muara dadap

354
ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU Oleh: RUDDY SUWANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Upload: anytha-purwareyni-umbas

Post on 26-Jun-2015

2.648 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: Muara Dadap

ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN

PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM

KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Oleh:

RUDDY SUWANDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

Page 2: Muara Dadap

ii

ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PELABUHAN

PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM

KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Oleh:

RUDDY SUWANDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

Page 3: Muara Dadap

iii

Judul Disertasi : Analisis Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Nama : Ruddy Suwandi

NRP : SPL 995163

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Metujui ,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja

Ketua

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Anggota Anggota

Mengetahui,

Tanggal Ujian 16 Juli 2007 Tanggal Lulus..............................................

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Sulistiono, M. Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Sc.

Page 4: Muara Dadap

iv

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Analisis

Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara dan Dadap dalam

Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu”, adalah karya saya sendiri dan

belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya tulis yang diterbitkan

maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2007

Ruddy Suwandi

NRP: SPL 995163

Page 5: Muara Dadap

v

ABSTRACT

RUDDY SUWANDI. Development Analysis of Kamal Muara – Dadap Fishing Port Area in the Context of Integrated Coastal Zone Management. Supervised by DANIEL R MONINTJA as the chairman, ROKHMIN DAHURI and ERNAN RUSTIADI as the members.

Two fish landing ports which located at different administrative zone and at

the very short distance would give different impact of development program at

each area. Tangerang has a fish landing port named PPI/TPI Dadap at the eastern

area while Jakarta Utara has the PPI/TPI Kamal Muara at the west part. Both

separated only 700 meter. Self autonomy gave also influence on the development

program. To observe the inter-influence of both fish landing port, some analysis

were used eg. fisheries dependent ratio, Shift share, Location Quotient, scalogram,

and stella and visual basic. The result indicated that PPI/TPI Dadap has no

dependent any more on fisheries, on the contrary with PPI/TPI Kamal Muara; the

development program at both local government has not implemented the ICZM

concept. It is recommended that TPI Dadap function is switched from fish

landing place to coastal tourism activity landing base.

Key word: ICZM, self autonomy, and fisheries dependent regions

Page 6: Muara Dadap

vi

ABSTRAK

RUDDY SUWANDI. Analisis Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Dibimbing oleh DANIEL R MONINTJA sebagai Ketua, ROKHMIN DAHURI dan ERNAN RUSTIADI masing-masing sebagai anggota.

Dua buah pusat aktivitas pendaratan ikan yang berdekatan dan terletak di

dua wilayah administrasi yang berbeda dapat menimbulkan pengaruh yang tidak

sama terhadap program pembangunan di daerah masing-masing. Tangerang

mempunyai PPI/TPI Dadap di wilayah paling timur yang letaknya hanya sekitar

700 m dengan PPI/TPI Kamal Muara di kawasan paling barat dari Pemkot Jakarta

Utara. Era otonomi daerah juga berpengaruh terhadap kebijakan program

pembangunan masing-masing pemerintah daerah. Untuk melihat pengaruh yang

terjadi akibat keberadaan kedua PPI/TPI tersebut, maka digunakan analisis

ketergantungan perikanan, analisis shift share, LQ, skalogram, serta stella dan

visual basic. Kesimpulan penelitian penunjukkan bahwa PPI/TPI Dadap sudah

tidak bergantung lagi pada sumberdaya perikanan, sementara PPI/TPI Kamal

Muara ketergantungannya semakin meningkat; serta program pembangunan yang

dilakukan di kawasan Dadap-Kamal Muara sejauh ini belum sepenuhnya

dilakukan berdasarkan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

Direkomendasikan bahwa TPI Dadap difungsikan sebagai pelabuhan yang

mendukung kegiatan wisata pantai dan wisata bahari.

Kata kunci: pengelolaan wilayah pesisir terpadu, otonomi daerah, dan

ketergantungan daerah perikanan

Page 7: Muara Dadap

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil‘alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas

kanrunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini, yang merupakan

salah satu syarat untuk menyelesaikan program doktor (S3) pada PS SPL SPs IPB.

Disertasi ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan beberapa pihak,

baik yang terkait langsung maupun yang tidak. Kepada Komisi Pembimbing,

yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dengan anggota Prof. Dr. Ir.

Rokhmin Dahuri dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. penulis mengucapkan

terimakasih atas bimbingan yang diberikannya. Ucapkan terimakasih penulis

sampaikan juga kepada Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ir. Aminuddin, M.Si., Dr. Ir.

AM Azbas Taurusman, M.Si, dan Ir. Arief Budi Purwanto, M.Si., atas

kesediaannya dalam memberikan arah penyusunan model dinamika ekonomi serta

meningkatkan mak’na sejak rencana penelitiannya ini; kepada Dr. Ir. Setyo Budi

Susilo, M.Sc., atas waktunya dalam melayani diskusi dan berbagai pertanyaan

yang berkaitan dengan seluruh kegiatan penulisan sejak usulan penelitian sampai

draft disertasi ini; kepada Ir. Ita Carolita, M.Si dari LAPAN, atas bantuannya

dalam penyediaan citra satelit LANDSAT untuk kawasan Dadap-Kamal Muara,

kepada Sdr. Ir. MA. Rakhmat Kurnia, M.Si dan Ir. Admo Wibowo, atas

bantuannya dalam konsultasi tentang pemanfaatan program visual basic untuk

pemodelan ketergantungan daerah perikanan dari TPI. Penulis menyampaikan

terimakasih juga kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto atas dorongan

semangat dan kewenangannya dalam memberikan kelonggaran waktu selama

penyelesaian disertasi ini. Bantuan biaya juga penulis peroleh dari Ditjen Dikti

Depdiknas melalui program BPPS dan juga dari PKSPL IPB. Semoga Allah

YME membalas semua kebaikan orang dan lembaga tersebut dengan limpahan

rahmat yang setimpal.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini jauh dari sempurna.

Namun demikian, semoga ada manfaatnya bagi yang menggunakannya.

Bogor, September 2007

Penulis

Page 8: Muara Dadap

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 11 Mei 1958, sebagai anak

ke empat dari 13 bersaudara dari pasangan Suwanda (almarhum) dan Onah

Mariyam. Masa kecil sampai menempuh pendidikan di SLA penulis habiskan di

Garut Jawa Barat.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknik dan Manajemen

Penangkapan, Fakultas Perikanan IPB, lulus tahun 1981. Pada tahun 1984,

penulis diterima pada program S-2 Program Studi Ilmu Pangan PPs IPB, yang

dapat diselesaikan oleh penulis pada tahun 1990. Dari tahun 1991 sampai 1993,

penulis menempuh program S-2 lagi di School of Food and Environmental

Studies Humberside University di England. Pada tahun 1999, penulis diterima

untuk program S-3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan

Lautan Sekolah Pascasarjana IPB.

Sejak tahun 1981 sampai sekarang, penulis menjadi staf pengajar

Departemen Teknologi Hasil Perairan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

IPB. Selain itu, penulis aktif sebagai staf peneliti pada Pusat Kajian Sumberdaya

Pesisir dan Lautan – IPB, sejak didirikannya tahun 1996 sampai sekarang. Pada

lembaga ini, penulis banyak terlibat dalam kegiatan pelatihan untuk topik-topik

pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu (Integrated Coastal

Zone Planning and Management, ICZPM) dan juga yang berkaitan dengan

penanganan dan pengolahan pasca panen hasil perikanan.

Penulis melakukan penelitian tentang perkembangan aktivitas perikanan di

Kawasan Dadap-Kamal Muara, dan menuangkannya dalam disertasi yang

berjudul “Analisis Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara

dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu”. Penelitian

yang dimulai tahun 2002 ini baru dapat diselesaikan dalam bentuk disertasi tahun

2007.

Page 9: Muara Dadap

ix

DAFTAR ISI Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv 1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 5

1.3 Tujuan .................................................................................................. 10

1.4 Kerangka Berpikir ................................................................................ 10 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 12

2.1 Wilayah Pesisir .................................................................................... 12

2.2.1 Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu 14

2.2.2 Pengembangan wilayah ......................................................... 14

2.2.3 Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu .......................... 24

2.2.4 Pengelolaan wilayah Jakarta dan sekitarnya secara terpadu . 35

2.3 Pengelolaan Perikanan Terpadu dan Berkelanjutan ............................. 41

2.3.1 Kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia........................... 44

2.3.2 Pelabuhan perikanan ................................................................... 45

2.3.3 Tempat pelelangan ikan .............................................................. 55

2.3.4 Kelembagaan TPI ........................................................................ 57

2.4 Analisis Perkembangan Aktivitas Pembangunan.................................... 59

2.4.1 Ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region) . 59

2.4.2 Land rent, social rent, dan environmental rent........................... 61

2.4.3 Metode skalogram ....................................................................... 68

2.4.4 Model sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan ......... 70

2.5 Beberapa Hasil Penelitian yang Terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Perikanan, dan Pelabuhan ........................................ 77

Page 10: Muara Dadap

x

3 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 81

3.1 Waktu Penelitian ....................................................................... 81

3.2 Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian .................................... 81

3.3 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 83

3.4 Metode Penelitian ...................................................................... 83

3.4.1 Pengumpulan Data .................................................................... 83

3.4.2 Analisis Data .............................................................................. 85

3.4.3 Model Analisis ........................................................................... 90

4 KEADAAN DAERAH PENELITIAN .................................... 98

4.1 Keadaan Umum ....................................................................................... 98

4.2 Kondisi Lingkungan ................................................................................ 101

4.2.1 Penduduk dan mata pencaharian ................................................. 106

4.2.2 Lingkungan perairan ................................................................... 110

4.3 Kondisi Pemanfaatan Lahan ................................................................... 118

4.4 Kondisi Perikanan ................................................................................... 122

4.4.1 Keragaan perikanan Kota Jakarta Utara ...................................... 122

4.4.2 Keragaan perikanan Kabupaten Tangerang ................................ 153

4.4.3 Keragaan perikanan kawasan Dadap-Kamal Muara ................... 160

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 168

5.1 Analisis Kondisi Lingkungan Kawasan Dadap-Kamal Muara, pemanfaatan dan ketergantungan daerah perikanan dari TPI Dadap dan TPI Kamal Muara .................................................. 168

5.1.1 Kondisi Lingkungan Kawasan Dadap-Kamal Muara ................. 168

5.1.2 Analisis tingkat ketergantungan Kawasan Dadap dan Kamal Muara terhadap perikanan .............................................. 174

5.2 Analisis Struktur Komposisi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah, Pemusatan Aktivitas serta Distribusi dan Hierarki Pelayanan Fasilitas Sosial ........................................................................................ 187

5.2.1 Komposisi pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah ........... 188

5.2.2 Pemusatan aktivitas ekonomi wilayah ........................................ 190

5.2.3 Distribusi dan hierarki pelayanan fasilitas sosial ........................ 194

5.3 Analisis pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara .......................................... 196

5.3.1 Pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara ................. 196

Page 11: Muara Dadap

xi

5.3.2 Analisis daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara ................................................................... 209

5.3.3 Analisis model kelimpahan kapal ikan yang dapat dipindahkan dari PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Muara Angke ke PPI/TPI Kamal Muara ........................................................... 214

5.4 Skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara ...................... 227

5.4.1 Penentuan lokasi pelabuhan perikanan ....................................... 227

5.4.2 Kelayakan teknis pelabuhan perikanan ....................................... 230

5.4.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan .................................. 232

5.5 Analisis Opini Masyarakat tentang Kondisi Perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara .............................................................. 226

6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 255

6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 255

6.2 Saran ........................................................................................................ 255

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... ........ 257

Page 12: Muara Dadap

xii

DAFTAR TABEL Halaman

Nomor 2.1 Kumpulan konsensus dari panduan ICM ................................................ 28 2.2 Derajat dan nama istilah dalam co-management .................................... 31 2.2. Daftar thesis/disertasi yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan di Indonesia ........................ 70 2.3 Daftar thesis/disertasi yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan di Indonesia ....................................... 77 3.1 Matriks keterkaitan antara tujuan, indikator/parameter,

metode analisis, sumber data, dan output ............................................... 87 4.1. Luas dan jumlah desa di Kecamatan Kosambi tahun 2003 ..................... 102 4.2. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kecamatan Penjaringan tahun 2003 .................................................... 107 4.3. Jumlah Penduduk, Kepala Keluarga, Rukun Warga (RW)

dan Rukun Tetangga di Penjaringan 2003 ............................................. 108 4.4 Jumlah kepala keluarga menurut jenis kegiatan di Kecamatan

Penjaringan tahun 2003 ........................................................................... 109

4.5 Jumlah Kepala Keluarga Menurut Jenis Kegiatan di Penjaringan tahun 2003 ........................................................................... 109

4.6. Kisaran tinggi muka laut di Pantai Dadap berdasarkan data

Pasut Tanjung Priok ................................................................................ 112

4.7 Nilai parameter kualitas air di perairan Kronjo dan Tanjung Pasir ........ 115 4.8 Kandungan logam berat di perairan Teluk Jakarta dan daging

kerang hijau antara tahun 2000-2001 ......................................................... 117

4.9 Nilai parameter kualitas air di Perairan Dadap hasil uji Kantor MenLH 118 4.10 Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Wilayah Kota Jakarta Utara .............. 123 4.11 Distribusi ikan konsumsi di DKI Jakarta tahun 2005 ............................. 126 4.12 Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara tahun 1992-2003 ............ 127 4.13 Potensi budidaya perikanan darat di Jakarta Utara tahun 2003 .............. 129

Page 13: Muara Dadap

xiii

4.14 Potensi budidaya kerang hijau di Jakarta Utara tahun 2003 ................... 130 4.15 Data produksi ikan lokal dan ikan luar daerah dari masing-masing

PPI yang ada di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2001-2004 ...................... 133

4.16 Rekapitulasi retribusi pemakaian tempat pelelangan ikan lokal dan ikan luar daerah dari masing-masing PPI yang ada di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2001-2004 .................................................. 134

4.17 Rekapitulasi data frekwensi tambat labuh kapal yang masuk di PPI Muara Angke Jakarta Utara tahun 2002-2004 ............................ 136 4.18 Rekapitulasi data tambat labuh kapal yang masuk di Pelabuhan

Perikanan Muara Angke tahun 2005 ...................................................... 136 4.19 Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan

ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 1.600 menjadi Rp 2.150 ................................................................................................. 138

4.20 Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan

ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 2.150 menjadi Rp 4.300 ................................................................................................. 139

4.21 Ketersediaan dan kebutuhan sarana dan prasarana penanganan dan

pengolahan hasil perikanan ..................................................................... 141 4.22 Data Nilai Produksi TPI Kamal Muara dan DKI Jakarta dari Tahun 1997 – 2003 ................................................................................ 147 4.23 Daftar jenis ikan yang didaratkan di TPI Kamal Muara dari tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002) ................................................ 148 4.24 Volume dan nilai produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara berdasarkan alat tangkap tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002) ........ 149 4.25 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di lingkungan TPI Kamal Muara tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM. ............................................................................................ 152 4.26 Potensi Areal Penangkapan di Kabupaten Tangerang ............................ 154 4.27 Produksi Potensi Pertambakan Kabupaten Tangerang tahun 2004......... 155 4.28 Keragaan Tempat Pelelangan Ikan dan Institusi Penanggungjawab Operasionalnya. ....................................................... 157 4.29 Perkembangan produksi ikan hasil tangkap di laut dan perairan umum di Kabupaten Tangerang. ............................................................ 158

Page 14: Muara Dadap

xiv

4.30 Keragaan alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang tahun 2003 .......... 159 4.31 Data umum PPI Dadap Kecamatan Kosambi Kabupaten

Tangerang tahun 2003 ............................................................................. 161 4.32. Daftar Jenis Ikan yang tertangkap di Pantai Dadap (PPLH, 1997) ......... 164 5.1 Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap dan peran diantara para stakeholders ...................................................................... 176 5.2 Skenario solusi konflik rencana reklamasi pantura ................................. 178 5.3 Rasio jumlah nelayan terhadap total penduduk(RNt) .............................. 182 5.4 Rasio jumlah nelayan terhadap total tenaga kerja (RMt) ....................... 182 5.5 Rasio jumlah hasil tangkapan ikan ......................................................... 182

5.6 Rasio jumlah kapal ikan (RKt) .............................................................. 183 5.7 Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan ................ 183 5.8 Rasio kontribusi sektor perikanan wilayah desa terhadap

wilayah kabupaten/kota (KPIti) .............................................................. 183 5.9 Rasio kesempatan kerja sektor perikanan wilayah desa terhadap

total jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (KPIti) ................... 184

5.10 Rasio industri sektor perikanan wilayah desa terhadap jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (RIti) .............................................. 184 5.11 Hasil rataan variabel ketergantungan daerah penangkapan. ................... 184 5.12 Hasil modifikasi dari input data rataan variabel ketergantungan

daerah penangkapan. .............................................................................. 185

5.13 Hasil normalisasi data berbagai variable ketergantungan perikanan daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003. ....................... 185

5.14 Hasil analisis data tahunan berbagai variable ketergantungan

perikanan daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003 ........ 186

5.15 Hirarki wilayah Kecamatan Kosambi dan Penjaringan berdasarkan analisis skalogram .................................................................................. 195

5.16 Data penggunaan lahan di kawasan Dadap dan Kamal Muara (m2) ...... 201

Page 15: Muara Dadap

xv

5.17 Status lahan di Kelurahan Kamal Muara antara tahun 1997-2000 ......... 202 5.18. Data peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan

Penjaringan dari tahun 1995-2000 (ha) .................................................. 202

5.19. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan dari tahun 1993-2001 (unit) ............................ 203

5.20 Distribusi hutan mangrove di wilayah Jakarta ........................................ 204 5.21 Persentase penggunaan tanah di Kecamatan Penjaringan Tahun 2003 ............................................................................................ 204 5.22 Daftar fasilitas logistik kegiatan perikanan disekitar TPI Dadap

dan Kamal Muara ................................................................................... 212

5.23 Daftar fasilitas yang perlu dikembangkan di TPI Kamal Muara untuk menampung kelebihan kapasitas TPI Muara Angke ................... 216

5.24 Pergerakan atribut diantara TPI Dadap, TPI Kamal Muara, dan

TPI Muara Angke ................................................................................... 217

5.25 Nilai konversi variabel sarana dan prasarana pelabuhan perikanan di Kamal Muara (kapasitas pelabuhan untuk sebanyak 500 unit kapal berukuran 50 GT (perubahan dari total bobot kapal

2.310 GT ke 25.000 GT)1) ......................................................................... 218

5.26 Model perubahan jumlah kapal yang pindah dan fasilitas pelabuhan yang perlu ditingkatkan ........................................................ 220

2.27 Besaran jumlah ikan dan nilai retribusi yang diperkirakan dapat diperoleh dari operasional 299 unit kapal ikan di TPI Muara Angke (data diolah dari Tabel 4.10, Tabel 4..11 dan Tabel 4.12). ........ 221

2.28 Data pola perubahan keseimbangan jumlah kapal (dalam GT) di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara dari tahun 2006-2011 .................. 226

5.29 Aspek kelembagaan pengelola TPI Dadap dan Kamal Muara................ 237 5.30 Rangkuman kondisi sarana perikanan di kawasan Dadap-

Kamal Muara berdasarkan responden nelayan ....................................... 240

5.31 Rangkuman biaya operasi penangkapan ikan per trip di kawasan Dadap-Kamal Muara berdasarkan responden nelayan tahun 2004 .......... 241

Page 16: Muara Dadap

xvi

5.32. Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran 2003 ............................................................................ 243

5.33. Rangkuman saran penduduk responden nelayan berkaitan dengan aktivitas perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara. ............. 246 5.34 Pendapat masyarakat lokal tentang masalah perikanan .......................... 248

Page 17: Muara Dadap

xvii

DAFTAR GAMBAR Halaman

Nomor 1.1 Kerangka berfikir pemecahan masalah pengembangan pelabuhan perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara dalam

konteks pengelolaan pesisir terpadu........................................................ 11 2.1 Dasar pemikiran terbentuknya virtue universal ...................................... 19 2.2 Indikator pembangunan berkelanjutan ................................................... 22 2.3 Hubungan antara berbagai komponen dalam kegiatan

pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ................... 27

2.4. Derajat interaksi diantara pemerintah dan komunitas dalam co-management ...................................................................................... 32 2.5 Latar belakang, gagasan, dan sejarah kerjasama BKSP Jabotabekjur .... 36 2.6 Bagan Sekretariat BKSP Jabotabekjur sesuai PERMENDAGRI No. 6/2006 ................................................................ 38 2.7 Bagan alir fungsi pemasaran yang terjadi di TPI .................................... 56 2.8 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah ................. 58 2.9 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Jawa Timur ..... 58 2.10 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Bali ................. 59 2.11 Model Von Thunen tentang land-rent ..................................................... 63 2.12 Konsep land rent ..................................................................................... 63 2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan ............................. 67 2.14 Model sebagai re-presentasi realitas dunia nyata .................................... 76 3.1 Peta lokasi penelitian ................................................................................. 82

5.1 Profil pertumbuhan PDRB Kabupaten Tangerang 2000 -2002 ................. 189 5.2 Profil pertumbuhan PDRB Kota Jakarta Utara 2000-2003 ........................ 190 5.3 Grafik LQ Sesaat untuk Komoditi Unggulan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 2003 ...................................................................... 191

Page 18: Muara Dadap

xviii

5.4. Grafik LQ untuk Komoditi Unggulan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 2000 – 2002 ............................................................................ 192 5.5. Grafik LQ Sesaat untuk Komoditi Unggulan di Kota Jakarta Utara pada Tahun 2003 ............................................................................. 193 5.6. Grafik LQ untuk Komoditi Unggulan di Kota Jakarta Utara pada Tahun 2000 – 2003 ........................................................................... 193 5.7 Citra satelit landsat di lokasi penelitian, tahun 1992-2002. ....................... 200 5.8 Pola distribusi ikan yang berasal dari Kawasan Dadap-Kamal Muara ...... 211 5.9 Kurva laju perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara

Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara ...................................................................................... 222

5.10 Model kualitatif perpindahan sebagian armada penangkapan ikan ke TPI Kamal Muara ...................................................................... 223

5.11 Causal loop yang diasumsikan dapat terjadi pada proses pindah kapal ikan dan investasi fasilitas pelabuhan........................................... 224 5.12 Diagram hierarki pengelolaan kawasan Dadap-Kamal Muara ............... 238

Page 19: Muara Dadap

xix

DAFTAR LAMPIRAN Halaman

Nomor Lampiran: 1 Hasil analisis ketergantungan perikanan dengan menggunakan WSA

program ............................................................................................. 269 2 Data PDRB Kabupaten Tangerang dan PDRB Provinsi Banten ............ 274 3 Data PDRB Kota Jakarta Utara, dan Provinsi DKI Jakarta .................... 275 4 Analisis skalogram fasilitas sosial di Kecamatan Penjaringan,

Jakarta Utara ........................................................................................... 276

5 Analisis skalogram fasilitas sosial di Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang ............................................................................. 279

6 Persamaan dalam model dinamik Stella untuk perubahan kapasitas kapal di PPI/TPI Muara Angke, PPI/TPI Kamal Muara, dan PPI/TPI Dadap ....................................................................................... 281

7 Hasil pengolahan data komunitas lokal dengan survey pro .................... 283

8 Hasil pengolahan data nelayan lokal dengan survey pro ........................ 289

Page 20: Muara Dadap

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sesuai dengan harapan-harapan yang dilontarkan oleh berbagai pihak

tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, maka

berbagai masukan yang dapat dijadikan bahan untuk membuat peraturan turunan

dari UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah dan No. 33/2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat

diperlukan. Mengingat masalah otonomi yang berkaitan dengan pengelolaan

sumberdaya pesisir dan lautan mempunyai dimensi yang berbeda dengan

pengelolaan wilayah dan sumberdaya daratan (terrestrial), maka yang sangat

mendesak untuk dilakukan secara konkrit oleh daerah adalah mengidentifikasi

semua potensi sumberdaya (baik yang dapat pulih maupun tidak dapat pulih)

pesisir dan lautan yang dimiliki oleh daerah masing-masing, dalam rangka

membuat rencana pengelolaan dan pengembangan kawasan ini. Semakin dini

suatu daerah mengetahui secara akurat potensi sumberdaya ini, semakin besar

pula peluangnya untuk melakukan pengelolaan secara terpadu, baik dalam

koordinasi dan pelaksanaan program pembangunan di lingkungan Pemerintah

Daerah (PEMDA) yang bersangkutan maupun dengan PEMDA yang berbatasan

wilayahnya. Pengelolaan secara terpadu diyakini dapat menjamin pembangunan

berkelanjutan di wilayah pesisir.

Sumberdaya manusia adalah faktor utama yang menentukan keberhasilan

suatu program pembangunan. Untuk kegiatan pembangunan di wilayah pesisir,

maka stakeholders yang terkait dengan hal tersebut haruslah mengerti betul

tentang apa dan bagaimana konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

(integrated coastal zone management, ICZM). Tidak perlu semua stakeholders

tersebut mengerti ICZM secara mendalam, tetapi kerelaan untuk saling mengerti

tentang adanya masalah bersama dan kemudahan untuk melakukan koordinasi

yang efektif sangatlah besar pengaruhnya pada keberhasilan pelaksanaan program

pembangunan.

Page 21: Muara Dadap

2

Kawasan Dadap-Kamal Muara yang berlokasi di perbatasan Jakarta-

Banten, adalah suatu wilayah yang mempunyai tingkat pembangunan yang relatif

pesat. Posisi tersebut memungkinkan pemerintah daerah untuk memanfaatkan

para pakar ICZM yang banyak terdapat di sekitar JABODETABEK untuk

berperan serta dalam kegiatan pembangunan wilayah pesisir. Keberhasilan atau

kegagalan program pembangunan wilayah pesisir di daerah ini akan dengan cepat

dapat dipublikasikan ke seluruh Indonesia dan bahkan ke seluruh dunia karena

semakin baiknya sistem komunikasi. Hal ini merupakan tantangan bagi para

birokrat di lingkungan pemerintah daerah untuk memanfaatkan para ahli ICZM

tersebut untuk mencapai hasil pembangunan yang optimal.

Berkaitan dengan program otoda ini, maka PEMDA Kabupaten Tangerang

diharapkan lebih jeli untuk menangkap setiap peluang pengembangan sumberdaya

pesisir dan lautannya. Hal ini berkaitan dengan semakin padatnya penduduk DKI

Jakarta serta semakin banyaknya aspek yang harus ditata oleh PEMDA DKI

Jakarta untuk menjaga statusnya sebagai ibukota negara, bukan sebagai sebuah

metropolitan yang dikelilingi oleh perkampungan terbesar di dunia.

Kabupaten Tangerang adalah salah satu kawasan penyangga (buffer) setiap

gerak pembangunan yang dilakukan oleh DKI Jakarta, khususnya di kawasan

Jakarta Utara. Dampak dari kegiatan pembangunan yang dilakukan di kawasan

Ibu Kota Negara tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Dampak positifnya

antara lain:

(1) Berkembangnya investasi di berbagai bidang yang terlalu mahal biayanya

jika dikembangkan di kawasan DKI, khususnya bidang industri,

pemukiman, dan jasa;

(2) Adanya lowongan pekerjaan yang dapat diisi oleh warga Tangerang

(khususnya untuk tenaga kerja yang tidak memerlukan keakhlian spesifik);

(3) Adanya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari pajak

bangunan, barang, dan jasa;

Page 22: Muara Dadap

3

(4) Adanya keuntungan bagi daerah (baik individu maupun perusahaan) dari

berkembangnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan secara

umum maupun karyawan perorangan;

(5) Terbukanya peluang pemasaran hasil perikanan.

Setiap aktivitas pembangunan, bagaimanapun kecilnya mempunyai

kemungkinan menimbulkan dampak negatif. Beberapa dampak negatif yang

timbul akibat berkembangkan kawasan Tangerang yang berbatasan dengan DKI

Jakarta antara lain:

(1) Terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan yang berasal dari kegiatan

industri dan pemukiman yang tidak ramah lingkungan;

(2) Timbulnya dampak negatif sosial budaya masyarakat setempat, baik pada

tingkah laku dan aspek sosialnya penduduk secara umum, maupun aspek

keamanan lingkungannya; serta

(3) Terjadinya perubahan ekosistem dalam suatu kawasan, khususnya kawasan

pesisir.

Sektor perikanan tidak terlepas dari aspek penataan yang perlu dilakukan

oleh PEMDA DKI Jakarta, karena kawasan perikanan (khususnya tempat

pendaratan ikan, penanganan dan pengolahannya, serta pemasarannya) selalu

dikonotasikan sebagai daerah sumber polusi (khususnya polusi udara, lingkungan

pantai dan perairan) dan pemukiman yang kumuh. Meskipun PEMDA DKI

Jakarta telah berhasil melakukan penataan untuk kawasan perikanan Muara Baru

dan Muara Angke, tetapi kesan kumuh untuk kedua daerah ini tetap saja ada,

karena perkampungan di sekitarnya terimbas kegiatan primer tersebut dan

muncullah konsentrasi-konsentrasi kegiatan ekonomi di luar kawasan

peruntukannya. Hal yang sama juga akan terjadi dengan daerah-daerah perikanan

di kawasan DKI Jakarta lainnya seperti Kamal Muara, Kapuk Muara di sebelah

barat atau Cilincing dan Marunda di sebelah timur.

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kamal Muara, merupakan PPI yang

terletak paling barat di wilayah DKI Jakarta. Peningkatan kapasitas pendaratan

Page 23: Muara Dadap

4

PPI ini merupakan bagian dari upaya untuk menampung kelebihan kapasitas PPI

Muara Angke di sebelah timurnya.

Tangerang mempunyai beberapa konsentrasi kegiatan perikanan, yaitu di

PPI/TPI Kronjo, PPI/TPI Banyawakan, PPI/TPI Ketapang, PPI/TPI Cituis,

PPI/TPI Tanjung Pasir, dan PPI/TPI Dadap. Sejak direncanakan untuk

dibangunnya Pelabuhan Kapal Baruna Jaya tahun 1997, maka kondisi PPI Dadap

ini semakin ramai, baik bagi kegiatan pendaratan ikan, tempat perbaikan,

pemberangkatan, dan berlabuhnya kapal pesiar yacht untuk kegiatan mancing dan

wisata di kawasan Kepulauan Seribu, maupun aktivitas pemasarannya melalui

restoran seafood. Tidak semua PPI/TPI yang ada di Kabupaten Tangerang

mempunyai tingkat aktivitas yang optimal.

Kondisi PPI/TPI lainnya yang ada di Tangerang ada yang sudah sulit untuk

dikembangkan, seperti misalnya PPI/TPI Cituis yang terletak di tepi sungai dan

dikelilingi oleh pemukiman penduduk, sebagaimana dinyatakan dalam hasil studi

PKSPL IPB (PKSPL IPB 2000). Akses jalan yang sempit juga menyebabkan

tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembangkan PPI/TPI ini. Jika

dilihat dari aspek investasi dan penghasilan yang akan diperoleh, maka biaya

pengembangan PPI/TPI Dadap akan lebih kecil dibandingkan dengan PPI/TPI

lainnya di kawasan Kabupaten Tangerang dan akan memberikan keuntungan yang

lebih besar. Faktor-faktor yang mendukung PPI/TPI Dadap dapat lebih berhasil

dari PPI/TPI lainnya adalah:

(1) Lokasinya dekat dengan jalan TOL Jakarta Cengkareng, sehingga akses ke Jakarta, Tangerang, atau daerah lainnya di Jawa Barat dan Banten menjadi lebih lancar;

(2) Pangkalan Pendaratan Ikan Dadap terletak di muara Kali Perancis yang mengalirkan air dari daerah genangan kawasan Bandara Sukarno-Hatta Cengkareng, sehingga kemungkinan terjadinya pendangkalan kolam pelabuhan sangat lambat sekali;

(3) Kawasan ini merupakan perbatasan dengan wilayah DKI Jakarta yang telah merencanakan pembangunan suatu “Kota Air” di Kamal Muara, sehingga dampak posisif dari pembangunan kota ini dapat dimanfaatkan oleh kawasan Dadap, khususnya jika ditinjau dari aspek ekonomi.

Page 24: Muara Dadap

5

1.2 Perumusan Masalah

Kerusakan lingkungan pesisir, khususnya ekosistem perairan pantai adalah

salah satu isu pokok yang sekarang sedang berkembang di kawasan Dadap-Kamal

Muara. Isu yang lainnya adalah masa depan PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Kamal

Muara yang tidak diketahui secara jelas dan transparan oleh penduduk lokal.

Meskipun menjadi sumber pendapatan bagi nelayan dan pedagang ikan serta

menjadi tempat belanja ikan bagi penduduk sekitarnya, program pengembangan

PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Kamal Muara di masa yang akan datang tidaklah

diketahui oleh masyarakat umum.

Kerusakan ekosistem perairan ditunjukkan dengan rendahnya nilai kualitas

air di pesisir utara Jakarta dan Tangerang. Dari penampakan warna air, sampai

jarak sekitar 500 m dari garis pantai warna air sudah hitam dengan bau khas

senyawa sulfida. Tingkat polusi air juga sudah tinggi yang telah menyebabkan

terjadinya beberapa kali kasus matinya ribuan ekor ikan, dan tingginya kandungan

logam berat pada benthos dan kerang hijau (Perna viridis L.). Kejadian bulan

Mei 2004 dimana ribuan ekor ikan mati di perairan pesisir Jakarta sudah

menunjukkan bagaimana buruknya kondisi kualitas airnya.

Kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan program

pembangunan yang direncanakan haruslah dikomunikasikan dengan sangat

cermat dan terpadu. Bilamana perlu dapat dilakukan suatu kajian yang cukup

mendalam untuk mencari jawaban apakah program yang direncanakan pemerintah

dapat memberikan keuntungan kepada semua stakeholders, atau hanya

menguntungkan segelintir orang saja. Kajian juga dapat memberikan jawaban

apakah suatu program pembangunan masih layak untuk diteruskan padahal

dukungan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia tidak ada.

Sebagai akibat adanya berbagai kepentingan dalam pengembangan

kawasan Dadap, maka terjadinya penurunan fungsi PPI/TPI Dadap sebagai pusat

kegiatan perikanan tangkap di kawasan paling timur Kabupaten Tangerang ini

adalah suatu hal yang wajar dan dapat dimengerti. Namun demikian, hal ini telah

membawa dampak negatif, tidak hanya bagi nelayan tangkap dan para pedagang

Page 25: Muara Dadap

6

kecil dan pengolah ikan, tetapi juga terhadap para pemilik restoran seafood yang

sebelumnya tumbuh menjamur di kawasan ini.

Vakumnya kegiatan PPI/TPI Dadap sejak tahun 1997 secara langsung juga

merugikan Pemda Tangerang yang kehilangan sumber dana dari retribusi PPI/TPI

dan kegiatan ekonomi ikutannya. Dengan tidak aktifnya PPI/TPI Dadap ini, maka

sebagian dari nelayan yang biasanya mendaratkan hasil tangkapannya di sini, kini

beralih ke TPI lain yang umumnya berada di kawasan Jakarta Utara, khususnya ke

TPI Kamal Muara yang berjarak 700 m di sebelah timurnya. Namun demikian di

sisi yang lain, seandainya Pemkab Tangerang mempunyai program lain yang

dinilai akan lebih banyak menghasilkan PAD, maka pe-non-aktifan TPI Dadap

tersebut akan menjadi suatu jalan ke arah alternatif yang lebih menguntungkan.

Di Kelurahan Dadap, sejak lama sudah ada rencana pembangunan

Pelabuhan Kapal Penelitian Baruna Jaya yang tidak jelas kelanjutannya,

pembangunan kawasan wisata Pantai Mutiara Dadap, serta pembangunan

Pelabuhan Peti Kemas. Di Kamal Muara, rencana pembangunan Kota Air Kamal

Muara secara perlahan tapi pasti tetap bergulir. Semua program tersebut seolah-

olah menggantung di langit dan sewaktu-waktu dapat turun untuk dilaksanakan.

Padahal masyarakat yang akan terkena dampaknya perlu mengetahui secara dini,

apa yang akan terjadi dan apa akibatnya bagi penduduk. Mungkinkah masyarakat

mendapat keuntungan langsung, atau keuntungan tidak langsung yang masih

memungkinkan mereka untuk tetap tinggal di tempat tinggalnya sekarang.

Perkembangan kegiatan ekonomi di kawasan Dadap ini ternyata juga diikuti

oleh maraknya aktivitas prostitusi, yang merupakan salah satu dampak negatif

dari kegiatan pembangunan ini. Keresahan masyarakat akhirnya memuncak pada

tanggal 14/08/1997, dimana areal prostitusi tersebut akhirnya dibakar massa.

Dampak lanjutan dari kerusuhan tersebut adalah berkurangnya restoran seafood

karena konsumen yang berkunjung ke kawasan ini merasa jengah. Berkurangnya

volume pemasaran ikan kemudian menyebabkan pendaratan ikan di PPI/TPI pun

jauh berkurang. Data jumlah hasil retribusi kegiatan lelang di PPI/TPI Dadap

tahun 1994 sebesar 18,3 juta rupiah, namun sejak tahun 2000 nilai ini belum

pernah tercapai lagi (Diskankab Tangerang 2003).

Page 26: Muara Dadap

7

Penurunan kualitas lingkungan sosial ini sangat meresahkan masyarakat,

khususnya bagi masyarakat yang masih memiliki rasa idealisme untuk

mendapatkan pendidikan keluarga yang baik. Kondisi ini memicu terjadinya

perusakan 68 rumah liar yang digunakan untuk praktek prostitusi di Dadap

tanggal 20 Oktober 1994, yang dipelopori oleh puluhan Ibu-ibu PKK. Shock

therapy ini hanya bertahan beberapa bulan saja, karena secara perlahan-lahan

tetapi pasti kegiatan prostitusi tersebut tetap berjalan (Anonimous 1996).

Menurut McCann (2001), semua fenomena ekonomi selalu memerlukan

tempat (ruang) geografis, baik dalam bentuk tempat perdagangan barang (pasar),

ataupun tempat jasa perdagangan itu dilakukan (seperti perkantoran). Sehingga,

performa dari lokasi ini sangat menentukan pula keberhasilan proses jual beli,

termasuk jasa perdagangan yang tidak melibatkan secara langsung barang yang

diperjual belikan. Kondisi ini menyebabkan tingginya permintaan terhadap lahan

sehingga harganya pun menjadi sangat tinggi, sehingga keberadaannya menjadi

langka. Menurut Rustiadi et al. (2003), kelangkaan ini tidak hanya dilihat dari

aspek fisik (ketersediaannya terbatas), tetapi juga oleh kendala-kendala

kelembagaan (institutional) seperti kepemilikan, dalam kaitannya dengan hak-hak

(property right) atas tanah yang dapat menjadi suatu kendala dalam

pemanfaatannya. Isu lain yang juga bergulir cepat di daerah ini adalah rencana

pembangunan kawasan wisata terpadu Pantai Mutiara. Belum juga dokumen

AMDALnya dibuat, kegiatan reklamasi seluas 300 ha sudah dilakukan sehingga

meresahkan masyarakat dan pemerintah daerah (Anonimous 2004a dan 2005a;

Anonimous 2004b). Berdasarkan Perda RTRW No. 5/1992, No. 3/1996, serta

Perda No 5/2002 tentang Perubahan Atas RTRW, kawasan Dadap diperuntukkan

sebagai daerah pengembangan perikanan dan pariwisata.

Konflik yang terjadi di kawasan Dadap tersebut cukup komplek.

Kompleksitas masalah ini disebabkan sudah terdapatnya aspek legal yang

mengijinkan dilakukannya reklamasi oleh para pengembang. Legalitas yang

membolehkan dilakukannya reklamasi ini berupa Fatwa Rencana Pengarahan

Lokasi dengan No. 655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang

Page 27: Muara Dadap

8

ditandatangani oleh Bupati Agus Djunara. Apalagi pada saat yang bersamaan

Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga mengeluarkan surat penetapan retribusi

fatwa rencana pengarahan lokasi bernomor 974/330-DTRB/IX/2001 yang

ditandatangani Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan, Nanang Komara yang

kini menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang. Dalam fatwa tersebut

ditetapkan bahwa dasar hukum pemberian fatwa itu adalah Perda No 8 tahun 1986

jo Perda No 11 tahun 1987 tentang IMB dan Perda No 4 tahun 1994 (Bab IV)

tentang retribusi,” jelas sumber tadi. Menurutnya, berdasarkan ketetapan tersebut

pihak pengembang diharuskan membayar retribusi biaya urukan senilai Rp 100

per meter persegi (Sinar Harapan 2004a). Dalam berita tersebut juga disebutkan

bahwa Pemkab Tangerang telah menerima retribusi ratusan juta rupiah dari

pengembang untuk mengeluarkan ijin tersebut. Kemelut yang belum selesai

hingga kini tersebut, meskipun telah dibawa dalam diskusi di tingkat DPRD

(Suara Publik 2004) dan Komisi VII DPR (Anonimous 2005c, Anonimous

2005d), menunjukkan bahwa telah terjadi kekisruhan dalam implementasi Perda

tentang RTRW dan desakan kepentingan beberapa pihak yang berorientasi pada

keuntungan ekonomi sesaat.

Perpindahan tempat pendaratan ikan dari nelayan-nelayan tersebut secara

ekonomi akan sangat merugikan masyarakat wilayah Dadap khususnya dan

Kabupaten Tangerang umumnya. Sebaliknya, peningkatan jumlah nelayan yang

mendaratkan hasil tangkapannya di wilayah Jakarta Utara tidak hanya

menyebabkan peningkatan pendapatan karena terjadinya peningkatan volume

kegiatan perikanan, tetapi juga menimbulkan dampak sosial yang cukup besar

bagi Kota Metropolitan Jakarta, seperti munculnya daerah-daerah kumuh di

sekitar pelabuhan perikanan dan meningkatnya masa tunggu (waiting time) di

pelabuhan. Meningkatnya masa tunggu bongkar muat di suatu pelabuhan ini

secara ekonomi sangat merugikan nelayan khususnya dan juga merugikan

pemerintah secara umum.

Hilangnya kegiatan perikanan di PPI/TPI Dadap serta peningkatan yang

drastis pula di PPI/TPI Kamal Muara dan PPI/TPI Muara Angke telah

menyebabkan terjadinya kelebihan kapasitas penanganan pelabuhan (overload) di

Page 28: Muara Dadap

9

kedua TPI di Jakarta Utara ini. Kurang baiknya prasarana dan sarana pelabuhan

telah menyebabkan kurang optimalnya penggunaan tenaga buruh di PPI/TPI

Kamal Muara, sementara di PPI/TPI Muara Angke, optimalisasi tenaga buruh

terhambat karena kapal ikan yang sudah melakukan bongkar muatan terhambat

untuk melakukan “parkir” karena keterbatasan kolam pelabuhan.

Sebagai kawasan yang terletak di perbatasan antara dua daerah tingkat

kabupaten/kota dan dua provinsi, yaitu Kabupaten Tangerang Provinsi Banten dan

Kota Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta, potensi kawasan Dadap dan Kamal

Muara tersebut dapat berpeluang untuk menyumbangkan sesuatu yang bersifat

positif bagi kedua belah pihak atau bersifat negatif bagi salah satu atau keduanya.

Suatu kegiatan pembangunan di kawasan tersebut yang direncanakan dan

dilaksanakan secara terpadu oleh kedua daerah tingkat kabupaten/kota tersebut

akan secara pasti memberikan keuntungan bagi keduanya. Tetapi jika hal tersebut

dilakukan secara kedaerahan atau bahkan sektoral, besar kemungkinan akan

terjadi beberapa hal berikut:

(1) Masing-masing daerah mendapat keuntungan, tetapi persaingan jenis usaha

tidak dapat dikontrol dan akan saling menjatuhkan salah satu pihak;

(2) Salah satu daerah akan mendapat keuntungan besar tetapi daerah lainnya

mendapat keuntungan sekedarnya;

(3) Salah satu daerah mendapat keuntungan tetapi daerah lainnya mendapat

kerugian, baik dilihat dari aspek sumberdaya manusia, biofisik, sosial

ekonomi, maupun lingkungan.

(4) Kedua daerah mendapat kerugian, karena beberapa kegiatan yang saling

bertentangan di suatu kawasan yang sama akan menimbulkan dampak

negatif.

Kawasan Dadap dihuni oleh berbagai komunitas masyarakat yang

mempunyai aktivitas primer yang berbeda-beda. Masyarakat sekitar Dadap dan

Kamal Muara terdiri dari nelayan, petani, penduduk yang terlibat dengan kegiatan

lain seperti perdagangan dan jasa, serta juga terdapatnya beberapa lokasi

pemukiman penduduk (yang umumnya bukan penduduk asli kawasan

Dadap/Muara Kamal atau para pendatang). Dalam konsep ICZM, peran

Page 29: Muara Dadap

10

penduduk lokal dalam perencanaan pembangunan sangatlah vital. Opini

masyarakat harus diakomodasi oleh pemerintah sehingga akan diperoleh prinsip-

prinsip saling mendapat keuntungan (win-win solution) meskipun tidak penuh.

1.3 Tujuan

Penelitian yang berjudul ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN

PELABUHAN PERIKANAN KAMAL MUARA DAN DADAP DALAM

KONTEKS PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU ini bertujuan

untuk:

1) Mengkaji kondisi lingkungan, pemanfaatan dan ketergantungan daerah

perikanan dari TPI Dadap dan TPI Kamal Muara sesuai dengan

perkembangan kegiatan pembangunan daerah di kawasan tersebut.

2) Menganalisis struktur komposisi pertumbuhan ekonomi wilayah dan

pemusatan aktivitas serta hierarki aktivitas pelayanan.

3) Mengkaji pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan perikanan di

kawasan Dadap-Kamal Muara berkaitan dengan kapasitas tampung TPI

Muara Angke di masa yang akan datang

4) Membuat analisis dan skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan

perikanan dalam konteks pengelolaan pesisir terpadu.

5) Membuat kajian opini masyarakat tentang kondisi perikanan di kawasan

Dadap-Kamal Muara

1.4 Kerangka Berpikir

Dari kerangka permasalahan yang ada di lapangan, maka kerangka pikir

penelitian yang perlu dilakukan dapat diuraikan sebagaimana tercantum dalam

Gambar 1.1.

Page 30: Muara Dadap

11

TPI DAN ISU MASALAH EKONOMI & KEBIJAKAN

MASALAH FISIK MASALAH SOSIAL

SKENARIO SOLUSI

Batas kelurahan

Batas kabupaten dan batas provinsi

Gambar 1.1. Kerangka berfikir pemecahan masalah pengembangan pelabuhan perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara dalam konteks pengelolaan pesisir terpadu.

?PPI/TPI MUARA

ANGKE

Overload

o Rencana Pembangunan Pelabuhan Kapal Riset

o Rencana Pembangunan Pelabuhan Kapal Kon-tainer

o Rencana pembangunan Kawasan Wisata Pantai Pasir Putih/Mutiara Dadap

PPI/TPI KAMAL MUARA

PPI/TPI DADAP

Kota Air Kamal Muara

Gelanggang olah raga

Alur masuk pelabuhan dangkal, kapasitas kecil

Inefisensi Kekurangan sarana prasarana

Konflik tataruang

TPI tidak aktif

Tidak optimal

Tenaga buruh kurang optimal

Alur masuk pelabuhan dangkal, kapasitas kecil

Tenaga buruh kurang optimal

Pengangguran dan prostitusi

Aktivitas perikanan tidak optimal

?

?

Page 31: Muara Dadap

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir didefinisikan oleh FAO sebagai wilayah peralihan atau

transisi di antara daratan dan laut, termasuk danau besar di tengah daratan

(Scialabba 1998). Wilayah pesisir mempunyai fungsi, bentuk, dan dinamika yang

beragam, serta tidak dibatasi oleh batas spasial yang ketat. Sementara itu Chua

(2006) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai bagian daratan yang berada di

sepanjang garis pantai dan berbatasan dengan air laut. Oleh karena itu wilayah

pesisir adalah suatu kawasan tempat terjadinya interaksi antara daratan dan

perairan. Sebagai akibatnya, secara langsung dipengaruhi oleh kekuatan alam

baik yang berasal dari daratan maupun dari laut. Pengaruh daratan antara lain

aliran air tawar dan sedimen ke pesisir yang mengakibatkan terbentuknya delta,

wetlands dan mudflats. Sebaliknya, pasang surut dan arus laut mendorong air asin

jauh masuk ke wilayah daratan. Kekuatan alam lainnya yang juga berlangsung di

wilayah pesisir dan berpengaruh nyata adalah angin, suhu, badai, dan curah hujan.

Interaksi antara proses-proses fisika, kimia, dan biologi di wilayah peralihan

tersebut menciptakan sistem sumberdaya yang menghasilkan barang dan jasa yang

unik dan kondusif untuk kehidupan manusia. Chua (2006) juga menjelaskan

bahwa aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan

dan kesehatan wilayah pesisir. Di suatu kawasan pesisir yang tidak terdapat

komunitas manusia, proses alami dapat menjaga kondisi wilayah tersebut tetap

pristine.

Terdapat dua istilah yang umum dipakai, yaitu coastal zones dan coastal

area (Scialabba 1998). Bentuk coastal zones lebih dimaksudkan pada definisi

berdasarkan wilayah geografis dimana suatu peraturan pengelolaan diberlakukan.

Sementara itu coastal area lebih luas penggunaannya pada wilayah pesisir yang

belum ditetapkan sebagai wilayah untuk tujuan pengelolaan.

Secara geografis, wilayah pesisir memiliki suatu keunikan tertentu, dalam

arti bahwa di tempat ini dapat dibangun pelabuhan dan berbagai fasilitas

penunjangnya sehingga dapat menangkap setiap peluang keuntungan dari

Page 32: Muara Dadap

13

kegiatan-kegiatan ekonomi yang terjadi, baik kegiatan ekonomi primer maupun

sekunder. Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), tingginya nilai ekonomi suatu

kawasan pesisir juga disebabkan oleh daya tariknya yang besar untuk kegiatan

wisata. Wilayah pesisir secara biologis juga merupakan tempat yang mempunyai

produktivitas paling tinggi dan paling kaya dengan berbagai habitat. Selain itu,

sejalan dengan berlangsungnya jaman, kawasan pesisir merupakan suatu tempat

yang dapat bertahan terhadap berbagai pengaruh peristiwa alam, seperti badai

angin dan gelombang pada skala yang bervariasi. Chua (2006) menyebutkan

bahwa lebih dari setengah penduduk dunia hidup di kawasan yang lebarnya 100

km sepanjang garis pantai. Angka ini kemungkinan akan meningkat lagi menjadi

75 % penduduk dunia akan hidup di kawasan pesisir pada tahun 2020.

Menurut kesepakatan umum, definisi wilayah pesisir adalah suatu wilayah

peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline),

maka wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: batas sejajar

garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai

(crossshore) (Dahuri et al. 1996). Akan tetapi penetapan batas-batas suatu

wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai, sejauh ini belum ada

kesepakatan, artinya batas wilayah pesisir dapat saja berbeda antara satu dengan

negara yang lain. Hal ini dapat difahami karena adanya perbedaan kondisi

lingkungan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sistem pemerintahan.

Sorensen dan Mc Creary (1990) sebagaimana yang dikutip Dahuri et al.

(1996) mengkompilasi beberapa definisi wilayah pesisir dengan kesimpulan:

(1) Batas wilayah pesisir ke arah darat pada umumnya adalah jarak secara

arbitrer dari rata-rata pasang tertinggi (mean high tide), dan batas ke arah

laut umumnya adalah sesuai dengan batas jurisdiksi provinsi;

(2) Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah

pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah

perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan

(regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management).

Wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu)

apabila terdapat kegiatan manusia (kegiatan pembangunan fisik) yang dapat

Page 33: Muara Dadap

14

menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya

pesisir. Oleh karena, itu batas wilayah pesisir ke arah darat untuk

kepentingan perencanaan dapat sangat jauh ke arah hulu. Jika suatu

program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah

pengelolaan (wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan), maka wilayah

perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan;

(3) Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah, tergantung

pada isu pengelolaan yang dilakukannya.

2.2 Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Mengadopsi definisi regional science dari Mayhew (1997 dalam Rustiadi et

al. 2003), pengembangan wilayah dapat didefinisikan sebagai “suatu aktivitas

pembangunan yang menganalisis secara interdisiplin yang mengkhususkan pada

integrasi analisis-analisis fenomena sosial dan ekonomi wilayah, mencakup aspek-

aspek perubahan, antisipasi (peramalan) perubahan-perubahan hingga

perencanaan pembangunan di masa yang akan datang dengan penekanan pada

pendekatan kuantitatif”. Sementara itu, pengelolaan wilayah pesisir terpadu

didefinisikan oleh European Commission (EC 1999) sebagai berikut: “ICZM has

been defined as a dynamic, continuous and iterative process designed to promote

sustainable management of coastal zone. ICZM seeks, over the long-term to

balance the benefits from economic development and human uses of the coastal

zone, the benefits from protecting, preserving and restoring coastal zones, the

benefits from minimising loss of human life and property, and the benefits from

public access to and enjoyment of coastal zone, all within the limits set by natural

dynamics and carrying capacity”.

2.2.1 Pengembangan wilayah

Menurut McCann dan Shefer (2004), pengetahuan kewilayahan berkaitan

dengan analisis penomena perkotaan dan kedaerahan (urban dan regional).

Tujuannya adalah untuk mengenal lebih baik struktur dan fungsi suatu kota atau

Page 34: Muara Dadap

15

wilayah sambil memperhitungkan fenomenanya yang dimensi multifaset, baik

ekonomi, sosial, politik, atau lingkungan. Suatu pengertian tentang bagaimana

kota dan wilayah melakukan kegiatan dan fungsinya agar dapat menghasilkan

kontribusi pembuatan kebijakan yang lebih baik, sehingga dapat memperbaiki

kualitas standar hidup penduduk di kota atau wilayah tersebut.

Peran dari infrastruktur publik dalam pengembangan wilayah sangatlah

komplek sekali karena melibatkan pengadaan barang milik publik, keberadaan

generasi eksternal, pembuatan keputusan politik, dan lamanya masa berlalu (The

role of public infrastructure in regional development is a highly complex issue

involving aspects of public good provision, the generation of externalities,

political decision-making, and long time-periods), sebagaimana dinyatakan oleh

Lynde dan Richmond (1992) serta Gramlich (1994) dalam McCann dan Shefer

(2004), infrastruktur modal milik masyarakat dapat berperan penting dalam

melengkapi proses produktivitas sektor swasta regional. Hal ini disebabkan oleh

karena infrastruktur menunjukan berbagai karakter barang publik dimana jasa dari

modal milik umum didistribusikan secara bebas kepada para produser swasta.

Oleh karena itu, karena produk marjinal dari jasa-jasa tersebut biasanya bersifat

positif, maka harus dipertimbangkan sebagai suatu komponen integral dari

kumpulan fungsi produksi regional.

Menurut Rustiadi et al. (2003), di Indonesia terdapat berbagai konsep

nomenklatur kewilayahan, seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”,

“area”, “ruang”, dan beberapa istilah sejenis, banyak dipergunakan dalam

berbagai konteks permasalahan yang sering saling dapat dipertukarkan

pengertiannya dan walaupun masing-masing memiliki penekanan pemahaman

yang berbeda-beda. Secara yuridis sebagaimana tercantum dalam Undang-undang

No. 24/92 tentang Penataan Ruang, pengertian “wilayah” adalah ruang yang

merupakan kesatuan geografis berserta segenap unsur terkait yang batas dan

sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Sedangkan pengertian dari “kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama

ditekankan pada pengertian “lindung” dan “budidaya”. Sementara itu, pengertian

“daerah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU 24/92 tersebut, namun

umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.

Page 35: Muara Dadap

16

Menurut Winoto (1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang

mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi

dan berinteraksi. Berdasarkan hal ini, wilayah dapat didefinisikan, dibatasi, dan

digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Dengan

demikian, pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu perencanaan area

geografis tertentu yang akan menguntungkan baik bagi individu nelayan, petani,

masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan

kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang

dikembangkan.

Hoover dan Giarratani (1985) mengelompokkan wilayah ke dalam dua

bentuk, yaitu wilayah homogen dan wilayah fungsional. Wilayah homogen

dibatasi oleh keseragaman atau kesamaan ciri yang dimilikinya, sementara

wilayah fungsional didasarkan pada interaksi yang terjadi dalam suatu wilayah,

khususnya dilihat dari keterkaitan aspek ekonomi. Untuk lebih tepat lagi, Winoto

(1999/2000) juga menyatakan bahwa pengembangan wilayah dapat dilihat dari

berbagai aspek, yaitu berdasarkan aspek fungsional, aspek kehomogenan, dan

aspek administrasi. Aspek fungsional meliputi tempat pemusatan penduduk,

pemusatan pasar, pemusatan pelayanan, pusat industri dan perdagangan, dan pusat

inovasi. Bentuk spesifik dari wilayah fungsional ini disebut wilayah nodal,

dimana dapat dianggap sebagai suatu sel dengan satu inti dan dikelilingi oleh

plasma. Dalam kenyataan sehari-hari, nodal ini dapat diibaratkan sebagai kota,

yang dikelilingi oleh wilayah pedesaan; dimana seluruh pusat kegiatan dan

pelayanan terdapat di dalamnya dan didukung oleh wilayah pedesaan yang

merupakan daerah pemasok bahan-bahan mentah, tenaga kerja, tempat pemasaran

produk-produk yang dihasilkan di kota, dan sebagai tempat penyeimbang

ekologis.

Keberhasilan suatu program pengembangan wilayah (lebih spesifik lagi

yang berkaitan dengan ekonomi wilayah dan perdesaan), juga sangat dipengaruhi

oleh virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat. Virtue ini bisa

didefinisikan dari berbagai sudut pandang karena sifatnya yang normatif.

Page 36: Muara Dadap

17

Perumusan suatu virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat kehomogenan masyarakat,

baik dilihat dari pendidikan, etnis (sosial budaya), agama, dan pandangan politis

dari setiap komponen masyarakat ini. Begitu beragamnya faktor yang

mempengaruhi perumusan virtue ini, maka virtue ini baru dapat timbul setelah

terbentuk suatu komunitas masyarakat yang saling mengetahui keinginan masing-

masing sehingga dapat menemukan suatu resultan dari berbagai keinginan atau

ide-ide yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks pengembangan wilayah,

tentu saja harus menemukan resultan virtue tersebut kemudian

mengintegrasikannya ke dalam rencana yang akan diterapkan. Artinya proses

perencanaan itu dapat saja berlangsung timbal balik, rencana induk yang sudah

ada diintegrasikan ke dalam virtue yang sudah terbentuk, atau virtue-virtue yang

ada dalam masyarakat diintegrasikan ke dalam perencanaan. Menurut Winoto

(1998/1999), adanya kaitan antara kegiatan pembangunan dengan sistem nilai

masyarakat dapat dijelaskan sebagi berikut: pembangunan (baik sebagai suatu

proses maupun sebagai suatu cara perwujudan) mengemban tugas kemanusiaan

dan tugas kehidupan. Dengan kata lain, pembangunan haruslah dapat

mengkomodasi berbagai harapan masyarakat, antara lain harapan tentang

kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian

meningkat, kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang

semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat, dan

kepercayaan diri sebagai manusia maupun sebagai bangsa yang semakin

meningkat. Harapan-harapan inilah yang menjadikan setiap anggota masyarakat

dan/atau kelompok masyarakat (dengan segala perbedaan latar belakang dan

kepentingannya) perlu senantiasa terlibat dan ikut berproses dalam menentukan

arah serta prioritas pembangunan pada setiap tahapan yang dilakukan.

Untuk suatu masyarakat yang homogen (contoh kasus ekstrim adalah

masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya), kemungkinan virtue

yang ada dalam masyarakat berlaku umum. Namun demikian, virtue ini sangatlah

kaku dan tidak kenal kompromi, sehingga suatu perencanaan pengembangan

wilayah yang mencakup kawasan seperti ini haruslah menyesuaikan diri dengan

virtue yang berkembang dimasyarakat.

Page 37: Muara Dadap

18

Contoh kasus yang heterogen adalah kelompok masyarakat di kawasan

pesisir, dimana terlibat berbagai jenis kegiatan manusia sesuai dengan bidang

garapannya masing-masing, mulai dari nelayan, pedagang, industriawan, PNS,

dan lain lain. Keragaman mata pencaharian juga mengakibatkan terjadinya

interaksi yang lebih intensif diantara berbagai aktivitas yang dapat menghasilkan

dampak positif dan negatif.

Menurut Winoto (1998/1999), tidak pernah ada kesepakatan virtue siapakah

yang harus dijadikan dasar dalam mengimplementasikan prioritas pelaksanaan

pembangunan; selain itu juga tidak ada jaminan bahwa keadilan akan terwujud

bila salah satu virtue masyarakat atau kelompok masyarakat dipilih atau

dipaksakan sebagai dasar penentuan prioritas pembangunan. Namun demikian,

berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu dimana program pembangunan lebih

banyak ditetapkan dari atas (top-down), maka virtue universal masyarakat

diharapkan akan lebih banyak tertampung dalam program pembangunan yang

disusun secara bottom up.

Tentu saja terdapat virtue yang bersifat universal bagi seluruh anggota

masyarakat antar wilayah dan antar waktu. Sebagai contoh, falsafah “Bhinneka

Tunggal Ika”, yang tercantum dalam pita yang dicengkeram burung garuda,

adalah suatu virtue yang lahir setelah terjadinya pertikaian antar suku, antar

wilayah, antar agama, dan antar kondisi sosial budaya, yang telah berlangsung

sangat lama (sejak mulai tercatatnya sejarah adanya kerajaan-kerajaan di

Indonesia samapi jaman penjajahan Belanda dan Jepang). Virtue ini sangat

disadari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang lebih mencintai

perdamaian untuk melewati kehidupan yang aman dan tenang. Sebenarnya virtue

“Bhinneka Tunggal Ika” ini dapat dipertahankan untuk melewati periode waktu

yang panjang dalam sejarah, seandainya kebhinnekaan setiap kelompok

masyarakat dan antar wilayah ini dapat diikat dan dipadukan oleh sesuatu yang

saling dibutuhkan mereka, yaitu antara lain: kedamaian dan ketenangan menjalani

kehidupan; jaminan aksesibilitas antar wilayah, baik barang, jasa, dan orang;

jaminan kebebasan mengemukakan pendapat dan menjalankan keyakinannya

masing-masing. Diagram virtue universal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Page 38: Muara Dadap

19

Gambar 2.1. Dasar pemikiran terbentuknya virtue universal

Dari diagram Gambar 2.1 di atas tampak bahwa virtue universal harus

mencakup sebagian atau seluruh kepentingan dari setiap unsur yang membentuk

ekosistem tersebut (suku bangsa; agama; sosial-ekonomi budaya; aksesibilitas

barang, jasa, dan manusia; aspek spasial perwilayahan; serta aspek politik dan

keamanan).

Begitu tali pengikat kebhinnekaan ini dilanggar, baik oleh tetangga sebelah,

kampung sebelah, agama lain, atau bahkan oleh regim pemerintahan yang otoriter,

mulailah virtue itu tidak ditaati lagi, dan barangkali perlu diramu suatu virtue baru

sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Pada saat

ini, aspek kepentingan golongan atas dasar latar belakang politis sangat menonjol,

sebagai alat pemersatu atau pemecah virtue.

VIRTUE UNIVERSAL

ASPEK AGAMA

SUKU/ BANGSA

ASPEK WILAYAH SPASIAL

AKSESIBILITAS BARANG, JASA,

MANUSIA

POLITIK &

KEAMANAN

ASPEK SOSEK BUDAYA

Page 39: Muara Dadap

20

Aspek wilayah perlu dimasukkan dalam kegiatan perencanaan

pembangunan suatu kawasan adalah karena sebagaimana definisi Winoto

(1999/2000), wilayah merupakan area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan

merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Artinya,

dibatasi dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut.

Pada intinya, suatu perencanaan pembangunan suatu wilayah haruslah mencakup

individu manusia, masyarakat, sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di

wilayah tersebut (termasuk yang harus dipertimbangkan adalah virtue universal

dan partial dari masyarakatnya).

Di dalam setiap upaya pengembangan wilayah, harus menjadi persyaratan

adanya konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan

telah digunakan oleh the World Commision on Environment and Development

pada tahun 1987. Istilah ini akan mendapat pengertian yang berbeda dari setiap

orang yang mempunyai keahlian berbeda pula. Menurut Serageldin (1994),

seorang sosiologis akan memandang setiap persoalan pembangunan dari kacamata

manusia sebagai aktor kunci, dimana bentuk organisasi sosial yang ada sangat

krusial dalam mencari solusi apakah suatu kegiatan pembangunan dapat dilakukan

secara berkelanjutan atau tidak. Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor

sosial ini telah menyebabkan suatu proses pembangunan dalam bahaya dari

kurang efektifnya proyek yang dilakukan. Sementara itu disebutkannya pula

bahwa dari aspek ekonomi, suatu kegiatan berkelanjutan haruslah mencari

semaksimal mungkin keuntungan untuk kesejahteraan manusia diantara kendala-

kendala modal yang tersedia serta teknologi yang digunakan. Pandangan seorang

ekologis berbeda pula, yaitu menekankan pada penyelamatan subsistem ekologi

yang terpadu ditinjau sebagai kritisi untuk keseluruhan stabilitas ekosistem global.

Sebagian berargumentasi pada penyelamatan seluruh ekosistem, meskipun

sebagian kecil yang berpandangan kurang ekstrim juga bertujuan pada

pemeliharaan dan adaptasi sistem penyangga kehidupan alami. Faktor-faktor

yang diperhitungkan adalah fisik, bukan uang, dan disiplin yang berlaku pada

biologi, geologi, kimia, dan umumnya pengetahuan alam.

Page 40: Muara Dadap

21

Istilah pengembangan wilayah tentu saja berkaitan erat dengan perencanaan

pembangunan wilayah/daerah. Menurut Idrus et al. (1999), pembangunan

wilayah merupakan kegiatan pembangunan yang perencanaan, pembiayaan,

sampai pada pertanggungjawabannya dilakukan oleh pusat sedangkan

pelaksanaannya dapat melibatkan daerah dimana tempat kegiatan tersebut

dilaksanakan. Pembangunan daerah sendiri berindikasi bahwa kegiatan

pembangunan yang segala sesuatunya dilaksanakan dan dipersiapkan di daerah,

seperti perencanaan, pembiayaan, sampai pada pertanggungjawabannya.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka perencanaan pembangunan

wilayah/daerah dapat diartikan sebagai suatu proses persiapan penyelenggaraan

pembangunan suatu wilayah atau daerah. Sementara itu, Anwar dan Setia Hadi

yang dikutif Idrus et al. (1999) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan

wilayah diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan

pembangunan di suatu wilayah tertentu yang melibatkan interaksi antara

sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya alam.

Menurut Hoover dan Giarratani (1985), perkembangan suatu wilayah dapat

dilihat pada aspek pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan per

kapita, dan perubahan struktur ekonomi. Nasution (1990) menambahkan bahwa

mengukur perkembangan suatu wilayah adalah relatif sulit, tetapi beberapa pakar

perencanaan dan pengembangan wilayah telah menyepakati beberapa tolok ukur

penilaian suatu kegiatan pembangunan, yaitu dilihat dari aspek: (1) pertumbuhan

ekonomi; (2) distribusi pendapatan; (3) tingkat kemiskinan; (4) persentase

pengangguran; serta (5) kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya

alam.

Menurut Rustiadi et al. (2003), setiap perencanaan pembangunan wilayah

memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk

mengukur tingkat pengembangan wilayahnya. Secara praktikan, pemahaman

filosofis demikian sukar diterapkan sehingga perlu dicarikan berbagai tolok ukur

yang multidimensional. Oleh karena itu, munculnya permasalahan-permasalahan

tersebut memaksa pakar 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur yang hanya

berdasarkan pada GNP semata, tetapi harus juga disertai beberapa tolok ukur lain

Page 41: Muara Dadap

22

yang intinya terkait dengan aspek ekologi, ekonomi, dan budaya. Ilustrasi dari

tolok ukur pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Ekologi

1 3

S D

2

Budaya Ekonomi

Gambar 2.2. Indikator pembangunan berkelanjutan (Rustiadi et al. 2003)

Keterangan:

(1) Bagian 1: culture-ecology interface: didefinisikan bahwa pembangunan merupakan fungsi yang terintegratif dari nilai-nilai budaya yang menyatu terhadap ekosistem. Indikator yang termasuk dalam ukuran perubahan etika lingkungan, komitmen untuk menjaga keseimbangan political-cultural dan eco-tourism;

(2) Bagian 2: culture-economy interface: menggambarkan fungsi tujuan di dalam termin nilai-nilai non market dan keputusan untuk menjaga konservasi lingkungan untuk tujuan budaya. Nilai-nilai kultural ekonomi lebih tinggi, demikian juga refleksinya terhadap politik, institusi, dan struktur hukum;

(3) Bagian 3: Economy-ecology interface: menggambarkan fusngsi tujuan di dalam termin dari nilai-nilai ekonomi dan cost benefit analysis. Indikator dari pembangunan berkelanjutan diukur dari cadangan konservasi alam dan ekonomi capital yang ditunjukkan oleh produksi (keinginan) flow of environmental dan ekonomi yang baik serta pelayanan untuk generasi saat ini dan yang akan datang. Misalnya kesuburan tanah, keragaman budaya, dan ekosistem kesehatan sebagai indikator kualitas lingkungan.

Untuk mengukur pengembangan suatu wilayah, maka beberapa indikator

dapat digunakan sebagai penakar positif tidaknya dampak suatu program

pembangunan wilayah. Dinilai positif jika indikator-indikator tersebut

menguntungkan, khususnya bagi individu nelayan, petani, masyarakat dan

wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan kemampuan sumberdaya

alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang dikembangkan. Dinilai negatif

Page 42: Muara Dadap

23

jika dampaknya merugikan unsur-unsur terkait tersebut. Kadang kala, positif dan

negatifnya suatu dampak pengembangan wilayah belum dapat dilihat dalam

jangka waktu yang pendek. Contoh kasus adalah penemuan senyawa freon yang

dapat digunakan sebagai refrigeran (bahan pendingin) dalam mesin-mesin

pembeku dan sebagai bahan penekan pada alat pembentuk aerosol. Baru sekitar

20 tahun kemudian disadari orang bahwa freon ternyata dapat memecahkan

lapisan ozon yang menyelimuti bola bumi dari sinar ultra violet. Contoh-contoh

lain tentu saja masih sangat banyak, antara lain hilangnya keragamanan hayati

karena kegiatan pengembangan wilayah yang tidak didahului studi AMDAL

terlebih dahulu, baik dalam bentuk reklamasi lahan untuk kegiatan industri dan

pemukiman, maupun pengembangan lahan untuk kawasan persawahan.

Dengan demikian, pada dasarnya indikator-indikator umum keberhasilan

atau ketidakberhasilan suatu program pengembangan wilayah dapat dinilai secara

ekonomi, sosial, dan ekologi. Sebagaimana yang diuraikan oleh Serageldin

(1994), bahwa tujuan ekonomi dari pembangunan yang lestari lingkungan adalah:

pertumbuhan (growth), kesamarataan (equity), dan efisiensi (efficiency); tujuan

sosialnya adalah: pemberdayaan (empowerment), partisipasi (participation),

mobilitas sosial (social mobility); keeratan sosial (social cohesion), identitas

budaya (cultural identity), dan pengembangan kelembagaan (institutional

development); serta tujuan ekologinya adalah: keterpaduan ekosistem (ecosystem

integrity), daya dukung (carrying capacity), keanekaragaman hayati

(biodiversity), dan isu global. Menurut Serageldin (1994) juga bahwa seorang

ekonom akan melihat pembangunan yang lestari lingkungan itu agak berbeda,

yaitu tujuan ekonominya adalah: pertumbuhan dan efisiensi; tujuan sosialnya

kesamarataan dan pengurangan kemiskinan; sedangkan tujuan ekologinya adalah

pengelolaan sumberdaya alam.

Menurut Idrus et al. (1999), keberhasilan perencanaan pembangunan sangat

tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Di beberapa

negara, perencanaan pembangunan dapat berhasil dengan baik antara lain

ditentukan oleh beberapa hal seperti:

(1) Dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya;

(2) Realistis, sesuai dengan kemampuan sumberdaya alam dan dana;

Page 43: Muara Dadap

24

(3) Kestabilan politik dan keamanan dalam negeri;

(4) Koordinasi yang baik;

(5) Top down dan bottom up planning;

(6) Sistem pemantauan dan pengawasan yang terus menerus;

(7) Transparan dan dapat diterima oleh masyarakat.

Untuk melihat apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai atau tidak dalam suatu

kegiatan pembangunan, maka perlu ditentukan berbagai perubahan dari

komponen-komponen tersebut. Tentu saja untuk unsur-unsur yang bersifat

positif, maka perubahan haruslah bergerak ke arah posistif, dan sebaliknya untuk

unsur-unsur yang bersifat negatif maka perubahan haruslah bergerak ke arah

negatif. Sebagai contoh, untuk kesamarataan haruslah semakin baik/banyak,

tetapi untuk kemiskinan semakin sedikit.

2.2.2 Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

Menurut Dahuri (2003), pengelolaan suatu kawasan secara berkelanjutan

mencakup 3 aspek, yaitu aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Suatu kawasan

pembangunan secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically

sustainable area/ecosystem) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang

dan jasa (good and services) secara berkesinambungan (on continuing basis),

memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali

(a manageable level), dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar

sektor (extreme sectoral imbalances) yang dapat mengakibatkan kehancuran

produksi sektor primer, sekunder, atau tersier. Sedangkan suatu kawasan

pembangunan secara ekologis dianggap berkelanjutan (an ecologically

sustainable area/ecosystem) manakala berbasis (ketersediaan stok) sumberdaya

alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap

sumberdaya dapat diperbaharui (renewable resources), tidak terjadi pembuangan

limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan

kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (non-

renewable resources) yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan

substitusinya secara memadai. Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan

keanekaragaman hayati (biodiversity), stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeo-

Page 44: Muara Dadap

25

kimia, dan kondisi iklim. Sementara itu, suatu kawasan pembangunan dianggap

berkelanjutan secara sosial (a socially sustainable area/ecosystem), apabila

kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan)

seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan

berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity); terdapat akuntabilitas

dan partisipasi politik.

Chua (2006) menyatakan bahwa upaya pengelolaan pesisir terpadu dimulai

tahun 1965 dengan pembentukan Komisi Pengembangan dan Konservasi Teluk

San Francisco (San Francisco Bay Conservation and Development Commission).

Tahun 1972, Amerika Serikat mengeluarkan Undang-undang Pengelolaan Pesisir

Terpadu, sebuah monumen legislasi yang memberi semangat negara bagian-

negara bagian lainnya di kawasan pesisir untuk melakukan hal yang sama. Tahun

1978, Konferensi Wilayah Pesisir diselenggarakan untuk pertama kalinya di San

Francisco.

Berbagai konsep pengelolaan terpadu telah dikemukakan oleh berbagai

kalangan dan para ahli. Konsep yang secara umum berarti “pengelolaan

pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services)

yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyeluruh

(comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam

dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan

sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap

kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan

berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis

dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi

masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan

dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan

McCreary 1990; IPCC 1994). Lebih jelas Chua (2006) menyebutkan bahwa

tujuan dari konsep pengelolaan pesisir terpadu adalah meningkatkan efisiensi dan

efektivitas pengelolaan pesisir dalam bentuk kemampuan suatu kawasan untuk

pemanfaatan sumberdaya pesisirnya yang berkelanjutan serta dapat memberikan

jasa yang dihasilkan dari ekosistem di kawasan tersebut.

Page 45: Muara Dadap

26

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan

pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,

sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu

(integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelajutan.

Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi, yaitu

dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996).

Menurut Ellsworth et al. (1997), konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu

ini sudah dilaksanakan cukup lama. Di Kanada sejak tahun 1960-an telah terjadi

perubahan paradigma pembangunan dimana keterlibatan masyarakat lebih banyak

dari sebelumnya. Antara lain dimulai dengan upaya untuk mempengaruhi

formulasi politik tingkat tertinggi melalui berbagai aktivitas masyarakat seperti

program bersih pantai yang dimotori oleh kelompok-kelompok advokasi

lingkungan. Setelah itu, aktivitas dengar pendapat menjadi sering dilakukan pada

saat suatu program pembangunan akan dibuat.

Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini sudah menjadi kebijakan

global yang didukung oleh lembaga keuangan internasional, sebagaimana

dinyatakan oleh Hatziolos (1997) bahwa tahun 1993, Bank Dunia (World Bank=

WB) secara formal mendukung program Integrated Coastal Zone Management

(ICZM) yang terbentuk atas kreasi Tim Biru (sekelompok ahli lingkungan di

Departemen Lingkungan WB). Target utama dari dukungan ini adalah untuk: 1)

mengintervensi pelatihan dan kreasi kesadaran lingkungan; 2) penanaman modal;

dan 3) partnership. Kemudian WB melakukan pengumpulan informasi,

menganalisis, dan mensosialisasikan konsep ICZM dikalangan staf dan para

nasabahnya tentang apa bedanya dengan konsep tradisional, pendekatan sektoral

terhadap pengelolaa lingkungan, dan dukungan WB yang tersedia dan paling

efektif dalam mempromosikan ICZM. Hasil dari aktivitas ini adalah dukungan

WB terhadap pelaksanaan Agenda 21 di Rio de Janeiro, dalam bentuk sponsor

pada kegiatan seminar, lokakarya, dan konferensi, serta dilanjutkan dengan

lokakarya pelatihan yang diorganisasikan di berbagai negara di Afrika, Asia,

Timur Tengah, dan Karibia. Berdasarkan pada perbandingan di antara konsep

ICZM dengan implementasinya serta konsep ICAM (Integrated Coastal Area

Management) dan implementasinya, maka Scialabba (1998) mengembangkan

Page 46: Muara Dadap

27

suatu kesepakatan untuk membuat Panduan ICM, sebagaimana tercantum dalam

Tabel 2.1. Panduan ini memperkuat konsensus tersebut tetapi juga mengakui

bahwa keterpaduan vertika dan horizontal tidak akan berhasil tanpa pembangunan

kapasitas individu sektor untuk mengakomodasi dampak trans-sektoral.

Menurut Chua (2006), di Indonesia terdapat satu ekosistem besar kelautan

(large marine ecosystem, LME), yang meliputi luas area sebesar 400.000 km2,

kedalaman rata-rata 2.935 m dan kedalaman maksimal di atas 6.500 m (Palung

Jawa, serta produktivitas primernya antara 150-300 gC/cm2/tahun). Pada LME ini

terdapat 500 spesies koral pembangun terumbu, 2.500 spesies ikan, 47 spesies

mangrove, dan 13 spesies rumput laut. Tingginya aktivitas ekonomi di LME ini

ditunjukkan dengan isu yang berkembang, yaitu kegiatan penangkapan ikan yang

merusak lingkungan, modifikasi habitat dan pemukiman, serta eksploitasi

sumberdaya hayati yang tidak berkelanjutan.

Hubungan antara komponen-komponen dalam kegiatan pembangunan

berkelanjutan menurut Hatziolos (1997) dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Hubungan antara berbagai komponen dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (Hatziolos 1997)

Aspek Ekonomi o Pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth) o Efisiensi modal (capital efficiency)

Aspek Ekologi o Keterpaduan ekosistem

(Ecosystem integrity) o Keragaman sumberdaya alam

(Natural resources biodiversity) o Kapasitas daya dukung

lingkungan (Carrying capacity

Aspek Sosial: o Kesamaan hak (Equity) o Mobilitas sosial (Social

mobility) o Partisapasi (Participation) o Pemberdayaan (Empowerment)

Page 47: Muara Dadap

28

Tabel 2.1 Kumpulan konsensus dari panduan ICM

Tujuan ICM Untuk memandu kegiatan pembangunan di wilayah pesisi yang secara ekologis berkelanjutan

Prinsip ICM didasarkan pada prinsip-prinsip Pertemuan Puncak Rio de Janeiro dengan tekanan khusus pada prinsip kesamaan antar generasi, prinsip tindakan pencegahan, dan prinsip denda bagi pencemar. ICM secara alami adalah holistik dan interdisiplin, khususnya yang beraitan dengan ilmu pengetahuan dan kebijakan

Fungsi ICM memperkuat dan mengharmoniskan sektor-sektor yang terkait dalam pengelolaan kawasan pesisir. ICM memelihara dan melindungi biodiversiti dan produktivitas ekosistem pesisir serta mempertahankan nilai-nilai keaslian/indigenous (amenity values). ICM mempromosikan pembangunan ekonomi rasional dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan serta memfasilitasi resolusi konflik yang terjadi di kawasan pesisir

Keterpaduan Spatial

Suatu program ICM mencakup seluruh wilayah hulu dan hilir, dimana pemanfaatannya akan menghasilkan dampak pada sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir serta ke perairan yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak sampai ke wilayah daratan di kawasan pesisir tersebut. Program ICM juga mencakup seluruh wilayah perairan yang berada di dalam zona ekonomi ekslusif, dimana pemerintah pusat memiliki tanggungjawab untuk mengurus dibawah kewenangan Konvensi Hukum Laut {(the Law of the Sea Convention dan the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)}.

Keterpaduan Horizontal dan vertical

Upaya penanggulangan fragmentasi sektoral dan antar pemerintahan yang terjadi sekarang ini dalam pengelolaan wilayah pesisirmerupakan tujuan utama dari ICM. Mekanisme kelembagaan untuk mencapai koordinasi yang efektif diantara berbagai sektor yang aktif di wilayah pesisir serta diantara berbagai tingkatan pemerintahan di wilayah pesisir adalah merupakan dasar terhadap penguatan dan rasionalisasi proses pengelolaan pesisir. Dari berbagai opsi/pilihan yang tersedia, mekanisme koordinasi dan harmonisasi harus dibuat agar sesuai dengan kekhususan setiap pemerintahan.

Penggunaan ilmu pengetahuan

Dengan adanya kondisi yang komplek dan ketidakpastian yang terdapat di kawasan pesisir, maka ICM harus dibangun berdasarkan pengetahuan (alam dan sosial) yang tersedia. Teknik-teknik seperti prakiraan resiko, valuasi ekonomi, prakiraan kerentanan, akuntansi sumberdaya, benefit-cost analysis, dan monitoring berdasarkan outcome harus dibangun ke dalam proses ICM seperlunya.

Source: Cicin-Sain, Knecht and Fisk (1995) dalam Scialabba (1998).

Page 48: Muara Dadap

29

Salah satu bentuk dukungan WB untuk program ICZM di Indonesia adalah

terselenggaranya program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and

Management Project), yang dilaksanakan dibawah koordinasi LON-LIPI. Tujuan

dari pelaksanaan proyek ini adalah memandu pendekatan berbasis masyarakat

terhadap perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu untuk

menciptakan keuntungan dari pemanfaatan yang berkelanjutan. Proyek ini juga

bertujuan untuk penguatan kebijakan dan kapasitas kelembagaan pada tingkat

nasional dalam menolong pengimplementasian konsep ICZM di tingkat lokal

(Hatziolos 1997). Dari pengalaman Bank Dunia menunjukkan bahwa inisiatif

pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan supaya berkelanjutan maka negara-

negara yang menerapkan program tersebut haruslah melakukan beberapa hal

berikut:

(1) Keterpaduan dengan perencanaan pembangunan yang lebih besar, baik

pada tingkat nasional maupun regional;

(2) Mempunyai dukungan kelembagaan, peraturan perundang-undangan, dan

keuangan serta terhubung dengan sektor swasta;

(3) Mempunyai dukungan dari mayoritas komunitas lokal;

(4) Melaksanakan program pemantauan dan evaluasi (monitoring dan

evaluation);

(5) Melakukan koordinasi yang efektif diantara stakeholders.

Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi konsep

ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan aspek legal

dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan investasi,

penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-bagi

pengalaman pembelajaran.

Cicin-Sain dan Knecht (1998) menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah

pesisir secara terpadu bertujuan untuk mewujudkan pembangunan wilayah pesisir

dan laut yang berkelanjutan, mengurangi kerusakan daerah pantai dan kerusakan

sumberdaya alam lainnya serta juga mengelolaan proses-proses ekologi, sistem

kehidupan pendukungnya dan kelimpahan biota di daerah pesisir dan laut.

Page 49: Muara Dadap

30

Menurut Pickave et al. (2004), ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat

yang paling efektif untuk menggabungkan suatu upaya konservasi dengan

pemanfaatan berkelanjutan suatu sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu

perencanaan wilayah pesisir.

