terjadi bila pemberian obat melebihi eliminasi

obat. Awalnya plasma clearence oleh 2 proses yaitu distribusi dan eliminasi. Akhirnya

hanya clearence oleh eliminasi yang menetap karena redistribusi secara progresif

berlawanan dengan distribusi sampai clearence distribusi menjadi zero.

Khuenl-Brady dkk menemukan bahwa pada kucing lebih dari 50% rokuronium

dieliminasi tidak berubah pada biliaris, dan hanya 9% pada urine. Lebih dari 32 %

rokuronium ditemukan di liver dalam 6 jam setelah pemberian, menunjukkan adanya

metabolisme sedikit dari rokuronium. Penelitian farmakokinetik memperlihatkan bahwa

rokuronium mirip vekuronium, secara relatif fraksi yang terbatas dieksresi renal (33%).

Cooper dkk menemukan bahwa nilai farmakokinetik rokuronium pada pasien-

pasien dengan dan tanpa gagal ginjal dapat menunjukkan perbedaan yang nyata pada

Universitas Sumatera Utara

kecepatan clearance (2.5 dan 3.7 ml/kg/menit) dan mean residence times (97.1 dan

58.3 menit). Namun parameter lain pada penelitian ini tidak ada perbedaan bermakna.

Pada penyakit hepar stadium lanjut terjadi pemanjangan masa kerja obat tetapi

dosis initial sedikit ditingkatkan karena volume distribusi yang lebih lama dan pada

gagal ginjal bersihan plasma menurun, distribusi volume menjadi meningkat dan

terjadi pemanjangan masa kerja obat secara signifikan dengan sekali pemberian. Efek

pemanjangan masa kerja obat juga terjadi pada wanita hamil dan orang tua yang

disebabkan pemanjangan masa kerja hepar. Selain itu efek dari pemanjangan masa

kerja dari rokuronium disebabkan juga penambahan dosis 0,6 mg/kg iv menjadi

1 mg/kg iv yaitu (37-95 menit). Untuk mengakhiri kerja rokuronium dibutuhkan suatu

antagonis blokade neuromuskular.

Profil farmakokinetik rokuronium :

VD (mL/kg) Bersihan (mL/kg/mnt) Waktu paruh eliminasi (menit)

Normal 207±14 2,89±0,25 70,9±4,7

Gagal ginjal 264±19 2,89±0,25 97,2±17,3

Sirosis 234±50 2,41±0,57 96±36,8

Geriatrik 399±122 3,67±1 97,6±69,1

Pediatrik 224 2,67 46-55

e. Farmakodinamik3,7,20

Potensi rokuronium sekitar 15-20% vekuronium. Potensi yang lebih rendah ini

dapat mempunyai keuntungan. Pada penelitian eksperimental, obat–obat dengan potensi

lebih rendah menghasilkan onset yang lebih cepat, kemungkinan karena konsentrasi

molar yang lebih tinggi pada tempat aksinya.

Rokoronium merupakan antagonis asetilkolin, sehingga bereaksi dengan cara

kompetisi ditempat ikatan asetilkolin. Prinsip kerjanya pada daerah yang sama di

reseptor seperti yang dilakukan asetilkolin dan suksinilkolin, tetapi tidak

mendepolarisasi motor end plate. Rokuronium menstabilkan membran post sinap dan

mencegah terbentuknya potensial aksi di otot rangka, tetapi aksinya tidak hanya di

reseptor nikotinik post sinap tetapi juga di presinap.

Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya setuju bahwa interval waktu antara supresi reflek proteksi oleh

induksi anestesi dan kondisi intubasi yang baik adalah fase yang berbahaya pada

anestesia, regurgitasi dan aspirasi isi lambung sering terjadi selama periode ini, maka

interval ini sepatutnya sependek mungkin.

Mula kerja rokuronium yaitu waktu dari penyuntikan obat sampai efek

maksimal, lebih cepat dibanding obat–obat pelumpuh otot non depolarisasi yang telah

tersedia, pada beberapa dosis perbandingan obat pelumpuh otot, rokuronium

memberikan paralisis dan kondisi intubasi yang baik lebih cepat. Dosis 0.6 mg/kg iv

rokuronium (2 x ED95) pada intravenous anestesia memberikan kondisi intubasi yang

baik dalam 1 menit hampir pada semua pasien. Pada dosis ini paralisis otot cukup untuk

suatu tipe pembedahan diperoleh dalam 2 menit. Alasan mula kerja yang cepat diduga

oleh potensi rendah relatif rokuronium, ini menjamin molekul relaksan yang lebih pada

sirkulasi darah dan menghasilkan gradien konsentrasi yang besar terhadap biophase.

