methane fermentation

52
1 Methane Fermantation Methane fermentation merupakan proses fermentasi biomassa hingga menghasilkan gas metan yang dapat digunakan sebagai biogas pengganti bahan bakar berbasis minyak bumi. Biogas dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik dengan bantuan bakteri anaerob pada lingkungan tanpa oksigen bebas. Energi gas bio didominasi gas metan (60% - 70%), karbondioksida (40% - 30%) dan beberapa gas lain dalam jumlah yang lebih kecil. Gas metan termasuk gas rumah kaca (greenhouse gas), bersama dengan gas karbon dioksida (CO2) memberikan efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Pengurangan gas metan secara lokal ini dapat berperan positif dalam upaya penyelesaian permasalahan global. Pada prinsipnya, pembuatan gas bio sangat sederhana, hanya dengan memasukkan substrat (kotoran ternak) ke dalam digester yang anaerob. Dalam waktu tertentu gas bio akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya untuk kompor gas atau listrik. Penggunaan biodigester dapat membantu pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran ternak untuk memproduksi gas bio dan diperoleh hasil samping (by- product) berupa pupuk organik. Selain itu, dengan pemanfaatan biodigester dapat mengurangi emisi gas metan (CH 4 ) yang dihasilkan pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sektor pertanian dan peternakan, karena

Upload: widye

Post on 30-Jun-2015

645 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Methane Fermentation

1

Methane Fermantation

Methane fermentation merupakan proses fermentasi biomassa hingga menghasilkan

gas metan yang dapat digunakan sebagai biogas pengganti bahan bakar berbasis

minyak bumi.

Biogas dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik dengan bantuan bakteri

anaerob pada lingkungan tanpa oksigen bebas. Energi gas bio didominasi gas metan

(60% - 70%), karbondioksida (40% - 30%) dan beberapa gas lain dalam jumlah yang

lebih kecil. Gas metan termasuk gas rumah kaca (greenhouse gas), bersama dengan

gas karbon dioksida (CO2) memberikan efek rumah kaca yang menyebabkan

terjadinya fenomena pemanasan global. Pengurangan gas metan secara lokal ini dapat

berperan positif dalam upaya penyelesaian permasalahan global.

Pada prinsipnya, pembuatan gas bio sangat sederhana, hanya dengan memasukkan

substrat (kotoran ternak) ke dalam digester yang anaerob. Dalam waktu tertentu gas

bio akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya

untuk kompor gas atau listrik. Penggunaan biodigester dapat membantu

pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran ternak untuk

memproduksi gas bio dan diperoleh hasil samping (by-product) berupa pupuk

organik. Selain itu, dengan pemanfaatan biodigester dapat mengurangi emisi gas

metan (CH4) yang dihasilkan pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari

sektor pertanian dan peternakan, karena kotoran sapi tidak dibiarkan terdekomposisi

secara terbuka melainkan difermentasi menjadi energi gas bio.

Pengolahan Limbah Ternak Menjadi Biogas

Limbah peternakan khususnya ternak sapi merupakan bahan buangan dari usaha

peternakan sapi yang selama ini juga menjadi salah satu sumber masalah dalam

kehidupan manusia sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui

pencemaran lingkungan, menggangu kesehatan manusia dan juga sebagai salah satu

penyumbang emisi gas efek rumah kaca. Pada umumnya limbah peternakan hanya

digunakan untuk pembuatan pupuk organic. Untuk itu sudah selayaknya perlu adanya

usaha pengolahan limbah peternakan menjadi suatu produk yang bisa dimanfaatkan

manusia dan bersifat ramah lingkungan.

Page 2: Methane Fermentation

2

Pengolahan limbah peternakan melalui proses anaerob atau fermentasi perlu

digalakkan karena dapat menghasilkan biogas yang menjadi salah satu jenis

bioenergi. Pengolahan limbah peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat

mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas,

mengurangi pencemaran lingkungan dan menjadikan peluang usaha bagi peternak

karena produknya terutama pupuk kandang banyak dibutuhkan masyarakat.

Adanya penggantian bahan bakar minyak ke gas, maka diperlukan gas yang lebih

banyak. Karena persediaan minyak tanah semakin menipis dan harganya mahal,

masyarakat banyak menggunakan kompor gas, oleh karna itu gas semakin banyak

diperlukan. Dengan itu muncullah ide-ide atau alternatif-alternatif lainnya guna

mencukupi kebutuhan akan gas. Untuk itu kita dapat melakukan usaha seperti

pengelolaan lingkungan hidup salah satunya yaitu dengan pengelolaan limbah ternak

menjadi biogas.

Limbah peternakan seperti feses, urin beserta sisa pakan ternak sapi merupakan salah

satu sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Namun di

sisi lain perkembangan atau pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah

bagi lingkungan seperti menumpuknya limbah peternakan termasuknya didalamnya

limbah peternakan sapi. Limbah ini menjadi polutan karena dekomposisi kotoran

ternak berupa BOD dan COD (Biological/Chemical Oxygen Demand), bakteri

patogen sehingga menyebabkan polusi air (terkontaminasinya air bawah tanah, air

permukaan), polusi udara dengan debu dan bau yang ditimbulkannya.

Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif

untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas

alam (Houdkova et.al., 2008). Biogas juga sebagai salah satu jenis bioenergi yang

didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik seperti kotoran

ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur

difermentasi atau mengalami proses metanisasi. Gas metan ini sudah lama digunakan

oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai

penghasil panas. Sedangkan proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas

metan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta (1776). Hasil identifikasi gas

yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806. Dan Becham

(1868) murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882) adalah orang pertama yang

Page 3: Methane Fermentation

3

memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan. Gas ini berasal dari

berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran

hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion

(Pambudi, 2008). Biogas yang terbentuk dapat dijadikan bahan bakar karena

mengandung gas metan (CH4) dalam persentase yang cukup tinggi.

Tabel 1. Komponen penyusun biogas

Jenis Gas Persentase

Metan (CH4)

Karbondioksida (CO2)

Air (H2O)

Hidrogen sulfide (H2S)

Nitrogen (N2)

Hidrogen (H2)

50 – 75%

25 – 50%

0,3%

1 - 3%

0 - 0%

0 - 1%

Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan

60 –100 watt lampu selama 6 jam penerangan. Kesetaraan biogas dibandingkan

dengan bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan

Aplikasi 1m3 Biogas setara dengan

1 m3 biogas

Elpiji 0,46 kg

Minyak tanah 0,62 liter

Minyak solar 0,52 liter

Kayu bakar 3,50 kg

Page 4: Methane Fermentation

4

Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat menjawab

kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari pupuk cair

dan padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek rumah kaca.

Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif dapat mengurangi penggunaan

kayu bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha penebangan hutan, sehingga

ekosistem hutan terjaga. Biogas menghasilkan api biru yang bersih dan tidak

menghasilkan asap.

Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan kerena produksi biogas

peternakan ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangkan dunia

peternakan sapi di Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik, kenaikan

harga LPG (Liquefied Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak

diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi elternatif

yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan (Nurhasanah dkk., 2006).

Peningkatan kebutuhan susu dan pencanangan swasembada daging tahun 2010 di

Indonesia telah merubah pola pengembangan agribisnis peternakan dari skala kecil

menjadi skala menengah/besar. Di beberapa daerah telah berkembang koperasi susu,

peternakan sapi pedaging melalui kemitraan dengan  perkebunaan kelapa sawit dan

sebagainya. Kondisi ini mendukung ketersediaan bahan baku biogas secara kontinyu

dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi biogas.

Pemanfaatan limbah peternakan khususnya kotoran ternak sapi menjadi biogas

mendukung konsep zero waste sehingga sistem pertanian yang berkelanjutan dan

ramah lingkungan dapat dicapai.

Beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil biogas sebagai

berikut :

1. Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran

udara (bau).

2. Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat

digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga.

3. Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan

rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.

Page 5: Methane Fermentation

5

4. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas

untuk menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum

memiliki akses listrik.

5. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya kegiatan

ini sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih (Clean Development

Mechanism).