Sejak tahun 1996, negara-negara Eropa telah mengembangkan berbagai

program pengelolaan wilayah pesisir yang bertujuan untuk mencapai suatu

pengembangan berkelanjutan di seluruh pesisir Eropa. Tiga direktorat jenderal

(Direktorat Jenderal Lingkungan, Direktorat Jenderal Pengembangan Wilayah,

dan Direktorat Jenderal Perikanan) telah bekerjasama dalam suatu proyek yang

bertujuan untuk menguji model kerjasama pengelolaan wilayah pesisir terpadu

dan untuk menstimulasi suatu diskusi terbuka diantara berbagai stakeholders yang

terlibat dalam perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan wilayah pesisir. Hasil dari

proyek ini akan dijadikan bahan bagi lembaga-lembaga di lingkungan Uni Eropa

untuk berdialog dengan para stakeholders. Dari program ini kemudian diproduksi

dua dokumen penting ICZM, yang pertama adalah strategi Eropa tentang

implementasi ICZM di seluruh negara-negara pantai Eropa; dokumen kedua

adalah Rekomendasi Pengelolaan Kawasan Pesisir, yang sekarang telah diadopsi

dan diimplementasikan dan didasarkan pada tiga prinsip penting, yaitu pendekatan

ekosistem, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan adaptif. Kewajiban lanjutan

bagi setiap negara tersebut adalah melakukan inventarisasi sumberdaya alamnya

serta menganalisis siapa pelaku utama dari pengelolaan wilayah pesisir di

negaranya serta aspek hukum dan kelembagaan yang mempengaruhinya.

Berdasarkan kegiatan kerjasama pengelolaan pesisir terpadu tersebut maka

penyusunan strategi pembangunan nasional untuk mengimplementasikan ICZM.

Salah satu strategi yang harus dimasukan adalah sistem yang memadai untuk

mengumpulkan dan menyediakan informasi dalam format yang sesuai dan

kompatibel bagi seluruh tingkatan para pembuat keputusan, mulai dari tingkat

pusat (nasional), regional, dan lokal. Untuk tingkat Eropa, pertemuan baru

diselenggarakan pada bulan Oktober 2002 di Brussel, dimana ditentukan sebuah

kelompok kerja yang mengurusi masalah data dan indikator (WG-ID = Working

Group Data and Indicator).

Page 50: Muara Dadap

31

Di Indonesia, sebagaimana juga dengan di Eropa, keterpaduan pengelolaan

suatu sumberdaya alam saat ini sedang digiatkan oleh Pemerintah Indonesia sejak

disyahkannya Konvensi Hukum Laut 1982 dan diratifikasi dengan UU No

17/1985, meskipun UU ini baru berlaku sejak tanggal 16 November 1994. Tahun

1993, untuk pertama kalinya masalah pembangunan sumberdaya kelautan

dicantumkan secara resmi dalam GBHN 1993 dalam BAB IV. F. Ekonomi. 13.e

yang mengamanahkan supaya “organisasi dan kelembagaan kelautan perlu

dikembangkan agar makin terwujud sistem pengelolaan yang terpadu secara

efektif dan efisien sehingga mampu memberikan pelayanan dan dorongan

berbagai kegiatan ekonomi disektor kelautan” (Djalal 2000). Hal ini didasarkan

pada pengalaman bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan pembangunan dinilai

banyak pihak berlangsung tidak sehat dan telah menyebabkan terjadinya

kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, serta dampaknya bagi peningkatan

kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tidak signifikan.

Dalam pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu, terdapat 3 (tiga)

derajat keterlibatan stakeholder yang saat ini diterapkan di lapangan, sebagaimana

dikemukakan oleh Pomeroy et al. (2004). Ketiga derajat dan nama untuk Co-

management, yaitu”consultative co-management”, “collaborative or cooperative

co-management”, and “delegated co-management”. Pomeroy et al. (2004) juga

mengutip Pomeroy dan Berkes (1997) serta Berkes et al. (2001) yang

membedakan derajat peran dalam co-management di antara pemerintah dan

komunitas sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.4.

Tabel 2.2 Derajat dan nama istilah dalam co-management

Government

has the most

control

Consultative

co-management

Collaborative

co-management

Delegated

co-management

People have

most control Government

interacts often

but makes all

decisions

Government and

the stakeholders

work closely and

share decisions

Government lets

formally organised

users/stakeholders

make decisions

Sumber: Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al. (2001) dikutip oleh Pomeroy et al. (2004)}.

Page 51: Muara Dadap

32

Government-based management

Community-based management Government centralised

management Co-management Community

self-governance and self-management

Informing Consultation Cooperation Communication Information exchange Advisory role Joint action Partnership Community control Inter-area coordination

Gambar 2.4. Derajat interaksi diantara pemerintah dan komunitas dalam co-management {Pomeroy dan Berkes (1997); Berkes et al (2001) dikutip oleh Pomeroy et al. (2004)}

Aspek positif dari suatu CBM menurut Carter (1996) adalah:

(1) Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya

alam;

(2) Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang

spesifik;

(3) Mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis;

(4) Responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan

lokal;

(5) Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang

ada;

(6) Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta

(7) Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.

Page 52: Muara Dadap

33

Sebagai kesimpulan, Hatziolos (1997) menyatakan bahwa implementasi

konsep ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan

aspek legal dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan

investasi, penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-

bagi pengalaman pembelajaran.

Dalam implementasi ICZM, pelaksanaan program tidak selalu berjalan

mulus. Tingkat keberhasilannya tergantung pada seberapa besar integrasi setiap

komponen stakeholders dan fasilitas yang tersedia. Konflik yang sering terjadi

diantara para stakeholders disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1)

perencanaan tidak disosialisasikan ke semua stakeholder, sehingga tidak semua

aspirasi yang berkembang di mayarakat dapat diakomodasi; (2) pembagian peran

dalam pelaksanaan program tidak sesuai dengan hasil kesepakatan saat

perencanaan; (3) adanya intervensi pihak luar untuk mengatur pelaksanaan

implementasi program, dengan berbagai tekanan yang hanya diketahui oleh

beberapa orang tertentu; serta (4) sumberdaya manusia dan perangkat sosial yang

ada belum memadai.

Pengalaman Thailand dalam pelaksanaan ICZM menunjukkan bahwa untuk

mencapai kesuksesan dalam implementasi ICZM diperlukan partisipasi lima

sektor, yaitu: komunitas lokal, kewenangan pemerintah, Lembaga Swadaya

Masyarakat, para ilmuwan, dan investor (Sudara 1999). LSM harus memegang

peranan penting dalam penyediaan kesempatan bagi seluruh sektor untuk

berkomunikasi. Setiap sektor harus mempunyai kesempatan untuk

mengemukakan pendapatnya dan bertukar fikiran dengan sektor lainnya. Setiap

keputusan yang akan diambil berkaitan dengan kawasan pesisir dimana mereka

telibat didalamnya harus diambil berdasarkan keinginan bersama. Peran para

ilmuwan dan akademisi dalam hal ini adalah manakala semua permasalahan dan

kepentingan sudah dapat diidentifikasi, maka kemudian dengan keahlian mereka

dilakukan formulasi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Perencanaan

tersebut harus mencakup semua kepentingan setiap sektor yang telah

dikemukakan sebagaimana juga dengan ukuran mitigasi untuk implementasinya.

Penerapan sistem co-management harus menghasilkan kepuasan bersama dan

keberlanjutan pengelolaan.

Page 53: Muara Dadap

34

Burak et al. (2004) memberi contoh tentang implementasi konsep ICZM di

Turki yang mengalami keterlambatan karena kegagalan politis dan kelembagaan

yang berkaitan dengan implementasi dari keputusan yang rasional tentang

pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Lebih dari 20 peraturan

perundang-undangan telah diterapkan dan menghasilkan lebih dari 15 lembaga,

yang meghasilkan berbagai keputusan yang bias karena adanya kemajemukan dan

terpecah-belahnya suara saat proses pengambilan keputusan. Terjadinya konflik

sebagai akibat pengembangan ekonomi di wilayah pesisir juga terjadi di Turki dan

memicu terjadinya degradasi sumberdaya alam. Berbagai program yang telah

dikembangan dan menjadi penyebab terjadinya degradasi lingkungan adalah

ekoturisme dan berbagai proyek rumah peristirahatan di kawasan pesisir,

pengembangan marikultur, preservasi dan konservasi sumberdaya alam,

urbanisasi, pengembangan industri, navigasi, dan transportasi sejak tahun 1980-an

(Tuba 2002 dalam Burak et al. 2004).

Salah satu contoh implementasi ICZM yang paling berhasil di Kawasan

Asia Tenggara adalah dalam bidang wisata bahari. Menurut Wong (1998),

berdasarkan distribusinya, maka wisata bahari di Kawasan Asia Tenggara

didominasi oleh Indonesia dan Philippina karena kekayaan pulau dan garis

pantainya. Kelompok wisata bahari tersebut terdiri dari wisata bahari yang

berstatus merintis (pioneer), sudah bangkit, dan sudah mapan. Wisata bahari

yang berstatus mapan diantaranya Bali, Penang, Phataya dan Phuket. Berstatus

bangkit diantaranya Lombok di Indonesia; Rayong, Hua Hin dan Ko Samui di

Thailand; Langkawi, Kuantan, Tioman dan Kota Kinabalu di Malaysia; dan Cebu

di Philipina. Sedanglan yang berstatus merintis antara lain Biak, Manado, Ujung

Pandang, Flores, Kepulauan Seribu, Lampung, Bintan, Bangka Belitung, dan Nias

di Indonesia; Pangkhot di Malaysia; Krabi di Thailand; serta Boracai, Palaman,

dan Samal di Philipina.

Di Indonesia, setelah terjadinya bencana tsunami di Wilayah Aceh dan Nias

tahun 2004, semakin terasa betapa konsep ICZM itu belum dipahami secara

merata di seluruh daerah dan perlu segera diimplementasikan. Kejadian bencana

tsunami tersebut masih mungkin terulang kembali di daerah pesisir wilayah

Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan semua komponen yang terkait

Page 54: Muara Dadap

35

(stakeholders) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan harus sudah siap

dan sigap untuk menghadapinya, sehingga kerugian yang diderita dapat

diantisipasi seminimal mungkin.

2.2.3 Pengelolaan wilayah Jakarta dan sekitarnya secara terpadu

Sebagai Daerah Khusus Ibukota, Jakarta seharusnya menjadi contoh dalam

upaya meningkatkan keserasian dan keterpaduan pembangunan serta pemecahan

masalah bersama di wilayah JABOTABEK. Upaya kearah keterpaduan

pelaksanaan pembangunan di wilayah DKI Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya

telah mulai dilakukan secara sungguh-sungguh oleh Pemerintah DKI Jakarta. Hal

ini dibuktikan dengan dibuatnya Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985.

Secara rinci, flowchart yang menguraikan kejadian terbentuknya Badan Kerja

Sama Pembangunan JABODETABEKJUR (meliputi latar belakang, gagasan

awal, dan sejarah) dicantumkan dalam Gambar 2.5.

Dalam Rencana Induk DKI Jakarta tahun 1965-1985, salah satu pasalnya

menyebutkan bahwa pengembangan pembangunan yang ada di wilayah DKI

Jakarta juga diarahkan ke wilayah BOTABEK dan perlunya kerjasama dengan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Untuk mendukung kelancaran dilakukannya

integrasi pelaksanaan pembangunan di wilayah BOTABEK, maka Pemerintah

Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1974, jo. Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 tentang Perubahan Batas Wilayah

DKI Jakarta. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang 16 Desa

dari Provinsi Jawa Barat masuk menjadi wilayah Provinsi DKI Jakarta dan 1

Kelurahan yaitu Kelurahan Benda masuk ke wilayah Kota Tangerang.

Penyelesaian lebih lanjut dan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 45

Tahun 1974 ini diselesaikan oleh Tim Pelaksana Penetapan Batas-batas Wilayah

DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat yang dibentuk dengan Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 (Anonimous 2006a).

Page 55: Muara Dadap

36

Page 56: Muara Dadap

37

Mengingat kerjasama antara Provinsi DKI Jakarta dengan Jawa Barat dianggap

telah mendesak untuk dilaksanakan, maka dengan Keputusan Bersama Gubernur DKI

Jakarta dan Gubernur Jawa Barat No. 6375/A-1/1975 dan 2450/A/K/BKD/75 dibentuk

Badan Persiapan Daerah untuk Pengembangan Metropolitan JABOTABEK. Untuk

melaksanakan kerjasama dimaksud maka keluarlah Keputusan Bersama Gubernur Jawa

Barat dan Gubernur DKI Jakarta No. 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 tentang

Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK dan Peraturan Bersama

Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor D.IV-320/d/II/76 dan 197.Pem.121/SK/76

tentang Kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi

(JABOTABEK) yang disyahkan dengan Keputusan Mendagri Nomor: Pem. 10/34/16-

282 tanggal 26 Agustus 1976 (Anonimous 2006a).

Badan ini diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dan

Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dibantu Kelompok Pembantu

Pimpinan dan Sekretariat Badan yang dipimpin oleh seorang Sekretaris. Status Badan

yang dibentuk oleh Keputusan Bersama ditingkatkan dengan Peraturan Bersama

Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1990

dan 2 Tahun 1990 tentang Perubahan Pertama Peraturan Bersama Provinsi Daerah

Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 1/DP/040/PD/76 dan 3 Tahun 1976 yang

disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1991 tertanggal

13 Nopember 1991. Tugas pokoknya mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan

dan pengendalian pembangunan atas dasar hal wewenang dan kewajiban Pemerintah

Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II serta urusan yang tumbuh dan

berkembang di JABOTABEK. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan status

kelembagaan dan memberikan eselonering untuk menjamin pengembangan karier bagi

pejabat dan staf yang ada di dalamnya, dengan Peraturan Bersama Propinsi Daerah

Tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 8 dan 7 Tahun 1994, telah ditetapkan

Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK, yang

disyahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 107 Tahun 1994,

sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.6 (Anonimous 2006a).

Page 57: Muara Dadap

38

Page 58: Muara Dadap

39

Pembentukan organisasi dan tata kerja Badan ini berpedoman kepada

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 1994 tentang Pedoman

Pembentukan Organisasi dan Tata kerja Badan Kerjasama Pembangunan

JABOTABEK. Tugas pokoknya menyusun dan menetapkan rancangan

kebijaksanaan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kerjasama

pembangunan di wilayah JABOTABEK (Anonimous 2006a).

Sekretariat dipimpin oleh Kepala Sekretariat dan diberikan Eselonering

IIIA. Sekretariat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua Forum.

Tugas pokok Sekretariat adalah menyiapkan bahan penyusunan dan penetapan

rancangan meliputi koordinasi analisis perencanaan, analisis pelaksanaan, analisis

evaluasi penyusunan program dan laporan serta memberikan layanan teknis

administratif kepada Forum Kerjasama. Dengan keluarnya Undang-undang

Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II

Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, maka Kotamadya DT II Depok

yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor dan

wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta menjadi

bagian dalam kerjasama regional ini. Selanjutnya dengan terbitnya Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 87, pada Rapat

Kerja Forum Badan Kerjasama Pembangunan JABOTABEK yang

diselenggarakan pada tanggal 2 Maret 2000, ditandatangani Kesepakatan Bersama

Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, serta Bupati/Walikota Bogor,

Tangerang, Bekasi, dan Depok tentang Tindak Lanjut dan Peningkatan Kerjasama

Antar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Jawa Barat,

Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor, Pemerintah Kabupaten

Tangerang, Pemerintah Kota Tangerang, Pemerintah Kabupaten Bekasi,

pemerintah Kota Bekasi (JABOTABEK), dan Pemerintah Kota Depok

(Anonimous 2006a).

Setelah ditandatanganinya Kesepakatan Bersama tentang Peningkatan

Kerjasama, Sekretariat BKSP JABOTABEK bersama-sama dengan unsur terkait

dari Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bekerja sama membahas upaya

peningkatan lembaga kerjasama ini, mengingat permasalahan di JABODETABEK

Page 59: Muara Dadap

40

sudah sangat kompleks. Maka disepakatilah bahwa Eselonering Sekretariat BKSP

JABOTABEK perlu ditingkatkan mengingat Dinas/Instansi yang dikoordinasikan

memiliki eselon yang lebih tinggi (Anonimous 2006a).

Dengan terbentuknya Provinsi Banten berdasarkan Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2000 dan posisi strategis Kabupaten Cianjur pada kawasan

penanganan tata ruang, konservasi dan penyeimbang pembangunan di daerah

Puncak sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional, dipandang perlu untuk mengikutsertakan Provinsi Banten dan

Kabupaten Cianjur. Keikutsertaaan Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam Badan

Kerjasama dituangkan dalam Keputusan Bupati Cianjur Nomor 065/Kep.296-

Pem/2002 tentang Keikutsertaan Pemerintah Daerah dalam Badan Kerjasama

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK). Maka disusun

rancangan Keputusan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Jawa

Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok, Bupati

Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi dan Bupati

Cianjur tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Jakarta, Bogor,

Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (JABODETABEKJUR) di mana dalam

rancangan tersebut Badan sebagai wadah kerjasama antar Daerah, merupakan

lembaga koordinasi yang mewakili kepentingan Pemerintah Daerah yang

dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Forum dan disetarakan dengan Eselon II b (Anonimous 2006a).

Sebagai payung dalam pelaksanaan kerjasama antar Daerah

JABODETABEKJUR maka pada tanggal 16 Juni 2005 yang difasilitasi oleh

Menteri Dalam Negeri telah ditandatangani Kesepakatan Bersama Gubernur

Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bupati/Walikota Bogor, Depok,

Tangerang, Bekasi, dan Cianjur tentang Kerjasama Antar Pemerintah Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota

Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur . Salah satu isinya menegaskan

untuk melanjutkan dan meningkatkan kerjasama pembangunan antar daerah di

wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor,

Depok, Tangerang, Bekasi, dan Kabupaten Cianjur dengan ruang lingkup

kerjasama meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom yang

Page 60: Muara Dadap

41

saling keterkaitan, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan yang memberi

manfaat kepada kesejahteraan masyarakat antara lain mengenai keselarasan,

keserasian dan keseimbangan di dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan dasar

Kesepakatan Bersama tanggal 16 Juni 2005 tersebut, kemudian disusun draft

Peraturan Bersama tentang peningkatan Badan Kerjasama Pembangunan

JABOTABEK (Anonimous 2006a).

Beberapa kali pertemuan dengan Instansi Pusat dan Daerah terkait maka

disepakatilah draft akhir yaitu Peraturan Bersama Gubernur Provinsi DKI Jakarta,

Jawa Barat, dan Banten, serta Bupati/Walikota Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,

dan Bupati Cianjur tentang Pembangunan Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, serta Kabupaten/Kota Bogor, Depok, Tangerang,

Bekasi, dan Cianjur, yang kemudian ditandatangani pada saat pelaksanaan Rapat

Kerja Forum I pada tanggal 14 September 2006 di Hotel Horison Bandung

(Anonimous 2006a).

2.3 Pengelolaan Perikanan Terpadu dan Berkelanjutan

Kegiatan perikanan laut, dimanapun dilaksanakan, sangat tergantung pada

sumberdaya yang terdapat di suatu kawasan pesisir. Kegiatan perikanan tangkap

yang dilakukan di wilayah laut dangkal (laut teritorial), sangat dipengaruhi

kegiatan pengelolaan sumberdaya di daratan dan di kawasan pesisir. Sebagai

contoh, pengelolaan lahan pertanian yang kurang baik di daerah hulu akan

memberikan dampak negatif terhadap kualitas perairan di kawasan pesisir yang

menjadi muara daerah aliran sungai yang melalui kawasan pertanian tersebut.

Penurunan kualitas perairan ini otomatis akan mempengaruhi kehidupan

sumberdaya ikan secara keseluruhan, yang dimulai dari rantai makanan tingkat

primer (plankton) sampai ke sumberdaya ikan karnivora dengan ukuran yang

besar. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam di daratan dan kawasan

pesisir tidak hanya mempengaruhi kegiatan perikanan di kawasan laut dangkal

saja tetapi juga mempengaruhi kegiatan perikanan lepas pantai (samudera), hal ini

baru dilihat dari aspek rantai makanannya saja. Aspek lain yang juga sangat

dipengaruhi oleh penurunan kualitas air adalah perkembangbiakan ikan menjadi

sangat terganggu. Ikan menjadi tidak subur, yang ditunjukkan oleh penurunan

Page 61: Muara Dadap

42

jumlah telur, tingkat penetasan telur menurun, serta tingkat kelulusa hidup anak

ikan pun menjadi sangat terganggu.

Kebanyakan perikanan tangkap berbasiskan pada stok ikan pantai;

perikanan tangkap lainnya mengusahakan stok ikan lepas pantai yang sebagian

fase kehidupannya di perairan pantai, umpamanya di daerah asuhan atau daerah

tempat mencari makan. Stok ikan juga mengandalkan produktivitas primer di

kawasan pesisir sebagai bagian penting dari rantai makanannya. Akuakultur

pantai juga sangat tergantung pada kawasan pesisir dalam hal kebutuhan ruang

dan sumberdaya (FAO 1996).

Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang diselenggarakan tahun 1992,

memberikan suatu panduan baru yang lebih baik bagi pengelolaan sumberdaya

laut. Rezim Hukum Laut ini memberikan hak dan tanggung jawab kepada negara-

negara pantai untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

perikanan di dalam zona ekonomi eksklusif setiap negara yang meliputi sekitar 90

% dari kegiatan perikanan dunia.

Berkembangnya kegiatan perikanan di seluruh dunia yang merupakan

dampak dari meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan-proteinnya,

telah menimbulkan berbagai kondisi tangkap lebih di beberapa kawasan perairan

pantai, serta terjadinya perselisihan diantara beberapa negara yang berkaitan

dengan kegiatan perikanan. Kejadian-kejadian seperti ini oleh PBB telah direspon

dengan dilakukannya serangkaian konperensi internasional yang berkaitan dengan

kegiatan penangkapan ikan, sebagaimana diuraikan secara lengkap dalam

Integration of Fisheries into Coastal Area Management (FAO 1996). Dimulai

dengan pertemuan Komite FAO untuk perikanan (COFI) pada bulan Maret 1991,

yang merekomendasikan bahwa sudah mendesak diperlukanya pendekatan-

pendekatan baru dalam pengelolaan perikanan, yang meliputi aspek konservasi

dan lingkungan serta petimbangan aspek sosial ekonomi. Disini FAO telah

meminta dikembangkannya suatu konsep perikanan yang bertanggungjawab dan

menguraikan sebuah tatalaksana untuk membantu dalam perkembangan

penerapannya. Pada bulan Mei 1992, Pemerintah Meksiko bekerjasama dengan

FAO telah mengorganisasikan sebuah konferensi internasional mengenai

Page 62: Muara Dadap

43

Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab, yang berlangsung di Cancun dan

menghasilkan Deklarasi Cancun, yang merupakan pusat perhatian dalam

Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED di Rio de Janeiro Brazilia pada bulan Juni

1992, yang mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana Perikanan yang

Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF).

Konsultasi teknis FAO mengenai Penangkapan Ikan di Laut Lepas yang dilakukan

bulan September 1992 telah merekomendasikan lebih lanjut untuk memperluas

draft tatalaksana tersebut sehingga mencakup kegiatan perikanan tangkap di

samudera.

Proses penyusunan Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab terus

berlangsung melalui berbagai pertemuan internasional yang dimotori oleh

berbagai badan dunia dibawah PBB. Isi dari dokumen Tatalaksana Perikanan

yang Bertanggungjawab tersebut terdiri atas lima artikel pengantar, yaitu: Sifat

dan Ruang Lingkup; Sasaran-sasaran; Hubungan dengan perangkat internasional

lainnya; Pelaksanaan, Pemantauan, dan Pemutakhiran; serta Kebutuhan Khusus

Negara Berkembang. Artikel pendahuluan ini diikuti oleh sebuah artikel tentang

asas umum yang mendahului enam artikel tematik mengenai: Pengelolaan

Perikanan; Operasi Penangkapan Ikan; Pembangunan Akuakultur; Integrasi

Perikanan kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir; Praktek Pasca-panen dan

Perdagangan; serta Penelitian Perikanan. Perjanjian untuk Memajukan Kepatuhan

terhadap Langkah-langkah Pengelolaan dan Konservasi Internasional oleh Kapal

Penangkap Ikan di laut lepas, merupakan bagian integral dari Tatalaksana

Perikanan yang Bertanggungjawab ini (FAO 1996).

Konsep keberlanjutan pengelolaan perikanan lebih ditekankan pada

pertimbangan bio-ekonomi. Dengan kata lain, pengelolaan perikanan telah

dianggap sebagai penjaminan pertanggungan jawab dari eksploitasi sumberdaya

yang efisien secara ekonomi dan ekologi (Owens 1994 dalam Kasimis dan Petrou

2000).

Menurut Dahuri (2003), karakteristik geografi Indonesia serta struktur dan

tipologi ekosistemnya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan bangsa

Indonesia sebagai mega-biodiversity terbesar di dunia, yang merupakan justifikasi

bahwa Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia. Fakta ini

Page 63: Muara Dadap

44

menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang

memiliki peluang amat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang

efektif dalam membangun Bangsa Indonesia. Atas dasar inilah maka konsep

Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab harus segera dilaksanakan di

Indonesia sebelum terlambat dan sulit untuk diperbaiki kembali.

2.3.1 Kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia

Mengingat luasnya kawasan perairan (potensi perairan tawar sebesar 24,53

juta ha dan laut sebesar 5,8 juta km2, Dahuri 2003), Indonesia sudah sepantasnya

memiliki suatu kebijakan pengelolaan perikanan yang baik. Meskipun sejak awal

berdirinya Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau, tetapi

kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu belum memprioritaskan sumberdaya

perikanan dan kelautan sebagai penggerak pembangunan bangsa. Hal ini baru

direalisasikan melalui Keppres No.355/M/1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004

tentang pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) yang kemudian

namanya diubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP)

berdasarkan Keppres No. 145/1999, serta menjadi Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP) melalui Keppres No. 165/2000 (Anonimous 2003a).

Untuk mewujudkan semua harapan tersebut di atas, DKP menyusun visi

pembangunan kelautan (Anonimous 2007a), yaitu: "Pengelolaan Sumberdaya

Kelautan dan Perikanan yang lestari dan bertanggung jawab bagi kesatuan dan

kesejahteraan anak bangsa". Sedangkan misinya adalah:

2) Peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan

masyarakat pesisir lainnya.

3) Peningkatan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber

pertumbuhan ekonomi.

4) Pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan

perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan.

5) Peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan

konsumsi ikan.

6) Peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya

bahari bangsa Indonesia.

Page 64: Muara Dadap

45

Untuk mencapai misi tersebut, DKP telah membuat beberapa program kerja

sebagaimana disampaikan dalam Lokakarya Refleksi Kebijakan Revitalisasi

Kelautan dan Perikanan, yang diselenggarakan tanggal 15 Januari 2007. Dalam

melaksanakan revitalisasi perikanan, DKP menetapkan beberapa komponen utama

yang dipandang sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi sehingga program

revitalisasi berdampak positip bagi masyarakat. Komponen-komponen tersebut

(Anonimous 2007a) adalah : (1) perlu adanya pemantapan regulasi, baik di tingkat

daerah; (2) perlu adanya kejelasan dukungan pembiayaan, baik pemerintah pusat,

daerah, swasta, dan masyarakat; (3) Perlu adanya perencanaan pemasaran dalam

rangka menjamin kepastian pasar produk atau komoditas yang dihasilkan; dan (4)

perlu adanya kegiatan penyuluhan dan pendampingan dalam rangka diseminasi

teknologi dan informasi.

Pelaksanaan program revitalisasi akan lebih berdayaguna dan berhasil guna

bilamana komponen-komponen utama atau komponen esensial ditunjang oleh

komponen-komponen berikut: (1) perlu ada rencana komprehensif serta rencana

pengembangan komoditas atau produk di tingkat pusat dan daerah; (2) perlu

adanya kawasan yang jelas sebagai kawasan basis (contohnya pelabuhan

perikanan), kawasan usaha, serta kawasan pengembangan; (3) perlu melibatkan

swasta dalam program revitalisasi mengingat bahwa pemerintah memiliki

kemampuan yang kapasitas yang terbatas; (4) perlu ditunjang oleh industri

pendukung misalnya galangan kapal, dok, pakan, benih, baik dalam bentuk unit

usaha terpisah atau terpadu; (5) perlu dikembangkan industri pengolahan hasil

yang secara terus menerus menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi

pelaku ekonomi; (6) perlu dilaksanakan riset secara terus menerus dalam rangka

menghasilkan teknologi dan informasi baru bagi peningkatan efisiensi usaha; dan

(7) perlu pengembangan sumberdaya manusia terutama pada sektor swasta

melalui pendidikan dan pelatihan (Anonomous 2007a).

2.3.2 Pelabuhan perikanan

Menurut Kramadibrata (2002), pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal-

kapal yang diharapkan merupakan suatu tempat yang terlindung dari gangguan

laut, sehingga bongkar muat dapat dilaksakan untuk menjamin keamanan barang.

Page 65: Muara Dadap

46

Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan

besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan

adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan

seperti ini disebut pelabuhan alam. Tipe tempat lain yang dibentuk dan

diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur

masuh dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara

penuh. Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi

alam.

Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime

Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan

bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan.

Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan.

Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa suatu pelabuhan dapat

digambarkan sebagai suatu tempat dimana berlangsung mekanisme transportasi

barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari

laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu

pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pelayanan yang diberikan oleh

pelabuhan didasarkan pada hasil dari pengalaman dalam jangka waktu yang lama.

Dalam kaitannya dengan kapal ikan, terjadinya antrian akan sangat

mempengaruhi nilai dari muatannya tersebut, terkait dengan proses lelang

(Dubrocard dan Thoron 1998). Hal ini tidak hanya waktu tunggu yang penting

tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan

yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan,

dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar.

Kramadibrata (2002) membuat definisi pelabuhan dilihat dari subsistem

angkutan, yaitu pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi

kelancaran angkutan muatan laut dan darat. Menurut UU No 31/2004 tentang

perikanan, definisi pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan

dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan

pemerintah dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai

tempat kapal perikanan bersandar berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang

Page 66: Muara Dadap

47

dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang

perikanan.

Untuk mengatur pelaksanaan UU No. 31/2004 tentang perikanan tersebut,

telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.

PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan (DKP

2006), yang mengatur beberapa hal berikut:

1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan

mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya

dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP),

rencana umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan

prasarana wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan;

2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional;

3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang

dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta;

4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun

pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan

secara nasional dan peraturan pelaksanaannya;

5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study,

investigation, detail design, construction, operation dan maintenance

(SIDCOM);

6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan

mengoperasionalkan pelabuhan perikanan;

7) Klasifikasi pelabuhan perikanan dibagi ke dalam 4 kelas, yakni Pelabuhan

Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI);

8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu

memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi

pembangunan pelabuhan perikanan ditetapkan oleh bupati/walikota

setempat;

Page 67: Muara Dadap

48

9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan.

Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam

penyelenggaraan pelabuhan perikanan;

10) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan:

a. Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan

di suatu pelabuhan yang berfungsi untuk menjamin keamanan dan

kelancaran kapal baik sewaktu berlayar ke luar masuk pelabuhan

maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok meliputi: (1)

pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin; (2) tempat tambat

seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti kolam, dan alur

pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong,

jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.

b. Fasilitas fungsional, yaitu fasilitas yang berfungsi untuk meningkatkan

nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di

pelabuhan, yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai

tempat pemasaran hasil perikanan; (2) navigasi pelayaran dan

komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar,

dan menara pengawas; (3) suplai air bersih, es, listrik; (4)

pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway,

bengkel dan tempat perbaikan jaring; (5) penanganan dan pengolahan

hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan

mutu; (6) perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; (7)

transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; serta (8) pengolahan

limbah seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL).

c. Fasilitas penunjang, adalah fasilitas yang secara tidak langsung

meningkatkan peranan pelabuhan, yaitu: (1) pembinaan nelayan,

seperti balai pertemuan nelayan,; (2) pengelolaan pelabuhan, seperti

mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu; (3) sosial dan

umum, seperti tempat peribadatan, dan MCK; (4) kios IPTEK; serta

(5) penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan

Page 68: Muara Dadap

49

pelayaran, K3, bea dan cukai, keimigrasian, pengawas perikanan,

kesehatan masyarakat, dan karantina ikan.

Menurut Lubis (2002), fungsi pelabuhan perikanan dapat dikelompokan

menjadi dua, yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas.

Berdasarkan pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan adalah:

1) Fungsi maritim, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat

(terjadinya) kontak bagi nelayan dan/atau pemilik kapal, antara laut dan

daratan melalui penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga;

2) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat

awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan

melakukan transaksi pelelangan ikam;

3) Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan

mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan.

Dari pendekatan aktivitas, fungsi pelabuhan menurut Lubis (2202) adalah:

1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan

lebih ditekankan sebagai (tempat) pemusatan sarana dan kegiatan

pendaratan dan pembongkaran hasil tangkapan di laut;

2) Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina

peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari

kerugian pasca tangkap;

3) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat

untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapatka

harga yang layak bagi nelayan maupun pedagang.

Berbeda dengan Lubis (2002), Murdiyanto (2004) membagi fungsi

pelabuhan menjadi 2, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum

merupakan fungsi yang juga dimiliki oleh tipe pelabuhan yang lainnya (pelabuhan

umum, pelabuhan niaga), yang meliputi: (1) jalan (alur) masuk pelabuhan dengan

kedalaman air yang cukup; (2) pintu atau gerbang pelabuhan dan saluran navigasi

yang cukup aman dan dalam; (3) kedalaman dan luas kolam air yang cukup serta

terlindung dari gelombang dan arus yang kuat untuk keperluan kegiatan kapal di

dalam pelabuhan; (4) bantuan peralatan navigasi baik visual maupun elektronis

Page 69: Muara Dadap

50

untuk memandu kapal agar dapat melakukan manuver di dalam areal pelabuhan

dengan lebih mudah an ama; (5) bila dipandang perlu, dapat mendirikan bangunan

penahan gelombang (breakwater) untuk mengurangi pengaruh atau memperkecil

gelombang dan angin badai di jalan masuk dan fasilitas pelabuhan lainnya; (6)

dermaga yang cukup panjang dan luasnya untuk melayani kapal yang berlabuh;

(7) fasilitas yang menyediakan bahan kebutuhan pelayaran seperti BBM, pelumas,

air minum, listrik, sanitasi dan kebersihan, saluran pembuangan sisa kotoran dari

kapal, penanggulangan sampah, dan sistem pemadam kebakaran; (8) bangunan

rumah dan perkantoran yang perlu untuk kelancaran dan pendayagunaan

operasional pelabuhan; (9) area di bagian laut dan darat untuk perluasan atau

pengembangan pelabuhan; (10) jalan raya atau jalan kereta api/lori yang cukup

panjang untuk sistem transportasi dalam areal pelabuhan dan untuk hubungan

dengan daerah lain di luar pelabuhan; (11) halaman tempat parkir yang cukup luas

untuk kendaraan industri atau perorangan di dalam pelabuhan sehingga arus

lalulintas di kompleks pelabuhan dapat berjalan dengan lancar; (12) fasilitas

perbaikan, reparasi dan pemeliharaan kapal seperti dok dan perbengkelan umum

untuk melayani permintaan sewaktu-waktu.

Fungsi khusus dari pelabuhan perikanan menurut Murdiyanto (2004)

diturunkan dari karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk

(highly perishable). Sifat ini menhendaki pelayanan khusus berupa perlakuan

penanganan, pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan yang

tepat. Fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi fungsi khusus pelabuhan

perikanan ini adalah: (1) fasilitas pelelangan ikan yang cukup luas dan dekat

dengan tempat pendaratan; (2) fasilitas pengolahan ikan seperti tempat

pengepakan, pengemasan, dan cold storage; (3) pabrik es; dan (4) fasilitas

penyediaan sarana produksi penangkapan ikan.

Murdiyanto (2004) menjelaskan bahwa klasifikasi pelabuhan didasarkan

pada cakupan peruntukannya, yakni:

1) Pelabuhan Perikanan Tipe A (atau Pelabuhan Perikanan Samudera, PPS)

diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di

perairan samudera yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan

perikanan jarak jauh sampai ke perairan ZEEI dan perairan internasional,

Page 70: Muara Dadap

51

mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah

sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang

didaratkan minimum 200 ton per hari atau 73.000 ton per tahun, baik untuk

pemasaran dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan

tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 60 GT

sebanyak 100 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk

pengembangan seluas 30 ha.

2) Pelabuhan Perikanan Tipe B (atau Pelabuhan Perikanan Nusantara, PPN)

diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di

perairan Nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan

perikanan jarak sedang sampai ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan

untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan

kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang didaratkan minimum 50 ton per hari

atau 18.250 ton per tahun, hanya untuk pemasaran dalam negeri. Pelabuhan

perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran

sampai 60 GT sebanyak 50 unit sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan

untuk pengembangan seluas 10 ha.

3) Pelabuhan Perikanan Tipe C (atau Pelabuhan Perikanan Pantai, PPP)

diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di

perairan, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan

mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan

yang didaratkan minimum 20 ton per hari atau 7.300 ton per tahun, untuk

pemasaran di daerah sekitarnya atau untuk dikumpulkan dan dikirim ke

pelabuhan perikanan yang lebih besar. Pelabuhan perikanan tipe C ini

dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran 15 GT sebanyak 25 unit

sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas

seluas 5 ha.

4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), berskala lebih kecil dari PPP baik ditinjau

dari kapasitas penanganan jumlah produksi ikan maupun fasilitas dasar dan

perlengkapannya. Kapasitas penanganan ikannya sampai dengan 5 ton per

hari, dan dapat menampung kapal berukuran 5 GT sebanyak 15 unit

Page 71: Muara Dadap

52

sekaligus, serta mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan fasilitas

seluas 1 ha.

Di Indonesia, penentuan awal terbentuknya suatu kawasan menjadi daerah

perikanan pada mulanya kemungkinan besar ditentukan hanya oleh adanya

aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, baik itu berupa kegiatan penangkapan,

budidaya, pengolahan, maupun pemasaran, baik kegiatan sendiri-sendiri maupun

bersamaan. Oleh karena itu, kemungkinan besar tidak memperhitungkan berbagai

variabel yang diperlukan bagi suatu perencanaan pengembangan daerah perikanan

secara ilmiah, baik dilihat dari sumberdaya ikan, prasarana dan sarana

penangkapan dan pendaratan ikan, serta potensi pasarnya. Oleh karena itu, tidak

semua pusat-pusat pendaratan ikan yang ada di Indonesia mempunyai prospek

pengembangan yang menggembirakan bilamana diteliti secara mendalam dan

ilmiah.

Menurut Lubis (2003), salah satu alasan perlunya dibangun pelabuhan

perikanan di suatu daerah adalah berkembangnya kegiatan perikanan laut di

daerah tersebut. Disamping itu, alasan lain yang juga mendukung adalah:

1) Semakin meningkatnya kebiasaan penduduk untuk makan ikan;

2) Masih besarnya potensi sumberdaya ikan yang ada di perairan;

3) Semakin meningkatnya (kegiatan) industri perikanan;

4) Adanya (dukungan) politik dalam rangka pengawasan perairan; serta

5) Semakin meningkatnya pendapatan penduduk per kapita.

Lubis (2003) juga berpendapat bahwa sebagian besar pelabuhan perikanan

di Indonesia belum berfungsi optimal (70 %) dan umumnya belum dilengkapi

fasilitas modern. Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan

terjadinya hal tersebut, antara lain: (1) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia

(SDM) pengelola dan pelaku; (2) Masih belum sadarnya para pelaku (nelayan,

pedagang, pengolah) dalam memanfaatkan pelabuhan perikanan dengan sebaik-

baiknya sebagai tempat pendaratan, pemasaran, maupun pembinaan mutu hasil

tangkapannya; (3) Masih belum adanya kemauan dari pemerintah sendiri untuk

Page 72: Muara Dadap

53

membantu para nelayan dalam memanfaatkan potensi perairan, baik dalam

manajemen pemberian kredit maupun dalam pemberian subsidi; (4) Belum adanya

jaminan keamanan bagi para nelayan, baik di laut maupun di darat; (5) Masih

belum tersedianya berbagai fasilitas yang memang diperlukan oleh nelayan atau

pedagang di pelabuhan perikanan atau juga rusaknya beberapa fasilitas di

pelabuhan tanpa adanya perbaikan dalam jangka waktu yang lama; (6) Belum

tersedianya prasarana dan sarana transportasi yang baik yang dapat menjamin

mutu ikan sampai ke daerah konsumen; (7) Masih banyak nelayan yang terikat

dengan para tengkulak sehingga terjadi ketergantuangan harga jual hasil

tangkapannya; dan (8) Belum berjalannya fungsi koperasi secara baik sehingga

tidak dirasakan manfaatnya oleh nelayan.

Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu pelabuhan perikanan dapat

dipertimbangkan sebagai suatu tempat dimana terjadi mekanisme perpindahan

barang yang berasal dari daratan ke arah laut dan sebaliknya. Aktivitas yang

dilakukan dalam suatu pelabuhan secara jelas dapat dibagi 2, yaitu pelayanan

kapal, dan pelayanan muatan yang akan dibawa atau dibongkarnya. Pengelolaan

suatu pelabuhan tergantung pada apa yang dimilikinya (kapasitasnya) dan apa

yang diminta oleh para pelanggannya. Kasus terjadinya keterlambatan bongkar

muat suatu kapal adalah menunjukkan bagaimana keadaan kualitas pelayanan

pelabuhan tersebut.

Pada saat suatu kapal tiba di suatu pelabuhan, sudah harus dipertimbangkan

kemungkinan adanya biaya tunggu di pelabuhan. Menurut Dubrocard dan Thoron

(1998), pelayanan bongkar muat kapal merupakan faktor utama dari jasa

pelayanan pelabuhan. Kualitas pelayanan ini diukur dari keterlambatan yang

ditentukan oleh kapasitas pelabuhan dan jumlah permintaan. Suatu pelabuhan

dapat digambarkan sebagai suatu mekanisme transportasi barang-barang yang

berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari laut, dan sebaliknya.

Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu pelayanan kapalnya dan

pelayanan muatannya. Pada saat suatu pelayanan bongkar muat kapal dilakukan,

telah terdapat suatu spesifikasi yang telah disesuaikan dengan kondisi kapal dan

muatannya. Hal ini merupakan hasil analisis dari pengalaman pemberian

pelayanan bongkar muat kapal yang cukup lama.

Page 73: Muara Dadap

54

Dalam kasus situasi kapal ikan, Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan

bahwa tidak hanya waktu tunggu yang penting tetapi lebih pada harga ikan yang

dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan yang dibongkar tersebut menambah

jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan, dikhawatirkan akan terjadi penurunan

harga karena kelebihan pasokan di pasar. Namun secara formal, analisis terhadap

situasi ini sangat mirip dengan teori antrian dan kemacetan. Dengan perkataan

lain, kualitas pelayanan diukur dalam dua bentuk gambaran, pada saat kapal

datang di pelabuhan secara acak (dengan kata lain kualitas ditentukan oleh harga

yang diperoleh, dan hal ini pada gilirannya ditentukan oleh proses kedatangan dari

kapal ikan).

Mengutip Lubis (1989) dan Vigarie (1979), Lubis (2003) menyatakan

bahwa terdapat tiga komponen yang harus mendasari analisis geografi dalam

merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan. Ketiga komponen tersebut

terdiri dari foreland, fishing port, dan hinterland, yang dalam Bahasa Perancis

ketiganya disebut tryptique portuaire. Jika ketiga komponen tersebut dikelola

dengan baik, maka pengembangan pelabuhan perikanan terpadu dapat dicapai.

Menurut Kramadibrata (2002), para perencana dan perancang pelabuhan harus

mengarahkan pemikirannya pada fungsi pelabuhan, yaitu sebagian dari fungsi

angkutan yang mampu melaksanakan tugasnya, bukan hanya dimasa sekarang

tetapi juga mampu berperan di masa mendatang.

Perkembangan terakhir dari pengelolaan pelabuhan perikanan yang

berkelanjutan adalah dimasukannya aspek eco-port, artinya pelabuhan dikeloka

sedemikian rupa sehingga masyarakat sekitar pelabuhan dan para pemanfaat

lainnya dapat menggunakan pelabuhan tersebut sebagai tempat yang nyaman

untuk berwisata. Salah satu pelabuhan perikanan yang sudah menerapkan sistem

pengelolaan seperti ini adalah Port Douglas di Darwin-Australia

http://www.fishingportdouglas.com.au/). Di pelabuhan ini, hampir semua

kegiatan wisata air dapat dilakukan dan dikelola secara professional, mulai dengan

fasilitas akomodasi (hotel berbintang 4,5 dan motel) sampai ke fasilitas sport

fishing (mancing di laut). Di Indonesia, tampaknya belum sampai ke taraf

komersial, meskipun kunjungan dari berbagai lapisan masyarakat juga sudah biasa

dilakukan dan dihadapi oleh pengelola pelabuhan.

Page 74: Muara Dadap

55

Menurut Mahyuddin (2007), pengembangan pelabuhan perikanan di

Indonesia semakin menarik bagi investor untuk dijadikan basis dalam

pengembangan industri perikanan. Alasannya yakni: (1) investor semakin sulit

memperoleh tanah yang bebas masalah d luar kawasan pelabuhan sehingga areal

industri perikanan di kawasan pelabuhan semakin diminati; (2) berdasarkan pasal

41 ayat 3 UU No. 31/2004 tentang perikanan, setiap kapal penangkap ikan dan

kapal pengangkut ikan diharuskan untuk mendaratkan ikan tangkapannya di

pelabuhan perikanan; (3) adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan

bahwa kapal-kapal asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan

Indonesia kecuali kapal-kapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil

tangkapannya di pelabuhan perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan

di Indonesia; dan (4) semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor

di pelabuhan mulai dari pelayanan prima, sampai kepada murahnya tarif dalam

memanfaatkan fasilitas pelabuhan.

2.3.3 Tempat pelelangan ikan

Salah satu sarana yang sebaiknya terdapat di pelabuhan perikanan adalah

tersedianya tempat pelelangan ikan (TPI). Tempat ini merupakan areal dimana

nelayan, juragan kapal, tengkulak, dan pembeli dan penjual ikan bertransaksi dan

diawasi oleh petugas TPI. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang

Pelabuhan Perikanan, tempat pelelangan ikan adalah salah satu fasilitas fungsional

yang dapat meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat

menunjang aktivitas di pelabuhan (DKP 2006).

Menurut Adrianto (2007), TPI adalah tempat dimana kesepakatan harga jual

beli ikan tercapai. Namun demikian beberapa hal perlu diperhatikan, yaitu harga

yang terbentuk tidak mencerminkan supply dan demand yang aktual (quasi-

auction), transparansi antara harga on-farm dan off-farm masih terbatas. Dengan

demikian TPI hanya berfungsi sebagai lembaga ekonomi saja.

Tempat pelelangan ikan juga merupakan fasilitas fungsional yang sangat

vital dalam rangka mengoptimalkan fungsi pemasaran ikan. Pada gilirannya, jika

fungsi pemasaran berhasil maka pendapatan dari jasa pelabuhan perikanan akan

Page 75: Muara Dadap

56

juga bertambah. Fungsi pemasaran ikan yang terjadi di TPI digambarkan oleh

Adrianto (2007) sebagaimana tercantum dalam Gambar 2.7

Gambar 2.7 Bagan alir fungsi pemasaran yang terjadi di TPI (Adrianto 2007)

Dari Gambar 2.7 tampak bahwa aktivitas ekonomi (pemasaran) di TPI

dimulai dari proses pendaratan ikan yang dilakukan oleh nelayan, kemudian

terjadi proses lelang pertama diantara tengkulak/pedagang besar A (wholesaler,

baik dari kelompok nelayan atau koperasi) dengan pedagang perantara A (middle

man). Proses pelelangan kedua terjadi antara tengkulak/pedagang besar B dengan

pedagang perantara B. Proses pemasaran kemudian terjadi secara eceran di antara

pedagang perantara B dengan pedagang eceran yang langsung menjual ikannya

kepada konsumen. Pembayaran kontan terjadi pada saat transaksi antara

pedagang perantara dengan pedagang eceran serta antara pedagang eceran dengan

konsumen. Sedangkan transaksi pada waktu lelang dibayar berdasarkan komisi

penjualan. Jika kepercayaan sudah ter jadi diantara tengkulak/pedagang besar

dengan pedagang perantara dan juga sampai ke pedagang pengecer, pembayaran

kadang-kadang dilakukan hari berikutnya.

Sales

Fix price transaction

Buying on consignment

FISHERS

LANDING

Consignment

Consignees, wholesalers (fishers cooperatives/

association)

Auctions and Bidding

Retail Traders Consumers

Middle-men

Auctions and Bidding

Middle-men

Consignees, wholesalers (larger wholesaler market)

Page 76: Muara Dadap

57

2.3.4 Kelembagaan TPI

Untuk dapat beroperasi secara benar dan optimal, maka TPI harus memiliki

lembaga pengelola. Banyak kasus di pelabuhan-pelabuhan perikanan di Pulau

Jawa lembaga pengelola TPI dipegang oleh koperasi nelayan (KUD Mina), ada

yang berhasil dan ada pula yang gagal total sehingga lembaga tersebut tidak

dipercaya lagi. Contoh kasus yang terhitung berhasil adalah di PPI/TPI

Belanakan di Subang yang dikelola oleh KUD Mina Fajar Sidik. Keberhasilan

lembaga pengelola TPI ini telah menjadikannya sebagai acuan dalam

pengembangan Terminal Agribisnis/Sub Terminal Agribisnis (TA/STA) produk-

produk pertanian. KUD Mina Fajar Sidik didirikan tahun 1958 dan mendapat

predikat KUD Mandiri Inti berdasarkan Surat Kakanwil Depkop dan PPK Prop.

Jawa Barat tanggal 24 Desember 1994. Jumlah karyawan KUD 50 orang dengan

keanggotaan penuh (535 orang), calon anggota (155 orang) dan anggota yang

dilayani (3.804 orang), dan uang yang beredar dari hasil transaksi lelang yang

terjadi di TPI setiap hari sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta)

(Anonimous 2006).

Tata cara pelaksanaan lelang di TPI KUD Mina Fajar Sidik dilaksanakan

berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat no. 13/2006 tanggal 8 Maret 2006

tentang pelaksanaan penyelenggaraan dan retribusi tempat pelelangan ikan dan

berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat no. 10/11 tahun 1998 Jo Prop Jawa Barat

no. 8/9 tahun 2000 pelaksanaan lelang dikenakan ongkos sebesar 8 %.

Adrianto (2007) mengidentifikasi aliran fungsional yang terjadi di TPI di

Jawa Tengah, sebagaimana tampak dalam Gambar 2.8. Dari Gambar 2.8 tampak

besaran distribusi dana retribusi, dimana 1,25 % diberikan ke Kas Provinsi

(Pemda Provinsi 0,85 % dan Pemda Kabupaten/kota) dan 3,75 % disampaikan ke

PUSKUD (yang digunakan untuk dana sosial, pengembangan PUSKUD,

tabungan nelayan, asuransi nelayan, tabungan bakul, dana paceklik,

pengembangan KUD, lelang, dan perawatan TPI). Jika besaran retribusi sebesar 8

%, maka biaya pengelolaan TPI sebesar 3 % dari seluruh transaksi pelelangan.

Distribusi dana retribusi pelelangan yang dilakukan di Jawa Timur dan Bali

Page 77: Muara Dadap

58

mempunyai variasi yang cukup berbeda, sebagaimana tampak pada Gambar 2.9

dan Gambar 2.10.

Gambar 2.8 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Jawa Tengah (Adrianto 2007)

Gambar 2.9 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Jawa Timur (Adrianto 2007a)

Kas Provinsi

TPI

PemdaProvinsi

PemdaKab/Kota

Pusat KUD

DanaSosial

TabunganNelayan

AsuransiNelayan

DanaPaceklik

Lelang

PengembanganPuskud

TabunganBakul

PengembanganKUD

PengembanganTPI

1.25% 3.75%

0.85% 0.40%

0.50%

0.20%

0.50%

0.25%

0.20% 0.50%

0.45%

1.0%

Perawatan TPI0.15%

Provinsi Jawa Tengah

DISPENDA

BANK JATIM

KUD TPI

ANGGARAN RUTIN

5 %

ANGGARAN PEMBANGUNAN

PROVINSI

DINAS KAB/KOTA TPI/KUD PENGELOLA

1,25 % 0,75 %

3 %

Page 78: Muara Dadap

59

Gambar 2.10 Bagan aliran fungsional yang terjadi di TPI di Provinsi Bali

(Adrianto 2007b)

2.4 Analisis Perkembangan Aktivitas Pembangunan

Setiap aktivitas pembangunan di suatu kawasan dapat diamati tingkat

keberhasilannya dengan berbagai tools. Dalam penelitian ini, tools yang

digunakan adalah: ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region);

land rent, yang meliputi economic rent, social rent, dan environmentlan rent,

yang masing-masing dalam istilah Indonesia disebut rente lahan yang mencakup

rente ekonomi, rente sosial, dan rente lingkungan.

2.4.1 Ketergantungan daerah perikanan (fisheries dependent region)

Untuk melihat prospek pengembangan suatu daerah perikanan, konsep yang

dikembangkan oleh Symes (2000) tentang daerah yang bergantung pada kegiatan

perikanan (daerah perikanan = fisheries dependent regions) sangat bermanfaat

bagi aktivitas pengelolaan. Daerah perikanan ini merupakan barometer bagi

keberhasilan suatu kebijakan perikanan.di suatu kawasan.

Menurut Symes (2000), definisi pokok dari daerah perikanan adalah untuk

mengidentifikasi daerah-daerah yang memiliki tingkat resiko tinggi, baik dalam

konteks sumberdaya maupun kebijakan, terhadap turunnya intensitas kegiatan

TPI KUD

Biaya operasionaldan tabungan nelayan

BendaharawanDinas PerikananKabupaten/Kota

RetribusiProvinsi 0.5 %

RetribusiKabupaten/Kota 0.5 %

Pungutan Paceklik/Sosial Kecelakaan1 %

Wasdalop0.5 %

BendaharawanProvinsi

BPD Bali

BPD Kabupaten/Kota

BendaharawanKhusus PerikananProvinsi

Provinsi Bali (SK Gubernur No 190/1986)

Page 79: Muara Dadap

60

perikanan termasuk dampak yang mungkin timbul dari turunnya kesempatan kerja

dan pendapatan sektor perikanan. Daerah perikanan dalam konteks ini terkait

dengan istilah fisheries dependent region, ketergantungan daerah terhadap

perikanan. Menurut Phillipson (2000), definisi daerah perikanan perlu difokuskan

dalam konteks struktur ekonomi daerah (regional depencies) dimana sektor

perikanan berkontribusi secara sosial dan ekonomi, daripada ketergantungan

perikanan (fisheries dependencies). Ketergantungan daerah jelas berdimensi

regional atau wilayah, sedangkan ketergantungan perikanan memiliki banyak

dimensi, mulai dari individu, rumah tangga, hingga ke komunitas. Sebelumnya

Otterstad et al. (1997b) dalam Symes (2000) menyatakan bahwa ketergantungan

secara ekonomi (economic dependencies) lebih relevan secara langsung terhadap

isu daerah perikanan. Sedangkan variabel sosial memiliki peran dalam

penyediaan indikasi umum dari kesejahteraan sosial (social welfare) dari suatu

daerah.

Untuk mengklasifikasi apakah suatu daerah termasuk dalam suatu daerah

perikanan atau bukan, menurut Phillipson (2000) terdapat tiga sistem indikator

yang dapat digunakan, yaitu:

1) Indikator ketergantungan perikanan (fisheries dependence indices) yang

mencakup 3 komponen utama, yakni: a) Indikator ketenagakerjaan

perikanan (kontribusi tenaga kerja perikanan dalam total struktur

ketenagakerjaan daerah); b) indikator absolut aktivitas perikanan

(indikator yang terkait langsung dengan menurunnya kinerja sektor

perikanan); dan c) indikator tingkat signifikasi ekonomi dari sektor

perikanan terhadap ekonomi daerah.

2) Indikator ketergantungan ekonomi (economic dependence indices) yang

meliputi indikator ketenagakerjaan wilayah, indikator ekonomi wilayah

dan industri.

3) Indikator sosial demografis yang mencakup indikator kependudukan,

kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Penentuan daerah perikanan di Indonesia mempunyai beberapa hambatan.

Menurut Adrianto (2004), paling tidak terdapat 3 persoalan (obstacles) yang perlu

Page 80: Muara Dadap

61

diperhatikan. Pertama, tidak ada sistem data yang langsung dapat dipakai

(straightforward) untuk mengidentifikasi sebuah daerah agar dapat digolongkan

sebagai daerah perikanan. Data statistik nasional misalnya belum menempatkan

informasi tentang angkatan kerja perikanan dalam sebuah bentuk yang standar.

Kedua, masalah level data. Data perikanan saat ini tidak standar antar level

sehingga sering ditemukan ketidaksesuaian data antar level. Secara teoritis,

identifikasi kegiatan perikanan lebih mudah dilakukan di tingkat lokal, sehingga

level ketergantungan (level of dependencies) daerah tersebut mudah ditentukan

walaupun tidak untuk semua kasus. Ketiga, dalam beberapa hal istilah fisheries

dependence dapat menimbulkan kontradiksi. Ketika pengukuran dimaksudkan

untuk mengidentifikasi peren penting dari sektor perikanan di suatu daerah,

namun hasilnya cenderung tidak meyakinkan karena sektor perikanan seringkali

masuk (embedded) ke dalam ekonomi lokal yang kompelks dan beragam

(pluriactive). Dalam konteks ini, maka penerapan indeks batas arbitrer (arbitrary

threshold index), untuk menggolongkan apakah suatu daerah bergantung secara

relatif terhadap sektor perikanan atau tidak, dapat di lakukan.

2.4.2 Land rent, social rent, dan environmental rent

Menurut Fetter (1977), asal kata rent atau rente berasal dari kata Bahasa

Perancis tua pada abad 12, yang diambil dari Bahasa Latin rendita dan reddita

yang berarti kembali atau hasil panen. Pada abad yang sama pula terjadi

penggunaan kata tersebut dalam Bahasa Inggris, yang nuansa artinya lebih pada

kata penghasilan (revenue atau income). Dari istilah inilah kemudian muncul

definisi rente menurut Alfred Marshall yang banyak digunakan oleh para ekonom,

yaitu “pendapatan yang diperoleh dari penggunaan lahan dan pemberian alam

lainnya”. Namun demikian, dari nuansa teknis hukum definisi yang lebih sesuai

adalah: kompensasi yang diterima oleh tuan tanah untuk penyewaan tanahnya

(corpus juris).

Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa definisi rent ternyata

berkembang terus sejalan dengan kemajuan jaman dan berbagai aktivitas yang

dilakukan di suatu kawasan. Parikesit (2005) menyatakan bahwa teori awal dari

penggunaan lahan berawal dari teori mikro ekonomi. Di antara para ahli, yang

Page 81: Muara Dadap

62

paling signifikan berpengaruh adalah Von Thünen dengan teori lokasinya, Weber

dengan model lokasi industri, Christaller dan Lösch dengan penjelasan tentang

daerah pemasaran dan perencanaan geometrik untuk membentuk kawasan; serta

implementasinya terhadap daerah perkotaan dijelaskan oleh Wingo dan Alonso

(de la Barra 1989). Pendekatan Von Thünen dan Weber sudah dikenal umum

sebagai dua paradigma yang berbeda dimana Von Thunen menggunakan

paradigma land use sementara yang kedua paradigma lokasi (Stahl 1987 dikutip

oleh Parikesit 1996 dalam Parikesit 2005). Von Thünen melihat bahwa lokasi

perdagangan yang penting dan terlibat adalah penurunan biaya output transportasi

dengan cara mendekati lokasi pasar, lawannya adalah peningkatan harga input

lahan (atau barangkali juga buruh) yang terlibat dalam hal pindah lokasi. Lebih

jauh, Von Thünen menyatakan bahwa land rent dirasakan sebagai pendekatan

yang paling tepat sebagai sisa, bahwa land rent bukan suatu lokasi yang

menentukan (kompetitif), tetapi ditetapkan sebagai suatu hasil (Parikesit 1996

dalam Parikesit 2005).

Menurut Rothbard (1997), Fetter merupakan ekonom pertama yang

menjelaskan tingkat bunga berdasarkan waktu. Setiap faktor produksi

memperoleh inkamnya sesuai dengan produk marginalnya, dan setiap rente yang

akan datang didiskon, atau dikapitalisasi untuk mendapatkan nilainya sekarang

sesuai dengan semua tingkat sosial berdasarkan waktu. Hal ini berarti bahwa

suatu perusahaan yang membeli mesin hanya akan membayar nilai saat ini untuk

nilai pendapatan yang diharapkan datang di masa yang akan datang, diskon oleh

tingkat sosial yang berdasarkan waktu; dan pada saat pemodal menyewa pekerja

atau menyewa lahan, dia akan membayar saat ini, bukan suatu faktor produk

marginal, tetapi diskon dari produk mariginal yang diharapkan dimasa yang akan

datang berasal dari tingkat sosial yang berdasarkan waktu.

Menurut Petrucci (2003), dalam suatu ekonomi tertutup non-altruistik,

dimana lahan dianggap sebagai suatu input dan juga sebagai asset, serta lahan dan

pekerja merupakan suplai yang tidak elastis, suatu pajak atas land rent

dihubungkan dengan stok modal dan output per orang yang lebih tinggi dalam

kondisi yang stabil. Hasil ini ditemukan oleh Feldstein tahun 1977. Model Von

Thunen tentang land-rent dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Page 82: Muara Dadap

63

Rent/Cost 100

cost of fixed non-land inputs

50 30 M

20 km distance d 50 km

Gambar 2.11 Model Von Thunen tentang land-rent (Petrucci 2003)

Untuk lebih mudah mengerti tentang konsep land rent, diagram di bawah ini

menjelaskan tentang kaitan antara besarnya nilai suatu kapital dengan jarak,

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Konsep land rent (Anonimous 2005)

1 - Bid rent curve

A-Retailling B-Industry/ commerccial

C. Apartements D. Single houses

Ren

t

Distance

2 – Overlay of bid rent curve

City lim

its

Page 83: Muara Dadap

64

Gambar 2.12 bagian 1 (bid rent curve) menggambarkan toleransi dari

aktivitas ekonomi terhadap rent. Dengan menumpang-tindihkan kurva dari semua

aktivitas ekonomi perkotaan tersebut (bagian 2), maka pusat pemanfaatan lahan

dapat dibuat dimana aktivitas bisnis eceran pada lingkaran CBD,

industri/komersial pada lingkaran berikutnya, apartemen di lingkaran berikutnya

dan kemudian perumahan tunggal. Hal ini merupakan representasi suatu ruang

isotropik (isotropic space). Pada kenyataannya, kombinasi antara atribut-atribut

physiographic (tepi perairan, bukit, dan lain lain), sejarah (turisme) dan sosial

(suku bangsa, kriminalitas, persepsi) akan mempengaruhi kurva nilai penawaran

(bid rent curves) (Anonimous 2005). Penggunaan lahan oleh karena itu

didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayar dari fungsi ekonomi yang

berbeda di daerah perkotaan, seperti kawasan pedagang eceran, industri, atau

pemukiman. Lokasi optimal, dimana akses adalah optimal, adalah pusat kegiatan

bisnis. Setiap aktivitas, termasuk daerah pedesaan, berkeinginan untuk

mempunyai aktivitas di sekitar pusat bisnis tersebut.

Di bidang ekonomi (khususnya aktivitas produksi), lahan adalah faktor

produksi yang sangat penting disamping faktor manusia dan modal (Mubyarto

1979; Northam 1975). Di bidang non ekonomi, lahan memiliki makna struktur

penguasaan dan pemilikan. Lahan merupakan tempat dimana terjadi pelbagai

kegiatan dengan berbagai manfaat yang akan menentukan tingkat harga dan

kompetisi, terutama di daerah perkotaan dimana lahan merupakan input lokal

yang langka dan apabila terjadi kapitalisasi dari manfaat nilai lahan yang

kepemilikannya diberikan melalui hibah, maka dipastikan tidak akan cukup untuk

memperbaiki pengelolaan sumberdaya alamnya (Turner 1993; Husein 1997).

Pada saat suatu kota berkembang, lahan yang terpencil sekalipun mulai

menunjukkan rente yang jual tinggi khususnya yang memiliki akses yang baik.

Hal ini kemudian menghasilkan tingkat densitas dan produktivitas yang tinggi.

Oleh karenanya, densitas dan rente mempunyai hubungan yang erat (Anonimous

2005). Mubyarto (1979) menambahkan bahwa proses urbanisasi dan

industrialisasi merupakan faktor penting yang mendorong kenaikan sewa dan

harga lahan; selain itu dengan meningkatnya jumlah penduduk maka nilai lahan

Page 84: Muara Dadap

65

akan terus naik dan tidak mungkin turun, karena lahan adalah satu-satunya faktor

produksi yang tidak dapat dibuat oleh manusia.

Penurunan nilai lahan di suatu kawasan masih mungkin terjadi disebabkan

oleh beberapa faktor, yaitu: (1) terjadinya suatu bencana alam yang menimpa

kawasan tersebut; (2) terjadi bencana dari suatu industri, contohnya kebocoran

instalasi nuklir di Siberia; (3) kawasan tersebut menjadi tidak aman, baik karena

faktor manusia (perselisihan atau peperangan) maupun wabah penyakit yang

berlangsung lama. Penurunan nilai lahan ini dapat berlangsung lama atau

sebentar.

Menurut Husein (1997), penentuan harga lahan di Indonesia dalam banyak

kasus dilakukan setelah ada usulan untuk pembebasan lahan dari si pemohon atau

pengguna. Sebelum itu hampir tidak diketahui dengan pasti seberapa besar nilai

tambah di daerah tersebut, meskipun seandainya harga tanah dapat dimonitor di

tiap daerah. Penentuan harga lahan yang terburu-buru dan parsial, per daerah,

serta belum mantapnya kerjasama secara sinergis (misalnya antara Dinas Pajak

Bumi dan Bangunan dengan instansi pengatur dan pengguna lain seperti BPN,

DEPTAN, dan DEPDAGRI) membuat harga lahansecara riil dan potensial belum

dapat ditentukan dengan tepat. Salah satu penyebab utama ketidakmampuan

berkoordinasi tersebut adalah karena nilai lahan yang sangat spekulatif dan

subyektif yang mengandung unsur-unsur sosial-psikologis yang sangat dalam dan

sulit dihitung.

Suparwoko (1994) menjelaskan bahwa lahan merupakan sumberdaya yang

dapat diperbaharui, dalam arti bahwa lahan tersebut dapat ditingkatkan

kesuburannya. Pemanfaatan lahan untuk berbagai macam penggunaan bertujuan

untuk menghasilkan barang-barang (atau jasa) kebutuhan manusia yang terus

meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.

Untuk tujuan tersebut seringkali pemanfaatan lahan tidak rasional dan kurang

bijaksana dalam jangka pendek, sehingga kurang mempertimbangkan kelestarian

sumberdaya lahan tersebut. Akibat pemanfaatan yang tidak rasional tersebut,

lahan mengalami penurunan persediaan dan manusia semakin tergantung pada

sumberdaya lahan yang rendah kualitasnya.

Page 85: Muara Dadap

66

Fauzi (2000) menyebutkan bahwa tekanan pembangunan ekonomi yang

dilakukan di negara-negara berkembang khususnya sering menimbulkan dilema

bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk

masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran

masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga

penurunan kualitas lingkungan sering dianggap sebagai biaya yang harus dibayar

untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Lahan yang dikelola masyarakat

sebagai common property dapat disebut dengan open access. Dalam istilah

ekonomi, lahan tersebut disebut extensive economic margin yang artinya bahwa

pengetrapan tenaga kerja dan kapital per satuan lahan adalah sangat rendah dan

jika lahannya yang open access tersebut diperluas maka economic return-nya juga

sama rendahnya. Menurut Mubyarto (1972), balas jasa (return to land) yang

diterima oleh lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi mempunyai

kedudukan yang paling penting. Pembayaran atas jasa produksi tersebut disebut

sewa lahan (rent). Suparwoko (1989) menjelaskan bahwa sewa lahan secara

sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi, yaitu merupakan

kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari

sumberdaya lahan dapat disebabkan oleh tingkat kesuburannya.

Blair (1991) menyatakan bahwa rent merupakan keuntungan bagi lahan.

Pengertian rent dan lahan berbeda dari definisi ekonomi. Lahan merupakan faktor

alam dari produksi dan oleh karena itu suplai lahan tidak dipengaruhi oleh harga.

Kuantitas lahan tidak dapat ditingkatkan sebagai respon dari harga yang

meningkat atau menurun karena menurunnya harga. Lahan meliputi juga bahan

bakar, sinar matahari, hujan, dan semua faktor produksi sumberdaya alam. Para

ahli ekonomi sangat berhati-hati dalam membedakan antara lahan dan property.

Property terdiri dari lahan dan bangunan. Rent merupakan keuntungan bagi lahan

dan ditentukan oleh hubungan antara supply dan demand terhadap lahan

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Peningkatan harga lahan (rent) tidak diikuti dengan meningkatnya

penawaran. Dengan kata lain, lahan merupakan suplai tetap, sehingga perubahan

dalam permintaan akan mempengaruhi rent dan bukan kuantitas (K) dari lahan

Page 86: Muara Dadap

67

tersebut. Penawaran untuk jenis lahan tertentu, seperti lahan komersial, mungkin

dapat ditingkatkan dengan tekanan pasar dan oleh keputusan politik, seperti

perubahan zonasi. Meskipun demikian, penambahan lahan untuk tujuan tertentu

akan lebih mahal dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan lainnya (Blair

1991).

Gambar 2.13 Kurva penawaran (S) dan permintaan (D) dari lahan (Blair 1991)

Permintaan lahan didasarkan atas kontribusi lahan terhadap keuntungan.

Produk marjinal suatu unit lahan ekstra (MPi) merupakan output yang dihasilkan

dari penggunaan suatu unit lahan ekstra dalam suatu proses produksi. Jika suatu

pabrik menjual outputnya dalam suatu pasar yang kompetitif, maka akan

menerima suatu harga yang konstan dari setiap unit ekstra yang dijual. Pertanian

atau pabrik tidak akan mampu membayar lebih untuk penambahan lahan

dibandingkan dengan nilai dari atribut output yang meningkat dari lahan tersebut.

Mereka akan membayar sekecil mungkin untuk lahan ekstra. Jika terdapat

kompetisi diantara produser, maka mereka akan menawar satu sama lain hingga

rent lahan sama dengan kontribusi lahan terhadap keuntungan pabrik. Ketika

suatu pabrik berjualan dalam suatu pasar yang kompetitif, harga produk tidak

dipengaruhi oleh output dari pabrik. Dalam kasus ini, permintaan terhadap lahan

sama dengan nilai dari produk marjinal, VMP. Jika semua input non lahan tetap

konstan, nilai dari produk marjinal dapat dinyatakan sebagai harga output dikali

Kuantitas lahan

Slahan

Dlahan = VMPL

Rent

Page 87: Muara Dadap

68

dengan produk marjinal dari unit lahan tambahan. Dalam bentuk rumus ditulis

sebagai berikut:

VMPi = Po x MPi

dimana:

VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-I

Po = net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan

MPi = produk marjinal dari unit lahan ke-I

Fungsi VMP menyatakan kuantitas dari penggunaan lahan dalam produksi

yang meningkat karena produk marjinal dari lahan turun seperti yang dinyatakan

pada hukum penurunan produktivitas marjinal. Ketika VMP lebih besar

dibandingkan dengan market rent untuk suatu unit lahan, pabrik akan

menggunakan lebih banyak lahan yang mengakibatkan pada penurunannya MP

dan VMP. Nilai VMP akan menurun hingga sama dengan rental rate.

2.4.3 Metode skalogram

Skalogram didasarkan pada analisis skalogram dan untuk yang lebih luas

lagi pada Rasch analisis, keduanya digunakan untuk menilai apakah suatu

kelompok barang dalam keadaan konsisten, dalam arti bahwa kesemuanya

mengukur sesuatu yang sama (Anonimous 1999). Jika semua barang tersebut

mengukur sesuatu yang sama, maka barang-barang tersebut disebut

unidimensional; yang didasarkan pada dimensi tunggal (single dimension).

Biasanya, titik awalnya adalah satu kelompok barang yang salah satunya tertarik

karena percaya bahwa mengukur konstruksi psikologi (inductive reasoning

ability, assertiviness, irritability, ...). Oleh karena itu, barang-barang tersebut

dipertimbangkan sebagai suatu definisi operasional dari satu bangunan psikologis

(psychological construct).

Untuk lebih jelas lagi, Harsono (2001) menyatakan bahwa metode ini

digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan

kelembagaan atau fasilitas pelayanan, dalam penelitian ini digunakan untuk

menentukan hirarki wilayah. Analisis ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada

Page 88: Muara Dadap

69

umumnya semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak jumlah fasilitas

serta jumlah jenis fasilitas pada suatu pusat pelayanan, maka semakin tinggi pula

hirarki dari pusat pelayanan tersebut. Dengan analisis ini maka akan dapat

diidentifikasi: (1) Pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang

berbeda; (2) Penentuan dari fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan

kebutuhan beragam sektor dari penduduk; dan (3) Pengintegrasian atau

pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dari

keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksesibilitas dan efisiensi.

Menurut Budiharsono (2001), konsep pusat pelayanan berawal dari teori

yang dikembangkan oleh:

(1) Perroux tentang pusat pertumbuhan dan kutub pertumbuhan dalam ruang

ekonomi;

(2) Boudeville tentang kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan dalam

dimensi geografis;

(3) Walter Christaller dan August Losch tentang ukuran, lokasi, distribusi, dan

pengelompokkan kegiatan ekonomi;

(4) Gunnar Myrdal tentang spread-backwash effects pertumbuhan ekonomi

dalam tata ruang;

(5) Hirschman tentang trickling down dan polarization effects suatu

pertumbuhan ekonomi;

(6) Hagerstestrand den Pottier tentang difusi inovasi dalam tata ruang dan

sumbu-sumbu pertumbuhan; dan

(7) Galpin dan Kolb tentang anatomi sosial dari masyarakat pertanian (Roi dan

Patil 1976).

Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa konsep pusat pelayanan

mempunyai beberapa asumsi, yaitu:

(1) Penduduk didistribusikan pada berbagai ukuran pemukiman;

(2) Penduduk mempunyai kebutuhan biofisik sama baiknya dengan kebutuhan

sosial ekonomi;

Page 89: Muara Dadap

70

(3) Penduduk menggunakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia untuk

kebutuhannya;

(4) Penduduk membentuk pemukiman dalam bentuk rumah, dusun kecil, desa,

dan kota serta memutuskan untuk tingkal bersama selama sumberdaya

mencukupi kebutuhan mereka;

(5) Penduduk menggunakan sumberdaya untuk kebutuhan dasar yang dibatasi

atau keinginan yang terbatas;

(6) Penduduk berpindah ke tempat lain (migrasi) untuk mencari barang-barang-

dan jasa yang tidak mereka dapati di pemukiman mereka.

2.4.4 Model sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan

Menurut Grant et al. (1997), definisi sistem adalah:

(1) suatu kumpulan komponen fisik yang terorganisir yang saling

berhubungan dan dicirikan oleh suatu kesatuan fungsi dan terbatas;

(2) suatu kumpulan materi (bahan) yang saling berinteraksi dan sekelompok

proses yang secara bersama-sama membentuk beberapa kumpulan fungsi;

(3) suatu proses yang kompleks dan saling terkait yang dicirikan oleh

banyaknya hubungan sebab akibat dan timbal balik.

Pada intinya, definisi sistem yang dikemukakan oleh Grant et al. (1997)

tersebut adalah sama dengan para pendahulunya seperti yang telah dikutip oleh

Damai (2003) yang mencakup Forrester (1968), Manessch dan Park (1979) dalam

Eriyatno (1999), O’Connor dan McDermott (1997), dan juga Sushil (1993).

Sedangkan analisis sistem dapat didefinisikan secara lebih langsung sebagai

penerapan dari metoda ilmiah terhadap pemecahan yang mencakup sistem yang

kompleks (Grant et al. 1997). Hal ini merupakan suatu teori dan teknik untuk

mempelajari, menerangkan, dan pendugaan-pendugaan tentang sistem yang

kompleks, yang sering dicirikan oleh penggunaan prosedur matematika dan

statistika lanjutan serta oleh penggunaan komputer.

Page 90: Muara Dadap

71

Model, adalah suatu gambaran miniatur dari suatu realita, yang dibuat

sebagai sarana/alat (tool) untuk memecahkan persoalan (Jorgensen 1988).

Artinya, model merupakan abstraksi dari realitas, yaitu suatu deskripsi formal dari

elemen-elemen penting pada suatu masalah. Ruth dan Hannon (1997)

menambahkan bahwa model merupakan pusat pemahaman kita terhadap alam

dunia, karena melalui model dapat merepresentasikan dan memanipulasi

penomena nyata, kemudian mengeksplorasi hasilnya. Deskripsi tersebut dapat

berupa sesuatu yang bersifat fisik, matematik, atau bahkan kata-kata. Dari

beberapa literatur, Jorgensen (1988) mengelompokan model menjadi:

(1) Model fisik dan model abstrak

Model fisik umumnya merupakan replika fisik berukuran miniatur dari

obyek yang sedang dipelajari, contohnya antara lain maket bangunan. Hal

ini dimaksudkan untuk membantu para peneliti dalam memvisualisasikan

apa yang dipelajari tersebut. Tentu saja model fisik pun masih merupakan

abstraksi dari realitas jika dikaitkan denga definisi awal mengenai sebuah

model. Model abstrak menggunakan simbol-simbol dari alat fisik untuk

menggambarkan sistem yang sedang dipelajari. Salah satu contoh model

abstrak adalah model matematis yang ditulis dalam bahasa matematika.

(2) Model dinamis dan model statis

Model dapat mencerminkan suatu sistem yang tetap ataupun yang berubah

menurut waktu. Sebuah model statis menerangkan suatu hubungan atau

sekelompok hubungan yang tidak berubah menurut waktu. Contoh umum

termasuk model-model regresi yang tidak mempunyai waktu sebagai

sebuah variabel bebas. Sebuah model dinamis menerangkan suatu

hubungan yang bergantung terhadap waktu, contohnya termasuk model-

model simulasi serta model regresi yang memasukan waktu sebagai salah

satu variabel bebasnya.

(3) Model empiris (korelatif) dan model mekanistis (penjelasan).

Model empiris atau korelatif dikembangkan terutama untuk menerangkan

atau meringkas sekelompok hubungan tanpa menghiraukan gambaran

Page 91: Muara Dadap

72

yang tepat untuk proses-proses atau mekanisme yang bekerja di dalam

sistem riil pada setiap kelompoknya. Sasarannya adalah pendugaan

(prediksi) dan bukan penjelasan. Contohnya adalah sebuah model yang

menduga tingkat metabolisme suatu jenis hewan sebagai satu-satunya

fungsi dari ukuran (berat atau panjang) tubuh. Dalam model jenis ini

hanya keluaran metabolisme yang diukur, sedangkan proses metabolisme

yang terjadi di dalam tubuh hewan tersebut tidak digambarkan. Model

mekanistis atau model penjelasan dikembangkan terutama untuk

menggambarkan dinamika internal dari suatu sistem yang dipalajari secara

lebih tepat. Sasarannya adalah diperolehnya penjelasan melalui

penggambaran mekanisme sebab akibat yang mendasari perilaku suatu

sistem. Sebuah model yang mencerminkan tingkat metabolisme hewan

sebagai fungsi dari ukuran tubuh, tingkat aktivitas, suhu lingkungan,

angin, dan lamanya terkena oleh kondisi ambien merupakan sebuah

contoh. Suatu model yang kita lihat sebagai penjelasan pada suatu tingkat

detail mungkin kita lihat sebagai korelatif pada tingkat yang lebih detail

lagi. Sebuah model yang menggambarkan rekruitmen populasi tahunan

sebagai fungsi dari ukuran populasi terlihat sebagai model penjelasan

dibandingkan dengan sebuah model yang menggambarkan rekruitmen

tahunan hanya sebagai suatu konstanta yang ditentukan dengan merata-

ratakan data historis. Namun demikian, model tersebut terlihat sebagai

model korelatif dibandingkan dengan suatu model yang menghitung

rekruitmen berdasarkan tingkat kelahiran individu pada umur tertentu di

dalam populasi yang pada gilirannya didasarkan pada ranking sosial

individu dan status gizi selama musim berkembangbiak.

(4) Model deterministik dan model stokastik

Sebuah model disebut deterministik jika tidak mengandung variabel acak.

Pendugaan model deterministik dibawah suatu kondisi khusus selalu persis

sama hasilnya. Contoh model deterministik antara lain adalah suatu model

sederhana yang dikembangkan untuk menggambarkan hubungan antara

Page 92: Muara Dadap

73

kebutuhan energi suatu individu (Y, kkal/hari) terhadap suhu ambien (X, oC), yang ditulis sebagai berikut:

Y = 100 – 2X

Sebuah model disebut stokastik jika mengandung satu atau lebih variabel

acak. Pendugaan model stokastik dibawah kondisi tertentu tidak selalu

menghasilkan nilai dugaan yang persis sama, karena variabel acak di

dalam model secara potensial dapat memberikan nilai yang berbeda setiap

kali model dipecahkan. Bentuk umum dari model kebutuhan energi

deterministik adalah sebagai berikut:

Y = a-bX

Dimana a dan b adalah konstanta. Model tersebut dapat diubah menjadi

sebuah model stokastik dengan menggambarkan a atau b sebagai variabel

acak. Andaikata b dinyatakan sebagai variabel acak yang mempunyai nilai

2,0 atau 2,5 dengan probabilitas yang sama, maka setiap dilakukan

penghitungan pendugaan, harus dipilih secara acak suatu nilai untuk b dari

distribusi nilai b yang ditentukan.

Pemilihan model mana yang akan digunakan, apakah model deterministik

atau stokastik tergantung pada tujuan khusus pembuatan model tersebut.

Model deterministik umumnya lebih mudah untuk dibuat karena hanya

memerlukan estimasi dari nilai-nilai konstanta; sedangkan model stokastik

memerlukan persyaratan suatu distribusi lengkap dari variabel acak.

Model deterministik juga lebih mudah digunakan karena pendugaan pada

situasi yang diberikan hanya perlu dibuat sekali (karena selalu sama),

sementara pada pendugaan model stokastik perlu dilakukan pengulangan

secukupnya untuk memperoleh respon rata-rata dari situasi yang diberikan.

Selain itu, model stokastik juga digunakan pada pekerjaan yang

memerlukan penggambaran keragaman secara eksplisit (baik keragaman

yang terkait dengan pendugaan parameter sistem ataupun keragaman yang

melekat pada sistem itu sendiri); serta juga pada pekerjaan yang

Page 93: Muara Dadap

74

menginginkan pembandingan secara statistik dari pendugaan model untuk

berbagai situasi yang berbeda.

(5) Model simulasi dan model analitik

Model-model yang dapat diselesaikan secara matematis dalam bentuk

yang tertutup disebut model analitik. Model regresi, model teori baku

(sebaran) statistik, dan beberapa model persamaan diferensial sederhana

adalah merupakan contoh model analitik.. untuk model seperti itu, satu

penyelesaian umum dapat diperoleh yang berlaku untuk semua situasi

dimana model tersebut mewakili. Suatu model analitik sederhana tentang

tingkat pertumbuhan populasi dalam lingkungan yang tidak terbatas

(tingkat pertumbuhan eksponensial) dapat digambarkan sebagai berikut:

Nt = Noert

Dimana:

Nt = ukuran populasi pada waktu t

No = ukuran populasi awal

r = tingkat intrinsik dari penambahan populasi

t = waktu

model-model yang tidak mempunyai penyelesaian analitik umum harus

dipecahkan secara numerik dengan menggunakan satu perhitungan khusus

untuk setiap kondisi tertentu. Inilah yang disebut sebagai model simulasi,

sebagaimana yang digambarkan dalam adalah model-model ekologis.

Sebagai contoh, suatu model yang menggambarkan dinamika populasi

karena pengaruh ketergantungan densitas, hubungan kompetisi, yang pada

gilirannya dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan, dapat

disimpulkan dengan menggunakan rumus umum berikut:

Nt+1 = f (Nt, Et)

Dimana:

Nt+1 = ukuran populasi pada waktu t + 1

Page 94: Muara Dadap

75

f (Nt, Et) = fungsi kompleks dari ukuran populasi dan kondisi

lingkungan pada waktu t.

