modul manajemen keuangan publikrepository.unja.ac.id/2015/1/modul manajemen keuangan...dalam...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
1
BAB I
KONTRAK BELAJAR
Tujuan Instruksional Khusus :
Setelah menyelesaikan Bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menentukan target nilai yang akan dicapai pada mata kuliah Manajemen Keuangan
Publik.
2. Menuliskan rencana belajar untuk mencapai target nilai.
1.1. Pengantar
Dalam organisasi sektor publik, keuangan publik merupakan salah satu unit
penting dari kebijakan publik. Yakni bagaimana pendapatan dapat diperoleh dan
dibelanjakan, serta permasalahan siapa memperoleh apa. Hal ini sangat terkait dengan
beberapa standar/prinsip penting dalam mengelola/memanage keuangan publik seperti:
efsiensi, ekonomis,efektif, transparan, profesional, akuntabilitas, keadilan, dan lain
sebagainya. Pembahasan tentang keuangan publik, tidak hanya menyangkut hal teknis
administratif, namun juga politik dan perencanaan anggarannya (penganggaran).
Kelas Manajemen Keuangan Publik ini menggunakan pembelajaran andragogi
dengan pendekatan student center. Dikelas ini peserta didik dituntut untuk terlibat
secara aktif dalam setiap sesi materi dan kemudian disetiap akhir sesi menyimpulkan
secara aktif hasil pembahasan setiap materi. Untuk mewujudkan sebuah kelas student
Center, maka dua hal penting yang harus dilakukan oleh peserta didik kelas ini
sebelum mulai membuka lembaran modul ini lebih lanjut adalah :
1. Menentukan tujuan/menetapkan target
2. Membuat rencana untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
1.2. Rencana Belajar
Oleh karena itu :
Tentukan target anda pada mata kuliah ini dengan menjawab pertanyaan Berapa nilai
yang anda harapkan? .......................................................................................................
..........................................................................................................................................
Apa rencana belajar/aksi untuk mencapai nilai tersebut?
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
2
1.3. Pelacakan Motivasi
Setelah selesai kuliah/menjadi sarjana, anda mau jadi apa? atau mau bekerja dimana?...
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
Mengapa? Jelaskan jawaban anda! .................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
3
BAB II
TINJAUAN UMUM MATA PELAJARAN
2.1. Latar Belakang
Tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam suatu negara
merupakan suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Pemerintah wajib menerapkan
kaidah-kaidah yang baik dalam menjalankan operasional pemerintahan, termasuk
di dalamnya kaidah-kaidah di bidang pengelolaan keuangan negara yang
diwujudkan dalam bentuk penerapan prinsip good governance. Dalam rangka
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itulah, pemerintah Republik
Indonesia telah melakukan reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara.
Reformasi pengelolaan keuangan ini antara lain dilatarbelakangi peraturan
perundang-undangan di bidang keuangan yang masih berlandaskan pada
ketentuan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial. Pertimbangan lain
yang tidak kalah penting dalam melakukan reformasi adalah perubahan sistem
pemerintahan. Era otonomi daerah yang dimulai 1 Januari 2001 berdampak pada
perubahan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Jika sebelumnya pengelolaan
keuangan negara didominasi oleh peran pusat, sistem otonomi daerah dengan
prinsip money follows function mengharuskan peran daerah yang lebih besar.
Sebagian besar urusan fungsi pemerintahan yang menyangkut pelayanan dasar
diserahkan penanganannya kepada pemerintah daerah. Sebagai akibatnya,
anggaran yang digunakan untuk belanja atas pelayanan-pelayanan dasar wajib
diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, makin
besar belanja negara yang dikelola oleh pemerintah daerah sehingga diperlukan
suatu metode pengawasan yang memadai. Salah satu bentuknya adalah
keterlibatan masyarakat/stakeholder.
Keterlibatan masyarakat ini juga seiring dengan makin besarnya porsi pajak
dalam mendanai operasional pemerintahan. Sumber daya alam yang selama ini
besar porsinya dalam penerimaan negara makin lama makin berkurang oleh
karena jumlah sumber yang terbatas. Pada satu pihak, biaya penyelenggaraan
pemerintahan semakin besar. Satu-satunya sumber adalah pajak dari masyarakat.
Agar masyarakat tidak merasa dirugikan, maka diperlukan suatu
pertanggungjawaban penggunaan pajak dari masyarakat oleh pemerintah dengan
transparan.
Berkenaan dengan perubahan paradigma sistem pemerintahan dan tuntutan
masyarakat, maka perlu dilakukan reformasi di bidang keuangan sebagai
perangkat pendukung terlaksananya penerapan good governance dan otonomi
daerah. Reformasi pengelolaan keuangan dilakukan dengan cara:
Penataan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum;
Penataan kelembagaan;
Penataan sistem pengelolaan keuangan negara; dan
Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan.
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
4
Dengan demikian reformasi manajemen keuangan ini tidak hanya
melibatkan Pemerintah Pusat dalam pelaksanaannya, tetapi sekaligus berlaku
bagi Pemerintah Daerah.
2.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran Umum:
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa mampu memahami pengelolaan
keuangan negara, termasuk keuangan daerah secara umum dan mampu
memahami akuntansi pemerintahan.
Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mempelajari modul ini diharapkan mahasiswa:
a. Memahami garis besar lingkup pengelolaan keuangan negara/daerah;
b. Memahami siklus keuangan negara/daerah;
c. Memahami jenis-jenis laporan keuangan negara/daerah; dan
d. Memahami proses pertanggungjawaban keuangan negara/daerah.
2.3. Deskripsi Ringkas
Materi Modul Pandangan Umum Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah dan
Laporan Pertanggungjawaban Keungan ini disusun dalam rangka memberikan
pemahaman umum mengenai keuangan negara/daerah. Materi dimulai dengan
perkembangan reformasi dan aspek utama manajemen keuangan daerah, dasar hukum
pengelolaan keuangan negara/daerah, Pengertian dan ruang lingkup Keuangan
negara/daerah yang meliputi azas-azas umum pengelolaan keuangan negara, dan
kekuasaan pengelolaan keuangan negara/daerah. Selanjutnya diuraikan siklus
keuangan daerah, yang meliputi perencanaan/penganggaran, perbendaharaan
(pelaksanaan anggaran), Akuntansi, Pemeriksaan, dan Pertanggungjawaban.
2.4. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran dalam perkuliahan ini dilakukan dengan cara
pemaparan konsep-konsep pokok undang-undang di bidang keuangan negara
(UU 17/2003, UU 1/2004, UU 15/2004) sebagaimana diatur pula untuk
keuangan daerah dalam UU 32/2004 dan UU 33/2004. Keberhasilan
pembelajaran ini juga sangat tergantung pada partisipasi aktif dari para
mahasiswa di dalam aktivitas diskusi dan tanya jawab.
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
5
BAB III
REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
3.1. Perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Jika dilihat dari aspek historis, perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah
di Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu: 1) era pra-otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal (1974-1999), 2) era transisi otonomi (2000-2003), dan 3) era
pascatransisi (2004-sekarang). Era pra otonomi daerah merupakan pelaksanaan
otonomi ala Order Baru berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 yang bersifat sentralistis,
top down planning dan budgeting, penggunaan anggaran tradisional, rezim anggaran
berimbang (balanced budget), sistem pembukuan tunggal (singlet entry) dan akuntansi
basis kas (cash basis).
Era otonomi semu ini berlangsung selama 25 tahun sampai dengan pelaksanaan
otonomi luas dan nyata berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun
1999 yang bersifat desentralisasi, bottom up (paticipative) planning&budgeting,
penggunaan berbasis kinerja, sistem pembukuan berpasangan (doble entry
bookkeeping), dan akuntansi basis kas modifikasi (modified cash basis).
Reformasi manajemen keuangan daerah mulai dilaksanakan setelah
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Sebagai upaya
konkret, pemerintah mengeluarkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP No. 108 Tahun 2000 tentang
Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Secara
bertahap pemerintah mengganti model tata buku sebagaimana dalam Manual
Administrasi Keuangan Daerah menjadi sistem akuntansi, pemerintah mengeluarkan
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Kepmendagri tersebut menandai era transisi
otonomi menuju sistem yang lebih ideal.
Era transisi otonomi dalah masa antara tahun 2000 hingga 2003 yang merupakan
masa awal implementasi otonomi daerah. Masa otonomi ini ditandai dengan masih
belum mantapnya perangkat hukum, kelembagaan, infrastruktur, dan sumber daya
manusia (SDM) daerah dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah.
Era pascatransisi adalah masa setelah diberlakukannya paket peraturan
perundangan yang merupakan suatu peraturan menyeluruh dan komprehensif
(omnibus regulations) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pengauditan,
dan evaluasi kinerja atas pengelolaan keuangan daerah. Paket peraturan perundangan
yang merupakan omnibus regulations itu antara lain:
1. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menggantikan Indische
Comptabiliteitswet (ICW) warisan Pemerintah Hindia Belanda
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
3. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
4. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
5. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (revisi UU No. 22 Tahun
1999)
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
6
6. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (revisi UU No. 25 Tahun 1999)
7. PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
8. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
9. PP No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
10. PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
(LPPD) Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)
Kepada DPRD, dan Informasi KPPD Kepada Masyarakat
11. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
12. Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 13
Tahun 2006.
Tabel 3.1 Perkembangan Peraturan Perundangan Terkait
Manajemen Keuangan Daerah
Pra-otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Transisi Otonomi (Reformasi Tahap I)
Pascatransisi Otonomi (Reformasi Tahap II)
3.2. Asfek Utama Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Asfek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi:
Perubahan sistem anggaran dari sistem anggaran tradisional menjadi sistem
anggaran berbasis prestasi kerja;
Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari sistem sentralisasi
pada bagian keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-
masing satuan kerja;
Perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal (single entry
bookkeeping) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry bookkeeping);
Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis akrual
(accrual basis).