Pengolahan Limbah Peternakan Sapi Menjadi Biogas

Pengolahan limbah peternakan sapi menjadi biogas pada prinsipnya menggunakan

metode dan peralatan yang sama dengan pengolahan biogas dari biomassa yang lain.

Adapun alat penghasil biogas secara anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900.

Pada akhir abad ke-19, riset untuk menjadikan gas metan sebagai biogas dilakukan

oleh Jerman dan Perancis pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia

II, banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas

kecil yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam

memperoleh BBM dan harganya yang murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian

biogas ini mulai ditinggalkan. Tetapi, di negara-negara berkembang kebutuhan akan

sumber energi yang murah dan selalu tersedia selalu ada. Oleh karena itu, di India

kegiatan produksi biogas terus dilakukan semenjak abad ke-19. Saat ini, negara

berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini telah

melakukan berbagai riset dan pengembangan alat penghasil biogas. Selain di negara

berkembang, teknologi biogas juga telah dikembangkan di negara maju seperti

Jerman.

Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses

fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh

bakteri metan sehingga dihasilkan gas metan (Nandiyanto, 2007). Menurut Haryati

(2006), proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses

pemecahan bahanorganik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik

pada kondisi tanpa udara, bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang

mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik

rumah tangga. Gas metan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H

yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas metan yang dihasilkan kemudian dapat

dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan sebagai

Page 6: Methane Fermentation

6

bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar terdiri

dari kotoran dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan

sebagainya serta air yang cukup banyak.

Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C : N, temperatur,

keasaman juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum yaitu pada

temperatur sekitar 32 – 35°C atau 50 – 55°C dan pH antara 6,8 – 8. Pada kondisi ini

proses pencernaan mengubah bahan organik dengan adanya air menjadi energi gas.

Lebih jelasnya faktor apa saja yang mempengaruhi proses pembuatan gas metan, yaitu

antara lain:

1. Kandungan atau isi yang terkandung dalam bahan.

Salah satu cara untuk menentukan bahan organik yang sesuai untuk digunakan

sebagai bahan sistem biogas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon (C)

dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N. Perubahan senyawa organik dari limbah

ternak ruminansia menjadi CH4 (gas metan) dan CO2 (gas karbon dioksida)

memerlukan persyaratan rasio C/N antara 20 – 25. Sehingga kalau menggunakan

limbah ternak ruminansia hanya berbentuk jerami dengan rasio-C/N di atas 65,

maka walaupun CH4 dan CO2 akan terbentuk, perbandingan CH4 : CO2 = 65 : 35

tidak akan tercapai. Mungkin perbandingan tersebut bernilai 45 : 55 atau 50 : 50

atau 40 : 60 serta angka-angka lain yang kurang dari yang sudah ditentukan, maka

hasil biogasnya akan mempunyai nilai bakar rendah atau kurang memenuhi syarat

sebagai bahan energi.

Juga sebaliknya kalau limbah ternak ruminansia yang digunakan berbentuk

kotoran saja, semisal dari kotoran kambing dengan rasio C/N sekira 8, maka

produksi biogas akan mempunyai bandingan antara CH4 dan CO2 seperti 90 : 10

atau nilai lainnya yang terlalu tinggi. Dengan nilai ini maka hasil biogasnya juga

terlalu tinggi nilai bakarnya, sehingga mungkin akan rnembahayakan pengguna.

Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu rasio C/N terlalu tinggi atau terlalu

rendah akan mempengaruhi proses terbentuknya biogas, karena ini merupakan

proses biologis yang memerlukan persyaratan hidup tertentu, seperti juga manusia.

Page 7: Methane Fermentation

7

2. Kadar air

Kadar air bahan yang terkandung dalam bahan yang digunakan, juga seperti

rasio C/N harus tepat. Jika hasil biogas diharapkan sesuai dengan persyaratan yang

berlaku, maka semisal limbah ternak ruminansia yang digunakan berbentuk kotoran

kambing kering dicampur dengan sisa-sisa rumput bekas makanan atau dengan

bahan lainnya yang juga kering, maka diperlukan penambahan air.

Tapi berbeda kalau bahan yang akan digunakan berbentuk lumpur selokan

yang sudah mengandung bahan organik tinggi, semisal dari bekas dan sisa

pemotongan hewan atau manure dari peternakan. Dalam bahannya sudah

terkandung air, sehingga penambahan air tidak akan sebanyak pada bahan yang

kering.

Air berperan sangat penting di dalam proses biologis pembuatan biogas.

Artinya jangan terlalu banyak (berlebihan) juga jangan terlalu sedikit (kekurangan),

ada perbandingan yang berpengaruh pada optimalisasi konversi gas metane.

3. Temperatur

Temperatur selama proses berlangsung, karena ini menyangkut kondisi

optimal hidup bakteri pemroses biogas yaitu antara 27° – 28°C. Dengan temperatur

itu proses pembuatan biogas akan berjalan sesuai dengan waktunya. Tetapi berbeda

kalau nilai temperatur terlalu rendah , maka waktu untuk menjadi biogas akan lebih

lama.

4. Bakteri penghasil metan (metanogens)

Kehadiran jasad pemroses, atau jasad yang mempunyai kemampuan untuk

menguraikan bahan-bahan yang akhirnya membentuk CH4 dan CO2. Dalam limbah

ternak ruminansia semisal kotoran kandang, limbah rumah pemotongan ataupun

rumput dan jerami, serta bahan-bahan buangan lainnya, banyak jasad renik, baik

bakteri ataupun jamur pengurai bahan-bahan tersebut didapatkan. Tapi yang

menjadi masalah adalah hasil uraiannya belum tentu menjadi CH4 yang diharapkan

serta mempunyai kemampuan sebagai bahan bakar.

Page 8: Methane Fermentation

8

Maka untuk menjamin agar kehadiran jasad renik atau mikroba pembuat

biogas (umumnya disebut bakteri metan), sebaiknya digunakan starter, yaitu bahan

atau substrat yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung mikroba metan

sesuai yang dibutuhkan.

5. Aerasi

Aerasi atau kehadiran udara (oksigen) selama proses. Dalam hal pembuatan

biogas maka udara sama sekali tidak diperlukan dalam bejana pembuat. Keberadaan

udara menyebabkan gas CH4 tidak akan terbentuk. Untuk itu maka bejana pembuat

biogas harus dalam keadaan tertutup rapat.

Masih ada beberapa persyaratan lain yang diperlukan agar hasil biogas sesuai

dengan yang diharapkan semisal, pengadukan, pH dan tekanan udara. Tetapi kelima

syarat tersebut sudah merupakan syarat dasar agar proses pembuatan biogas berjalan

sebagaimana mestinya.

Jika dilihat dari segi pengolahan limbah, proses anaerobik juga memberikan beberapa

keuntungan lain yaitu  menurunkan nilai COD dan BOD, total solid, volatile solid,

nitrogen nitrat dan nitrogen organic, bakteri coliform dan patogen lainnya, telur insek,

parasit, dan bau.

Proses pencernaan anaerobik, yang merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses

pemecahan bahan organik oleh aktifitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik

pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang

mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik

rumah tangga.

Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu:

a. Hidrolisis dan fermentasi anaerob

Proses ini organisme hidrolitik fermentatif menghidrolisa dan memfermentasi

senyawa organik kompleks seperti protein, lemak dan lain-lain menjadi

senyawa organik yang lebih sederhana (format, asetat, propionat, butirat dan

asam lemak lainnya, etanol), hidrogen dan karbon dioksida (Amatya, 1996).

Page 9: Methane Fermentation

9

dengan bantuan air (perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk

monomer).

Reaksi hidrolisis dan fermentasi anaerob:

Senyawa kompleks C6H12O6 senyawa organik ….... (2.1

b. Asetogenesis

pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk

pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk

asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana tadi yaitu asam

asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas

karbondioksida, hidrogen dan ammonia. Bakteri asidogen dapat tumbuh dalam

media bersama bakteri metanogenik dan bakteri pengurai sulfat.

