menghidupkan aksi

174
1 Menghidupkan Aksi Baca, Diskusi, Tuli(?) Alikta Hasnah Safitri

Upload: muslim-negarawan-uns

Post on 21-Jul-2016

275 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Menghidupkan Aksi, Baca Diskusi Tuli (?): Mengapa Kita Harus Bergerak?Dari Renungan hingga Diskusi, Dari Buku ke Buku.

TRANSCRIPT

Page 1: Menghidupkan Aksi

1

Menghidupkan Aksi

Baca, Diskusi, Tuli(?)

Alikta Hasnah Safitri

Page 2: Menghidupkan Aksi

2

Sekapur Sirih

Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang

saya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status

sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya

menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat

menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji

matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah

yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati.

Di bagian pertama, saya mencoba mengulik alasan

mengapa kita harus bergerak, sebagai mahasiswa sekaligus

sebagai manusia. Di bagian kedua, saya menyajikan beberapa

kumpulan renungan pemikiran dan interpretasi atas sebuah

persoalan di sekitar maupun diskusi/seminar. Pada bagian

terakhir, saya sajikan beberapa tulisan hasil pembacaan sederhana

yang saya lakukan terhadap beberapa buku pilihan.

Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun

tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat

besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembaca

sekalian.

Page 3: Menghidupkan Aksi

3

Saya ucapkan terima kasih yang teramat atas kesempatan

untuk persahabatan yang bermakna bagi kakak-kakak di berbagai

organisasi eksternal kampus. Mas Zulfikar Ali dan Mba Sakina di

KAMMI, Kanda Tori Nuariza dan Adhytiawan di HMI, serta

Mba Ida di Muslimah HTI Solo Raya. Tak lupa, terima kasih

terhebat juga saya ucapkan pada kawan-kawan Badan Pengurus

Harian KAMMI Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi UNS: Mas

Erick, Mas Apin, Mas Hendra, Mas Hafidh, Nugroho, Dek

Zulfikar, Mba Isna, Mba Rona, Mba Alifta, Mba Mila, Mba

Shofi, Maryam, Pepy, dan Titik.

Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu

yang penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini

belumlah usai, dan mungkin tak akan pernah selesai. Dengan

berbagi, saya berharap hati saya menjadi lapang untuk membuka

ruang penerimaan. Sekaligus, membuka ruang kritik dan koreksi

untuk memperbaiki kualitas diri.

Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt

menunjukkan kita ke jalan-Nya yang lurus.

Page 4: Menghidupkan Aksi

4

Daftar Isi

Sekapur Sirih 2

Mengapa Kita Bergerak? 6

Metamorphosa Pemuda 7

Mahasiswa Hebat? Yakin? 11

Generasi Instan 15

Refleksi Sumpah Pemuda dan Mainstream Indonesiasentris 22

Refleksi Mendalam tentang Sejarah Kita 31

Jelang Orientasi Mahasiswa Baru 37

Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah

Refleksi 40

Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita Teladan

Kepemimpinan Haji Agus Salim 60

Menjelang Akhir Kepengurusan 64

Dari Renungan hingga Diskusi 68

Bijak Tanggap Isu 69

Baratayuda di Negeri Kita 74

Page 5: Menghidupkan Aksi

5

Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah Ikhtiar

Menghaluskan Rasa 81

Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata 87

Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase Masyarakat Konsumer

93

Bedah Buku Waktunya Tan Malaka Memimpin 98

Derita Remaja dan Kapitalisme, Islam sebagai Solusi 105

Print Culture Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia 112

Demokrasi dalam Syariat Islam 120

Menjadi Ibu Peradaban 128

Dari Buku ke Buku 133

Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa 134

Irrasional dalam Nalar 138

Menguatkan Keyakinan 141

Mukmin dan Ateis 144

Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah Keteguhan Hati 146

Islam dan Kesadaran Kebangkitan Nasional 150

Korupsi, Korupsi! 161

Bukan Pasar Malam 165

Bibliomania 168

Page 6: Menghidupkan Aksi

6

Mengapa Kita Bergerak?

Page 7: Menghidupkan Aksi

7

Metamorphosa Pemuda

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian

menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran

dan kalian beriman kepada Allah” (QS. Ali imran Ayat 110)

Mengapa Mahasiswa?

Seorang pemikir Islam, Hasan Al-Banna pernah

mengatakan sejak dulu sampai sekarang pemuda adalah pilar

kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia

kekuataannya. Dalam setiap fikroh, pemuda adalah pengibar

panji-panjinya.

Berbicara tentang pemuda (mahasiswa_red) berarti kita

membicarakan tentang masa depan dan perbaikan bangsa. Sebab,

mahasiswa-lah yang nantinya akan menjadi salah satu tonggak

perubahan masa depan. Membangun Peradaban. Ya, itulah yang

akan kita lakukan di kampus ini.

Page 8: Menghidupkan Aksi

8

Mahasiswa memiliki sekian banyak potensi besar untuk

senantiasa bergerak. Mereka memiliki peluang untuk bergerak

menjangkau setiap elemen masyarakat baik secara vertikal

maupun horizontal, hingga kesempatan besar untuk menjamah

berbagai sektor, baik publik maupun privat. Meskipun tentu saja

kita tak bisa menafikan potensi yang ada dalam internal diri

mahasiswa itu sendiri yakni memiliki kekhasan dalam idealisme

dan daya saing, sehingga selain terbuka terhadap segala

informasi, mereka juga tetap menggunakan logika dalam

mengambil setiap keputusan.

Peran Strategis Mahasiswa dalam Membangun Kampus

Madani

“..Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani, karena kamu

selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap

mempelajarinya..” (QS Ali Imran :79)

Kita adalah da’i sebelum menjadi apapun. Sebagai

seorang da’i kita tidak boleh berdiam diri dengan kebathilan yang

kini kerap menyebar luas di Indonesia.

Seorang da’i hendaknya menjadi sumber inspirasi

perubahan, yang mampu memimpin dan melayani

Page 9: Menghidupkan Aksi

9

lingkungannya, sehingga kehadiran citra positif terhadap nilai-

nilai Islam dapat terwujud.

Kita hadir bukan hanya untuk mengutuk fenomena-

fenomena yang kini terjadi, bahkan sekedar berdiam diri saja, kita

perlu bergerak dan menjadi bagian dari solusi. Sehingga, perlu

kiranya kita berhimpun dalam lingkungan kebaikan untuk

membentuk fokus kerja nyata dan dakwah langsung pada civitas

akademik kampus, maupun masyarakat pada umumnya.

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan” (QS. Al Mujadilah :11)

Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi oleh

bangsa ini, mahasiswa sebagai kaum intelektul mendapat tugas

memberikan solusi terhadap problematika masyarakat dengan

mengkritisi dan menghasilkan solusi efektif. Mahasiswa

diharapkan lebih memainkan peranan sebagai problem solver

sehingga terciptalah gagasan dan produk baru yang bermanfaat

sebagai pertanggungjawaban kapasitas intelektual mahasiswa

dalam ranah akademik.

Pertanyaannya, bisakah kita menjadikan kampus

sebagai embrio dari sebuah peradaban madani dengan ilmu

pengetahuan sebagai landasan? Ada proyek pembaruan yang

Page 10: Menghidupkan Aksi

10

mesti kita rampungkan. Proyek ini selamanya hanya akan menjadi

konsep yang terformat di dalam pikiran dan tertulis di memoar

kita, dan pada akhirnya usang dan lapuk oleh usia ketika tidak

segera direalisasikan.

Kita membutuhkan energi perjuangan untuk

melahirkan kekuatan perubahan. Kita membutuhkan pemuda

yang tangguh dan idealis untuk merealisasikannya. Maka, ambilah

peran sebagai creator of change itu, pencipta perubahan yang

mampu mentransformasikan kehidupan kampus agar tersibghah

dengan nilai-nilai rabbani.

Mulailah untuk melihat pada diri, komunitas mana

yang dapat menjadi ‘ladang amal’ bagimu. Apakah itu di kelas,

ataupun kelompok minat tertentu. Bergaul-lah dengan mereka,

jadikan mereka sahabat, buat sahabatmu percaya padamu, lalu

jadikan kepercayaannya instrumen untuk mengajaknya terus

melangkah dalam menjalani kebaikan.

Page 11: Menghidupkan Aksi

11

Mahasiswa Hebat? Yakin?

Setelah melalui proses seleksi yang ketat dalam

SNMPTN, akhirnya saat ini kalian akan segera menyandang

predikat sebagai mahasiswa. Mahasiswa dalam tahap awalnya

memasuki dunia kampus memiliki orientasi awal yang berbeda-

beda. Ada yang menganggap kuliah sebagai keharusan

penuntasan jenjang pendidikan, ada yang hanya mengejar ijazah

sebagai orientasi karir di masa depan, ajang mencari jodoh, ada

pula yang mengorientasikan kuliahnya demi penuntasan hasrat

intelektual. Termasuk yang manakah diri kalian?

Pertanyaan selanjutnya, sudah yakinkah kalian dengan

jurusan/ program studi yang kalian pilih? Sebab, kalau kalian tak

merasa cocok di awal, bagaimana bisa menjalani masa kuliah

dengan penuh tanggung jawab? Ingat, masa kuliah tak akan

seindah seperti yang disajikan di layar kaca. Kalian akan

disibukkan dengan tugas kuliah, kompleksitas pergaulan dengan

rekan kuliah, rekan organisasi, dosen, hingga masyarakat sekitar

kampus.

Page 12: Menghidupkan Aksi

12

Tidak percaya? Merasa hanya kuliah hanya tentang diri

kalian sendiri, atau paling banter ya tentang kalian dan orang tua?

Proses belajar yang akan segera kalian jalani bukan hanya

menyangkut tentang diri kalian, tetapi juga ratusan juta rakyat

Indonesia. Saat seleksi masuk perguruan tinggi, ada berapa ratus

ribu siswa yang mendaftar? Berapa banyak yang diterima?

Kasarnya, jika ada 800 orang yang mendaftar di program

studimu, lantas yang diterima hanya 80, kalian pikir berapa

banyak kawan kalian yang saat ini sedang berjuang menentukan

arah? Dengan perbandingan keketatan tiap orangnya adalah 1:10,

kalian memiliki tanggung jawab besar atas 9 orang yang gagal

mendapatkan kursi di perguruan tinggi.

Jika itu belum cukup, baiknya kalian cari tahu dari

mana asalnya subsidi untuk uang kuliah kalian. 20% APBN yang

dialokasikan oleh pemerintah untuk pendidikan, termasuk

perguruan tinggi dan beasiswa pemerintah diambil dari uang

rakyat, tidak peduli seberapa miskinnya ia. Ingat, 70% APBN

negara kita berasal dari pajak. Siapa yang membayar pajak?

Mereka adalah abang tukang becak, ibu penjual asongan, sopir

bus, kenet angkutan umum, dan sesiapapun yang terkena wajib

pajak. Ingatlah bahwa anonim manusia yang tak kalian kenal pun

turut andil dalam penentuan masa depan kalian (tentu dengan

asumsi bahwa dana pendidikan diambil dari pemasukan pajak

Page 13: Menghidupkan Aksi

13

dan non pajak). Maka, kalian tak hanya bertanggung jawab

terhadap satu dua orang, tapi juga ratusan juta rakyat Indonesia.

Di awal perkuliahan, hampir pasti kalian akan

diingatkan dengan status keren kalian sekarang: (MAHA)SISWA.

Organisasi mahasiswa akan mencekoki kalian dengan ragam

label, dari mulai agen perubahan, moral force, iron stock, dan lain-

lain. Dosen akan mencekoki kalian dengan ragam tuntutan, bisa

dengan optimisme ataupun skeptisisme. Kalian sendiri akan

mulai membebani diri kalian dengan ragam pragmatisme dan

oportunisme yang disajikan di bangku kuliah maupun angan-

angan tentang lahan pekerjaan yang hendak kalian garap pasca

lulus.

Lantas, bagaimana wujud pertanggungjawaban kita

pada ratusan juta anonim manusia yang telah meringankan beban

kita? Masih enggan untuk serius dalam menekuni kompetensi

keahlian yang kita pilih saat ini? Masih apatis untuk sekedar

berbaur bersama rakyat dan berusaha memberdayakan mereka?

Katanya menjadi mahasiswa artinya juga menjadi kaum

intelektual. Ingat, terminologi intelektual bukanlah logika yang

sifatnya pasti dan hanya memiliki tafsir tunggal. Namun secara

umum, kata intelektual ditafsirkan sebagai kondisi dimana

seseorang berkutat secara tekun dan serius pada ilmu

profesionalnya, untuk selanjutnya mentranformasikan

Page 14: Menghidupkan Aksi

14

pengetahuannya sebagai bentuk peran sosialnya dalam

menyelesaikan problematika umat. Kaum intelektual adalah

sosok yang mencerahkan, demikian kata Gramsci. Konsekuensi

logisnya, kaum intelektual wajib memberi fungsi pencerahan bagi

orang-orang disekitarnya dengan kapasitas keilmuan yang mereka

miliki.

Mahasiswa yang terlanjur tercitrakan sebagai kaum

intelektual mestinya mampu bergerak di ranah ini,

mempertemukan teori dan praksis guna memecahkan berbagai

problem sosial yang mengakar di masyarakatnya. Bukan hanya

memperkuat ilmu pengetahuan sesuai dengan basis akademis

untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga berani untuk peka dan melek

pada realitas sosial, serta memberikan kebermanfaatan untuk

sesama. Jadi, mau memberikan kebermanfaatan apa kalian selama

menjalani studi di kampus?

Page 15: Menghidupkan Aksi

15

Generasi Instan

Yang instan semakin banyak dan beragam. Berawal

dari mie, ikan yang dikalengkan, sampai akhirnya nyerempet juga

ke bumbu makanan. Di zaman sekarang, orang tidak usah repot-

repot nyiapin ubo rampe buat masak opor, rendang, sayur, nasi

goreng, cukup dengan beli si bumbu kemasan sachet, buka,

gunting, lalu campurkan ke bahan makanan pokok, panaskan

dengan api yang tinggal klik dari kompor, selesai saudara. Betapa

mudahnya.

Mungkin karena memang gampang dan menghemat

waktu dan biaya, bangsa kita jadi terbiasakan dengan pola-pola

instan seperti ini. Masyarakat kita jadi pelit menggunakan sedikit

nalar mereka untuk berfikir, jadi kikir pula soal penggunaan

energi mereka untuk bekerja lebih banyak.

Saya jadi miris dan menyesalkan hal ini. Lebih lanjut

lagi, pola hidup serba instan ini menyebabkan dampak yang lebih

parah, bukan hanya sebatas pada kebiasaan dan perilaku

penggunaan, tapi lebih kepada perubahan kepribadian bangsa.

Yang sayangnya, saya temukan di kalangan mahasiswa.

Page 16: Menghidupkan Aksi

16

Beberapa waktu lalu, nomor handphone saya

dicantumkan menjadi salah satu contact person dalam sebuah

buletin. Sederhana kerjanya: menjawab pertanyaan. Tapi ternyata

tak sesederhana dan semudah itu.

Beberapa bertanya, “Mba, besok osmaru (orientasi

mahasiswa baru) pakai apa?” Saya bilang, “Lihat di website

resminya.”

Si adik ini bertanya lagi, “Lha mbak-nya udah tau kan?

Apa to mba? Kasih tau, saya males buka web-nya..” (Tidak hanya

satu dua orang yang memberikan tipe pertanyaan macam ini)

Beberapa lagi bertanya, “Mba tidak boleh pake jeans

ya?”, saya jawab, “Sudah baca yang di web?” Dia jawab: sudah.

Hallo? Lalu, untuk apa lagi bertanya? Usut punya usut,

ternyata adik yang satu ini menanyakan hal serupa ke beberapa

orang, di facebook, lewat sms. Dengan tujuan guna mendapatkan

jawaban Ya boleh. Hanya ingin menguatkan argumentasi dan

pembenaran yang ia harapkan.

Saya jadi ngeri dan takut membayangkan generasi

macam apa yang akan lahir dari rahim 2012 ini manakala

pertanyaan yang diajukan berkisar seperti yang saya sebutkan di

Page 17: Menghidupkan Aksi

17

atas. Saya takut bangsa kita akan jadi bangsa yang mandul dalam

melahirkan karya-karya monumental yang bercita rasa tinggi.

Bukan karya (maaf) ecek-ecek yang hanya

menginginkan pengakuan dari museum rekor, tapi kemudian

hilang pengaruhnya bagi bangsa ini selain melahirkan budaya

konsumtif yang kian merajai panggung demokrasi.

Ah, mau mengeluhkan nasib bangsa ini dan

menyalahkan lahirnya generasi instan pada siapa rasanya juga tak

akan berefek apapun. Nyatanya, lahirnya generasi instan ini telah

dimotori juga oleh orang-orang yang mengaku sebagai aktivis.

Sebutlah aksi. Seringkali terjadi, saat mimbar-mimbar

ilmiah hilang suaranya, kajian kontemporer sunyi pengikutnya.

Mendadak undangan aksi menghampiri. Ramai. Lalu gempar.

Kita jadi kehilangan nilai sakral sebuah aksi hanya

karena ketidakpahaman kita soal isu yang hendak kita angkat ke

jalan. Lalu aksi hanya jadi sekadar luapan emosi tanpa rumusan

‘tuntutan’ dan ‘solusi’ yang jelas. Peserta aksi? Kadang mereka

pun tak mengerti, yang penting hafal lirik mars mahasiswa, darah

juang, selesai semua urusan.

Bah!

Page 18: Menghidupkan Aksi

18

Generasi instan ternyata bisa lahir juga dari insan-insan

cendekia yang kritis dan ‘katanya’ diharapkan. Sekali lagi saya

bertanya: Buat apa?

“Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah

ekspresi reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini

mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau

termakan oleh agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah

alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak

sebagai watch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan,

maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang

kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini.

Kompetensi dasar di atas itu merupakan wujud dari pengokohan

gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada

pemecahan masalah umat dan bangsa.” (Manhaj Kaderisasi

KAMMI 1427 H)

Saya pernah bergiat di Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas. Setidaknya saya berharap begitu. bukan orang yang

hanya buat gagah-gagahan saja memakai jaket bertuliskan Badan

Eksekutif Mahasiswa. Yang muncul seperti spora di awal, lalu

kemudian berguguran di akhir, dan dengan rasa percaya diri yang

luar biasa masih berani mengatakan saya pengurus bem, Hidup

Mahasiswa. Saya tidak akan mengatakan padamu untuk keluar

saja dari BEM mengingat saya sering bilang :

Page 19: Menghidupkan Aksi

19

Aktivis yang pragmatis juga banyak, ngapain sibuk mencerca

mahasiswa apatis!

Sering saya bertindak di luar batas, mencerca lembaga

sendiri, meski hanya ditanggapi dengan senyuman. Saya sadar

bahwa sejatinya tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan

menyalahkan kegelapan, karena itu saya pantang bungkam.

Menjaga lidah itu pasti. Tapi siapa yang mau

mendengar kecaman dan tuntutan dari mahasiswa ‘biasa’, kalau

diawal para aktivis sendiri menaruh jarak luar biasa lebar dengan

mengatakan bahwa mahasiswa yang tak berorganisasi adalah

mahasiswa yang pragmatis dan apatis tanpa berkaca bahwa

kebanyakan dari kita pun adalah generasi-generasi instan yang

bukan hanya pragmatis dan apatis, tapi juga culas dan bermental

kancil.

Semestinya kritik dan koreksi itu lahir dari pribadi-

pribadi yang banyak belajar, banyak tahu, banyak mendengar,

yang katanya mau mengabdi untuk rakyat.

Agaknya barang instan ini jadi momok yang kian

mengkhawatirkan. Ketika semua orang berharap mendapat

sesuatu dengan kilat, ekstra cepat hingga melupakan substansi

yang pada dasarnya jauh lebih bermakna. Yang saya khawatirkan

Page 20: Menghidupkan Aksi

20

adalah ketika pada akhirnya, orang-orang jadi begitu terlena pada

masa-masa kejayaan mahasiswa dulu hingga lupa bahwa

tantangan hari ini berbeda-tak lagi seromantis zaman-zaman lalu

yang sudah lapuk oleh usia

Saya sadar, saya bukanlah orang dengan segudang

keahlian meskipun saya yakin bahwa Allah menciptakan saya

dalam keadaan yang sebaik-baiknya sehingga saya tidak boleh

sekalipun menyalahkan siapapun atas apa yang tak saya miliki.

Saya iri pada mereka yang memiliki suara lantang dan

berwibawa, postur badan yang tegap, serta karisma yang

terpancar bahkan sebelum mereka bicara. Tapi, itu bukan

tindakan ksatria. Seorang ksatria pantang mengeluhkan keadaan,

pantang baginya mencerca diri. Karena sejatinya, seorang yang

bisa menghargai dan menghormati segala apa yang ada pada

dirinya adalah orang yang bisa menghargai orang lain.

Maka meski saya skeptis, saya bersyukur. Masih ada

orang-orang seperti kalian. Meski dengan segala kritik dan caci,

jangan pernah mundur. Jadikan pelecut diri untuk jadi pribadi

yang lebih baik.

Wahai aktivis!!

Page 21: Menghidupkan Aksi

21

Jangan mau jadi generasi instan yang bergerak hanya

atas dasar ikut-ikutan, raihlah kefahaman dan capailah ketinggian.

Demi Tuhan yang menciptakan akal.

Atas nama ilmu pengetahuan.

Page 22: Menghidupkan Aksi

22

Refleksi Sumpah Pemuda dan

Mainstream Indonesiasentris

Refleksi Sumpah Pemuda dan Karakter Pemuda Indonesia

Lahirnya sumpah pemuda 84 silam bukan saja

merupakan batu pijakan dari rangkaian proses sejarah yang

bertonggak pada kejemuan akan realitas penjajahan yang sarat

dengan penderitaan dan kesengsaraan, akan tetapi merupakan

hasil pergolakan sekaligus pembuktikan kualitas dan karakter

pemuda Indonesia kala itu.

Sumpah Pemuda membuktikan kuatnya karakter

pemuda kita sebagai pemuda yang Visioner dan Pemberani. Para

pemuda kita telah melompati mainstream pemikiran kedaerahan,

kesukuan, bahkan melampaui batas-batas rasial yang

membelenggu, membiarkannya merambah dalam wilayah-

wilayah universal, penolakan kolonialisme, dan keinginan

mewujudkan kesetaraan manusia. Keberanian meneriakkan

dengan lantang dan mengambil sikap melawan entitas penjajah

bukan merupakan hal yang main-main, mereka dengan berani

Page 23: Menghidupkan Aksi

23

telah menyatakan persatuan bangsa Indonesia dan sebuah cita-

cita mulia untuk mendirikan sebuah bangsa yang merdeka dan

berdaulat.

Mari kita cukupkan romantisme sajarah tentang

heroisme pemuda dalam periode yang lalu. Pertanyaannya,

bagaimana dengan kondisi pemuda kita hari ini? Kebudayan

bangsa Indonesia yang bernilai luhur dan agung begitu saja

terkikis akibat hegemoni budaya asing. Konflik horizontal yang

marak terjadi pun semakin memperlihatkan dengan gamblang

disentegrasi bangsa.

Jika menilik lagi sejarah, barangkali memang pemuda

(dalam hal ini mahasiswa) mulai mabuk akan demonstasi pada

1998. Letih dengan demonstrasi, mahasiswa mabuk label

keilmiahan kemudian mengingkari semangat angkatan ’98 untuk

berteriak dan turun ke jalan memperjuangkan rakyat. Kini,

bukannya menempa pikir dalam kajian dan diskusi untuk mencari

solusi, mahasiswa malah asyik masyuk menjadi event organizer.

Beberapa mengklaim bahwa mereka memberi solusi pada

permasalahan bangsa, nyatanya solusi tersebut terongrong dalam

ego dan sikap elitis, selesai dalam ruang-ruang seminar dan kajian

akbar.

Page 24: Menghidupkan Aksi

24

Menjamurnya berbagai lembaga dan organisasi

mahasiswa, mulai dari BEM, DEMA, Pers Mahasiswa, hingga

Unit Kegiatan Mahasiswa telah membentuk spektrum yang

mencerminkan karakter mahasiswa dalam skala yang relatif lebih

luas, sayangnya hal ini pun berdampak pada lemahnya

konsolidasi visi dan orientasi sehingga terjadi dikotomi dan

pelepasan tanggung jawab mengemban amanah reformasi yang

telah dititipkan oleh generasi sebelum kita.

Melakukan refleksi terhadap Sumpah Pemuda 84 tahun

silam semestinya bisa menumbuhkan spirit dan semangat

membangun karakter baru untuk berpikir visioner melampaui

mainstream pemikiran umum sehingga dengan berani kita bisa

memberikan sumbangsih ide, gagasan, dan tindakan untuk

perbaikan bangsa ini ke depan.

