misi nommensen dengan hkbp kini (suatu perbandingan...
TRANSCRIPT
BAB III
PEMAHAMAN DAN PRAKTEK MISI
NOMMENSEN DAN HKBP
Dengan masuknya para penjajah ke tanah Batak seakan membuka kehidupan baru bagi
bangsa Batak. Bangsa Batak yang dahulu masih didalam “kegelapan”, kini telah sedikit berubah
dan siap menuju era modernisasi. Meskipun penjajahan sangatlah dikecam, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa dengan adanya penjajahan akan memberikan dampak baik secara moril
maupun materil. Penjajahan di tanah Batak sangatlah membantu para misionar, untuk bisa
mengabarkan injil keselamatan bagi bangsa batak yang masih hidup didalam kegelapan.
Para misionaris yang datang ke tanah Batak, berhasil membawa keluar bangsa Batak menuju
era modern. Perubahan pun banyak terjadi mulai dari kekerabatan, hukum serta agama juga
mengalami perubahan. Bangsa Batak yang dahulu hidup dalam masa kehidupan berhala, yang
masih percaya kepada dukun dan dewa-dewa, kini berubah mereka telah mau masuk Kristen dan
memilih Yesus sebagai Juruselamatnya. Didalam kehidupan sehari-hari juga bangsa batak
banyak mengalami perubahan, yang dahulu masih tertutup akan keberadaan orang baru kini
menjadi terbuka.
Keadaan masyarakat Batak sebelum datangnya para penginjil dari dunia barat, tidak mudah
untuk dilukiskan, karena dokumen-dokumen yang mencatat sejarah sosial suku bangsa Batak
pra-penginjilan sangat minim. Satu-satunya peristiwa yang membentuk ingatan kolektif
masyarakat Batak dan dianggap menjadi titik balik adalah saat pendudukan tanah Batak oleh
kaum Pidari atau Bonjol yang datang dari Minangkabau (bagian selatan Tanah Batak). Pada
zaman pendudukan yang terjadi tahun 1820-an ini, terjadi tindakan-tindakan pembakaran desa
dan pembantaian masyarakatnya. Tindak kekerasan yang dialami penduduk tanah Batak telah
menimbulkan luka mendalam bagi masyarakat Batak sehingga sulit dilupakan dari generasi ke
generasi.
Perjalanan sejarah Tanah Batak sampai masuknya tiga kekuatan asing secara bersamaan,
yaitu agama Islam, kolonialisme Belanda, dan agama Kristen disimpulkan sebagai zaman Pidari
atau zaman Bonjol. Zaman ini diwarnai dengan situasi yang penuh dengan konflik sosial dan
perang antar desa. Selain itu, praktek judi dan praktek rentenir oleh para raja desa, juga
menambah keterpurukan masyarakat. Ditambah lagi, seringnya masyarakat ditimpa wabah
penyakit seperti begu antuk (penyakit kolera atau penyakit sampar), pengalaman-pengalaman
pahit ditimpa gempa dan minimnya pangan pada musim menanam padi. Zaman pra-penginjilan
ini, sering disebut dengan zaman yang penuh kegelapan, kekacauan, dan zaman penyembahan
berhala (hasipelebeguon).
Para penginjil dari dunia barat tergerak hatinya untuk membuka lapangan penginjilan di
Tanah Batak sekalipun informasi tentang keadaan daerah tersebut masih sangat kurang. Dengan
semangat menginjili, mereka mencoba memasuki daerah Tanah Batak. Satu-satunya pintu masuk
bagi mereka yang datang dari dunia barat (Eropa dan Amerika) adalah melalui pelabuhan di
pantai Sumatera bagian Barat seperti Padang, Natal dan Sibolga. Ada empat penginjil yang
sering disebut sebagai perintis pekabaran Injil di Tanah Batak, yaitu Richard Burton dan
Nathaniel Ward dari Inggris serta Samuel Munson dan Henry Lyman dari Amerika.1
3.1. Penginjilan di Tanah Batak
1. Burton dan Ward (1824)
1
1
J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 25
Tahun1824 Burton dan Ward tiba di Sibolga. Lalu mereka jalan kaki selama dua hari ke
lembah Silindung. Kehadiran mereka nampaknya cukup mendapat sambutan hangat dari
penduduk Silindung. Dalam suatu pertemuan besar bersama penduduk Silindung, kedua
penginjil tersebut sempat menceritakan tentang kesepuluh Dasa Titah. Penduduk Silindung
memahami Dasa Titah itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dituntut oleh falsafah hidup Batak
dalam patik dan uhum Batak. Khotbah dari kedua penginjil tersebut menimbulkan rasa ingin tahu
bagi sebagian orang Batak terutama tentang nama Yesus Kristus yang baru didengar. Kunjungan
mereka malah mendapat sambutan dari Raja Sisingamangaraja di Bakkara, yang mengundang
mereka datang ke Bakara. Tetapi kedua penginjil tidak lagi melanjutkan kunjungannya ke
Silindung, mungkin karena mereka tidak didukung oleh sarana dan tenaga yang cukup memadai.2
2. Munson dan Lyman (1834)
Pada tahun 1834, dua keluarga penginjil Amerika, Munson dan Lyman, naik kapal laut
dari Boston –Amerika 10 juni 1833. Tiba di Jakarta (Batavia), 30 September 1833 dijemput oleh
Pdt. Medhurst, seorang penginjil utusan sending Inggris (London Missionary Society-LMS).
Selama di Jakarta mereka memperlengkapi diri dengan belajar bahasa Cina dan Melayu, dua
bahasa yang menjadi bahasa pengantar umum di Jakarta. Sementara menunggu surat izin kerja di
Sumatera dari pejabat Gubernur Jenderal J.C. Baud di Bogor, mereka membuka pelayanan di
bidang kesehatan dan pengobatan sambil membagi-bagikan brosur santapan rohani kepada orang
yang berobat.
Tanpa bersama keluarganya, Munson dan Lyman berangkat dari Jakarta menumpang
kapal laut menuju Padang 7 April 1834 dan tiba 29 April 1834. Mereka berada di Padang sampai
2
2
Ibid, 30
11 Mei 1834 untuk memperoleh informasi tentang penduduk Sumatera. Mereka bertemu dengan
penduduk pribumi setempat, orang Melayu, Cina dan Nias. Kedua penginjil tersebut juga ingin
mengetahui tentang Padri di Minangkabau dan seberapa Jauh dampak serbuan tentara Padri di
Tanah Batak. Dari padang Munson dan Lyman berangkat 11 Mei 1834 naik sebuah tongkang
penduduk yang biasa mengunjungi Pariaman, Air bangis menuju pulau-pulau batu sampai di
Pulau Nias. Kedua penginjil, bersama para penumpang lain, telah mengalami betapa kencang
angin yang menerpa tongkang tersebut. Mereka merasakan tongkang ibarat sebuah bola kecil
dipermain-mainkan ombak yang bergulung-gulung. Akhirnya, mereka tiba 17 Juni 1834 di Pulo
Pamarenta, demikian sebutan popular dari Pulau Pocan Kete, pusat pemerintahan Inggris
kemudian Belanda, yang sudah dekat dengan Sibolga. Pada tanggal 28 Juni 1834, Munson dan
Lyman berangkat menuju Silindung. Ahli penunjuk jalan memperkirakan bahwa rombongan
akan tiba pada sore hari di desa Sitangka di Silindung, di rumah Raja Barampak Lumbantobing.
Menginap di sana dan direncanakan pada hari minggu pagi akan mengadakan kebaktian Minggu
bersama penduduk desa Sitangka. Menjelang sore mereka tiba di Lobu Sisangka daerah Lobu
Pining, sebuah tempat berupa hutan karena ditumbuhi pepohonan dan lalang serta semak-belukar
yang lebat, yang menghambat penglihatan ke depan. Beberapa saat kemudian, sebuah
rombongan besar yang lengkap dengan senjata tombak datang menyergap Munson dan Lyman.
Munson dan Lyman serta juru masak yang ingin menolong tuannya tewas di tempat karena
hujaman tombak menembus tubuh mereka. Perjalanan mereka terpaksa terhenti di Lobupining
untuk selama-lamanya dan mereka tidak kembali bersama keluarganya yang saat itu ditinggalkan
di jakarta.3
3
3
Ibid, hal 35
3. Sending Ermelo dari negeri Belanda.
Secara umum Pekabaran Injil di dunia adalah mengikuti pembukaan segala benua melalui
gerakan imperialisme dan kolonialisme. Maka, tak heran apabila misionaris perintis ditanah
batak bertahan di Sipirok dan Angkola yang sudah masuk dalam penaklukan Belanda, belum
masuk ke tanah Batak sebelum daerah itu betul-betul masuk dalam kekuasaan Belanda. Setelah
Burton-Ward dan Munson- Lyman, misionaris perintis lain yang menyusul adalah Gerrit van
Asselt. Dia diutus Ds Wetteven dari kota Ermello, Belanda, tiba di Sumatera mei 1856 dan
berpos di Sipirok, 1857. Organisasi yang mengirimkan Gerrit van Asselt sangat kecil, bahkan
dalam buku sejarah gereja, karangan Dr.H. Berkof dan Dr. IH Enklar sama sekali tidak disebut-
sebut. Ada yang mencatat Zending Ermello berada di bawah naungan Nederlandese Zending-
Genootschap (NZG) yang berdiri pada tahun 1797, sebuah organisasi Zending darimana NZV
berasal.
Karena ketiadaan dana Gerrit van Asselt pun membiayai sendiri tugas-tugasnya sebagai
penginjil. Hasilnya tentu tidak maksimal karena konsentrasinya terbagi sebagai opzichter
(pelaksana) pembangunan jalan di Sibolga dan kemudian menjadi opzichter (administrator)
gudang kopi milik Belanda di Sipirok. Zending Ermelo mengirimkan lagi beberapa misionaris
mendampingi Gerrit van Asselt, yaitu FG Betz, Dammerboer, Koster, dan van Dallen. Misionaris
ini menyusul bekerja sebagai tukang, mengingatkan model Pekabaran Injil yang dilakukan Ds.
OG Heldring di Irian, Sangir dan Talaud.4
Koster dan Van Dallen ditempatkan di Pargarutan. Van Dallen kemudian pindah ke
Simalapil. Dammerbooer jadi opzichter di sekolah Belanda sebelum ke huta Rimbaru dan masuk
4
4
Ibid, 36
ke Mission Java Komite. Gerrit van Assel sendiri pada 31 Maret 1961 membaptis orang Batak
Kristen pertama, Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon di Sipirok.5
4. Penginjilan RMG
Para penginjil RMG melukiskan kehadiran Injil Yesus Kristus di Tanah Batak bagai
perang antara terang dan kegelapan, antara pemerintahan Tuhan Allah dan pemerintahan iblis
(sibolis). Demi menonjolkan rahmat yang dibawa oleh para penginjil sejak penghujung tahun
1850-an di Mandailing dan Angkola. Daerah tanah Batak di bagian selatan tersebut telah
diduduki Belanda sejak 1830-an dan kemudian Belanda melanjutkan ekspansinya ke Tanah
Batak bagian Utara mulai dari Silindung pada tahun 1878. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa
serangan-serangan Padri itu tidak hanya memporak-porandakan seluruh Tanah Batak bagian
Selatan sampai di daerah sekitar Danau Toba di bagian Utara, tetapi juga memicu reaksi berantai
berupa melemahnya hukum tradisional dan terjadinya demoralisasi. Namun yang paling berjasa
merobah wajah tanah Batak adalah pada kepemimpinan Pdt. Ingwer Ludwig Nommensen yang
disebut juga sebagai rasul orang Batak selama 56 tahun melayani di tanah Batak (20 Mei 1864-
23 Mei 1918) dengan metode empat pilar penginjilan, yaitu babtisan, pendidikan, kesehatan dan
komunikasi.6
3.2. Pekerjaan Misi Nommensen
1. Inger Ludwig Nommensen
5
5
http://okahutabarat.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-agama-di-tanah-batak/(25-02-2012;21.45)
6
6
T.h. van den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 264
Adalah seorang anak kecil dari keluarga Jerman, yang merupakan pasangan dari Peter
Nommensen dan Anna. Mereka merupakan keluarga miskin dan menderita, tinggal di sebuah
pulau kecil di pantai utara Jerman berbatasan dengan wilayah Denmark, di sanalah Ludwig
Nommensen dilahirkan yaitu pada tanggal 6 Februari 1834. Sejak kecil Nommensen telah
diajarkan untuk taat beragama oleh ibunya, dia selalu diajari untuk mengatakan “Amen” oleh
ibunya, agar Nommensen tetap merasa tabah dan ceria. Hal ini di dasarkan atas keluarga mereka
yang sangat miskin. Ayah nommensen, Peter sering kurang sehat namun harus menguras
tenaganya setiap hari demi kelangsungan hidup keluarganya. Peter selalu ramah kepada setiap
teman-temannya, dan merupakan seorang pekerja keras.
