menjadi pemateri untuk webinar teologi publik …

17

Upload: others

Post on 19-Nov-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …
Page 2: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …
Page 3: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKATMENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK DAERAH KEPULAUANBERSAMA PERSEKUTUAN ALUMNI/AE STFT JAKARTA WILAYAH NTTONLINE, 23 NOVEMBER 2020Pada 23 November 2020, Persekutuan Alumni/ae STFT Jakarta Wilayah NTT menggelarWebinar Pelayanan di Daerah Kelautan. Saya menjadi pembicara bersama dengan KetuaMajelis Sinode GMIT, Pdt. Dr. Merry Kolimon dan Gubernur NTT Viktor BungtiluLaiskodat. Saya menyatakan bahwa gereja-gereja selalu ada dalam perahu yang samadalam semangat oikoumene. Tujuan teologi publik adalah untuk mencapai keadilan dankebenaran. Kita tidak bisa hidup tanpa alam, tetapi alam bisa hidup tanpa kita. Marimencintai pemberi kehidupan itu.Webinar yang dikemas secara apik ini melahirkan pertemuan sinergis gereja danpemerintah untuk berderap dan melangkah bersama. Ketua ikatan Alumni SekolahTinggi Filsafat Teology (STFT) Jakarta Wilayah NTT Pdt. Jeky Frangky Latupeirissa,M.Th dalam sambutannya mengatakan, sebuah sukacita bagi kami persekutuan alumniSTFT Jakarta yang ada di Rumah Bersama GMIT di Nusa Tenggara Timur.Jakarta 24 November 2020Binsar J. Pakpahan, Ph.D

Page 4: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

1

Teologi Publik dalam Konteks Masyarakat Kepulauan1

Binsar Jonathan Pakpahan2

[email protected]

Pengantar

Saya bersyukur diajak mengikuti seminar yang diadakan oleh Persekutuan Alumni

STFT Jakarta Wilayah NTT. Atas nama Tim Pemimpin STFT Jakarta, izinkan saya

mengucapkan salam dari Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D kepada Gubernur Nusa Tenggara

Timur, Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat, SH., M.Si, dan jajarannya, dan Ketua Majelis

Harian Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery L.Y. Kolimon. Kami juga menyampaikan penghargaan

tinggi kepada Panitia dan Pengurus Alumni yang membuat acara hari ini terlaksana. Pak

Jeky Latupeirissa ketua Pastija dan, Pdt. Benyamin Nara Lulu, moderator

Makalah ini ditulis dengan membayangkan konteks kepulauan yang dimiliki oleh

NTT, dan bagaimana gereja bisa hadir dalam diskursus publik sebagai suara moral yang

mengingatkan perjuangan akan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh penghuni

kepulauan. Saya berargumen bahwa ada perbedaan konteks maritim dan kepulauan, dan

itu memengaruhi bagaimana gereja melihat dirinya dan menyampaikan teologinya di ruang

publik.

Indonesia: Negara Maritim

Situasi geografi Indonesia membuatnya memiliki banyak perbedaan baik dari sisi

cuaca di mana ada daerah yang relatif memiliki curah hujan lebih banyak dibanding daerah

lainnya. Indonesia juga berada dalam jalur the Ring of Fire, memiliki tiga lempeng tektonik

yang bersinggungan yaitu Eurosian, Pasifik, dan Indo-Australia yang membuatnya

memiliki banyak gunung berapi aktif dan daerah yang subur. Daerah-daerah yang berada

di sekitar gunung berapi dan garis khatulistiwa akan memiliki curah hujan lebih banyak

dibanding daerah di utara dan selatan garis khatulistiwa. Sulistiyono dan Rochwulaningsih

1 Makalah disampaikan dalam Webinar Pelayanan di Daerah Kelautan dan Kepulauan: Kekayaan dan

Tantangan, Senin 23 November 2020.

2 Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik STFT Jakarta, dosen matakuliah Filsafat, Etika, Teologi Publik.

Page 5: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

2

mencatat bahwa jalur perdagangan yang melintasi Indonesia, atau milik Indonesia sendiri

di laut juga banyak dipengaruhi oleh faktor arus dan angin.3 Semua faktor di atas kemudian

membentuk berbagai perbedaan yang akhirnya memengaruhi struktur sebuah masyarakat,

mata pencarian, dan cara mereka menyelesaikan masalah.

Masyarakat maritim harus dipisahkan dari masyarakat kepulauan.4 Masyarakat

maritim bisa kita pahami sebagai masyarakat yang banyak memaksimalkan sumber daya

laut sebagai sumber kehidupannya yang utama, misalnya sebagai nelayan atau

memaksimalkan laut sebagai jalur perdagangan. Masyarakat maritim bisa juga kita sebut

sebagai masyarakat bahari. Sebuah negara maritim akan memaksimalkan laut yang ada

dalam wilayahnya, menciptakan jalur perdagangan laut dan banyak Pelabuhan, serta

menggunakan Angkatan Laut untuk pertahanan. Pada 2015, Presiden Joko Widodo

mencanangkan program Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dengan definisi di atas.5

Menemukan definisi budaya maritim juga bukan tugas yang mudah. Secara umum,

budaya maritim merujuk kepada interaksi manusia dengan laut dan berbagai kegiatannya

di laut. Kita akan menggunakan definisi yang diajukan oleh Baron, yang menjelaskan,

Therefore, initially, maritime culture as a component of water culture can be understood as

the group or set of features and of material and immaterial cultural expressions such as

3 Singgih Tri Sulistiyono and Yety Rochwulaningsih, “Contest for Hegemony: The Dynamics of Inland

and Maritime Cultures Relations in the History of Java Island, Indonesia,” Journal of Marine and Island Cultures 2,

no. 2 (2013): 116–18, https://doi.org/10.1016/j.imic.2013.10.002.