Karena rokuronium menyebabkan blok neuromuskuler lebih cepat pada otot

adduktor larinx ( walaupun blok kurang intensif ) daripada otot adduktor pollisis. Hal ini

menyebabkan intubasi dapat dilakukan sebelum blok yang komplit pada jari.

Profil farmakodinamik rokuronium :

Dosis (mg/kg) Mula kerja (detik) Waktu pulih 25%

ED95 0,3 210±55 20 (14-28)

Intubasi rutin 0,6 89±33 37 (23-75)

Intubasi cepat 1,2 55±14 73 (38-150)

2.2. Pemantauan Transmisi Neuromuskuler

Kekuatan kontraksi otot tergantung pada jumlah serabut otot yang berkontraksi.

Agar semua serabut otot yang bersangkutan berkontraksi dibutuhkan rangsang

supramaksimal. Dengan demikian respon otot tersebut dapat dihasilkan kembali. Untuk

memeriksa fungsi neuromuscular junction, maka respon otot diperiksa dengan

memberikan rangsangan listrik terhadap saraf perifer.

Saraf motorik perifer yang sering digunakan pada pemantauan saraf adalah

saraf ulnaris, menghasilkan respon berupa aduksi ibu jari. Tempat pemantauan saraf

Universitas Sumatera Utara

lainya adalah saraf fasialis, dengan respon kontraksi otot orbicularis oculi, atau pada

saraf mandibula dengan respon berupa kontraksi otot masseter.

2.2.1. Pola Perangsangan Saraf

a. Train Of Four (TOF)

Pola perangsangan ini pertama diperkenalkan oleh Ali dkk pada awal tahun

1970-an. Pada pola ini diberikan empat rangsangan pada frekuensi 2 Hz setiap 0,5 detik.

Pada penggunaan kontinyu, rentetan rangsang ini diulang setiap 10-12 detik.

Setiap rangsangan didalam rentetan akan menimbulkan kontraksi otot dengan

amplitudo yang sama. Pengurangan amplitudo kontraksi akan terjadi apabila digunakan

obat pelumpuh otot non depolarisasi ataupun pada blokade fase II setelah pemberian

suksinilkolin. Rasio TOF kurang dari 0,3 pada penggunaan suksinilkolin,

menggambarkan blokade fase II.

Derajat pengurangan amplitudo bergantung pada derajat kelumpuhan otot,

frekwensi dan lama perangsangan serta kekerapan rangsangan diberikan.

Gambar 2. TOF-Watch (Organon Teknika, Boxtel, Holland)

b. Post Tetanic Count (PTC)

Oleh karena pada blokade yang hebat tidak terjadi kontraksi otot sama sekali,

maka pola perangsangan TOF tidak mungkin digunakan untuk menilai blokade yang

hebat. Namun telah terbukti bahwa blokade yang hebat dapat dinilai dengan

memberikan rangsangan tetanik (50 hz selama 5 detik), yang 3 detik kemudian diikuti

dengan suatu rangsangan tunggal 1.0 hz.

Universitas Sumatera Utara

c. Double Burst (DB)

Derajat sisa kelumpuhan otot oleh obat pelumpuh otot non depolarisasi

umumnya dipantau secara manual dengan rasio TOF. Namun penilaian secara

kuantitatif sulit dilakukan dengan rasio TOF telah pulih > 40-50 %.

Ini disebabkan kedua tanggapan ditengah mengaburkan perbandingan tanggapan

keempat dengan yang pertama.

Atas dasar itu dikembangkan

suatu teknik perangsangan saraf yang

hanya menghasilkan dua kontraksi

saja. Sehingga dimungkinkan untuk

menilai pengurangan tanggapan oleh

sisa efek obat secara manual. Teknik

ini menggunakan dua rangsangan

tetanik yang berlangsung singkat

dengan interval singkat pula – Double Burst Stimulator (DBS).