Kelahiran Nommensen merupakan sebuah anugerah bagi Peter dan Anna. Karena mereka
mengharapkan agar Nommensen dapat menjadi tumpuan harapan bagi keluarga mereka dan bagi
orang-orang di sekitarnya, yaitu sesuai dengan namanya Inger Ludwig (Inger identik dengan
jenis tanaman lengkuas, jahe, kencur, kunyit, dan sejenisnya). Keinginan Nommensen untuk
menjadi seorang misionaris telah dimulai sejak kecil, karena pada saat itu dia sudah tertarik
dengan cerita gurunya Callisen tentang misionar yang berjuang untuk membebaskan
keterbelakangan, perbudakan pada anak-anak miskin.
Berawal pada saat berumur 12 tahun ketika kedua kakinya sakit parah karena kecelakaan
kereta kuda pulang dari sekolah. Selama setahun lebih tidak dapat berjalan, kakinya hampir
diamputasi. Dia berjanji kepada Tuhan bahwa akan menjadi misionar apabila kedua kakinya
sembuh kembali. Dia akan pergi jauh untuk membebaskan anak-anak miskin yang budak karena
hutang orang tuanya, dia akan memberitakan Firman Tuhan kepada pelbegu (penyembah
berhala) yang sangat terbelakang sebagaimana sering diceritakan gurunya Callisen yang sangat
dikaguminya. 7
7
7
Lothar Schrainer, Adat dan Injil, (Jakarta:BPK Gunung Mulia),2004,32.
Pada tahun 1857 Ingwer Ludwig Nommensen masuk sekolah pendeta di RMG Barmen
setelah menunggu sekian lama. Ketika mendengar berita ada 4 orang Misionar RMG Barmen
serta 3 orang isteri misionar terbunuh di Borneo, berita itu semakin menggugah hati Ingwer
Ludwig Nommensen untuk pergi ke daerah pelbegu dan menjadi seorang misionar.
Setelah Nommensen ditahbiskan sebagai pendeta, ia langsung diberangkatkan oleh Missi
Barmen menjadi misionar ke Tanah Batak. Berbekal sebagai seorang teolog muda, Nommensen
menerima tantangan untuk mendedikasikan ilmu, iman dan pengabdiannya bagi Bangsa Batak
dengan melakukan penginjilan, yang hanya diketahuinya dari buku literatur yang terbatas dan
dengar-dengaran dari sumber-sumber yang belum tentu teruji kemampuannya dalam
menggambarkan sifat, sikap dan alam Batak, nun jauh di timur. Perbedaan budaya, bahasa dan
agama tidak menyurutkan niatnya untuk memulai “pengabdian” di tengah perlawanan dan
ancaman Bangsa Batak yang belum terbiasa menerima kehadiran “orang aneh”, yang berlainan
bahasa, pola hidup, warna kulit dan mata serta rambutnya. 8
2. Pekerjaan Misi Nommensen di tanah Batak
Bagi masyarakat Batak awam, sejarah sosial masyarakat Batak (Toba) yang kelam selama
zaman pidari diakhiri dengan masuknya para penginjil Kristen. Penginjil I.L. Nommensen telah
mendirikan godung (setasi sending) pertama di Silindung 1864, yaitu godung Hutadame. Itulah
jemaat pertama yang berdiri di daerah Batak merdeka. Berselang 14 tahun kemudian, kolonial
Belanda mendirikan pemerintahannya di Silindung 1878. Dari Silindung tentara Belanda
melanjutkan ekspansinya hingga ke daerah-daerah Toba dan Samosir, sehingga seluruh tanah
88 Th.van den end dan J.weitjens,S.J. Ragi Carita 2, (Jakarta:BPK Gunung Mulia),2008, 186.
Batak sekitar Danau Toba menjadi wilayah pendudukan Belanda pada dekade pertama abad ke-
20. Kedatangan Nommensen sama seperti dengan para pendahulunya, masyarakat Batak tidak
menerima kehadiran orang asing di tempat mereka. Sehingga Nommensen mau dipersembahkan
ke Sombaon Siatas Barita(penguasa) dionan Sitahuru. Ribuan orang datang melihat Nommensen
akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia
berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Nommensen
selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas. Ingwer
Ludwig Nommensen pantas dijuluki “Apostel di Tanah Batak”.9
Pada masa awal pelayanannya di tanah Batak, Nommensen membangun sebuah rumah
bagi dirinya sendiri yang dimaksudkan sebagai pangkalan missi (zending). Akan tetapi tepat
setelah Nommensen membaptiskan orang-orang Batak yang telah bertobat pada tanggal 27
Agustus 1865, dirasa perlu untuk mendirikan sebuah perkampungan orang Kristen. Hal ini
dikarenakan orang-orang yang telah bertobat ini rupanya dikucilkan dari masyarakat Batak yang
waktu itu masih menyembah dewa-dewa nenek moyang mereka. Alhasil, Nommensen mengobah
pangkalan missi (zending) yang telah disebutkan sebelumnya menjadi sebuah kampung kecil,
sekaligus dilengkapi dengan parit-parit kecil dan tembok tanah serta gerbang pintu masuk,
seperti cara yang umum ketika itu dalam mendirikan sebuah perkampungan orang Batak. Di
dalam perkampungan ini ada pula sebuah gedung gereja yang sederhana, gedung sekolah dan
beberapa rumah lain. Perkampungan baru itu dinamakan dengan Huta Dame (Kampung
Perdamaian) yang sekarang ini berada dalam wilayah Saitnihuta, Tarutung, Kabupaten Tapanuli
Utara. Menurut anaknya (J.T. Nommensen), penamaan sebagai Huta Dame oleh Nommensen
ditujukan untuk mengingat pemeliharaan dan penyertaan Allah dan sekaligus sebagai harapan
99Dikutip dari http://simanjuntak.or.id/2008/05/13/ingwer-ludwig-nommensen-sang-pencerah/ pada tanggal 25 februari 2010 pukul 15 maret pukul 01.15 wib.
bahwa Tuhan akan membawa damai sejahteraNya ke tanah Batak. Dengan berdirinya Huta
Dame, secara otomatis Nommensen menjadi “kepala kampung” yang dalam adat Batak adalah
raja dan bertanggungjawab atas tingkah-laku penduduk kampungnya. Pada perkembangannya,
ada sekitar 33 orang yang tinggal di koloni yang baru itu. Mereka layaknya sebuah “keluarga
raksasa”, karena selalu mengadakan acara makan bersama-sama. Huta Dame inilah yang
kemudian hari sering disebut sebagai pargodungan, sebuah daerah percontohan untuk komunitas
Kristen.10
Ketika Nommensen melaksanakan misi Pekabaran Injilnya tidak ada sedikitpun ia
menganggap bahwa dengan memberikan bantuan sosial kepada masyarakat maka ia akan mudah
mengkristenkan mereka. Dalam hal ini Nommensen tidak ingin memanfaatkan masyarakat yang
ada pada saat itu, tetapi Nommensen berusaha mewujudkan kasih sebagai ajaran kekristenan
kepada masyarakat di tanah batak agar mereka juga mendapatkan kehidupan yang layak dan
lebih baik lagi. Pada masa awal Nommensen melakukan pelayanan, dia banyak bekerja dengan
mendatangi masyarakat ke rumah-rumah mereka ataupun mendatangi langsung ke tempat
pekerjaan mereka di sawah. Orang Silindung tertarik karena Nommensen menghibur mereka
dengan harmonikanya, Nommensesn juga memberi obat kepada orang yang membutuhkannya.
Nommensen pergi ke Sipoholon ingin tahu keadaan sebenarnya tentang kondisi lembah
Silindung. Banyak anak-anak mengikuti dia kemanapun dia pergi. Dia kadang disoraki, dicaci-
maki, bahkan ada anak-anak yang meludahinya sambil lari ketakutan. Namun Nommensen selalu
tersenyum dengan ramah, dengan kebijakan (habisuhon) yang ada padanya akhirnya dia
diperkenankan tinggal bersama mereka. Nommensen berhasil meyakinkan orang Silindung yang
10
1
http://pargodungan.org/sedikit-catatan-tentang-pargodungan/
dijumpainya bahwa dia bukan mata-mata Belanda tetapi pembawa kedamaian dan kesehatan.11
Oleh karena itu dengan pendekatan yang dilakukan Nommnensen, banyak orang yang simpati
kepadanya, termasuk raja-raja batak yang terdahulu. Dengan adanya keadaan seperti ini, maka
para raja memberikan sebidang lahan untuk dijadikan sebagai rumah tempat tinggal
Nommensen, dan di rumah yang diberikan kepadanya, dia memulai segala aktifitas pelayanan
nya, baik menjadi seorang mantri kesehatan ataupun menyampaikan firman Tuhan.
Pendidikan juga merupakan hal yang dibuat Nommensen pada masa awal misi nya. Sejak
kedatangannya, Nommensen sudah menunjukkan pentingnya pendidikan. Kegiatan misinya
selalu dibarengi pendidikan. Sekolah pertama yang berdiri di Tarutung (Silindung) adalah
sekolah Guru Zending di Pansurnapitu yang berdiri pada tahun 1877 dan dilanjutkan dengan
mendirikan Sekolah Pendeta pada tahun 1877. Khusus untuk Sekolah Guru dan Pendeta,
Nommensen menugaskan P.H. Johansen untuk memimpinnya, mereka berbagi tugas. Sekolah-
sekolah lainnya untuk umum (setingkat Sekolah Dasar) berdiri hampir di semua Pargodungan.
Pargodungan adalah komplek tempat berdirinya Gereja, rumah pendeta, rumah Guru Huria, dan
gedung sekolah, sekelilingnya dimanfaatkan untuk contoh pertanian). Dalam hal perdagangan
Nommensen juga membuat suatu hal yang baru. Sebelum Nommnesen datang, pada umumnya
pokan (pasar) di tanah Batak diadakan sekali 4 hari, mereka tidak pernah mengenal hari minggu.
Nommensen merobah kebiasaan tersebut, dimana hari pekan diadakan 7 hari atau sekali
seminggu, pekan kecil bisa dibuat diantaranya.12 Pada masa awal pelayanannya Nommensen
menerapkan langsung tata gereja yang dia bawa, meskipun tata gereja yang sangat sederhana
111 Pasaribu, Patar M. DR. Ingwer Ludwig Nommensen Apostel Di Tanah Batak, (Universitas HKBP Nommensen, 2005), 84-85
121 Pasaribu, Patar M. DR. Ingwer Ludwig Nommensen Apostel Di Tanah Batak, (Universitas HKBP Nommensen, 2005), 270-271
namun sangat membantu dalam hal pelayanannya dalam hal mengabarkan berita keselamatan.
Tata gereja yang dipakai pertama sekali adalah Tata Gereja (Jemaat) 1866, yaitu situasi awal
pemberitaan injil di Tanah Batak dan beberapa orang Batak masuk Kristen.
Tata Gereja (Jemaat) 1866 :
a. Mengatur kehidupan jemaat setempat di bidang kekristenan, bidang kebaktian
Minggu dan ibadat harian.
b. Untuk itu diangkat beberapa orang dari anggota jemaat jadi :
b.1. Sintua
b.2. Diakon
b.3. Diakones
b.4. Guru anak-anak
c. Urutan Tata Kebaktian Minggu : Pembacaan Dasa Titah sebelum pengakuan
dosa dan pengampunan dosa, tetap sampai sekarang mewarnai kebaktian HKBP.
Jadi menurut Teologi Kebaktian Martin Luther, bukan Calvin.
d. Khusus tentang jabatan Sintua sebagai jabatan gereja yang tetap berfungsi
hingga kinidengan volume kerja hampir sama yaitu mengurus kehidupan jemaat.
