mioma utery

52
MAKALAH MIOMA UTERI Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tumor dan Keganasan KELAS : PSKB-B GANJAR AYUNINGTYAS 105070607111010 HERDHIKA AYU RETNO 105070607111011 PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013

Upload: herdhika-ayu-kusumasari

Post on 01-Dec-2015

148 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Tugas Makalah

TRANSCRIPT

MAKALAH

MIOMA UTERI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tumor dan Keganasan

KELAS :

PSKB-B

GANJAR AYUNINGTYAS 105070607111010

HERDHIKA AYU RETNO 105070607111011

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013

Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan karuniannya, sehingga penyusun dapat

menyelesaikan tugas mata kuliah “Tumor dan Keganasan”

Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan

dukungan beberapa pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh sebab itu, penyusun ucapkan terima kasih.

Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, oleh karenanya kritikan

dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi kita semua. Amin

Malang,19 Mei 2013

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun

leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan

ikat yang menumpanginya.

Sering ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-

25%), dimana prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70 % dengan

pemeriksaan patologi anatomi uterus, membuktikan banyak wanita yang

menderita mioma uteri asimptomatik. Walaupun jarang terjadi mioma uteri biasa

berubah menjadi malignansi (<1%). Gejala mioma uteri secara medis dan sosial

cukup meningkatkan morbiditas, disini termasuk menoragia, ketidaknyamanan

daerah pelvis, dan disfungsi reproduksi.

Kejadiannya lebih tinggi pada usia di atas

35 tahun, yaitu mendekati angka 40 %. Tingginya kejadian mioma uteri antara

usia 35-50 tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan estrogen.

Mioma uteri dilaporkan belum pernah terjadi sebelum menarke dan menopause.

Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39%-11,87% dari semua

penderita ginekologi yang dirawat. Di USA warna kulit hitam 3-9 kali lebih tinggi

menderita mioma uteri.

Menoragia yang disebabkan mioma uteri menimbulkan masalah medis dan

sosial pada wanita. Mioma uteri terdapat pada wanita di usia reproduktif,

pengobatan yang dapat dilakukan adalah histerektomi, dimana mioma uteri

merupakan indikasi yang paling sering untuk dilakukan histerektomi di USA (1/3

dari seluruh angka histerektomi).

Mioma uteri ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi

yang paling efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi mengenai

etiologi mioma uteri itu sendiri. Baru-baru ini penelitian sitogenetik, molekuler

dan epidemiologi mendapatkan peranan besar komponen genetik dalam

patogenesis dan patobiologi mioma uteri.

1.2. Tujuan

1.2.1. Untuk memahami definisi mioma uteri

1.2.2. Untuk memahami determinan mioma uteri

1.2.3. Untuk memahami perubahan sekunder mioma uteri

1.2.4. Untuk memahami patologi anatomi mioma uteri

1.2.5. Untuk memahami patogenesis dan biomolekuler mioma uteri

1.2.6. Untuk memahami pencegahan mioma uteri

1.2.7. Untuk memahami gambaran klinis dan diagnosa mioma uteri

1.2.8. Untuk memahami penatalaksanaan mioma uteri

1.2.9. Untuk memahami komplikasi yang menyertai mioma uteri

1.3. Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah mahasiswa mampu

memahami dan menjelaskan pengertian, etiologi,manifestasi klinis,

dioagnosa, penatalaksanaan dan komplikasi dari mioma uteri. Sehingga bisa

mengaplikasikan dengan baik dan benar dalam menangani kasus mioma

uteri.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Mioma Uteri

Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus

dan jaringan ikat sehingga dalam kepustakaan disebut juga leiomioma,

fibrimioma atau fibroid ( Mansjoer, Arif, 2001). Mioma uteri adalah

neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang

menumpangnya (Prawirohardjo,S. Ilmu Kandungan. 1999: 338). Mioma uteri

sering juga disebut Fibroid walaupun asalnya dari jaringan otot, dapat bersifat

tunggal atau ganda, dan mencapai ukuran besar. (Buku Ginekologi FK

Universitas Padjakaran Bandung: 154)

Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos uterus yang terdiri dari

sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen. Mioma ini

berbentuk padat karena jaringan ikat dan otot rahimnya dominan. Mioma uteri

merupakan neoplasma jinak yang paling umum dan sering dialami oleh

wanita. Neoplasma ini memperlihatkan gejala klinis berdasarkan besar dan

letak mioma.

2.2. Etiologi dan Faktor-faktor penyebab Mioma Uteri

Etiologi

Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga

merupakan penyakit multifaktorial. Namun dari hasil penelitian Miller dan

Lipschlutz dikatakan bahwa mioma uteri terjadi tergantung pada sel-sel otot

imatur yang terdapat pada “Cell Nest” yang selanjutnya dapat dirangsang

terus menerus oleh hormon estrogen. Mioma merupakan sebuah tumor

monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik

tunggal. Tumbuh mulai dari benih multiple yang sangat kecil dan tersebar

pada miometrium sangat lambat tetapi progresif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mioma uteri:

Faktor Risiko yang diidentifikasi dari Studi Epidemiologi

(Flake et.al, 2003)

Terdapat keterbatsana dalam menganalisis faktor risiko, selaian karena studi

epidemiologinya sedikit, hasil laporan dengan mudah bisa mengahasilkan

laporan yang bias karena tingginya prevalensi kasus mioma uteri asimtomatik

(Flake et.al, 2003)

a. Estrogen

Mioma uteri kaya akan reseptor estrogen. Meyer dan De Snoo

mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan

bahwa untuk terjadinya mioma uteri harus terdapat dua komponen penting

yaitu: sel nest ( sel muda yang terangsang) dan estrogen (perangsang sel

nest secara terus menerus). Percobaan Lipschutz yang memberikan

estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor

fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam

abdomen.Hormon estrogen dapat diperoleh melalui penggunaan alat

kontrasepsi yang bersifat hormonal (Pil KB, Suntikan KB, dan Susuk KB).

Peranan estrogen didukung dengan adanya kecenderungan dari tumor ini

menjadi stabil dan menyusut setelah menopause dan lebih sering terjadi

pada pasien yang nullipara.

b. Progesteron

Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma

sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan

antagonis natural dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan

tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan Beta hidroxydesidrogenase

dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.

c. Menarche

Baru-baru ini sebuah studi menyatakan, sebuah hubungan terbalik

yang signifikan antara risiko fibroid dan usia saat menarche; yaitu,

dibandingkan dengan wanita yang 12 tahun sudah menarche, mereka yang

≤ 10 tahun pada menarche mengalami peningkatan risiko [risiko relatif

(RR) 1,24], sedangkan wanita yang adalah usia ≥ 16 tahun sudah

menarche berada di risiko yang lebih rendah (RR 0,68) (Marshall et al.

1998a).

Menarche yang lebih awal mugkin meningkatkan pembelahan sel dari

miometrium selama masa reproduksi, menghasilkan peningkatan

kesempatan mutasi dalam gen proliferasi miometrium (Marshall et al.

1998a).

d. Menopause

Risiko mioma uteri mengalami penurunan pada pasien

menopause yang membutuhkan pembedahan (Parazzini et al. 1988; Ross

et al. 1986; Samadi et al. 1996) bisa disebabkan oleh penyusutan tumor

stimulus hormonal setelah menopause. Perkiraan risiko pada pasien

pascamenopause bisa dikurangi dengan bias seleksi karena kecenderungan

menuju pembedahan lebih konservatif, pendekatan klinis pada wanita

postmenopause (Parazzini et al. 1988).

e. Obesitas

Sebuah studi case-control dari Jepang (Sato et al. 1998) juga

melaporkan bahwa wanita dengan okultisme obesitas (IMT <24,0 dan

persen lemak tubuh

tubuh bagian atas (> 0,80 pinggang tohip ratio) berada pada risiko lebih

tinggi secara signifikan

Berbeda dengan studi ini, ada dua laporan (Parazzini et al 1988;.

Samadi et al 1996.), bahwa tidak ada hubungan yang ditemukan antara

kejadian leiomyomas dan BMI. Laporan yang lain menghasilkan

prevalensi kelebihan berat badan mungkin berhubungan dengan kriteria

definisi, metode pengukuran, dan pilihan kelompok pembanding(Troiano

dan Flegal 1999).

Terdapat hubungan yang jelas antara obesitas dan peningkatan

risiko fibroid mungkin terkait faktor hormonal yang berhubungan dengan

obesitas, namun jalur patologis lain juga mungkin terlibat. Beberapa

asosiasi hormonal yang relevan dengan obesitas diketahui. Kenaikan yang

signifikan terjadi dalam konversi sirkulasi adrenal androgen menjadi

estron oleh kenaikan jaringan adiposa. Produksi hepar untuk globulin

pengikat hormon seks menurun, menghasilkan estrogen aktif yang tidak

terikat secara fisiologis. Karena hampir semua estrogen beredar

postmenopausally berasal dari metabolisme sirkulasi androgen oleh

jaringan perifer, termasuk lemak, kedua mekanisme mungkin memiliki

dampak yang lebih dalam menopause daripada wanita premenopause

(Kaca 1989). Pada wanita premenopause dengan obesitas, penurunan

metabolisme estradiol oleh 2 - hidroksilasi rute mengurangi konversi

estradiol metabolit aktif, yang bisa menghasilkan keadaan yang relatif

hyperestrogenic (Schneider et al. 1983).

f. Makanan

Dalam studi case-control di Italia (Chiaffarino et al. 1999),

ditemukan antara risiko rahim mioma dan konsumsi daging sapi, lainnya

daging merah, dan ham, sedangkan asupan tinggi sayuran hijau tampaknya

memiliki efek pelindung. Sayangnya, tidak ada perkiraan total asupan

kalori diperoleh, dan tidak ada upaya untuk memperkirakan jumlah lemak

dalam diet untuk kasus dan kontrol, meskipun salah satu kemungkinan

berasumsi bahwa asupan tinggi daging sapi akan terkait dengan sejumlah

besar lemak di diet.

Dalam sebuah studi vegetarian premenopause dan wanita

nonvegetarian (Goldin et al 1982.; Gorbach dan Goldin 1987), ekskresi

estrogen vegetarian rendah di urine, dan ditemukankan 15-20% kadar

estrogen plasma turun. Reduksi ini tampaknya terkait dengan peningkatan

ekskresi fekal fraksi estrogen normal yang diekskresikan dalam empedu,

sehingga sirkulasi enterohepatik estrogen berkurang. Terlepas dari relatif

pentingnya diet lemak dan serat, studi tersebut telah menetapkan bahwa

modulasi diet dapat berpengaruh padametabolisme estrogen dalam

premenopause perempuan, yang pada gilirannya mempengaruhi risiko

fibroid(mioma uteri). Demikian pula, 17% wanita dengan penurunan

konsentrasi estradiol plasma dicapai pada wanita postmenopause yang

berpartisipasi dalam intervensi program diet rendah lemak (Prentice et al.

