membangun kepercayaan publik melalui reformasi · pdf fileyang ada atau melalui pejabat...
TRANSCRIPT
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
59
MEMBANGUN KEPERCAYAAN PUBLIK
MELALUI REFORMASI KEBIJAKAN DI SEKTOR PUBLIK
Oleh Gede Sandiasa1
Abstract: Issue related to the improvement of capacity of public
institutions in carrying out services to the public interest as a citizen
is determined by the quality of human resources in formulating and
implementing public policies, which reflect the establishment of
service system that is able to increase public trust in various services
provided by public institutions. Reliability and capacity of public
institutions can be built through a variety of approaches that are
advocated in public administration, from the old model of
administration, New Public Management (NPM), Governance and
up to New Public Service. In the application of the paradigms in
question in the discussion and formulation of public policy, none of
them can be said to be better than the other paradigms as being better
or not much depends on the place and focus of policies to be done, as
well as objectives and targets to be achieved. Classical public
administration is still needed when facing a situation where
condition in the society is still weak in the areas of human resources,
while the NPM and Governance are conducted to encourage a faster,
more efficient and more responsible implementation of government
tasks through public policies. Finally, New Public Service approach
can be implemented optimally if the number of human resources in
the community is adequate and if political will of public officials is
more oriented toward interests of the larger community; If not so,
then, the paradigms in question will not be able to meet goals of the
public policies that have been determined.
Kata kunci: Public policy, public trust, old public administration,
new public management, governance, and new public service.
I. Pendahuluan
Pergeseran pelaksanaan kebijakan publik di Indonesia telah mengalami kemajuan
yang signifikan sejak dilaksanakannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi
daerah. UU ini adalah untuk menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, meningkatkan peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekara-
1 Gede Sandiasa adalah staf edukatif pada FISIP Universitas Panji Sakti Singaraja.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
60
gaman daerah melalui kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah
secara proporsional (Muhamad, 2008: 8). Selanjutnya dipertegas lagi dengan UU No. 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Melalui kedua Undang-undang ini gaung doktrin
new public management tanpaknya meluas, sampai ke daerah-daerah yang secara signifikan
melakukan terobosan untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas. Perge-
seran kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, di mana nuansa pelayanan
publik dan pelaksanaan pembangunan sudah diupayakan lebih dekat pada subjek maupun
objek, yakni masyarakat yang dilayani, dengan pendekatan bottom up, diharapkan masya-
rakat mengalami peningkatan partisipasi yang lebih tinggi, baik di bidang perencanaan
pembangunan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh sistem pelayanan pemerintah. Keter-
libatan masyarakat dalam proses pelayanan publik maupun dalam pembangunan menjadi
penting dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas hasil pembangunan, dapat
mencapai sasaran, dan mengacu pada kepentingan publik yang sebenarnya. Dengan demi-
kian tugas pemerintah menjadi lebih ringan, dan kepercayaan publik pada pemerintah dapat
selalu ditingkatkan. Negara harus mempertahankan beberapa tingkat keterlibatan dalam be-
kerja dengan orang-orang untuk mengatasi masalah secara kolektif bersama mereka, jika
tidak, pemerintah tak lebih dari tanggung jawab sebagai lembaga transfer ke masyarakat,
tanpa memastikan masyarakat yang memiliki sumber daya dan peralatan yang diperlukan
untuk melaksanakan tindakan yang efektif (Smith, 2010: 252).