Masalahnya untuk kita (dari sudut teologis) ialah karena seorang Sintua
dibutuhkan harus dari kalangan pria, kawin atau sudah berumur 25 tahun. Ini
dijadikan syarat pada Tata Gereja 1930, dan 1940 (“baoa”).13
Pekerjaan Nommensen diberkati Tuhan sehingga Injil makin meluas. Sekali lagi ia
memindahkan tempat tinggalnya ke kampung Sigumpar pada tahun 1891, dan ia tinggal di sini
sampai wafat. Nommensen menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak
131 Hutauruk, J.R. Menata Rumah Allah (Kumpulan Tata Gereja HKBP) , (Pematang Siantar : STT-HKBP, 1994) 8
(Silindung - Samosir - Humbang - Toba). Ia juga berusaha memperbaiki pertanian dan
peternakan. Sekolah-sekolah, balai-balai pengobatan dibukanya. Dalam misinya, ia menyadari
perlunya melibatkan orang-orang Batak. Maka dibukanyalah sekolah penginjil yang
menghasilkan penginjil-penginjil Batak pribumi. Demikian juga untuk memenuhi kebutuhan
guru di sekolah, Nommensen membuka pendidikan guru. Kesungguhan dan keteguhan
Nommensen, terbukti mampu memenangkan penolakan besar Bangsa Batak yang berbuah pada
dimulainya era baru bagi kehidupan sosial dan spiritual, hingga berimplikasi luas pada tatanan
mayoritas Batak. Pendekatan sosial religius, tidak terpungkiri mewarnai kehidupan sebagian
besar di antara kita saat ini. Nommensen dalam pelayanannya bukan hanya memberitakan injil
secara verbal tetapi sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat, pendidikan, pemahaman akan
kesehatan serta membangun seluruh aspek kehidupan manusia, rohani kehidupan insan bangsa
Indonesia khususnya yang berasal dari Tapanuli Bagian Utara.
3.3. Berdirinya HKBP
Huria Kristen Batak Protestan sebagai salah satu gereja dengan jemaat terbesar di Asia
Tenggara dan merupakan wadah persekutuan umat Kristen dari suku Batak yang memiliki
dinamika di dalam sejarah perkembangannya dari masa ke masa. Kronologi bertumbuhnya
kekristenan di tanah Batak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan sejarah gereja HKBP
sebagai inti dari perkembangan gereja-gereja Batak di Sumatera Utara. Penetapan hari jadi
HKBP tanggal 7 Oktober 1861 memiliki makna sejarah sejarah dan teologis yang mendalam.
Tanggal 7 Oktober 1861 menjadi titik balik sejarah penginjilan dan sejarah gereja HKBP. Sejarah
penginjilan dan sejarah gereja ibarat dua sisi dari satu mata uang logam yang sama. Gereja tanpa
penginjilan adalah bukan gereja. Itulah sebabnya peristiwa 7 Oktober 1861 diartikan dan
dimakanai dari dua segi, yakni penginjilandan gereja. Hasil penginjilan di Tanah Batak adalah
agama Kristen atau kekristenan yang di dalamnya terdapat sejumlah jemaat atau pargodungan
(setasi sending dan sekaligus huria/ jemaat). Jemaat-jemaat tersebutsejak awal sudah diarahkan
dan membentuk sebuah gereja yang kelak menjadi sebuah gereja yang mandiri dari lembaga
sending barat (RMG).
Pada awalnya 7 Oktober 1861 adalah titik balik penginjilan dari lembaga sending Rhein di
dunia ini. Karena jauh sebelum tahun 1861 sending Rhein telah membuka daerah penginjilannya
di Namibia-Afrika Selatan, China, Kalimantan dan di Amerika Utara. Tetapi sejak 7 Oktober
1861 dibuka pula satu daerah penginjilan baru di Sumatera, di Bataklanden atau Tanah Batak.
Daerah penginjilan baru ini diberi nama Battakmission yang kemudian disebut Batakmission atau
Mission-Batak. Tanggal lahir Batakmission ditentukan pada 7 Oktober 1861 bertetapan dengan
tanggal dari rapat pertama para penginjil utusan RMG di Tanah Batak. Batakmission dalam hal
ini berarti himpunan dari seluruh para utusan RMG di Tanah Batak beserta asetnya mencakup
seluruh pargodungandan jemaat serta pelayan Pribumi. Lembaga sending dan lembaga
kegerejaan terpadu dalam suatu lembaga yang bernama Batakmission (bahasa Jerman) atau
Mission-Batak (bahasa Batak). Lembaga Batak-Mission ini sejak 1881 dipimpin oleh seorang
pemimpin dengan jabatan Ephorus yang dilayankan oleh penginjil Ingwer Ludwig Nommensen
(1881-1918).
Nama Batakmission telah melekat dalam ingatan para penginjil RMG dan juga umat Kristen
Batak yang terhimpun dalam berbagai huria/jemaat. Penginjil Dr. Johannes Warneck (Ephorus
sejak 1920-1932) menulis sebuah buku dalam rangka menyambut Jubileum 50 dan 60 tahun
Batak-Mission dengan judul : Sechzig Jahre Batakmission in Sumatera (60 tahun Mission-Batak
di Sumatera). Pemaknaan sedemikian juga telah dijemaatkan oleh para pelaku sejarah
Batakmission sejak 1905; Tanggal 7 Oktober adalah hari jadi Batakmission di Tanah Batak.
Tanggal tersebut sejak 1936 dimaknai oleh HKBP sebagai hari jadi HKBP sebagaimana
termaktub dalam buku Jubileum 75 tahun HKBP: 1861-1936.14
Gereja HKBP bertumbuh di Tanah Batak kemudian berdiaspora ke berbagai tempat di mana
orang Batak merantau baik di berbagai pelosok Indonesia maupun di luar negeri, seperti di
Singapura, Kuala Lumpur, Los Angeles, New York, Seattle dan di negara bagian Colorado. Saat
ini HKBP memiliki lebih dari 3 juta anggota di seluruh Indonesia. HKBP juga mempunyai
beberapa gereja di luar negeri, seperti di Singapura, Kuala Lumpur, Los Angeles, New York,
Seattle dan di negara bagian Colorado. Umumnya anggota jemaat HKBP adalah orang Batak,
namun banyak juga dari berbagai suku bangsa lainnya. Adanya departemen zending di dalam
HKBP sangatlah membantu kegiatan misi yang HKBP lakukan. Kebanyakan gereja itu
menginjili dalam kalangan suku mereka sendiri-dan dengan sukse besar seperti GBKP-
sedangkan HKBP sejak dahulu berani melampaui batas-batas suku Batak Toba dan menjangkau
tempat-tempat yang jauh, seperti kepulauan Mentawai, pulau Rupat, daerah Jambi dan Riau
dengan banyak transmigran dari pulau Jawa dan beberapa daerah lainnya. Dalam kaitan ini, patut
dihargai karya Pdt. AB Siahaan yang cukup lama bekerja sebagai motor Departemen Zending
HKBP, yang selalu bermotivasi tinggi untuk menjangkau mereka yang “diseberang” batas-batas
suku sendiri. Pola ini menjelma ke satu defini dan pengertian akan misi sebagai crossing
frontiers, artinya melampaui batas-batas.
Misi yang dijalankan Zending Batak ini cukup berhasil. HKBP sudah cukup lama tidak lagi
merupakan suatu objek misi dari luar, yakni dari RMG. Kini HKBP sudah menjadi subjek
pengutusan sambil dapat merancangkan dan melaksanakan misinya sesuai dengan pola dan
141 J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 4-5
tujuan yang ditetapkan sendiri. Dengan kata lain, satu gereja yang sekian lama diinjili menjadi
gereja yang menginjili.15
Gereja yang berkantor pusat di Pearaja, Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera
Utara, ini adalah gereja yang berasaskan ajaran Lutheran dan merupakan anggota dari Federasi
Lutheran se-Dunia (Lutheran World Federation) yang berpusat di Jenewa, Swiss. HKBP juga
anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), anggota Dewan Gereja-gereja Asia
(CCA), dan anggota Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD).16
3.4. Perkembangan Pelayanan HKBP
HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP,
melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan
Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan
bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan
global dalam menghadapi tantangan Abad-21. Ini adalah merupakan misi HKBP, maka HKBP
berusaha meningkatakan kesejahteraan tiap-tiap jemaat agar mampu menjalani kehidaupan
sekarang ini. Dalam perjalanannya sebagai gereja, HKBP senantiasa mewujudkan peran
sosialnya baik di bidang ekonomi, politik dan budaya, di masa lalu dan di masa kini. Untuk
memahami peran sosial itu, kita perlu menghargai catatan sejarah, karena peran sosial atau
gerakan diakonia ini sangat tergantung pada kondisi relasional gereja sebagai institusi dan gereja
sebagai gerakan keperdulian sosial dan lingkungan. Baik dalam dinamika kehidupan internalnya,
151 Ulrich, Beyer. Dr. “United Evangelical Mission Bersekutu untuk Misi Bersama-sama” (Menggapai Gereja Inklusif); Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung 2004; hal: 231-232
161 Dikutip dari http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/b/bonar-napitupulu/index.shtml pada tanggal 28-10- 2011 pukul 14.10 wib
maupun kaitannya dengan dinamika eksternal seperti kekuasaan, modal, agama lain dan
kebudayaan, sangat diperhitungkan dinamikanya.17 Dari segi sejarah kepemimpinan Sending
RMG (1861-1940) dan HKBP (1940-2011) ada tiga kekuatan yang mengawali kemandirian
HKBP.
Pertama, lahirnya jemaat – jemaat sebagai persekutuan orang-orang yang baru dibaptis
sebagai hasil keterbukaan menerima Injil oleh kaum elit desa ( para raja/ pendiri desa dan
warganya. Mereka menyediakan pertapakan gedung gereja dan sekolah. Sejak 1881 jemaat
setempat berhak memilih pendeta pribumi menjadi pelayan sekaligus pemimpin jemaat di bawah
pimpinan tuan pandita yang memimpin resort, seperti tertuang pada pasal 19 Tata Gereja 1881.
Isi pasal ini tidak pernah diberlakukan. Terbentuknya badan majelis jemaat (kerkeraad dan
kasbestur) telah meningkatkan hak kemandirian jemaat setempat sejak 1920. Majelis jemaat
yang terdiri dari para sintua jemaat mengurusi soal-soal kerohanian dan badan kebendaharaan
“kasbestuur” mengurusi keuangan dan inventarsi jemaat. Anggotanya terdiri dari anggota jemaat
yang dianggap mampu mengemban tugas kebendaharaan itu. Majelis jemaat dibentuk oleh
jemaat sendiri. Jemaat dipimpin oleh pendeta pribumi atau guru pribumi. Kelembagaan jemaat
ini mencerminkan sistem presbiterial – sinodal HKBP, yang kemudian tertuang dalam tata
gereja 1930. Kemudian 1960an mengalami perubahan, di mana golongan kasbestuur ditiadakan
dengan alasan hanya mereka yang pemangku jabatan gereja ( sintua ) yang diijinkan jadi anggota
majelis sedang seorang warga jemaat tidak. Dan itulah yang berlaku hingga kini. Sistem
presbiterial-sinodal, yang dulu terdiri dari pemangku jabatan dan anggota jemaat sudah tiada,
dan yang ada kini ialah kumpulan para pejabat gereja. Dulu ada golongan “kas bestuur”, kini
sudah bagian dari masa tempo dulu. Hanya jemaat yang mampu membiayai diri sendiri dan
17
1
Nelson Siregar, Peran Diakonia Mewujudkan HKBP yang Inklusif dalam buku Menggapai Gereja yang Inklusif; (Tarutung: kantor pusat HKBP, 2004), 331.
mempunyai majelis jemaat, dapat diakui sebagai sebuah jemaat. Kemandirian ditopang oleh
kekuatan kekuangan dan lembaga majelis serta kasbestuurnya.
Kekuatan kedua. Pada awalnya, penataan otoritas tertinggi di atas semua jemaat yang sedang
tumbuh dan berkembang ialah kepemimpinan para pendeta utusan di bawah pimpinan seorang
Ephorus. Ephorus yang menempatkan guru pribumi dan pendeta di jemaat-jemaat. Para pendeta
utusan berfungsi sebagai penginjil (manca negara) sekaligus sebagai pendeta (resort). Di antara
pendeta resort ada pula yang berfungsi sebagai praeses. Ephorus berada pada puncak hirarkhi
kepemimpinan itu,yang dapat langsung setiap saat berkunjung dan mengawasi semua jemaat.