UU No. 5 Tahun 1974
PP No. 5 Tahun 1975 PP No. 6 Tahun 1975
Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA 1981)
UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 25 Tahun 1999
PP No. 105 Tahun 2000 PP No. 108 Tahun 2000
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002
Peraturan Daerah: Pokok-pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah
Peraturan KDH
UU No. 17 Tahun 2003 UU No. 1 Tahun 2004 UU No. 15 Tahun 2004 UU No. 25 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 33 Tahun 2004
UU No. 24 Tahun 2005 UU No. 58 Tahun 2005
Permendagri No. 13 Tahun 2006 (Direvisi Menjadi Permendagri No. 59 Tahun 2007)
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
7
Perubahan Sistem Anggaran
Perubahan proses penganggaran terkait dengan perubahan proses penyusunan
anggaran yang sebelumnya bersifat sentralistis dan top down diubah menjadi sistem
anggaran partisipatif (bottom up/participative budget). Sebelumnya program
pembangunan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat melalui Bappenas, maka
dengan otonomi luas dan nyata pemerintah daerah diberi kewenangan penuh untuk
menentukan program pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Perubahan sistem anggaran tidak saja menyangkut proses penganggaran, tetapi
juga perubahan struktur anggaran. Struktur anggaran diubah dari struktur anggaran
tradisional dengan pendekatan anggaran berimbang menjadi struktur anggaran baru
dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja (performance based
budgeting).
Tabel 3.2 Struktur Anggaran Tradisional
PENDAPATAN JUMLAH BELANJA JUMLAH
A. PENERIMAAN DAERAH A. BELANJA RUTIN I. PENDAPATAN ASLI DAERAH a. Belanja Pegawai XXX
a. Pajak Darah XXX b. Belanja Barang XXX b. Retribusi Darah XXX c. Belanja Pemeliharaan XXX c. Bagian Laba Perusahaan Darah XXX d. Belanja Perjalanan Dinas XXX d. Lain-lain PAD XXX e. Belanja Lain-lain XXX
II. BAGI HASIL f. Belanja Angsuran Utang/Bunga XXX a. PBB XXX g. Belanja Pensiun XXX b. PBB-KB XXX h. Belanja Ganjaran, Subsidi, dan Sumbangan XXX c. BPHTB XXX i. Pengeluaran yang tidak termasuk bagian
lain.
XXX d. Bukan Pajak XXX j. Pengeluaran yang tidak terduga XXX
III. SUMBANGAN DAN BANTUAN a. Subdisi XXX B. BELANJA PEMBANGUNAN b. Ganjaran XXX a. Industri XXX c. Bantuan Desa XXX b. Pertanian dan kehutanan XXX d. Sumbangan Dati I XXX c. Sumber Daya Air dan Irigasi XXX e. Dana Pembangunan Dati II XXX d. Tenaga Kerja XXX f. Bantuan APBD TK I XXX e. Perdagangan, Pengembangan Usaha
Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi
XXX g. Bantuan Luar Negeri XXX f. Transportasi XXX g. Pertambangan dan Energi XXX
B. PENERIMAAN PEMBANGUNAN h. Pariwisata dan Telekomunikasi XXX a. Pinjaman PEMDA XXX i. Bangda XXX b. Pinjaman BUMD XXX j. Lingkungan Hidup dan Tata Ruang XXX
k. Pendidikan dan Kebudayaan XXX C. KAS DAN PERHITUNGAN XXX l. Kependudukan XXX m. Kesehatan/Kesra XXX n. Permukiman XXX o. Agama XXX p. IPTEK XXX q. Aparatur Pemerintah XXX r. Politik XXX s. Kamtib. Umum XXX t. Program Daerah XXX u. Bantuan Pembangunan Daerah Bawahan XXX
Total Penerimaan XXX Total Pengeluaran XXX
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
8
Tabel 3.3 Struktur Anggaran Kinerja berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002
dan Permendagri No. 59 Tahun 2007
KEPMENDAGRI NO. 29 TAHUN 2002 PERMENDAGRI NO. 59 TAHUN 2007
PENDAPATAN PENDAPATAN Pendapatan Asli Daerah XXX Pendapatan Asli Daerah XXX Dana Perimbangan XXX Dana Perimbangan XXX Lain-lain Pendapatan yang Sah XXX Lain-lain Pendapatan yang Sah XXX Total Pendapatan XXX Total Pendapatan XXX BELANJA BELANJA BELANJA APARATUR BELANJA TIDAK LANGSUNG A. Belanja Administrasi Umum: Belanja Pegawai XXX
- Belanja Pegawai XXX Belanja Bunga XXX - Belanja Barang dan Jasa XXX Belanja Subsidi XXX - Belanja Perjalanan Dinas XXX Belanja Hibah XXX - Belanja Pemeliharaan XXX Belanja Bantuan Sosial XXX
B. Belanja Operasi dan Pemeliharaan: Belanja Bagi Hasil XXX - Belanja Pegawai XXX Belanja Bantuan Keuangan XXX - Belanja Barang dan Jasa XXX Belanja Tidak Terduga XXX - Belanja Perjalanan Dinas XXX Total Belanja Tidak Langsung XXX - Belanja Pemeliharaan XXX
C. Belanja Modal XXX BELANJA LANGSUNG Belanja Pegawai XXX
BELANJA PUBLIK Belanja Barang dan Jasa XXX A. Belanja Administrasi Umum: Belanja Modal XXX
- Belanja Pegawai XXX Total Belanja Langsung XXX - Belanja Barang dan Jasa XXX - Belanja Perjalanan Dinas XXX TOTAL BELANJA XXX - Belanja Pemeliharaan XXX
B. Belanja Operasi dan Pemeliharaan: SURPLUS/(DEFISIT) XXX - Belanja Pegawai XXX - Belanja Barang dan Jasa XXX PEMBIAYAAN - Belanja Perjalanan Dinas XXX Penerimaan Pembiayaan - Belanja Pemeliharaan XXX Penggunaan SILPA Tahun Lalu XXX
C. Belanja Modal XXX Pencairan Dana Cadangan XXX D. Belanja Bantuan Keuangan XXX Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX E. Belanja Tak Terduga XXX Pinjaman Daerah XXX Penerimaan Kembali Pinjaman (Piutang) XXX TOTAL BELANJA XXX Total Penerimaan Pembiayaan XXX SURPLUS/(DEFISIT) XXX Pengeluaran Pembiayaan Pembentukan Dana Cadangan XXX PEMBIAYAAN Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX Penerimaan Pembiayaan Pembayaran Pokok Pinjaman XXX SILPA Tahun Lalu XXX Pemberian Pinjaman XXX Transfer dari Dana Cadangan XXX Total Pengeluaran Pembiayaan XXX Penerimaan Pinjaman XXX Penjualan Aset Tetap XXX PEMBIAYAAN NETTO XXX Total Penerimaan Pembiayaan XXX SILPA Tahun Berkenaan XXX Pengeluaran Pembiayaan SILPA Tahun Berkenaan XXX Transfer Ke Dana Cadangan XXX Pembayaran Pokok Pinjaman XXX Penyertaan Modal XXX Total Pengeluaran Pembiayaan XXX TOTAL PEMBIAYAAN XXX
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
9
Perubahan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Beberapa perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah:
a. Perubahan pengelolaan keuangan di daerah dari sistem sentralisasi pada bagian
keuangan sekretariat daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing satuan
kerja.
b. Pejabat yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah meliputi:
1. Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
2. Sekretariat Daerah selaku kuasa pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah sekaligus merupakan koordinator pengelolaan keuangan daerah.
3. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (Biro/Bagian Keuangan) selaku
pejabat pengelola keuangan daerah (PPKD) sekaligus merupakan bendahara
umum daerah (BUD)
4. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran/pengguna
barang
5. Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK-SKPD)
7. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD
8. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran Pembantu
9. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
b. Digabungkannya fungsi pemungutan pendapatan daerah yang dilakukan oleh Dinas
Pendapatan Daerah dengan fungsi pengendalian belanja yang dilakukan oleh
Biro/Bagian Keuangan dalam satu lembaga, yaitu Badan Pengelola Keuangan
Daerah (BPKD). Hal ini di maksudkan agar perencanaan dan pengendalian
keuangan daerah menjadi lebih mudah dilakukan, komprehensif, dan tidak
terfragmentasi.
Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah
Perubahan sistem akuntansi keuangan daerah dari sistem Single entry kepada
sistem doble entry.
Single entry : Sistem pencatatan single entry sering disebut juga dengan sistem tata
buku tunggal atau tata buku. Dalam sistem ini, pencatatan transaksi
ekonomi dilakukan dengan mencatatnya satu kali. Transaksi yang
berakibat bertambahnya kas akan dicatat pada sisi penerimaan dan
transaksi yang berakibat berkurangnya kas akan dicatat pada sisi
pengeluaran.
Double entry : Sistem pencatatan double entry sering disebut juga dengan sistem tata
buku berpasangan. Menurut sistem ini, pada dasarnya suatu
transaksi ekonomi akan dicatat dua kali. Pencatatan dengan sistem
ini disebut dengan istilah menjurnal. Dalam pencatatan tersebut, sisi
Debit berada di sebelah kiri sedangkan sisi Kredit berada di sebelah
kanan. Setiap pencatatan harus menjaga keseimbangan persamaan
dengan akuntansi. Persamaan dasar ekuntansi merupakan alat bantu
untuk memahami sistem pencatatan ini.
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
10
Perubahan dari Basis Kas Menuju Akrual (Cash Towards Accrual)
Basis pencatatan akuntansi yang bisa dipilih oleh pemerintah daerah, antara lain :
1. Akuntansi basis kas (cash basis): Basis akuntansi yang mengakui pengaruh
transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau
dibayar yang digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan.
2. Akuntansi basis kas modifikasian (modifiedcash basis) : Basis Kas Modifikasi
mengakui pembayaran dalam periode pelaporan atas jumlah yang
dikeluarkan/dibelanjakan selama periode pelaporan ditambah periode dimana arus
kas terjadi dalam jangka waktu tertentu setelah tanggal pelaporan (misalnya, 60
hari) yang berhubungan dengan kejadian atau transaksi yang terjadi selama
periode pelaporan. Basis kas modifikasi gagal untuk mengidentifikasi atau
merekam secara akrual dari setiap kewajiban jangka panjang, seperti kewajiban
pensiun. Selain itu, dalam basis kas atau basis kas modifikasi pembayaran hutang
akuntansi atau investasi dalam aset keuangan termasuk dalam belanja ketika
melaporkan hasil usaha, sedangkan di basis akrual dimodifikasi atau dasar akrual
penuh hal tersebut tidak akan diakui sebagai belanja atau beban
3. Akuntansi basis akrual modifikasian (modifiedaccrual basis) : Dengan basis
akuntansi akrual modifikasi, belanja dibandingkan beban yang umumnya dianggap
sebagai elemen. Belanja adalah beban yang terjadi selama periode terkait dengan
perolehan barang dan jasa, terlepas dari pembayaran telah maupun tidak dibuat,
dan termasuk jumlah ditransfer atau oleh karena penerimaan manfaat oleh yang
berhak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Tidak seperti basis kas dan basis kas
modifikasi, pengakuan belanja tidak bergantung pada waktu arus kas terkait.