4 Setelah membaca dan menganalisis beberapa artikel serta buku yang ditulis dalam topik kemaritiman

dan kepulauan, saya menemukan bahwa beberapa artikel tidak membedakan kemaritiman dan kelautan seperti

Mukhlis dan Setyadiharja serta Kambey et.al., yang menyamakan kebudayaan maritim dengan kebudayaan

kelautan dan paradigma kepulauan, Suhardi Mukhlis and Rendra Setyadiharja, “Community Development

Dengan Internalisasi Nilai Budaya Maritim di Provinsi Kepulauan Riau untuk Memperkuat Provinsi Berbasis

Kemaritiman,” JIP (Jurnal Ilmu Pemerintahan): Kajian Ilmu Pemerintahan dan Politik Daerah 2, no. 1 (2017): 40;

Melinda A. Kambey, Djuwita R.R. Aling, and Christian R. Dien, “Eksistensi Budaya Maritim Kelompok Nelayan

Kelurahan Malalayang Dua, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara,” Jurnal Ilmiah Agrobisnis Perikanan 8, no. 1

(2020): 138.

5 Kebijakan untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim berasal dari keinginan untuk

menaikkan tingkat penghasilan masyarakat dari berbagai potensi yang dimiliki laut Indonesia. Lihat Poltak

Partogi Nainggolan, “Kebijakan Poros Maritim Dunia Joko Widodo dan Implikasi Internasionalnya,” Politica 6,

no. 2 (2015): 172-173. Akibat dari kebijakan ini adalah pembangunan berbagai pelabuhan termasuk

pengembangan tol laut dan hidupnya kembali posisi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang tidak

pernah ada sejak 1955. Beberapa pengamat politik mengritik Presiden Joko Widodo yang sepertinya sudah

mengalihkan visi Poros Maritim Dunia dengan pemilihan ibu kota baru yang tidak memiliki akses ke laut. Lihat

Johannes Nugroho, “Bagaimana Nasib Agenda Poros Maritim Dunia Jokowi?” Matamata Politik Website, 28

Oktober 2019, https://www.matamatapolitik.com/bagaimana-nasib-agenda-poros-maritim-dunia-jokowi-opini/

diakses 21 November 2020.

Page 6: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

3

traditions, beliefs, practices, discourses and customs that are constructed as a result of the

continuous, flexible and changing relationship between society and sea/land.6

Beberapa artikel yang ditulis oleh peneliti Indonesia memberikan definisi budaya maritim

dengan karakteristik positif,

Budaya yang mengedepankan keberanian, kecakapan, keterampilan menghadapi berbagai

masalah, budaya yang pandai membaca tanda kehidupan, tanda-tanda zaman, dengan

keluhuran budi dan kearifan jiwa dan budaya melayani dan mendahulukan rakyat dan kaum

yang lemah baik dalam kondisi yang baik ataupun darurat, dan budaya rela berkorban demi

kepentingan umum.7

Beberapa karakter yang dituliskan oleh para penulis Indonesia sepertinya lebih memperli-

hatkan karakter daripada definisi mengenai budaya maritim. Untuk kepentingan artikel ini,

kita menggunakan definisi budaya maritim seperti yang ditulis Baron di atas.

Sementara itu, masyarakat pesisir adalah mereka yang tinggal di wilayah peralihan

darat dan laut dan menggunakan sumber daya laut dan pesisir sebagai sumber

penghasilannya. Karena luasnya wilayah Indonesia, dan mengingat definisi Baron

mengenai budaya sebagai hasil interaksi masyarakat dengan laut, Arif Satria mengingatkan

kita untuk tidak menyeragamkan budaya masyarakat pesisir Indonesia.8 Masyarakat pesisir

umumnya memiliki budaya maritim karena kehidupan mereka tergantung kepada relasi

terhadap laut. Selain menjadi nelayan, mata pencarian masyarakat pesisir juga termasuk

pengelolaan air laut seperti pertambangan garam, budidaya ikan, transportasi laut, dan

penambangan pasir. Dalam penelitiannya mengenai masyarakat pesisir di Desa

Waruduwur, Kabupaten Cirebon, Fatmasari melihat masyarakat pesisir lebih tertinggal

secara sosial (akses kesehatan dan pendidikan) dan ekonomi (kemiskinan).9

6 Aura Tatiana Ome Baron, “Constructing the Notion of the Maritime Cultural Heritage in the

Colombian Territory: Tools for the Protection and Conservation of Fresh and Salt Aquatic Surroundings” (New

York: The United Nations-Nippon Foundation Fellowship Programme 2007 – 2008, 2008), 35.

https://www.un.org/Depts/los/nippon/unnff_programme_home/fellows_pages/fellows_papers/ome-

baron_0708_colombia.pdf diakses 21 November 2020.

