menghadapi dan mengatasi bencana dalam islam
DESCRIPTION
cara mengahadapi bencana dalam islamTRANSCRIPT
-
Menghadapi dan Mengatasi Bencana dalam Islam
Menjelang dipenghujung tahun 2014 dan memasuki tahun 2015 Indonesia selalu
dikhawatirkan akan datanganya bencana seperti banjir, longsor, dll. Bencana yang selalu
berulang tiap tahun ini, tidak hanya melanda ibu kota Jakarta, akan tetapi melanda dibanyak
tempat di Indonesia baik Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dll. Di Jakarta, banjir sekecil
apapun akan berakibat macet amat parah hingga ke daerah yang tidak kebanjiran. Dan kalau
sudah musim bencana ini, tiba-tiba kita seperti diingatkan lagi, bahwa Indonesia memang
bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga negeri dengan potensi
bencana alam yang berlimpah.
Bencana alam, baik karena faktor-faktor alam maupun akibat ulah tangan manusia
merupakan bagian dari qadla Allah SWT yang harus diterima dengan penuh keridlaan dan kesabaran. Seorang Mukmin dituntut meyakini bahwasanya tidak ada satupun musibah yang
menimpa umat manusia kecuali atas izin Allah. Tidak hanya itu saja, seorang Mukmin
diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari musibah agar ia memperbaiki diri dan kembali
taat kepada Allah SWT.
Selain itu, walaupun musibah yang menimpa manusia merupakan qadha dari Allah SWT. Namun, di balik qadha tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk, ikhtiar untuk menghindarinya, sebelum terjadi. Karena itu, ketika Khalifah Umar ditanya, Apakah Anda akan melarikan diri dari qadar Allah? Dengan tegas Umar mengatakan, Kita lari dari satu qadar Allah menuju qadar Allah yang lainnya. Di sinilah letak ikhtiar manusia.
Fakta Potensi Bencana di Indonesia
Gambar 1. Kondisi Tektonik Indonesia
-
Gambar 2. Peta Kegempaan (Seismisitas) di Indonesia Periode 1973 2010
Gambar 3. Daerah Rawan Tsunami di Indonesia
-
Gambar 4. Peta Perkiraan curah hujan Desember 2014 di Indonesia
Gambar 5. Peta Perkiraan sifa hujan Desember 2014 di Indonesia
Secara geografis Indonesia terletak di daerah katulistiwa dengan morfologi yang beragam
dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak dipengaruhi oleh
faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas pergerakan lempeng tektonik aktif di sekitar
perairan Indonesia diantaranya adalah lempeng Eurasia, Australia dan lempeng Dasar
Samudera Pasifik. Pergerakan lempeng-lempeng tektonik tersebut menyebabkan
terbentuknya jalur gempa bumi, rangkaian gunung api aktif serta patahanpatahan geologi
yang merupakan zona rawan bencana gempa bumi dan tanah longsor.
-
Menurut BAKORNAS PBP dalam "Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di
Indonesia", dilihat dari potensi bencana yang ada Indonesia merupakan negara dengan
potensi bencana (hazard potency) yang sangat tinggi. Beberapa potensi bencana yang ada
antara lain adalah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor,
dan lain-lain. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan
(collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini jika dilihat dari peta
potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah
dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah longsor, peta potensi
bencana letusan gunung api (129 gunung api aktif), peta potensi bencana tsunami, peta
potensi bencana banjir, dan lain-lain.
Dari indikator-indikator diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi bahaya
utama (main hazard potency) yang tinggi. Hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi
negara Indonesia, semua pontesi ini mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika. Kita
juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia Australia dan antara Hindia Pasifik. Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga
kebakaran hutan juga rajin berkunjung
Namun demikian.
Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar. Seharusnya mereka adalah
maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana. Seharusnya bangsa-bangsa lain banyak
belajar ke Indonesia. Namun yang terjadi, bencana belum benar-benar ditangkal, namun baru
dihadapi dengan sebatas tawakal atau lebih bersifat responsif. Padahal, salah satu upaya yang
dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana adalah pencegahan dan mitigasi, yang
merupakan upaya untuk mengurangi atau memperkecil dampak kerugian atau kerusakan yang
dapat ditimbulkan oleh bencana.
Penanganan Bencana di masa Daulah Khilafah Islamiyah
Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga bersentuhan dengan berbagai
potensi bencana alam. Wilayah sekitar gurun di Timur Tengah dan Afrika Utara amat rawan
kekeringan. Lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Eufrat-Tigris di Irak amat rawan banjir.
Sementara itu Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga masih sangat rawan gempa.
Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti
penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya cacar (variolla) atau pes. Namun
toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad. Kalaupun Daulah ini kemudian sirna,
itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara
mereka sendiri, terutama elite politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk
saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan.
Ilustrasi sederhana penanganan bencana yang dilakukan oleh Daulah Khilafah Islamiyah
adalah apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra ketika menangani
paceklik yang menimpa jazirah Arab. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota
Madinahpusat pemerintahan Khilafah Islamiyahuntuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab ra segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti
Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah
-
bin Uthbah bin Masud ra. Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab ra, sekaligus merancang apa yang akan
dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota
Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota
Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari,
jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab ra berjumlah 10 ribu
orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.
Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu
pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab ra.
Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab ra memerintahkan agar pengungsi-
pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi
dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka
kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan.
Selain itu, di masa khilafah setelahnya pun untuk menangkal kekeringan (yang penyebabnya
kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Nio) para penguasa Muslim di masa
itu telah membangun bunker gudang makanan. Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah
tanah yang dijaga agar tetap kering. Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma,
minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim. Bunker ini
tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga persiapan bila ada
serangan musuh yang mengepung kota. Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya
menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa
puluh tahun. Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa
dikonsumsi.
Gambar 6. Bunker gudang makanan di masa khilafah
Nilometer yang dibangun al-Farghani untuk peringatan dini banjir Sungai Nil
Sementara itu untuk antisipasi banjir, para penguasa Muslim membangun bendungan, terusan
dan alat peringatan dini. Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah membangun alat yang
disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di
berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, al-Farghani berhasil memberikan
prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.
-
Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning
system ala al-Farghani. Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan
bendungan. Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu.
Adalah Ibn al-Haitsam yang akhirnya memenangkan kontrak pembangunannya. Namun
tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi untuk bendungan, dia
tertegun menyaksikan piramid-piramid raksasa yang dibangun Firaun. Dia berpikir, Firaun yang sanggup membangun piramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku? Karena malu dan takut menanggung konsekuensi karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dikurung di
rumah dan hartanya diawasi negara. Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam
mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga akhirnya menjadi
Bapak Optika. Dia baru dilepas beberapa tahun setelah penguasa Mesir ganti dan orang
sudah mulai lupa kasusnya. Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan di
masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam
mengembangkan mekanika. Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil
membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.
Di Turki, untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa. Sinan,
arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton
bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan
menyalurkan beban secara merata. Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada
tanah-tanah yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di atas 8
Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada
masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.
Tanggap Bencana
Penangan bencana alam maupun yang karena pengaruh tangan manusia memiliki beberapa level
penyelesaian mulai dari level teknis hingga level sistemik. Seperti penanganan banjir atau
permasalahan lainnya, terkadang cukup mengubah salah satu levelnya saja tetapi ada juga yang harus
diubah sampai ke level ideologis. Rincian level-level dengan ilustrasi sebagai berikut:
Pertama, level praktis. Sistem level praktis itu di tataran pelaksana (the person behind the gun).