Secara filosofis, pemilihan antara model simulasi dan analitik melibatkan

keputusan apakah kita mengorbankan realitas ekologi untuk memperoleh

suatu model analitik atau mengorbankan kekuatan matematis untuk

memasukkannya kedalam realitas ekologi yang lebih tinggi. Dari sudut

aplikasi praktis, pertimbangan ini kurang menarik dan dipengaruhi

terutama oleh tujuan dari pembuatan model tersebut. Jika tingkat

ketelitian dimana sistem yang dipelajari untuk memenuhi tujuan tertentu

memungkinkan digunakannya suatu model analitik, maka memang

seharusnya digunakan model analitik. Tetapi jika tingkat ketelitian yang

mencukupi terlalu kompleks untuk dapat disajikan dalam bentuk analitik,

maka kita harus menggunakan model simulasi. Dalam hampir semua

kasus manajemen sumberdaya alam dan lingkungan, penggambaran

dengan model analitik tidak akan cukup, oleh karenanya perlu digunakan

suatu model simuasi.

Menurut Eriyatno (1999), model dapat dikategorikan menurut jenis,

dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya. Dengan

menggunakan istilah-istilah yang senada, suatu model dikelompokkannya menjadi

tiga, yaitu:

1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal,

baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik

dapat berdimensi dua seperti peta, atau berdimensi tiga seperti prototipe.

Dalam hal model berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi

dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik

2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi

analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang

dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan

situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva

distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir suatu proses.

Page 95: Muara Dadap

76

3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk

angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada

penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah

persamaan matematis. Contoh dari model matematis adalah persamaan

antara arus dan tegangan listrik, posisi sebuah mobil pada suatu aliran

transportasi, serta aliran bahan dan pelayanan pada suatu struktur ekonomi.

Menurut Fauzi (2000), secara umum yang dikatakan model adalah suatu re-

presentasi dari realitas dunia nyata yang tampil melalui persepsi indera,

sebagaimana dicantumkan dalam Gambar 2.14.

tampil melalui persepsi indera (sense)

Penampilan kembali realitas sebagai hasil dari proses berfikir

Gambar 2.14. Model sebagai re-presentasi realitas dunia nyata (Fauzi 2000).

Secara ringkas, Fauzi (2000) menyatakan bahwa prinsip-prinsip model dan

pemodelan adalah:

(1) Model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dan dunia berfikir

(thinking) untuk memecahkan masalah;

(2) Masalah (problem) ada yang bersifat “thinkable” dan ada yang

“unthinkable”;

(3) Pemodelan (modelling) adalah berfikir (thinking) mengikuti sekuen logis;

Berfikir merupakan suatu hal yang harus dipelajari.

Dua katagori model yang paling umum digunakan (Fauzi 2000) yaitu:

Dunia luar

Model dari realitas

Pemikir (thinker)

Page 96: Muara Dadap

77

(1) Bahasa: bahasa adalah suatu model yang terdiri dari urutan (sekuen)

metafor-metafor untuk menyapaikan perasaan, keinginan, dlsb. Kepada

orang lain. Dengan demikian bahasa merupakan suatu sistem penyandian

(encoding) pemikiran-pemikiran.

(2) Agama: agama juga merupakan model untuk pertanyaan-pertanyaan,

misalnya kenapa kita hidup, mengapa kita hidup, dlsb.

Dengan demikian permodelan merupakan proses menyerap,

memformulasikan, memproses, dan menampilkan kembali. Hasil dari proses

berstruktur ini kita sebut sebagai model.

Salah satu tool yang dapat digunakan untuk menggambarkan model adalah

stella. Secara formal, model konseptual digambarkan dengan diagram kotak dan

panah. Diagram model seperti ini sangat penting perannya untuk

memvisualisasikan gambaran sebenarnya serta dengan memfasilitasi komunikasi

antara berbagai orang yang berbeda yang tertarik dengan sistem khusus (Grant et

al. 1997).

2.5 Beberapa Hasil Penelitian yang Terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir, Perikanan, dan Pelabuhan.

Hasil-hasil penelitian yang berupa thesis dan disertasi yang berkaitan

dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan, ternyata belum

begitu banyak. Dalam Tabel 2.3 dicantumkan judul thesis dan disertasi yang

dapat diperoleh sejauh ini.

Tabel 2.3. Daftar thesis/disertasi yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, perikanan, dan pelabuhan di Indonesia

No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI 1 Yose Rizal Anwar

Kajian Pengembangan Kegiatan Perikanan dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu di Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat

Thesis/ 2002

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

2 Siti Kamarijah Analisis Dampak Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir.

Thesis/ 2003

PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB

Page 97: Muara Dadap

78

Lanjutan Tabel 2.3 No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI 3 Urip Triyono

Pengembangan Koperasi Desa Pantai untuk Menunjang Pembangunan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan

Thesis/ 2003

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

4 Eggi Sudjana Analisis Ekonomi Politik dan Hukum Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan

Disertasi/ 2004

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

5 Endang Suparti Tingkat Partisipasi Masyarakat Pengolah dalam Pengelolaan Lingkungan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan (Kasus di PHPT Muara Angke).

Thesis/ 2004

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

6 Frans Asisi Simon Analisis Manfaat Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjungpandan terhadap Masyarakat Pesisir Kecamatan Tanjungpandan

Thesis/ 2004

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

7 Hery Edy Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Malalui Perbankan Mikro

Disertasi/ 2004

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

8 Irwan A Strategi Pengelolaan Kualitas Perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara

Thesis/ 2004

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

9 Sandra Dina Juliana Lintang Analisis Pemanfaatan Pesisir dalam Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis Pelabuhan (Studi Kasus Pengembangan Pelabuhan Bitung)

Thesis/ 2004

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

10 Asbar Laga Analisis Sistem Pengelolaan Pelabuhan Perikanan (Studi Kasus: Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere Makassar)

thesis/ 2005 PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB

11 Bambang Sasongko Pengembangan Organisasi Pengelolaan Pengembangan Kawasan Bahari Terpadu (KBT) Kabupaten Rembang

Thesis/ 2005

Sekolah Pascasarjana ITB

12 Helmi Yusuf Pengaruh Pembangunan Pelabuhan Perikanan terhadap Kualitas Air dan Persepsi Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Disertasi/ 2005

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

13 Idil Ardi Analisis Sistem Pelabuhan Perikanan di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat

Disertasi/ 2005

PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB

Page 98: Muara Dadap

79

Lanjutan Tabel 2.3 No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI 14 Rofiko

Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir Teluk Kelabat Kawasan Utara Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung

Disertasi/ 2005

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

15 Soebagio Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata

Disertasi/ 2005

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

16 Hengky Penerapan Konsep Ekowisata untuk Meningkatkan Daya Saing Pariwisata Pesisir di Kabupaten Pandeglang Banten.

Disertasi/ 2006

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

17 Sofyan Pemodelan Keragaan Sektor Perikanan untuk Pengembangan Ekonomi Sumberdaya dan Regional Pesisir: Suatu Analisis Model Hybrid

Disertasi/ 2006

PS SPL Sekolah Pascasarjana IPB

18 Syarifah Wirdah Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pelabuhan Sunda Kelapa DKI Jakarta

Thesis/ 2006

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

19 Bustami Mahyuddin. Pola Pengembangan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.

Disertasi/ 2007

PS TKL Sekolah Pascasarjana IPB

20 Dhona Arianti Strategi Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air di Pelabuhan Muara Angke Jakarta Utara

Thesis/ 2007

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

21 Farida Hanim Analisis Kebijakan Pemanfaatan Pelabuhan dalam Kerangka Pengelolaan Lingkungan di PPS Nizam Zachman Jakarta Provinsi DKI Jakarta

Thesis/ 2007

PS PSL Sekolah Pascasarjana IPB

No NAMA PENULIS/JUDUL JENIS/TH INSTITUSI 22 Slamet Subari

Optimalisasi Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Ekonomi dan Koservasi Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Kabupaten Sidoarjo-Jawa Timur.

Disertasi/2007

PS PWD Sekolah Pascasarjana IPB

23 Suaedi Rancang Bangun Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Secara Partisipatif di Kabupaten Subang

Disertasi/2007

PS PWD Sekolah Pascasarjana IPB

Page 99: Muara Dadap

80

Dari Tabel 2.3 tampak bahwa sebagian besar topik penelitian yang

dilakukan oleh para peneliti terdahulu lebih diarahkan pada analisis pengelolaan

aspek sumberdaya perikanan, lingkungan kawasan pesisir, komunitas di daerah

pesisir, pemerintahan, dan interaksi diantara aspek-aspek tersebut yang dilakukan

di satu kawasan yang secara administratif berada dalam satu pemerintah daerah,

baik satu-satu maupun gabungan dari aspek-aspek tersebut. Sampai saat ini

belum ditemukan analisis yang diarahkan pada pengelolaan sumberdaya yang

berada di bawah pemerintahan daerah yang berbeda, baik di tingkat kabupaten

maupun provinsi.

Page 100: Muara Dadap

Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan Penelitian ini dimulai sejak pertengahan tahun 2002 sampai

pertengahan semester genap 2005. Data tambahan diambil sampai pertengahan

tahun 2007.

Lokasi penelitian mencakup Kawasan Dadap-Kamal Muara yang

merupakan daerah perbatasan diantara Kecamatan Kosambi Kabupaten

Tangerang dengan Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta

Utara. Selain itu, cakupan penelitian juga diperluas sampai ke TPI Muara Angke

untuk melihat aspek kelimpahan kapal-kapal yang mendarat di TPI ini yang

memungkinkan untuk dialihkan.

3.2 Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian

Kawasan pengembangan yang menjadi sasaran penelitian ini adalah satu

kesatuan ekosistem yang terdiri dari:

(1) Kawasan Teluk Dadap di Kabupaten Tangerang dan Kamal Muara di

Wilayah Kota Jakarta Utara;

(2) Kawasan administrasi Pemerintahan Kecamatan Kosambi di Kabupaten

Tangerang dan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

(3) Kebijakan-kebijakan dalam bidang perikanan yang dikeluarkan baik oleh

tingkat propinsi maupun Kabupaten yang berkaitan dengan kedua daerah

tersebut.

Secara administratif, Kawasan Teluk Dadap ini tercakup ke dalam

Kecamatan Kosambi di Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Penjaringan di

Kota Jakarta Utara, sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 3.1.

Page 101: Muara Dadap

82

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

Page 102: Muara Dadap

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan penelitian yang digunakan terdiri dari alat tulis dan

kuesioner, serta alat bantu untuk merekam wawancara (tape recorder).

Dokumentasi foto diambil secara langsung dan juga menggunakan sumber dari

referensi. Perangkat keras dan perangkat lunak komputer digunakan untuk

menganalisis datanya. penelitian di Kawasan Dadap-Kamal Muara

3.4 Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode survai, untuk

mencari data yang berkaitan dengan data biofisik dan sosial ekonomi, baik yang

ada di lokasi penelitian maupun di instansi dan lembaga-lembaga terkait dengan

permasalahan penelitian.

3.4.1 Pengumpulan data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer yang

berkaitan dengan TPI Dadap dan dalam kurun waktu 1999 sampai 2003. Data

primer diperoleh melalui kegiatan survey penelitian di lapangan, baik berupa hasil

diskusi dengan para pejabat instansi terkait, wawancara dengan stakeholders

pengelolaan wilayah pesisir di kawasan penelitian tersebut, pengisian kuesioner,

maupun pengambilan data biofisik sebagai pelengkap data sekunder.

Metode pengambilan contoh dilakukan secara acak per kelompok

masyarakat yang terkait dengan kegiatan perikanan, yaitu: nelayan tangkap,

nelayan budidaya kerang hijau, pengolah ikan, pedagang alat penangkapan,

pedagang ikan, pedagang eceran bahan bakar, pedagang eceran es, pengelola

PPI/TPI, dan komunitas lokal. Jumlah sampel responden yang diambil

berdasarkan rumus yang dikutip dari Nawawi (2001) berikut ini

2)( 2/1 ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛≥

bzpqn α

Page 103: Muara Dadap

84

dimana:

n = jumlah sampel minimum

p = proporsi populasi persentase kelompok pertama

q = proporsi sisa di dalam populasi (1,00 – p)

z1/2 = derajat koefisien konfidensi pada 95 %

b = persentase perkiraan kemungkinan membuat kekeliruan dalam menentukan ukuran sampel

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, dan laporan kegiatan dari

setiap instansi yang ada di Kabupaten Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara.

Untuk data sekunder, bilamana dimungkinkan akan diambil data seri dari tahun

1992 sampai 2003, yaitu selang sepuluh tahun dimana saat penonaktivan TPI

Dadap berada hampir di tengah-tengahnya. Data primer dan sekunder yang

dikumpulkan terdiri dari :

(1) Kondisi fisik kawasan yang meliputi bentang alam, batimetri, pasang surut,

salinitas dan turbiditas, arus air laut, input air tawar, dan iklim (curah hujan,

temperatur dan angin), perubahan peruntukan ruang, kesesuaian peruntukan

kawasan pesisir, perubahan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap atau

didaratkan, perubahan jumlah dan jenis alat tangkap, dan perubahan kualitas

lingkungan;

(2) Kondisi biologi kawasan pesisir yang terdiri dari, jenis dan penyebaran

sumberdaya perikanan dan sejenisnya;

(3) Kondisi ekonomi masyarakat sekitar kawasan yang terdiri dari: pendapatan

keluarga dan mata pencaharian, serta kegiatan ekonomi dan jasa (khususnya

yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan), persepsi masyarakat

terhadap rencana pembangunan pelabuhan perikanan atau pelabuhan

kontainer; nilai transaksi ikan, alat tangkap, bahan dan peralatan pendukung

operasional penangkapan ikan, pendapatan dan mata pencaharian, kondisi

ekonomi masyarakat (antara lain penghasilan keluarga dan penghasilan

pemerintahan desa dan kecamatan); serta perubahan sosial, yaitu mencakup

perubahan jumlah nelayan dan penduduk secara umum, pertumbuhan dan

Page 104: Muara Dadap

85

penyebarannya, kondisi permukiman, pendidikan,perubahan kondisi

pendidikan dan kesehatan penduduk, serta perkembangan fasilitas sosial

lainnya seperti jalan, masjid, penerangan umum, dll.

(4) Kebijakan pengelolaan saat ini dan rencana per sektor dari berbagai aspek

yaitu tata ruang dan tata guna lahan, pemerintahan daerah, kehutanan,

perikanan, pariwisata, perhubungan, pertambangan, kehakiman,

perindustrian, pendidikan dan kebudayaan serta sosial.

Keterkaitan diantara jenis-jenis data yang akan dikumpulkan dalam

pelaksanaan penelitian ini diperlukan untuk memperoleh suatu dasar berpijak

yang kuat dalam pengambilan kesimpulan yang sah dari hasil penelitian yang

diperoleh, untuk menjawab hipotesis yang diajukan. Keterkaitan tujuan

pengambilan jenis-jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dilihat

pada bagan alir Tabel 3.1.

3.4.2 Analisis data

Data dan informasi yang telah diperoleh akan dijadikan dasar dalam

melakukan analisis untuk melihat perkembangan peruntukan Kawasan Dadap dan

Kamal Muara sebagai daerah kegiatan perikanan. Data fisik, biologi, dan sosial-

ekonomi dianalisis secara statistik untuk mengetahui potensi-potensi sumberdaya

alam dan kondisi sumberdaya manusia serta kelembagaannya, termasuk peraturan

perundangan yang terkait. Kebijakan pengelolaan saat ini dan rencana per sektor

yang telah ada, dievaluasi untuk mencari formulasi yang terbaik bagi penyusunan

rencana pengelolaan. Penyusunan ini memperhatikan rencana tata ruang wilayah,

yang meliputi daerah alami (natural), daerah pengembangan (development areas),

dan daerah yang terkena dampak pengembangan (impacted areas).

Page 105: Muara Dadap

86

Tabel 3.1. Matriks keterkaitan antara tujuan, indikator/parameter, metode analisis, sumber data, dan output

No. TUJUAN INDIKATOR/ PARAMETER

ANALISIS SUMBER DATA

OUTPUT

1. Mengkaji kondisi lingkungan, pemanfaatan dan ketergantungan daerah perikanan dari TPI Dadap dan TPI Kamal Muara sesuai dengan perkembangan kegiatan pembangunan daerah di kawasan tersebut

a) Melihat perubahan komponen biofisik Kondisi biofisik lingkungan

Deskriptif

Primer/ sekunder

Informasi kondisi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan

b) Melihat seberapa besar tingkat ketergantungan Kawasan Dadap dan Kamal Muara terhadap perikanan

Perubahan data hasil perikanan dan aspek sosial

Ideks ketergantungan daerah perikanan

Primer sekunder

Informasi tentang dasar pengambilan keputusan perlu tidaknya dilakukan perubahan fungsi pengelolaan TPI Dadap dan Kamal Muara dimasa depan

2. Menganalisis struktur komposisi pertumbuhan ekonomi wilayah dan pemusatan aktivitas serta hierarki aktivitas pelayanan;

a) Melihat komposisi pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah

PDRB Shift share sekunder Informasi tentang tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah

Page 106: Muara Dadap

87

b) Melihat pemusatan aktivitas ekonomi wilayah

Sektor-sektor ekonomi

LQ (Location Quotient)

sekunder Informasi tingkat keunggulan sektor ekonomi di suatu kawasan

c) Melihat distribusi dan hierarki pelayanan fasilitas-fasilitas sosial,

Fasilitas dan pelayanan sosial

Skalogram Primer/ sekunder

Informasi pusat pelayan dan pengembanghan

3. Mengkaji pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara berkaitan dengan kapasitas tampung TPI Muara Angke dimasa yang akan datang

a) Melihat kesesuaian pemanfaatan lahan peruntukan lahan dalam RTRW

Deskriptif

Sekunder

Informasi tingkat penyimpangan terhadap RTRW

b) Melihat model kelimpahan kapal ikan yang dapat dipindahkan dari TPI Dadap dan TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara

Kapal ikan dan sarana dan prasarana penangkapan ikan dan pelabuhan

Stella & visual basic

Primer sekunder

Model kelimpahan kapal ikan di Kamal Muara

4.

.

Membuat analisis dan skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan perikanan dalam konteks pengelolaan pesisir terpadu

Perubahan aktivitas PPI/TPI Dadap dan Kamal Muara

deskriptif Primer/ sekunder

Skenario pengelolaan PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Kamal Muara

5. Membuat kajian opini masyarakat tentang kondisi perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara

Hasil kuesioner responden

Survey Pro 20

primer Informasi berbagai pendapat dari penduduk lokal tentang kondisi lingkungan dan TPI.

Page 107: Muara Dadap

88

Metode analisis data yang digunakan akan dikelompokkan menjadi 4

kelompok, yaitu:

(1) Kelompok analisis data biofisik

(2) Kelompok analisis data sosial ekonomi

(3) Kelompok analisis data pemanfaatan ruang

(4) Kelompok analisis data pengembangan wilayah

Kelompok analisis data biofisik bertujuan untuk melihat:

(1) Perubahan pemanfaatan lahan;

(2) Kesesuaian peruntukan kawasan pesisir;

(3) perubahan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap atau didaratkan;

(4) perubahan jumlah dan jenis alat tangkap;

(5) perubahan kualitas lingkungan;

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk data fisik

perubahan bentang alam, data kimia fisik untuk daya dukung lingkungan sesuai

dengan baku mutu yang ada, serta untuk melihat beberapa faktor pembatas

(constraint) pengembangan TPI;

Kelompok analisis data sosial ekonomi dimaksudkan untuk melihat:

(1) perubahan ekonomi, yaitu mencakup perubahan nilai transaksi yang

berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan;

(2) perubahan sosial, yaitu mencakup perubahan jumlah nelayan dan

penduduk secara umum, potensi sosial bagi pengembangan suatu

pelabuhan perikanan (persepsi umum dari komunitas penduduk di

kawasan penelitian).

(3) Perubahan hirarkhi wilayah diantara kedua kawasan tersebut dilihat

selama periode 5 tahun.

Metode analisis yang digunakan adalah analisis hirarkhi wilayah dengan

menggunakan metode skalogram.

Kelompok analisis data pemanfaatan ruang dimaksudkan untuk melihat

bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya lahan di kawasan penelitian dan jenis

Page 108: Muara Dadap

89

output yang dihasilkannya; kemudian akan dilanjutkan dengan analisis

konsentrasi dari setiap aspek pemanfaatan tersebut. Metode analisis yang

digunakan adalah:

(1) analisis shift share untuk melihat pergeseran penggunaan ruang;

(2) analisis dekriptif terhadap citra satelit

Kelompok analisis data pengembangan wilayah dimaksudkan untuk

melihat bagaimana pola distribusi pendapatan wilayah, keterkaitan pendapatan

suatu wilayah dengan sumberdaya perikanan yang terdapat di kawasan penelitian,

serta antar sektor ekonomi. Metode analisis yang digunakan adalah:

(1) analisis tipologi (analisis skalogram) untuk melihat distribusi dan hierarki

pelayanan pelabuhan-pelabuhan perikanan di kawasan penelitian

(2) analisis shift share untuk melihat komponen pengembangan wilayah;

(3) analisis location quotient (LQ), digunakan untuk menganalisis pergeseran

pemusatan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di lokasi penelitian

(Kecamatan Penjaringan-Jakarta Utara dan Kecamatan Kosambi-

Kabupaten Tangerang), untuk kurun waktu antara 2000 – 2002.

(4) stella, digunakan untuk menganalisis model kualitatif kelimpahan jumlah

kapal yang mendarat di TPI Muara Angke dan yang dapat ditampung di

TPI Kamal Muara, selain itu juga untuk melihat skenario jumlah kapal

yang dapat dipindah dari TPI Dadap ke TPI Kamal Muara;

(5) visual basic digunakan untuk membuat model matematik yang

menggambarkan hubungan antara kelengkapan sarana dan prasarana

pelabuhan dengan kondisi sebenarnya.

3.4.3 Model analisis

(1) Analisis skalogram

Menurut Rustiadi et al. (2003), analisis skalogram digunakan untuk

menentukan hirarkhi wilayah. Caranya adalah seluruh fasilitas umum yang

dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Tahapan

dalam penyusunan analisis skalogram adalah: 1) menyusun fasilitas sesuai dengan

Page 109: Muara Dadap

90

penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah; 2) khusus untuk

fasilitas yang menandakan jarak harus dibuat inversnya; 3) semua nilai fasilitas

dirasiokan terhadap luas di setiap wilayah sehingga diperoleh sebaran fasilitas di

wilayah tersebut; 4) semua nilai haris distandarisasikan dulu sehingga nilai

tersebut memiliki satuan yang sama; 5) menjumlahkan seluruh fasilitas secara

horizontal untuk menentukan indeks perkembangan suatu wilayah; 6) mencari

kapasitas pelayanan fasilitas tersebut terhadap jumlah penduduk yang ada dengan

cara mengalikan indeks perkembangan di setiap wilayah dengan jumlah

penduduk; serta 7) menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal

sehingga diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit wilayah,

selain itu ditentukan juga rata-rata unit fasilitas tersebut (average), standar deviasi

(st-dev), total terisi (countif, sehingga fasilitas yang bernilai nol tidak akan

dihitung), bobot (rasio antara total terisi dengan jumlah desa), nilai maksimum

(max) dan nilai minimum (min).

Model untuk menentukan nilai Indeks Perkembangan suatu wilayah/pusat

pelayan:

∑=mn

ijijj IIP '

Dimana: i

iijij SD

III min'

−=

IPj : Indeks Perkembangan wilayah ke-j

Iij : Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i wilayah ke-j

I’ij : Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkoreksi (terstandarisasi) wilayah

ke-j

Ii min = Nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkecil (minimum)

SDi = standar deviasi indeks perkembangan ke-i

= Untuk menentukan nilai Kapasitas Pelayanan (KPj) adalah

KPj = IPj x Pj

KPj = Kapasitas Pelayanan untuk wilayah ke-j

IPj = Indeks Perkembangan wilayah untuk wilayah ke-j

Pj = Jumlah Penduduk wilayah ke-j

Page 110: Muara Dadap

91

i = 1, 2, 3,......, n

j = 1, 2, 3,......, m

(2) Analisis shift share

Prinsip analisis dilakukan dengan dekomposisi indeks pertumbuhan.

Teknik ini dikembangkan dengan mendasarkan adanya 3 komponen

pertumbuhan dinamika yang mempengaruhi laju pertumbuhan suatu

aktivitas. Ketiga komponen tersebut dikenal dengan:

(1) Komponen regional share: mengidentifikasi peran dinamika

keseluruhan wilayah analisis, untuk mengetahui pentingnya

pengaruh dinamika seluruh wilayah penelitian terhadap setiap unit

analisis.

(2) Komponen propotional share: mengidentifikasi aktivitas, sektor atau

jenis penggunaan yang mana yang berpengaruh penting dan seberapa

penting dalam mempengaruhi dinamika setiap kabupaten/kota.

(3) Komponen differential share: mengidentifikasi lebih spesifik lagi

untuk dapat menunjukkan seberapa penting pengaruh dari sektor

tertentu di setiap kabupaten/kota tertentu dalam mempengaruhi laju

pertumbuhan aktivitas.

Model analisis shift share dapat digambarkan sebagai berikut:

Kawasan Dadap dan Kamal Muara adalah dua kawasan yang

berdampingan tetapi berada di dua wilayah administratif yang berbeda.

Pada tatanan lokal dan mikro, besar kemungkinan terdapat suatu kegiatan

ekonomi yang berbasis sumberdaya pesisir, yang saling menguntungkan

kedua unsur setempat (antara lain penduduk, pemerintahan tingkat desa,

dll.). Tetapi pada tingkat yang lebih tinggi (kecamatan atau kabupaten),

situasinya diduga agak berbeda sehubungan dengan terdapatnya beberapa

program pembangunan yang berinduk pada Pemda masing-masing.

Apapun kegiatan pembangunan yang dilakukan di kedua kawasan yang

Page 111: Muara Dadap

92

berdampingan tersebut, sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi

kondisi mikro dikedua Desa tersebut.

Model matematis dari analisis shift share tersebut adalah sebagai berikut:

ijijijij PmPwPkY ++=Δ

)()()1(0 RiriYRaRiYRaYYYY ijijijijijT

ijTt −+−+−=Δ=−

Dimana:

m = jumlah wilayah studi = 2

n = jumlah sektor ekonomi

ΔYij = perubahan dalam output sektor ke-i pada wilayah ke-j;

YToij = output dari sektor ke-i pada wilayah ke-j pada tahun dasar analisis;

YTtij = output dari sektor ke-i pada wilayah ke-j pada tahun akhir analisis;

YToi = ΣYToij = PDRB atau tenaga kerja dari sektor ke-i pada tahun dasar

analisis;

YTti = ΣYTtij = PDRB atau tenaga kerja dari sektor ke-i pada tahun akhir

analisis;

YTo.. = ΣΣYToij = PDRB atau tenaga kerja pada tahun dasar analisis;

YTt.. = ΣΣYTtij = PDRB atau tenaga kerja pada tahun akhir analisis;

ri = YTtij/YToij;

Ri = YTti/YToi;

Ra = YTt../YTo..;

(rj – 1) = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja pada sektor i

kawasan j;

(Ra – 1) = Pkij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang

disebabkan oleh komponen pertumbuhan di Kabupaten

Tangerang/Kota Jakarta Utara;

(Ri – Ra) = Pwij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang

disebabkan oleh komponen pertumbuhan di Kawasan Dadap dan

Kamal Muara (proporsional);

Page 112: Muara Dadap

93

(ri – Ri) = Pmij = persentase perubahan PDRB atau tenaga kerja yang

disebabkan oleh komponen pertumbuhan kompetitif di kabupaten

Tangerang/Kota Jakarta Utara;

(3) Kuosien Lokasi (LQ)

Metode Location Quotient (LQ) atau kuosien lokasi merupakan

perbandingan antara pangsa relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat

wilayah terhadap pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif

pendapatan (tenaga kerja) sektor ke i pada tingkat nasional terhadap pendapatan

(tenaga kerja) nasional (Budiharsono 2001). Hal tersebut secara matematis dapat

dinyatakan sebagai berikut:

∑=

m

it

m

ii

t

i

S

S

ee

LQ

Dimana:

ei = jumlah pendapatan sektor ke-i pada Kabupaten Tangerang/Kota

Jakarta Utara

et = jumlah pendapatan total di Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta

Utara

ΣSi = jumlah pendapatan sektor ke-i daerah Kabupaten Tangerang/Kota

Jakarta Utara dari sektor ke-i

ΣSt = jumlah pendapatan total Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta Utara

dari sektor ke-i (i = 1, 2, 3, ......m)

Koefisien konsentrasi

)()(i

iNS

NS

i

i

∑∑

−=β

Dimana:

β = kuosien lokasi/koefisien konsentratsi

Page 113: Muara Dadap

94

Si = jumlah PDRB sektor ke-i pada wilayah Kabupaten Tangerang/Kota

Jakarta Utara;

Ni = jumlah PDRB total di wilayah Kabupaten Tangerang/Kota Jakarta

Utara

(4) Analisis ketergantungan daerah perikanan

Menurut Phillipson (2000) dalam Adrianto (2004) kriteria daerah

perikanan ini terdiri dari tiga sistem indikator, yaitu:

(1) Indikator ketergantungan perikanan (fisheries dependence indices)

yang mencakup tiga komponen utama: (a) indikator

ketenagakerjaan (kontribusi tenaga kerja perikanan dalam total

struktur ketenagakerjaan); (b) indikator absolut aktivitas perikanan

(yang terkait langsung dengan menurunnya kinerja sektor

perikanan); dan (c) indikator tingkat signifikasi ekonomi dari

sektor perikanan terhadap ekonomi daerah

(2) Indikator ketergantungan ekonomi (economic dependence indices)

yang meliputi indikator ketenagakerjaan wilayah, indikator

ekonomi wilayah dan industri;

(3) Indikator sosial demografis yang mencakup indikator

kependudukan, kesehatan, pendidikan, dll.

Dalam bentuk rumus matematika, variabel ketergantungan daerah

perikanan oleh Kasimis dan Petrou (2000) indikator-indikatornya

digambarkan sebagai berikut:

(1) Rasio jumlah nelayan dan atau petani ikan terhadap total penduduk (RNt)

t

ti

PN

tRN ∑= Dimana: Nti = jumlah pelaku perikanan primer dari sektor ke-i pada

tahun-t untuk wilayah desa;

Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah

kabupaten/kota;

Page 114: Muara Dadap

95

n = jumlah sektor dalam perikanan.

(2) Rasio jumlah nelayan dan atau petani ikan terhadap total tenaga

kerja (RMt)

t

ti

TKN

tRM ∑=

Nti = jumlah pelaku perikanan primer dari sektor ke-i pada

tahun-t untuk wilayah desa;

Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah

kabupaten/kota

n = jumlah sektor dalam perikanan

(3) Rasio jumlah hasil tangkapan ikan (RPIt)

∑∑=

tj

ti

PI

PItRPI

PIti = jumlah produksi perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t

untuk wilayah desa;

PItj = jumlah produksi perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t

untuk wilayah kabupaten/kota

n = jumlah sektor dalam perikanan

(4) Rasio jumlah kapal ikan (RKt)

∑∑=

ti

ti

KI

JKtRK

JKti = jumlah kapal ikan dari sektor ke-i pada tahun-t untuk

wilayah desa;

KIti = jumlah kapal perikanan dari sektor ke-i pada tahun-t untuk

wilayah kabupaten/kota

n = jumlah sektor dalam perikanan

(5) Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan

(RTKPt)

∑∑=

tm

ti

TK

TKPtRTKP

Page 115: Muara Dadap

96

TKPti = jumlah tenaga kerja pengolahan hasil perikanan dari

sektor ke-i pada tahun-t untuk wilayah desa;

TKtm = jumlah total tenaga kerja sektor ke-i pada tahun-t untuk

wilayah kabupaten/kota

n = jumlah sektor dalam perikanan

(6) Rasio kontribusi sektor perikanan wilayah desa terhadap wilayah kabupaten/kota (KPIti)

nPDBTPDBP

tiitKPI ∑∑=

)/(

PDBPt = produk domestik bruto perikanan pada tahun-t untuk

wilayah desa;

PDBt = total produk domestik bruto perikanan pada tahun-t

untuk wilayah kabupaten/kota;

n = jumlah sektor dalam ekonomi

Sementara itu, untuk variabel ketergantungan ekonomi rumus

matematika dari indikator-indikatornya (Kasimis dan Petrou, 2000)

sebagai berikut:

(7) Rasio kesempatan kerja terhadap total jumlah penduduk (RKKt)

t

ti

PKK

tRKK ∑=

KKti = jumlah kesempatan kerja dari sektor ke-i dari sektor ke-i

pada tahun-t untuk wilayah desa;

Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah

kabupaten/kota

n = jumlah sektor dalam ekonomi

(8) Rasio kesempatan kerja dalam industri terhadap total jumlah penduduk (RIti)

t

ti

PKK

tiRI ∑=

KKti = jumlah kesempatan kerja dari sektor ke-i pada tahun-t untuk wilayah desa;

Pt = total jumlah penduduk pada tahun-t untuk wilayah kabupaten/kota

Page 116: Muara Dadap

97

n = jumlah sektor dalam industri = 3 (sektor primer, sekunder, dan tersier).

(5) Analisis pendapat responden masyarakat lokal

Survey dilakukan untuk mendapatkan data pendapat masyarakat yang

berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perikanan. Dengan

menggunakan kuesioner sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1,

pendapat masyarakat diambil dari berbagai kelompok mata pencaharian,

yaitu: nelayan penangkap dan budidaya, pengolahan ikan, pedagang ikan,

pedagang bahan bakar, pengelola pelabuhan, dan komunitas lokal. Data

dianalisis dengan menggunakan Survey Pro 20.

(6) Analisis Stella dan visual basic untuk model kelimpahan kapal ikan

Stella adalah salah satu tipe software yang dapat digunakan untuk

membuat model dinamika dari suatu kondisi dilapangan yang

diprediksikan untuk masa yang akan datang. Seluk beluk yang berkaitan

dengan Stella dalam disertasi ini diambil dari Ford (1999) dengan

menggunakan software Stella versi 7.

Untuk membangun model matematik yang dibuat untuk menggambarkan

kelimpaha kapal ikan dengan kelengkapan sarana/prasarana pelabuhan

digunakan rumus Yi = ki X + b

Dimana:

Y = fasilitas sarana/prasarana

X = total bobot kapal

i = 1, 2, 3, ....., n = faktor jenis fasilitas yang berubah

Asumsi yang ditetapkan adalah bahwa setiap perubahan yang terjadi pada

jumlah kapal akan berdampak terhadap perubahan jenis fasilitas secara linier.

Page 117: Muara Dadap

4 KEADAAN DAERAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum

Kabupaten Tangerang terletak pada posisi 106o20’ sampai 106o43’ BT

dan diantara 6o00’ sampai 6o22’ LS. Posisi geografi Kabupaten Tangerang yang

persis berbatasan dengan DKI Jakarta telah menyebabkannya menjadi daerah

penyangga, sebagaimana juga dengan Kota Tangerang, Kota Depok, Kabupaten

Bogor, dan Kabupaten Bekasi. Besarnya pengaruh perkembangan DKI Jakarta

terhadap Tangerang ditunjukkan dengan cukup pesatnya perkembangan ekonomi

Tangerang, baik dicirikan oleh pertumbuhan berbagai jenis investasi maupun

dampak sosialnya (antara lain pertambahan penduduk). Jakarta sebagai suatu

kawasan pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis utama di Indonesia tidak mampu

lagi menampung dinamika perkembangan penduduk DKI dan kegiatannya,

termasuk mengakomodasi arus investasi, khususnya sektor industri manufaktur.

Hal ini mengakibatkan tumbuhnya migrasi pekerja industri, baik yang bekerja di

wilayah DKI Jakarta maupun di Tangerang.

Wilayah kabupaten ini secara administratif terbagi menjadi 26 kecamatan

dan 328 desa. Dari 26 kecamatan yang menjadi wilayah Kabupaten Tangerang,

hanya 7 kecamatan yang mempunyai wilayah pesisir dan lautan, yaitu terdiri dari

Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, Paku Haji, Sukadiri, Mauk, Kemiri, dan

Kecamatan Kronjo.

Luas wilayah Kabupaten Tangerang adalah 1.110,38 km2. Jika dilihat

dari jumlah penduduk yang ada di kawasan pesisir, maka wilayah pesisir

Kabupaten Tangerang memiliki 541.076 jiwa atau sebesar 16,20 % dari total

penduduk Kabupaten Tangerang, atau sebesar 7, 25 % dari total penduduk

Provinsi Banten. Jumlah penduduk pesisir Tangerang pada tahun 2002 ini

merupakan hasil estimasi berdasarkan prakiraan penduduk Kabupaten Tangerang

pada Laporan Revisi RTRW Kabupaten Tangerang (BAPPEDA 2001). Namun

demikian, hasil pengolahan PKSPL IPB terhadap data kependudukan

(BAPPEDA 2004) menunjukkan bahwa dinamika jumlah penduduk Kabupaten

Page 118: Muara Dadap

99

Tangerang telah meningkat sebanyak 463,51 % dari tahun 1961 (643.647 jiwa)

sampai tahun 2002 (3.185.994 jiwa) (PKSPL IPB 2004)

Tahun 2002, Kecamatan Kosambi berpenduduk 103.701 jiwa, dan nomor

dua penduduk kecamatan pesisir terbanyak setelah Teluk Naga, yaitu sebanyak

109.157 jiwa (BAPPEDA 2004). Jumlah ini meningkat jika dibandingkan

dengan data tahun 1999, yaitu 75.921 jiwa tinggal di Kecamatan Kosambi

(kenaikan 36,59 %), dan 94.140 jiwa tinggal di Kecamatan Teluk Naga (kenaikan

15,95 %). Dengan demikian, kenaikan populasi penduduk di Kecamatan

Kosambi hampir mencapai 2,3 kali lipat dibandingkan dengan populasi penduduk

di Kecamatan Teluk Naga.

Salah satu kawasan yang sangat dinamik di Kecamatan Kosambi adalah

Desa Dadap. Tingginya dinamika yang terjadi di desa ini disebabkan oleh

beberapa hal, yaitu:

(1) Berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta Utara yaitu dengan Kelurahan

Kamal Muara;

(2) Dekat dengan jalur tol bandara;

(3) Terdapat pangkalan pendaratan ikan (PPI) Dadap;

(4) Muara Kali Perancis merupakan tempat berlabuhnya beberapa kapal

pesiar (yacht);

(5) Terdapatnya areal pergudangan dengan segala aktivitas bongkar

muatnya;

(6) Sumberdaya manusia untuk pekerjaan yang tidak spesifik tersedia

cukup banyak.

Menurut informasi, pemukiman Dadap di lokasi tanah Perum Angkasa

Pura (PAP) dan Pemda ini mulai tumbuh sekitar awal 1976. Para nelayan yang

tergusur dari Muara Karang berpindah ke sini. Mereka mulai memadatkan tanah

dan membangun rumah-rumah sederhana di tepi Kali Perancis, mulai dari tepi

laut sampai ke darat sekitar dua kilometer. Lambat laun, tumbuhlah sebuah

kampung, lengkap dengan masjid, gereja, madrasah, dan kantor KUD. Bahkan,

di kampung ini akhirnya dibentuk RT dan RW. Warga juga membayar Pajak

Bumi Bangunan, meski sejak 1991 berhenti (Republika Online 1996).

Page 119: Muara Dadap

100

Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Tangerang

(Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001), di kawasan pantura direncanakan akan

dikembangkan beberapa kawasan wisata, yaitu di Pulau Cangkir (Kecamatan

Kronjo), Tanjung Kait Kecamatan Sukajadi, Tanjung Burung dan Tanjung Pasir

(Kecamatan Teluk Naga), Arukan/Muara (Kecamatan Kosambi), Salembaran Jati

dan Dadap (Kecamatan Kosambi). Kawasan-kawasan wisata tersebut secara

terpadu akan dialokasikan untuk 3 kegiatan utama, yaitu kawasan perumahan,

kawasan wisata, dan kawasan campuran wisata dan perumahan. Objek wisata

andalan di Kecamatan Kosambi adalah Pantai Dadap, dimana aktivitas yang

direncanakan adalah:

(1) wisata keluarga:

1) waterfront, meliputi dermaga nelayan, tempat pelelangan ikan, pasar

ikan, dan pasar sayur

2) daerah komersial, meliputi restoran, penginapan, play ground dan

tempat olah raga terbuka, taman-taman, serta tempat parkir.

(2) Wisata lahan pertanian dan tambak

(3) Pembenahan kegiatan-kegiatan hiburan

(4) Pembukaan gerbang tol Jakarta-Cengkareng ke arah Dadap

(5) Perbaikan jalur jalan

(6) Pengadaan air bersih

(7) Pengadaan jaringan infrastruktur

Disamping rencana-rencana sektor pariwisata tersebut di atas, kebijakan

sektor perhubungan (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001) adalah:

(1) Pembangunan fasilitas pergudangan di Kecamatan Kosambi dan pelabuhan

peti kemas di sekitar muara Kali Perancis;

(2) Membangun dermaga wisata bahari di kawasan wisata Tanjung Pasir.

Sektor perikanan dan kelautan juga mempunyai beberapa rencana di

kawasan pantura tersebut, yakni:

(1) Relokasi kawasan pertambakan dari Kecamatan Kosambi, Teluk Naga,

dan Paku Haji, ke Kecamatan Mauk dan Kronjo;

(2) Membangun TPI dan pelabuhan nelayan di muara Kali Perancis.

Page 120: Muara Dadap

101

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai tahun 2004, hanya

sedikit fasilitas pelabuhan dan TPI yang secara permanen dibangun di muara Kali

Perancis. Artinya, TPI Dadap sebenarnya sudah tidak berfungsi lagi, baik

sebagai tempat pelelangan ikan maupun tempat pendaratan ikan. Kadang-kadang

ada para nelayan atau pedagang ikan yang berjualan di TPI Dadap tersebut, yang

menawarkan dagangannya kepada para pengunjung restoran seafood yang

terdapat di sekitar TPI tersebut.

Perkembangan kegiatan pembangunan di Desa Dadap yang semakin

pesat telah mendorong dilakukannya pembangunan fasilitas pemukiman bagi

penduduk. Terdapat dua komplek perumahan yang sudah dibangun, yaitu Villa

Taman Bandara dan Christer Griya Lestari. Sampai saat ini, kedua komplek

perumahan tersebut belum sepenuhnya berpenghuni, meskipun sudah lebih dari

lima tahun dibangun.

Salah satu tanda sedang berkembangnya kegiatan ekonomi di Dadap

ditunjukkan oleh pesatnya pembangunan komplek pergudangan. Terdapat 3

perusahaan pengelola pergudangan, yaitu PT Parung Harapan, PT Mutiara

Kosambi, dan PT Marina Dadap, dimana total jumlah gudang sekitar 400 unit.

Komplek pergudangangan ini dibangun di atas areal persawahan, yang tingkat

produktivitasnya satu tahun sekali panen. Berkembangnya areal pergudangan

menyebabkan tingginya frekwensi kendaraan berat yang melalui Wilayah Dadap,

akibat kondisi kualitas jalan yang tidak sesuai dengan beban yang diterimanya,

maka terjadi kerusakan jalan yang cukup parah.

4.2 Kondisi Lingkungan

Kawasan Teluk Dadap terletak di sebelah utara Kabupaten Tangerang

bagian timur, yang mencakup wilayah Desa Dadap. Desa Dadap ini mempunyai

luas wilayah 401,473 ha yang terdiri dari 5 dusun, 7 RW dan 28 RT. Luas

wilayah dan jumlah desa yang termasuk Kecamatan Kosambi dicantumkan dalam

Tabel 4.1.

Page 121: Muara Dadap

102

Tabel 4.1. Luas dan jumlah desa di Kecamatan Kosambi tahun 2003.

No. Nama Desa Luas Wilayah (km2)

1999* 2002**

1 Rawa Rengas 1,206 1,26

2 Rawa Burung 1,309 1,25

3 Belimbing 2,531 4,06

4 Jati Mulya 1,720 1,93

5 Dadap 4,015 4,86

6 Kosambi Timur 2,882 2,97

7 Kosambi Barat 2,866 2,97

8 Cengklong 1,888 1,88

9 Selembaran Jati 4,300 3,18

10 Selembaran Jaya 6,963 6,49

Jumlah 29,678 30,85 Sumber : *) = Dinas Tata Ruang dan Bangunan (2001)

**)= Laporan Tahunan Kecamatan Kosambi Bulan Desember 2003.

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa data luas desa relatif tidak seragam

antara tahun 1999 dan 2002. Tidak konsistennya data luasan desa ini

kemungkinan disebabkan oleh tidak akuratnya pengukuran lahan yang dilakukan

dan karena terjadinya erosi dan atau reklamasi pantai.

Wilayah Desa Dadap berbatasan dengan:

(1) Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

(2) Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kelurahan Kamal Muara

Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara

(3) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kosambi Timur Kabupaten

Tangerang dan Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta

Utara

(4) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Jatimulya, Desa Kosambi Barat

dan Desa Kosambi Timur Kabupaten Tangerang.

Sebagai wilayah yang cukup dekat dengan Teluk Naga, yang merupakan

pusat pertumbuhan di bagian utara Kabupaten Tangerang sebagaimana

Page 122: Muara Dadap

103

ditentukan dalam rencana struktur tata ruang (Rustiadi et al. 2002), wilayah

Teluk Dadap mempunyai potensi pengembangan yang cukup besar, baik dilihat

dari letak strategisnya di pesisir utara yang berbatasan langsung dengan Wilayah

Kota Jakarta Utara, maupun ketersediaan prasarana dan sarana pembangunan

yang sudah tersedia. Prasarana dan sarana transportasi sangat memadai untuk

mencapai jalan tol arah Jakarta Bandara Sukarno Hatta. Dengan demikian aspek

dukungan terhadap pengembangan ekonomi wilayah sangatlah besar.

Kawasan Kamal Muara terletak berbatasan dengan Desa Dadap yang ada

di sebelah baratnya. Kelurahan Kamal Muara yang mempunyai luas wilayah

sebesar 1.053 ha meliputi 3 Rukun Warga dan 19 Rukun Tetangga. Bentang

alam kawasan Kamal Muara ini relatif sama dengan kawasan Dadap, karena

menghadap ke Teluk Jakarta dan mempunyai kondisi perairan yang sama.

Wilayah Kamal Muara berbatasan dengan:

(1) Sebelah utara dengan Teluk Jakarta;

(2) Sebelah timur dengan Kelurahan Kapuk Muara, Kali Cengkareng Drain;

(3) Sebelah Selatan dengan Jalan Kapuk Kamal yang mengarah ke timur

berbatasan dengan Kelurahan Kamal, Tegal Alur, Cengkareng Timur, dan

Kelurahan Kapuk Kota Jakarta Barat;

(4) Sebelah Barat dengan Desa Dadap Kecamatan Kosambi Kabupaten

Tangerang.

Menurut penduduk, pemukiman di kawasan Kamal Muara sendiri sudah

ada sejak tahun 1953, saat kawasan ini masih hutan. Penduduk awalnya bertani

sawah, baru kemudian menjadi nelayan.

Kekompakan masyarakat di Kamal Muara terbilang tinggi, khususnya

aspek sosial kemasyarakatan. Contoh yang paling terlihat dewasa ini, kepedulian

warga Kamal Muara dalam bergotong royong, diantaranya kalau ada yang

meninggal tanpa disuruh langsung memberikan bantuan, mulai dari memandikan

jenazah sampai dikuburkan termasuk dengan melakukan tahlilan. Partisipasi

warga dalam menjaga keamanan sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan

Page 123: Muara Dadap

104

terpilihnya Kamal Muara sebagai juara pertama lomba siskamling tingkat Polda

Metro Jaya pada tahun 2005.

Sebagai wilayah paling barat dari DKI Jakarta, Kamal Muara ikut

mengalami dampak pembangunan yang cukup besar. Reklamasi pantai Indah

Kapuk yang sudah keluar acuannya lewat Keppres 52/95 dan sedang berjalan

juga berpengaruh pada masyarakat sekitarnya, khususnya nelayan yang tinggal di

sana. Informasi yang dikumpulkan oleh IMC (2006) menunjukkan bahwa

nelayan tidak sepenuhnya dilibatkan oleh PT Kapuk Naga Indah (KNI).

Meskipun sosialisasi program reklamasi telah dilakukan, tetapi masyarakat

menilai waktu pemberitahuannya sangat singkat. Informasi yang diterima

nelayan menyebutkan bahwa akan dilakukan reklamasi pantai di areal tempat

usaha nelayan. Istilah KNI adalah akan menggusur bagan-bagan ikan, bagan

tempat budi-daya kerang hijau, dan sero-sero yang menjadi mata pencaharian

masyarakat. Implementasi dari sosialisasi tersebut dilakukan oleh Sudintantrib

Jakut yang melakukan pembongkaran 105 unit sarana usaha nelayan tersebut

dengan ganti rugi sebesar 1,5 juta rupiah per unit dan hanya dibayarkan kepada

95 orang nelayan. Alasan yang disodorkan oleh Sudintantrib adalah melanggar

Perda no 11 dan no 6.

Tidak adanya transparansi dalam perencanaan propgram pasca reklamasi

tersebut menyebabkan terjadinya kegelisahan masyarakat sekitar Kamal Muara,

khususnya para nelayan yang terancam kehilangan mata pencahariannya.

Padahal jumlah nelayan di RW IV ini mencapai 90 %, sisanya juga tergantung

pada aktivitas perikanan (jumlah penduduk Kelurahan Kamal Muara sebanyak

1.821 kepala keluarga yang terbagi kedalam 4 RW) (Anonimous 2007). Dampak

ikutan dari kegiatan reklamasi ini tentu saja akan dialami oleh keluarga nelayan,

produksi ikan turun, pendapatan daerah turun, konsumen mengalami kesulitan

untuk mendapatkan ikan, dll.

Masalah penting yang dihadapi oleh penduduk di Kamal Muara adalah

kesulitan air bersih (Anonimous 2006). Di kelurahan nelayan yang kini dihuni

oleh sekurangnya 6000 jiwa, secara turun temurun air bersih diperoleh dari tiga

Page 124: Muara Dadap

105

sumber pokok; layanan perusahaan daerah air minum (PDAM), sumur bor yang

diusahakan penduduk lokal, dan air sungai. Dari segi kualitas, air dari ketiga

sumber ini tidak layak diminum dan hanya dimanfaatkan untuk aktivitas mandi,

cuci, dan kakus (MCK). Apalagi sejak tahun 1980-an, air Sungai Kamal pun tak

lagi layak untuk dipakai untuk MCK, karena limbah kegiatan industri yang

berdekatan dengan pemukiman penduduk memperburuk kualitas air yang

sebelumnya telah tercemar sampah rumah tangga. Kondisi ini mengharuskan

setiap keluarga untuk membeli air kalengan untuk air minum, setiap hari minimal

sepikul air yang terdiri dari dua kaleng seharga Rp 3.000 atau minimal Rp 90.000

setiap bulannya. Saat ini, lebih dari separuh jumlah penduduk Kamal Muara

menggantungkan pasokan air bersih dari penjaja air pikulan untuk memenuhi

kebutuhan air minum. Sisanya, berlangganan layanan air dari PDAM dari

Perusahaan Air Minum (PAM) yang kualitas airnya kerap tak layak konsumsi.

Untuk kebutuhan MCK, pilihan sumber air bersih bisa ditambah sumur-sumur

bor yang diusahakan oleh warga setempat.

Menurut analisis UPC (2005), Kamal Muara yang merupakan tempat

pindahan dari penduduk yang terkena gusuran untuk jalan tol ke bandara

Soekarno Hatta yang terjadi tahun 1996, direncanakan masuk ke Kabupaten

Administrasi Kepulauan Seribu. Sesuai dengan master plan-nya, Kamal Muara

akan dijadikan sebagai pusat Pemerintahan Administratif Kepulauan Seribu,

artinya kampung ini cepat atau lambat pasti akan tergusur.

Di kawasan Kamal Muara terdapat Hutan Wisata Kamal Muara, dengan

perkiraan luas sekitar 99,82 hektar (Distanhut 2007). Kawasan mangrove ini

terletak di sebelah timur TPI Kamal Muara, yang berada di kawasan pesisir

Kecamatan Penjaringan. Luasan areal hutan mangrove diperkirakan 19,2 ha yang

membentuk greenbelt selebar 4 m sepanjang 4 km. Tinggi tegakan sekitar 4 m.

Di sebelah timur Kamal Muara terletak Pelabuhan Perikanan dan

Pangkalan Pendaratan Ikan (PP/PPI) Muara Angke. Secara administratif

kawasan ini termasuk Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan, dimana juga

terdapat TPI Kamal Muara.. Total luas kawasan Muara Angke mencapai 65 ha,

yang terdistribusi menjadi: perumahan nelayan (21,26 ha); tambak uji coba

Page 125: Muara Dadap

106

budidaya air payau (9,12 ha); bangunan Pangkalan Pendaratan Ikan serta fasilitas

penunjangnya (5 ha), yang terdiri dari tempat pelelangan ikan, gedung pasar

grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh

para pengusaha perikanan, kios pujaseri, tempat pengepakan ikan, , dll; areal

docking kapal (1,35 ha), lahan kosong (6,7 ha), pasar, bank, dan bioskop (1 ha),

serta terminal (2,57 ha) dan lapangan sepak bola (1 ha) (Disnakkanlut 2006).

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa secara fungsional PP/PPI

Muara Angke yang berstatus sebagai pangkalan ikan daerah telah memiliki

fasilitas setara dengan pelabuhan perikanan nusantara. Hal ini tidak hanya

ditinjau dari fasilitas yang tersedia tetapi juga dari jumlah produksi hasil

perikanan dan kelautan yang didaratkan dan dipasarkan.

4.2.1 Penduduk dan Mata Pencaharian

Pada tahun 1994 penduduk Desa Dadap berjumlah 6.287 jiwa dan terdiri

dari 3.174 laki-laki dan 3.113 perempuan. Adapun jumlah rumah tangganya

adalah 1.174 rumah tangga. Tahun 1999, jumlah penduduk ini meningkat drastis

sampai 14.442 jiwa, yang merupakan jumlah penduduk desa tertinggi di

Kecamatan Kosambi jika dibandingkan dengan desa-desa yang lain (Dinas Tata

Ruang dan Bangunan 2001). Tahun 2003, jumlah penduduk Desa Dadap

bertambah menjadi 19.870 jiwa, dengan komposisi 9.798 laki-laki dan 10.072

perempuan serta 5.411 rumah tangga (Anonimous 2004).

Dengan luas desa sebesar 401,473 ha dan jumlah penduduk 6.287 jiwa,

tahun 1994 Desa Dadap tergolong mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang

cukup tinggi, yaitu 1.568 jiwa/km2, tahun 1999 kepadatannya mencapai 3.597

jiwa/km2, sedangkan tahun 2003 sebesar 1.857 jiwa/km2. Perubahan tingkat

kepadatan penduduk ini disebabkan oleh adanya beberapa kompleks pemukiman

baru dan berkembangnya kompleks pergudangan. Adapun keadaan jumlah

penduduk laki-laki dan perempuannya berimbang dengan nilai seks ratio 1,02

tahun 1994 dan menjadi 0,97 tahun 2003.

Page 126: Muara Dadap

107

Jumlah penduduk di Kelurahan Kamal Muara tahun 2003 adalah 5.980

jiwa (April 2007, jumlah penduduk sudah mencapai 6.794 jiwa, dengan

komposisi 3.560 laki-laki dan 3.234 perempuan), dengan kepadatan penduduk

568 jiwa/km2. Jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk rata-rata di

Kecamatan Penjaringan yang mencapai 7.974 jiwa/km2, maka Kelurahan Kamal

Muara merupakan kelurahan dengan kepadatan penduduk terendah. Kelurahan

yang kepadatannya tertinggi adalah Kelurahan Pajagalan dan Kelurahan

Penjaringan, dengan kepadatan penduduk masing-masing mencapai 17.505

jiwa/km2 dan 14.121 jiwa/km2.

Jumlah KK yang tercatat di Kamal Muara berdasarkan Penjaringan Dalam

Angka (2003) juga terendah, hanya 1.574 KK (April 2007 jumlah KK tercatat

sebanyak 1.821) dari 49.915 KK yang berdomisili di Kecamatan Penjaringan.

Jumlah KK yang terbanyak berada di Kelurahan Pluit (14,898 KK), Kelurahan

Pejagalan (14.807 KK) dan Kelurahan Penjaringan (14.321 KK).

Nilai sex rasio penduduk Kecamatan Penjaringan pada umumnya

seimbang, dengan kisaran antara 93 – 110, dengan rata-rata sex rasio sebesar 102.

Di tingkat Kelurahan Kamal Muara, nilai seks rasio mencapai 107, artinya

terdapat 107 wanita untuk setiap 100 orang pria. Data selengkapnya mengenai

luas wilayah, jumlah pendudukan, jumlah kepala keluarga, kepadatan penduduk

dan sex rasio dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kecamatan Penjaringan tahun 2003

No. Kelurahan Luas (km2) Jumlah KK Kepadatan

Penduduk Rasio Sex

1. Kamal Muara 10,53 5.980 1.574 568 107

2. Kapuk Muara 10,06 14.518 4.315 1.444 108

3. Pejagalan 3,23 56.574 14.807 17.505 103

4. Pluit 7,71 43.597 14.898 5.653 110

5. Penjaringan 3,95 55.839 14.321 14.121 93

Kec. Penjaringan 35,49 176.508 49.915 7.974 102 Sumber: BPS Jakut (2004a); data diolah.

Page 127: Muara Dadap

108

Dari Tabel 4.2 tampak bahwa meskipun luas Kelurahan Kamal Muara

paling besar jika dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lainnya di

Kecamatan Penjaringan, tetapi jumlah dan kepadatan penduduknya adalah yang

paling kecil. Hal ini terjadi karena masih banyaknya lahan-lahan yang kosong

terdapat di kelurahan ini, baik berupa tambak maupun lahan pertanian.

Kondisi kependudukan untuk setiap kelurahan di Kecamatan Penjaringan

tahun 2003 dicantumkan dalam Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Jumlah penduduk, kepala keluarga, rukun warga (RW) dan rukun tetangga di Penjaringan 2003

No. Kelurahan Jumlah Penduduk KK RW RT

1. Kamal Muara 5.980 1.574 3 21

2. Kapuk Muara 14.518 4.315 7 66

3. Pejagalan 56.574 14.807 18 226

4. Pluit 43.597 14.898 18 221

5. Penjaringan 55.839 14.321 17 237

Kec. Penjaringan 176.508 49.915 63 771

Berdasarkan jenis kegiatan (mata pencaharian) yang ditekuni oleh

penduduk di Kamal Muara dan Kecamatan Penjaringan, sebanyak 44,54 %

kepala keluarga (701 KK) menekuni kegiatan pertanian, 12,96 % (204 KK)

menekuni industri, dan 10,48 % (165 KK) menekuni kegiatan perdagangan.

Sisanya menekuni kegiatan usaha bangunan, transportasi dan komunikasi, jasa,

serta usaha lainnya. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Usaha yang ditekuni penduduk Kamal Muara tersebut berbeda dengan

usaha yang ditekuni pada umumnya di Kecamatan Penjaringan, dimana sebagian

besar kepala keluarga di kecamatan ini menekuni bidang industri, yakni sebanyak

36,35 % (18.142 KK), perdagangan sebanyak 14,83 % (7.400 KK) dan bangunan

sebesar 13,71 % (6.842 KK). Penduduk yang menekuni usaha pertanian di

Kecamatan Penjaringan hanya sebagian kecil saja, yakni 1,81 % (902 KK).

Page 128: Muara Dadap

109

Tabel 4.4 Jumlah kepala keluarga menurut jenis kegiatan di Kecamatan Penjaringan tahun 2003

No. Jenis Kegiatan Kamal Muara (KK) % Kec.

Penjaringan %

1. Pertanian 701 44,54 902 1,81 2. Industri 204 12,96 18.142 36,35 3. Bangunan 95 6,04 6.842 13,71 4. Perdagangan 165 10,48 7.400 14,83 5. Transportasi dan

Komunikasi 87 5,53 4.980

9,98 6. Keuangan dan

Perbankan 0 -

1.422 2,85 7. Pemerintahan 52 3,30 2.886 5,78 8. Jasa 83 5,27 2.400 4,81 9. Lainnya 187 11,88 4.941 9,90 Jumlah 1.574 49.915

Sumber: BPS Jakut (2004a) data diolah.

Dengan demikian, sebagian besar penduduk yang menekuni bidang

pertanian (dalam hal ini perikanan) terkonsentrasi pada wilayah Kamal Muara,

yang jika dipersentasekan mencapai 77,72 %. Data jumlah kepala keluarga dan

jenis kegiatan matapencaharian penduduk di Kecamatan Penjaringan dapat dilihat

pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Jumlah Kepala Keluarga Menurut Jenis Kegiatan di Penjaringan tahun 2003

No. Jenis Kegiatan Kelurahan/Kecamatan

Kamal Muara

Kapuk Muara

Peja galan Pluit Penja-

ringan Kec. Penja

ringan

1. Pertanian 701 201 0 0 0 902

2. Industri 204 2.145 6.294 3.338 6.161 18.142

3. Bangunan 95 681 984 2.988 2.094 6.842

4. Perdagangan 165 854 1.959 2.216 2.206 7.400

5. Trans-Kom 87 149 2.253 1.757 734 4.980

6. Keuangan/Perbankan 0 7 394 792 229 1.422

7. Pemerintahan 52 53 1.773 314 694 2.886

8. Jasa 83 162 417 187 1.551 2.400

9. Lainnya 187 63 733 3.306 652 4.941

Jumlah 1.574 4.315 14.807 14.898 14.321 49.915Sumber: BPS Jakut (2004a)

Page 129: Muara Dadap

110

4.2.2 Lingkungan perairan

Kondisi perairan di Pantai Dadap dan Kamal Muara ini dipastikan sama

persis karena mempunyai posisi lintang yang berdekatan dan terletak pada satu

garis pantai yang relatif lurus terhadap Laut Jawa, serta mengalami pengaruh

pasang surut dan gelombang yang sama. Kawasan pesisir Kecamatan Kosambi

(sebagaimana juga kawasan pantura lainnya) mempunyai dasar perairan

berlumpur dan berpasir. Material dasar perairan tersusun dari lumpur, lempung,

lanau dan pasir (PKSPL 2004). Kedalaman laut di pesisir Kecamatan Kosambi

menurut hasil survey Dishidros tahun 1999 sekitar 4 m sampai jarak sekitar 1.750

m, bertambah menjadi 5 m sampai jarak sekitar 2.250 m, kemudian 6 m sampai

jarak sekitar 3.000 m, 7 m sampai jarak sekitar 3.500 m, serta mencapai

kedalaman 10 m sampai jarak sekitar 4.000 m (diolah dari BAPPEDA Tangerang

2002).

Posisi Pantai Dadap dan Kamal Muara yang terletak pada koordinat

sekitar 6o 15’ BT, terbuka lebar ke arah timur laut menghadap Teluk Jakarta.

Karena kawasan Pantai Dadap dan Kamal Muara terdapat di Teluk Jakarta yang

berhadapan dengan Laut Jawa, maka dilihat dari keadaan batimetrinya, perairan

di sekitar kawasan tersebut dapat dikatakan dangkal dan landai. Kedalaman

perairan ini mulai dari 0,5 m sampai 10 m hingga jarak sekitar 1,8 km dari darat.

Dari kondisi seperti ini, komponen-komponen oseanografi seperti suhu, salinitas,

kerapatan, maupun arus di lapisan permukaan laut diduga tidak jauh berbeda

dengan yang di lapisan bawahnya (kecuali di daerah muara sungai). Pengukuran

komponen oseanografi dilapangan yang dilakukan bulan Februari 1995 dan

Oktober 2004 oleh PKSPL IPB (2004) mendukung dugaan tersebut.

(1) Pasang surut

Proses gerakan massa air suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan

geografis dari wilayah perairannya. Dengan memperhatikan keadaan

geografis kawasan Muara Dadap, kita dapat menduga bahwa pola arus di

perairan ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Pola pasut di perairan

Page 130: Muara Dadap

111

ini ditentukan oleh pola pasut dari perairan yang lebih besar yaitu Laut

Jawa. Pasut dari Laut Jawa itu sendiri pun bukan disebabkan oleh gaya

pembangkit pasang astronomis (bulan dan matahari) melainkan oleh

rambatan pasut dari Lautan Pasifik yang memasuki Laut Jawa melalui

Laut Cina Selatan dan Selat Makasar (Pariwono 1985).

Kondisi perairan setempat, seperti perubahan batimetri atau morfologi

pantai akan mengubah tipe pasut yang ada ke tipe lainnya. Tipe pasut

suatu perairan ditentukan oleh jumlah air pasang dan air surut yang terjadi

per hari. Jika perairan tersebut mengalami satu kali pasang dan satu kali

surut per hari, maka daerah tersebut bertipe pasang tunggal. Sedangkan

jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari, maka

pasutnya bertipe pasut ganda. Tipe pasut lainnya merupakan peralihan

antara tipe tunggal dan tipe ganda, yang disebut tipe pasut campuran.

Dengan asumsi bahwa kondisi pasut di Muara Dadap dan Kamal Muara

mirip dengan kondisi pasut di Tanjung Priok, maka perubahan yang

terjadi di Tanjung Priok akan dialami pula oleh daerah Muara Dadap.

Hasil pengukuran menunjukan bahwa kisaran pasut di Tanjung Priok

adalah sekitar 1,0 m pada waktu pasang purnama, dan sekitar 0,3 m pada

waktu pasang perbani. Pasang purnama adalah pasang tertinggi (dan

surut terandah) yang dialami oleh suatu perairan, terjadi pada bulan

purnama atau bulan mati. Kebalikan pasang purnama adalah pasang

perbani, dimana kisaran pasutnya paling rendah, yang terjadi pada waktu

bulan sabit (perempat pertama dan perempat ke tiga). Pada kondisi

pasang purnama dan pasang perbani pada saat matahari berada dibelahan

bumi utara (bulan Juni), dan dibelahan bumi selatan (bulan Desember).

Membandingkan kedua pasut pada kedua bulan tersebut, dapat

disimpulkan bahwa kisaran pasut terbesar di Tanjung Priok terjadi pada

saat kedudukan matahari berada dibelahan bumi selatan, yaitu antara

bulan Oktober hingga Februari. Keadaan ini baik berlaku pada waktu

pasang purnama maupun ketika pasang perbani. Pengaruh utama yang

Page 131: Muara Dadap

112

ditimbulkannya pada kecepatan arus di Perairan Teluk Jakarta. Arus

pasut di perairan ini akan relatif lebih deras ketika matahari berada pada

belahan bumi selatan dibanding ketika berada dibelahan bumi utara.

Dari data pasut tersebut dapat diprakirakan kisaran perubahan tinggi muka

laut (sea level) dari perairan di kawasan Dadap. Besarnya perubahan

tinggi muka laut di perairan yang dimaksud disajikan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Kisaran tinggi muka laut di Pantai Dadap berdasarkan data pasut Tanjung Priok.

No. Kisaran Muka Laut Notasi Tinggi (cm)

1. Tinggi muka laut pada air pasang tertinggi

HHWL 116

2. Tinggi muka laut pada air pasang teratas

MHWL 108

3. Tinggi muka laut teratas HMSL 60

4. Tinggi muka laut pada air surut teratas MLWL 12

5. Tinggi muka laut pada air surut terendah

LLWL 4

Sumber: Dishidros (1995) dalam PPLH (1997).

Hasil prakiraan sebagaimana tertera pada Tabel 4.6 hanya didasarkan atas

5 komponen pasut, yaitu M2, S2, K1, O1, dan P1, yang terdapat pada

DISHIDROS-AL (1995). Dari Tabel 4.6 tersebut dapat diketahui kisaran

tinggi muka laut maksimum yang disebabkan oleh pasut mencapai 1,12

m, dan kisaran pasut reratanya mencapai 0,96 m.

Pergerakan massa air secara mendatar (arus) di suatu perairan terbentuk

karena beberapa faktor, seperti oleh seretan angin, pasang surut, dan

perbedaan densitas air laut. Di wilayah perairan Banten, termasuk juga

Teluk Dadap dan Kamal Muara, arus laut utamanya terjadi karena

pengaruh angin Muson dan pasang surut. Mengingat wilayah utara

Banten berada dalam sumbu utama angin Muson, arus musim yang

terbentuk mengalir kearah timur selama periode musim Barat (Desember-

Page 132: Muara Dadap

113

Februari). Sebaliknya, dalam periode musim Timur (Juni-Agustus) arus

musim mengalir secara dominan kearah barat. Kecepatan arus Musim

berkisar antara 20 sampai 40 cm/detik (PKSPL IPB 2004). Pasang surut

yang terjadi ini berasal dari Samudera Hindia yang merambat masuk

melalui perairan Selat Sunda. Sehingga secara umum arus yang

ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan bergerak kearah utara dalam

kondisi pasang, dan sebaliknya kearah selatan dalam kondisi surut.

Pengaruh kedalaman perairan lokal dan morfologi pantai dapat

memodifikasi arus tersebut.

(2) Sedimentasi

Sedimentasi adalah proses pengendapan partikel sedimen. Proses

pengendapan partikel tersebut ditentukan oleh ukuran partikel dan

kecepatan aliran dari fluida yang mengangkutnya. Jika kecepatan fluida

tersebut lebih kecil dari nilai ambang tertentu, yang dikenal sebagai

kecepatan pengendapan (settling velocity), maka partikel sedimen tersebut

akan mengendap ke dasar fluida. Keadaan sebaliknya akan terjadi bila

kecepatan fluida lebih besar dari nilai ambang tersebut. Sedimen yang

dimaksudkan disini adalah partikel-partikel padat yang diendapkan di

dasar media fluida. Umumnya media fluida yang dimaksud adalah air.

Untuk perairan Pantai Dadap dan Kamal Muara, sedimen dapat berasal

dari berbagai sumber, yaitu dari Kali Perancis (secara umum disebut juga

Sungai/Kali Dadap) dan Kali Kamal yang membawa partikel-partikel

sedimen dari hulu sungai, dari daratan yang terbawa oleh limpasan air

masuk ke dalam sungai, dan dari perairan pantai disekitar Dadap dan

Kamal Muara. Karena letak kawasan Dadap dan Kamal Muara berada di

pantai dan dekat muara sungai, maka sumber sedimen diduga berasal dari

laut dan dari sungai, yang mengalirkan hasil erosi di daratan.

Berbeda dengan kawasan Dadap, kawasan Kamal Muara dialiri sebuah

sungai, yaitu Kali Kamal, yang mempunyai kawasan DAS lebih luas

Page 133: Muara Dadap

114

dengan fluktuasi muka air yang beragam. Artinya, tinggi rendahnya

muka air Kali Kamal ditentukan oleh curah hujan yang terjadi di kawasan

DAS-nya. Jika Kali Perancis hanya merupakan tempat mengalirnya air

hujan yang tertampung oleh kawasan Bandara Sukarno-Hatta, maka

kawasan DAS Kali Kamal jauh lebih luas lagi, sehingga konsentrasi

sedimen yang terbawa sepanjang musim hujan menjadi lebih besar.

Namun demikian, data besarnya tingkat sedimentasi yang terjadi di

kawasan Kamal Muara ini belum ada.

(3) Kualitas perairan

Sebagaimana dua wilayah yang berdekatan, maka kondisi kualitas

perairan Teluk Dadap dan Kamal Muara adalah relatif sama. Hasil

penelitian PKSPL (2004) menunjukkan bahwa nilai-nilai parameter

kualitas air dari sampel yang diambil di perairan Pantai Kronjo dan

Tanjung Pasir menunjukkan bahwa untuk parameter fisika, kadar total

padatan terlarut (total suspended solid = TSS) sebesar 5 dan 10 mg/l,

masih jauh dari kadar baku mutu maksimum yang ditetapkan menurut

Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep.02/

MENKLH/I/1988, sebesar 80 mg/l. Dari data TSS dan tingkat kekeruhan

di kedua lokasi tersebut (2,5 di Kronjo dan 7,6 NTU di Tanjung Pasir)

menunjukkan bahwa di Tanjung Pasir terdapat aktivitas yang lebih tinggi

yang mengakibatkan terjadinya kekeruhan perairan, seperti penambangan

pasir, sedimen yang terbawa aliran sungai, dan tingkat abrasi. Data

parameter kualitas air lainnya dapat dilihat dalam Tabel 4.7.

Kadar nitrogen anorganik terlarut (dissolved inorganic nitrogen = DIN)

dan ortofosfat dalam perairan menunjukkan tingkat yang cukup tinggi. Di

Kronjo dan Tanjung Pasir, nilai DIN-nya (yang ditunjukkan oleh kadar amonia)

sama sebesar 1,336 mg/l sementara nilai ortofosfatnya 0,003 mg/l di Kronjo dan

0,005 mg/l di Tanjung Pasir. Sementara itu parameter senyawa logam terdeteksi

masih dibawah baku mutu air, yaitu untuk raksa < 0,001 mg/l; timah hitam 0,008

Page 134: Muara Dadap

115

dan 0,013 mg/l; kadmium 0,006 dan 0,005 mg/l; tembaga 0,044 dan 0,035; serta

krom total < 0,01 dan 0,001 mg/l (PKSPL IPB 2004).

Tabel 4.7. Nilai parameter kualitas air di perairan Kronjo dan Tanjung Pasir.

NO PARAMETER SATUAN Lokasi sampling Maksimum Kronjo T. Pasir BM **) I. F I S I K A :

1 Suhu *) oC 29 29 - 2 Kecerahan *) meter 2,5 1,2 3 Kekeruhan NTU 2,5 7,6 - 4 TSS mg/l 5 11 < 80 II.K I M I A : 1 Salinitas *) O/oo 31,5 31,5 < 0,03 2 pH *) - 7,0 7,0 3 Oksigen Terlarut *) mg/l 11,5 14,5 4 COD mg/l 48,90 65,20 < 80 5 BOD5 mg/l 9,1 13,5 6 Amonia (NH3+NH4) mg/l 1,336 1,336 < 1 7 Nitrit (NO2 - N) mg/l 0,002 0,002 Nihil 8 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,050 0,078 - 9 Minyak dan Lemak mg/l <0,01 <0,01 0,20 10 Ortho Phosphat mg/l 0,003 0,005 - 11 Raksa (Hg) mg/l <0,001 <0,001 0,002 12 Timah hitam (Pb) mg/l 0,008 0,013 - 13 Kadmium (Cd) mg/l 0,006 0,005 - 14 Tembaga (Cu) mg/l 0,044 0,035 < 1,0 15 Krom Total (Cr) mg/l <0,01 <0,001 - 16 Sulfida (H2S) mg/l <0,01 <0,01 - 17 Fenol mg/l 0,006 0,005 - BIOLOGI : 1 Klorofil-a µg/l 7,178 13,950 - Sumber: PKSPL IPB (2004) Catatan: BM = Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya Perikanan menurut Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep.02/MENKLH/I/1988.

Parameter COD (chemical oxigen demand) dan BOD (biological oxigen

demand) adalah suatu angka yang menunjukkan seberapa besar kadar

oksigen yang dibutuhkan untuk melakukan perombakan bahan organik

secara kimiawi dan biologis yang sulit terurai di perairan. Hasil

penelitian PKSPL IPB menunjukkan data yang tertinggi terdapat di

Page 135: Muara Dadap

116

Tanjung Pasir (COD= 65,20 mg/l dan BOD5 > 13,5 mg/l), sedangkan di

Kronjo (COD= 48,90 mg/l dan BOD5 > 9,1 mg/l).

Biomasa fitoplankton merupakan indikator tingkat kesuburan suatu

perairan. Semakin tinggi biomasa fitoplankton mengindikasikan bahwa

perairan tersebut mempunyai kadar nutrien yang tinggi (tingkat

kesuburannya tinggi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomasa

fitoplanton di perairan sekitar Kronjo mencapai 7,178 µg/l dan di Tanjung

Pasir 13,95 µg/l. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa

distribusi nilai klorofil-a ini terkait erat dengan komposisi jenis dan

kelimpahan sel fitoplankton. Dari hasil perbandingan tersebut, nampak

bahwa terdapat korelasi yang erat antara kelimpahan dan klorofil-a, yaitu

lokasi yang memiliki nilai kelimpahan yang tinggi juga memiliki nilai

biomasa yang tinggi pula. Kelompok utama pendukung populasi

fitoplankton di lokasi tersebut adalah dari kelompok diatom yaitu dari

genus Leptocylindrus, Stephanopyxis dan Chaetoceros (PKSPL IPB

2004).

Damar (2003) menyatakan bahwa kondisi perairan di Pantura tergolong

subur mengingat banyaknya sungai yang bermuara di sana dan membawa

bahan organik; kondisi ini menyebabkan terjadinya blooming (peledakan)

populasi fitoplankton. Akibat dari pencemaran bahan organik ini akan

menimbulkan eutrofikasi perairan. Beberapa dampak yang dapat terjadi

antara lain blooming algae dan perubahan bau perairan. Jika dilihat dari

warna perairan yang hampir hitam dan baunya yang cukup menyengat,

maka kondisi perairan di kawasan Dadap dan Kamal Muara sudah dapat

dipastikan dalam kondisi tercemar bahan organik. Akibat langsung dari

tingginya tingkat pencemaran ini secara otomatis akan dirasakan oleh

biota perairan yang hidup dalam ekosistem tersebut.

Salah satu penyebab bertambahnya tingkat pencemaran perairan kawasan

Dadap-Kamal Muara adalah dari proses reklamasi lahan di sekitar Dadap.

Sebagai akibat dilakukannya reklamasi untuk pengembangan Pantai

Wisata Mutiara, ada indikasi terjadinya peningkatan pencemaran limbah

Page 136: Muara Dadap

117

B3 (bahan berat berbahaya dan beracun) dalam dua tahun terakhir ini.

Harian Sinar Harapan (Kamis 24 Juni 2004) memuat berita bahwa hal ini

dikonfirmasikan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kabupaten

Tangerang, Deden Sugandhi disela-sela acara mutasi sejumlah pejabat di

lingkungan Pemerintah kabupaten (Pemkab) Tangerang, indikasi

pencemaran limbah B3 di Pantai Dadap tersebut diakibatkan oleh adanya

pengurukan pantai yang dilakukan PT Parung Harapan dan Koperasi Pasir

Putih sebagai pengembang proyek reklamasi pantai Dadap. Hasil

penelitian Setyobudiandi (2004) menunjukkan bahwa kondisi perairan

Teluk Jakarta sudah tercemar logam berat, baik di perairan maupun yang

terkandung pada kerang hijau, sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Kandungan logam berat di perairan Teluk Jakarta dan daging kerang hijau antara tahun 2000-2001

No JENIS LOGAM

KADAR RATA-RATA DI

PERAIRAN (mg/l)

KERANG HIJAU (ppm)

BAKU MUTU

1. Cd 0,0165 (+ 0,0057) 0,71-1,39 2 ppm1)

2. Cu 0,0052 (+ 0,005) - 30 ppm1)

3. Zn 0,0316 (+ 0,049) 7,23-10,74

4. Pb - 4,617-8,511 2 ppm2)

5. Hg 0,0288 (+0,0273) - 0,5 ppm3) Sumber: Setyobudiandi (2004) Catatan: 1) = dikutip Setyobudiandi (2004) dari the Australian Health & Medical

Research Council) 2) = dikutip Setyobudiandi (2004) dari WHO 3) = dikutip Setyobudiandi (2004) dari FAO

Dari hasil penelitian tersebut Setyobudiandi (2004) menyarankan bahwa

jumlah konsumsi kerang hijau per hari harus dibatasi berdasarkan

ukurannya, yaitu yang panjangnya 5 cm sebanyak 40 ekor, 7 cm sebanyak

9 ekor, 8 cm sebanyak 4 ekor, dan yang berukuran 9 cm hanya 2 ekor per

hari. Hal ini menunjukkan terjadinya akumulasi logam berat sesuai

dengan semakin besarnya ukuran atau semakin tuanya umur kerang

tersebut.

Page 137: Muara Dadap

118

Berdasarkan hasil uji laboratrium dinas Lingkungan Hidup (LH) di

perairan tersebut pada bulan Mei 2004 lalu yang menyebutkan ada empat

zat berbahaya yang mengotori Pantai Dadap. Keempat zat tersebut adalah

amonia bebas (NH3-N), kadmium (Cd), nitrat (NO3-N) dan timbal (Pb).

Dari hasil uji laboratrium nomor 045/lab-DLH/V/2004 tersebut parameter

kualitas air dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Nilai parameter kualitas air di perairan Dadap hasil uji Kantor MenLH tahun 2004.

NO PARAMETER SATUAN KADAR Maksimum Minimal maksimal BM **)

1 Amonia (NH3+NH4) mg/l 1,8 3,5 < 0,3

2 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,4 1,2 0,008

3 Timah hitam (Pb) mg/l 0,005 0,023 0,093* 0,008

4 Kadmium (Cd) mg/l 0,004 0,010 0,054* 0,001

Sumber: Sinar Harapan (2004a) *) hasil analisis laboratorium (Damar 2004) Catatan: BM = Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya Perikanan menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep.51/MENLH/I/2004.

Berdasarkan data hasil analisis kualitas perairan tersebut sebagaimana

tercantum dalam Tabel 4.7 dan Tabel 4.9 maka tingkat pencemaran yang

terjadi di Pantai Dadap relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan

perairan disekitar Kronjo dan Tanjung Pasir. Khusus untuk kadar timbal

dan kadmium, hasil analisis laboratorium PKSPL IPB menunjukkan nilai

yang lebih tinggi lagi pada saat terjadinya kematian ikan bulan Mei 2004

yang lalu (Damar 2004). Kadar amonia yang terkandung di perairan juga

sudah jauh diatas nilai baku mutu yang diperbolehkan, sehingga dalam

kondisi ini amonia sudah merupakan racun bagi mahluk hidup di sana.

4.3 Kondisi Pemanfaatan Lahan

Sebagai kawasan yang terletak di perbatasan antara Pemkot Jakarta Utara

dan Kabupaten Tangerang, dinamika perencanaan pembangunan di kawasan ini

Page 138: Muara Dadap

119

sangat tinggi. Hal ini dapat diamati dari berbagai berita di media massa, mulai

dari aktivitas perencanaan pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya,

Pelabuhan Peti Kemas atau Kapal Barang, dan kawasan Wisata Mutiara Dadap.

Dinamika perencanaan yang tinggi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya Orde

Otonomi Daerah yang telah terjadi dan melahirkan konsep desentralisasi sistem

pemerintahan.

Berdasarkan perjanjian kerjasama antara BPP Teknologi dan Perum

Angkasa Pura II yang tertuang dalam surat No SWT 07/HK.90/APH-1993 dan

No. 345/DB- PKA/BPPT/XII/93, BBP Teknologi telah menyewa sebidang tanah

seluas 6,5 hektar di pantai Muara Dadap, Desa Dadap, Kecamatan Kosambi

Kabupaten Tangerang. Tanah tersebut diperuntukkan sebagai Dermaga Sandar

Kapal Riset BPPT Baruna Jaya, yang awalnya berupa tanah kosong dan tidak

berpenduduk. Menurut berita Media Indonesia, sejak tahun anggaran 1994/95,

BPPT sudah mengaspal dan mengembangkan site plan dan pemagaran di lokasi

tanah kosong tadi. Atas dasar itu, BPPT meminta agar pihak yang

berkepentingan di kawasan itu mengetahui bahwa pembangunan dermaga sandar

Armada Kapal Riset BPPT Baruna Jaya akan dilaksanakan pada tanah kosong

yang sudah dipagar sejak 1994 (IN/EKON: MI - N-250 Kejar Sertifikasi,

[email protected], Rabu 29 Mei 1996 - 17:15:00).

Tahun 1996, BPPT menjadi Panitia Indonesia Air Show (IAS) yang

sempat menimbulkan issu akan menggusur tanah rakyat di Desa Gili-Dadap,

Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari 800 KK nelayan

(Republika Online 1996). Issu ini ternyata tidak benar karena pelaksanaan

pergelaran dirgantara IAS ’96 itu terletak di lokasi pelabuhan udara Soekarno-

Hatta pada kuadran II (sebelah terminal II-internasional).

Konflik pemanfaatan ruang di kawasan Dadap terus berlanjut dengan

dilakukannya reklamasi (pengurukan) kawasan pesisir dimana awalnya

Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya akan dibangun. Menurut juru bicara

pengembang (Tubagus Dudy Chumaidi) yang dikutip media massa menyebutkan

bahwa kawasan Dadap dipilih karena wilayah itu berpotensi untuk dikembangkan

sebagai kawasan wisata terpadu (Suara Pembaharuan Daily 2004).