Pada hakikatnya, mahasiswa haruslah memiliki karakter

yang ideal, kuat dan cerdas. Akan tetapi bagaimanakah cara

menumbuhkan karakter ideal tersebut? Apakah ia akan tertanam

melalui seminar satu dua hari saja? Atau melalui kontribusi

konkrit dengan pengadaan event-event kepemudaan serta beribu

lembar karya ilmiah? Ataukah, karakter itu akan muncul saat kita

memilih untuk menempuh alternatif gerakan pecinta lingkungan

dan pengabdian pada masyarakat?

Page 25: Menghidupkan Aksi

25

Agaknya, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi

suatu hal yang sukar untuk dijawab lewat tiga sampai lima lembar

kertas saja, melainkan harus melalui penelaahan yang panjang

dan kontinyu sehingga dapat ditemukan pola kontruksi karakter

mahasiswa yang ideal untuk menjawab tantangan zaman.

Mainstream Indonesiasentris

Indonesiasentris mengacu pada nilai-nilai dan

pandangaan yang mengacu pada sudut pandang Indonesia.

Sentrisme Indonesia ini adalah suatu bentuk reaksi terhadap

sikap elitis dan cara pandang parsial, salah satunya di bidang

pendidikan. Paulo Freire menyatakan bahwa pendidikan kita saat

ini jelas menerapkan gaya bank. Pendidikan kini bukan lagi

diletakkan sebagai proses memerdekakan manusia dari

penjajahan kebodohan, kebutaan akan hidup dan kehidupan.

Ruang-ruang pendidikan seperti sekolah dan universitas kini

menjadi pabrik yang mencetak generasi terbaik bangsa sebagai

pekerja, buruh di negeri sendiri.

Terbatasnya sikap keindonesiaan menyebabkan

keterpurukan pemuda dalam menjelaskan interpretasi dan

eksplanasi, sehingga mereka cenderung membuat generalisasi

berdasar narasi besar yang abstrak semata. Jarang pemuda kita

membuat konsep yang berbeda dari narasi umum yang ada.

Page 26: Menghidupkan Aksi

26

Seolah apabila sedang bicara tentang nasionalisme maka kita

bicara soal bertempur dan melawan musuh. Padahal ada bentuk-

bentuk lain dari perjuangan dalam rangka nasionalisme. Pada

akhirnya, perlu kita sadari bersama bahwa masing-masing pihak

mempunyai cara sendiri tentang bagaimana berjuang.

Solusi yang bisa diupayakan untuk merekonstruksi

karakter mahasiswa yang ideal adalah dengan menanamkan

mainstream Indonesiasentris pada pola pikir yang berbasis pada

kesadaran.

Seringkali kita masih terhegemoni dengan romantisme

sejarah bahwasanya mahasiswa adalah tonggak sejarah perubahan

bangsa yang telah menumbangkan kekuasaan tiran dan

memperjuangkan nasib rakyat. Dan tentu saja, kini kita melihat

dengan nyata bahwa sejatinya, kita pun telah dikhianati oleh

segelintir oknum yang kala itu memperjuangkan nasib kita.

Kesadaran mengenai realita sejarah bermakna bahwa mahasiswa

kini harus mampu mengenali dirinya secara utuh sehingga

mampu menentukan langkah dan arah geraknya sendiri, tak mesti

menunggu untuk ditunggangi kepentingan-kepentingan yang

akan memposisikan dirinya sebagai bidak-bidak catur yang tak

punya daya dan upaya untuk bergerak sesuai nuraninya.

Page 27: Menghidupkan Aksi

27

Dalam masyarakat industrial seperti sekarang ini, yang

mengatur bukan lagi orang tetapi sistem sehingga perseorangan

harus menyesuaikan diri terhadap sistem yang berlaku. Hal ini

menunjukkan pada kita bahwa rasionalitas modern telah

menempatkan individu sebagai pihak yang otonom dan bebas,

sehingga mereka dapat mengambil tindakan atau keputusan

terlepas dari kewibawaan institusi. Representasinya tercermin dari

sifat konsumerisme dan gaya hidup hedonisme yang kini

memiliki arti penting dalam praktek bermasyarakat.

Karakter mahasiswa ideal harus peka dalam

menghadapi tantangan ini dan mampu menempatkan diri sebagai

director of change. Bukan bermaksud untuk latah dengan

kembali mengulang stigma (semoga saja belum usang) bahwa

mahasiswa adalah ‘Agen Perubahan’, pemegang tahta tertinggi

dalam kancah pendidikan. Namun, seiring berkembangnya

jaman, lapuk pula-lah slogan itu. Sebuah paradigma baru (yang

entah siapa pembuatnya) mengantar orientasi berpikir mahasiswa

untuk menjadi si kaya yang bodoh dan sombong. Sombong

karena berani berkoar didepan umum dengan janji akan

menaklukan dunia di tangannya, tapi akhirnya binasa sebelum

melangkah ke medan laga.

Page 28: Menghidupkan Aksi

28

Konstelasi ini harus dijawab oleh setiap individu

dengan menumbuhkan karakter yang utuh, tanpa terdistorsi

kepentingan-kepentingan personal maupun golongan tertentu.

Semestinyalah ada penerusan dari kesadaran individual

menuju kesadaran kolektif. Gambaran tentang masa depan tidak

saja berkaitan dengan kesadaran individu, melainkan juga secara

sosial/ kolektif dengan jalan mengintegrasikan diri dalam sebuah

komunitas masyarakat yang yang mempunyai agenda kebajikan di

tengah masyarakat luas. Sehingga individu-individu yang

terhimpun dapat saling mengeksplorasi pikiran tentang

Indonesia di masa yang akan datang.

Pada Akhirnya, Mari berbenah

Upaya untuk membangun karakter pemuda Indonesia

bukanlah semata-mata kerja seorang teoritisi. Proyek ini

merupakan tanggung jawab setiap elemen sosial yang melibatkan

kerja proaktif baik dari kalangan aktivis maupun akademisi.

Upaya selanjutnya adalah bagaimana menginstutisionalkan kerja-

kerja teknis dalam upaya penanaman mainstream

Indonesiasentris dalam diri pemuda Indonesia.

Pada tingkatan nasional misalnya, para aktivis dan

kaum intelektual yang bergerak di gerakan akar rumput harus

Page 29: Menghidupkan Aksi

29

melampaui mainstream karakter perjuangan mahasiswa pada

umumnya yang sebatas melakukan aksi turun ke jalan tanpa

merumuskan solusi yang konkrit, menulis sejumlah proyek ilmiah

namun tak memberikan kontribusi yang berarti pada masyarakat,

serta terus menerus memberikan sumbangan materi pada

masyarakat miskin tanpa disertai dengan upaya pengabdian

sosial.

Perjuangan untuk menumbuhkan karakter

Indonesiasentris pada diri pemuda merupakan hal yang sangat

penting, karena dengan perhatian pada konfigurasi tatanan

pewaris masa depan Indonesia akan menjadi jalan untuk

menumbuhkan ulang semangat visioner dan pemberani yang

dimiliki oleh pemuda Indonesia dalam momentum 84 tahun

silam saat mereka mengikrarkan sumpah pemuda.

Beberapa di antara kita mungkin memaknai sumpah

pemuda dengan menjadikannya sebagai ritual yang kosong

dengan hanya sekedar berucap SELAMAT HARI SUMPAH

PEMUDA di jejaring sosial, mungkin pula hanya sekedar

menjadikannya pelengkap tema-tema diskusi, atau bisa jadi kita

mengambil momentum ini hanya sebagai tema aksi. Tanpa

pernah kita benar-benar merefleksikan releansi semangat sumpah

pemuda untuk menjawab tantangan masa depan bangsa

Indonesia.

Page 30: Menghidupkan Aksi

30

Inilah saat kita berbenah, Pemuda Indonesia.

Page 31: Menghidupkan Aksi

31

Refleksi Mendalam tentang Sejarah

Kita

Sejak awal penciptaanya, manusia dikenal sebagai

pribadi-pribadi yang senang menyederhanakan. Konsep lambang

bunyi yang arbitrer kemudian difungsikan dalam ragam bahasa

bunyi, penjabaran konsep eksak terwakili oleh simbol-simbol dan

lambang-lambang matematis, berbagai referensi buku pelajaran

senantiasa tersusun dalam sistematika yang runtut agar mudah

difahami. Lalu, bagaimana dengan sejarah? Fragmentasi

kesejarahan yang seringkali dipakai manusia seringkali tersistem

berdasarkan periodisasi waktu. Mengapa waktu? Sebab waktu

adalah ‘sesuatu’ yang begitu dekat dengan kita, bisa jadi malah

mencirikan eksistensi pokok keberadaan kita di alam semesta.

Sejarah telah membuktikan, disetiap kebangkitan suatu

bangsa terdapat pemuda sebagai rahasia kekuatannya. Revolusi

Perancis yang menumbangkan monarki dan gereja di abad

pertengahan digerakkan oleh kaum intelektual muda. Di dunia

Islam Asia-Afrika, para mahasiswa dan pemuda bangkit

Page 32: Menghidupkan Aksi

32

mempelopori perlawanan terhadap penjajah di sepanjang paruh

pertama abad ke-20 sampai tahun 70-an.

Bagaimana dengan sejarah kebangkitan pemuda di

Indonesia?

Ketika belum ada seorangpun yang terpantik semangat

juangnya guna memperjuangkan tanah air, Pemuda Wahidin

Sudirohusodo telah melahirkan gagasan tentang kebangkitan

nasional pada tahun 1908. Pemuda Sukarno dan Hatta telah

merealisasikannya dengan ikrar kemerdekaan Indonesia pada

tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rentang waktu tersebut terdapat

banyak kisah heroik perjuangan para pemuda Indonesia guna

mengabdi dan berbakti untuk negeri.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28

Oktober 1928 menjadi titik tolak persatuan bangsa. Satu nusa,

satu bangsa, satu bahasa. Siapa yang menyerukan narasi besar ini?

Pemuda. Uniknya, kesadaran persatuan ini tumbuh dan

berkembang secara sadar dan kolektif pada tiap elemen

kepemudaan. Jauh berbeda dengan sekarang, yang hanya

menggaungkan semangat persatuan ketika tim sepak bola kita

melawan tim negara lain.

Page 33: Menghidupkan Aksi

33

Yang lebih menarik lagi adalah bahwa dalam

keterbatasan yang ada kala itu, dalam ketiadaan jaminan bahwa

gagasan besar yang mereka ikrarkan akan menjadi tonggak

perjuangan yang menyejarah, mereka tetap memperjuangkannya

dengan gigih dan semangat menyala. Bedakan dengan aksi

anarkis para pemuda kita sekarang, yang maunya menjadi ‘sejarah

yang menyejarah’, tapi pada akhirnya nol dalam hal kontribusi. Ya,

hanya meneriakan slogan kosong kaum oportunis semata.

Ini adalah zaman perubahan. Dari wacana menuju

realita. Kita sudah terlalu kenyang dengan aksi dan demonstrasi

melalui media(termasuk tulisan ini), kita sudah terlalu lama hanya

mendengar dan menggaungkan wacana-wacana tentang

kemiskinan, mahalnya biaya pendidikan, dan globalisasi. Ini

saatnya kita bertindak, dengan memberi kontribusi yang berarti.

Memang, kita tak bisa menafikan bahwa wacana adalah hal yang

juga urgen. Tapi apakah hanya akan kita gantungkan hidup mati

bangsa dalam sebuah wacana saja?

Sejarah selalu memperlihatkan bahwa perubahan selalu

mewujudkan keinginan-keinginan dasar yang merupakan cita-cita

bersama. Setiap semangat perubahan akan mengantarkan kita

pada mimpi yang terejawantahkan. Karena itulah, kita

membutuhkan pelaku perubahan yang senantiasa berjuang untuk

Page 34: Menghidupkan Aksi

34

mengeksekusi gagasan-gagasan besar, yang merealisasikan setiap

impian menjadi narasi yang tersejarahkan.

Sekali lagi, mari telaah kembali sejarah kita.

Pada 1908, pemuda mulai membangun gagasan

kemerdekaan. Tahun 1928, gagasan itu dibingkai dalam semangat

persatuan. 1945, perwujudan gagasan itu teraktualisasikan secara

nyata dalam proklamasi kemerdekaan. Setelah kemerdekaan

berhasil dicapai, muncul masalah internal dalam tubuh bangsa.

Maka, pemuda lah yang kemudian kembali bertindak, pada 1966

pemuda menumbangkan rezim orde lama, dan keberhasilan pun

kembali dicetak ketika mereka menumbangkan rezim orde baru

pada 1998.

Sejarah selalu menyimpan kisah. Meski tak mungkin

sejarah bisa merangkum semua lini kehidupan secara utuh dan

sempurna. Euforia masa lalu dan dinamika keberhasilan masa

lampau bisa jadi meyebabkan sebagian dari kita beranggapan

inilah keberhasilan yang sesungguhnya dan akhir dari tujuan.

Pada satu sisi, kita memang mesti berterimakasih kepada para

pemuda era lalu. Tapi, itu tidak berarti kita mesti mengikat diri

pada kepuasan dan tak mengacuhkan cerita hari ini, serta enggan

menyusun gagasan esok hari.

Page 35: Menghidupkan Aksi

35

Kebangkitan pemuda di masa lalu diwujudkan di

tengah cengkeraman penjajahan. Saat ini, kita hidup ditengah

kemerdekaan, namun sayang masih semu. Kita masih terjajah!

Bukan lagi berebut wilayah dan kekuasaan, tapi melalui destruksi

moral generasi, opini publik yang dikembangkan para pemilik

konsorsium yang menggurita, dan sketsa politik laba-laba yang

menyesatkan.

Lantas, apa sejarah yang akan kita bubuhkan dengan

tinta emas di atas persada khatulistiwa? Kita butuh para pelaku

sejarah yang gigih memperjuangkan cita-cita dan idealismenya.

Ketika idealisme pemuda mengendur, maka mengendur pula

zaman yang dilaluinya.

Ada proyek pembaruan yang mesti kita rampungkan.

Proyek ini selamanya hanya akan menjadi konsep yang terformat

di dalam pikiran dan tertulis di memoar kita, dan pada akhirnya

usang dan lapuk oleh usia ketika tidak segera direalisasikan. Kita

membutuhkan energi perjuangan untuk melahirkan kekuatan

perubahan. Kita membutuhkan pemuda yang tangguh dan idealis

untuk merealisasikannya.

Maka, ambilah peran. Jadilah pemuda itu.

Jadilah ‘sejarah yang menyejarah’.

Page 36: Menghidupkan Aksi

36

Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda! Hidup Indonesia!

Page 37: Menghidupkan Aksi

37

Jelang Orientasi Mahasiswa Baru

Bagi mahasiswa baru momen samaru (sambut

mahasiswa baru, biasanya dikenal dengan sebutan ‘ospek’) adalah

masa yang penting. Untuk pertama kalinya, mereka akan

menginjakkan kaki di kampus baru mereka, sekaligus mengurus

administrasi kemahasiswaanya.

Disisi lain, ada banyak pihak yang juga berkepentingan

dengan masa registrasi on desk tersebut. Lembaga internal kampus

layaknya organisasi mahasiswa akan mengambil kesempatan ini

untuk kepentingan mereka, entah untuk pelayanan semata,

pelayanan demi terciptanya citra yang baik (pencitraan), atau

pelayanan demi terciptanya citra yang baik (pencitraan) guna

perekrutan anggota.

Hal ini telah menjadi semacam rutinitas yang terjadi

setiap tahunnya, maka semaraklah kampus demi menyambut

para fresh graduated high school tersebut.

Saya pun pernah menjadi mahasiswa baru, dan saya

perkirakan, konsep yang sekarang diusung pun akan sama

Page 38: Menghidupkan Aksi

38

dengan yang dulu. Hampir semua organisasi mahasiwa

menggunakan pendekatan-pendekatan persuasif yaitu dengan

cara melayani kebutuhan maru, utamanya dalam hal teknis di

lapangan. Misal: akses informasi (info kos, advokasi biaya kuliah,

dan lain sebagainya).

Bisa jadi, mereka pun mengusung pendekatan edukatif.

Amunisi-amunisi seperti leaflet, bulletin mini, sampai booklet

akan terlihat berserakan (yah, dibuang dan tak sempat dibaca

barangkali). Namun, yang lebih ditonjolkan dengan cara yang

kedua adalah ‘pendidikan organisasi’- pemberian stimulan-

stimulan tentang pentingnya mengembangkan kapasitas personal

secara intelektual lewat lembaga kampus.

Namun bagi saya, ada satu hal penting yang mestinya

menjadi corak berfikir para aktivis kampus. Bukan hanya

mengusung fungsi pelayanan, pencitraan, dan perekrutan

lembaga. Yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana

kita mengupayakan agar kampus tercitrakan sebagai basis moral

dan intelektual dalam ranah akademis.

Basis intelektual yang saya maksud adalah manifestasi

belajar secara luas, menyangkut spesialisasi ilmu yang diambil

oleh mahasiswa, maupun pembelajaran yang ia ambil guna

pengembangan dirinya melalui organisasi-organisasi

Page 39: Menghidupkan Aksi

39

mahasiswa. Basis moral adalah hal yang mendasar untuk

membentuk karakter yang baik, kuat, dan cerdas.

Saya rasa kita harus menawarkan ruang aktualisasi

secara menyeluruh, untuk terus mengarahkan mahasiswa pada

platform, “Membangun integritas mahasiswa secara moral dan

intelektual.”

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Soe Hok Gie

dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran: “Mimpi saya yang

terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia

berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-

pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia

yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi

hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai

seorang manusia.”

Page 40: Menghidupkan Aksi

40

Membingkai Potret Intelektual

Muda Indonesia, Sebuah Refleksi

Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’

adalah karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di

depan album waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. Dalam studi

sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent pattern

atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan beragam

variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku ketika

memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke masa?

Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama. Namun, saya

tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang dengan

membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya hanya akan

membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan pikiran saya yang

sederhana.

Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial,

dan budaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika

masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak

menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah kalangan

terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap pemerintahan

Page 41: Menghidupkan Aksi

41

kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang sudah berani

mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan. Perlawanan

menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh mereka

yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum

terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.1

Pada 16 Oktober 1965, seorang saudagar batik asal

Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi

mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi

modern berasas Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak

menjadi cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan lain di

Indonesia. Selain memperdalam ilmu agama pada Kyai

Djodjermo di Surabaya, semasa kecil ia juga mengenyam

pendidikan di Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School. Ini

membuktikan bahwa Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang

pengusaha yang memegang teguh Islam, tetapi juga seorang

pejuang intelektual Islam yang anti terhadap segala bentuk

penjajahan.

Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo,

murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan

Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap

pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar

1 Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat

Page 42: Menghidupkan Aksi

42

tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah

dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang

sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari

Boedi Oetomo menulis:

Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang

memuat maksud yang begitu2, akan tetapi antara maksud dan

kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar... tetapi yang demikian

juga tak dapat diharapkan, sebab anggota Boedi Oetomo juga ingin

berumah yang patut dan penghidupan senang, hingga masing-masing

hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang gubermen, biar di

halaman partikulir”3

Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus

mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa

pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangan-

karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan

praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang

dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer

dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga

kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach.

2 maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme

3 Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180

Page 43: Menghidupkan Aksi

43

Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada

tahun 1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu

tulisannya yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul

Sroean Kita mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat

Islam yang kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam

yang memiliki ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada

bangsanya, malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya

sendiri.

“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus

dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita

kaum muslim harus melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah

bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi Muhammad saw yang

menjalankan perintah Tuhan dengan tidak mempedulikan payah susah

yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk melawan perbuatan

sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita

BINASAKEN!”4

Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah

keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran

beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual,

4 Ibid, hal 182

Sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di

Jawa 1912-1926 hal 181

Page 44: Menghidupkan Aksi

44

tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial.

Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan

propaganda dan memimpin beragam aksi pemogokan.

Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat

Islam.5

Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang

sama dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda

melalui tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:

“...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti

juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa...

“Orang Jawa bodoh”, kata Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah

sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapakah Regeering tidak

mengadakan sekolah secukupnya untuk orang Jawa of Orang Hindia,

sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya

tanah kita Nederland?”6

Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa

primitif, kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran

5 Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar

dengan kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis

Indonesia. Ini pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah,

bukan dihilangkan karena dianggap sebagai aib.

6 Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189

Page 45: Menghidupkan Aksi

45

bagi kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah

Hindia. Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu

‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak

ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor,

dan terbelakang.

Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max

Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi pembenaran

bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalam ceramah yang

dilakukan oleh Blatherer.

“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera

Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang

sangat terkutuk-Nuh yang mulia7, yang menemukan rahmat di mata

Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka merangkak di sekitar

sarang ular berhala yang menjijikan-di sana mereka menyembah kepala

hitam, keriting di bawah penindasan pendeta egois! Disana, mereka berdoa

kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan kebencian di

dalam pandangan Tuhan...”8

7 Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh

yang enggan mengimani risalah yang dibawa ayahnya.

8 Multatuli, Max Havelaar halaman 165

Page 46: Menghidupkan Aksi

46

Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang

ia klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para

penyembah berhala miskin’, yang di dalam salah satu poinnya

berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan

dengan cara bekerja.”

Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka

resah. Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum

pribumi untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi

tujuan pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan

upah rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan ‘Sekolah

Rakyat’9 bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya

mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan

untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga

menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk

penjajahan dan penindasan.

Begitulah, kaum intelektual di zamannya

mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam

praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi

pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik

9 Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama

“Sekolah Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan

dengan nama tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada

permasalahan dan kebutuhan rakyat.

Page 47: Menghidupkan Aksi

47

konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk

dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritis

masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat

di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI

pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang

dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya

bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS

Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam

dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk

gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubu

Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih

berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-Sjahrir

yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan Nasional

Indonesia) yang berasas sosialis.

Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti

sampai disana, generasi tua yang memegang tampuk

pemerintahan pasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan

kaum muda. Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun

setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947

ketika pemuda Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan

Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan realitas

kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di masa

tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari upaya

Page 48: Menghidupkan Aksi

48

HMI guna turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan

Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan, kehadiran HMI

terkait pula dengan realitas keagamaan dan kemahasiswaan,

dimana agama Islam saat itu tidak dilaksanakan secara konsisten

oleh umat Islam sendiri, terutama mahasiswa. Lafran Pane,

bersama kawan-kawannya di UII, melihat pentingnya kembali

menegakkan ajaran Islam di kalangan mahasiswa, seperti sholat

tepat waktu, dan lain-lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif

terlibat dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama

PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi

mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain.

Sependek referensi yang pernah saya baca, saya

akhirnya mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman

pasca kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan

hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie

(Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang

Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran

Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah

mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi terhadap PSI.

Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga

merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad

Page 49: Menghidupkan Aksi

49

Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM

yang juga merupakan kader HMI.

Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita

simak dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa

memandang berbagai persoalan yang terjadi di pada tahun yang

diklaim bersejarah bagi gerakan mahasiswa di Indonesia (yang

katanya) menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965

ketika meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan

mengulas lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi,

ternyata ada hal menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo

dan Arief Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966

mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia

menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru

dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak benar.

Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah pertarungan antara

ABRI melawan PKI dengan gerakan mahasiswa sebagai ujung

tombak. Mahasiswa sendiri tidak mungkin bergerak tanpa

dukungan ABRI. Oleh karena itu, kemenangan mahasiswa ketika

itu sebenarnya merupakan bagian kecil dari pertarungan yang

lebih besar dan mungkin tidak kelihatan.10

10 Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115

Page 50: Menghidupkan Aksi

50

Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang

Arief Budiman katakan, “Sekali lagi memang salah apabila ada

anggapan Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga

tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak berperan apa-

apa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang

sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya.

ABRI berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapi

memfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang

besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan interpretasi

yang mungkin lain, yang mungkin juga kurang

menguntungkan.”11

Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general

kemelut dan pertentangan garis politik yang terjadi di antara

organisasi-organisasi mahasiswa jelang persitiwa 30 September

1965:

Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis

Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI

adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi

Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI

adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).12

11 Ibid, hal 121

12 Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85

Page 51: Menghidupkan Aksi

51

Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di

film Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar

organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka saat

berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun, yang

patut kita cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie bertemu

kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca lahirnya Orde

Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya calon borjuis

kecil yang diam-diam membina hubungan intim dengan

pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek, akhirnya

idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi kepatuhan pada

kenikmatan dan kemegahan. Gagasan demokrasi kemudian

dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak muda yang dulu

antusias mengutuk rezim Soekarno duduk antusias di kursi

parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam kekayaan bangsa

untuk kantong pribadi bersama rezim baru yang kini berkuasa.

Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus

dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974,

praktis ruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra

kampus mengalami pengebirian yang luar biasa. Dampaknya,

kampus menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik

mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian

akademis. Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi

menyebabkan munculnya pola-pola gerakan baru yang

Page 52: Menghidupkan Aksi

52

berkembang dalam kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan

mahasiswa Islam. Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang

telah ada sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2)

kelompok mahasiswa Islam yang bersentuhan dengan pemikiran

Islam kiri, serta 3) munculnya aktivitas keislaman berbasis

masjid-masjid kampus.

Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini

dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin

Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh

kampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya

FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah

beberapa kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna membahas

khittah LDK agar tercipta kesamaan pemahaman dan kesamaaan

arah dalam melaksanakan strategi dakwah kampus, hingga pada

FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus tersebut

menyadari perlunya respon terhadap kondisi perpolitikan

nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas acara,

dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati bernama

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada 29

Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada tanggal 1-4

Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni

perubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang

permanen.

Page 53: Menghidupkan Aksi

53

Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan

penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah

reformasi ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil

membangun mimpinya akan sebuah negara yang ideal. Gerakan

mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masa

kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena

ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan

mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka

pulang kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan

baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturan-

aturannya sendiri.

Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup.

Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide

mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud

eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kiri-kanan yang

menggaungkan politik progresif pun digempur militer. Habislah

intelektual kampus. Mereka yang pintar akan masuk ke dalam

birokrasi, sementara yang radikal akan tersingkir. Mulai tahun

2001-2002, tradisi intelektual menjadi menurun. Disisi lain,

masyarakat mulai meragukan efek reformasi sebab demokrasi

nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin oleh Soeharto

(meski diberikan dengan hutang luar negeri). Gerakan Mahasiswa

pun hanya hidup saat pergantian kepengurusan, pelantikan, dan

Page 54: Menghidupkan Aksi

54

diskusi. Kita pun kian terjebak, antara keinginan untuk

melakukan pemberontakan atas tatanan dan ketidaktahuan

merumuskan alternatif. Mungkin karena itu kebanyakan

kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling realistis:

mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.

Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para

intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi

KAMMI 1427 H, sebagai berikut:

Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi

reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan

bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan agenda orang

lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan

mencari musuh dan bergerak sebagai watch dog. Gerakan mahasiswa

adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana masa depan

bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan

bangsa ini. Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan

gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan

masalah umat dan bangsa.

Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai

terhadap permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan

turun tangan. Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar

ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan sikapnya.

Page 55: Menghidupkan Aksi

55

Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan

guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi

penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa,

kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar

untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam

organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding

fathers guna mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia

(dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari ini pun memiliki

organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama (Indonesia yang

lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi yang

persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baik-baik,

disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi solusi

permasalahan umat dan bangsa.

Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak.

Pertemuan mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan

pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum

dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana, yang

perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali

kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita

harus lebih banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan

berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream para ilmuwan

sosial yang kini lebih memilih menjadi ‘pelayan pembangunan’

ketimbang penggerak perubahan.

Page 56: Menghidupkan Aksi

56

Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan

rakyat, dan kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan

rakyat manakala kita mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan

bagian terpisahkan yang menempatkan diri dengan narsis sebagai

agent of change, agent of social control, iron stock, moral force, dan lain-

lainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada

posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, ‘merasa’ lebih

intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena

mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita ayun, tiap

jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,

merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan

bernama rakyat.

Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas

mitologi yang membangun kerangka diri kita selama ini,

menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak

dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudah-mudahan

dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi terjadi

dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab kita

sendiri pun harusnya menempatkan diri sebagai bagian inheren

dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan yang kita miliki

secara teori maupun praksis yang kita dapat di perguruan tinggi.

Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai

bagian kolektif dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti

Page 57: Menghidupkan Aksi

57

mengidentifikasi diri sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai

pribadi, kita bisa berkaca pada Hadji Misbach yang

menggaungkan semangat perlawanan pada kekuasaan yang

menggurita atas nama Tuhan. Kita bisa berkaca pada Tan Malaka

yang membangkang terhadap otoritas pendidikan di zamannya

dengan membuat sistem pendidikan yang memerdekaan,

merakyat, dan membebaskan. Kita bisa berkaca pada RM

Tirtohadiserjo yang menolak kemapanan sistem dan memilih

bergerak dengan kekuatan pena. Apabila kita tak merasa nyaman

dengan mengidentifikasi pada sosok-sosok tersebut, yakinlah

bahwa kita bisa memainkan peran kita sendiri, tanpa menunggu

naskah maupun skenario dari sutradara. Mengambil peran adalah

kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku sebagai

kaum intelektual!

Akhirul kalam,

Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang

lurus Ya Tuhan kami..

Sumber Bacaan:

Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa.

Retrieved Oktober 4, 2014, from Hari-Hari Terakhir

Page 58: Menghidupkan Aksi

58

Hadji Samanhoedi; Pejuang yang Ter(Di)Lupakan:

http://www.jejakislam.net/?p=225

Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi.

Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin.

Yogyakarta: Resist Book.

Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim.

In C. N. Saluz, Dynamics of Islamic Student Movements (pp.

77-103). Yogyakarta: Resist Book.

Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan

Negara: Wacana Lintas Kultural. In Kebebasan

Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda. Jakarta: Pustaka

Republika.

Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka

LP3ES.

Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika

Masyarakat, Sebuah Refleksi. In Kebebeasan Cendekiawan,

Page 59: Menghidupkan Aksi

59

Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka

Republika.

Page 60: Menghidupkan Aksi

60

Leiden is Lidjen, Memimpin adalah

Menderita

Teladan Kepemimpinan Haji Agus

Salim

Pasca transisi kepemimpinan, Indonesia masih

dihadapkan pada pelbagai persoalan yang tak kunjung usai. Alih-

alih beradu argumen ideologis guna menyelesaikan persoalan

bangsa, elite politik kita malah asyik berebut pengaruh dan

kekuasaan. Pembusukan institusi legislasi tak terhindarkan.

Kepercayaan rakyat pada para wakilnya tak pelak musti pupus

bahkan sebelum mereka ‘bergerak’.

Sebagai himpunan besar bernama ‘rakyat’, sudah pasti

kita kecewa. Lantas, kita pun bertanya, “Mengapa pentas politik

menampilkan lakon wayang yang tak menarik?”, “Apakah

padang kurusetra berpindah di ruang dewan?”, “Tidak adakah

figur pemimpin yang patut jadi teladan bagi rakyatnya?”

Agaknya mereka lupa. Bisa jadi kita enggan membaca.

Bahwa Republik pernah lahirkan tokoh pemimpin besar di masa

Page 61: Menghidupkan Aksi

61

lalu. Bahwa fakta sejarah itu tak hanya patut diperingati, apalagi

berakhir di hafalan para pelajar sekolah negeri. Tanpa berniat

lakukan glorifikasi, penulis ingin hadirkan kembali ia yang

berikan teladan terbaik kepemimpinan.

Terlahir dengan nama Masjhudul Haq (Pembela

Kebenaran), agaknya menjadi spirit bagi dirinya untuk selalu

konsisten membela bangsanya dari penjajah. Spirit itu ia wariskan

pada para pemuda Islam yang kelak lanjutkan jejak

perjuangannya. Natsir, Roem, Kasman, Soeparno, dan banyak

aktivis JIB (Jong Islamieten Bond) menjadikannya Bapak tempat

bertanya dan menempa diri. Ia mendidik, bukan mengajari. Ia

menyederhanakan persoalan, bukan membuatnya makin rumit. Ia

tak mendikte solusi, tapi memberi ruang untuk setiap

kemungkinan alternatif jawaban.

Di awal berdirinya Republik, ia tampil penuh percaya

diri di panggung dunia. Ia lakukan lawatan ke negara-negara

Timur Tengah demi pengakuan kedaulatan atas negara yang terus

mengalami invasi militer pihak Belanda. Karena diplomasi

seorang poliglot (seorang yang mampu menguasai banyak

bahasa) yang brilian ini, sejumlah negara Arab berturut-turut

mendukung pengakuan kedaulatan Indonesia. Tak pelak,

Soekarno menjulukinya, The Grand Old Man.

Page 62: Menghidupkan Aksi

62

Dalam konteks politik, Haji Agus Salim pernah terlibat

dalam situasi yang pelik. Intrik dan konflik internal melanda

Sarikat Islam- Partai Sarikat Islam, ketika ia menjabat dalam

struktur kepengurusan pusat. Hal ini akibat infiltrasi yang

dilakukan Partai Komunis Indonesia. Ia selesaikan konflik dalam

partai dengan cara yang beradab: adu argumen dan debat

terbuka. Akhirnya, disiplin partai diterapkan. Mereka yang

komunis tersingkir, purifikasi ideologi dilakukan dengan mantap.

Meski menghendaki Islam sebagai dasar negara, Haji Agus Salim

tidak bertindak agresif. Dengan kepala dingin, ia menjadi

penengah kubu nasionalis dan kubu Islamis dalam Panitia

Sembilan saat rumuskan dasar negara.

Diakui lawan politiknya, Willem Schermerhorn, hanya

satu kelemahan Haji Agus Salim, yaitu “selama hidupnya selalu

melarat dan miskin”. Deliar Noer, sejarawan Indonesia

menguatkan pendapat ini: “Sampai akhir hayatnya, salim tak

pernah hidup mewah, tidak mengeluh dengan keadaan dan tanpa

mengurangi gairah perjuangan.”

Bagaimana tidak? Sampai akhir hayatnya, ia tak

memiliki rumah tinggal yang tetap. Tanpa lelah dan keluh kesah,

ia, istri, dan ketujuh anaknya berkali-kali pindah rumah

kontrakan, sempat ia hanya mampu mengontrak satu kamar saja.

Saat anaknya meninggal, ia bahkan tak memiliki uang guna

Page 63: Menghidupkan Aksi

63

membeli kafan. Ia cuci taplak meja dan kelambu untuk

mengkafani anaknya.

Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita.

Demikian keteladanan yang Haji Agus Salim ajarkan dengan

tindakan. Bukan semata lewat spanduk dan iklan. Apalagi

pencitraan murahan yang jadi bahan cemooh dan ejekan.

Semoga kita belajar..

Page 64: Menghidupkan Aksi

64

Menjelang Akhir Kepengurusan

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan

Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang

dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS al-Anfal

[8]: 27).

Pergantian kepengurusan dalam sebuah organisasi

adalah suatu keniscayaan sekaligus menjadi bukti bahwa denyut

organisasi masih berdetak. Adalah merupakan sunatullah, jika

silih berganti aktivis datang dan pergi mengisi pos-pos struktural

kelembagaan untuk berkontribusi dengan memaksimalkan

potensi yang dimilikinya, karena di sanalah ia ditempa untuk

mempersembahkan totalitas perjuangan dan pengorbanannya

demi tercapinya visi dan misi lembaga.

Perjalanan mengemban amanah ini tak selamanya

mulus. Ada onak, duri, serta berbagai rintangan yang

menghalangi. Karena itulah, seorang aktivis diharapkan bisa

menjadi sebuah pisau belati yang selalu terasah tajam, yang

memiliki semangat pengabdian, perjuangan, serta pengorbanan

Page 65: Menghidupkan Aksi

65

secara maksimal dalam setiap bidang kelembagaan tempat ia

beramanah

Jika ada pengurus baru yang menggantikan pengurus

lama, ini berarti bahwa mereka tengah mendapat kepercayaan

total untuk mengemban amanah agar ditunaikan dengan penuh

totalitas, profesionalitas, dan dedikasi. Pengurus lama yang

lengser dari jabatan strukturalnya, bukan berarti kehilangan

amanahnya, meskipun secara formal memang Ya. Pasca

kepengurusan, diharapkan mereka tetap menggafiliasikan

idealisme dan pemikirannya untuk keberlangsungan dakwah.

Jadi, tidak terbatas pada struktur kelembagaan semata.

Kita memikul amanah dari orangtua kita untuk

mengoptimalkan potensi fikriyah kita dalam konteks akademis,

yakni kuliah. Di sisi lain, kita ingin menembangkan soft-skills kita

dengan berorganisasi, yang dengan otomatis membuat kita

‘beramanah’. Dalam konteks ini kita dituntut untuk bisa

menyeimbangkan keduanya sesuai proporsi dan porsi yang tepat.

Ironisnya, terkadang sikap kekanakkan kita muncul,

banyak mengeluh karena amanah yang begitu banyak dengan

waktu yang begitu terbatas. Juga rasa lelah yang mencekik dan

membuat sesak di dada.

Page 66: Menghidupkan Aksi

66

Seringnya, hal ini menjadi alasan dan dalih kita untuk

mengesampingkan kedua amanah yang dipercayakan pada kita.

Menjadikan kesibukan berorganisasi sebagai alasan ketika

mendapat IPK rendah, atau malah sebaliknya, menjadikan

akademis sebagai dalih untuk melalaikan tugas kelembagaan.

Allah tidak akan membebankan pada seseorang suatu

ujian yang diluar kesanggupannya. Jika kita bisa melakukan hal

yang nilainya (misal saja) A, namun yang kita dapatkan adalah B.

Maka, adalah suatu yang lumrah ketika dipertanyakan, “ apa jeda

yang memisahkan antara A dan B?”

Kita adalah sopir. Apakah kita mampu membuat

kendaraan kita mempercepat laju menuju tujuan, atau malah

sebaliknya. Kembali pada kita, inti dari pergerakan ini. Seberapa

kita mengenal kendaraan kita, mampukah mengoperasikannya

dengan baik, dan apakah kita tahu apa yang mesti dilakukan

manakala chaos terjadi padanya. Ya memang benar. Kembali

pada kita, sang pengendara.

Di sinilah saatnya kita merefleksikan diri. Benarkah

Allah sebagai tujuan? Jika demikian, sesulit apapun medan,

takkan jadi penghalang. Sungguhkah ikhlas sebagai landasan

perjuangan? Bila begitu, tiada pantas keluhan demi keluhan

terlontarkan. Da’wah memang indah, Kawan. Ia mempesona kita

Page 67: Menghidupkan Aksi

67

bukan dengan fasilitas yang ditawarkan namun justru oleh

tantangan yang memayahkan. Tapi Allah Mahaadil. Ia sediakan

jiwa-jiwa penghangat perjuangan, Ia Berikan tangan-tangan yang

kan raih kita saat hendak terjatuh. Ia sediakan saudara seiman,

dan itulah yang buat manisnya perjuangan.

Page 68: Menghidupkan Aksi

68

Dari Renungan hingga Diskusi

Page 69: Menghidupkan Aksi

69

Bijak Tanggap Isu

Dalam menyongsong mihwar daulah, ada beberapa hal

yang nampak jelas terlihat. Jika pada mihwar sebelumnya ikhwah

sangat intens dengan kajian yang berkaitan dengan akidah,

ibadah, serta materi-materi lain yang menumbuhkan pemahaman

mengenai tandzim, di era setelahnya persoalan yang menyangkut

amal siyasi mau tak mau mendapat porsi yang cukup banyak.

Dengan catatan, di era sebelumnya amal siyasi memang selalu

menyertai setiap aktivitas dakwah. Misal, di mihwar muasasi,

gerakan dakwah telah memiliki rakizah siyasiyah, yakni

penekanan kerja di bidang politik.

Adalah bukan kapasitas saya berkomentar mengenai

berbagai isu yang saat ini berkembang di media massa maupun

obrolan ringan di sudut-sudut kampus mengenai hasil Pemilu

2014. Namun, artikel ini

(http://polhukam.kompasiana.com/politik/2014/04/14/harusn

ya-pks-tidak-seperti-itu–647710.html) memang sukses membuat

saya tersenyum-senyum sendiri. Segera saya membuka catatan

tasqif saya beberapa tahun silam dan menemukan beberapa

catatan menarik.

Page 70: Menghidupkan Aksi

70

Memang, sebagai follower, over-reaktif dalam

menghadapi isu bukanlah tindakan yang bijak. Mungkin hal

tersebut memang bertujuan baik, untuk tabayun, agar yang kita

anggap sebagai kebenaran dapat tersampikan. Akan tetapi,

kekaburan kader dalam menyampaikan informasi dengan data

yang tak valid dan sama sekali tak akurat justru akan

memperkeruh isu negatif yang berkembang.

Sayyid Muhammad Nuh sendiri dalam bukunya Terapi

Mental Aktivis Harakah pernah mengatakan bahwa tabayun

adalah kewajiban qiyadah. Sebagai jundiyah, kita semestinya tidak

tergesa-gesa dalam menguatkan suatu pendapat, baik dengan

over-reaktif men-share-kannya secara terus menerus maupun

memberi komentar-komentar yang berdasar dari asumsi pribadi.

Mengutip Ust Eko Novianto dalam bukunya, Dakwah dan

Manajemen Isu:“..tabayun, keterbukaan, ketepatan respon qiyadah,

kajian kebijakan, dan integritas struktur dakwah bukanlah tugas kita

sebagai individu, akan tetapi merupakan tugas struktur dakwah.”

Hal tersebut seharusnya akan ditaati dan dilakukan

secara bijak oleh mereka yang memahami konsekuensi dari

menggabungkan diri dalam sebuah harokah Islamiyah. Ust Fathi

Yakan dalam bukunya, Komitmen Muslim kepada Harokah

Islamiyah menegaskan bahwa seorang mukmin adakalanya tak

mengetahui tanda-tanda adanya bahaya (fitnah), sehingga ia tak

Page 71: Menghidupkan Aksi

71

menyadarinya kecuali itu benar-benar telah terjadi. Oleh karena

itu, seorang Mukmin harus berhati-hati dalam berucap, berbuat,

dan bersikap agar tidak mendatangkan bencana bagi orang-orang

yang beriman.

Perkara ini kembali diingatkan oleh Sayyid Muhammad

Abdul Halim Hamid, dalam bukunya Karakteristik dan Perilaku

Tarbiyah, beliau berpesan, “Memberikan perhatian kepada

perkataan yang buruk dan cepat mengambil keputusan atas isu

dan praduga tidak akan menghasilkan apapun kecuali semakin

membuat ia durhaka dan menjauh.” Hal ini berlaku baik untuk

mereka yang berada dalam internal gerakan dakwah, maupun

mereka yang berada di eksternal gerakan, bahkan musuh-musuh

dakwah. “Janganlah kita menghancurkan jembatan antara kita

dan lainnya, meskipun mereka berbuat jelek dan menjelek-

jelekkan.”

Pernah, saya coba ingatkan kawan yang cenderung

senang mengumbar data-data yang kurang valid, menyerang rival

politik, dan melakukan klarifikasi tak berdasar, namun atas alasan

tsiqah pada berita/info yang ia miliki, ia tak gubris yang saya

katakan. Lalu, saya pun bertanya-tanya, apa sebenarnya makna

dari tsiqah?

Page 72: Menghidupkan Aksi

72

Ust Fathi Yakan mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan tsiqah adalah kepercayaan seorang prajurit akan

kemampuan dan keikhlasan komandannya secara mendalam

sehingga membuahkan kecintaan, penghargaan, penghormatan,

serta ketaatan.

Sayyid Abdul Halim Hamid mengungkapkan bahwa

tsiqah adalah ketenangan hati tanpa adanya keragu-raguan.

Kebutuhan akan tsiqah menjadi prioritas yang penting saat ini.

Lebih lanjut, beliau menerangkan mengenai bentuk-bentuk

tsiqah.

Pertama, tsiqah kepada Allah swt. Ketika terjadi perang

dengan tentara kebatilan, dan para tentara mendapat desakan

keras, maka tsiqah pada kebersamaan Allah dan dukungan serta

pertolongan-Nya dapat meringankan kerasnya tekanan yang

dihadapi.

Kedua, tsiqah kepada diri sendiri. Tsiqah ini

berlandaskan pada keyakinan bahwa segala sesuatunya ia

serahkan hanya kepada Allah swt.

Ketiga, tsiqah kepada manhaj (sistem) dengan

konsisten selama sistem bersumber dari sumber Islam,

Page 73: Menghidupkan Aksi

73

diturunkan dari sumber Islam, serta pada substansinya secara

keseluruhan dan terperinci.

Keempat, tsiqah kepada kepemimpinan, selama ia

memimpin atas sistem kebenaran, memberi contoh dengan

komitmen, ketekunan, dan bermujahadah di jalannya.

Kelima, tsiqah kepada prajurit yang merupakan hak

tentara atas kewajibannya memberi, berkarya, dan berkorban

terhadap pemimpin.

Keenam, tsiqah antar individu asalkan mereka adalah

kelompok kaum mukminin yang merupakan ahli agama serta

senang menciptakan perdamaian. Akan tetapi, yang perlu diingat

bahwa kepercayaan ini kadang dimanfaatkan oleh orang-orang

yang munafik dan perekayasanya.

Maka dari itu, kehati-hatian dalam mencerna ragam

informasi yang disajikan di media merupakan keharusan bagi tiap

muslim dimanapun berada.

Page 74: Menghidupkan Aksi

74

Baratayuda di Negeri Kita

Pasca deklarasi pencapresan Jokowi-JK dan Prabowo-

Hatta, media mulai ramai dibanjiri pemberitaan mengenai kedua

sosok tersebut. Masing-masing kader maupun simpatisan seolah

memiliki energi tak terbatas guna menggali latar belakang

masing-masing tokoh, dari mulai orangtua, anak, prestasi yang

pernah diperoleh, hingga berderetnya kasus yang masih belum

tuntas hingga saat ini.

Sebagai orang awam yang baru mulai belajar untuk

melek politik, saya tak ingin banyak berasumsi macam-macam.

Entah dengan memberi dukungan pada salah satu calon, maupun

menistakan calon yang lainnya dengan argumen yang saya

ragukan kebenarannya. Tidak, saya tak mau melakukan hal yang

(menurut saya) konyol itu. Hanya saja, melihat beberapa hari

belakangan beranda facebook, blog, dan twitter saya ramai, saya pun

mulai gatal dengan sesekali menandai ‘suka’, meski menahan diri

untuk tidak menshare, me-reblog, maupun meretweetnya.

Alih-alih teori, saya malah jadi ingat akhir perang

Baratayuda yang tragis. Lho? Kok bisa? Bukannya kebaikan

Page 75: Menghidupkan Aksi

75

menang atas kejahatan? Pandhawa menang! Ya, memang

Pandhawa menang, akan tetapi peniadaan kurawa hingga ke akar-

akarnya, nyatanya tak membawa pada kejayaan yang agung dan

diidamkan. Kematian para Kurawa membuat daya hidup

Pandhawa juga habis. Memang, Pandhawa berhasil menguasai

Astina, tapi apa gunanya itu semua ketika seluruh keturunan

Pandhawa pun berhasil dimusnahkan (dengan perkecualian

Parikesit)? Hingga pada akhirnya, Pandhawa pun harus

menghadapi kematian serupa di puncak Mahameru, menyisakan

Yudhistira dan anjingnya dalam perjalanan panjang

menemukan hakikat.

Mungkin, dialog antara Arjuna dan Kresna di awal

perang besar itu patut menjadi renungan bagi kita. Sesaat

sebelum perang berkecamuk, Arjuna berkata kira-kira begini,

“Mungkinkah kepemilikan suatu negara seimbang dengan

korban-korban sedemikian besar?” Jika saja Kresna menyepakati

perkataan Arjuna dan memilih menyarankan membatalkan

pertempuran di detik-detik terakhir, (toh Pandhawa telah hidup

damai di Amarta). Jika pun Kresna tetap memberikan saran yang

sama untuk tetap melanjutkan pertempuran, toh Arjuna bisa

menolak, dan bisa jadi kematian ratusan ribu nyawa di medan

pertempuran urung terjadi, tak ada kisah tragis yang begitu

memilukan ini.

Page 76: Menghidupkan Aksi

76

Hanya saja, selama ini kita telah dicekoki dengan begitu

mudahnya bahwa kebaikan akan selalu menang dari kejahatan.

Dengan mudah, kita memberi label “BAIK” dan “BURUK”

pada masing-masing golongan. Jika sesuai dengan selera, kita

katakan BAIK, jika tidak, maka sebaliknya. Tapi, disinilah akan

kita lihat uniknya Mahabharata. Kita tidak akan dengan

mudahnya memberi label BAIK dan BURUK pada tokoh yang

membangun cerita ini. Setiap peran memiliki kompleksitas dan

ambiguitas wataknya. Kita betul-betul akan kesulitan menarik

garis tegas yang memisahkan antara hitam dan putih, antara baik

dan buruk. Jika pihak Kurawa melambangkan kebengisan,

kejahatan, dan keangkaramurkaan, disana kita temukan tokoh

Bhisma Dewabrata, Resi Durna, Prabu Salya, dan Karna. Mereka

adalah para satria utama. Jika kita ingin melambangkan kebaikan,

keadilan, dan kepahlawanan pada para Pandhawa, toh egoisitas

mereka memilih korbankan nyawa tak berdosa untuk sebidang

tanah patut pula dipertanyakan. Itu baru di level pihak yang

terlibat dalam pertempuran, belum sampai pada level pribadi.