Kepemimpinan sedemikian rupa mencerminkan apa yang dikenal dengan sebutan episkopal, dan
disebut sinodal-episkopal, karena ephorus,praeses, pendeta resort dan guru atau pendeta yang
memimpin setiap rapat atau sinode mulai dari jemaat hingga ke sinode godang. Kedudukan
ephorus berada pada tingkat tertinggi dari kerucut kepemimpinan itu. Sejarah sending RMG dan
HKBP (1861-2011) telah mencatat adanya kontradiksi kedua unsur itu, dan itu paling sering
nampak di tengah jemaat HKBP yang jauh dari pusat hirakhi-episkopal itu, ketika jemaat-jemaat
itu menuntut hak dan tanggung jawabnya sebagai jemaat yang mandiri. Contoh: jemaat-jemaat
parserahan di Medan dan Jakarta (Batavia) pada tahun 1920an dan 1930an. Kedua unsur itu tetap
dipertahankan hingga kini. HKBP selalu berupaya menarik manfaatnya secara konstruktif dan
kreatif. Itulah dua kekuatan yang menopang kemandirian HKBP, kekuatan-kekuatan yang dalam
dirinya sendiri menyimpaan kontradiksi .
Kekuatan yang ketiga, ialah pemangku jabatan kependetaan itu. Adanya jabatan kependetaan
yang sejak awal melekat pada pribadi setiap misionaris sekaligus pendeta utusan. Karena alasan
praktis di mana pertambahan tenaga pendeta utusan tidak bakal dapat memenuhi kebutuhan
perluasan sending yang melahirkan jemaat, maka sejak 1868 dibuka pendidikan guru pribumi
dan sejak 1885 dibuka pendidikan pendeta pribumi, yang nanti dapat menjadi perpanjangan
tangan kaum pendeta utusan untuk melaksanakan tugas pelayanan di bidang khotbah termasuk
kedua sakramen baptian dan perjamuan kudus, pengajaran, penggembalaan dan pengelolaan
administrasi jemaat serta memimpin jemaat, status mereka sebagai pembantu, menuntut loyalitas
tinggi terhadap bapa rohani mereka, tuan pandita Jerman. Semua tugas pelayanan mereka dan
kebijakan mereka harus dilaporkan kepada atasannya. Mereka dipersiapkan di seminarium untuk
menjadi pendeta yang mampu membantu pendeta utusan, tuan pandita dalam tugas kegerejaan,
yaitu khotbah, pelayanan kedua sakramen dan penggembalaan. Ketaatan dan loyalitas yang
tinggi sangat menentukan mutu pelayanan mereka di mata para tuan pandita, atasan mereka.18
1.4.1. Struktur Organisasi HKBP19
Struktur organisasi HKBP dari tingkat pusat hingga ke jemaat kecil,beserta dengan departemen-
departemen yang ada, dapat dilihat dalam bagan dibawah ini;
18
1
J.R.Hutauruk, Tinjauan Sejarah Awal, Kemandirian HKBP data dari S. Hutauruk (Pendeta diperbantukan di HKBP Ressort Sutoya Jakarta)
19
1
Data dari Pdt.T.J. Aritonang (sekretaris khusus Ephorus HKBP)
Sesuai yang dikatakan oleh Pdt. T.M. Hasugian bahwa misi HKBP pada awalnya adalah
untuk memberitakan injil, maka setiap pekerjaan ataupun pelayanan yang diberikan HKBP sejak
Nommensen, adalah untuk kemuliaan nama Tuhan. Maka HKBP selalu berusaha untuk
menjangkau setiap segi kehidupan masyarakat, yang miskin hingga yang kaya, di desa maupun
di kota. Berbagai bentuk pelayanan untuk mensejahterakan masyarakat dibentuk oleh HKBP.20
Jika kita mengingat firman Yesus Kristus dalam Matius 5:13-14 perihal “garam dan terang
dunia”, kita pun mengingat bahwa pargodungan memiliki fungsi yang demikian. Sebagai garam
dan terang, ia adalah pelengkap kehidupan manusia. Sebagai pelengkap ia berperan untuk
202 Wawancara dengan Pdt.T.M. Hasugian (Praeses HKBP JABARTENGDIY) pada tanggal 20 Desember 2011, jam 14.00 WIB
membantu mengatasi seluruh masalah yang dihadapi oleh manusia baik secara jasmani maupun
rohani (meskipun kita tidak harus membedakannya).
Pargodungan yang awalnya merupakan lubang penjerat binatang-binatang liar memang
akhirnya “menjerat” orang-orang Batak untuk masuk ke dalam pelayanan Kristen. Bukan hanya
sebuah lubang, malah menjadi benteng yang kokoh, semua orang dapat melihat dan merasakan
kekuatannya serta rela “bersintesis” ikut mengambil bagian di dalamnya. Di
dalam pargodungan ini pula termaktub hampir seluruh esensi yang diharapkan dari sebuah
kekristenan. Ia adalah wujud dari integrasi ketiga tugas panggilan gereja (Koinonia, Marturia,
dan Diakonia), yang dicita-citakan, diharapkan, dan diusahakan oleh seluruh gereja di dunia ini.21
3.4.2. Bidang Pendidikan
3.4.2.1. Pendidikan Umum
Para penginjil yang datang dari Eropa ke Tanah Batak tidak saja melayani di bidang
kerohanian. Mereka juga menyelenggarakan pendidikan sebagai sarana untuk menyokong
pemberitaan Injil. I.L. Nommensen sebagai perintis pengkristenan di sebelah utara beserta
teman-teman sekerjanya memberikan perhatian yang sangat besar untuk mendirikan sekolah
sebab membina kerohanian saja tidak mungkin membentuk manusia seutuhnya. Artinya, gereja
tak mungkin berdiri sendiri di dalam masyarakat yang buta aksara. Oleh karena itu para penginjil
mendirikan sekolah di tanah batak. Selanjutnya akan dibahas perkembangan pendidikan di tanah
Batak.
Perkembangan pendidikan di tanah Batak :1861-1960-an
21
2
Wawancara dengan Pdt.T.M. Hasugian (Praeses HKBP JABARTENGDIY) pada tanggal 20 Desember 2011, jam 14.00 WIB
Sesuai dengan perkembangan Gereja di Tanah Batak, jumlah guru-guru Injil sangat
kurang dibandingkan dengan jumlah jemaat. Oleh karena itu para penginjil, berusaha membuka
sekolah-sekolah di Tanah Batak, agar para anak Pribumi atau orang Batak yang sudah terdidik
dapat membantu dan kelak menggantikan mereka dalam pemberitaan Injil. Lagi pula, pemerintah
kolonial Belanda juga membutuhkan pegawai. Anak-anak pribumi cukup berminat menjadi
pegawai sehingga gereja pun membuka sekolah dan menerima siswa-siswi untuk dididik. Namun
motif pertama pembangunan sekolah di tanah Batak adalah harapan akan lancarnya pertumbuhan
injil. Penyelenggaraan pendidikan umum sangat signifikan mempengaruhi perkembangan
kekristenan di kalangan orang Batak. Tahun berdirinya lembaga pendidikan umum HKBP adalah
sebagai berikut :
Tahun Keterangan1861 Sekolah-sekolah dasar untuk membaca dan
berhitung.1893 Sekolah dasar (SD) yang terkenal dengan
nama sekolah sending mendapat bantuan dari pemerintah Belanda, karena sekolah Sending ikut meningkatkan pengetahuan masyarakat, antara lain membaca, menulis dan berhitung.
1900 Sekolah Anak ni Raja yang memakai bahasa belanda didirikan di Narumonda. Di tempat itu juga didirikan sekolah teknik yang sangat banyak menamatkan pemuda-pemuda yang terampil di bidang pertukangan kayu dan besi. Tahun 1907 sekolah teknik dipindahkan ke laguboti. Lamanya belajar dua tahun. Kemudian sekolah itu mendapat bantuan dari pemerintah.
1911 Pendidikan yang lebih tinggi dari SD yaitu Hollands Inlands School (HIS) di sigompulon Tarutung dan kemudian terkenal dengan nama sikola Bolanda, sebab berbahasa belanda.
1927 Sekolah MULO Kristen di Tarutung dibuka
kira-kira setingkat dengan Sekolah menengah pertama (SMP). Pendidikan ini sangat bermutu tinggi, sehingga murid sekolah ini dapat diandalkan di seluruh Indonesia.
1930 Berdiri sekolah Vervolg (Vervolg School) untuk lanjutan dari kelas III SD, sesuai dengan rencana pemerintah.
1932-1942 Sekolah-sekolah dikalangan Kristen Batak tumbuh seperti jamur yang dinamakan Schakelschool, seperti di siorongborong, Balige, Sipoholon, Simorangkir, Sarulla, Garoga dan Pematang Siantar. Juga berdiri HIS Bumi Putera dan HIS Bregonstroth di Pematang Siantar. Semuanya berbahasa Belanda.
1945-1950 Persekolahan di HKBP bahkan di seluruh Indonesia bertumbuh dengan pesat. Seperti sekolah Rakyat (SR) yang tumbuh dimana-mana dan juga sekolah menengah atas (SMA) sebagai pengganti MULO.
1952 SMA dan Sekolah Guru Atas (SGA) HKBP berdiri di Tarutung. Sehubungan dengan pertumbuhan persekongkolan yang pesat di seluruh Indonesia, khususnya di HKBP, pada tahun 1952 telah ada 100 unit SR yang diasuh oleh dewan pengajaran dan pendidikan (DPP) HKBP. Dewan ini kemudian diganti namanya menjadi Departemen Sekolah HKBP.
1954 Sinode Godang HKBP merencanakan pembangunan Universitas milik HKBP, walaupun disadari kesulitan yang akan dihadapi. Pada 7 Oktober 1954 HKBP mendirikan Universitas HKBP Nommensen, dengan tiga fakultas : Teologia, Ekonomi dan Hukum.
1957-1961 Ditengah-tengah pertumbuhan sekolah HKBP terdapat hambatan di berbagai tempat.
Umpamanya didaerah Humbang SR, SMP, Sekolah Menengah Ekonomo Pertama (SMEP) mengalami hambtan karena pengaruh poloitik negara yang belum stabil, gaji guru yang tidak menentu dan guru-guru yang tidak pernah mendapat kenaikan golongan di HKBP sebagaimana pegawai negeri. Pada tahun 1961 perguruan teknik HKBP didirikan di Pematang Siantar.
Data-data diatas memperlihatkan betapa HKBP sebagai pelopor pendidikan di Tanah
Batak, yang menunjukkan peran aktif HKBP untuk mencerdaskan anak bangsa di NKRI.22
Situasi Pendidikan Tahun 1970-1980-an
1. HKBP mengelola dan mengasuh sekolah-sekolah: Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah
Dasar (SD), SMP, SMA sederajat dan Perguruan Tinggi serta kursus-kursus Ketrampilan.
2. Membina sekolah-sekolah dibidang teknis dan administrasi.
3. Mengadakan hubungan yang permanen diantara sekolah-sekolah.
4. Mengadakan hubungan dengan pemerintah untuk meminta petunjuk persamaan kurikulum.
5. Membuka TK yang diasuh sekolah pendidikan guru (SPG) HKBP tahun 1982.
6. Mengusahakan agar gaji guru-guru negeri yang bekerja HKBP dibayar oleh pemerintah
melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setempat.
22
2
J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 201-203
7. Mengadakan konsultasi, pengarahan dan pertemuan (rapat) antara Departemen Sekolah-
Pimpinan Sekolah Pengurus Yayasan HKBP dan Guru-guru yang bertujuan:
mempersatukan seluruh sekolah HKBP; mengadakan pemerataan murid di sekolah-sekolah
HKBP; dan menanggulangi kesulitan keuangan.
8. Membentuk Badan Serikat Tolong Menolong (BSTM) Guru-guru dan Pegawai Departemen
Sekolah.23
Masalah-Masalah Dalam Pelayanan Pendidikan yang dihadapi pada tahun 1970
-1980-an
Bidang Keuangan : mencari donatur atau mitra penyantun.
Dalam bidang BSTM, ada beberapa orang yang tidak setia memenuhi peraturan.
Menyangkut personalia di Departemen Sekolah HKBP: Tenaga guru yang berkurang
di beberapa tempat, karena ada guru yang minta permisi untuk melanjutkan studi; ada
guru yang beralih menjadi pegawai negeri.24
Situasi Pendidikan Tahun 1990-2011
Pada tahun 1990-an, terdapat 144 unit sekolah HKBP yang terdiri dari
TK : 8 Unit
SD : 55 Unit
SLTP : 47 Unit
23
2
Wawancara dengan Pdt.T.M. Hasugian (Praeses HKBP JABARTENGDIY) pada tanggal 20 Desember 2011, jam 14.00 WIB
24
2
J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 203
SMTA : 7 Unit
SPG dan Sekolah Kejuruan Atas : 13 Unit
Pendidikan keterampilan : 2 Unit.