Namun, tidak ada penangguhan beban yang akan dikonsumsi di masa mendatang;
aset fisik yang akan memberikan layanan selama beberapa periode yang akan
datang dihapuskan pada periode yang diakuisisi. Oleh karena itu, belanja
cenderung mencerminkan beban sumber daya yang diperoleh dan / atau dialihkan
selama periode daripada beban sumber daya yang dikonsumsi dalam penyediaan
barang dan jasa selama periode tersebut.
4. Akuntansi basis akrual (accrual basis) : Basis akuntansi yang mengakui pengaruh
transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi tanpa
memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 mengatur pemerintah daerah untuk
menggunakan basis kas modifikasian, yaitu kombinasi dasar kas dengan dasar akrual.
Berdasarkan basis kas tersebut, transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas
dibukukan pada saat uang diterima atau dibayarkan (basis kas). Kemudian pada akhir
periode dilakukan penyesuaian untuk menghasilkan neraca yaitu pengeluaran kas
belum terealisir. Dengan demikian, pencatatan anggaran menggunakan basis kas,
sedangkan untuk menghasilkan laporan neraca di akhir periode akuntansi
digunakan basis akrual.
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
11
Cash Basis
Modified Cash Basis
Modified Accrual Basis
Accrual Basis
Kepmendagri 29/2002
UU No. 17/2003 PP No. 24 Tahun 2005
IPSAS
Tabel 3.4 Arah Perubahan Basis Akuntansi
1. Tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mewujudkan sistem tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai dengan meningkatnya
kemandirian daerah, adanya transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah
daerah yang semakin responsif terhadap masyarakat, meningkatnya partisipasi
publik dalam pembangunan daerah, meningkatnya efisiensi dan efektivitas
pengelolaan keuangan dan pelayanan publik, serta meningkatnya demokratisasi di
daerah.
2. Secara historis, reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dibagi
dalam tiga fase, yaitu: 1) era pra-otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (1974-
1999), 2) era transisi otonomi (2000-2003), dan 3) era pascatransisi (2004-2008).
3. Asfek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi perubahan sistem
anggaran, perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, perubahan
sistem akuntansi, dan perubahan basis akuntansi.
1. Jelaskan perbedaan anggaran tradisional dengan anggaran berbasis kinerja.
2. Bandingkan kelebihan dan kelemahan sistem manajemen keuangan daerah
sebelum dan sesudah otonomi daerah.
3. Berikan pendapat anda tentang dampak dilakukan perubahan perundangan yang
terkait dengan pengelolaan keuangan daerah terhadap pemerintah daerah.
4. Diskusikan mengapa double entry accounting dan accural basis menjadi salah
satu agenda utama reformasi keuangan daerah.
5. Berikan evaluasi anda tentang reformasi kelembagaan pengelolaan keuangan
daerah yang dilakukan pemerintah daerah. Apa saja yang menjadi kendala dan
permasalahan dimaksud.
IKHTISAR
PERTANYAAN
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
12
BAB IV
MANAJEMEN PENDAPATAN DAERAH
4.1. Siklus Manajemen Pendapatan Daerah
Tahapan siklus manajemen pendapatan daerah adalah identifikasi sumber,
administrasi, koleksi, pencatatan atau akuntansi, dan alokasi pendapatan.
Identifikasi Sumber Pendapatan
Identifikasi pendapatan pemerintah daerah meliputi:
Pendapatan objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;
Pendapatan objek retribusi, subjek retribusi, dan wajib retribusi;
Pendapatan sumber penerimaan bukan pajak;
Pendapatan lain-lain pendapatan yang sah;
Pendapatan potensi pendapatan untuk masing-masing jenis pendapatan.
Tabel 4.1 Siklus Manajemen Pendapatan Daerah
Administrasi Pendapatan
Administrasi pendapatan meliputi:
Penetapan wajib pajak dan retribusi;
Penentuan jumlah pajak dan retribusi;
Penetapan nomor pokok wajib pajak daerah dan nomor pokok wajib retribusi;
Penerbitan surat ketetapan pajak daerah dan surat ketetapan retribusi.
Identifikasi
Pendapatan
Administrasi
Pendapatan
Koleksi
Pendapatan
Akuntansi
Pendapatan
Alokasi
Pendapatan
Identifikasi sumber pendapatan
Menhitung basis pendapatan
(revenue basis) Pendapatan objek,
subjek, dan wajib pajak/retribusi
Penghitungan potensi masing-masing sumber pendapatan
Penentuan dan penetapan wajib pajak dan retribusi
Penetapan nomr pokok wajib pajak daerah dan nomor pokok wajib retribusi
Penerbitan surat ketetapan pajak daerah dan surat ketetapan retribusi
Dihitung & dipungut oleh petugas (official assessment system)
Dihitung dan dibayarkan sendiri oleh wajib pajak/retribusi (self assessment system)
Dipungut oleh pihak ketiga yang ditunjuk pemda
Pengumpulan pendapatan dalam rekening kas umum daerah
Pencatatan dalam sistem akuntansi pemerintah daerah
Pelaporan pendapatan dalam laporan keuangan pemerintah daerah
Penentuan jumlah alokasi pendapatan untuk pengeluaran belanja daerah, meliputi belanja operasi dan belanja modal
Penentuan jumlah alokasi pendapatan untuk pembiayaan daerah
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
13
Koleksi Pendapatan
Tahap koleksi pendapatan meliputi penarikan, pemungutan, penagihan dan
pengumpulan pendapatan baik yang berasal dari wajib pajak daerah dan retribusi
daerah, dana perimbangan dari pemerintah pusat, maupun sumber lainnya. Khusus
untuk pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat digunakan beberapa
sistem, antara lain:
1. Self assessment system: sistem pemungutan pajak daerah yang dihitung,
dilaporkan, dan dibayarkan sendiri oleh wajib pajak daerah.
2. Official assessment system: sistem pemungutan pajak yang nilai pajaknya
ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota melalui penerbitan surat ketetapan pajak daerah dan
surat ketetapan retribusi yang menunjukkan jumlah pajak atau retribusi daerah
terutang.
3. Joint collection system: sistem pemungutan pajak daerah yang dipungut oleh
pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah daerah.
Pencatatan (Akuntansi) Pendapatan
Setelah dilakukan pengumpulan pendapatan, tahap berikutnya adalah pencatatan
pendapatan ke dalam sistem akuntansi. Pada prinsipnya setiap penerimaan pendapatan
harus segera disetor ke rekening kas umum daerah pada hari itu juga atau paling
lambat sehari setelah diterimanya pendapatan tersebut. Untuk menampung seluruh
sumber pendapatan perlu dibuat satu rekening tunggal (Treasury singlet account),
dalam hal ini rekening kas umum daerah. Selanjutnya penerimaan pendapatan
tersebut dibukukan dalam buku akuntansi, berupa jurnal penerimaan kas, buku
pembantu, buku besar kas, dan buku besar penerimaan per rincian objek pendapatan.
Kemudian buku catatan akuntansi tersebut akan diringkas dan dilaporkan dalam
laporan keuangan pemerintah daerah, yaitu laporan realisasi anggaran, neraca, dan
laporan arus kas.
Alokasi Pendapatan
Tahap terakhir siklus manajemen pendapatan adalah alokasi pendapatan, yaitu
pengambilan keputusan untuk menggunakan dana yang ada untuk membiayai
pengeluaran daerah yang dilakukan. Pengeluaran daerah meliputi pengeluaran
belanja, yaitu belanja operasi dan belanja modal, maupun untuk pembiayaan
pengeluaran yang meliputi pembentukan dana cadangan, penyertaan modal daerah,
pembayaran utang, dan pemberian pinjaman daerah.
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
14
4.2. Mengenali Sumber-sumber Pendapatan Daerah
Jika dibandingkan dengan sektor bisnis, sumber pendapatan pemerintah daerah
relatif terprediksi dan lebih stabil sebab pendapat tersebut diatur oleh undang-
undang clan peraturan daerah yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan. Lain
halnya dengan sektor bisnis yang sangat dipengaruhi oleh pasar yang penuh
ketidakpastian clan turbulensi, sehingga pendapatan bersifat fluktuatif. Dalam sistem
pasar sempurnadalam arti tidak terjadi monopoli, monopsoni, ataupun oligopoly
perusahaan tidak dapat memaksa pelanggan untuk membeli produk barang atau
jasa yang merupakan sumber pendapatan utama perusahaan.
Sementara itu, pemerintah daerah dengan payung hukum peraturan perundangan
berhak memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Bahkan pemerintah dapat
memaksa wajib pajak untuk membayar pajak clan memberikan sanksi apabila
tidak patuh pajak. Oleh karenanya pendapatan di pemerintah daerah relatif stabil.
Meskipun clemikian, pemerintah daerah perlu melakukan manajemen pendapatan
secara baik agar diperoleh pendapatan secara optimal.
Agar pemerintah daerah dapat melakukan manajemen pendapatan secara
optimal, hat pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali sumber-sumber
pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah pada dasarnya dapat clibeclakan
menjadi dua: pertama, sumber pendapatan yang saat ini ada dan sudah ditetapkan
dengan peraturan perundangan, kedua, sumber pendapatan di masa datang yang
masih potensial atau tersembunyi clan baru akan diperoleh apabila sudah
dilakukan upayaupaya tertentu. Selain mengenali sumber pendapatan, hat penting
lainnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah adalah menciptakan sumber-
sumber pendapatan baru. Sumber pendapatan baruini bisa diperoleh misalnya
melalui inovasi program ekonomi daerah, program kemitraan pemerintah daerah
dengan pihak swasta, dan sebagainya.
Sumber Pendapatan Daerah menurut Ketentuan Perundangan
Meskipun pemerintah daerah telah diberi otonomi secara luas dan
desentralisasi fiskal, namun pelaksanaan otonomi tersebut harus tetap berada
dalam koridor hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal
sumber penerimaan yang menjadi hak pemerintah daerah, UndangUndang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat clan Daerah telah
menetapkan sumber-sumber penerimaan daerah, sebagai berikut:
I. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
a. Pajak Daerah
b. Retribusi Daerah c. Bagian Laba Pengelolaan Aset Daerah yang Dipisahkan
d. Lain-Lain PAD yang Sah
II. TRANSFER PEMERINTAH PUSAT
a. Bagi Hasil Pajak
b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam
c. Dana Alokasi Umum
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
15
d. Dana Alokasi Khusus e. Dana Otonomi Khusus f. Dana Penyesuaian
III. TRANSFER PEMERINTAH PROVINSI
a. Bagi Hasil Pajak
b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam c. Bagi Hasil Lainnya
IV. LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
4.3. Prinsip Dasar Manajemen Penerimaan Darah
Manajemen penerimaan daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan pemerintah
daerah dalam mengelola potensi fiskal daerah. Potensi fiskal daerah adalah
kemampuan daerah dalam menghimpun sumber-sumber pendapatan yang sah.