Tak ada yang meragukan watak satria Bhisma

Dewabrata. Ia adalah seorang panglima yang dihormati baik oleh

Kurawa maupun Pandawa. Tentu saja ia akan memihak pada

kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Lantas, mengapa ia memilih

berada di pihak Kurawa? Bukankah seorang satria harus memilih

Page 77: Menghidupkan Aksi

77

yang benar, yang baik, dan yang adil? Tapi di lain pihak, ia adalah

seorang satria yang wajib membela tanah airnya, Astina.

Bukankah seorang satria memang harus mempertahankan setiap

jengkal tanah airnya ketika orang lain ingin merebutnya? Lantas,

bagaimana kita akan menghakiminya saat ia mati di tengah

pertempuran oleh panah Srikandi? Surga atau Neraka? Begitu

pikirmu?

Sengkuni memang terkenal culas dan licik, ia dituding

sebagai pengobar perang Baratayuda. Tapi bagaimana dengan

Kresna? Sosok yang kita kenal sebagai moksa Dewa Wisnu inilah

yang mengipasi api agar menyala lebih ganas dan membara!

Sebagai seorang satria, ia pun melakukan penipuan terhadap

Durna dalam peperangan dengan mengabarkan berita bohong

bahwa Aswatama, anaknya, telah mati (padahal yang mati gajah

bernama Aswatama). Yudhistira memang terkenal arif dan bijak,

tapi kalau bukan karena persetujuannya berjudi dengan Kurawa,

Pandhawa tak akan terusir dari Astina begitu saja! Karna

mungkin dianggap khianat pada saudara seibunya, tapi ia setia

guna membalas budi atas kebaikan Duryudana.

Terjebak dalam moralitas murahan baik dan buruk ini

akan membuat kita kehilangan kemanusiaan kita. Mungkin kau

akan berkata, yang haq telah jelas, demikian pula dengan

yang bathil, tapi selesaikah sampai disana? Gambaran dunia

Page 78: Menghidupkan Aksi

78

bukan hanya hitam dan putih, begitu banyak warna yang

membentuk selengkung pelangi, dunia juga

demikian. Judgement asal-asalan bukan hal yang bijak.

Sebagaimana Kurawa dan Pandhawa yang

mencerminkan sifat khas manusia dengan ambiguitas dan

ambivalensinya, demikian pula pribadi kita. Maka, sembari

menonton perang di dunia maya ini, saya pun merenung dan

berkaca, (mungkin kau juga berminat melakukannya), bahwa baik

dan buruk bukanlah suatu hal yang dengan mudahnya dapat

diputuskan kadarnya, lebih apik lagi jika kita mau mawas diri.

Tokoh yang kita kenal dalam cerita pewayangan sudah

memiliki karakter khasnya masing-masing, kita tahu bijak

sekaligus liciknya Durna, kita paham kejumawaan sekaligus

kedewasaan Antasena dan Antareja, kita tahu watak satria Arjuna

meski dia pernah pula berselingkuh dengan Dresnala. Tapi,

dalam dunia nyata, watak kita tak tergambarkan sejelas itu.

Apakah kita lebih dekat dengan tokoh Sengkuni ataukah Bima?

Apakah kita lebih pantas disejajarkan dengan Bambang Ekalaya

ataukah Prabu Salya? Jika saja kita mau jujur, barangkali dalam

hati kita pun hidup ragam sosok itu, bukan hanya satu-dua,

terjadi lebih dari sekedar paradoks dan ambiguitas. Kita ingin

menjadi seorang pembelajar sejati macam Ekalaya, tapi apakah

setelah sukses kita malah berubah menjadi Salya yang

Page 79: Menghidupkan Aksi

79

mencampakkan kawan seperguruannya? Kita mungkin akan

menelusup dalam batin kita terdalam untuk menemukan hakikat,

lalu setelah merasakan damai itu, apa yang akan kita pilih? Bima

memutuskan kembali dan menjalani pertempuran, sementara

Wisanggeni memilih hidup dalam jagad cilik bersama isterinya.

Bagaimana dengan kita? Ada Baratayuda yang berkecamuk dalam

tiap diri kita, meskipun dalam perang besar ini kita tak lebih

keberadaannya dari prajurit maupun penonton.

Sebagai prajurit, kita akan dengan mudahnya membuat

rasionalisasi atas perjuangan kita. Kulakukan ini karena yakin

akan kebenaran, kulakukan ini atas dasar nasionalisme, kulakukan

ini untuk cintaku. Sebagai penonton wayang, kita pun membuat

rasionalisasi mengapa Kurawa harus kalah dan Pandhawa

memang layak menang. Itu sah-sah saja. Sungguh, saya pun

kesulitan menemukan motif saya (termasuk dalam tulisan ini),

apakah ia murni merupakan refleksi dan saya berharap orang lain

membaca serta memberikan pendapatnya mengenai tulisan ini,

ataukah tercampur pula kebencian serta dukungan tersamar?

Adakah pamrih? Seberapa besar? Hanya Tuhan yang tahu.

Tulisan ini tak bermaksud membuat pelabelan tertentu,

bahwa salah satu pasangan capres adalah Kurawa, sementara

yang lainnya adalah Pandhawa. Yang ingin saya katakan adalah,

dalam Baratayuda, ada ratusan ribu ‘Baratayuda” yang

Page 80: Menghidupkan Aksi

80

berkecamuk dalam tiap diri lakonnya. Dalam kehidupan nyata,

sudah pasti kita akan dihadapkan dengan situasi yang menuntut

kita memilah dan memilih, lantas memberi keputusan. Tak jarang

rasa bimbang menyergap, sebab baik buruk hilang batasnya,

tercampur baur! Akan tetapi, pada akhirnya, kita lah yang akan

mempertanggungjawabkan tiap keputusan yang kita ambil.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan salah

seorang mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin, Syekh Hasan Al

Hudhaibi: “Kami adalah juru dakwah, bukan hakim.” Pernyataan

ini beliau sampaikan sebagai respon atas munculnya golongan

takfiri di kalangan Ikhwanul Muslimin puluhan tahun silam.

Semoga kita terhindar.

Ya Allah, Tuhan kami, tunjukilah kami jalan yang

lurus.

Page 81: Menghidupkan Aksi

81

Kumbakarna dan Wibisana: Tentang

Sebuah Ikhtiar Menghaluskan Rasa

Malam ini saya menonton Sendratari Ramayana di

Balekambang. Langit cerah, purnama merekah, lenggak lenggok

gemulai lakon Shinta di pentas nampak indah. Untuk sejenak,

saya terpukau oleh suasana magis yang melingkupi sekitar

sebelum beberapa orang mulai ramai

mengeluarkan smartphone/tabnya untuk mengambil gambar

hingga menutupi pandangan saya ke arah tempat pagelaran

berlangsung.

Sembari menonton, saya iseng menguraikan jalan cerita

seperti yang sebelumnya saya baca dari kisah tragis Ramayana

pada kawan yang duduk di sebelah saya. Ia manggut-manggut

saja, namun sepertinya ocehan saya mengganggu fokusnya, jadi

saya sadar diri dan memilih diam, ikut memperhatikan.

Memang, jika dibandingkan dengan Ramayana, saya

lebih suka Mahabharata. Alasannya sederhana: kompleksitas

karakter yang berperan dalam membangun kisah Mahabharata.

Akan tetapi, itu bukan berarti Ramayana bebas dari ambiguitas

Page 82: Menghidupkan Aksi

82

peran serta kategorisasi lakon hitam-putih, jahat-baik, penjahat-

ksatria.

Rahwana menculik Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang

bersalah’. Rama datang ke Alengka untuk menjemput kekasih

yang dicintanya, Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang terzalimi’. Tapi,

apa yang dilakukan Rama setelah kembali ke negerinya pada

Shinta juga merupakan bentuk kezaliman lainnya. Banyak yang

tak tahu bahwa setelah Rama kembali ke negerinya, Rama

meragukan kesucian Shinta, terpaksalah Shinta harus melakoni

ritual untuk membuktikan kesetiaan dan kesuciannya dengan

menceburkan diri ke dalam kobaran api yang menyala-nyala.

Apakah setelah Shinta selamat Rama tetap meyakini kesucian dan

kesetiaan Shinta? Tidak! Rama mengusirnya dalam keadaan

tengah mengandung! Kezaliman apa yang lebih menyedihkan

dibanding pengusiran seorang suami pada isterinya yang tengah

mengandung buah hati mereka? Adakah jawaban?

Tapi, tulisan ini tak akan meributkan perkara

percintaan Rama-Shinta, kalau sudah menyangkut soal cinta dan

kepercayaan, itu akan jadi bahasan lain. Nah, jadi begini. Ada dua

tokoh dalam kisah Ramayana yang sedang jadi role model saya

dalam mengambil sikap, dan selama pertunjukan tadi

berlangsung, saya belum juga bisa memutuskan akan memilih

bersikap sebagai siapa manakala diminta untuk memilih:

Page 83: Menghidupkan Aksi

83

Kumbakarna atau Wibisana? Keduanya sama-sama adik

Rahwana, keduanya sama-sama mencela tindakan penculikan

Rahwana terhadap Shinta, tetapi sikap yang mereka ambil toh

berlawanan.

Saat Wibisana memilih bergabung bersama Rama atas

nama kebenaran, Kumbakarna memilih setia mempertahankan

tanah airnya, Alengka, hingga kematian yang tragis datang

menjemputnya di medan pertempuran. Keduanya tercatat

sebagai satria utama, akan tetapi siapa yang sejatinya mengambil

sikap yang benar?

Pilihan Wibisana untuk bergabung bersama Rama

bukan hanya perkara soal benar-salah. Saya membayangkan,

ketidakinginan Wibisana menjadi bagian yang dieksklusi di dalam

negeri karena perbedaan sikapnya dengan sang kakak pun

‘memaksanya’ turut menyeberang menjadi pendukung Rama.

Pertanyaannya, apakah setelah ia hijrah dengan begitu mudah ia

mendapat kepercayaan dari Rama dan pengikutnya? Menurut

saya, jelas tidak semudah itu. Secara politik, di pihak Rama, ia

pun akan tereksklusi sebagai orang asing, sebagai alien. Barulah ia

akan diterima apabila telah memberikan pengorbanan yang

setimpal.

Page 84: Menghidupkan Aksi

84

Kumbakarna sendiri tak serta merta turut andil dalam

melawan penyerbuan ke Alengka. Sebelumnya, ia melarikan diri

dengan bersemadi. Barulah ia mengambil sikap untuk menyerang

balik pasukan Rama manakala keadaan tentara Rahwana semakin

mengkhawatirkan.

Betapa sulitnya menilai benar-salah dengan tetek

bengek logika menjengkelkan ini. Entahlah, saya ingin menilai

semua itu dengan rasa, hanya rasa. Mengabaikan segala logika

yang mungkin, juga ketajaman analisa dalam melihat

kompleksitas persoalan.

Tiga pekan yang lalu, saya misuh-misuh gara-gara

membaca curhatan Jean Couteau di Kompas yang menurut saya

terlalu subjektif dan hanya berpedoman pada olah rasa, olah

intuisi, sehingga tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkana.

Mungkin memang dimaksudkan demikian, sebab JC sendiri pun

memberi judul tulisan itu Igauan “identiter” di Bandara Doha.

“Mengapa mereka yang berlalu-lalang itu semuanya

merasa harus berbeda, mengikuti gaya tampilan khas warisan dari

suku, agama, atau bangsanya masing-masing? Sementara mereka

dan saya pun tak lebih dari tetesan air di aliran sungai

besar…Apakah itu cukup sebagai tanda jati diri? Saya melihat

Page 85: Menghidupkan Aksi

85

“Babel” sekeliling saya. Jelas tidak cukup!” Tulisnya di udar rasa

tersebut.

Akan tetapi, di bawah tulisan itu kok dia langsung

menilai sifat orang, kemudian mengidentikkannya dengan tokoh

lain, dengan hanya melihat tampilan luarnya saja, bukan tampilan

luar malah, dari tiket yang ia beli!

Sayangnya, meskipun misuh-misuh, saya baru sadar

bahwa selama ini pun saya telah melakukan dosa tak terampuni

itu: menilai dengan begitu mudahnya orang-orang di sekitar

hanya dari tampilan mereka, bagaimana mereka

memperlakukan gadget yang mereka miliki,

status facebook mereka, link-link yang mereka share. Tanpa mau

menyelami lebih dalam karakter dari tiap pribadi dengan

melakukan interaksi secara intens untuk menghaluskan rasa.

Mungkin (hanya mungkin) dengan kembali

merenungkan sikap yang diambil oleh Wibisana dan

Kumbakarna, kita kembali belajar, bukan untuk menggurui

tentang benar-salah, atau sekadar mengingatkan tentang norma-

norma, pesan moralitas, apalagi sekadar pembenaran penentuan

sikap, tapi untuk kembali berkaca pada diri, siapkah kita

mengambil keputusan secara sadar dan bertanggungjawab?

Page 86: Menghidupkan Aksi

86

Sekali lagi, betapa sulitnya menilai benar-salah dengan

tetek bengek logika yang menjengkelkan. Betapa inginnya saya

menilai semua itu dengan rasa, hanya rasa, mengabaikan segala

logika yang mungkin, juga ketajaman analisa dalam melihat

kompleksitas persoalan. Tapi, bijakkah?

Tanya hatimu saja.

Page 87: Menghidupkan Aksi

87

Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata

Di tengah sinar rembulan, dengan ditemani nyala api

obor yang remang-remang, seorang ksatria dengan wajah yang

penuh kesedihan tengah memahat pada sebuah batu besar,

membentuk sebuah sosok tubuh dengan wajah peyot tua, dengan

tangan kanan memegang tasbih di depan perut, sementara tangan

kirinya memegang gandewa panah.

“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa

seorang gelandangan dilarang belajar?” Kata-kata itu lirih ia ucapkan

sembari tangannya tak henti membuat guratan-guratan pada batu

besar itu, suara yang hampir-hampir tak terdengar oleh sebab

dikalahkan suara desah nafasnya sendiri.

Masih terngiang dalam ingatannya waktu-waktu yang

telah terlewati. Saat ia meninggalkan kerajaan kecilnya yang

berada di wilayah Atasangin, Paranggelung, beserta isteri yang

sangat dikasihinya, Dewi Anggraeni, untuk berguru pada

Begawan Durna. Betapa ia bersunggguh-sungguh dan dengan

kebulatan tekad melakukan perjalanan selama lebih dari dua

Page 88: Menghidupkan Aksi

88

warsa agar bisa bertemu dengan sosok Guru yang

didambakannya.

Masih terlintas dalam benaknya, penolakan demi

penolakan yang dilontarkan Begawan Durna saat ia memohon

untuk diizinkan berguru dengannya. Masih terlintas jua dalam

pikirannya, hinaan dan cacian yang Begawan Durna ucapkan saat

ia memergokinya tengah mencuri dengar saat Sang Begawan

tengah memberikan ajarannya pada Permadi.

Dan disinilah ia kini, dengan raut wajah yang tak bisa

digambarkan dengan kata sederhana. Wajah sedih yang

mengguratkan semangat dan keingian belajar yang begitu

memuncak, dengan kelelahan yang makin menjadi, serta

ketulusan yang tak terperi.

“Salam hormat saya, Guru. .” Ujarnya sambil

melakukan penghormatan di depan wujud patung Sang Begawan,

Resi Durna.

“Izinkan hamba berguru pada ruh Guru. Biarkan

hamba mengabdi dengan keteguhan hati berkhayal terhadap

sosok Anda, Guru.” Lanjutnya.

Maka hari demi hari, ia terus-menerus berlatih,

ditemani sosok patung Sang Begawan yang telah ia anggap

Page 89: Menghidupkan Aksi

89

sebagai guru sejatinya. Tiga purnama pun berlalu, mengantarkan

sosok ksatria pemahat menjadi seorang ksatria utama yang

memiliki kemampuan memanah dan olah kanuragan yang luar

biasa.

Hingga di suatu kesempatan, ia memberanikan diri

memperlihatkan olah kesaktiannya pada Sang Begawan saat ia

dan Permadi tengah berlatih di tepi hutan. Saat itulah, sang

Ksatria mampu memperlihatkan kepandaian memanahnya yang

setara dengan kemampuan yang dimiliki Permadi. Karena takjub

atas kesaktian seorang ksatria yang belajar secara otodidak

tersebut, Resi Durna dan Permadi mengikuti sang ksatria

menembus hutan, hingga diperlihatkanlah pada Sang Begawan

itu sebuah patung batu yang sama persis dengan sosok tubuhnya.

Mendapati sosok ksatria dengan kemauan keras dan

keikhlasan yang luar biasa tersebut, nampak jelas Durna begitu

kagum pada sosoknya. Namun di sisinya, Permadi

memperlihatkan wajah iri yang tampak tersirat dari sorot

matanya.

Melihat raut perasaan itu di wajah murid

kesayangannya, Resi Durna berkata, “Karena sungguh berat

kewajiban murid kepada seorang Guru, saatnya engkau

Page 90: Menghidupkan Aksi

90

memberikan bhaktimu padaku. Potong ibu jari tangan kananmu

dan berikan padaku!”

Sang Ksatria sadar, memotong ibu jari tangan kanan,

bagi seorang pemanah adalah sama dengan menghilangkan

seluruh kemampuan memanahnya. Namun, tanpa berpikir dua

kali, tanpa ragu, diambillah sebuah belati yang ia sarungkan di

pinggangnya, kemudian dengan tangan kirinya, ditebaslah ibu jari

tangan kanannya itu.

Sembari berlutut dan menunduk, dihaturkanlah ibu jari

itu pada Sang Begawan. Tak sedikitpun raut sesal terlintas di

benaknya, bahkan saat Sang Begawan dan Permadi

meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.

Adalah Bambang Ekalaya, sosok ksatria yang saya

kisahkan dalam cerita di atas. Bagiku pribadi, Ekalaya telah

mengajarkan, bahwa sebagai seorang ksatria ia bukan

sekedar menerima ilmu, tapi benar-benar menjalani proses belajar

yang keras dalam kehidupan yang ia lakoni. Meski mengalami

penolakan berulang kali, ia tidak menyerah, dalam pahitnya

berjuang, ia tetap konsisten dengan komitmennya dan dengan

sungguh-sungguh berlatih keras untuk mewujudkannya.

Page 91: Menghidupkan Aksi

91

Ekalaya juga memberikan teladan mengenai bagaimana

menjadi Murid Sejati. Ia mungkin tak mendapat pengajaran

langsung dari Durna yang baginya merupakan Guru Terbaik,

namun konsistensinya untuk belajar telah memperlihatkan proses

pembelajaran yang sesungguhnya.

Di zaman ini, banyak orang tua yang berkeinginan

menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik agar mendapat guru

dan pengajaran yang terbaik, rela merogoh kocek dalam-dalam

untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi, hal itu kadang

membuat mereka lupa mengenai proses pembelajaran yang

sesungguhnya.

Sekolah elit tak memberikan jaminan bahwa anak-anak

kita akan mendapat pengetahuan terbaik tentang kehidupan. Rasa

iri yang ditunjukan Permadi menggambarkan kesombongannya

sebagai ksatria pilihan yang merasa jauh lebih baik dibanding

Ekalaya yang tak mengenyam pendidikan yang sama dengannya.

Ini adalah penyakit kronis yang mematikan.

“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa

seorang gelandangan dilarang belajar?” Kata Bambang Ekalaya.

“Mengapa Pak Bagyo (yang jualan nasi goreng di

depan kos saya) disebut Tukang Nasi Goreng, sementara para

Page 92: Menghidupkan Aksi

92

tukang masak di restoran yang juga menyajikan menu yang sama

disebut chef? Atau mengapa para pemain musik di jalanan

disebut Pengamen yang tidak disukai kedatangannya, sedang para

penjaja suara di layar kaca disebut Penyanyi yang selalu dinanti

hadirnya? Atau mengapa seorang tukang bangunan yang sama-

sama membuat rancangan rumah sederhana di desa terpencil

tidak disebut arsitektur seperti mereka yang juga membuat

bangunan besar di kota-kota?”

Ah, betapa hidup ini penuh absurditas yang tak mampu

saya pahami dengan sederhana.

Page 93: Menghidupkan Aksi

93

Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase

Masyarakat Konsumer

Perayaan tahun baru di Kota Solo tahun ini dirundung

kelabu. Beberapa hari jelang momen pergantian tahun, Pasar

Klewer yang merupakan salah satu jantung perekonomian Kota

Solo habis dilalap api. Demi nama kemanusiaan, dan tentu saja

atas nama solidaritas, gaung kemeriahan tahun baru pun turut

dipadamkan. Akan tetapi, antusiasme warga Solo untuk

memeringati momen ini nyatanya tak turut padam. Ribuan orang

memadati jalan Slamet Riyadi mulai sejak ba’da isya hingga lepas

tengah malam jelang hari pertama di tahun 2015.

Saya termasuk salah satu orang yang turut berjubel

memadati Slamet Riyadi malam itu. Turut menyaksikan dengan

mata kepala saya sendiri begitu banyak anonim manusia yang

duduk berjejer di sepanjang trotoar, membentuk ratusan

lingkaran kecil di tengah jalan, ataupun menyantap ragam kuliner

yang dijual berjejer sepanjang Purwosari-Gladak. Meski tak

meriah, dan bahkan cukup lengang karena matinya listrik,

Page 94: Menghidupkan Aksi

94

kembang api beberapa kali dinyalakan menghias langit malam

yang gerimis.

Ada perasaan hampa yang menerpa saya demi melihat

momen pergantian tahun yang hening ini. Di tengah temaramnya

pencahayaan yang hanya hadir dari gedung-gedung bertingkat di

kanan kiri jalan, saya melihat wajah-wajah lelah yang

memimpikan harap akan datangnya matahari baru di tahun

mendatang. Terwujud atau tidak harapan itu, hanya Tuhan yang

kan menjawab. Bukankah manusia memang hanya bisa berupaya

sebaik-baiknya?

Akhir tahun mendatang, saya dan ribuan anonim

manusia yang memadati Slamet Riyadi ini akan menghadapi

MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Kami semua harus siap

melihat ketimpangan yang lebih besar. Bukan hanya ketimpangan

pasar yang terbakar dan meriahnya sekaten di alun-alun. Kami

harus siap melihat betapa yang besar akan semakin besar,

sementara yang kecil semakin tergilas. Kami harus mengelus

dada saat menyaksikan penghasilan kelompok atas dan

menengah lepas bebas, sementara kelompok kecil akan selalu di

atur dan di tekan serendah-rendahnya. Potret buram in akan

hasilkan kesenjangan antara mereka yang termanjakan oleh

fasilitas mewah dan mereka yang terhimpit dan tertindih titik

nadir kesusahan.

Page 95: Menghidupkan Aksi

95

Perluasan dan integrasi pasar yang tercermin dari

diberlakukannya MEA sedikit banyak telah terlihat dampaknya.

Perilaku konsumtif masyarakat telah muncul di berbagai kategori

usia, lapisan, dan kelompok. Hal ini tercermin dari lenyapnya

dimensi moral, kehangatan spiritual, dan makna kemanusiaan itu

sendiri. Sekali lagi, persoalan MEA bukan hanya persoalan

ekonomi, tetapi juga gesekan lapisan moral, sosial, dan

kebudayaan.

Perayaan malam tahun baru kemarin adalah perayaan

yang pertama saya ikuti sejak saya lulus dari bangku Sekolah

Dasar. Saya berharap akan mendapati ribuan orang yang saling

berbagi kisah refleksi tentang satu tahun yang telah terlewati dan

resolusi yang mereka canangkan satu tahun mendatang. Saya kira

akan melihat orang-orang yang saling menggenggam tangan erat

untuk ucapkan maaf dan terima kasih atas kebersamaan yang

penuh makna sepanjang tahun. Namun, yang saya lihat di

hadapan saya adalah orang-orang yang detik demi detiknya sibuk

berpose di depan kamera, mengunggahnya ke jejaring sosial, dan

saling berbagi cerita dengan kawan mayanya.

Fenomena ini kerap diklaim sebagai salah satu bentuk

ekstasi. Ekstasi, menurut Jean Baudrillard, adalah kondisi mental

dan spiritual di dalam diri setiap orang yang berpusar secara

spiral, sampai pada satu titik ia kehilangan setiap makna, dan

Page 96: Menghidupkan Aksi

96

memancar sebagai sebuah pribadi yang hampa. Seseorang yang

tenggelam di dalam pusaran siklus hawa nafsunya, pada titik

ekstrem menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai moral.