Tetapi masalah-masalah yang dihadapi relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan
dari periode sebelumnya. Dalam upaya untuk mengatasi permasalah tersebut, pada maret 2000
dibentuk sebuah tim yang bertugas merancang bangunan sistem pendidikan HKBP. Tim ini
terdiri dari tiga orang pakar pendidikan, yaitu Prof. Dr. D.P. Tampubolon, Prof. Dr. J. Naibaho
dan Prof. Dr. Belfrik Manullang. Hasil rumusan tim yang disebut “Kebijakan Dasar Pendidikan
HKBP (KDP-HKBP)” telah disahkan di sinode godang HKBP 2000.
Pengimentlasian KDP-HKBP antara lain dilakukan dengan membentuk Badan
Penyelenggara Pendidikan HKBP (BPP-HKBP) pada 27 September 2007. BPP-HKBP mencatat
data sekolah HKBP (TK, SD, SMP, SMU/ SMK) pada tahun 2007 berjumlah 120 unit. Dari
seluruh sekolah tersebut, sebanyak 31 unit dikelola sepenuhnya oleh BPP-HKBP.
3.4.2.2. Pendidikan Teologi
Dalam sejarahnya, penyelenggaraan pendidikan Teologi selalu berorientasi pada
kebutuhan Gereja. Artinya, pendidikan teologi dimaksudkan sebagai sarana untuk
mempersiapkan generasi penerus yang kelak bekerja menjadi pelayan khusus dalam gereja.
Semangat inilah yang mewarnai pembukaan lembaga-lembaga pendidikan teologi di HKBP.
Hingga kini, HKBP memiliki empat lembaga pendidikan teologi. Sejak tahun 1868
berdiri sekolah Guru Jemaat, yang terkenal dulu dengan nama Sekolah Tinggi yang
menghasilkan guru-guru sending. Mulai tahun 1883 diselenggarakan Sekolah Pendeta. Pada
tahun 1934 dibuka sekolah Bibelvrouw dan tahun 1971 berdiri pendidikan Diakones.
Sekolah Guru Huria (SGH)25
Dalam kurun waktu tujuh tahun setelah konfrensi para penginjil RMG di Tanah Batak
(1861-1868), semakin dirasakan betapa luasnya pekerjaan pekabaran Injil sedangkan jumlah para
penginjil RMG masih sedikit. Keadaan ini terjadi karena masyarakat Batak di berbagai tempat
telah semakin terbuka menerima Injil sehingga membutuhkan banyak tenaga-tenaga untuk
melayani. Guna menambah jumlah tenaga pelayanan, atas dukungan RMG Jerman, para
penginjil RMG di Tanah Batak sepakat untuk mendidik orang Batak menjadi guru yang berjiwa
penginjil. Tenaga guru dimaksud akan mengemban tugas untuk mengajar anak-anak dalam
bidang pengetahuan umum, kerohanian dan sekaligus memimpin satu jemaat.
Pada tahun 1868 didirikan lah sekolah guru Injil di tanah batak bagian selatan, bertempat
di Parausorat, yang kemudian terkenal dengan Seminari Parausorat. Murid yang pertam ada lima
orang, yaitu Thomas, Paulus, Markus, Yohannes dan Ephraim. Setelah tamat, mereka kemudian
lazim disebut sebagai guru sending. Sejak tahun 1962, sekolah Guru di seminari Sipoholon
dipersiapkan khusus hanya untuk menjadi guru jemaat yang melayani di jemaat-jemaat, bukan
lagi menjadi guru jemaat yang melayani di sekolah-sekolah umum. Mulai tahun 1998,
persyaratan masuk SGH adalah lulusan SMU sederajat dan mengikuti pendidikan selama tiga
tahun. Penerimaan mahasiswa baru dilakukan sekali dalam tiga tahun. Para mahasiswa
melakukan kegiatan ekstra-kurikuler, yaitu: pertanian, perikanan, peternakan dan pembibitan
tanaman-tanaman produktif.
25
2
J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 205
Sekolah Tinggi Theologia (STT) 26
Pelayanan pekabaran injil di tanah batak semakin meluas. Para penginjil RMG yang
dibantu oleh para guru sending membawa dampak yang positif dalam usaha pengkristenan di
tanah Batak. Sending RMG di bawah pimpinan I.L. Nommensen merasakan akan perlunya
pendeta Batak, sebagai orang pribumi yang dapat lebih cocok untuk melayani sebagai pendeta
bagi orang Kristen Batak sendiri. Untuk itu,para guru yang telah bekerja dengan baik dan setelah
sepuluh tahun menjalankan tugasnya sebagai guru sekolah sending dan guru jemaat,
dipanggiluntuk melanjutkan ke sekolah pendeta. Untuk memenuhi keinginan itu maka RMG
mendirikan sekolah Pendeta di seminari Pansurnapitu pada tahun1883 dan pada tahun 1901
dipindahkan ke Seminari Sipoholon.
Di samping untuk memenuhi harapan di atas, berdirinya sekolah Pendeta di Pansurnapitu,
juga bertujuan untuk menambah para pendeta yang bekerja melayani gereja Batak yang semakin
bertambah dengan pesat, dan untuk mempersiapkan kemandirian gerja Batak di kemudian hari.
Murid yang pertama dalam sekolah Pendeta, ada empat orang, yaitu: Johannes Siregar, Markus
Siregar, Petrus Nasution dan Johannes Sitompul. Mereka menerima pendidikan selama dua
tahun, kemudian ditahbiskan menjadi pendeta. Penahbisan pertama berlangsung pada 19 Juli
1885di Pearaja Tarutung.
Sejak tahun 1883 sampai tahun1941, sekolah pendeta yang demikian dibuka secara
berkesinambungan di tengah-tengah jemaat. Mereka pada umumnya bertugas membantu para
penginjil Jerman (RMG).
HKBP semakin terpanggil untuk melayani jemaat dan untuk membangun pendidikan di
tengah-tengah bangsa Indonesia yang semakin maju. Sehingga dalam sinode godang HKBP
26
2
Ibid 209-211
tahun 1952 diputuskan bahwa HKBP akan mendirikan universitas. Pada tahun 1954 berdirilah
Universitas HKBP Nommensen (UHN) dengan salah satu fakultasnya ialah Fakultas Theologia,
yang bertujuan untuk mendidik calon pendeta HKBPdan gerja pendukungnya di Sumatera Utara.
Sejak tahun 1954, SThM (Sekolah Theologia Menengah) di Sipoholon dipindahkan ke
Pematangsiantar dan sebagian siswa-siswanya menjadi mahasiswa Fakultas Teologia. Maka
sejak tahun 1954, Fakultas Teologia UHN berperan sebagai lembaga pendidikan pendeta bagi
gereja HKBP dan beberapa Gereja Protestan lainnya di Sumatera utara.
Pada Sinode Godang HKBP 1978, fakultas theologia UHN diubah menjadi STT-HKBP
dengan alasan agar pendidikan para calon pendeta lebih dekat kepada Gereja HKBP ketimbang
kepada Yayasan UHN. Segala fasilitas fakultas theologia UHN dialihkan menjadi fasilita STT-
HKBP. Demikianlah STT-HKBP hingga kini menjadi suatu lembaga pendidikan teologi HKBP,
yang bertujuan untuk mempersiapkan para calon pendeta bagi Gereja-gereja Protestan lain di
Indonesia.
STT-HKBP berupaya membenahi diri sesuai denga perkembagan perguruan tingi di
Indonesia. Pada tahun 1986, departemen agama RI telah menunjuk STT-HKBPuntuk
menyelenggarakan program Pendidikan Agama Kristen (PAK). Penunjukkan ini telah
diperbaharui pada tahun 1991, 2001 dan 2005. Mulai tahun 1998, STT-HKBp telah membuka
program pasca sarjana S-2 (MTh) dan S-3 (DTh) bekerja sama dengan Persekutuan STT di
Indonesia (Persetia) dan South East Asia Graduate School of Theolgy (SEAGST). Sejak tahun
2007, program ini telah mendapat izin operasional dari Dirjen Kementerian Agama RI.
Sekolah Bibelvrouw27
27
2
Ibid 215-216
Sekolah beibelvrouw berdiri pada tanggal 1 Agustus 1934 oleh Zuster Elfriede Harder di
Narumonda. Kemudian dipindahkan ke Laguboti sejak 21 Nopember 1937. Mulai tahun 1928,
Elfriede Harder telah melakukan kursus kepada ibu-ibu di Laguboti agar mereka mengenal kasih
Kristus di dalam hidup pribadi dan keluarga mereka. Peserta kursus banyak yang datang dari
Balige, Uluan, Pearaja dan Sibolga. Kemudian diadakan pula kursus di Toba, Pematang Siantar,
Samosir dan lain sebagainya. Para peserta kursus merasa terhibur dan bersukacita. Mereka
merasa telah memperoleh kekuatan baru yang menjadi bekal dalam menata kehidupan rumah
tangganya. Mereka selalu rindu untuk mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Zuster
Efriede Harder.
Sinode Godang HKBP 1981 menetapkan masa studi Sekolah Bibelvrouw menjadi empat
tahun dan bibelvrouw dapat memimpin kebaktian minggu. Bagi bibelvrouw yang sanggup dan
berijazah SLTA diberi kesempatan melanjut ke sekolah Pendeta / STT-HKBP.
Kemudian mulai tahun 1988, siswi Sekolah Bibelvrouw telah dilatih di bidang keluarga
berencana dan perawatan balita agar mampu memahami masalah yang dihadapi kaum ibu. Pada
tahun 2001, kurikulum Sekolah Bibelvrouw ditambah dua mata kuliah, bahasa inggris teologia
dan budi pekerti. Pada saat bersamaan , sekolah Bibelvrouw terus melengkapi fasilitas asrama
dan sarana perkuliahan, termasuk perpustakaan, komputer dan organ.
Pendidikan Diakones 28
Pada 17 Mei 1971 didirikan “Kursus Diakones HKBP” yang kemudian sejak tahun 1976
menjadi Pendidikan Diakones HKBP yang berkedudukan di Balige. Perumahan dan
28
2
Ibid 217-219
perlengkapan dibangun dengan bantuan dari Luar Negeri (VEM dan EZE Pemerintahan Jerman
Barat) pada tahun 1974. Komplek tersebut terletak di jalan Onanraja Balige (tiga gedung
permanen) yang diresmikan pada tanggal 27 Januari 1976. Sinode Godang HKBP 1981 telah
menetapkan status “Lembaga Pendidikan Diakones HKBP”. Mengenai penggolongan
kepegawaian serta penggajian dari lulusan Pendidikan Diakones, diatur oleh pimpinan/ majelis
pusat HKBP. Bidang studi yang dipelajari: agama Kristen, diakonia/ pekerjaan sosial,
perawatan/kesehatan, keterampilan, seni musik. Kegiatan di luar kelas: praktek tiap tingkat satu
kali tiap semester, sebagai kesempatan mempraktekkan pelajaran-pelajaran dalam pelayanan,
misalnya: di rumah sakit HKBP Balige, di rumah sakit GKPS Betesda Saribudolok Simalungun,
penyuluhan, penyelenggaraan pengasramaan, konsumsi, pelaksana bagian konsumsi pada rapat
pendeta dan sinode godang HKBP, latihan dan praktek di panti-panti asuhan dan lembaga-
lembaga perawatan-perwatan di jemaat-jemaat.
Pada masa konflik HKBP, pendidikan Diakones di Balige terpaksa ditutup dan lalu
dipindahkan ke Tarutung. Namun sejak 6 Agustus 2001, lembaga pendidikan Diakones HKBP
telah kembali diselenggarakn di Balige. Tujuan dari Lembaga Pendidikan Diakones HKBP
adalah mendidik gadis-gadis Kristen selama tiga tahun ajaran untuk pekerjaan Diakones, yaitu
pelayan perempuan di bidang sosial atau petugas sosial gerejawi. Pekerjaan Diakones ialah
melayani sesama manusia (Kristen dan bukan Kristen), membimbing dan membantu untuk hidup
sesuai dengan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan.