Di samping desentralisasi urusan pemerintahan pusat kepada daerah, juga para-
digma pendekatan pembangunan mengalami perubahan, yang berawal dari sistem adminis-
trasi tradisional (old public administration), New Public Management (NPM) dengan pen-
dekatan rasionalitas yang menekankan pada efisiensi dan efektivitas maupun ekonomis dan
pergeseran paradigma terakhir adalah New Public Service (NPS), dan bahkan sudah kepada
pilihan-pilihan paradigma yang lebih mungkin, mampu meningkatkan pencapaian kesejah-
teraan dan kepuasan publik lebih cepat serta dapat memenuhi kebutuhan publik lebih
banyak. Persoalan upaya pencapaian public interest, telah diletakkan lebih tinggi setelah
reformasi tahun 1988, akan tetapi ketimpangan dan penyimpanan masih banyak terjadi di
Indonesia, bahkan Negara Sejahtera masih jauh dari harapan. Kesungguhan hati dari para
penyelenggara negara sangat diperlukan guna terwujud penigkatan kepercayaan masyarakat
sebagai citizen, menjadi lebih mengemuka. Berbagai persoalan muncul antara lain korupsi
dari pemerintah pusat sampai ke tingkat daerah, konflik-konflik sosial berlatar belakang ke-
percayaan dan agama, perebutan hak tanah, konflik ke tenagakerjaan, dan berbagai per-
soalan hukum lainnya yang menambah sederetan persoalan yang muncul diakibatkan
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
61
kurangnya kemampuan para penyelenggara negara dalam melakukan langkah antisipasi, di-
tambah lagi persoalan layanan publik yang buruk, sarana-prasana dan insfrastruktur yang
rusak, menjadikan kredibilitas pemerintah di mata publik menjadi merosot. Dominasi peran
aktor pemerintah dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan “challenge governing elites’
monopoly over public resource allocation decisions” (Gibson & Woolcock, 2008: 151),
memberi dampak terhadap ketidakpekaan putusan-putusan publik terhadap berbagai per-
soalan di masyarakat.
Kebutuhan untuk mendorong keterlibatan masyarakat secara aktif “Aristotelian
idea of “active citizenship” (Smith, 2010: 238) dalam pengambilan kebijakan publik,
utamanya yang terkait dengan upaya pemenuhan kepentingan masyarakat melalui layanan
publik adalah menjadi pilihan tersendiri, guna mencapai rasionalitas yang tinggi dari hasil
sebuah kebijakan. Menyusun visi, misi dan faktor-faktor kunci keberhasilan tujuan, sasaran
dan strategi instansi pemerintah dan indikator kinerja kebijakan publik (Azizy, 2007: 119),
melalui pendekatan rational choice. Menurut Hodgkinson (1978: 49), “Rational, that is
logical decision making would follow a pattern which would include the step: (1) definition
of issue, (2) analysis of existing situation, (3) calculation and delineation of alternatives,
(4) deliberation, and (5) choice”. Dan di buku Frederickson dan Smith (2003: 165) menye-
butkan bahwa teori keputusan rasional berkaitan dengan persoalan: 1) mengklarifikasi dan
menempatkan prioritas nilai dan tujuan organisasi, 2) mempertimbangkan dan menyediakan
alternatif atau alternatif yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut, dan 3) meng-
analisis alternatif untuk menemukan alternatif atau kelompok alternatif yang lebih tampak
dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan partisipasi semua kalangan dalam proses
kebijakan akan memungkinkan mencapai keputusan secara rasional, di mana semua nilai
dipertimbangkan, semua pengetahuan dan kepentingan di diskursuskan untuk menjadikan-
nya sebuah keputusan bersama.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat memunculkan beberapa pokok perma-
salahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu:
1) Paradigma Administrasi lama (klasik) masih relevan dalam kebijakan publik.
2) Pendekatan NPM dalam mengukur kinerja kebijakan publik.
3) NPS mendorong partisipasi masyarakat dalam Kebijakan Publik.
II. Partisipasi Masyarakat Membangun Kepercayaan Publik
Minimnya partisipasi rakyat dalam proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi ke-
bijakan publik menyebabkan kegagalan membangun akuntabilitas pemerintah. Sistem, pro-
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
62
sedur dan aturan hukum pemerintah dibuat agar penguasa dapat menghasilkan kebijakan
yang dapat dikontrol dan dievaluasi oleh rakyat (Hidayat, 2007). Menurut Little partisipasi
rakyat dalam berbagai proses kebijakan antara lain, “the analysis of the existing situation,
which feeds into the formulation of policy options, the evaluation of policy options, the
adoption of the policy decision, the planning of policy implementation, the implementation
of the plan, the assessment of policy impact, adjustment of the policy options or the
implementation plans and the transition to a new policy cycle” (2008: 17-8).
