memelihara aqidah islamiyah

Upload: abeng-koesoemo-520

Post on 11-Jul-2015

1.182 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

MEMELIHARA AQIDAH ISLAMIYAH

Disusun oleh Fakultas ilmu komunikasi

Universitas padjadjaran

KATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami bisa menyelesaikan tugas kelompok ini yang diberikan kepada mahasiswa sebagai penunjang dan penyelesaian tugas kelompok pada mata kuliah Agama Islam. Di dalam makalah ini berisi mengenai berbagai pembahasan mengenai memelihara aqidah islamiyah, Dalam makalah ini dibuat untuk memenuhi akan tuntutan tugas yang diberikan dari dosen kepada mahasiswa dalam mata kuliah Agama Islam, yang nantinya akan kami presentasikan di depan umum sebagai tanda penyelesaian tugas ini. Selain untuk memenuhi tugas yang diberikan, makalah ini juga digunakan sebagai penunjang dan mempermudah dalam pembelajaran dan penerapan dari bagian-bagian yang masih berhubungan erat dengan mata kuliah Agama islam, khususnya pada bab memngenai Aqidah islamiyah.

penulis

BAB I PENDAHULUANA.LATAR BELAKANG Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah akidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, karena akhlak tersarikan dari akidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu, jika seseorang berakidah dengan benar, niscaya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika akidah salah dan melenceng maka akhlaknya pun akan tidak benar. Akidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinannya terhadap Allah juga lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui Sang Penciptanya dengan benar, niscaya ia akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh atau bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkan-Nya. Adapun yang dapat menyempurnakan akidah yang benar terhadap Allah adalah berakidah dengan benar terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para Rasul dan percaya kepada Rasul-rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat jujur dan amanah dalam menyampaikan risalah Tuhan Mereka. Keyakinan terhadap Allah, Malaikat, Kitab, dan para Rasul-rasul-Nya berserta syariat yang mereka bawa tidak akan dapat mencapai kesempurnaan kecuali jika disertai dengan keyakinan akan adanya hari Ahkir dan kejadian-kejadian yang menggiringnya seperti hari kebangkitan, pengmpulan, perhitungan amal dan pembalasan bagi yang taat serta yang durhak dengan masuk surga atau masuk neraka. Di samping itu, akidah yang benar kepada Allah harus diikuti pula dengan akidah atau kepercayaan yang benar terhadap kekuatan jahat dan setan. Merekalah yang mendorong manusia untuk durhaka kepada Tuhannya. Mereka menghiasi manusia dengan kebatilan dan syahwat. Merekalah yang merusak hubungan baik yang telah terjalin di antara sesamanya. Demikianlah tugas tugas setan sesuai dengan yang telah digariskan Allah dalam penciptaannya, agar dia dapat memberikan pahala kepada orang-orang yang tidak mengikuti setan dan menyiksa orang yang menaatinya. Untuk menjaga kebenaran pendidikan akhlak dan agar seseorang selalu dijalan Allah yang lurus, yaitu jalan yang sesuai dengan apa yang telah digariskan-Nya, maka akidah harus dijadikan dasar pendidikan akhlak manusia. Disisi lain juga,pada zaman saat ini,Sekularisasi dan liberalisasi di Dunia Islam tidak hanya merusak kehidupan dan struktur sosial kaum Muslim, lebih jauh dari itu keduanya juga mengubah mainstream berpikir mayoritas umat Islam. Awalnya mereka memandang agama Islam sebagai sesuatu yang suci dan harus dilindungi. Namun kemudian, cara pandang mereka berubah, yakni justru ingin melepaskan diri dari kendali agama.

Pelan namun pasti, sebagian besar umat Islam mulai masuk ke dalam perangkap berpikir pragmatis-sekular-liberal dan mulai melupakan sudut pandang hakiki mereka, yakni akidah Islam. Akibatnya, umat mulai lengah dan teledor dalam menjaga akidahnya. Bahkan sebagian mereka tidak lagi memandang akidah Islam sebagai perkara penting yang harus dijaga dan dilindungi. Mereka ini telah hanyut diterjang derasnya arus sekularisasi dan liberalisasi. Sekularisasi dan liberalisasi tidak hanya melenyapkan hampir 2/3 syariah Islam yang mengatur urusan negara dan publik. Keduanya juga merobohkan sendi-sendi dasar agama Islam (akidah Islam). Sebab, di balik sekularisasi-liberalisasi ada proses pemurtadan besar-besaran dari agama Islam. Sayang, hal ini belum disadari oleh mayoritas umat Islam. Pasalnya, pemahaman mereka terhadap konsepsi kemurtadan itu sendiri sempit. Murtad dari Islam hanya dipahami sebatas jika seorang Muslim masuk ke dalam agama Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau aliran-aliran sesat yang saat ini tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Mereka lupa, menyakini dan mengamalkan sekularisme-liberalisme termasuk murtad dari Islam, seperti halnya menyakini kebenaran konsep trinitas, panteisme, sosialisme dan ateisme. Jika seorang Muslim telah murtad dari Islam sesungguhnya ia telah menjadi bagian orang-orang kafir yang seluruh amal perbuatannya di dunia sia-sia belaka. Mereka kelak akan kekal hidup di dalam neraka.untuk itu betapa pentingnya kita sebagai manusia untuk memelihara aqidah agar tetap berada pada jalan allah swt,dan dapat kelak sebagai bagian dari penghuni surga.

B.RUMUSAN MASALAH a.apa pengertian dari aqidah ? b.apa makna dari aqidah islamiyah? c.bagaimana cara memelihara aqidah? d.apa yang dimaksud dengan dalil aqidah?

C.TUJUAN Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan bagi para pembaca khususnya seluruh mahasiwa fakultas ilmu komunikasi universitas padjadjaran dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.