3.4.3. Bidang Kesehatan
Berbagai penyakit telah mengancam kehidupan penduduk di Tanah Batak, terutama
penyakit yang tiba-tiba mewabah seperti kolera. Penyakit ini dijuluki orang Batak sebagi “begu
antuk”, karena setiap orang yang diserang kolera merasakan seolah-olah ada kekuatan gaib yang
memukulnya (mangantuk). Orang Batak belum mengetahui faktor penyebab dan bagaimana
mencegahnya agar jangan menular. Pemahaman tentang lingkungan yang bersih atau higienis
yang kemudian diperkenalkan para pelayan medis Kongsi Barmen kerap berbenturan dengan
cara pandang Batak. Penyakit kolera sering mewabah dan memakan banyak korban jiwa. Tahun
1875 penyakit kolera mewabah di seluruh daerah Silindung. Situasi ini disaksikan penginjil I.L.
Nommensen yang merasakan betapa besar rasa takut penduduk Silindung. Bahkan ketika itu,
para raja yang bertikai segera menghentikan perang, orang-orang yang sering bermain judi tiba-
tiba juga tertular penyakit kolera sehingga mereka terpaksa berhenti. Sawah pun jadi terlantar
karena belum sempat dikerjakan, lagi pula sebagian penduduk tidak mau bekerja di sawah karena
takut ditangkap pihak musuh dan dijadikan sebagai tawanan atau “hatoban” (budak) selama
rajanya belum menebus dengan uang.
Rumah Sakit Pertama di Tanah Batak tahun 1900
Rumah sakit pertama di tanah Batak berdiri di di Pearaja Tarutung pada 2 Juni 1900
dengan seorang tenaga dokter, yaitu Dr. Med. Julius Schreiber. Inilah wujud nyata kesungguhan
para pemberita Injil untuk menangani bidang kesehatan. Tenaga dokter yang kedua adalah Dr.
Med. Johannes Winkler. Kedua dokter tersebut merintis dan meningkatkan pelayanan medis
dengan menggunakan metode pengobatan yang baru di Tanah Batak berdasarkan diagnosa
penyakit. Mereka juga berupaya mencerahkan pemahaman masyarakat dengan melakukan
penyuluhan langsung kepada penduduk desa.
Para penduduk dari berbagai daerah tidak mudah menjangkau rumah sakit Pearaja.
Seiring dengan kebutuhan ini, di beberapa pargodungan didirikan rumah sakit pembantu, yang
khusus menangani penyakit disentri (baro buni). Penyakit ini sering mewabah di daerah dataran
tinggi Humbang, sehingga didirikanlah rumah sakit pembantu di Butar dan Pangaribuan di
bawah pimpinan penginjil setempat. Beberapa tenaga perawat pribumi yang andal turut
menangani pelayanan kesehatan, seperti mantri kesehatan Valentin Sitompul di Pangaribuan dan
Julius Lumbantobing di Butar.
Rumah sakit pembantu di pangaribuan dan Butar dibuka tahun 1910. Rumah sakit di
pangaribuan dipimpin penginjil Meisel dan di Butar dipimpin penginjil Wagner. Tahun 1911
sebanyak 10.000 orang pasien telah dirawat di rumah sakit pembantu Pangaribuan. Pada 1911
dibuka pula rumah sakit pembantu di Bonandolok oleh penginjil W. Mueller, untuk melayani
masyarakat yang berdomisili di bagian Barat dataran tinggi Humbang. Kemudian rumah sakit
pembantu keempat di daerah Humbnag dibuka di Doloksanggul. Di daerah Toba dibuka di
Sitorang dan Balige. Di Samosir didirikan rumah sakit pembantu di Nainggolan, Pangururan dan
Ambarita. Juga di belahan Barat Tanah Batak yaitu Tukka dan Barus, serta di daerah Angkola
dibuka di Sipirok. Semua rumah sakit pembantu tersebut adalah cabang dari rumah sakit induk di
Pearaja.29
3.4.4. Bidang Oikumene
Sejak HKBP berdiri, dalam dirinya telah hadir bibit-bibit oikumenis. HKBP sendiri
merupakan buah gerakan oikumene karena para penginjil ke Tanah Batak diutus oleh beberapa
badan sending yang berbeda. Ada yang berasal dari Eropa dan juga dari Amerika, walaupun pada
akhirnya yang lebih berbuah adalah penginjilan yang dilakukan RMG dari Jerman. Dalam
misinya, RMG sejak semula telah menjalin hubungan dengan pekabar injil yang sudah ada.
29
2
J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 276-277
Misalnya, pada tahun 1902 RMG bekerja sama dengan badan pekabar Injil Belanda (NZG) yang
mengutus penginjil H. Guillame ke daerah Karo. RMG juga bekerja sama dengan sending
Methodis yang bekerja di Sumatera Utara sejak 1905, di mana sending Methodis melayani
anggota HKBP yang pindah ke daerah Asahan Labuhan Batu.
HKBP Menjalin Hubungan dengan LWF: 1952
Terjalinnya hubungan HKBP dengan Lutheran World Federation (LWF) bermula dari
kunjungan Uskup Sandegren ke HKBP pada 1947. Kunjungan ini kurang maksimal
karena beliau tidak dapat bertemu dengan Ephorus HKBP di Tarutung berhubung gejolak
politik dan militer yang terjadi di Sumatera Utara. Pada tahun 1948, Dr. Williams dari
gereja Tamil Lutheran berhasil mengunjungi kantor pusat HKBP di Pearaja Tarutung.
Beliau bekerja sebagai pelayan medis oikumenis di rumah sakit HKBP Balige dan
Saribudolok. Beliaulah tenaga pelayan pertama dari luar negeri yang bekerja di HKBP
sesudah perang dunia kedua berakhir.30
HKBP Menjadi Anggota DGD/WCC: 1962
Keberadaan HKBP sebagai anggota LWF tidak mengahambat dirinya untuk menjalin
hubungan dengan lembaga gerejawi lainnya. Tahun 1962, pada sidang raya Dewan
Gereja-gereja se-Dunia (DGD/WCC-World Council of Churches) di New Delhi, HKBP
resmi menjadi anggota DGD/WCC. Utusan HKBP; Ds. T.S. Sihombig terpilih menjadi
anggota badan pekerja lengkap DGD. Sebelumnya, HKBP juga selalu mengirim
utusannya sebagai peninjau untuk menghadiri sidang raya DGD, seperti pada
30
3
J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 295-296
pembentukan DGD pada tahun 1948 di Amsterdam, HKBP mengutus DS. K. Sitompul
dan Mr. Amir Syarifuddin (Harahap). Pada sidang raya DGD 1954 di Evanston, HKBP
mengutus Ds. K. Sitompul sebagai peninjau. 31
HKBP Menjalin Hubungan dengan EACC/ CCA: 1949
Sejak EACC (East Asia Christian Confrence/ Konfrensi gereja-gereja Asia Timur)
didirikan, HKBP telah menjadi anggota dan teratur mengikuti pertemuan EACC. Gereja-
gereja anggota EACC meliputi Gereja-gereja di kawasan Asia Timur, termasuk Australia
dan New Zealand. Para pimpinan Gereja-gereja Asia Timur dalam konsultasi Bangkok,
Desember 1949, mengajukan usul agar WCC dan anggota International Missionary
Council (IMC) di Asia Timur dalam sebuah konfrensi. Tujuannya untuk memikirkan
secara bersama tugas yang mendesak dan tersedia didepan mereka sebagai Gereja-gereja
yang berakar dan tumbuh di Asia Timur yang baru memasuki zaman dekolonisasi.
Konsultasi EACC 1949 memberi mandat kepada HKBP untuk mempersiapkan segala
sesuatu yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan konfrensi Gereja-gereja anggota
WCC dan IMC di Asia Timur, baik pengadaan saran maupun kegiatan pra konfrensi dan
kebaktian raya. 32
Kerja Sama HKBP dengan Gereja dan Badan-badan Sosial
HKBP menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga Gereja dan badan-badan sosial di
luar negeri, seperti Evangelische Zentralstelle Fur Entwicklungsdients (EZE) di Bonn.
31
3
Ibid 297
32
3
Ibid 297-298
EZE telah banyak memberikan dana pembangunan kepada HKBP. Begitu pula dengan
Theological Education Fund di London dan Fund for Theological Education di singapura.
Kedua badan ini menopang program pendidikan teologi di HKBP; Missions Akademic di
Hamburg, mulai 1961; Gereja Anglikan di Australia, 1971, yang pernah mengutus
seorang tenaga pengajar untuk Fakultas Teologia (STT-HKBP) di Pematangsiantar.
HKBP juga memiliki kerja sama dengan Evangelical Lutheran Church in America
(ELCA). Sejak 1 Januari 1988, The American Lutheran Church dan The Association of
Evangelical Lutheran Churches dan The Lutheran Church in America dengan keyakinan
bersam dan misi secara resmi membentuk ELCA. Saat ini, ELCA mencerminkan warisan
yang kaya dan beragam dri orang-orang yang dilayaninya.
Pada Mei 2001, Ephorus HKBP dan representasi pengurus pusat ELCA menandatangani
suatu kesepakatan bersama yang tertuang dalam bentuk Convention of interchargr
between HKBP-ELCA. Naskah kesepakatan ditandatangani di kantor pusat ELCA di
Chicago. Isinya meluaskan afiliasi HKBP dengan ELCA, khususnya di Amerika Serikat.
Dalam surat kesepakatan tersebut dicantumkan tentang posisi Gereja HKBP di Amerika
(HKBP California, HKBP Colorado, HKBP Seattle dan HKBP New York), termasuk
bantuan yang akan diterima. Afiliasi HKBP –ELCA telah diterima secara bulat pada
Sinode Godang HKBP Oktober 2002.33
Hubungan HKBP dengan DGI/PGI: 1950
HKBP termasuk pelopor berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada 25
Mei 1950. Lembaga ini bertujuan sebagai wadah pembentukan Gereja Kristen yang Esa
33
3
Ibid 302-303
di Indonesia. Beberapa tokoh dari HKBP yang turut mempelopori pembentukan DGI,
yaitu: Prof. Dr. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ds. K. Sitompul dan Dr. A.M. Tambunan.
Mereka ini sangat banyak memberikan sumbangan untuk pembanguna kesatuan dan
persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Partisipasi HKBP dalam usaha pengembangan DGI juga nyata dalam kesediaannya
memberikan tenaga yang penuh di DGI, yakni Ds. K. Sitompul yang sejak 1957 diangkat
menjadi sekretaris departemen keesaan DGI. Kemudian Pdt. M.P. Sitompul, MTh sebagai
komisi pendidikan agama Kristen, 1964-1971, lalu Pdt. Dr. S.A.E. Nababan sejak 1967
menjadi ketua umum DGI yang berubah nama menjadi PGI (Persekutuan Gerej-gereja di
Indonesia). Selain mereka, pendeta HKBP yang pernah menjadi tenaga penuh waktu di
DGI adalah Pdt. P.M. Sihombing, MTh, mulai 1971 menjadi sekretaris pendidikan dan
komunikasi; Prof. Dr. W.B. Sijabat sebagai pemimpin departemen studi dan penelitian
serta pemimpin proyek leader PSM.34
Hubungan HKBP dengan Gereja Roma Katolik (RK)
Hubungan HKBP dengan Gereja RK memiliki fakta sejarah tersendiri. Intensitas
pengenalan HKBP terhadap Gereja RK baru mulai tahun 1930-an, itupun pengenalan dari
segi persaingan yang tidak sehat dalam usaha menggarap orang Kristen Batak (warga
HKBP) menjadi anggota Gereja RK. Sehingga pada awalnya, HKBP sangat ketat
menjaga anggotanya supaya jangan sampai terpengaruh oleh bujukan RK. Bahkan HKBP
pernah menerapkan ketentuan, siapa yang meyekolahkan anaknya ke sekolah RK akan
34
3
Ibid 303-304
dikucilkan dari keanggotaan HKBP dan siapa yang menyetujui perkawinan anaknya
dengan warga RK akan dikenakan Disiplin Gereja.
Namun akhir-akhir ini, hubungan HKBP dengan RK telah mengalami beberapa kemajuan
karena bertitik tolak dari segi positif hubungan Gereja universal itu. Kemajuan tersebut
terjadi setelah adanya perubahan di tubuh Gereja RK, yakni setelah Konsili Vatikan II.