1990).

g. Olahraga

Kemungkinan hubungan antara olahraga dan terjadinya fibroid

telah siteliti dengan membandingkan prevalensi di antara kelompok besar

mantan atlet perguruan tinggi dan nonathletes (Wyshak et al. 1986). Non

atlet yang ditemukan 1,4 kali lebih mungkin dibandingkan mantan atlet

terkena pengembangan tumor jinak rahim. Selain perbedaan dalam tingkat

aktivitas fisik, namun, gaya hidup atlet mungkin dikaitkan perbedaan

dalam diet dan relatif kerampingan dan, yang dapat mengurangi konversi

androgen menjadi estrogen dalam jaringan adiposa (Frisch et al. 1985,

Wyshak et al. 1986).

h. Merokok

Beberapa studi menemukan risiko mioma uteri berkurang

berhubungan dengan aktivitas merokok yang sekarang, bukan merokok di

masa lalu (Lumbiganon et.al 1996; Parazzini et al. 1988; Parazzini et al.

1996b; Ross et al. 1986; Samadi et al. 1996; Wyshak et al. 1986). Di

penelitian lain (Ross et al. 1986) pengurangan resiko pada perokok adalah

tergantung dosis; wanita yang merokok 10 batang per hari memiliki

penurunan risiko 18% dibandingkan dengan bukan perokok, sedangkan

perokok dari 20 batang per hari memiliki risiko sekitar 33% lebih rendah

dibandingkan bukan perokok. Kontras dari penelitian tersebut, survei lain

(Marshall et al. 1998b) menemukan tidak ada indikasi penurunan risiko

pada perokok.

Korelasi yang terbalik antara merokok dan fibroid telah umum

dikaitkan dengan efek antiestrogenik dari merokok yang dilaporkan oleh

asosiasi studi epidemiologi merokok , termasuk penurunan risiko kanker

endometrium, menopause dini alami, dan peningkatan osteoporosis.

Patofisiologi dari efek antiestrogenik jelas tidak sepenuhnya jelas, karena

tingkat estrone dan estradiol Total seringkali sama di perokok saat

postmenopause dan bukan perokok (Baron et al. 1990), dan penelitian

pada tingkat hormonal pada perokok premenopause menghasilkan hasil

yang tidak konsisten (Longcope dan Johnston 1988; MacMahon et al.

1982; Westhoff et al. 1996; Zumoff et al. 1990).

Di sisi lain, beberapa kekacauan metabolime steroid telah

diidentifikasi pada perokok.Peningkatan 2-hidroksilasi estradiol terjadi

pada perokok, yang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas pada

jaringan target estrogen (Michnovicz et al. 1986). Nikotin menghambat

aromatase konversi androgen menjadi estrone (Barbieri et al. 1986).

Secara signifikan ditemukan

Globulin pengikat serum hormon seks lebih tinggi , sehingga

kurang terikat estrogen aktif secara fisiologis (Daniel et al. 1992).

Peningkatan androstenedion dan kortisol telah dicatat dalam

pascamenopause perokok, sugestif peningkatan aktivitas adrenal; androgen

tinggi mungkin menjadi signifikan, karena beberapa bukti bahwa androgen

dapat menghambat efek estrogen-mediated dalam rahim tikus (Cassidenti

et al 1992;. Hung dan Gibbons 1983).

Studi ini menunjukkan bahwa efek metabolik hormon oleh aktivitas

merokok mungkin multifaktorial

i. Kontrasepsi Oral

Sebuah laporan awal menunjukkan bahwa kontrasepsi oral

mungkin memainkan peran dalam pengembangan atau pertumbuhan

leiomyomata (John dan Martin 1971). Beberapa telah menemukan

hubungan antara terjadinya fibroid dan penggunaan kontrasepsi oral

(Parazzini et al 1992;.. Samadi et al 1996), namun penelitian lain telah

melaporkan penurunan risiko fibroid dengan penggunaan OC (Ratech

dan Stewart 1982;. Ross et al 1986).

Selanjutnya, dalam studi oleh Ross et al., Sebuah penurunan yang

konsisten dalam risiko fibroid adalah dicatat dengan semakin lamanya

penggunaan OC (pengurangan 17% perkiraan risiko dengan masing-

masing 5 tahun penggunaan), efek perlindungan ini disebabkan

berkurangnya paparan terlindung estrogen karena efek dari

memodifikasi progestogen (Ross et al. 1986). Penelitian ini dikritik,

namun, untuk bias indikasi (Ratner 1986), sebagai fibroid yang

umumnya dianggap kontraindikasi pada penggunaannya OC, sehingga

sehingga kelompok yang dipilih untuk studi.

Sebuah peningkatan risiko fibroid telah dilaporkan pada wanita

yang pertama kali digunakan. Kontrasepsi oral pada tahun-tahun awal

mereka remaja (13-16 tahun) dibandingkan dengan mereka yang tidak

pernah menggunakan mereka (Marshall et al. 1998a).

j. Terapi Pengganti Hormon

Fibroid diharapkan menyusut setelah menopause, namun terapi

hormon pengganti (HRT) dapat mencegah penyusutan ini dan mungkin

bahkan merangsang pertumbuhan. Dua penelitian yang dilakukan

ketika estrogen yang diresepkan tanpa progestin melaporkan

peningkatan risiko fibroid operasi (Romieu dkk. 1991) atau rahim

leiomyomata yang membutuhkan rawat inap (Ramcharan et al.

1981) di antara wanita yang menggunakan HRT.

Satu berukuran besar (Polatti et al. 2000) dan beberapa kecil

(Colacurci et al, 2000;. Fedele et al. 2000; Sener et al. 1996; Ylostalo et

al. 1996) uji klinis menunjukkan peningkatan ukuran fibroid selama

pengobatan dengan transdermal estrogen ketika progesteron disertakan.

Demikian pula, disuntikkan estrogen plus progestin

mengakibatkan peningkatan ukuran dan jumlah dari mioma (Frigo et

al. 1995). Meskipun sedikit data yang tersedia, dua studi dengan

kelompok kontrol (Clark dan Johnson 2000; Schwartz et al. 1996)

menyarankan bahwa HRT oral dapat menghambat menopause yang

normal regresi fibroid.

Pengaruh HRT pada fibroid pada pascamenopause perempuan

rumit

dapat diatasi hanya dengan studi control yang lebih baik di masa

depan . Penekanan titik ini adalah penegasan (Polatti et al. 2000)

bahwa peningkatan dalam volume atau jumlah mioma uteri selama

HRT pada postmenopause kemungkinan tidak terkait semata-mata

dengan dosis dan cara pemberian estrogen, tetapi juga dengan jenis dan

dosis progestogen

Dalam Jeffcoates Principles of Gynecology, ada beberapa faktor

yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu:

i. Umur

Proporsi mioma meningkat pada usia 35-45 tahun.Penelitian Chao-Ru

Chen (2001) di New York menemukan wanita kulit putih umur 40-44

tahun beresiko 6,3 kali menderita mioma uteri dibandingkan umur < 30

tahun (OR =6,3; 95% CI:3,5-11,6). Sedangkan pada wanita kulit hitam

umur 40-44 tahun beresiko 27,5 kali untuk menderita mioma uteri jika

dibandingkan umur < 30 tahun (OR=27,5; 95% CI:5,6-83,6).26

ii. Paritas

Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relative

infertile, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas

menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang

menyebabkan infertilitas, atau apakah keadaan ini saling

mempengaruhi.Penelitian Okezie di Nigeria terhadap 190 kasus mioma

uteri, 128 (67,3%) adalah nullipara. Penelitian yang dilakukan di

Nigeria terhadap wanita dengan usia rata 44,9 tahun, 40,8 % nullipara

dan 35% melahirkan 1-2 kali.27 Demikian juga dengan hasil penelitian

Buttrum memperoleh dari 1.698 kasus mioma uteri, 27% diantaranya

infertile dan 31% melahirkan 1-2 kali.

iii. Faktor Ras dan Genetik

Pada wanita tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadian

mioma uteri lebih tinggi.19 Penelitian Baird di Amerika yang dilakukan

terhadap wanita kulit hitam dan wanita kulit putih menemukan bahwa

wanita kulit hitam beresiko 2,9 kali menderita mioma uteri (OR=2,9;

95%CI:2,5-3,4).21 Terlepas dari faktor ras, kejadian mioma juga tinggi

pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma uteri.

2.3. Anatomi Uterus dan Mioma Uteri

2.3.1. Anatomi Uterus

Uterus merupakan organ berdinding tebal, muskular, pipih yang

bentuknya seperti buah advokad atau buah pir terbalik. Ukurannya

sebesar telur ayam. Dindingnya terdiri atas otot-otot polos. Ukuran

panjang uterus 7-7,5 cm , lebar > 5,25 cm , tebal 2,5 cm dan tebal

dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah

anteversiofleksio ( serviks ke depan dan membentuk sudut dengan

vagina), sedangkan korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan

serviks uteri.

Uterus terdiri atas :

1) Fundus Uteri

Fundus uteri adalah bagian uterus proksimal

2) Korpus Uteri

Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar. Pada kehamilan

korpus uteri mempunyai fungsi utama sebagai tempat nidasi dan

berkembangnya janin. Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut

sebagai cavum uteri ( roongga rahim)

3) Serviks uteri

Serviks uteri terdiri atas :

a. Pars vaginalis servisis uteri yang disebut porsio

b. Pars supravaginalis servisis uteri, yaitu bagian serviks yang

berada di atas vagina

Secara histologik dari dalam ke luar, uterus terdiri atas :

1) Endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri

Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan

jaringan banyak pembuluh darah yang berkeluk-keluk.

Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan mempunyai arti

penting dalam siklus haid. Dalam masa haid, endometrium

sebagian dilepaskan, kemudian terbentuk lagi dalam fase

proliferasi yang selanjutnya diikuti dengan fase sekresi.

2) Otot-otot polos

Lapisan otot polos uterus di bagian dalam berbentuk sirkular dan di

bagian luar berbentuk longitudinal. Di antara kedua lapisan itu

terdapat lapisan otot oblik, berbentuk anyaman. Lapisan ini paling

penting dalam persalinan oleh karena sesudah plasenta lahir, otot

lapisan ini berkontraksi kuat dan menjepit pembuluh-pembuluh

darah yang terbuka, sehingga perdarahan berkurang dan berhenti.

3) Lapisan serosa yakni peritoneum viserale

2.3.2. Anatomi Mioma Uteri

Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan

selebihnya adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan

menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara

lain:

1. Mioma submukosa

2. Mioma intramural

3. Mioma subserosa

4. Mioma intraligamenter

Gambar 1. Gambar Jenis-jenis mioma uterus

Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%),

subserosa (48%), submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%)3

1. Mioma uteri submukosa

Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga

uterus. Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering

memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun

besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma

submukosa, walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan

perdarahan. Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan

kuretase, dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete

bump dan dengan pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai

tumor.

Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma

submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis

mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari

rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau mioma

yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada

beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena

proses di atas.

2. Mioma uteri intramural

Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena

pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk

sampai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai

banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-

benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding

depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong

kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.