Ekstasi dalam masyarakat kita hari ini tercermin dalam

suntikan ekstasi yang pragmatik dan narsistik. Yasraf Amir

Piliang membaginya dalam banyak term. Tiga diantaranya adalah

ekstasi komunikasi, ekstasi sosial, dan ekstasi internet. Ekstasi

komunikasi adalah esktasi dalam berkomunikasi tanpa merasa

perlu adanya pesan dan makna komunikasi. Ekstasi sosial yakni

ekstasi dalam bersosialisasi secara global tanpa merasa perlu

berinteraksi secara fisik. Dan, ekstasi internet, yakni sosialisasi

global yang membuat dunia bergerak mengelilingi kita melalui

internet. Bentuk-bentuk ekstasi ini mengantarkan masyarakat kita

menjadi masyarakat konsumer yang senang bertamasya menuju

siklus trance/ pencerahan semu.

Masyarakat kita saat ini menjadikan jejaring sosial

sebagai gaya hidup yang menggoda. Jejaring sosial ini

menawarkan penampakan ilusi, kenyamanan, kegairahan,

prestasi, dan ekstasi. “Saya mengunggah foto di facebook yang di-like

oleh ratusan orang, saya eksis, saya berhasil.” Namun, berhasil dalam

hal apa? Jumlah like atau komentar kah? Prestasi jumlah like ini

adalah prestasi semu yang menenggelamkan manusia dalam

ekstasi pengalaman puncak narsistik yang terdalam. Sebab,

Page 97: Menghidupkan Aksi

97

sejatinya tak ada nilai guna dari jumlah like dan komentar selain

citraan narsistik pada diri.

Citraan semu ini terus dikejar demi mendapat

pengalaman puncak, ilusi akan keberhasilan yang tercipta dari

banyaknya like dan komentar di jejaring sosial. Maka, tak heran

citraan semu ini menjadi pasar untuk dijajah komoditi. Tak

cukup menggunakan efek cantik lewat aplikasi gratis di internet,

demi mendapat penampilan sempurna di layar kamera, seseorang

rela melakukan perawatan wajah senilai jutaan rupiah. Maka

tubuh pun kini hanya jadi seonggok daging terbungkus kulit yang

padanya dipakaikan baju yang sesuai mode dan ragam aksesoris

yang memikat.

Yang perlu kita sadari adalah bahwa perubahan sistem

nilai budaya demi terwujudnya consumen culture adalah pilihan

rasional ekspansi pasar ke negara berkembang agar tindakan

konsumtif tetap terjaga. Selain menggunakan iklan sebagai media

advertensi, ekstase narsistik masyarakat juga dipupuk menjadi

lahan subur serbuan komoditas asing.

Pertanyaan besar yang belum terjawab adalah, sejauh

mana kesiapan kita menghadapi era pasar bebas di akhir tahun

mendatang jika kita belum jua bisa lepas dari budaya ekstasi

masyarakat konsumer ini?

Page 98: Menghidupkan Aksi

98

Bedah Buku Waktunya Tan Malaka

Memimpin

Tan Malaka adalah sosok yang jarang dikenal oleh

generasi saat ini. Sekalipun, saat orde lama ia pernah ditepakan

sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno, akan tetapi foto,

biografi, dan kisah kepahlawanannya seolah tenggelam selama

berpuluh tahun lamanya seiring dengan keberjalanan Republik

Ini. Saat mengetahui ada sebuah buku berjudul ‘Waktunya Tan

Malaka Memimpin’, yang kemudian menjadi pertanyaan

adalah. Siapa Tan Malaka? Mengapa Tan Malaka? Dan sejauh

mana relevansi gagasannya berpengaruh di era sekarang?

Penulis-Eko Prasetyo, menguraikan alasan mengapa ia

menulis buku ini dalam bedah buku yang diselenggarakan LPM

Kentingan, 10 Juni 2013 dalam tiga poin berikut.

Pertama, karena tokoh kiri tak pernah diangkat dalam

sejarah Indonesia. Memang, sejauh yang saya ketahui, saat

melanjutkan studi di Rijks Kweekschool Belanda pada 1913, ia

mengenal beragam pemikiran, termasuk Marxisme-Leninisme

Page 99: Menghidupkan Aksi

99

yang kemudian diadopsinya sehingga relevan diterapkan bagi

bangsa Indonesia.

Kedua, karena gagasan Tan Malaka masih sangat

relevan. “Kemerdekaan 100%” yang menjadi cita-cita Tan

Malaka merupakan inspirator perdana lahirnya konsep negara

yang berdaulat pasca kemerdekaan, dimana istilah Republik

Indonesia pertama kali dicetuskan olehnya, empat tahun sebelum

pledoi Indonesia Merdeka Muhammad Hatta. Gagasan yang

kemudian pun diwariskan pada ‘binaan’nya, Bung Tomo, yang

seperti kita ketahui bersama, begitu berapi-api dalam orasinya

saat perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Ketiga, di tengah miskinnya visi aktivis pergerakan,

dimana setiap kali diskusi menemui jalan buntu, maka lagi-lagi

kalimat yang muncul adalah “Mari kita kembali ke Pancasila”,

atau “Mari kita kembali ke manhaj..”, bla bla bla. Ia menolak

jalan-jalan diplomasi yang ia yakini sebagai jalan yang tidak

meyakinkan. Keyakinan untuk merebut kemerdekaan dengan

tangan sendiri, ia buktikan sebagai jalan juangnya membela

Republik.

“Sejarah hidup Tan Malaka adalah jalan hidup seorang

martir. Begitu tegar. Asketisme yang luar biasa. Ia begitu

meyakini kekuatan agama dengan spirit Islam”, Demikian

Page 100: Menghidupkan Aksi

100

Ungkap Eko Prasetyo, sang Penulis buku ‘Saatnya Tan Malaka

Memimpin’ itu.

Memang, salah satu tesis Tan yang terkenal adalah

integrasi semangat Pan Islamisme dan komunisme guna melawan

rezim kapitalisme, yang ia sampaikan dalam pidato mewakili PKI

di Rusia tahun 1920. Ia meyakinkan komunis Rusia bahwa Islam

adalah agama untuk pembebasan rakyat dari kolonialisme yang ia

dasari pada perkembangan Sarekat Islam di Hindia Belanda

(Meskipun SI pada saat itu pecah menjadi dua, hingga pada

akhirnya PKI lahir).

Tan sendiri, selain senantiasa menyuarakan kesadaran

kolektif massa dan persatuan guna melawan imperialisme juga

menyuarakan ketidakpercayaannya pada sistem parlementer yang

menurutnya hanya berpihak pada mereka yang memiliki

kekuasaan. Ia mengusulkan agar negara dikelola oleh organisasi

konvensional, misal: organisasi sosial, bukan Parpol. Sehingga,

pengelolaan negara digantikan oleh perwakilan blok-blok.

Menyoroti pemilihan umum raya di berbagai kampus

di PTN/PTS di Indonesia, agaknya memang mengkhawatirkan.

Pemilihan ketua BEM didasarkan pada suara mayoritas dengan

mekanisme yang sama sebagaimana ditetapkan dalam Pilkada.

Mahasiswa seolah tak memiliki gagasan genuine dalam berpolitik,

Page 101: Menghidupkan Aksi

101

tertampilkan jelas lewat bagaimana foto calon dan orasi-orasinya

yang tak jauh berbeda dengan para politikus yang berebut suara

di Pilkada. Memprihatinkan!

Bagi Tan Malaka, kemerdekaan 100% harus

ditegakkan, dengan parameter : semua sektor penting harus

dikuasai oleh negara, termasuk pendidikan. Nah, pertanyaanya

bagaimana pendidikan ala Tan ini diterapkan?

“Pendidikan harus menghasilkan tiga aspek ini lahir

pada diri siswa : Rasionalitas, kemauan yang keras, dan

menghaluskan perasaan.”

Perlu diketahui pula bahwa sebelum ia berangkat ke

pembuangannya, ia telah mendirikan sekolah-sekolah rakyat

dengan menguraikan dasar tujuannya yaitu: dikuasainya ilmu

alam dan bahasa, pendidikan berorganisasi, serta pendidikan yang

berpihak pada kepentingan masyarakat.

Panelis Bedah buku kali ini, Kanda Ekanada Shofa

(Dosen FISIP UNS), mengungkapkan tangggapannya atas buku

‘Waktunya Tan Malaka Memimpin’. Selain mengomentari

tampilan buku yang menarik karena disertai dengan kartun dan

ilustrasi yang memikat, ia juga berkomentar soal substansi buku

tersebut.

Page 102: Menghidupkan Aksi

102

“Ide-ide Tan Malaka harus memimpin sebab ide yang

ia kemukakan masih sangat relevan di era sekarang dimana lawan

yang kita hadapi bukan hanya imperealisme kapitalis, tetapi juga

mentalisme feodal.”

Setelah pemaparan dari Eko Prasetyo dan tanggapan

dari Kanda Eka, saya pun mengajukan pertanyaan: “Salah satu

alasan Pak Eko menulis buku Tan Malaka ini adalah karena skeptis

terhadap visi aktivis pergerakan yang setiap kali menemui jalan buntu,

maka dikembalikan pada kalimat normatif seperti kembali ke pancasila

atau ideologi organisasinya. Tan Malaka menyegarkan kita dengan

tesisnya mengenai integrasi antara Pan-Islamisme dan Komunisme. Nah,

disini ada yang aneh. Pan Islamisme itu kanan mentok, sedang komunisme

itu kiri njeglek, bagaimana proses integrasi itu bisa terjadi, dan apa

implementasinya bagi aktivis pergerakan di era sekarang?”

Eko Prasetyo beranggapan bahwa komunisme dan

Islam itu memiliki banyak persamaan. Pertama, sama-sama

membenci akumulasi yang dikutuk (kapitalisme). Kedua,

memiliki semangat militansi yang sama. Ketiga, kelangsungan

hidupnya dipertaruhkan pada revolusi. Nah, bagaimana

mengimplementasikan dalam dunia aktivis? Pertama, jadilah

aktivis yang radikal dan ekstrem. Kedua, Bukalah dialog dengan

membuka kran komunikasi. Ini waktunya membuka diri dengan

komunikasi untuk melawan imperialisme.

Page 103: Menghidupkan Aksi

103

Sementara itu, dalam menyoroti dunia aktivisme

pergerakan mahasiswa di era sekarang, Kanda Eka berkomentar

mengenai ‘narsisme’ aktivis kampus dan pergerakan. Minimnya

semangat membaca menyebabkan miskinnya gagasan dan ide-ide

segar untuk melakukan transformasi.

“Kalau belum baca buku, belum aktivis namanya. Tan

Malaka saja saat dalam pembuangannya bawa satu peti buku

untuk dibaca!”

Padahal, seringkali aktivis kampus banyak turun ke

jalan untuk menyuarakan aksi. Tanpa membawa data dan solusi

yang relevan, sekedar ingin diliput media, selesai. Itu hal yang

naïf. Bukannya kesadaran kritis yang dihasilkan, melainkan

kesadaran magis. Pun, setelah aksi, evaluasi tak ada (kalaupun

ada, tak pernah menyiapkan langkah konkret pasca aksi).

Mestinya, saat kita tahu bahwa kapitalisme-yang

menjadi musuh kita bersama semakin besar, kita bisa

menginisiasi untuk membuat aliansi strategis, membuka kran-

kran diskusi sesama organisasi mahasiswa, baik itu intra maupun

eksternal kampus.

Page 104: Menghidupkan Aksi

104

Sayangnya, kita seringkali memiliki ego sektoral yang

berlebih, sektarianisme organisasi, sehingga yang ada saat

mengangkat isu bersama adalah kontestasi bendera dan massa.

Page 105: Menghidupkan Aksi

105

Derita Remaja dan Kapitalisme,

Islam sebagai Solusi13

Judul di atas saya ambil dari paparan orator pertama

dalam sebuah acara yang digelar oleh Muslimah Hizbut Tahrir

Solo Raya dengan judul yang sama. Orator pertama dalam

seminar ini berbicara mengenai Derita Remaja dan Kapitalisme

dengan menyinggung mengenai kondisi remaja di berbagai

belahan dunia termasuk Indonesia dalam menghadapi berbagai

problematika akibat krisis multidimensi yang terus menghinggapi

bangsa.

Kapitalisme dinilai telah menyebabkan degradasi moral

yang luar biasa di kalangan pemuda dengan mengatasnamakan:

kebebasan perilaku, ekspresi jiwa, dan mengukuhkan eksistensi

diri. Sehingga, sadar tidak sadar kini remaja telah dieksploitasi

dalam segala sisi kehidupannya. Akibatnya, lahirlah generasi yang

13 Khilafah Melindungi dan Menyejahterakan Remaja adalah tema dari

kegiatan yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

DPD HTI Kota Surakarta Ahad, 16 Desember 2012 di Gedung YPAC

Surakarta untuk para pelajar dan mahasisa se-solo raya.

Page 106: Menghidupkan Aksi

106

lemah secara pemikiran, rusak kepribadiannya, dan mengalami

split personality (galau).

Yang saya garis bawahi dengan mantap dari yang

dipaparkan oleh orator pertama adalah mengenai model

pendidikan di Indonesia yang sarat dengan sekularisme.

Diantaranya adalah pemisahan agama dari kehidupan akademis

sekolah dan lebih fokusnya pendidikan untuk menghasilkan

tenaga kerja yang serba ‘terbatas’ dengan upah yang jauh dati

kelayakan.

Untuk bisa menikmati pendidikan yang berkualitas,

remaja harus menguras kantong orang tua dengan biaya

pendidikan yang luar biasa mahal, sedang yang tidak mampu

hanya bisa berharap dari serpihan bantuan yang disebut dengan

beasiswa, setelah memenuhi syarat yang sangat menyulitkan dan

merendahkan: menyatakan berasal dari keluarga miskin.

Memang, saya pun merindukan hal yang sama. Dimana

para pemuda dan remaja Islam bangkit dan maju dengan

ketinggian syakhsiyah dan tsaqofahnya. Sebab, remaja/ pemuda-

red adalah garda terdepan untuk mengembalikan Islam secara

kaffah.

Page 107: Menghidupkan Aksi

107

Bagaimana caranya? Acara ini mengklaim bahwa hal ini

akan terwujud apabila model Negara yang menerapkan Islam

sebagai minhajul hayyah, Khilafah Islamiyah menjadi jalan

politik.

Konsep ini lahir dari interpretasi terhadap Shiroh

Nabawiyah, dimana Rasulullah dalam perjuangannya

menegakkan Islam membentuk kelompok politik (kutlah siyasi).

Kutlah siyasi adalah kelompok atau partai politik yang berjuang

di tengah-tengah umat untuk mewujudkan syariat Allah swt di

muka bumi yang dimulai dengan melakukan pembinaan intensif

(haqlah murazakkazah) dalam rangka mewujudkan kader yang

bersyakhsiyah Islamiyah dengan tsaqofah yang memadai. Tahap

berikutnya adalah dengan melakukan pembinaan umat (tatsqif

jama’i) secara luas guna terbentuknya kesadaran umum

masyarakat (al wa’yu al amy) yang benar tentang Islam sehingga

memunculkan kebutuhan dan terlibat aktif memperjuangkan

tegaknya khillafah. Yang ketiga adalah dengan melalui

pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu jizmi) agar kegiatan

pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan

lebih intensif hingga terbentuklah kekuatan politik (al quwwatu al

siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memiliki

kesadaran politik islam. Yakni kesadaran bahwa kehidupan

bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariat Islam

Page 108: Menghidupkan Aksi

108

sehingga massa umat dalam jumlah besar tersebut akan

menuntut perubahan ke arah Islam. Didukung oleh al quwwah

(polisi, militer, dsb) yang mendukung perjuangan syariat dan

khilafah maka sungguh kekuatan politik ini tak akan terbendung.

Khilafah adalah sebuah model daulah yang melindungi

dan menyejahterakan. Sebab dalam khilafah islamiyah Negara

bertanggungjawab terhadap urusan seluruh rakyatnya dengan

menerapkan seluruh hukum Islam dan menyampaikan Islam ke

seluruh muka bumi. Bahkan, daulah islamiyah pun memiliki

sistem kebijakan strategis dan menyeluruh.

Bahwa khilafah adalah satu-satuya solusi guna

meluruskan tatanan jahiliyah menuju kebenaran Islam yang

abadi. Karena sesungguhnya tidak akan pernah mungkin

kebaikan dan kejahiliyahan akan dapat hidup berdampingan.

Meskipun, beberapa orang menganggap bahwa sejatinya

pertempuran antara kebaikan dan kebathilan musykil terjadi

hingga satu diantara dua sebab ini terjad : orang yang

mempertempurkan itu dalam hatinya mati, atau dunia ini kiamat.

Dalam bukunya, Ma’alim Fi Ath-Thariq, Sayyid Qutbh

menjelaskan bahwa konsepsi Islam bersifat teoritis sekaligus

realistis. Konsepsi Islam bukanlah teori yang lepas dari realitas,

akan tetapi tercermin dalam realitas yang dinamis. Kita tidak akan

Page 109: Menghidupkan Aksi

109

mampu menegakkan konsepsi Islam dan juga mencapai

kehidupan Islami, kecuali dengan cara menempuh manhaj

pemikiran yang Islami.

Sudah pasti, Islam datang untuk mengembalikan

manusia juga alam semesta yang melingkupi manusia kepada

kedaulatan Allah-Rabb semesta alam. Upaya untuk

menghancurkan kejahiliyahan dan mengembalikan kedaulatan

kepada Allah semata tidaklah akan bisa dilaksanakan tanpa

menggunakan hukum Allah.

Dan, kedaulatan Allah sungguhlah hanya akan bisa

ditegakkan apabila syariat Allah menjadi pemerintahnya, dan

sumber ketentuanya ada di tangan Allah sesuai dengan aturan

yang jelas yang telah ditetapkan-Nya. Bahkan, siapapun yang

mengaku dirinya mempunyai otoritas menetapkan undang-

undang bagi manusia, berarti ia telah mengklaim ketuhanan

dirinya secara implisit maupun eksplisit, entah ia mengklaim itu

dengan ucapan ataupun tanpa ucapan.

Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Konsekuensinya,

Islam tidak boleh berhenti pada batas-batas geografis, tidak pula

mengisolasi diri dalam sekat-sekat etnis. Maka, adalah hal yang

menjadi suatu keniscayaan bahwa Islam mulai mengambil

inisaiatif gerakan pembaharu guna menegakkan kalimatullah di

Page 110: Menghidupkan Aksi

110

muka bumi ini. Individu-individu yang hatinya telah murni

terhadap penghambaan kepada Allah dan steril dari

penghambaan selain kepada Allah, semestinyalah bersatu dan

bergabung dalam sebuah komunitas Islam.

Tatkala aqidah sudah berlainan maka terurailah satu

ikatan kerabat dan terbagilah yang satu, karena yang menjadi kata

kunci dari terbentuknya Darul Islam/ Khilafah Islamiyah adalah

ikatan aqidah.

Negara Islam diperuntuhkan bagi orang yang mau

menerima syariat Islam sebagai tatanan, meski ia bukan seorang

muslim. Islam tidak didasarkan pada hubungan tanah kelahiran

atau kesukuan, tidak pada ikatan keturunan ataupun pernikahan,

dan tidak pula jalinan kabilah ataupun kerabat. Islam tidak akan

tegak di bumi yang tidak dikendalikan oleh Islam dan syariatnya.

Dalam marhalah amal, Ikhwanul Muslimin,

pembentukan Negara Islam adalah salah satu capaian sebelum

terbentuknya khilafah Islamiyah dan menjadikan Islam sebagai

soko guru peradaban. Sehingga, pasca Negara dan bangsa ini

telah bertunduk dalam hukum-hukum Islam dan Negara-negara

yang lain diseluruh dunia mengazzamkan hal yang sama. Maka

yakinlah bahwa gelombang besar itu akan terus bergolak dan

melaju penuh gairah, diusung oleh para pemuda Islam yang yakin

Page 111: Menghidupkan Aksi

111

dengan hati mereka yang tulus bahwa hanya Islam-lah satu-

satunya solusi perjuangan.

Maka, saya sangat mengapresiasi siapapun mereka yang

mengafiliasikan dirinya dalam suatu wadah pergerakan pemuda

Islam. Sebab saya yakin mereka mencita-citakan hal yang sama.

Sama baiknya (setidaknya begitu). Gerakan apapun sama saja

dalam manhaj Islam ini, asalkan proaktif berupaya melepaskan

manusia dari pengabdian (ubudiyah) kepada hamba menuju

pengabdian kepada Allah semata. Selayaknya KAMMI yang

bercita-cita mewujudkan bangsa dan Negara yang Islami dan

HMI yang berazzam mewujudkan masyarakat adil makmur yang

diridhoi oleh Allah swt. Dan HTI yang dengan menggebu gebu

mengatakan tiga baris kalimat yang menggetarkan: Tiada

kemuliaan tanpa Islam, Tiada Islam tanpa syariah, Tiada Syariah tanpa

daulah khilafah.

Namun, apakah benar bahwa hanya ada satu macam

negara yang bisa menopang pemerintahan yang Islami, yaitu

negara Islam (Darul Islam)?

Page 112: Menghidupkan Aksi

112

Print Culture Ideologisasi Gerakan

Tarbiyah di Indonesia

Gerakan Tarbiyah atau usroh merupakan

sebuah prototype gerakan-gerakan sejenis yang telah lama

berkembang di berbagai belahan dunia Islam. Lebih lanjut,

model gerakan ini cenderung mengadopsi pola gerakan Ikhwanul

Muslimin yang lahir pada tahun 1928 sebagai representasi

gerakan pemikiran serta perpolitikan Islam yang didirikan oleh

Imam kharismatik, Hasan Al Banna di Mesir. Ciri khas gerakan

ini adalah sistem kaderisasi yang terstruktur, bersifat urban dan

berbasis perkotaan, serta menjadikan kampus sebagai basis

gerakan.

Tulisan ini akan membahas mengenai ideologisasi yang

dilakukan gerakan tarbiyah di Indonesia dan peran media

sebagai print culture dalam upaya transfer ideologi.

Lahirnya Gerakan Tarbiyah

Hadirnya gerakan ini di Indonesia tak lepas dari

pengaruh rezim otoriterian orde baru yang represif melalui

Page 113: Menghidupkan Aksi

113

marginalisasi tokoh-tokoh muslim beraliran ‘kanan’ serta

pembubaran gerakan-gerakan yang disinyalir fundamental,

termasuk penerapan Pancasila sebagai asas tunggal dalam

organisasi sosial-keagamaan.

Menjalankan Islam secara menyeluruh dalam setiap

aspek kehidupan yang dianggap materialistik dan sekuler

merupakan keinginan yang muncul dari sebagian masyarakat

Islam Indonesia yang kala itu merasa menjadi ‘korban’ atas

kebijakan-kebijakan politik orde baru yang represif dan tidak

memihak pada Islam sebagai golongan mayoritas di Indonesia.

Maka, model gerakan Islam yang sebelumnya lebih

mengedepankan mobilisasi massa pun beralih melalui proses

internalisasi melalui halaqah-halaqah yang beranggotakan tak

lebih dari 12 orang, yang melakukan rekruitmen dan kaderisasi

dengan hati-hati. Yakni melalui gerakan underground yang

mengadakan pertemuan rutin yang berpindah-pindah setiap

pekannya dari satu masjid ke masjid yang lain, maupun dari satu

rumah ke rumah yang lain. Kebanyakan dari mereka bukan

berasal dari pesantren dan sejenisnya. Mereka belajar agama

Islam secara instan saat menempuh kuliah di pendidikan tinggi,

sehingga rasa peningkatan kesadaran beragama tersebut kadang

membuat mereka kaku dan merasa berbangga diri dengan

identitas kesantrian mereka.

Page 114: Menghidupkan Aksi

114

Gerakan ini pun melesat pamornya di beberapa

sekolah negeri, menyusup dalam organisasi Islam (Rohis) dan

melakukan pengkaderan di sana. Pola pengkaderan yang

dilakukan pun cenderung teratur dan sistematis, sebab seorang

yang telah dibina selama misal 1 tahun dan dirasa memiliki

kepahaman yang cukup akan didaulat menjadi mentor (murobbi)

dan bertugas untuk mencari adik binaan dengan ‘ajakan yang

baik’. Terus begitu hingga selanjutnya, kader-kader terekrut akan

dibina dan nantinya menjadi kader inti pada saat melanjutkan

studi di pendidikan tinggi.

Materi kajian yang dibahas bukanlah seperti yang

dilakukan oleh limited group yang dilakukan beberapa aktivis

Himpunan Mahasiswa Islam yang dimotori oleh Achmad Wahib,

Dawam Raharjo, dan Djohan Effendi guna pembredelan Islam

dilihat dari kacamata filsafat dan sejenisnya, akan tetapi lebih

menanamkan pada beberapa aspek seperti aqidah, ibadah, dan

akhlak guna menanamkan nilai-nilai dasar ideologi (fikrah).