Misalnya, akan ada perubahan yang sistemik begitu diangkat gubernur baru yang gemar blusukan
alias inspeksi mendadak ke tempat-tempat bermasalah, atau wakil gubernur yang telaten memelototi
RAPBD untuk menghemat pos-pos anggaran yang tidak perlu. Dampaknya sistemis, karena terus
semua aparat ke bawah bekerja dengan benar, takut gubernurnya duluan sampai ke kantor atau ke
TKP daripada dia, juga takut anggaran tahun mendatang dikurangi lagi atau bahkan dihapus, kalau
target kinerjanya diragukan.
Kedua, level mekanis. Banyak hal yang mendukung penanggulangan banjir itu dapat dibuat mekanis
(otomatis), sehingga memaksa orang mengikutinya. Pengawas infrastruktur yang patroli harus
membawa perekam ber-GPS, kamera CCTV, pintu-air otomatis yang dapat naik/turun sendiri ketika
debit air mencapi ketinggian tertentu, dan sebagainya. Atau bantaran sungai diberi pagar dengan
ketinggian tertentu sehingga warga tidak bisa lagi membuang sampah ke sungai. Sebaliknya, mereka
disediakan tempat sampah yang diangkut secara teratur, sehingga meninggalkan kebiasaannya
membuat sampah ke sungai. Ini dampaknya semua akan sistemis, sampai sistem mekanis ini
rusak/dirusak.
-
Ketiga, level teknis. Sistem level teknis ini berupa standard operational procedure (SOP) yang
diperintahkan oleh pejabat terkait, SOP agar seluruh petugas dinas PU rutinmisalnya seminggu
sekalimemeriksa seluruh infrastruktur anti banjir (gorong-gorong, kanal, waduk, tanggul, pintu-air,
pompa) dan mengisi checklist terkait yang harus dia pertanggungjawabkan, dan untuk itu, kompetensi
petugas ini ditingkatkan dengan suatu diklat profesi, tunjangannya dinaikkan, tetapi kalau lalai akan
diberi sanksi yang berat.
Keempat, Level yuridis. Jika berbagai kebijakan itu dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, misalnya Undang-undang tentang Penataan Ruang yang diperketat, atau Perda tentang
Insentif dan Disinsentif bagi masyarakat yang ikut menjaga infrastruktur anti banjir, maka ini sudah
level yuridis. Perundangan ini yang akan menaungi sistem teknis, mekanis maupun praktis. Dalam
sistem pemerintahan yang berlaku saat ini, ciri level yuridis ini adalah pembuatan atau perubahannya
harus melibatkan banyak pihak, seperti DPR/DPRD atau beberapa kementerian.
Kelima, level politis. Ingin mengubah UU atau Perda itu perlu mengubah konstelasi politik. Partai-
partai yang mendukung perubahan harus dilobi agar mereka menghasilkan produk hukum yang
diinginkan. Proses politik ini juga tergantung sistem level politik yang ada, misalnya apakah dia strict
pada pemilu yang mengikuti sistem proporsional atau sistem distrik, apakah untuk mengubah suatu
UU cukup mayoritas sederhana atau harus dua pertiga jumlah kursi, dan lain sebagainya.
Keenam, level akademis. Kebijakan politis perlu dasar atau pembenaran secara akademis, demikian
juga pembuatan hukum (yuridis). Maka di level akademis ini, sebuah sistem juga harus lulus, kalau
dia ingin legitimate dan sustain dalam jangka panjang. Untuk mengganti sistem di level akademis ini
berarti kita harus mengganti akademisinya, atau kita mengganti isi otak para akademisi yang sudah
ada, dengan cara diskusi yang juga sangat melelahkan dan karena itu tidak mudah! Revolusi di
berbagai negara biasa didahului dengan perdebatan akademis puluhan tahun.
Ketujuh, level ideologis. Level akademis, apalagi dalam persoalan politik-ekonomi-hukum, sangat
tergantung pada ideologi yang mendasarinya. Apakah ideologisnya condong ke kapitalis, sosialis,
atau campuran, atau bukan semuanya? Kalau sistem ini tidak jelas ideologinya, maka ia akan sangat
labil.