3. Mioma subserosa

Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada

permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di

antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.

4. Mioma intraligamenter

Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain,

misalnya ke ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari

uterus sehingga disebut wondering parasitis fibroid. Jarang sekali

ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada servik

dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri

eksternum berbentuk bulan sabit.

Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari

bekas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan (whorie

like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar

yang terdesak karena pertumbuhan.

Gambar 2. Representasi gambar uterus normal dan struktur vaskulernya

A. Pelebaran pembuluh darah pada endometrium dan miometrium pada

uterus normal

B. Pelebaran pembuluh darah obstruksi fisik pada pembuluh darah uterus

miomatosus (Dikutip dari Gross Karen L,BA)

2.4 Patogenesis dan Aspek Biomolekuler

Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui.

Karena mioma uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka

kejadiannya rendah pada usia menopause, belum pernah terjadi sebelum

menarche, maka diduga penyebabnya timbulnya mioma uteri paling banyak

oleh stimulasi hormon estrogen.

Pukka menemukan bahwa reseptor estrogen pada mioma uteri lebih

banyak didapatkan dibandingkan dengan miometrium normal. Meyer, de Snoo

mengemukan patogenesis mioma uteri dengan teori cell nest dan genitoblast.

Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri atau

memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah

ditemukan banyak sekali mediator di dalam mioma uteri, seperti estrogen

growth factor, insulin growth factor-l,(IGF-l), connexsin-43-Gap function

protein dan marker proliferasi.

Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik

dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom

baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan

pada 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%)

ditemukan pada kromosom 7(del(7)(q 21)/q 21 q 32). Keberhasilan

pengobatan medikamentosa mioma uteri sangat tergantung apakah telah

terjadi perubahan pada kromosom atau tidak.

2.4.1. Perubahan Sitogenetik Mioma Uteri

Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah

menghasilkan penemuan yang baru. Diperkirakan 40% mioma uteri

memiliki abnormalitas kromosom non random. Abnormalitas ini dapat

dibagi menjadi 6 subgrup sitogenetik yang utama termasuk translokasi

antara kromosom 12 dan 14, trisomi 12, penyusunan kembali lengan

pendek kromosom 6 dan lengan panjang kromosom 10 dan delesi

kromosom 3 dan 7.

Penting untuk diketahui mayoritas mioma uteri

memiliki susunan kromosom yang normal.

Muncul pertanyaan dari klasifikasi mioma uteri dengan kariotif

abnormal, apakah terdapat hubungan antara genotip tumor dengan

fenotip klinis. Beberapa penelitian telah menunjukan adanya

rearrangements karyotype berhubungan dengan ukuran tumor yang

lebih besar sesuai dengan lokasi anatomis. Arein, dkk menemukan

bahwa tumor dengan delesi kromosom 7 rata-rata lebih kecil dari

daripada tumor dengan penyusunan kembali kromosom 12 (5 vs 8,5

cm), tetapi ekivalen dengan ukuran tumor yang memiliki kariotip

normal (5,4 cm). Hasil-hasil ini dikonfirmasikan oleh Kernig dkk.

Lebih jauh lagi mioma uteri submukosa ditemukan oleh Brosens dkk

memiliki perubahan yang lebih sedikit (12%) daripada intramural

(35%) atau tumor subserosa (29%). Tidak ditemukan hubungan antara

abnormalitas sitogenetik dan usia penderita atau paritas.

Beraneka ragam perubahan kromosom ditemukan pada mioma

uteri, yang paling sering terjadi yaitu: translokasi, trisomi dan delesi,

menyebabkan mekanisme pertumbuhan tumor yang multipel,

contohnya translokasi dapat juga meningkatkan atau menurunkan

ekspresi gen melalui posisi juxta pada seluruh bagian gen disamping

elemen regular ektopik. Sebagai pilihan translokasi yang menyetop

fungsi seluruh protein atau diterjemahkan ke protein chimeraic novel

yang fungsional. Trisomi biasanya meningkatkan ekspresi gen melalui

peningkatan dosis gen, dimana paling sering terjadi delesi kromosom

pada gen kehilangan fungsinya. Maka itu perbedaan perbedaan tipe

abnormalitas kromosom berada pada mioma uteri dapat

memprediksikan genetik heterogen apa yang mempercepat

perkembangan dan pertumbuhan tumor. Penelitian-penelitian

mengindentifikasikan gen yang berperan dalam perubahan sitogenetik

ini :

1. Subgrup t (12,14)

Translokasi kromosom yang paling sering pada mioma uteri

yaitu, t(12,14)(q14-q15;q23-q24) diperkirakan terdapat pada 20%

mioma uteri dengan perubahan kariotip.

Pasangan kromosom 12 lain

yang paling sering mengalami translokasi termasuk kromosom

2,4,22 dan x.15

Bagian q14-q15 pada kromosom 12juga ditemukan

pada tumor mesenkim lainnya seperti; fibroadenoma mammae, polip

endometrium, lipoma dan lain-lain. Kloning pada posisi 12q14-q15

dimulai dengan perkembangan high density physical map dan

dihasilkan dari indentifikasi Yeast Artifician Chromosome (YAC)

yang meningkatkan translokasi 12q15 pada mioma uteri HMGIC,

grup protein dengan densitas tinggi yang dipetakan ke kloning YAC

ini, menjadi gen yang berpotensial menarik karena penelitian pada

tikus mengidentifikasikan bahwa HMGIC adalah DNA binding

protein yang terlbat dalam proliferasi seluler dan pada diferensiasi

jaringan mesenkim, termasuk jaringan adiposa. Sebagai contoh,

ekspresi HMGIC disebut fenotip pygmy bermanifestasi pengurangan

berat 40% dan pada hipoplasia adiposit, fibroblast tikus

menunjukkan penurunan empat kali lipat aktifitas proliferasi.16

Terlebih lsgi penelitian molekular telah menemukan ekspresi

HMGIC pada mioma uteri dibandingkan ekspresi yang tidak dapat

dideteksi pada miometrium yang normal.

Bagian kromosom 14 terlibat dalam mioma uteri dengan

t(12,14) menarik perhatian karena spesifitasnya pada mioma uteri

dibandingkan dengan tumor mesenkim lainnya, dimana terjadi

perubahan HMGIC. Reseptor ß gen estrogen (ESR 2), yang berada

pada lengan panjang kromosom 14 (14q23-24) sangat berarti karena

pertumbuhan mioma uteri responsif terhadap estrogen.

Bagaimanapun lokus ESR 2 dipetakan kira-kira 2 megabas (MB)

dari t(12,14) dan analisis ekspresi tidak mengubah perbedaan

transkripsi level ESR 2 antara mioma uteri dengan dan tanpa

t(12,14). Demikian juga ESR 2 tidak terganggu pada tumor dengan

t(12,14) yang dianalisa dengan hibridisasi fluoroscence insitu, dari

hasil ini bukan berarti ESR 2 pada mioma uteri disebabkan

kesalahan ekspresi lainnya atau sebagai pasangan translokasi posisi

HMGIC pada mioma uteri dengan t(12,14), namun demikian

perkiraan fisiknya ke t(12,14) belum dapat dibuktikan bermakna

sebagai mekanisme yang mendasari patogenesis dan patologi mioma

uteri.

2. Subgrup 6p21

Ketika HMGIC ditemukan terlibat dalam kromosom subgrup

12 pada mioma uteri, HMGIY segera dikenali sebagai protein

mobilitas tinggi berhubungan dengan HMGIC yang berada di lengan

pendek kromosom 6(6p 21) dapat berperanan dalam perubahan 6p21

pada mioma uteri. Hibridisasi Flourescence insitu telah

mengkonfirmasi bahwa HMGIY terlibat dalam perubahan ini. Lebih

jauh lagi peningkatan ekspresi HMGIY ditemukan pada mioma uteri

tanpa perubahan sitogenetik pada kromosom 6 pada tumor dengan

perubahan kromosom lainnya dan pada tumor dengan kariotip yang

normal. Perubahan 6p21, termasuk translokasi dengan kromosom

1,2,4,10 dan 14 seperti inversi dan translokasi dengan kromosom

lainnya, terjadi <10 % mioma uteri dengan kariotip yang abnormal.

3. Grup Protein Mobilitas Tinggi

HMGIC dan HMGI(Y) termasuk dalam grup mobilitas

tinggi. Protein grup mobilitas tinggi, jumlah banyak, nonhistone,

DNA binding protein yang secara tidak langsung mengatur

aktifitas beraneka DNA dependent, seperti transkripsi, dengan

menyediakan faktor-faktor arsitektur. Protein grup mobilitas tinggi

dikelompokkan berdasarkan fungsinya ke dalam 3 kelas, HMGI/2

HMG-14/HMG 17, HMG I. HMG I terdiri dari 3 protein; HMGI-C

berperanan dalam proliferasi dan diferensiasi sel.

Ikatan protein HMG I dapat menginduksi perubahan DNA,

kemudian mempengaruhi akses protein binding DNA lainnya.

Lebih jauh lagi domain c terminal berinteraksi dengan protein

lainnya, contohnya faktor transkripsi. Dengan cara ini protein

HMG I dapat secara tidak langsung transkripsi, contohnya

perubahan yang terjadi diinduksi oleh ikatan HMGI(Y) telah

diketahui menghubungkan transkripsi interferon ß. HMGIY telah

terlihat mempengaruhi transkripsi gen lainnya termasuk tumor

necrosis factor ß, E Selectin, IL-2 receptor , chemokine,

MgSA/GRO, CD44 cell adhesion protein dan sintesis nitric acid

yang dapat direduksi. Akhir –akhir ini level sintese nitric oxide

endotel terlihat dari imunostaining yang secara bermakna lebih

tinggi pada sel-sel otot polos daripada sel otot polos yang normal.

Nitric Oxide mempengaruhi neovaskularisasi tumor yang estrogen

dependent. Dapat ditentukan bila ada korelasi antara ekspresi

induksi sintese nitric oxide dan level disregulasi protein HMGI

pada mioma uteri dengan perubahan gen HMGI. Kesamaannya,

hubungan antara ekspresi HMGI dan perubahan ekspresi gen

lainnya yang diatur protein HMGI belum terlihat pada mioma uteri.

HMGI(Y) juga dapat menghambat transkripsi dengan

menginterupsi resesi transkripsi histone.

4. Subgrup Del(7)(q22q32)

Delesi kromosom 7, del(7)(q22q32) terdapat pada 17 %

mioma uteri dengan kariotip yang abnormal.

2.4.2. Biomolekuler perdarahan pada mioma uteri

Pada penelitian klasik ditemukan perubahan fundamental struktur

vaskuler uterus miomatosus. Dengan kemajuan era molekuler ditemukan

mekanisme angiogenesis pada uterus yang didukung dengan

didapatkannya disregulasi Local Vasoactive growth factor atau growth

factor receptors pada miometrium mioma uteri. Walaupun ekstasia vena

merupakan karakteristik kelainan pembuluh darah pada mioma uteri,

kelainan multipel pada arteri, vena dan matriks ekstraseluler (ECM)

disekelilingnya kemungkian juga menjadi penyebab kelainan heterogen

ini. Pengertian disregulasi tidak hanya menerangkan patofisiologi

masalah klinis, tapi juga mengarah ke penatalaksanaan yang inovatif.