Page 139: Muara Dadap

120

Dari berbagai berita di media massa dapat disimak bahwa proses

reklamasi yang sedang dilakukan ternyata menuai berbagai protes dari beberapa

kelompok masyarakat dan LSM {antara lain Banten Environmental Watch

(BEW), dan (PIELS)}, yang akhirnya direspon oleh anggota DPR dan DPRD

setempat. Polemik terus berlanjut dan menyangkut Pemda DKI Jakarta yang

tampaknya juga mempunyai kepentingan dengan kegiatan pembangunan. Salah

satu berita yang dimuat berbunyi “Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang

tidak akan pernah dapat melakukan penutupan lokasi reklamasi Pantai Dadap,

Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, yang kini dilakukan. Pasalnya, lembaga ini

diduga telah menerima retribusi pengurukan pantai yang jumlahnya mencapai

ratusan juta rupiah. Menurut sumber di Tangerang, dugaaan telah dibayarkan

retribusi pengurukan pantai oleh para pengembang reklamasi Pantai Dadap

tersebut tertuang jelas dengan adanya Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi dengan

nomor 655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang

ditandatangani oleh Bupati Tangerang yang kala itu masih dijabat oleh Agus

Djunara. Dengan keluarnya fatwa Bupati tersebut secara otomatis si pengembang

berani untuk melakukan reklamasi Pantai Dadap karena sudah ada lampu hijau.

Apalagi pada saat yang bersamaan Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga

mengeluarkan surat penetapan retribusi fatwa rencana pengarahan lokasi

bernomor 974/330-DTRB/IX/2001 yang ditandatangani Kepala Dinas Tata

Ruang dan Bangunan, Nanang Komara yang kini menjabat Sekretaris Daerah

Kabupaten Tangerang (Sinar Harapan 2004b).

Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan

Pemda Tangerang Didin Samsudin menyatakan, kawasan pantai yang akan

direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana Umum Tata

Ruang (RUTR). Dalam perubahan tata ruang tersebut pemerintah berencana

menjadikan pesisir pantai utara sebagai kawasan wisata terpadu (SUARA

PEMBARUAN DAILY 2004b). Perubahan RUTR tersebut tertuang dalam

Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, yang

merupakan implementasi Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang

Perubahan Tata Ruang Nasional. Berdasarkan peraturan itu, sekitar 20 km dari

Page 140: Muara Dadap

121

50 km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi

hingga pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas

pantai yang akan direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu sepanjang 10

km garis pantai dari laut dan satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektare.

Kemelut pemanfaatan lahan yang terjadi di Desa Dadap tidak seluruhnya

dimengerti oleh penduduk desa, yang terkena dampak hanyalah sebagian kecil

penduduk yang memang tinggal disekitar kawasan pengembangan. Menurut

informasi berbagai harian ibukota, warga Desa Dadap, Kosambi, Kabupaten

Tangerang, belum mengatahui ada proyek pengurukan laut besar-besaran di

Pantai Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas reklamasi kawasan

untuk wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga, proyek reklamasi

silakan saja, asal warga disediakan infrastruktur seperti tempat pelelangan ikan,

pengurukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak peduli. Yang penting

bagi kami para nelayan bisa tetap melaut” (Tempo Interaktif 2005b).

Berbagai kepentingan ternyata banyak yang bermain dalam masalah

proyek tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Desa Dadap Dames Taufik

yang mengklaim bahwa tidak ada masalah dengan warganya terhadap reklamasi

pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan dan penolakan

warga yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap (SUARA

PEMBARUAN DAILY 2004a)..

Kasus pemanfaatan lahan yang juga mencuat di kawasan Dadap-Kamal

Muara adalah untuk pembangunan kawasan pergudangan. Mantan para pemilik

tanah merasa bahwa dulu mereka terbujuk menjual lahannya kepada para investor

untuk dibuat gudang, dengan harapan bahwa kelak ia dan anak-anaknya dapat

ikut bekerja di kawasan pergudangan itu. Namun demikian kenyataannya

pemilik gudang lebih memilih tenaga kerja dari luar Dadap yang dinilai lebih

mempunyai kompetensi daripada tenaga kerja setempat (Tempo interaktif 2005c).

Saat ini, ratusan gudang kini sudah berdiri memenuhi 40 % lahan di desa seluas

401 hektar itu. Sisa lahan masih akan terus berkurang karena sampai saat ini

pembangunan gudang baru masih terus berlangsung.

Page 141: Muara Dadap

122

Dalam rangka mewujudkan pembangunan Kota Air Kamal Muara, Pemda

DKI melakukan reklamasi pantai di daerah Kamal Muara. Aktivitas reklamasi

yang telah dilakukan pengembang di wilayah DKI Jakarta akan menciptakan

sebuah daerah baru seluas 2.700 hektar. Secara legal, Keputusan Presiden No 52

Tahun 1995 menetapkan, kawasan Pantai Utara Jakarta itu akan direklamasi.

Reklamasi meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai

utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sampai garis yang menghubungkan

titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter. Itu artinya,

garis pantai akan maju sekitar 1,5 kilometer ke utara. (Kompas Online 1997).

4.4 Kondisi Perikanan

Kondisi perikanan di kawasan Dadap – Kamal Muara secara geografis

relatif sama, yaitu berada di pesisir dengan kondisi perairan pantai yang sama.

Meskipun demikian, secara fisik kondisi pelabuhan perikanannya cukup berbeda

jauh dan terbagi secara jelas diantara yang ada di wilayah Pemkot Jakarta Utara

dengan yang ada di Kabupaten Tangerang.

4.4.1 Keragaan perikanan Kota Jakarta Utara

Sebagai bagian dari program pengembangan perikanan di kawasan

Jakarta Utara, pemerintah setempat telah membangun berbagai prasara dan sarana

pendaratan ikan. Seluruh aktivitas kapal perikanan yang ada di wilayah Jakarta

Utara dilayani oleh beberapa pelabuhan perikanan yang tersebar disepanjang

pantai utara, mulai dari TPI Kamal Muara di sebelah barat sampai ke TPI

Cilincing di sebelah timur. Kapasitas setiap pelabuhan tidak sama, tergantung

pada program pemerintah daerah tentang lokasi pusat kegiatan perikanan yang

akan dikembangkan. Sesuai dengan kapasitas yang direncanakan, maka fasilitas

yang dimiliki setiap pelabuhan juga disesuaikan; meskipun pada kenyataan ada

beberapa pelabuhan yang selalu tidak dapat mengejar kecukupan fasilitasnya jika

dibandingkan dengan beban yang harus ditanggungnya. Klasifikasi semua TPI di

Wilayah Kota Jakarta Utara dicantumkan dalam Tabel 4.10.

Page 142: Muara Dadap

123

Tabel 4.10 Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Wilayah Kota Jakarta Utara

No. TEMPAT PENDARATAN IKAN

(TPI)

KOORDINATOR ADMINISTRATIF

DAN OPERASIONAL

KAPASITAS TAMBAT LABUH

FASILITAS LOKASI

(1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Muara Baru UPT Pengelolaan

Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan

Darmaga Barat: 40 s/d 80 kapal ukuran > 30 GT

Darmaga Timur: 80 kapal (ukuran: > 80 GT)

Penataan Gelombang Barat 760 m2, timur 290 m2

Kolam pelabuhan seluas 10 ha Kawasan Industri dan Perkantoran Dermaga lebar 6 m panjang 475 m dan

kedalaman 4,5 m

Kelurahan Penjaringan Kecamatan Penjaringan

2. Muara Angke UPT Pengelolaan Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan

500 kapal dengan ukuran 10 s/d 80 GT

Tempat Pelelangan dan Kantor: 1.420 m2 Kolam pelabuhan: 63.993 m2 Dermaga beton 176 m2 Tanggul pemecah gelombang: 2.250 m2 Tempat pengepakan ikan: 33 unit Tempat pengecer Ikan:341 m2 Kios/gudang/kantor: 40 unit Gudang alat-alat perikanan: 5 unit Pos penjagaan: 1 unit Kios ikan bakar: 24 unit Gedung workshop: 1 unit Waserda TA: 1 unit

Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan

Page 143: Muara Dadap

124

Lanjutan Tabel 4.10 (1) (2) (3) (4) (5) (6) 3. Kamal Muara Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor

tempel (ukuran: dibawah 10 GT)

Kantor pelelangan ikan:75 m2 Gedung pelelangan ikan (TPI): 200 m2

(jumlah lapak 40 unit diisi oleh 40 pedagang)

Gedung pengecer ikan: 75 m2 Dermaga kayu sepanjang 50 m2 Kolam pelabuhan: 30 m2

Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan

4. Kali Baru Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor tempel (ukuran: dibawah 10 GT)

Luas lahan: 2.084 m2 Kantor: 40 m2 Gedung Pelelangan: 200 m2 (jumlah

lapak 82 unit diisi oleh 31 pedagang) Tempat Penjualan Ikan: 1.400 m2 Dermaga: 35 m2

Kelurahan Kali Baru Kecamatan Cilincing

5. Cilincing Walikota Jakarta Utara 10 s/d 15 motor tempel (ukuran: dibawah 10 GT)

Luas lahan: 1.100 m2 Gedung Pelelangan+kantor: 500 m2 Dermaga: 200 m2

Kelurahan Cilincing Kecamatan Cilincing

Sumber: SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 4.022/1999 Keterangan: penyelenggara Pelelangan Ikan di:

TPI Muara Baru : Koperasi Mina Baruna dan Koperasi Muara Makmur TPI Muara Angke : Koperasi Mina Jaya TPI Kamal Muara : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara TPI Kali Baru : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara TPI Cilincing : Sudin Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara

Page 144: Muara Dadap

125

Dari Tabel 4.10 tampak bahwa terdapat tiga TPI di Kecamatan

Penjaringan (masing-masing satu TPI di Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan

Pluit, dan Kelurahan Penjaringan) dan dua lainnya di Kecamatan Cilincing. Jika

diukur lewat laut, jarak antara TPI Kamal Muara dengan TPI Muara Angke

sekitar 6 km (lewat darat jaraknya dua kali lipat sekitar 12 km), TPI Muara

Angke ke TPI Muara Baru sekitar 3,6 km, TPI Muara Baru ke TPI Kali Baru

sekitar 13 km, dan TPI Kali Baru ke TPI Cilincing sekitar 2,4 km

Jarak antara TPI Dadap dengan TPI Kamal Muara sekitar 700 m jika

ditempuh lewat laut dan sekitar 4 km jika ditempuh lewat darat. Jarak yang

begitu dekat jika dilihat dari laut telah menyebabkan kurang efisiennya

penggunaan TPI tersebut dan terjadinya pemborosan fasilitas (prasarana dan

sarana pelabuhan)..

Pada saat ini, meskipun telah dilakukan klasifikasi kapasitas tambat labuh

dari setiap TPI yang ada di kawasan Jakarta Utara, tetapi tetap saja telah terjadi

antrian yang cukup signifikan. Di PPSJ Muara Baru, pada saat musim ikan,

antrian bongkar muat palka ikan dapat mencapai 10 jam, sedangkan di PPI Muara

Angke lama waktu antrian mencapai 7 jam. Kasus terjadinya antrian ini antara

lain disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

(1) jumlah kapal ikan yang berlabuh melebihi kapasitas tambat, sehingga

beberapa kapal harus menunggu di luar kolam pelabuhan;

(2) proses bongkar hasil tangkapan yang memerlukan waktu lebih lama untuk

kapal ikan yang membawa hasil tangkapan lebih banyak (tidak ada

keseragaman);

(3) proses muat perbekalan juga memerlukan waktu yang berbeda-beda

sesuai dengan ukuran kapal dan lama waktu penangkapan ikan di laut;

(4) kecepatan proses lelang sangat tergantung pada kelancaran proses

bongkar muat, keberadaan para pembeli, dan kondisi pasar ikan

(konsumen).

Besarnya minat pemilik kapal ikan atau nakhodanya untuk mendaratkan

hasil tangkapannya di TPI Muara Angke dan Muara Baru antara lain disebabkan

oleh fasilitas bongkar muat dan harga jual ikan yang diperolehnya. Sehingga

Page 145: Muara Dadap

126

kapal yang berlabuh tidak hanya yang ber-KTP Jakarta tetapi juga dari daerah-

daerah lainnya. Kebijakan menerima kapal dari luar daerah ini secara ekonomi

memang dapat menambah nilai retribusi dan meningkatkan volume aktivitas

ekonomi di sekitar TPI tersebut, tetapi jika berlebihan akan juga menjadi tidak

efisien karena waktu (dan otomatis kesempatan untuk berusaha) menjadi hilang.

Limpahan antrian kapal ikan yang berlabuh di TPI Muara Angke dan TPI

Muara Baru tersebut tidak secara otomatis dapat ditampung oleh TPI-TPI

disebelahnya (baik di barat maupun di timurnya). Hal ini disebabkan oleh

fasilitas yang tersedia belum memadai. Dengan demikian, untuk menyelesaikan

masalah tersebut antara lain adalah:

(1) membangun dan atau melengkapi fasilitas bongkar muat untuk kapal ikan

dan sarana transportasi darat yang terlibat dalam sistem TPI tersebut;

(2) membangun dan atau meningkatkan kapasitas dan kualitas prasarana dari

TPI ke lokasi pasar, baik untuk pemasaran ikan maupun untuk pembelian

perbekalan lainnya;

(3) melakukan pengelolaan terpadu diantara penaggungjawab operasional

TPI-TPI tersebut sehingga setiap akan timbul masalah di setiap TPI

tersebut dapat langsung diantisipasi sebelumnya;

(4) menerapkan penegakkan hukum secara tegas, adil, dan transparan.

Kebutuhan ikan konsumsi di Provinsi DKI Jakarta dengan asumsi jumlah

penduduk sekitar 9,5 juta jiwa, dan besarnya tingkat konsumsi sebanyak 22,3

kg/kapita/tahun adalah sebesar 580 ton per hari (Disnakkanlut 2005). Jumlah

kebutuhan tersebut dipenuhi oleh ikan lokal dan dari luar daerah, dengan proporsi

masing-masing dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11. Distribusi ikan konsumsi di DKI Jakarta tahun 2005.

No. ASAL IKAN JUMLAH PERSENTASE 1 Ikan laut segar lokal 188,26 ton 32,46 % 2 Ikan laut segar luar daerah 159,74 ton 27,54 % 3 Ikan tawar 116 ton 20 % 4 Ikan asin/olahan 58 ton 10 % 5 Ikan kaleng 58 ton 10 % Sumber: data diolah dari Disnakkanlut (2005)

Page 146: Muara Dadap

127

Asal ikan laut segar yang didatangkan ke Jakarta berasal dari daerah

perikanan (fishing ground) di sekitarnya. Menurut Disnakkanlut (2005), daerah

perikanan tersebut adalah perairan-perairan Bangka Belitung, Sumatera, Selat

Karimata, Laut Jawa, Kalimantan Barat, Kepulauan Natuna, Teluk Jakarta dan

Karawang, serta Karimun Jawa.

Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara dari tahun 1992 sampai

2001 dicantumkan dalam Tabel 4.12.

Tabel 4.12. Data jumlah kapal ikan di Kota Jakarta Utara tahun 1992-2003

Sumber: Disnakkanlut (2002) dan *) Disnakkanlut (2004)

Dari Tabel 4.12 tampak bahwa perubahan jumlah kapal tampak nyata dari

tahun 1998-1999, terjadi kenaikan mencolok untuk jenis perahu layar (hampir

400 %) sedangkan untuk kapal dengan motor tempel mencapai 200 %. Untuk

jenis kapal motor, kondisi sebaliknya terjadi dimana pada periode yang sama

telah terjadi penurunan jumlah dari 2.108 menjadi 2.639 unit. Kemungkinan

perubahan ini dipicu oleh terjadinya perubahan nilai mata uang rupiah terhadap

nilai US$ yang menyebabkan terjadinya gejolak ekonomi dan sosial.

Jenis/tahun 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02*) 03*)

Perahu layar 230 230 354 350 219 195 309 1210 852 450 142 111

- Kecil 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

- Sedang 174 167 231 221 90 90 143 560 394 208

- Besar 56 63 123 129 129 105 166 650 458 242

Motor Tempel 998 879 989 1.640 1.650 1.215 659 1.325 791 791 526 567

Kapal Motor 1.338 1.542 1.686 1.730 1.745 2.121 2.108 1.639 2.095 2.724 2.123 2.246

-0-5 GT 263 238 278 278 277 833 839 246 466 523 85 97

- 5-10 GT 210 226 223 203 203 375 366 413 585 602 510 538

- 10-20 GT 181 122 284 317 315 189 182 400 544 544 501 538

- 20-30 GT 125 231 124 131 139 201 170 292 253 363 344 376

- >50 GT 490 655 707 731 741 453 477 249 214 647 683 697

Total kapal 2.566 2.651 3.029 3.720 3.614 3.531 3.076 4.174 3.738 3.965 5.357 2.924

Page 147: Muara Dadap

128

Sumberdaya ikan yang dihasilkan oleh Kota Jakarta Utara tidak hanya

berasal dari kegiatan penangkapan ikan di laut, tetapi juga berasal dari aktivitas

budidaya (baik budidaya ikan maupun jenis kerang-kerangan). Data potensi

budidaya perikanan darat dan potensi budidaya kerang hijau di wilayah Jakarta

Utara dicantumkan dalam Tabel 4.13 dan Tabel 4.14.

Dari Tabel 4.13 tampak bahwa perikanan budidaya air tawar di wilayah

Jakarta Utara didominasi oleh tambak di Kecamatan Penjaringan dan Cilincing

serta perikanan di perairan umum yaitu di danau dan situ; kolam hanya seluas 2,7

ha. Jumlah petani ikan sebanyak 168 orang petani tambak dan 65 orang petani

ikan di danau. Jumlah petani ikan ini meningkat hampir mencapai 400 %. Luas

lahan budidaya bertambah dari 193 ha tahun 2002 menjadi 250,7 ha, dengan

tingkat produksi total 170,78 ton.

Aktivitas budidaya ikan jenis lain yang juga menguntungkan adalah

budidaya ikan hias. Meskipun jumlah petani ikan hias hanya 7 orang, tetapi

jumlah produksi tahun 2003 mencapai 89.025 ekor. Jumlah ini jauh menurun

jika dibandingkan produksi tahun sebelumnya yang mencapai 632.615 ekor. Hal

ini kemungkinan disebabkan oleh semakin ketatnya isu lingkungan terhadap ikan

hias yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan.

Aktivitas budidaya laut yang sangat dominan adalah budidaya kerang

hijau. Sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.14, budidaya kerang hijau paling

banyak dilakukan oleh 404 orang nelayan Kamal Muara, yang mengelola 530

rakit dengan luas areal 102.817 m2. Nelayan Cilincing juga mengembangkan

kegiatan yang sama dengan jumlah petani 210 orang dan jumlah rakit 241 serta

mencakup luasan 4.452 m2. Meskipun jumlah unit budidaya kerang hijau di

Kamal Muara lebih banyak dua kali lipat, tetapi jumlah tenaga kerja yang dapat

diserap oleh aktivitas budidaya ini ternyata lebih banyak di Cilincing (1.213

orang) daripada di Kamal Muara (678 orang).

Page 148: Muara Dadap

129

Tabel 4.13. Potensi budidaya perikanan darat di Jakarta Utara tahun 2003.

No. Kecamatan Potensi Budidaya Danau Ikan Konsumsi Ikan Hias Luas

(ha) Petani (orang)

Produksi (kg)

Kolam (m2)

Petani (orang)

Produksi (kg)

Petani (orang)

Produksi (ekor)

Bak/AQ (unit)

1. Penjaringan 27.000 11 6.000 7 15.000 60 Tambak 75 40 11.000 Situ Teluk Gong 2 - - Situ Penjaringan 25 - - Situ PIK 7 - - Situ Mega Mall Pluit 1 - -

2. Cilincing 4.000 61 3.700 1 4.000 150 Tambak 81,7 128 140.380

3. Tanjung Priok 2.000 63 8.300 30 42.000 128 D. Papanggo 25 60 5.000 D. Sunter Podomoro 30 5 -

4. Kelapa Gading 1.500 49 2.500 9 22.000 60 D. Kodamar 2 - -

5. Pademangan 5.500 13 2.300 2 4.000 28 Situ Pademangan 1 13 14.400

6. Koja 3.000 25 3.000 4 2.025 13 Situ Rawa Badak 1 - -

Jumlah 250,7 246 170.780 43.000 222 25.800 53 89.025 439 2002 193 62 - 40.413 136 19.810 84 632.615 303 2001 193 62 - 40.413 136 18.611 84 626.050 302

Sumber: BPS (2004)

Page 149: Muara Dadap

130

Tabel 4.14. Potensi budidaya kerang hijau di Jakarta Utara tahun 2003

No. Lokasi budidaya Bagan tancap Jumlah petani Penyerapan tenaga kerja

Produksi (ton)

Rakit Luas (m2)

1. Kelurahan Kamal Muara 530 102.817 404 678 74.160

2. Kelurahan Cilincing 241 4.452 210 1.213 51.500

Jumlah 771 107.269 614 1.891 125.660

2002 735 102.161 603 1.855 122.000

2001 735 102.161 603 1.855 122.000 Sumber: BPS (2004)

Page 150: Muara Dadap

131

Untuk mencukupi kebutuhan ikan konsumsi tersebut, Pemerintah DKI

Jakarta, khususnya Pemkot Jakarta Utara telah menetapkan berbagai kebijakan

pembangunan perikanan, sebagaimana tercantum dalam Perda 3 Tahun 2001,

tugas pokok Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta

adalah “menyelenggarakan penyusunan, perencanaan, perumusan kebijakan,

pelaksanaan dan pengendalian di bidang peternakan, perikanan dan kelautan”.

Adapun visinya adalah mewujudkan masyarakat sejahtera melalui pengelolaan

sumberdaya peternakan, perikanan dan kelautan yang berwawasan lingkungan

secara berkelanjutan; sehingga misi yang diembannya meliputi:

(1) Mencukupi kebutuhan pangan hewani bagi warga DKI Jakarta;

(2) Melindungi masyarakat dari bahaya penyakit yang

ditimbulkan/bersumber dari hewan/ternak,

(3) Meningkatkan derajat warga ibukota melalui peningkatan kesehatan;

(4) Memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

(5) Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang produktif;

(6) Mengembangkan kelembagaan dan peraturan perundangan;

(7) Pengendalian/pengawasan eksploitasi dan eksplorasi serta penataan

pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan;

(8) Konservasi, rehabilitasi, pelestarian dan perlindungan sumberdaya

perikanan dan kelautan.

Untuk mencapai misi yang diembannya tersebut, Dinas Peternakan,

Perikanan, dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta telah menyusun kebijakan

strategik, sebagaimana tercantum di bawah ini:

(1) Mewujudkan kegiatan peternakan, perikanan dan kelutan sebagai salah

satu motor penggerak usaha skala kecil masyarakat yang dapat menyerap

banyak tenaga kerja;

(2) Menggugah kesadaran masyarakat untuk melindungi dan merehabilitasi

ekosistem perairan laut, sungai dan situ agar dapat dimanfaatkan untuk

kegiatan usaha budidaya ikan;

Page 151: Muara Dadap

132

(3) Mendorong penganekaragaman pengolahan hasil peternakan, perikanan

dan kelautan yang laku di pasar modern (supermarket) dan ekspor;

(4) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan, perikanan dan

kelautan untuk usaha, pengolahan dan pemasaran;

(5) Menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi berkembangnya usaha

peternakan, perikanan dan kelautan, antara lain: jaminan keamanan,

kepastian usaha ekspor;

(6) Meningkatkan pengawasan, pengendalian dan merehabilitasi ekosistem

habitat pesisir dan laut.

Dari kebijakan-kebijakan strategik tersebut ditetapkan tujuan

pembangunan peternakan, perikanan dan kelautan di Provinsi DKI Jakarta, yaitu:

sebagai bagian dari Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Utara menetapkan

program pengembangan perikanannya terpusat di TPI Muara Angke.

(1) TPI Muara Angke

Muara Angke adalah tempat pendaratan ikan kedua paling besar di

wilayah Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara, setelah Muara Baru.

Muara Angke ternyata tidak hanya diperuntukan bagi kapal yang berbasis

di Jakarta, tetapi juga banyak kapal yang berasal dari luar daerah yang

mendaratkan hasil tangkapannya di sini. Untuk jenis ikan yang ditangkap

dari wilayah penangkapan di perairan Laut Jawa dan sekitarnya oleh kapal

yang berlabuh di Muara Angke disebut ikan lokal, sedangkan ikan yang

ditangkap di luar kawasan tersebut oleh kapal yang tidak berbasis di

pelabuhan Muara Angke disebut ikan luar daerah dan kapalnya disebut

kapal andon. Besarnya jumlah ikan yang didaratkan di TPI Muara Angke

dapat dilihat pada Tabel 4.15. Dari Tabel 4.15 tampak bahwa jumlah ikan

lokal yang didaratkan di TPI Muara Angke tahun 2001 mencapai 7.725

ton, dan terus meningkat tahun 2002 menjadi 8.472 ton, tahun 2003 turun

sedikit menjadi 8.163 ton, dan tahun 2004 mencapai jumlah 8.109 ton.

Page 152: Muara Dadap

133

Sementara itu, jumlah ikan luar daerah yang didaratkan di TPI Muara

Angke paling banyak terjadi tahun 2003 sebesar 4.047 ton.

Tabel 4.15. Data produksi ikan lokal dan ikan luar daerah dari masing-masing PPI yang ada di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2001-2004

No. JENIS PRODUKSI JUMLAH PRODUKSI (kg)/TAHUN 2001 2002 2003 2004 I Tempat Pelelangan Ikan A Ikan lokal TPI Muara

Angke 7.724.796 8.472.920 8.162.744 8.109.187

B Ikan tuna TPI Muara Baru 4.857.485 3.183.343 2.702.357 2.666.077 C Ikan tradisional TPI Muara

Baru 5.422.511 5.456.493 5.786.243 5.245.488

II Ikan Olahan Sunda Kelapa 279.464

III Ikan Luar Daerah A Ikan daerah Muara Angke 3.358.074 3.135.787 4.047.280 3.670.598 B Ikan daerah Muara Baru 25.828.263 18.866.183 2.321.882 2.132.634 C Ikan daerah Pasar Ikan 1.083.562 1.024.724 763.725 743.490 D Ikan daerah Kamal Muara 548.060 539.500 529.550 577.370 E Ikan daerah Kali Baru 326.715 F Ikan daerah Cilincing 422.690

IV Data ekspor jenis produk TPI Muara Baru

17.313.077 16.575.504 16.967.343 29.007.368

Jumlah Total 66.135.828 57.254.454 41.281.124 53.181.081 Sumber: Disnakkanlut (2005)

Untuk TPI Muara Baru terdapat data yang paling menarik, yaitu terjadi

penurunan jumlah ikan tuna dari tahun ke tahun, yakni 4.857 ton, 3.183

ton, 2.702 ton, dan 2.666 ton dari tahun 2001 sampai 2004. Sementara

itu, data ikan lain (ikan tradisional selain tuna) menunjukkan jumlah yang

relatif stabil pada 5000-an ton. Data lain yang juga menarik dari TPI

Muara Baru adalah menurunnya jumlah ikan luar daerah yang didaratkan

di sini, yaitu dari jumlah fantastis mencapai 25.828 ton tahun 2001, turun

menjadi 18.866 ton setahun kemudian, lalu turun drastis pada angka 2.322

ton dan 2.133 ton tahun 2003 dan 2004. Jika disandingkan dengan angka

data ekspor produk perikanan yang sangat melonjak dari tahun 2003

sebesar 16.967 ton menjadi 29.007 ton tahun 2004, maka terjadinya

Page 153: Muara Dadap

134

penurunan jumlah ikan daerah yang datang ke TPI Muara Baru tersebut

kemungkinan disebabkan oleh dilakukannya penanganan sebelum ekspor

di daerah-daerah sehingga produk tersebut hanya tercatat sebagai barang

ekspor di PPS Muara Baru.

Ditinjau dari nilai retribusi yang diperoleh dari aktivitas penjualan

ikan tersebut, TPI Muara Angke memperoleh jumlah yang jauh lebih

besar jika dibandingkan dengan TPI lainnya di DKI Jakarta. Data

selengkapnya dicantumkan dalam Tabel 4.16.

Tabel 4.16. Rekapitulasi retribusi pemakaian tempat pelelangan ikan lokal dan ikan luar daerah dari masing-masing PPI yang ada di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2001-2004

No JENIS PRODUKSI RETRIBUSI/TAHUN (x Rp 1.000) 2001 2002 2003 2004 I Tempat Pelelangan Ikan A Ikan lokal TPI Muara

Angke 1.235,7 1.550,3 1.615.307 1.659.646

B Ikan tuna TPI Muara Baru

- 396.830 325.758 394.086

C Ikan tradisional TPI Muara Baru

223.351 291.212 309.277 280.957

II Ikan Olahan

Sunda Kelapa 1.584

III Ikan Luar Daerah A Ikan daerah Muara

Angke 106.104 99.125 98.145 83.290

B Ikan daerah Muara Baru

- 20.527 63.654 63.007

C Ikan daerah Pasar Ikan 1.084 1.025 764 743 D Ikan daerah Kamal

Muara 548 540 530 577

E Ikan daerah Kali Baru 327 F Ikan daerah Cilincing 423

IV Data ekspor jenis produk TPI Muara Baru

17.313 16.576 16.967 29.007

Jumlah Total 1.610.311 2.398.934 2.447.814 2.547.587 Sumber: Disnakkanlut (2005)

Page 154: Muara Dadap

135

Dari Tabel 4.16 tampak bahwa nilai retribusi yang diperoleh TPI Muara

Angke adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan yang diperoleh

dari TPI lainnya, dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001,

nilai retribusi ini mencapai 1,2 milyar rupiah lebih (sekitar 76,74 % dari

total retribusi perikanan), dan secara lambat meningkat menjadi 1,66

milyar rupiah tahun 2004 (sekitar 65,15 %). Turunnya persentase nilai

retribusi tersebut tahun 2004 karena terjadinya peningkatan nilai retribusi

ikan ekspor dari TPI Muara Baru.

Frekwensi pendaratan kapal di TPI Muara Angke semakin hari semakin

tinggi. Menurut informasi lisan dari Kepala UPT Muara Angke, saat ini

(27 Desember 2005) terdapat 815 unit kapal yang berlabuh di kolam

pelabuhan TPI Muara Angke, padahal kapasitas tampungnya hanya 500

kapal. Rekapitulasi data frekwensi tambat labuh kapal yang masuk di PPI

Muara Angke Jakarta Utara tahun 2002-2004 dicantumkan dalam Tabel

4.17, sedangkan data frekwensi tambat labuh selama tahun 2005

dicantumkan dalam Tabel 4.18.

Tabel 4.17 dan Tabel 4.18 menunjukkan bahwa antara tahun 2002-2004

terjadi sedikit perubahan jumlah kapal yang berlabuh di TPI Muara

Angke, yaitu dari 4.859, 4.842, dan 4.934. Sebagian besar dari kapal

yang mendarat berukuran kurang dari 30 GT dan jenis kapal angkut (ojek)

yang melayani transportasi dari Jakarta ke Kepulauan Seribu. Kelompok

kapal penangkap ikan yang paling banyak ternyata adalah kapal dengan

alat tangkap purse seine dan gill net.

Selama bulan Januari sampai dengan bulan Oktober 2005, sebagaimana

tampak pada Tabel 4.17, dari jumlah kapal yang mendarat dan berukuran

lebih besar cenderung mengalami kenaikan, dari 63 sampai lebih dari 100

unit. Untuk kapal ikan yang berlabuh di TPI Muara Angke, yang

menggunakan jenis alat tangkap bouke ami dan jaring cumi juga

mengalami peningkatan.

Page 155: Muara Dadap

136

Tabel 4.17. Rekapitulasi data frekwensi tambat labuh kapal yang masuk di PPI Muara Angke Jakarta Utara tahun 2002-2004 TAHUN JML

KAPAL GT ALAT TANGKAP PENGGUNAAN

ES BALOK SPI YG MATI

SPI LD

< 30 >30 AK BA BB GN JC FN JT LP MA PS PC 2002 4.859 3.830 1.029 1.597 350 - 722 107 255 122 101 - 683 - 934.380 610 175 234 2003 4.842 4.069 773 1.761 622 614 516 288 16 196 91 - 831 - 836.612 579 175 - 2004 4.934 3.884 1.027 1.407 803 560 485 553 3 103 23 5 982 6 847.293 109 34 8 Sumber: Disnakkanlut (2005) Catatan:AK = kapal angkutan; BA = bouke ami (liftnet cumi); BB = bubu; GN = gill net; JC = jaring cantrang; FN = fish net; JT = jaring tangsi; LP = lampara; MA = muro ami; PS = purse seine; PC = pancing. Tabel 4.18. Rekapitulasi data tambat labuh kapal yang masuk di Pelabuhan Perikanan Muara Angke tahun 2005 no BULAN JML

KAPAL GT ALAT TANGKAP PENGGUNAAN

ES BALOK SPI YG MATI

SPI LD

<30 >30 AK BA BB FN GN JC JM JT JN PG LP LB PC PS MA <30 >30 1 Januari 344 282 62 110 31 36 - 28 32 21 4 - 1 4 1 1 75 - 60.600 24 8 - 2 Pebruari 390 337 53 125 32 38 - 35 34 18 3 - - 6 - - 98 1 65.700 24 8 - 3 Maret 454 372 82 132 68 39 - 30 28 39 4 2 - 9 - 1 101 1 80.550 37 16 1 4 April 442 379 63 134 72 33 - 35 29 41 9 3 - 8 - 1 76 1 81.700 49 11 41 5 Mei 496 101 395 171 83 41 - 38 29 47 3 - - 15 2 - 65 2 91.700 46 23 21 6 Juni 476 369 107 148 88 40 - 43 18 62 3 - - 8 - - 65 1 89.050 49 32 25 7 Juli 491 388 103 142 88 38 - 34 24 49 6 - 12 9 - 1 83 5 89.750 30 62 17 8 Agustus 468 350 118 115 100 31 1 41 30 51 2 - - - 2 - 94 1 89.400 28 18 28 9 September 468 366 102 112 108 45 - 30 29 53 2 - - 1 2 2 84 - 92.645 29 15 39 10 Oktober 480 389 91 103 98 36 - 44 31 75 3 - - 1 1 - 88 - 20.450 52 26 - Jumlah 4.509 3.333 1.176 1.292 768 377 1 358 284 456 39 5 13 61 8 6 829 12 761.545 368 216 174 Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005) Catatan:AK = kapal angkutan; BA = bouke ami (lift net cumi); BB = bubu; FN = fish net; GN = gill net; JC = jaring cantrang; JM = jaring cumi; JT = jaring tangsi; JN = jaring nilon; PG = payang; LP = lampara;LB = lion bung (gillnet cucut) ; PC = pancing; PS = purse seine; MA = muro ami

Page 156: Muara Dadap

137

Penggunaan es balok untuk kegiatan perikanan mengalami peningkatan

antara bulan Januari sampai September, dari 60 ribu balok menjadi 90

ribu lebih. Tetapi pada bulan Oktober mengalami penurunan drastis

sampai pada jumlah 20.450 balok saja. Terjadinya hal ini dipastikan

karena kenaikan bahan bakar minyak, sehingga biaya operasional

penangkapan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hasil tangkap

yang diperoleh. Perubahan besarnya biaya operasional kapal penangkap

ikan sebelum dan setelah kenaikan harga BBM dicantumkan dalam Tabel

4.19 dan Tabel 4.20. Sebagai akibat dari kenaikan harga BBM tersebut,

maka sekitar 50,6 % dari kapal ikan yang berlabuh di Muara Angke tidak

dapat beroperasi, karena besarnya biaya operasional sudah melebihi

perkiraan hasil tangkapan.

Besarnya overload dari TPI Muara Angke ini disebabkan oleh beberapa

faktor, antara lain:

(1) Lengkapnya fasilitas bongkar muat pelabuhan;

(2) Proses pelayanan administrasi bongkar muat berlangsung sangat

singkat (15-20 menit) sedangkan proses sortir dan bongkat muatan

sekitar satu jam.

(3) Mudahnya dilakukan proses pemasaran ikan;

(4) Fasilitas pendukung operasional penangkapan tersedia secara

lengkap.

(5) Semakin besarnya biaya operasional penangkapan sebagai akibat

naiknya BBM.

(6) Rendahnya biaya tambat kapal perhari, sesuai dengan Perda No.

3/1999 (dimana biaya tambat untuk kapal perhari sampai dengan 5

GT = Rp 300, antara 5-10 GT = Rp 1.000, antara 10-20 GT = Rp

2.000, dan > 20 GT = Rp 4.000);

(7) Tidak adanya batasan jangka waktu kapal boleh bersandar di

kolam pelabuhan.

Page 157: Muara Dadap

138

Tabel 4.19. Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 1.600 menjadi Rp 2.150.

No ALAT TANGKAP LAMA TRIP

(hari)

UKURAN KAPAL

(GT)

KEBUTUHAN BBM

(liter)

BIAYA EKSPLOITASI SBLM

NAIK BBM

BIAYA EKSPLOITASI STLH

NAIK BBM

% KENAIKAN

1 Payang 4 6 500-600 1.500.000 1.900.000 27

2 Jaring cumi 15 6 4.000 13.000.000 15.300.000 18

3 Gillnet 20 29 10.000 22.000.000 27.000.000 23

4 Jaring cumi 60 43 20.000 38.000.000 48.000.000 26

5 Jaring tangsi 60 15 5.000 15.250.000 17.500.000 15

6 Purse seine 10 < 30 5.000 14.500.000 17.000.000 17

7 Fish net 30 29 15.000 28.990.000 37.000.000 28

8 Fish net 45 29 20.000 39.360.000 49.500.000 26

9 Purse seine cakalang 7 88 4.000 14.600.000 16.900.000 16

10 Bubu 20 26 3.000 8.790.000 10.550.000 20

11 Angkutan 7 24 1.300 11.185.000 12.780.000 14 Sumber: Disnakkanlut (2005)

Page 158: Muara Dadap

139

Tabel 4.20. Dampak kenaikan BBM terhadap biaya eksploitasi penangkapan ikan di TPI Muara Angke Maret 2005 dari Rp 2.150 menjadi Rp 4.300

No ALAT

TANGKAP LAMA TRIP (hari)

UKURAN KAPAL

(GT)

BIAYA OPERASIONAL BIAYA OPERASIONAL SDH NAIK BBM

(x Rp 000)

HASIL PER TRIP (juta)

BIAYA OPERASIONAL

SBLM NAIK BBM (x Rp 000)

BBM (Lt) Harga (x Rp 1000)

Es (balok) Harga (x Rp 1000)

Oli dll x Rp 1000

Ransum x Rp 1000

Gaji ABK x Rp 1000

Premi nakhoda x Rp 1000

1 Payang 4 6 200 860

20 240

60 350 600 - 2.110 2-2,5 1.670

2 Jaring cumi 20 < 30 7.000 30.100

400 3400

4.000 3.000 4.400 6.000 50.900 20-40 35.000

3 Jaring cumi 20 > 30 9.000 38.700

400 3.400

6.000 3.000 5.200 6.000 62.300 25-50 42.000

4 Bouke ami 50 > 30 23.000 98.900

- 12.000 6.000 13.000 11.250 141.150 50-100

89.050

5 Purse seine cakalang

15 > 30 8.500 36.550

700 5.950

4.675 5.000 18.000 - 70.175 25-40 50.470

6 Purse seine ckl/kembung

10 < 30 4.000 17.200

250 2.125

2.000 4.000 16.000 - 41.325 20-50 31.525

7 Gillnet pari 60 </>30 9.000 38.700

500 4.250

5.000 6.000 13.320 4.500 71.770 25-40 50.470

8 Gillnet tongkol 25 </>30 6.000 25.800

350 2.975

3.500 3.500 10.000 - 45.775 15-30 32.075

9 Bubu 25 < 30 6.000 25.800

300 2.550

3.500 3.000 3.700 - 38.550 20-30 24.850

10 Bubu 40 > 30 8.000 34.400

400 3.400

4.500 5.000 7.400 - 54.700 20-40 31.100

11 Tuna long line 81 < 100 32.400 195.372

- 72.100 7.500 24.440 5.425 304.837 200-230

201.017

12 Perahu harian 1 < 10 150/645 5/60 - 150 480 - 1.335 1-1,5 1.005 Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)

Page 159: Muara Dadap

140

Tidak seimbangnya antara kapasitas tampung kolam pelabuhan dengan

jumlah kapal yang berlabuh, telah menimbulkan berbagai permasalahan,

antara lain:

(1) Kebutuhan bahan perbekalan untuk operasional kapal ikan

meningkat;

(2) Upaya pemeliharaan fasilitas pelabuhan dan TPI menjadi lebih

berat;

(3) Upaya pemeliharaan kebersihan lingkungan harus ditingkatkan;

(4) Memungkinkan terjadinya praktek kolusi dalam proses bongkar

muat, karena setiap kapal yang terdapat dalam antrian

menginginkan ditangani lebih cepat dan lebih dulu;

(5) Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan tingginya persentase

kapal yang tidak dapat beroperasi, sehingga menimbulkan dampak

sosial bagi buruh nelayan dan buruh yang bekerja di pelabuhan.

Rendahnya biaya tambat kapal sesuai dengan Perda No. 3/1999 juga

menjadi penyebab kapal nelayan tersebut untuk tetap berlabuh. Hal ini

akan mengakibatkan terjadinya penumpukkan kapal di kolam pelabuhan,

dan menghalangi kapal yang akan melakukan bongkar muat.

Overload-nya TPI Muara Angke menimbulkan terjadinya pasokan kurang

untuk bahan-bahan kebutuhan operasional kapal ikan, yang terdiri dari es,

air tawar bersih, sarana pengolahan, boks ikan, gudang garam, gudang

dingin untuk menyimpan ikan hasil tangkapan, gudang pembeku,

kontainer, dll. Secara rinci, ketersediaan dan kebutuhan prasarana/sarana

penanganan dan pengolahan hasil perikanan di Muara Angke

dicantumkan dalam Tabel 4.21.

Page 160: Muara Dadap

141

Tabel 4.21. Ketersediaan dan kebutuhan sarana dan prasarana penanganan dan pengolahan hasil perikanan

KETERSEDIAAN KEBUTUHAN

PRASARANA JUMLAH

KAPASITAS

TERPASANG

PRODUKSI PRASARANA JUMLAH

(unit)

KAPASITAS

A Pabrik es 1 unit 6.000 balok 3.000

balok/hari

A Pabrik es 1 7.000-8.000

balok

Pasokan es kop putri salju 2.500-3.000

balok/hari

Pasokan es kop KPNDP 1.200-2.000

balok/hari

B Cool room/chill room 1 unit 150 ton 150 ton B Cool room/chill room 5 750 ton

C Cold storage 1 unit 1.000 ton 400 ton C Cold storage 1 1.000 ton

D Cool box 1.000 unit 100 ton 100 ton D Cool box 2.000 200 ton

E Air bersih 2.122

m3/bln

2.122 m3/bln 2.122 m3/bln E Air bersih 3.395 m3/bln 5.000 m3/bln

F Sentra pengolahan

tradisional (UKM)

1 lokasi 208 unit 30-40 ton F Sentra pengolahan

tradisional (UKM)

250 unit 50 ton

G Sarana/peralatan

pengolahan

7 unit 5 ton 3,5 ton/hari G Sarana/peralatan

pengolahan

7 unit 5 ton

H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari 10,5 ton/hari H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari

I Kontainer 12 unit 288 ton 250 ton I Kontainer 18 unit 432 ton

Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005).

Page 161: Muara Dadap

142

Dari Tabel 4.21 tampak bahwa kekurangan pasokan fasilitas terdiri dari air

bersih, es, ruang pendingin, cold storage, cool box, sentra pengolahan

tradisional, gudang garam, dan kontainer. Beberapa dari fasilitas yang

kurang tersebut dapat dengan mudah dipenuhi (seperti cool box, kontainer,

dll) dengan cara membelinya. Namun demikian, jika dikaitkan dengan

penempatannya maka hal ini menjadi tidak mudah, karena adanya faktor-

faktor pembatas di bagian hulunya, seperti ketersediaan lahan dan

keterbatasan sarana penunjang (antara lain air, listrik, bahan bakar, dll).

Pemenuhan kekurangan fasilitas tersebut pada gilirannya akan

menimbulkan masalah ekonomi dan sosial yang cukup rumit.

(2) TPI Kamal Muara

Globalisasi telah membawa dampak yang cukup besar ke seluruh dunia,

antara lain juga ke Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

Untuk menghadapi era ini, Jakarta mempersiapkan diri untuk menjadi kota

unggulan yang mampu bersaing dengan kota-kota besar lainnya di

kawasan Asia Pasifik. Salah satu kawasan yang mendapat prioritas untuk

dibenahi adalah kawasan Pantura Jakarta, yang direncanakan sebagai

water front city.

Muara Kali Kamal, saat ini berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan

(TPI). Meskipun sudah dilakukan pembenahan, namun kesan

semrawutnya penataan bangunan dan aktivitasnya masih terasa. Pemda

DKI melalui BPR Pantura dan PT Pembangunan Pantura sudah

melaksanakan studi untuk penyusunan Master Plan Penataan DAS Kali

Kamal-Kamal Muara. Tujuan studi tersebut adalah untuk mengkonkritkan

pembangunan DAS Kali Kamal sebagai salah satu jalan untuk

meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan dan juga meningkatkan

produktivitas nelayan melalui pengembangan usaha, sarana dan prasarana

TPI, sarana promosi dan pemasaran hasil-hasil perikanan serta

pembangunan perumahan dan fasilitasnya (BPRP 2001). Tujuan yang

Page 162: Muara Dadap

143

lainnya dari studi ini adalah: 1) terbangunnya salah satu kawasan nelayan

sebagai asset produksi pengembangan terpadu Jakarta Utara; 2)

tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas dan lingkungan yang

memadai; 3) terbangunnya suatu kawasan komersil yang dapat mendukung

adanya perkampungan/pemukiman nelayan yang lengkap dengan

fasilitasnya; dan 4) penambahan sarana rekreasi sebagai asset wisata

Jakarta.

Adapun sasaran studi ini adalah disamping terjadinya peningkatan

pendapatan dan produktivitas nelayan, adalah untuk menciptakan suatu

kawasan komunitas sosial terpadu dengan pengembangan usaha, yaitu

dapat dibangun “fasilitas multi purpose/public facility” berupa fasilitas

yang ada kaitannya dengan aktivitas perikanan dan kegiatan penunjang,

antara lain pendaratan ikan (fishing port), pengawetan dan pengasapan

ikan, kolam pembiakan, pasar pelelangan ikan, serta rumah makan laut

(seafood restaurant).

Dari informasi di atas tampak bahwa program pembangunan yang

direncanakan oleh Pemda DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Utara, belum

memasukan kawasan Dadap sebagai bagian dari unsur yang harus

dipertimbangkan, baik keberadaan nelayannya maupun ketidak-

berfungsian dari TPI Dadap tersebut. Ketidakterpaduan program

pembangunan di wilayah perbatasan seperti ini merupakan salah satu

faktor yang kemungkinan dapat memberi pengaruh negatif terhadap

pengelolaan program-program pembangunan di kemudian hari.

Berbagai rencana pembangunan kawasan Kamal Muara telah dilakukan

oleh Pemkot Jakarta Utara, mulai dengan rencana pembangunan tempat

pendaratan ikan dan restoran tradisional kawasan DAS Kali Kamal sampai

Rencana Pembangunan Kota Air Kamal Muara. Kedua rencana

pembangunan tersebut telah diwujudkan sampai tahap studi kelayakan;

meskipun pembangunan fisiknya belum dimulai.

Page 163: Muara Dadap

144

Isu dan permasalahan yang berkembang berkaitan dengan bidang

perikanan di lokasi penelitian hampir merata juga dialami oleh kawasan

lainnya di pantura. Masalah yang teridentifikasi antara lain: produksi hasil

tangkap, harga ikan, kelembagaan, dan penurunan produktivitas usaha

budidaya. Ketersediaan sarana khusus perikanan memang masih belum

lengkap seperti: pabrik es dan Depot BBM, tetapi karena lokasinya sangat

dekat dengan sumber prasarana yang diperlukan tersebut maka masalah ini

dapat cepat diatasi.

Kondisi perikanan di kawasan Kamal Muara berpusat di TPI Kamal

Muara, dimana terdapat beberapa kegiatan yang meliputi aspek:

(1) Pemasaran

Kegiatan pemasaran ikan bertujuan untuk menjaga stabilitas harga

agar tercapai keuntungan optimal bagi nelayan dan kepuasan bagi

para konsumen, baik konsumen langsung maupun tidak langsung.

(2) Pembinaan mutu

Berbagai usaha untuk melakukan peningkatan mutu ikan yang

didaratkan sudah dilakukan oleh pemerintah daerah melalui

kegiatan penyediaan sarana dan prasarana pelelangan sehingga

ikan yang dipasarkan mempunyai kualitas yang masih baik.

Sebagaimana di TPT-TPI lainnya, masalah krusial yang sering

dijumpai adalah penyediaan air bersih, es, dan kebersihan

lingkungan.

(3) Penarikan retribusi

Pada setiap kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan sumberdaya

perikanan dikenakan biaya retribusi.

Beberapa permasalahan yang sedang terjadi saat ini di kawasan Kamal

Muara antara lain:

Page 164: Muara Dadap

145

(1) Adanya kapal ikan yang parkir untuk mengisi bahan perbekalan

meskipun ikan yang mereka tangkap sebelumnya telah didaratkan

di TPI lain; hal ini agak mengganggu kegiatan bongkar-muat hasil

tangkapan kapal-kapal ikan lainnya;

(2) Instalasi limbah tidak berfungsi sebagaimana mestinya;

(3) Banjir hampir setiap saat terjadi pada saat air laut pasang;

Jumlah nelayan yang resmi tercatat berdasarkan data dari Dinas

Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta tahun 2003 di wilayah

Kecamatan Penjaringan sebagian besar merupakan nelayan pendatang

(8.100 orang atau 74,67 %) dan hanya sebagian kecil (2.748 orang atau

25,33 %) merupakan nelayan menetap. Sebagian besar dari nelayan

pendatang (87,62 %) merupakan nelayan pekerja dan hanya sebagian kecil

(12,38 %) yang merupakan nelayan pemilik. Sedangkan untuk nelayan

menetap, proporsinya kurang lebih sama antara nelayan pemilik dan

nelayan pekerja, dengan persentase masing-masing 47,71 % nelayan

pemilik dan sisanya 52,29 % merupakan nelayan pekerja. Secara

keseluruhan, total nelayan yang ada di Kecamatan Penjaringan adalah

10.848 nelayan, sedangkan di Jakarta Utara adalah sebanyak 17.341

nelayan. Ini berarti sebanyak 62,56 % nelayan yang beroperasi di wilayah

Jakarta Utara terkonsentrasi di Kecamatan Penjaringan.

Hasil penelitian Litasari (2002) menunjukkan bahwa jumlah nelayan di

Kelurahan Kamal Muara adalah 10.350 orang, pembudidaya kerang hijau

397 orang, dan para pengolah dan pedagang sebanyak 1.615 orang. Dari

397 orang pembudidaya kerang hijau ini, terdapat sekitar 1.000 unit rakit,

yang jika dilihat dari daratan pun akan tampak seolah-olah pesisir Kamal

Muara seperti dipagari oleh pagar-pagar bambu. Data terakhir

menunjukkan bahwa pada bulan April 2007, tercatat hanya ada 636

nelayan (Anonimous 2007). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan

perikanan sudah mulai menurun, baik karena domisili nelayan yang

berubah ataupun karena terjadinya perubahan pola mata pencaharian dari

nelayan ke jenis usaha lain.

Page 165: Muara Dadap

146

Litasari (2002) juga menyebutkan bahwa produksi kerang hijau tahun

2000 mencapai 10.000 ton, dan hanya merupakan 50 % dari produksi

tahun 1999. penurunan jumlah produksi ini disebabkan oleh bertambah

rusaknya kualitas perairan pantai sehingga menyebabkan pertumbuhan

kerang lebih lambat, yang tadinya dapat dipanen setelah 6-7 bulan, tetapi

tahun 2002 sudah memerlukan waktu pemeliharaan antara 8-11 bulan.

Produksi per rakit juga menurun dari 15-20 ton menjadi sekitar 10 ton saja.

Pendapatan rata-rata pembudidaya kerang hijau di Kelurahan Kamal

Muara sekitar Rp 4.500.000 per rakit per musim. Kerang hijau rebusan

laku terjual seharga Rp 6.000 per kg (Litasari 2002).

Hasil samping dari budidaya kerang hijau dan bagan adalah ikut

terpanennya oyster. Meskipun jumlahnya sedikit, tetapi daging oyster ini

berharga sampai Rp 15.000 per kg. Sedangkan hasil samping nelayan

kerang darah adalah kerang kapak-kapak (Pina sp), dengan harga jual Rp.

17.000 per kg.

Jumlah ikan yang berhasil didaratkan di TPI Kamal Muara pada tahun

2002 adalah sebesar 529.550 kg atau senilai Rp. 776.245.000. Jumlah ini

sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan data tahun sebelumnya yang

mencapai nilai Rp 889.910.000, meskipun tetap menunjukkan

kecenderungan terjadinya peningkatan jika dilihat dari produksi tahun

1997.

Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan yang beroperasi dari TPI

Kamal Muara adalah gill net, jaring payang, sero, jaring tembang, dan

pancing. Sedangkan untuk aktivitas budidaya ikan, sarana produksi yang

tersedia berupa tambak (untuk bandeng) serta bambu dan tambang tami

untuk budidaya kerang hijau. Data selengkapnya dari volume dan nilai

produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara berdasarkan alat tangkap

dicantumkan dalam Tabel 4.22.

Page 166: Muara Dadap

147

Tabel 4.22. Data nilai produksi TPI Kamal Muara dan DKI Jakarta dari Tahun 1997 – 2003 (dalam Rp 1.000.000)

Tahun Nilai

Produksi TPI Kamal Muara

% Kenaikan/ Penurunan

Nilai Produksi

DKI Jakarta

% Kenaikan/ Penurunan

Proporsi Nilai

Produksi

1997 113,840 58.427,363 0,19

1998 129,626 13,87 64.555,867 10,49 0,20

1999 160,600 23,89 123.692,176 91,60 0,13

2000 488,636 204,26 94.188,509 -23,85 0,52

2001 889,910 82,12 70.024,728 -25,65 1,27

2002 776,245 -12,77 ta -

Rata-rata 62,27 - 13,15 0,46 Sumber: BPS (2004a); Disnakanlut (2002); data diolah.

Dari data yang dikumpulkan antara tahun 1997 – 2002 menunjukan

kenaikan volume dan nilai produksi rata-rata sebesar 62,27 %/tahun di TPI

Kamal Muara. Rata-rata kenaikan volume/nilai ikan ini lebih besar

dibandingkan dengan rata-rata kenaikan volume dan nilai ikan untuk DKI

Jakarta, yakni hanya sebesar 13,15 %. Namun demikian, volume atau nilai

ikan tersebut hanya sedikit saja sumbangannya (0,46 %) terhadap total

nilai produksi ikan untuk wilayah DKI Jakarta. Rincian nilai produksi

ikan dari Tahun 1997 – 2002 dicantumkan dalam Tabel 4.23.

Ikan yang berhasil ditangkap diantaranya ikan bawal hitam, belanak,

baronang, cendro, cumi-cumi, ekor kuning, kakap merah, kembung, kue,

layang, layur, manyung, dan ikan pari. Alat tangkap yang digunakan

berupa gill net, jaring payang, ataupun pancing. Selain itu diproduksi juga

ikan bandeng dan mujair, yang merupakan hasil tambak. Data

selengkapnya dari volume dan nilai produksi ikan lokal di TPI Kamal

Muara berdasarkan jenis dicantumkan dalam Tabel 4.24.

Hasil pengamatan terakhir tahun 2007 menunjukkan bahwa jenis ikan

yang dipasarkan di TPI Kamal Muara tidak hanya terbatas pada ikan-ikan

laut dan tambak saja. Beberapa jenis ikan tawar yang dibudidayakan di

karamba jaring apung di waduk-waduk juga ikut dipasarkan.

Page 167: Muara Dadap

148

Tabel 4.23. Daftar jenis ikan yang didaratkan di TPI Kamal Muara dari tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002)

No. Nama Lokal 1997 1998 1999 2000 2001 Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000)

1 Bandeng 17.310 12.737 20.920 17.440 16.860 24.010 61.700 131.475 255.590 363.625 2 Bawal hitam 1.990 1.682 100 134 150 192 - - - - 3 Belanak - - 100 164 - - - - - - 4 Beronang - - 600 604 - - - - - - 5 Campur 20.770 4.293 12.530 2.654 63.210 17.762 36.300 11.646 - - 6 Cendro 1.650 1.350 1.880 1.156 - -- - - - - 7 Cumi-cumi 6.160 6.530 1.430 2.050 220 324 760 3.220 - - 8 Ekor kuning - - - - - - - - - - 9 Japuh - - 670 364 - - - - - - 10 Kakap merah - - - - - - 2.900 10.250 20.540 37.900 11 Kembung 21.900 16.554 9.560 7.458 10.660 13.904 13.390 38.978 24.540 45.325 12 Kuwe 10.940 8.436 13.360 11.212 8.610 10.810 6.980 19.568 16.330 40.775 13 Layur 610 280 510 280 1.450 1.106 - - - - 14 Manyung 14.710 7.032 9.430 5.946 6.880 7.992 2.280 6.378 740 1.400 15 Mujair 11.530 4.348 10.820 4.308 10.150 7.190 4.700 5.280 12.170 13.490 16 Pari 2.270 1.112 2.010 1.224 1.700 1.316 950 1.632 - - 17 Rebon - - - - 4.520 4.018 4.390 4.900 - - 18 Selar 61.050 18.840 63.800 22.046 58.800 24.938 73.810 100.660 84.690 121.665 19 Talang-talang 8.770 4.372 9.380 6.202 6.380 7.450 1.300 4.086 - - 20 Tembang 51.850 10.668 121.440 30.070 44.750 11.926 14.660 5.328 - - 21 Teri 7.470 3.460 1.620 896 5.290 5.292 3.650 4.238 - - 22 Tonglol - - - - - - 24.560 55.800 28.940 57.400 23 Udang 16.120 12.146 19.560 15.418 16.450 22.370 28.780 75.240 87.930 167.580

Page 168: Muara Dadap

149

Tabel 4.24. Volume dan nilai produksi ikan lokal di TPI Kamal Muara berdasarkan alat tangkap tahun 1997-2001 (Disnakkanlut. 2002)

No. Nama Lokal 1997 1998 1999 2000 2001 Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000) Kg (Rp 1.000)

1 Empang 50.460 31.869 50.570 36.782 43.460 53.570 95.180 211.995 355.690 544.695

2 Gill net - - - - - - 12.870 27.530 49.590 93.050

3 Jaring rampus - - - - - - 610 1.954 - -

4 Jaring tembang 34.800 6.964 19.300 3.896 15.950 3.794 6.800 2.040 - -

5 Pancing 28.070 32.520 98.530 189.240

6 Payang 61.050 18.840 63.800 22.046 58.800 24.938 55.940 92.815 44.250 62.925

7 Sero 110.790 56.167 166.050 66.902 137.870 78.298 85.730 119.785 - -

Jumlah 257.100 113.840 299.720 129.626 256.080 160.600 285.200 488.639 548.060 889.910

Page 169: Muara Dadap

150

Perahu/kapal yang dioperasikan di wilayah perairan Kamal Muara ini

secara umum dapat dikelompokan ke dalam 3 golongan, yaitu : ukuran

besar (> 10 GT) 1.076 buah; ukuran sedang (5 – 10 GT) sebanyak 21

buah; dan tidak terdapat perahu dengan ukuran kecil (kurang dari 5 GT

tanpa motor atau motor < 10 PK dengan dimensi 7 x 2,80 m2).

Berdasarkan data nilai produksi dari masing-masing jenis alat tangkap

yang digunakan, sebagian besar ikan yang mendarat di TPI Kamal Muara

adalah dari tambak, dengan volume 440.150 kg atau setara dengan Rp

599,095 juta. Volume tersebut 83,12 % dari volume total volume produksi

ikan di TPI Kamal Muara, yakni 529.550 kg atau senilai Rp. 776,245 juta.

Sedangkan volume dan nilai produksi yang berasal dari gill net, jaring

payang dan pancing hanya sebagian kecil saja, masing-masing secara

berurutan adalah seberat 33.850 kg (6,39 % total produksi) dari gill net,

seberat 17.810 kg (3,36 % total produksi) dari jaring payang dan 37.740 kg

(7,13 % total produksi) dari alat tangkap pancing.

Selain perikanan tangkap dan budidaya di atas, nelayan setempat juga

mengusahakan budidaya kerang hijau. Jika dilihat dari jumlah petani yang

mengusahakannya, di Kamal Muara terdapat 404 petani atau 65,80 % dari

keseluruhan petani kerang hijau yang ada di Jakarta Utara. Lokasi lainnya

terdapat di Cilincing dengan 210 petani kerang hijau. Produksi yang telah

dihasilkan pada tahun 2003 mencapai 74.160 ton yang berasal dari 530

rakit dengan luas 102.817 ha yang dikelola oleh sebanyak 678 tenaga kerja

(petani kerang hijau) atau kurang lebih 1 orang per-rakit.

Bilamana disimpulkan, maka kegiatan perekonomian yang berlangsung di

kawasan Kamal Muara terdiri dari:

(1) Pendaratan ikan yang berasal dari kapal motor, kapal dengan motor

tempel, dan perahu tradisional;

(2) Industri pemasaran ikan: berupa pengepakan ikan, pembuatan

garam secara tradisional; sistem distribusi ikan yang dilakukan

adalah dengan cara: dijual langsung kepada masyarakat konsumen

secara eceran, dan dijual partai besar kepada grosir. Kegiatan pasar

Page 170: Muara Dadap

151

ikan tradisional berlangsung setiap hari, baik ikan yang di-es

maupun yang tidak;

(3) Warung/restoran ikan: banyak dilakukan oleh penduduk disekitar

pintu masuk perkampungan nelayan Kamal Muara yang langsung

berbatasan dengan Kali Kamal;

(4) Pemuatan perbekalan penangkapan ikan disuplai oleh unit

perbekalan nelayan, yang menyediakan sarana penangkapan ikan

dan kebutuhan hidup sehari-hari.

(5) Kegiatan perbankan, baik pemerintah maupun swasta.

(6) Kegiatan perkoperasian, yang terdiri dari koperasi konsumsi,

koperasi produksi dan koperasi serba usaha.

(7) Kegiatan industri, dari yang berskala besar hingga industri yang

berskala kecil atau rumah tangga.

Sarana perekonomian berupa bank hanya terdapat 2 buah, masing-masing

satu buah bank pemerintah dan sebuah bank swasta. Dilihat dari jumlah

bank yang ada, Kamal Muara merupakan wilayah yang jumlah banknya

paling sedikit di Kecamatan Penjaringan, dimana total keseluruhan bank

yang ada di kecamatan ini mencapai 18 buah bank dan tersebar di semua

kelurahan.

Sarana perekonomian lain adalah koperasi, berdasarkan data yang berasal

dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI pada tahun 2003

hanya terdapat sarana koperasi berupa sebuah koperasi simpan pinjam

dengan 81 anggota dan sebuah koperasi serba usaha dengan jumlah

anggota 109. Jenis koperasi lainnya, yakni koperasi konsumsi dan

koperasi produksi belum ada.

Pasar Inpres, yang merupakan sarana perekonomian yang paling vital

belum terdapat di Kamal Muara. Sarana perekonomian berupa pasar yang

ada hanya 1 buah pasar lingkungan dan 1 buah lokasi pedagang K-5

dengan jumlah pedagang sebanyak 46 orang. Total jumlah Pasar Inpres

yang ada di Kecamatan Penjaringan sebanyak 5 buah, tersebar di

Page 171: Muara Dadap

152

Kelurahan Pluit (3 buah) dan Kelurahan Kapuk Muara dan Pejagalan

masing-masing 1 buah. Data selengkapnya dari potensi ekonomi dan

penyerapan tenaga kerja di sekitar TPI Kamal Muara dicantumkan dalam

Tabel 4.25.

Tabel 4.25 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di lingkungan TPI Kamal Muara tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM.

No JENIS KEGIATAN/

PELAYANAN

JUMLAH BURUH/

UNIT

NILAI SATUAN

TRANSAKSI HARIAN

JUMLAH TRANSAKSI

HARIAN

KET.

1 Transaksi TPI 35 6.750.000 Anak buah peserta

lelang 20 35.000 700.000

2 Bahan bakar 10 ton 16.500.000 1.650/lt Buruh 10 35.000 350.000 3 Es balok 500 balok 600.000 12.000/blk 4 Kegiatan tambat

labuh 15 50.000 Perda No

3/99 5 Buruh dilingkungan

TPI 15 25.000 375.000

6 Kuli gerobak pengasin

10 15.000 150.000

7 Kuli gerobak lelang 10 25.000 250.000 8 Buruh Pedagang K5

produk ikan 25 15.000 375.000

9 Buruh 6 unit pengepakan

12 20.000 240.000

10 Workshop 4 25.000 100.000 11 Buruh Kios alat

perikanan (2 unit) 2 15.000 30.000

12 Buruh pedagang otak-otak

5 15.000 75.000

13 Buruh depot es 3 20.000 60.000 14 Upah ABK Gillnet (56) 336 35.000 35.840.000 Purse seine (27) 270 27.000 7.290.000 Jaring rampus (42) 210 30.000 6.300.000 Jaring nilon (35) 105 30.000 3.150.000 Payang (11) 132 35.000 4.620.000 Pancing (28) 84 30.000 2.520.000 Bagan (530) 1.590 20.000 31.800.000 Kerang Hijau

(1.000) 3.000 17.000 51.000.000

Jumlah 168.425.000 Sumber: diolah dari BPS (2004) dan dan data primer

Page 172: Muara Dadap

153

Jumlah perusahan industri sebagai salah satu penunjang sarana

perekonomian masyarakat, banyak terdapat di Kamal Muara. Tercatat ada

65 buah industri besar, 100 buah industri sedang, dan 12 buah industri

kecil. Jika dilihat dari persentasenya terhadap Kecamatan Penjaringan,

maka sebarannya mencapai 43,62 % industri besar, 23,53 % industri

sedang dan 12,77 % industri kecil di Kelurahan Kamal Muara.

Sarana perekonomian lain berupa hotel, losmen, hostel, motel, dan

restauran tidak terdapat di Kamal Muara. Sarana perekonomian berupa

hotel dan restauran atau sejenisnya hanyalah berupa warung makan,

dengan jumlah 18 buah. Di Kecamatan Penjaringan, hanya terdapat 1

buah hotel melati yang berada di Kelurahan Pluit.

4.4.2 Keragaan perikanan Kabupaten Tangerang

Sebagai bentuk tanggapan atas pemberlakuan UU No. 23/1999 tentang

Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang telah menetapkan

kawasan perairan Kecamatan Kosambi merupakan suatu zona pengelolaan

bersama antara Kota Jakarta Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu, dan Kabupaten

Tangerang, sebagaimana tercantum dalam Perda No 5/2002 tentang Perubahan

Atas Perda No. 3/1996 tentang RTRW. Aspek legal ini sebenarnya dapat

dijadikan landasan bagi kedua pemerintahan daerah untuk melakukan pengelolaan

bersama kawasan perairan Dadap dan Kamal Muara dan fasilitas yang terdapat di

dalamnya, antara lain TPI.

Secara keseluruhan, luas wilayah Kabupaten Tangerang mencapai 164,31

km2 atau hanya 1,90 % dari luas wilayah Provinsi Banten. Kabupaten Tangerang

memiliki panjang pantai 51 km, dengan potensi sumberdaya ikan yang mencapai

19.441 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 14.339 ton (73,76 %). Dari

pendekatan produksi total maka potensi Kabupaten Tangerang hanya mencapai

16.664 ton dengan pemanfaatan sebesar 86,05 % (PKSPL IPB 2004)

Page 173: Muara Dadap

154

Produksi ikan yang dihasilkan Kabupaten Tangerang tidak hanya berasal

dari laut, tetapi juga beberapa ekosistem lainnya, seperti rawa, situ, dan sungai.

Potensi areal penangkapan ikan di Kabupaten Tangerang dicantumkan dalam

Tabel 4.26.

Tabel 4.26. Potensi areal penangkapan ikan di Kabupaten Tangerang.

No. JENIS POTENSI PERAIRAN LUAS/PANJANG

1. Rawa 357,0 ha

2. Situ 116,5 ha

3. Sungai 314,3 km

4. Eks galian pasir 350,8 ha

Sumber : TPI Dadap (1996) dan Diskanlut Tangerang (2004)

Kebijakan Pemda Kabupaten Tangerang melalui RTRW Kabupaten

Tangerang tahun 2000 menetapkan bahwa areal pertambakan yang ada di

Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan Paku Haji akan direlokasi ke Kecamatan

Mauk dan Kecamatan Kronjo. Namun demikian, tahun 2000 tersebut dalam

perencanaannya juga menyatakan bahwa di muara Kali Dadap akan dibangun TPI,

yang tampaknya hanya diperuntukan bagi nelayan yang mau mendaratkan ikan

hasil tangkapannya di laut. Data potensi tambak di Kabupaten Tangerang dapat

dilihat pada Tabel 4.27.

Kegiatan perikanan laut di Kabupaten Tangerang dipusatkan di 7

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), masing-masing satu buah untuk setiap

kecamatan pesisir, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.28.

Page 174: Muara Dadap

Bab4- 155

155

Tabel 4.27. Produksi potensi pertambakan Kabupaten Tangerang tahun 2004.

No. Kecamatan/Desa JUMLAH RTP PEMBUDIDAYA

LUAS (Ha)

Total Bandeng Udang Total Bandeng Udang Potensi Diusahakan Potensi Diusahakan Potensi Diusahakan1. Kronjo:

- Jenggot - Pegadean Ilir - Kronjo - Muncung

29577175

11496375

18880

80,00395,85433,90392,85

80,00

327,00 264,00 350,00

65,00334,35371,00369,85

65,00265,5

214,00350,00

15,0061,5062,9023,00

15,0061,5050,000,00

Subtotal 232 34 1.302,69 1.021,00 1.140,20 894,50 162,40 126,50 2. Kemeri:

- Lontar - Karanganyar - Patra Manggala

211622

211622

000

338,3096,2992,25

111,50 78,10 57,80

235,3096,2972,25

111,5078,1057,80

103,000,00

20,00

0,000,000,00

Subtotal 59 59 0 526,84 247,40 403,84 247,40 123,00 0,00 3. Mauk:

- Mauk Barat - Ketapang - Marga Mulya - Tj. Anom

43311912

4030198

3104

115,72143,3078,5813,50

70,29

100,34 18,64 12,30

85,72122,30

23,300,00

64,2997,8418,640,00

30,0021,0055,2813,50

6,002,500,00

12,30 Subtotal 105 97 8 351,10 201,57 231,32 180,77 119,78 20,80

Page 175: Muara Dadap

Bab4- 156

156

Lanjutan Tabel 4.27

4. Sukadiri: - Karang Serang 0,00 0,00 0,00 20,00

0,00 0,00 0,00 20,00 0,00

Subtotal 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00 0,00 0,00 20,00 0,00 5. Pakuhaji:

- Suryabahari - Sukawali - Kramat - Kohod

1223415

1223415

0,000,000,000,00

18,20119,20117,50274,60

18,20

119,20 117,50 70,85

18,20120,40117,50256,60

18,20119,20117,5070,85

0,0043,200,00

18,00

0,000,000,000,00

Subtotal 72 72 0,00 573,90 325,75 512,70 325,75 61,20 0,00 6. Teluknaga:

- Tj Burung - Tj Pasir - Lemo - Muara

:39171725

39171724

0001

196,15291,41228,50259,14

157,00

7,46 135,30 104,50

196,15195,30228,50238,64

157,007,46

135,30103,50

0,0096,110,00

20,50

0,000,000,001,00

Subtotal 98 97 1 975,20 404,26 858,59 403,26 116,61 1,00 7. Kosambi:

- Selembaran Jaya - Selembaran Jati - Kosambi Barat - Kosambi Timur - Dadap

0303920

0303920

00000

467,50120,90146,5066,9949,00

0,00

120,00 142,40 15,00 0,00

315,00120,90146,5066,9930,00

0,00120,00142,4015,000,00

152,50000

19,00

0,000,000,000,000,00

Subtotal 71 71 0 850,89 277,40 679,39 277,40 171,50 0,00 TOTAL 637 594 43 4.600,53 2.477,38 3.826,04 2.329,08 774,49 148,30Sumber : TPI Dadap (1996) dan Diskanlut Tangerang (2003)

Page 176: Muara Dadap

157

Tabel 4.28. Keragaan tempat pelelangan ikan dan institusi penanggungjawab operasionalnya.

No. NAMA TEMPAT PELELANGAN IKAN

PENANGGUNGJAWAB

1. PPI Kronjo di Kecamatan Kronjo Dinas Perikanan dan Kelautan 2. TPI Benyawakan di Kecamatan Kemiri Dinas Perikanan dan Kelautan 3. TPI Ketapang di Kecamatan Mauk Dinas Perikanan dan Kelautan 4. TPI Karang Serang di Kecamatan

Sukadiri Koperasi Perikanan Laut “Bahari”

5. PPI Cituis di Kecamatan Teluknaga KUD “Mina Samudera” 6. PPI Tanjung Pasir di Kecamatan Teluk

naga KUD “Mina Dharma”

7. TPI Dadap di Kecamatan Kosambi KUD “Mina Bahari” Sumber: Diskanlut Kabupaten Tangerang (2003)

Kriteria PPI di Kabupaten Tangerang sebenarnya belum optimal, karena

belum menjadi tempat pemasaran ikan yang utama. Hal ini disebabkan oleh:

(1) Belum memadainya fasilitas PPI, antara lain: tempat sandar kapal.

(2) Alur masuk ke pelabuhan kurang dalam sehingga menyulitkan perahu dalam

proses pendaratan ikan yang dibawanya;

(3) Produksi masih relatif rendah karena armada sebagian besar didominasi oleh

perahu bermotor tempel yang melakukan operasi penangkapan ikan secara

harian;

(4) Banyak nelayan yang sudah mengingat kontrak jual beli dengan bakul,

karena akses ke lembaga keuangan resmi sulit diperoleh;

(5) Pengawasan petugas lapangan masih lemah;

(6) Adanya kompetisi dari PPI yang berada di wilayah DKI.

Pada tahun 2000, data produksi ikan hasil tangkap Kabupaten Tangerang

mencapai 16.895 ton. Produksi tahun berikutnya meningkat sedikit menjadi

17.725,70 ton dan turun lagi tahun 2002 pada jumlah 16.834,25 ton dan tahun

2003 mencapai 15.731 ton. Untuk produksi ikan hasil perairan umum, data

menunjukkan jumlah 130, 123, 165,30, dan 142 ton dari tahun 2000 sampai 2003.

Hasil tangkapan dari perairan umum didominasi oleh jenis ikan tawes. Data

perkembangan produksi ikan di Kabupaten Tangerang selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 4.29.

Page 177: Muara Dadap

158

Tabel 4.29. Perkembangan produksi ikan hasil tangkap di laut dan perairan umum di Kabupaten Tangerang.

No. JENIS USAHA PRODUKSI (TON)

2000 2001 2002 2003

1. Laut 16.895,00 17.725,70 16.834,25 15.731,00

2. Perairan umum 130,00 123,00 165,30 142,00

Total 17.025,00 17.848,70 16.999,55 15.873,00

Sumber: Diskanlut Tangerang (2004)

Pada tahun 2002, data produksi dan nilai jual ikan laut Kabupaten

Tangerang mencapai 16.834,25 ton (Rp 156.977,35 juta), sedangkan untuk

produksi perikanan darat mencapai 7.294,54 ton (Rp 133.226,62 juta) dari

tambak, 2.130,40 ton (Rp 19.626,60 juta) dari kolam, 10,56 ton (Rp 77.400 juta)

dari sawah (minapadi), dan 388,90 ton (Rp 3.676 juta) yang berasal dari perairan

umum dan jaring apung. Produksi ikan tersebut dihasilkan oleh sekitar 1.672

rumah tangga nelayan laut, 921 nelayan di perairan umum, 823 nelayan tambak,

dan 2.325 petani ikan di kolam., serta 9 orang petani ikan jaring apung.

Berbagai jenis alat tangkap yang beroperasi di wilayah Kabupaten

Tangerang adalah payang (48 unit), jaring dogol (50 unit), jaring hanyut (254

unit), jaring klitik (374 unit), jaring rampus (15 unit), bagan perahu (132 unit),

bagan tancap (247 unit). Jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi terdiri

dari: perahu layar kecil (76 unit), kapal dengan motor tempel (909 unit), dan kapal

motor bermesin dalam (157 unit).(Banten dalam Angka 2002, BAPEDA dan BPS

Banten).

Tahun 2003, jenis alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang mencapai 15

jenis dan total unit 2.060 buah. Jenis yang paling populer adalah jaring insang

hanyut (drift gill net), jaring klitik, dan jenis pancing. Keragaan alat tangkap ikan

di Kabupaten Tangerang secara lengkap dicantumkan dalam Tabel 4.30.

Page 178: Muara Dadap

159

Tabel 4.30. Keragaan alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang tahun 2003

No. JENIS ALAT TANGKAP JUMLAH (UNIT)

1. Jaring payang 81

2. Jaring dogol 119

3. Jaring insang hanyut 532

4. Jaring insang tetap 2

5. Jaring klitik 526

6. Jaring insang lingkar 16

7. Bagan tancap 38

8. Jaring angkat lainnya 61

9. Pancing lainnya 401

10. Sero 2

11. Bubu ikan 25

12. Bubu rajungan 14

13. Garok kerang 192

14. Alat lainnya (jala laut) 50

15. Purse seine 1

Jumlah 2.060 Sumber : TPI Dadap (1996) dan Diskanlut Tangerang (2004)

Hasil tangkapan para nelayan dari tahun ke tahun cenderung mengalami

penurunan, atau mengalami penambahan tingkat kesulitan untuk memperoleh

jumlah hasil tangkap yang sama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun

sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa gejala over fishing di perairan pantai

Teluk Dadap dan Kamal Muara sudah sangat nyata.

Kestabilan harga jual ikan hasil tangkap adalah suatu hal yang diidamkan

oleh para nelayan. Tetapi fluktuasi hasil tangkap dan kualitas ikan yang

diperolehnya menyebabkan terjadinya fluktuasi harga jual. Sering kali para

nelayan bahkan tidak dapat menutupi biaya operasi penangkapan yang berjumlah

antara Rp 200.000 – 500.000/trip. Bukan suatu hal yang aneh jika terdapat peran

dominan dari juragan yang juga bertindak sebagai penyedia kebutuhan sehari-hari

Page 179: Muara Dadap

160

dari nelayan dan keluarganya. Faktor ini pula yang menyebabkan rendahnya nilai

jual dari ikan hasil tangkapan nelayan.

4.4.3 Keragaan perikanan kawasan Dadap-Kamal Muara

Di kawasan Dadap-Kamal Muara, terdapat dua tempat pendaratan ikan,

yaitu di Desa Dadap terletak di sekitar muara Kali Perancis dan di muara Kali

Kamal untuk Kelurahan Kamal Muara. Jumlah nelayan Desa Dadap yang resmi

tercatat di Kantor Cabang Dinas Perikanan terdiri dari 1.086 KK nelayan domisili

dan 56 KK nelayan pendatang. Sebagian besar dari nelayan ini merupakan

pendatang dari daerah Indramayu dan Cirebon, dengan jenis alat tangkap jaring

udang, gill net, jaring rampus, jaring bondet dan beberapa jenis pancing (pancing

rawe, pancing senggol dan pancing kakap). Sebagian kecil (± 50 kk) nelayan

merupakan penduduk asli Desa Dadap. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa

mereka lebih menyukai alat tangkap sero. Sementara nelayan Bugis yang

jumlahnya lebih sedikit (± 30 kk) lagi umumnya mengoperasikan bagan dan

membudidayakan kerang hijau.

Penduduk Kampung Baru Dadap hampir seluruhnya merupakan pendatang

yang berasal dari Muara Karang dan Muara Angke (nelayan asli orang Dadap

bertempat tinggal di Kampung Dadap). Sebagai akibat dari dilakukannya

pembongkaran perkampungan nelayan di Muara Karang dan Muara Angke antara

tahun 1975 sampai 1977, maka garapan tanah petani di Desa Dadap ini berubah

menjadi perkampungan nelayan dengan segala sarananya.

Perkembangan jumlah kapal penangkap ikan di Kabupaten Tangerang dari

tahun 2002-2003 menunjukkan adanya penurunan untuk perahu tanpa motor (dari

76 menjadi 74 buah), peningkatan untuk perahu dengan motor tempel (dari 909

menjadi 1.740 buah), dan penurunan juga untuk kapal motor (inboard) dari 157

menjadi 89 buah (Diskan Tangerang, 2002 dan Diskan Banten 2003). Hal ini

menunjukkan bahwa kapal penangkap ikan mengalami peningkatan positif yang

mencapai 66 %. Peningkatan terbesar terjadi pada perahu motor tempel sebesar

87,5 %, sedangkan kapal motor berkurang dari 157 menjadi 89 unit (turun sebesar

Page 180: Muara Dadap

161

43,3 %). Perahu/kapal yang dioperasikan di wilayah perairan Dadap ini secara

umum dapat dikelompokan ke dalam 3 golongan, yaitu : ukuran besar (7 – 20 GT)

6 buah; ukuran sedang (5 – 7 GT) sebanyak 227 buah; ukuran kecil, (kurang dari 5

GT tanpa motor atau motor < 10 PK 7 x 2 80 m3) sebanyak 55 buah.

Berdasarkan informasi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Tangerang, data umum PPI di Desa Dadap Kecamatan Kosambi tahun 2003 dapat

dilihat pada Tabel 4.31.

Tabel 4.31. Data umum PPI Dadap Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang tahun 2003

No. DATA UMUM IDENTITAS 1. Kampung Dadap 2. Desa Dadap 3. Kecamatan Kosambi 4. Jarak ke: Jalan raya

Ibukota kabupaten Ibukota provinsi

0,40 km 20 km

180 km 5. Lahan: Luas lahan

Status lahan Kemungkinan pengembangan Status lahan pengembangan

1.000 TN

2.000 TN

6. Sungai: Lebar panjang

45 m 3.000 m

7. Klasifikasi D 8. Pengelolaan PPI Dinas 9. Armada: perahu layar (tanpa motor)

motor tempel inboard

74 unit 1.740 unit

89 unit 10. Alat tangkap: pancing

jaring insang jaring kantong perangkap

88 unit 142 unit 39 unit 20 unit

11. Nelayan: RTP RTBP Bakul

227 orang 1.124 orang

71 orang 12. Pengolah: Pindang

Ikan asin lainnya

- 12 orang

4 orang 13. Produksi per tahun 1.128 ton 14. Raman (Rp 000/tahun) 1.692.000 Sumber: Diskan Tangerang (2002) dan Diskanlut Banten (2003)

Page 181: Muara Dadap

162

Dari Tabel 4.31 di atas tampak bahwa terdapat perbedaan informasi

diantara berbagai sumber data, meskipun itu berasal dari Dinas Perikanan dan

Kelautan. Contohnya tentang lembaga yang mengelola TPI/PPI Dadap, dimana

dalam Tabel 4.31 disebutkan dikelola oleh Dinas (Perikanan), tetapi kenyataannya

sampai sebelum vakum dikelola oleh KUD Mina Bahari sebagaimana tercantum

dalam Tabel 4.28.

Berdasarkan hasil survey PKSPL IPB (2004), daerah penangkapan ikan

(fishing ground) untuk perahu tanpa motor hanya di perairan Laut Jawa di sekitar

Kepulauan Seribu. Untuk perahu dengan motor tempel, upaya penangkapan

dilakukan mulai dari Laut Jawa sampai Selat Sunda. Sementara itu untuk perahu

dengan motor dalam, penangkapan dilakukan mulai dari Laut Jawa, Selat Sunda,

sampai ke Laut Cina Selatan.

Daya tahan kapal/perahu tersebut berkisar antara 5 – 20 tahun, tergantung

pada kualitas pemeliharaannya. Biaya perawatan perahu per tahun berkisar dari

Rp. 50.000 – Rp. 200.000 pada tahun 1995 meningkat menjadi Rp 500.000 – Rp

2.000.000, pada tahun 2004, yang sebagian besar berupa biaya penambalan dan

pengecatan ulang.

Jumlah awak kapal yang mengoperasikan satu unit penangkapan berkisar

antara 2 sampai 8 orang tergantung jenis unitnya. Di dalam satu unit ABK terbagi

dalam beberapa jabatan seperti nakhoda, juru mesin, juru mudi dan sebagainya.

Jabatan ini menentukan jumlah bagi hasil yang diperoleh.

Sebagian nelayan yang mengoperasikan jaring udang mempunyai alat

tangkap jenis lain seperti jaring rampus dan pancing, yang digunakan pada musim

yang berlainan. Khusus nelayan pancing yang status kependudukannya musiman,

pada musim barat berlabuh di Dadap wilayah Kabupaten Indramayu, menurut

keterangan penduduk setempat dapat berjumlah ratusan pada suatu saat dan hanya

belasan di saat lainnya.

