menghadapi dan mengatasi bencana dalam islam

10
Menghadapi dan Mengatasi Bencana dalam Islam Menjelang dipenghujung tahun 2014 dan memasuki tahun 2015 Indonesia selalu dikhawatirkan akan datanganya bencana seperti banjir, longsor, dll. Bencana yang selalu berulang tiap tahun ini, tidak hanya melanda ibu kota Jakarta, akan tetapi melanda dibanyak tempat di Indonesia baik Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dll. Di Jakarta, banjir sekecil apapun akan berakibat macet amat parah hingga ke daerah yang tidak kebanjiran. Dan kalau sudah musim bencana ini, tiba-tiba kita seperti diingatkan lagi, bahwa Indonesia memang bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah. Bencana alam, baik karena faktor-faktor alam maupun akibat ulah tangan manusia merupakan bagian dari qadla’ Allah SWT yang harus diterima dengan penuh keridlaan dan kesabaran. Seorang Mukmin dituntut meyakini bahwasanya tidak ada satupun musibah yang menimpa umat manusia kecuali atas izin Allah. Tidak hanya itu saja, seorang Mukmin diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari musibah agar ia memperbaiki diri dan kembali taat kepada Allah SWT. Selain itu, walaupun musibah yang menimpa manusia merupakan qadha’ dari Allah SWT. Namun, di balik qadha’ tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk, ikhtiar untuk menghindarinya, sebelum terjadi. Karena itu, ketika Khalifah ‘Umar ditanya, “Apakah Anda akan melarikan diri dari qadar Allah?” Dengan tegas ‘Umar mengatakan, “Kita lari dari satu qadar Allah menuju qadar Allah yang lainnya.” Di sinilah letak ikhtiar manusia. Fakta Potensi Bencana di Indonesia Gambar 1. Kondisi Tektonik Indonesia

Upload: hafshah-sumayyah

Post on 21-Nov-2015

65 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

cara mengahadapi bencana dalam islam

TRANSCRIPT

  • Menghadapi dan Mengatasi Bencana dalam Islam

    Menjelang dipenghujung tahun 2014 dan memasuki tahun 2015 Indonesia selalu

    dikhawatirkan akan datanganya bencana seperti banjir, longsor, dll. Bencana yang selalu

    berulang tiap tahun ini, tidak hanya melanda ibu kota Jakarta, akan tetapi melanda dibanyak

    tempat di Indonesia baik Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dll. Di Jakarta, banjir sekecil

    apapun akan berakibat macet amat parah hingga ke daerah yang tidak kebanjiran. Dan kalau

    sudah musim bencana ini, tiba-tiba kita seperti diingatkan lagi, bahwa Indonesia memang

    bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi

    bencana alam yang berlimpah.

    Bencana alam, baik karena faktor-faktor alam maupun akibat ulah tangan manusia

    merupakan bagian dari qadla Allah SWT yang harus diterima dengan penuh keridlaan dan kesabaran. Seorang Mukmin dituntut meyakini bahwasanya tidak ada satupun musibah yang

    menimpa umat manusia kecuali atas izin Allah. Tidak hanya itu saja, seorang Mukmin

    diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari musibah agar ia memperbaiki diri dan kembali

    taat kepada Allah SWT.

    Selain itu, walaupun musibah yang menimpa manusia merupakan qadha dari Allah SWT. Namun, di balik qadha tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk, ikhtiar untuk menghindarinya, sebelum terjadi. Karena itu, ketika Khalifah Umar ditanya, Apakah Anda akan melarikan diri dari qadar Allah? Dengan tegas Umar mengatakan, Kita lari dari satu qadar Allah menuju qadar Allah yang lainnya. Di sinilah letak ikhtiar manusia.

    Fakta Potensi Bencana di Indonesia

    Gambar 1. Kondisi Tektonik Indonesia

  • Gambar 2. Peta Kegempaan (Seismisitas) di Indonesia Periode 1973 2010

    Gambar 3. Daerah Rawan Tsunami di Indonesia

  • Gambar 4. Peta Perkiraan curah hujan Desember 2014 di Indonesia

    Gambar 5. Peta Perkiraan sifa hujan Desember 2014 di Indonesia

    Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam

    dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh

    faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar

    perairan Indonesia diantaranya adalah lempeng Eurasia, Australia dan lempeng Dasar

    Samudera Pasifik. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut menyebabkan

    terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif serta patahanpatahan geologi

    yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi dan tanah longsor.