Berhasil tidaknya pemerintah daerah dalam memperoleh pendapatan daerah sangat
dipengaruhi oleh sistem manajemen pendapatan yang digunakan. Pada dasarnya
terdapat beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan pemerintah daerah dalam
membangun sistem manajemen penerimaan daerah, yaitu:
1. Perluasan basis penerimaan;
2. Pengendalian atas kebocoran pendapatan; 3. Peningkatan efisiensi administrasi pendapatan;
4. Transparansi dan akuntabilitas.
Perluasan Basis Penerimaan
Peningkatan pendapatan dapat dilakukan pada tataran kebijakan maupun perbaikan
administrasinya. Upaya melakukan perluasan basis penerimaan merupakan salah satu
bentuk peningkatan pendapatan melalui kebijakan. Yang dimaksud perluasan basis
penerimaan adalah memperluas sumber penerimaan. Untuk memperluas basis
penerimaan, pemerintah daerah dapat melakukannya dengan cara berikut:
1. Mengidentifikasi pembayar pajak/retribusi dan menjaring wajib pajak/retribusi
baru;
2. Mengevaluasi tarif pajak/retribusi; 3. Meningkatkan basis data objek pajak/retribusi;
4. Melakukan penilaian kembali (appraisal) atas objek pajak/retribusi.
Pengendalian atas Kebocoran Pendapatan 4
Untuk mengoptimalkan perolehan pendapatan, pemerintah daerah harus
melakukan pengawasan dan pengendalian yang memadai. Sumber-sumber kebocoran
harus diidentifikasi dan segera diatasi. Kebocoran pendapatan bisa disebabkan karena
penghindaraan pajak (tax avoidance), penggelapan pajak (tax evasion), pungutan
liar, atau korupsi petugas. Untuk mengurangi kebocoran pendapatan beberapa langkah
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
16
yang dapat dilakukan antara lain:
1. melakukan audit, baik rutin maupun insidental;
2. memperbaiki sistem akuntansi penerimaan daerah; 3. memberikan penghargaan yang memadai bagi masyarakat yang taat pajak
dan hukuman (sanksi) yang berat bagi yang tidak mematuhinya;
4. meningkatkan disiplin dan moralitas pegawai yang terlibat dalam pemungutan
pendapatan.
Peningkatan Efisiensi Administrasi Pajak
Efisiensi administrasi pajak sangat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja
penerimaan daerah. Masyarakat yang sebenamya sudah memiliki kesadaran membayar
pajak bisa jadi enggan membayar pajak karena alasan rumitnya mengurus pajak.
Demikian pula investor yang ingin berinvestasi di daerah seringkali enggan masuk
ke daerah karena hambatan birokrasi termasuk administrasi pajak yang berbelit-belit
dan berbagai pungutan di daerah. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan
pemerintah daerah untuk meningkatkan efisiensi administrasi pajak, yaitu sebagai
berikut:
1. Memperbaiki prosedur administrasi pajak sehingga lebih mudah dan sederhana.
2. Mengurangi biaya pernungutan penclapatan.
3. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti bank, kantor pos, koperasi, dan pihak ketiga lainnya untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam
membayar pajak.
Transparansi dan Akuntabilitas
Aspek penting lainnya dalam sistem manajemen penerimaan daerah adalah
transparansi dan akuntabilitas. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas maka
pengawasan dan pengendalian manajemen pendapatan daerah akan semakin baik.
Selain itu, kebocoran pendapatan juga dapat lebih ditekan. Untuk melaksanakan
prinsip transparansi dan akuntabilitas ini memang membutuhkan beberapa persyaratan.
1. Adanya dukungan Teknologi Informasi (TI) untuk membangun Sistem Informasi Manajemen Pendapatan Daerah.
2. Adanya staf yang memiliki kompetensi dan keahlian yang memadai.
3. Tidak adanya korupsi sistemik di lingkungan entitas pengelola pendapatan daerah.
4.4. Manejemen Pendapatan Asli Daerah
Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah
untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal
terhadap pemerintah pusat. Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya
dengan kemampuan daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar
pula diskresi daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi,
kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah.
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
17
Terdapat hampir 40 jenis pajakdaerah,
4 Pajak Daerah Tk I clan lebih dari 30
Pajak Daerah Tk 11.
Pajak Provinsi meliputi:
1. Pajak Kendaraan 2. Pajak Transfer Kendaraan
3. Pajak Rumah 'Tangga
4. Pajak Provinsi Lainnya
Pajak Daerah Tk. II meliputi:
1. Pajak Hotel/Restoran
2. Pajak Periklanan 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Penerangan Jalan
5. Pajak Orang Asing 6. Pajak Tambahan Atas Rumah
Tangga
7. Pajak Memancing di Perairan Kawasan
8. Pajak Jalan
9. Pajak Penjagalan 10. Pajak Anjing
11. Pajak Penjualan Kembang Api 12. Pajak Penjualan Alkohol 13. Pajak Kendaraan Nonmotor
14. Pajak Monumen Kuburan Mewah 15. Pajak Tempat Tinggal Sementara 16. Pajak Mesin Ketangkasan
17. Pajak Radio 18. Pajak Penyediaan Air Minum 19. Pajak Pendaftaran Bisnis
20. Izin Tinggal Sementara 21. Pajak Kepemilikan Lahan di
Dekat Jalan Raya
22. Pajak Rumah Kecil(Lodging House)
23. Pajak Tempat Penyimpanan di Tempat Umum
24. Pajak Usaha
25. Pajak Kapal 26. Pajak Pelabuhan 27. Pajak Pembuatan Garam 28. Pajak Pengangkutan Garam dari
Daerah
29. Pajak Peternakan Babi
30. Pajak Pemindahan Sarang Burung 31. Pajak Perninclahan Telur Penyu
32. Pajak Tempat Penyimpanan Tembakau
33. Pajak Tempat Pelelangan Ikan
Terdapat 9 jenis pajak
daerah. terdid atas 3Pajak
Daerah Tingkat I(Provinsi)
dan 6 PajakDaerah Tingkat
II (Kab/ Kotamadya)
Pajak Daerah Tk. I
meliputi:
1. Pajak Kendaraan Bermotor;
2. Bea Balik NamaKendaraan
Bermotor;
3. Pajak Bahan BakarKendaraan
Bermotor.
Pajak Daerah Tk II
meliputi:
1. Pajak Hotel clan Restoran;
2. Pajak Hiburan;
3. Pajak Reklame; 4. Pajak Penerangan
Jalan;
5. Pajak Pengambilan dan PengolahanBahan
Galian Golongan C;
6. Pajak PemanfaatanAir Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
Daerah masih dimungkinkanmenamba
h pajak dan retribusi
baru
Terdapat 11 jenis pajak daerah, terdiri atas 4pajak
provinsi dan 7 pajak
kab/kota
Pajak Provinsi meliputi:
1. Pajak Kendaraan Bermotor danKendaraan
di Atas Air (PKB &
KAA);
2. Bea Batik Nama Kendaraan
Bermotordan Kendaraan
diAtas Air (BBNKB &
KAA);
3. Pajak Bahan BakarKendaraan
Bermotor (PBBKB);
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan AirBawah
Tanah dan AirPermukaan
(P3ABT & AP).
Pajak Kab/Kota
meliputi:
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran; 3. Pajak Hiburan; 4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak PengambilanBahan
Galian Golongan Q
7. Pajak Parkir.
Daerah masih dimungkinkanmenamba
h pajak dan retribusi
baru
Pajak daerah
bersifatClose
(limited)
Retribusi bersifat terbuka
seperti semula
Terdapat 16 jenis pajak daerah, terdiri atas
5pajak provinsi dan 11
pajak kab/kota
Pajak Provinsi meliputi:
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4. Pajak Air Permukaan
5. Pajak Rokok
Pajak Kab/Kota meliputi:
L Pajak Hotel
2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah 9. Pajak Sarang Burung
Wales
10. Pajak Bumi danBangunan
Perdesaan dan
Perkotaan
11. Bea Perolehan HakAtas Tanah dan
Bangunan
Daerah tidak
bolehmenambah
pajakbaru tetapi
masihdimungkinkan
menambah retribusi
baru
Tabel 4.2 Perkembangan Peraturan Perundangan tentang Pajak Daerah
UU No. 11 Drt Th 1957 UU No. 18/1997 UU No. 34/2000 UU No. 28/2009
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
18
Manajemen Pajak Daerah
Peraturan perundangan mengenai pajak daerah mengalami beberapa kali perubahan.
Peraturanperundangan di bidang pajak daerah antara lain UU No. 11 Drt Tahun 1957
tentang Peraturan UmumPajak Daerah, UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, UU No. 34 Tahun2000 tentang Perubahan atas UU No. 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Kemudian pada tahun 2009
pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajakdan Retribusi
Daerah menggantikan UU No. 34 Tahun 2000.
Prinsip Pajak Daerah
Manajemen pajak daerah juga terkait dengan pemenuhanprinsip-prinsip umum
perpajakan daerahyang baik. Prinsip pajak daerah tersebut adalah:
1. Prinsip Elastisitas. Pajak daerah harus memberikan pendapatan yang cukup
danelastis, artinya mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkatpendapatan
masyarakat.Implikasi prinsip elastisitas pajak ini terhadap manajemen pajak
daerahadalah perlunya pemerintah daerah meningkatkan pendapatan masyarakat
terlebihdahulu sebelummenaikkan pajak agar nantinya masyarakat tidak keberatan
membayar pajak.
2. Prinsip Keadilan. Pajak daerah harus memberikan keadilan, baik adil secara vertikal dalamarti sesuai dengan tingkatan social kelompok masyarakat maupun
adil secara horizontal dalamarti berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat. Implikasi prinsip keadilan terhadapmanajemen pajak daerah adalah
perlunya pemerintah daerah menerapkan tarif pajak yangprogresif untuk jenis
pajak tertentu dan menerapkan perlakuan hukum yang sama bagi seluruhwajib
pajak sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. Prinsip Kemudahan Administrasi. Administrasi pajak daerah harus fleksibel, sederhana, mudahdihitung, dan memberikan pelayanan yang memuaskan bagi
wajib pajak. Implikasi prinsip initerhadap manajemen pajak daerah adalah
perlunya pemerintah daerah melakukan perbaikandalam sistem administrasi
pajak daerah sehingga menjamin adanya kesederhanaan, kemudahan,dan
fleksibilitas bagi masyarakat dalam membayar pajak.