Mereka kerap menggunakan kosa kata bahasa Arab pada saat

penggunaan bahasa Indonesia, seperti :Afwan, syukron, Jazakallah,

La ba’tsa, dan lain-lain. Kelompok ini menyebut diri mereka

sebagai akhi/ikhwan untuk para pria, dan ukhti atau akhawat

untuk para wanita.

Ideologisasi Gerakan Tarbiyah melalui Media

Page 115: Menghidupkan Aksi

115

Seiring dengan makin luas dan diterimanya gerakan ini

di masyarakat, maka kebutuhan akan materi-materi yang lebih

kompleks guna mengideologisasikan tujuan dan cita-cita jangka

panjang pun semakin meningkat.

Ismatu Ropi dalam essainya yang

berjudul “Membangun Masyarakat Islami dan Ideologisasi

Gerakan Tarbiyah di Indonesia” menyatakan bahwa adalah hal

yang tak terbantah bahwa gerakan Tarbiyah di Indonesia (sedikit

banyak atau bisa jadi sedemikian besar) mengadopsi dalam batas-

batas tertentu ideologi Ikhwanul Muslimin yang dikenal militan

dan sangat tertarik dengan hal-hal praktis keseharian. Jikapun

dikatakan bahwa gerakan Tarbiyah dan IM masing-masing tak

saling berkaitan maka keduanya tetaplah akan saling memberi

dukungan disebabkan adanya kesamaan motif dan tujuan.

Akan tetapi, seperti yang saya sampaikan di atas, latar

belakang para anggota yang bukan berasal dari pesantren

maupun perguruan tinggi Islam menghambat transfer ideologi

ini. Maka, disinilah peran media cetak sebagai print culture

memberikan andil besar dalam proses transmisi gerakan.

Maka, dengan modal jaringan dan mobilisasi massa dan

dana yang memadai, diterjemahkanlah berbagai bentuk karya

islam klasik dan kontemporer besutan para akademisi lulusan

Page 116: Menghidupkan Aksi

116

timur tengah atau mereka yang memiliki pandangan ideologis

yang relative sama, sehingga pemilihan yang selektif terhadap

buku-buku bernuansa Islam pun laris manis diterbitkan oleh

beberapa penerbit seperti: Gema Insani Press, Pustaka Al

Kautsar, Rabbani Press, Asy-Syamil, dan yang terkahir Era

Intermedia. Penulis dan buku yang dijadikan sumber referensi

yang diterbitkan diilhami oleh karya-karya tokoh ikhwanul

muslimin seperti Sayyid Quthb, Hasan Al Banna, Hasan Al

Hudhaybi, dan Yusuf Al Qardhawi.

Tak hanya melalui media cetak, ideologisasi yang

dilakukan pun memanfaatkan sejumlah perangkat modern

melalui dunia maya, seperti jejaring sosial (akun facebook dan

twitter) dan website (dakwatuna.com, eramuslim.com).

Media yang digunakan untuk propaganda isu

kontemporer pun lumayan beragam, dari penerbitan beberapa

majalah seperti Tarbawi, Sabili, dan Ummi, serta pemanfaatan

media elektronik yang tersedia.

Disini kentara terlihat bahwa kelompok ini bukanlah

kelompok fundamental anti-modernitas. Sebagai kaum

intelegensia santri baru, mereka menempatkan diri sebagai anak-

anak zaman yang menggunakan modernitas yang dihasilkan oleh

peradaban barat untuk mensubordinasikannya dengan standar

Page 117: Menghidupkan Aksi

117

ortodoksi keagamaan yang mereka yakini sebagai ideologi

sekaligus untuk melawan hegemoni barat itu sendiri.

Menyoroti Print Culture Ideologi Tarbiyah

Adalah hal yang luar biasa ketika jumlah penerbitan

buku-buku Islam yang menyokong ideologisasi jamaah ini begitu

berlimpah di lapangan. Akan tetapi, cobalah perhatikan! Di titik

inilah terjadi disorientasi dan stagnasi, dimana buku-buku yang

ada hanya mengautentikkan pemikiran khas Ikhwanul Muslimin

tanpa mengkolaborasikan dengan unsur kearifan lokal khas

Indonesia, bukan hanya dari segi politik, tapi juga sosial dan

kultur. Sehingga yang terjadi seolah hanyalah perpindahan

ideologi dari Timur Tengah ke Indonesia. Padahal, seperti yang

kita ketahui bangsa Indonesia pun memiliki kearifan lokal

tersendiri dengan konteks historis, politik, budaya, dan

keagamaannya.

Disini, penulis akan menganalisa kajian yang dilakukan

oleh Robert Wuthnow terkait gagasan reformasi protestan yang

dimulai pada tahun 1520-an oleh Martin Luther. Ia berpendapat

bahwa dinamika hubungan antara lingkup sosial dan ideologi

akan berperan penting dalam proses reformasi. Situasi inilah yang

akan memunculkan proses artikulasi gagasan dari aktor-aktor

yang terlibat di dalamnya.

Page 118: Menghidupkan Aksi

118

Proses ini dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, tahap

produksi dimana ide-ide bermunculan melalui kerja-kerja

penulisan dengan print material berupa buku, jurnal, pamphlet,

dan sebagainya. Kedua, seleksi dimana para pemikir dan penulis

memilih apa yang akan dituliskan sehingga mulai terbentuklah

beragam school of thought. Ketiga, adalah proses

institusionalisasi dimana mekanisme rutin untuk menyebarkan

ide sehingga menjadikan diskursus lebih terlembaga. Dalam

pelembagaan inilah akan tercipta komunitas yang diwarnai

diskursus yang beragam dari ideologi yang saling berkompetisi.

Dan untuk menjawab tantangan itu, berani dan

mampukah kita sebagai kader dari Jamaah Tarbiyah melakukan

desakralisasi terhadap ideologi kita dan mulai membuka kajian-

kajian yang lebih terbuka guna konteksualisasi ideologi dengan

kondisi historis, politik, budaya, dan keagamaan bangsa

Indonesia dengan tetap berjalan pada koridor AlQur’an dan Al-

Hadits?

Sampai hatikah kita-sebagai pembangun rumah-

kemudian melupakan pondasi yang telah ditanamkan oleh kakek-

nenek kita terdahulu dan mengingkari pernyataan yang sangat

asasi bahwa kita adalah bagian dari masyarakat Indonesia?

Sumber Bacaan:

Page 119: Menghidupkan Aksi

119

Ismatu Ropi dalam essainya yang berjudul Membangun

Masyarakat Islami dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di

Indonesia mengutip hasil penelitian Tim Peneliti Pusat Bahasa

dan Budaya (PBB) IAIN Jakarta :Radikalisme Agama di

Indonesia yang laporannya tidak diterbitkan.

Robert Wuthnow, Communities of Discourse: Ideology and

Social Structure in The Reformation, the Enlightment and

European Socialism (Cambridge : Harvard University Press,

1989), hal 9-10

Page 120: Menghidupkan Aksi

120

Demokrasi dalam Syariat Islam14

Pertanyaan mengenai bagaimana Islam memandang

demokrasi senantiasa menjadi topik menarik untuk

diperbincangkan dalam berbagai obrolan ringan, selentingan di

media sosial, diskusi klasikal, hingga tema dalam berbagai

seminar yang diselenggarakan ormas Islam. Hal ini pula yang

menjadi fokus kajian sebuah seminar yang dimotori oleh

Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h beberapa

waktu silam.

Bapak M.Dian Nafi, salah satu fasilitator seminar ini

melakukan telaah mengenai hakikat manusia, spirit dalam ajaran

Islam untuk memperbaiki demokrasi, serta kemungkinan umat

14 Pada 2 Februari 2014 kemarin, saya mengikuti seminar

nasional bertema Demokrasi dalam Syariat Islam yang diselenggarakan

oleh Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h di Ruang

Sidang Gedung DPRD Kota Surakarta atas ajakan kakak saya di

KAMMI.

Page 121: Menghidupkan Aksi

121

Islam menjadi pelopor dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

Beliau menekankan pentingnya kebersamaan untuk

membangun kebajikan bersama guna membangun peradaban

sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw. Dengan kesadaran

tersebut, ia berpendapat sudah sepatutnyalah manusia mau dan

mampu menerima amanat dan ikut memperbaiki keadaan,

bukannya malah menarik diri dari kehidupan komunalnya,

termasuk peran sertanya dalam memperbaiki demokrasi.

Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa sebagai cara

bernegara, demokrasi tidak bisa dilaksanakan secara seragam oleh

negara tempat umat Islam berada dikarenakan berbagai faktor,

baik itu dari segi geografi, kependudukan, dan sejarah masing-

masing. Ada demokrasi yang menjamin umat Islam hidup dalam

syariatnya meski tidak diterapkan sebagai hukum positif, ada

yang masih terus bergerak dinamis, ada pula yang masih terjebak

pertikaian politik yang berlarut-larut.

Namun secara substansial, beliau berpesan bahwa umat

Islam haruslah mampu menjadi pelopor dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimanapun berada.

Umat Islam haruslah mampu menjadi pengawal dan teladan

Page 122: Menghidupkan Aksi

122

demokrasi sesuai dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Sementara itu, fasiliator kedua, Bapak Ihsan Saifuddin,

membahas mengenai bagaimana memilih pemimpin dalam Islam

dalam perspektif Qur’an, sunnah, dan sejarah.

Dalam eksistensi kepemimpinannya, manusia haruslah

berkaca pada sosok pemimpin paripurna, Nabi Muhammad saw.

Diantara sekian banyak kriteria seorang pemimpin, beliau

meringkasnya dalam satu kesimpulan yaitu: pemimpin yang

memiliki karakter yang kuat.

Karakter yang kuat ini mencakup: kuat fisik dan kuat

ilmu/mental (basthotan fil ilmi wa jismi). Interpretasi kuat

mental adalah sifat kebaikan yang menyeluruh dengan poros

utamanya yaitu taqwa, kuat fisik artinya tidak memiliki cacat fisik

dan penyakit yang mengakibatkan lemah kepemimpinannya.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa di era kini seorang

pemimpin haruslah orang yang melek teknologi.

Pembicara ketiga, Bapak Abdullah Faishol, membahas

mengenai Islam dan Demokrasi di Indonesia. Beliau mengawali

pembahasannya dengan mengingatkan kembali pada sejarah

pasang surut politik di Indonesia dari masa pra-kemerdekaan

Page 123: Menghidupkan Aksi

123

hingga era sekarang yang begitu kompleks. Sejurus kemudian, ia

mengaitkannya dengan pertanyaan Hefner, yang salah satunya:

Apakah Islam sejalan dengan demokrasi? Lalu, bagaimana

kontribusi Islam dan demokrasi di Indonesia di masa yang akan

datang?

Bagi beliau, Indonesia memiliki kapasitas untuk

berbicara bagaimana Islam dapat bersenyawa dengan sistem

demokrasi yang memiliki nilai-nilai kulturalnya. Namun, yang ia

garisbawahi adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah

nilai dalam menjalankan sistem budaya Indonesia yang

demokratis. Menurutnya, agama dan politik adalah dua entitas

yang berbeda, dimana agama bersifat profan dan politk bersifat

menindas. Apabila agama dijadikan alat sebagai legitimasi

kekuasaan, maka pengalaman pahit sejarah akan kembali

terulang.

Lebih lanjut, beliau menawarkan nilai Islam dalam

sistem demokrasi yang mampu mendukung penguatan budaya

demokrasi, seperti: musyawarah, pemufakatan, dan ijtihad. Hal

tersebut pada akhirnya akan berorientasi pada bangunan

masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Dari perspketif

historis, lantas beliau mengisahkan contoh tata kelola

pemerintahan dalam Islam pada masa Abu Bakar, Umar, Usman,

Ali, dan Umar Ibn Abdul Aziz.

Page 124: Menghidupkan Aksi

124

Sebagai penutup, beliau menyatakan bahwa demokrasi

bersifat universal sehingga tidak bisa dilabeli dengan agama

manapun. Prinsip Islam haruslah dipakai untuk menyokong

sistem demokrasi di Indonesia, bukan dijadikan sebagai alat

untuk memenuhi nafsu politik.

Dalam sesi diskusi, muncul beberapa pertanyaan,

diantaranya: Mampukah umat Islam menjadi pelopor demokrasi?

Bagaimana dengan kepemimpinan non-muslim? Siapakah yang

disebut ulil amri?

Menurut Bapak Dian Nafi, pemimpin Indonesia tak

mesti memenuhi semua kriteria pemimpin yang ditetapkan dalam

fiqih, maka Nahdatul Ulama menyebut ulil amri sebagai Pengampu

urusan umat sementara’. Bagaimana halnya dengan pemimpin

perempuan? Presiden RI tidak dapat berdiri sendiri. Jabatan

presiden berimplikasi komunal, sehingga akan melibatkan pejabat

pemerintah yang lain. Bagaimana dengan kepemimpinan non

muslim? Mengutip pendapat Imam Malik atas sengketa yang

pernah terjadi di zamannya saat raja yang zalim terpilih menjadi

penguasa, beliau berkata: ‘kita ikut saja yang menang’. Ada upaya

sebelum pemilihan, dan keberikutan setelah pemilihan.

Menurut Ibn Khaldun, negara dibentuk dengan 3

pertimbangan pokok: Pertama, yang kuat yang menjadi raja

Page 125: Menghidupkan Aksi

125

dengan implikasi siapa yang bisa membeli suara rakyat dia yang

akan menang. Kedua, yang sifatnya siyasi dengan implikasi ia

mendapat suara terbanyak kehendak rakyat, dapat mengendalikan

rakyat, dan mampu mewakili aspirasi rakyat. Ketiga, memiliki

filsafat tertentu/nilai-nilai yanng berbasiskan ketuhanan. Negara

Indonesia adalah negara falsafi. Ia berbeda dengan negara

sekuler!

Bapak Ihsan menyatakan agar pertanyaan itu harus

dikembalikan pada firman Allah yang termaktub dalam Al

Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 28 dan surat An-Nisaa ayat

139 dan 144.

Menurut Bapak Faishol, demokrasi hanyalah sebuah

wadah, yang mengisi bukanlah sebuah label, tapi makna.

Sebaiknya umat Islam jangan terkooptasi partai tertentu.

Menurut Ibn Katsir, ulil amri adalah ulama, bukan pemimpin

sebagaimana yang kita ketahui sekarang.

Saya jadi teringat apa yang Al Ghazali Hide Wulakada

sampaikan dalam bukunya Al-Qur’an sebagai Parameter

Peradaban Indonesia mengatakan. Ia menyampaikan bahwa

demokrasi adalah buatan orang-orang barat sudah tidak relevan

lagi dipakai dalam penguatan wacana pemberlakuan hukum

Page 126: Menghidupkan Aksi

126

syariah di Indonesia. Sebab, pemberlakuan hukum syariah Islam

akan berjalan seiring kesiapan masyarakat Islam.

Abdul Munir Mulkhan dalam suara Muhammadiyah

tahun 2002 silam menulis: Penempatan rekayasa kekuatan anti

Islam sebagai penyebab kekalahan partai Islam atau partai

berbasis umat Islam, belum pernah melahirkan strategi efektif

karena yang disebut kekuatan anti Islam itu tidak pernah bisa

dirumuskan secara jelas dan kongkrit, kecuali kategori-kategori

primordial dan simbolis.

Dalam buku Pembentukan Partai Politik Islam (Hizb

At Tahrir), Ust Taqqiyuddin An Nabhani berkata bahwa falsafah

hakiki untuk mewujudkan kebangkitan bertolak dari adanya suatu

ideologi yang menggabungkan fkrah dan thariqah secara terpadu.

Ketika seseorang menginternalisasikan sebuah ideologi dalam

dirinya maka ideologi itu akan mendorongnya untuk

mendakwahkannya. Ketika sebuah partai berbasiskan ideologi

yang benar, dan ia mampu mempertahankan dirinya dari segala

macam benturan dan memenangkan pemikiran umat, maka

fikrah partai menjadi fikrah umat dan aqidah partai menjadi

aqidah umat.

Dalam benak saya, partai politik berideologi Islam

maupun berbasis umat Islam sah-sah saja, bahkan saya akan turut

Page 127: Menghidupkan Aksi

127

sertakan afiliasi saya di dalamnya. Hanya saja, pemberlakuan

hukum positif formal untuk pemberlakuan syariat Islam agaknya

masih menjadi hal yang patut dipertimbangkan kembali. Karena

Islam itu universal, maka sudah semestinya ia tak mengambil

jarak dengan relasi kekuasaan. Nilai-nilai Islam haruslah dijiwai

sebagai metode untuk mewujudkan kesejahteraan, masyarakat

adil makmur yang diridhoi Allah swt.

Page 128: Menghidupkan Aksi

128

Menjadi Ibu Peradaban

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari

api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS At-

Tahrim : 6)

Keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak

guna pembinaan aqidah, kepribadian, penguasaan dasar-dasar

tsaqofah Islam melalui pengalaman hidup sehari-hari. Sehingga,

diharapkan anak-anak yang lahir dari rahim ibunda bisa menjadi

generasi yang tangguh dan berkualitas dalam mengusung peran

strategisnya sebagai pejuang yang akan memperjuangkan Islam

dengan seluruh jiwa dan raganya.

Bagi sebuah peradaban, keluarga adalah benteng

terakhir yang mana harus benar-benar dijaga dan tak boleh

lengah dari penjagaan. Keluarga adalah tempat dimana kebiasaan,

nilai-nilai, dan cita-cita dipancangkan. Berawal dari ini pula-lah,

seluruh proses pendewasaan disemai dan ditumbuhsuburkan.

Namun, jika kita lihat potret generasi sekarang yang

justru didominasi oleh tingginya angka kejahatan, depresi,

Page 129: Menghidupkan Aksi

129

kemalasan, gaya hidup konsumtif dan hedonis. Masih layakkah

kita bermimpi bahwa anak-anak akan jadi tulang punggung

kejayaan Islam dan ditangan mereka-lah kewajiban atas

kesejahteraan umat ini diembankan?

Saya masih optimis bahwa jawaban dari pertanyaan

tersebut adalah: Ya, Harapan itu masih ada. Berawal dari

kesadaran untuk menyehatkan tatanan kehidupan keluarga

dengan nuansa Islami, sehingga lahirlah generasi soleh, cerdas,

taat pada orang tua, juga taat pada Allah dan Rasul-Nya.

Tanggungjawab inilah yang dilimpahkan pada sosok

seorang wanita bernama : istri/ibu. Mereka-lah yang memegang

kendali dalam pembinaan keluarga. Mereka-lah yang memiliki

peran besar untuk menjadi ibu generasi. Serangkaian hukum

syariat telah Allah siapkan demi mengatur peran, posisi, dan hak-

hak mereka dalam kehidupan sesuai dengan kodrati tersebut.

Yusuf Al Qardhawi dalam Fiqih Wanita menyatakan

bahwa Rumah adalah kerajaan besar bagi wanita. Di sini wanita

sebagai pengelolanya, istri dari suaminya, partner hidupnya,

pelipur laranya, dan ibu bagi anak-anaknya. Islam

mempersiapkan profesi wanita untuk mengatur rumah dan

memelihara urusan suami dan mendidik anak-anak dengan baik

sebagai bentuk ibadah dan jihadnya. Sehingga, setiap sistem yang

Page 130: Menghidupkan Aksi

130

berupaya mencabut wanita dari ‘kerajaannya’ dan merampas

suami dan buah hatinya atas nama ‘kebebasan’ adalah musuh

baginya. Beliau menambahkan, Islam mengizinkan wanita

bekerja diluar rumah selama pekerjaannya itu sesuai tabiat,

spesialisasi, dan kemampuannya serta tidak meghilangkan naluri

kewanitaannya.

Sungguh, semua kebaikan dan harapan akan lahir dari

peran dan kontribusi besar seorang ibu. Tak semua pekerjaan

rumah harus dikerjakan sendiri, karena ada pekerjaan yang bisa

dilimpahkan pada yang lain. Akan tetapi, menananamkan nilai-

nilai, mengajarkan etika, dan mempelajari ruh agama adalah tugas

utama seorang ibu, sehingga Rumah sebagai pilar peradaban

utama itu akan menghasilkan generasi tangguh yang berkualitas.

Ibu peradaban bukan hanya soal mengajarkan anak

bisa belajar membaca dan menulis. Lebih dari itu, buatlah anak

belajar membaca dan menulis kehidupan dari ibunya. Yang

belajar untuk bersabar dalam menghadapi beratnya cobaan

hidup, yang belajar makna perjuangan dan pengorbanan dalam

mengarungi belantara kehidupan.

Pikiran saya menerawang, terpesona dan terkagum

pada sosok muslimah yang menjadi pembicara dalam sebuah

konfrensi beberapa waktu yang lalu. Mereka sungguh adalah

Page 131: Menghidupkan Aksi

131

cerminan wanita yang cerdas, yang membekali akalnya dengan

pengetahuan dan makna hidup terbaik. Luas cakrawala ilmu

mereka membuat saya sadar bahwa saya harus cepat-cepat melek,

membuka mata saya lebar-lebar pada semua diskursus yang pada

hakikatnya sangat utama diketahui oleh seorang muslimah. Mulai

dari sejarah Islam, hingga berbagai pengetahuan modern terkait

ekonomi, kesehatan, ideologi, sastra, dan lain-lain. Sungguh, saya

yakin bahwa dengan kecerdasan tersebut, seorang ibu akan dapat

menjalankan tugasnya dengan keilmuan yang memadai.

Anak adalah Penerus Mimpi. Begitu kata seorang

teman sore kemarin. Ya, itu benar. Taurits. Pewarisan cita-cita,

mimpi, dan harapan. Pewarisan kecintaan dan kebermanfaatan.

Pewarisan akan harapan terwujudnya nilai-nilai Islam dalam

kehidupan. Pewarisan keimanan dan keistiqomahan yang akan

dengan teguh ia pegang sebagai pondasi dalam menjalani

kehidupan.

Jadilah seorang ibu tempat berbagi suami dan buah hati.

Jadilah ibu cerdas yang selalu mendengar, mengerti, dan

berempati.

Jadilah seorang ibu bagi terbitnya kembali harapan bagi

mereka yang tak lagi

Page 132: Menghidupkan Aksi

132

berharap.

Jadilah ibu yang selalu mengatakan : ‘nahnu du’at qobla kulli

syai`in’

Ah, seketika tergelitik, terketuk, dan tertohok.

Bagaimana memulainya? Diri sendiri pun belum baik.

Masih suka mengeluh dan menggerutu, masih senang asal dan

tak tau aturan. Bagaimana bisa?

Kata seorang ustadzah, islahu an nafs. Mulailah dari

diri sendiri. Tuh, selamatkan aqidahmu, benarkan ibadahmu,

kokohkan akhlaqmu, luaskan wawasanmu, kuatkan fisikmu,

mandiri belum neng? Bisa mengendalikan nafsu pada kefanaan

belum? Rapikan urusuanmu, perhatian sama waktumu. dan

sudahkah kau memberikan kemanfaatan pada orang-orang

disekitarmu?

Sungguh, perbaikan diri adalah titik pangkal dari

seluruh perbaikan yang lainnya.

Page 133: Menghidupkan Aksi

133

Dari Buku ke Buku

Page 134: Menghidupkan Aksi

134

Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa

Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Sebuah

Catatan Awal) yang disusun oleh Bapak Sapardi Djoko

Damono merupakan sebuah buku yang menarik. Buku ini

membahas mengenai kapan sastra Indonesia lahir dan

perkembangannya. Hal ini penyusun telusuri dari media cetak

yang berkembang sekitar pertengahan abad ke 19 yang umumnya

berupa puisi agama (Nasrani) berbahasa Melayu. Namun, seiring

dengan pengaruh kebudayaan barat, para penulis puisi kita

mempertimbangkan cara penulisan baru yang kemudian

melahirkan angkatan Pujangga Baru dengan segala

inkonsistensinya. Meskipun demikian, tradisi lisan yang kuat

menyebabkan bentuk-bentuk seperti syair dan pantun menjadi

pilihan penting penulisan puisi.

Salah satu yang menarik dari buku ini adalah ketika

penyusun membahas mengenai Mas Marco Kartodikromo, seorang

yang selama ini saya kenal sebagai tokoh awal pendiri Partai

Komunis Indonesia dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi

Shiraishi.

Page 135: Menghidupkan Aksi

135

Saya akhirnya membaca Marco dari perspektif ‘lain’

dari yang selama ini saya ketahui. Selain aktif menjadi wartawan,

ternyata ia juga seorang novelis dan sastrawan.