7 Kambey, Aling, and Dien, “Eksistensi Budaya Maritim,” 138. Mukhlis and Setyadiharja, “Community

Development,” 41.

8 Arif Satria, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir (Bogor; Jakarta: Fakultas Ekologi Manusia IPB bekerja

sama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 3–4.

9 Dewi Fatmasari, “Analisis Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir Desa Waruduwur,

Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon,” Al-Amwal 6, no. 1 (2016): 146–48.

Page 7: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

4

Kondisi nelayan tradisional yang tinggal di pesisir pada umumnya menghadapi

kondisi sosial ekonomi yang sulit. Nelayan memiliki tingkat ketidakpastian penghasilan

yang lebih tinggi dari masyarakat petani karena mereka harus mencari ikan di lokasi yang

terbuka bagi yang lain. Persoalan kesejahteraan nelayan datang dari overfishing, teknologi

penangkapan yang digunakan, kerusakan ekosistem laut, pemanasan global, dan kesulitan

mereka untuk memasarkan hasil tangkapan mereka. Berbagai masalah yang mereka hadapi

harus ditambah lagi dengan definisi UU Cipta Kerja mengenai nelayan. Tadinya, UU 45

tahun 2009 Pasal 1 ayat 10 dan 11 membedakan nelayan dan nelayan kecil. Nelayan kecil

adalah “orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5

gross ton (GT).” UU Cipta Kerja 2020 menghapuskan definisi ini sehingga posisi nelayan

tradisional bisa tergeser oleh mereka yang memiliki modal lebih dan menggunakan kapal

yang lebih besar. Kita akan kembali ke kondisi ini di pembahasan mengenai teologi publik

bagi masyarakat kepulauan.

Indonesia: Negara Kepulauan

Definisi masyarakat kepulauan agak berbeda dengan maritim. Definisi KBBI yang

menjelaskan pulau sebagai “tanah yang dikelilingi air (di laut, di sungai, atau di danau)”10

juga tidak terlalu menggambarkan keberagaman dari berbagai pulau di Indonesia yang bisa

dikelilingi laut sehingga memiliki budaya pesisir, atau danau namun memiliki budaya

agraris. Negara kepulauan bisa dipahami sebagai kesatuan yang terdiri dari pulau-pulau

dan dipisahkan oleh air (laut). Masyarakat kepulauan tidak melulu bersandar kepada laut

untuk mata pencarian mereka, melainkan bisa menjadi kombinasi petani/peternak (settler)

dan nelayan, tergantung kepada luas pulau dan tingkat kesuburannya. Darat dilihat sebagai

tempat tinggal yang utama, dan laut adalah jalan untuk menuju tempat tinggal yang lain.

Negara kepulauan akan menggunakan Angkatan Daratnya sebagai pertahanan utama.

Beberapa ciri masyarakat kepulauan digambarkan oleh Pungetti. Yang pertama

adalah isolasi dan ketidaktahuan. Karena isolasi, populasi menjadi bergantung kepada

teknologi komunikasi dan transportasi. Biodiversitas juga berkurang dalam proses isolasi

dalam pulau. Jarak pulau yang satu dari yang lain juga akan memengaruhi keberagaman

10 KBBI Online, “pulau” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pulau, diakses 22 November 2020.

Page 8: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

5

dalam pulau. Pungetti juga mengatakan semakin jauh pulau dari pulau utama atau pulau

lain, semakin dekat masyarakatnya.11 Jika sebuah pulau tidak bisa dijangkau dengan

mudah, itu berarti penduduk di dalamnya juga sulit untuk keluar dari tempat tersebut.

Pulau juga dikenal sebagai tempat di mana sebuah kelompok atau spesies bisa bertumbuh

dengan cara yang berbeda dari tempat yang lain.12 Mereka yang tinggal di pulau juga

memiliki keterikatan yang besar terhadap tempat tinggal mereka, bahkan ketika mereka

keluar dari pulau tersebut. Semakin kecil dan terpencil pulaunya, semakin melekat identitas

kepulauannya.13

Berdasarkan analisis antropologis, struktur masyarakat kepulauan sangat

bergantung kepada air segar. Struktur masyarakat dibangun atas distribusi air dan sumber

daya. Semakin tinggi tingkat produksi pangan sebuah daerah, solidaritas organiknya akan

semakin tinggi. Sementara ketika daerah tidak terlalu subur, mereka akan memiliki

solidaritas mekanik.

Di daerah pulau Samosir misalnya, karena daerahnya subur namun tidak

menghasilkan kelimpahan makanan, mereka tidak membutuhkan hierarki kuat untuk

mengatur sumber daya. Di pulau Jawa, karena daerah subur, mereka memiliki surplus

makanan yang memerlukan pengaturan sumber daya dan pembagian kerja. Akhirnya

11 Gloria Pungetti, “Islands, Culture, Landscape and Seascape,” Journal of Marine and Island Cultures 1,

no. 2 (2012): 52, https://doi.org/10.1016/j.imic.2012.11.007.