Pada siklus menstruasi normal, perubahan siklik estrogen dan

progesteron akan mempengaruhi stroma dan glandular endometrium.

Perubahan morfologi glandular dan stroma ini diikuti dengan perubahan

struktur vaskular, dimana perubahan ini dimulai dari miometrium sampai

sampai ke endometrium melepaskan cabang arteri radialis yang menjadi

berkelok-kelok dan disebut arteri spiralis yang masuk ke dalam

endometrium. Arteri spiralistidak seperti arteri basalis peka terhadap

estrogen dan progesteron. Menstruasi merupakan fase iskemik dengan

karakteristik vasokonstriksi arteri spiralis ini dan perdarahan terjadi

setelah pembuluh darah relaksasi. Komponen darah termasuk faktor

pembekuan dan platelet muncul untuk membentuk bekuan yang

membatasi kehilangan darah sampai regenerasi selesai.

Menurunnya hormon steroid menyebabkan disrupsi sel-sel

endometrium dan extracellular matrix (ECM). Kelainan ekspresi molekul

desmoplakin I II, E-cadherm, ß-catenins dan hilangnya F-actin

terjadi hanya pada lapisan fungsional pada peristiwa menstruasi.

Apoptosis meningkat perlahan pada fase sekretori di glandular

endometrium dan menyiapkan jaringan untuk disrupsi. Sesudah lapisan

fungsional lepas, terjadi regenerasi dimulai dari basal endometrium,

ketika terjadi kontak langsung dengan miometrium timbul mekanisme

dimana growth factor mempengaruhi regenerasi endometrium pada

sistem parakrin.

Proses siklis angiogenesis, pembentukan pembuluh darah baru,

pada ovarium dan uterus sangat unik dan sulit dimengerti. Angiogenesis

pada pembentukan tumor memiliki proses patologi seperti pada

penyembuhan luka. Dimana terjadi interaksi antara pembuluh darah dan

ECM disekitarnya. Proses yang terjadi dalam angiogenesis adalah

penghancuran membran basalis, migrasi sel endotel, proliferasi sel

endotel, pembentukan tabung kapiler, diikuti stabilisasi (gambar 2).

Degradasi membran basalis melibatkan stromelysin, kolagen dan enzim-

enzim lainnya untuk menghancurkan elemen ECM. Sel endotel dapat

bermigrasi ke ujung pembuluh darah. Proses migrasi didukung

lingkungan yang banyak mengandung kolagen tipe I dan tipe III dan

dirangsang oleh basic fibroblast growth factor (bFGF). Protein ECM ini

juga muncul dan berperanan penting dalam proses proliferasi.

Pembentukan lumen dan stabilisasi juga dipengaruhi komponen ECM.

Gambar 3. Komponen ECM, kolagen IV dan V serta laminin dihubungkan dengan basal membran

dan masuk kedalam suatu tempat yang banyak mengandung kolagen interstitial I,III, dan

fibronektin yang membantu proses migrasi. Proliferasi terjadi 24 jam setelah migrasi. Angiogenik

ini mengadakan vakuolisasi untuk membentuk lumen kapiler. Ketika proses stabilisasi tuba

terjadi, membran basalis baru terbentuk disekitar kapiler (Dikutip dari Gross Karen L,BA)

Diperkirakan 30% wanita mengalami kelainan menstruasi,

menoragia atau menstruasi yang lebih sering. Tidak ditemukan bukti

yang menyatakan perdarahan ini berhubungan dengan peningkatan luas

permukaan endometrium atau karena meningkatnya insiden disfungsi

ovulasi. Teori yang menjelaskan perdarahan yang disebabkan mioma

uteri menyatakan terjadinya perubahan struktur vena pada endometrium

dan miometrium yang menyebabkan terjadinya venule ectasia.

Miometrium merupakan wadah bagi faktor endokrin dan parakrin

dalam mengatur fungsi endometrium. Aposisi kedua jaringan ini dan

aliran darah langsung dari miometrium ke endometrium memfasilitasi

interaksi ini. Growth factor yang merangsang stimulasi angiogenesis atau

relaksasi tonus vaskuler dan yang memiliki reseptor pada mioma uteri

dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal dan menjadi target

terapi potensial. Sebagai pilihan, berkurangnya angiogenik inhibitory

factors atau vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri

dapat juga menyebabkan perdarahan uterus yang abnormal. Telah jelas

bahwa ada perbedaan sejumlah gen pada mioma uteri dengan

miometrium yang normal. Terdapat peningkatan reseptor estrogen dan

progesteron serta enzim aromatase pada mioma uteri dibandingkan

dengan miometrium. Mioma uteri juga meningkatkan reseptor insulin

like growth factor (IGF-I) dan mRNA IGF-II dan telah meningkatkan

TGF-ß3 enam kali lipat dibandingkan dengan miometrium. Selain itu

didapatkan juga peningkatan mRNA dan protein for parathyroid hormon

related protein (PTHrP) dan bFGF (Weir dkk,1994;Mangrulkar

dkk,1995)

Protein yang ada pada mioma uteri mengalami fase siklus

menstruasi yang spesifik lebih banyak dibanding miometrium yang

normal. Laboratorium telah menunjukkan mRNA kolagen tipe I dan

kolagen tipe III meningkat relatif pada mioma uteri hanya terjadi pada

fase proliferatif siklus epidermal Growth Factor (EGF) mRNA telah

terlihat meningkat relatif pada fase luteal siklus dibandingkan dengan

miometrium (Harrison-Woolrych dkk,1994). Penelitian terbaru

mengatakan bahwa reseptor EGF dapat diturunkan pada mioma uteri

sejak penelitian lain yang berkaitan menyatakan adanya penurunan ikatan

tersebut pada mioma uteri dibandingkan miometrium normal.

Faktor-faktor pertumbuhanataupun reseptornya yang diregulasi

berbeda pada mioma uteri atau endometrium uterus miomatosus,

merupakan mediator yang potensial pada mioma uteri yang disertai

komplikasi. Faktor-faktor yang diregulasi berbeda, yang telah diketahui

berperanan pada jaringan vaskuler dengan cara meningkatkan proliferasi

atau perubahan kapiler pembuluh darah, yang berpotensi menyebabkan

mioma uteri dengan gejala menoragia. Faktor-faktor yang memenuhi

semua kriteria termasuk basic fibroblast growth factor (bFGF), vascular

endothelial growth factor (VEGF), heparin binding epidermal growth

factor (HBEGF), platelet derived growth factor (PDGF), TGF-ß, PTHrP

dan prolaktin.

Keempat faktor ini (bFGF,VEGF,HBEGF,PDGF) milik heparin

binding group of growth factors. Sejak faktor-faktor ini berikatan dengan

heparin sulfat proteoglycans yang ditemukan di ECM, mioma uteri,

dengan muatan ECM yang besar, dapat dijadikan wadah bagi faktor-

faktor ini. Kedua faktor bFGF dan VEGF mengatur fungsi sel endotel,

maka itu migrasi sel endotel vital ditingkatkan ke proses angiogenik.

HBEGF dan PDGF mengatur fibroblast dan fungsi sel otot polos dan

dapat mempengaruhi vaskularisasi otot polos mioma uteri, sel

miometrium ataupun sel stroma endometrium. PTHrP dapat berfungsi

sebagai vasodilator secara tidak langsung dengan aksi pada ECM atau

secara langsung pada pembuluh darah. TGF-ß berfungsi pada banyak tipe

sel dan prolaktin, ketika membelah, berfungsi sebagai penghambat

angiogenesis. Maka itu faktor ini memiliki aksi yang potensial dalam

mengatur fungsi vaskuler di uterus.

1. Basic Fibroblast Growth Factor

Merupakan protein 18 kd yang meningkatkan angiogenesis

melalui sejumlah mekanisme termasuk induksi proliferasi sel endotel,

Chemotaxis dan produksi matrix remodelling enzym seperti

kolagenase dan aktivator plasminogen.Terapi estradiol merangsang

BFGF like activity, yang hilang ketika sel diterapi dengan progesteron

model ini meniru pengaturan pengaruh hormon terhadap angiogenesis

invivo. BFGF juga telah menjadi mitogen besar yang menyebabkan

proliferasi sel otot polos sesudah perdarahan.

2. Vascular endothelial growth factor

VEGF merupakan growth factor angiogenic yang merupakan

mitogen poten sel-sel endotelial, ditemukan spesifik muncul pada

siklus menstruasi fase proliferatif. VEGF mRNA juga dideteksi pada

miometrium dengan hibridisasi intensitas kuat pada batas

endometrium dan miometrium. Pada uterus manusia level VEGF

ditemukan sama pada miometrium dan mioma uteri dan tidak

memiliki variabilitas siklus menstruasi yang bermakna.

3. Heparin-binding epidermal growth factor

HBEGF merupakan peptida 22-kd yang berfungsi sebagai

mitogen pada fibroblas dan sel otot polos dengan EGF-R pada sel-sel

otot polos memilih afinitas yang lebih besar daripad EGF, maka itu

mitogennya lebih poten. Ekspresi meningkat pada tempat

penyembuhan luka. HBEGF terdapat di endometrium dengan

pengaturan yang berbeda pada endometrium dengan peningkatan

ekspresi berhubungan dengan proliferasi tipe sel uterus, maka itu

HBEGF mungkin merupakan mediator aktifitas hormon steroid pada

uterus. Dari hasil analisa ekspresi pada EGF-R pada endometrium

manusia menujukkan bahwa sel epitel mengekspresikan reseptor

melalui siklus menstruasi, sementara sel stroma menunjukkan ekspresi

hanya selama fase sekretori.

4. Platelet-derived growth factor

PDGF merupakan faktor pertumbuhan dengan homodimeric

(AA dan BB) dan heterodimeric (AB) membentuk rantai dengan ikatan

mengikat ketiga hormon dimeric dan PDGF ß yang mengikat hanya BB

isoform dengan afinitas tinggi. Kedua reseptor merupakan tirosin

kinase. PDGF berfungsi sebagai mitogen dan chemoattractant sel otot

polos dan fibroblas. Imunochemistry pada rantai PDGF memiliki level

sama antara mioma uteri dan sel otot polos intensitas staing sama pada

miometrium dan leiomioma.

2.4.3 Perubahan Sekunder

Perubahan sekunder pada mioma uteri adalah perubahan yang terjadi

pada mioma karena pengaruh lain. Perubahan yang terjadi sebagian besar

bersifat degenerasi. Hal ini terjadi oleh karena berkurangnya pemberian darah

pada sarang mioma.