Reaksi asidogenesis:

CH3CH2COOH CH3COOH + CO2 + 3H2 ....... (2.2

(asam propionat) (asam asetat)

CH3CH2CH2COOH 2CH3COOH + 2H2 ……... (2.3

(asam butirat) (asam asetat)

c. Methanogenesis

Metanogen menghasilkan produk akhir dengan menggunakan reaktan-reaktan

yang dihasilkan dari dua tahap yang sebelumnya. Asetotropik metanogen

(acetotrophic methanogens), mengubah asetat menjadi metana dan karbon

dioksida.

Reaksi: CH3COOH CH4 + CO2 …….. (2.4

(metana)

Unikarbontropik metanogen (unicarbontrophic methanogens), mengoksidasi

gas hidrogen, metanol atau format dan metilamin menjadi donor elektron dan

mereduksi karbon dioksida dan mengaktifkan grup metil dari metana.

Reaksi: 2H2 + CO2 CH4 + 2H2O ........

(2.5

(metana)

hidrolisis fermentasi

Page 10: Methane Fermentation

10

d. Reaksi keseluruhan

Metana dan karbon dioksida merupakan produk utama dari proses anaerobik.

Gas-gas ini berjumlah 75-80 % dari gas yang dihasilkan sedangkan sisanya

adalah hidrogen sulfida, nitrogen, dan hidrogen.

Reaksi : Senyawa kompleks CH4 + CO2 .......... (2.6

(metana)

Jika dilihat analisa dampak lingkungan terhadap lumpur keluaran (slurry) dari

digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan

pebandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair

BOD/COD = 0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K (0,41%) tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi: N

(1,45%), P (1,10%) dan K (1,10%) (Widodo dkk., 2006). Berdasarkan hasil

penelitian, hasil samping pupuk ini mengandung lebih sedikit bakteri patogen

sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah, terutama untuk konsumsi segar.

Saat ini berbagai jenis bahan dan ukuran peralatan biogas telah dikembangkan

sehingga dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis, jumlah dan

pengelolaan kotoran ternak. Peralatan dan proses pengolahan dan pemanfaatan biogas

ditampilkan pada gambar berikut.

Digester dapat dibuat dari bahan plastik Polyetil Propilene (PP), fiber glass atau

semen, sedangkan ukuran bervariasi mulai dari 4 – 35 m3. Biogas dengan ukuran

terkecil dapat dioperasikan dengan kotoran ternak 3 ekor sapi.

Cara Pengoperasian Unit Pengolahan (Digester) Biogas seperti terjabar dalam Seri

Bioenergi Pedesaan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Direktorat Jenderal

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian tahun 2009 sebagai

berikut :

1. Buat campuran kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1 : 2 (bahan

biogas).

Page 11: Methane Fermentation

11

2. Masukkan bahan biogas ke dalam digester melalui lubang pengisian (inlet)

hingga bahan yang dimasukkan ke digester ada sedikit yang keluar melalui

lubang pengeluaran (outlet), selanjutnya akan berlangsung proses produksi

biogas di dalam digester.

3. Setelah kurang lebih 8 hari biogas yang terbentuk di dalam digester sudah

cukup banyak. Pada sistem pengolahan biogas yang menggunakan bahan

plastik, penampung biogas akan terlihat mengembung dan mengeras karena

adanya biogas yang dihasilkan. Biogas sudah dapat digunakan sebagai bahan

bakar, kompor biogas dapat dioperasikan.

4. Pengisian bahan biogas selanjutnya dapat dilakukan setiap hari, yaitu

sebanyak kira-kira 10% dari volume digester. Sisa pengolahan bahan biogas

berupa sludge secara otomatis akan keluar dari lubang pengeluaran (outlet)

setiap kali dilakukan pengisian bahan biogas. Sisa hasil pengolahan bahan

biogas tersebut dapat digunakan sebagai pupuk kandang/pupuk organik, baik

dalam keadaan basah maupun kering.

Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau digunakan

langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik, patromas

biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur dan lain sebagainya.

Untuk memanfaatkan kotoran ternak sapi menjadi biogas, diperlukan beberapa syarat

yang terkait dengan aspek teknis, infrastruktur, manajemen dan sumber daya manusia.

Bila faktor tersebut dapat dipenuhi, maka pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas

sebagai penyediaan energi di pedesaan dapat berjalan dengan optimal.

Terdapat sepuluh faktor yang dapat mempengaruhi optimasi pemanfaatan kotoran

ternak sapi menjadi biogas yaitu:

1. Ketersediaan ternak

Jenis jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat menjadi potensi bagi

pengembangan biogas. Hal ini karena biogas dijalankan dengan memanfaatkan

kotoran ternak. Kotoran ternak yang dapat diproses menjadi biogas berasal dari ternak

ruminansia dan non ruminansia seperti sapi potong, sapi perah dan babi; serta unggas.

Page 12: Methane Fermentation

12

Jenis ternak mempengaruhi jumlah kotoran yang dihasilkannya. Untuk menjalankan

biogas skala individual atau rumah tangga diperlukan kotoran ternak dari 3 ekor sapi,

atau 7 ekor babi, atau 400 ekor ayam.

2. Kepemilikan Ternak

Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilihan jenis dan

kapasitas biogas yang dapat digunakan. Saat ini biogas kapasitas rumah tangga

terkecil dapat dijalankan dengan kotoran ternak yang berasal dari 3 ekor sapi atau 7

ekor babi atau 400 ekor ayam. Bila ternak yang dimiliki lebih dari jumlah tersebut,

maka dapat dipilihkan biogas dengan kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau

semen) atau beberapa biogas skala rumah tangga.

3. Pola Pemeliharaan Ternak

Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat berfungsi optimal.

Kotoran ternak lebih mudah didapatkan bila ternak dipelihara dengan cara

dikandangkan dibandingkan dengan cara digembalakan.

4. Ketersediaan Lahan

Untuk membangun biogas diperlukan lahan disekitar kandang yang luasnya

bergantung pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang dibutuhkan untuk

membangun biogas skala terkecil (skala rumah tangga) adalah 14 m2 (7m x 2m).

Sedangkan skala komunal terkecil membutuhkan lahan sebesar 40m2 (8m x 5m).

5. Tenaga Kerja

Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja yang berasal dari

peternak/pengelola itu sendiri. Hal ini penting mengingat biogas dapat berfungsi

optimal bila pengisian kotoran ke dalam reaktor dilakukan dengan baik serta

dilakukan perawatan peralatannya.

Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak optimalnya biogas disebabkan

karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja yang menangani unit tersebut; kedua,

Page 13: Methane Fermentation

13

peternak/pengelola tidak memiliki waktu untuk melakukan pengisian kotoran karena

memiliki pekerjaan lain selain memelihara ternak.

6. Manajemen Limbah/Kotoran

Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan komposisi padat cair kotoran

ternak yang sesuai untuk menghasilkan biogas, frekuensi pemasukan kotoran, dan

pengangkutan atau pengaliran kotoran ternak ke dalam raktor.

Bahan baku (raw material) reaktor biogas adalah kotoran ternak yang komposisi

padat cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 2. Pada peternakan sapi perah komposisi

padat cair kotoran ternak biasanya telah sesuai, namun pada peternakan sapi potong

perlu penambahan air agar komposisinya menjadi sesuai.

Frekuensi pemasukan kotoran dilakukan secara berkala setiap hari atau setiap 2 hari

sekali tergantung dari jumlah kotoran yang tersedia dan sarana penunjang yang

dimiliki. Pemasukan kotoran ini dapat dilakukan secara manual dengan cara diangkut

atau melalui saluran.

7. Kebutuhan Energi

Pengelolaan kotoran ternak melalui proses reaktor an-aerobik akan menghasilkan gas

yang dapat digunakan sebagai energi. Dengan demikian, kebutuhan peternak akan

energi dari sumber biogas harus menjadi salah satu faktor yang utama. Hal ini

mengingat, bila energi lain berupa listrik, minyak tanah atau kayu bakar mudah,

murah dan tersedia dengan cukup di lingkungan peternak, maka energi yang

bersumber dari biogas tidak menarik untuk dimanfaatkan.Bila energi dari sumber lain

tersedia, peternak dapat diarahkan untuk mengolah kotoran ternaknya menjadi

kompos atau kompos cacing (kascing).