12 Pungetti, 53.

13 Oliver Rackham, “Island Landscapes: Some Preliminary Questions,” Journal of Marine and Island

Cultures 1, no. 2 (2012): 88–89, https://doi.org/10.1016/j.imic.2012.11.001.

Page 9: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

6

struktur Hindu yang cocok dengan masyarakat Jawa membuat hierarki muncul sebagai

penanganan manajemen pangan. Di pulau-pulau yang tidak terlalu subur, masyarakat yang

beternak memerlukan tanah untuk mengelola ternak. Akhirnya hierarki muncul

berdasarkan teritori untuk mempertahankan atau merebut air dan sumber daya. Kelompok

juga biasanya lebih kecil dan bahasa lebih beragam karena keterpisahan pulau dan sumber

daya.

Kekuatan dari masyarakat kepulauan adalah kemandiriannya. Mereka memiliki

identitas yang cukup khas, sehingga ketika mereka keluar dari pulau mereka cenderung

lebih dekat dibandingkan ketika berada dalam pulau. Karakter yang penduduk pulau miliki

adalah keras, tegas dan terbuka serta cukup kompetitif terutama dalam perebutan sumber

daya alam. Karena bergantung kepada alam, masyarakat kepulauan sangat menghormati

tanah di mana mereka tinggal. Mereka akan berusaha menjaga keselarasan dengan alam

melalui berbagai ritus.

Menurut Watloly salah satu ciri masyarakat kepulauan juga adalah kesadaran rasio

sosial yang membuat mereka memiliki seni hidup seperti “seni vokal, seni tari, seni rupa,

ukir, tenun, batik, arsitektur, adar perkawinan, dan lain-lain.”14 Mereka juga akan memiliki

kekayaan dalam bahasa, rumah adat, dan warna pakaian.

Watloly juga mencatat ada tiga pilar masyarakat kepulauan, yaitu

…kumpulan bahan tradisi adat masing-masing masyarakat kepulauan (corpus); suasana atau

keadaan lingkungan masyarakat kepulauan (context); dan isi pikiran, muatan atau

kandungan nilai keutamaan yang menjadi inti (content) hidup yang diwarisi masing-masing

masyarakat kepulauan, baik dalam bentuk tradisi seni, puisi, mantra-mantra, cerita rakyat,

legenda, mitos, dan lain sebagainya.15

Kemajuan teknologi informasi kemungkinan membawa keterkejutan budaya bagi

masyarakat pulau. Ketika investor masuk ke pulau, kemungkinan besar tanah yang akan

dikembangkan ada di daerah pantai karena lebih menjanjikan. Akibatnya, kemajuan akan

dilihat sebagai perusak keseimbangan, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir.

Pada akibatnya mereka akan memiliki konflik dan masyarakat lokal akan dipaksa untuk

berubah mengikuti teknologi terbaru.

14 Aholiab Watloly, “Konsep Diri Masyarakat Kepulauan,” Filsafat 22, no. 2 (2012): 134.

15 Watloly, “Konsep Diri Masyarakat Kepulauan,” 136.

Page 10: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

7

Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat pesisir juga dihadapi oleh masyarakat

kepulauan. Masyarakat kepulauan juga dihadapkan pada permasalahan globalisasi dan

kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi yang membuka berbagai tantangan baru.

Teologi Publik dan Isu Publik

Teologi publik adalah tema yang lahir dari pemisahan gereja dan negara. Gereja dan

iman dianggap berada dalam lingkup privat, sementara tema mengenai kehidupan bersama

dalam polis diatur dalam ruang publik. Sebenarnya pemisahan tajam agama dan negara

tidak sepenuhnya terjadi di Indonesia maupun di kebanyakan negara di Asia. Agama selalu

memainkan peran publik di sebagian besar negara-negara di Asia, termasuk Indonesia.

Publik berasal dari kata publicus (Lat.), “dari negara; dilakukan demi atau atas biaya

negara; atas perintah (nama) negara; umum.”16 Dalam masyarakat Romawi, publicus berarti

milik rakyat dan sesuai dengan rakyat (umum).17 Tempat publik bertemu dan bertukar

pikiran disebut public sphere (Inggris), atau Öffentlichkeit (Jerman). Ruang publik bersifat

otonom dan egaliter di mana masyarakat sipil (bukan militer) bisa berbicara mengenai

masalah yang mereka anggap penting. Di masa ini, ruang publik juga bisa meliputi dunia

sosial media dan forum internet.

Konsep teologi publik pertama kali disebut oleh Martin Marty dengan pemahaman

teologi publik sebagai cara seseorang mengekspresikan iman di tengah komunitasnya.18

Ketika seseorang berbicara di ruang publik, dia melandaskan pendapatnya kepada

pemahaman teologisnya mengenai isu tersebut. Elaine Graham menyebutkan ketika teologi

muncul di ruang publik, dia tidak dianggap sebagai sumber kebenaran melainkan sebuah

pendapat lain yang ingin berkontribusi.19 Sedangkan bagi Graham, teologi publik adalah

pembahasan teologis dari sebuah tradisi iman tertentu yang bisa juga dinikmati oleh

komunitas iman lainnya.