  • Menurut BAKORNAS PBP dalam "Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di

    Indonesia", dilihat dari potensi bencana yang ada Indonesia merupakan negara dengan

    potensi bencana (hazard potency) yang sangat tinggi. Beberapa potensi bencana yang ada

    antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor,

    dan lain-lain. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2

    kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan

    (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini jika dilihat dari peta

    potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah

    dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi

    bencana letusan gunung api (129 gunung api aktif), peta potensi bencana tsunami, peta

    potensi bencana banjir, dan lain-lain.

    Dari indikator-indikator diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi bahaya

    utama (main hazard potency) yang tinggi. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi

    negara Indonesia, semua pontesi ini mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika. Kita

    juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia Australia dan antara Hindia Pasifik. Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga

    kebakaran hutan juga rajin berkunjung

    Namun demikian.

    Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar. Seharusnya mereka adalah

    maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana. Seharusnya bangsa-bangsa lain banyak

    belajar ke Indonesia. Namun yang terjadi, bencana belum benar-benar ditangkal, namun baru

    dihadapi dengan sebatas tawakal atau lebih bersifat responsif. Padahal, salah satu upaya yang

    dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana adalah pencegahan dan mitigasi, yang

    merupakan upaya untuk mengurangi atau memperkecil dampak kerugian atau kerusakan yang

    dapat ditimbulkan oleh bencana.

    Penanganan Bencana di masa Daulah Khilafah Islamiyah

    Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga bersentuhan dengan berbagai

    potensi bencana alam. Wilayah sekitar gurun di Timur Tengah dan Afrika Utara amat rawan

    kekeringan. Lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Eufrat-Tigris di Irak amat rawan banjir.

    Sementara itu Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga masih sangat rawan gempa.

    Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti

    penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya cacar (variolla) atau pes. Namun

    toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad. Kalaupun Daulah ini kemudian sirna,

    itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara

    mereka sendiri, terutama elite politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk

    saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan.

    Ilustrasi sederhana penanganan bencana yang dilakukan oleh Daulah Khilafah Islamiyah

    adalah apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra ketika menangani

    paceklik yang menimpa jazirah Arab. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota

    Madinahpusat pemerintahan Khilafah Islamiyahuntuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab ra segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti

    Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah

  • bin Uthbah bin Masud ra. Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab ra, sekaligus merancang apa yang akan

    dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota

    Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota

    Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari,

    jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab ra berjumlah 10 ribu

    orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.

    Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu

    pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab ra.

    Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab ra memerintahkan agar pengungsi-

    pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi

    dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka

    kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan.

    Selain itu, di masa khilafah setelahnya pun untuk menangkal kekeringan (yang penyebabnya

    kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Nio) para penguasa Muslim di masa

    itu telah membangun bunker gudang makanan. Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah

    tanah yang dijaga agar tetap kering. Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma,

    minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim. Bunker ini

    tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga persiapan bila ada

    serangan musuh yang mengepung kota. Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya

    menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa

    puluh tahun. Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa

    dikonsumsi.

    Gambar 6. Bunker gudang makanan di masa khilafah

    Nilometer yang dibangun al-Farghani untuk peringatan dini banjir Sungai Nil

    Sementara itu untuk antisipasi banjir, para penguasa Muslim membangun bendungan, terusan

    dan alat peringatan dini. Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah membangun alat yang

    disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di

    berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, al-Farghani berhasil memberikan

    prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.

  • Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning

    system ala al-Farghani. Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan

    bendungan. Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu.

    Adalah Ibn al-Haitsam yang akhirnya memenangkan kontrak pembangunannya. Namun

    tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi untuk bendungan, dia

    tertegun menyaksikan piramid-piramid raksasa yang dibangun Firaun. Dia berpikir, Firaun yang sanggup membangun piramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku? Karena malu dan takut menanggung konsekuensi karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dikurung di

    rumah dan hartanya diawasi negara. Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam

    mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga akhirnya menjadi

    Bapak Optika. Dia baru dilepas beberapa tahun setelah penguasa Mesir ganti dan orang

    sudah mulai lupa kasusnya. Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan di

    masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam

    mengembangkan mekanika. Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil

    membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.

    Di Turki, untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa. Sinan,

    arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton

    bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan

    menyalurkan beban secara merata. Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada

    tanah-tanah yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di atas 8

    Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada

    masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.