Sebagai contoh kasus masalah banjir di Jakarta, Banyak yang harus diubah mulai perilaku masyarakat
dan penguasa dalam soal tata ruang harus berubah. Seharusnya daerah hulu dibiarkan jadi hutan
lindung, tidak beralih fungsi jadi perkebunan sayuran, apalagi malah jadi vila dan lapangan golf.
Penguasa harus tegas menjaga tata ruang ini, tidak mudah ditekan oleh rakyat konstituennya yang
membuat kebun sayur ataupun tergiur gratifikasi pengusaha pariwisata.
Di hilir, seharusnya bantaran sungai dibiarkan kosong agar mudah untuk merawat tanggul sungai atau
mengeruk sungai sehingga tidak terus menerus terjadi pendangkalan. Dan lagi-lagi penguasa harus
tegas menindak sindikat yang terus memanfaatkan kemiskinan penghuni bantaran sungai itu.
Penguasa juga harus menaikkan kompetensi dan disiplin para petugas perawatan infrastruktur anti
banjir, agar seluruh gorong-gorong, kanal, waduk, tanggul dan pompa seluruhnya berfungsi optimal.
Tidak hanya sampai situ, karena pelanggaran tata ruang baik di hulu maupun hilir terutama adalah
disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme, sehingga nyaris semua permasalahan diserahkan kepada
pasar. Akibatnya, mereka yang memiliki bekal awal minim, akhirnya kalah, menjual lahannya di
kawasan hulu kepada investor, lalu pergi ke Jakarta, bekerja di sektor informal yang sangat
kekurangan, dan akhirnya tinggal di bantaran sungai.
-
Jadi untuk banjir Jakarta, tidak hanya sistem teknis yang harus diperbaiki. Tanpa sistem non teknis,
maka perbaikan sistem teknis seberapa pun tidak akan cukup. Dan yang non teknis ini ternyata
berakar pada sesuatu yang ideologis, yaitu ekonomi yang terlalu diserahkan pada permainan pasar
(kapitalis), dan kebijakan publik yang terlalu diserahkan kepada demokrasi, padahal dalam hal
perlindungan lingkungan, pasar sering gagal berfungsi, karena nilai lingkungan tidak mudah
dikonversi ke nilai uang. Demikian juga, opsi-opsi teknis yang memerlukan kepakaran tidak mungkin
dipilih dengan cara demokratis.
Manajemen Bencana Model Khilafah Islamiyah
Adapun dalam konteks penanganan terhadap musibah, Khilafah Islamiyah menggariskan kebijakan-
kebijakan komprehensif yang terhimpun dalam manajemen bencana model Khilafah Islamiyah.
Manajemen bencana model Khilafah Islamiyah tegak di atas akidah Islamiyah. Prinsip-prinsip
pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, dan ditujukan untuk kemashlahatan rakyat. Manajemen
bencana Khilafah Islamiyah meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.
Penangangan pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau
menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk
mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain
sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan,
relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain; juga
termasuk dalam kegiatan pra bencana.
Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar
mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar mereka memiliki perhatian terhadap
lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar
ketika dan sesudah bencana. Untuk merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-
menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam;
seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan daerah-daerah rawan lainnya.
Edukasi meliputi pembentukan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penjagaan dan
perlindungan lingkungan; serta peningkatan pengetahuan mereka terhadap penanganan ketika dan
pasca bencana. Harapannya, masyarakat terbiasa peduli terhadap lingkungannya dan mengetahui
cara untuk mengantisipasi dan menangani bencana, dan me-recovery lingkungannya yang rusak
akibat bencanaagar kembali berfungsi normal seperti semula.
Selain itu, Khilafah Islamiyah membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non
teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan
dan peralatan yang canggihseperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban
bencana, dan lain-lain, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-
daerah bencana. Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada
masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-
recovery diri dari bencana.