Setelah Medan Prijaji mati, pada tahun 1914 ia

menerbitkan mingguannya sendiri yang ia beri nama Dunia

Bergerak. Lewat mingguan ini, ia menyuarakan pembelaannya

terhadap kaum pribumi jawa yang miskin. Meskipun awalnya

menyuarakan kritik lewat beberapa surat dan artikel, pada

akhirnya sastra-lah yang dipilih Mas Marco sebagai alat

perjuangan.

Ia pernah menerbitkan buku puisi berjudul Syair

Rempah-rempah sebagai bentuk tanggapannya terhadap situasi

sosial politik pada tahun 1918. Buku yang berisi delapan syair itu

menunjukkan keburukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda

yang menyebabkan kesengsaraan rakyat. Salah satu syair dalam

buku tersebut berjudul Sama Rasa dan Sama Rata

….

Dulu kita suka kroncongan

Tapi sekarang suka terbangan

Dalam SI Semarang yang aman

Page 136: Menghidupkan Aksi

136

Pergerak keras ebeng-ebengan

Ini sair nama: Sama Rasa

Dan sama Rata itulah nyata

Tapi bukan sair bangsanya

Yang menghela kami di penjara

Syair di atas ditujukan pada orang-orang Sarekat Islam

untuk menyadarkan mereka bahwa prinsip sama rasa sama rata

harus diterapkan di dunia ini. Tentu ini berlandaskan pada

kenyataan bahwa Marco memang aktif sebagai anggota dari

Sarekat Islam. Dalam karyanya, Mas Marco menekankan

pandangan hidup orang Jawa yang menyatakan bahwa watak

satria dan pandita harus menyatu dalam diri kita. Selain mesti

berani berperang dan berjuang, seseorang haruslah memberikan

perhatian pada hal-hal rohaniah.

Jalan kemardika’an amat susah

Buat orang yang hatinya lemah

Dan berjalan setengah-setengah

Tidak bisa dapat yang diarah

Page 137: Menghidupkan Aksi

137

Dalam syair tersebut, Mas Marco memberikan

semangat pada pembaca untuk berani melakukan perjuangan

demi kemerdekaan. Ia menyarankan pada pembacanya agar

berani menghadapi bahaya. Meskipun, dalam beberapa nasehat

yang ia sampaikan pun, ia tak menampik bahwa “Saya hanyalah

berkata saja/ Tak tentu bisa melakukannya”

Page 138: Menghidupkan Aksi

138

Irrasional dalam Nalar

Seorang kawan sedang membaca Dunia Sophie. Ia

meminta pendapat saya mengenai Descartes. Kata saya: Dia

menciptakan yang irrasional di dalam nalar.

Saya pernah membaca sebuah buku yang berkata

kurang lebih begini: sebagian orang menyatakan bahwa Descartes

adalah peletak dasar-dasar filsafat subjektivisme. Argumentasinya

mengarah pada terciptanya kepuasan dan terbentuk dalam

format wacana pembuktian induktif. Setiap orang boleh saja

berkata: “Saya berpikir, maka saya ada”, akan tetapi kata-kata itu

jelas lebih bermakna dari sebuah ungkapan. Sebab, ungkapan

tersebut telah menjelaskan sebuah usaha untuk membangun

konsep subjektivisme atau konsep ego sebagai subjek berpikir

secara orisinil. Dari sini, kita bisa ambil kesimpulan bahwa filsafat

Descartes dibangun di atas kekaburan antara rasio dan irrasio. Itu

kata Michael Foucault.

Hari ini saya membaca buku berjudul Rindu yang

Berujung Surga karya Abul Miqdad Al-Madany. Buku ini saya

beli pada 1 November 2010. Sudah beberapa kali saya baca, tapi

Page 139: Menghidupkan Aksi

139

hari ini entah kenapa saya ingin membacanya lagi. Buku ini berisi

kisah perjalanan para ulama salaf baik itu berupa pesan, ucapan

maupun tindakan yang mereka telah lakukan untuk kemudian

direnungkan diambil hikmahnya.

Salah satu bab dalam buku ini berkisah mengenai

murid Imam As Syafi’iy yang bernama Al Muzany. Ia pernah

bertanya pada gurunya mengenai keraguannya tentang tauhid.

Setelah menanyakan hal-hal yang bisa Al Muzany indra namun

belum ia pahami dengan baik, As Syafi’iy menjawab: “Sesuatu yang

dapat engkau lihat dengan mata kepalamu sendiri saja engkau tak

mengetahuinya, lalu bagaimana mungkin engkau ingin tahu bahkan

meragukan tentang Allah yang tidak dapat engkau lihat dengan mata

kepalamu sendiri?”

Beliau kemudian bertanya mengajukan pertanyaan

mengenai wudhu, namun Al Muzany salah menjawabnya. Beliau

pun berkata, “Sungguh mengherankan, sebuah perkara yang engkau

butuhkan lima kali sehari saja tidak engkau ketahui, lalu engkau

memaksa diri menggugat tentang Allah, Sang Khaliq?” Kemudian

beliau menyarankan membaca QS Al Baqarah: 163-164.

Keraguan memang selalu menggoda. Beberapa

menganggapnya tamasya intelektual, beberapa lainnya

menganggap sebagai keharusan seorang cendekiawan. Nalar

Page 140: Menghidupkan Aksi

140

Descartes bertujuan untuk mendapatkan kepastian mengenai

hakikat kehidupan, dia ingin memulai dengan menyatakan bahwa

pertama-tama orang harus meragukan segala sesuatu.

Descartes merasa, ia harus membebaskan dirinya dari

pengetahuan yang diwarisi atau diterima sebelum ia menyusun

filsafatnya sendiri. Lebih lanjut, ia malah bertambah ragu, sebab

ia mulai tak dapatmempercayai indera-indera yang dimilikinya

sebab mungkin mereka memperdayanya.

Pada akhirnya, yang ia yakini adalah bahwa saat ia ragu,

maka ia sedang berpikir, dan saat ia sedang berpikir pastilah ia

makhluk yang berpikir. Cogito, ergo sum. Bedanya, kita telah

menemukan posisi subjektif kita atas dasar tauhid yang melandasi

keimanan kita pada kitabullah yang menjadi pedoman dalam

menjalani kehidupan dan menjawab segala pertanyaan.

Semoga keraguan itu mampu mengantar kita untuk

menyadari bahwa akal (sebagaimana anggota tubuh lainnya)

memiliki kelemahan dan keterbatasan. Di luar batas

jangkauannya, ia tak akan sanggup bekerja, dan itulah saat-saat

terindah dalam hidup, saat kita menyerahkan segalanya pada

Sang Mahasegala, Allah Azza wa jalla.

Page 141: Menghidupkan Aksi

141

Menguatkan Keyakinan

Buku At Tauhid wat Tawakal yang dibahas oleh

Syekh Zuhair Syafiq al Kubbiy merupakan referensi penting

untuk menjelajahi pemikiran seorang filsuf besar Islam, Imam Al

Ghazali. Buku ini membahas mengenai pemikiran Imam Al

Ghazali, khususnya mengenai tawakal.

Menarik ketika Al Ghazali memaparkan mengenai

bagaimana keyakinan itu didapatkan. Baginya, keimanan

merupakan pembenaran, setiap pembenaran yang dilakukan oleh

hati adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam intensitas

yang kuat itu akan menjadi keyakinan. Akan tetapi, gerbang

keyakinan sangat banyak, maka disini Al Ghazali mengambil satu

bentuk keyakinan yang diatasnya bisa dibangun konsep tawakal,

yaitu: tauhid.

Tauhid merupakan sebuah konsep pokok yang akan

menjadi ilmu pembuka rahasia transedental. Menurut Al Ghazali,

ada empat strata dalam tauhid. Pertama, tauhid seorang manusia

yang mengucapkan kalimah syahadat akan tetapi hatinya lalai

dalam ucapan itu. Ini disebut munafik. Kedua, jika hatinya

Page 142: Menghidupkan Aksi

142

membenarkan arti dari perkataan tersebut sebagaimana yang

dilakukan kaum muslimin pada umumnya. Ini disebut keyakinan

orang awam. Ketiga, jika ia dapat mempersaksikan semua itu

dengan metode kasyaf (terbukanya ilmu transdental), dimana

mereka merasakan ketunggalan Allah SWT meskipun ia melihat

segala sesuatu yang beragam di dunia ini. Ini disebut keyakinan

kaum muqarrabiin. Keempat, jika ia tak memandang perwujudan

kecuali hanya satu saja. Kaum sufi menyebutnya ‘peleburan diri’

dalam tauhid. Konsepsi tawakal hanya bisa didirikan diatas

landasan strata ketiga.

Setelah membahas mengenai kemanunggalan wujud,

penulis membahas mengenai kondisi tawakal dan tingkatannya.

Pertama, adalah jika kita berada dalam hak Allah, percaya dengan

tanggungan dan pertolongan-Nya. Kedua, merupakan tawakal

yang kuat, yaitu bila keberadaan kita bersama Allah seperti

kebersamaan seorang anak kecil pada ibunya. Ketiga, merupakan

bentuk tawakal yang paling tinggi, yaitu jika kita selalu merasa

berada di hadapan Allah di dalam segala gerak dan diamnya,

seperti seorang mayat di tangan orang yang memandikannya.

Dalam ranah praksis, penulis membahas mengenai

amalan orang-orang yang bertawakal dan tawakalnya orang-orang

yang berkeluarga.

Page 143: Menghidupkan Aksi

143

Pada akhirnya, interpretasi tawakal dalam sudut

pandang yang relevan dengan tuntutan tauhid, dalil naqly, dan

syariat, berada dalam kedalaman dan kesukaran kecuali bagi para

ulama yang dianugrahkan Allah cahaya hikmah sehingga mereka

dapat melihat, menyatakan dan kemudian mengucapkan dengan

fasih apa yang telah mereka saksikan jika mereka diminta untuk

bicara.

Page 144: Menghidupkan Aksi

144

Mukmin dan Ateis

“Seorang mukmin tidak dapat melepaskan sikap

kebertuhanan dari paham ateisme.” Demikian diungkapkan oleh

Dr. Ali Harb dalam essaynya mengenai Mukmin dan Ateis.

Saya kira pandangan ini bukan hal baru lagi. Beberapa

kawan saya di Himpunan Mahasiswa Islam juga pernah berujar

dengan candaan bahwa sebelum kita menjadi seorang muslim,

terlebih dahulu kita harus meniadakan semua bentuk penuhanan

kepada nalar, akal, bahkan teks. Ateis kan? Nah, setelahnya baru

kita menuhankan satu Dzat yang pada-Nya lah tempat kita

bergantung dan memohon pertolongan.

“Begitulah nalar syahadat. Jadi Al, mereka yang ateis

itu saudara dekat kita yang tauhid.”

“Kita tidak mungkin mengingkari Ateisme kita.” Kata

Harb

Ya Alloh, kata mereka para ateis tidak akan

membunuh-Mu untuk menghindari semua bentuk kepercayaan.

Kata mereka, para ateis adalah pencari kebenaran yang paling

Page 145: Menghidupkan Aksi

145

hakiki sebab kepercayaan mereka pada kebenaran amatlah besar.

Kata mereka, orang-orang yang memiliki posisi subjektif dalam

memandang kebenaran tentang-Mu dalam ketunggalan yang

mutlak adalah orang-orang fanatik dan eksklusif.

Tapi aku percaya, yang mereka cari bukanlah

kebenaran.

Kekerasan yang diekspresikan Nietzshe, sang cikal

bakal ateisme telah menjiwai teks dan wacana yang ia ungkapkan.

Sama halnya saat ketika ia mengumumkan kematian tuhan. Sama

halnya ketika ia mengingkari Tuhan yang selamanya menjelma

dalam bentuk yang diingkarinya.

Harb sendiri mengatakan bahwa pengingkaran yang

Nietzshe lakukan adalah pengingkaran di atas pengingkaran. Tapi

ia tetap saja ia berargumen bahwa kadangkala Nietzshe menjadi

sangat teologis dan lebih memasuki dunia malaikat daripada para

teolog itu sendiri.

Saya hanya berpikir: Bagaimana mungkin sikap ateis

seseorang disamakan dengan seorang mukmin? Bagaimana bisa

persaksian seorang yang meyakini keesaan Tuhan disamakan

dengan perjalanan pencarian kebenaran orang mabuk?

Page 146: Menghidupkan Aksi

146

Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah

Keteguhan Hati

Mulanya, saya mengenal tokoh pejuang wanita

bernama Zainab Al Ghazali dari buku berjudul Kontribusi

Muslimah di Mihwar Daulah karya Sumaryatin Zarkasyi. Buku ini

merupakan salah satu seri dari seratus seri buku pengokohan

Tarbiyah terbitan Era Intermedia.

Salah satu bab di buku tersebut menerangkan

kontribusi muslimah dalam marotibul ‘amal kelima yakni islahu al

hukumah. Penulis memaparkan kisah hidup Sayidah Zainab Al

Ghazali sebagai percontohan bagi wanita muslimah untuk

berperan aktif dalam ranah publik dan politik dengan

mengadvokasi masyarakat untuk memperoleh hak-hak yang

dirampas oleh pemerintah.

Zainab Al Ghazali adalah seorang yang sepanjang

hidupnya telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang memiliki

ambisi yang kuat dan tekad yang membara. Ia adalah sosok

Page 147: Menghidupkan Aksi

147

muslimah yang cerdas dan kuat pendiriannya dalam

memperjuangkan apa yang ia yakini sebagai kebenaran.

Beberapa hari lalu, seorang kawan meminjamkan saya

buku yang sayidah tulis berjudul Perjuangan Wanita Ikhwanul

Muslimin. Buku ini mengisahkan perjuangan hidupnya sebagai

Ketua Umum Jamaah Muslimat di Mesir saat rezim Gamal

Abdul Naser berkuasa.

Kisah dalam buku ini dimulai saat Zainab Al Ghazali

harus menjalani perawatan di rumah sakit karena ‘kecelakaan’ lalu

lintas yang dialaminya pada bulan Februari 1964, saat itu

pemerintah membuat surat keputusan pembubaran Jamaah

Muslimat yang ditolaknya mentah-mentah. Penolakan itu

membuat pemerintah memaksanya untuk melakukan

penggabungan organisasi Jamaah Muslimat ke dalam Front

Persatuan Sosialis.

Setelah siasat yang dilakukannya untuk menggagalkan

rencana Dinas Intelejen Mesir berhasil, ia kembali mendapat

bujukan dari Dinas Intelejen mesir. Namun seperti yang sudah-

sudah, ia berkata lantang dan tegas: TIDAK! untuk sebuah rezim

tiran.

Page 148: Menghidupkan Aksi

148

Jamaah Muslimat yang didirikan tahun 1358 H

mendapat tawaran dari Asy Syahid Hasan Al Banna untuk

melebur ke dalam Ikhwanul Muslimin sebagai bagian Wanita

Muslimat, akan tetapi permintaan fusi tersebut ditolaknya

meskipun ia tetap sepakat untuk mempererat hubungan kedua

lembaga tersebut.

Namun, sehari setelah pembubaran Ikhwanul

Muslimin tahun 1948 Zainab Al Ghazali berbaiat pada Allah di

hadapan Hasan Al Banna untuk berjuang melancarkan dakwah

Islam sebagaimana yang dicita-citakan oleh Ikhwanul Muslimin.

Tak lama setelahnya, Hasan Al Banna pun syahid menemui

Tuhannya dan jabatan mursyid ‘am Ikhwanul Muslimin

dilimpahkan pada Imam Hasan Al Hudhaibi.

Ketika pada pertengahan 1956 gelombang tahanan

pemerintahan Abdul Naser dibebaskan, Zainab Al Ghazali

beserta beberapa anggota Wanita Ikhwanul Muslimin

menggalang bantuan dana demi meringankan beban para

tahanan yang tersiksa, terutama anak-anak dan para yatim.

Kemudian, pada 1958 bersama Abdul Fattah Ismail ia memulai

menyusun konsep pengkaderan pertamanya yang meletakkan

metode pendidikan Islam, yaitu pendidikan individu muslim yang

sadar akan kewajibannya untuk Tuhannya, penataan masyarakat

muslim yang sadar akan diri dan kewajiban yang diembannya

Page 149: Menghidupkan Aksi

149

serta terpisah dari masyarakat jahiliyah. Konsep ini semakin

dimatangkan ketika pada tahun 1962 Sayid Qutb memberikan

berkas berjudul Ma’alim fii Thariq yang ditulisnya dari dalam

penjara untuk dijadikan pedoman dalam proses pendidikan,

pembentukan, persiapan, dan penanaman aqidah tauhid dalam

jiwa para pemuda yang dibinanya secara sembunyi-sembunyi

dalam kumpulan antara 5-10 orang pemuda.

Rencananya, pendidikan ini akan berlangsung selama

tiga belas tahun. Setelah 13 tahun berlalu, maka akan diadakan

survei kembali di seluruh negeri untuk mencatat pengikut

dakwah Islam. Apabila 75% jumlahnya, maka mereka akan

mencanangkan penerapan hukum Islam di negara. Apabila hanya

25%, maka mereka akan mengulang pendidikan kader selama 13

tahun lamanya. Zainab Al Ghazali meyakini bahwa ia tidak boleh

menghentikan upaya pendidikan Islam ini dari generasi ke

generasi.

Membaca dua bab kisah Zainab Al Ghazali yang tetap

berdiri tegak ketika para intelejen datang untuk menundukkannya

membuat saya merinding dan tercengang. Saya melihat sinar

kecerdasan yang terpancar dari tatapan dan tutur katanya. Saya

melihat ketegaran tanpa banding yang tak berkarat oleh waktu, ia

tetap berdiri dan tetap teguh dengan pendiriannya

memperjuangkan kebenaran atas nama dakwah illallah.

Page 150: Menghidupkan Aksi

150

Islam dan Kesadaran Kebangkitan

Nasional

Islam Sebagai Simbol Nasionalisme

Kondisi penjajahan dan penindasan yang telah

dilakukan oleh Barat melahirkan pemahaman bagi rakyat

Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau

Nasionalisme, sedangkan imperialisme atau penjajahan itu identik

dengan kristenisasi. Oleh karena itu, Islam menjadi Simbol

Nasionalisme Bangsa Indonesia pada saat itu.

Menyikapi hal ini, pemerintah kolonial Belanda merasa

perlu berupaya memadamkan cahaya Islam, sebab imperialisme

yang dilakukan terhalang oleh kehadiran Islam yang sudah

terlebih dahulu menyebar di nusantara.

Upaya yang dilakukan oleh Belanda antara lain: 1) De-

Islamisasi penulisan sejarah Indonesia yang menafsirkan bahwa

setelah jatuhnya kerajaan Hindu-Budha di Nusantara berdampak

menimbulkan kemunduran bangsa Indonesia. 2) Penelitian

Arkeologi yang menerangkan bahwa masa lalu nenek moyang

Page 151: Menghidupkan Aksi

151

bangsa Indonesia adalah manusia purba yang tergolong ‘manusia

kera’. Sehingga, secara politis mengarah pada pemahaman bahwa

bangsa kulit putih adalah manusia beradab yang berhak menjajah

bangsa kulit berwarna. 3) Kehadiran pakar Belanda: Snouck

Hurgronje (meneliti Islam di Aceh) dan Van Vollenhove yang

berusaha kembali menghidupkan hukum adat untuk

menggantikan hukum Islam. 4) Mengembangkan aliran

kebatinan (Kedjawen) di kalangan para priyayi dan pejabat

pribumi yang berpihak pada Belanda. 5) Membangkitkan

kesadaran sejarah Hindu-Budha di Nusantara agar pengaruh

ajaran Islam melemah, dan ditargetkan penganut Hindu-Budha

akan memihak pada pemerintah kolonial Belanda. 6) Distorsi

peta bumi

Disadarkan pada kritik yang dilemparkan oleh Conrad

Th van Deventer dalam majalah De Gids yang berjudul ‘Utang

Kehormatan’ yang berisi bahwa kemajuan kerajaan protestan

Belanda dan pemerintah kolonial Belanda diperoleh dengan

pengorbanan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan utang

kehormatan yang wajib dibayar dengan memajukan kehidupan

pribumi. Dalam menjawab kritik dari kalangan liberal, Kerajaan

Protestan menciptakan tiga macam kebijakan politik : Politik

pintu terbuka, politik etis, dan politik asosiasi. Politik pintu

terbuka membawa implikasi dibukanya nusantara Indonesia bagi

Page 152: Menghidupkan Aksi

152

penanaman modal asing di bidang perkebunan, pertambangan,

dan transportasi yang ditandai dengan dibuatnya Undang-

Undang Bumi tahun 1870 M. Pelaksanaan politik pintu terbuka

ini memerlukan tenaga kerja terdidik, sehingga diberlakukanlah

politi etis pada tahun 1901 M dengan triloginya : Edukasi, Irigasi,

dan Emigrasi.

Dengan pemberlakukan sistem edukasi yang tidak

berdasar kurikulum pesantren, lahirlah generasi yang berorientasi

budaya barat. Selain itu, pendidikan juga didiskriminasi dengan

diberlakukannya startifikasi sosial dalam sekolah, yaitu sekolah

Eropa, Bangsawan, Cina, dan Ambon, sehingga kaum bangsawan

dipisahkan hubungannya dengan rakyat. Menyikapi hal ini,

diperlukanlah politik asosiasi, yaitu suatu politik yang bertujuan

menciptakan sikap keterbukaan generasi muda Islam:

kebergantungan pada budaya Barat.

Emigrasi dilakukan untuk melahirkan generasi yang

cacat budaya dan cacat kepahaman tentang Islam. Namun, hal ini

gagal terjadi. Sebab, dengan adanya program ini justru

terbentuklah kesadaran sesama muslim, yang lahirkan kesadaran

sesama musuh yang satukan Islam untuk lawan imperialisme

barat.

Pemikiran Islam dan Nasionalisme

Page 153: Menghidupkan Aksi

153

Namun, muncullah pertanyaan, benarkah politik etis

yang membangkitkan kesadaran nasional pada abad ke 20 M?

tentu tidak. Jiwa gerakan tersebut datang dari pengaruh Timur

Tengah, India, Cina, dan Jepang.

Beberapa konstruktor pemikiran gerakan islam yang

berpengaruh tersebut diantaranya adalah: Jamalludin Al Afghani

(1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905), Gerakan

Nasionalisme Mesir yang ditandai dengan pemberontakan

terhadab Arbi Pasha, dan Rashid Ridha (1865-1935 M) yang

menekankan purifikasi pada pemikiran Islam yang ia tuangkan

dalam majalah Al Mannar.

Akan tetapi, Imperialisme Barat tak tinggal diam.

Mereka merekayasa gerakan nasionalis menjadi gerakan

pembebasan diri dari kesultanan Turki. Mereka juga

membenturkan antar gerakan puritanisme, sekulerisme,

pluralism, dan liberalism sehingga terpecahlah gerakan-gerakan

ini untuk saling serang satu sama lain dan mengalami disorientasi

untuk melawan imperialism barat.

Faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya

kebangkitan nasional adalah terbentuknya integritas nasional

dalam ‘Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia’ oleh Kahin

dipengaruhi oleh factor berikut: 1)Terbentuknya kesatuan agama

Page 154: Menghidupkan Aksi

154

bangsa Indonesia dengan keyakinan Islam 2) Islam menjadi

simbol terhadap penjajahan asing barat dengan masuknya raja-

raja hindu budha ke Islam akibat adanya invasi katolik Portugis

di Indonesia. 3) Perkembangan bahasa melayu pasar berubah

menjadi bahasa persatuan Indonesia akibat pelarangan bahasa

Belanda untuk dipakai masyarakat Islam Indonesia. 4) Sjarikat

Dagang Islam yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh

Hadji Samanhudi ini dinilai oleh para sejarawan sebagai pelopor

Kebangkitan kembali kesadaran Nasional Indonesia.

Keberhasilan SDI adalah lambang awal keberhasilan gerakan

pembaruan system organisasi Islam melalui pasar sebagai lahan

operasi aktivitasnya. Guna menjaga kontinuitas gerakan,

diterbitkanlah Taman Pewarta sebagai media komunikasi yang

bertahan selama 13 tahun.

Ditambah lagi, dengan diadakannya kerjasama antar

pribumi Islam dan Cina dengan nama organisasi niaganya, Kong

Sing. Belanda merasa perlu membangun organisasi tandingan

yang di gawangi oleh RMT Adhisoerjo dengan membentuk

Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor dengan medianya Medan

Prijaji. Namun, pada 1911 M, Sarekat Dagang Islamiyah

dibubarkan dan diserahkan kepemimpinannya pada Haji

Samanhudi.

Pergerakan Islam dan Kebangkitan Nasional

Page 155: Menghidupkan Aksi

155

Realitas sejarah tentang adanya eksistensi kekuasaan

politik Islam di Nusantara semenjak abad ke-9 hingga 20 Masehi

digunakan oleh para ulama dan santri untuk menyadarkan

kembali kebangkitan politik umat Islam Indonesia. Hal ini

dilakukan melalui pembantukan organisasi modern sebagai

wahana mobilitas dan mendinamikakan semangat juang umat

Islam Indonesia.