    Tanggap Bencana

    Penangan bencana alam maupun yang karena pengaruh tangan manusia memiliki beberapa level

    penyelesaian mulai dari level teknis hingga level sistemik. Seperti penanganan banjir atau

    permasalahan lainnya, terkadang cukup mengubah salah satu levelnya saja tetapi ada juga yang harus

    diubah sampai ke level ideologis. Rincian level-level dengan ilustrasi sebagai berikut:

    Pertama, level praktis. Sistem level praktis itu di tataran pelaksana (the person behind the gun).

    Misalnya, akan ada perubahan yang sistemik begitu diangkat gubernur baru yang gemar blusukan

    alias inspeksi mendadak ke tempat-tempat bermasalah, atau wakil gubernur yang telaten memelototi

    RAPBD untuk menghemat pos-pos anggaran yang tidak perlu. Dampaknya sistemis, karena terus

    semua aparat ke bawah bekerja dengan benar, takut gubernurnya duluan sampai ke kantor atau ke

    TKP daripada dia, juga takut anggaran tahun mendatang dikurangi lagi atau bahkan dihapus, kalau

    target kinerjanya diragukan.

    Kedua, level mekanis. Banyak hal yang mendukung penanggulangan banjir itu dapat dibuat mekanis

    (otomatis), sehingga memaksa orang mengikutinya. Pengawas infrastruktur yang patroli harus

    membawa perekam ber-GPS, kamera CCTV, pintu-air otomatis yang dapat naik/turun sendiri ketika

    debit air mencapi ketinggian tertentu, dan sebagainya. Atau bantaran sungai diberi pagar dengan

    ketinggian tertentu sehingga warga tidak bisa lagi membuang sampah ke sungai. Sebaliknya, mereka

    disediakan tempat sampah yang diangkut secara teratur, sehingga meninggalkan kebiasaannya

    membuat sampah ke sungai. Ini dampaknya semua akan sistemis, sampai sistem mekanis ini

    rusak/dirusak.

  • Ketiga, level teknis. Sistem level teknis ini berupa standard operational procedure (SOP) yang

    diperintahkan oleh pejabat terkait, SOP agar seluruh petugas dinas PU rutinmisalnya seminggu

    sekalimemeriksa seluruh infrastruktur anti banjir (gorong-gorong, kanal, waduk, tanggul, pintu-air,

    pompa) dan mengisi checklist terkait yang harus dia pertanggungjawabkan, dan untuk itu, kompetensi

    petugas ini ditingkatkan dengan suatu diklat profesi, tunjangannya dinaikkan, tetapi kalau lalai akan

    diberi sanksi yang berat.

    Keempat, Level yuridis. Jika berbagai kebijakan itu dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-

    undangan, misalnya Undang-undang tentang Penataan Ruang yang diperketat, atau Perda tentang

    Insentif dan Disinsentif bagi masyarakat yang ikut menjaga infrastruktur anti banjir, maka ini sudah

    level yuridis. Perundangan ini yang akan menaungi sistem teknis, mekanis maupun praktis. Dalam

    sistem pemerintahan yang berlaku saat ini, ciri level yuridis ini adalah pembuatan atau perubahannya

    harus melibatkan banyak pihak, seperti DPR/DPRD atau beberapa kementerian.

    Kelima, level politis. Ingin mengubah UU atau Perda itu perlu mengubah konstelasi politik. Partai-

    partai yang mendukung perubahan harus dilobi agar mereka menghasilkan produk hukum yang

    diinginkan. Proses politik ini juga tergantung sistem level politik yang ada, misalnya apakah dia strict

    pada pemilu yang mengikuti sistem proporsional atau sistem distrik, apakah untuk mengubah suatu

    UU cukup mayoritas sederhana atau harus dua pertiga jumlah kursi, dan lain sebagainya.

    Keenam, level akademis. Kebijakan politis perlu dasar atau pembenaran secara akademis, demikian

    juga pembuatan hukum (yuridis). Maka di level akademis ini, sebuah sistem juga harus lulus, kalau

    dia ingin legitimate dan sustain dalam jangka panjang. Untuk mengganti sistem di level akademis ini

    berarti kita harus mengganti akademisinya, atau kita mengganti isi otak para akademisi yang sudah

    ada, dengan cara diskusi yang juga sangat melelahkan dan karena itu tidak mudah! Revolusi di

    berbagai negara biasa didahului dengan perdebatan akademis puluhan tahun.