BAB II PEMBAHASAN1.PENGERTIAN Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan agama yang berintikan iman dan amal. Akidah adalah pokok yang diatasnya berdiri syariat. Sedangkan amal atau perbuatan adalah syariat dan cabang-cabangnya sebagai buah dari keimanan. Akidah dan syariat keduanya saling sambung menyambung tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam AlQuran amal perbuatan selalu disertakan penyebutannya dengan keimanan. " Berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan bahwa mereka itu akan memperoleh surga yang dibawahnya mengalirlah beberapa sungai. (Q.S AlBaqarah [2]: 25) " ..Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, maka Tuhan Yang Maha Pengasih akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang". (Q.S Maryam: 96). Pengertian Akidah Akidah berasal dari kata -- yang berarti mengikat. Akidah secara istilah yaitu apa-apa yang diikat atau dipercayai oleh hati dan pikiran. Sedangkan yang dimaksud dengan akidah islam adalah segala perkara yang dipercayai oleh umat islam dengan mantap menurut akal sehatnya. Usul akidah Islam Masalah-masalah dan perkara-perkara yang wajib bagi seorang muslim untuk mengimaninya (mempercayainya) di dalam kaitannya dengan akidah Islam dimungkinkan untuk dibagi ke dalam4 macam yaitu : 1. Ketuhanan, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah SWt, baik itu nama-namaNya dan juga Sifat-sifatNya. 2. Kenabian dan Risalah, Yaitu yang berkaitan dengan seputar para Rasul, nabi-nabi, Keunggulannya, sifat-sifatnya, mukjizat-mukjizatnya dan juga kemaksumannya. 3. Ruhaniyah, Yaitu yang berkaitan dengan alam yang tidak nampak secara kasat mata, seperti adanya Maaikat, Jin, syetan dan ruh. 4. Sam'iyat, Yaitu berita-berita dari alam gaib yang tidak ada yang mengetahuinya (kecuali Allah) yang disebut dalam Al Quran dan Sunnah Nabi.

Kajian Akidah Islam meliputi 6 perkara berikut ini: MA'RIFAT KEPADA ALLAH MA'RIFAT DENGAN ALAM GHAIB MA'RIFAT DENGAN KITAB-KITAB ALLAH MA'RIFAT DENGAN PARA NABI DAN RASUL MA'RIFAT DENGAN HARI AKHIR MA'RIFAT KEPADA TAKDIR (QADA' DAN QADAR) Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) : Kata "aqidah" diambil dari kata dasar "al-aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan). "Al-Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: " Aqadahu" "Ya'qiduhu" (mengikatnya), " Aqdan" (ikatan sumpah), dan " Uqdatun Nikah" (ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89). Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan alMu'jamul Wasiith: (bab: Aqada). -Nabhaniy (Al Syakhshiyyah, juz I:166) menyatakan bahwa aqidah atau iman merupakanpembenaran yang bersifat pasti (Tashdiqul Al Jaaziim) yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. .-Hasybiy Ash Shidiqiy (Sejarah dan Pengantar Tauhid: 52) menyatakan: Iman adalah kepercayaan yang kuat, tidak dipengaruhi oleh syak (keragu-raguan) atau wahm (persangkaan yang tidak beralasan) ataupun dzan (persangkaan yang memiliki alasan kuat) - Mahmud Syaltouth (Islam, Aqidah wa Syariah: 11) menyatakan bahwa aqidah merupakan cara pandang keyakinan yang harus diyakini terlebih dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan suatu keyakinan yang tidak diliputi keraguan dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran yang menyerupainya. Dengan demikian, maka segala bentuk keyakinan yang tidak berasal dari jalan yang menghasilkan kepastian atau datang melalui jalan yang pasti tetapi mengandung dzan (persangkaan) di dalam keterangannya sehingga menimbulkan perselisihan para ulama maka tidak wajib oleh agama untuk menyakininya. Hal ini merupakan garis pemisah atau pembatas yang tegas antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman.

Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi) Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.

2.MAKNA AQIDAH ISLAMIYAH Aqidah Islamiyyah: Maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta'ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta'ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW. Jika disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena itulah pemahaman Islam yang telah diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-Nya. Aqidah Islamiyyh adalah aqidah tiga generasi pertama yang dimuliakan yaitu generasi sahabat, Tabi'in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Nama lain Aqidah Islamiyyah: Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sinonimnya aqidah Islamiyyah mempunyai nama lain, di antaranya, at-Tauhid, as-Sunnah, Ushuluddiin, al-Fiqbul Akbar, Asy-Syari'iah dan al-Iman. Nama-nama itulah yang terkenal menurut Ahli Sunnah dalam ilmu aqidah.

3.CARA MEMELIHARA AQIDAH Menyadari Urgensitas Akidah Islam Akidah Islam merupakan harta yang tak ternilai harganya bagi seorang Muslim. Sebab, ia adalah pangkal dari seluruh keluhuran dan kebajikan. Tanpa iman, manusia laksana bangkai hidup yang tak memiliki nilai dan harga sedikitpun. Atas dasar itu, Allah dan Rasul-Nya telah mewajibkan seorang Muslim untuk menjaga akidahnya dengan sungguh-sungguh dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun. Urgensitas akidah bagi seorang Muslim dapat dilihat dalam hal-hal berikut ini: Pertama: Akidah Islam adalah prasyarat amal perbuatan manusia diterima Allah SWT. Tanpa iman, perbuatan sebanyak dan sebaik apapun tidak akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas: Orang-orang kafir itu, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi jika ia mendatanginya, ia tidak mendapati apapun (QS an-Nur [24]: 39). Ayat di atas menjelaskan bahwa perbuatan orang-orang kafir tidak akan mendapatkan balasan dari Allah SWT kelak di akhirat karena perbuatan mereka tidak didasarkan pada keimanan. Kedua: Ada perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya agar kaum Muslim senantiasa menjaga keimanan dan keislamannya hingga akhir hayat. Al-Quran telah menyatakan ketentuan ini di banyak ayat, salah satunya adalah firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim (QS Ali Imran [3]:102). Ketiga: Rasulullah telah saw. melarang kaum Muslim untuk menaati para penguasa yang memerintahkan kemaksiatan dan para penguasa yang telah keluar dari agama Islam. Nabi saw. juga telah memerintahkan kepada kaum Muslim untuk memerangi para penguasa tersebut. Padahal pada ayat lain, Allah SWT dan Rasul-Nya telah mewajibkan kaum Muslim menaati penguasa. Ini menunjukkan bahwa menjaga keimanan harus mendapatkan prioritas utama. Nabi saw. bersabda:

Nabi saw. pernah mengundang kami. Lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala perkara yang diwajibkan atas kami, bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat (kepada Allah dan Rasul-Nya), baik dalam rela atau benci, dalam keadaan susah ataupun mudah. Beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan (kekuasaan) dari ahlinya, kecuali jika melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah (HR al-Bukhari). Allah SWT juga telah memerintahkan kaum Muslim untuk tidak mengikuti dan menaati orangorang kafir dan munafik agar akidah mereka senantiasa terjaga dan terpelihara. Allah SWT berfirman: Janganlah kamu menuruti orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu. Janganlah kamu menghiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung (QS al-Ahzab [33]: 48). Peran Keluarga Walaupun keluarga dianggap entitas terkecil dari masyarakat, peran dan andilnya dalam menjaga akidah tidak bisa dianggap remeh. Bahkan saat ini, pada saat umat Islam tidak bisa berharap banyak kepada masyarakat dan negaranya, keluarga adalah benteng pertahanan yang bisa dihandalkan untuk melindungi akidah generasi Muslim. Pasalnya, keluarga adalah tempat seorang anak pertama kali bersinggungan dengan pengetahuan, kebiasaan dan perilaku tertentu yang kelak sangat menentukan cara pandang, kebiasaan dan perilakunya di tengah-tengah masyarakat. Peran orangtua Muslim dalam menjaga akidah generasi adalah: Pertama, menjadikan rumah sebagai tempat dan sarana untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian islami pada diri anak (takwin wa tanmiyah asy-syakhshiyyah al-islmiyyah). Dengan itu anak mampu membentengi dirinya dari pengaruh-pengaruh buruk yang ada di sekitarnya. Kedua, membangun relasi islami di antara anggota keluarga dan lingkungan sekitar dengan cara menerapkan syariah Islam dalam lingkup individu dan keluarga; juga bersama keluarga-keluarga lain bahu-membahu menciptakan suasana islami serta menegakkan amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah keluarga dan lingkungan sekitar. Ketiga, melakukan edukasi dini yang ditujukan untuk: (1) menanamkan pokok-pokok akidah Islam pada diri anak hingga anak menjadikan akidah islamiyah sebagai tolok ukur tindakannya; (2) memahamkan hukum-hukum syariah pada diri anak agar ia memahami pentingnya terikat dengan syariah Islam dalam seluruh amal perbuatannya; (3) membangun militansi anak sehingga

anak berani melakukan amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakatnya serta mengubah semua hal yang bertentangan dengan ajidah dan syariah Islam.

Peran Negara Syariah Islam telah menetapkan negara sebagai institusi yang bertanggung jawab sepenuhnya dalam menjaga akidah umat, melaksanakan hukum-hukum syariah dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: Pemimpin itu adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari). Tugas pengurusan rakyat tidak akan sempurna jika pemimpin negara tidak ikut campur dalam mengelola dan mengatur urusan-urusan rakyat, termasuk di dalamnya urusan menjaga akidah umat. Campur tangan negara dalam melindungi akidah umat adalah mutlak demi menjaga individu dan masyarakat secara keseluruhan. Pandangan seperti ini tentu saja berbeda dengan pandangan kaum sekularis-liberalis terhadap kedudukan dan fungsi negara. Kelompok sekulerisliberalisdemi mewujud-kan hak-hak individu dan kebebasantelah menempatkan negara sebagai wasit (penengah) yang hanya dibutuhkan tatkala ada konflik di tengah-tengah masyarakat. Selebihnya negara tidak boleh ikut campur dalam urusan-urusan rakyat. Bagi kelompok sesat ini, kebebasan individu adalah perkara sakral yang harus dilindungi oleh negara dengan cara membebaskan individu dari kendali dan campur tangan negara. Sebab, kebebasan individu tidak akan bisa diwujudkan jika negara turut campur dalam mengendalikan urusanurusan individu. Pandangan semacam ini tentu bertentangan secara diametrikal dengan Islam. Islam memandang bahwa akidah dan syariah Islam adalah perkara penting yang harus ada dan tetap eksis di tengahtengah masyarakat. Negara adalah institusi yang bertugas mewujudkan pandangan ini. Atas dasar itu, negara tidak akan mentoleransi paham, aliran atau sistem hukum yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam semacam Bahaisme, Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat lainnya. Negara juga tidak akan mentoleransi perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah dan syariah Islam, semacam free sex, pelacuran, privatisasi harta milik umum, kebebasan berpendapat dan lain sebagainya. Imam Muslim menuturkan sebuah hadis dari Numan bin Basyir ra., bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