Sejak itu, Gereja RK telah menjadi anggota Komisi Faith and Order dari WCC/DGD
sehingga percakapan antara pihak RK dengan HKBP semakin terbuka dan bahkan sampai
kepada maslah dogam. HKBP telah mengakui baptisan Gereja RK, demikian juga
sebaliknya. Para anggota HKBP telah banyak yang mengikuti pendidikan di sekolah
RK.35
3.5 Konflik di HKBP
3.5.1. HKBP dan Politik Kekuasaan
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda terjadi konflik antara penguasa Belanda
dengan masyrakat Batak, terutama kelompok yang melakukan reaksi demi mempertahankan
eksistensinya. Antara lain, raja-raja di kalangan etnis Batak, secara khusus Sisingamangaraja XII,
golongan parhudamdam, parbaringin, silimin di Pakpak, organisasi kemasyrakatan HKB
(Hatopan Kristen Batak) dan lain-lain.
Pada zaman kemerdekaan Indonesia hingga kini, HKBP sebagai bagian dari etnis Batak di NKRI
mencatat dua peristiwa yang menampakkan wajah kekerasaan kekuasaan dari pemerintah yang
sedang berkuasa. Pertama, peristiwa konfrontasi antara “tentara pusat” dengan “tentara daerah”
di propinsi Sumatera Utara. Kedua, tragedi peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) di
35
3
Ibid 307
Tapanuli dan Sumatera Utara. Kedua peristiwa ini terjadi dalam kurun waktu 1950-an dan 1960-
an. Bagi HKBP, situasi pada 1958-1961 tidak lepas dari konflik antara kekuatan tentara pusat dan
tentara daerah propinsi Sumatera Utara.36
3.5.2. Konflik pada Zaman Pendirian Pargodungon: 1860-1900-an
Para penginjil RMG tidak luput dari kasus-kasus pertikaian antara para raja maupun
pemuka masyarakat Batak. Termasuk saat para penginjil mengajukan permintaan untuk
memperoleh sebidang tanah pertapakan sebagai tempat membangun pargodungon atau setasi
sending di tengah gugusan desa-desa Batak. Kesediaan atau penolakan para pemuka masyarakat
Batak terhadap permintaan tersebut dapat menimbulkan konflik atau sikap pro-kontra.
Konflik sedemikian itu, pertama sekali dialami oleh penginjil Klammer di Sipirok. Pada tahun
1865, beliau ingin menentukan tempat pemukimannya dan sekaligus membangun Gereja di
Sipirok. Tetapi sebagian masyrakat Batak yang beragama Islam keberatan dan menolak. Lalu
Klamer menjelaskan bahwa di sana juga akan dibangun gedungsekolah sebagai tempat belajar
bagi seluruh anak-anak masyarakat di Sipirok tanpa membedakan apakh Kristen, Islam dan
animis. Penjelasn tersebut dapat mengurangi ketegangan dan konflik.37
3.5.3. Konflik Internal dan Perpecahan dalam Jemaat : 1920-an
Lahirnya media massa cetak dan organisasi kemasyarakatan menunjukkan ciri-ciri baru
masyrakat Batak yang sedang memasuki dunia modern. Mereka juga telah mengkritisi
keberadaan pemerintahan kolonial Belanda. Kaum intelektual Kristen Batak sudah
36
3
J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 308
37
3
Ibid 313-314
menampakkan eksistensinya melalui HKB dan mendirikan beberapa sekolah dengan swadaya
masyarakat. Arus migrasi spontan dari bona pasogit pun semakin marak dan nyata. Di kota-kota
administrasi dan pusat ekonomi di Sumatera Utara (Pematangsiantar, Tebingtinggi, Medan)
bahkan sampai di pulau Jawa (Jakarta) telah berdiri jemaat-jemaat Kristen Batak yang
didominasi etnis Batak Toba.
Pada pihak lain, para penginjil Jerman sebagai pemimpin jemaat dan Gereja Batak
mencurigai suara-suara kritis dari pihak cendekiawan Kristen Batak. Sehingga jika pada awalnya
hubungan penginjil Jerman dengan kaum intelektual Batak terjalin baik tetapi kemudian muncul
konflik pemikiran dan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan Gereja yang mandiri,
Gereja yang manjunjung baringinna. Kaum intelektual Kristen Batak secara khusus yang
terkordinasi dalam HKB (1917-1930-an) menyuarakan supaya kaum Kristen Batak ikut
memimpin Gereja Batak (HKBP). Suara-suara sedemikian turut mempengaruhi timbulnya jarak
antara sekelompok kaum intelektual Kristen Batak dengan para penginjil Jerman. Karena dalam
pandangan pimpinan Batakmission (didalamnya organisasi Gereja Batak: Huria Kristen Batak
sejak 1925 dan HKBP sejak 1929) Ephorus Dr. J. Warneck masih belum saatnya mengahdirkan
Gereja Batak yang mandiri. Situasi ini memunculkan konflik internal dalam jemaat. Tetapi
konflik tersebut hanya sebatas beda pemahaman dan tidak ada niat kaum intelektual Batak
Kristen untuk membentuk sebuah Gereja Batak yang lepas dari badan sending Rhein.38
3.5.4. Lahirnya Gereja “HChB”: 1 Mei 1927
Skisma pertama dalam jemaat Batak muncul dari kalangan anggota jemaat
Pematangsiantar (Kampung Kristen). Ketika itu, jemaat-jemaat Batak masih menyatu dalam
38
3
Ibid 315-316
organisasi kegerajaan “Batakmission”: sending Jerman Rhein di Tanah Batak dan Gereja Batak.
Anggota jemaat dimaksud berdomisili di Pantoan, Batu Opat, terpaut jarak sekitar empat
kilometer dari gedung gereja Pematangsiantar (berdiri 1907). Jadi pentas bagi terjadinya skisma
dalam tubuh Gereja Batak bukan daerah bona pasogit (Tapanuli) melainkan daerah transisional
Pematangsiantar, Simalungun. Ide skisma tersebut kemudian disebarkan ke bona pasogit dengan
mengikuti jalur hubungan kekerabatan, yaitu di daerah pemukiman marga Panggabean di
Lumbansiagian. Di sanalah diterima kehadiran “Huria Chisten Batak” (HChB).
Tokoh pendiri HChB Sutan Malu Panggabean, beserta warga jemaat lainnya pernah
memohon izin untuk mendirikan jemaat di Pantoan. Tetapi ditolak oleh majelis jemaat
Pematangsiantar sehingga semua orang Kristen Batak tetap masih harus bergabung di jemaat
Kampung Kristen. Penolakan inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan Sutan Malu
bersama rekan-rekannya antara lain W.O. Simanullang menyatakan bahwa mereka mulai tanggal
1 Mei 1927 tidak lagi menjalin hubungan dengan lembaga sending Rhein Jerman (RMG).
Mereka mengungkapkan, telah membentuk sebuah gereja yang mandiri dalam segala urusan
gerejawi.39
3.5.5. Gereja “Mission Batak”: 17 Juli 1927
Skisma kedua terjadi di jemaat Batak di Medan. Pada tahun 1912, ephorus I.L.
Nomensen menempatkan Gr. Josia Hutabarat melayani di jemaat Medan. Ketika itu, tempat
kebaktian mereka masih berpindah-pindah menggunakan gedung gereja-gereja protestan di
39
3
Ibid 317-318
sekitar Medan. Mulai 1913, jemaat Medan berupaya menggalang dana pembangunan. Anggota
jemaat dengan sukarela memberikan dana untuk mendirikan sebuah gedung gereja sendiri.
Alasan perpecahan sangat berkaitan erat dengan penetapan lokasi gedung gereja. Ketika itu,
pemerintah menawarkan dua lokasi. Kelompok Andreas Lumbantobing menghendaki lokasi
yang terletak di pusat kota Medan. Namun mayoritas anggota majelis dan panitia pembangunan
menemukan tempat lain, yang akhirnya dipilih sebagai lokasi pembangunan gedung gereja.
Selain perbedaan pendapat tentang lokasi bangunan gereja, terindikasi pula adanya rasa tidk puas
terhadap kebijakan ephorus J. Warneck yang dianggap terlalu bersifat “perintah” dari atas.
Pemilihan “Mission Batak” menjadi nama Gereja yang memisahkan diri itu disertai keinginan
untuk mengangkat kedudukan Gereja Batak setara dengan kedudukan lembaga sending
“Rheinisce Mission” dari Eropa, yang di Hindia Belanda dikenal dengan nama “Batak
Mission”.40
3.5.6. Gereja “HChB Medan Parjolo”: 5 Agustus 1928
Sikap anti sending Rhein Jerman dianggap membahayakan jemaat Batak di Medan
sehingga seorang penginjil Jerman bernama August Theis ditempatkan di Medan. Ketika
penempatan penginjil diberitahukan kepada jemaat, majelis mengalami reaksi keras dari satu
kelompok dengan menentang penempatan tersebut. Mereka berpendapat, jemaat Medan tidak
membutuhkan seorang tuan pendeta Jerman demi mempertahankan status kemandirian jemaat
Medan. Mereka menganggap suatu ciri dari jemaat yang mandiri adalah tanpa dipimpin seorang
tuan pendeta Jerman. Kelompok ini mengajukan penolakan pada 8 Juli 1928. Pada tanggal 5
Agustus 1928, kelompok oposisi tersebut mendirikan sebuah jemaat bernama “Hoeria Chisten
40
4
Ibid 319
Batak Medan Pardjolo” (HChB Medan Parjolo). Inilah skisma yang ketiga dalam sejarah jemaat-
jemaat Batak di parserahan pada zaman sending Rhein RMG.41
3.5.7. Gereja “PKB”: 10 Juli 1927
Skisma keempat terjadi di jemaat parserahan di Jakarta. Sejak 1919 kaum Kristen Batak
di Jakarta telah melakukan ibadah minggu dalam bahasa Batak Toba. Mereka telah membentuk
dirinya sebagai sebuah jemaat, lengkap dengan struktur kepengurusan yang terdiri atas majelis
Jemaat dan pimpinan majelis yang dipilih oleh jemaat. Pada 1922, jemaat Jakarta dilayankan
seorng pandeta Batak, Pdt. Mulia Nainggolan , yang ditempatkan Ephorus J. Warneck atas
permohonan majelis jemaat. Jemaat tersebut juga dapat memenuhi syarat yang ditetapkan, yaitu
mengemban gaji pendeta, atas bantuan Gereja-gereja Protestan di Jakarta antara lain Gereja
Gereformeerd hingga 1927. Ketika timbul perselisihan paham dikalangan majelsi jemaat, mereka
menggelar rapat untuk memilih pengurus baru pada tahun 1926. Policarpus Panggabean terpilih
menjadi ketua majelis. Namun beberapa anggota pengurus lama tidak mengakui hasil rapat
majelis jemaat. Sehingga jemaat terpecah menjadi dua kelompok. Pengurus yang baru meminta
pertimbangan Ephorus Dr. J. Warneck. Atas saran beliau, Pdt. Mulia Nainggolan mengumumkan
agar diadakan pemilihan kembali pemilihan majelis jemaat.
Para pendukung pengurus yang baru tidak menerima pesan Ephorus, mengngat selama ini
jemaat Jakarta menikmati kedudukan mandiri terhadap sending Rhein RMG. Sebaliknya,
anggota pengurus yang lama setuju membentuk “majelis” yang baru. Kemudian kelompok yang
tidak setuju pada kebijakan Ephorus membentuk sebuah gereja yang mereka sebut “punguan
Kristen Batak” (PKB) pada 10 Juli 1927. Perpecahan ini diduga tidak lepas dari unsur
41
4
Ibid 320
primordialisme kedaerahan, yaitu antara mereka yang berasal daerah Silindung dan mereka yang
berasal dari Angkola.42
3.5.8. Gerakan Kristen Batak Angkola: 1940-an
Pada tahun 1941 beredar brosur dengan judul Paimbaruhon HKBP (pembaharuan
HKBP). Informasi mengenai ini disampaikan seorang penginjil Belanda (BNZ) kepada rekannya
pada Januari 1941 dengan mengatakan: “Kini saya telah menyusun atas permintaan sekelompok
orang Kristen Angkola sebuah rencana pembaharuan untuk HKBP. Dokter rumah sakit, dr. S.C.
Nainggolan, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Batak Angkola dan bahasa Batak Toba,
dan dicetak sebanyak 1500 eks. Penulis brosur yaitu Gramberg, bersembunyi dibalik nama
seorang dokter Batak Angkola. Kedua tokoh tersebut sangat berperan menggalang kekuatan
dalam gereja HKBP berdasarkan sentimen kedaerahan Angkola. Usai sinode Godang HKBP, 26
Oktober 1940, mereka berhasil membentuk sebuah “Komisi Huria Kristen Batak Protestan
Angkola”.43
3.5.9. Konflik Tingkat Distrik: 1959-1960
Sejak tahun 1959 terjadi masalah yang mengakibatkan konflik dikalangan pelayan dan
warga jemaat di distrik IX (Jawa Kalimantan). Pemicunya adalah kehadiran anggota jemaat yang
bukan utusan resmi dari sebuah jemaat pada Sinode Distrik IX tahun 1959 di Palembang.