Perubahan sekunder yang sering terjadi:

a. Atrofi : sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri

menjadi kecil.

b. Degenerasi Hialin : perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita

berusia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen, dapat

meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil, seolah-olah

memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.

c. Degenerasi Kistik : dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana

sebagian dari mioma menjadi cair sehingga terbentuk ruangan-ruangan

yang tidak teratur berisi seperti agar-agar, dapat juga terjadi

pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai

limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan

dari kista ovarium atau suatu kehamilan.

d. Degenerasi Membatu (calcicerous degeneration) : terutama terjadi pada

wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi.

Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka

mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto roentgen.

e. Degenerasi Merah (carneous degeneration) : perubahan ini biasanya terjadi

pada kehamilan dan nifas. Patogenesis diperkirakan karena suatu nekrosis

sub akut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat

sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah yang disebabkan

oleh pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas

apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam

dan kesakitan.

f. Tumor uterus membesar dan nyeri pada perabaan. Penampilan klinik ini

seperti pada putaran tangkai tumor ovarium atau mioma yang bertangkai.

g. Degenerasi lemak : jarang terjadi dan merupakan kelanjutan degenerasi

hialin.5,18,19

2.5 Pencegahan Mioma Uteri

2.5.1. Pencegahan Primordial

Pencegahan ini dilakukan pada perempuan yang belum menarche

atau sebelum terdapat resiko mioma uteri. Upaya yang dapat dilakukan

yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang tinggi serat seperti sayuran

dan buah.

2.5.2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan awal pencegahan sebelum

seseorang menderita mioma. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan

dengan penyuluhan mengenai faktor-faktor resiko mioma terutama pada

kelompok yang beresiko yaitu wanita pada masa reproduktif. Selain itu

tindakan pengawasan pemberian hormon estrogen dan progesteron dengan

memilih pil KB kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron), pil

kombinasi mengandung estrogen lebih rendah dibanding pil sekuensil,

oleh karena pertumbuhan mioma uteri berhubungan dengan kadar estrogen

2.5.3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan untuk orang yang telah terkena

mioma uteri, tindakan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya

komplikasi. Pencegahan yang dilakukan adalah dengan melakukan

diagnosa dini dan pengobatan yang tepat.

2.6. Gambaran Klinis dan Diagnosis

2.6.1. Gejala Klinis

Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari

lokasi, arah pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai

pada 20-50% saja mioma uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya

tidak mengeluh apapun.

Hipermenore, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari

mioma uteri. Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114

penderita ditemukan 44 % gejala perdarahan, yang paling sering adalah

jenis mioma submukosa, sekitar 65% wanita dengan mioma mengeluh

dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri pinggang. Tergantung

dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter dan

usus dapat terganggu, dimana peneliti menemukan keluhan disuri (14%),

keluhan obstipasi (13%). Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya

dijumpai pada 2-10% kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi

mekanis tuba falopi. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma

menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus

yang abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam

panggul.

Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut.

a. Perdarahan abnormal. Perdarahan uterus yang abnormal merupakan

gejala klinis yang paling sering terjadi dan paling penting (Fortner,

Gibbs). Gejala ini terjadi pada 30% pasien dengan mioma uteri. Wanita

dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus perdarahan haid

yang teratur dan tidak teratur. Gangguan perdarahan yang terjadi

umumnya adalah hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi

metroragia. Patofisiologi perdarahan uterus yang abnormal yang

berhubungan dengan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti.

Beberapa penelitian menerangkan bahwa adanya disregulasi dari

beberapa faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptor yang mempunyai

efek langsung pada fungsi vaskuler dan angiogenesis. Perubahan-

perubahan ini menyebabkan kelainan vaskularisasi akibat disregulasi

struktur vaskuler di dalam uterus.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain

adalah :

1. Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hiperplasia endometrium

sampai adenokarsinoma endometrium.

2. Peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus.

3. Permukaan endometrium yang lebih luas dari pada biasa

4. Atrofi dan ulserasi endometrium di atas mioma submukosum.

5. Kompresi pada pleksus venosus di dalam miometrium.

6. Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang

mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit

pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.

b. Rasa nyeri. Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas. Nyeri dapat

disebabkan oleh karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi

dari mioma yang bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang

disebabkan mioma subserosum. Pada pengeluaran mioma submukosum

yang akan dilahirkan, pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis

servikalis dapat menyebabkan dismenore. Tumor yang besar dapat

mengisi rongga pelvik dan menekan bagian tulang pelvik yang dapat

menekan saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke

bagian punggung dan ekstremitas inferior

c. Gejala dan tanda penekanan. Gangguan ini tergantung dari besar dan

tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan

menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio urine,

pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada

rektum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh

darah dan pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edema

tungkai dan nyeri panggul

d. Disfungsi reproduksi. Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab

infertilitas masih belum jelas. Dilaporkan sebesar 27 - 40% wanita

dengan mioma uteri mengalami infertilitas. Mioma yang terletak di

daerah kornu dapat menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi

gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral. Mioma uteri

dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang sebenarnya

diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus. Perubahan bentuk

kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi

reproduksi. Mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus

oleh karena distorsi rongga uterus. Gangguan implantasi embrio dapat

terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan histologi

endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor.

Apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan, dan mioma

merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu

indikasi untuk dilakukan miomektomi.

2.6.2. Diagnosis

2.6.2.1. Pemeriksaan fisik

Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual

rutin uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai

gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang lebih licin,

tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah

bagian dari uterus.

2.6.2.2. Temuan laboratorium

Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini

disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat

besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoeitin yang pada

beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara

polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioam

terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter

dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal.

2.6.2.3. Pemeriksaan penunjang

a. Ultrasonografi

Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat

dalam menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi

transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus

atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui

ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas

menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan

irregularitas kontur maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi

ditandai oleh fokus-fokus hiperekoik dengan bayangan akustik.

Degenerasi kistik ditandai adanya daerah yang hipoekoik.14

Sebelumnya pasien dipuasakan selama 8 jam untuk

meminimalkan gas diusus agar tidak menghalangi pemeriksaan.

Sebelum pemeriksaan, pasien disuruh untuk minum dan menahan

kencing. Dari pemeriksaan USG Abdominal dan transvaginal, akan

tampak gambaran Uterus dengan nodul hypoechoic dapat tunggal

maupun multiple dengan berbagai bentuk (biasanya bulat atau

lonjong) dan berbatas tegas. Gambaran ultrasonografi dapat

menentukan letak atau jenis dari mioma uteri (intramural,

subserosa, atau sukmucosa)

b. Hiteroskopi

Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri

submukosa, jika tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut

sekaligus dapat diangkat.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan

lokasi mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak

sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari

miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang

dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma submukosa MRI

dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-kasus yang tidak

dapat disimpulkan.

DIAGNOSIS BANDING

1. Kehamilan

2. Inversio Uteri

3. Adenomiosis

4. Koriokarsinoma

5. Karsino korpus uteri

6. Kista ovarium

7. Sarkoma uteri.( Kapita Selekta Kedokteran, 2001 : 387)

2.7 Komplikasi Mioma Uteri

Komplikasi merupakan suatu kondisi yang mempersulit atau reaksi

negatif yang terjadi pada penderita akibat mioma uteri antara lain :

1. Degenerasi Ganas

Mioma uteri yang menjadi Leimiosarkoma ditemukan hanya 0,32 –

0,6 % dari seluruh mioma, serta merupakan 50 – 75 % dari seluruh

sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan

histology uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus

apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran

sarang mioma dalam menopause.

2. Torsi (Putaran Tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul

gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian

terjadilah syndrome abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan

gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu

keadaan dimana terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum.

Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan

karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma

yang menyebabkan perdarahan berupa metroragia disertai leukore dan

gangguan-gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri.

2.8. Penatalaksanaan

2.8.1. Konservatif

Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan

pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma

lebih besar dari kehamilan 10-12 minggu, tumor yang berkembang cepat,

terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan operasi.

2.8.2. Terapi Medikamentosa

Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan

mioma uteri secara menetap belum tersedia padasaat ini. Terapi

medikamentosa masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti

sementara dari operatif. Preparat yang selalu digunakan untuk terapi

medikamentosa adalah analog GnRH, progesteron, danazol, gestrinon,

tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain

(gossipol,amantadine).

1. GnRH analog

Penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita

dengan mioma uteri yang diberikan GnRHa leuprorelin asetat selam 6

bulan, ditemukan pengurangan volume uterus rata-rata 67% pada 90

wanita didapatkan pengecilan volume uterus sebesar 20% dan pada 35

wanita ditemukan pengurangan volume mioma sebanyak 80%.

Efek maksimal dari GnRHa baru terlihat setelah 3 bulan

dimana cara kerjanya menekan produksi estrogen dengan sangat kuat,

sehingga kadarnya dalam darah menyerupai kadar estrogen wanita usia

menopause. Setiap mioama uteri memberikan hasil yang berbeda-beda

terhadap pemberian GnRHa. Mioma submukosa dan mioma intramural

merupakan mioma uteri yang paling rensponsif terhadap pemberian

GnRH ini. Keuntungan pemberian pengobatan medikamentosa dengan

GnRHa adalah:

1) Mengurangi volume uterus dan volume mioma uteri.

2) Mengurangi anemia akibat perdarahan.

3) Mengurangi perdarahan pada saat operasi.

4)Tidak diperlukan insisi yang luas pada uterus saat pengangkatan

mioma.

5) Mempermudah tindakan histerektomi vaginal.

6)Mempermudah pengangkatan mioma submukosa dengan

histeroskopi.

2. Progesteron

Goldhiezer, melaporkan adanya perubahan degeneratif mioma uteri

pada pemberian progesteron dosis besar. Dengan pemberian

medrogestone 25 mg perhari selama 21 hari dan tiga pasien lagi diberi

tablet 200 mg, dan pengobatan ini tidak mempengaruhi ukuran mioma

uteri, hal ini belum terbukti saat ini.

3. Danazol

Merupakan progesteron sintetik yang berasal dari testosteron. Dosis

substansial didapatkan hanya menyebabkan pengurangan volume

uterus sebesar 20-25% dimana diperoleh fakta bahwa danazol

memiliki substansi androgenik. Tamaya, dkk melaporkan reseptor

-reduktase pada

miometrium dibandingkan endometrium normal. Mioma uteri

memiliki aktifitas aromatase yang tinggi dapat membentuk estrogen

dari androgen.

4. Gestrinon

Merupakan suatu trienik 19-nonsteroid sintetik, juga dikenal

dengan R 2323 yang terbukti efektif dalam mengobati endometriosis.

Menurut Coutinho(1986), melaporkan 97 wanita, A(n=34) menerima 5

mg gestrinon peroral 2x seminggu, kelompok B(n=36) menerima 2,5

mg gestrinon peroral 2x seminggu, dan kelompok C(n=27) menerima

2,5 mg gestrinon pervaginam 3x seminggu.