4. Prinsip Keberterimaan Politic. Pajak daerah harus dapat diterima secara politis oleh masyarakat,sehingga masyarakat radar untuk membayar pajak. Implikasi
prinsip ini terhadap manajemenpajak daerah adalah perlunya pemerintah
bekerjasama dengan DPRD dan melibatkan kelompokkelompok masyarakat
dalam menetapkan kebijakan pajak daerah dan sosialisasi pajak daerah.Bahkan,
jika dimungkinkan, melibatkan masyarakat dalam pemungutan pajak tertentu.
5. Prinsip Nondistorsi Terhadap Perekonomian. Pajak daerah tidak boleh menimbulkan dampaknegatif terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap
pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun
produsen. Namun diusahakan jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan yang beriebihan sehingga merugikan
masyarakatdan perekonomian daerah.
Terkait dengan prinsip-prinsip pajak tersebut, maka manajemen perpajakan daerah
harus mampumenciptakan sistem pemungutan yang ekonomis, efisien, dan
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
19
efektif.Pernerintah daerah harus memastikanbahwa penerimaan pajak lebih besar dari
biaya pemungutannya.Selain itu, pemerintah daerah perlu menjaga stabilitas
penerimaan pajak tersebut.Fluktuasi penerimaan pajak hendaknya dijaga tidak terlalu
besar sebab jika sangat fluktuatif juga kurang baik untuk perencanaan keuangan
daerah.
4.5. Manajemen Dana Perimbangan
Sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia masih memiliki tingkat ketergantungan
keuangan yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Penerimaan dana perimbangan dari
pemerintah pusat masih mendominasi penerimaan daerah. Dana perimbangan ini
diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama, yaitu: 1) Dana Bagi Hasil, 2) Dana
Alokasi Umum, dan 3) Dana Alokasi Khusus. Untuk beberapa pemerintah daerah
masih akan mendapatkan Dana Penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus. Dari
beberapa jenis dana perimbangan tersebut sebenarnya dapat dipilah antara jenis dana
perimbangan yang bisa dikendalikan daerah dengan yang tidak dapat dikendalikan.
Dana Bagi Hasil merupakan jenis dana perimbangan yang dapat dikendalikan oleh
pemerintah daerah dalam arti dapat mempengaruhi jumlah penerimaannya, sedangkan
untuk Dana Alokasi Umum dihitung dengan formula tertentu yang relatif kecil
dapat dipengaruhi besarannya oleh pemerintah daerah. Sementara itu, untuk Dana
Alokasi Khusus pemerintah daerah hingga tingkat tertentu masih mungkin dapat
mempengaruhi jumlah penerimaannya meskipun kebijakan sepenuhnya tergantung
pusat.
Dana Bagi Hasil
Pemerintah daerah masih dapat mengoptimalkan penerimaan dana perimbangan
melalui dana bagi hasil. Dana bagi hasil pada dasarnya terdiri atas dua jenis, yaitu
bagi hasil pajak (tax sharing) dan bagi hasil sumber daya alam (natural resources
sharing).
Dana bagi hasil pajak meliputi:
Bagi hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bagi hasil dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan
Bagi hasil dari Pajak Penghasilan pasal 25 dan 29 serta PPh wajib pajak orang
pribadi pasal 21.
Dana bagi hasil sumber daya alam meliputi:
Bagi hasil dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan
Bagi hasil dari Provisi Sumber Daya Hutan
Bagi hasil dari Dana Reboisasi
Bagi hasil dari Iuran Tetap (Land-Rent)
Bagi hasil dari Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti)
Bagi basil dari Pungutan Pengusahaan Perikanan
Bagi hasil dari Pungutan Hasil Perikanan
Bagi hasil dari Pertambangan Minyak Bumi
Bagi hasil dari Pertambangan Gas Bumi
Bagi hasil dari Pertambangan Panas Bumi
Bagi basil dari Pertambangan Umum
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
20
1. Siklus manajemen pendapatan daerah terdiri atas lima tahap, yaitu identifikasi sumber-sumber pendapatan daerah, administrasi pendapatan daerah, koleksi atau
pemungutan pendapatan daerah, pencatatan akuntansi pendapatan daerah, dan
alokasi pendapatan daerah.
2. Prinsip dasar dalam membangun sistem manajemen penerimaan daerah yang baik antara lainmelalui perluasan basis penerimaan, pengendalian atas kebocoran
pendapatan, peningkatan efisiensi administrasi pendapatan, dan peningkatan
transparansi dan akuntabilitas manajemen pendapatan daerah.
3. Untuk memperluas basis penerimaan., pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi pembayar pajak/retribusi dan menjaring wajib pajak/retribusi baru,
mengevaluasi tarif pajak/retribusi, meningkatkan basis data objek
pajak/retribusi, dan melakukan penilaian kembali (appraisal) atas objek
pajak/retribusi.
4. Untuk mengurangi kebocoran pendapatan, pemerintah daerah perlu melakukan audit pendapatan, memperbaiki sistem akuntansi penerimaan daerah, membangun
sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) yang memadai, dan
meningkatkan disiplin dan moralitas pegawai yang terlibat dalam pemungutan
pendapatan.
5. Untuk optimalisasi penerimaan daerah, selain melakukan optimalisasi PAD, pemerintah daerah perlu mengoptimalkan penerimaan dari dana perimbangan,
khususnya dana bagi basil. Pemerintah daerah dapat ikut berperan aktif dalam
pemungutan pajak pusat yang dibagihasilkan dengan daerah, yaitu PPh, PBB,
dan BPHTB. Untuk meningkatkan penerimaan bagi basil PPh Wajib Pribadi,
pemerintah daerah perlu secara aktif ikut menjaring wajib pajak baru dan
mendorong wajib pajak lama untuk tact membayar pajak.
6. Untuk meningkatkan penerimaan dari PBB dan BPHTB pemerintah dapat melakukan penilaian kembali (appraisal) terhadap objek pajak PBB untuk
menentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang mendekati harga pasar,
melibatkan pemimpin lokal di tingkat desa/kelurahan dalam pendataan dan
pendistribusian Surat ketetapan pajak PBB, dan memperbaiki administrasi pajak.
1. Berikan evaluasi Anda tentang efisiensi dan efektivitas mekanisme pemungutan PAD yang dilakukan pemerintah daerah di tempat Anda. Berikan pula saran
perbaikan jika memang masih terdapat kelemahan.
2. Beberapa pajak pusat seperti PPh Wajib Pribadi, PBB, dan BPHTB dibagihasilkan dengan daerah. Tetapi untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak
dibagihasilkan dengan daerah. Mengapa demikian? Bisakah PPN dibagihasilkan
dengan daerah?
3. Bagaimanakah cara yang perlu ditempuh pemerintah daerah untuk menciptakan kemudahan administrasi pembayaran pajak bagi masyarakat? Berikan pendapat
anda.
IKHTISAR
PERTANYAAN
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
21
BAB V
ESTIMASI PENDAPATAN
Anggaran merupakan instrumen penting dalam organisasi sektor publik. Setiap
tahun, pemerintah pusat menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) sedangkan pemerintah daerah harus menyusun RAPED. Merencanakan
anggaran pendapatan merupakan hal penting yang pertama kali harus dilakukan oleh
pemerintah sebelum menentukan anggaran belanja, sebab terdapat ketentuan
perundangan bahwa setiap pengeluaran yang dianggarkan harus didukung dengan
adanya kepastian akan tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.
Perencanaan anggaran pendapatan sangat penting untuk menentukan tingkat
kemampuan keuangan pemerintah dalam menyediakan pelayanan publik,
melaksanakan kebijakan alokasi dan distribusi anggaran, menentukan kebijakan
surplus/defisit anggaran, serta menentukan arch kebijakan pembiayaan anggaran.
Ketepatan dalam perencanaan anggaran pendapatan sangat diperlukan karena
anggaran pendapatan tersebut memiliki banyak implikasi, antara lain berimplikasi
pada kebijakan anggaran belanja, pembiayaan, dan evaluasi kinerja. Untuk
menetapkan rencana anggaran pendapatan terlebih dahulu perlu dilakukan prakiraan
atau estimasi pendapatan. Estimasi pendapatan yang akurat dan dapat diandalkan
nantinya dapat dijadikan dasar bagi manajemen (eksekutif) dalam mengajukan usulan
anggaran pendapatan. Untuk itu, diperlukan pemahaman dan penguasaan berbagai
teknik prakiraan pendapatan (revenue forecasting) oleh pihak-pihak yang terkait
dengan proses perencanaan anggaran, antara lain pejabat di lingkungan Badan
Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Tim Anggaran Pemerintah Daerah,
Bappeda, instansi penghasil, serta Panitia Anggaran DPRD. Bab ini membahas
berbagai teknik prakiraan pendapatan yang dapat digunakan oleh manajer publik
dalam mengestimasi pendapatan secara lebih sistematis dengan metodologi yang
mudah dilakukan sehingga diharapkan dapat diaplikasikan serta diperoleh hasil
estimasi yang cukup akurat.