Pimpinan HKBP saat itu telah mengirimkan petunjuk pelaksanaan Sinode Distrik, yaitu agar
memperhatikan tata cara umum di HKBP. Sebagian pelayan HKBP di distrik IX tidak mengakui
42
4
Ibid 322
43
4
Ibid 324-325
keputusan Sinode Distrik IX 1959 karena dari antara utusan sinode terdapat anggota jemaat biasa
yang bukan majelis jemaat.
Tetapi nampaknya masalah Distrik IX tidak terselesaikan secara tuntas. Dalam situasi
sedemikian harus ditetapkan pula sebuah Tata Gereja baru di HKBP, 1962-1972. Tata Gereja ini
membawa beragam perubahan dalam penataan organisasi HKBP dari aras jemaat hingga ke
pusat.44
3.5.10. Skisma 1960-an
Skisma tahun 1960-an berkaitan dengan langkah-langkah yang diambil pimpinan pusat
HKBP dalam mengelola pengesahan dan pemberlakuan Tata Gereja 1962-1972 di tingkat
sinodal. Antara lain: cara penyelesaian masalah melalui pemecatan para pelayan penuh waktu
dan anggota jemaat; cara penyelesaian masalah yang timbul di Universitas HKBP Nommensen
(UHN). Dalam situasi ini muncul pula badan-badan yang dibentuk di luar struktur HKBP, seperti
“Panitia Penghubung Hasadaon HKBP (PPH-HKBP), Panitia Panidangi Reformasi HKBP”
(PPR-HKBP) dan “Dewan Keutuhan HKBP” (DK-HKBP) pada Oktober 1963. Dan adanya
perebutan gedung gereja sering terjadi, yaitu antara pihak penentang dengan pihak pengikut
PPH-HKBP dan PPR-HKBP.45
3.5.11. Konflik HKBP tahun 1992 - 199846
444 Ibid 326-327
454 Ibid 327-328
464 J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 331-334
Menjelang memasuki era industrialisasi dan modern, pada tahun 1987 HKBP mengalami
pergumulan yang hebat akibat bencana gempa bumi yang mengguncang daerah Tapanuli Uatra.
Bencana tersebut merupakan ujian berat bagi HKBP. Puluhan ribu masyarakat di darah Silindung
terpaksa hidup ditenda pengungsian karena rumah mereka roboh diguncang gempa bumi. Suatu
tantangan bagi HKBP saaut itu adalah bagaimana memulihkan iman dan pengharapan baru
warga jemaat yang menjadi korban bencana.
Ditengah-tengah situasi itu, HKBP juga mulai mengalami kerikil-kerikil yang mengganggu
berbagai usaha memperbaiki kehidupan spiritual dan sosial jemaatnya. Beberapa persoalan
internal yang terjadi dalam tubuh HKBP secara umum dapat dipahami sebagai wujud
keterbatasan HKBP untuk menata, mengorganisir secara kritis dan dinamis didalam kerangka
mencapai konsensus dan tujuan damai.
Dalam konteks sedemikian, HKBP terjebak ke dalam “konflik internal”. Konflik tersebut,
yaitu :
a. Ketidakpuasan terhadap Praktik Ibadah Penginjilan TEN
Setelah pemungutan suara pada Sinode Godang 1986, terpilih menjadi Ephorus HKBP periode
1987-1992 adalah Pdt. Dr. S.A.E. Nababan dan sekjen adalah Pdt. O.P.T. Simorangkir. Selama
periode ini banyak program kerja yang dilaksanakan untuk memajukan HKBP menghadapi era
Industrialisasi. Pada kurun waktu ini pula banyak pendeta HKBP yang mengikuti program studi
pascasarjana di bidang teologi dan bidang studi lainnya. Bahkan sudah dicanangkan program
memperbaharui Tata Gereja dan Konfesi HKBP. Namun sejak pertengahan 1987 mulai muncul
konflik internal di HKBP karena pimpinan HKBP merestui safari penginjilan Tim Evangelisasi
Nehemia (TEN) dari Jakarta ke Tapanuli. Sekelompok kecil pendeta HKBP yang dianamai
“kelompok sebelas” mengkrirtisi kehadiran dan cara pelaksanaan ibadah TEN yang dinilai
bernuansa “kharismatik”. Penilaian tersebut disebar-luaskan melalui buku yang mereka terbitkan
dengan judul Quo Vadis HKBP. Isi buku itu dianggap terlalu menyalahkan pimpina HKBP
sehingga dibicarakan dalam rapat majelis pusat HKBP tanggal 24-26 Oktober 1988 dan Sinode
Godang HKBP tanggal 10-15 Nopember 1988. Hasil Sinode Godag memberi sanksi terhadap
“kelompok sebelas” dengan memberhentikan mereka dari jabatan Pendeta. Tetapi konflik
internal HKBP semakin menajam karena kemitraan kerja diantara Ephorus dan Sekjen saat itu
tidak terjalin secara baik. Konflik semakin memanas pada akhir periode kepemimpina HKBP
1987-1992.
b. Kegagalan Sinode Godang HKBP 1992 Memilih Pimpinan Baru
Pada sinode godang HKBP, 23-28 Nopember 1992, direncanakan memilih pimpinan baru
periode 1992-1998. Proses pemilihan Ephorus dan Sekjen itu berlangsung dalam suasana tidak
kondusif dan kacau sehingga menemui jalan buntu dan gagal. Sejak saat itu terdapat dua
kelompok yang berbeda sikap dikalangan para pelayan dan jemaat HKBP. Pertama, kelompok
yang menamakan diri sebagai pro Aturan-Peraturan HKBP, yang kedua, kelompok yang pro
Sindode Godang Istimewa, 11-13 Februari 1993 (Sinode Godang bentukan Pemerintah). Menpan
pada saat itu, T.B. Silalahi berupaya menyelesaikan konflik HKBP dengan mempertemukan Pdt.
Dr. S.A.E. Nababan, LLD dan Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak. Hasil pertemuan mereka
mewujudkan beberapa butir kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh yang bersangkutan
pada Juni 1994, kesepakatan itu berisikan bahwa pihak Pdt. S.A.E. Nababan mendukung
keputusan pemerintah dengan mengakui Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak sebagai Ephorus dan
memberi kesempatan kepadanya untuk memimpin HKBP dengan rukun dan damai.
Tetapi isi kesepakatn bersama itu, tidak dilaksanakan dan konflik internal HKBP pun
terus berlanjut hingga Sinode Godang HKBP pada 18-20 Desember 1998.
3.6. Perkembangan HKBP tahun 2011
3.6.1. Jumlah Pelayan di HKBP47
Sampai tahun 2011, HKBP semakin berkembang bahkan hingga sampai ke penjuru dunia. Dan
diperkirakan jumlah jemaat HKBP ± 2 juta orang. Kini jemaat HKBP bukan hanya di dominasi
oleh orang Batak saja, namun terdapat juga dari berbagai suku.
Pelayan JumlahPendeta 1371 OrangGuru jemaat 290 OrangBibelvrouw 212 OrangDiakones 136 ang
3.6.2. Rekapitulasi Jemaat HKBP
No. Distrik Ressort Pers. Ressort
Jemaat Pos. Pel Pos. PI
1. Tapsel- Sumbar 14 1 123 2 -2 Silindung 38 - 202 - -3. Humbang 26 - 156 - -4. Toba 27 1 166 - -5. Sumatera timur 44 - 213 1 -6. Dairi 30 - 220 - -7. Samosir 21 1 106 - -8. Jawa Kalimantan 20 - 61 - -9. Sibolga 25 - 180 6 -10. Medan Aceh 76 2 233 6 -11. Toba Hasundutan 8 - 28 - -12. Tanah Alas 8 - 45 - -
474 Data dari Kantor Pusat HKBP Tarutung melalui Pdt. T. J. Aritonang (Sekretaris Khusus Ephorus HKBP) 15-03-2012
13. Asahan Labuhan batu
20 3 188 - -
14. Tebingtinggi Deli 23 - 128 - -15. Sumatera Bagian
Selatan 18 - 99 2 -
16. Humbang Habinsaran
22 - 114 - -
17. Indonesia Bagian Timur
20 - 48 - -
18. JABARTENGDIY 14 1 36 6 -19. Jakarta-2 33 2 72 2 -20. Kepulauan Riau 10 - 46 1 -21. Jakarta-3 22 2 51 4 -22. Riau 40 1 316 29 -23. Langkat 14 - 69 - -24. Tanahjawa 10 - 65 1 -25. Jambi 8 - 45 7 -26. Labuhanbatu 20 - 177 - -27. Amerika serikat 3 - 3 - -28. Pos Pekabaran Injil 25
Jumlah 614 14 3190 67 25
3.7. Kesimpulan Bab III
Perjalanan sejarah Tanah Batak sampai masuknya tiga kekuatan asing secara bersamaan,
yaitu agama Islam, kolonialisme Belanda, dan agama Kristen disimpulkan sebagai zaman Pidari
atau zaman Bonjol. Zaman ini diwarnai dengan situasi yang penuh dengan konflik sosial dan
perang antar desa. Selain itu, praktek judi dan praktek rentenir oleh para raja desa, juga
menambah keterpurukan masyarakat. Ditambah lagi, seringnya masyarakat ditimpa wabah
penyakit seperti begu antuk (penyakit kolera atau penyakit sampar), pengalaman-pengalaman
pahit ditimpa gempa dan minimnya pangan pada musim menanam padi. Zaman pra-penginjilan
ini, sering disebut dengan zaman yang penuh kegelapan, kekacauan, dan zaman penyembahan
berhala (hasipelebeguon). Para penginjil dari dunia barat tergerak hatinya untuk membuka
lapangan penginjilan di Tanah Batak sekalipun informasi tentang keadaan daerah tersebut masih
sangat kurang. Dengan semangat menginjili, mereka mencoba memasuki daerah Tanah Batak.
Satu-satunya pintu masuk bagi mereka yang datang dari dunia barat (Eropa dan Amerika) adalah
melalui pelabuhan di pantai Sumatera bagian Barat seperti Padang, Natal dan Sibolga.
Para penginjil RMG melukiskan kehadiran Injil Yesus Kristus di Tanah Batak bagai perang
antara terang dan kegelapan, antara pemerintahan Tuhan Allah dan pemerintahan iblis (sibolis).
Demi menonjolkan rahmat yang dibawa oleh para penginjil sejak penghujung tahun 1850-an di
Mandailing dan Angkola. Daerah tanah batak di bagian selatan tersebut telah diduduki Belanda
sejak 1830-an dan kemudian Belanda melanjutkan ekspansinya ke Tanah Batak bagian Utara
mulai dari Silindung pada tahun 1878. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa serangan-serangan
Padri itu tidak hanya memporak-porandakan seluruh Tanah Batak bagian Selatan sampai di
daerah sekitar Danau Toba di bagian Utara, tetapi juga memicu reaksiberantai berupa
melemahnya hukum tradisional dan terjadinya demoralisasi.
Perkembangan HKBP dimulai dari masa sending RMG, tentu bukanlah hal mudah hingga
bisa mencapai usia 150 tahun. Banyaknya “kerikil-kerikil tajam” tentu membuat HKBP lebih
teruji di setiap perkembangan zaman. HKBP pernah mengalami konflik, mengalami perpecahan,
hingga mendapat intervensi dari pemerintah, namun itu semua membuat HKBP menjadi tahan
uji. Dengan berkat dan anugerah dari Allah, kini HKBP menjadi gereja yang inklusif, dialogis
dan terbuka tanpa meninggalkan ke-Batakan nya sesuai dengan visi HKBP saat ini. Dengan
banyaknya jumlah jemaat dan bakal jemaat, maka HKBP banyak menerima tantangan, baik dari
pihak luar maupun dari dalam HKBP sendiri. Harapan baru untuk HKBP dengan usia yang ke-
150 tahun adalah tetap mengabarkan Injil Keselamatan sampai ke seluruh dunia. Dengan hal ini
berarti gereja HKBP tidak sekedar beradaptasi dengan perkembangan zaman, melainkan justru
yang lebih utama harus memberikan kontribusi membentuk arah perjalanan zaman. Karena masa
depan yang dibayangkan HKBP adalah terciptanya tatanan kehidupan yang beradab dalam terang
kerajaan Allah.