Data masing-masing

dievaluasi setelah 4 bulan didapatkan volume uterus berkurang 18%

pada kelompok A, 27% pada kelompok B, tetapi pada kelompok C

meningkat 5%. Setelah masa pengobatan selama 4 bulan berakhir, 95%

pasien amenore, Coutinho menyarankan penggunaan gestrinon sebagai

terapi preoperatif untuk mengontrol perdarahan menstruasi yang banyak

berhubungan dengan mioma uteri.

5. Tamoksifen

Merupakan turunan trifeniletilen yang mempunyai khasiat

estrgenik maupun antiestrogenik, dan dikenal sebagai “selective

estrogen receptor modulator” (SERM). Beberapa peneliti melaporkan

pada pemberian tamoksifen 20 mg tablet perhari untuk 6 wanita

premenopause dengan mioma uteri selama 3 bulan dimana volume

mioma tidak berubah, dimana kerjanya konsentrasi reseptor estradiol

total secara signifikan lebih rendah. Hal ini terjadi karena peningkatan

kadar progesteron bila diberikan berkelanjutan.

6. Goserelin

Merupakan suatu GnRH agonis, dimana ikatan reseptornya

terhadap jaringan sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah berada

cukup lama. Pada pemberian goserelin dapat mengurangi setengah

ukuran mioma uteri dan dapat menghilangkan gejala menoragia dan

nyeri pelvis. Pada wanita premenopause dengan mioma uteri,

pengobatan jangka panjang dapat menjadi alternatif tindakan

histerektomi terutama menjelang menopause. Pemberian goserelin 400

mikrogram 3 kali sehari semprot hidung sama efektifnya dengan

pemberian 500 mikrogram sehari sekali dengan cara pemberian injeksi

subkutan.

Untuk pengobatan mioma uteri, dimana kadar estradiol kurang

signifikan disupresi selama pemberian goserelin dan pasien sedikit

mengeluh efek samping berupa keringat dingin. Pemberian dosis yang

sesuai, agar dapat menstimulasi estrogen tanpa tumbuh mioma kembali

atau berulangnya peredaran abnormal sulit diterima. Peneliti

mengevaluasi efek pengobatan dengan formulasi depot bulanan

goserelin dikombinasi dengan HRT (estrogen konjugasi 0,3 mg) dan

medroksiprogesteron asetat 5 mg pada pasien mioma uteri, parameter

yang diteliti adalah volume mioma uteri, keluhan pasien, corak

perdarahan kandungan mineral, dan fraksi kolesterol. Kadar HDL

kolesterol meningkat selama pengobatan, sedangkan plasma trigliserid

meningkat selama pemberian terapi.

7. Antiprostaglandin

Dapat mengurangi perdarahan yang berlebihan pada wanita

dengan menoragia, dan hal ini beralasan untuk diterima atau mungkin

efektif untuk menoragia yang diinduksi oleh mioma uteri. Ylikorhala

dan rekan-rekan, melaporkan pemberian Naproxen 500-1000 mg setiap

hari untuk terapi selama 5 hari tidak memiliki efek pada menoragia

yang diinduksi mioma, meskipun hal ini mengurangi perdarahan

menstruasi 35,7% wanita dengan menoragia idiopatik.

2.9.3. Embolisasi Arteri Uterina

Suatu tindakan yang menghambat aliran darah ke uterus dengan

cara memasukkan agen emboli ke arteri uterina. Dewasa ini embolisasi

arteri uterina pada pasien yang menjalani pembedahan mioma. Arteri

uterina yang mensuplai aliran darah ke mioma dihambat secara permanen

dengan agen emboli (partikel polivynil alkohol). Keamanan dan

kemudahan embolisasi arteri uterina tidak dapat dipungkiri, karena

tindakan ini efektif.

Proses embolisasi menggunakan angiografi digital substraksi dan

dibantu fluoroskopi. Hal ini dibutuhkan untuk memetakan pengisian

pembuluh darah atau memperlihatkan ekstrvasasi darah secara tepat.23

Agen emboli yang digunakan adalah polivinyl alkohol adalah partikel

plastik dengan ukuran yang bervariasi. Katz dkk memakai gel form

sebagai agen emboli untuk embolisasi arteri uterina Tingkat keberhasilan

penatalaksanaan mioma uteri dengan embolisasi adalah 85-90%.

2.9.4. Terapi Inovatif Berdasarkan Aktivitas Mekanisme Molekular.

Setelah didapatkan mekanisme molekulaer mioma uteri, terapi

yang lebih baik dapat secara khusus memecahkan masalah ini. Seperti

penyakit lainnya, bila didapatkan kelainan gen yang spesifik akan

membuka kemungkinan terapi gen di masa yang akan datang. Sebelum

terapi gen digunakan lebih luas, kemungkinan kita harus melewati terapi

yang ditujukan sebagai anti spesific growth factor angiogenesis yang

terdapat di dalam endometrium dan miometrium.

Sejumlah molekul telah diidentifikasi dalam menghambat proses

proliferasi sel endotel dan menghambat angiogenesis. TGF-ß dan sekresi

reseptor bFGF berada di uterus dan menghambat proses ini. Selain itu

fragmen 16-kd prolaktin, angiostatin, thrombospondin-I, platelet faktor

4, tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMPs 1,2 dan 3), interferon

dan placentalproliferin-related protein secara negatif mengatur

angiogenesis dan dapat dieksploitasi terapi.

Agen farmakologi yang berlawanan dengan faktor angiogenik

ataupun obat-obatan yang dapat memblok produksi faktor ini, berikatan

atau menurunkan bentuk aktifnya, atau berikatan dengan reseptornya,

juga bermanfaat. Stimulasi angiogenesis yang merupakan target

antagonis potensial, termasuk TGF-ß, bFGF, VEGF dan PDGF.

Terapi gen didefinisikan sebagai transfer rentetan DNA esensial

atau terapetik ke dalam sel pasien untuk mendapatkan keuntungan klinis.

Perubahan ini dapat menghasilkan meningkatkan produksi produk sel

yang penting, penghambatan ekspresi gen yang bersangkutan, dan

induksi respon imun serta penghancuran sel-sel yang rusak dengan

kematian sel yang terprogram. Bentuk gen terapi yang paling sering

adalah pembentuk, penggunaan transfer gen untuk menggantikan produk

gen yang abnormal atau hilang. Walaupun transfer gen dapat dilakukan

dilakukan dengan efikasi yang sama pada sel somatik dan sel germ,

terapi ditargetkan semata-mata pada sel somatik dan tidak melibatkan

pemusnahan secara langsung, atau perbaikan sel-sel yang mengalami

kelainan.Teknologi DNA recombinant menyediakan alat-alat untuk

memungkinkan terapi gen. Ketika lokasi gen yang sama dikenali,

terdapat empat langkah dasar dimana segmen DNA dikloning, digestion,

ligation, transformation, dan selection.

Pada langkah pertama digestion, DNA dipotong untuk

mengeluarkan fragmen atau gen yang diinginkan, dibantu dengan

penggunaan sebuah kelas enzim yang disebut restriction endonucleases,

yang memecah rentetan DNA dengan tepat. Setelah segmen DNA yang

diinginkan didapatkan, segmen digabungkan atau diligasi untuk

membantu vector recombinant, yang mana di sini berperanan enzim

kelas dua yang disebut DNA ligases. Pada akhir langkah kedua ini,

“gene” yang diminati bergabung ke dalam vektor yang dapat bereplikasi

sendiri. Ada dua tipe vektor yang sering digunakan dalam gen terapi,

vektor plasmid dan vektor viral. Plasmid DNA mudah tumbuh pada

bakteri termasuk seluruh elemen yang penting sebagai ekspresi mamalia,

termasuk promoter, enhancer sequences dan transcipt processing

signals. Vektor viral termasuk sinyal yang menjamin recombinant viral

genome bergabung dalam progeny viral particles. Langkah ketiga,

transformasi terjadi dimana vektor dipindahkan dari test tube ke dalam

sel host yang dapat bereplikasi. Akhirnya metode selection atau

indentification dilakukan untuk menentukan sel host mana berisi

recombinant DNA Human Vektor Recombinant dapat digunakan untuk

mentransfer sel-sel DNA manusia untuk terapi gen. Fungsi normal gen

dan protein encoded nya harus diketahui sebelum gen dianggap sebagai

target dari terapi gen.

Terapi gen sitotoksik telah menunjukkan keberhasilan dalam

menghambat pertumbuhan tumor, serta proliferasi sel benigna. Baru-baru

ini FDA menyetujui terapi gen sitotoksik pada tumor otak dan tumor

ovarium. Tidak seperti tumor ganas, mioma uteri menimbulkan gangguan

bila ukurannya besar sehingga menimbulkan penekanan pelvis, obstruksi

saluran kencing, atau frekuensi buang air kecil yang menjadi lebih sering,

dan buang air besar menjadi sulit, bila tumbuh di sepanjang endometrium

menyebabkan perdarahan uterus yang abnormal. Terapi gen sitotoksik

dapat mengecilkan massa mioma uteri tanpa harus melakukan intervensi

bedah mayor. Penelitian terbaru menunjukkan efektifitas terapi gen

sitotoksik pada sel-sel mioma yang berasal dari tikus Eker (sel ELT-3).

Sel-sel ditranfer dengan encoding DNA plasmid ß-galactosidase, SV-tk

transgene, atau plasmid kontrol. Ekspresi gen reporter diperiksa dengan

memonitor aktifitas enzim ß-galactosidase untuk menentukan presentasi

sel-sel transfected yang diharapkan mengekspresikan timidine kinase.

Efisiensi transfeksi ini 16,7% pada leiomyocyte manusia dan 39,8% pada

sel-sel ELT-3.

2.8.5. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan setelah penderita

melakukan pengobatan. Umumnya pada tahap pencegahan ini adalah

berupa rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencegah

timbulnya komplikasi. Pada dasarnya hingga saat ini belum diketahui

penyebab tunggal yang menyebabkan mioma uteri, namun merupakan

gabungan beberapa faktor atau multifaktor. Tindakan yang dilakukan

adalah dengan meningkatkan kualitas hidup dan mempertahankannya.

Penderita pasca operasi harus mendapat asupan gizi yang cukup dalam

masa pemulihannya.

2.9 Pengaruh Mioma Uteri terhadap Kesehatan Reproduksi Wanita

Pengaruh mioma uteri terhadap kesehatan reproduksi dan

kesuburan wanita ditentukan oleh ukuran dan lokasinya. Jika mioma uteri

berada di mulut rahim dan berhubungan dengan dinding rahim akan

membuat perdarahan terus menerus yang bercampur lendir. Posisi mioma

juga akan memperkecil kemungkinan untuk hamil.

Mioma uteri yang terbenam di dalam dinding rahim dikenal

dengan istilah intramural. Posisi ini akan mengganggu kontraksi rahim.

Pada saat menstruasi rahim akan berkontraksi dan mengeluarkan darah

haid keluar dari rongga rahim. Namun, karena adanya mioma uteri di

dalam rahim sehingga proses tersebut akan terganggu dan darah haid yang

seharusnya bisa keluar lancar akan terganggu sehingga menimbulkan rasa

tidak nyaman serta perdarahan menstruasi agak memanjang dan banyak.