Rentang waktu perangsangan harus singkat agar tanggapan otot dapat terlihat

atau dirasakan sebagai kedutan tunggal singkat dan bukan sebagai suatu kontraksi yang

menetap. Pada DBS ditetapkan rentang waktu tersebut adalah 750 milidetik.

2.2.2. Penilaian Kontraksi

Alat perangsang saraf perifer mempunyai 2 buah elektroda (positif dan negatif)

yang ditempelkan sejajar pada permukaan kulit didaerah ulnaris. Pada saat alat

perangsang saraf perifer berfungsi, akan terlihat atau teraba aduksi otot polisis.

Kekuatan perabaan atau lebar sudut penyimpangan merupakan indikator derajat

kelumpuhan otot.

2.2.3. Penggunaan Klinis

1. Relaksasi Singkat

Jarang sekali efek pemberian suksinilkolin dosis tunggal berlangsung lebih dari

5-10 menit. Bila berlangsung 1-4 jam, maka perlu dipikirkan kemungkinan

adanya pseudokholinesterase abnormal. Untuk memastikan seorang penderita

Universitas Sumatera Utara

tidak mengalami dual blokade setelah dilakukan intubasi trakea, maka sebaiknya

obat pelumpuh otot non depolarisasi tidak diberikan sebelum terlihat adanya

tanggapan terhadap rangsangan.

2. Intubasi

Intubasi trakea dilakukan apabila relaksasi total telah tercapai, yaitu saat

amplitudo kontraksi 0%. Secara klinis tidak terlihat atau teraba kontraksi otot.

3. Relaksasi Lama

Pada saat hanya dirasakan atau terlihat satu kontraksi otot pada perangsangan

TOF (amplitudo kontraksi 10%), maka relaksasi otot cukup optimal untuk

dilakukan prosedur pembedahan. Derajat kelumpuhan otot dapat dipertahankan

dengan memberikan tambahan dosis kecil.

4. Relaksasi Hebat

Pada prosedur pembedahan tertentu diperlukan derajat relaksasi yang maksimal.

Metode TOF tidak dapat digunakan untuk menilai derajat relaksasi, sehingga

perlu digunakan metode PTC.

5. Penawar Relaksasi

Pada saat prosedur pembedahan berakhir, diperlukan penawar obat pelumpuh

otot untuk memulihkan relaksasi otot secara cepat. Pemberian penawar harus

tepat waktu, yaitu tidak pada saat puncak derajat relaksasi otot. Pemberian

penawar yang tidak tepat waktu tidak akan memberikan efek yang optimal,

seberapa besarpun dosis yang diberikan. Penawar obat pelumpuh otot sebaiknya

diberikan pada saat terlihat atau teraba sekurangnya dua kontraksi (DBS) otot.

6. Ekstubasi

Umumnya ekstubasi dapat dilakukan bila rasio TOF ataupun DBS telah

mencapat 70 %. Karena pada tingkat ini, kontraksi otot telah hampir mencapai

100% dari keadaan normal.

7. Kontrol Klinis

Alat perangsang saraf perifer dapat pula digunakan di ruang pulih sebagai alat

pemantau terhadap efek sisa obat pelumpuh otot non depolarisasi yang telah

diberikan penawar.

Universitas Sumatera Utara

Apabila rasio TOF atau DBS <70%, maka ini merupakan indikasi masih

terdapat efek sisa obat pelumpuh otot non depolarisasi (atau adanya blokade fase

II akibat penggunaan suksinilkolin).

2.3. EFEDRIN

Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman

genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina dan India

Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional Cina menyebut efedrin

dengan nama Ma huang. Efedrin mempunyai rumus molekul C10H15NO dan nama

lainnya adalah α-hydroxy-β-methylaminopropylbenzene. Rumus bangun efedrin adalah

sebagai berikut,

Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam

bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2,

baik bekerja langsung ataupun tidakXXX langsung. Efek tidak langsung yaitu dengan

merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg intramuskular atau

subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan hipotensi, 25 mg per oral sekali

sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik, juga sebagai bronkodilator dan

dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga bisa diatasi dengan efedrin, seperti asma