Perumpamaan masyarakat yang menjaga ketentuan-ketentuan Allah dan pelanggarnya adalah seperti suatu kaum yang diundi di atas sebuah kapal. Sebagian ada yang berada di atas kapal, sebagian lainnya berada di bawah kapal. Jika orang-orang yang ada di bawah kapal hendak mengambil air minum, ia harus melalui orang-orang yang berada di atas kapal. Bisa saja orang yang ada di bawah kapal berpendapat, Seandainya kami melubangi bawah kapal, tentu kami tidak akan mengganggu orang yang ada di atas kapal. Jika orang-orang yang berada di kapal tersebut tidak mencegah perbuatan orang yang ada di bawah kapal, niscaya binasalah seluruh orang yang berada di kapal tersebut. Namun, jika mereka mencegahnya, selamatlah seluruh orang yang ada di kapal tersebut (HR Muslim). Hadis ini menjelaskan bahwa keselamatan sebuah masyarakat hanya bisa diwujudkan jika setiap individu masyarakat berjalan di atas hukum-hukum Allah dan ada aktivitas amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat. Agar setiap individu masyarakat berjalan di atas hukumhukum Allah dan pencegahan terhadap setiap bentuk kemaksiatan bisa berjalan secara maksimal, negara mutlak harus turut campur. Pasalnya, kemampuan individu atau sekelompok individu dalam menegakkan yang makruf dan mencegah kemungkaran amatlah terbatas. Bahkan dalam batas-batas tertentu, individu dan masyarakat tidak mampu melenyapkan semua kemaksiatan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, negara harus melibatkan diri dan turut campur agar dua tujuan tersebut bisa diwujudkan di tengah-tengah masyarakat. Dari sini dapat dipahami, bahwa memberikan kebebasan kepada setiap individu masyarakat untuk bertindak dan berbuat apapun adalah pandangan yang jelas-jelas sesat dan membahayakan. Selain akan merusak nilai-nilai luhur (Islam) yang ada di tengah masyarakat, kebebasan individu juga akan menjurumuskan masyarakat ke dalam kehancuran dan kebinasaan. Untuk itu, pandangan kaum sekular-liberalis yang ingin membebaskan kendali negara dari urusan-urusan rakyat harus ditolak. Dalam menjaga akidah umat, peran negara adalah sebagai berikut: Menanamkan akidah Islam yang sahih melalui pendidikan yang diselenggarakan di seluruh wilayah kekuasaan negara mulai dari pendidikan tingkat dasar, menengah hingga tingkat tinggi. Negara wajib menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai acuan untuk menyusun kurikulum pendidikan formal dan informal. Membangun kesadaran politik masyarakat hingga mereka tanggap terhadap setiap upaya yang ditujukan untuk menghancurkan akidah Islam, semacam munculnya gerakan atau partai politik yang menyebarkan sekularisme, liberalisme, sosialisme, marxisme, demokrasi dan paham-paham kufur lainnya. Menjatuhkan sanksi yang sangat berat terhadap individu atau kelompok yang berusaha menyebarkan paham-paham sesat. Negara bisa saja menjatuhkan sanksi hingga taraf hukuman mati bagi siapa saja yang berusaha mempropagandakan paham-paham sesat semacam Kelompok Liberal, Ahmadiyah, Bahaiyah, Ingkarus Sunnah dan kelompok sesat lainnya.

4.DALIL AQIDAH Dalam membuktikan kebenaran keimanan, dibutuhkan bukti (dalil). Dalil ini adakalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung perkara yang diimaninya. Jika masalah itu masih dalam jangkauan panca indera/aqal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika tidak (diluar jangkauan panca indra), maka ia didasarkan pada dalil naqli. Dengan demikian dalil aqidah ada dua: 1. Dalil aqli: dalil yang digunakan untuk membuktikan perkara-perkara yang bisa diindra sebagai jalan (perantara) untuk mencapai kebenaran yang pasti dari keimanan. Yang meliputi didalamnya adalah beriman kepada keberadaan Allah, pembuktian kebenaran Al Quran dan pembuktian Nabi Muhammad saw itu utusan Allah SWT. 2. Dalil naqli: berita (khabar) yang pasti (qathi) yang diberitakan kepada manusia berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat secara langsung dijangkau oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada Malaikat, Hari akhir, Nabi-nabi dan Rasul-rasul, Kitab-kitab terdahulu, sifat-sifat Allah, dan tentang taqdir. Khabar yang qathi ini harus bersumber kepada sesuatu yang pasti yaitu Al Quran dan hadits Muttawatir (hadits qathi). Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sumber sebagai dalil naqli. Dalil-dalil naqli yang dapat memberikan keyakinan dan keimanan hanyalah dalil-dalil naqli yang bersifat pasti (qothi), baik qothi tsubut (pasti sumbernya) maupun qothi dilalah (pasti penunjukannya). Sumber yang tergolong pasti adalah Al Quran dan hadits muttawatir saja. Menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Diraasat fi fikri Al Islam: 118 menyatakan bahwa hadits muttawatir adalah hadits yang didasarkan panca indra, diberitakan oleh sejumlah orang yang jumlahnya menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (terlebih dahulu) untuk berdusta (dalam pemberitaanya). Hadits Muttawatir seperti ini menunjukkan Al Ilmu (kepastian), yakin, wajib diamalkan, dan barang siapa mengingkarinya tergolong kategori kafir. Adapun yang dimaksud qothi dalalah karena kepastian penunjukan dalil akan memustahilkan munculnya ijtihad dalam perkara aqidah. Syariat Islam tidak menerima ijtihad seseorang dalam

perkara aqidah. Ijtihad hanya terbatas pada perkara tasyri (hukum) saja. Sebab jika aqidah dijadikan lahan untuk berijtihad maka bagaimana dengan orang-orang yang hasil ijtihadnya dalam perkara aqidah tersebut keliru atau salah. Sedangkan kekeliruan atau kesalah dalam perkara aqidah akan menjerumuskan kepada kekafiran. Hal ini karena aqidah Islam merupakan batas antara iman dan kafir. Adapun ayat-ayat al Quran yang mewajibkan hal ini adalah: Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan (dzan) belaka, sedangkan persangkaan itu tidak berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran. (QS. An Najm: 2728) Ayat-ayat lain yang masih bertalian adalah a.l. QS. Al Najm: 23; Yunus: 36, 66; An Nisaa: 157; Al Anam: 116; dan 148; Shad: 27; Al Jatsiyah: 32; Fushilat: 22-23, Jin: 7; Al Baqarah: 78; dll. Apabila suatu dalil naqli memenuhi kriteria tersebut maka ia wajib diimani dan ditetapkan sebagai salah satu aspek aqidah Islam, misalnya ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan keesaan Allah, adanya malaikat atau hari kiamat. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafii berkata: Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk marifat kepada Allah taala. Arti ber-fikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk marifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada marifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatan dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini seperti merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin. 4.1 Peranan Akal dalam Masalah Keimanan Akal manusia mampu membuktikan keberadaan sesuatu hal yang berada diluar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Badui (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya Dengan apa kamu mengenal Rabbmu? Jawabnya: Tahi onta itu menunjukan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukan pernah ada orang yang berjalan. Oleh karena itu, ayat-ayat Al Quran adalah bukti eksistensi Allah (tentang adanya Sang Pencipta) dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab, kalau akal diajak untuk mencari Dzat-Nya, maka tentu saja akal tidak mampu menjangkaunya, seperti firman-Nya:

Artinya: Sesungguhnya pada langit dam bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang menyakini. (QS. Al Jaatsiah 3-4) Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah sudah berada diluar kemampuan akal untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda; Artinya: Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak sanggup mengira-ngira tentang hakekatnya yang sebenarnya. (HR. Abu Nuaim dalam Al Hidayah; sifatnya marfu, sanadnya dhoif tetapi isinya shohih). Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya, dst. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa. Ia tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dsb. Kita hanya percaya kepada sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui Al Wahyu. Apabila kita menghadapi suatu ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan mentawilkannya sesuai dengan kemampuan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabiin, dan ulama salaf. Imam Ibnu Qoyim berkata: Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi Alhamdulillah mereka tidak pernah terlibat pertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al Quran dengan suara bulat. Mereka tidak mentawilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya. Ketika kepada Imam Malik ditanyakan tentang makna persemayaman-Nya (istiwaa), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata: Persemayamaan itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bidah/salah. Jalan ini pula yang ditempuh Asy Syafii, Muhammad Abdul Hasan Asy Syaibani, Ahmad bin

Hambal dan lain-lain. 4.2 RUKUN IMAN 1. Iman Terhadap Sifat-sifat Dan Nama-nama Allah Sesungguhnya aqidah Islam itu adalah kesaksian bahwa tidak ada Illah (Tuhan) selain Allah dan Muhammad itu utusan-Nya. Kesaksian semacam ini menuntut seorang muslim untuk tunduk dan patuh terhadap Allah SWT serta mengangkat-Nya sebagai satu-satunya sesembahan. Ia harus menolak beribadah terhadap sesembahan lain baik berupa berhala, toghut, hawa nafsu, syahwat, dan lain-lain. Allah-lah satu-satunya pencipta yang berhak menerima pengabdian. Dialah Sang Penguasa yang berhak bertindak (maalikul mulk), pembuat Undang-undang, pemberi Hidayah, pemberi Rezeki, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan, Yang Maha Menolong, Yang Memiliki Kerajaan, dan Yang Maha atas segala sesuatu. Tidak satupun dari makhluk-Nya dalam sifat-sifat tadi. Akan tetapi kenyataan dewasa ini iman terhadap Allah telah menjadi iman yang gersang dan hampa bagi kebanyakan kaum muslimin. Membeku dan tidak memiliki jiwa lagi. Bagi kebanyakan kaum muslimin iman terhadap Allah hanya terbatas pada iman akan adanya Allah. Mereka mewarisi iman semacam ini dari nenek moyang mereka yang diterima begitu saja. Padahal Islam menegaskan bahwa iman harus datang dengan jalan mengamati dan memikirkan. Islam pun mengharuskan manusia menggunakan akalnya pada saat beriman kepada Allah SWT. Artinya: Katakanlah: Amatilah apa yang ada di langit dan di bumi. Betapa banyak ayat-ayat (bukti-bukti) dan peringatan yang tidak berguna bagi kaum yang tidak beriman. (QS Yunus 101) Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk menjadikan imannya benar-benar muncul dari proses berpikir, meneliti dan mengamati, -betapa pun sederhananya proses tersebut. Ia harus menjadikan akalnya sebagai pemutus (hakim) yang mutlak dalam beriman kepada (keberadaan) Allah. Namun tidak cukup bagi seorang muslim hanya mengakui adanya Allah, melainkan harus disertai dengan iman terhadap sifat-sifat Allah. Sebagaimana Firman Allah SWT: Artinya: Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya berkata: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka' (QS Ali Imron 191) Artinya: Katakanlah: Serulah (memohonlah) kepada Allah atau kepada nama mana saja kamu seru. Dia memiliki nama-nama (sifat-sifat) yang terbaik (QS Al Isra 110) Artinya: (Hamba-hamba yang baik itu) adalah mereka yang tidak menyembah (tunduk/taat kepada) Tuhan lain selain dari Allah

(QS Al Furqon 68) Artinya: Hukum itu kepunyaan Allah. Dia telah memerintah agar kamu tidak menyembah (tunduk/taat) selain kepada-Nya (QS Yusuf 40) Artinya; Apabila engkau memohon (berdoa) memohonlah kepada Allah. Dan apabila engkau meminta pertolongan, maka mintalah kepada Allah (HR. ahmad, Tirmidzi, dan Hakim dari Ibnu Abbas; Lih. Fathul Kabir jilid III hlm. 400) Iman seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia beriman kepada Allah berikut dengan sifat-sifat-Nya. Iman semacam ini sudah cukup bagi seorang muslim untuk menuntunnya berjalan dalam kehidupan dengan jalan yang telah dipilih oleh Allah SWT, yaitu dienul Islam. Dalam hatinya ia senantiasa merasakan getaran keagungan Allah dan selalu merasa takut kepadaNya. Ia senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat Allah murka. Bahkan sebaliknya ia selalu melakukan amal perbuatan yang dapat mendekatkan dirinya dengan Allah melalui perkataan, perbuatan, ketaatan, maupun melalui ibadah-ibadah tertentu. Kita harus menerapkan iman semacam ini dalam kehidupan sehari-hari agar benar-benar menjelma dalam diri. Iman yang mampu memberi pengaruh kuat dalam perbuatan dan tingkah laku sehingga kesabaran kita meningkat dalam menghadapi segala hambatan dan penderitaan yang muncul menghalangi jalan hidup kita. 2. Iman Kepada Malaikat Iman kepada malaikat berdasarkan dalil naqli; sebab akal tidak pernah mampu menjangkau eksistensi/keberadaan malaikat. Dalil syara tentang adanya malaikat berasal dari ayat-ayat Al Quran dan sunnah Rasul, diantaranya adalah firman Allah SWT: Artinya: Allah telah terangkan bahwasannya tidak ada Illah selain Dia, yang menegakkan keadilan dan disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli ilmu. Tidak ada Illah selain Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Ali Imran 18) Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah (sungguh-sungguh) kepada Allah dan Rasul-Nya dan (kepada) kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (Ketahuilah bahwa) siapa saja kafir terhadap Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya (QS.An-Nisaa 136) Tugas-tugas Malaikat Malaikat adalah tentara Allah yang paling agung, yang sangat patuh dan tunduk kepada perintah