2.9.1 Mioma Uteri dan Fertilitas

Mioma uteri juga bisa menyebabkan infertilitas dan abortus.

Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars

intersisial tuba, sedangkan mioma submukosa memudahkan terjadinya

abortus karena distorsi rongga uterus ( Sarwono, 2005).

Menurut Manuaba ( 2007), lokalisasi mioma uteri dapat

mempengaruhi fertilitas wanita karena :

1. Gangguan implantasi hasil konsepsi

a. Mioma uteri submukosa akan mengganggu implantasi hasil

konsepsi. Akibatnya terjadi :

a) Kegagalan implantasi ( menyebabkan abortus)

b) Implantasi plasenta terlalu dalam sehingga bisa terjadi plasenta

adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta

c) Plasenta tumbuh melebar atau plasenta membranasea yang

menyebabkan plasenta previa

b. Gangguan saat pelepasan plasenta karena hilangnya lapisan jaringan

fibrosa

2. Lokalisasi pertumbuhan mioma uteri intramular. Kondisi ini dapat

menyebabkan gangguan pada :

a. Inpartu

Terjadi gangguan his dalam bentuk inersia uteri primer, sehingga

kemajuan persalinan menjadi lambat

b. Postpartum

Dapat menyebabkan atonia uteri dan perdarahan hebat, pelepasan

plasenta tidak sempurna.

2.9.2 Mioma Uteri dan Kehamilan

Pengaruh Kehamilan pada Mioma Uteri :

1. Trimester pertama : terjadi pertambahan konsentrasi hormon

estrogen yang cepat sehingga estrogen dapat meningkatkan

pertumbuhan mioma uteri dengan cepat

Namun ada penelitian yang menghasilkan hasil yang kontras bahwa

kebanyakan mioma uteri tidak meningkat ukurannya selama

kehamilan. Studi prospektif pada 36 wanita hamil yang punya satu

mioma yang ditemukan pada pemeriksaan sonografi rutin trimester

pertama (diperiksa pada interval minggu 2-4 kehamilan),

didapatkan bahwa 69% wanita tidak mengalami peningkatan

volume mioma selama kehamilan, sementara yang 31% lain

mengalami peningkatan volume mioma uteri sebelum kehamilan

memasuki minggu ke-10(Rosati P et.al, 1992)

2. Setelah trimester II dan III : pertumbuhan menjadi stabil

3. Gangguan sirkulasi aliran darah menuju mioma uteri akibat

kontraksi Braxton Hicks dapat menyebabkan stagnasi darah pada

mioma uteri sehingga terjadi “ red degenerasi atau degenerasi

karnova”

Tidak ada hubungan antara volume mioma uteri dan ukuran

mioma uteri selama periode kehamilan. Menyusutnya ukuran

mioma diobservasi pada 4 minggu setelah kelahiran (Rosati et.al,

1992)

Pengaruh Mioma Uteri pada Kehamilan

1. Saat hamil : kelainan letak janin intrauterin dan gangguan

implantasi plasenta

2. Saat inpartu, dapat terjadi :

a. Inersia uteri primer

b. Atonia uteri

c. Gangguan pelepasan plasenta atau retensio plasenta

d. Mioma uteri servikal atau bertangkai dapat menimbulkan

gangguan persalinan sehingga perlu tindakan seksio sesarea

Sangat jarang adanya mioma selama kehamilan

menyebabkan hasil yang tidak menguntungkan. Banyak

masalah yang ada dengan literatur terbaru mengenai efek

mioma pada kehamilan; yang paling penting adalah masalah

bias seleksi.

Namun, dua studi yang dilaporkan pada populasi besar

hamil perempuan diperiksa dengan rutin sonografi trimester

kedua dengan tindak lanjut dan pengiriman di lembaga yang

sama.Dalam satu studi, 12.600 wanita hamil dievaluasi, dan

hasil dari 167 wanita dengan mioma dibandingkan dengan

perempuan tanpa mioma. Tidak ada perbedaan yang

signifikan meskipun manajemen klinisnya serupa, dalam

kejadian kelahiran prematur, ketuban pecah dini,

pembatasan pertumbuhan janin, plasenta previa, plasenta

abruption, perdarahan postpartum, atau retensi plasenta

Seksio sesaria hanya lebih sering terjadi pada wanita

dengan Mioma (23% vs 12%, P <.001) ((P, Vergani

et.al,1994).

Penelitian lain yang ditinjau 15.104 kehamilan dan

dibandingkan 401 perempuan ditemukan memiliki mioma

hingga tersisa perempuan tanpa mioma. Meskipun

keberadaan mioma tidak meningkatkan risiko ketuban

pecah dini, persalinan pervaginam operatif, korioamnionitis

atau endomyometritis, ada peningkatan risiko kelahiran

prematur (19,2% vs 12,7%), plasenta previa (3,5% vs

1,8%), dan postpartum perdarahan (8,3% vs 2,9%). Bedah

caesar lagi lebih umum (49,1% vs 21,4%) (GI, Qitway et.al,

2006).

Segmen bawah rahim mioma tampaknya meningkatkan

tingkat bedah sesar bila dibandingkan dengan mioma di

badan rahim (53% vs 30,8%). Kehadiran submukosa mioma

dan multiple mioma juga dapat meningkatkan sesar tersebut

Namun, studi baru-baru dievaluasi ukuran, jumlah, dan

posisi mioma dan menemukan bahwa mioma ukuran> 10

cm dikaitkan dengan malposisi tetapi tidak dengan tingkat

bedah sesar. Peningkatan jumlah mioma tidak dikaitkan

dengan hasil, dan ada cukup data untuk mengevaluasi

pengaruh posisi mioma (80).

Cedera janin dikaitkan dengan kompresi mekanik oleh

mioma telah dilaporkan terjadi sangat jarang. Ulasan dari

literatur 1980-2005 mengungkapkan satu kasus janin

dengan anomali kepala dengan pembatasan pertumbuhan

janin, satu kasus deformitas postural, satu kasus

pengurangan tungkai, dan satu kasus deformasi kepala janin

dengan tortikolis (82-85).

Tidak ada data yang membandingkan hasil kehamilan

yang tersedia setelah miomektomi dengan hasil kehamilan

pada wanita dengan mioma diobati. Setiap keputusan untuk

melakukan miomektomi harus memperhitungkan risiko

operasi, anestesi, perlengketan pasca operasi, kemungkinan

sesar selanjutnya pengiriman, dan kekhawatiran tentang

ketidaknyamanan, biaya, dan waktu jauh dari pekerjaan atau

keluarga.

Degenerasi Mioma Uteri selama Kehamilan

Pada wanita yang tercatat memiliki mioma selama kehamilan,

gejala klinis dan bukti sonografi mioma mengalami degenerasi terjadi

pada sekitar 5% (P.Vergani et.al, 1994; Toaff,Lev et.al, 1987). Satu

teori menyatakan bahwa saat rahim tumbuh mioma dapat mengubah

pengenalan suplai pembuluh darah dengan obstruksi berikutnya dari

pembuluh. Di antara 113 wanita yang diikuti selama kehamilan

dengan sonografi serial, 10 (9%) mengembangkan ruang anechoic

atau pola heterogen kasar dalam mioma konsisten dengan degenerasi.

Tujuh dari 10 (70%) juga mengalami sakit perut berat yang konsisten

dengan gejala klinis degenerasi dan harus dirawat inap. Empat

perempuan memiliki gejala selama 7 hari, dan tiga wanita memiliki

kekambuhan gejala selama sisa kehamilan. Pemeriksaan tanpa

sonografi perubahan yang dicatat dalam 103 wanita lainnya, dan

hanya 11,7% mengalami nyeri perut yang sama (P <.001) (AS, Lev-

Toaff et.al, 1987). Sebuah studi kecil pada wanita dengan nyeri

selama kehamilan dari dugaan mioma ditemukan ibuprofen untuk

mempersingkat tinggal di rumah sakit dan mengurangi tingkat

kembali ke RS (VL, Kat et.al, 1989).

2.10. Peran Bidan terhadap Kasus Mioma Uteri

Peran bidan dalam kasus mioma uteri antara lain :

1. Mendeteksi sedini mungkin kasus mioma uteri dengan meninjau faktor

risiko yang ada pada klien dan keluhan-keluhan yang dirasakan klien

2. Memberikan asuhan sebelum pra-operasi (pada kasus yang harus

dioperasi segera) dengan mempersiapkan mental dan psikologis ibu

agar mau dilakukan operasi dan penjelasan dampak setelah operasi.

3. Penatalaksanaan post-operasi dengan observasi serta konseling pasca

operasi (nutrisi post-operasi , puasa) dan observasi perdarahan

4. Rujukan segera

2.11. Pembahasan Jurnal

2.11.1. Hubungan Hiperplasia Endometrium Dengan Mioma Uteri : Studi

Kasus Pda Pasien Ginekologi RSUD Prof. DR. Margono Soekardjo

Purwokerto

2.11.1.1. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Jurusan

Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman. Penelitian dilakukan pada tanggal

21 Juni 2011 sampai dengan 5 Juli 2011 dengan menggunakan

rancangan penelitian analitik observasional dengan pendekatan

cross sectional. Kriteria inklusi yaitu pasien ginekologi yang telah

menjalani prosedur histerektomi atau kuretase bertingkat di RSUD

Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto serta telah menjalani

pemeriksaan histopatologis di Laboratorium Patologi Anatomi

RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Kriteria eksklusi

meliputi pasien yang telah mengalami menopause dan pasien yang

gambaran histopatologis endometrium dan miometriumnya tidak

dapat dinilai. Sampel penelitian berjumlah 60 sampel yang dipilih

dengan cara simple random sampling dan materi yang diamati

adalah 46 preparat histopatologis

2.11.1.2. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan siginifikan

hiperplasia endometrium dengan mioma uteri pada pasien

ginekologi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto,

dengan nilai p = 0,001. Proporsi hiperplasia endometrium yang

terbatas pada 46 sampel pasien ginekologi RSUD prof Dr.

Margono Soekardjo Purwokerto yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi sebesar 45,7%. Proporsi mioma uteri yang terbatas

pada 46 sampel pasien ginekologi RSUD Prof. Dr. Margono

Soekardjo Purwokerto yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi sebesar 63%.

Hiperplasia endometrium dan mioma uteri timbul sebagai

respon adaptasi seluler terhadap stres, dalam hal ini stres

disebabkan oleh hormon estrogen yang berlebihan atau stimulasi

faktor pertumbuhan10. Kadar hormon estrogen yang berlebihan

atau tidak diimbangi dengan kadar progesteron yang adekuat

secara bersamaan akan menimbulkan ketidakseimbangan antara

tingkat proliferasi dan apoptosis selular pada jaringan endometrium

dan miometrium. Terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah

aktivitas mitosis pada mioma dengan jumlah aktivitas mitosis pada

endometriumnya pada fase proliferasi siklus menstruasi yang

dipengaruhi oleh estrogen, hormon yang mendominasi pada fase

proliferasi11. Estrogen juga terlibat dalam regulasi sintesis matriks

ekstraseluler pada mioma, dengan cara menstimulasi secara

langsung produksi kolagen tipe I dan tipe III.