5.1. Perkiraan dan Penganggaran
Penganggaran (budgeting) pada prinsipnya berbeda dengan prakiraan
(forecasting). Penganggaran merupakan rencana manajemen yang mengandung
implikasi perlunya komitmen dan tanggung jawab untuk mencapai angka yang
ditetapkan dalam anggaran, sedangkan prakiraan tidak lebih hanyalah prediksi atau
estimasi tentang apa yang akan terjadi dan tidak berimplikasi pada perlunya komitmen
dan tanggung jawab untuk merealisasikan prediksi tersebut. Jika anggaran perlu
mendapat persetujuan pimpinan dan ratifikasi dewan, maka prakiraan tidak perlu
persetujuan dewan. Prakiraan bisa berubah setiap saat begitu terdapat informasi barn
yang diterima, tetapi anggaran tidak bisa diubah setiap saat, perubahan anggaran
hanya bisa dilakukan jika terdapat perubahan asumsi anggaran atau karena terdapat
kejadian yang luar biasa. Perubahan anggaran pun dibatasi dalam setahun hanya
dapat dilakukan satu kali perubahan anggaran.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan prinsip, namun prakiraan juga memiliki
keterkaitan dengan penganggaran. Jika dilihat dari sudut pandang manajemen, prakiraan
merupakan alat perencanaan (planning tool), sedangkan anggaran merupakan alat
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
22
perencanaan sekaligus alat pengendalian (planning & control tool). Selain sebagai alat
perencanaan keuangan, anggaran juga berfungsi sebagai alat pengendalian keuangan
dan evaluasi kinerja. Keterkaitan prakiraan dengan penganggaran adalah hasil
prakiraan dapat digunakan manajemen sebagai dasar perencanaan anggaran. Dengan
kata lain, hasil prakiraan dapat digunakan oleh manajemen untuk membuat proyeksi
anggaran. Proyeksi anggaran memang tidak harus sama dengan hasil prakiraan, bisa
sama, lebih tinggi, atau lebih rendah tergantung dari kebijakan manajemen. Memang
penganggaran seringkali lebih konservatif dibandingkan ramalan, artinya target
anggaran pendapatan sering diusulkan lebih rendah dari angka hasil prediksi. Hal ini
karena anggaran mengandung konsekuensi pencapaian sedangkan prakiraan tidak,
sehingga eksekutif memilih lebih hati-hati menganggarkan pendapatan. Namun jika
pemerintah optimis dan berkomitmen untuk bekerja keras bisa saja target anggaran
ditetapkan lebih tinggi dari prediksi. Oleh karena itu, sebelum manajemen menetapkan
suatu target anggaran terlebih dahulu perlu dilakukan prakiraan baik pendapatan
maupun belanja agar target yang ditetapkan dalam anggaran realistis dan rasional.
Prakiraan pendapatan ini juga penting untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah
dalam memungut pendapatan sehingga juga berpengaruh pada pemilihan strategi dan
program mobilisasi pendapatan.
5.2. Teknik Prakiraan Pendapatan
Teknik Kualitatif
Teknik prakiraan yang bersifat kualitatif antara lain adalah teknik Delphi dan
teknik judgment. Teknik Delphi dilakukan dengan cara mengumpulkan para ahli
(experts), kemudian mereka secara kelompok maupun individual dimintai pendapat
atau pandangan mereka tentang prediksi masa depan yang akan mempengaruhi arus
pendapatan. Masing-masing ahli menyampaikan prediksi mereka dan memberikan
penjelasan rasionalnya, kemudian proses selanjutnya berbagai pandangan tersebut
dirangkum dan kembali diajukan pertanyaan berikutnya kepada para ahli sehingga
akhirnya menghasilkan suatu prediksi pendapatan yang disepakati. Oleh karena itu,
berbagai seminar tentang "Economic Outlook" dan kajian ilmiah oleh lembaga
penelitian yang kompeten tentang prediksi ekonomi penting untuk diperhatikan
pemerintah sebagai masukan dalam prakiraan pendapatan.
Metode kualitatif selain teknik Delphi adalah dengan pendekatan judgment, yaitu
prakiraan berdasarkan pengalaman masa lalu dan pertimbangan berbagai faktor yang
mempengaruhi pendapatan di masa mendatang. Meskipun pendekatan judgment ini
bersifat kualitatif, tetapi dalam pertimbangan tersebut juga banyak digunakan data
kuantitatif terutama data masa lalu, hanya saja dalam metode judgment analisisnya
tidak dilakukan secara sistematis dan metodologi ilmiah yang rumit sebagaimana teknik
kuantitatif. Namun tidak berarti metode kuantitatif selalu lebih baik daripada metode
judgment atau metode kualitatif yang lain. Oleh karena itu, untuk memperoleh
hasil prediksi yang lebih memuaskan sebaiknya digunakan teknik kualitatif dan
kuantitatif secara bersama-sama.
Teknik Kuantitatif
Sama halnya dengan metode kualitatif, teknik kuantitatif dalam prakiraan juga
banyak macamnya, mulai dari simple smoothing technique hingga pemodelan regresi
yang canggih. Namun perlu juga dipahami bahwa kecanggihan model matematis
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
23
tidaklah menjamin keakuratan ramalan. Oleh karena itu, dalam pemilihan teknik
kuantitatif untuk prakiraan pendapatan perlu dipertimbangkan biaya dan manfaatnya,
kemudahan aplikasinya, Berta efektivitas hasil ramalan.
Dalam penggunaan teknik kuantitatif, sebelum dilakukan teknik prakiraan terlebih
dahulu harus ditentukan:
1. Subjek prakiraan, yaitu apa yang akan diprediksi atau diestimasi. Subjek
prakiraan bisa berupa pendapatan secara keseluruhan maupun per kelompok, jenis,
objek, dan rincian objek pendapatan. Misalnya Pendapatan Ash Daerah (PAD)
dapat dirinci menurut jenisnya, yaitu Pajak Daerah, Retribusi, Bagian Laba
BUMD, dan Lain-lain PAD yang Sah. Pajak Daerah dapat dirinci per objek
pendapatan, misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pemanfaatan Air
Bawah Tanah untuk Penlerintah Provinsi, sedangkan untuk Pemerintah
Kabupaten/Kota objek pajak daerah antara lain Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, dan Pajak Bahan Galian C. Pajak
Hotel dapat dirinci menjadi rincian objek pendapatan pajak hotel yang terdiri dari
Pajak Hotel Bintang Lima, Pajak Hotel Bintang Empat, Pajak Hotel Bintang Tiga,
Pajak Hotel Bintang Dua, Pajak Hotel Bintang Satu, Pajak Hotel Melati Tiga, dan
sebagainya. Masing-masing kelompok, jenis, objek, dan rincian objek pendapatan
dapat dijadikan sebagai Subjek prakiraan tergantung pada kebutuhan manajemen
pada level mana akan dilakukan prakiraan.
2. Rentang perkiraan, yaitu periode waktu yang akan diramal. Rentang prakiraan ini
harus ditetapkan apakah untuk prediksi satu tahun ke depan, dua tahun, tiga tahun,
dan seterusnya.
3. Data yang digunakan, yaitu data runtun waktu (time series) sebagai dasar
untuk prediksi, apakah perlu digunakan data sepuluh tahun, lima tahun, atau tiga
tahun yang lalu sebagai basis prakiraan. Kualitas data sangat berpengaruh terhadap
keakurasian hasil prakiraan. Semakin lengkap, data yang digunakan maka akan
semakin baik hasil prakiraannya. Namun sayangnya, beberapa data seringkali tidak
lengkap, atau telah terjadi perbedaan misalnya dalam hal tarif pajak pada periode
tertentu sehingga harus disesuaikan.
Teknik kuantitatif prakiraan yang cukup mudah digunakan, murah biayanya, serta
dalam banyak kasus cukup tinggi keakuratannya yakni antara lain:
Simple Moving Average
Exponential Smoothing
Transformation Moving Average
Regresi
5.3. Menilai Akurasi Prediksi
Untuk menilai keakuratan berbagai teknik prakiraan dapat dilakukan dengan
menghitung persentase kesalahan peramalan, yaitu Absolute Percentage Error (APE)
dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE). APE dan MAPE mengukur perbedaan
antara nilai prakiraan dengan hasil yang Sesungguhnya terjadi. Perbedaan yang terjadi
diambil nilai absolutnya sehingga angkanya selalu positif.Semakin kecil nilai APE
berarti semakin baik keakurasian teknik prakiraan yang digunakan. Secara matematis,
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
24
APE dapat dituliskan sebagai berikut:
Prediksi Hasil Sesungguhnya
APE =
Sesungguhnya
Karena nilai APE yang diabsolutkan, maka APE tidak dapat menunjukkan apakah
terjadi prakiraan lebih (over estimate) ataukah prakiraan kurang (under estimate).Oleh
karma itu, untuk memperkuat penilaian keakuratan teknik prediksi selain menghitung
APE juga perlu dihitung MAPE.MAPE merupakan rata-rata APE dari beberapa
periode.Semakin kecil MAPE maka semakin akurat teknik prakiraan yang digunakan.
Pada umumnya teknik kuantitatif memiliki tingkat akurasi prediksi yang lebih baik
dibandingkan pendekatan judgmental.Di antara berbagai teknik kuantitatif yang ada,
teknik exponential smoothing merupakan teknik prakiraan paling baik untuk
memprediksi pendapatan yang memiliki pola musiman.Namun model regresi
ekonometrika merupakan teknik prakiraan paling baik di antara teknik kuantitatif
lainnya, sedangkan yang paling rendah tingkat akurasinya adalah analisis trend.
Perlu diperhatikan juga bahwa tingkat akurasi prakiraan memiliki hubungan
terbalik dengan banyaknya periode ramalan.Semakin lama periode yang diramalkan,
semakin besar penyimpangan peramalannya.Hal ini terutama dipengaruhi oleh faktor
lingkungan ekonomi di masa datang yang tidak pasti dan tidak semua faktor ekonomi
diperhitungkan dalam persamaan matematis prakiraan.
5.4. Permasalahan Prakiraan Pendapatan di Sektor Publik
Permasalahan yang terkait dengan urgensi prakiraan pendapatan di lingkungan
organisasi sektor publik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: faktor teknis,
ekonomi, administratif, dan peran legislatif. Faktor teknis terkait dengan penggunaan
teknik prakiraan yang paling tepat yang dapat dikuasai oleh pegawai pemerintah dan
ketersediaan data yang memadai. Termasuk dalam faktor teknis ini adalah kualitas
sumber daya manusia yang melakukan tugas membuat prakiraan pendapatan.
Pengalaman serta pelatihan prakiraan pendapatan untuk staf di bidang anggaran sangat
penting untuk memperbaiki kualitas prakiraan. Faktor ekonomi terkait dengan
turbulensi dan ketidakpastian ekonomi yang mempengaruhi prakiraan pendapatan.
Faktor administratif terkait dengan perubahan peraturan perundangan terkait yang
mempengaruhi pendapatan, misalnya peraturan perundangan tentang pajak dan
retribusi daerah, peraturan tentang alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat, dan
perubahan undang-undang pajak. Faktor peran legislatif terkait dengan penggunaan
hak budget oleh dewan serta pelaksanaan fungsi legislasi terkait dengan anggaran.
Prakiraan pendapatan menjadi terasa penting jika legislatif menaruh perhatian yang
besar terhadap prediksi pendapatan tersebut.
1. Penyusunan rencana anggaran pendapatan perlu didukung dengan dilakukannya prakiraan atau estimasi pendapatan agar anggaran pendapatan yang ditetapkan tidak terlalu under estimate atau over estimate.