Alat pancing yang banyak dioperasikan adalah pancing rawe dan pancing

ular. Sebagian besar dari nelayan pancing rawe ini merupakan pendatang dari

Page 182: Muara Dadap

163

Eretan Indramayu. Dengan jumlah ABK antara 4 – 8 orang, nelayan pancing

rawe ini melakukan penangkapan ikan di perairan Tanjung Pandang – Belitung.

Lama operasi penangkapan berkisar antara 2 – 4 minggu, yang memerlukan biaya

operasi sekitar 1 juta rupiah. Untuk penanganan ikan hasil tangkap setiap kapal

pancing rawe ini membawa 50 batang es balok. Seperti halnya dengan nelayan

lain, nelayan pancing juga terjerat bakul dalam pelaksanaan operasi penangkapan

dan pemasaran hasil tangkapannya. Penentuan harga jual ikan merupakan hak

bakulnya.

Kerang darah dan kerang menyon (Anadara sp) dipanen nelayan dengan

cara digaruk dan diselami. Menurut seorang pemilik perahu dan juga sebagai

bakul, jumlah armada perahu yang melakukan kegiatan pemanenan kerang ini

dapat mencapai 250 buah pada musim panen (bulan Mei – Oktober). Jumlah ini

jauh diatas data resmi yang ada di TPI. Dengan jumlah ABK antara 4 – 8 orang,

pada musim panen satu perahu dapat menghasilkan 84 karung sehari. Padahal

pada musim paceklik hanya berkisar antara 4 – 5 karung. Harga jual kerang darah

per ember (kapasitas 10 liter) berkisar antara 3 – 4 ribu rupiah. Satu karung berisi

antara 5 – 6 ember (tergantung dari ukuran karungnya). Observasi lapangan

menunjukan bahwa selektivitas ukuran kerang tidak dilakukan oleh nelayan, tetapi

sesuai dengan alat garuk yang digunakannya.

Nelayan kerang hijau rata-rata mempunyai 200 batang bambu (yang dililit

dengan tambang goni atau pita waring) sebagai sarana tempat menempelnya

kerang hijau. Satu batang bambu (yang harganya Rp. 10.000) memerlukan 3 kg

tambang (Rp. 1.000/kg). Setelah bambu yang dililit tambang tersebut ditancapkan

di dasar laut (pada kedalaman ± 3 – 7 m), diantara batang-batang bambu tersebut

juga direntangkan tambang, yang berfungsi selain sebagai penguat juga

merupakan tempat menempelnya kerang hijau.

Pemanenan kerang hijau dilakukan setelah selang waktu 8 bulan (nelayan

melakukan penancapan bambu pada waktu yang berbeda-beda sehingga

memungkinkannya untuk memanen kerang setiap hari). Pada musim panen,

dilakukan penyelaman dan pemilihan kerang hijau yang berukuran besar-besar

Page 183: Muara Dadap

164

setiap kelompok nelayan (terdapat 50 kelompok nelayan yang beranggotakan

antara 3 – 5 orang) dapat memperoleh 23 karung per hari, sedangkan pada musim

ujung hanya berkisar antara 4 – 5 karung. Harga jual kerang hijau ditingkat

nelayan hanya Rp 13.000 per ember (volume sekitar 10 liter). Pada saat panen

bambu dicabut untuk dibersihkan dari teritip dan jenis kerang yang menempel

lainnya. Tambang yang melilitnya praktis harus diganti.

Ikan-ikan yang hidup dan tertangkap di sekitar perairan pesisir Dadap dan

sekitarnya (Teluk Jakarta) dapat diketahui antara lain dengan mengindentifikasi

ikan yang tertangkap oleh nelayan dan didaratkan di TPI Mina Bahari Desa

Dadap. Ikan-ikan tersebut meliputi ikan yang bernilai ekonomis penting seperti

kakap (Lates sp), kembung (Rastrelliger sp), tenggiri (Scomberomerus sp), dan

selar (Caranx sp). Pada daerah yang memiliki terumbu karang tertangkap pula

ikan beronang (Siganus sp), ekor kuning (Caesio sp) dan kerapu (Epinephelus sp).

Jenis-jenis ikan yang tertangkap di pantai Dadap secara lengkap disajikan pada

Tabel 4.32.

Tabel 4.32. Daftar jenis ikan yang tertangkap di Pantai Dadap (PPLH, 1997) No Nama Lokal Species Ordo Famili 1 Kuweh Caranx sp Percomorphi Carangidae 2 Kakap Lates sp Percomorphi Centroponidae 3 Kembung Rastralligor sp Scombriformes Scombridae 4 Kerapu Epinephelus sp Percomorphi Serranidae 5 Teri Stolephorus tri Malacopterygii Clupeidae 6 Ekor Kuning Caesio sp Percomorphi Lutjanidae 7 Pari Dasyatis sp Batoidei Dasyatidae 8 Peperek Gazza sp Percomorphis Leiognathidae 9 Tenggiri Scomberomorus sp Percomorphis Scomberomoridae 10 Rebon Hemirhampus

melanus Synentognathi Hemirhamphidae

11 Beronang Siganus sp Percomorphi Siganidae 12 Selar Caranx sp Percomorphi Carangidae

Meskipun sedikit, kegiatan penangkapan ikan di Dadap menyebabkan

timbulnya kegiatan pengolahan ikan asin dan rajungan. Terdapat 3 unit

pengolahan ikan asin di Desa Dadap dengan kapasitas maksimal 50 kg. Jenis ikan

yan diasin beraaneka ragam dan yang berukuran kecil (sisa penjualan untuk

Page 184: Muara Dadap

165

konsumsi segar). Harga jual ikan asin ini berkisar antara Rp. 1000 – 15.000 per

kg di Pasar Kamal. Observasi lapangan menujukan bahwa kualitas ikan asin di

desa Dadap jauh lebih bagus dari daerah perikanan lainnya di sekitar utara Pulau

Jawa.

Di samping pengolah ikan asin terdapat pula pengolah rajungan. Hanya

terdapat seorang pengolah rajungan di Desa Dadap. Produksi rata-rata antara 20 –

30 kg daging (maksimal 50 kg) perhari. Daging rajungan merupakan komoditi

yang ekonomis. Harga jualnya tergantung bagaimana daging tersebut berasal,

yaitu daging capit Rp. 8.400/kg, daging kempal Rp. 12.400/kg, daging jari Rp.

5.000/kg dan daging adan Rp. 8.400/kg.

Daging rajungan ini merupakan bahan ekpor yang dikumpulkan oleh PT

Phillips Sea Food, sebuah industri pengolahan di Jakarta Kota. Rajungan yang

cangkangnya dibeli dari nelayan seharga RP. 1.200 per kg (tergantung dari

ukuran). Dengan rendemen 6 – 7 berbanding 1 (6 – 7 kg rajungan bercangkang

menghasilkan 1 kg daging), ditambah dengan upah buruh pengupasan Rp. 700/kg

(bersih, dengan bonus makan, minum, tidur, mandi), nelayan pengolah yang

memperkerjakan 14 orang buruh patut dijadikan teladan.

Penyebaran alat tangkap yang bersifat statis ini, mulai dari pantai hingga

kedalaman perairan sekitar 7 meter. Kedalaman tersebut dicapai pada jarak

sekitar 1,5 – 2,5 km dari pantai. Melihat kepadatan alat tangkap yang demikian

rapat pada lokasi dimana kapal harus berolah gerak sebebas mungkin, maka

pengaturan penempatan alat tangkap yang bersifat tetap ini harus benar-benar

mengacu kepada alur pelayaran agar tidak terjadi benturan kepentingan antara

nelayan dengan kapal-kapal yang keluar masuk pelabuhan terutama pada malam

hari.

Pada tahun 1995, kegiatan perekonomian di Desa Dadap sudah cukup

maju. Hal ini antara lain terlihat dari adanya sarana perekonomian yang telah

tersedia, yaitu 50 buah toko, 75 warung, 10 bengkel, 1 KUD Mina Bahari, 1

pabrik abon ikan, 1 pabrik pencelupan jean dan 6 restoran sea food. Tetapi sejak

Page 185: Muara Dadap

166

diakukannya penon-aktifan aktivitas TPI, maka terjadi pengurangan aktivitas

ekonomi yang dicirikan dengan berkurangnya restoran seafood menjadi tinggal 3

buah. Data dampak penutupan TPI terhadap aktivitas ekonomi secara tertulis

belum dapat diperoleh.

Tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di Desa Dadap terletak di tepi

sungai (muara Kali Perancis). Lokasinya yang sekarang merupakan lokasi baru

setelah pindah dari lokasi awalnya yang berada dekat KUD Mina Bahari.

Pindahnya lokasi tersebut disebabkan oleh pembuatan sodetan Kali Dadap yang

baru. Lokasi yang baru cenderung lebih tenang perairannya karena berada di tepi

sungai dan agak ke hulu. Tahun 1997, dilakukan renovasi TPI Dadap, tahun 2004

kondisinya relatif masih dapat dimanfaatkan meskipun diperlukan beberapa

perbaikan. Beberapa kerusakan yang terjadi lebih banyak disebabkan kurang

efektifnya penggunaan TPI tersebut. Lantai tempat ikan dilelang berlantai

keramik putih. Selain itu juga terdapat sebuah kantor dimana kepala TPI dan

manajer TPI berkantor mengelola TPI.

Hasil tangkapan berupa udang dan kerang ditimbang di TPI tetapi tidak

dilakukan oleh petugas TPI, sedangkan kerang (kerang hijau dan kerang darah)

didaratkan di sepanjang Kali Perancis bagian barat langsung disetorkan ke para

juragan.

Secara umum Tempat Pendaratan Ikan di Kabupaten Tangerang adalah

type D, termasuk TPI Dadap. Tempat Pelelangan Ikan Dadap ini tidak seperti

lazimnya dimana kegiatan lelang amat jarang dilakukan. Hal ini disebabkan oleh

peran para bakul yang amat besar dalam kegiatan perikanan tangkap disana. Para

nelayan Dadap (nelayan domisili) yang telah menangkap ikan khususnya udang

tidak pernah melelang hasil tangkapannya di TPI tetapi langsung membawanya ke

para bakul dimana masing-masing nelayan telah memiliki bakul sendiri.

Mekanisme harga pun banyak ditentukan oleh para bakul tersebut. Dalam hal

penarikan retribusi yang seharusnya dilakukan setiap kali pelelangan, karena hal

tersebut maka manajer TPI memungutnya dari bakul-bakul yang ada dengan besar

yang tidak tentu.

Page 186: Muara Dadap

167

Para bakul mempunyai peran yang amat besar karena mereka membuat

suatu kondisi dimana para nelayan selalu terikat kepada mereka. Secara ringkas

dapat dikatakan bahwa para bakul ini menjamin hidup nelayan dan keluarganya

dengan syarat seluruh hasil tangkapan di setor ke bakul. Bila musim paceklik atau

nelayan tidak membawa hasil tangkapan (empty hauling) maka nelayan boleh

berhutang kepada bakul yang pembayarannya dapat dilakukan kemudian. Uang

jaminan hidup nelayan dan keluarganya pun dihitung sebagai hutang. Demikian

pula bila nelayan ingin melakukan perbaikan atau pembelian alat/kapal baru. Para

bakul umumnya memberikan pinjaman yang merupakan utang dan harus dibayar

secara cicilan. Dengan demikian sepanjang hidupnya para nelayan Dadap ini

terus terkait dengan hutang yang sulit dibayar. Kegiatan lelang biasanya

dilakukan bila ada nelayan pendatang dari daerah lain seperti Tanjung Pasir atau

Kamal. Tetapi itu pun tidak dilakukan oleh petugas TPI melainkan oleh para

bakul. Retribusi yang diberikan tidak tentu jumlahnya.

Tempat Pelelangan Ikan Dadap secara struktural berada di bawah Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, belum diserahkan kepada KUD

Mina Bahari yang ada disana. Menurut manajer TPI Dadap rencana untuk

menyerahkan pengelolaannya kepada KUD Mina Bahari sudah sejak lama tetapi

sampai sekarang belum ada realisasinya. Sampai saat sebelum vakum,

pengelolaan TPI Dadap dilakukan oleh dua orang yaitu seorang kepala TPI dan

seorang manajer TPI. Sarana dan prasarana yang sudah dimiliki oleh TPI Dadap

antara lain: tempat pelelangan, tempar parkir, mesjid, sarana air bersih, dermaga,

es, bak air, KUD, ruang pertemuan nelayan. Sedangkan SPBU dan MCK belum

tersedia dan masih mengandalkan prasarana dan sarana perorangan.

Page 187: Muara Dadap

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kondisi Lingkungan Kawasan Dadap-Kamal Muara, pemanfaatan dan ketergantungan daerah perikanan dari TPI Dadap dan TPI Kamal Muara

5.1.1 Kondisi lingkungan kawasan Dadap-Kamal Muara

Bertambah buruknya kualitas perairan di sekitar kawasan pantai Dadap-

Kamal Muara menyebabkan aktivitas perikanan berada dalam kondisi yang

kurang baik jika dilihat dari rantai sanitasi dan higienis lingkungan dalam

kaitannya dengan proses produksi hasil perikanan. Beberapa aspek yang

dipengaruhi adalah sumberdaya ikan, habitat atau ekosistem dimana sumberdaya

ikan tersebut hidup, proses tataproduksi hasil perikanan, serta proses penanganan

dan pengolahannya.

Perairan yang tercemar akan mengakibatkan semakin tidak sesuainya

kondisi lingkungan tersebut dengan makhluk hidup yang biasanya tinggal di sana.

Pencemaran yang melampaui batas akan menyebabkan terganggunya pematangan

telur dan larva ikan; pertumbuhan larva yang tidak normal, serta mempengaruhi

proses perkembangbiakan generasi makhluk tersebut selanjutnya. Lingkungan

yang buruk ini juga akan mencegah mendekatnya induk untuk melakukan

pemijahan.

Ekosistem perairan yang tercemar akan mengganggu kesehatan makhluk

hidup yang ada di sekitarnya. Makhluk hidup yang dapat bergerak bebas seperti

ikan akan segera mencari perairan yang lebih baik dan subur, sementara yang

tidak dapat bergerak akan mencoba beradaptasi dengan lingkungannya yang

secara nyata sudah tercemar tersebut. Kerang hijau yang banyak dibudidayakan di

kawasan pantai Dadap-Kamal Muara adalah sejenis makhluk hidup yang

mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan perairan tercemar.

Menurut Setyobudiandi (2004), kandungan Pb yang tinggi di perairan Teluk

Jakarta tidak mengganggu proses metabolisme kerang hijau, meskipun kadar Pb

yang tinggi pada daging kerang hijau ini (mencapai 0,9 ppm) sudah jauh di atas

Page 188: Muara Dadap

169

ambang batas aman yang ditetapkan oleh FAO sebesar 0,05 ppm sehingga tidak

dianjurkan untuk dikonsumsi.

Menjauhnya sumberdaya ikan dari perairan di sekitar pantai Dadap-Kamal

Muara mengharuskan nelayan tradisional untuk mencari ikan lebih jauh ke tengah

ke perairan sekitar Kepulauan Seribu. Sebagaimana juga yang dirasakan oleh

nelayan yang tinggal di Kepulauan Seribu, mencari ikan dari hari ke hari semakin

sulit didapat. Nelayan sudah cukup mengetahui juga mengapa beberapa jenis ikan

banyak yang menghilang dari perairan mereka, namun upaya untuk ikut berusaha

memperbaiki kualitas lingkungan masih belum maksimal dilakukan. Tekanan

hidup yang berat telah menyebabkan upaya pelestarian ekosistem perairan bukan

merupakan prioritas utama para nelayan.

Aktivitas perikanan yang dilakukan di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal

Muara sedikit banyak berhubungan dengan kondisi perairan yang tercemar

tersebut. Untuk aktivitas pencucian perahu, alat tangkap, tempat pelelangan, dan

alat bantu lainnya selalu berkaitan dengan penggunaan air, baik air laut maupun

air sungai. Kontaminasi dari media air ini akhirnya akan sampai juga pada ikan

dan akhirnya ke konsumen.

Sebagaimana diidentifikasi oleh Suryaningrum (2003, lihat Bab 4),

peningkatan pencemaran perairan pantai Dadap juga disebabkan oleh kandungan

B3 dalam tanah urukan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk proses pengurukan

suatu perairan, belum dilakukan seleksi yang cermat terhadap material urukan

tersebut berkaitan dengan kelestarian lingkungan.

Dilihat dari aspek oseanografi (khususnya pasang surut), keberadaan TPI

Dadap dan Kamal Muara tidaklah dalam kondisi yang membahayakan. Hal ini

dilihat dari tidak terjadinya abrasi di wilayah pantai disekitarnya, tetapi malah

sedimentasi yang terus menerus dan memerlukan penanganan yang rutin agar alur

lalu lintas kapal ikan tetap terbuka dari dan ke pelabuhan.

Sebagaimana telah disampaikan dalam Bab 4, proses gerakan massa air

suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan geografis dari wilayah

Page 189: Muara Dadap

170

perairannya. Dengan memperhatikan keadaan geografis kawasan Muara Dadap,

kita dapat menduga bahwa pola arus di perairan ini sangat dipengaruhi oleh

pasang surut. Pola pasut di perairan ini ditentukan oleh pola pasut dari perairan

yang lebih besar yaitu Laut Jawa. Pasut dari Laut Jawa itu sendiri pun bukan

disebabkan oleh gaya pembangkit pasang astronomis (bulan dan matahari)

melainkan oleh rambatan pasut dari Lautan Pasifik yang memasuki Laut Jawa

melalui Laut Cina Selatan dan Selat Makasar (Pariwono 1985).

Pergerakan massa air secara mendatar (arus) di suatu perairan terbentuk

karena beberapa faktor, seperti oleh seretan angin, pasang surut, dan perbedaan

densitas air laut. Di wilayah perairan Banten, termasuk juga Teluk Dadap dan

Kamal Muara, arus laut utamanya terjadi karena pengaruh angin Muson dan

pasang surut. Mengingat wilayah utara Banten berada dalam sumbu utama angin

Muson, arus musim yang terbentuk mengalir kearah timur selama periode musim

Barat (Desember-Februari). Sebaliknya, dalam periode musim Timur (Juni-

Agustus) arus musim mengalir secara dominan ke arah barat. Kecepatan arus

Musim berkisar antara 20 sampai 40 cm/detik (PKSPL IPB 2004). Pasang surut

yang terjadi ini berasal dari Samudera Hindia yang merambat masuk melalui

perairan Selat Sunda. Sehingga secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang

surut diperkirakan bergerak ke arah utara dalam kondisi pasang, dan sebaliknya

kearah selatan dalam kondisi surut. Pengaruh kedalaman perairan lokal dan

morfologi pantai dapat memodifikasi arus tersebut.

Dengan asumsi bahwa kondisi pasut di Muara Dadap dan Kamal Muara

mirip dengan kondisi pasut di Tanjung Priok, maka perubahan yang terjadi di

Tanjung Priok akan dialami pula oleh daerah Muara Dadap. Hasil pengukuran

menunjukan bahwa kisaran pasut di Tanjung Priok adalah sekitar 1,0 m pada

waktu pasang purnama, dan sekitar 0,3 m pada waktu pasang perbani. Pasang

purnama adalah pasang tertinggi (dan surut terandah) yang dialami oleh suatu

perairan, terjadi pada bulan purnama atau bulan mati. Kebalikan pasang purnama

adalah pasang perbani, dimana kisaran pasutnya paling rendah, yang terjadi pada

waktu bulan sabit (perempat pertama dan perempat ke tiga). Pada kondisi pasang

purnama dan pasang perbani pada saat matahari berada dibelahan bumi utara

Page 190: Muara Dadap

171

(bulan Juni), dan dibelahan bumi selatan (bulan Desember). Membandingkan

kedua pasut pada kedua bulan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kisaran pasut

terbesar di Tanjung Priok terjadi pada saat kedudukan matahari berada dibelahan

bumi selatan, yaitu antara bulan Oktober hingga Februari. Keadaan ini baik

berlaku pada waktu pasang purnama maupun ketika pasang perbani. Pengaruh

utama yang ditimbulkannya pada kecepatan arus di Perairan Teluk Jakarta. Arus

pasut di perairan ini akan relatif lebih deras ketika matahari berada pada belahan

bumi selatan dibanding ketika berada dibelahan bumi utara.

Proses reklamasi yang dilakukan di Pantai Dadap dan akan dilakukan juga di

pesisir Jakarta Utara dipastikan akan menimbulkan beberapa dampak positif dan

negatif. Dampak positifnya, sebagaimana direncanakan oleh para pengembang

dan juga pemerintah, untuk Pemda Tangerang dan masyarakat Dadap antara lain:

(1) Pembangunan fasilitas umum, seperti prasarana dan sarana transportasi dan

komunikasi;

(2) Penciptaan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja;

(3) Pendapatan pemerintah

Untuk Pemkot dan masyarakat Jakarta Utara dampak positif dari kegiatan

reklamasi yang akan dilakukan adalah:

(1) pembangunan kegiatan industri;

(2) fasilitas kegiatan pariwisata;

(3) perkantoran

(4) pusat bisnis;

(5) sarana transportasi; dan

(6) perumahan penduduk untuk 750. 000 – 1,9 juta jiwa.

Dalam setiap kegiatan pembangunan, para perencana hampir selalu lebih

menonjolkan berbagai target positif yang akan dapat dicapai dibandingkan dengan

kemungkinan terjadinya dampak negatif. Meskipun dampak positif yang akan

dicapai tersebut ternyata tidak atau hanya sedikit dinikmati oleh masyarakat di

sekitar proyek tersebut. Hal ini masuk akal karena tanpa dampak positif, mustahil

suatu program pembangunan dapat dibiayai. Hanya saja, cukup banyak program

pembangunan yang sekarang dilakukan lebih mengarah pada keuntungan ekonomi

semata, artinya dampak positif hanya bagi segelintir orang dan untuk jangka

Page 191: Muara Dadap

172

pendek, tanpa memperhitungkan dampak negatif yang akan datang dalam jangka

panjang.

Reklamasi Pantai Dadap sudah menunjukkan beberapa dampak negatifnya

sebelum dampak positifnya diperoleh. Sebagaimana dapat diikuti dari berbagai

media massa (lihat Bab 4), dampak negatif yang sudah dirasakan penduduk sekitar

lokasi reklamasi adalah:

(1) terjadinya pendangkalan saluran Kali Perancis sehingga mengganggu

lalulintas perahu nelayan;

(2) kematian beberapa ekosistem mangrove

(3) peningkatan kontaminasi logam berat di perairan

(4) kerusakan prasarana transportasi selama proses pengurukan berlangsung

(kerusakan jalan karena kendaraan-kendaraan berat.

Dampak positif memang sudah diperoleh Pemda dari retribusi pengurukan

yang sudah dilakukan, meskipun tidak sebanding jika dibandingkan dengan

kerugian yang ditimbulkannya. Reklamasi yang sudah dilakukan sejak tahun

2002 dan kemudian menjadi masalah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,

yaitu:

(1) Perencanaan tidak dilakukan secara terbuka kepada semua stakeholders;

(2) Kurang sosialisasi sehingga banyak stakeholders yang mendapat informasi

yang kurang tepat;

(3) Tidak dilakukan kajian analisis dampak lingkungan terlebih dahulu;

(4) Kurang melibatkan tenaga kerja lokal sejak awal pelaksanaan proyek.

(5) Aktivitas proyek..tidak diintegrasikan dengan kepentingan penduduk lokal.

Menurut Koordinator Himpunan Nelayan Dadap Mbing, warga Desa Dadap,

Kosambi, Kabupaten Tangerang, belum mengetahui ada proyek pengurukan laut

besa-besaran di Pantai Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas

reklamasi kawasan untuk wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga,

proyek reklamasi silakan saja. Asal, warga disediakan infrastruktur seperti tempat

pelelangan ikan, pengerukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak

peduli. yang penting bagi kami para nelayan bisa tetap melaut. Kampung Giri

Baru merupakan perkampungan nelayan yang dibangun 1975. Umar Bahrudin,

Ketua RW O2, Kampung Gili Baru, Desa Dadap, mengatakan, warga dari dulu

Page 192: Muara Dadap

173

hanya ingin bekerja dengan didukung sarana prasarana yang memadai. Kepala

Desa Dadap Dames Taufik mengklaim, tidak ada masalah dengan warganya

terhadap reklamasi pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan

dan penolakan warga yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap.

(Tempo Interaktif 2005b).

Menurut Charles (1992), bidang perikanan merupakan suatu sistem yang

sangat komplek dan dinamik, dimana terjadi interaksi diantara sumberdaya-

sumberdaya alam, manusia, dan kelembagaan; dan terdapat kecenderungan yang

mengherankan bahwa konflik yang seringkali terjadi sudah dianggap sebagai

sesuatu hal yang lumrah. Konflik yang terjadi umumnya disebabkan oleh

kelangkaan sumberdaya ikan, sistem bagi hasil diantara nelayan dengan pengolah,

serta konflik pengelolaan diantara nelayan dengan pemerintah. Konflik juga

umum terjadi dengan bidang diluar perikanan, seperti kehutanan, turisme, dan

pertambangan di lautan.

Setiap permasalahan tentu ada solusinya. Menurut Widjajanto (2004),

resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan

untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses

penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik.

Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama,

konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer,

namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki

suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang

spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula.

Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel

tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial

harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat

berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal

jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang

relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif

jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang

langgeng. Dirangkum dari berbagai sumber, Widjajanto (2004) menuliskan

bahwa terdapat 4 tahap resolusi konflik, yaitu: 1) Tahap I: de-eskalasi konflik; 2)

Page 193: Muara Dadap

174

Tahap II: intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik; 3) Tahap III: problem-

solving approach; dan 4) Tahap IV: peace-building.

Dalam kasus konflik yang terjadi di kawasan Dadap, skala yang terjadi

masih sangatlah kecil karena tidak sampai melibatkan intervensi militer.

Sehingga, tampaknya resolusi yang dapat dilakukan adalah dengan komunikasi

yang baik, transparansi di antara kedua belah pihak, dan berbasis saling

menguntungkan. Widjajanto (2001) dalam Widjajanto (2004) mengusulkan

perlunya dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang

melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi

konflik Widjajanto (2004) mengutip beberapa referensi menyebutkan bahwa

aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental

Organisations (NGOs) (Aall 1996), mediator internasional (Zartman dan Touval

1996), atau institusi keagamaan (Sampson 1997 dan Lederach 1997).

Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan

yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan

disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di

tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik

menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah

berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan

identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di

suatu komunitas (Widjajanto 2004).

Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menengahi konflik

kepentingan diantara Pemerintah, pengembang, dan penduduk ini adalah:

(1) Jika untuk menghasilkan satu meter persegi luasan tanah siap pakai hasil

reklamasi diperlukan rata-rata 12,3 meter kubik, maka untuk melakukan

reklamasi sekitar 1.000 hektar sebagaimana direncanakan dalam PerDa No 5

Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, dimana berdasarkan

peraturan itu, sekitar 20 km dari 50 km total panjang pantai di Kabupaten

Tangerang atau dari Dadap Kosambi hingga pantai Tanjung Kait,

Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas pantai yang akan

direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu seluas 10 km dari laut dan

satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektar. Untuk menimbun seluas

Page 194: Muara Dadap

175

200 hektar saja, material yang dibutuhkan adalah 12,3 x 200 x 10.000 =

24.600.000 meter kubik. Sebagian dari kebutuhan material ini dapat diambil

dari dasar perairan Kali Perancis maupun Kali Kamal Muara, yang

merupakan jalur lalu lintas perahu nelayan.

(2) Pengerukan jalur lalulintas perahu nelayan di Kali Perancis sampai ke laut

yang berkedalaman sekitar 4 m, yaitu sampai sejauh 1.750 m dari garis

pantai. Jika diasumsikan kedalaman rata-rata Kali Perancis saat ini hanya

sekitar 50 cm, maka dengan lebar sungai sebesar 45 m dan panjang sungai

sampai ke laut yang berkedalam 4 m ada sekitar 2.000 m, maka jumlah

lumpur yang harus dikeruk adalah sebanyak 3,50 x 2.000 x 45 m3 = 315.000

m3. Artinya, hanya dengan memenuhi 1,28 % dari kebutuhan material

urukan maka masalah pendangkalan jalur lalu lintas perahu nelayan di Kali

Perancis sudah dapat ditanggulangi.

(3) Setelah proses pengerukan dilakukan, perlu dibangun suatu tanggul

disepanjang jalur lalu lintas kapal penangkap ikan tersebut agar terjadinya

pendangkalan dapat dihindarkan sedapat mungkin.

Konflik yang terjadi sebagai akibat dari rencana pembangunan Kota Air

Kamal Muara tidaklah seramai yang terjadi di Dadap, karena masih dalam fase

awal dimana hasil studi amdal dan masalah legal aspek dipertanyakan oleh

berbagai pihak. Mengacu pada pendapat Chua (2006) yang menyatakan bahwa

aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan dan

kesehatan wilayah pesisir, dimana faktor pertama dan keduanya adalah daratan

dan perairan, maka untuk memecahkan konflik pengelolaan sumberdaya pesisir di

kawasan Dadap-Kamal Muara, faktor manusia harus berperan secara aktif untuk

mencari solusi pemecahannya. Chua (2006) menambahkan bahwa di suatu

kawasan pesisir yang tidak terdapat komunitas manusia, proses alami dapat

menjaga kondisi wilayah tersebut tetap pristine. Untuk menanggulangi konflik di

kawasan Dadap pada tahap ini, beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk

mencari solusi masalah tersebut antara lain:

Page 195: Muara Dadap

176

(1) Semua diskusi dan perdebatan tentang aktivitas reklamasi Pantura harus

diwakili oleh semua stakeholders, tidak hanya dilakukan diantara para

pemerhati lingkungan, Pemda, dan Pemerintah Pusat;

(2) Perhatian dan pertimbangan terhadap pelestarian sumberdaya lingkungan

(plasma nutfah atau biodiversiti) harus juga memperhatikan keuntungan

yang perlu digali dan diperoleh untuk kepentingan masyarakat lokal yang

akan terkena dampaknya;

(3) Setiap perencanaan dan aktivitas yang akan dilakukan di lokasi proyek

(untuk setiap tahapan pelaksanaan proyek, mulai dari land clearing sampai

berjalannya aktivitas di lokasi tersebut setelah proyek fisik selesai), harus

dijelaskan kepada semua stakeholders, sehingga mereka akan menyadari

peran apa yang akan diambilnya.

Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap diantara para stakeholders

dicantumkan dalam Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap dan peran antar para stakeholders

STAKEHOLDERS PERAN

PEMDA

TANGERANG

(1) Melaksanakan pertemuan diantara stakeholders untuk mencari solusi masalah pengurukan pesisir Dadap

(2) Memandu diskusi diantara wakil-wakil stakeholders tentang manfaat proyek pembangunan kawasan Wisata Mutiara Dadap serta kaitannya dengan kegiatan reklamasi yang sedang dilakukan dan untung ruginya jika proyek diteruskan atau dihentikan

(3) Mengumumkan secara terbuka rencana pembangunan kawasan wisata Pantai Mutiara Dadap, dan melaksanakan sosialisasi dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal

(4) Menetapkan kepada pengembang untuk mengambil bahan urukan dari Kali Perancis dan sepanjang jalur pelayaran perahu nelayan

(5) Menetapkan kepada pengembang untuk menggunakan tenaga lokal dalam berbagai bidang

PENGEMBANG (1) Menjelaskan kepada Pemda, nelayan, dan penduduk setempat tentang proyek reklamasi yang sedang dilaksanakan serta beberapa peran dan keuntungan yang dapat diambil oleh penduduk setempat, baik saat persiapan dan pelaksanaan proyek maupun setelah berjalannya aktivitas

(2) Mendahulukan penggunaan tenaga kerja lokal dalam proses reklamasi kawasan pesisir Dadap

Page 196: Muara Dadap

177

Lanjutan Tabel 5.1 STAKEHOLDERS PERAN

(3) Melakukan pengerukan Kali Perancis dan jalur pelayaran perahu nelayan sebagai material urukan pesisir Dadap

(4) Membangun dinding penahan longsor di sepanjang Kali Perancis yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perahu dan tempat bersandarnya perahu nelayan

NELAYAN (1) Membantu pemda dan pengembang untuk melakukan

pengerukan dasar Kali Perancis dan jalur pelayaran perahu nelayan dimana lumpur hasil kerukan digunakan untuk mereklamasi perairan pesisir.

(2) Dengan bertambah dalamnya Kali Perancis maka aktivititas perikanan dapat dilakukan tanpa terganggu lagi

(3) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas wisata bahari yang telah direncanakan pemerintah dan pengembang di Pantai Mutiara Dadap

PENDUDUK LAIN (1) Melakukan koordinasi dan identifikasi kapasitas sumberdaya manusia lokal yang dapat berperan-serta, baik dalam kegiatan proyek reklamasi pantai Dadap maupun setelah kawasan Wisata Pantai Mutiara Dadap tersebut berjalan.

(2) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas wisata bahari yang telah direncanakan pemerintah dan pengembang di Pantai Mutiara Dadap

Beberapa peran yang dapat ditawarkan kepada masyarakat setempat antara

lain:

1) berperan aktif primer (ikut terlibat secara langsung baik sebagai tenaga kerja

di tahap awal aktivitas pembangunan, maupun sebagai karyawan setelah

proyek fisik selesai);

2) berperan aktif sekunder (bergerak dalam bidang sarana pendukung

kegiatan);

3) tidak berperan, artinya sudah jelas berapa rupiah nilai uang yang akan

diperoleh dari proses pembebasan lahan, dan lain-lainnya yang akan

dilakukan.

Menurut informasi Nurhayati (2003), material urukan yang akan dipakai

untuk reklamasi pantura adalah berasal dari Tanjung Burung, Pulau Tidung,

Tanjung Kait, Tanjung Pontang, Pantai Cemara, Pasir Putih, serta bekas

pertambangan timah di Pulau Bangka, dan Belitung. Jumlah material yang

dibutuhkan untuk kegiatan reklamasi tersebut mencapai 335 juta meter kubik,

Page 197: Muara Dadap

178

yang akan digunakan untuk mereklamasi pantai utara (Pantura) seluas 2.700

hektar sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Selain

memerlukan biaya transportasi yang sangat besar, pengambilan material urukan

tersebut tentu saja akan mempengaruhi ekosistim tempat material tersebut diambil.

Contoh paling nyata adalah Pulau Nipah di Batam, yang nyaris tenggelam akibat

pengerukan pasir laut oleh pengusaha untuk mereklamasi kawasan pesisir

Singapura. Reklamasi bandara Sukarno Hatta yang menggunakan pasir laut dari

perairan Indramayu, dampaknya berupa abrasi yang tidak terelakkan di pesisir

sepanjang Eretan, bahkan kini telah mendekati jalan raya Pantura. Lainnya, kasus

reklamasi Pantai Indah Kapuk, Jakarta, yang telah terbukti mendatangkan banjir

bagi penduduk setempat, apalagi jika pengurukan tersebut berskala besar.

Solusi yang disarankan untuk memecahkan masalah reklamasi ini dapat

dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Skenario solusi konflik rencana reklamasi pantura STAKEHOLDERS PERAN

PEMKOT JAKARTA UTARA

(1) Melaksanakan pertemuan diantara stakeholders untuk mencari solusi masalah rencana reklamasi pantura yang dikaitkan dengan program pembangunan DKI sebagai ibu kota negara;

(2) Memandu diskusi diantara wakil-wakil stakeholders tentang

manfaat proyek reklamasi pantura serta kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, dan pembenahan berbagai aktivitas ekonomi masyarakat yang dilakukan di lokasi umum;

(3) Mengumumkan secara terbuka rencana pembangunan kawasan kota air, dan melaksanakan sosialisasi dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal

(4) Membuat kesepakatan diantara pengembang dengan masyarakat pesisir yang terkena dampak pembangunan kota air tersebut dan memberikan gambaran secara jelas kepada setiap stakeholders apa yang akan terjadi pada saat proyek ini sudah jadi dan berkembang, serta peran aktif apa yang dapat dipegang oleh setiap stakeholders. Konsekuensi apa yang akan diterima oleh penduduk lokal jika mereka aktif/tidak aktif terlibat dalam aktivitas proyek, baik pada massa konstruksi maupun saat kegiatan sudah berlangsung.

(5) Menetapkan kepada pengembang untuk menggunakan tenaga lokal dalam berbagai bidang

Page 198: Muara Dadap

179

Lanjutan Tabel 5.2 STAKEHOLDERS PERAN

PENGEMBANG (1) Menjelaskan kepada Pemda, nelayan, dan penduduk setempat tentang proyek reklamasi yang sedang dilaksanakan serta beberapa peran dan keuntungan yang dapat diambil oleh penduduk setempat, baik saat persiapan dan pelaksanaan proyek maupun setelah berjalannya aktivitas

(2) Mendahulukan penggunaan tenaga kerja lokal dalam proses reklamasi kawasan pesisir Kamal Muara

(3) Melakukan pengerukan Kali Kamal dan jalur pelayaran perahu nelayan sebagai material urukan pesisir pantura

(4) Membangun dinding penahan longsor di sepanjang Kali Kamal yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perahu dan tempat bersandarnya perahu nelayan

NELAYAN (1) Membantu pemda dan pengembang untuk melakukan pengerukan dasar Kali Kamal dan jalur pelayaran perahu nelayan dimana lumpur hasil kerukan digunakan untuk mereklamasi perairan pesisir.

(2) Dengan bertambah dalamnya Kali Kamal maka aktivititas perikanan dapat dilakukan tanpa terganggu lagi

(3) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi

PENDUDUK LAIN (1) Melakukan koordinasi dan identifikasi kapasitas sumberdaya manusia lokal yang dapat berperan-serta, baik dalam kegiatan proyek reklamasi pantura maupun setelah program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi tersebut berjalan.

(2) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi

Menurut analisis Nurhayati (2003), Pemda DKI Jakarta tidak pernah menilai

ongkos kerusakan ekosistem, seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang,

ikan, dan ekosistem laut yang akan hilang dan terusir dari kawasan ini. Selain itu,

hilangnya mata pencarian ribuan pembudidaya ikan yang memanfaatkan Teluk

Jakarta selama ini, tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Pemda DKI tidak

pernah mengkaji secara mendalam aspek sosial dari penggusuran secara besar-

besaran terhadap penduduk setempat yang selama ini menjadi bagian dari sebuah

lingkungan dan turut menjaga dan melestarikannya, tetapi diusir yang belum jelas

mau dikemanakan dan akan bekerja apa nantinya. Sedangkan keahlian mayoritas

di kawasan itu adalah budidaya dan menangkap ikan.

Page 199: Muara Dadap

180

Chua (2006) menjelaskan bahwa solusi untuk permasalahan yang komplek

di kawasan pesisir memerlukan suatu paradigma yang bergeser dari pendekatan

konvensional yang sekarang dilakukan ke suatu perencanaan yang cukup matang,

berorientasi ke masa depan, didasarkan pada paradigma pengelolaan yang objektif

yang mengintegrasikan antara kebijakan, peraturan perundang-undangan,

mekanisme implementasi, didukung pengetahuan ilmiah, pendanaan, dan

kapasitas pemberdayaan. Namun demikian, terdapat juga beberapa faktor

penghambat yang terus menerus yang menahan laju keberhasilan. Pertama,

terlalu banyak pihak yang terlibat dalam memperebutkan sumberdaya yang

terbatas sehingga memunculkan konflik multidimensi. Kedua, adanya

ketidakpastian (uncertainty) karena adanya kapasitas daya dukung lingkungan.

Sampai saat ini para ahli ilmu pengetahuan belum dapat menyediakan metoda

yang dapat diandalkan untuk menghitung atau memperkirakan daya dukung

lingkungan suatu ekosistem. Ketiga, pengelolaan sumberdaya alam gagal untuk

menyesuaikan diri dengan perubahan populasi dan ekonomi yang cepat di wilayah

pesisir. Seringkali, pengelolaan sumberdaya alam cenderung terbatas untuk

menanggulangi krisis pengelolaan secara khusus. Keempat, tidak terdapat institusi

yang dapat dijadikan home-base untuk ICZM, artinya tidak ada lembaga yang

khusus dibentuk untuk menjalankan program ICZM. Kelima, banyak bantuan

dana luar negeri tidak digunakan secara efektif karena buruknya koordinasi

diantara lembaga-lembaga terkait.

Kebijakan pembangunan pemerintah daerah di Indonesia rata-rata lebih

didominasi oleh kepentingan politik jika dibandingkan dengan pertimbangan

ilmiah atau untuk kepentingan umum. Sebagai contoh, landasan hukum dari

proyek reklamasi Pantura sangat kontroversial, proyek ini tidak ada dalam

peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) 1960 - 1985

maupun RUTR 1985 - 2005. Tetapi tiba-tiba saja lahir Keppres No. 52 tahun

1995 tentang Reklamasi Pantura. Hal yang janggal ini justru dijadikan dalih oleh

Pemprov DKI untuk melakukan pelanggaran. Dalam Peraturan Daerah No. 6

tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan

tentang reklamasi pantura. Selain itu, Keppres No. 52 sangat tidak visibel dan

tidak mengakomodir kepentingan ekologi dan sosial. Oleh karena itu, maka

Page 200: Muara Dadap

181

dalam rangka konsolidasi di tingkatan LSM peduli lingkungan termasuk WALHI

Jakarta dan LP3ES pada 3 April 2003 lalu, forum sepakat untuk mengadakan

gugatan judicial review terhadap Keppres tersebut, bila diperlukan (Nurhayati

2003).

Ketidaksetujuan terhadap proyek reklamasi pantura juga ada di kalangan

birokrasi. Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta, Emil Salim mantan Menteri

Lingkungan Hidup menentang keras proyek ini. Bahkan, terakhir Menteri LH

Nabiel Makarim, mengecam proyek ini dengan mengeluarkan SK Menteri No. 14

tahun 2003 untuk mencabut Keppres tentang Reklamasi Pantai Pantura Jakarta

dan diganti dengan Keppres pembatalan Reklamasi Pantai Pantura; dan yang

paling hangat pada tanggal 5 Mei 2003 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan

Rokhmin Dahuri baru-baru ini, Rokhmin Dahuri mendukung Nabiel Makarim soal

reklamasi (Nurhayati 2003).

Dipandang dari aspek konservasi sumberdaya perairan yang berbentuk flora

atau fauna bawah air, upaya reklamasi yang dilakukan oleh para pengembang

(juga di kawasan pesisir lainnya) sangat merugikan karena apa yang hidup di dasar

perairan belum seluruhnya sudah teridentifikasi. Dengan demikian, sumberdaya

plasma nutfah yang sangat berragam tersebut akan menjadi punah karena

dilakukannya penimbunan dasar perairan.

Kenyataan menunjukkan bahwa aktivitas eksplorasi yang bertujuan untuk

mengidentifikasi keragaman spesies yang terdapat di kawasan pesisir Indonesia

sebagian besar belum dilakukan. Kalaupun sudah, hanya dilakukan di sebagian

kecil kawasan yang mendapat kajian amdal pesisir yang sangat lengkap, sehingga

kekayaan spesies yang terdapat di dasar perairan pesisir dapat teridentifikasi.

Peningkatan polusi lingkungan perairan di beberapa kawasan pesisir

Indonesia (termasuk di lokasi penelitian) sudah sangat parah. Hal ini ditunjukkan

dengan warna air laut yang sudah kehitam-hitaman dengan bau yang lumpur yang

menusuk. Dalam kondisi perairan seperti ini, keberadaan berbagai spesies flora

dan fauna dikhawatirkan sudah mengalami kepunahan sehingga upaya reklamasi

yang dilakukan merupakan aktivitas yang dinilai lebih menguntungkan sepanjang

untuk tujuan menciptakan lingkungan yang lebih baik.

Page 201: Muara Dadap

182

5.1.2 Analisis tingkat ketergantungan kawasan Dadap dan Kamal Muara terhadap perikanan

Untuk melihat seberapa jauh ketergantungan kawasan Dadap-Kamal Muara

terhadap aktivitas perikanan, maka analisis data perikanan antara tahun 1999

sampai 2003, menunjukkan hasil sebagaimana tercantum pada Tabel 5.3 sampai

dengan Tabel 5.10. Hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dengan

menggunakan WSA program dicantumkan dalam Lampiran 1.

Tabel 5.3 Rasio jumlah nelayan terhadap total penduduk (RNt) t

ti

PN

tRN ∑=

TAHUN RNt –Dadap/Tangerang RNt –Kamal Muara/Jakarta Utara

1999 1.330/2.508.826 = 0,0005301 723/1.105.270 = 0,0006541

2000 1.330/2.632.460 = 0,0005052 717/1.115.189 = 0,0006429

2001 1.345/2.873.256 = 0,0004681 717/1.134.253 = 0,0006321

2002 1.351/3.056.423 = 0,0004420 715/1.149.732 = 0,0006219

2003 1.351/3.185.994 = 0,0004240 715/1.169.785 = 0,0006112

RNt 0,0004739 0,0006324

Tabel 5.4 Rasio jumlah nelayan terhadap total tenaga kerja (RMt) t

ti

TKN

tRM ∑=

TAHUN RMt –Dadap/Tangerang RMt –Kamal Muara/Jakarta Utara

1999 1.330/1.254.413 = 0,00106026 723/662.635 = 0,001091098

2000 1.330/1.316.230 = 0,00101046 717/557.595 = 0,001285879

2001 1.345/1.436.628 = 0,00093622 717/567.127 = 0,001264267

2002 1.351/1.528.212 = 0,00088404 715/574.866 = 0,001243768

2003 1.351/1.592.997 = 0,00084809 715/584.893 = 0,001222445

RMt 0,0009478 0,001221489

Tabel 5.5 Rasio jumlah hasil tangkapan ikan ∑∑=

tj

ti

PI

PItRPI

TAHUN RPIt –Dadap/Tangerang RPIt –Kamal Muara/Jakarta Utara

1999 3.407.844/11.619.400 = 0,293289154 256.080/95.508.195 = 0,002681

2000 3.634.528/16.896.000 = 0,215111742 285.200/57.809.547 = 0,004933

2001 4.266.704/17.725.900 = 0,240704505 548.060/48.698.102 = 0,011250

2002 3.983.649/16.854.250 = 0,236358722 539.500/56.473.208 = 0,009553

2003 3.309.000/16.834.000 = 0,196566531 529.550/58.665.878 = 0,009063

RPIt 0,236406086 0,007496

Page 202: Muara Dadap

183

Tabel 5.6 Rasio jumlah kapal ikan (RKt)

TAHUN RKt –Dadap/Tangerang RKt –Kamal Muara/Jakarta Utara

1999 289/910 = 0,317582 1.091/3.442 = 0,316967

2000 289/900 = 0,321111 1.091/3.445 = 0,316691

2001 288/908 = 0,317181 1.094/3.450 = 0,317101

2002 288/909 = 0,316832 1.096/3.453 = 0,317505

2003 288/1.903 = 0,151340 1.097/3.456 = 0,317419

RKt 0,284092 0,3171366

Tabel 5.7. Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan (RTKPt)

∑∑=

tm

ti

TK

TKPtRTKP

TAHUN RTKPt –Dadap/Tangerang RTKPt –Kamal Muara/Jakarta Utara

1999 22/1.254431 = 0,0000175378 30/552.635 = 0,0000542854

2000 19/1.316.230 = 0,0000145322 30/557.595 = 0,0000538025

2001 18/1.426.628 = 0,0000126172 27/567127 = 0,0000476084

2002 16/1.528.212 = 0,0000469752 27/574.866 = 0,0000469675

2003 16/1.592.997 = 0,0000439112 25/584.893 = 0,0000427429

RTKP 0,00027114 0,000050319

Tabel 5.8 Rasio kontribusi sektor perikanan wilayah desa terhadap wilayah

kabupaten/kota (KPIti) nPDBTPDBP

tiitKPI ∑∑=)/(

TAHUN KPIt –Dadap/Tangerang KPIt –Kamal Muara/Jakarta Utara

1999 19/4.872.871 = 0,00000389914 12,800/12.687.807 = 0,00000100884

2000 16/4.143.805 = 0,00000386119 39,091/13.121.547 = 0,00000297915

2001 13/4.354.487 = 0,00000298543 71,193/14.646.409 = 0,00000486078

2002 11/4.533.161 = 0,00000242656 62,099/15.192.265 = 0,00000408754

2003 9,9/4.761.955 = 0,00000207898 73,897/16.759.956 = 0,00000440914

KPIti 0,000003049 0,000003468

∑∑=

ti

ti

KI

JKtRK

Page 203: Muara Dadap

184

Tabel 5.9 Rasio kesempatan kerja sektor perikanan wilayah desa terhadap total

jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (KPIti) t

ti

PKK

tRKK ∑= TAHUN RKKIt –Dadap/Tangerang RKKIt –Kamal Muara/Jakarta Utara

1999 3/2.508.826 = 11,9578e-7 3/1.105.270 = 2,7143e-6

2000 2/2.632.460 = 7,5975e-7 3/1.115.189 = 2,6901e-6

2001 2/2.873.256 = 6,9607e-7 3/1.134.253 = 2,6449e-6

2002 2/3.056.423 = 6,5436e-7 3/1.149.732 = 2,6093e-6

2003 2/3.185.994 = 6,2775e-7 3/1.169.785 = 2,5646e-6

RKKti 7,8674e-7 2,6446e-6

Tabel 5.10 Rasio industri sektor perikanan wilayah desa terhadap jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (RIti)

t

ti

PKK

tiRI ∑=

TAHUN RIt –Dadap/Tangerang RIt –Kamal Muara/Jakarta Utara

1999 1/2.508.826 = 3,9859e-7 1/1.105.270 = 9,0476e-7

2000 1/2.632.460 = 3,7987e-7 1/1.115.189 = 8,9671e-7

2001 1/2.873.256 = 3,4804e-7 1/1.134.253 = 8,8164e-7

2002 1/3.056.423 = 3,2718e-7 1/1.149.732 = 8,6977e-7

2003 1/3.185.994 = 3,1384e-7 1/1.169.785 = 8,5486e-7

RIti 3,53504e-7 8,81548e-7

Jika nilai-nilai variabel ketergantungan ekonomi tersebut dirata-ratakan

untuk jangka waktu 5 tahun tersebut, maka diperoleh data input sebagaimana

tercantum dalam Tabel 5.11.

Tabel 5.11 Hasil rataan variabel ketergantungan daerah penangkapan.

Input data set VARIABEL DADAP KAMAL MUARA BOBOT

RN 0,0004739 0,0006324 8 RM 0,0009478 0,001221489 8 RPI 0,236406086 0,007496 8 RK 0,284092 0,3171366 8 RTKP 0,00027114 0,000050319 8 KPI 0,000003049 0,000003468 8 RKK 7,87E-07 2,64E-06 2 RI 3,54E-07 8,82E-07 2

Page 204: Muara Dadap

185

Dengan menggunakan multicriteria evaluation of alternatives maka

dihasilkan perhitungan sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.12.

Tabel 5.12 Hasil modifikasi dari input data rataan variabel ketergantungan daerah penangkapan.

VARIABEL DADAP KAMAL MUARA

BOBOT IDEAL BASAL

MAX RN 0,0004739 0,0006324 0,15385 0,0006324 0,0004739

MAX RM 0,0009478 0,001221489 0,15385 0,001221489 0,0009478

MAX RPI 0,236406086 0,007496 0,15385 0,236406086 0,007496

MAX RK 0,284092 0,3171366 0,15385 0,3171366 0,284092

MAX RTKP 0,00027114 0,000050319 0,15385 0,00027114 0,000050319

MAX KPI 0,000003049 0,000003468 0,15385 0,000003468 0,000003049

MAX RKK 7,87E-07 2,64E-06 0,03846 2,6446E-06 7,8674E-07

MAX RI 3,54E-07 8,82E-07 0,03846 8,81548E-07 3,53504E-07

Setelah dilakukan pengolahan standarisasi data dengan normalisasi,

diperoleh hasil sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.13.

Tabel 5.13 Hasil normalisasi data berbagai variable ketergantungan perikanan daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003.

VARIABEL DADAP KAMAL MUARA BOBOT IDEAL BASAL

MAX RN 0,00000 1,00000 0,15385 0,0006324 0,0004739

MAX RM 0,00000 1,00000 0,15385 0,001221489 0,0009478

MAX RPI 1,00000 0,00000 0,15385 0,236406086 0,007496

MAX RK 0,00000 1,00000 0,15385 0,3171366 0,284092

MAX RTKP 1,00000 0,00000 0,15385 0,00027114 0,000050319

MAX KPI 0,00000 1,00000 0,15385 0,000003468 0,000003049

MAX RKK 0,00000 1,00000 0,03846 2,6446E-06 7,8674E-07

MAX RI 0,00000 1,00000 0,03846 8,81548E-07 3,53504E-07

Analisis multi kriteria dengan pemberian bobot antara 0-1 terhadap setiap

variabel tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan daerah perikanan dari Desa

Dadap lebih kecil dari pada Kelurahan Kamal Muara dengan nilai 0,30769 dan

0,69231. Sementara itu, lebih banyak variabel yang berpengaruh terhadap Kamal

Page 205: Muara Dadap

186

Muara (yaitu RN, RM, RK, RKK, dan RI) jika dibandingkan dengan Dadap (RPI

dan RTKP).

Dengan cara yang sama dilakukan analisis data per tahun. Hasil analisis

data menunjukkan bahwa dari tahun 1999 sampai 2003, nilai ketergantungan

kedua daerah tersebut menunjukkan adanya perubahan, sebagaimana dapat dilihat

pada Tabel 5.14.

Tabel 5.14 Hasil analisis data tahunan berbagai variable ketergantungan perikanan daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003.

TAHUN LOKASI Dadap Kamal Muara

1999 0,46154 0,53846 2000 0,46154 0,53846 2001 0,34615 0,65385 2002 0,30769 0,69231 2003 0,19231 0,80769

Dari Tabel 5.14 terlihat bahwa nilai ketergantungan perikanan dari Desa

Dadap berubah semakin kecil jika dibandingkan dengan Kelurahan Kamal Muara.

Pada tahun 1999 dan 2000, nilai ketergantungan perikanan Desa Dadap sebesar

0,46154 sedangkan Kelurahan Kamal Muara sebesar 0,53846. Menurut Briguglio

(1995) dalam Symes (2000), besaran nilai ini termasuk tipe ketergantungan

sedang. Pada tahun 2001 dan 2002, status ketergantungan perikanan Desa Dadap

bertambah kecil sedangkan sebaliknya Kelurahan Kamal Muara semakin besar

(dengan tipe ketergantungan sedang). Baru pada tahun 2003, sementara

ketergantungan Desa Dadap terhadap perikanan semakin kecil, maka

ketergantungan perikanan Kelurahan Kamal Muara semakin besar dan termasuk

kelompok besar.

Menurut Phillipson (2000), analisis ketergantungan perikanan dapat

dilakukan secara lengkap dengan menghitung juga indeks sosial-demografis.

Indeks sosial-demografis ini termasuk demografi {pertumbuhan dan struktur

penduduk (tingkat kenaikan/penurunan jumlah penduduk tahunan); rasio

ketergantungan (rasio penduduk dibawah usia kerja/manula terhadap populasi

tenaga kerja); rasio gender; tingkat kelahiran dan kematian kasar; tingkat migrasi

Page 206: Muara Dadap

187

bersih; densitas populasi, tingkat perceraian dan perkawinan}, perumahan {indeks

pembangunan rumah baru; tingkat penghunian (jumlah rata-rata orang yang

tinggal dalam setiap ruangan); indeks keramah-tamahan (amenity) (rata-rata

jumlah mobil, jumlah rumah tangga tanpa kebutuan dasar); indeks kepemilikan

(proporsi antara rumah milik yang ditempati, disewakan, dll); kesehatan {harapan

hidup, tingkat kematian bayi, indeks pemeliharaan kesehatan (rata-rata jumlah

rumahsakit, dokter gigi, dokter, dan jumlah tempat tidur di rumah sakit per

populasi penduduk); serta pendidikan {tingkat pendidikan (jumlah dan katagori

pendidikan pada berbagai kualifikasi). Meskipun indeks ketergantungan

perikanan dan indeks ketergantungan ekonomi diberi bobot yang lebih besar

karena mempunyai relevansi langsung terhadap ketergantungan regional,

meskipun masih dapat menjadi bahan perdebatan. Sulitnya mendapatkan data

yang akurat menyebabkan indeks sosial-demografis ini tidak dapat dilakukan.

Realita di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan pembangunan

fisik infrastruktur di Desa Dadap (antara lain bertambahnya areal pergudangan)

tampaknya juga berpengaruh terhadap status ketergantungan terhadap kegiatan

perikanan. Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa TPI Dadap

sudah tidak layak lagi sebagai tempat pendarat kapal ikan, jadi perlu dikonversi

menjadi tempat lain yang sesuai dengan perkembangan program pembangunan di

sekitarnya.

5.2 Analisis Struktur Komposisi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah, Pemusatan Aktivitas serta Distribusi dan Hierarki Pelayanan Fasilitas Sosial

Aspek pengembangan wilayah di kawasan Dadap-Kamal Muara

menunjukkan gambaran terjadinya pergeseran kemajuan dari arah Dadap ke

Kamal Muara da n terus ke arah pusat Kota Jakarta Utara. Pergeseran ini tampak

dari hasil analisis skalogram dan shift share. Pengembangan wilayah di kawasan

penelitian berlangsung relatif cepat, khususnya di wilayah timur yang termasuk

DKI Jakarta. Meskipun lebih lambat, gerak pembangunan fisik di wilayah Dadap

juga lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah di sebelah baratnya.

Page 207: Muara Dadap

188

5.2.1 Komposisi pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah

Shift share (pergeseran pertumbuhan) adalah analisis yang digunakan untuk

mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan yang dapat diidentifikasi

dengan menggunakan data yang sama dengan data untuk identifikasi pusat

pertumbuhan, yaitu data penduduk menurut aktivitas perekonomian yang

dilakukan serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setiap kabupaten/kota.

Data PDRB Provinsi Banten dicantumkan dalam Lampiran 2, sedangkan PDRB

Kota Jakarta Utara pada Lampiran 3. Kabupaten Serang dan Analisis shift share

juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor atau aktivitas apa yang paling

kompetitif dikembangkan di setiap unit analisis. Nilai koefisien shift share yang

negatif menunjukkan terjadinya penurunan laju aktivitas, dan sebaliknya nilai

koefisien yang posisif menunjukkan terjadinya peningkatan laju aktivitas.

Dalam penelitian ini, analisis shift share digunakan untuk memahami pola

perkembangan aktivitas perekonomian yang paling kompetitif sekaligus paling

dinamis di wilayah penelitian. Informasi ini diperlukan untuk kebutuhan

membangun Model Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara

dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir.

Nilai setiap komponen tersebut berkisar dari negatif hingga tak hingga

sampai dengan positif tak hingga. Nilai differential share yang positif di suatu

unit analisis pada aktivitas tertentu menunjukkan bahwa aktivitas tersebut

kompetitif untuk di unit tersebut. Sebaliknya, jika negatif berarti aktivitas tersebut

tidak kompetitif jika dijadikan sebagai pilihan aktivitas. Profil pertumbuhan

PDRB Kabupaten Tangerang periode 2000 -2002 dicantumkan pada Gambar 5.1.

Berdasarkan hasil analisis shift share, untuk Kabupaten Tangerang nilai

pertumbuhannya adalah sebesar 22,25 %, dengan komponen pertumbuhan

proporsional (PP.j) sebesar 0,4 dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah

(PPW.j) sebesar 0,7. Dengan mengekspresikan persen perubahan komponen

pertumbuhan proporsional (PP.j) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW.j) pada

sumbu PP (sebagai absis) dan PPW (sebagai ordinat), tampak bahwa PDRB

Page 208: Muara Dadap

189

Kabupaten Tangerang terletak pada Kwadran I, yang berarti sektor-sektor tersebut

pertumbuhannya cepat (PP.j=0). Demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-

sektor tersebut cukup baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya

(PPW.j=0). Hal ini juga menunjukkan bahwa pergeseran bersih bernilai positif

(PB.j=0) yang berarti Kab. Tangerang merupakan wilayah progresif.

Gambar 5.1. Profil pertumbuhan PDRB Kabupaten Tangerang 2000 -2002

Hasil analisis shift share untuk Kota Jakarta Utara menunjukkan bahwa nilai

pertumbuhannya adalah sebesar -9,93 %, dengan komponen pertumbuhan

proporsional (PP.j) sebesar -0,51 dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah

(PPW.j) sebesar -0,38. Dengan mengekspresikan persen perubahan komponen

pertumbuhan proporsional (PP.j) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW.j) pada

sumbu PP (sebagai absis) dan PPW (sebagai ordinat) sebagaimana dapat dilihat

pada Gambar 5.2.

Dari Gambar 5.2 tampak ternyata Kota Jakarta Utara terletak pada Kwadran

III, yang berarti sektor-sektor tersebut pertumbuhannya lambat (PP.j=0) dan juga

-1.00

-0.50

0.00

0.50

1.00

-1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00

PPW

PP

PB.j=0

IV I

IIIII

Page 209: Muara Dadap

190

daya saing wilayah untuk sektor-sektor pertumbuhannya lambat apabila

dibandingkan dengan wilayah lainnya (PPW.j=0). Hal ini juga menunjukkan

bahwa pergeseran bersih bernilai negatif (PB.j=0) yang berarti Kota Jakarta Utara

merupakan wilayah lamban.

Gambar 5.2. Profil pertumbuhan PDRB Kota Jakarta Utara 2000-2003

5.2.2 Pemusatan aktivitas ekonomi wilayah

Sebagaimana telah dinyatakan dalam Bab 3, analisis LQ (Location Quotient)

digunakan untuk menganalisis pergeseran pemusatan pusat-pusat pertumbuhan

ekonomi di lokasi penelitian (Kecamatan Penjaringan-Jakarta Utara dan

Kecamatan Kosambi-Kabupaten Tangerang), untuk kurun waktu antara 2000 –

2002. Berdasarkan ketentuan dalam analisis LQ, dapat dijelaskan bahwa apabila

LQ kurang dari 1, maka di daerah tersebut tidak terjadi pusat aktivitas. Disamping

itu, dapat pula diartikan bahwa wilayah dengan koefisien LQ kurang dari 1

merupakan wilayah yang aktivitas di sektor yang dikaji memiliki intensitas yang

lebih rendah dibandingkan dengan rataan aktivitas di seluruh wilayah yang dikaji.

Sebagian dari penduduk wilayah yang bersangkutan harus memanfaatkan fasilitas

atau melakukan aktivitas tersebut di wilayah luar administrasinya. Sedangkan

-1.00

-0.50

0.00

0.50

1.00

1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00

PPW

P

PB.j=0

IV I

IIIII

Page 210: Muara Dadap

191

apabila nilai LQ lebih besar dari 1, maka berdasarkan hasil analisis ditentukan

bahwa daerah tersebut menjadi pusat aktivitas. Indeks LQ yang lebih besar dari 1

juga mengindikasikan terjadinya aktivitas yang sangat intensif dan melebihi rata-

rata wilayah lain. Banyak penduduk dari wilayah lain yang memanfaatkan

fasilitas penunjang aktivitas ataupun melakukan aktivitas sektor tersebut di

wilayah yang bersangkutan.. Sementara apabila nilai LQ sama dengan 1, maka

diartikan bahwa sub wilayah tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara atau

sama dengan pangsa lokal.

Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Tangerang

lapangan usaha (komoditi unggulan) yang perlu dikembangkan adalah listrik, gas

dan air (nilai LQ 1,47); keuangan, persewaan dan jasa (nilai LQ 1,38); industri

pengolahan (nilai LQ 1,09); dan pertanian termasuk perikanan (nilai LQ 1,07).

Dengan demikian, komoditi perikanan, sebagai sektor yang dikaji dalam

penelitian ini masih merupakan sektor unggulan karena nilai LQ > 1 dan sudah

terspesialisasi dengan baik. Hasil analisis LQ sesaat dan LQ dari tahun 2000 –

2002 untuk Kabupaten Tangerang dapat dilihat pada Gambar 5.3 dan Gambar 5.4.

Keterangan:1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Galian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air; 5. Bangunan; 6. Perdagangan, Hotel dan Restauran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa.

Gambar 5.3. Grafik LQ sesaat untuk komoditi unggulan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 2003

Nilai LQ

-

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Page 211: Muara Dadap

192

Keterangan: 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Galian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air; 5. Bangunan; 6. Perdagangan, Hotel dan Restauran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa.

Gambar 5.4. Grafik LQ untuk komoditi unggulan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 2000 - 2002

Perhitungan nilai LQ secara berturut dari tahun 2000 hingga tahun 2002

terhadap lapangan usaha (komoditi) unggulan di Kabupaten Tangerang

menunjukkan adanya kecenderungan tidak terjadi perubahan yang berarti (relatif

stabil), baik untuk sektor listrik, gas dan air; keuangan, persewaan dan jasa;

industri pengolahan; maupun untuk sektor pertanian, termasuk perikanan. Dapat

dikatakan bahwa peningkatan sektor unggulan untuk meningkatkan nilai LQ

nampaknya harus ada input dari luar daerah untuk merangsang pertumbuhan

masing-masing sektor di daerah ini.

Untuk analisis LQ Jakarta Utara, lapangan usaha (komoditi unggulan) yang

perlu dikembangkan adalah industri pengolahan (nilai LQ 2,44) dan pertanian

(nilai LQ 1,69), dan sektor pengangkutan dan komunikasi (nilai LQ 1,42).

Dengan demikian, komoditi pertanian yang didalamnya termasuk perikanan,

sebagai sektor yang dikaji dalam penelitian ini masih merupakan sektor unggulan

karena nilai LQ > 1 dan sudah terspesialisasi dengan baik, sebagaimana

dicantumkan dalam Gambar 5.5 dan Gambar 5.6.

-

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1.80

Nilai LQ 2000 Nilai LQ 2001 Nilai LQ 2002

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Page 212: Muara Dadap

193

Keterangan: 1. Pertanian; 2. Industri Pengolahan; 3. Listrik, Gas dan Air; 4. Bangunan; 5. Perdagangan, Hotel dan Restauran; 6. Pengangkutan dan Komunikasi; 7. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 8. Jasa-jasa.

Gambar 5.5. Grafik LQ sesaat untuk komoditi unggulan di Kota Jakarta Utara pada Tahun 2003

Keterangan: 1. Pertanian; 2. Industri Pengolahan; 3. Listrik/Gas/Air; 4. Bangunan; 5. Perdagangan/Hotel dan Restauran; 6. Pengangkutan/Komunikasi; 7. Keuangan/PersewaanJasa Perusahaan; 8. Jasa-jasa.

Gambar 5.6. Grafik LQ untuk komoditi unggulan di Kota Jakarta Utara pada Tahun 2000 – 2003

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

Nilai LQ 2000 Nilai LQ 2001 Nilai LQ 2002 Nilai LQ 2003

1

2

3

4

5

6

7

8

LQ 2003

1.69

2.44

0.76 0.71 0.66

1.42

0.220.40

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

1 2 3 4 5 6 7 8

LQ 2003

Page 213: Muara Dadap

194

5.2.3 Distribusi dan hierarki pelayanan fasilitas sosial

Dari hasil analisis skalogram dapat disimpulkan bahwa untuk wilayah

Kecamatan Penjaringan yang menjadi pusat pelayanan atau pusat pengembangan

wilayah utama adalah Kelurahan Pejagalan dan Kelurahan Pluit. Di Kamal

Muara, masih banyak kekurangan fasilitas sosial antara lain pelayanan kesehatan

(rumah bersalin dan bidan), pelayanan pendidikan (SMA dan perpustakaan), dan

sarana penunjang perekonomian (pasar inpres, mall, swalayan, restaurant, hotel,

dll.). Meskipun demikian, untuk Kecamatan Kosambi, Dadap merupakan pusat

pelayanan atau pusat pengembangan, dengan total jumlah fasilitas mencapai 18

tipe fasilitas. Kondisi ini berbeda dengan Kamal Muara dimana jumlah total

fasilitasnya mencapai 19 tipe namun termasuk wilayah yang masih kekurangan

fasilitas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi pergerakan penduduk

dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas pelayanan, dimana diperkirakan penduduk

yang bermukim di wilayah Dadap atau Kamal Muara bergerak ke wilayah sekitar

Kecamatan Penjaringan seperti Pejagalan dan Pluit, karena di wilayah ini fasilitas

pelayanannya cukup lengkap. Data selengkapnya mengenai hasil analisis

skalogram untuk wilayah Kecamatan Penjaringan dan Kecamatan Kosambi dapat

dilihat pada Tabel 5.15 dan Lampiran 4 dan Lampiran 5.

Jumlah tipe fasilitas yang terdapat di Desa Dadap adalah 18, hal ini

menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Kecamatan

Kosambi (yang jumlah total tipe fasilitasnya sebanyak 111 buah), maka Desa

Dadap merupakan desa yang paling maju. Namun demikian, untuk Kelurahan

Kamal Muara (dengan jumlah tipe fasilitas 19 buah) jika dibandingkan dengan

kelurahan-kelurahan lainnya di Kecamatan Penjaringan (yang jumlah total tipe

fasilitasnya sebanyak 148 buah), maka Kelurahan Kamal Muara merupakan

kawasan yang paling kurang maju. Dari keseluruhan gambaran tersebut dapat

diamati bahwa pergerakan kemajuan pembangunan di tingkat desa dan kelurahan

di kawasan Dadap-Kamal Muara bergerak mengarah ke pusat aktivitas di Ibu Kota

Jakarta. Kondisi ini memang akan memicu terjadinya migrasi tenaga kerja dari

tempat yang kurang ke tempat yang banyak fasilitasnya.

Page 214: Muara Dadap

195

Tabel 5.15 Hierarki wilayah Kecamatan Kosambi dan Penjaringan berdasarkan analisis skalogram

Jumlah Tipe Fasilitas

Jumlah Unit Fasilitas

Peringkat

Kosambi Dadap 18 64 1 Kosambi Timur 15 32 2 Salembaran Jaya 12 39 3 Rawa Burung 11 42 4 Rawa Rengas 10 45 5 Cengklong 10 32 6 Belimbing 10 26 7 Jati Mulya 9 28 8 Kosambi Barat 8 17 9 Salembaran Jati 8 17 10

Jumlah Tipe 111 Jumlah Unit 342 Penjaringan

Pejagalan 37 339 1 Pluit 34 164 2 Penjaringan 31 205 3 Kapuk Muara 27 92 4 Kamal Muara 19 45 5

Jumlah Tipe 148 Jumlah Unit 845

Untuk mengurangi tekanan dari kemungkinan terjadinya migrasi penduduk

dari daerah sekitar Dadap ke ke arah wilayah DKI Jakarta (yang berarti pula

terjadinya pergesaran kegiatan ekonomi), maka Pemerintah Kabupaten Tangerang

harus menciptakan berbagai kegiatan yang dapat memancing terjadinya

pergerakan orang dan barang (aktivitas ekonomi) dari daerah disekitar kawasan

Dadap ke wilayah Tangerang sendiri. Rencana pembangunan kawasan wisata

Pantai Pasir Putih Mutiara Dadap merupakan salah satu peluang untuk terjadinya

hal tersebut. Namun demikian, suatu studi kelayakan yang menyeluruh perlu

dilakukan mengingat keberadaan pusat-pusat kegiatan wisata yang ada di wilayah

Jakarta Utara akan sangat sulit untuk ditandingi. Pengembangan objek wisata

yang terjangkau oleh masyarakat luas (lebih murah), baik harga tiket masuk dan

maupun harga-harga produk yang dijajakan, sarana dan prasarana transportasi

yang memadai, serta objek wisata dan atraksi yang disajikan tetap menarik para

wisatawan.

Page 215: Muara Dadap

196

5.3 Analisis pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara Pengembangan suatu pelabuhan perikanan harus mempertimbangkan

kondisi lahan yang tersedia di kawasan tersebut. Sebagai daerah yang terletak di

perbatasan kabupaten/kota dan provinsi, kawasan Dadap-Kamal Muara

mempunyai tingkat perubahan pemanfaatan lahan yang sangat pesat.

5.3.1 Pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara

Sebagai kawasan yang terletak di perbatasan antara Pemkot Jakarta Utara

dan Kabupaten Tangerang, dinamika perencanaan pembangunan di kawasan ini

sangat tinggi. Hal ini dapat diamati dari berbagai berita di media massa, mulai

dari aktivitas perencanaan pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya,

Pelabuhan Peti Kemas atau Kapal Barang, dan kawasan Wisata Mutiara Dadap.

Dinamika perencanaan yang tinggi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya Orde

Otonomi Daerah yang telah terjadi dan melahirkan konsep desentralisasi sistem

pemerintahan. Berdasarkan perjanjian kerjasama antara BPP Teknologi dan

Perum Angkasa Pura II yang tertuang dalam surat No SWT 07/HK.90/APH-1993

dan No. 345/DB- PKA/BPPT/XII/93, BBP Teknologi telah menyewa sebidang

tanah seluas 6,5 hektar di pantai Muara Dadap, Desa Dadap, Kecamatan Kosambi

Kabupaten Tangerang. Tanah tersebut diperuntukkan sebagai Dermaga Sandar

Kapal Riset BPPT Baruna Jaya, yang awalnya berupa tanah kosong dan tidak

berpenduduk. Menurut berita Media Indonesia, sejak tahun anggaran 1994/95,

BPPT sudah mengaspal dan mengembangkan site plan dan pemagaran di lokasi

tanah kosong tadi. Atas dasar itu, BPPT meminta agar pihak yang berkepentingan

di kawasan itu mengetahui bahwa pembangunan dermaga sandar Armada Kapal

Riset BPPT Baruna Jaya akan dilaksanakan pada tanah kosong yang sudah

dipagar sejak 1994 (IN/EKON: MI - N-250 Kejar Sertifikasi,

[email protected], Rabu 29 Mei 1996 - 17:15:00).

Tahun 1996, BPPT menjadi Panitia Indonesia Air Show (IAS) yang sempat

menimbulkan issu akan menggusur tanah rakyat di Desa Gili-Dadap, Kecamatan

Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari 800 KK nelayan (Republika

Online 1996). Issu ini ternyata tidak benar karena pelaksanaan pergelaran

Page 216: Muara Dadap

197

dirgantara IAS ’96 itu terletak di lokasi pelabuhan udara Soekarno-Hatta pada

kuadran II (sebelah terminal II-internasional).

Konflik pemanfaatan ruang di kawasan Dadap terus berlanjut dengan

dilakukannya reklamasi (pengurukan) kawasan pesisir dimana awalnya Pelabuhan

Kapal Riset Baruna Jaya akan dibangun. Menurut juru bicara pengembang

(Tubagus Dudy Chumaidi) yang dikutip media massa menyebutkan bahwa

kawasan Dadap dipilih karena wilayah itu berpotensi untuk dikembangkan sebagai

kawasan wisata terpadu (Suara Pembaharuan Daily 2004).

Dari berbagai berita di media massa dapat disimak bahwa proses reklamasi

yang sedang dilakukan ternyata menuai berbagai protes dari beberapa kelompok

masyarakat dan LSM {antara lain Banten Environmental Watch (BEW), dan

(PIELS)}, yang akhirnya direspon oleh anggota DPR dan DPRD setempat.

Polemik terus berlanjut dan menyangkut Pemda DKI Jakarta yang tampaknya juga

mempunyai kepentingan dengan kegiatan pembangunan. Salah satu berita yang

dimuat berbunyi “Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang tidak akan pernah

dapat melakukan penutupan lokasi reklamasi Pantai Dadap, Desa Dadap,

Kecamatan Kosambi, yang kini dilakukan. Pasalnya, lembaga ini diduga telah

menerima retribusi pengurukan pantai yang jumlahnya mencapai ratusan juta

rupiah. Menurut sumber di Tangerang, dugaaan telah dibayarkan retribusi

pengurukan pantai oleh para pengembang reklamasi Pantai Dadap tersebut

tertuang jelas dengan adanya Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi dengan nomor

655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang ditandatangani

oleh Bupati Tangerang yang kala itu masih dijabat oleh Agus Djunara. Dengan

keluarnya fatwa Bupati tersebut secara otomatis si pengembang berani untuk

melakukan reklamasi Pantai Dadap karena sudah ada lampu hijau. Apalagi pada

saat yang bersamaan Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga mengeluarkan surat

penetapan retribusi fatwa rencana pengarahan lokasi bernomor 974/330-

DTRB/IX/2001 yang ditandatangani Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan,

Nanang Komara yang kini menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang

(Sinar Harapan 2004b).

Page 217: Muara Dadap

198

Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan

Pemda Tangerang Didin Samsudin menyatakan, kawasan pantai yang akan

direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana Umum Tata

Ruang (RUTR). Dalam perubahan tata ruang tersebut pemerintah berencana

menjadikan pesisir pantai utara sebagai kawasan wisata terpadu (SUARA

PEMBARUAN DAILY 2004b). Perubahan RUTR tersebut tertuang dalam

Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, yang

merupakan implementasi Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang

Perubahan Tata Ruang Nasional. Berdasarkan peraturan itu, sekitar 20 km dari 50

km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi hingga

pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas pantai

yang akan direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu sepanjang 10 km

garis pantai dari laut dan satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektare.

Kemelut pemanfaatan lahan yang terjadi di Desa Dadap tidak seluruhnya

dimengerti oleh penduduk desa, yang terkena dampak hanyalah sebagian kecil

penduduk yang memang tinggal disekitar kawasan pengembangan. Menurut

informasi berbagai harian ibukota, . warga Desa Dadap, Kosambi, Kabupaten

Tangerang, belum mengatahui ada proyek pengurukan laut besa-besaran di Pantai

Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas reklamasi kawasan untuk

wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga, proyek reklamasi silakan

saja, asal warga disediakan infrastruktur sepeti tempat pelelangan ikan,

pengurukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak peduli. Yang penting

bagi kami para nelayan bisa tetap melaut.(Tempo Interaktif 2005b).

Berbagai kepentingan ternyata banyak yang bermain dalam masalah

proyek tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Desa Dadap Dames Taufik

yang mengklaim bahwa tidak ada masalah dengan warganya terhadap reklamasi

pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan dan penolakan warga

yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap (SUARA

PEMBARUAN DAILY 2004a)..

Kasus pemanfaatan lahan yang juga mencuat di kawasan Dadap-Kamal

Muara adalah untuk pembangunan kawasan pergudangan. Mantan para pemilik

Page 218: Muara Dadap

199

tanah merasa bahwa dulu mereka terbujuk menjual lahannya kepada para investor

untuk dibuat gudang, dengan harapan bahwa kelak ia dan anak-anaknya dapat ikut

bekerja di kawasan pergudangan itu. Namun demikian kenyataannya pemilik

gudang lebih memilih tenaga kerja dari luar Dadap yang dinilai lebih mempunyai

kompetensi daripada tenaga kerja setempat (Tempo interaktif 2005c). Saat ini,

ratusan gudang kini sudah berdiri memenuhi 40 persen lahan di desa seluas 401

hektar itu. Sisa lahan masih akan terus berkurang karena sampai saat ini

pembangunan gudang baru masih terus berlangsung.

Dalam rangka mewujudkan pembangunan Kota Air Kamal Muara, Pemda

DKI melakukan reklamasi pantai di daerah Kamal Muara. Aktivitas reklamasi

yang telah dilakukan pengembang di wilayah DKI Jakarta akan menciptakan

sebuah daerah baru seluas 2.700 hektar. Secara legal, Keputusan Presiden No 52

Tahun 1995 menetapkan, kawasan Pantai Utara Jakarta itu akan direklamasi.

Reklamasi meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai utara

Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sampai garis yang menghubungkan titik-

titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter. Itu artinya, garis

pantai akan maju sekitar 1,5 kilometer ke utara (Anonimous 1997).

Selama kurun waktu 10 tahun (dari tahun 1992 sampai 2002), telah terjadi

perubahan pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara, sebagai mana

ditunjukkan citra satelit pada Gambar 5.7. Hal ini menunjukkan bahwa

penggunaan lahan di kawasan Dadap – Kamal Muara mengalami perubahan yang

cukup drastis. Di wilayah Desa Dadap, perubahan terjadi pada luasan sawah yang

menyusut sampai hanya tersisa 18,52 %, tubuh air tinggal 42,85 %, lahan terbuka

tinggal 66,67 %, dan kebun campuran tersisa 32,34 %. Sementara itu, untuk

wilayah urban mengalami perubahan mencolok sebesar 200 %, dari 120,59 ha

menjadi 242,80 ha, sedangkan di Kamal Muara hanya terjadi peningkatan sedikit

dari 442,31 ha menjadi 479,95 ha dalam jangka waktu yang sama yaitu 10 tahun.

Secara rinci perubahan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.16.

Page 219: Muara Dadap

200

Gambar 5.7 Citra satelit landsat di lokasi penelitian, tahun 1992-2002.

Citra satelit Landsat 92 Citra satelit Landsat 2002

Hasil klasifikasi Land Use Thn 1992 (Sumber : Landsat 1992)

Hasil klasifikasi Land Use Thn 2002 (Sumber : Landsat 2002)

Page 220: Muara Dadap

201

Tabel 5.16 Data penggunaan lahan di kawasan Dadap dan Kamal Muara dari antara tahun 1992-2002 (m2)

No VARIABEL DADAP KAMAL MUARA 1992 2002 1992 2002 1. Tambak 357.611,3 376.432,9 5.665.316,3 5.175.953,5

Perubahan + 5,30 % - 8,64 % 2. Sawah 621.114,4 37.643,3 658.757,7 301.146,4

Perubahan - 94,00 % - 54,29 % 3. Tubuh air 131.751,5 56.464,9 150.573,2 357.611,3

Perubahan - 57,00 % + 137,50 % 4. Lahan terbuka 282.324,7 188.216,5 18.821,6 37.643,3

Perubahan - 33 % + 100, 00 % 5. Urban 1.204.585,5 2.427.992,7 4.423.087,5 4.799.520,5

Perubahan + 101,56 % + 8,5 % 6. Kebun campuran 508.184,5 18.821,7 508.184,5 150.573,2

Perubahan - 96 % - 70,37 % 7. Rumput/semak 0 0 18.821,6 621.114,4

Perubahan 0 % + 3.200 % 8. Hutan 0 0 0 18.821,6

Perubahan 0 % > + 18.821,6 % Keterangan: tubuh air adalah perairan di wilayah daratan (danau, sungai, rawa, genangan, dll.

Khusus untuk rawa, jika berasosiasi dengan yang lain dapat dipisah, seperti rawa gambut, rawa bakau, dll.).

Dari Tabel 5.16 tersebut menunjukkan bahwa selain terjadinya perubahan

wilayah urban selama kurun waktu sepuluh tahun, perubahan lainnya adalah

pertambahan luasan rumput/semak hanya terjadi di wilayah Kamal Muara, yaitu

dari 1,88 ha menjadi 62,11 ha. Konversi lahan yang juga signifikan adalah

terbentuknya kawasan hutan yang merupakan ekses dari dibangunnya perumahan

real estate Pondok Indah Kapuk, yang pengembangannya dilanjutkan sampai ke

kawasan Kamal Muara. Pada saat pembangunan kawasan real estate ini,

dilakukan reklamasi (penimbunan kawasan pantai).

Awalnya, luas tanah daratnya sebesar 105 ha sedang sisanya berupa sawah

seluas 453 ha dan rawa/empang seluas 495 ha. Kelurahan Kamal Muara memiliki

lahan dengan status milik negara, lahan milik adat, dan sebagian dari lahan

tersebut dikuasai oleh swasta (PT Mandara Permai) dan BPL Pluit.

Perubahan status hak kepemilikan lahan di Kelurahan Kamal Muara terjadi

antar tahun 1999 sampai dengan 2000 (BPS Jakut 2000). Status hak milik tahun

1998 tercatat seluas 547,60 ha dan turun drastis menjadi 287 ha tahun 1999. Hal

ini disebabkan belum adanya sertifikat pada tanah seluas 584 ha, seluas 9,90 ha

Page 221: Muara Dadap

202

(tahun 1998 mencapai 505,40 ha), dan yang berstatus hak pakai (HP) seluas 8 ha

(sebelumnya tidak tercatat. Data selengkapnya tentang status lahan di Kelurahan

Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.17.

Tabel 5.17 Status lahan di Kelurahan Kamal Muara antara tahun 1997-2000

STATUS LAHAN TAHUN SENSUS

1997 1998 1999 2000

Hak milik 547,60 547,60 287,00 287,00

HGB 505,40 505,40 9,90 9,90

HP 0,00 0,00 8,00 8,00

Belum bersertifikat 0,00 0,00 584,00 584,00

Jumlah 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00

Sumber: BPS Jakut (2001)

Peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara secara garis besar terdiri dari

pruntukan perumahan, industri, kantor dan gudang, taman, pertanian, lahan tidur,

dan lain-lain. Data selengkapnya tercantum dalam Tabel 5.18.