Penelitian ini juga sedikit mengulas tentang beberapa faktor

risiko yang juga berperan dalam timbulnya mioma uteri, yaitu

usia, jumlah paritas, dan penggunaan kontrasepsi oral, seperti

yang disebutkan oleh beberapa penelitian. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa 56,5% sampel yang menderita mioma uteri

berasal dari kelompok usia > 40 tahun (Tabel 6). Mioma uteri

ditemukan pada sekitar 40-50% pada wanita di atas usia 40

tahun3. Ada beberapa alasan yang mendasari peningkatan jumlah

mioma uteri yang terdiagnosis pada usia > 40 tahun, antara lain

karena peningkatan pertumbuhan atau peningkatan gejala yang

dirasakan dari mioma yang telah ada jauh sebelum gejala tersebut

dirasakan oleh penderita. Dari segi status paritas, pada penelitian

ini juga menunjukkan bahwa mioma uteri paling banyak terjadi

pada wanita multipara (jumlah paritas1- 4), yaitu sebesar 22

sampel (47,8%) (Tabel 7).

2.11.2. Hubungan Usia Menarche dan Paritas dengan Kejadian Mioma Uteri di

RSUD Wates Kulon Progo Tahun 2007-2010

2.11.2.1. Metode Penelitian

Penelitian analitik ini menggunakan rancangan kasus kontrol.

Variabel independen adalah usia menarche dan paritas, sedangkan

variabel dependen adalah kejadian mioma uteri. Populasi penelitian

adalah semua wanita yang didiagnosa menderita gangguan sistem

reproduksi dan pernah dirawat di RSUD Wates, Kulonprogo tahun

2007-2010. Wanita yang terdiagnosis mioma uteri sebagai kasus,

dan sebagai kontrol adalah wanita yang didiagnosis kelainan jinak

kandungan bukan mioma uteri seperti kista dan tumor selain

mioma serta memiliki data yang lengkap di catatan rekam medis

RSUD Wates. Sampel penelitian adalah wanita penderita gangguan

sistem reproduksi yang pernah dirawat di RSUD Wates,

Kulonprogo dan memenuhi kriteria inklusi penelitian: a) Tidak ada

riwayat keluarga yang menderita mioma uteri, b) Berusia ≥ 35

tahun. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan consecutive sampling. Pengumpulan data

dilaksanakan tanggal 11- 25 Maret 2011 berupa data sekunder dan

dikumpulkan dalam blangko pengumpulan data.

2.11.2.2. Pembahasan

1. Hubungan Usia Menarche dengan Kejadian Mioma Uteri

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara usia

menarche dengan kejadian mioma uteri. Risiko kejadian

mioma uteri meningkat 5,4 kali lebih besar pada wanita dengan

riwayat usia menarche kurang dari 10 tahun daripada wanita

yang mengalami menarche setelah umur 10 tahun. Mioma

tumbuh meningkat pada wanita dengan paparan estrogen yang

lebih awal dan lama seperti pada wanita dengan menarche dini.

Banyaknya estrogen dalam darah wanita yang terkena mioma

dan tidak terkena mioma sebenarnya sama, tetapi banyaknya

estradiol pada wanita dengan mioma lebih tinggi daripada

wanita yang tidak terkena mioma. Hal ini disebabkan karena

pada wanita dengan mioma uteri memiliki sedikit enzim yang

dapat mengubah senyawa estradiol ke estrone sehingga

tumpukan senyawa estradiol lebih banyak dan akan

meningkatkan pertumbuhan mioma. Pedapat tersebut sesuai

dengan penelitian Victory dkk. (2006) yang mengemukakan

bahwa peningkatan pertumbuhan mioma uteri merupakan

respon dari stimulus estrogen. Selain itu, Marshall dkk (1998)

dan Faerstein (2001) mengemukakan insidensi mioma uteri

meningkat signifikan pada wanita yang mengalami menarche

sebelum umur 11 tahun. Paparan estrogen yang semakin lama

akan meningkatkan insidensi mioma uteri. Menarche dini (<10

tahun) ditemukan meningkatkan risiko relatif mioma uteri, dan

menarche lambat (>16 tahun) menurunkan resiko relatif

mioma uteri (Parker, 2007).

2. Hubungan paritas dengan kejadian mioma uteri

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada

hubungan yang bermakna pada kelompok nullipara/primipara

dengan kelompok sekundipara/ multipara. Hal ini menunjukan

bahwa paparan estrogen bukan merupakan satu-satunya

penyebab tumbuhnya mioma uteri.Etiologi dari mioma tidak

diketahui secara pasti, tetapi terdapat suatu interaksi hubungan

yang rumit tentang faktor hormonal, faktor genetik, faktor

pertumbuhan, dan biologi molekuler dari tumor jinak. Faktor-

faktor itulah yang mungkin bertanggung jawab untuk memulai

perubahan genetik yang ditemukan pada mioma termasuk

kelainan intrinsik miometrium adalah peningkatan kongenital

reseptor estrogen di miometrium, perubahan hormon, atau

respon terhadap cedera iskemik pada saat menstruasi. Setelah

dibentuk, perubahan-perubahan genetik dipengaruhi oleh

hormon dan faktor pertumbuhan (Parker, 2007).

Tetapi pada penelitian yang dilakukan Chen dkk. (2001)

mengemukanakan bahwa dengan memiliki 2 anak atau lebih

berarti risiko seorang wanita terkena mioma uteri turun 70%

pada wanita berkulit putih, sedangkan penelitian pada wanita

Afrika-Amerika tidak menunjukan hubungan yang signifikan

antara paritas dengan kejadian mioma uteri. Hal ini senada

dengan yang dikatakan Faerstein (2001) bahwa tidak ada

perbedaan risiko mioma ketika mengontrol paritas dalam

analisis multivariat yang mencatat seluruh variabel

pengganggu yang relevan. Penelitian yang dilakukan Wise

(2004) juga menunjukkan tidak ada dampak yang signifikan

antara paritas dengan insiden mioma uteri pada wanita Afrika

Amerika.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.1.1. Awal pembentukkan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-

sel miometrium, mencakup rentetan perubahan kromosom secara

parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom 23-50% dari mioma

uteri yang diperiksa yang terbanyak ditemukan pada kromosom

7(del(7)(q21)/q21q32).

3.1.2. Keberhasilan pengobatan medikamentosa mioma uteri tergantung telah

terjadi perubahan kromosom atau tidak.

3.1.3. Ditemukan 4 faktor yang berperanan dalam mengatur fungsi vaskuler

dan berperanan dalam proses angiogenesis dalam endometrium dan

miometrium di uterus, yaitu: BFGF,VEGF,HBEGF, dan PDGF.

3.1.4. Sebelum terapi gen digunakan secara luas, kita harus melewati terap

yang ditujukan sebagai anti growth factor spesifik yang terdapat

dalam proses angiogenesis dalam endometrium dan miometrium. Di

atas telah diidentifikasi molekul yang menghambat angiogenesis, di

dalam uterus dan menghambat proses ini.

3.1.5. Terapi gen sitotoksik merupakan cara yang efektif dalam mengurangi

ukuran mioma uteri, walaupun pemeriksaan lebih jauh dibutuhkan,

terapi gen dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif atau dapat

menjadi program pencegahan dalam pengobatan mioma uteri.

3.2. Saran

Salah satu hal penting untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal

ialah dengan memperhatikan kesehatan wanita, khususnya kesehatan

reproduksi karena hal tersebut berdampak luas, menyangkut berbagai aspek

kehidupan, serta merupakan parameter kemampuan Negara dalam

menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Kesehatan

reproduksi wanita berpengaruh besar dan berperan penting terhadap

kelanjutan generasi penerus suatu Negara. Untuk itu perlu ditingkatkan

pelayanan dan perhatian terhadap kesehatan reproduksi wanita dalam

berbagai aspek

3.3 Bagan Patofisiologi Mioma Utery

Sel Miosit Normal

Pemicu Tumor Genetik

Sel-sel Genitoblas

ESTROGEN PROGESTERON

Reseptor Esterogen Induksi

Reseptor Progesteron Induksi

Faktor Pertumbuhan Umum

Reseptor Faktor Pertumbuhan

Bahan Esktraseluler

MITOGENESIS

Pembesaran Berlapis

Mioma Utery

DAFTAR PUSTAKA

Baziad A. Pengobatan Medikamentosa Mioma Uteri dengan Analog

GnRH. Dalam: Endokrinologi ginekologi edisi kedua. Jakarta:

Media Aesculapius FKUI, 2003; 151-156

Buku Ginekologi FK Universitas Padjajaran Bandung. ELSTAR-

OFFSSET. Bandung : 154

ButtramVC, Reiter ARAC. Uterine Leiomyomata: Etiologi,

Symptomatology, and Management Fertil Steril 1981;36 :433-

445

Coronado GD, Marshall LM, Schwartz SM. Complications in pregnancy,

labor, and delivery with uterine leiomyomas: a population

based study. Obstet Gynecol. 2000;95;764-769

Crow J. Uterine Fibroid: Histological features. In : Shaw RW, eds.

Advances in reproductive endocrinology uterine fibroid.

England- New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992:

21-33

Dewi Pertiwi, Kirana dkk. Hubungan Usia Menarche dan Paritas dengan

Kejadian Mioma Uteri di RSUD Wates Kulonprogo Tahun

2007-2010. Forum Ilmiah Kesehatan ( FORIKES), April 2012

: Volume III Nomor 2

Friedman AJ, Rein MS, Murugan R, Pandian, Barbieri RL. Fasting serum

growth hormone and Insulin like growth factor-I and II

concentration in women with leiomyomata uteri treated with

leuprolide acetate or plaacebo. Fertility and sterility, 1990;

53:250-253

Gross K, Morton C. Genetic and development of fibroid. Clin Obstet and

Gynecology. 2001; 44: 335-349

Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital. Dalam Sarwono Prawiraharjo,

edisi kedua ilmu kandungan Yayasan Bina Pustaka. Jakarta:

1994; 338-345

Lepine L, Hillis S, Marchbanks P, et al. Hysterectomy surveilances United

States 1980-1993. MMWR Mortal Morbid Wkly Rep. CDC

Surveill Summ. 1997; 46: 1-15

Manuaba, Ida Bagus Gede. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan,

dan Keluarga Berencana. EGC. Jakarta

Prawirohardjo, Sarwono. 1999. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka.

Jakarta

Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka.

Jakarta

Thomas EJ. The aetiology and pathogenesis of fibroid. In: Shaw RW.eds.

Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids.

England-New Jersey. The Phartenon Publishing Group. 1992;

1-8

Wachidah, Qonita dkk. Hubungan Hiperplasia Endometrium dengan

Mioma Uteri. Mandala of Health. Volume 5, Nomor 3,

September 2011