8. Jarak (kandang-reaktor biogas-rumah)

Energi yang dihasilkan dari reaktor biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak,

menyalakan petromak, menjalankan generator listrik, mesin penghangat telur/ungas

dll. Selain itu air panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk proses sanitasi sapi

perah.Pemanfaatan energi ini dapat optimal bila jarak antara kandang ternak, reaktor

Page 14: Methane Fermentation

14

biogas dan rumah peternak tidak telampau jauh dan masih memungkinkan dijangkau

instalasi penyaluran biogas. Karena secara umum pemanfaatan energi biogas

dilakukan di rumah peternak baik untuk memasak dan keperluan lainnya.

9. Pengelolaan Hasil Samping Biogas

Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk memanfaatkannya menjadi pupuk

cair atau pupuk padat (kompos). Pengeolahannya relatif sederhana yaitu untuk pupuk

cair dilakukan fermentasi dengan penambahan bioaktivator agar unsur haranya dapat

lebih baik, sedangkan untuk membuat pupuk kompos hasil samping biogas perlu

dikurangi kandungan airnya dengan cara diendapkan, disaring atau dijemur.

Pupuk yang dihasilkan tersebut dapat digunakan sendiri atau dijual kepada kelompok

tani setempat dan menjadi sumber tambahan pandapatan bagi peternak.

10. Sarana Pendukung

Sarana pendukung dalam pemanfaatan biogas terdiri dari saluran air/drainase, air dan

peralatan kerja. Sarana ini dapat mempermudah operasional dan perawatan instalasi

biogas. Saluran air dapat digunakan untuk mengalirkan kotoran ternak dari kandang

ke reaktor biogas sehingga kotoran tidak perlu diangkut secara manual. Air digunakan

untuk membersihkan kandang ternak dan juga digunakan untuk membuat komposisi

padat cair kotoran ternak yang sesuai. Sedangkan peralatan kerja digunakan untuk

mempermudah/meringankan pekerjaan/perawatan instalasi biogas.

Potensi Pengembangan Biogas dari Limbah Peternakan Sapi di Indonesia

Pada umumnya peternak sapi di Indonesia mempunyai rata- rata 2 – 5 ekor sapi

dengan lokasi yang tersebar tidak berkelompok. Sehingga penanganan limbahnya baik

itu limbah padat, cair maupun gas seperti feses dan urin maupun sisa pakan dibuang

ke lingkungan sehingga menyebabkan pencemaran. Pengolahan limbah secara

sederhana hanya dengan pemanfaatannya sebagai pupuk organik. (Deptan, 2006)

Diketahui sapi dengan bobot 450 kg menghasilkan limbah berupa feses dan urin lebih

kurang 25 kg per hari (Deptan, 2006). Dan apabila tidak dilakukan penanganan secara

baik maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan udara, tanah dan air

Page 15: Methane Fermentation

15

serta penyebaran penyakit menular. Sehingga sangat diperlukan usaha untuk

mengurangi dampak negatif dari kegiatan peternakan sapi salah satunya dengan

melakukan penanganan yang baik terhadap limbah yang dihasilkan melalui biogas.

Hasil biogas dari rata 3 – 5 ekor sapi tersebut setara dengan 1-2 liter minyak

tanah/hari (Deptan, 2006). Dengan demikian keluarga peternak yang sebelumnya

menggunakan minyak tanah untuk memasak bisa menghemat penggunaan minyak

tanah 1-2 liter/hari. Pemanfaatan biogas di Indonesia sebagai energi alternatif sangat

memungkinkan untuk diterapkan di masyarakat, apalagi sekarang ini harga bahan

bakar minyak yang makin mahal dan kadang-kadang langka keberadaannya. Besarnya

potensi Limbah biomassa padat di seluruh Indonesia seperti kayu dari kegiatan

industri pengolahan hutan, pertanian dan perkebunan; limbah kotoran hewan,

misalnya kotoran sapi, kerbau, kuda, dan babi juga dijumpai di seluruh provinsi

Indonesia dengan kualitas yang berbeda-beda.

Teknologi biogas adalah suatu teknologi yang dapat digunakan dimana saja selama

tersedia limbah yang akan diolah dan cukup air. Di negara maju perkembangan

teknologi biogas sejalan dengan perkembangan teknologi lainnya. Untuk kondisi di

Indonesia, teknologi biogas dapat dibangun dengan kepemilikan kolektif dan

dipelihara secara bersama. Seperti yang dicanangkan oleh Direktorat Budidaya

Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik

Indonesia melalui program Pengembangan Biogas Ternak bersama Masyarakat

(BATAMAS) yang dimulai pada tahun 2006.

Beberapa alasan mengapa biogas belum popular penggunaannya di kalangan peternak

atau kalaupun sudah ada banyak yang tidak lagi beroperasi, yaitu kurang sosialisasi,

teknologi yang diterapkan kurang praktis dan perlu pemeliharaan yang seksama dan

kurangnya pengetahuan para petani tentang pemeliharaan digester.

Teknologi biogas dapat dikembangkan dengan input teknologi yang sederhana dengan

bahan-bahan yang tersedia di pasaran lokal. Energi biogas juga dapat diperoleh dari

air buangan rumah tangga; kotoran cair dari peternakan ayam, babi; sampah organik

dari pasar, industri makanan dan sebagainya.

Page 16: Methane Fermentation

16

Disamping itu, usaha lain yang dapat bersinergi dengan kegiatan ini adalah

peternakan cacing untuk pakan ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat menghasilkan

ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai

bahan input produksi biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti

industri bata merah, industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air dan

sebagainya. Sehingga pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun tidak

langsung diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan.

Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis pengolahan

hasil pertanian dapat memberikan multiple effect dan dapat menjadi penggerak

dinamika pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk

meningkatkan nilai tambah dengan cara pemberian green labelling pada produk-

produk olahan yang di proses dengan menggunaan green energy.

Page 17: Methane Fermentation

17

Ethanol dan Bioethanol Fermantation

Ethanol atau ethyl alcohol (lebih dikenal sebagai “alkohol”, lambang kimia C2H5OH)

adalah cairan tak berwarna dengan karakteristik antara lain mudah terbakar, larut

dalam air, biodegradable, tidak karsinogenik, dan jika terjadi pencemaran tidak

memberikan dampak lingkungan yang signifikan. Penggunaan etanol sebagai bahan

bakar bernilai oktan tinggi atau aditif peningkat bilangan oktan pada bahan bakar

sebenarnya sudah dilakukan sejak abad 19. Mula-mula ethanol digunakan untuk

bahan bakar lampu pada masa sebelum perang saudara di Amerika Serikat. Kemudian

pada tahun 1860 Nikolaus Otto menggunakan bahan bakar ethanol dalam

mengembangkan mesin kendaraan dengan siklus Otto. Mobil Model T karya Henry

Ford yang diluncurkan pada tahun 1908 dirancang untuk menggunakan bahan bakar

ethanol atau gasoline. Namun karena harganya yang sangat tinggi, ethanol kalah

bersaing dengan bahan bakar yang terbuat dari minyak bumi. Harga minyak bumi

yang membumbung belakangan ini membuat orang kembali mempertimbangkan

ethanol untuk dijadikan bahan bakar kendaraan.

Terdapat beberapa cara penggunaan ethanol untuk campuran gasoline sebagai berikut:

• Hydrous ethanol(95% volume), yaitu ethanol yang mengandung sedikit air.

Campuran ini digunakan langsung sebagai pengganti gasoline pada kendaraan dengan

mesin yang sudah dimodifikasi.

• Anhydrous ethanol(atau dehydrated ethanol), yaitu ethanol bebas air dan paling

tidak memiliki kemurnian 99%. Etanol ini dapat dicampur dengan gasoline

konvensional dengan kadar antara 5-85%. Pada gasoline dengan campuran ethanol

antara 5-10%, bahan bakar ini dapat langsung digunakan pada mesin kendaraan tanpa

perlu ada modifikasi. Campuran yang umum digunakan adalah 10% etanol dan 90%

gasoline (dikenal dengan nama E10). Campuran etanol dengan kadar lebih tinggi

(kadar bioetanol 85% atau dikenal dengan nama E85) hanya bisa digunakan pada

mesin kendaraan yang sudah dimodifikasi, yang dikenal dengan nama flexible fuel

vehicle. Modifikasi umumnya dilakukan pada tangki BBM kendaraan dan sistem

injeksi BBM.