    Ketujuh, level ideologis. Level akademis, apalagi dalam persoalan politik-ekonomi-hukum, sangat

    tergantung pada ideologi yang mendasarinya. Apakah ideologisnya condong ke kapitalis, sosialis,

    atau campuran, atau bukan semuanya? Kalau sistem ini tidak jelas ideologinya, maka ia akan sangat

    labil.

    Sebagai contoh kasus masalah banjir di Jakarta, Banyak yang harus diubah mulai perilaku masyarakat

    dan penguasa dalam soal tata ruang harus berubah. Seharusnya daerah hulu dibiarkan jadi hutan

    lindung, tidak beralih fungsi jadi perkebunan sayuran, apalagi malah jadi vila dan lapangan golf.

    Penguasa harus tegas menjaga tata ruang ini, tidak mudah ditekan oleh rakyat konstituennya yang

    membuat kebun sayur ataupun tergiur gratifikasi pengusaha pariwisata.

    Di hilir, seharusnya bantaran sungai dibiarkan kosong agar mudah untuk merawat tanggul sungai atau

    mengeruk sungai sehingga tidak terus menerus terjadi pendangkalan. Dan lagi-lagi penguasa harus

    tegas menindak sindikat yang terus memanfaatkan kemiskinan penghuni bantaran sungai itu.

    Penguasa juga harus menaikkan kompetensi dan disiplin para petugas perawatan infrastruktur anti

    banjir, agar seluruh gorong-gorong, kanal, waduk, tanggul dan pompa seluruhnya berfungsi optimal.

    Tidak hanya sampai situ, karena pelanggaran tata ruang baik di hulu maupun hilir terutama adalah

    disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme, sehingga nyaris semua permasalahan diserahkan kepada

    pasar. Akibatnya, mereka yang memiliki bekal awal minim, akhirnya kalah, menjual lahannya di

    kawasan hulu kepada investor, lalu pergi ke Jakarta, bekerja di sektor informal yang sangat

    kekurangan, dan akhirnya tinggal di bantaran sungai.

  • Jadi untuk banjir Jakarta, tidak hanya sistem teknis yang harus diperbaiki. Tanpa sistem non teknis,

    maka perbaikan sistem teknis seberapa pun tidak akan cukup. Dan yang non teknis ini ternyata

    berakar pada sesuatu yang ideologis, yaitu ekonomi yang terlalu diserahkan pada permainan pasar

    (kapitalis), dan kebijakan publik yang terlalu diserahkan kepada demokrasi, padahal dalam hal

    perlindungan lingkungan, pasar sering gagal berfungsi, karena nilai lingkungan tidak mudah

    dikonversi ke nilai uang. Demikian juga, opsi-opsi teknis yang memerlukan kepakaran tidak mungkin

    dipilih dengan cara demokratis.

    Manajemen Bencana Model Khilafah Islamiyah

    Adapun dalam konteks penanganan terhadap musibah, Khilafah Islamiyah menggariskan kebijakan-

    kebijakan komprehensif yang terhimpun dalam manajemen bencana model Khilafah Islamiyah.

    Manajemen bencana model Khilafah Islamiyah tegak di atas akidah Islamiyah. Prinsip-prinsip

    pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, dan ditujukan untuk kemashlahatan rakyat. Manajemen

    bencana Khilafah Islamiyah meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.

    Penangangan pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau

    menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk

    mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain

    sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan,

    relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain; juga

    termasuk dalam kegiatan pra bencana.

    Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar

    mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar mereka memiliki perhatian terhadap

    lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar

    ketika dan sesudah bencana. Untuk merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-

    menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam;

    seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan daerah-daerah rawan lainnya.

    Edukasi meliputi pembentukan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penjagaan dan

    perlindungan lingkungan; serta peningkatan pengetahuan mereka terhadap penanganan ketika dan

    pasca bencana. Harapannya, masyarakat terbiasa peduli terhadap lingkungannya dan mengetahui

    cara untuk mengantisipasi dan menangani bencana, dan me-recovery lingkungannya yang rusak

    akibat bencanaagar kembali berfungsi normal seperti semula.

    Selain itu, Khilafah Islamiyah membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non

    teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan

    dan peralatan yang canggihseperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban

    bencana, dan lain-lain, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-

    daerah bencana. Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada

    masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-

    recovery diri dari bencana.