Fakta sejarah diatas memberi gambaran bahwa

kebangkitan Islam memberikan jawaban sesuai dengan tantangan

zaman. Sehingga, dalam waktu yang relative singkat ulama

berhasil membangun berbagai organisasi kerakyatan yang

memiliki karakter nasionalis. Akan tetapi, Pemerintah Belanda

tidak tinggal diam, diberlakukanlah politik pecah belah dengan

mempertentangkan perbedaan antara ajaran kejawen, kesundan

dengan ajaran Islam, serta mengembangkan pertentangan

prasangka etnis.

Menyoal Sarekat Islam dan PKI

Perpecahan yang paling rentan memang yang yang

terjadi pada SI, sebab SI merupakan organisasi yang benar-benar

mendapatkan dukungan masa riil dari berbagai strata sosial dan

ulama. Yang terjadi di SI ini memang menarik, sebab dengan

Page 156: Menghidupkan Aksi

156

menggunakan orang Belanda bernama Sneevliet mereka

membelah keutuhan SI.

Aksi mereka diawali dengan membina pimpinan muda

SI Semarang pada 1916 M dalam Sarekat Buruh Kereta Api dan

Trem (VSTP). Disini, dibinalah seorang buruh KA bernama

Semaoen, Darsono, Alimin, dan Tan Malaka yang menjadi kader

ISDV dan VSTP. Pada National Congres CSI di Surabaya,

kelompok kader ini mulai berani menyerang pimpinan SI untuk

mengganti ideology Islam dengan Marxist.

Namun, usaha mereka gagal meskipun dicoba kembali

digaungkan pada konggres di Jogja dua tahun kemudian.

Akibatnya, Semaoen dan Darsono mengubah SI Semarang

menjadi Perserikatan Komunis di India (PKI) pada 23 Mei 1920.

Pada 1923, diresmikanlah adanya disiplin partai yang

memutuskan menolak ideology Marxist yang dikembangkan PKI

dan tidak membenarkan merangkap pimpinan PKI dan SI

sekaligus. Konggres juga membentuk partai politik yang pertama,

Partai Sarekat Islam. (dua puluh lima tahun kemudian, pada kudeta

madiun tahun 1948, PKI membalasnya dengan pembunuhan terhadap

ulama dan santri)

Page 157: Menghidupkan Aksi

157

Bisa dibayangkan. SI yang semula hanya menghadapi

Kristenisasi, Kapitalisme, dan Kebatinan selanjutnya juga harus

melawan Komunisme dan fitnah Korupsi.

Disorientasi Sejarah

Dalam buku-buku sejarah, kita akan menemukan

bahwa momen kebangkitan nasional bertolak dari kebangkitan

pemuda yang diorganisir oleh organisai Boedi Oetomo pada

tahun 1908. Dari persfektif nasionalis hal ini tentu benar dan

sangat menguntungkan, tetapi tentunya hal ini merupakan salah

satu sudut pandang saja tentang periode sejarah awal kebangkitan

nasional. Bahwa Boedi Oetomo pada saat itu banyak membantu

menyemaikan rasa nasionalisme Indonesia dengan banyak

mendirikan sekolah-sekolah memang benar. Tetapi pertanyaan

selanjutnya, apakah hanya Boedi Oetomo saja yang menjadi

tulang punggung penyebaran kesadaran terhadap penjajah pada

sat itu? Dari pertanyaan inilah kita bisa meluruskan sejarah awal

pergerakan pemuda.

Buku Ahmad Mansur Suryanegara yang berjudul Api

Sejarah menguraikan secara detail secara runtut kronologis

peristiwa yang terjadi di zaman pergerakan nasional sebagaimana

yang telah saya paparkan di muka.

Page 158: Menghidupkan Aksi

158

Ia menceritakan bagaimana peran besar Syarikat Islam

(SI) untuk menyuemaikan benih-benih kesadaran rasa

Nasionalisme yang diikat oleh akidah Islam. Dengan kesaaran

nasionalisme yang disatukan dalam bingkai akidah Islam ini SI

menjdai organisasi yang paling besar, baik dari sisi anggota

ataupun gerakan. Di bandingkan dengan Boedi Oetomo yang

hanya digerakan oleh segelintir pemuda lulusan Belanda, SI telah

menyebar ke hampir setiap pelosok, dan mempunyai

pimpinannya masing-masing hampir di setiap daerah.

Di sisi lain, Boedi Oetomo lebih bersifat organisasi

primordial Suku Jawa, karena lebih mengakomodir orang-orang

yang berasal dari suku Jawa, begitupun bahasa yang digunakan

adalah bahasa Jawa. Berbeda dengan Syarikat Islam, walaupun

notabene bercorak dan mempunyai ideologi perjuangan politik

ekonomi Islam, tetapi bahasa yang digunakan merupakan bahasa

melayu yang pada saat itu telah menjadi bahasa pergaulan

nusantara. Dengan demikian bila dilihat dari sepak terjang,

gerakan, bahasa, yang seharusnya dijadikan pijakan kebangkitan

pemuda atau kebangkitan nasional seharusnya bertolak dari

gerakan Syarikat Islam bukan Boedi Oetomo. Disinilah rasa

keaberislaman para sejarawan Islam Indonesia diuji. Termasuk

kita sebagai pemuda Islam harus berani membantah

kekuranglurusan sejarah tersebut. Forum seperti diskusi yang kita

Page 159: Menghidupkan Aksi

159

lakukan saat ini adalah salah satu media efektif untuk peyebaran

kesadaran sejarah ini.

Refleksi

Demikian penggalan sejarah yang coba penulis angkat

untuk dijadikan pelajaran bagi kita yang hidup di era kini.

Perjuangan para ulama (cendekiawan muslim) kala itu adalah

perjuangan yang bersumber dari hati nurani. Perjuangan luhur

yang berupaya mengentaskan manusia dari penjajahan

kolonialisme menuju kemerdekaan yang hakiki.

Sudahkah kita bisa belajar dari apa yang telah

diperjuangkan para pendahulu kita? Atau malah lalai dan lari dari

tanggungjawab sebagai seorang cendekiawan muslim yang

memiliki tanggungjawab besar guna mengentaskan diri kita dari

perbudakan terhadap kesewenangan tiran dan menciptakan

tuhan baru atas nama popularitas dan jabatan.

Benarlah Ali Syariati dalam bukunya “Tanggung Jawab

Cendekiawan Muslim” yang menyatakan bahwa pandangan

simbolisasi manusia shaleh tidak bisa dipandang dari sisi bentuk

formalitasnya saja, sebab manusia yang tercerahkan adalah “ia

dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta

terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk

Page 160: Menghidupkan Aksi

160

menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-

ayat Allah dan hak-hak masyarakat”

Page 161: Menghidupkan Aksi

161

Korupsi, Korupsi!

Bakir, nama pak tua itu. Sudah dua puluh tahun ia

menjadi pegawai. Hanya sepeda tua berkarat yang jadi kawannya.

Ia butuh uang untuk anak-anaknya yang akan melanjutkan

sekolah, juga untuk mengusir keluarga Tionghoa yang menyewa

beberapa kamar di rumahnya sebagai warung yang saban hari

hadirkan keributan.

Kebutuhan akan uang itulah yang membuatnya gelisah

siang malam. Ia butuh sumber penghasilan yang memungkinkan.

Namun, ia hanya pegawai biasa yang andalkan kenaikan sedikit

gaji tiap tahunnya. Tak akan cukup. Tak akan cukup. Hingga

akhirnya, terbetiklah dalam hatinya, seperti sudah jamak di masa

kini: korupsi! Berdengung kata itu di tiap dinding dan tiap benda

di kamarnya: korupsi! Korupsi!

Hatinya sakit mengingat betapa selama ini kejujuran

telah membuat ia dihargai sebagai pribadi yang bermartabat akan

lenyap begitu saja, berganti dengan keculasan dan kecurangan

yang ia niatkan. Dengung kata Korupsi itu ternyata lebih

berkuasa dan merobohkan pertahanan idealismenya. Berawal dari

Page 162: Menghidupkan Aksi

162

hasil pencurian persediaan alat tulis kantor yang ia jual pada

tauke sebesar dua puluh rupiah, semakin menjadi lah hasrat Bakir

untuk lakukan korupsi, lagi dan lagi.

Isteri yang telah setia mendampinginya belasan tahun

melihat gelagat itu. Ia ingatkan suaminya agar tak berbuat lebih

jauh. Namun, apa mau dikata, uang telah membuat Bakir silau. Ia

pun lakukan korupsi dalam jumlah yang lebih besar. Isterinya

berang. Karyawan setianya, Sirad, mulai curiga. Karena

senantiasa diliputi kecemasan bahwa tindakannya diketahui

orang, ia melarikan diri pada pelukan seorang dara belia bernama

Sutijah.

“Kalau engkau sungguh-sungguh tak mau dicegah dalam

niatmu, besok lusa engkau jual benteng pertahananmu dengan uang.

Kemudian engkau kawin lagi. Kemudian engkau menjauhi atau dijauhi

kawan-kawanmu. Engkau mendapat kawan-kawan baru yang semua ada

di dalam ketakutan. Engkau jadi binatang perburuan. Engkau harus lari,

terus lari, terus sampai akhirnya rebah sendiri tiada bertenaga.”

Bagaikan kutukan, kata-kata isterinya tersebut satu per

satu terlaksana. Bakir tinggalkan isteri dan tiga anaknya demi

Sutijah. Mereka tinggal di kawasan Puncak, Bogor. Ia tak lagi

berkawan dengan rekan-rekan sejawatnya di kantor. Ia punya

komunitas elite sendiri, pelaku pezinahan, koruptor, dan seperti

Page 163: Menghidupkan Aksi

163

binatang perburuan, ia terus lari, terus, sampai akhirnya rebah

sendiri tiada bertenaga.

“Dapatlah aku mengetahui bahwa jalan kembali bagiku masih

tersedia, hanya saja aku yang tak berani kembali. Tidak berani! Tidak

berani! Dan tambah lama tambah tidak berani. Tambah tua aku menjadi

tambah penakut menghadapi kebenaran dan menerimanya sebagai milik

sendiri..”

Agaknya, kegelisahan yang sempat ia rasa mesti ia

semaikan sebelum lakukan perbuatan kotor itu. Bakir, dalam

kegelisahan sebelum melangkah lebih jauh menjadi budak

nafsunya pernah berkata: Apakah yang sebenarnya betul: manusia

yang mencari kebahagiaan ataukah kebahagiaan telah memperkudanya?

Belasan tahun lampau ia berkata bahwa kebahagiaan adalah harta

terbesar yang selalu diimpikan manusia, tapi sekaligus harta

benda yang begitu dekat, begitu tak teraba, begitu tak

disadarinya, bahwa itulah sesungguhnya yang diimpikannya.

Dibalik jeruji besi, Bakir hanya bisa menyesali nasib:

betapa pengetahuan dan kesadaran ini terlampau mahal untuk ia beli.

Membaca novel Pram ini membuat saya terus

menghela nafas. Kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan

upaya dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya telah

Page 164: Menghidupkan Aksi

164

dilakukan, mulai dari gerakan sosial antikorupsi, penafsiran

teologi anti korupsi, pembuatan aturan perundangan anti korupsi

setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai baru, serta pembentukan

lembaga yang khusus menangani masalah korupsi. Namun

nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan membudaya.

Benarlah apa yang dikatakan Cak Nun dalam salah satu

artikel lepasnya; “Orang lebih tertarik kekayaan dibanding kesalehan.

Orang lebih terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian.

Orang lebih tergiur pada kejayaan materi dibanding kemuliaan hidup.”

Agaknya, pabila segala daya dan upaya memang tiada

guna. Minimal, diri ini sadari bahwa kalau kita mencuri, kita

mencuri harta milik Tuhan, di bumi yang jadi milik Tuhan. Meski

kita membawa harta curian kita lari, mentransfernya,

menginvestasikannya, Sang Penadah Agung tetaplah pemilik

sahnya. Harta Tuhan saja tak pernah pergi kemana pun, apalagi

diri kita yang tak berdaya ini. Melarikan diri kemana pun jua

adalah jalan kembali pada asal usul kita yang sejati.

Ya, hidup adalah pergi untuk kembali. Kata Ello.

Inna lilahi wa inna ilaihi roji’un.

Ingatlah bahwa kita akan mati, akan pulang, dan

mempertanggungjawabkan apa yang telah kita amalkan.

Page 165: Menghidupkan Aksi

165

Bukan Pasar Malam

"Mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut.

Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang

lagi. Mengapa orang-orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai

mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam." (h.95)

Seorang pelayat bertanya dalam suasana duka oleh

sebab kawan main judinya mati. Pertanyaan itu tak mendapat

jawaban. Yang mendengar tertawa. Yang bicara pun tertawa.

Mungkin yang bicara pun tak mengerti apa yang telah

diucapkannya. Kemudian, percakapan itu mati.

Pramoedya Ananta Toer, seperti lazimnya ia,

mengisahkan dengan apik kisah keperwiraan seorang dalam

revolusi yang pada akhirnya melunak ketika dihadapkan pada

kenyataan sehari-hari; pesakitan yang meregang nyawa,

kemiskinan yang mendarah daging, serta ketidakberdayaan yang

syahdu.

Berpotong-potong kisah itu terbingkai dalam sebuah

perjalanan yang hadirkan kembali kenangan yang pernah dilalui.

Kenangan-kenangan itu sewenang-wenang menyerbu dalam

Page 166: Menghidupkan Aksi

166

kepalanya tanpa permisi. Membuatnya tersenyum saat sadari

bahwa memang terkadang manusia terlampau kuat dan

menenggelamkan kesadarannya.

Hari-hari yang dibayangi maut membuatnya sadar;

sama seperti berlalunya malam, demikian pula hidup manusia

yang lenyap sedetik demi sedetik tanpa disadari. Meninggalkan

berbagai persoalan yang bukannya menua, malah meremaja

bersama pusaran arus waktu.

Membaca Bukan Pasar Malam karya Pramodya Ananta

Toer ini membuat saya kembali mendefinisikan diri, hidup,

keberadaan saya di dunia, dan akhir cerita hidup saya kelak.

Jelang dua puluh satu tahun masa usia yang telah

terlewati, saya telah menjalani hidup seperti wanita kebanyakan,

tak ada yang istimewa, tak banyak hal berbeda kecuali hal-hal

yang detail. Pada intinya, saya adalah orang yang biasa-biasa saja,

yang tak pernah berpikir untuk lakukan hal-hal besar, atau

bertindak layaknya pahlawan yang mewujudkan hal-hal besar.

Banyak orang suka membaca, saya salah satunya. Dan

saat saya membaca, saya seperti melihat diri saya tengah berperan

dalam skenario cerita yang ditulis dalam buku-buku. Saya telah

membaca sedikit dari jutaan buku yang ada, namun cerita hidup

Page 167: Menghidupkan Aksi

167

saya sama membosankannya seperti dalam roman-roman usang

yang mudah dicari referensinya. Tak ada yang istimewa.

"Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri

pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak

manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan

orang itu pun mencintai kita.." (h.95)

Ah, betapa indahnya hidup yang singkat ini bila kita

bisa dicintai seorang manusia dengan sungguh-sungguh. Tidak

hanya berdasarkan perasaan, akan tetapi juga pada kenyataan

yang apa adanya tentang diri dengan segenap paradoks dan

ambiguitas yang melekat.

Saya tak lagi harapkan cinta yang berakhir indah dan

romantis sebagaimana tertulis dalam buku-buku. Dalam

kehidupan nyata, kisah itu berakhir dramatis dan tragis. Kita

dipaksa menangis sejadi-jadinya, jatuh sedalam-dalamnya,

menerima seperih-perihnya. Itulah hidup. Hidup yang hanya

menunda kekalahan, kata Chairil.

Page 168: Menghidupkan Aksi

168

Bibliomania

Allison Hoover Bartlett patut bangga. Novel

investigasinya berjudul The Man Who Loved Books Too Much

mendapat penghargaan sebagai salah satu buku terbaik tahun

2009 versi Library Journal, setelah sebelumnya artikel mengenai

tokoh utama novel ini, John Gilkey, dimasukkan dalam Best

American Crime Reporting tahun 2007.

John Gilkey memang sosok yang memikat. Atas dasar

kecintaannya pada buku, ia menjadi pencuri buku-buku langka

koleksi para agen di seluruh penjuru negeri dengan bermodal

nomor kartu kredit dan telepon umum hotel. Dan, Bartlett

berhasil memukau pembacanya dengan detail yang amat teliti

mengenai manuskrip-manuskrip bersejarah serta humor satir

untuk menarasikan kisah Gilkey.

Inspirasinya untuk mencuri buku muncul saat ia masih

kanak-kanak. Bukan hanya karena alasan cinta, melainkan juga

dampak memiliki buku itu terhadap dirinya. Terlahir dalam

keluarga miskin membangkitkan fantasinya akan kehormatan dan

penghargaan sebagai orang yang berbudaya dan terpelajar apabila

Page 169: Menghidupkan Aksi

169

ia memiliki koleksi buku langka. Ia mendapatkan buku-buku

koleksinya dengan mencuri, tentu saja.

Anehnya, meskipun Gilkey sadar bahwa mencuri buku

adalah tindakan ilegal, namun baginya ilegal tidak sama dengan

salah. Saat ia berkali-kali ditahan oleh polisi, bukannya merasa

bersalah, ia justru menyalahkan orang lain yang dianggapnya

menghalanginya untuk mendapatkan itu. Gilkey adalah orang

yang percaya bahwa mengoleksi amat banyak buku langka adalah

ekspresi terbesar identitasnya, dan dengan cara apapun ia

mendapatkannya itu bernilai adil dan benar. Seperti Bartlett, aku

pun bertanya-tanya: bagaimana rasanya memandang dunia

dengan cara seperti itu, merasa berhak mendapatkan semua yang

diinginkan dan membenarkan cara apapun untuk meraihnya.

Namun, Gilkey ternyata pribadi yang tak sesederhana itu. Dibalik

kegilaannya mengoleksi buku, ia pun sedang berupaya keras

membangun citra dirinya sebagai pria terhormat. Dia

mempelajari filsafat, meneliti pengarang buku, membaca sastra,

bahkan menulis esai dan naskah dramanya sendiri.

Namun, buku ini tak hanya berkisah soal obsesi gila

Gilkey untuk membuat perpustakaan raksasa dengan ribuan

koleksi langka di rumahnya. Bartlett pun berkisah tentang Ken

Sanders, seorang yang menyebut dirinya bibliodick (penjual buku

yang merangkap detektif) yang memiliki obsesi besar untuk

Page 170: Menghidupkan Aksi

170

menangkap John Gilkey lewat jaringannya di Asosiasi Pedagang

Buku Amerika.

Mengesankan membaca bagaimana Bartlett meletakkan

kecintaan dua orang ini pada buku dalam konteks yang lebih

besar, tak hanya berkutat soal kejar mengejar antara detektif dan

maling, tetapi juga mengeksplorasi secara mendalam tentang

gairah terhadap buku selama berabad-abad, meskipun terkadang

nyaris menyiratkan seksualitas platonian.

Kecintaan fanatik yang cukup intim ini dituliskan oleh

Eugene Field dalam The Love Affairs of a Bibiliomaniac pada

1896, “Terlalu sedikit orang yang sepertinya menyadari bahwa

buku memiliki perasaan. Tetapi aku tahu sesuatu hal lebih baik

dari pada orang lain, yaitu buku-bukuku mengenalku dan

mencintaiku. Ketika suatu pagi aku terbangun, aku melempar

pandangan ke sekeliling ruangan untuk melihat harta benda yang

kucintai, dan ketika dengan gembira aku berseru kepada mereka,

‘Apa kabar teman-temanku yang baik!’ mereka akan berseri-seri

dengan indah, gembira aku sudah bangun!”

Buku, bagi beberapa orang merupakan catatan pribadi

satu bab kehidupan mereka. Secara fisik, ia menjadi saksi bisu

pengalaman pembacanya, artefak sejarah tempat berkumpulnya

kenangan, misal tentang siapa yang memberi buku itu pada kita,

Page 171: Menghidupkan Aksi

171

dimana kita saat membacanya, berapa usia kita saat asyik

membuka lembar demi lembarnya, dan lain sebagainya.

Ada banyak buku yang saya baca saat kecil. Meskipun

mencoba mengingatnya dengan keras, terkadang saya pun lupa,

buku mana yang lebih dulu saya baca. Namun, bagi saya, buku

yang paling penting (dan berharga) di masa kecil saya adalah

Little Women karya Alcott.

Tidak seperti kebanyakan buku yang saya baca di masa

itu, yang selalu berkisah tentang sekumpulan bocah laki-laki yang

hobi berpetualang, saya merasa, buku ini berkisah tentang diri

saya dalam tokoh Jo.

Jo, seorang maniak buku yang ceplas ceplos, apa

adanya, menyukai seni bermain peran, tokoh yang selalu saya

kagumi hingga menjadi role model saya hingga hari ini. Saya masih

ingat bagaimana membuka lembar demi lembar halaman yang

telah menguning di kamar tidur saya kala itu. Saya rasa, buku

memang bukan hanya sebuah kendaraan yang mengantarkan

isinya pada pembaca, tetapi juga pada kehidupan di saat kita

tengah membacanya.

Ketika Gilkey bertemu Jo dan Faqih

Page 172: Menghidupkan Aksi

172

Saya sedang membayangkan bagaimana jadinya bila

hari ini John Gilkey bertemu dengan Jo. Apa yang akan mereka

obrolkan? Koleksi buku-buku klasik yang mereka miliki?

Kesepakatan bahwa Jo akan memainkan naskah drama yang

ditulis Gilkey? Ah, akan lebih baik jika Profesor Bhaer (suami Jo)

turut serta dalam obrolan mereka. Mungkin, dia akan

memberikan Jo dan Gilkey saran bacaan, atau memberikan

bukunya secara cuma-cuma untuk Gilkey agar dia tak mencuri

lagi. Bukankah Jo dan Profesor Bhaer mendidik anak-anak

mereka dengan baik? Saya rasa, Jo dan Bhaer bisa membujuk

Gilkey untuk bertaubat.

Ah, tapi bagaimana jika Gilkey malah bertemu dengan

Faqih. Apa yang akan mereka obrolkan? Mungkin, mereka akan

ngobrol soal penghancuran buku yang dilsayakan dari masa ke

masa: pembakaran beribu koleksi kesusastraan China pada tahun

213 SM, pembakaran buku-buku sastra oleh Nazi,

penenggelaman buku-buku karya para ulama Muslim di laut

Merah, pelarangan buku-buku di zaman Orde Baru, dan semakin

sedikitnya buku tentang pemikiran Islam setiap tahunnya.

Faqih akan katakan bahwa semakin minimnya buku

tentang pemikiran Islam merupakan pertanda kemunduran

Islam. Sebab, mereka yang katakan bahwa Al Qur’an dan Hadist

adalah sumber pedoman satu-satunya justru menunjukkan

Page 173: Menghidupkan Aksi

173

ketidakyakinan dan kebuntuan mereka dalam mengartikulasikan

apa yang Al Qur’an dan Hadits sampaikan tentang masalah yang

mereka hadapi hari ini. “We never doing any reading process and too

afraid for break the streamlines..”

Gilkey akan menepuk pundak Faqih dan berkata, “Jangan

khawatir, akan selalu ada kami, para kolektor buku, penyelamat

peradaban, yang sedia mengumpulkan buku-buku terlarang

sebagai wujud penghargaan kami terhadap ilmu pengetahuan.

Sejarah sudah membuktikan. Buku-buku merangkai sebenar-

benarnya kisah. Tugas kita adalah menemukan dan melakukan

interpretasi secara objektif.” Mungkin demikian.

Page 174: Menghidupkan Aksi

174

Tentang Penulis

Alikta Hasnah Safitri lahir 28 Februari 1994 di Kemangkon,

Purbalingga, Jawa Tengah. Jenjang pendidikan yang telah

ditempuhnya, yaitu: MI Muhammadiyyah Senon, SMP Negeri 1

Kemangkon, dan SMA Negeri 1 Purbalingga. Saat ini ia masih

menempuh studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret. Sembari menempuh studi, ia juga

terlibat aktif dalam kepengurusan Kesatuan Aksi Mahasiswa

Muslim Indonesia Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi.

Selama menetap di Kota Solo, ia sering berlama-lama membaca

di perpustakaan, mengikuti berbagai seminar, serta menonton

pertunjukan seni.

Saran dan kritik dapat disampaikan pada penulis ke

[email protected]. Tulisannya yang lain bisa diakses

di blog pribadinya: aliktahassa.wordpress.com