Adapun manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi
jumlah korban dan kerugian material akibat bencana. Kegiatan-kegiatan penting yang dilakukan
adalah evakuasi korban secepat-secepatnya, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para
korban, serta memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke
tempat-tempat yang tidak dihuni oleh manusia, atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang
sudah dipersiapkan sebelumnya. Kegiatan lain lain yang tidak kalah penting adalah penyiapan
-
lokasi-lokasi pengungsian, pembentuan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses-
akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan team SAR untuk berkomunikasi dan
mengevakuasi korban yang masih terjebak oleh bencana. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya
kegiatan ini tergantung pada berhasil tidaknya kegiatan pra bencana.
Aspek yang ketiga adalah manajemen pasca bencana, yakni seluruh kegiatan yang ditujukan untuk;
(1) me-recovery korban bencana agar mereka mendapatkan pelayanan yang baik selama berada
dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-
dampak psikologis kurang baik lainnya. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah kebutuhan-
kebutuhan vital mereka, seperti makanan, pakaian, tempat istirahat yang memadai, dan obat-obatan
serta pelayanan medis lainnya. Recovery mental bisa dilakukan dengan cara memberikan taushiyah-
taushiyah atau ceramah-ceramah untuk mengokohkan akidah dan nafsiyah para korban; (2) me-
recovery lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana, kantor-kantor pemerintahan maupun
tempat-tempat vital lainnya, seperti tempat peribadahan, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya.
Khilafah Islamiyah, jika memandang tempat terkena bencana, masih layak untuk di-recovery, maka,
ia akan melakukan perbaikan-perbaikan secepatnya agar masyarakat bisa menjalankan kehidupannya
sehari-harinya secara normal, seperti sedia kala. Bahkan jika perlu, khalifah akan merelokasi
penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif. Untuk itu, Khalifah Islamiyah akan
menerjunkan tim ahli untuk meneliti dan mengkaji langkah-langkah terbaik bagi korban bencana alam.
Mereka akan melaporkan opsi terbaik kepada khalifah untuk ditindaklanjuti dengan cepat dan
profesional.
Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh khalifah untuk menangani bencana yang melanda di
wilayah Khilafah Islamiyah. Manajemen semacam ini disusun dengan berpegang teguh pada prinsip
wajibnya seorang Khalifah melakukan riayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya.
Pasalnya, khalifah adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas
pelayanan yang ia lakukan. Jika ia melayani rakyatnya dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan
mendapatkan pahala yang melimpah ruah. Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan
rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak
di hari akhir.
Renungan
Lebih dari itu, harus selalu disadari, ketakwaan adalah sumber keberkahan. Sebaliknya, kemaksiatan
adalah sumber bencana; baik kemaksiatan dalam bentuk pengrusakan lingkungan (pembalakan hutan
secara liar, dsb), atau kemaksiatan yang lebih besar lagi, yakni pengabaian syariah Islam. Semua
kemaksiatan itu akan menjadi faktor penyebab berbagai bencana yang menimpa umat secara
keseluruhan, tidak hanya menimpa para pelaku kemaksiatan saja.
Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah (kemaksiatan) manusia supaya Allah
menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang
benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
-
(25 )
Kemudian daripada itu Allah swt. menyerukan kepada orang-orang beriman agar memelihara diri
mereka dari siksaan yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang zalim itu saja di antara orang-
orang beriman. (QS. Al-Anfaal 25)
Maka dari itu, berbagai bencana yang datang silih berganti sejatinya mendorong para penguasa dan
rakyat negeri ini untuk segera mencampakkan berbagai kemaksiatan mereka kepada Allah SWT, lalu
bersegera menerapkan syariah-Nya secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Itulah bukti sejati
ketakwaan mereka dan itulah jalan keberkahan hidup mereka, sebagaimana firman-Nya:
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-Araf [7]: 96).
Secara praktis, untuk mewujudkan semua itu, hendaknya penguasa negeri ini segera menata
pemerintahan secara islami, yakni dengan sistem Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah Islam
secara total dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu alam bish shawab.