2. Terdapat beberapa teknik prakiraan pendapatan yang dapat digunakan, antara lain
IKHTISAR
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
25
teknik Delphi, judgment, simple moving average, exponential smoothing,
transformation moving average, dan regresi. Pada dasarnya setiap teknik
prakiraan pendapatan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-
masing.Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil prediksi yang memuaskan perlu
dilakukan kombinasi dari berbagai teknik yang ada.
3. Untuk menilai keakuratan berbagai teknik prakiraan dapat dilakukan dengan
menghitung persentase kesalahan peramalan, yaitu Absolute Percentage Error
(APE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE). APE dan MAPE mengukur
perbedaan antara nilai prakiraan dengan hasil yang sesungguhnya
terjadi.Semakin kecil nilai APE dan MAPE berarti semakin baik keakurasian
teknik prakiraan yang digunakan.
1. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penyimpangan terhadap
prediksi pendapatan sehingga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah
dalam menetapkan asumsi anggaran.
2. Berikan analisis Anda tentang perbedaan dan keterkaitan antara prakiraan
pendapatan dengan penghitungan potensi pendapatan.
PERTANYAAN
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
26
BAB VI
ANALISIS POTENSI PENDAPATAN
Untuk membuat perencanaan anggaran yang komprehensif dan lebih realistis, selain
dilakukan prakiraan pendapatan perlu dilakukan analisis penghitungan potensi
pendapatan. Analisis potensi pendapatan ini berbeda dengan prakiraan pendapatan
sebab analisis potensi pendapatan adalah untuk mengetahui peluang besarnya
perolehan pendapatan optimal yang dapat direalisasikan, sedangkan prakiraan
pendapatan merupakan prediksi perolehan pendapatan di masa datang yang didasarkan
pada data historis realisasi pendapatan. Potensi pendapatan tidak harus direalisasikan
seluruhnya dalam satu tahun anggaran tetapi bisa bertahap hingga beberapa tahun
anggaran. Misalnya berdasarkan hasil penelitian potensi pendapatan pajak restoran
adalah RpI miliar. Realisasi anggaran tahun lalu barn mencapai 60% dari potensi
(Rp600 juta). Target pendapatan pajak restoran tahun ini mungkin cukup berat kalau
dipaksa harus mencapai 100% dari potensi, sehingga bisa saja tahun ini diupayakan
pencapaian pendapatannya 85% (Rp850 juta) dan tahun depan sudah berhasil
mencapai 100%. Pada tahun ketiga bisa dilakukan lagi analisis potensi pendapatan
karena selama tiga tahun anggaran bisa jadi sudah terjadi perubahan-perubahan yang
signifikan sehingga perlu dilakukan pemutakhiran (updating) data potensi pendapatan
terbaru. Perlunya pentahapan dalam pencapaian seluruh potensi pendapatan tersebut
karena pertimbangan social dan ekonomi masyarakat pembayar pajak, kesiapan cistern
dan aparatur pajak, serta pertimbangan perlunya kesinambungan fiskal (fiscal
sustainability). Untuk merealisasikan seluruh potensi tersebut perlu dilakukan upaya
menumbuhkan kesadaran dan kepatuhan pajak di mana hal ini membutuhkan waktu.
Kesadaran dan kepatuhan pajak oleh wajib pajak tidak bisa diwujudkan hanya dalam
satu tahun anggaran, sehingga tidak realistis mewujudkan pencapaian seluruh potensi
pendapatan hanya dalam satu tahun anggaran. Selain itu, pencapaian seluruh potensi
pendapatan juga membutuhkan biaya pengumpulan pendapatan yang lebih besar dan
hal ini tentunya perlu pertimbangan kemampuan keuangan yang ada saat ini.
6.1. Mengenali Potensi Pendapatan
Potensi adalah sesuatu yang sebenamya sudah ada, hanya belum didapat
atau diperoleh di tangan.Untuk mendapatkan atau memperolehnya diperlukan
upaya-upaya tertentu, misalnya untuk potensi sumber daya alam tambang perlu upaya
eksplorasi dan eksploitasi, untuk potensi pajak perlu dilakukan upaya pajak (tax
effort).Karena potensi tersebut sifatnya masih tersembunyi, maka perlu diteliti
besarnya potensi pendapatan yang ada. Analisis potensi pendapatan bersifat Was sebab
banyak faktor yang harus diidentifikasi terkait dengan pendapatan. Identifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi pendapatan merupakan bagian dari upaya mengenali
potensi pendapatan.Bagi manajer publik, kemampuan mengenali potensi pendapatan
dan memanfaatkannya secara optimal merupakan hal penting yang menunjukkan
kapasitas entrepreneurship mereka dalam mengelola organisasi sektor
publik.Osborne dan Gaebler (1992) menyatakan pentingnya menumbuhkan
pemerintahan wirausaha (entrepreneurial government) serta pemerintahan yang
mampu menciptakan pendapatan tidak sekadar membelanjakan anggaran (earning
rather than spending).Menumbuhkan birokrasi wirausaha ini merupakan tantangan
bagi manajer publik, terutama kepala daerah dan pejabat terkait di lingkungan
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
27
pemerintahan daerah.
Potensi pendapatan satu daerah dengan daerah yang lain berbeda-beda disebabkan
oleh faktor demografi, ekonomi, sosiologi, budaya, geomorfologi, dan lingkungan
yang berbeda-beda. Namun terkadang suatu potensi tidak dapat diolah akibatkan
keterbatasan sumber daya manusia, permodalan, dan peraturan perundangan yang
membatasi. Jika dilihat dari kepemilikan potensi dan kemampuan mengelola potensi
yang ada, suatu daerah dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu:
1. Memiliki potensi dan kemampuan mengelola yang tinggi
2. Memiliki potensi yang tinggi tetapi kemampuan mengelolanya rendah
3. Memiliki potensi yang rendah tetapi memiliki kemampuan mengelola tinggi
4. Memiliki potensi yang rendah dan kemampuan mengelola rendah
Tabel 6.1 Peta Potensi Daerah
POTENSI
Tinggi
KUADRAN II
Potensi Tinggi,
Kemampuan Mengelola Rendah
(Intensifikasi)
K U A D R A N I
Potensi Tinggi,
Kemampuan Mengelola Tinggi
(Promosi & Ekspansi)
Rendah
KUADRANIV
Potensi Rendah,
Kemampuan Mengelola Rendah
(Edukasi & Pengembangan)
K U A D R A N I I I
Potensi Rendah,
Kemampuan Mengelola Tinggi
(Ekstensifikasi/Ekspansi)
Rendah Tinggi
KEMAMPUAN MENGELOLA
Kuadran I merupakan kondisi yang ideal, yakni pemerintah memiliki potensi
pendapatan yang tinggi Berta kemampuan mengelola potensi tersebut juga
tinggi.Pada kondisi ini yang perlu dilakukan adalah menjaga sumber pendapatan untuk
kesinambungan fiskal antar generasi.Dengan kemampuan mengelola yang tinggi tidak
berarti potensi yang ada harus dieksploitasi seluruhnya saat ini sehingga
mengakibatkan generasi berikutnya tidak lagi menikmati potensi pendapatan
tersebut.Hal ini khususnya terkait dengan potensi ekonomi dari sumber daya alam
yang tidak terbarui, seperti barang tambang.
Kuadran II adalah kondisi pemerintah yang memiliki potensi pendapatan yang
tinggi tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola potensi tersebut secara
memadai.Kondisi seperti ini pada umumnya dialami oleh pemerintahan di negara-
negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi pada kuadran II ini merupakan
kondisi yang cukup rawan karena akan menjadi ajang kepentingan banyak pihak,
termasuk pihak asing untuk berebut memanfaatkan (eksploitasi) potensi besar yang
tidak terkelola dengan baik. Oleh karenanya, pada kondisi kuadran II ini
diperlukan semangat nasionalisme ekonomi, yakni semangat untuk melindungi clan
memanfaatkan potensi ekonomi untuk kepentingan bangsa dan kesejahteraan
masyarakat.Sebab jika tidak terdapat nasionalisme ekonomi dapat terjadi eksploitasi
oleh kepentingan asing atau kepentingan pihak-pihak tertentu Baja, sehingga
kesinambungan fiskal untuk generasi di masa datang dapat terganggu. Strategi
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
28
pengelolaan potensi pendapatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah pada kondisi
kuadran II antara lain: 1) intensifikasi pendapatan, 2) kemitraan dengan pihak swasta
untuk mengelola potensi yang ada, 3) joint venture dengan investor, dan 4)
peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola potensi yang ada.
Kuadran III adalah kondisi pemerintahan yang memiliki potensi yang rendah tetapi
pada dasamya mempunyai kapasitas untuk mengelola yang tinggi.Pada kondisi ini
strategi yang dapat dilakukan adalah melakukan ekstensifikasi atau ekspansi.Misalnya,
suatu pemerintahan tidak memiliki potensi hutan, tetapi dengan daya dukung sumber
daya manusia dan sarana prasarana yang dimiliki mampu mengolah hasil hutan
menjadi produk yang berkualitas tinggi, misalnya furniture kualitas ekspor. Meskipun
pemerintah setempat tidak memiliki hutan, pemerintah tersebut dapat melakukan
ekspansi dengan memanfaatkan potensi hasil hutan dari daerah lain untuk diolah
menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
Kuadran IV adalah kondisi paling buruk yang perlu dihindari, yaitu potensi yang
dimiliki rendah dan kemampuan mengelola pendapatan juga rendah.Pada kondisi
kuadran IV ini perlu dilakukan strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia
melalui program pendidikan dan pelatihan (edukasi)sehingga memiliki kapasitas
mengelola potensi pendapatan secara lebih baik.Manajer publik yang mengelola
pemerintahan yang masuk dalam kategori kuadran IV ini perlu mengarahkan
strategi clan program sehingga mencapai kondisi kuadran III.Pengembangan kualitas
sumber daya manusia merupakan langkah terpenting untuk memperbaiki kondisi
tersebut.