16 Kamus Latin – Indonesia, s.v. “publicus”. Publicus adalah lawan kata privatus (privat).

17 F. Budi Hardiman, peny., Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace

(Yogyakarta: Kanisius, 2010), 3.

18 E. Harold Breitenberg Jr. “What is Public Theology?” Dalam Public Theology for A Global Society, peny.

Deirdre King Hainsworth dan Scott R. Paeth (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing

Company, 2010, 7.

19 Elaine Graham, Between A Rock and A Hard Place: Public Theology in A Post-Secular Age (London: SCM

Press, 2013), xvi.

Page 11: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

8

Jürgen Moltmann mendefinisikan teologi publik sebagai tindakan menyuarakan

suara kenabian yang berasal dari Kerajaan Allah di publik sehingga mau tidak mau teologi

akan selalu bersifat publik. Moltmann mengatakan, “As the theology of God’s kingdom,

theology has to be public theology: public, critical and prophetic complaint to God – public,

critical and prophetic hope in God.”20

Menurut Sebastian Kim, teologi publik kontribusi komunitas agama tertentu ke

dalam percakapan publik mengenai tema dalam masyarakat.21 Teologi publik bisa juga

dipahami sebagai interaksi komunitas agama dengan masyarakat dalam percakapan

mengenai hajat hidup orang banyak dengan menggunakan bahasa yang dialogis dan dapat

dipahami.22 Kontribusi komunitas agama didasarkan kepada kebenaran yang mereka

pahami berasal dari perintah Yang Ilahi. Namun demikian, ketika teologi muncul di ruang

publik, dia harus memiliki kerendahan hati untuk menerima kritik karena ruang publik

adalah ruang yang terbuka. Teologi bisa saja memberi panduan, kritik, saran, dan rambu-

rambu kepada masyarakat dalam bahasa yang publik juga pahami, namun dia juga harus

siap untuk ditolak jika dianggap tidak sesuai dengan konsensus publik. Menurut Kim, ada

enam ruang publik, yaitu: 1) negara; 2) media; 3) komunitas agama; 4) akademis; 5)

masyarakat sipil; dan, 6) pasar.23

Tujuan dari teologi publik adalah untuk mencapai “common good” terutama dalam

bidang keadilan dan kesejahteraan.24 Pelaku teologi publik juga bisa kita bedakan menjadi 3.

Pertama, teolog yang aktif bersuara di diskursus publik. Teolog yang aktif di ruang publik

bisa mengatasnamakan gereja dan diutus resmi oleh gereja, atau mereka yang memiliki

kapasitas untuk memengaruhi publik. Kedua, orang-orang Kristen yang dipersiapkan oleh

gereja untuk terjun di ruang publik. Warga gereja perlu dipersiapkan dengan pengajaran

mengenai dasar teologis dan posisi gereja mengenai isu tertentu dan meminta mereka untuk

aktif terlibat dalam percakapan publik. Ketiga, gereja sebagai institusi terlibat langsung

dalam isu yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam poin ketiga ini, beberapa

20 Jürgen Moltmann, God for A Secular Society: The Public Relevance of Theology, Terj. Margaret Kohl

(London: SCM Press, 1999), 5.

21 Sebastian Kim, Theology in the Public Sphere (London: SCM Press, 2011), 3-4.

22 Sebastian Kim, Companion to Public Theology (Leiden; Boston: Brill, 2017), 41-43.

23 Kim, Theology in the Public Sphere, 13.

24 Len Hansen, Christian in Public: Aims, Methodologies and Issues in Public Theology (Cape Town: Sun

Press, 2007), 56.

Page 12: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

9

gereja memiliki keberatannya sendiri karena menganggap keterlibatan dalam isu

kemasyarakatan bukanlah tugas mereka.

Melalui teologi publik, umat beragama akan membangun sebuah konstruksi

komunikatif dengan yang lain untuk menghasilkan kebaikan bersama. Pada akhirnya,

tujuan dari keterlibatan teologi di ruang publik adalah untuk memberitakan keadilan dan

kedamaian yang merupakan perwujudan dari kedatangan kerajaan Allah.25 Teologi publik

menjadi lebih luas dari teologi politik, karena berbagai disiplin ilmu lain juga bisa

dibicarakan olehnya seperti ekonomi, hukum, budaya, sosial, dalam konteks lokalnya.

Di Indonesia, Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-

PGI) 2019-2024 menyatakan bahwa gereja ada di tengah-tengah dunia ini sebagai arak-

arakan umat Allah, yang terus bergerak menuju ke kepenuhan hidup di dalam Kerajaan

Allah.26 Dalam relasinya dengan pemerintah PGI melihat,

Gereja dipanggil untuk membina hubungan dan kerja sama dengan pemerintah dan semua

pihak di dalam masyarakat untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi semua

orang, dalam rangka mewujudkan dan mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah menuju

kesempurnaannya di dalam Yesus Kristus.27

Gereja dipanggil untuk hadir dalam ruang publik dalam rangka mewujudkan tanda-tanda

Kerajaan Allah dalam hal penegakan keadilan, kesejahteraan seluruh rakyat dan keutuhan

ciptaan

Landasan keterlibatan gereja di ruang publik dalam Dokumen PGI adalah panggilan

sosial-ekologis gereja yang merupakan tanggung jawab moral-etis warga gereja yang juga

sebagai warga negara. Beberapa prinsip teologis DKG-PGI mengenai panggilan sosial-

ekologis gereja adalah:

1. Mandat penciptaan: tanggung jawab untuk mengelola, memelihara, dan

melestarikan ciptaan Allah (bnd. Kej. 1:26-28; Mzm. 8).