Tabel 5.18. Data peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan dari tahun 1995-2000 (ha)

PERUNTUKAN TAHUN SENSUS

1995 1996 1997 1998 1999 2000

Perumahan 84,70 84,70 244,93 263,25 84,25 96,03

Industri 195,00 195,00 290,94 421,20 142,16 142,16

Kantor/gudang 0,76 0,76 91,93 105,30 55,81 55,81

Taman 0,76 0,76 249,98 52,65 10,53 10,53

Pertanian 769,49 769,49 0,00 0,00 0,00 73,71

Lainnya - - 175,22 210,60 760,27 221,13

Jumlah 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00Sumber: BPS Jakut (2001)

Dari Tabel 5.18 tampak bahwa perubahan yang cukup mencolok adalah

pada lahan pertanian yang turun sangat drastis pada tahun 1997 sampai tercatat

tidak ada sisanya selama tiga tahun berturut-turut. Tahun 2000 lahan pertanian

baru tercatat lagti seluas 73,71 ha. Perubahan lahan pertanian ini dapat

diidentifikasi sebagian digunakan untuk lahan perumahan, industri, kantor/gudang,

Page 222: Muara Dadap

203

dan peruntukan lainnya. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal

Muara tercantum dalam Tabel 5.19.

Tabel 5.19. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan dari tahun 1993-2001 (unit)

JENIS BANGUNAN

TAHUN SENSUS 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001

Permanen 137 137 140 - 254 263 425 425 425

Semi permanen 207 207 211 - 286 481 593 593 593

Darurat, dll 305 305 280 - 141 180 237 237 237

Jumlah 649 649 631 - 681 924 1.255 1.255 1.255 Sumber: BPS Jakut (2001)

Dari Tabel 5.19 tampak bahwa pertambahan bangunan permanen dan semi

permanen terjadi secara nyata dari tahun 1997, dari 140 unit tahun 1995 menjadi

254, kemudian menjadi 425 tahun 1999. Untuk bangunan semi permanen,

perubahan terbesar terjadi dari tahun 1997 (286 unit) menjadi 481 unit pada tahun

1998, dan menjadi 593 tahun 1999 serta tidak mengalami perubahan sampai tahun

2001. Untuk bangunan darurat, dari tahun 1994 mengalami penurunan dari 305

unit menjadi 280 unit tahun 1995, dan tinggal 141 unit tahun 1997. Kemudian

naik lagi tahun 1999 sampai mencapai 237 unit. Ada dua kemungkinan yang

dapat ditafsirkan dari perubahan jumlah bangunan darurat tersebut, yang pertama

berkaitan dengan kegiatan pembangunan yang harus mendirikan bangunan darurat

untuk para buruh dan peralatan; yang kedua adanya komunitas gelandangan dan

pengemis yang membangunan tempat tinggal darurat.

Menurut Situs Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, hutan

mangrove di Jakarta diantaranya terdapat dalam kawasan hutan dan pulau-pulau di

Kepulauan Seribu dan kawasan hutan di DKI Jakarta sebagaimana tercantum

dalam Tabel 5.20. Kawasan hutan mangrove yang terluas terdapat di Hutan

Wisata Kamal Muara seluas 99,80 ha, yang kedua di pesisir Pulau Rambut yang

merupakan Suaka Margasatwa seluas 45,00 ha, sedangkan di Hutan Lindung

Angke Muara Kapuk terdapat ekosistem mangrove seluas 44,76 ha.

Page 223: Muara Dadap

204

Tabel 5.20. Distribusi hutan mangrove di wilayah Jakarta

No NAMA LUAS (ha) 1. Hutan Lindung Angke Muara Kapuk 44,76 2. Hutan Wisata Kamal Muara 99,80 3. Suaka Marga Satwa Muara Angke 25,02 4. Suaka Margasatwa Pulau Rambut 45,00 5. Cagar AlamPulau Bokor 18,00 6. Cagar Alam Pulau Penjaliran Barat 19,85 7. Cagar Alam Pulau Penjaliran Timur 19,65 8. Hutan dengan tujuan istimewa:

Pembibitan Jalan Tol dan Jalur Hijau Transmisi PLN Cengkareng Drain

10,51 95,50 23,70 28,39

Jumlah 430,18 Sumber: Diperhut (2005)

Untuk Kecamatan Penjaringan, persentase distribusi pemanfaatan lahan di

setiap kelurahan pada tahun 2003 menunjukkan cukup besarnya lahan tidur di

Kelurahan Kamal Muara, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.21.

Tabel 5.21 Persentase penggunaan tanah di Kecamatan Penjaringan tahun 2003

No. Kelurahan Persentase Luas Tanah Yang Digunakan (%)

1 2 3 4 5 6 7 8

1. Kamal Muara 8,00 17,40 6,90 1,00 0,00 58,70 8,00 100

2. Kapuk Muara 36,18 21,65 9,23 0,00 0,00 28,14 4,80 100

3. Pejagalan 74,83 17,64 3,40 0,20 0,00 0,00 3,93 100

4. Pluit 50,12 0,00 29,73 0,00 0,00 0,00 20,15 100

5. Penjaringan 56,00 28,00 5,00 0,00 0,00 0,00 11,00 100

Kec. Penjaringan 45,02 16,94 10,85 0,24 0,00 17,37 9,58 100 Sumber: BPS Jakut (2004) Keterangan: (1) Perumahan; (2) Industri; (3) Kantor dan Gudang; (4) Taman; (5) Pertanian; (6)

Lahan Tidur; (7) Lainnya; (8) Jumlah

Dari Tabel 5.21 tampak bahwa persentase luas tanah yang digunakan

untuk sektor pertanian di Kelurahan Kamal Muara adalah yang paling tinggi.

Namun demikian, lahan ini sebenarnya sebagian besar digunakan untuk aktivitas

perikanan, baik untuk aktivitas pra dan pasca penangkapan ikan maupun budidaya

ikan air tawar, karena sektor pertanian masih mencakup perikanan.

Page 224: Muara Dadap

205

Sebagaimana tampak dari hasil citra satelit yang diambil tahun 1992 dan

2002 dan tercantum pada Gambar 5.7, telah terjadi perubahan yang sangat

siginifikan dari tataguna lahan di kawasan penelitian. Hal ini juga ditunjukkan

oleh hasil analisis terhadap citra satelit ini yang memperlihatkan bahwa selama

jangka waktu sepuluh tahun (dari 1992-2002) terjadi peningkatan mencolok dari

luasan wilayah urban pemukiman (lihat Tabel 5.16). Hal tersebut menunjukkan

bahwa selama kurun waktu sepuluh tahun, perubahan yang paling signifikan

terjadi di kawasan Dadap-Kamal Muara adalah peningkatan wilayah urban di

Dadap sebesar 101,56 %, pertambahan luasan semak dan tanah terlantar sebesar

3.200 %. Konversi lahan yang juga signifikan adalah terbentuknya kawasan hutan

yang merupakan ekses dari dibangunnya perumahan real estate Pondok Indah

Kapuk, yang pengembangannya dilanjutkan sampai ke kawasan Muara Kamal.

Aktivitas reklamasi (penimbunan kawasan pantai) yang dilakukan pada saat

pembangunan kawasan real estate ini kemudian dihijaukan dengan tanaman

mangrove yang sekaligus juga membuat fasilitas marina, tempat mendaratnya

kapal-kapal pesiar (yacht).

Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas

Tata Ruang dan Bangunan Pemda Tangerang Didin Samsudin, kawasan pantai

yang akan direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR) tersebut yang tertuang dalam Peraturan Daerah No 5

Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah (Suara Pembaharuan Daily

2004a). Sehingga sudah jelas bahwa penetapan kawasan pesisir sepanjang 20 km

dari 50 km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi

hingga pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji adalah untuk kawasan wisata

dengan aktivitas reklamasi yang akan dilakukan sepanjang 10 km dan satu km dari

garis pantai atau sekitar 1.000 hektare. Alasan dilakukannya revisi RUTR tersebut

karena terjadinya perubahan fungsi lahan secara besar-besaran di kawasan tersebut

akibat eksploitasi lahan untuk tambak dan abrasi pantai, hal ini didasarkan foto

udara tahun 2002, dimana kawasan tersebut sudah rusak dan sulit untuk

dipulihkan kembali karena kerusakannya sudah sejauh 600 meter dari bibir pantai.

Akibat abrasinya, lahan di kawasan tersebut tidak lagi produktif dan penataan

ulang lahan dalam bentuk penanggulangan abrasi sia-sia. "Lahan di sana sudah

Page 225: Muara Dadap

206

tidak bisa diperbaiki lagi kecuali dengan reklamasi karena lahan yang terkena

abrasi sudah mencapai puluhan ribu hektar," katanya.

Pemanfaatan lahan di Kelurahan Kamal Muara relatif lebih tenang dan

teratur dan tidak lagi terdengar ada gejolak. Hal ini dimungkinkan karena telah

mapannya RUTR melalui Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 Tahun

1999. Dalam Pola Peruntukan Lahan, pemanfaatan ruang kawasan Pantura

Jakarta Ditetapkan dalam 3 sub-kawasan:

(1) Sub-kawasan barat

Sub-kawasan barat terdiri dari Kecamatan Penjaringan dan Pademangan

direncanakan akan menampung penduduk sebesar 737.300 jiwa dengan

kepadatan sekitar 112 jiwa/Ha pada tahun 2010.

(2) Sub-kawasan tengah

Sub-kawasan tengah terdiri dari Kecamatan Tanjung Priok direncanakan

akan menampung penduduk sebesar 452.600 jiwa dengan kepadatan

sekitar 128/ha pada tahun 2010.

(3) Sub-kawasan timur

Sub-kawasan timur terdiri dari Kecamatan Koja dan Cilincing

direncanakan akan menampung penduduk sebesar 670.000 jiwa dengan

kepadatan sekitar 204 jiwa/ha pada tahun 2010.

Konflik rencana reklamasi yang akan dilakukan Penda DKI belum terlalu

parah terjadi di tingkat grassroot, tetapi masih ditataran para politisi dan

pemerhati lingkungan, sebagaimana disampaikan dalam Sub-bab 5.1 di atas.

Langkah yang sama perlu juga dilakukan oleh Pemkot Jakarta Utara, yaitu

membuka rencana reklamasi Pantura tersebut secara luas, untuk dilakukan kajian

secara ilmiah oleh berbagai fihak yang bersifat netral. Cukup banyak kebijakan

yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta yang semula dianggap kontroversial dan

mendapat tentangan dari berbagai pihak tetapi kemudian dianggap suatu

keberhasilan setelah hasil positif dicapainya; sebagai contoh adalah Program

Pemagaran Kawasan Monumen Nasional. Setelah menunjukkan hasil yang baik,

maka banyak pihak secara tidak langsung mengucapkan terimakasih kepada

Page 226: Muara Dadap

207

Pemda DKI, karena Monas yang ada sekarang tampak lebih rindang, lebih bersih,

indah dan menyenangkan untuk dikunjungi.

Menurut Beatley et al. (1999), dalam perancangan perkotaan dan

perlindungan pusat kegiatan masyarakat upaya untuk melindungi karakter dan

nuansa masyarakat pesisir merupakan isu yang penting di banyak tempat. Banyak

wilayah pesisir memiliki bangunan bersejarah dan sumberdaya lain yang berharga

untuk dilindungi. Perlindungan ini dilaksanakan antara lain dengan

melembagakan evaluasi ulang dari proses perencanaan tata kota. Dalam kegiatan

pembangunan kini, terdapat kecenderungan baru yaitu timbulnya semangat

tradisionalisme, antara lain dengan membuat bangunan publik serta ruang umum

(taman) menjadi pusat ruang kota, memperjelas orientasi bagi pejalan kaki, dan

berbagai kepentingan umum lainnya.

Mengacu pada Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 6 Tahun 1999, dalam Pola

Peruntukan Lahan, pemanfaatan ruang kawasan Pantura Jakarta, Kamal Muara

termasuk Sub-kawasan barat yang terdiri dari Kecamatan Penjaringan dan

Pademangan yang direncanakan akan menampung penduduk sebesar 737.300 jiwa

dengan kepadatan sekitar 112 jiwa/ha pada tahun 2010. Jika dilihat jumlah

penduduk Kecamatan Penjaringan tahun 2003 yang tingkat kepadatannya

mencapai 7.974 orang per km2 (atau sebesar 79,74 orang per ha), maka dapat

diduga sebelum tahun 2010 target 112 jiwa tersebut sudah akan tercapai.

Untuk kawasan Kamal Muara yang merupakan bagian wilayah Jakarta

Utara, berdasarkan Perda No. 6 tahun 1999 tentang RUTR Pasal 8, sesuai dengan

karakteristik fisik dan perkembangannya, termasuk WP (Wilayah Pengembangan)

Pantai Utara (WP-PU), dengan kebijakan meliputi:

(1) Pantai Lama:

1) Meningkatkan dan melestarikan kualitas lingkungan Jakarta Utara;

2) Mempertahankan permukiman nelayan;

3) Mengembangkan fungsi pelabuhan dan perniagaan.

(2) Pantai Baru: melalui pengembangan reklamasi yang terpisah secara fisik

dari pantai lama dengan kegiatan utama jasa dan perdagangan berskala

internasional, perumahan, pelabuhan serta pariwisata.

Page 227: Muara Dadap

208

Mengingat sudah jelas tertera dalam RUTR dan revisinya, maka setiap

aktivitas pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan Pantura DKI Jakarta,

sudah saatnya dilakukan secara terbuka dan transparan serta dengan jangka waktu

sosialisasi yang cukup. Sehingga keberhasilan setiap program pembangunan di

DKI Jakarta dengan semua kendala yang dihadapinya dapat menjadi contoh bagi

daerah lain.

Menurut informasi dari Urban Poor Consortium (UPC, 2005), Mega

Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta 2003-2020 dilatar belakangi oleh letak

Indonesia di persimpangan antara Asia dan Australia. Jakarta sebagai ibukota

negara merupakan salah satu kota yang perkembangannya cukup pesat di Asia

Tenggara. Oleh karena itu, Pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk

membentuk satu rencana khusus yang terfokus pada pembangunan daerah pantai

utara kota yang disebut: the Jakarta Waterfront Development Program.

Pembangunan Kota Pantai Jakarta direncanakan berdasarkan Keputusan Presiden

Republik Indonesia No. 52 Tahun 1995.

Program ini meliputi:

(1) Reklamasi 2.700 Ha di sebelah utara Kota Jakarta, 2.500 ha untuk

penataan kembali kawasan pantai/revitalisasi

(2) Reklamasi meliputi bagian perairan laut yang diukur dari garis pantai

Utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut sehingga mencakup garis

yang menghubungkan titik titik terluar dengan kedalaman laut 8 meter.

Panjang garis pantai Utara Jakarta adalah 32 km.

Tujuan dari pembangunan the Jakarta Waterfront ini adalah:

(1) Merevitalisasi kota tua

(2) Mengembangkan jantung kota yang baru di Jakarta

(3) Menyediakan standar pengembangan kelas dunia

(4) Membuka kesempatan terhadap pembangunan berskala besar

(5) Menciptakan level baru untuk efisiensi yang terorganisasi

(6) Membentuk kondisi kehidupan masyarakat yang lebih baik

Page 228: Muara Dadap

209

(7) Mengembangkan lahan baru untuk kegiatan bisnis, industri, pemukiman

dan rekreasi.

Rencana yang cukup ambisius tersebut sebenarnya masuk akal jika

dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura yang telah

mereklamasi sebagian kawasan pesisirnya dengan menggunakan material urukan

yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Hanya saja, keterbukaan dan

keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan sangat menentukan

keberhasilan program ini serta seberapa besar dampak yang akan ditimbulkannya,

baik bagi pemerintah DKI Jakarta maupun masyarakat disekitarnya.

Pengelolaan wilayah pelabuhan di Dadap dan Kamal Muara secara resmi

masih ditangani oleh Dinas Perikanan masing-masing kabupaten/kota khusus

untuk kawasan sekitar pelabuhannya. Pengelolaan kawasan di luar wilayah

pelabuhan tentu saja tergantung pada siapa pemilik lahan tersebut yang juga harus

berdasarkan pada peraturan yang tersedia, baik yang berkaitan dengan tata

ruangnya maupun aturan pengembangannya.

5.3.2 Analisis daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara

Untuk mengkaji daya tampung pelabuhan perikanan yang terdapat di

kawasan Dadap-Kamal Muara, diperlukan data yang menyangkut keduan PPI/TPI

tersebut. Sebagian besar data sudah disampaikan dalam Bab 4.

(1) Prasarana dan sarana

Prasarana yang diperlukan dalam suatu pelabuhan perikanan antara lain

mencakup: alur masuk kapal, kolam pelabuhan, pelindung gelombang,

darmaga tempat bersandar, tempat bongkar muat barang, sumber energi

listrik, bahan bakar minyak, jalur komunikasi dan transportasi, dan sumber

air bersih. Sedangkan sarana pelabuhan dapat berupa: tempat menambat

kapal, bengkel mesin, unit perbaikan bodi kapal dan alat tangkap, tempat

sampah dan unit pengolahan limbah, tempat lelang ikan, perumahan

nelayan, dll.

Page 229: Muara Dadap

210

Kondisi PPI/TPI Kamal Muara jauh lebih baik jika dibandingkan dengan

TPI Dadap. Bagaimanapun, di PPI/TPI Kamal Muara sudah terdapat

darmaga dan kolam pelabuhan, serta tempat bongkar muat ikan yang akan

dilelang, sementara di TPI Dadap belum ada, meskipun bangunan koperasi

masih berdiri dan bagian depan yang diperuntukan bagi kegiatan lelang

masih tetap tidak digunakan karena perahu yang berlabuh jauh jaraknya.

(2) Pasokan ikan

Pasokan ikan yang datang ke kawasan Dadap-Kamal Muara berasal dari

kapal yang berlabuh di sepanjang Kali Perancis dan di PPI/TPI Kamal

Muara. Meskipun TPI Dadap sudah tidak berfungsi, tetapi pendaratan ikan

dari kapal/perahu nelayan yang berukuran kecil (dibawah 5 GT) tetap

dilakukan. Tidak ada proses lelang, pedagang yang akan membeli langsung

berhubungan dengan nakhoda kapal.

Di TPI Kamal Muara, lelang tetap berlangsung mulai jam 04 pagi sampai

jam tujuh atau delapan, tergantung jumlah ikan yang didaratkan. Sebagian

besar ikan diborong oleh para pedagang besar yang membawa mobil sebagai

alat angkut, sementara pedagang kecil mengangkut ikan dengan

menggunakan beca, sepeda, atau gerobak dorong. Pedagang besar memasok

kebutuhan supermarket atau untuk dikirim ke Muara Angke.

Kegiatan pemasaran ikan di TPI Kamal Muara tidak hanya berupa

pelelangan ikan hasil tangkapan nelayan, tetapi juga pasar eceran, baik

untuk ikan yang didaratkan nelayan lokal, dibawa oleh pedagang dari Muara

Angke, atau dijajakan oleh para pedagang ikan yang menampung hasil

tambak atau hasil tangkapan dari perairan umum. Sehingga tidak

mengherankan jika di pasar ini dapat ditemui udang sungai yang masih

hidup. Pola distribusi ikan yang berasal dari kawasan Dadap-Kamal Muara

dapat dilihat pada Gambar 5.8. Dari Gambar 5.8 di atas dapat dilihat bahwa

distribusi ikan yang didaratkan di kawasan Dadap sebagian besar

didistribusikan ke pasar lokal (70 %), sementara ikan yang dilelang di TPI

Kamal Muara hanya 15 % untuk pasar lokal, sisanya (70 %) masuk ke pasar

Page 230: Muara Dadap

211

elit (mal) di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar Jakarta

selalu terbuka untuk ikan-ikan yang didaratkan di kawasan tersebut. Dari

keseluruhan ikan yang didaratkan di kawasan Dadap-Kamal Muara, hanya

sekitar 20 % yang masuk ke Pasar Kabupaten Tangerang.

Gambar 5.8 Pola distribusi ikan yang berasal dari kawasan Dadap-Kamal Muara

(3) Dukungan logistik pelabuhan perikanan

Perkembangan suatu pelabuhan perikanan sangat dipengaruhi oleh

ketersediaan fasilitas pendukung yang diperlukan untuk kegiatan

penangkapan, bongkar muat hasil tangkapan dan bekal operasi

penangkapan, serta penyediaan bahan dan fasilitas perbaikan kapal dan alat

penangkapan. Secara garis besar, kondisi logistik yang ada di sekitar TPI

Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.22.

Sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.22, ketersediaan fasilitas logistik

yang berkaitan dengan kegiatan perikanan relatif tersedia. Meskipun

demikian, permasalahan tidak selalu terletak di sana, tetapi pada

kemampuan (daya beli) nelayan untuk mendapatkan fasilitas tersebut.

Sebagai contoh, fasilitas BBM tersedia cukup, meskipun jarak SPBU relatif

jauh (sekitar 2 km). Karena tidak tersedianya SPBU khusus di TPI, maka

Pasar lokal Dadap

Pasar lokal Kamal Muara

Pasar Kabupaten Tangerang

Pasar elit Jakarta

TPI Dadap TPI Kamal Muara

5 % 5 %

15 %

70 %

10 % 10 %

65 %

Page 231: Muara Dadap

212

nelayan harus membeli lewat tangan kedua (baik eceran maupun pemasok)

dengan harga yang lebih mahal dari harga resmi di SPBU (berbeda antara

Rp 400 – Rp 600 per liter solar). Dengan demikian, beban operasional

nelayan menjadi lebih besar. Jalan keluar yang dilakukan sebagian nelayan

adalah melakukan pengoplosan bahan bakar minyak tanah dengan oli,

dengan perbandingan satu liter oli mesin untuk 70 liter minyak tanah.

Penggunaan bahan bakar yang tidak sesuai dengan kebutuhannya ini tentu

saja akan berakibat negatif pada daya tahan mesin; serta juga pada

keselamatan operasional penangkapan secara keseluruhan.

Tabel 5.22 Daftar fasilitas logistik kegiatan perikanan disekitar TPI Dadap dan Kamal Muara

No FASILITAS TINGKAT

KETERSEDIAAN JARAK DARI (m)

TPI DADAP

TPI KAMAL MUARA

1 Air bersih Cukup 1 1 2 BBM Cukup 1 1 3 Toko peralatan

penangkapan ikan Cukup 50 25

4 Depo es Cukup 50 25 5 Toko bahan makanan Cukup 10 10 6 Bengkel mesin kapal Tidak ada - - 7 Montir mesin kapal Cukup 1 1 8 Dok kapal/perahu Cukup 9 Pasar umum Cukup 1.000 2.500 10 Penjual ikan Cukup 25 10

Dari Tabel 5.22 tersebut diperoleh kenyataan bahwa setiap faktor input yang

berpengaruh pada kegiatan penangkapan ikan di sekitar perairan Pulau Jawa

tersedia dengan cukup dan mudah diupayakan pada saat diperlukan. Namun

demikian, masalah sebenarnya adalah kurangnya hasil tangkapan yang

diperoleh jika dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan untuk operasi

penangkapan. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal:

• kawasan perairan pantai utara sudah mengalami keadaan tangkap lebih

(overfishing), sehingga kelompok ikan sudah ditemukan;

Page 232: Muara Dadap

213

• kondisi perairan tepi di pantai utara Pulau Jawa umumnya sudah

tercemar, sehingga kelompok ikan akan menjauh untuk mencari

habitat yang baru yang sesuai dengan persyaratan hidupnya;

• semakin menjauhnya gerombolan ikan dari kawasan pesisir

mengakibatkan diperlukannya biaya operasional penangkapan yang

lebih besar, karena harus mencari sumberdaya ikan ke tempat yang

lebih jauh dan dalam jangka waktu yang l.ebih lama

(4) Akses transportasi

Lokasi TPI Dadap dan TPI Kamal Muara relatif dekat dengan jalan TOL

Jakarta Bandara Sukarno Hatta, masuk simpang Rawa Bokor atau simpang

Kamal Muara-Dadap dan Kapuk-Pluit-Kota. Melalui Jalan Kamal, TPI

Dadap berjarak hanya 6,8 km km dari jalan TOL Pintu Cengkareng,

sementara jarak TPI Kamal Muara ke simpang Kamal Muara-Dadap hanya

berjarak 1 km. Jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu 10 mnt.

Jalan masuk beraspal mempunyai lebar 6 m, sedangkan kepadatan

kendaraan rata-rata 628 mobil per jam. Kemacetan kadang-kadang juga

terjadi pada pagi dan sore hari, yang sebagian besar disebabkan oleh tidak

teraturnya kendaran umum berhenti di tengah jalan saat menaikan dan

menurunkan penumpang, kondisi jalan yang rusak, dan saat jam kerja pabrik

selesai.

Dari kondisi jalan (termasuk kualitas jalan, lebar, tingkat kemacetan) dan

sarana transportasi dapat disimpulkan bahwa akses transportasi tidak ada

masalah dari dan ke TPI Dadap dan TPI Kamal Muara. Jika ada barang dan

permintaan, maka dukungan transportasi mudah disediakan. Meskipun

demikian, banyaknya kendaraan truk yang berukuran besar dengan muatan

yang berat serta kualitas jalan yang kurang baik telah menyebabkan kondisi

menjadi cepat mengalami kerusakan.

Salah satu isu yang sekarang sedang berkembang di lokasi adalah dirasa

perlu adanya trotoir di ruas Jalan Perancis dan ruas Jalan Dadap-Kamal ke

arah Kosambi, agar orang dapat berjalan dengan tenang. Trotoir sudah

Page 233: Muara Dadap

214

dibangun di ruas Jalan Dadap-Kamal ke arah timur, meskipun cukup banyak

dipenuhi oleh para pedagang kaki lima.

5.3.3 Analisis model kelimpahan kapal ikan yang dapat dipindahkan dari PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Muara Angke ke PPI/TPI Kamal Muara

Salah satu parameter yang dijadikan ukuran pada suatu pelabuhan perikanan

adalah kapasitasnya, baik menyangkut berapa jumlah kapal yang dapat berlabuh,

jumlah kapal yang dapat ditangani untuk dibongkar muatannya per satuan waktu

(per jam, per hari, atau per minggu), dan juga jumlah kapal yang dapat dipasok

dengan kebutuhan bahan dan alat yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan.

(1) Kapasitas PPI/TPI Kamal Muara dan PPI/TPI Dadap

Di PPI/TPI Dadap, kapal ikan tidak dapat berlabuh di tepi sungai dekat TPI.

Selain karena TPI sudah tidak beroperasi lagi, juga pendangkalan sungai

telah menyebabkan kapal tidak dapat mendekati daratan tempat TPI Dadap

berada.

Kapal ikan dapat berlabuh di sepanjang tepi sungai dengan syarat kedalaman

alurnya dapat dilalui kapal tersebut. Namun demikian, pada saat sekarang

ini, sedimentasi di muara sungai telah menyebabkan terjadinya

pendangkalan sehingga kapal yang dapat memasuki alur sungai menjadi

terbatas, kecuali jika sedang terjadi pasang naikair laut. Hal ini juga

menyebabkan kapal ikan lebih suka untuk berlabuh di tepi pantai, untuk

mencegahnya terjebak dan terdampar di dalam sungai sehingga tidak dapat

keluar.

Kondisi di PPI/TPI Kamal Muara jauh lebih baik. Jalur masuk ke kolam

pelabuhan secara rutin (1 kali per tahun sampai tahun 2005) dikeruk untuk

mengangkat lumpur yang mengendap di dasarnya. Namun demikian, kolam

pelabuhan juga banyak digunakan oleh kapal ikan untuk docking, baik

karena kerusakan mesin maupun perbaikan body, sehingga kapasitas

tampung kolam pelabuhannya berkurang.

Faktor lain yang juga berkaitan dengan kapasitas pelabuhan adalah jalan

masuknya. Untuk PPI/TPI Dadap, dua jalur jalan mengapit Kali Perancis,

Page 234: Muara Dadap

215

sehingga pada dasarnya bongkar muat barang dapat dilakukan dari kedua

tepi sungai. Kapal-kapal ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya di Kali

Perancis sebagian besar merupakan kapal pengangkut kerang hijau.

Di PPI/TPI Kamal Muara, hanya satu sisi tepi sungai yang dapat dilalui

kendaraan. Jadi pada waktu ada kendaraan yang sedang melakukan bongkar

muat barang, maka arus lalulintas sedikit terganggu karena lebar jalan hanya

sebesar 6 meter. Panjang jalan di tepi kolam pelabuhan yang dapat

digunakan untuk melakukan bongkar muat sepanjang 250 meter. Dengan

demikian, pada saat proses bongkar muat hasil tangkap atau bekal operasi

penangkapan ikan, hanya satu sisi jalan juga yang dapat digunakan. Untuk

meningkatkan kapasitas bongkar muat barang dari dan ke kapal ikan,

diperlukan pengadaan fasilitas yang lebih banyak dan baik. Fasilitas-

fasilitas tersebut antara lain:

• pipa air bersih dengan banyak kran sehingga satu waktu yang sama

dapat memenuhi kebutuhan kapal sekaligus;

• es balok dengan kualitas yang cukup;

• SPBU (sistempenyaluran bahan bakar umum) tersedia khusus untuk

kapal ikan, sehingga harga bahan bakar tidak lebih tinggi dari patokan

harga eceran;

• Unit perbaikan body dan mesin kapal serta alat tangkap, diperlukan

khusus di areal tertentu agar tidak sembarang kapal dapat melakukan

perbaikan di kolam pelabuhan;

• Fasilitas pengerukan alur masuk dan kolam pelabuhan, dengan

tersedianya prasarana ini kondisi kedalaman pelabuhan dapat dijaga

secara rutin;

• Fasilitas istirahat bagi awak kapal yang memadai, sehingga setiap

operasi penangkapan dapat dipersiapkan sebaik mungkin untuk

menjamin keberhasilan penangkapan secara optimum.

(2) Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke

Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 4, saat ini terjadi kelebihan kapasitas

TPI Muara Angke yang mencapai 63 %, atau sebanyak 315 kapal ikan yang

Page 235: Muara Dadap

216

harus ditata ulang. Tanpa memperhitungkan jumlah kapal yang tidak dapat

beroperasi karena kenaikan harga bahan bakar, maka untuk mencapai

efisiensi penanganan kapal oleh TPI Muara Angke, dengan asumsi deviasi

sebesar 5 %, maka jumlah kapal yang harus dialihkan adalah {315 – (5 % x

315)} = 299 unit (angka dibulatkan). Untuk mengalihkan kapal tersebut ke

TPI Kamal Muara, maka harus dilakukan rehabilitasi fasilitas pelabuhan,

sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.23.

Tabel 5.23 Daftar fasilitas yang perlu dikembangkan di TPI Kamal Muara untuk menampung kelebihan kapasitas TPI Muara Angke

KEBUTUHAN

PRASARANA JUMLAH KAPASITAS

A Pabrik es 1 unit 7.000-8.000 balok

B Cool room/chill room 5 unit 750 ton

C Cold storage 1 unit 1.000 ton

D Cool box 2.000 200 ton

E Air bersih 3.395 m3/bln 5.000 m3/bln

F Sentra pengolahan tradisional (UKM) 250 unit 50 ton

G Sarana/peralatan pengolahan 7 unit 5 ton

H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari

I Kontainer 18 unit 432 ton

Sumber: Disnakanlut (2005)

Untuk melakukan analisis terhadap pengelolaan kelebihan kapasitas (daya

tampung) kapal di TPI Muara Angke, beberapa asumsi harus ditentukan, yaitu:

(1) kelebihan kapal yang mendarat sebanyak 299 unit per bulan

(2) semua kapal merupakan kapal ikan jenis purse seine

(3) semua kapal aktif beroperasi pada waktunya

Untuk membuat model pergerakan kapal ikan dari TPI Muara Angke dan

TPI Dadap ke TPI Kamal Muara, dibuat suatu matrik pergerakan atribut dari ke

tiga TPI yang terlibat dalam sistem dicantumkan pada Tabel 5.24. Dari Tabel 5.24

tampak bahwa jika kelebihan kapasitas kapal ikan dari TPI Muara Angke dapat

Page 236: Muara Dadap

217

dialihkan ke TPI Kamal Muara, maka bilamana pengalihan itu dilaksanakan,

diperlukan pembangunan TPI Kamal Muara dan TPI Dadap untuk pengadaan

fasilitas-fasilitas tersebut. Penurunan jumlah kapal yang berlabuh di TPI Muara

Angke diduga akan membawa dampak sebagai berikut:

(1) Penurunan jumlah hasil retribusi lelang;

(2) Penurunan jumlah pendapatan dari ongkos sandar kapal di kolam

pelabuhan;

(3) Penurunan volume perdagangan sarana dan prasarana penangkapan ikan,

seperti bahan bakar, es, air PAM, dan perbekalan ransum.

Tabel 5.24. Pergerakan atribut TPI Dadap, TPI Kamal Muara, dan TPI Muara Angke

ATRIBUT TPI MUARA ANGKE

TPI KAMAL MUARA

TPI DADAP

(1) Tersedia 1) Kapal ikan 2) Nelayan 3) Bahan bakar 4) Es 5) Cold storage 6) Komplek pengolahan 7) Bengkel/dok 8) toko peralatan tangkap 9) kebersihan lingkungan 10) keamanan/ketertiban 11) Retribusi 12) Land rent 13) Lowongan kerja 14) Pengerukan Kolam

pelabuhan dan alurnya

15) Restoran seafood (2) Perencanaan

1) Taman Wisata Pasir Putih Mutiara Dadap

2) Kapal Baruna Jaya 3) GOR Kamal Muara 4) Water front city 5) Pelabuhan peti kemas

Keterangan: = keluar/pindah = dibangun = mengalami kenaikan

Page 237: Muara Dadap

218

Untuk membandingkan kondisi awal dan kondisi prediksi TPI Kamal

Muara setelah terjadinya pemindahan kapal ikan yang berlebihan, maka dibuat

suatu nilai konversi dari variabel-variabel yang terkait dengan pengembangan

suatu pelabuhan perikanan. Nilai konversi dari variabel tersebut dapat dilihat pada

Tabel 5.25.

Tabel 5.25 Nilai konversi variabel sarana dan prasarana pelabuhan perikanan di Kamal Muara (kapasitas pelabuhan untuk sebanyak 500 unit kapal berukuran 50 GT (perubahan dari total bobot kapal 2.310 GT ke 25.000 GT)1)

No PRASARANA/ SARANA PPI

UKURAN IDEAL

k-IDEAL

FAKTA k-FAKTA

realitas ideal

1. Lebar alur masuk3) (m) 60 0,0024 35 0,015 0,0014

2. Panjang darmaga sandar4) (m)

400 0,016 50 0,022 0,002

3. Luas kolam pelabuhan/ darmaga2) (m2)

24.000 0,896 1.750 0,76 0,07

4. Kedalaman kolam5) (m) 5 0,0002 1 0,00043 0,00004

5. Volume kolam (m3) 120.000 4,8 1.312,5 0,57 0,053

6. Frekuensi keruk (perth) 2 1 1

7. Volume keruk (m3) 96.000 3,84 0 0 0

8. Air bersih6)/bulan (m3) 3.250 0,13 1.000 0,433 0,04

9. BBM7) per bulan(ton) 1.000 0,004 300 0,13 0,012

10. Oli per bulan8) (ton) 8,75 0,0038 0,8 0,00035 0,000032

11. R. pelelangan9) (m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003

12. Ruang perbaikan alat tangkap ikan10) (m2)

1.375 0,055 60 0,026 0,0024

13. Dok/bengkelan11) (m2) 5.400 0,216 100 0,043 0,004

14. Es balok)12) /bulan) 125.000 5 15.000 6,49 0,6

15. Cold storage13) (ton) 1.250 0,05 - - -

16. R.penanganan14)(m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003

17. R pengolahan14) (m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003

Keterangan: k = faktor konversi per GT kapal ikan

Beberapa asumsi yang diambil adalah: 1) kapal yang akan ditampung sebanyak 500 unit yang masing-masing berukuran 50 GT,

sebagaimana kapasitas awal TPI Muara Angke. Dimensi lebar kapal maksimal 6 m, panjang kapal maksimal 30 m, dan tinggi 2 m (Mahdi, 2005). Kapasitas awal TPI Kamal Muara adalah 15 unit kapal ukuran 10 GT (lihat Tabel 4.16), kenyataannya jumlah

Page 238: Muara Dadap

219

kapal yang berlabuh di TPI Kamal Muara sebanyak 1.076 buah dengan ukuran > 10 GT dan 21 unit dengan ukuran 5-10 GT. Diasumsikan bahwa ke 1.076 kapal mempunyai GT rata-rata sebesar 20 GT dan yang 21 unit sebesar 7,5 GT, maka GT total semua kapal yang berlabuh di TPI Kamal Muara adalah sebesar 2.310 GT (angka dibulatkan).

2) panjang darmaga = d = {n.L + (n-1) 15,0 + 50,0} m; lebar = 2 B + (30,0 ~ 40,0) m; dimana n = jumlah kapal yang akan ditampung di darmaga, L = panjang kapal, dan B = lebar (Murdiyanto, 2002); panjang Kali Kamal yang dapat dimanfaatkan untuk darmaga sepanjang 400 m, jadi lebar kolam pelabuhan sebesar {(2 x 6) + 40} m = 52 m, atau jika menghitung panjang kapal maka lebar kolam pelabuhan minimal dua kali panjang kapal, yaitu sebesar 56 m.

3) = 8-10 kali lebar kapal (Murdiyanto, 2002) 4) = panjang Kali Kamal yang diasumsikan dapat dikembangkan menjadi tempat darmaga

bongkar 5) = menurut Murdiyanto (2002) kedalaman kolam pelabuhan sebesar {jarak lunas kapal dari

dasar kolam (0,8 ~ 1,0) + tinggi draft kapal (2 m) + beda pasang tertinggi dan terendah (1,16-0,4)+ jarak antara dek kapal dengan lantai darmaga (0,5 ~ 1,5)} m = (1,0 + 2 + 1,12 + 1,5) m = 4,62 m, dibulatkan 5 m

6) = kebutuhan air bersih setiap kapal dengan 30 orang ABK untuk beroperasi selama 20 hari per trip adalah (20 x 30 x 5 liter) = 3 m3, untuk kebutuhan penanganan ikan di tempat pelelangan 100 liter per ton ikan.

Jumlah kapal yang pergi melaut sebanyak 50 %, dengan volume hasil tangkap per kapal sebanyak 10 ton ikan. Jadi kebutuhan air per bulan = (50 % x 500 x 13) m3= 3.250 m3

7) = jumlah BBM per trip 4.000 liter per kapal, jadi untuk 250 kapal per bulan = 1 jt liter 8) = kebutuhan oli rata-rata per kapal per trip = 35 liter, jadi untuk 250 kapal per bulan =

8.750 liter 9) = menurut Murdiyanto (2002), luas gedung pelelangan diperhitungkan berdasarkan rumus

S = NP/Rα; dimana S = luas gedung pelelangan; N = jumlah produksi per hari {(250 x 10) ton/25 hari} = 100 ton; P = faktor daya tampung ruang terhadap produksi, rata-rata sebesar (11 ton/m2); α = rasio antara ruang lelang dan gedung pelelangan (0,4); R = frekuensi pelangan per hari (2 kali per hari). Sehingga luas gedung pelelangan yang diperlukan seluas 1.375 m2

10) = ruang perbaikan alat penangkapan ikan, diasumsikan sebesar ruang pelelangan, yaitu 1.375 m2

11) = ruang bengkel (workshop) dan dockyard diperhitungkan berdasarkan pada laporan Kurniawati (2005) bahwa kapal purse seine rata-rata melakukan docking sebanyak 2,28 kali setahun selama masing-masing 5,82 hari. Dengan jumlah kapal yang ditampung sebanyak 500 kapal, maka jumlah dock yang diperlukan mengikuti rumus Nnl/t, dimana N = jumlah kapal; n = frekuensi perbaikan per hari; l = lama hari docking; dan t = lama hari kerja per tahun, diasumsikan 300 hari kerja. Jadi jumlah dock yang perlu dibangun harus mempunyai kapasitas untuk 22,12 unit kapal, dibulatkan sebanyak 22. Dengan asumsi dimensi kapal sebagaimana tercantum dalam point 1) di atas, ditambah jarak antara kapal yang didocking sebesar 2 m, maka luas keseluruhan dock sekitar 5.400 m2.

12) = jumlah es balok yang digunakan dalam satu trip diasumsikan sebanyak 500 balok (@ 40 kg)

Page 239: Muara Dadap

220

13) = diasumsikan 50 % dari ikan hasil tangkap bermutu baik dan perlu disimpan di cold storage, sehingga kapasitas cold storage yang tersedia harus sebesar = 50 % x 250 kapal x 10 ton = 1.250 ton.

Rumus perhitungan GT kapal berdasarkan Kepmen DKP No 10/2003 GT = (a + b)0,353; dimana a = volume ruang tertutup di bawah dek; b = volume ruang tertutup di atas dek).

Model matematika dari hubungan antara jumlah kapal yang dipindah dari

TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara dengan pembangunan (ketersediaan)

fasilitas pelabuhan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

Yi = ki .X

Dimana:

X = bobot kapal dalam GT, untuk kapal ukuran < 50 GT

Y = fasilitas pelabuhan di TPI Kamal Muara

i = 1, 2, 3, ...., n, faktor fasilitas pelabuhan yang berubah oleh

bobot kapal.

Dengan menggunakan program visual basic, maka model perubahan

fasilitas pelabuhan dikaitkan dengan jumlah kapal yang dipindah dapat dilihat

pada Tabel 5.26.

Tabel 5.26 Model perubahan jumlah kapal yang pindah dan fasilitas pelabuhan yang perlu ditingkatkan

No PRASARANA/ SARANA PPI

NILAI IDEAL DARI PRASARANA/SARANA PPI KAMAL MUARA BERDASARKAN TOTAL BOBOT KAPAL YANG HARUS DIPINDAH

2.500 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000

1. Lebar alur masuk3) (m)

35,21 37,96 43,47 48,98 54,49 60

2. Panjang darmaga sandar4) (m)

92,60 126,75

195,06

263,376

331,69

400

3. Luas kolam pelabuhan/ darmaga2) (m2)

1.936,32

4.387,84

9.290,88

14.193,92

19.096,96

24.000

4. Kedalaman kolam5) (m)

1,03 1,47 2,26 3,24 4,12 5

5. Volume kolam (m3)

2.306,36

15.383,43

41.537,57

67.691,71

93.845,86

120.000

Page 240: Muara Dadap

221

Lanjutan Tabel 5.26 2.500 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000

6. Frekuensi keruk (perth)

1,01 1,12 1,34 1,56 1,78 2

7. Volume keruk (m3)

803,88

11.381,23

32.535,92

53.690,61

74.845,31

96.000

8. Air bersih6)/bulan (m3)

1.018,841

1.266,75

1.762,56

2.258,37

2.754,19

3.250

9. BBM7) per bulan(ton)

305,86

382,99

537,24

691,49 845,75 1.000

10. Oli per bulan8) (ton)

0,87 1,74 3,49 5,25 7,00 8,75

11. R. pelelangan9) (m2)

85,89 229,12

515,59

882,06

1.088,53

1.375

12. Ruang perbaikan alat tangkap ikan10) (m2)

71,01 215,90

505,67

795,45

1.085,23

1.375

13. Dok/bengkelan11) (m2)

144,38

728,34

1.896,25

3.064,17

4.232,09

5.400

14. Es balok)12)

/bulan) 15.92

1,11 28.04

0,99 52.280,74

76.520,49

100.760,24

125.000

15. Cold storage13) (ton)

10,47 148,19

423,65

699,10

974,55

1.250

16. R.penanganan14)(m2)

85,89 229,12

515,59

802,06

1.088,53

1.375

17. R pengolahan14) (m2)

85,89 229,12

515,59

802,06

1.088,53

1.375

Besarnya nilai penurunan akibat dialihkannya ke 299 unit kapal ikan

tersebut dapat dihitung sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.27.

Tabel 5.27 Besaran jumlah ikan dan nilai retribusi yang diperkirakan dapat diperoleh dari operasional 299 unit kapal ikan di TPI Muara Angke (data diolah dari Tabel 4.10, Tabel 4..11 dan Tabel 4.12).

PARAMETER 2002 2003 2004 1 Total produksi ikan lokal 8.472.920 8.162.744 8.109.187 2. Nilai retribusi lelang dari total

produksi ikan lokal (x Rp 1.000) 1.235.685,14 1.615.307,18 1.693.584,92

3. Jumlah kapal ikan yang tambat labuh

3.262 3.081 3.527

4. Nilai rata-rata retribusi per kapal ikan

378.812 524.280 480.177

5. Perkiraan nilai retribusi dari 299 kapal ikan

108.340.232 149.944.080 137.330.622

Page 241: Muara Dadap

222

Dari Tabel 5.27 di atas dapat dilihat bahwa untuk jumlah kapal ikan

sebanyak 286 unit, diperkirakan akan dihasilkan nilai retribusi sebesar Rp 137,33

juta rupiah per tahun untuk tahun 2004. Nilai retribusi bulanannya berarti sebesar

Rp 11,44 juta. Secara teoritis, nilai retribusi ini tidak akan hilang dari kas

keuangan daerah Kota Jakarta Utara, karena perpindahan tempat pendaratan kapal

dari TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara masih ada dalam suatu wilayah

administrasi. Tetapi dampak ikutan dari proses pembangunan TPI Kamal Muara

dan pemindahan kelebihan kapasitas tampung TPI Muara Angke tersebut dapat

memancing kegiatan ekonomi yang lebih besar.

Prediksi perubahan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara,

dan TPI Dadap menggunakan Stella dapat dilihat pada Gambar 5.9.

10:19 AM Sat, Apr 29, 2006Page 12006.00 2007.00 2008.00 2009.00 2010.00 2011.00

Years

1:

1:

1:

2:

2:

2:

3:

3:

3:

4:

4:

4:

5:

5:

5:

15000

30000

45000

454

1204

1954

0

15000

30000

0

10000

20000

100

250

400

1: kplTPI Muara AÉ 2: TPI Dadap 3: TPI Kamal Muara 4: kplpindahdrMA 5: jmlkpl pindahDdÉ

1

1

1

1

1

2

2

2

2

23

3

3

3

3

4

4 4 4 4

5

5

5

5

5

Gambar 5.9 Kurva laju perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara

Dari Gambar 5.9 tampak bahwa perubahan jumlah kapal di TPI Muara

Angke akan terjadi secara drastis dalam kurun waktu satu tahun pertama, dari

jumlah 815 sekarang ini sampai kembali ke kapasitas awal yang direncanakan

sebanyak 500 kapal. Jika dijadwalkan pemindahan kelebihan kapal ikan tersebut

berlangsung selama lima tahun, maka pada tahun pertama dapat dipindah

sebanyak 2942 GT, dan secara tetap dapat dipindah sebanyak ini pada tahun-tahun

Page 242: Muara Dadap

223

berikutnya. Bentuk kurva pindah kapal dan kapal yang tersisa mempunyai bentuk

yang relatif sama. Hanya saja pada tahun pertama tersebut, pemindahan kapal

sebenarnya dapat dilakukan tuntas, hanya saja tergantung pada peningkatan

prasarana dan sarana pelabuhan sesuai dengan yang direncanakan. Sementara itu,

pola perubahan jumlah kapal yang dipindahkan dari TPI Dadap dan jumlah yang

tersisa bentuknya sama.

Model Stella yang dapat dibuat untuk menggambarkan sistem tersebut

dapat dilihat pada Gambar 5.10, sedangkan persamaannya dicantumkan dalam

Lampiran 6.

Gambar 5.10 Model kualitatif perpindahan sebagian armada penangkapan ikan ke TPI Kamal Muara

Page 243: Muara Dadap

224

Salah satu causal loop dari model ini yang diprediksikan dapat terbentuk

dicantumkan dalam Gambar 5.11.

Gambar 5.11 Causal loop yang diasumsikan dapat terjadi pada proses pindah kapal ikan dan investasi fasilitas pelabuhan

Dari Gambar 5.11 tampak bahwa bilamana dilakukan pemindahan

sebagian kapal ikan dari PPI Muara Angke dan PPI Dadap ke PPI Kamal Muara,

maka yang akan terjadi adalah:

1) Pemda DKI Jakarta harus meningkatkan fasilitas fisik yang berkaitan

dengan operasional PPI Kamal Muara;

2) Peningkatan jumlah kapal ikan yang disertai oleh terpenuhinya prasarana

dan sarana serta fasilitas operasional penangkapan ikan dan penanganan

hasil tangkapnya akan menghasilkan peningkatan produksi hasil tangkap;

selain itu, fasilitas pelelangan dan pemasaran ikan akan meningkatkan

volume ikan yang diperjualbelikan;

3) Dampak langsung dari peningkatan volume produksi dan pemasaran ikan

akan secara otomatis meningkatkan nilai retribusi ke PEMDA DKI Jakarta;

4) Berbarengan dengan hal tersebut, perkembangan kegiatan wisata bahari

yang direncanakan di PPI Dadap juga akan menyerap hasil tangkapan ikan

dari PPI/TPI Kamal Muara, baik oleh restoran seafood, para pengolah

produk diversifikasi ikan, maupun pedagang eceran ikan;

+

+ +

+

+

+

+

+

PPI/TPI KAMAL MUARA

PPI/TPI MUARA ANGKE

PPI/TPI DADAP

PEMDA DKI

PEMBANGUNAN FASILITAS PPI/TPI

PRODUKSI IKAN PEMDA TANGERANG

PROGRAM WISATA BAHARI

+ +

Page 244: Muara Dadap

225

5) Peningkatan aktivitas wisata bahari di Dadap yang melibatkan nelayan

pemandu, secara otomatis akan menyebabkan timbulnya efek ganda, baik

yang berkaitan langsung dengan kegiatan wisata bahari tersebut, seperti:

penyediaan umpan, peralatan pancing, maupun yang tidak langsung seperti

souvenir, sarana parkir, keamanan, rumah makan, dll.

6) Berkembangnya kegiatan ekonomi di Dadap secara otomatis harus juga

dapat meningkatkan PAD Kabupaten Tangerang.

Jumlah kapal ikan di TPI Kamal Muara meningkat secara tajam setelah

tahun pertama. Hal ini terjadi karena adanya kapal yang masuk dari TPI Muara

Angke dan TPI Dadap. Bentuk kurva yang menaiki tajam sampai akhir tahun

kedua diduga karena jumlah unit kapal sebenarnya lebih banyak dari yang tercatat.

Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses penyesuaian diri antara jumlah kala

dengan ketersediaan fasilitas yang tersedia. Artinya persiapan pengembangan

fasilitas di TPI Kamal Muara memang memerlukan waktu yang cukup lama

sebelum siap untuk menampung kapal-kapal pindahan tersebut.

Pertambahan jumlah kapal di TPI Kamal Muara sebagaimana tampak

dalam Gambar 5.9 terjadi secara gradual dalam jangka waktu 5 tahun tersebut,

dimana total jumlahnya adalah sebanyak 25.000 GT. Namun demikian,

mengingat saat ini jumlah kapal sebenarnya 2.000 kapal dengan ukuran berat

berbeda, maka beberapa strategi pengelolaan kapal penangkap ikan yang dapat

dilakukan antara lain sebagai berikut:

(1) Berkurangnya sumberdaya ikan di perairan pantai mengharuskan

dilakukannya kerjasama kelompok nelayan untuk membentuk suatu unit

armada penangkapan ikan yang lebih besar, baik dari ukuran kapal dan alat

penangkapnya maupun daya jangkaunya ke fishing ground.

(2) Relokasi dan kapal-kapal ikan yang berukuran kecil, baik ke daerah-daerah

lain yang memiliki sumberdaya ikan di perairan pantai yang masih baik,

maupu dialih-fungsikan untuk aktivitas lain yang masih berkaitan dengan

keahlian nelayan, antara lain: kapal pemandu wisata pesisir, untuk layaran,

untuk sport fishing, dan juga untuk transportasi antar pulau.

Page 245: Muara Dadap

226

(3) Melakukan peremajaan kapal ikan yang sudah tidak layak lagi untuk

digunakan, dengan berlakunya persyaratan ukuran kapal sebesar 50 GT.

(4) Mengembangan fasilitas pelabuhan TPI Kamal Muara sesuai dengan

kapasitas yang direncanakan.

(5) Membentuk suatu lembaga pengelolaan terpadu diantara Dinas Teknis

terkait di Kabupaten Tangerang dan di Kota Jakarta Utara.

Data perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI

Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara

selengkapnya dicantumkan dalam Tabel 5.28.

Tabel 5.28. Data pola perubahan keseimbangan jumlah kapal (dalam GT) di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara dari tahun 2006-2011

Tahun Jml kapal di TPI Dadap

Jml kapal di TPI Kamal Muara

Jml Kpl TPI Muara Angke

Jml kpl pindah dari TPI Dadap

Kplp indah dr TPI MA

2006 1.954 50 40.750 391 2.492

2007 1.563 15.391 25.800 313 2.492

2008 1.251 18.195 23.308 250 2.492

2009 1.000 20.938 20.816 200 2.492

2010 800 23.630 18.324 160 2.492

2011 640 26.282 15.832 Catatan: nilai dibulatkan.

Dari Tabel 5.28 tampak bahwa meskipun direncanakan untuk

memindahkan jumlah kapal dari TPI Muara Angke dan TPI Dadap dalam

persentase yang sama untuk tiap tahun selama jangka waktu lima tahun, namun

hasil analisis Stella menunjukkan bahwa perubahan jumlah kapal yang terjadi

pada tahun 2011 tidak sebesar yang direncanakan. Pada tahun 2006 menunjukkan

data awal yang ada di setiap TPI, kemudian sudah mulau terjadi proses pindah

sebagian kapal dari Muara Angke dan Dadap. Pada akhir tahun 2007, TPI Dadap

akan menisakan jumlah kapal sebanyak 640 GT, dari yang direncanakan sampai

jumlah 500 GT, sementara di TPI Kamal Muara jumlahnya mencapai 26.282 GT.

Page 246: Muara Dadap

227

Hal ini mungkin terjadi karena adanya perkembangan yang tidak linier dari

pembangunan fasilitas, baik yang diperlukan oleh TPI Kamal Muara, maupun

fasilitas pengembangan yang dilakukan di TPI Dadap.

5.4 Skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara

5.4.1 Penentuan lokasi pelabuhan perikanan

Menurut Kramadibrata (2002), pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal-

kapal yang diharapkan merupakan suatu tempat yang terlindung dari gangguan

laut, sehingga bongkar muat dapat dilaksakan untuk menjamin keamanan barang.

Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan

besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan

adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan

seperti ini disebut pelabuhan alam. Tipe tempat lain yang dibentuk dan

diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur masuh

dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara penuh.

Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi alam.

Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime

Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan

bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan.

Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan.

Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa suatu pelabuhan dapat

digambarkan sebagai suatu tempat dimana berlangsung mekanisme transportasi

barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari

laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu

pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pelayanan yang diberikan oleh

pelabuhan didasarkan pada hasil dari pengalaman dalam jangka waktu yang lama.

Dalam kaitannya dengan kapal ikan, terjadinya antrian akan sangat

mempengaruhi nilai dari muatannya tersebut, terkait dengan proses lelang

(Dubrocard dan Thoron 1998). Hal ini tidak hanya waktu tunggu yang penting

tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan

Page 247: Muara Dadap

228

yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan,

dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar.

Pelabuhan Perikanan Dadap dan Kamal Muara, jika dilihat dari bentuk fisik

dan tataletaknya bukanlah suatu pelabuhan yang ideal yang sejak awal secara

resmi direncanakan untuk dibuka oleh pemerintah (meskipun kemudian beberapa

fasilitas pendukung dibangun di sekitarnya). Karena kondisi muara sungai di

kedua daerah tersebut relatif dangkal dan laju sedimentasi cukup besar. Fungsi

pelabuhan ini berkembang lebih disebabkan oleh kebutuhan terhadap suatu tempat

bersandarnya kapal-kapal ikan yang memerlukan tempat berlindung dari ombak

dan angin.

Menurut Guckian (1974), suatu lokasi akan memerlukan pembangunan

fasilitas pelabuhan jika:

1) Ada kegiatan peluncuran kapal/perahu ke suatu perairan;

2) Ada proses gerakan kapal melalui suatu alur yang dangkal yang berbahaya,

seperti pantai berkarang, arus kencang, bars, surf, dll;

3) Diperlukan suatu prasarana penambatan (berthage) dan berlabuh

(anchorage) kapal/perahu yang aman untuk terapung (afloat);

4) Diperlukan suatu penanganan ikan hasil tangkap, baik dari perahu ke darat

maupun ke kapal/perahu lainnya.

5) Ada kegiatan perbaikan perahu dan suplai kebutuhan awak kapal, seperti

peralatan tangkap, bahan bakar, air, es, dan bahan lainnya;

6) Ada kegiatan penanganan dan pengolahan ikan di pantai;

7) Ada kegiatan pemeliharaan dan perbaikan kapal/perahu di dermaga/

pelabuhan, atau di pantai.

Guckian (1974) menambahkan bahwa pembangunan fasilitas di suatu

pelabuhan harus ditentukan pada dua faktor, yaitu: ukuran dan tipe kapal yang

akan digunakan; dan aktivitas khusus yang memerlukan pelayanan khusus pula.

Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam suatu pembangunan

pelabuhan, keterlibatan arsitek kelautan, teknik sipil, master penangkapan,

spesialis industri perikanan, ahli ekonomi, dan sosiologi.

Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu kapal ikan yang berlabuh di

sebuah pelabuhan sudah harus mempunyai pertimbangan tentang adanya biaya

Page 248: Muara Dadap

229

tunggu. Mereka mempertimbangkan waktu pelayanan bongkar muat menjadi

penentu utama kualitas pelayanan pelabuhan yang disediakan. Kualitas pelayanan

ini diukur dengan keterlambatannya (the delay), yang ditentukan oleh kapasitas

pelabuhan dan permintaan untuk mendapatkan pelayanan pelabuhan tersebut.

Untuk kasus TPI Dadap dan TPI Kamal Muara, pelayanan yang dilakukan

oleh pelabuhan sebenarnya hampir tidak ada. Hal ini tampak karena setiap kapal

ikan melakukan bongkar muat sendiri, baik untuk ikan hasil penangkapannya,

maupun untuk pemuatan ransum dan keperluan operasi penangkapan. Untuk

kegiatan servis mesin dan kapal juga dilakukan oleh awak kapal sendiri, tidak

mengandalkan bengkel khusus, kecuali jika terjadi kerusakan mesin yang relatif

parah sehingga memerlukan montir yang lebih akhli. Oleh karena itu, belum

diperlukan sistem analisis khusus untuk membahas teori antrian di TPI Kamal

Muara.

Menurut Kramadibrata (2002) dan Murdiyanto (2002), kelengkapan

fasilitas dalam suatu pelabuhan perikanan haruslah mencakup dua unsur utama,

yaitu:

(1) Fasilitas pokok (basic facilities), yang mencakup:

a. fasilitas perlindungan (protective facilities), berfungsi untuk

melindungi kapal dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh

kondisi oseanografis seperti gelombang, arus, pasang, aliran pasir,

erosi, luapan air di muara sungai, dsb. Fasilitas ini dapat berupa

breakwater, groin, tembok laut, atau bangunan maritim lainnya;

b. fasilitas tambat (mooring facilities), digunakan untuk kapal

bertambat, bongkar muat ikan, berlabuh, dan saat menganggur (idle

berthing). Fasilitas ini dapat berupa dermaga pendaratan, mooring

quays, bollards piers, dan slipways;

c. fasilitas perairan pelabuhan (water side facilities), berguna untuk

pintu masuk pelabuhan dan manuver kapal di areal pelabuhan dan

untuk kapal berlabuh (anchorage). Fasilitas dapat berbentuk alur

atau kanal pelayaran atau kolam pelabuhan.

(2) Fasilitas fungsional terdiri dari berbagai fasilitas yang berfungsi untuk

melayani berbagai kebutuhan lainnya di areal pelabuhan tersebut, seperti

Page 249: Muara Dadap

230

bantuan navigasi, layanan transportasi, layanan suplai kebutuhan bahan

bakar minyak dan pelumas, tempat penanganan dan pengolahan ikan,

fisilitas darat untuk perbaikan jaring, perbengkelan untuk perbaikan dan

pemeliharaan kapal, layanan kebutuhan air bersih dan perbekalan melaut

(makanan, sarana penangkapan, dsb), instalasi pengolahan limbah dan

saluran pembuangannya, layanan komunikasi, layanan kesejahteraan sosial

bagi nelayan dan umum, dlsb.

5.4.2 Kelayakan teknis pelabuhan perikanan

Untuk membangun suatu pelabuhan diperlukan suatu proses perencanaan

yang komprehensif (menyeluruh), baik dari aspek teknis-biofisik, ekonomi,

maupun sosial. Keseluruhan proses tersebut tercakup dalam studi kelayakan dan

kajian amdalnya. Proses pembangunan fisik pelabuhannya sendiri dapat

dilakukan dengan cepat asalkan dananya tersedia. Namun demikian, hal ini belum

menjamin suatu pelabuhan akan dapat berkembang dengan baik, jika faktor-faktor

lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tidak diteliti dengan cermat.

Banyak kasus program pembangunan pelabuhan yang dilakukan oleh

pemerintah tidak dapat dimanfaatkan sama sekali, atau dapat dimanfaatkan tetapi

jauh dibawah kapasitas optimal. Temuan lapangan dari Program Pembangunan

dan Peningkatan Sarana Pelabuhan Perikanan di Indonesia tahun 1998-2000

diperoleh data ternyata beberapa pelabuhan perikanan tersebut ada yang sudah

rusak sebelum difungsikan, baik hancur karena arealnya tergerus abrasi atau tidak

dapat difungsikan karena sudah cukup jauh dari tepi pantai. Kasus lain lagi ada

pelabuhan yang tidak dipakai karena nelayan tidak ada yang mau mendaratkan

kapalnya, baik karena tidak ada pembeli, tidak dilengkapi fasilitas kegiatan

perikanan yang memadai, maupun karena faktor keamanan berlabuh yang kurang

sempurna. Penyebab terjadinya semua kegagalan tersebut adalah faktor

perencanaan yang tidak baik dan tidak terpadu, serta faktor pengawasan

pelaksanaan pembangunan pelabuhan tersebut yang sangat lemah.

Secara teknis, PPI/TPI Dadap sudah kurang layak lagi untuk dijadikan

pangkalan pendaratan ikan, mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Kelautan

Page 250: Muara Dadap

231

dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan

Perikanan (DKP 2006) dan Lubis (2002) tentang fungsi pelabuhan perikanan,

yaitu dalam hal berikut:

1) Tidak lengkapnya fasilitas-fasilitas yang ada di PPI/TPI Dadap, baik fasilitas

pokok, yang meliputi: (1) pelindung seperti breakwater, revetment, dan

groin; (2) tempat tambat seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti

kolam, dan alur pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-

gorong, jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.; fasilitas fungsional

yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai tempat pemasaran hasil

perikanan (tidak difungsikan lagi); (2) tidak ada sistem navigasi pelayaran

dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar,

dan menara pengawas; (3) kurangnya suplai air bersih, es, listrik; (4)

pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel

dan tempat perbaikan jaring dilakukan oleh dan ditempat nelayan sendiri;

(5) tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan tidak tersedia,

demikian juga laboratorium pembinaan mutu; (6) tidak berfungsinya

perkantoran untuk administrasi pelabuhan; (7) belum tersedianya alat

transportasi ikan dan bahan perbekalan penangkapan; serta (8) belum adanya

TPA (tempat pengolahan limbah) seperti instalasi pengolah air limbah

(IPAL).

2) Tidak tersedianya fasilitas penunjang, seperti: (1) balai pertemuan nelayan;

(2) tempat pengelolaan pelabuhan, seperti mess operator, pos jaga, dan pos

pelayanan terpadu; (3) fasilitas sosial dan umum, seperti tempat peribadatan,

dan MCK; (4) kios IPTEK; serta (5) tempat penyelenggaraan tugas

pemerintahan seperti keselamatan pelayaran, K3, bea dan cukai,

keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina

ikan.

Ketiadaan fasilitas yang tersedia menyebabkan fungsi pelabuhan perikanan

sebagaimana yang dinyatakan oleh Lubis (2002), tidak dapat dijalankan semua,

baik yang berdasarkan pendekatan kepentingan maupun pendekatan aktivitas.

Fungsi yang dapat berjalan hanya fungsi pemasaran yang juga tidak dilakukan di

TPI.

Page 251: Muara Dadap

232

Untuk kasus PPI/TPI Kamal Muara, kondisinya jauh lebih baik. Di sini

hampir semua fungsi pelabuhan dan tempat pelelangan ikan masih berfungsi

meskipun belum sempurna. Sebagai contoh:

1) Fasilitas pokok belum lengkap, seperti tidak tersedia breakwater sebagai

pelindung dari gelombang dan arus;

2) Fasilitas fungsional belum lengkap dan belum difungsikan optimal, seperti:

(1) TPI tidak lagi digunakan sebagai tempat pelelangan; pelelangan ikan

malah dilakukan di jalan di depan TPI; (2) belum lengkapnya sistem

navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-

rambu, lampu suar, dan menara pengawas; (3) kurangnya suplai air bersih,

es, listrik; (4) tempat pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan dilakukan

di sekitar kolam pelabuhan oleh dan ditempat nelayan sendiri; (5) tempat

penanganan dan pengolahan hasil perikanan tidak tersedia, dan hanya

dilakukan di tempat/rumah masing-masing pedagang/pengolah; (6) tidak

tersedia laboratorium pembinaan mutu; serta (7) belum adanya TPA (tempat

pengolahan limbah) seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL).

3) Fasilitas penunjang belum lengkap, seperti: (1) kios IPTEK; serta (2) tempat

penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran,

keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina

ikan.

Ketiadaan fasilitas yang tersedia tersebut memang tampaknya belum

diperlukan untuk pelabuhan perikanan yang berukuran kecil dan skala usahanya

hanya tingkat lokal saja. Jadi di PPI/TPI Kamal Muara fungsi pelabuhan

perikanan yang dapat dijalankan jika mengacu kepada Lubis (2002), meliputi: (1)

fungsi jasa; (2) fungsi pendaratan dan pembongkaran; serta (3) fungsi pemasaran.

5.4.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan

Keberhasilan suatu aktivitas pembangunan, sangat dipengaruhi oleh aspek

kelembagaan yang merupakan sebuah kerangka pengelolaan yang efektif.

Analisis kelembagaan mencakup aspek peran dan tanggungjawab dari berbagai

Page 252: Muara Dadap

233

badan. Bilamana perlu dapat dilakukan revisi, sehingga pada suatu sisi yurisdiksi

yang tumpang tindih atau yang berselisih dapat diminimumkan, dan pada sisi lain

tidak ada isu penting yang tidak ditangani oleh suatu badan yang

bertanggungjawab. Oleh karena itu, sebagaimana dicantumkan dalam

Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for

Responsible Fisheries, CCRF), sebuah mekanisme kelembagaan bagi

pengelolaan pesisir terpadu akan menjamin hal berikut: pertama, ditetapkan

tanggungjawab secara sektoral yang tepat; kedua, ditetapkan tatanan-tatanan

pengkoordinasian/pengintegrasian yang tepat; dan ketiga, badan-badan pada

semua tingkat tetap terus diberi informasi menyangkut kebijakan kawasan pesisir

untuk menjamin pertalian dalam pelaksanaan kebijakan (FAO 1996).

Mengamati perkembangunan kegiatan pembangunan di wilayah DKI

Jakarta melalui hasil evaluasi pilot proyek Teluk Jakarta setelah tiga tahun

pelaksanaan, UNESCO-CSI berkesimpulan bahwa perlu peningkatan dan

pengembangan pilot proyek tersebut (Nur et al 1999). Menurut Nur et al (1999),

pada saat itu sebuah proyek sedang dirumuskan, yaitu "Environmental governance

and wise practices for tropical coastal mega-cities: Sustainable human

development of the Jakarta Metropolitan Area". Proyek ini akan berfungsi sebagi

sebuah forum koordinasi dari proyek-proyek yang berkaitan dengan peningkatan

kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan Jakarta, garis begar kegiatan

adalah sebagai berikut: (1) Menggalakkan partisipasi masyarakat dalam

peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan mendorong partisipasi masyarakat

dan LSM dalam pembangunan masyarakat berkelanjutan; (2) Mengintegrasikan

kegiatan peningkatan kualitas kawasan pesisir sebagai salah satu bagian dari

program permbangunan pemerintah (pusat dan daerah), merumuskan

kebijaksanaan lingkungan hidup dan system pemantauan, analisis and desiminasi

hasil lapangan; dan (3) Meningkatkan kesadaran sektor swasta (para pengelola

kawasan pariwisata dan kawasan industri) akan pentingnya arti dari pelertarian

lingkungan hidup. Program kegiatan disusun berdasarkan analisa ruang dari

permasalahan, misalnya : untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap

sumberdaya pesisir yang disebabkan oleh tata cara penangkapan ikan yang tidak

berwawasan lingkungan (pemakaian bom ataupun racun) maka kita akan cari

Page 253: Muara Dadap

234

alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya tidak

merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta oleh

pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing petani

yang berada di hulu (di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar 70

hingga 90 km dari pantai) untuk melakukan praktek pertanian berwawasan

lingkungan.

Adanya Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur,

merupakan suatu titik awal yang baik untuk melakukan pengelolaan suatu wilayah

yang terletak diperbatasan, sebagaimana Dadap dan Kamal Muara. Informasi dari

Sekretarian BKSP Jabodetabekjur menyebutkan bahwa koordinasi sudah berjalan

baik, meskipun ternyata diperlukan waktu yang lebih banyak untuk sampai pada

tingkat implementasi di lapangan. Nur et al (1999) menyatakan bahwa

permasalahan lingkungan hidup di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu tidak

dapat dipecahkan hanya pada tingkat lokal, melainkan dibutuhkan pemecahan

persoalan yang skalanya regional, yaitu Kawasan Metropolitan Jakarta. Hingga

saat ini belum ada satu pun Badan Pemerintah yang berhasil menangani

pembangunan dan pengelolaan Kawasan Jakarta Metropolitan (DKI Jakarta dan

beberapa Dati II di Jawa Barat) secara keseluruhan. Pada prinsipnya, Badan

Kerjasama Pembangunan Jabotabek (BKSP) adalah satu-satunya badan yang

bertanggung jawab atas koordinasi inter-regional dan inter-sectoral baik antara

pemerintah pusat dan instansi-instansi lain yang terlibat dalam pembangunan

Jabotabek. Pada saat ini, BKSP menghadapi beberapa persolan untuk

melaksanakan tugas ini, persoalan yang dihadapi antara lain: (1) tidak ada dana

khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan BKSP; (2) kegiatan BKSP bertumpang

tindih dengan beberapa lembaga pemerintah lainnya, teurama Bappeda Tkt. I DKI

Jakarta dan Jawa Barat; (3) peran BKSP dalam perencanaan, pelaksanaan,

pengelolaan dan penyususnan anggaran pembangunan Jabotabek tidak begitu

jelas; dan (4) tidak ada petunjuk pelaksanaan pembangunan di Jabotabek.

Singkatnya BKSP tidak memiliki alat untuk mengkoordinaksikan dan

mengintegrasikan program pembangunan di Jabotabek. Setelah mengidentifikasi

permasalahan yang dihadapi BKSP, ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat

dan Daerah perlu memberikan dukungan kepada lembaga ini (berupa penjelesan

Page 254: Muara Dadap

235

statusnya, dukungan politik dan pendanaan) agar dapat menjalankan tugas dan

fungsi dengan baik.

Selain persoalan-persoalan di atas, beberapa faktor yang menyebabkan

terjadinya keterlambatan fungsi BKSP Jabodetabekjur adalah:

1) Hasil rapat koordinasi diantara anggota di dalam BKSP Jabodetabekjur

masih memerlukan waktu pembahasan di daerah masing-masing, kecepatan

proses pembahasan tersebut juga tidak sama.

2) Setelah adanya era otonomi daerah ini, birokrasi pengambilan keputusan

yang berkaitan dengan pemerintah daerah lain harus melalui proses

pembahasan di kalangan DPRD.

3) Masih adanya perbedaan persepsi dikalangan tokoh-tokoh masyarakat

tentang konsep “Jakarta Megapolitan”.

Khusus untuk poin 3 di atas, beberapa tokoh masyarakat Jawa Barat berbeda

pendapat tentang konsep pembentukan Jakarta Megapolitan. Sengketa dan

rencana "pencaplokan" wilayah Jawa Barat oleh DKI Jakarta ternyata bukan

terjadi saat ini saja. Menurut Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H {mantan

Sekretaris Eksekutif Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta Bogor Tangerang

Bekasi (Jabotabek)}, wacana seperti itu sudah pernah dilontarkan DKI Jakarta

sejak 1974, saat Gubernur DKI dipegang Ali Sadikin. Namun ide tersebut

ditentang keras Gubernur Jawa Barat saat itu, Solihin G.P. (Anonimous 2006b).

Sejalan dengan perkembangan jaman, ternyata ide serupa yang kembali

dilontarkan oleh Gubernur DKI Jakarta sekarang, Sutiyoso, justru mendapat

sambutan positif dari beberapa tokoh Jawa Barat. Sesepuh Jawa Barat, Tjetje

Hidayat Padmadinata, berpendapat bahwa tidak seharusnya warga Jawa Barat

bereaksi secara berlebihan (over reaction) dalam menanggapi konsep Jakarta

Megapolitan. Pemikiran secara tenang dan cerdas adalah yang seharusnya

dilakukan. Konsep Megapolitan baru dikemukakan secara sepihak oleh Sutiyoso

hingga perlu lebih dicermati untuk melihat permasalahan secara menyeluruh.

Tjetje mengemukakan, konsep kawasan Megapolitan sebagai upaya membangun

ibu kota, dilakukan dengan merevisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang pemerintahan

Provinsi DKI Jakarta. "Kalau saja konsep Megapolitan hanya untuk daerah ibu

Page 255: Muara Dadap

236

kota, maka sebenarnya Jakarta tidak cocok sebagai ibu kota RI. Siapa bilang ibu

kota negara harus besar? Menurut Tjetje sebagaimana dikutif dari PIKIRAN

RAKYAT, beberapa negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Australia, yang

menunjukkan bahwa tak selamanya ibu kota negara adalah kota besar. "Ibu kota

negara seharusnya berada di tempat yang tenang sebagai tempat berpikir untuk

para negarawan. Bukan penuh hiruk pikuk. Konsep ibu kota yang seharusnya

tenang dan hening itu, bahkan telah dikemukakan Presiden RI Soekarno tahun

1950-1960. Menurut Tjetje, saat itu Soekarno pernah mengusulkan kota

Palangkaraya Kalimantan Tengah sebagai ibu kota RI, bukan Jakarta (Anonimous

2006b).

Terhambatnya kinerja BKSP Jabodetabekjur mungkin pula ada kesan

negatif terhadapnya. Sebagaimana disampaikan oleh Atje, pembentukan BKPS

Jabotabek (saat itu) telah menarik banyak pejabat yang melamar untuk masuk di

dalamnya. Tapi, sayang dalam perkembangannya, lembaga itu malah dijadikan

"tempat pembuangan" pejabat-pejabat bermasalah. Ateng menyayangkan,

lembaga yang dirintisnya itu hanya jadi tempat pembuangan. Dia ingin lembaga

itu memiliki posisi yang penting karena kinerjanya. Satu hal lagi yang menjadi

penghambat kinerja tersebut adalah karena pemerintah pusat, ternyata tidak mau

mengakui lembaga itu sebagai lembaga struktural, sehingga para pejabatnya tidak

bisa naik pangkat. BKP Jabotabek hanya menjadi lembaga temporer, sehingga

para pegawai tidak bisa naik pangkat. Prof. Ateng Syafrudin berpendapat,

penanganan persoalan di perbatasan wilayah DKI Jakarta dengan Jawa Barat dan

Banten, tidak akan berjalan jika konsepnya perluasan wilayah. Persoalan hanya

bisa diatasi jika konsepnya adalah kerja sama antara tiga pemerintah provinsi,

dengan keterlibatan pemerintah pusat. "Pusat harus memberikan atensi tinggi,"

(Anonimous 2006b).

Selama ini, lembaga resmi yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan dan

Perikanan Kabupaten Tangerang untuk mengelola kegiatan perikanan di PPI/TPI

Dadap adalah KUD Mina Bahari. Namun demikian, setelah meninggalnya ketua

KUD tersebut tahun 1997, informasi dari nelayan menyebutkan bahwa TPI Dadap

tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelelangan ikan. Sama sekali tidak ada

Page 256: Muara Dadap

237

aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, gedung TPI juga menunjukkan sebagai

tempat yang sudah lama tidak dihuni.

Untuk mengaktifkan kembali pengelolaan PPI/TPI Dadap sesuai dengan

aktivitas yang direkomendasikan, maka lembaga pengelolanya haruslah berupa

kantor bersama, dimana terdapat wakil-wakil dari instansi-instansi yang berkaitan

dengan aktivitas tersebut. Aktivitas-aktivitas tersebut meliputi:perikanan yang

mengarah pada wisata (sport fishing), perhubungan, penelitian, perdagangan, dan

pariwisata. Untuk PPI/TPI Kamal Muara, setelah dilakukan rehabilitasi sesuai

dengan kapasitas yang akan diembannya, maka pengelolaannya diharapan

dipegang oleh UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan

Pendaratan Ikan, sebagaimana yang sekarang berlaku di TPI Muara Baru dan TPI

Muara Angke. Hal ini perlu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan efisiensi

dan koordinasi secara profesional diantara pelabuhan-pelabuhan perikanan besar

yang ada di DKI Jakarta. Rekomendasi kelembagaan pengelola TPI di Dadap dan

Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.29.

Tabel 5.29 Aspek kelembagaan pengelola TPI Dadap dan Kamal Muara

No AKTIVITAS INSTANSI PPI/TPI DADAP

PPI/TPI KAMAL MUARA

1 Koordinasi pembangunan

BKSP Jabodetaberkjur √ √

2 Perikanan tangkap Dinas Perikanan-Kelautan - √

3 Perikanan wisata Dinas Pariwisata √ -

4 Wisata pantai Dinas Pariwisata √ -

5 Kapal penelitian LIPI/BPPT √ -

6 Kapal pesiar Dinas Pariwisata √ -

7 Seafood restorant Dinas Perindag √ √

8 Kapal petikemas Dinas Perindag √ -

9 Kepelabuhanan Syahbandar √ -

10 Pindah barang/hewan

Dinas Karantina √ -

11 Migrasi Dinas Imigrasi √ -

12. Pajak Dinas Bea cukai √ -

Page 257: Muara Dadap

238

Dalam bentuk diagram, kelembagaan yang diusulkan untuk dibentuk dalam

rangka pengelolaan kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam

Gambar 5.12.

Catatan: 1 = Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten 2 = Bupati/Walikota 3 = Sekretaris 4 = Sekretariat 5 = SUB BAGIAN TATA RUANG & PERTANAHAN 6 = BAGIAN PEREKONOMIAN 7 = BAGIAN PEMERINTAHAN DAN KESRA 8 = BAGIAN UMUM 9 = SUB BAGIAN PERMUKIMAN, SARANA & PRASARANA 10 = SUB BAGIAN SUMBER DAYA AIR, KEBERSIHAN & LINGKUNGAN HIDUP 11 = SUB BAGIAN TRANSPORTASI & PERHUBUNGAN 12 = SUB BAGIAN AGRIBISNIS, KOPERASI & USAHA KECIL MENENGAH 13 = SUB BAGIAN INDUSTRI, PERDAGANGAN, PERTAMBANGAN & INVESTASI 14 = SUB BAGIAN KEPENDUDUKAN, KETENTRAMAN & KETERTIBAN 15 = SUB BAGIAN KESEHATAN & PENDIDIKAN 16 = SUB BAGIAN SOSIAL & TENAGA KERJA 17 = SUB BAGIAN 18 = PROGRAM DAN KEUANGAN 19 = SUB BAGIAN RUMAH TANGGA & PERLENGKAPAN 20 = SUB BAGIAN TATA USAHA & KEPEGAWAIAN

Gambar 5.12 Diagram hierarki pengelolaan kawasan Dadap-Kamal Muara.

Gambar 5.12 menunjukkan suatu skenario perlu dibentuknya lembaga

pengelola PPI/TPI Dadap-PPI/TPI Kamal Muara, khususnya pada masa proses

pemindahan kapal dan pembangunan fasilitas di kedua PPI/TPI tersebut.

KANTOR BERSAMA

LIPI/BPPT

PENGELOLA PPI/TPI DADAP

PENGELOLA PPI/TPI KAMAL MUARA

Page 258: Muara Dadap

239

Lembaga khusus ini (disebut Kantor Bersama) berfungsi untuk

mengakomodasikan dan mengkoordinasikan semua kepentingan dari setiap

institusi yang berkaitan dengan kedua PPI/TPI tersebut. Keberadaan BKSP

Jabodetabekjur dapat lebih mempercepat terlaksananya pengelolaan wilayah

Dadap-Kamal Muara secara terpadu, mengingat sudah lengkapnya bagian-bagian

dalam BKSP yang dapat mengakomodasi setiap kegiatan yang akan direncanakan

dan yang sudah dilakukan di kawasan tersebut.

Tugas Kantor bersama ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

(1) Menterjemahkan semua kebijakan yang ditetapkan oleh Pemda Kabupaten

Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara melalui dinas-dinas teknis terkait;

(2) Menjalankan program kerja di kedua PPI/TPI tersebut;

(3) Melaporkan semua perkembangan yang terjadi selama tahun anggaran

yang sudah lewat kepada atasan-atasannya, dengan tembusan kepada

Bupati Tangeran dan Walikota Jakarta Utara;

(4) Ikut secara aktif dalam diskusi pleno yang diselenggarakan oleh semua

instansi terkait dari kedua pemerintah daerah tersebut, untuk

mengklarifikasikan semua perencanaan dan pelaksanaan program yang

sudah berjalan serta untuk penyusunan dan perbaikan program selanjutnya;

Dalam Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of

Conduct for Responsible Fisheries, CCRF) sudah dinyatakan bahwa diperlukan

sebuah kerangka legislatif yang mengesahkan lembaga pengelolaan pesisir serta

kegiatan yang dilakukannya. Sifat yang tepat dari peraturan dan perundangan di

setiap negara tergantung pada ruang lingkup dan kesenjangan dalam peraturan dan

perundangan yang ada. Tambahan pula, pengalaman suatu negara tidak mesti

secara langsung bisa dipindahkan ke lain negara, sekalipun negara itu memiliki

kesamaan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya (FAO 1996).

Dalam pengelolaan kawasan pesisir, salah satu dari fungsi kelembagaan dan

hukum yang paling penting adalah memastikan adanya suatu mekanisme untuk

penyelesaian sengketa. Berhubung sumber daya pesisir semakin langka. Perlu di

pertimbangkan bagaimana menyelesaikan tuntutan yang bersaing diantara sektor-

sektor, baik yang ada di masa kini maupun masa depan (FAO 1996).

Page 259: Muara Dadap

240

5.5 Analisis Opini Masyarakat tentang Kondisi Perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara

Hasil identifikasi aktivitas perikanan yang berasal dari responden

menunjukkan bahwa kondisi unit penangkapan di kawasan Dadap-Kamal Muara

adalah sebagaimana dicantumkan dalam Tabel 5.30. Hasil pengolahan data

komunitas lokal dengan survey pro dicantumkan pada Lampiran 7.

Tabel 5.30. Rangkuman kondisi sarana perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara berdasarkan responden nelayan

SARANA

PERIKANAN JENIS ALAT SPESIFIKASI

Alat tangkap Jaring rampus Mesh size 2”, 10 pis, bahan snar, lebar 4 m.

Waring: mesh size 0,1”, 10 ral, bahan plastik

Jaring kampung Mesh size 2”, 10 pis, bahan snar keras, dengan lebar 4 m

Waring: mesh size 0,1”, 10 ral, bahan plastik

Jaring klitik mesh size 4’, 5 pis, snar Perbaikan

jaring: 2 kali per tahun, 1 kali per minggu, 4 kali per minggu

Tenaga perbaikan jaring

ABK, tenaga khusus

Kapal/perahu Dimensi (6 x 1,5

x 0,5) m3 Bobot, 100-200 kg; bahan kayu

Mesin & Kecepatan

Dongfeng 11 hp, 2 knot Honda 5 hp, 1 knot

Bahan Kayu Dimensi (10 x

1,7 x 0,8) m3 Bobot 400 kg

Pemeliharaan 6 bulan sekali Mesin penggerak

Merk Dongfeng 21 hp,kecepatan sekitar 2 knot per jam

Perbaikan mesin 6 kali per tahun 4 kali per tahun 2 kali per tahun 1 kali per tahun Montir sendiri beserta ABK, Bengkel khusus

Dari Tabel 5.30 tampak bahwa sebagian besar responden adalah berstatus

nelayan jaring rampus dan jaring kampung dengan rata-rata panjang 10 m per pis

Page 260: Muara Dadap

241

dan jumlah jaring per unit sebanyak 10 pis (lembar). Bahan jaring adalah snar

nilon, dimana frekuensi perbaikan yang dilakukan bervariasi antara harian sampai

per enam bulanan, tergantung pada tingkat kerusakan dan frekuensi

penggunaannya. Tenaga kerja yang memperbaiki jaring umumnya dilakukan oleh

ABK sendiri, atau tenaga khusus yang diupah untuk pekerjaan tersebut. Upah

perbaikan jaring juga bervariasi tergantung tingkat kerusakan yang dialami.