Pemetaan Potensi Pendapatan
Potensi pendapatan masing-masing daerah berbeda-beda disebabkan perbedaan faktor
demografi, ekonomi, sosial, budaya, geomorfologi, ekologi, dan
sebagainya.Faktor eksternal seperti perkembangan perekonomian regional clan global
juga dapat mempengaruhi pertumbuhan potensi ekonomi nasional clan daerah.Sumber-
sumber utama pendapatan suatu daerah secara umum dapat dilihat pada data
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dapat dirinci ke masing-masing
Sektor. PDRB sektoral untuk menentukan nilai PDRB suatu daerah yaitu:
1. Sektor Pertanian, meliputi:
a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan clan hasil-hasilnya
d. Kehutanan e. Perikanan
2. Sektor Pertambangan dan Penggalian, meliputi:
a. Minyak dan Gas Bumi
b. Pertambangan tanpa Migas c. Penggalian
3. Sektor Industri Pengolahan, meliputi:
a. Industri Migas:
i. Pengilangan Minyak Bumi
ii. Gas Alam Cair
b. Industri Tanpa Migas:
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
29
i. Makanan, Minuman, dan Tembakau
ii. Tekstil, barang kulit dan alas kaki
iii. Barang kayu dan hasil hutan lainnya
iv. Kertas dan barang cetakan
v. Pupuk, kimia dan barang dari karet
vi. Semen dan barang galian bukan logam
vii. Logam dasar besi dan baja
viii. Alat angkutan mesin dan peralatannya
ix. Barang lainnya
4. Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih
a. Listrik b. Gas c. Air Bersih
5. Sektor Konstruksi (Bangunan)
6. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
a. Perdagangan Besar dan Eceran
b. Hotel c. Restoran
7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
a. Pengangkutan:
i. Angkutan rel.
ii. Angkutan Jalan Raya
iii. Angkutan Laut iv. Angkutan Sungai, Danau danPenyeberangan
v. Angkutan Udara vi. Jasa Penunjang Angkutan
b. Komunikasi:
i. Posdan Telekomunikasi ii. Jasa Penunjang Komunikasi
8. Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
a. Bank b. Lembaga Keuangan tanpa Bank
c. Jasa Penunjang Keuangan
d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan
9. Jasa-jasa
a. Pemerintahan Umum:
i. Administrasi Pemerintahan & Pertahanan ii. Jasa Pemerintah lainnya
b. Swasta:
i. Sosial Kemasyarakatan
ii. Hiburan & Rekreasi iii. Perorangan dan rumah tangga
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
30
Tabel 6.2 Sektor PDRB
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
31
Analisis Tipologi Klassen
Untuk memetakan potensi daerah secara sektoral yang didasarkan pada data
PDRB, kita dapat menggunakan analisis Tipologi Klassen.Analisis Tipologi Klassen
merupakan teknik pengelompokan suatu sektor dengan melihat pertumbuhan dan
kontribusi sektor tertentu terhadap total PDRB suatu daerah. Dengan menggunakan
analisis tipologi Klassen, suatu sektor dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori,
yaitu:
1. sektor unggulan (prima),
2. sektor potensial, 3. sektor berkembang, dan 4. sektor terbelakang.
Sektor prima adalah sektor yang paling dominan kontribusinya terhadap
perekonomian daerah.Suatu sektor dikategorikan ke dalam sektor prima apabila sektor
tersebut pertumbuhannya tinggi dan kontribusinya terhadap PDRB besar, sedangkan
sektor potensial adalah sektor yang juga memberikan kontribusi tinggi bagi
perekonomian daerah tetapi pertumbuhan sektor tersebut lambat dan cenderung
menurun.Sektor berkembang adalah sektor yang sedang mengalami peningkatan, yang
diindikasikandengan pertumbuhan tinggi tetapi kontribusinya masih rendah.Sektor
terbelakang adalah sektor yang menjadi kelemahan daerah yang diindikasikan dengan
pertumbuhan lambat dan kontribusi terhadap PDRB rendah.
Implikasi pemetaan potensi ekonomi tersebut terhadap kebijakan manajemen
keuangan publik adalah sektor unggulan pernerintah perlu menjaga stabilitas
pertumbuhan sektor unggulan, sebab sektor ini menjadi kekuatan dan daya saing
daerah (core competence).Sektor unggulan ini jika tidak dikelola dengan baik bisa
bergeser menjadi sektor potensial, yakni pertumbuhannya akan menurun meskipun
jumlahnya masih cukup besar. Untuk sektor berkembang pemerintah perlu melakukan
upaya optimalisasi melalui intensifikasi.Sektor berkembang ini merupakan prospek
bagi daerah karena masih memungkinkan untuk ditingkatkan lagi kontribusi sektor
tersebut sehingga menjadi sektor unggulan.Tetapi jika sektor berkembang ini tidak
dikelola dengan baik, maka bisa jadi sektor berkembang akan turun menjadi sektor
terbelakang. Sementara itu, untuk sektor potensial perlu pembinaan dan pembenahan
sebab sektor potensial ini memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian
daerah tetapi pertumbuhannya sudah mulai menurun.
6.2. Penghitungan Potensi Pendapatan
Analisis Tipologi Klassen bermanfaat untuk mengidentifikasi peta potensi ekonomi
secara makro tetapi tidak menunjukkan jumlah riil potensi yang ada.Untuk mengetahui
besarnya potensi riil pendapatan yang dimiliki oleh suatu pemerintah daerah,
diperlukan identifikasi dan penghitungan potensi dengan basis mikro. Penghitungan
potensi pendapatan pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: 1)
basis makro, dan 2) basis mikro. Penghitungan pendapatan basis makro, misalnya
dilakukan melalui teknik estimasi dengan model regresi ekonometrik yang
menggunakan variabel makro ekonomi sebagai proksi, sedangkan penghitungan basis
mikro dilakukan dengan cara melakukan survei dan observasi terhadap objek dan
subjek pajak kemudian dilakukan penghitungan (assessment) potensi pendapatan yang
ada. Sebelum membahas lebih lajut mengenai cara menghitung potensi pendapatan
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
32
dengan basis mikro, terlebih dahulu perlu diketahui klasifikasi pendapatan
pemerintah daerah yang ada. Hal ini penting sebab penghitungan potensi bisa meliputi
objek dan rincian objek pendapatan, sehingga perlu dikenali apasaja yang menjadi
objek dan rincian objek pendapatan daerah.
Klasifikasi Pendapatan Pemerintah Daerah
Klasifikasi pendapatan pemerintah daerah dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
pendapatan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.Pendapatan
pemerintah daerah dapat diklasifikasikan berdasarkan kelompok, jenis, objek, dan
rincian objek pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi: 1) Pendapatan Asli
Daerah (PAD), 2) Dana Perimbangan, dan 3) Lain-lain Pendapatan yang Sah. Masing-
masing kelompok pendapatan dirinci lagi menurut jenis pendapatan, misalnya untuk
pemerintah kab/kota jenis pendapatan dari kelompok PAD meliputi Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Bagian Laba Perusahaan Daerah, dan Lain-lain PAD yang Sah.
Jenis pendapatan dirinci menurut objek pendapatan, dan objek pendapatan dirinci lagi
menjadi rincian objek pendapatan. Jenis, objek, dan rincian objek pendapatan daerah
tersebut dapat dilihat pada daftar klasifikasi pendapatan berikut ini:
1. Analisis potensi pendapatan penting untuk membuat perencanaan anggaran yang komprehensif dan lebih realistis. Analisis potensi pendapatan bertujuan untuk
mengetahui peluang besarnya perolehan pendapatan optimal yang masih dapat
direalisasikan. Potensi pendapatan sifatnya masih tersembunyi, sehingga perlu
diteliti besarnya potensi pendapatan yang ada.
2. Pernerintah daerah perlu mengenali potensi pendapatan daerahnya. Besarnya potensi pendapatan satu daerah dengan daerah yang lain berbeda-beda yang
dipengaruhi oleh faktor demografi, ekonomi, sosiologi, budaya, geomorfologi, dan
lingkungan.
3. Pemerintah daerah perlu memetakan keunggulan daerah, yaitu mengidentifikasi sektor-sektor yang menjadi keunggulan daya saing daerah, sektor yang masih
potensial untuk dikembangkan, dan sektor terbelakang yang menjadi kelemahan
atau kekurangan daerah. Untuk mengetahui peta keunggulan daerah, pemerintah
dapat melakukan analisis Tipologi Klassen dengan menggunakan data PDRB.
4. Penghitungan potensi pendapatan pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu basis makro dan basis mikro. Penghitungan pendapatan basis
makro dapat dilakukan melalui teknik estimasi dengan model regresi
ekonometrik yang menggunakan variabel makro ekonomi sebagai proksi,
sedangkan penghitungan basis mikro dilakukan dengan cara melakukan survei
dan observasi terhadap objek dan subjek pajak kemudian dilakukan penghitungan
potensi pendapatannya.
1. Berdasarkan data PDRB pemerintah daerah Anda, buatlah analisis Tipologi Klassen. Kemudian identifikasikan sektor-sektor manakah yang masuk dalam
IKHTISAR
PERTANYAAN
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
33
kategori unggul (prima), potensial, berkembang, dan terbelakang.
2. Berikan pendapat Anda bagaimana upaya yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan potensi pendapatan daerah.
3. Jelaskan arti pentingnya studi potensi pendapatan daerah bagi pihak eksekutif, legislatif (DPRD), dan masyarakat khususnya wajib pajak.
4. Berikan analisis Anda tentang pengaruh studi potensi pendapatan dengan tingkat senjangan anggaran (budgetary slack) dalam perencanaan APED.
-
[ MODUL MANAJEMEN KEUANGAN PUBLIK ]
34
BAB VII
MANAJEMEN BELANJA DAERAH
7.1. Kebijakan Belanja Daerah dan Manajemen Belanja Daerah
Dalam kaitannya dengan belanja daerah, terdapat dua aspek yang secara konseptual
berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang erat, yaitu kebijakan belanja (expenditure
policy) dan manajemen belanja (expenditure management). Kebijakan belanja
terkait dengan penentuan "apa yang akan dilakukan" yang berimplikasi pada
kebutuhan pengeluaran atau belanja, sedangkan manajemen belanja terkait dengan
"bagaimana melaksanakan anggaran untuk membiayai aktivitas secara ekonomis,
efisien, dan efektif." Kebijakan belanja daerah ditentukan pada tahap perencanaan
anggaran, sedangkan manajemen belanja daerah dilakukan pada tahap implementasi
anggaran. Kebijakan anggaran belanja cenderung lebih bersifat politik, sedangkan
manajemen belanja lebih bersifat teknis. Data yang diperlukan untuk membuat
kebijakan belanja berbeda dengan data yang digunakan untuk manajemen belanja.
Meskipun dalam beberapa hal berbeda, namun kebijakan belanja sangat
mempengaruhi manajemen belanja. Pada dasarnya manajemen belanja akan
menyesuaikan kebijakan belanja yang diambil pemerintah daerah.
Kebijakan Belanja Daerah
Kebijakan belanja daerah biasanya dituangkan dalam dokumen per