Page 18: Methane Fermentation

18

• Etanol juga digunakan sebagai bahan baku ETBE (ethyl-tertiary-butyl-ether), aditif

gasoline konvensional.

Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari bahan baku berupa biomassa seperti

jagung, singkong, sorghum, kentang, gandum, tebu, bit, dan juga limbah biomassa

seperti tongkol jagung, limbah jerami, dan limbah sayuran lainnya. Bioetanol

diproduksi dengan teknologi biokimia, melalui proses fermentasi bahan baku,

kemudian etanol yang diproduksi dipisahkan dengan air dengan proses distilasi dan

dehidrasi.

Penggunaan bioetanol sebagai campuran biogasoline memiliki keunggulan sebagai

berikut :

• meningkatkan bilangan oktan (dapat menggantikan TEL sebagai aditif, sehingga

mengurangi emisi logam berat timbal)

• menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna (mengurangi emisi karbon

monoksida)

• mengurangi emisi gas buang karbon dioksida (penelitian menunjukkan pengurangan

hingga 40-80%), dan senyawa sulfur (mengurangi hujan asam)

Produksi Bioetanol

Bioetanol diproduksi dari biomassa dengan proses hidrolisis dan fermentasi gula.

Biomassa mengandung polimer karbohidrat berupa cellulose, hemi-cellulose, dan

lignin. Untuk memproduksi gula dari biomassa, biomassa diolah menggunakan asam

dan enzim. Cellulose dan hemi-cellulose terhidrolisa menjadi sukrosa, kemudian

difermentasi menjadi etanol.

Fermentasi gula menjadi etanol dilakukan dengan menambah ragi (yeast). Ragi

mengandung enzim invertase, yang bertindak sebagai katalis untuk mengubah sukrosa

menjadi glukosa dan fruktosa (C6H12O6). Fruktosa dan glukosa kemudian bereaksi

dengan enzim zymase yang mengubah fruktosa dan glukosa menjadi etanol dan

karbon dioksida. Proses fermentasi berlangsung selama 3 hari dan berlangsung pada

Page 19: Methane Fermentation

19

temperature 250-300∞C. Etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi kemudian

dipisahkan dari air menggunakan proses distilasi.

Proses produksi hidrogen, metana, dan bioetanol dapat dilangsungkan secara terintegrasi, seperti dalam Maxifuel concept (Gambar1). Konsep ini didesain untuk produksi Etanol dari bahan lignoselulosa, untuk menghasilkan jumlah biofuel yang maksimum per unit raw material dan memanfaatkan residu untuk konversi lebih lanjut menjadi energi. Produk utama bioetanol digunakan untuk bahan bakar transportasi dan penekanan proses ini untuk optimasi produksi etanol. Produksi biofuel yang lain seperti metana, hidrogen, dan produk bernilai lain seperti bahan bakar padat akan menambah nilai lebih pada proses. Proses ini juga ramah lingkungan karena dilakukan recycle dan reuse aliran keluaran. Pengembangan produksi etanol berbasis bahan lignoselulosa dapat diintegrasikan lebih lanjut dalam produksi bioetanol konvensional dari bahan jagung, dimana residu jagung dan fiber dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas 20% seperti tertera pada Gambar 2.

Gambar 1. Flow sheet dari konsep bahan bakar campuran. Semua bagian proses dan

aliran proses dari biomassa lignoselulosa untuk ethanol, hidrogen, dan metana

diperlihatkan.

Page 20: Methane Fermentation

20

Gambar 2. Peningkatan yield ethanol dari jagung

http://majarimagazine.com/2008/02/co-production-of-bioethanol-with-others-biofuels/

Potensi Bioethanol dari Biomassa   Lignoselulosa

Limbah lignoselulosa memiliki potensi besar sebagai bahan baku bioethanol. Sebagai

contoh dari 1 ha sawah dapat diproduksi sebesar 766 hingga 1.148 liter bioethanol.

Jika harga ethanol sekarang adalah Rp. 5.500,- maka nilainya adalah Rp. 4,210 juta

hingga Rp. 6,316 juta. Jumlah yang tidak sedikit.

Ethanol dari Jerami Padi

Jerami padi mengandung kurang lebih 39% sellulosa dan 27,5% hemiselullosa. Kedua

bahan polysakarida ini dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang selanjutnya

dapat difermentasi menjadi ethanol. Potensi produksi jerami padi per ha kurang lebih

10 – 15 ton, jerami basah dengan kadar air kurang lebih 60%. Jika seluruh jerami per

ha ini diolah menjadi ethanol (fuel grade ethanol), maka potensi produksinya kurang

lebih 766 hingga 1,148 liter/ha FGE Dengan asumsi harga ethanol fuel grade

sekarang adalah Rp. 5500,- (harga dari pertamina), maka nilai ekonominya kurang

lebih Rp. 4,210,765 hingga 6,316,148 /ha.

Page 21: Methane Fermentation

21

Menurut data BPS tahun 2006, luas sawah di Indonesia adalah 11.9 juta ha. Artinya,

potensi jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini

diolah menjadi ethanol maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter ethanol (FGE)

dengan nilai ekonomi Rp. 50,1 trilyun. Jika dihitung-hitung ethanol dari jerami sudah

cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional.

Ethanol dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

Kandungan selulosa dan hemiselullosa dari TKKS kurang lebih adalah 45% dan 26%.

Sama seperti jerami padi, kedua polysakarida ini dapat dihidrolysis menjadi gula

sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi ethanol. Sebuah pabrik kelapa sawit

(PKS) dengan kapasitas 60 ton/jam dapat menghasilkan limbah kira-kira 100 ton/hari.

Produksi limbah dapat meningkat atau berkurang tergantung pada TBS (Tandan Buah

Segar) yang diolah. Jika seluruh TKKS ini diolah menjadi ethanol (fuel grade ethanol)

maka potensinya diperkirakan sebesar 8,254 liter/hari. Nilai ekonominya kurang lebih

Rp. 45,395,335 /hari.

Sekali lagi ini hanya teoritis di atas kertas. Tapi setidaknya ini memberi gambaran

tentang besarnya potensi bioethanol yang bisa dihasilkan dari biomassa.

Sumber Limbah Lignoselulosa yang Lain

Indonesia kaya akan biomassa lignoselulosa. Dua contoh di atas adalah sebagian kecil

dari potensi biomassa lignoselulosa yang ada di Indonesia. Masih banyak sumber

biomassa yang lain. Sumber-sumber yang cukup besar antara lain: sampah organik

kota, limbah industri kayu, limbah industri pulp/kertas, dan limbah-limbah

agroindustri yang lain.

Tentunya setiap limbah memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang menentukan

bagaimana teknologi biokonversi yang tepat. Namun, pada prinsipnya setiap limbah

organik lignoselulosa secara teoritis dapat diubah menjadi ethanol. Sekali lagi, potensi

yang besar ini akan tetap menjadi potensi di atas kertas saja. Diperlukan upaya yang

besar untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.

http://www.bioethanol.yolasite.com/index/potensi-bioethanol-dari-biomassa-lignoselulosa

Produksi Bioethanol Berbahan Baku Biomassa Lignoselulosa

Page 22: Methane Fermentation

22

Penelitian produksi ethanol berbahan baku biomassa lignoselulosa, lebih dikenal

dengan sebutan Bioethanol atau ethanol generasi ke dua, sangat intensif dilakukan

dalam dua dekade terakhir (Yang & Wayman, 2007) (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij,

2005) (Sanchez & Cardona, 2007). Produksi ethanol dari lignoselulosa sudah dimulai

sejak lama, (Moore, 1919) telah mematenkan teknologi untuk memproduksi ethyl

alcohol (ethanol) dari kayu.