Kapal yang digunakan nelayan untuk pergi melaut semuanya terbuat dari

kayu, dengan dimensi antara 6-10 m, lebar antara 1,6-1,7 m, dan tinggi antara 0,5-

0,8 m. Bobot ditaksir antara 100-200 kg. Pemeliharaan dan perbaikan kapal

dilakukan rata-rata setiap tahun dua kali.

Mesin penggerak yang digunakan umumnya buatan Cina merek Dongfeng

yang berbahan bakar solar dan bensin serta buatan Jepang merek Honda, dengan

tenaga berkekuatan antara 5-21 hp dan berbahan bakar bensin. Perbaikan mesin

dilakukan antara setiap dua bulan sampai satu tahun sekali, tergantung pada merek

mesin kapal yang digunakan. Secara umum, mesin buatan cina memerlukan

perawatan mesin yang lebih sering dibandingkan dengan mesin buatan Jepang.

Operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan yang menjadi

responden penelitian ini umumnya hanya di sekitar perairan Kepulauan Seribu,

khususnya di sekitar Pulau Bidadari, Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa, dan

Pulau Bokor, atau ke areal dimana perjalanan antara 2 sampai 8 jam dari TPI,

tergantung kekuatan motor penggerak perahunya. Biaya yang dikeluarkan oleh

nelayan setiap kali melakukan penangkapan ikan dapat dilihat dari Tabel 5.31.

Tabel 5.31. Rangkuman biaya operasi penangkapan ikan per trip di kawasan Dadap-Kamal Muara berdasarkan responden nelayan tahun 2004

LOKASI PENANGKAPAN

JENIS & VOLUME BIAYA

(Rp)

Perairan Kep. Seribu BBM-solar 5-90 liter per trip 25.000-450.000

BBM-bensin 5-20 liter per trip 25.000-100.000

Es balok: ¼ - 2 balok 3.500-14.000

Makanan 30.000-125.000

Kisaran biaya operasional per kapal ikan 83.500-689.000

Page 261: Muara Dadap

242

Rata-rata biaya operasional per kapal ikan 386.250

Nelayan yang beroperasi pulang hari tersebut ada yang berangkat mulai

jam 02 dini hari, kemudian ada yang berangkat jam 04 subuh (63,3 %), kemudian

ada juga yang berangkat jam 07 atau jam 08 pagi. Sebagian besar nelayan

tersebut pulang melaut sekitar jam 17 (73,3 %), sebagian lagi ada yang sudah

pulang jam 11 pagi. Kegiatan penangkapan ikan umunya dilakukan sebanyak 20

kali per bulan. Sebagian besar nelayan berpendapat bahwa musim ikan puncaknya

terjadi antara bulan Juli sampai Oktober, musim biasa dari Februari sampai Juni,

dan bulan-bulan sisanya merupakan musim paceklik.

Selama aktivitas penangkapan, nelayan Dadap-Kamal Muara seringkali

bertemu dengan nelayan lain yang umumnya berasal dari Indramayu. Alat

tangkap yang digunakan para nelayan Indramayu tersebut juga berupa (baik jaring

cincing, gill-net, maupun jaering udang) dan pancing.

Sebagian besar nelayan responden melakukan pendaratan perahunya di

Muara Angke (66,7 %) dan Kamal Muara (63,3 %). Hanya dua responden yang

kadang-kadang mendaratkan ikannya di Muara Baru. Alasan nelayan untuk

mendaratkan ikannya di Muara Angke dan muara Baru disebabkan oleh layaknya

TPI Dadap untuk tempat pendaratan ikan, karena selain fasilitas yang kurang

memadai juga karena pendangkalan alur sungai.

Nelayan ternyata juga kadang-kadang menjual ikannya di tengah laut (73,3

%). Ada beberapa alasan yang dikemukakan nelayan, antara lain: pemilik kapal

tidak mengetahui (70,0 %), harga jual lebih baik (66,7 %). Selain menjual sendiri,

nelayan kadang-kadang juga mnitipkannya pada sesama nelayan di tengah laut

untuk dijualkan (66,7 %).

Kebijakan Pemda Kabupaten Tangerang melalui RTRW Kabupaten

Tangerang tahun 2000 menetapkan bahwa areal pertambakan yang ada di

Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan Paku Haji akan direlokasi ke Kecamatan

Mauk dan Kecamatan Kronjo. Namun demikian, tahun 2000 tersebut dalam

perencanaannya juga menyatakan bahwa di muara Kali Perancis akan dibangun

TPI. Namun demikian dengan keluarnya Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002

tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, maka prioritas pembangunan kawasan

Dadap tidak lagi ditujukan untuk mengembangkan perikanan tetapi sudah pada

Page 262: Muara Dadap

243

persiapan pengembangan kawasan wisata. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah

program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan

yang hanya sedikit sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.32.

Tabel 5.32. Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran 2003.

No. NAMA KEGIATAN BIAYA

(x Rp 1.000)

SUMBER DANA

1. Optimalisasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lontar di Kecamatan Kemiri

125.000 DAU

2. Rehabilitasi Saluran Tambak 485.000 DAU

3. Peningkatan Sarana Pelelangan Ikan (TPI) 300.000 DAU

4. Master Plan Pelabuhan Cituis 750.000 PAD

5. Optimalisasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan 300.000 DAU

6. Pembangunan Pasar Ikan Higienis (PPHLT) 450.000 DAU

7. Penerapan Teknologi Perikanan dan Pengembangan Perikanan Darat

475.000 DAU

8. Peningkatan Kinerja Penyuluh Perikanan dan Kelautan Melalui Peningkatan Operasional Penyuluh

75.000 DAU

9. Peningkatan Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya

400.000 DAU

10. Pengembangan Perikanan Tangkap Melalui Armada Penangkapan Skala Kecil

600.000 DAU

11. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)

965.238 APBN

12. Dana Pendamping PEMP 100.000 DDL/PBB

Sebagaimana juga dengan aspek lingkungan, semua penduduk yang menjadi

responden penelitian ini menganggap bahwa aktivitas perikanan TPI Dadap dan

TPI Kamal Muara berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat mereka

tinggal. Penduduk secara bulat (100 %) berpendapat bahwa kondisi lingkungan

di sekitar TPI tersebut menyebabkan timbulnya aspek sosial yang berdampak

buruk bagi anak-anak (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.

Dampak lainnya yang dirasakan oleh penduduk adalah masalah keamanan

lingkungan yang rawan (sebanyak 35,7 %); dan gangguan transportasi (14,3 %).

Page 263: Muara Dadap

244

Penduduk berpendapat bahwa pemecahan masalah lingkungan dapat

dilakukan dengan cara pengerukan sungai (92,9 %) dan pembenahan lingkungan

(14,3 %). Pembenahan lingkungan dilaksanakan secara konkrit dengan perbaikan

lingkungan (50,0 %), penataan lingkungan perumahan (28,6 %), dan beberapa

aktivitas lainnya (21,4 %) seperti penyuluhan, penataan lingkungan oleh Pemda,

serta kerja sama pemerintah dan masyarakat. Sementara itu, untuk mengatasi

masalah kerawanan sosial, penduduk mengusulkan untuk menghilangkan

minuman keras (40,0 %), menghilangkan WTS (40,0 %), keamanan terpadu (40,0

%); dan melaksanakan siskamling terpadu (20,0 %). Cara mengatasi

permasalahan keamanan lingkungan yang rawan diusulkan dengan cara tindakan

pemberantasan pelacuran dan perjudian (57,1 %), alih profesi (50,0 %), serta

tindakan lainnya seperti pendekatan sosial dan keagamaan, serta memberantas

perdagangan minuman keras (21,4 %). Untuk mengatasi permasalahan

transportasi hasil perikanan yang terganggu penduduk mengusulkan secara bulat

bahwa alat angkutan harus merapat ke TPI (100,0 %).

Nelayan yang tinggal di sekitar TPI Dadap dan Kamal Muara tidak hanya

apatis menghadapi kesulitan hidup sehari-hari yang dihadapinya, tetapi juga

berharap adanya peningkatan taraf hidup nelayan (60 %). Sebagian kecil dari

mereka (6,7 %) menginginkan adanya upaya untuk meningkatkan taraf hidupnya,

tanpa merinci apa bagaimana peningkatan taraf hidup itu dapat terjadi. Namun

demikian, beberapa upaya perbaikan yang diduga dapat meningkatkan taraf hidup

nelayan dan keluarganya menurut mereka adalah:

(1) TPI/PPI tidak jauh dari AUP, ada harapan bahwa mahasiswa dapat lebih

berperan aktif dalam menanggulangi permasalahan dalam kehidupan

nelayan sehari-hari;

(2) TPI/PPI diatur sesuai dengan kondisi wilayahnya masing-masing, untuk

kawasan Dadap dan Kamal Muara diharapkan adanya koordinasi dari

Dinas Perikanan setempat untuk melakukan distribusi bongkar muat kapal

dari TPI yang padat ke yang kosong, sehingga kegiatan ekonomi primer

dan sekunder dapat tetap berjalan; .

(3) Adanya kesinambungan generasi nelayan, masih terdapat keinginan

sebagian besar nelayan untuk menjadikan anak yang mereka miliki ikut

Page 264: Muara Dadap

245

menjadi nelayan dan membantu menopang kehidupan sehari-hari yang

semakin sulit ini;

(4) Pemusnahan alat tangkap trawl, kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa para nelayan tradisional masih harus berebut ikan dengan lawan

yang tidak sepadan, sehingga semakin terpuruk karena lingkungan

perairan yang buruk menyebabkan kelompok ikan semakin jauh dari

pantai ditambah kemampuan armada perikanan dan modal yang terbatas;

(5) Menindaklanjuti aspirasi nelayan, dari pengalaman ternyata banyak sekali

aspirasi nelayan yang tidak ditindaklanjuti tanpa alasan yang jelas;

(6) Pengerukan Kali Perancis dan Kali Kamal sudah diajukan nelayan

beberapa tahun yang lalu, dan sejak itu sudah menjadi aspirasi nelayan

namun tidak ada program pengerukan yang tuntas.

Keberadaan TPI Dadap dan Kamal Muara yang relatif berdekatan tersebut

juga mengundang komentar responden. Sebanyak 71,4 % tetap menginginkan

adanya pemisahan kedua TPI/PPI sesuai UU. Hanya sebanyak 14,3 %

menyatakan bahwa hal tersebut tergantung masing-masing wilayah, mau digabung

atau mau tetap dipisah. Sebanyak 14,3 % lainnya memberikan beberapa pendapat

yaitu: 1) setiap keputusan yang berkaitan dengan TPI sebaiknya melibatkan

nelayan dan penduduk lokal; 2) prospek TPI masih bagus tetapi perlu

menggunakan tenaga profesional; 3) sungai sudah tidak layak, sering banjir saat

pasang atau hujan, sehingga perahu tidak bisa mendarat.

Responden juga berpendapat bahwa kedua TPI yang berdekatan tersebut

sangat merugikan (100 %), dengan alasan tidak sesuai UU OTDA (78,6 %);

menimbukan dampak sosial (71,4 %); dan menyatakan perlu adanya otonomi

masing-masing wilayah. 14,3 %. Sementara itu berkaitan dengan isu bahwa di

kawasan Dadap akan dibangun pelabuhan peti kemas, maka seluruh responden

(100 %) berpendapat bahwa lebih baik menggabungkan kedua TPI (Dadap dan

Kamal Muara menjadi satu Pelabuhan Perikanan Terpadu (PPI) untuk wilayah

Jakarta-Tangerang, sehingga limpahan kepadatan antrian kapal untuk bongkar

muat yang terjadi di TPI Muara Angke dapat dipindahkan ke Kamal Muara.

Sebagian dari responden juga ada yang tetap bersikukuh untuk menggunakan TPI

Dadap sebagai tempat berlabuh. Responden juga berpendapat bahwa ada

Page 265: Muara Dadap

246

kemungkinan terjadinya kecemburuan sosial diantara kedua komunitas nelayan

yang bertetangga tersebut (85,7 %).

Sebagai upaya untuk ikut urun rembuk dalam rangka memperbaiki taraf

hidupnya, nelayan dan penduduk lainnya memberikan beberapa saran,

sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.33.

Tabel 5.33. Rangkuman saran penduduk responden nelayan berkaitan dengan aktivitas perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara.

KELOMPOK PENDUDUK

TARGET SARAN SARAN %

(1) (2) (3) (4)

Nelayan tangkap

Pedagang BBM Pemerintah/Pertamina

Fasilitas BBM di sekitar TPI 66,7

Ada kerjasama antara Pertamina dengan KUD

56,7

BBM langsung dari Pertamina supaya murah

13,3

Pengusaha bahan/alat penangkapan ikan

harga terjangkau nelayan 66,7

tersedia sesuai kebutuhan 56,7

bisa beli ke DKP 46,7

di lokasi berdekatan dengan muara & TPI

10,0

Pemerintah pengerukan alur kapal 63,3

hentikan penggunaan trawl (sejenisnya) 60,0

TPI pindah ke barat sungai 40,0

lainnya (TPI/PPI layak pakai, mudah merapat, ada lelang, dekat TPI

6,7

Nelayan budidaya

Pemerintah harga kerang memadai 63,3

lainnya (pemasaran dekat TPI); 6,7

Pengolah ikan Pemerintah bantuan peralatan pengasinan, bak fiberglass

56,7

lokasi penjemuran 56,7

bantuan permodalan dan peralatan 53,3

bantuan peralatan 6,7

Fasilitas pengolahan dekat dengan TPI 6,7

Page 266: Muara Dadap

247

Lanjutan Tabel 5.33 (1) (2) (3) (4) Pedagang ikan

Pemerintah kurangnya pedagang karena tak adanya TPI yang memadai

60,0

Permodalan 6,7 lainnya (pasar ikan yang higienis di

masing-masing wilayah, harga bersaing dengan pedagang luar, dekat TPI

10,0

Penduduk (komunitas lokal)

Pemerintah pembenahan pemukiman nelayan 60,0

lainnya (setuju pembangunan PPI/TPI dekat dengan pemukiman nelayan, dekat TPI)

10,0

Pengelola pelabuhan DKP 63,3 instansi terkait 63,3 KUD 63,3 Syahbandar 63,3 lainnya (peningkatan kondisi pelabuhan

agar mudah didarati nelayan dekat TPI);

6,7

Pengusaha dok atau bengkel

lokasi di bantaran muara Kali Perancis dekat TPI

70,0

Pengusaha pabrik es Tersedia cold storage/pabrik es di muara Kali Perancis

70,0

lainnya (perlu pedagang es eceran agar harga murah)

3,3

Saran untuk Pemda Tangerang/Pemkot Jakarta Utara

peningkatan taraf hidup nelayan 60,0

Lainnya: (TPI/PPI tidak jauh dari AUP kesinambungan generasi nelayan pemusnahan trawl (sejenisnya) menindaklanjuti aspirasi nelayan

6,7

Pemda Provinsi Banten/DKI Jakarta

PPI/TPI diatur sesuai masing-masing wilayah

60,0

lainnya (tingkatkan taraf hidup nelayan sejajar dengan profesi lainnya di Banten; pengerukan Kali Perancis; DKI: Kamal Muara, TPI tetap di Muara Angke

6,7

Page 267: Muara Dadap

248

Dari Tabel 5.33 tampak bahwa sebagian besar nelayan (66,7-70,0 % %)

berkeinginan agar Pemerintah membangun fasilitas pengadaan BBM, perbaikan

kapal (dock), pabrik es dan cold storage di sekitar TPI, tentu saja dengan harga

yang terjangkau., selain itu ada aktivitas rutin pengerukan alur Kali Kamal dan

Kali Perancis. Hal lain yang menjadi perhatian masyarakat adalah adanya

keterpaduan pengelolaan TPI Dadap dan Kamal Muara, antara Dinas Perikanan,

KUD, dan syahbandar.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan masyarakat nelayan di kawasan

tempat tinggalnya tersebut, masyarakat menyatakan berbagai pendapatnya yang

ditujukan kepada Pemda Kabupaten Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara serta

Pemda Provinsi Banten dan DKI Jakarta, sebagaimana tercantum dalam Tabel

5.34.

Tabel 5.34 Pendapat Masyarakat Lokal tentang Masalah Perikanan

No. Pendapat Persentase

1. Peningkatan taraf hidup nelayan 60 %

2. TPI/PPI tidak jauh dari AUP

Adanya kesinambungan generasi nelayan

Pemusnahan alat tangkap trawl

Menindaklanjuti aspirasi nelayan

Pengerukan Kali Dadap dan Kamal Muara

TPI tetap di Muara Angke

6,7 %

3. Tidak menjawab 33,3 % Hasil analisis data respon penduduk terhadap kondisi lingkungan disekitar

kawasan Dadap dan Kamal Muara menunjukkan bahwa permasalahan yang

dihadapi masyarakat adalah: 1) polusi lingkungan (semua reponden); 2)

kekumuhan lingkungan pemukiman (semua reponden); 3) dampak sosial dari

kekumuhan (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.) (semua

reponden); 4) keamanan lingkungan (35,7 % dari responden); 5) terganggunya

transportasi darat (14,3 % dari responden); serta masalah-masalah lainnya (50 %

dari responden), antara lain adanya debu pada musim kemarau dan lumpur pada

musim hujan.

Page 268: Muara Dadap

249

Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa semua responden setuju

masalah paling besar yang mereka hadapi di kawasan Dadap – Kamal Muara

adalah: polusi lingkungan, kekumuhan lingkungan pemukiman, dan dampak sosial

dari kekumuhan (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.).

Timbulnya masalah tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

(1) Tidak jalannya fungsi pemerintah dalam pelayanan kepada masyarakat

yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan fisik dan sosial

(2) Belum sempurnanya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan dan

ketertiban lingkungan fisik dan sosial

(3) Kurangnya prasarana dan sarana pembersihan dan ketertiban lingkungan

(4) Adanya aktivitas proyek yang mempersulit upaya pembersihan dan

ketertiban lingkungan

Bilamana ditelusuri, hal ini tampaknya merupakan dampak negatif dari

aktivitas pembangunan yang kurang matang direncanakan dan disosialisasikan

sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Sosialisasi program pembangunan yang

dilakukan secara terbuka dan waktu yang cukup akan memberikan beberapa

keuntungan, yaitu:

(1) Masyarakat lebih cepat mengetahui secara langsung tentang akan adanya

suatu aktivitas pembangunan;

(2) Setiap individu dalam masyarakat dapat melakukan analisis tentang

posisinya, apakah aktivitas proyek tersebut akan berpengaruh secara

langsung atau tidak pada kehidupannya, baik secara pribadi atau

kelompok;

(3) Masyarakat dapat melakukan konsultasi kepada berbagai pihak yang

bersikap netral apakah proyek tersebut akan memberikan dampak positif

atau negatif pada mereka, baik dalam jangka pendek maupun panjang;

(4) Karena keputusan yang diambil masyarakat (baik secara individu maupun

kelompok) adalah didasarkan pada keputusan yang matang sehingga dapat

dijadikan dasar yang kuat bagi Pemda dan pengembang bilamana terjadi

sengketa dikemudian hari.

Responden yang dimintai pendapatnya tentang beberapa hal yang

berkaitan dengan sejarah rencana berbagai kegiatan di kawasan Dadap

Page 269: Muara Dadap

250

menyatakan bahwa seluruhnya (100 %) pernah mendengar tentang rencana

pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya. Namun demikian, ternyata

informasi tersebut tidak ada kelanjutannya

Berkaitan dengan rencana Pemda Kabupaten Tangerang untuk

pembangunan Pelabuhan Peti Kemas di bekas TPI Dadap, sebagian besar

responden menyatakan tidak setuju (92,9 %), dan hanya 7,1 % yang menyatakan

setuju. Alasan penolakan yang dismpaikan responden adalah: 1) masih adanya

nelayan yang tinggal di areal TPI (92,9 %); 2) kalau TPI sudah tidak layak

dipindahkan ke sebelah barat sungai (71,4 %). Pendapat yang lainnya menyatakan

setuju (14,3 %) adalah menyetujuinya dengan alasan dapat memajukan Desa

Dadap, meskipun kalauTPI dipindah harus dengan kesepakatan KUD dan

nelayan). Jika seandainya Pelabuhan Peti Kemas Dadap itu tetap dibangun, maka

pendapat responden adalah: 1) seluruhnya (100,0 %) bersepakat untuk tetap

tinggal di tempat sekarang, baik tetap pada pekerjaan sekarang atau akan mencari

kerja lain. Namun demikian, sebagian kecil (38,5 %) dari responden tersebut juga

menyatakan akan pindah ke tempat lain agar tetap dapat menekuni pekerjaan yang

sekarang, yaitu di lokasi tempat akan dibangun TPI.

Contoh kasus yang menarik dikemukakan oleh Ellsworth et al. (1997)

yang melakukan penelitian di Pantai Timur Kanada untuk Program Aksi Pesisir

Atlantik (ACAP, the Atlantic Coastal Action Program). Karena Pemerintah

Kanada merasa tidak akan mampu untuk melakukan semua kegiatan yang

ditujukan untuk mencapai kondisi ekosistem yang berkelanjutan, maka penduduk

yang tinggal di kawasan pesisir perlu berperan serta. Penduduk diberdayakan

untuk mengambil tanggungjawab sebagai bagian dari pemeliharaan lingkungan.

Agar tujuan ini tercapai, diperlukan adanya informasi yang akurat dan

keterampilan yang dibutuhkan untuk mengemban peran tersebut. Ellsworth et al.

(1997) menyebutkan adanya beberapa persyaratan untuk mencapai keberhasilan

dalam suatu program yang melibatkan masyarakat pesisir, yaitu:

(1) Adanya dukungan publik

(2) Memiliki kelayakan secara ekonomi

(3) Secara ilmiah dapat dipertahankan berdasarkan rencana pengelolaan

lingkungan yang komprehensif

Page 270: Muara Dadap

251

(4) Didasarkan pada informasi yang akurat dan dapat diakses serta informasi

ekosistem yang dapat dimengerti.

Untuk itu Pemerintah Kanada (melalui Departemen Lingkungannya)

menyediakan beberapa perangkat (tools) yang dapat digunakan oleh penduduk

untuk berperan serta (Ellsworth et al. 1997), yaitu:

(1) Panduan perencanaan pesisir berbasis masyarakat

(2) Profil lingkungan penduduk

(3) Aplikasi GIS berbasis komunitas

(4) Hasil identifikasi dan evaluasi opsi-opsi remedial

(5) Buku pegangan tentang ekonomi lingkungan

(6) Electronic network-linking initiatives

(7) Akses pada pertukaran limbah dan network lainnya.

Jika diperhitungkan sejak mulai dikenalnya program pengelolaan wilayah

pesisir secara terpadu (ICZM = integrated coastal zone management) sekitar tahun

1992, maka di Indonesia (minimal di beberapa daerah yang sudah lama melakukan

kajian potensi sumberdaya peisisir dan lautan) seharusnya sudah mampu untuk

melaksanakannya secara penuh. Daerah-daerah tersebut antara lain: DKI Jakarta,

Bali, Pulau Lombok, Batam, dll. Hambatan utama sulitnya implementasi ICZM di

Indonesia adalah lemahnya koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program

pembangunan, ego sektoral, serta penegakan hukum yang belum sempurna.

Selain itu, pola pikir aparat pemerintah dan masyarakat yang terpaku pada sistem

keproyekan juga menyebabkan kurang berhasilnya aspek keberlanjutan suatu

program pembangunan; padahal sebagaimana dinyatakan oleh Pickave et al.

(2004), ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat yang paling efektif untuk

menggabungkan suatu upaya konservasi dengan pemanfaatan berkelanjutan suatu

sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu perencanaan wilayah pesisir.

Belajar dari berbagai pengalaman yang terjadi selama ini, maka

keterpaduan pengelolaan kegiatan perikanan sangat perlu dilakukan di Indonesia.

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pengelolaan perikanan terpadu ini

antara lain:

Page 271: Muara Dadap

252

(1) Tercapainya efisiensi waktu pengadaan bahan baku (baik berupa peralatan

untuk kegiatan penangkapan dan budidaya ikan, maupun untuk kegiatan

pasca panen);

(2) Tercapainya efisiensi pemasaran bahan baku dan produk yang dihasilkan

oleh kegiatan industri pasca panen;

(3) Pengelolaan limbah yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan perikanan

tersebut lebih mudah karena keterbatasan kawasan yang dikelola serta

pengelolaan limbah dapat dilakukan secara terpadu;

(4) Kemudahan memperoleh tanaga kerja yang berpengetahuan dalam bidang

perikanan;

(5) Karena kawasan industri perikanan terpadu ini dapat dibangun terpisah

dari kawasan pemukiman penduduk sekitarnya, maka keamanan

lingkungan lebih mudah untuk ditanggulangi, baik secara swakarsa

maupun dengan memanfaatkan tenaga keamanan resmi (pihak kepolisian).

Selain dari berbagai keuntungan yang dapat diperoleh, beberapa kerugian

juga mungkin timbul dengan dilakukannya keterpaduan pengelolaan perikanan ini,

seperti:

(1) Jika terjadi malapetaka di suatu bagian/kawasan, kemungkinan bagian

yang lain pun akan terkena dampaknya (seperti polusi lingkungan, banjir,

kebakaran, dll.);

(2) Aspek sosial politik akan cepat menjalar dari satu bagian ke bagian lainnya

(seperti pemogokan karyawan, dll.);

Dalam suatu kawasan pesisir, keterpaduan kegiatan perikanan terdiri dari

berbagai komponen, seperti:

(1) Sumberdaya alam, yang mencakup sumberdaya perairan (ketersediaan

berbagai jenis ikan dalam jarak yang terjangkau secara fisik dan ekonomi)

dan sumberdaya lahan (untuk lokasi kegiatan perikanan terpadu dan lokasi

budidaya ikan);

(2) Perikanan tangkap, yang mencakup unit-unit pelabuhan perikanan,

perbekalan (alat tangkap, bahan bakar, bahan makanan, berbagai peralatan

pembantu, dll.), perbengkelan (galangan kapal dan bengkel mesin), , dll.;

Page 272: Muara Dadap

253

(3) Pasca panen, yang mencakup unit-unit penanganan dan pengolahan ikan,

pabrik es, cold storage, perbekalan {alat penanganan dan pengolahan,

bahan bakar, bahan tambahan makanan, perbengkelan (bengkel mesin

pengolahan), berbagai peralatan pembantu, dll.}, laboratorium analisis

mutu bahan baku dan produk yang dihasilkan;

(4) Budidaya, yang mencakup unit-unit pembenihan (hatchery), pembesaran,

pakan, instalasi pengatur air (kelimpahan dan kualitas), laboratorium

analisis penyakit ikan dan baku mutu air, dll.;

(5) Perkantoran, yang mencakup unit-unit pemasaran, promosi, keamanan,

kesyahbandaran, dll.

(6) Prasarana dan sarana transportasi;

(7) Prasarana dan sarana tenaga listrik dan air serta BBM;

(8) Masyarakat sekitar, sebagai sumber tenaga kerja baik bagi kegiatan

penangkapan, budidaya, dan pasca panen serta pemasaran.

Page 273: Muara Dadap

254

Sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata

Kabupaten Tangerang (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001), penetapan Dadap

sebagai daerah wisata yang mencakup aktivitas:

(1) wisata keluarga:

1) waterfront, meliputi dermaga nelayan, tempat pelelangan ikan, pasar

ikan, dan pasar sayur

2) daerah komersial, meliputi restoran, penginapan, play ground dan

tempat olah raga terbuka, taman-taman, serta tempat parkir.

(2) Wisata lahan pertanian dan tambak

(3) Pembenahan kegiatan-kegiatan hiburan

(4) Pembukaan gerbang tol Jakarta-Cengkareng ke arah Dadap

(5) Perbaikan jalur jalan

(6) Pengadaan air bersih

(7) Pengadaan jaringan infrastruktur

Disamping rencana-rencana sektor pariwisata tersebut di atas, kebijakan

sektor perhubungan (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001) adalah:

(1) Pembangunan fasilitas pergudangan di Kecamatan Kosambi dan pelabuhan

peti kemas di sekitar muara Kali Perancis;

(2) Membangun Dermaga Wisata Bahari di kawasan Wisata Tanjung Pasir.

Sektor perikanan dan kelautan juga mempunyai beberapa rencana di kawasan

pantura tersebut, yakni:

(1) Relokasi kawasan pertambakan dari Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan

Paku Haji, ke Kecamatan Mauk dan Kronjo;

(2) Membangun TPI dan pelabuhan nelayan di muara Kali Perancis.

Sesuai dengan hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dan

kenyataan di lapangan sejak tahun 1997 sampai saat ini, maka diusulkan untuk

dilakukan revisi terhadap Rencana-rencana Induk Dinas Pariwisata, Dinas

Perhubungan, dan Dinas Perikanan, dengan alasan untuk meningkatkan efisiensi

aktivitas perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara, maka semua aktivitas

Page 274: Muara Dadap

255

perikanan yang berlangsung di TPI Dadap perlu dipindahkan ke TPI Kamal

Muara. Alasan utama pemindahan aktivitas perikanan ini adalah:

(1) Jarak kedua TPI ini terlalu dekat, yaitu hanya 700 m lewat laut;

(2) TPI Dadap sudah tidak aktif lagi sejak Ketua KUD Mina Bahari meninggal

tahun 1997;

(3) Kali Perancis sudah sangat dangkal sehingga kapal ikan hanya dapat

masuk pada saat laut pasang;

(4) Adanya rencana pembangunan kawasan wisata Pantai Mutiara, darmaga

Kapal Riset Baruna Jaya, kapal pesiar (yacht), dan kapal peti kemas;

(5) Alih fungsi TPI Dadap menjadi pelabuhan yang mengkoordinasikan kapal

penelitian Baruna Jaya, kapal peti kemas, kapal pesiar, kapal angkutan ke

dan dari Kepulauan Seribu, serta perahu-perahu nelayan yang berubah

fungsi menjadi perahu untuk wisata air.

Pembangunan kembali TPI Kamal Muara harus mencakup berbagai fasilitas

prasarana dan sarana pelabuhan perikanan. Secara lengkap fasilitas yang pelu

dibangun dapat dilihat pada Tabel 5.27. Dari Tabel 5.27 tersebut tampak bahwa

untuk mencapai kondisi ideal yang diinginkan, kegiatan pembangunan di kedua

TPI tersebut juga perlu dikoordinasikan dengan baik oleh para perencana

pembangunan dari kedua Pemda terkait (Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda

Kabupaten Tangerang). Hal ini untuk mencegah terjadinya pemborosan

sumberdaya akibat pembangunan prasarana dan sarana yang tumpang tindih dan

tidak perlu dilakukan di areal yang secara fungsional kurang diperlukan. Selain

itu, suatu kerjasama yang saling melengkapi dalam hal penyediaan prasarana dan

sarana pembangunan di kawasan tersebut akan memberikan keuntungan optimal

bagi kedua belah pihak.

Konsep pembangunan kawasan pesisir terpadu benar-benar harus diterapkan

di kawasan perbatasan ini, dengan mengedepankan prinsip saling mendapat

keuntungan (win-win solution). Tidak perlu dikembangkan suatu kegiatan yang

sama di kedua kawasan perbatasan tersebut tetapi yang lebih baik adalah kegiatan

yang saling mendukung dan saling mengisi.

Tabel 5.27. Daftar fasilitas pelabuhan yang perlu dibangun di TPI Dadap dan TPI Kamal Muara setelah rencana penataan.

Page 275: Muara Dadap

256

No FASILITAS & DIMENSI TPI Dadap TPI Kamal Muara 1 Kapasitas awal - 15 motor tempel2. Beban sekarang (jumlah

unit kapal) < 5 GT = 55 unit

5-7 GT = 227 unit7-20 = 6 unit

> 10 GT = 1.0975-10 GT= 21 unit

3. Kapasitas yang direncanakan

Dapat menampung Kapal Riset Baruna Jaya (300 GT), kapal peti kemas, dan kapal pesiar

500 kapal ikan dengan rata-rata

bobot 50 GT.

4. Pengerukan kolam pelabuhan dan jalur pelayaran

kedalaman minimal 7 m kedalaman minimal 5 m

5. Pembangunan darmaga sandar

176 m2 176 m2

Pembangunan kolam pelabuhan

24.000 m2 24.000 m2

6. Tempat pelelangan ikan - 1.375 m2

7. Tempat penanganan ikan - 1.375 m2

8. Tempat pengecer/pengolah ikan

- 340 m2

9. Pembangunan pabrik es - 1 unit, kap, 4.000 balok per 24 jam

10. Pembangunan cold storage - 1 unit, kap. 1.250 ton

11. Pembangunan SPBU 1 unit, kap. 40 ton per hari

1 unit, kap. 40 ton per hari

12. Bengkel/dok 1 unit 5.400 m2

13. Gudang alat perikanan 1 unit 5 unit14. Pujaseri 24 unit 24 unit15. Pos jaga 2 unit 1 unit

Dalam dunia nyata, koordinasi pembangunan tidaklah semudah apa yang

ditulis para ahli. Ego sektoral, tambahan penghasilan, kebanggaan diri dan

kelompok berkaitan dengan prestasi kerja sangat mempengaruhi mulus tidaknya

suatu koordinasi. Di Indonesia, agak sulit untuk mendapatkan suatu perencanaan

terpadu yang benar-benar mulus. Ada beberapa faktor yang menyebabkan

terjadinya hal tersebut:

1) Setiap kegiatan di unit kerja pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu

diharapkan akan mendapatkan tambahan penghasilan bagi orang-orang yang

terlibat didalamnya. Oleh karena itu, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme,

termasuk juga gratifikasi) sulit diberantas;

Page 276: Muara Dadap

257

2) Moral pegawai yang lebih mengedapankan kepentingan pribadi dan

kelompoknya dibandingkan dengan hasil akhir yang harus dicapai dari

kegiatan tersebut. Hal ini mengakibatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan

sangat rendah, karena mengharapkan kegiatan yang sama diwaktu yang akan

datang;

3) Sanksi hukum yang belum benar-benar ditegakkan secara adil dan merata

(tidak melakukan tebang pilih). Hal ini terjadi karena juga aparat hukum

dan aparat keamanan belum benar-benar bekerja bersih;

4) Keteladanan pimpinan yang berkaitan dengan hidup jujur, sederhana, dan

bersih, masih belum umum dan kurang diekspose oleh media massa.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, beberapa hal dapat

dilakukan antara lain:

1) Menaikan gaji pegawai sampai pada tingkat dimana pegawai pada semua

tingkatan tidak lagi memikirkan untuk mencari tambahan penghasilan untuk

mencukupi kebutuhan primer (termasuk biaya pemeliharaan kesehatan dan

pendidikan anak);

2) Setiap pekerjaan dan tugas yang dilakukan di kantor adalah suatu kewajiban

bagi pegawai tersebut dan tidak akan mendapatkan tambahan penghasilan.

Dia bertanggungjawab terhadap aspek adminstrasi dan kualitas pekerjaan

tersebut.

3) Penghargaan pemerintah kepada pegawai harus didasarkan pada kejujuran

dan prestasi kerja yang berlandaskan kelestarian lingkungan, tidak hanya

didasarkan pada nilai uang semata;

4) Pemerintah harus menerapkan sanksi hukum secara adil dan merata.

Beberapa kegiatan pembangunan yang dapat dikerjasamakan diantara

Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda Kabupaten Tangerang antara lain dapat

dilihat pada Tabel 5.28.

Tabel 5.28 Beberapa kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan perikanan yang dapat dikerjasamakan diantara Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda Kabupaten Tangerang di kawasan Dadap-Kamal Muara

No AKTIVITAS PEMDA KAB. TANGERANG

PEMKOT JAKARTA UTARA

Page 277: Muara Dadap

258

1. Perikanan • Instalasi air bersih • pabrik es • mesin penghancur es • coldstorage • memfungsikan gudang untuk

produk-produk perikanan • mengganti fungsi TPI Dadap

menjadi pelabuhan wisata pantai dan laut

• pengerukan dasar Kali Perancis secara reguler

• Melakukan penataan lokasi budidaya kerang hijau

• Pembangunan fasilitas PPI Kamal Muara

• perumahan nelayan • bengkel mesin dan

dock • tempat perbaikan alat

tangkap • rumah sakit • pengerukan dasar

Kali Kamal secara reguler

Page 278: Muara Dadap

259

Lanjutan Tabel 5.28

No AKTIVITAS PEMDA KAB. TANGERANG

PEMKOT JAKARTA UTARA

2. Wisata laut • Pendidikan pemandu wisata • menyediakan perahu untuk

kegiatan wisata • rumah makan & restoran

seafood • wisma/hotel untuk wisatawan • toko peralatan wisata laut

• Penyiapan objek wisata laut

• sarana keselamatan wisata laut

• menyiapkan objek wisata mangrove,

3. Prasarana dan Sarana penangkapan

Galangan kapal kayu dan fiber glass,

Toko peralatan tangkap, SPBU khusus

4. Kawasan konservasi

• melakukan koordinasi dengan kecamatan lain yang memiliki kawasan konservasi yang memungkinkan untuk menjadi objek wisata alam: Pulau Cangkir (Kec. Kronjo), Tanjung Kait Kec. Sukajadi, Tanjung Burung dan Tanjung Pasir (Kec. Teluk Naga), Arukan/Muara dan Salembaran Jati (Kec. Kosambi).

• Menyiapkan kawasan mangrove sebagai daerah konservasi

• memelihara areal-areal konservasi laut

5.4 Manajemen kawasan sekitar

5.1 Analisis Permasalahan Umum 5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan

5.2.1 aspek pengembangan wilayah: 5.2.1.1 LQ 5.2.1.2 shift share 5.2.1.3 skalogram

5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi) 5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.3 Pasokan Ikan 5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan 5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan 5.2.2.6 akses transportasi

5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan 5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap 5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke

5.3 Manajemen kawasan pelabuhan 5.3.1 tata ruang 5.3.2 prasarana dan sarana 5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan 5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara

Page 279: Muara Dadap

260

5.3.4 Aspek ekonomi-sosial kawasan pesisir Dadap-Kamal Muara

Sebagai pusat kegiatan ekonomi yang dibangkitkan oleh sektor perikanan,

TPI Muara Angke telah menghasilkan suatu input yang bernilai lebih dari

Rp 758 juta per harinya. Potensi ekonomi TPI Muara Angke ini dihitung

sebelum terjadinya kenaikan bahan bakar minyak. Data selengkapnya dari

potensi ekonomi TPI Muara Angke dicantumkan dalam Tabel 4.22.

Tabel 4.22 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di lingkungan TPI Muara Angke tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM (Disnakkanlut 2005).

No JENIS KEGIATAN/

PELAYANAN

JUMLAH BURUH/

UNIT

NILAI TRANSAKSI

HARIAN

JUMLAH TRANSAKSI

HARIAN

KET.

(1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 Transaksi TPI 70 orang - 250.000.000 Anak buah

peserta lelang 60 35.000 2.100.000

2 Bahan bakar 112 ton 198.000.000 1.650/lt Buruh 31 56.989 1.766.667 3 Es balok 8.000 balok 96.000.000 12.000/blk 4 Kegiatan tambat

labuh 18 100.000 Perda No

3/99 5 Tryas (tryaze,

penyortiran)) 600 unit 300.000

6 Buruh dilingkungan TPI

Buruh kuning 34 25.000 850.000 Buruh biru 32 25.000 800.000

Page 280: Muara Dadap

261

Lanjutan Tabel 4.22

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Buruh merah 10 20.000 200.000 Buruh jijau 9 15.000 135.000 7 Kuli gerobak

pengasin 40 15.000 600.000

8 Kuli gerobak lelang

83 30.000 2.490.000

9 Puja seri 24 unit Buruh 144 10.000 1.440.000 10 Pedagang K5

produk perikanan 85 pedagang

Buruh 79 15.000 1.185.000 11 Pedagang grosir 276 pedagang Buruh 828 25.000 20.700.000 12 Unit pengepakan 30 unit Buruh 90 25.000 2.250.000 13 Workshop 10 unit Buruh 109 22.500 2.452.500 14 Kios alat

perikanan 38 unit

Buruh 15 Kios

gudang/kantor 16 unit

Buruh 16 Mirasih 1 unit Buruh 20 16.667 333.333 17 Pedagang otak-2 22 unit Buruh 20 15.000 1.080.000 18 Cold storage I unit Kisaran

gaji: 0,8-1,5 jt/bl

Buruh 53 38.333 2.031.667

19 Pabrik es 1 unit Kisaran gaji: 0,8-4 jt/bl

Buruh 44 40.000 1.760.000

20 PHPT 203 unit Buruh 1.000 30.000 30.000 21 Koperasi putri

salju

Agen depot es 30 unit Buruh depot es 240 40.000 9.600.000 Buruh pikul pjg 60 50.000 3.000.000 Buruh pikul pdk 85 50.000 4.250.000 Buruh kantor 20 83.333 1.666.667

Page 281: Muara Dadap

262

Lanjutan Tabel 4.22

(1) (2) (3) (4) (5) (6) Jml buruh pikul

angkutan 55 25.000 1.375.000

Mobil putri salju 12 unit Buruh 24 40.000 960.000 10 Upah ABK Jaring cumi 369 32.000 11.808.000 Bouke ami 1.039 32.000 33.248.000 Bubu 822 35.000 28.770.000 Angkutan 844 35.000 29.540.000 Gillnet 1.024 35.000 35.840.000 Purse seine 2.525 27.000 68.175.000 Jaring cantrang 411 30.000 12.330.000 Jaring rampus 35 30.000 1.050.000 Jaring nilon 18 30.000 540.000 Jaring tangsi 96 30.000 2.880.000 Lampara 53 30.000 1.590.000 Payang 174 35.000 6.090.000 Pancing 48 30.000 1.440.000 Muro ami 58 40.000 2.320.000 Jumlah 904.975.258 Ket: Buruh kuning = bertugas untuk mengangkut ikan dari kapal sampai darmaga

Buruh biru = bertugas untuk mengangkut ikan dari darmaga sampai ke lantai pelelangan Buruh merah = bertugas untuk mengangkut ikan setelah pelelangan sampai ke truk

pengangkut ikan Buruh hijau = bertugas untuk mengangkut ikan setelah pelelangan sampai ke PHPT

Dari Tabel 4.22 tersebut tampak bahwa total nilai transaksi harian di TPI

Muara Angke dapat mencapai Rp 904.975.258. Jumlah transaksi ini

menjadi jauh mengecil pada saat terjadinya kenaikan bahan bakar sampai

dua kali dalam tahun 2005 ini, yaitu harga solar dari Rp 1.650 naik

menjadi Rp 2.300 pada bulan April, kemudian pada bulan Oktober naik

kembali menjadi Rp 4.300.

Kenaikan harga BBM telah mendorong terjadinya kenaikan harga barang

lain, termasuk untuk kebutuhan operasional penangkapan ikan. Namun

demikian, kenaikan biaya operasional ini tidak menjamin terjadinya

kenaikan hasil tangkap ikan yang dapat digunakan untuk menutup biaya

operasional. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya kapal yang

tidak dapat beroperasi.

Page 282: Muara Dadap

263

Data potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di

lingkungan TPI Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM dicantumkan

dalam Tabel 4.33

Tabel 4.33 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di

lingkungan TPI Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM. No JENIS

KEGIATAN/ PELAYANAN

JUMLAH BURUH/

UNIT

NILAI TRANSAKSI

PER HARI

JUMLAH TRANSAKSI

PER HARI

KET.

1 Transaksi TPI - - - 2 Bahan bakar 5 ton 8.250.000 1.650/lt Buruh 10 25.000 250.000 3 Es balok 200 balok 2.400.000 12.000/blk7 Kuli gerobak

pengasin 4 15.000 600.000

10 Pedagang K5 produk perikanan

2 15.000 30.000

16 Mirasih 3 unit Buruh 18 15.000 270.000 10 Upah ABK Gillnet (142) 852 35.000 29.820.000 Purse seine (39) 390 27.000 10.530.000 Pancing (88) 264 20.000 5.280.000 Bubu (20) 80 20.000 1.600.000

Kerang Hijau (50)

150 17.000 2.550.000

Jumlah 61.580.000 Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)

Ditinjau dari aspek land rent, nilai lahan di daerah penelitian berubah dari

tahun ke tahun, sesuai dengan perkembangan. Data perubahan harga lahan di

sekitar Kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.2.1.2.1.

Tabel …Perubahan harga lahan di Kawasan Dadap dan Kamal Muara

JARAK DARI PUSAT

KEGIATAN

Harga lahan per meter di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal Muara

97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

1.

Page 283: Muara Dadap

264

2

3

4

5

6

JARAK DARI PUSAT

KEGIATAN

Harga kontrakan rumah/toko per meter di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal Muara

97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

1.

2

3

4

5

6

Perubahan harga lahan dan juga kontrakan rumah/tempat usaha

menunjukkan kecenderungan yang meningkat meskipun pada skala yang berbeda.

Perubahan harga lahan di lokasi penelitian dianalisis menggunakan regresi linier

menghasilkan gambaran sebagai berikut:

VMPi = Po x MPi

dimana:

VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-I

Po = net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan

MPi = produk marjinal dari unit lahan ke-I As the rent - bid curve represents the willingness for the urban inhabitant to con

Page 284: Muara Dadap

265

Cross sectional land value data along the corridor were collected for each 100 meters resulting 107 x 5 set data to create three-dimensional equation as formulated in the equation (3) above. The research collected market price data from respective land use since the current tax-object sales value (NJOP: Nilai Jual Obyek Pajak), can hardly be used to represent land value. The data collection has a specific challenge, particularly in Padang, for identifying market price for land belong to the ethnic clan, instead of individual (Ulayat Land: indigenous land ownership belong to the traditional clan/family - often not transferable and saleable). The data were collected and categorized into two groups, namely: (1) land located at developed corridors, and (2) land located at the proposed (under-developed) corridor. When the data were plotted graphically, they were sparsely distributed. For both aggregate and disaggregate analysis, a rent-bid curve can be obtained. Figure 5 below demonstrates the aggregate rent - bid curve for developed and underdeveloped land along corridor. Similar graph was produced for cross sectional land value. The equations for the land value are as follows: The aggregate analysis shows that the equation for both under-developed and developed corridor yield satisfactory R2. Figure 5 Rent - bid Curve for the City of Padang along the Corridor possible to estimate the change in the land value. Assuming the influence with is 500 meters, and the road corridor is calculated between 3+000 and 20+000, the calculation of land benefit along proposed road corridor yields a total benefit of Rp 526,454,333,231 for the whole corridor. Three-dimensional graphs for with and without project case are shown in Figure 6. It is important to note that the above land development benefit is "one-off" benefit. It means that the benefit could only be exploited only at one time, or spread over the period of analysis. Estimating the rent - bid curve and utilizing equations (4) and (5) above, it is now Figure 6 Three-dimensional Representation of With and Without Project Situations The information obtained from the development benefit estimation can now be used and internalized in the feasibility and project appraisal process. The increased land benefit alone can be used as a foundation for the government to initiate negotiation with private developer for the investment sharing. What is currently seen to be a "taken-for-granted" investment for promoting property development can be captured and calculated. The current regulatory framework however, is still to be developed to incorporate non-discrimination issue for affected land along the development corridor. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATION FOR FUTURE RESEARCH

The proposed methodology for estimating land benefit of road investment scheme above has demonstrated the applicability of microeconomic theory of land use and trans port - land use interaction theory. It shows that the change in the rent-bid curve can be used as a proxy for estimating land development benefit.

Page 285: Muara Dadap

266

Internalization of land benefit into project appraisal will further enrich the current road investment externalities besides environment and safety.

Using the proposed method, the development benefit in the case of Padang urban road project produces Rp 526.454 billion worth of land value change. Significant increase in the land value from road investment as shown in the case of Padang shows that this renewed and replicable methodology encourages creative public - private partnership for urban road infrastructure for many other Indonesian cities.

Future research should be directed to integrate the diminishing impacts of road investment along corridor width using discrete parcel instead of a continuous function. The integration will pave a new way for dynamic modelling of measuring development benefit to be share in more equal manner by private land developers.

de la Barra, Tomas. 1989. Integrated Land Use and Transport Modelling: Decision Chains and Hierarchies. Great Britain: Cambridge University Press

Banister, David. 1995. Private Sector Investment in Roads: The Rhetoric and the Reality, in David Banister (ed) Transport and Urban Development. London: Spon

Heggie, Ian and J. Vickers.1998. Commercial Management and Financing of Roads. WB Technical Paper 409. Washington

Parikesit, D. 1996. Interdependence between Accessibility of Transport Infrastructures and Location Choice and Its Effects on Energy Consumption, Unpublished Doctoral Dissertation.Vienna: TU Wien _________ 1998a. Development of Land Use Transport Model Using Constant Travel Time Budget Principles. Hong Kong: Conference Proceeding: 3rd inter- national Conference of Hong Kong Society for Transportation Studies

__________ 1998b. Urban Facilities And Transportation Interaction: A Case Study Of Vienna, Austria, Teknisia Journal, Vol. II No. 6. pp. 26-34 __________ 2000, Development of Algorithm for Tri-proportional Approach in Urban Location Choice, FSTPT Journal Vol 2 No 1 June 2000 pp. 2332

Ditinjau dari aspek ekonomi, pengaturan bersama terhadap aktivitas yang

berkaitan dengan fungsi TPI Dadap dan TPI Kamal Muara dalam bidang

perikanan khususnya dan bidang-bidang lainnya yang terkait dengan pengelolaan

kawasan pesisir dan lautan (yaitu wisata bahari dan pelabuhan), akan memberikan

keuntungan optimal dari banyak aspek ekonomi di sekitar kawasan tersebut.

Ditinjau dari potensi ekonomi yang dapat berkembang di ke tiga TPI tersebut,

Page 286: Muara Dadap

267

maka kondisi awal dapat dilihat dari hasil penggabungan data Tabel 4.27, Tabel

4.31 dan Tabel 4.39. sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.27 dan Tabel 5.28.

Dari Tabel 5.27 tampak bahwa secara deskriptif sekalipun aktivitas

ekonomi yang terjadi di TPI Muara Angke menghasilkan transaksi harian hampir

sebesar Rp 905 juta dari 22 variabel aktivitas, dibandingkan dengan yang terjadi di

TPI Kamal Muara (Rp 168,4 juta dari 11 aktivitas), dan di TPI Dadap hanya (Rp

61,6 juta dari 6 aktivitas saja). Hanya saja, berbagai jenis aktivitas yang berkaitan

dengan kegiatan perikanan tersebut, di TPI Muara Angke menghasilkan persentase

dana untuk kas daerah yang lebih besar jika dibandingkan dengan kedua TPI

lainnya. Hal ini terutama disebabkan oleh kondisi komplek TPI yang lebih

terkonsentrasi jika dibandingkan dengan di kedua TPI lainnya.

Page 287: Muara Dadap

Tabel 5.27 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di lingkungan TPI Muara Angke, Kamal Muara, dan Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM.

No JENIS KEGIATAN/ PELAYANAN

JUMLAH BURUH/ UNIT NILAI SATUAN TRANSAKSI PER HARI

JUMLAH TRANSAKSI PER HARI (x Rp 1.000)

KET.

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) MA KM D MA KM D MA KM D 1 Transaksi TPI 70

orang 0 - 35 - 250.000 6.750 -

Anak buah peserta lelang

60 20 0 35.000 30.000 - 2.100 700 -

2 Bahan bakar 112 ton 10 ton 5 ton 198.000 16.500 8.250 Rp 1.650/lt Buruh 31 10 2 56.989 35.000 25.000 1.766,67 350 50

3 Es balok (balok) - - - 8.000 500 200 96.000 600 240 Rp 12.000/blk

4 Kegiatan tambat labuh

- - - 18 25 - 100 50 - Perda No 3/99

5 Tryas (tryaze, penyortiran))

- - - 600 unit 300 - -

6 Buruh dilingkungan TPI

15 - 25.000 375 -

Buruh kuning 34 - 25.000 850 - - Buruh biru 32 - 25.000 800 - - Buruh merah 10 - 20.000 200 - - Buruh hijau 9 - 15.000 135 - - - - -

7 Kuli gerobak pengasin

40 10 15.000 15.000 600 150 -

8 Kuli gerobak lelang 83 10 30.000 20.000 2.490 200 - 9 Puja seri 24 unit - 3 - -

Buruh 144 - 12 10.000 10.000 1.440 - 120

Page 288: Muara Dadap

269

Lanjutan Tabel 5.27 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) 10 Pedagang K5

produk perikanan 85 25 pedagang - -

Buruh 79 25 2 15.000 15.000 15.000 1.185 375 30 11 Pedagang grosir 276 - - - - -

Buruh 828 - 25.000 - 20.700 - - 12 Unit pengepakan 30 unit 6 unit - - - - -

Buruh 90 12 - 25.000 20.000 - 2.250 240 - 13 Workshop 10 unit 2 - - -

Buruh 109 4 - 22.500 15.000 - 2.452,5 60 - 14 Kios alat perikanan 38 unit 2 - - -

Buruh 38 2 - 20.000 15.000 - 760 30 - 15 Kios gudang/kantor 16 unit - - - -

Buruh - - - - 16 Mirasih 1 unit - - - -

Buruh 20 - - 16.667 333,33 - - 17 Pedagang otak-otak 22 unit 5 - - -

Buruh 20 5 - 15.000 15.000 - 1.080 75 - 18 Cold storage I unit - - - - Kisaran gaji:

0,8-1,5 juta/bl

Buruh 53 - - 38.333 2.031,67 - -

19 Pabrik es 1 unit - - - Kisaran gaji: 0,8-4 juta/bl Buruh 44 - - 40.000 1.760 -

20 PHPT 203 unit - - - - Buruh 1.000 - - 30.000 30.000 -

21 Koperasi putri salju - - - - Agen depot es 30 unit - - - - Buruh depot es 240 3 2 40.000 20.000 15.000 9.600 60 30

Page 289: Muara Dadap

270

Lanjutan Tabel 5.27 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)

Buruh pikul pjg 60 - 50.000 - 3.000 - - Buruh pikul pdk 85 - 50.000 - 4.250 - - Buruh kantor 20 - 83.333 - 1.666,67 - - Jml buruh pikul

angkutan 55 - 25.000 - 1.375 - -

Mobil putri salju 12 unit - - - - Buruh 24 - 40.000 - 960 - -

22 Upah ABK - - - Jaring cumi 369 - - 32.000 - 11.808 - - Bouke ami 1.039 - - 32.000 - 33.248 - - Bubu 822 - 80 35.000 - 20.000 28.770 - - Angkutan 844 - - 35.000 - 29.540 - - Gillnet 1.024 336 142 35.000 35.000 35.000 35.840 11.760 - Purse seine 2.525 270 390 27.000 27.000 27.000 68.175 7.290 - Jaring cantrang 411 - - 30.000 - - 12.330 - - Jaring rampus 35 210 - 30.000 30.000 - 1.050. 6.300 - Jaring nilon 18 105 - 30.000 30.000 - 540 4.150 - Jaring tangsi 96 - - 30.000 - - 2.880 - -

Lampara 53 - - 30.000 - - 1.590 - -

Payang 174 132 - 35.000 35.000 - 6.090 4.620 -

Pancing 48 84 264 30.000 30.000 20.000 1.440 2.520 5.280

Muro ami 58 - - 40.000 - - 2.320 - -

Bagan - 1.590 - - 20.000 - - 31.800 -

Kerang hijau - 3.000 150 - 17.000 17.000 - 51.000 2.550

Jumlah transaksi harian

904.975,26 168.425 61.580

Page 290: Muara Dadap

Tabel 5.28 Potensi ekonomi investasi alat tangkap di lingkungan TPI Muara Angke, Kamal Muara, dan Dadap tahun 2005

No JENIS INVESTASI JUMLAH UNIT TOTAL INVESTASI

(x Rp 1.000.000) MA KM D MA KM D A Alat tangkap 1 Jaring cumi 456 - - 114.000 - - 2 Bouke ami 768 - - 192.000 - -3 Bubu 377 - 20 75.400 - -4 Angkutan 1292 - - 193.800 - - 5 Gillnet 358 56 142 132.460 20.720 52.540 6 Purse seine 543 313 39 468.385 15.255 21.918 7 Jaring cantrang 284 - - 56.800 - - 8 Jaring rampus - 42 - - 8.400 - 9 Jaring nilon 5 35 - 750 5.250 - 10 Jaring tangsi 39 - - 5.850 - - 11 Lampara 61 - - 10.675 - - 12 Payang 13 11 - 3.900 3.300 - 13 Pancing* 6 28 88 240 2.100 6.600 14 Muro ami 12 - - 2.100 - - 15 Bagan - 530 - - 66.250 - 16 Kerang hijau - 1.000 50 - 20.000 1.000 Jumlah Investasi 4.500 1.729 339 1.256.360 141.275 82.058 Sumber: Disnakkanlut (2005); data primer Catatan: MA = Muara Angke; KM = Kamal Muara; D = Dadap Nilai investasi unit alat tangkap diasumsikan : (1) pukat cincin (purse seine) 40 GT = Rp 565 jt (Mahdi, 2005) (2) gill net 27-30 GT = 370 jt (Muhartono, 2004) (3) jaring cumi (30 GT) = 250 jt (4) Bouke ami (30 GT) = 250 jt (5) bubu (25 GT) = 200 jt (6) angkutan (35 GT) = 150 jt (7) jaring cantrang (25 GT) = 200 jt (8) jaring rampus (25 GT) = 200 jt (9) jaring nilon (20 GT) = 150 jt (10) jaring tangsi (20 GT) = 150 jt] (11) lampara (20 GT) = 175 jt (12) payang (35 GT) = 300 jt (13) pancing) (40 GT) = 250 jt (14) pancing (10 GT) = 75 jt (15) muro ami (20 GT) = 175 jt. (16) bagan (15 GT) = 125 jt (17) kerang hijau (5 GT) = 20 jt

Hasil analisis pada Tabel 5.28 menunjukan tingginya transaksi yang

terjadi di TPI Muara Angke, dimana jumlah investasi untuk unit armada perikanan

diperkirakan mempunyai nilai sebesar Rp 1,256 trilyun rupiah dari sekitar 4.500

Page 291: Muara Dadap

272

unit, sedangkan untuk TPI Kamal Muara sebesar Rp 141,28 milyar (dari 1.729

unit), dan untuk TPI Dadap hanya Rp 82,06 milyar (dari 339 unit). Jika skenario

pengalihan sebagian kapal dari TPI Muara Angke dan TPI Dadap ke TPI Kamal

Muara dapat berjalan, maka perubahan pola investasi yang kemungkinan dapat

dicapai di ketiga TPI tersebut diperkirakan adalah sebagaimana tercantum dalam

Tabel 5.29.

Tabel 5.29 Prediksi pola investasi yang dapat berkembang di lingkungan TPI Muara Angke, Kamal Muara, dan Dadap

No BIDANG INVESTASI POLA PERUBAHAN INVESTASI MA KM D

1 Penangkapan ikan 2 Kapal angkutan ikan - 3 Sentra pengolahan ikan - 4. Pabrik es - 5. Cold storage/cool room/cool box - 6. Dock/perbengkelan 7. BBM/pelumas 8. Grosir alat penangkapan - 9. Pujaseri/rumah makan 10. Pembangunan pelabuhan 11. Air bersih 12. Objek wisata pantai - - 13. Pemandu wisata air - 14. Pemandu wisata ilmiah - - 15. Kapal angkutan penumpang - - 16. Operator kendaraan wisata air - - 17. Klinik kesehatan 18. Souvenir - - 19 Jasa telekomunikasi 20. Jasa penginapan/perhotelan - - 21. Jasa kebersihan lingkungan 22. Jasa keamanan 22. Kontainer 23. Gudang garam 24. Gedung perkantoran/bisnis - Jumlah variabel 12 ;

6 18

17 1

Keterangan: MA = Muara Angke; KM = Kamal Muara; D = Dadap = perlu dibangun = dikurangi = kondisi tetap

Page 292: Muara Dadap

273

Dari Tabel 5.29 tampak bahwa terdapat 12 variabel investasi yang

diduga tidak akan berubah keberadaannya di TPI Muara Angke meskipun

dilakukannya pemindahan sejumlah kapal ikan dari sini ke TPI Kamal Muara.

Sesuai dengan data dari Disnakanlut (2005), terdapat enam variabel investasi yang

masih perlu ditingkatkan kapasiatasnya di Muara Angke, yaitu: sentra pengolahan,

pabrik es, cold storage/cool room/cool box, kontainer dan gudang garam. Untuk

TPI Kamal Muara, terdapat 18 variabel investasi yang perlu dibangun, sedangkan

di TPI Dadap terdapat satu variabel yang harus dikurangi, yaitu unit armada

perikanan yang sebagian besar perlu dipindahkan ke TPI Kamal Muara. Di TPI

Dadap juga tersedia kesempatan untuk melakukan investasi di 17 bidang, baik

yang berkaitan dengan operasional kapal yang terdiri dari kapal peti kemas, kapal

riset Baruna Jaya, kapal pesiar, dan kapal nelayan untuk pemandu wisata, maupun

yang berkaitan dengan aktivitas wisata pantai yang berpusat di Pantai Pasir Putih

Mutiara Dadap.

5.1 Analisis Permasalahan Umum 5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan

5.2.1 aspek pengembangan wilayah: 5.2.1.1 LQ 5.2.1.2 shift share 5.2.1.3 skalogram

5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi) 5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.3 Pasokan Ikan 5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan 5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan 5.2.2.6 akses transportasi

5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan 5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap 5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke

5.3 Manajemen kawasan pelabuhan 5.3.1 tata ruang 5.3.2 prasarana dan sarana 5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan 5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara

Responsible fisheries

LATAR BELAKANG

1. Sejak dahulu kala. Penangkapan ikan menjadi sumber utama pangan untuk manusia dan penyedia kesempatan kerja serta memberi manfaat ekonomi bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan ini. Akan tetapi, dengan meningkatnya pengetahuan dan dinamisnya pembangunan

Page 293: Muara Dadap

274

perikanan , didasari bahwa sumber daya akuatik, meskipun bisa diperbarui, bukanlah tidak terbatas dan karena itu perlu dikelola secara baik, bila kontribusinya terhadap gizi, ekonomi dan kesejahtraan masyarakat dari penduduk dunia yang terus bertambah ingin di pertahankan. 2. Adopsi konvensi PBB mengenai Hukum Laut tahun 1982 memberikan kerangka baru bagi pengelolaan sumber daya laut yang lebih baik. Rezim hukum baru menyangkut samudra telah memberi Negara-Negara hak dan tanggungjawab bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di dalam ZEE mereka yang meliputi sekitar 90% dari perikanan laut dunia. 3. Dalam tahun-tahun belakang ini, perikanan dunia telah menjadi sebuah sektor industri pangan yang berkembang secara dinamis, dan Negara-Negara pantai sudah berusaha keras mengambil keuntungan dari peluang baru yang mereka peroleh dengan menanamkan modal dalam armada penangkapan dan pabrik pengolahan modern sebagai tanggapan atas permintaan internasional yang meningkat akan ikan dan produk perikanan. Bagaimanapun, tampak jelas bahwa banyak sumber daya perikanan tidak dapat menopang peningkatan pengusahaan yang sering tidak terkendali. 4. Tanda-tanda jelas mengenai pengusahaan-lebih stok ikan penting, modifikasi ekosistem, kerugian ekonomi yang berarti, dan sengketa internasional menyangkut pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam kelestarian jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan pada pasok pangan. Oleh karena itu, Sesi ke 19 Komite FAO tentang Perikanan, yang diadakan pada Maret 1991, merekomondasikan bahwa sudah mendesak diperlukan pendekatan-pendekatan baru pada pengelolaan perikanan yang meliputi konservasi dan lingkungan, demikian pula pertimbangan sosial dan ekonomi. FAO telah diminta untuk mengembangkan konsep perikanan yang bertanggungjawab dan menguraikansebuah tatalaksana untuk membantu dalam perkembangan penerapannya. 5. Kemudian Pemerintah Meksiko, bekrjasama dengan FAO, mengorganisasikan sebuah Konperensi Internasional mengenai Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab di Cancun. Mei 1992. Deklarasi Cancun yang disahkan pada Konperensi tersebut telah dibawakan untuk menjadi perhatian Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED di Rio de Janeiro. Brazilia, Juni 1992, yang mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab (TPB). Konsultasi Teknis FAO mengenai penangkapan Ikan di Laut lepas, yang diadakan September 1992, lebih lanjut merekomondasikan perluasan uraian draft dari Tatalaksana untuk menangani isu eperikanan laut lepas.

Page 294: Muara Dadap

275

6. Sesi ke 102 FAO Council, diadakan November 1992, telah membahas perluasan uraian dari Tatalaksana tsb, merekomondasikan agar memberikan prioritas pada isu laut lepas dan meminta agar usulan untuk Tatalaksana itu disajikan pada 1993 dari Komite FAO tentang Perikanan. 7. Sesi ke 20 COFI, yang diadakan pada Maret 1993, telah menguji secara umum kerangka dan isi yang diusulkan untuk Tatalaksana tsb, termasuk perluasan uraian petunjuk, dan mengesahkan sebuah kerangka waktu untuk penguraian lebih lanjut Tatalaksana tsb. COFI juga meminta FAO untuk menyiapkan, atas dasar “pelacakan cepat”, sebagai bagian dari Tatalaksana, usulan untuk mencegah pembendaraan-ulang kapal penangkapan ikan yang mempengaruhi langkah konservasi dan pengelolaan di laut lepas. Upaya ini telah membuahkan hasil dalam Konperensi FAO, pada Sesi ke 27 bulan November 1993, mengadopsi Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan Langkah-langkah konservasi dari Pengelolaan Internasional oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas, yang menurut revolusi Konperensi FAO 15/93, merupakan bagian integral dari Iatalaksana.

8. Tatalaksana telah dirumuskan sedemikian rupa untuk ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan hukum dan peraturan internasional yang relevan, sebagaimana

tercermin dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982, demikian pula dengan Perjanjian bagi

Pelaksanaan dari Ketentuan Konvensi PBB tentang, Hukum Laut10 Desember 1982 yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan stok ikan Pengembara dan Stok Ikan Beruaya jauh, 1995, mengingat antara lain. Deklarasi Cancun 1992, Deklarasi Rio 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan khususnya Bab dari

Agendda 21. 9. Pengembangan Tatalaksana ini dilakukan oleh FAO dengan berkonsultasi dan bekerjasama dengan Badan-badan PBB relevan dan organisasi internasional lainnya termasuk organisasi non-pemerintah. 10. Tatalaksana terdiri atas lima artikel pengantar; Sikap dan Ruang Lingkup; Sasaran-sasaran; Hubungan dengan perangkat Internasional Lainnya; Pelaksanaan, Pemantauan dan Pemutakhiran; serta Kebutuhan Khusus Negara Berkembang. Artikel pendahuluan ini diikuti oleh sebuah artikel tetang asa Hukum yang mendahului enam artikel tematik mengenai; Pengelolaan Perikanan, Operasi Penangkapan Ikan, Pembangunan Akuakultur, Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir, Praktek Pasca-panen dan Perdagangan, serta Penelitian Perikanan. Seperti sudah dikemukakan. Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan Langkah-langkah Pengelolaan dan konservasi Internasional oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas merupakan bagian integral dari Tatalaksana.

Page 295: Muara Dadap

276

11. Tatalaksana ini bersifat sukarela. Akan tetapi, bagian tertentu dari Tatalaksana didasarkan pada aturan yang relevan dari hukum internasional, seperti yang tercermin tercermin dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 10 Desember 1982. Tatalaksana juga memuat ketentuan yang mungkin atau sudah diberi efek mengikat dengan memakai perangkat hukum dan perundangan lainnya antara Pihak-pihak, seperti Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan langkah konservasi dan Pengelolaan oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas. 12. Sesi ke 28 dari Konperensi dalam Resolusi 4/95 telah mengadopsi Tatalaksana untuk Periakan yang Bertanggungjawab, pada 31 Oktober 1995. Resolusi yang sama meminta FAO antara lain untuk menguraikan petunjuk teknis yang tepat untuk mendukung pelaksanaan dari Tatalaksana bekerjasama bekerjasama dengan para anggota dan organisasi relevan yang berkepentingan. 1. Kerangka Kelembagaan (Artikel 10.1) “Negara-negara harus menjamin bahwa suatu kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan‘ yang yang tepat diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumber daya pesisir yang lestari dan terpadu, dengan memperhatikan kerentanan ekositem pesisir dan sifat terbatasnya sumber daya alamnya, serta keperluan komunitas pesisir.” (pasal 10.1.1) 13. Dalam mempertimbangkan keterpaduan perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir yang lebih luas sifatnya, syarat yang pertama adalah agar Negara menetapkan kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan bagi pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu. 14. Kerangka kebijakan dasar yang di dalamnya dibahas pengelolaan kawasan pesisir adalah satu kebijakan dasar mengenai pembangunan yang secara ekologi lestari. Kerangka ini menetapkan kisaraan kebijakan yang akan dipertimbangkan secara ekologi lestari; masalah pengelolaan adalah bagaimana mengambil keputusan diantara kebijakan-kebijakan itu, dengan memperhatikan kondisi lokal, termasuk pertimbangan sosial ekonomi. 15. Masalah mendasar pengelolaan kawasan pesisir adalah salah satunya pengalokasian sumberdaya. Sumberdaya pesisir menjadi semakin langka disebabkan oleh gabungan pembangunan ekonomi dan meningkatnya penduduk dikawasan pesisir. Seperti lazimnya dengan sumber daya lainnya, kelangkaan sumber daya pesisir menuntut agar dibuat pilihan-pilihan diantara pemanfaatan yang berlainan. Pengelolaan kawasan pesisir meliputi penetapan suatu kerangka yang di dalamnya dibuat pilihan-pilihan dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan agar dilaksanakan. 16 Bagaimanapun, kawasan pesisir memiliki sejumlah ciri istimewa yang merumitkan pilihan tersebut. Pertama, kawasan pesisir merupakan suatu sistem yang dinamis tempat berinteraksi proses fisik, ekologi, sosial dan ekonomi; perencanaan pengelolaan pesisir perlu memperhatikan berbagai proses dinamis tsb. Kedua. Sifat alir dari sejumlah sumber daya pesisir merumitkan pengalokasian sumber daya tersebut. Ketiga. karakter lokal dan regional dari sumber daya pesisir merumitkan pengalokasian sumber daya tersebut. Ketiga, karakter lokal dan regional dari sumber daya tsb bisa merumitkan koordinasi kebijakan di antara berbagai badan yang berlainan. 17. Jika mungkin, valuasi terhadap pilihan pembangunan yang beragam dan atau konservasi (isu dari valuasi ditunjuk lebih lanjut dalam 10.2.2 di bawah) memberikan suatu dasar yang kuat bagi perumusan kebijakan. 18. Dalam pengelolaan pesisir terpadu (PPT) perlu suatu pendekatan holistik. Dalam pengelolaan sumber daya pesisir, harus dilakukan kehati-hatian untuk menghindari pendekatan sektoral sempit yang tidak sesuai. Misalnya, perikanan artisanal mungkin sangat sulit mengelolanya kecuali jika ada pembangunan ekonomi di darat yang menciptakan alternatif

Page 296: Muara Dadap

277

kesempatan kerja. Banyak bidang lainnya yang membutuhkan suatu pendekatan terrkoordinasi pada pengambilan keputusan. 19. Untruk mendapatkan jenis pendekatan ini, dibutuhkan sebuah kerangka kelembagaan’ yang menyediakan pertalian yang tepat di antara otoritas nasional, regional dan lokal. Sebuah spektrum pendekatan telah diadopsi oleh negara-negara untuk menyediakan kerangka tsb. Pada awal dari spektrum, sebuah badan yang ada mungkin diberi mandat untuk mengawali perencanaan pesisir lintas sektor akan tetapi tanpa tambahan tanggungjawab atau kekuasaan. Walaupun pendekatan ini bisa menghasilkan suatu permulaan dari perencanaan pesisir lintas sektor, kelihatannya cenderung jarang yang efektif dalam jangka panjang. Lebih lanjut sepanjang spektrum, beberapa negara dapat mengadopsi suatu pendekatan dimana berbagai badan-badan berlainan yang terlibat dalam pengelolaan pesisir tetap memiliki semua tanggungjawab mereka akan tetapi mengkoordinasikan perencanaan dan kegiatan mereka melalui suatu badan pusat; mandat-mandat dari badan-badan tsb bervariasi sangat luas. Akhirnya,negara-negara dapat mengadopsi sebuah pendekatan yang benar-benar tepadu yang di dalamnya banyak tanggungjawab atas perencanaan dan pengalokasian sumberdaya dilakukan oleh sebuah lembaga terpadu; lembaga yang demikian bisa berupa sebuah organisasi yang ada yang dilengkapi dengan kekuasaan yang ditinggalkan untuk menengahi ataupun secara alternatif sebuah lembaga yang baru sama sekali.

20. Dalam menyusun sebuah kerangkapengelolaan yang efektif, perlu suatu analisis kelembagaan, yang antara lain, harus dianalisis peran dan tanggungjawab dari berbagai badan dan, jika perlu, direvisi, sehingga pada sutu sisi, yurisdiksiyang tumpang tindih atau yang berselisih diminimumkan, dan pada sisi lain, tidak ada isu penting yang tidak ditangani oleh suatu badan yang bertnggungjawab. Oleh karena itu, sebuah mekanisme kelembagaan bagi pengelolaan pesisir terpadu akan menjamin hal berikut: pertama, ditetapkan tanggungjawab secara sektoral yang tepat; kedua, ditetapkan tatanan-tatanan pengkoordinasian/pengintegrasian yang tepat; dan ketiga, badan-badan pada semua tingkat tetap terus diberi informasi menyangkut kebijakan kawasan pesisir untuk menjamin pertalian dalam pelaksanaan kebijakan. 21. Diperlukan sebuah kerangka legislatif yang mengesahkan lembaga pengelolaan pesisir serta kegiatan yang dilakukannya. Sifat yang tepat dari peraturan dan perundangan di setiap negara tergantung pada ruang lingkup dan kesenjangan dalam peraturan dan perundangan yang ada. Tambahan pula, pengalaman suatu negara tidak mesti secara langsung bisa dipindahkan ke lain negara, sekalipun negara

Page 297: Muara Dadap

278

itu memiliki kesamaan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya. “Mengingat sifat multiguna kawasan pesisir, Negara harus memastikan bahwa wakil sektor perikanan dan komunitas penangkapan dimintakan pendapat dalam proses pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam kegiatan lainnya yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan dan pembangunan kawasan pesisir.” (Pasal 10.1.2)

22. Sangat sering, sektor perikanan bersaing di kawasan pesisir dengansektor lain untuk kebutuhan akan ruan, baik di darat maupun di perairan, baik

secara langsung bagi kegiatanproduktif-penangkapan ikan dan akuakultur pantai-maupun untuk penanganan,

pengolahan serta distribusi dari produksi. Konsekwensinya, otoritas yang berwenang mengenai

perikanan dan sektor perikanan harus ikut serta dalam keputusan-keputusan yang menyangkut pembangunan di kawasan tersebut. Dalam hubungan ini, suatu aspek dari ketergantungan sektor tersebut pada lingkungan pesisir, adalah berupa peran yang nyata para nelayan

dan pembudidaya ikan sebagai pengamat dari lingkungan pesisir; para nelayan dan pembudidaya ikan

di pantai biasanya adalah yang pertama merasakan dampak dari banyak perubahan yang mungkin terjadi

dalam lingkungan akuatik sebagai akibat dari pencemaran atau penyebab lainnya.

23. Sebuah ringkasan dari dampak utama terhadap perikanan yang diakibatkan oleh kegiatan sektor lain diperhatikan dalam Kotak 1.

24. Suatu cara yang menjamin terwakilinya

kepentingan perikanan secara tepat adalah menunjuk sebuah otoritas atau otoritas-otoritas untuk perikanan, yang mempunyai tanggungjawab sektor maupun antar-

sektor; semakin kuat struktur kelembagaan yang

Page 298: Muara Dadap

279

diadopsi bagi sektor perikanan akan semakin efektif mewakili kepentinganperikanan.

25. Sifat dari sektor yang membuatnya sangat rentan terhadap perubahan yang diakibatkan oleh kegiatan di pantai bisa mengakibatkan kepentingan yang berbeda

yang saling bertentangan dengan sektor berbasis daratan seperti misalnya sektor pertanian. Lebih lanjut, isu yang dihadapi perikanan tangkap, juga pada tingkat yang lebih rendah dihadapi akuakultur, tidaklah sama

dengan isu yang dihadapi oleh sektor pertanian. Khususnya, model produksi pertanian-dengan

meningkatnya masukan menghasilkan produksi yang lebih tinggi-tidak dapat diterapkan untuk sektor

perikanan. Oleh karena itu, mungkin terdapat alasan persuatif kenapa suatu badan perikanan seharusnya

tidak merupakan bagian dari kementrian atau Departemen lain di mana mungkin bisa timbul

pertentangan kepentingan.

Page 299: Muara Dadap

280

Kotak 1 : Beberapa dampak terhadap perikanan yang diakibatkan oleh kegiatan sektor lai Pencemaran: Hal ini dapat berasal dari sumber berbasiskan lahan daratan, contohnya limbah industri dan pertanian yang di buang ke sungai dan di hanyutkan ke kawasan pesisir, larian pestisida dan pupuk ke dalam sungai, dan pembuangan kotoran melalui air, atau sumber yang berbasiskan lautan, misalnya tumpahan minyak dan buangan samudera limbah beracun ke laut. Beberapa pencemaran dapat meningkatkan produktivitas kawasan pesisir akan tetapi sangat sering berakibat pada penurunan produktivitas. Dalam kasus yang gawat bisa bisa terjadi risiko terhadap kesehatan manusia, misalnya melalui konsentrasi limbah beracun pada keterangan. Menurunnya produktivitas akan merugikan kesehatan keuangan sektor perikanan. Sektor perikanan sendiri bisa memberikan kontribusi terhadap pencemaran pesisir, misalnya melalui pencemaran minyak dari kapal penangkapan ikan, limbah cair dari pabrik pengolahan ikan dan oleh sistem akuakultur inetnsif yang berakibat pada pengkayaan bahan organik dan hara di dasar laut dan dalam kolam air. Betapapun, umumnya sektor perikanan lebih sebagai penderita dibandingkan penyebab pencemaran. Penurunan kualitas habitat: Hal ini dapat terjadi secara langsung, misalnya, sebagai akibat dari pembabatanhutan mangrove untuk berbagai kegiatan, pengambilan karang, atau secara tidak langsung, umpamanya, oleh pengendapan sedimentasi di dasar pdang lamun dan tumbu yang disebabkan larian tanah yang berkaitan dengan misalnya, penggundulan hutan atau praktek tataguna lahan yang buruk. Seperti halnya pencemaran, penurunan kualitas habitat akan mempengaruhi sektor perikanan itu sendiri, misalnya, penangkapan dengan bahan peledak atau bahan kimia beracun, serta pembabatan hutan mangrove dan pemakaian bahan kimia pengembangan akuakultur. Sengketa Tataruang: Hal ini bisa terjadi jika perikanan dan akuakultur pantai mempunyai hak properti yang tidak terjamin secara berangsur-angsur terdesak dari kawasan tradisionalnya oleh pengembangan wilayah oesisir lainnya (khususnya perluasan perkotaan dan pengembangan pariwisata).

26. Mengingat arti penting kawasan pesisir bagi sektor perikanan sangat peting dimasukkan ke dalam proses perencanaan pengelolaan pesisir. Misalnya, otoritas perikanan harus diikutkan dalamproses pengkajian

dampak lingkungan dari proyek mempunyai dampak penting terhadap perairan pantai: otoritas perikanan

harus dilibatkan dalam penyiapan draf undang-undang dan peraturan sehubungan dengan kawasan pesisir;

dan harus dilibatkan dalam proses perencanaan tataruang jika hal ini mempengaruhi kepentingan

perikanan, misalnya, pembangunan pelabuhan; dan

Page 300: Muara Dadap

281

yang paling penting, otoritas perikanan harus dimasukkan ke dalam proses perencanaan pengelolaan

terpadu kawasan pesisir.

27. Dalam banyak hal, perikanan pantai mungkin paling mudah dikelola pada tingkat lokal di dalam kerangka menyeluruh yang dibentuk pada tingkat

nasional atau regional. Di banyak negara, oleh karena itu, otoritas perikanan akan paling efektif dalam

negosiasi antar-badan jika dibentuk suatu kerangka otoritas yang tepat ditingkat nasional, regional dan lokal

guna menjamin bahwa pengelolaan perikanan dapat dilaksanakan pada tingkat yang sesuai.

28. Seperti halnya pengelolaan pesisir pada umumnya, fungsi penting dari otoritas perikanan adalah menjamin

bahwa semua tingkatan administrsi memperoleh informasi yang cukup dan dimotivasi sehingga tujuan bersama dapat tercapai. B rbagai tingkat pengelolaan

tsb merupakan bentuk yang diistilahkan di sini “otoritas perikanan”. Otoritas yang diadakan pada tiap tingkat

akan ditentukan atas dasar kasus-per-kasus.

29. Juga penting agar otoritas perikanan harus menetapkan mekanisme untuk bekerja dengan seluruh pihak terkait di dalam sektor perikanan sehingga sektor

tersebut bisa terwakili secara memadai dalam pembahasan antar-badan yang mempertimbangkan dampak lintas-sektor. Yang dimaksud pihak terkait di

sini adalah mereka yang diakui oleh pemerintah sebagai yang mempunyai kepentingan di dalam sektor

perikanan bersangkutan.

“Negara harus seperlunya mengembangkan, kerangka kelembagaan dan hukum dalam

Page 301: Muara Dadap

282

menetapkan pemanfaatan yang mungkin menyangkut sumber daya pesisir dan mengatur

akses ke sumber daya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek

turun temurun sejauh serasi dengan pembangunan yang berkelanjutan.” (pasal

10.1.3)

30. Satu penyebab utama dari permasalahan dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah akses ke sumber daya pesisir yang bisa diperbarui. Hal ini sudah lama

dikenal sebagai sebuah masalah di dalam sektor perikanan akan tetapi juga mempengaruhi banyak

sumber daya pesisir lainnya. Khususnya air. Ruang. dan produktivitas primer.

31. Merupakan hal penting bahwa jika terdapat akses bebas dan terbuka ke sumber daya perikanan pesisir

agar rezim ini digantikan sesegera mungkin oleh rezim yang didasarkan pada hak pemanfaatan ekslusif. Ada sejumlah alasan yang memperhitungkan tidak hanya

ketidak-efisiensian yang ditimbulkan dalam sektor oleh akses bebas dan terbuka akan tetapi juga disebabkan oleh interaksi dengan sektor lain di kawasan pesisir.

Jika sektor perikanan tetap terus bersifat akses terbuka maka mungkin sukar mendesak dan meyakinkan badan-badan dan para pemanfaat sumber daya lainnya untuk membatasi kegiatan mereka demi kebaikan perikanan

karena setiap manfaat tambahan meningkat akan dengan cara yang sama sebagai rente sumberdaya. Sebaliknya, jika perikanan bergerak ke arah rezim berbasis hak ekslusif. Merupakan suatu hal penting perikanan itu dapat beroperasi dalam suatu sistem

Page 302: Muara Dadap

283

berbasis hak menyeluruh menyangkut pengembangan sumber daya pesisir.

32. Perikanan bukanlah satu-satunya sumber daya

akses terbuka di kawasan pesisisr. Sering akses terus tetap bebas dan terbuka ke sumber daya kunci seperti halnya sumber daya hutan mangrove. terumbu karang

dan ke perairan lautan pantai sebagai suatu wadah bagi limbah. Sebagai akibatnya para pemanfaat lainnya kawasan pesisir bisa merasakan efek negatif yang

berarti. tidak saja terhadap sektor perikanan. misalnya dalam bentuk kerusakan habitat dan pencemaran akuatik. dan seterusnya akan tetapi juga terhadap

fungsi-fungsi lain bernilai dari ekosistem.

33. Ada dua pendekatan luas untuk menangani hal yang berkenaan dengan sengketa antar sektor. yaitu

pendekatan – pengaturan dan ekonomi. Kedua pendekatan itu bisa mempunyai sasaran yang sama.