Allah SWT. Malaikat-malaikat Allah mempunyai tugas-tugas yang sangat banyak. Disebutkan dalam ayat-ayat Al Quran mengenai tugas-tugas malaikat, diantaranya adalah QS. Al-Mursalat 1-5; An-Naziat 1-5; Ash-Shaffat 1-3). Mengenai tingkatan, tugas dan wewenangnya, Al-Quran menyebutkannya sebagai berikut: 1. Malaikat Jibril Malaikat Jibril adalah pimpinan umum dan sangat terkemuka diantara mereka. Dia sebagai utusan Allah kepada seluruh Nabi dan Rasul untuk menyampaikan Al Wahyu dan petunjuk lainnya. Ia punya kedudukan yang kuat disisi Allah dan mendapat tempat mulia di sana. Malaikat ini dipatuhi oleh bawahannya, pemimpin yang bijaksana dan sangat dipercaya oleh Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT: Artinya: Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempuyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi disisi Allah, pemilik Arsy, yang ditaati di sana (alam malaikat) lagi dipercaya (QS. At Takwir 19-21) 2. Malaikat Mikail Malaikat yang diserahi tugas mengatur pembagian rezki semua makhluk di seluruh alam. Tugasnya diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thobrani dan Baihaqi dengan sanad yang hasan: Artinya: Ketika Rasulullah bertanya kepada Jibril, apa tugas Malaikat Mikail? Jibril menjawab: (Ia ditugaskan untuk mengatur) tumbuh-tumbuhan dan hujan 3. Malaikat Isrofil Malaikat Israfil ditugaskan meniup sangkakala (Ashshur). Ia senantiasa meletakan mulutnya pada tempat peniupan sangkakala, sebagai tindakan berjaga-jaga kalau-kalau mendadak ada perintah dari Allah. Peniupan sangkakala dilakukan dua kali, seperti yang diceritakan dalam ayat Al-Quran: Artinya: (Dan) ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa saja yang berada di langit dan bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing) (QS. Az Zumar 68) 4. Malaikat Izrail Malaikat yang bertugas mencabut nyawa (roh) makhluk hidup (bila telah tiba ajalnya). Tugas ini telah ditegaskan dalam Al-Quran: Artinya: Katakanlah: Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu. Kemudian hanya kepada Rabbmu kamu dikembalikan (QS. AsSajadah 11)

Dijelaskan pula bahwa malaikat ini mempunyai bawahan (pembantu) yang setia, taat dan patuh kepadanya, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Quran: Artinya: (Dan) Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya dan diutusnya kepadamu malaikat-malaikat penjaga sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang diantara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya (QS. Al Anaam 61) 5. Dua macam malaikat penunggu Manusia (Raqib dan Atid) Kedua malaikat ini bertugas menulis segala sesuatu yang dilakukan manusia. Malaikat ini senantiasa setia mendampingi manusia pada posisi kanan dan kiri. Malaikat yang sebelah kanan menulis segala perbuatan baik, sedangkan yang kiri menulis segala perbuatan buruk, yaitu melanggar batas-batas ketentuan agama (syara) Sebagaimana firman-Nya: Artinya: (Yaitu) Ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya (Raqib-Atid), seorang duduk dikanan dan yang lain dududk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (QS. Qaaf 17-18) 6. Malaikat-malaikat di Jannah Mereka mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan jannah. Seperti tercantum dalam Al Quran: Artinya: Sedang malaikat masuk ke tempat-tempat mereka (ahli jannah) dari semua pintu (untuk melayani mereka. (QS. Ar-Rad:23) 7. Malaikat-malaikat di Jahanam Mereka bertugas mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan dan untuk jahanam. Dalam firnan Allah SWT: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api jahanam yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (berhala); penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. AT Tahrim 6) Seluruh malaikat, mempunyai sifat dan sikap mulia. Diantara sifat-sifat itu adalah mereka senantiasa patuh, takut dan taat pada Allah, menghindarkan diri dari tergelincir ke jurang kemaksiatan serta selalu bertasbih siang malam terus menerus. Iman kepada malaikat, meskipun berdasarkan kepada dalil naqli, namun pada hakekatnya, keberadaanya wajib diyakini karena penukilannya bersumber dari sesuatu yang secara akal sudah dipastikan kebenarannya, yakni Al-Quran.

Iman kepada malaikat sangat besar dan dahsyat pengaruhnya pada manusia. Misalnya dari segi hubungan mereka dengan manusia. Sejak manusia lahir sampai mati; merekalah yang menolong dan melindunginya, menyelamatkan dari godaan syaitan, mencatat amal perbuatannya, memintakan ampunan pada Allah atas dosa-dosa manusia yang beriman. Juga dari segi lain, sifat-sifat malaikat yang dicontohkan manusia sebagai makhluk lemah, tetapi para malaikat itu selalu patuh dan taat kepada Allah, takut kepada-nya dan beribadah dan bertasbih serta senantiasa berdzikir kepada Allah SWT. 3. Iman Kepada Kitabullah Kitab-kitab yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam, yaitu Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as, Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as, dan Injil yang diturunkan kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Isa as. Sementara itu, firman Allah SWT dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as. Di antara kitab tersebut hanya Al Quranlah yang dipelihara/dijaga keasliannya oleh Allah SWT dan sekaligus berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus syariat-syariat Nabi dan Rasul sebelumnya. Allah SWT berfirman: Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran. Dan sesungguhnya Kami benarbenar memeliharanya. (QS Al Hijr 9) Artinya: (Dan) kami telah menurunkan Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang turun sebelumnya) dan sebagai standar terhadap kitab-kitab tersebut. Maka, putuskanlah perkara mereka menurut (Al Quran) yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (Al Quran) yang telah datang kepadamu (QS Al Maidah 48) Beriman kepada kitab-kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari pemahaman dalil aqli dan naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil tersebut, maka Al Quran adalah kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Secara faktual/nyata, Al Quran merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau panca indera dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan (kebenarannya). Tidak demikian halnya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Kitab-kitab tersebut faktanya sudah tidak ada, sehingga akal tidak mampu membahas dan membuktikan kebenarnnya (bahwa kitab itu berasal dari Allah-red). Sebab, kitab-kitab tersebut tidak mengandung mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia pada setiap manusia (terutama manusia pada zaman kini). Juga, Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur, atau Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib meyakini bahwa kitab-kitab tersebut pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu, baik yang diberitakan dalam Al Quran