bronkhial, kongesti nasal karena akut koriza, rhinitis dan sinusitis. Efedrin

(25 atau 30 mg subkutan, intramuskular atau intravena lambat) dapat juga untuk

mengatasi bronkospasme tetapi epinefrin lebih efektif.2,22-24

Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus hipotensi akibat regional

anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi. Pemberian efedrin

10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade

Universitas Sumatera Utara

susunan saraf simpatis yang disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek

hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi.2 Untuk Ibu hamil yang menjalani

prosedur seksio sesarea dengan spinal anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi

hipotensi yang diakibatkan oleh spinal anestesi. Efedrin selain meningkatkan tekanan

darah, sejalan dengan itu memperbaiki aliran darah plasenta.

Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi akibat induksi

dengan propofol.14 Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja rokuronium.13 Efedrin

mencegah nyeri akibat injeksi propofol.28 Pencampuran efedrin dengan propofol dapat

menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri akibat suntikan propofol.29

2.3.1. Farmakokinetik

Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin dapat

diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular.

Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama

2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur intramuskular lebih cepat

(10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan. Pada pemberian intravena, efek

klinik dapat langsung diobservasi. Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan

sampai 1 jam pada pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada

pemberian secara oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada

air susu ibu.

Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi,

demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah p-hidroksiefedrin,

p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi

terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak berubah. Eliminasi efedrin dan

metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine. Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan

3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam pada pH urin 6,5.2,22,23

Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit setelah

injeksi.16

2.3.2. Efek terhadap kardiovaskular2

Universitas Sumatera Utara

Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon kenaikan

tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin membutuhkan 250 kali

dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama.

Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah

jantung. Aliran darah renal dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot

skelet meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena vasokonstriksi pada

vascular beds diimbangi dengan vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-tempat yang

lain. Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor α menyebabkan vasokonstriksi arteri

dan vena di perifer. Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah

dengan meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan

adanya antagonis reseptor β maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan

stimulasi reseptor α.

Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas lebih

rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah takifilaksis, yang

mana juga terjadi pada simpatomimetik dan berhubungan dengan masa kerja obat.

Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor adrenergik secara persisten. Sebagai

contoh, efedrin menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan

tekanan darah sistemik terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu,

reseptornya bisa menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah.

Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin.

2.3.3. Kontra Indikasi

Kontra indikasi termasuk riwayat hipertensi, tirotoksikosis, angina pectoris,

aritmia, gagal jantung.30,31

2.3.4. Toksisitas efedrin

Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan bingung, delirium, halusinasi

atau euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan pendengaran bisa

terjadi pada dosis yang sangat besar. Efedrin bisa juga menyebabkan sakit kepala,

kesulitan bernafas, demam atau merasa hangat, merasa kering pada hidung atau

tenggorokan, takikardi, aritmia, nyeri dada, berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah,

Universitas Sumatera Utara

retensi urine, hipertensi yang akibatnya perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya

selera makan.

Dalam suatu laporan disebutkan seorang wanita 21 tahun mengkonsumsi efedrin

6 tablet (120 mg). Tekanan darah mencapai 210/110 mmHg dan diatasi dengan lidokain

dan nitroprusside dan tekanan darah turun dalam 9 jam kemudian. Seorang pemuda

19 tahun menelan tablet yang berisi 24 mg efedrin dan 100 mg kafein dan 15 menit

kemudian mengalami nyeri dada hebat dan menjalar ke lengan kiri. Untuk kasus ini juga

diatasi dengan lidokain dan nitroprusside.32,34 Dalam penelitian yang akan dilakukan ini

diberikan efedrin dengan dosis yang kecil yang tidak akan menimbulkan efek samping

dan toksisitas berdasarkan laporan-laporan toksisitas yang tersebut di atas. Dilaporkan

bahwa dosis efedrin 110 µg/kg/iv berhubungan dengan hipertensi dan takikardi setelah

intubasi, sementara dosis 30 µg/kg/iv tidak memperbaiki kondisi intubasi.29

2.4. Kerangka Konseptual

Efedrin  Rokuronium 0.6 mg/kg iv Rokuronium 1 mg/kg iv

Curah jantung↑

Perfusi jaringan↑ 

Mula Kerja (TOF)

Universitas Sumatera Utara