Bedanya terletak pada cara sasaran itu mencapai tujuannya. Peraturan membatasi secara hukum apa

yang boleh dilakukan. Sedangkan pendekatan ekonomi berupaya untuk menyediakan insentif guna mendorong

tingkah l;aku yang layak. Metode ekonomi memiliki sejumlah kelebihan. khususnya bahwa pendekatan ini mengalokasikan sumber daya langka secara efisien di

dalam suatu kerangka pasar. Akan tetapi. metode ekonomi sering sukar diterapkan dan dalam banyak situasi sering perlu mengadopsi suatu pendekatan

pengaturan. terkadang ditambah dengan perangkat kebijakan ekonomi. Suatu tinjauan menyeluruh yang

singkat tentang metode pengaturan dan ekonomi dicantumkan dalam Kotak 2

Kotak 2: Perangkat pengaturan dan kebijakan ekonomi

Langkah pengaturan mengendalikan pemanfaatan sumber daya dengan cara pelararangan atau pembatasan. Ke

dalam langkah itu termasuk. Misalnya, terhadap pengelolaan atau hasilnya. Pelarangan atau pembatasan

kegiatan yang mencemari. dan pembatasan kegiatan

Page 303: Muara Dadap

284

34. Solusi yang sama bagi penghapusan akses terbuka tidaklah bisa diterapkan dimana saja. walaupun masih

Page 304: Muara Dadap

285

dalam satu negara sekalipun. Solusi terbaik akan tergantung seluruhnya pada keadaan – sifat alami dari

sumber daya, tatanan kelembagaan. kini maupun historis. sasaran. dan seterusnya. Lebih lanjut. solusi

terbaik bisa berubah sepanjang waktu. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperjelas mengenai apa yang

sedang diupayakan untuk dicapai dan menguji suatu kemungkinan solusi sebelum memutuskan mengenai pilihan yang terbaik: juga perlu agar tetap fleksibel.

Sehingga sanggup menanggapi keadaan yang berubah.

35. Satu aspek dari akses terbuka adalah bahwa para pemanfaat sumber daya tidak sanggup mendapatkan pengakuan dari Negara menyangkut hak-hak mereka atas sumber daya. Sering kali. hal ini mengakibatkan para nelayan dan pembudidaya ikan tradisional dan

para nelayan serta pembudidaya ikan berhak adat tidak diuntungkan ketika para pemanfaat sumber daya

lainnya menjadi dominan. Sebuah gambaran diperlihatkan dalam Kotak 3. Jika rezim hukum cukup fleksibel menyadari dan memadukan persepsi hak adat lokal mengenai hak dan kewajiban. Negara mungkin

merasa adalah diperlukan memberi suatu pengakuan de facto menyangkut hak-hak sumber daya. Jika rezim hukum tidak mengizinkan pendekatan ini. Negara-

negara bisa berharap mengubah legislasi mereka sesuai dengan itu. Pada waktu yang bersamaan. otoritas perikanan harus menetapkan syarat-syarat yang

mensyaratkan bahwa para nelayan dan pembudidaya ikan menyadari dan menghormati kendala ekologi yang

dibebankan oleh lingkungan pesisir.

Kotak 3: Hak-hak menyangkut para nelayan dan pembudidaya ikan tradisional dan hak adat terhadap mutu lingkungan yang bisa diterima Jika pasar bagi barang-barang lingkungan di dalam kawasan pesisir. misalnya. Produktivitas alami terumbu karang. tidak ada. maka para nelayan yang memanfaatkan terumbu tersebut tidak akan mampu mengamankan hak-hak yang perlu bagi kesejahteraan masa depan mereka dan rentan terhadap produktivitas yang terancam oleh para pemanfaat lainnya. contohnya. pariwisata dan penambangan koral. Akuakultur pantai berskala kecil juga sudah sejak lama merupakan praktek tradisional dan berkelanjutan di banyak negara yang mungkin digusur oleh operasi perindustrian.

Page 305: Muara Dadap

286

36. Langkah tersebut akan melindungi lingkungan dan memberi para pemanfaat sumber daya tradisional dan

berhak adat akan hak sampai suatu tingkat mutu lingkungan tertentu sebagai bagian dari mata

pencaharian mereka.

37. Para pemanfaat sumber daya tradisional atau berhak adat mungkin sudah mengembangkan tatanan-

tatanan akses dalam menanggapi perubahan-perubahan musiman yang mempengaruhi ketersediaan ikan atau menentukan pewaktuan dari operasi-operasi

pertanian utama. seperti musim tanam waktu dan waktu panen. Rencana-rencana pengelolaan yang

dirumuskan oleh para perencana untuk masing-masing sumber daya yang belum memperhitungkan strategi-strategi tersebut mungkin menghadapi konsekuensi-

konsekuensi ekonomi dan sosial yang serius.

“Negara harus memberi kemudahan pengadopsian praktek penangkapan guna

menghindari sengketa di antara para pemanfaat sumber daya perikanan yang berlainan dan

Page 306: Muara Dadap

287

dengan para pemanfaat lainnya dari lingkungan marin.” (Artikel

10.1.4)

38. Sengketa mungkin terjadi di antara para nelayan dari berbagai tempat berlainan yang ingin menangkap

ikan di kawasan yang sama. di antara para nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berbeda. di

antara para penangkap ikan komersial dan penangkap iakn olahraga. di antara para nelayan artisanal dan nelayan industri. Di antara para nelayan dan para

pembudidaya ikan. dan diantara para pemanfaat ini terhadap para operator pariwisata: semuanya mereka

bersaing atau ruang dan sumber daya. dan dalam banyak lagi situasi.

39. Sengketa di dalam sektor perikanan sendiri bisa

dihadapi dengan alokasi-alokasi menurut kawasan yang menghasilkan alokasi sumber daya yang jelas (di mana sebuah sumber daya mendiami suatu kawasan tertentu)

atau dengan pengurangan sengketa di antara kelompok-kelompok (bila mana sebuah sumber daya

bergerak pindah di antara kawasan-kawasan). umpamanya. zona pemukatan. kawasan bubu. dan

seterusnya. dengan cara pengendalian terhadap masukan. seperti pembatasan alat tangkap atau

pengendalian menurut waktu. atau cara pengendalian luaran. seperti kuota. Otoritas-otoritas harus juga mempertimbangkan pembentukan panitia/komite

nelayan dan pembudidaya. menurut kawasan perikanan atau menurut perikanan. sekiranya layak. jika

permasalahan tersebut harus dibahas dan andaikata mungkin. diselesaikan.

Page 307: Muara Dadap

288

40. Sengketa antar-sektor secara khas lebih sulit menyelesaikannya dibandingkan dengan perselisihan

intra-sektor. sekalipun solusinya mungkin serupa. Otoritas-otoritas perikanan harus mewakili kepentingan dari sektor perikanan dalam negosiasi-negosiasi dengan lain-lain badan-badan untuk memastikan bahwa sektor-sektor lainnya menghormati kepentingan para nelayan

dan pembudi daya ikan. Jika diperlukan. otoritas perikanan dan nelayan harus mempunyai kemungkinan

untuk memiliki sumber daya yang diatur dengan peraturan perundang-undangan untuk melindungi

kepentingan mereka.

41. Penzonaan merupakan pendekatan yang lazim dalam penyelesaian perbedaan-perbedaan antar sektor yang melibatkan perikanan. teristimewa dengan menggunakan campuran perbatasan waktudan kawasan . Langkah-langkah ekonomi bisa pula berperan.

“Negara harus mengingatkan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat

administratif yang tepat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul didalam lingkup sektor

perikanan dan diantara para pemanfaatan sumber daya perikanan dan para pemanfaat

kawasan pesisir lainnya. (Artikel 10.1.5)

42. Sengketa potensial harus diantisipasi dan dicegah

lebih dulu bila mungkin . Rencana-rencana pembangunan dan pengelolaan sektor perikanan sering kali disusun dari perspektif hanya dari sekor perikanan

atau malahan hanya untuk satu stok ikan. Otoritas

Page 308: Muara Dadap

289

pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan secara tegas seberapa jauh kecenderungan terjadi

interaksi dengan kegiatan perikanan atau sektor lain. Jika hal itu dipandang potensial atau aktual penting.

Maka interaksi tersebut harus dipertimbangkan di dalam rencana. dan harus diambil tindakan untuk menangani

sengketa potensial.

43. Dalam pengelolaan kawasan pesisir, salah satu dari fungsi kelembagaan dan hukum yagn paling

penting adalah memastikan adanya suatu mekanisme untuk penyelesaian sengketa. Berhubung sumber daya

pesisir semakin langka. Perlu di pertimbangkan bagaimana menylesaikan tuntutan yang bersaing diantara sektor-sektor. bbaik yang ada masa kini

maupun masa depan. Sekalipun andaikata otoritas perikanan dimintai pendapat mengenai isu

perencanaan. Sengketa-sengketa masih mungkin timbul , dan memerlukan suatu mekanisme untuk

pemecahannya.

44. Dipandang perlu agar otoritas perikanan berperan aktif dalam pengindetifikasian skala dari setiap masalah

yang mempengaruhi lingkungan akuatik dan sumbernya. Untuk tugas ini menjadi sangat penting adanya suatu sistem pemantauan yang tepat. Hal ini

dipertimbangkan lebih lanjut dalam seksi 10.24 berikut ini . Tambahan pula, jika otoritas perikanan erat bekerja sama dengan para nelayan dan pembudidaya. Mereka

segera mampu dengan cepat mengindentifikasi perubahan kondisi ekologis bahkan mungkin terbukti

lebuh sulit mengindentifikasikan mereka yang bertanggungjawab.

Page 309: Muara Dadap

290

2. Langkah-langkah Kebijakan (Pasal 10.2)

“Negara harus meningkatkan kesadaran publik akan perlunya perlindungan dan pengelolaan

sumber daya pesisir dan keikutsertaan mereka yang terkena pengaruh dalam proses

pengelolaan.” (Pasal 10.2.1)

45. Suatu pendapat publik yang memadai untuk proses pengambilan keputusan (misalnya:keputusan

pemanfaatansumberdaya) menjamin adanya dukungan luas bagi rencana yang diajukan dapat diberikan

kemudahan melalui proses kelembagaan dan kerangka hukum. Para pembuat undang-undang serta peraturan dan para perencana harus menyadari bahwa langkah

yang menjauhkan mereka yang paling terkena pengaruh. cenderung tidak akan berhasil dalam jangka

panjang.

PEMBAHASAN UMUM

Salah satu pelabuhan perikanan yang telah dikembangkan secara maju dan

termasuk pelabuhan yang mencakup aspek eko

With so many places to stay on offer in Port Douglas, the selection process can become a daunting process. Below we have hand picked a few reputable accommodation places to recommend during your stay.

Below are a few suggestions to suit varying budgets from motel style accommodation to boutique apartments. These properties are situated in the hub of Port Douglas close to shopping, the beach, restaurants and the marina. They also have brilliant on-site management who provide excellent service and will ensure your stay is a memorable one. They also love their outdoors and fishing!

Please contact us for the best available rates.

Page 310: Muara Dadap

291

5.1 Analisis Permasalahan Umum 5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan

5.2.1 aspek pengembangan wilayah: 5.2.1.1 LQ 5.2.1.2 shift share 5.2.1.3 skalogram

5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi) 5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.3 Pasokan Ikan 5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan 5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan 5.2.2.6 akses transportasi

5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan 5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap 5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke

5.3 Manajemen kawasan pelabuhan 5.3.1 tata ruang 5.3.2 prasarana dan sarana 5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan 5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara

Beberapa sasaran yang hendak dicapai dari implementasi kebijakan revitalisasi perikanan, setidaknya meliputi beberapa aspek, diantaranya : Terjadinya peningkatan investasi yang signifikan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan Tercapainya peningkatan pendapatan nelayan melalui kegiatan industri terpadu dan penciptaan pasar (domestik dan pasar ekspor) Terlaksananya pemberdayaan masyarakat nelayan sehingga mampu memposisikan diri sebagai pelaku ekonomi yang unggul Terwujudnya pelestarian lingkungan (ekologi terpelihara secara berkelanjutan) sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Terlaksananya pengembangan jasa kelautan dan non pariwisata untuk menunjang pembangunan sektor kelautan Hadirin sekalian yang saya hormati, Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, perlu didukung komponen-komponen kegiatan, yang meliputi : Pengembangan industri perikanan berbasis armada nasional menunjang Permen 17 tahun 2006, tentang usaha perikanan tangkap Revitalisasi budidaya rumput laut Pengembangan cluster industry perikanan Pengembangan jasa kelautan Peningkatan Akses modal dan akses pasar mendukung revitalisasi perikanan

Sekretariat BKSP JABODETABEKJUR terdiri atas :

Bagian Pembangunan, membawahi ;

- Sub Bagian Tata Ruang dan Pertanahan, :

- Sub Bagian Permukiman, Sarana dan Prasarana,

Page 311: Muara Dadap

292

- Sub Bagian Sumber Daya Air, Kebersihan dan Lingkungan Hidup.

Bagian Perekonomian, membawahi ;

- Sub Bagian Transportasi dan Perhubungan,

- Sub Bagian Agribisnis, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,

- Sub Bagian Industri, Perdagangan, Pertambangan dan Investasi.

Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, membawahi ;

- Sub Bagian Kependudukan, Ketentraman dan Ketertiban,

- Sub Bagian Kesehatan dan Pendidikan,

- Sub Bagian Sosial dan Tenaga Kerja.

Bagian Umum, membawahi ;

- Sub Bagian Keuangan dan Penyusunan Kegiatan,

- Sub Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga,

- Sub Bagian Tata Usaha dan Kepegawaian.

Penataan Ruang

♦ Koordinasi pembahasan rancangan RTRW JABODETABEKJUR,

♦ Penyeragaman nomenklatur, skala, simbol-simbol peta

perencanaan JABODETABEKJUR,

♦ Pemaduserasian dan keterpaduan RTRW / RTRK antar daerah

JABODETABEKJUR.

Permukiman, Sarana & Prasarana

♦ Pembangunan rumah-rumah di BODETABEKJUR,

♦ Pemerataan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan.

Sumber Daya Air, Kebersihan dan LH

Page 312: Muara Dadap

293

♦ Kawasan lindung, daerah resapan air, sungai, situ, galian C, hutan

dan penghijauan,

♦ Pengamanan/pelestarian/penghijauan daerah hulu, normalisasi

sungai, pembuatan bendungan/kantong air, perbaikan saluran

(drainase) air,

♦ Pengelolaan sampah, usaha penanggulangan pencemaran sungai

dan udara.

Transportasi, Perhubungan dan Pariwisata

♦ Jaringan jalan, terminal, pengaturan trayek, wilayah operasi, tarif,

moda angkutan dan manajemen lalu lintas,

♦ Peningkatan jalan-jalan terobosan dan penataan ruas-ruas jalan,

♦ Penataan dan pelestarian daerah-daerah wisata, infrastruktur, sarana

dan prasarana daerah wisata.

Agribisnis, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah

♦ Perencanaan pembangunan terminal agribisnis,

♦ Pemberian bantuan bagi usaha kecil dan menengah,

♦ Penyuluhan dan bantuan teknis bidang pertanian, perkebunan dan

persawahan.

Industri, Perdagangan, Pertambangan dan Investasi

♦ Relokasi industri dan pertambangan,

♦ Keterpaduan pendirian industri,

♦ Peningkatan investasi melalui Badan Koordinasi Penanaman

Modal.

Page 313: Muara Dadap

294

Kependudukan, Ketentraman & Ketertiban

♦ Mobilitasi penduduk termasuk migrasi dan komuter.

♦ Tertib administrasi kependudukan yang akan diberlakukan SIAK

Offline,

♦ Ketegasan pelaksanaan hukum Indonesia.

Kesehatan dan Pendidikan

♦ Kerjasama peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan

di wilayah JABODETABEKJUR diawali adanya pertemuan forum

untuk tahun 2005 antara Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur

Jawa Barat, Gubernur Banten dengan Bupati/Walikota Bogor,

Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur pada tanggal 20 Agustus

2005 bertempat di Hotel Borobudur Jakarta.

♦ Pada Pertemuan tersebut salah satu kegiatan yang perlu

direalisasikan pada tahun anggaran 2006 adalah program kerjasama

peningkatan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan kesehatan

dasar di wilayah JABODETABEKJUR. Pada pertemuan forum ke

dua untuk tahun anggaran 2005 dilaksanakan pada tanggal 28-29

Desember 2005 bertempat di Hotel Aryaduta Karawaci Kabupaten

Tangerang Provinsi Banten, disepakatilah bahwa kerjasama

pendidikan dasar dan kesehatan dasar memperoleh bantuan dana

dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk masing-masing

Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 3.000.000.000,-

(tiga milyar rupiah) dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp. 24

milyar (dua puluh empat milyar rupiah).

♦ Dari anggaran sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar) untuk

masing-masing Kabupaten/Kota BODETABEKJUR dialokasikan

untuk sarana prasarana pendidikan sebesar Rp. 2.000.000.000,-

Page 314: Muara Dadap

295

(dua milyar rupiah) dan untuk sarana prasarana kesehatan sebesar

Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Sosial dan Tenaga Kerja

♦ Pengawasan bidang ketenagakerjaan baik lokal maupun tenaga

kerja asing,

♦ Usaha penekanan terhadap masalah PMKS di perbatasan,

♦ Adanya operasi yustisi secara berkala.

12/10/2006

SERAH TERIMA DANA BANTUAN KEUANGAN DARI PEMERINTAH

PROVINSI DKI JAKARTA KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

BODETABEKJUR

Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR

sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan sarana prasarana pendidikan dan

kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta. Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana bantuan keuangan dari

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota

BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan sarana prasarana

pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung Balai Kota

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana

bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan

sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung

Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hari ini dilaksanakan acara

penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada

Page 315: Muara Dadap

296

Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk

peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di

Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hari ini dilaksanakan

acara penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

kepada Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar

untuk peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan

di Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

http://bkspjabodetabekjur.jakarta.go.id/berita/index.php?id=1

13/09/2006

Lokakarya pengembangan wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil.

Sebagai usaha peningkatan pengembangan sumber daya laut di Selat Karimata,

Departemen Dalam Negeri bekerjasama dengan Instansi terkait mengadakan

lokakarya pengembangan wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil, yang

dilaksanakan di Jakarta yang dihadiri oleh unsur-unsur kelautan seluruh Indonesia.

Pada lokakarya ini dibahas mengenai pemanfaatan air laut yang diolah menjadi air

tawar, mengingat di Indonesia bagian timur sangat membutuhkan akan air bersih

bagi rumah tangga. Pertemuan ini juga menghadirkan Sekretariat BKSP

JABODETABEKJUR sebagai nara sumber, karena berkaitan dengan pelaksanaan

lokakarya tersebut dibutuhkan pula suatu pola kerjasama antar daerah dalam usaha

peningkatan kebutuhan daerah. Sehingga pelaksanaan koordinasi dan kerjasama

antar daerah dapat dilaksanakan dengan baik.

02/10/2006

Pelaksanaan Rapat Forum Kerja BKSP JABODETABEKJUR di Hotel Horison

Bandung, sekaligus penandatanganan Kesepakatan Bersama dan Pearturan

Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota.

Setiap dalam 1 (satu) tahun anggaran Sekretariat BKSP JABODETABEKJUR

selalu mengadakan Rapat Kerja Forum BKSP JABODETABEKJUR yang

Page 316: Muara Dadap

297

dilaksanakan 2 (dua) kali dalam setahun. Rpat forum ini suatu forum bertemuanya

Gubernur, Bupati dan Walikota dalam hal ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta,

Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten dan Bupati/Walikota BODETABEKJUR.

Dalam forum ini dibahas mengenai evaluasi seluruh kegiatan yang sudah dan

sedang dilaksanakan sekaligus perencanaan kegiatan pada tahun anggaran

berikutnya. Pelaksanaan Rapat Forum Kerja BKSP JABODETABEKJUR di Hotel

Horison Bandung, sekaligus penandatanganan Kesepakatan Bersama dan

Peraturan Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota JABODETABEKJUR. Secara

rinci adalah penandatangan :

Peraturan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur

Jawa Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok,

Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi Dan

Bupati Cianjur Tentang Badan Kerjasama Pembangunan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor, Kota

Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Bekasi,

Kota Bekasi, dan Kabupaten Cianjur.

Keputusan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur

Jawa Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok,

Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi dan

Bupati Cianjur tentang Kerjasama Di Bidang Administrasi Kependudukan dan

Catatan Sipil Di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur

(JABODETABEKJUR).

Keputusan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur

Jawa Barat Dan Gubernur Banten Tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Dan Gubernur Kepala Daerah

Khusus Ibukota Jakarta Nomor 126/Sk.1884.Jabotabek/97 Dan 2169 Tahun 1997

Tentang Penetapan Titik Koordinat Tanda Batas Wilayah Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Dan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Page 317: Muara Dadap

298

"PEMANTAPAN RANCANGAN KEPPRES PENATAAN RUANG

JABOTABEK "

http://www.pu.go.id/Ditjen_ruang/Tarunews/taru0908011.html

Jakarta, 9 Agustus 2001

Tanggal 27 Juni 2001 yang lalu telah diadakan kegiatan Ekspose Rancangan

Keppres Penataan Ruang Kawasan Jabotabek yang dipimpin oleh Menteri

Permukiman dan Prasarana Wilayah. Tujuan diadakannya kegiatan sosialisasi ini

adalah untuk mendapatkan tanggapan, masukan dan saran terhadap

penyempurnaan RaKeppres tersebut yang melibatkan instansi pusat dan instansi

daerah (Pemda, Bappeda, DPRD), perguruan tinggi, LSM, dan asosiasi-asosiasi

profesi. Penyempurnaan oleh tim kecil dilakukan pada tanggal 3-4 Agusutus 2001

berdasarkan masukan dan tanggapan yang diperoleh dari ekspose tersebut. Tim

Kecil ini terdiri dari Sekretariat Tim Teknis BKTRN, BKSP Jabotabek, wakil-

wakil dari masing-masing pemda serta instansi-instansi pusat terkait.

Sebagai tindak lanjut kegiatan ekspose tersebut, pada tanggal 9 Agustus 2001

Direktorat Jenderal Penataan Ruang selaku Sekretariat Tim Teknis BKTRN

bekerja sama dengan BKSP Jabotabek memfasilitasi pemantapan Rancangan

Keppres Jabotabek hasil penyempurnaan tim kecil. Acara pemantapan RaKeppres

tanggal 9 Agustus tersebut dipimpin oleh Ketua Pokja 1 BKTRN dan juga

melibatkan instansi pusat, instansi daerah (Pemda, Bappeda, DPRD), perguruan

tinggi, LSM, dan asosiasi profesi.

Page 318: Muara Dadap

299

Seluruh unsur yang dilibatkan menyatakan bahwa Rancangan Keppres Jabotabek

diperlukan sebagai pedoman atau wadah hukum pengaturan bersama dalam

rangka koordinasi pembangunan wilayah Jabotabek. Namun menurut floor masih

perlu penyempurnaan substansi dan peta seperti misalnya : perlunya memuat

ketentuan tentang kewenangan pemerintah pusat dan masing-masing daerah,

sharing/dukungan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam

mengimplementasikan Keppres tersebut menjadi jelas, perlunya pengaturan sistem

pariwisata dan sistem komunikasi antar daerah, pengendalian banjir, dan lain-lain.

Langkah selanjutnya tim kecil akan menyempurnakan naskah RaKeppres

Jabotabek berdasarkan masukan tanggapan maupun saran yang masuk, dan

naskah hasil penyempurnaan oleh tim kecil tersebut akan disosialisasikan kepada

pemerintah daerah.

Tata Ruang

09-08-2001

Page 319: Muara Dadap

300

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/22/0902.htm

GAGASAN segar dan cerdik Gubernur DKI Sutiyoso tentang kawasan

megapolitan Jakarta dengan memanfaatkan daerah di sekitarnya, Jakarta, Bogor,

Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur, Jabotabekjur - wajar-wajar saja bila "ditolak"

oleh Gubernur dan DPRD Jawa Barat. (lih. ”PR” Kamis, 8/2/2006: 1). Mungkin

karena pengalaman masa lalu, Jawa Barat sering "dikerjain" orang-orang pusat

yang banyak merugikan daerah. Selain itu ada kegamangan karena "kesepakatan

bersama" yang ditandatangani ketiga Gubernur, DKI - Jabar - Banten dan para

bupati serta Wali Kota Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Cianjur, tanggal 16

Juni 2005 samasekali tidak menyingung gagasan Sutiyoso itu. Jadi ada

"kekhawatiran" pemerintah daerah Jawa Barat sebagian wilayah administratifnya

dicaplok DKI.

Isu Jakarta sebagai megapolitan bukanlah hal baru. Gubernur DKI Ali Sadikin

pertama kali melontarkan gagasan Jakarta sebagai kota metropolitan. Waktu itu

pun Ali Sadikin harus berhadapan dengan Gubernur Jawa Barat Solihin GP. Jalan

keluar pemerintah pusat pada waktu itu adalah membentuk wilayah Jabotabek

melalui kerja sama pembangunan Jabotabek antara Jabar dan DKI. Kemudian

dibentuk Badan Kerja sama Pembangunan (BKSP) Jabotabek sebagai upaya

mendukung perkembangan Jakarta ibu kota negara. Namun, sebelumnya sudah

ada apa yang disebut Sekertariat Jabar-DKI, sebagai ajang dialog dan sinkronisasi

pembangunan di kedua daerah itu. Namun badan kerja sama tersebut tidak

fungsional, bahkan keberadaannya sekarang tidak terdengar lagi.

Sudah jadi nasib

Agaknya, sudah menjadi "nasib", pada pascakepemimpinan Solihin GP Jabar

selalu "tunduk" dan menerima saja, sumuhun dawuh, atas keinginan pemerintah

Page 320: Muara Dadap

301

pusat yang banyak merugikan daerah itu sendiri. Jabar harus rela dijadikan daerah

"penyangga", istilah keren-nya buffer zone, yang sesungguhnya tidak lebih dari

"keranjang sampahnya" ibu kota negara. Dari situlah awal marginalisasi daerah

Jabar, dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang subur begitu cepat di daerah

utara menjadi wilayah industri. Karena tidak ditata dengan baik, maka akibatnya

terasa sekarang pada penyediaan stok pangan nasional dan kerusakan lingkungan -

padahal semangatnya adalah "Jabar sebagai lumbung padi nasional".

Di sekitar Jabotabek, alih fungsi hutan, lahan sawah dan pertanian lahan kering

terus berlangsung. Lahan ini dijadikan kawasan permukiman dari yang sederhana

hingga super modern dilengkapi sarana rekreasi, pendidikan, pembelanjaan dan

sarana sosial lainnya. Kondisi menambah risiko banjir dan kerusakan lingkungan

karena terganggunya stabilitas ekosistem baik di sekitar Jakarta maupun di seluruh

kawasan Jabotabek itu.

Namun, terlepas dari masalah sosial dan lingkungan tersebut, DKI dan Jabar kini

menghadapi dilema. Pertumbuhan kedua daerah itu demikian cepat, karena

perkembangan penduduk, meningkatnya sarana transportasi dan komunikasi

antarkota dan antardaerah serta kota-desa yang berdampak terhadap meningkatnya

intensitas migrasi antar kota dan daerah serta urbanisasi dari desa ke kota.

Celakanya daerah tujuan utama para migran dan urbanis itu tetap saja Jakarta dan

sekitarnya. Berlaku pepatah usang "ada gula ada semut."

Selain itu, konsentrasi pembangunan di DKI sebagai ibu kota negara, barangkali

masih diwarnai kuatnya pandangan tradisional masyarakat bahwa ibu kota negara

identik dengan negara itu sendiri. Kehebatan sebuah ibu kota negara adalah

manifestasi dari kehebatan negara itu sendiri. Logika awam yang terbangun adalah

bahwa Jakarta miniatur Indonesia. Maka keberadaan Jakarta sebagai ibu kota

negara tidak terelakkan lagi perlu mendapat dukungan semua pihak. Dalam

memahami logika sebab-akibat itu, diharapkan semua pihak berpikir jernih, kritis,

perspektif dan cerdas, tidak kuuleun alias memble.

Page 321: Muara Dadap

302

Dilema lain, intensitas pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan

berorientasi ke Jawa. Maka tidak heran pula apabila Jawa tetap saja menjadi

daerah tujuan utama migran dan urbanis dari daerah dan desa di sekitarnya.

Berlimpah-ruahnya sebagian besar penduduk Indonesia di Jawa (70 %)

menjadikan Jawa sebuah kota pulau, megapolis. Berjubelnya manusia Indonesia di

kota-kota di Jawa memberatkan pemerintah kota, karena yang muncul adalah

kemiskinan dengan kampung kumuhnya yang berakibat terhadap degradasi

lingkungan dan munculnya budaya kekerasan.

Oleh karena itu isu megapolitan Gubernur DKI Sutiyoso sesungguhnya dapat

dijadikan momentum yang baik, sebagai peluang untuk menangani kesemrawutan

pembangunan di Jabar-DKI (karena Banten mungkin lebih senang bergabung

dengan DKI). Selama ini daerah hanya peduli kepada dirinya masing-masing, atau

egoisme daerah.

Banyak hal yang dapat dikerjakan bersama tanpa harus saling mengganggu

wilayah administratif masing-masing. Jabar dan DKI bisa memelihara aliran

Sungai Ciliwung dari hulu ke hilir antara Kabupaten Bogor - DKI untuk

menangkal "banjir kiriman" di Jakarta. Ciliwung dapat dikembangkan menjadi

alternatif angkutan barang melalui sungai Bogor - DKI. Selain itu, kedua daerah

juga bisa mengelola sampah secara terpadu untuk kesehatan penduduk dan

kebersihan lingkungan, mengupayakan suplai air bersih dari Jatiluhur atau daerah

lain di Jawa Barat ke Jakarta; pembangunan sistem transportasi murah Jabotabek -

DKI, sampai kepada urusan kartu penduduk dan pajak kendaraan sehubungan

dengan mobilitas penduduk yang begitu tinggi antara Jabotabekjur - Jakarta.

Lambat atau cepat akhirnya Jabar-DKI harus memiliki satu perencanaan

pengembangan daerah yang terkoordinasi. Ada bidang-bidang yang harus dikelola

bersama yang menyentuh kepentingan bersama yang bersifat lintas daerah. Dalam

Page 322: Muara Dadap

303

mencari solusi mendesak, maka dituntut pula sikap tanggap pemerintah pusat,

presiden atau mendagri untuk tidak membiarkan masing-masing daerah mencari

upaya masing-masing yang cenderung mempertahankan kepentingannya masing-

masing.

Barangkali sudah menjadi kebutuhan mendesak sekarang adanya seorang menteri

yang bertugas bukan saja mengoordinasikan dan mengendalikan berbagai program

pembangnan yang berkelanjutan di Jawa Barat-DKI, tetapi juga untuk Indonesia

bagian barat agar khususnya Jawa bebas dari ancaman kemusnahan, karena beban

yang sudah di luar kemampuan support-system lingkungannya - analog dengan

menteri negara urusan percepatan Indonesia bagian timur. Upaya pemerintah pusat

saat ini dalam menghadapi fenomena Jabar-DKI adalah memfasilitasi

kebersamaan kedua provinsi tersebut agar ekosistem di kedua daerah tersebut

dalam jangka panjang tetap mampu menyangga kehidupan umat manusia yang

tertib, damai dan bersahabat.

Pergeseran paradigma

Konsep dan paradigma pemerintahan sekarang sudah bergeser, dari kekuasaan ke

pelayanan. Sejalan dengan itu, maka terjadi pula pergeseran konsep dari

pembangunan daerah ke pembangunan wilayah. Dalam pembangunan wilayah itu,

utamanya antara lain adalah pemanfaatan tata ruang dengan cara

mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan menuju tercapainya

kesejahteraan dan keberlanjutan umat manusia. Kendalanya adalah perilaku

birokrasi kita masih keukeuh saja mempertahankan cara-cara lama yaitu

paradigma kekuasaan.

Hal inilah yang merupakan masalah satu sumber konflik yang terjadi di berbagai

daerah sekarang. Di mana masih kentalnya kesenjangan antara gagasan perubahan

dengan praktik pemerintahan di lapangan, sebagaimana tampak dari pernyataan

Page 323: Muara Dadap

304

dan tanggapan reaksi atas isu megapolitannya Gubernur DKI Sutiyoso. Hakikat

pelayanan itu yang utama adalah kesejahteraan dan keadilan bagi semua, yang

tidak lagi berorientasi pada batas-batas administratif daerah, borderless. Dalam

kasus Jabar - DKI, agaknya dialog adalah salah satu instrumen yang harus

dikedepankan. Oleh karena itu, cara terbaik untuk membangun keadilan dan

kesejahteraan bagi semua di kedua daerah tersebut adalah membina pengertian

dan kerja sama, bukan saling meniadakan, (trade off). Kedua pemerintah duduk

bersama, menyusun program dan anggaran bersama serta melaksanakan bersama-

sama dengan melibatkan seluruh stakeholders agar kedua daerah itu tetap eksis

menyangga kelangsungan hidup umat manusia.***

Penulis, dosen senior dan Ketua LPM Unpad Bandung

Page 324: Muara Dadap

305

| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |

Wise Coastal Practices for Sustainable Human Development Forum

A regional approach to environmental quality management / Jakarta-Indonesia

(+Bahasa Indonesia)

http://www.csiwisepractices.org/?read=73

Posted By: Yoslan Nur

Date: Wednesday, 4 August 1999, at 7:01 p.m.

Bahasa Indonesia

Key words: community involvement, inter-agency coordination, public sector

awareness.

DESCRIPTION: Based on the result of an evaluation of the Jakarta Bay pilot

project, UNESCO-CSI considers that the project needs to be extended and

improved. A new project has been determined "Environmental governance and

wise management practice for tropical coastal mega-cities: sustainable human

development of Jakarta Metropolitan Area." It is a coordination forum on

sustainable human development of the Jakarta Metropolitan Area. The main aims

of the activities are to:

(1) promote greater community involvement in coastal environmental quality

development, encouraging local communities and NGOs participating in Jakarta

Metropolitan Area sustainable human development;

Page 325: Muara Dadap

306

(2) integrate coastal quality improvement as one of the local government's

programmes, establishing an enabling policy environment and a system to

monitor, analyse, and disseminate the results of field activities; and

(3) develop private sector awareness (industrial zone and resort managers) in

environmental development.

The programme activities were determined as a result of the analysis of spatial

problems. For example: to reduce the pressure on coastal marine resources in

Jakarta Bay and Kepulauan Seribu, we have to find an alternative economic

activity for the local community. Similarly to reduce the pollution of Jakarta Bay

by pesticides and fertilizers and to diminish sedimentation by eroded soil, we have

to introduce an environmentally sound farming system in the upstream area (in

District of Bogor and Purwakarta, situated around 70 - 90 km from the coast).

STATUS: The project has yet to be implemented.

DISCUSSION

LONG-TERM BENEFIT: The multi-dimensional and inter-sectoral approach

should allow for long-term sustainable human development while providing

immediate benefit for the local communities.

CAPACITY BUILDING: The activities provide improved management

capabilities and education for stakeholder groups as well as knowledge and efforts

to protect the coastal marine environment. UNESCO will form partnerships with

the government, the private sector, NGOs, local communities and other donors to

demonstrate innovative approaches for managing small islands and coastal areas

Page 326: Muara Dadap

307

with an emphasis on local community participation, and more efficient and

sustainable use of coastal resources.

Activities with society (local community): Training for locally-based groups on:

(1) integrated conservation and development of coastal regions and small islands

and (2) social empowerment through development of their own potentiality by

improvement of working techniques, skill development in management,

entrepreneurship to expand livelihood options; and women's participation in

economic and environmental development.

Activities with local Government: Some training activities and technical

assistance on environmental management are projected for local government staff.

Activities with the private sector: Training in industrial zones for resort area

managers on sustainable human development and the dangers of pollution for the

environment.

INSTITUTIONAL STRENGTHENING: The pilot project experience has

revealed that the environmental problems of Jakarta Bay and Kepulauan Seribu

cannot be resolved on a local level, and that a regional solution is required. There

is neither an effective management authority nor a central agency to plan for the

whole JMA or to coordinate sectoral planning in Jakarta City and West Java.

Theoretically, the Coordination Body for Jabotabek Development (Badan

Kerjasama Pembangunan or BKSP Jabotabek), should be a mechanism for inter-

regional coordination and inter-sectoral integration, as well as bottom-up and top-

down program coordination. At present, the agency has some constraints on its

ability to do so: (1) there are almost no resources nor enforcement basis available

for BKSP; (2) some agencies, notably the Jakarta and West Java Provincial

Planning Agency (Bappeda Tingkat I) overlap and duplicate the BKSP,s

responsibilities; (3) the role of BKSP in planning, programming and budgeting for

Page 327: Muara Dadap

308

Jabotabek development is not specifically defined; and (4) there is a lack of

operational guidelines for Jabotabek plan implementation. BKSP has no tools to

coordinate and integrate interregional and intersectional development programmes

in the JMA. Having identified the BKSP's weaknesses, it is obvious that the

function and role of this agency needs to be strengthened by giving it a clear

status, political and financial support from central and local governments (DKI

Jakarta and West Java Provinces).

SUSTAINABILITY: The project will ensure sustainability of the ecosystem for

the future generation. 5 years after the project's termination (2000-2005) the

system installed will continue to function when the technical assistance finishes.

TRANSFERABILITY: The project of "Environmental governance and wise

management practice for tropical coastal mega-cities: sustainable human

development of Jakarta Metropolitan Area" is transferable to the others tropical

coastal mega-cities, with some adaptation (e.g. institution, development policies,

culture, etc.)

CONSENSUS BUILDING: The activity should benefit the stakeholder groups,

and provide indirect and long-term benefit for the private sector.

PARTICIPATORY PROCESS: The project will strengthen networks and

cooperation between governments, scientific institutions, universities, NGOs and

communities for policy analysis, implementation and monitoring. Indicators of

success will include the following: (1) strengthened networks for environmental

policy and law reform, as measured by the number of working groups dealing with

policy implementation including universities and NGOs established in tropical

coastal megacity management; (2) increased participation by women in coastal

management, as measured by the number of women in workshops, seminars, and

training programmes; and (3) improved information sharing on environmental

Page 328: Muara Dadap

309

issues, as measured by (a) the number of environmental coastal newsletters

produced, (b) the number of coastal management seminars held annually, and

other publications and exhibitions.

EFFECTIVE AND EFFICIENT COMMUNICATION PROCESS: A

multidirectional communication process involving dialogue, consultation and

discussion is planned in this project, e.g. an annual workshop for the principle

stakeholders, community learning centre, brochures, result of development

process, etc.

STRENGTHENING LOCAL IDENTITIES-DECENTRALIZATION: The

development programmes in JMA are mostly central government oriented in

implementation, whereas the involvement of the community and local government

is very limited. An effort towards decentralization of the development plan,

programmes, and realization are needed. The project has planned to improve the

efficiency of the Coordination Body for Jabotabek Development and local

government's involvement in the improvement of the quality of life and of the

environment.

PUBLIC POLICY: In terms of public policies, technical assistance will be given

to central government and local governments in land use planning, evaluation of

environmental standards and norms of quality coastal resource management

guidelines and political instruments for the protection of the environment.

REGIONAL DIMENSION: The project design is based on the perception that the

Jakarta Bay and Kepulauan Seribu is ecologically part of the Jakarta Metropolitan

Area and on the assumption that environmental degradation in this area is caused

by environmental governance.

Page 329: Muara Dadap

310

EVALUATION: The success achieved in the overall strategic objective will be

measured by: (1) improvement of environmental quality in the Jakarta

Metropolitan Area, particularly the seawater quality in Jakarta Bay; (2) the

number of local communities actively participating in environmental planning,

implementation and management; (3) the number of NGOs strengthened to

promote improved coastal Jakarta Metropolitan Area environmental quality; and

(4) the number of partnerships among the local governments, the private sector,

and communities for locals and regional environmental impact planning and

monitoring that have been strengthened.

******************************************************************

*********************************

PENDEKATAN REGIONAL DALAM PENGELOLAAN MUTU

LINGKUNGAN HIDUP/TELUK JAKARTA-INDONESIA

DESKRIPSI. Berdasarkan hasil evaluasi proyek pilot Teluk Jakarta setelah tiga

tahun pelaksanaan, UNESCO-CSI berkesimpulan bahwa perlu peningkatan dan

pengembangan pilot proyek tersebut. Dalam rangka itu sebuah proyek sedang

dirumuskan, "Environmental governance and wise practices for tropical coastal

mega-cities: Sustainable human development of the Jakarta Metropolitan Area".

Proyek ini akan berfungsebagi sebuah forum koordinasi dari proyek-proyek yang

berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan

Jakarta, garis begar kegiatan adalah sebagai berikut: (1) Menggalakkan partisipasi

masyarakat dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan mendorong

partisipasi masyarakat dan LSM dalam pembangunan masyarakat berkelanjutan;

(2) Mengintegrasikan kegiatan peningkatan kualitas kawasan pesisir sebagai salah

satu bagian dari program permbangunan pemerintah (pusat dan daerah),

merumuskan kebijaksanaan lingkungan hidup dan system pemantauan, analisis

and desiminasi hasil lapangan; dan (3) Meningkatkan kesadaran sektor swasta

(para pengelola kawasan pariwisata dan kawasan industri) akan pentingnya arti

dari pelertarian lingkungan hidup. Program kegiatan disusun berdasarkan analisa

Page 330: Muara Dadap

311

ruang dari permasalahan, misalnya : untuk mengurangi tekanan masyarakat

terhadap sumberdaya pesisir yang disebabkan oleh tata cara penangkapan ikan

yang tidak berwawasan lingkungan (pemakaian bom ataupun racun) maka kita

akan cari alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya

tidak merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta

oleh pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing

petani yang berada di hulu (di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar

70 hingga 90 km dari pantai) untuk melakukan praktek pertanian berwawasan

lingkungan.

MANFAAT JANGKA PANJANG. Pendekatan multi-dimensi and intersectoral

akan memungkinkan terlaksanannya pembangunan masyarakat berkelanjutan

tanpa mengabaikan manfaan langsung dari proyek tersebut terhadap masyarakat

pelakunya.

PENINGKATAN KEMAMPUAN. Peningkatan kemampuan pengelolaan

kawasan pesisir bagi para pelaku yang terlibat merupakan bagain dari proyek ini.

UNESCO dengan bekerjasama dengan Pemda, sektor swasta, LSM, masayarakat

dan para donator lainnya akan memperkenalkan pendekatan baru dalam mengelola

kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui partisipasi masyarakat dengan cara

yang lebih efisien untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir.

- Masyarakat. Pelatihan bagi masyarakat tentang: (1) konservasi dan

pembangunan terintegrasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; (2)

pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan berdasarkan potensi ekonomi

yang mereka miliki dengan bantuan peningkatan teknologi, keahlian managerial,

kewiraswastaan untuk memperbaiki perekonomian keluarga, peningkatan

partisipasi wanita dalam perekonomian dan pembangunan berkelanjutan.

Page 331: Muara Dadap

312

- Pemerintah daerah. Pelatihan dan bantuan teknik dalam pengelolaan lingkungan

hidup akan diberikan kepada staf Pemda.

- Sektor swasta. Pelatihan bagi pengelola kawasan pariwisata dan kawasan

industri dalam rangka meningkatkan kepedulian mereka terhadap pentingnya arti

pemeliharaan kualitas lingkungan hidup dan membekali mereka dengan

keterampilan mengelola limbah yang di produksi kawasan pariwisata dan kawasan

industri.

PEMBANGUNAN KELEMBAGAAN. Berdasarkan pengalaman proyek pilot,

permasalahan lingkungan hidup di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu tidak

dapat dipecahkan hanya pada tingkat lokal, melainkan kita butuh pemecahan

persoalan yang skalanya regional, Kawasan Metropolitan Jakarta. Hingga saat ini

belum ada satu pun Badan Pemerintah yang berhasil menangani pembangunan dan

pengelolaan Kawasan Jakarta Metropolitan (DKI Jakarta dan beberap[a Dati II di

Jawa Barat) secara keseluruhan. Pada prinsipnya, Badan Kerjasama Pembangunan

Jabotabek (BKSP) adalah satu-satunya badan yang bertanggung jawab atas

koordinasi inter-regional dan inter-sectoral baik antara pemerintah pusat dan

instansi-instansi lain yang terlibat dalam pembangunan Jabotabek. Pada saat ini,

BKSP menghadapi beberapa persolan untuk melaksanakan tugas ini, persoalan

yang dihadapi anatara lain: (1) tidak ada dana khusus yang diperuntukkan bagi

kegiatan BKSP; (2) kegiatan BKSP bertumpang tindih dengan beberapa lembaga

pemerintah lainnya, teurama Bappeda Tkt. I DKI Jakarta dan Jawa Barat; (3)

peran BKSP dalam perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan penyususnan

anggaran pembangunan Jabotabek tidak begitu jelas; dan (4) tidak ada petunjuk

pelaksanaan pembangunan di Jabotabek. Singkatnya BKSP tidak memiliki alat

untuk mengkoordinaksikan dan mengintegrasikan program pembangunan di

Jabotabek. Setelah mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi BKSP, ditarik

kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah perlu memberikan dukungan

kepada lembaga ini (berupa penjelesan statusnya, dukungan politik dan

pendanaan) agar dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik.

Page 332: Muara Dadap

313

KEBERLANJUTAN. Proyek ini bermaksud untuk berkontribusi dalam pelestarian

lingkungan hidup agar tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Pada

akhir 5 tahun pelaksanaan proyek, 2000-2005, diharapkan sistem yang sudah

dibangun akan tetap berjalan secara mandiri meskipun bantuan teknik dari

UNESCO sudah dihentikan.

TRANSFERABILITAS. Proyek "Environmental governance and wise practices

for tropical coastal mega-cities: Sustainable human development of the Jakarta

Metropolitan Area" dapat dengan mudah diterakpan di mega-city tropis lainnya,

tentu sebelumnya harus dilakukan beberap adaptasi (seperti kelembagaan,

kebijaksanaan pembangunan, budaya, dsb.)

PARTISIPASI MASYARAKAT. Proyek ini akan memperkuat jaringan kerja

antara Pemerintah (Pusat dan Daerah), lembaga-lembaga penelitian, universitas,

LSM dan masyarakat dalam rang perumusan kebijasanaan, pelaksanaan dan

pemantauan. Kriteria keberhasilan dari proyek akan dinilai dari : (1) keeratan

kerjasama dalam perumusan peraturan dan kebijaksanaan lingkungan hidup dapat

diukur dari jumlah kelompok kerja yang terlibat dalam kegiatan ini;

(2)peningkatan partisipasi wanita dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dinilai

dari jumlah wanita yang berpartisipasi dalam rapat-rapat kerja, seminar, program

pelatihan; (3) peningkatan penyebaran informasi di bidang lingkungan hidup dapat

dinilai dari (a) jumlah newsletter yang diterbitkan, (b) jumlah seminar, rapat kerja

ataupun pertemuan-pertemuan tentang lingkungan hidup; dan publikasi lainnya

seperti pameran, dsb.

EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PROSES KOMUNIKASI. Komunikasi multi

arah yang mencakup dialog, konsultasi dan diskusi akan digalakkan dalam proyek

ini melalui : Rapat Kerja tahunan antara para pelaku pembangunan, pusat

penduidikan masyarakat, publikasi, brosur, laporan etc.

Page 333: Muara Dadap

314

DESENTRALISASI. Program-program pembangunan di Jabotabek sebagian

besar adalah proyek Pemerintah Pusat, dimana peranan masyarakat dan Pemda

sangat terbatas. Proyek ini menggalakan usaha desentralisasi perencanaan,

penyusunan program, dan realisasi pembangunan. Peranan BKSP dan Pemda

perlu diperkuat unutuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan tingkat hidup

dari masyarakat setempat.

KEBIJASANAAN PEMERINTAH. Akan diberikan bantuan teknik terhadap

beberapa instansi Pemerintah Pusat dan daerah dalam hal: penataan ruang,

evaluasi standar dan norma-norma lingkungan hidup di kawasan pesisir dan

mempersiapkan kebijakaan pemerintaha (pusat dan daerah) dalam pelestarian

lingkungan hidup.

DIMENSI REGIONAL. Rancangan proyek didasarkan atas persepsi bahwa Teluk

Jakarta dan Kepulauan Seribu secara ekologis merupakan bagain yang tak

terpisahkan dara Kawasan Metropolitan Jakarta; dan didasarkan juga atas asumsi

bahwa perusakan lingkungfan hidup di kawasan ini berasal dari permasalahan

pengelolaan.

EVALUASI. Keberhasilan proyek akan diukur dengan kriteria sebagai berikut :

(1) peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan Jakarta,

khususnya kualitas air di Teluk Jakarta; (2) jumlah masyarakat yang secara aktif

berpartisipasi dalam perencaan, pelaksanaan dan pengelolaan lingkungan hidup;

(3) jumlah LSM yang terlibat dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan hidup

di Kawasan Metropolitan Jakarta; dan (4) jumlah kerjasama antara pemda dengan

pihak swasta dan masyarakat dalam perencanaan dan pemantauan lingkungan

hidup.

Messages in This Thread

Page 334: Muara Dadap

315

A regional approach to environmental quality management / Jakarta-Indonesia

(+Bahasa Indonesia)

Yoslan Nur

Bay Management

Ian Dutton

How societal thinking shapes attitudes to resource exploitation /

Indonesia.(+Bahasa Indonesia)

Boedhihartono and Nurlini Kasri

Assessing the way society views natural resources / Indonesia and Russia

Ian Dutton and Michael Shilin

SEND YOUR REACTION/RESPONSES TO THE MODERATOR.

| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |

Page 335: Muara Dadap

6. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Kondisi lingkungan pesisir dan perairan di kawasan Dadap-Kamal Muara

dalam keadaan belum baik. Berdasarkan hasil analisis ketergantungan

daerah perikanan sampai tahun 2003, PPI/TPI Dadap sudah tidak dapat lagi

dipertahankan sebagai tempat pendaratan dan pelelangan ikan, sedangkan

TPI Kamal Muara masih mempunyai ketergantungan yang cukup besar.

(2) Hasil analisis shift share menunjukkan bahwa Kabupaten Tangerang

merupakan wilayah progresif dimana pergeseran bersih bernilai positif,

sedangkan Kota Jakarta Utara merupakan wilayah lamban dimana

pergeseran bersih bernilai negatif. Analisis LQ menunjukkan bahwa

komoditi perikanan di Kabupaten Tangerang dan Kota Jakarta Utara masih

merupakan sektor unggulan. Di Kecamatan Penjaringan, pusat pelayan atau

pusat pengembangan wilayah utama bukan terletak di Kamal Muara tetapi di

Kelurahan Pejagalan dan Kelurahan Pluit, sedangkan untuk Kecamatan

Kosambi, Dadap merupakan pusat pelayanan atau pusat pengembangan,

dengan total jumlah fasilitas mencapai 18 tipe fasilitas

(3) Pemanfaatan lahan di masing-masing kawasan sejauh ini masih perlu

dikoordinasikan secara terpadu, baik secara horizontal (yang menyangkut

masyarakat sekitarnya) maupun vertikal (yang berkaitan dengan pemerintah

pusat dan instansi lainnya), dengan tetap mewadahi aspirasi masyarakat lokal

untuk menghindari terjadinya konflik sosial. Daya tampung PPI/TPI Kamal

Muara dapat ditingkatkan untuk menampung limpahan kapal dari PPI Muara

Angke dan PPI Dadap.

(4) Dimasa yang akan datang, PPI/TPI Dadap lebih baik untuk difungsikan

sebagai pelabuhan yang mendukung aktivitas wisata bahari, sedangkan

PPI/TPI Kamal Muara tetap berfungsi di sektor perikanan sebagaimana

semula. Program pembangunan yang dilakukan di Kawasan Dadap-Kamal

Muara sejauh ini belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan konsep

pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

Page 336: Muara Dadap

255

(5) Opini masyarakat menunjukkan adanya kekhawatiran tentang kondisi

lingkungan pantai dan perairan serta menuntut kepastian program masa

depan sektor perikanan

6.2 Saran

(1) Direkomendasikan bahwa pengembangan selanjutnya untuk TPI Dadap

diharapkan agar diarahkan untuk menjadi suatu pelabuhan terpadu, yang

dapat menangani kegiatan perikanan olah raga (sport fishing), kegiatan kapal

penelitian Baruna Jaya, dan aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan

pariwisata pantai (baik layaran, maupun transportasi ke objek-objek wisata

yang akan dikembangkan.

(2) Untuk TPI Kamal Muara, direkomendasikan untuk dikembangkan sampai

mempunyai kapasitas sama dengan kapasitas TPI Muara Angke, yaitu

sebesar 500 unit kapal ikan dengan bobot rata-rata 50 GT.

(3) Pemindahan kapal ikan, baik dari TPI Dadap (sebanyak 1.500 GT) maupun

dari TPI Muara Angke (sebanyak 1.495 GT), dapat dilakukan secara

bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan fasilitas

pelabuhan di kedua TPI tersebut.

(4) Konsep pembangunan kawasan pesisir terpadu benar-benar harus diterapkan

di kawasan perbatasan ini, dengan mengedepankan prinsip saling mendapat

keuntungan (win-win solution). Tidak perlu dikembangkan suatu kegiatan

yang sama di kedua kawasan perbatasan tersebut tetapi yang lebih baik

adalah kegiatan yang saling mendukung dan saling mengisi.

(5) Beberapa kegiatan pembangunan yang direkomendasikan untuk

dikerjasamakan diantara Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda Kabupaten

Tangerang antara lain:

a. Sektor Perikanan:

Pemda Kabupaten Tangerang

• Instalasi air bersih, pabrik es, mesin penghancur es, cold storage,

memfungsikan gudang untuk produk-produk perikanan, mengganti

fungsi TPI Dadap menjadi pelabuhan wisata pantai dan laut,

Page 337: Muara Dadap

256

pengerukan dasar Kali Perancis secara reguler, Melakukan

penataan lokasi budidaya kerang hijau

Pemkot Jakarta Utara

• Pembangunan fasilitas PPI Kamal Muara, perumahan nelayan,

bengkel mesin dan dock, tempat perbaikan alat tangkap, rumah

sakit, pengerukan dasar Kali Kamal secara reguler,

b. Wisata laut

Pemda Kabupaten Tangerang

• Pendidikan pemandu wisata, menyediakan perahu untuk kegiatan

wisata, rumah makan & restoran seafood, wisma/hotel untuk

wisatawan, toko peralatan wisata laut

Pemkot Jakarta Utara

• Penyiapan objek wisata laut, sarana keselamatan wisata laut,

menyiapkan objek wisata mangrove,

c. Prasarana dan Sarana penangkapan

Pemda Kabupaten Tangerang

• Galangan kapal kayu dan fiber glass

Pemkot Jakarta Utara

• Toko peralatan tangkap, SPBU khusus

d. Kawasan konservasi

Pemda Kabupaten Tangerang

• melakukan koordinasi dengan kecamatan lain yang memiliki

kawasan konservasi yang memungkinkan untuk menjadi objek

wisata alam: Pulau Cangkir (Kec. Kronjo), Tanjung Kait Kec.

Sukajadi, Tanjung Burung dan Tanjung Pasir (Kec. Teluk Naga),

Arukan/Muara dan Salembaran Jati (Kec. Kosambi)

Pemkot Jakarta Utara

• Menyiapkan kawasan mangrove sebagai daerah konservasi,

memelihara areal-areal konservasi laut

Page 338: Muara Dadap

DAFTAR PUSTAKA Adimihardja K. 2006. Jabar-DKI Harus Bekerja Sama. Pikiran Rakyat, Rabu,

22 Pebruari 2006. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/ 022006/22/0902.htm

Adrianto L. 2004. Analisis Penentuan Daerah Perikanan (Fisheries Dependent

Region). Working paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.

Adrianto L. 2007. Naskah Akademik Kelembagaan Tempat Pelelangan (1).

Poster Paper. PKSPL IPB. Adrianto L. 2007a. Naskah Akademik Kelembagaan Tempat Pelelangan (2).

Poster Paper. PKSPL IPB. Adrianto L. 2007b. Naskah Akademik Kelembagaan Tempat Pelelangan (3).

Poster Paper. PKSPL IPB. Alam MF, Omar IH, Squires D.. 2002. Sustainable fisheries development in the

tropics: trawlers and licence limitation in Malaysia. Applied Economics (34) 325-337

Allen, T. F. H., J. A. Tainter, et al. (2003). Supply-side Sustainability. New York,

NY, Columbia University Press. [Anonimous]. 1994. Teluk Jakarta, berubah dari waktu ke waktu.

<[email protected]>. Kompas online. Selasa, 23 Oktober 1994 [Anonimous]. 1996. Kejar Sertifikasi. Media Online. From: apakabar@clark.

net. 29 Mei 1996. [Anonimous]. 1997. Teluk Jakarta, berubah dari waktu ke waktu.

<[email protected]>. Kompas online. 29 April 1997. [Anonimous]. 2002. Keputusan Menteri Perhubungan No. 54 tahun 2002 tentang

Peenyelenggaraan Pelabuhan Laut. [Anonimous]. 2003. Identifikasi dan Penyusunan Program Potensi Sumberdaya

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang.

[Anonimous]. 2003a. Sejarah Terbentuknya Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP). http://www.dkp.go.id/

Page 339: Muara Dadap

258

[Anonimous]. 2003b. Pemerintah Jepang Menyatakan Memberikan Bantuan bagi Pembangunan Sumur Air Umum di Desa Kamal Muara di Jakarta Utara. Press release 2004. http://www.id.emb-japan.go.jp/news.html

[Anonimous]. 2004. Monografi Desa Dadap 2003. Kecamatan Kosambi

Kabupaten Tangerang. [Anonimous]. 2004a. Tindaklanjuti Penghentian Reklamasi Pantai

Dadap. Suara Pembaharuan, 23 Februari 2004 [Anonimous]. 2004b. Perubahan RUTR Pantai Dadap. Suara

Pembaharuan Daily, 23 Februari 2004 16:38. [Anonimous]. 2004c. Sepotong Kisah dari Desa Dadap. Suara Pembangunan

Daily, 16 Maret 2004. [Anonimous]. 2004d. Jakarta Utara Tergenang Akibat Hujan Deras.

Tempo Interaktif. 22 April 2004. [Anonimous]. 2004d. Sejumlah Instansi Saling Tuding Reklamasi Pantai Dadap

Liar. Sinar Harapan, 17 Juni 2004. [Anonimous]. 2004e. Logam Berat, Penyebab Matinya Ikan di Teluk.

Jakarta. Suara Publika, Edisi Juli 2004 [Anonimous]. 2004f. Pemkab Terima Retribusi Ratusan Juta Rupiah.

Sinar Harapan, 06 Agustus 2004 16:38:22 [Anonimous]. 2005a. Jakarta Utara Mulai Diterjang Banjir. Tempo Interaktif.

18 Januari 2005. [Anonimous]. 2005b. Warga Dadap Tak Peduli Ada Reklamasi Pantai. Tempo

Interaktif. 23 Februari 2005. [Anonimous]. 2005c. Warga Dadap Tolak Reklamasi Pantura. Kompas,

Kompas, 23 Februari 2005 [Anonimous]. 2005d. Tangerang Belum Prioritaskan Penanggulangan Banjir

Kamal Malang. Tempo Interaktif. 09 Maret 2005. [Anonimous]. 2005. (http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch6en/conc6en/

landrent.html). [Anonimous]. 2006. Merujuk Sistem TPI Belanakan untuk TA/STA. Agribisnis

Indonesia on line. Down load 5 Julu 2007. http://agribisnis.deptan.go.id/ [Anonimous]. 2006a. Website Resmi Sekretariat Badan Kerjasama

Pembangunan Jabodetabekjur. http://bkspjabodetabekjur.jakarta.go.id/

Page 340: Muara Dadap

259

[Anonimous]. 2006b. Megapolitan Jangan Mencaplok. PIKIRAN RAKYAT Selasa 7 Pebruari 2006 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/ 022006/07/0910.htm

[Anonimous]. 2006c. Fishing Port Douglas. Booklet online. http://www. fishing port douglas. com.au/

[Anonimous]. 2007. Laporan Kegiatan Pemerintahan Kelurahan Kamal Muara

bulan April 2007. Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara.

[Anonimous]. 2007a. Keynote Speech Menteri Kelautan dan Perikanan RI.

"Lokakarya Refleksi Kebijakan Revitalisasi Kelautan dan Perikanan", Jakarta, 15 Januari 2007. http://www.dkp.go.id/

Atmaja SB. 2002. Dinamika Perikanan Purseseine di Laut Jawa dan sekitarnya.

Thesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Bailey C, Jentoft S.. 1990. Hard choices in fisheries development. J. Marine

Policy, July 1990.: 333-344 [BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 2000.

Peta Lingkungan Pantai Indonesia 1:50.000, Lembar LPI 1210-03 Jakarta. Edisi 1 – 2000.

[BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 2001.

Peta Rupabumi Digital Indonesia 1:25.000, Lembar 1209-434 Teluknaga. Edisi 1 – 2001.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Banten. 2001.

Banten Dalam Angka 2000. [BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi Banten. 2004.

Banten Dalam Angka 2003. [BAPPEDA Cilegon] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Cilegon.

2003. Kota Cilegon dalam Angka 2002. [BAPPEDA Lebak] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten

Tangerang. 2001. Revisi RTRW Kabupaten Tangerang. [BAPPEDA Lebak] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lebak.

2003. Kabupaten Lebak dalam Angka 2002. [BAPPEDA Pandeglang]. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten

Pandeglang. 2003. Kabupaten Pandeglang dalam Angka 2002. [BAPPEDA Serang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten

Serang. 2003. Kabupaten Serang dalam Angka 2002

Page 341: Muara Dadap

260

[BAPPEDA Tangerang] Badan Perencanan Pembangunan Daerah Kabupaten

Tangerang. 2002. Peta Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya (2011). [BPRP] Badan Pelaksana Reklamasi Pantura DKI Jakarta, 2001. Studi Kelayakan

Pembangunan Tempat Pendaratan Ikan dan Restoran Nelayan Tradisional Kawasan DAS Kali Kamal Wilayah Jakarta Utara.

[BPS Tangerang] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. 2001. Kosambi

Dalam Angka 2000 [BPS Jakut] Badan Pusat Statistik Kodya Jakarta Utara.. 2001. Penduduk Jakarta

Utara 2000. [BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2003. Tinjauan Ekonomi Regional

DKI Jakarta dan Pulau Jawa-Bali tahun 2001-2002. [BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2004. Jakarta Utara Dalam Angka

2003. [BPS Jakut] Badan Pusat Statistik Kotamadya Jakarta Utara. 2004a Kecamatan

Penjaringan Dalam Angka 2003. Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik

Sumberdaya Pesisir. Sinopsis. PKSPL IPB, Bogor. Beatley T., Brower DJ., Schwab A.. 1999. An Introduction to Coastal Zone

Management. Inland Press, Washington DC. Blair JP. 1991. Urban and Regional Economics. Irwins Inc. 585 pp. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.

Pradnya Paramita, Jakarta. Burak S, Doğan E, Gazioğlu C.. 2004. Impact of urbanization and tourism on

coastal environment. .Ocean & Coastal Management Vol. 47 (2004) 515-527

Charles AT. 1992. Fishery conflicts. A unified framework. J. Marine Policy,

September 1992.: 379-393 Chiang AC. 1992. Elements of Dynamic Optimization. McGraw-Hill, Inc. New

York. Chua TE. 2006. The Dynamics of Integrated Coastal Management: Practical

Aplications in the Sustainable Coastal Development in East Asia. GEF/UNDP/IMO Regional Programme on Building Partnerships in

Page 342: Muara Dadap

261

Environmental Management for the Seass of East Asia (PEMSEA). Quezon City, Philippines.

Cicin-Sain B, Knecht RW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management.

Concepts and Practices. Island Press, Washington DC. CV Indo Buwana, 2000. Peta Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Skala 1:70.000. CV Indo Buwana, Jakarta. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, dan Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Lautan secara Terpadu. PT Pradya Paramita. Jakarta. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.

Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB.

Damai AA. 2003.Pendekatan Sistem untuk Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kota

Bandar Lampung. Thesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Damar A. 2003. Effect of enrichment on nutrient dynamic, phytoplankton

dynamic and productivity in Indonesian Tropical Water: a comparison between Jakarta Bay, Lampung Bay, and Semangka Bay. FTZ-WESTKUESTE. Publication Series No. 29: 199 p.

Darmawan dan Yopi Novita (Editor). 2003. Konsep Pengembangan Sektor

Perikanan dan Kelautan di Indonesia. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.

Damar A. 2004. Kematian Masal Ikan di Teluk Jakarta: antara Limbah Industri

dan Eutrofikasi . PKSPL IPB, Bogor. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan

dan Perikanan Republik Indenesia Nomor PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan.

Desa Dadap. 2004. Monografi Desa Dadap 2003. [DIPERHUT] Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. 2005. Distribusi

hutan mangrove di wilayah DKI Jakarta. Http://www.distanhut.com/ Dinas Tata Ruang dan Bangunan. 2001. Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai

Utara Tahap I Kabupaten Tangerang. Dinas Tata Ruang dan Bangunan, Tangerang.

[Disnakkanlut] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Pemda DKI Jakarta..

2002. Data Perikanan tahun 1992-2001.

Page 343: Muara Dadap

262

[Disnakkanlut] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Pemda DKI Jakarta. 2005. Kumpulan data perikanan DKI Jakarta. : UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)

[Disnakkanlut] Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta.

2006. Potensi Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke.

[Diskan Tangerang] Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang. 2002. Laporan

Perikanan2001. [Diskan Tangerang] Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang. 2003. Laporan

Perikanan2002. [Diskan Banten] Dinas Perikanan Provinsi Banten, 2003. Renstra Dinas

Perikanan dan Kelautan Propinsi Banten [Diskanlut Tangerang] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang.

2004. Data Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kabupaten Tangerang 2003. Djalal H. 2000. Implementasi Konvensi Hukum Laut 1982. Makalah dalam

Seminar Nasional “Mewujudkan Pemerintahan Bahari”, Hotel Savoy Homann Bandung. Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Cimahi.

Dubrocard A, Thoron S. 1998. Strategic aspects of the planning of fishing

harbours. GREQAM, University of Toulon. Toulon. [EC] European Commission. 1999. “Towards a European Integrated Coastal

Zone Management (ICZM) Strategy. General Principles and Policy Options. A reflection paper. Directorates General Environment, Nuclear Safety and Civil Protection; Fisheries; Regional Policies and Cohesion. ICZM in the UK: A stocktake. Final Report. ATKINS. http:/www.defra.gov.uk/environment/water/marine/uk/iczm/stocktake/section 1.pdf.

Ellsworth JP, Hildebrand LP, Glover EA. 1997. Canada’s Atlantic Coastal

Action Program: A community-based approach to collective governance. Ocean & Coastal Management. Vol 36 Nos 1-3, pp 121-142.

[FAO] Food and Agricultural Organization – UN. 1996. Integrasi Perikanan ke

dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir. Terjemahan Tim Ditjenkan dari Integration of Fisheries into Coastal Area Management. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 3. FAO, Rome.

Fauzi A. 2000a. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir. Makalah disampaikan

pada Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Proyek Kerjasama IPB-New Guinea University of Technology. Bogor, 20-25 Maret 2000.

Page 344: Muara Dadap

263

Fauzi A. 2000b. Panduan Pelatihan Pemodelan Optimasi. Institute of Fisheries

Economic and Community Development IPB, Bogor. Fetter FA. 1977. Capital, Interest, and Rent: Essays in the Theory of

Distribution. Editor. Murray N. Rothbard. Kansas City: Sheed Andrews and McMeel, Inc.,

Ford A. 1999. Modeling the Environment: An Introduction to System Dynamics

Modeling of Environmental Systems. Island Press, Washington, DC. Fujita M, Hu D.. 2001. Regional disparity in China 1985-1994: The effect of

globalization and economic libelarization. Ann. Reg. Sci. (2001) 35: 3-37. Fujita M, Krugman P.. 2004. The economic geography: past, present, and future.

Reg. Sci. 83, 139-164 (2004). Girsang P. 1994. Analisis PIR-LOK Kelapa Sawit dalam Hubungannya dengan

Pengembangan Wilayah serta Kaitannya dengan Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan. Tesis. PPS IPB. Bogor.

Grant WE, Pedersen EK,. Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resources

Management: System Analysis and Simulation. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Gray, B. 2006. Ketika-air-mengucur-di-Kamal-Muara. http://sendaljepit.

wordpress.com/. 14Aug06 Hall CAS, Day JW. 1976. Ecosystem Modelling in Theory and Practice: an

introduction with case histories. A Willey-Interscience Publication. John Wiley & Sons, New York.

Hasyim I. 1998. Perencanaan Pembangunan Segara Anakan dalam Rangka

Kerjasama Dua Propinsi (Jabar-Jateng). Makalah pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZPM) Segara Anakan II. 23 September-22 Oktober 1998. PKSPL IPB. Bogor.

Hatziolos ME. 1997. A World Bank Framework for ICZM with Special

emphasis on Africa. Ocean & Coastal Management Vol. 37 No. 3, pp 281-294, 1997

Hoover EM, Giarratani F. 1985. An Introduction to Regional Economics. Third

Edition. Alfred A. Knopf. New York. Hufschmidt MM, James DE, Meister AD, Bower BT,. Dixon JA. 1983.

environment, Natural Systems, and Development. An economic valuation guide. The Johns Hopkins University Press. Baltimore.

Page 345: Muara Dadap

264

Husein, AS. 1997. konflik Pertanahan: Dimensi Keadilan dan Kepentingan Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Idrus, M., G. V. Harder, A. M. Sinaga, D. Y. Flassy, M. Y. Ismail, F. Putturuhu,

Riyadi, Bambang Rianto, A. Nursalman, A. Imbaruddin, dan A. Taufik. 1999. Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Pembangunan Wilayah/PPW (Planning of Regional Development Programmes-PRDP). LAN bekerjasama dengan DSE, Jakarta.

[IMC] Information Media Center. 2006. Nasib nelayan Kamal Muara dan

reklamasi PANTURA. Dikirim oleh : Jakarta IMC Editorial Group - Jakarta IMC pada tanggal : 06-09-2006, 17:38 jakarta / lingkungan hidup / news repo

Jorgensen SE. 1988. Fundamentals of Ecological Modelling. Elsevier,

Amsterdam. Kasimis C, Petrou A.. 2000. Identifying fisheries dependent regions in Greece.

Dalam Symes, D. (eds). Fisheries Dependent Regions. Fishing News Books. Blackwell Science, London.

Klinger T. 2004. International ICZM: in search of successful outcomes. Ocean

& Coastal Management 47 (2004) 195-196. Kramadibrata S. 2002. Perencanaan Pelabuhan. Penerbit ITB, Bandung. Kurniawati W. 2005. Optimisasin Pengembangan Perikanan Purse Seine di PPN

Pemangkat Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Litasari L. 2002. Kajian Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Areal

Budidaya Kerang Hijau (Mytilus viridis) (Kasus di Kelurahan Kamal Muara, Jakarta Utara). Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Lubis E. 2002. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Buku I Bahan Kualiah Program

Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan, Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Lubis E. 2003. Konsep pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan.

Dalam Konsep Pengembangan Sektor Perikanan dan Kelautan di Indonesia. Editor Darmawan dan Yopi Novita. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.

Page 346: Muara Dadap

265

Mahdi MR. 2005. Pengembangan Perikanan Oukat Cincin di Lampulo Kota Banda Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Mahyuddin B. 2007. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep

Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Disertasi. Program Studi TKL, Sekolah Pascasarjana IPB.

Mardiana H. 2005. Tingkat Pendapatan Usaha Nelayan Gill net di Desa

Pangandaran Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan FPIK IPB, Bogor.

McCann P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press. McCann P,. Shefer D. 2004. Location, agglomeration, and infrastructure. Papers

Reg. Sci. 83, 177-196 McClave JT, Benson PG. 1988. Statistics. Forth Edition. Dellen Publishing

Company, San Francisco. Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Edisi Pertama. BPFE,

Yogyakarta. Muhartono R. 2004. Alternatif Pola Bagi Hasil Nelayan Gillnet di Muara Baru

Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan FPIK IPB, Bogor.

Murdiyanto B. 2004. Pelabuhan Perikanan: Fungsi, Fasilitas, Panduan

Operasional, Antrian Kapal. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Nawawi HH. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. ISBN 979-420-064-6.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Northam RM. 1975. Urban Geography. Oregon State University, John Wiley

&nSon, Inc. USA. Nur Y, I Dutton, Boedhihartono, N Kisri, Michael Shilin, 1999. A regional

approach to environmental quality management; Bay Management; How societal thinking shapes attitudes to resource exploitation; Assessing the way society views natural resources. Wise Coastal Practices for Sustainable Human Development Forum. http://www.csiwisepractices.org/?read=73

Nurhayati I. (2003). Reklamasi pantura Jakarta hanya menuai masalah.

Disarikan dari Perkembangan Advokasi Reklamasi Pantura Jakarta-Walhi,

Page 347: Muara Dadap

266

oleh Slamet Daroyni. Buletin Walhi, 6 Mei 2003. http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/pela_patura_maslh_060503/#top

[ODL] Open Distance Learning. 1999. What is the scalogram used for? ,

http://www.mathpsyc.uni-bonn.de/doc/Maris/ node4. html. Parikesit D. 2002. A proposal for measuring land development benefit in urban

road project: a case of Padang, West Sumatera. Centre for Transportation and Logistics Studies Gadjah Mada University. http://lib.itenas.ac.id/Jurnal/ volume_8/ No_3_8/6_3_8.htm as retrieved on 22 Dec 2005 11:39:14 GMT.

Petrucci A. 2003. Taxing Land Rent in an Open Economy. NOTA DI LAVORO

63.2003, JULY 2003. SIEV – Sustainability Indicators and Environmental Valuation. Università del Molise and LUISS G. Carli.

Pickave AH, Gilbert C, Breton F. 2004. An indicator set to measure the progress

in the implementation of integrated coastal management in Europe. Ocean & Coastal Management 47 (449-462)

[PKSPL IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian

Bogor. 2000. pengembangan Pelabuhan Perikanan di Pantai Utara Pulau Jawa serta Sistem Data Informasi. Kerjasama antara PKSPL IPB dengan Ditjen Perikanan Departemen Perikanan.

Phillipson J. 2000. Delimiting fisheries dependent regions: the problem of

inadequate data. Dalam Symes, D. (eds). Fisheries Dependent Regions. Fishing News Books. Blackwell Science, London.

Pomeroy RS, McConney P, Mahon R. 2004. Comparative analysis of coastal

resource co-management in the Carribean. Ocean & Coastal Management 47 (429-447)

[PPLH IPB] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor. 1997.

Laporan AMDAL Pelabuhan Kapal Riset Barauna Jaya. PPLH IPB. Bogor.

Rustiadi E, Medrial A, Trisasongko BH, Shidiq D, Hidayat J., Radnawati D,

Panuju D. 2002. Kajian Pemanfaatan Ruang Jabotabek. BAPPEDA Propinsi DKI Jakarta dan LP IPB., Bogor

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D.. 2003. Perencanaan Pengembangan

Wilayah, Konsep Dasar dan Teori. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Ruth M, Hannon. 1997. Modeling Dynamic Economic Systems. Springer, New

York.

Page 348: Muara Dadap

267

Scialabba N (ed). 1998. Integrated Coastal Area Management and Agriculture, Forestry and Fisheries. FAO Guidelines. Environment and Natural Resources Service, FAO, Rome. 256p

Serageldin I. 1994. Making Development Sustainable. Dalam Making

Development Sustainable; from concepts to action. Editor Ismail Serageldin dan A. Steer. Environmentally Sustainable Development Occasional Paper Series No. 2.

Setyobudiandi I. 2004. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Kerang Hijau

(Perna viridis L. 1758) pada Kondisi Perairan Berbeda. Disertasi. Program Studi Biologi Program Pascasarjana IPB.

Silver C. 2003. Do the donors have it right? Decentralization and changing local

governance in Indonesia. Ann. Reg. Sci. (2003) 37: 421-434. Sinar Harapan. 18 Oktober 2002. Ditertibkan, wanita PSK. Sinar Harapan, 17 Juni 2004. Sejumlah instansi saling tuding, Reklamasi Pantai

Dadap liar. Sinar Harapan. 24 Juni 2004a. Akibat reklamasi liar, Pantai Dadap dicemari

limbah B3. Solihin I. 2003. Masalah dan Upaya Optimalisasi Usaha Perikanan Tangkap:

Suatu Tinjauan Kebijakan. Dalam Konsep Pengembangan Sektor Perikanan dan Kelautan di Indonesia. Editor Darmawan dan Yopi Novita. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.

Sondita F et al. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap: Menuju

Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB.

Sorensen, JC. dan ST McCreary. 1990. “Institutional arrangements for managing

coastal resources and environments”. 2nd edition. COAST. Renewable Resources Information Series. Coastal Management Publication No. 1. National Park Service, US Department of the Interior and US Agency for International Development.

Subagjo S et al. 2005. Seratus Tahun Lembaga Penelitian Bidang Ilmu Kelautan

LIPI 1905-2005. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta Sudara S. 1999. Who and what is to be involved in succesful coastal zone

management: a Thailand example. Ocean & Coastal Management Vol. 42 (1999) 39-47

Page 349: Muara Dadap

268

[Sudinkan] Suku Dinas Perikanan Jakarta Utara. 1996. Laporan Tahunan

1995/1996. Suku Dinas Perikanan Kotamadya Jakarta Utara. Suparmoko. 1994. ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu

Pendekatan Teoritis. Edisi 3. BPFE – Yogyakarta. Surya N. 2004. Analisis Permintaan Solar oleh Unit Penangkapan Ikan di PPI

Muara Angke Jakarta Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan FPIK IPB, Bogor.

Suzuki T. 2003. Economic and geographic backgrounds of land reclamation in

Japanese port. Marine Pollution Bulletin 47 (2003) 226-229 Symes D. (Ed). 2000. Fisheries Dependent Regions. Fishing News Books,

London. [TPI] Tempat Pelelangan Ikan Dadap. 1996. Laporan Proses Pelelangan di TPI

Dadap. Tangerang. [UPC] Urban Poor Consortium. 2005. (Sabtu, 9 April 2005) Widjayanto. 2004. Empat Tahap Resolusi Konflik. Tempo Interaktif (Kamis, 17

Juni 2004, 12:51 WIB). Winoto, J. 1998. Prinsip-prinsip Dasar Alokasi Ruang: Prinsip pendampingan

untuk Land Rent. Dalam Pengembangan Wilayah. Dipersiapkan oleh Joyo Winoto, Ph. D. dan Mahasiswa PWD '98. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah & Perdesaan PPs IPB.

Winoto J. 1998/1999. Pembangunan dan Sistem nilai Masyarakat. Dalam Bahan

Kuliah (tambahan) Perencanaan Ekonomi Regional dan Perdesaan (PWD 512). Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah & Perdesaan PPs IPB.

Winoto J. 1999/2000. Pengertian Wilayah. Dalam Pengembangan Wilayah.

Dipersiapkan oleh Joyo Winoto, Ph. D. dan Mahasiswa PWD '98. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah & Perdesaan PPs IPB.

Wong PP. 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia: relevance and

lessons for coastal zone management. Ocean & Coastal Management Vol. 38 (1998) 89-109.

Page 350: Muara Dadap

Lampiran 1. Hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dengan menggunakan WSA program

Weighted sum approach - WSAThe decision problem with 2 alternatives and 8 criteria

date 7/21/05 - 12:37:50 PM

Data 1999Input data set:

MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAXRN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI

Dadap 0,00053 0,00106 0,293289 0,317582 1,75E-05 3,90E-06 1,20E-06 3,99E-07Kamal Mua 0,000654 0,001091 0,002681 0,316967 5,43E-05 1,01E-06 2,71E-06 9,05E-07

Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RIDadap 0,00053 0,00106 0,293289 0,317582 1,75E-05 3,90E-06 1,20E-06 3,99E-07Kamal Mua 0,000654 0,001091 0,002681 0,316967 5,43E-05 1,01E-06 2,71E-06 9,05E-07Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Ideal 0,000654 0,001091 0,293289 0,317582 5,43E-05 3,9E-06 2,71E-06 9,05E-07Basal 0,00053 0,00106 0,002681 0,316967 1,75E-05 1,01E-06 1,2E-06 3,99E-07

Normalised criterion matrix R:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,00000 0,46154Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,53846Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Page 351: Muara Dadap

2 Lanjutan Lampiran 1.

Weighted sum approach - WSAThe decision problem with 2 alternatives and 8 criteria

date 7/21/05 - 12:38:55 PM

Data 2000Input data set:

MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAXRN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI

Dadap 0,000505 0,00101 0,215112 0,321111 1,45E-05 3,86E-06 7,60E-07 3,80E-07Kamal Mua 0,000643 0,001286 0,004933 0,316691 5,38E-05 2,98E-06 2,69E-06 8,97E-07

Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RIDadap 0,000505 0,00101 0,215112 0,321111 1,45E-05 3,86E-06 7,60E-07 3,80E-07Kamal Mua 0,000643 0,001286 0,004933 0,316691 5,38E-05 2,98E-06 2,69E-06 8,97E-07Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Ideal 0,000643 0,001286 0,215112 0,321111 5,38E-05 3,86E-06 2,69E-06 8,97E-07Basal 0,000505 0,00101 0,004933 0,316691 1,45E-05 2,98E-06 7,6E-07 3,8E-07

Normalised criterion matrix R:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,00000 0,46154Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,53846Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Page 352: Muara Dadap

2

Weighted sum approach - WSAThe decision problem with 2 alternatives and 8 criteria

date 7/21/05 - 12:41:00 PM

Data 2001Input data set:

MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAXRN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI

Dadap 0,000468 0,000936 0,240705 0,317181 1,26E-05 2,99E-06 6,96E+00 3,49E-07Kamal Mua 0,000632 0,001264 0,01125 0,317101 4,76E-05 4,86E-06 2,64E-06 8,82E-07

Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RIDadap 0,000468 0,000936 0,240705 0,317181 1,26E-05 2,99E-06 6,96E+00 3,49E-07Kamal Mua 0,000632 0,001264 0,01125 0,317101 4,76E-05 4,86E-06 2,64E-06 8,82E-07Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Ideal 0,000632 0,001264 0,240705 0,317181 4,76E-05 4,86E-06 6,9607 8,82E-07Basal 0,000468 0,000936 0,01125 0,317101 1,26E-05 2,99E-06 2,64E-06 3,49E-07

Normalised criterion matrix R:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,34615Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,65385Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Lanjutan Lampiran 1.

Page 353: Muara Dadap

2 Lanjutan Lampiran 1.

Weighted sum approach - WSAThe decision problem with 2 alternatives and 8 criteria

date 7/21/05 - 12:42:11 PM

Data 2002Input data set:

MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAXRN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI

Dadap 0,000442 0,000884 0,236259 0,316832 4,7E-05 2,43E-06 6,54E-07 3,27E-07Kamal Mua 0,000622 0,001244 0,009553 0,317505 4,7E-05 4,09E-06 2,61E-06 8,7E-07

Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RIDadap 0,000442 0,000884 0,236259 0,316832 4,7E-05 2,43E-06 6,54E-07 3,27E-07Kamal Mua 0,000622 0,001244 0,009553 0,317505 4,7E-05 4,09E-06 2,61E-06 8,7E-07Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Ideal 0,000622 0,001244 0,236259 0,317505 4,7E-05 4,09E-06 2,61E-06 8,7E-07Basal 0,000442 0,000884 0,009553 0,316832 4,7E-05 2,43E-06 6,54E-07 3,27E-07

Normalised criterion matrix R:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,30769Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,00000 1,00000 1,00000 1,00000 0,69231Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

2 8

Page 354: Muara Dadap

Lanjutan Lampiran 1.

Weighted sum approach - WSAThe decision problem with 2 alternatives and 8 criteria

date 7/21/05 - 12:43:40 PM

Data 2003Input data set:

MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAXRN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI

Dadap 0,000424 0,000848 0,196567 0,151343 4,39E-05 2,08E-06 6,28E-07 3,14E-07Kamal Mua 0,000611 0,001222 0,009063 0,317419 5,03E-05 4,41E-06 2,56E-07 8,55E-07

Bobot 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 8,00000 2,00000 2,00000

Modified input data set:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RIDadap 0,000424 0,000848 0,196567 0,151343 4,39E-05 2,08E-06 6,28E-07 3,14E-07Kamal Mua 0,000611 0,001222 0,009063 0,317419 5,03E-05 4,41E-06 2,56E-07 8,55E-07Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846

Ideal 0,000611 0,001222 0,196567 0,317419 5,03E-05 4,41E-06 6,28E-07 8,55E-07Basal 0,000424 0,000848 0,009063 0,151343 4,39E-05 2,08E-06 2,56E-07 3,14E-07

Normalised criterion matrix R:MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

RN RM RPI RK RTKP KPI RKK RI u(alt)Dadap 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,00000 0,00000 1,00000 0,00000 0,19231Kamal Mua 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 1,00000 1,00000 0,00000 1,00000 0,80769Weights 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,15385 0,03846 0,03846