maupun yang tidak diberitakan. Karena itu, dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al Quran adalah dalil naqli, yakni berdasarkan (ditunjukkan) oleh Al Quran dan hadits Rasul yang pasti, seperti firman Allah SWT: Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah telah turunkan sebelumnya. Siapa saja yang kafir kepada Allah, malikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kiamat, maka sesungguhnya orang-orang tersebut telah sesat sejauh-jauhnya. (QS An Nisa 136) Adapun dalil yang menunjukan bahwa Al Quran telah diwahyukan Allah SWT kepada nabi dan rasul-Nya, Muhammad saw, melalui malaikat Jibril as adalah berdasarkan dalil aqli, yaitu dengan pembuktian dari segi ketinggian bahasa (Al Quran) dan isi yang dikandungnya. Kedua hal ini telah menunjukkan suatu mukjizat yang amat menakjubkan dan besar; sekaligus membuktikan bahwa Al Quran bukan hasil karya seorang manusia. 4. Iman Kepada Nabi Dan Rasul Allah Seorang muslim beriman dan percaya bahwa Allah SWT telah memilih di antara ummat manusia sejumlah nabi dan rasul sebagai utusan-Nya kepada umat manusia untuk menyampaikan syariat agama Allah, untuk menyelamatkan manusia dari perselisihan dan untuk mengajak manusia kepada kebenaran. Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk membawa kabar gembira kepada umat manusia tentang kenikmatan abadi yang disediakan bagi mereka yang beriman, dan memperingatkan mereka tentang akibat kekufuran (syirik). Merekapun memberi teladan untuk bertingkah laku yang baik dan mulia bagi manusia, antara lain dalam bentuk ibadah yang benar, akhlak yang terpuji dan istiqomah (berpegang teguh) terhadap ajaran Allah SWT. Seorang muslim wajib meyakini semua nabi dan rasul sebagaimana firman Allah SWT: Artinya: Katakanlah (kepada orang-orang mukmin): Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, dan apa yang diturunkan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya. Kami tidak membedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. (QS. Al Baqarah 136) Adapun kenabian Muhammad saw dapat dibuktikan secara aqli dengan mukjizatnya yang abadi, yaitu Al Quran. Ia adalah kalamullah yang telah membungkam orang-orang kafir, terdiam tidak mampu menandingi atau mendatangkan satu surat saja semisal Al Quran. Hal itu menjadi dalil yang meyakinkan bahwa Muhammmad saw adalah seorang nabi dan rasul. Sebab, suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Allah SWT berfirman:

Artinya: (Dan) jika kalian (tetap) meragukan Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad saw), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran dan ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar. (QS. Al Baqarah 23) Di samping kita percaya kepada kenabian dan kerasulan Muhammad saw, kita wajib percaya pula bahwa Nabi Muhammad saw adalah khatamun-nabiyyin (penutup para nabi). Di kalangan umat Islam sejak sahabat hingga ini, bahkan sampai akhir zaman nanti wajib menaati konsensus bahwa nabi dan rasul penutup (akhir) adalah Muhammmad saw, sehingga tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya, sampai hari kiamat. Konsensus umat Islam mengenai hal ini adalah berdasarkan: (1) Firman Allah SWT: Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Mahatahu atas segala sesuatu. (QS. Al Ahzab 40) Dalam ayat ini jelas bahwa Muhammad saw adalah penutup para nabi dan rasul. Karena itu tidak akan ada nabi sesudahnya apalagi rasul. Sebab tingkatan rasul lebih tinggi dari tingkatan nabi. (2) Hadits Muttawatir: (3) (a) Hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dari Anas bin Malik, ia berkata: Artinya: Sesungguhnya risalah kenabian itu telah habis. Maka tidak ada nabi dan rasul sesudahnya. (b) hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad Ibnu Hibban dari Abu Hurairah: Artinya: Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan nabi-nabi sebelumku adalah sama dengan seseorang yang membuat sebuah rumah; diperindah dan deperbagusnya (serta diselesaikan segala sesuatunya) kecuali tempat (yang disiapkan) untuk sebuah batu bata di sudut rumah itu. Orang-orang yang mengelilingi rumah itu mengaguminya, tetapi bertanya: Mengapa engkau belum memasang batu bata itu? Nabipun berkata: Sayalah batu bata (terakhir) sebagai penyempurna- itu dan sayalah penutup para nabi. Adapun beriman kepada nabi dan rasul sebelum Muhammad saw dengan dalil naqli. Al Quran menjelaskan bahwa mereka diutus oleh Allah dengan syariat masing-masing. Namun diantaranya mereka tidak ada perbedaan dalam hal menyeru kepada tauhid. beriman kepada Allah, malaikat,kitab, dan rasul yang tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya diantara mereka. (QS Al Baqarah:285). Makna iman kepada Rasulullah saw bahwa semua hukum yang berlaku bagi kita hanya bertumpu pada syariat Islam yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Selain dari hal itu tidak diperkenankan untuk kita gunakan sebagai rujukan. Kita dituntut untuk hanya

merujuk kepada Islam semata, dan hanya mengikuti Rasulullah saw. Allah SWT berfirman: Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr 7) Artinya: (Dan) orang-orang mukmin serta mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan tidaklah patut bagi mereka untuk memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (QS. Al Ahzab 36) Dan ayat-ayat lain seperti: QS. An Nisaa 65, QS. An Nuur 63; QS. An Nisaa 80; QS. Ali Imran 31 Ayat-ayat ini jelas memerintahkan kepada kaum musllimin agar mengambil aturan yang datang dari Rasulullah saw, meneladaninya, mematuhinya, serta mengembalikan semua aturan kepadanya. Mengikuti apa yang ia sampaikan baik perkataan maupun perbuatan dan memberi peringatan kepada orang-orang yang menyalahi perintah-Nya. Semuanya ini merupakan aqidah. 5. Iman Kepada Hari Kiamat Seorang muslim beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir, kemudian berganti dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan terhadap alam akhirat/hari kiamat ini merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar keimanan). Adapun bukti-bukti adanya hari kiamat, sekaligus dalil keimanannya, berasal dari wahyu (ayat-ayat) Allah dan hadits rasul. Dasar pemahamannya berdasarkan dalil naqli, bukan dalil aqli. Sebab, hari kiamat adalah sesuatu yang tidak terjangkau panca indra manusia, sehingga akal tidak mampu menemukannya dengan pasti berdasarkan usaha pengindraan terhadap sesuatu. Tanpa adanya berita tentang hari kiamat dari wahyu Allah, maka manusia tidak mengetahui apakah ada atau tidak hari kebangkitan sesudah mati, untuk apa ada hari kebangkitan itu, juga apakah masih ada atau tidak kehidupan sesudah mati itu? Dalil-dalil naqli yang menjelaskan tentang hari kiamat tersebut diantaranya adalah: Artinya: Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, Tidak demikian. Demi Tuhanku, kalian benar-benar dibangkitkan, kemudian diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hal demikian adalah mudah bagi Allah (QS. At Taghaabun 7) Hadits shohih ketika Jibril mengajarkan kepada Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Umar bin Khathab: Artinya: Ketika Jibril menanyakan kepada Rasulullah tentang iman, maka Rasulullah menjawab: Hendaklah engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya juga kepada hari kiamat. Dan hendaklah engkau percaya kepada Qodar yang baik dan yang buruk (dari Allah).