Produksi ethanol dari biomassa lignoselulosa dapat dikelompokkan menjadi dua

kelompok besar, yaitu: platform biokimia (biochemical platform) atau gula (sugar

platform) dan platform thermokimia (thermochemical platform) (United State

Departemen of Energy, 2008). Platform biokimia meliputi proses hidrolisis selulosa

dan hemiselulosa menjadi monomer gula penyususnnya, fermentasi gula menjadi

ethanol, destilasi dan dehidrasi untuk menghasilkan ethanol fuel grade. Platform

thermokimia secara umum meliputi dua tahapan utama, yaitu: gasifikasi dan

dilanjutkan dengan konversi gas yang dihasilkan menjadi ethanol.

Platform biokimia dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan tahapan

hidrolisis yang dilakukan, yaitu: hidrolisis asam encer (dilute-acid hydrolysis),

hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolysis), dan hidrolisis enzimatik

(enzymatic hydrolysis). Terdapat beberapa variasi teknik dalam hidrolisis enzimatik

yang digabungkan dengan tahapan fermentasi, seperti: Separate (atau Sequential)

Hydrolysis and Fermentation (SHF), Simultaneous Saccharification and

Fermentation (SSF), Simultaneous Saccharification and Co-Fermentation (SSCF),

dan Consolidated BioProcessing (CBP) (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005)

(Lynd, Van, Mcbride, & Laser, 2005).

Secara sederhana proses koversi biomassa lignoselulosa dapat digambarkan seperti

pada Gambar 3 (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Beberapa tahapan utama

yang akan dijelaskan di bawah meliputi: pretreatment, hidrolisis, fermentasi, dan

purifikasi. Dalam setiap tahapan terdapat beberapa variasi, pilihan-pilihan teknologi,

dan status penelitian terkini.

Biomassa Pretreatment Hidrolisis Fermentasi

PurifikasiEthanol

Page 23: Methane Fermentation

23

Gambar 3. Proses konversi sederhana dari biomassa lignoselulosa

http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassa-

lignoselulosa/

1. Pretreatment

Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang

tinggi. Hal ini penting untuk pengembangan teknologi biokonversi dalam skala

komersial (Mosier, et al., 2005). Pretreatmen merupakan tahapan yang banyak

memakan biaya dan berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan proses. Sebagai

contoh pretreatment yang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan

dalam proses hidrolisis (Wyman, Dale, Elander, Holtzapple, Ladisch, & Lee,

Coordinated development of leading biomass pretreatment technologies, 2005)

(Wyman, Dale, Elander, Holtzapple, Ladisch, & Lee, Comparative sugar recovery

data from laboratory scale application of leading pretreatment technologies to corn

stover, 2005). Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang

diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat

meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005).

Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa

menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida

menjadi monomer gula. Tujuan pretreatment secara skematis ditunjukkan pada

Gambar 4.

Pembangkit tenaga

Limbah Cair

Limbah padat

Energi Listrik

Uap Panas

Page 24: Methane Fermentation

24

Gambar 4. Pengaruh pretreatment biomassa lignoselulosa (Mosier, et al., 2005).

Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment telah dipelajari melalui

pendekatan biologi, fisika, kimia. Menurut (Sun & Cheng, 2002) pretreatment

seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:

1) meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada proses

berikutnya melalui hidrolisis enzimatik;

2) menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat;

3) menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses

hidrolisis dan fermentasi,

4) biaya yang dibutuhkan ekonomis.

Ringkasan berbagai teknik pretreatment yang dikembangkan ditampilkan pada Tabel

1 di bawah ini. Teknik pretreatment yang telah dikembangkan lebih banyak dilakukan

secara mekanik atau fisiko-kimia. Pretreatment secara biologi sedikit dilaporkan.

Tabel 1. Pretreatment biomassa lignoselulosa untuk produksi bioethanol

Pretreatment Proses Perubahan pada

biomassa

Referensi

Pretreatment mekanik

atau fisik

Milling: - mengurangi ukuran

partikel

(Taherzadeh &

Karimi,

2008)

Page 25: Methane Fermentation

25

- ball milling

- two-rol milling

- hammer milling

- colloid milling

- vibrotory ball

milling

Irradiation:

- gamma-ray

- electron beam

- microwave

Lainnya:

- hydrothermal

- uap bertekanan

tinggi

- expansi

- extrusi

- pirolisis

- air panas

- meningkatkan luas

permukaan yang

kontak dengan

enzim

- mengurangi

kristalisasi

selulosa

(Sun & Cheng, 2002)

(Zhu, et al., 2005)

(Thomsen, Thygesen,

&

Thomsen, 2008)

(Ahring, Jensen,

Nielsen,

Bjerre, & Schmidt,

1996)

(Hendriks & Zeeman,

2009)

(Eggeman & Elander,

2005)

(Ohgren, Rudolf,

Galbe,

& Zacchi, 2006)

(Kabel, Bos,

Zeevalking,

Voragen, & Schols,

2007)

Pretreatmen kimia dan

fisik-kimia

Explosion:

- eksplosi uap panas

- ammonia fiber

explotion

- meningkatkan area

pemukaan

yang mudah diakses

- delignifikasi

sebagian atau hampir

(Sun & Cheng, 2002)

(Taherzadeh &

Karimi,

2008)

(Eggeman & Elander,

Page 26: Methane Fermentation

26

(AFEX)

- eksplosi CO2

- eksplosi SO2

Alkali:

- sodium hidroksida

- ammonia

- ammonium sulfat

- ammonia recycle

percolation (ARP)

- kapur (lime)

Asam:

- asam sulfat

- asam fosfat

- asam hidroklorat

- asam parasetat

Gas:

- Clorin dioksida

- Nitrogen dioksida

- Sulfur dioksida

Agen Oksidasi:

keseluruhan

- menurunkan

kristalisasi selulosa

- menurunkan derajat

polimerisasi

- hidrolisis

hemiselulosa sebagian

atau keseluruhan

2005)

(Eklund, Galbe, &

Zacchi, 1995)

(Negro, Manzanares,

Oliva,

Ballesteros, &

Ballesteros, 2003)

(Bower,

Wickramasinghe,

Nagle, & Schell, 2008)

(Cara, Ruiz,

Ballesteros,

Manzanares, Negro, &

Castro, 2008)

(Kim & Hong, 2001)

(Mosier, et al., 2005)

(Saha & Cotta, 2008)

(Shimizu, Sudo, Ono,

Ishihara, Fujii, &

Hishiyama, 1998)

(Sun & Chen,

Organosolv

pretreatment by crude

glycerol from

oleochemicals industry

for enzymatic

hydrolysis of wheat

straw, 2008)

Page 27: Methane Fermentation

27

- Hidrogen peroksida

- oksidasi basah

- Ozone

Pelarut untuk ekstraksi

lignin:

- ekstrasi ethanol-air

- ekstrasi benzene-air

- ekstraksi etilen glikol

- ekstraksi butanol-air

- agen pemekar

(swelling)

(Sun & Chen,

Enhanced

enzymatic hydrolysis

of wheat straw by

aqueous glycerol

pretreatment, 2008)

(Sun & Cheng, 2005)

(Zhang, et al., 2008)

(Kim & Lee, 2002)

(Zhao, Zhang, & Liu,

2008)

(Lloyd & Wayman,

2005)

(Ahring, Jensen,

Nielsen,

Bjerre, & Schmidt,

1996)

(Silverstein, Chen,

Sharma-Shivappa,

Boyette, & Osborne,

2007)

 

 

 

Biologi - Fungi Pelapuk Putih

- Aktinomicetes

-         

delignifikasi

-         

penurunan derajat

(Taniguchi, Suzuki,

Watanabe, Sakai,

Hoshino, & Tanaka,

2005)

Page 28: Methane Fermentation

28

polerisasi

selulosa

-         

penurunan derajat

kristalisasi

selulosa

(Shi, Chinn, &

Sharma-Shivappa,

2008)

(Keller, Hamilton, &

Nguyen, 2003)

(Kirk & Chang,

Potential application

of bio-ligninolytic

System, 1981)

 

http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassa-

lignoselulosa-pretreatment/

2. Hidrolisis Asam

Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa lignoselulosa,

yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula penyusunnya. Hidrolisis

sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan

beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis dapat dilakukan

secara kimia (asam) atau enzimatik.