2. Mandat pemberitaan Injil kepada semua ciptaan (Mrk. 16), untuk menghadirkan

tanda-tanda Kerajaan Allah yakni keadilan perdamaian, damai sejahtera dan

keutuhan ciptaan dalam masyarakat di mana gereja hadir.

3. Melanjutkan teladan pelayanan Yesus Kristus yang dengan kekuatan Roh Kudus

“memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi

orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk

memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:19).

25 Miroslav Volf, A Public Faith: How Followers of Christ Should Serve the Common Good (Grand Rapids,

Michigan: Brazos Press, 2011).

26 PGI, Pemahaman Bersama Iman Kristen, Bab VI, poin 19.

27 PGI, Pemahaman Bersama Iman Kristen, Bab IV, poin 19)

Page 13: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

10

4. Panggilan pelayanan sosial-ekologis gereja-gereja juga merupakan tanggung

jawab moral-etis warga gereja sebagai warga negara memperjuangkan cita-cita

Negara Kesatuan Republik Indonesia mewujudkan masyarakat Indonesia yang

adil, makmur, dan sentosa. Dalam hal ini gereja-gereja berpartisipasi secara

positif, kritis, kreatif, dan realistis, dengan tetap berpengharapan dan

transformatif dalam pembangunan, dan menjalin kerja sama dengan pemerintah,

masyarakat dan semua umat beragama dan berkepercayaan.

5. Gereja-gereja mengakui kekuasaan negara berasal dari Allah untuk mewujudkan

keadilan, perdamaian dan kesejahteraan dalam masyarakat, sebab itu gereja taat

kepada pemerintah sesuai hukum yang berlaku dan menjadi mitra dalam

panggilan sosial-ekologis; namun jika pemerintah tidak menjalankan kekuasaan

sebagaimana mestinya maka gereja mengutamakan ketaatan kepada kehendak

Allah.28

PGI mendorong gereja-gereja untuk memperlihatkan wujud nyata panggilan

keterlibatan gereja di ruang publik dalam cara berikut ini:

1. Dialog dan aksi bersama gereja-gereja lokal;

2. Mengembangkan formasi oikoumenis yang berwawasan kebangsaan;

3. Mendata, mengkaji, dan mengembangkan potensi gereja-gereja;

4. Memperjuangkan keadilan dan kemandirian ekonomi;

5. Membangun kesadaran dan jejaring politik warga gereja;

6. Membentuk komisi hukum gereja;

7. Menghadapi revolusi teknologi, media sosial dan generasi milenial;

8. Program khusus: diskursus teologi untuk revisi pengakuan bersama iman

Kristen gereja-gereja di Indonesia.29

Dari penjelasan di atas, kita sekarang akan melihat, teologi publik apa yang sesuai

dengan konteks masyarakat kepulauan sebagai tanggung jawab gereja, terutama di

lingkungan Gereja Masehi Injili di Timor.

Membangun Sebuah Teologi Publik Masyarakat Kepulauan

Tugas utama dari teologi publik adalah untuk terlibat dalam percakapan yang

berhubungan dengan kesejahteraan dan keadilan bagi publik. Dalam konteks kepulauan,

teologi sepertinya akan selalu berbicara mengenai perdamaian dan kesatuan

antarkelompok, kesejahteraan dalam pemerataan akses ke pendidikan dan kesehatan,

semakin memburuknya pemanasan global yang menyebabkan banyak garis pantai akan

berpindah semakin ke dalam pulau, juga globalisasi akibat teknologi informasi dan

komunikasi. Bagi daerah kepulauan, laut dan tanah adalah kehidupan. Ketika salah satu

28 PGI, Dokumen Keesaan Gereja: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia 2019-2024 (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2020), 27.

29 PGI, Dokumen Keesaan Gereja, 39.

Page 14: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

11

dari unsur ini terganggu, seluruh pulau akan terganggu. Teologi publik bagi daerah

kepulauan harus selalu menjaga keseimbangan kemajuan dan tradisi.

Satu contoh dari teologi kepulauan adalah dari Pasifik. Mereka mencatat tiga

masalah utama. Pertama adalah integrasi dan konflik – relasi dengan pemerintah pusat.

Sampai saat ini mereka masih menghadapi berbagai kudeta yang menghasilkan operasi

militer seperti di Fiji. Tomlinson mencatat perebutan sumber daya alam bisa menghasilkan

konflik berkepanjangan bagi mereka.

Masalah kedua yang harus dihadapi adalah isu ekologi dan krisis lingkungan hidup.