Iman kepada hari kiamat adalah iman kepada hari berbangkit yaitu waktu berakhirnya seluruh kehidupan makhluk di alam semesta yang fana ini, kemudian Allah pasti menghidupkan kembali semua makhluk yang telah mati, membangkit-hidupkan tulang belulang yang telah hancur, mengembalikan jasad yang telah menjadi tanah sebagaimana asalnya dan mengembalikan ruh kepada jasad seperti sedia kala. Keterangan ini berdasarkan firman Allah: Artinya: (Dan) Dia membuat perumpamaan bagi kami, dan dia lupa akan kejadiannya. Ia Katakan: Siapa pula yang menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh itu? Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Allah yang menciptakanya pertama kali. Dan Dia Mahatahu tentang segala makhluk (QS. Yasin 78-79) Juga berdasarkan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah dari Jabir ra: Artinya: Setiap hamba akan dibangkitkan menurut keadaan ketika ia mati (di dunia). Iman kepada Hari Kiamat akan mendorong setiap mukmin untuk berfikir sebelum melakukan tindakan. Sebab ia yakin bahwa semua amal perbuatannya akan dimintai pertanggungjawabannya dan ia menerima balasannya, baik atau buruk sesuai dengan perbuatannya itu. Allah SWT berfirman: Artinya: Siapa saja yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah pun, maka pasti ia melihat (balasan)nya, dan siapapun yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, juga pasti melihat (balasan)nya (QS Al-Zalzalah 7-8) Karena itu iman kepada hari akhir mempunyai dampak positif bagi kehidupan seseorang, yakni: 1. Senantiasa menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah SWT dan senantiasa mengharapkan pahala pada hari kiamat. Ia akan berusaha menjauhi segala larangan-Nya karena takut siksaan kelak dikemudian hari. 2. Menghibur dan mendorong agar bersabar bagi mukmin bahwa kebahagian (kesenangan, kesejahteraan) yang belum diperolehnya di dunia akan diterimanya di kemudian hari (lihat Aqidah Ahlus Sunnah, Muhammad Shalih Al Uthamin, (terj. Hal.89)) 6. Iman Kepada Taqdir Iman kepada takdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap Muslim, sebab hal ini memiliki sandaran nash-nash Al-Quran yang pasti (qathi) serta dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sunnahnya. (QS. An-Naml: 57; At Taubah: 51; Al Hadid: 22, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab; ketika itu malaikat jibril datang kepada Rasulullah saw dan bertanya yang artinya: Coba ceritakan apa itu Iman? Lalu Rasullah saw menjawab: Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat dan percaya kepada takdir

baik dan buruknya dari Allah SWT. Berbeda dengan iman kepada Qadha dan Qadar, ia bukan lahir dari nash-nash syara secara langsung. Istilah Qadha dan Qadar, sebagai istilah tertentu yang bermakna tertentu pula, tidak didapatkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Kalau kita kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini (qadha dan qadar). Kita hanya akan menemukan pembahasan taqdir (atau al-qadar yang bermakna takdir). Misalnya dalam shahih Bukhari hadits no. 65946620 dan shahih Muslim no. 2634-2664; yang merupakan bab khusus tentang masalah takdir. Di dalam Al-Quran sendiri tidak ada istilah qadha dan qadar yang digabungkan itu dan keduanya hanya ditemukan terpisah (lihat indeks Al-Quran, Muh. Fuad Abdul Baqi, hal 536-537 tentang al-qadar, dan hal. 546-547 tentang qadha). Tiadanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan, dan memiliki makna tertentu pula) tersebut, karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabiin (setelah masa sahabat), pada akhir abad pertama hijriyah (awal abad kedua Hijriyah). Seorang muslim beriman dan yakin bahwa semua keadaan di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu/bersifat Al Alim), baik kejadian yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah). Inilah pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Al Quran dan hadits Rasulullah saw. Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu, semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh. Adapun masalah Qadha dan Qadar memerlukan penjelasan yang lain yang lebih terperinci. 7. Iman Kepada Selain Arkanul Iman Sebutan aqidah Islam ditunjukan kepada iman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan kepada qadla dan qadar baik buruknya berasal dari Allah SWT. Namun demikian bukan berarti selain hal ini tidak ada lagi perkara yang wajib diimani, tetapi enam perkara tersebut merupakan kerangka aqidah IIslam Masih banyak terdapat perkara yang lain yang termasuk pada bagian aqidah, yaitu iman kepada Al Maut (ajal), rezeki, tawakkal kepada Allah SWT, iman dengan pertolongan Allah SWT, iman kepada sifat-sifat Allah SWT, iman kepada kemaksuman para nabi dan rasul, mukjizat al Quran dan lain-lain. Begitu pula keimanan terhadap adanya surga dan neraka, yaumul hisab (hari perhitungan), iman terhadap keberadaan jin, setan dan berbagai perkara ghaib lainnya berbentuk kisah-kisah yang tercantum dalam Al Quraan dan hadits Rasulullah saw yang Muttawatir.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

SARAN

DAFTRA PUSTAKA