Di dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dikontakkan dengan asam

pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan menghasilkan monomer

gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa asam yang umum digunakan

untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H2SO4), asam perklorat, dan

HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling banyak diteliti dan dimanfaatkan

untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam

pekat dan hidrolisis asam encer (Taherzadeh & Karimi, 2007).

Hidrolisis asam pekat merupakan teknik yang sudah dikembangkan cukup lama.

Braconnot di tahun 1819 pertama menemukan bahwa selulosa bisa dikonversi

Page 29: Methane Fermentation

29

menjadi gula yang dapat difermentasi dengan menggunakan asam pekat (Sherrad and

Kressman 1945 in (Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisis asam pekat menghasilkan

gula yang tinggi (90% dari hasil teoritik) dibandingkan dengan hidrolisis asam encer,

dan dengan demikian akan menghasilkan ethanol yang lebih tinggi (Hamelinck,

Hooijdonk, & Faaij, 2005). Hidrolisis asam encer dapat dilakukan pada suhu rendah.

Namun demikian, konsentrasi asam yang digunakan sangat tinggi (30 – 70%). Proses

ini juga sangat korosif karena adanya pengenceran dan pemanasan asam. Proses ini

membutuhkan peralatan yang metal yang mahal atau dibuat secara khusus. Rekaveri

asam juga membutuhkan energi yang besar. Di sisi lain, jika menggunakan asam

sulfat, dibutuhkan proses netralisasi yang menghasilkan limbah gypsum/kapur yang

sangat banyak. Dampak lingkungan yang kurang baik dari proses ini membatasi

penggunaan asam perklorat dalam proses ini. Hidrolisis asam pekat juga

membutuhkan biaya investasi dan pemeliharaan yang tinggi, hal ini mengurangi

ketertarikan untuk komersialisasi proses ini (Taherzadeh & Karimi, 2007).

Hidrolisis asam encer juga dikenal dengan hidrolisis asam dua tahap (two stage acid

hydrolysis) dan merupakan metode hidrolisis yang banyak dikembangkan dan diteliti

saat ini. Hidrolisis asam encer pertama kali dipatenkan oleh H.K. Moore pada tahun

1919. Potongan (chip) kayu dimasukkan ke dalam tangki kemudian diberi uap panas

pada suhu 300oF selama satu jam. Selanjutnya dihidrolisis dengan menggunakan asam

fosfat. Hidrolisis dilakukan dalam dua tahap. Hidrolisat yang dihasilkan kemudian

difermentasi untuk menghasilkan ethanol. Hidrolisis selulosa dengan menggunakan

asam telah dikomersialkan pertama kali pada tahun 1898 (Hamelinck, Hooijdonk, &

Faaij, 2005). Tahap pertama dilakukan dalam kondisi yang lebih ‘lunak’ dan akan

menghidrolisis hemiselulosa (misal 0.7% asam sulfat, 190oC). Tahap kedua dilakukan

pada suhu yang lebih tinggi, tetapi dengan konsentrasi asam yang lebih rendah untuk

menghidrolisis selulosa (215oC, 0.4% asam sulfat) (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij,

2005).

Kelemahan dari hidrolisis asam encer adalah degradasi gula hasil di dalam reaksi

hidrolisis dan pembentukan produk samping yang tidak diinginkan. Degradasi gula

dan produk samping ini tidak hanya akan mengurangi hasil panen gula, tetapi produk

samping juga dapat menghambat pembentukan ethanol pada tahap fermentasi

selanjutnya (Gambar 3). Beberapa senyawa inhibitor yang dapat terbentuk selama

proses hidrolisis asam encer adalah furfural, 5-hydroxymethylfurfural (HMF), asam

Page 30: Methane Fermentation

30

levulinik (levulinic acid), asam asetat (acetic acid), asam format (formic acid), asam

uronat (uronic acid), asam 4-hydroxybenzoic, asam vanilik (vanilic acid), vanillin,

phenol, cinnamaldehyde, formaldehida (formaldehyde), dan beberapa senyawa lain

(Taherzadeh & Karimi, 2007).

http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassa-

lignoselulosa-hidrolisis/

3. Hidrolisis Enzimatis

Selama Perang Dunia ke II ditemukan fungi yang menghancurkan baju dan tenda.

Fungi tersebut adalah Trichoderma reseii yang menghasilkan enzim selulase dan

dapat menghidrolisis selulosa (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Aplikasi

hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan dengan menganti tahap

hidrolisis asam dengan tahap hidrolisis enzim selulosa. Hidrolisis enzimatis memiliki

beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi

gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral),

berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relatif

rendah karena tidak ada bahan yang korosif (Taherzadeh & Karimi, 2007)

(Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Beberapa kelemahan dari hidrolisis enzimatis

antara lain adalah membutuhkan waktu yang lebih lama, dan kerja enzim dihambat

oleh produk. Di sisi lain harga enzim saat ini lebih mahal daripada asam sulfat, namun

demikian pengembangan terus dilakukan untuk menurunkan biaya dan meningkatkan

efisiensi hidrolisis maupun fermentasi (Sanchez & Cardona, 2007).

Struktur lignoselulosa membentuk penghambat alami terhadap degradasi oleh

mikroba maupun oleh enzim. Penurunan kecepatan reaksi ditemukan pada hidrolisis

enzimatis selulosa murni. Beberapa penyebab dari penurunan kecepatan reaksi ini

antara lain adalah: penghambatan balik oleh produk, deplesi oleh bagian yang mudah

terdegradasi (kemungkinan deplesi oleh bagian amorphous selulosa), inaktivasi

enzim, dan ikatan atau penjerapan tidak produktif selulase di dalam pori-pori selulosa.

Secara umum penghambatan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:

pertama terkait dengan struktur lignoselulosa, dan kedua terkait dengan mekanisme

dan interaksi enzim (Palonen, 2004) (Zhu, O’Dwyer, Chang, Granda, & Holtzapple,

2008).

Page 31: Methane Fermentation

31

Beberapa karakteristik fisik struktural lignoselulosa yang menghambat hidrolisis

enzimatis antara lain: kristalinitas (crystalinity), derajat polimerasi, susunan struktur

selulosa (I, II, III, V, atau X), ukuran dan distribusi pori-pori, luas permukaan kontak,

derajat pemekaran (swelling), dan komposisi structural (kandungan dan distribusi

lignin) (Palonen, 2004). Peningkatan dan penurunan hasil hidrolisis diketahui

berkaitan dengan peningkatan kristalinitas dari berbagai substrat lignoselulosa yang

berbeda (Sasaki et al., 1979). Studi terbaru oleh (Zhu, O’Dwyer, Chang, Granda, &

Holtzapple, 2008) menemukan bahwa kristalinitas dan kandungan lignin paling

berpengaruh terhadap kemudahan lignin dihirolisis. Namun diketahui pula bahwa jika

kristalinitas rendah, kandungan lignin tidak terlalu berpengaruh.

Kemudahan diakses (accessibility) substrat lignoselulosa memainkan peranan penting

pada peningkatan hidrolisis enzimatik. Selulosa memiliki permukaan eksternal

(bentuk dan ukuran partikel) dan internal (struktur kapiler serat). Grethelin (1985)

menunjukkan bahwa penghilangan hemiselulosa menghasilkan peningkatan volume

pori-pori yang dapat diakses dan area permukaan spesifik. Ukuran pori-pori juga

diketahui berkaitan dengan derajat pemekaran (degree of swelling) (Stone and Scalla,

1969 di dalam (Palonen, 2004)). Beberapa studi juga menemukan bahwa pengeringan

bahan lignoselulosa berakibat dari hilangnya kapilaritas dinding sel dan berkurangnya

ukuran pori-pori menurunkan efektivitas hidrolisis enzimatis (Esteghlalian et al.,

2001).