Persoalan naiknya permukaan laut, menghilangnya ekosistem laut, dan perubahan iklim

adalah ancaman bagi mereka yang tinggal di kepulauan. Ketiga, respons terhadap

globalisasi. Setelah sekian lama berdiri sendiri, kemajuan teknologi informasi dan

komunikasi bisa membuat masyarakat lokal terkejut dan tidak siap menghadapi

perubahan.30

Salah satu contoh teologi yang muncul dari daerah kepulauan adalah dari daerah

Pasifik dengan teologi kelapa mereka. Kelapa bisa ditemui juga dengan mudah di berbagai

kepulauan di Indonesia. Havea, seperti dikutip oleh Tomlinson menjelaskan teorinya

sebagai berikut,

Once it bears fruit it continues to bear fruit every year. . . . When the coconut rolls down it

rolls down with its many lifegiving possibilities… Bread and wine are foreign and very

expensive to import. The wheat and the grapes are two separate elements. The coconut has

both the drink and the food from the same fruit, like the blood and flesh from the one and the

same body of Christ . . . If Jesus had grown up and lived in the Pacific, He could have added

another identification of himself—I am the Coconut of Life.31

Dengan kelapa, mereka membuka keramahan terhadap yang lain, dan dalam keramahan

ada kesempatan untuk berdialog. Kekuatan teologi kepulauan ada pada keramahannya

kepada yang asing.

Dalam Pengakuan Iman GMIT 2007, saya juga melihat pengakuan yang khas GMIT

yang menunjukkan teologi kepulauan yang berwajah ramah, bersahabat dengan alam, dan

saling menjaga. Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus digambarkan seperti bapa dan ibu,

30 Matt Tomlinson, God Is Samoan: Dialogues between Culture and Theology in the Pacific (Honolulu:

University of Hawai‘i Press, 2020), 7.

31 Sione ‘Amanaki Havea, “Christianity in the Pacific Context.” In South Pacific Theology: Papers from the

Consultation on Pacific Theology Papua New Guinea, January 1986, (Par- ramatta: World Vision International

South Pacific; Oxford: Regnum Books, 1986), 14-15.

Page 15: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

12

langit dan bumi, dan bisa juga kita katakan tanah dan laut, memelihara dan mengasuh

orang di kepulauan di provinsi NTT.32

Pengakuan Iman GMIT juga menunjukkan kewajibannya dalam berteologi di ruang

publik secara khusus di ujung paragraf 2, paragraf 3 dan 5.

Yang mempersatukan kami dengan Allah, dengan sesama,

Dan dengan alam kami.

Ia memberikan kabar baik kepada orang miskin

Memberikan pembebasan kepada orang tertindas

Menghukum para penindas

Memberikan penglihatan kepada orang buta

Bergaul dengan orang-orang hina

Mengampuni orang berdosa, memberkati anak-anak

Dan menjadikan perempuan dan laki-laki sebagai saksi-saksi-Nya

Dalam Dia pemerintahan Allah yang mendatangkan Damai Sejahtera menjadi nyata

Kesatuan dengan alam dalam Kristus menunjukkan pemahaman kesatuan bersama ciptaan.

GMIT melihat dirinya sebagai bagian dari ciptaan yang harus menghargai alam di mana dia

berada. Bagian ini sangat sesuai dengan filosofi kepulauan. Meski demikian Pengakuan

Iman belum terlalu jelas menunjukkan apakah yang memberikan kabar baik, pembebasan,

dst., adalah Kristus atau Allah melalui gereja atau orang percaya? Ada pengharapan

eskatologis akan kesempurnaan. Namun demikian, dalam konteks kepulauan, karena

semua orang bertanggung jawab atas yang lain sebagai sesama penghuni pulau yang dekat

dan saling mengenal, gereja bisa lebih menegaskan perannya dalam misi Allah.

Dalam paragraf 5, Pengakuan Iman GMIT 2007 kembali menegaskan tugasnya dan

memperlihatkan perannya dalam publik:

Ia memanggil dan melengkapi kami untuk bersekutu,

Bersaksi, beribadah, melayani dan menatalayani

Ia memberi hidup baru bagi kami

Menumbuhkan iman, kasih dan pengharapan akan kebangkitan

Di langit yang baru dan bumi yang baru

Kami mengaku bahwa alkitab adalah firman Allah

Oleh pekerjaan Roh Kudus

Kami mengaku bahwa gereja adalah rumah Allah

Yesus Kristus adalah tiang induk di dalam rumah itu

Kami mengaku bahwa dunia adalah ladang kerja Allah

Gereja diutus Allah untuk menghadirkan Syalom Allah dalam dunia

32 GMIT, Pengakuan Iman GMIT, paragraf 1 dan 2.

Page 16: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

13

Pengakuan yang tegas ini menunjukkan GMIT bisa ikut aktif dalam diskursus ruang publik

dengan menyampaikan teologi yang kuat sebagai dasar kehidupan bersama. Hal ini

mungkin akan jadi berbeda ketika dibawa keluar dari konteks Timor.