    Adapun manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi

    jumlah korban dan kerugian material akibat bencana. Kegiatan-kegiatan penting yang dilakukan

    adalah evakuasi korban secepat-secepatnya, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para

    korban, serta memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke

    tempat-tempat yang tidak dihuni oleh manusia, atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang

    sudah dipersiapkan sebelumnya. Kegiatan lain lain yang tidak kalah penting adalah penyiapan

  • lokasi-lokasi pengungsian, pembentuan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses-

    akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan team SAR untuk berkomunikasi dan

    mengevakuasi korban yang masih terjebak oleh bencana. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya

    kegiatan ini tergantung pada berhasil tidaknya kegiatan pra bencana.

    Aspek yang ketiga adalah manajemen pasca bencana, yakni seluruh kegiatan yang ditujukan untuk;

    (1) me-recovery korban bencana agar mereka mendapatkan pelayanan yang baik selama berada

    dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-

    dampak psikologis kurang baik lainnya. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah kebutuhan-

    kebutuhan vital mereka, seperti makanan, pakaian, tempat istirahat yang memadai, dan obat-obatan

    serta pelayanan medis lainnya. Recovery mental bisa dilakukan dengan cara memberikan taushiyah-

    taushiyah atau ceramah-ceramah untuk mengokohkan akidah dan nafsiyah para korban; (2) me-

    recovery lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana, kantor-kantor pemerintahan maupun

    tempat-tempat vital lainnya, seperti tempat peribadahan, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya.

    Khilafah Islamiyah, jika memandang tempat terkena bencana, masih layak untuk di-recovery, maka,

    ia akan melakukan perbaikan-perbaikan secepatnya agar masyarakat bisa menjalankan kehidupannya

    sehari-harinya secara normal, seperti sedia kala. Bahkan jika perlu, khalifah akan merelokasi

    penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif. Untuk itu, Khalifah Islamiyah akan

    menerjunkan tim ahli untuk meneliti dan mengkaji langkah-langkah terbaik bagi korban bencana alam.

    Mereka akan melaporkan opsi terbaik kepada khalifah untuk ditindaklanjuti dengan cepat dan

    profesional.

    Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh khalifah untuk menangani bencana yang melanda di

    wilayah Khilafah Islamiyah. Manajemen semacam ini disusun dengan berpegang teguh pada prinsip

    wajibnya seorang Khalifah melakukan riayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya.

    Pasalnya, khalifah adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas

    pelayanan yang ia lakukan. Jika ia melayani rakyatnya dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan

    mendapatkan pahala yang melimpah ruah. Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan

    rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak

    di hari akhir.

    Renungan

    Lebih dari itu, harus selalu disadari, ketakwaan adalah sumber keberkahan. Sebaliknya, kemaksiatan

    adalah sumber bencana; baik kemaksiatan dalam bentuk pengrusakan lingkungan (pembalakan hutan

    secara liar, dsb), atau kemaksiatan yang lebih besar lagi, yakni pengabaian syariah Islam. Semua

    kemaksiatan itu akan menjadi faktor penyebab berbagai bencana yang menimpa umat secara

    keseluruhan, tidak hanya menimpa para pelaku kemaksiatan saja.

    Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah (kemaksiatan) manusia supaya Allah

    menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang

    benar) (QS ar-Rum [30]: 41).

  • (25 )

    Kemudian daripada itu Allah swt. menyerukan kepada orang-orang beriman agar memelihara diri

    mereka dari siksaan yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang zalim itu saja di antara orang-

    orang beriman. (QS. Al-Anfaal 25)

    Maka dari itu, berbagai bencana yang datang silih berganti sejatinya mendorong para penguasa dan

    rakyat negeri ini untuk segera mencampakkan berbagai kemaksiatan mereka kepada Allah SWT, lalu

    bersegera menerapkan syariah-Nya secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Itulah bukti sejati

    ketakwaan mereka dan itulah jalan keberkahan hidup mereka, sebagaimana firman-Nya:

    Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada

    mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-Araf [7]: 96).

    Secara praktis, untuk mewujudkan semua itu, hendaknya penguasa negeri ini segera menata

    pemerintahan secara islami, yakni dengan sistem Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah Islam

    secara total dalam seluruh aspek kehidupan.

    Wallahu alam bish shawab.