Beberapa literatur menyebutkan bahwa kandungan dan distribusi lignin berpengaruh

pada hidrolisis enzimatis. Konversi enzimatik yang tinggi dari selulosa ditemukan

pada kayu lunak (Douglas fir) yang telah didelignifikasi, seperti craft pulp

(kandungan lignin 4%) atau mechanical pulp (kandungan lignin 8%) (Mooney et al.,

1998). Delignifikasi kayu Douglas fir (telah diperlakukan dengan uap panas (steam-

explosion)) dengan peroksida alkali panas dapat meningkatkan hasil hidrolisis di

mana kandungan lignin tinggal 8.2%). Selain itu rekoveri enzim setelah hidrolisis

enzimatis juga meningkat (Lu et al., 2002). Di sisi lain, penghilangan sebagian lignin

(kandungan akhir lignin 32-36%) dari kayu lunak (telah diperlakukan dengan uap

panas) dengan perlakuan NaOH menurunkan hasil hidrolisis (Wong et al., 1988;

Schell et al., 1998). Hasil yang sama juga diperoleh dari penghilangan lignin dengan

proses delignifikasi oksigen menggunakan NaOH dimana kecepatan dan hasil

hidrolisis menurun. Namun pada kasus kraft pulp dari kayu lunak, peningkatan hasil

Page 32: Methane Fermentation

32

hidrolisis berkorelasi dengan peningkatan derajat delignifikasi (Draude et al., 2001).

Dengan demikian, penghilangan lignin sebagian terlihat membuat kayu (yang telah

diperlakukan dengan uap) menjadi lebih sulit untuk dihidrolisis. Salah satu penjelasan

dari fonomena adalah terjadi redeposisi dari lignin yang tidak terekstrak ke pori-pori

dan permukaan selulosa (Wong et al., 1998).

http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassa-

lignoselulosa-hidrolisis-enzimatis/

Hidrolisis enzimatik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan hidrolisis asam, seperti diperlihatkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2. Perbandingan antara hidrolisis asam dan hidrolisis enzimatik (Taherzadeh & Karimi, 2006)

Variabel PembandingHidrolisis Asam

Hidrolisis Enzimatik

Kondisi hidrolisis yang ‘lunak’ (mild) Tidak YaHasil hidrolisis tinggi Tidak YaPenghambatan produk selama hidrolisis Tidak YaPembentukan produk samping yang menghambat

Ya Tidak

Katalis yang murah Ya TidakWaktu hidrpolisis yang murah Ya Tidak

4. Fermentasi

Beberapa spesies mikroba dari kelompok yeast/khamir, bakteri dan fungi dapat

memfermentasi karbohidrat menjadi ethanol dalam kondisi bebas oksigen (Lynd,

1996). Mikroba melakukan fermentasi tersebut untuk mendapatkan energi dan untuk

tumbuh. Berdasarkan reaksi kimia fermentasi, hasil maksimum teoritis dari setiap kg

gula adalah 0.51 kg ethanol dan 0.49 kg CO2:

3C5H10O5 –> 5C2H5OH + 5CO2 (1)

C6H12O6 –> 2C2H5OH + 2CO2 (2)

Mikroba yang sangat umum dimanfaatkan dalam proses fermentasi adalah ragi roti

(Saccharomyces cereviseae) dan Zymomonas mobilis. Saccharomyces cereviseae

memiliki banyak keunggulan antara lain adalah mampu memproduksi ethanol dari

Page 33: Methane Fermentation

33

gula C6 (heksosa), toleran terhadap konsentrasi ethanol yang tinggi dan toleran

terhadap senyawa inhibitor yang terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa

(Olsson and Hahn-Hägerdal 1993; Hahn-Hägerdal et al. 2001). Namun demikian,

strain liar dari S. cerevieae tidak dapat memfermentasi gula C5 (pentose) seperti:

xylosa, arabinosa, celloligosaccharides, menjadi salah satu kendala pemanfaatannya.

Beberapa yeast diketahui dapat memfermentasi xylosa seperti: Pichia stipitis

(Verduyn et al. 1985) (Delgenes, Moletta, & Navarro, 1996), Candida shehatae (Ho

et al. 1990) (Sreenath & Jeffries, 2000), dan Candida parapsilosis (Lee et al. 2003),

Kluyveromyces marxianus (Margaritis & Bajpai, 1982),dapat memetabolisme xylosa

melalui kerja xylose reductase (XR) untuk merubah xylosa menjadi xylitol, dan xylitol

dehydrogenase (XDH) untuk merubah xylitol menjadi xylulose. Beberapa bakteri

seperti : Klebsiella planticola (Rossi, et al., 1995), Thermoanaerobacter mathranii

(Ahring, Licht, Schmidt, Sommer, & Thomsen, 1999), dilaporkan dapat

memfermentasi xylosa dan glukosa menjadi ethanol. Beberapa upaya rekayasa

genetika juga telah dilakukan untuk membuat S. cereviseae yang dapat

memfermentasi xylosa dan glukosa (Meinander, Boels, & Hahn-Haigerdal, 1999)

(Helle, Murray, Lam, Cameron, & B., 2004) (Davis, Jeon, Svenson, Rogers, Pearce,

& Peiris, 2005) (Govindaswamy & Vane, 2007). Beberapa fungi juga dilaporkan

dapat memfermentasi xylosa menjadi ethanol, yaitu: Mucor indicus dan Rhizopus

orizae (Millati, Edebo, & Mohammad J.Taherzadeh, Performance of Rhizopus,

Rhizomucor, and Mucor in ethanol production from glucose, xylose, and wood

hydrolyzates, 2005).

http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassa-

lignoselulosa-fermentasi/

5. Purifikasi

Produk hasil fermentasi dikenal dengan istilah ‘bir’ (beer) yang merupakan campuran

antara ethanol, biomassa sel, dan air. Di dalam tahapan ini, konsentrasi ethanol dari

biomassa lignoselulosa lebih rendah (≤ 5%) daripada ethanol yang berasal dari

jagung. Konsentrasi ethanol yang dapat ditolelir oleh mikroba adalah kurang lebih

10% pada suhu 30oC, tetapi akan menurun dengan naiknya temperature (Hamelinck,

Hooijdonk, & Faaij, 2005). Produk dari tahapan fermentasi berbentuk seperti bubur

Page 34: Methane Fermentation

34

(slurries) dan sulit untuk ditangani, dimana kandungan padatannya sekitar 15%, dan

juga terkait dengan kandungan ethanol yang kurang dari 5%.

Tahapan pertama untuk purifikasi (pemurnian) ethanol adalah distilasi ‘bir’. Distilasi

dapat dilakukan beberapa tahap sampai kadar ethanol dibawah azeotrope (95%).

Penghilangan sisa air (dehidrasi) dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan

menambahkan kapur tohor (CaO) dimana air akan bereaksi dengan kapur membentuk

Ca(OH)2. Dehidrasi juga bisa menggunakan zeolit sintetik yang dapat menyerap air

dari campuran ethanol-air 95%. Sebanyak kurang lebih 99.9% ethanol dapat

diperoleh dari daur ulang (recycling) antara distilasi dan dehidrasi.

http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassa-

lignoselulosa-purifikasi/

DAFTAR PUSTAKA

http://milmi.staff.ugm.ac.id, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 10.30 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/Fermentasi, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 10.35 WIB

http://www.pertamina.com/index.php, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.10 WIB

http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.12 WIB

http://netsains.com/2008/03/menyulap-biomassa-menjadi-energi/, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.15 WIB

http://eug3n14.wordpress.com/2009/06/29/teknologi-selulosic-etanol/, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.20 WIB

http://www.bioethanol.yolasite.com/index/potensi-bioethanol-dari-biomassa-lignoselulosa, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.25 WIB

http://cupri.blogspot.com/2009/06/produksi-bioethanol-berbahan-baku.html, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.30 WIB

http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassa-lignoselulosa/, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.35 WIB

http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/mkr/article/viewArticle/17282, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.40 WIB

Page 35: Methane Fermentation

35

http://gayul.wordpress.com/2009/12/12/pengolahan-limbah-ternak-menjadi-biogas/, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.42 WIB

http://majarimagazine.com/2008/02/co-production-of-bioethanol-with-others-biofuels/, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.50 WIB

http://mendem.dagdigdug.com/2008/11/23/pemanfaatan-energi-biomassa-sebagai-biofuel-konsep-sinergi-dengan-ketahanan-pangan/, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 12.00 WIB

http://endarikmajati.blogspot.com/2009/01/energi-biomassa-kelompok-3.html, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 12.05 WIB