Kesimpulan

Teologi publik di konteks kepulauan harus bicara mengenai alam: tanah dan laut

yang memberi kehidupan kepada mereka yang tinggal di dalamnya. Sebagai orang yang

tinggal bersama dalam tanah yang sama, dikelilingi oleh lautan yang memberi kehidupan,

teologi publik harus fokus kepada tema keadilan dan kesejahteraan untuk harmoni pulau

tempat tinggal bersama. Pembicaraan mengenai kesadaran akan menjaga lingkungan hidup

perlu lebih dikuatkan. Kesempatan GMIT untuk terjun langsung dalam permasalahan

masyarakat sudah memiliki dasar yang kuat dan kontekstual.

Daftar Pustaka

Baron, Aura Tatiana Ome. “Constructing the Notion of the Maritime Cultural Heritage in

the Colombian Territory: Tools for the Protection and Conservation of Fresh and Salt

Aquatic Surroundings.” New York: The United Nations-Nippon Foundation

Fellowship Programme 2007 – 2008, 2008.

https://www.un.org/Depts/los/nippon/unnff_programme_home/fellows_pages/fello

ws_papers/ome-baron_0708_colombia.pdf diakses 21 November 2020.

Breitenberg Jr. , E. Harold. What is Public Theology? Dalam Public Theology for A Global

Society, peny. Deirdre King Hainsworth dan Scott R. Paeth, 3-17. Grand Rapids,

Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 2010.

Fatmasari, Dewi. “Analisis Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Pesisir Desa

Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon.” Al-Amwal 6, no. 1 (2016):

144–66.

GMIT. Pengakuan Iman GMIT. Kupang: GMIT, 2007.

Graham, Elaine. Between A Rock and A Hard Place: Public Theology in A Post-Secular Age.

London: SCM Press, 2013.

Hansen, Len. Christian in Public: Aims, Methodologies and Issues in Public Theology. Cape Town:

Sun Press, 2007.

Hardiman, F. Budi peny. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai

Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Havea, Sione ‘Amanaki. “Christianity in the Pacific Context.” In South Pacific Theology: Papers

from the Consultation on Pacific Theology Papua New Guinea, January 1986: 11-15. Par-

ramatta: World Vision International South Pacific; Oxford: Regnum Books, 1986.

Kambey, Melinda A., Djuwita R.R. Aling, and Christian R. Dien. “Eksistensi Budaya

Maritim Kelompok Nelayan Kelurahan Malalayang Dua, Kota Manado, Provinsi

Sulawesi Utara.” Jurnal Ilmiah Agrobisnis Perikanan 8, no. 1 (2020): 136–46.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/akulturasi/article/view/28979.

Page 17: MENJADI PEMATERI UNTUK WEBINAR TEOLOGI PUBLIK …

14

Kim, Sebastian. Theology in the Public Sphere. London: SCM Press, 2011.

_______. Companion to Public Theology. Leiden; Boston: Brill, 2017.

Moltmann, Jürgen. God for A Secular Society: The Public Relevance of Theology, Terj. Margaret

Kohl. London: SCM Press, 1999.

Mukhlis, Suhardi, and Rendra Setyadiharja. “Community Development Dengan

Internalisasi Nilai Budaya Maritim Di Provinsi Kepulauan Riau Untuk Memperkuat

Provinsi Berbasis Kemaritiman.” JIP (Jurnal Ilmu Pemerintahan) : Kajian Ilmu

Pemerintahan Dan Politik Daerah 2, no. 1 (2017): 37–51.

https://doi.org/10.24905/jip.2.1.2017.37-51.

Nainggolan, Poltak Partogi. “Kebijakan Poros Maritim Dunia Joko Widodo Dan Implikasi

Internasionalnya.” Politica 6, no. 2 (2015): 167–90.

Nugroho, Johannes. “Bagaimana Nasib Agenda Poros Maritim Dunia Jokowi?” Matamata

Politik Website, 28 Oktober 2019, https://www.matamatapolitik.com/bagaimana-

nasib-agenda-poros-maritim-dunia-jokowi-opini/ diakses 21 November 2020.

PGI. Dokumen Keesaan Gereja: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia 2019-2024. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2020.

Pungetti, Gloria. “Islands, Culture, Landscape and Seascape.” Journal of Marine and Island

Cultures 1, no. 2 (2012): 51–54. https://doi.org/10.1016/j.imic.2012.11.007.

Rackham, Oliver. “Island Landscapes: Some Preliminary Questions.” Journal of Marine and

Island Cultures 1, no. 2 (2012): 87–90. https://doi.org/10.1016/j.imic.2012.11.001.

Satria, Arif. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Bogor; Jakarta: Fakultas Ekologi Manusia

IPB bekerja sama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.

Sulistiyono, Singgih Tri, and Yety Rochwulaningsih. “Contest for Hegemony: The Dynamics

of Inland and Maritime Cultures Relations in the History of Java Island, Indonesia.”

Journal of Marine and Island Cultures 2, no. 2 (2013): 115–27.

https://doi.org/10.1016/j.imic.2013.10.002.

Tomlinson, Matt. God Is Samoan: Dialogues between Culture and Theology in the Pacific.

Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2020.

Volf, Miroslav. A Public Faith: How Followers of Christ Should Serve the Common Good. Grand

Rapids, Michigan: Brazos Press, 2011.

Watloly, Aholiab. “Konsep Diri Masyarakat Kepulauan.” Filsafat 22, no. 2 (2012): 120–48.