Power politik yang melibatkan masyarakat melalui pilihan publik mengandung pe-
mahaman yang serupa dengan pendekatan pluralis, sejauhmana masyarakat politik diasum-
sikan terdiri dari individu yang tertarik bergabung dalam kepentingan terorganisir untuk
memperoleh akses ke sumber daya publik. Mereka menggunakan uang, keahlian, koneksi
politik, suara dan sumber daya lain untuk mengekstrak manfaat atau memperoleh akses fi-
nansial dari pemerintah melalui kegiatan lobi, melalui pemilihan langsung dan bentuk lain
dari keterlibatan politik, atau melalui penerapan penghargaan dan sanksi terhadap pejabat
publik (Grindle dan Thomas, 1991: 24).
Reformasi pada dasarnya mengacu pada penciptaan tata kehidupan demokratis di
semua aspek, memenuhi syarat keikutsertaan anggota atau masyarakat dalam pengambilan
setiap kebijakan (participation) tanggap terhadap aspirasi dari bawah (responsiveness), ber-
tumpu pada asas rule of law, terbuka terhadap keragaman anggota, dapat dipertanggung-
jawabkan, efisien, efektif, stabil, bersih (check and balance) serta adanya proses trans-
faransi (Saleh, 2008: 1-2), kondisi yang demikian ini dapat mendorong kepercayaan publik
“public trust” (Wiloto, 2006: 125). Democratic Governance akan membantu memformat
relasi antar aktor dalam proses kebijakan secara lebih baik, karena memperhatikan penting-
nya keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang lebih lemah dan potensial menerima
kerugian (Widada dkk, edt, 2008: 313)
Mark Considine 2005 (dalam Bevir, 2011: 380) mengemukakan bahwa, terdapat
enam acuan yang dapat dipergunakan untuk menilai legitimasi pemerintah di sektor publik
yaitu:
1) Assignability of goals and standards; pemerintah mampu secara jelas mengidentifikasi
tujuan dan sasaran berbagai kebijakan publik, program dan intervensi program termasuk
kemanfaatan yang ingin dicapai.
2) Transfarancy of result; kebijakan maupun program intervensi mesti terbuka dan dapat
diakses hasilnya oleh semua pihak.
3) Knowability of consequences; mudah dipahami hubungan antara program dan dampak
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
63
yang dihasilkan, sehingga dapat diketahui apakah kebijakan tersebut memiliki kinerja
yang baik, responsibilitasnya terhadap berbagai kepentingan aktor dapat diuji.
4) Reviewability by supervisor and courts; warga negara, individu atau organisasi yang
terkena dampak program dimungkinkan mendapatkan konvensasi secara administratif
maupun forum legal, untuk terlibat langsung sebagai formulator dan implementor inde-
penden dalam kebijakan.
5) Answerbility for failure; mampu menyelesaikan persoalan akibat kegagalan sebuah ke-
bijakan, menyediakan sangsi yang jelas bagi para pelanggar atau bagi kebijakan yang
tidak menghasilkan responsibilitas, dan dapat diamati secara terbuka.
6) Revisability of program; untuk menghasilkan akuntabilitas di sektor publik, sangat diper-
lukan keterbukaan untuk revisi, modifikasi dan perumusan kembali bagi kebijakan,
program dan intervensi yang tidak dapat mecapai akuntabilitas publik.
III. Paradigma Administrasi Klasik Penting Bagi Masyarakat Belum Mapan
Tiga perempat pertama abad kedua puluh Woodrow Wilson, Frederick Taylor,
Luther Gulick, dan Herbert Simon menyampaian deskripsi tertentu tentang peran adminis-
trator publik klasik, terutama dalam kaitannya dengan proses (atau kebijakan) politik, pilih-
an efisiensi (sebagai lawan responsibilitas, dll) sebagai kriteria utama untuk menilai kerja
lembaga-lembaga administrasi, dan penekanan pada upaya merancang lembaga-lembaga
publik sebagai sistem yang sangat tertutup, yang menampilkan sebuah kesatuan "mengen-
dalikan" eksekutif memiliki kewenangan besar dan melaksanakan kegiatannya secara top-
down, dan menurut Woodrow Wilson menyebutkan, “creating single centers of power and
responsibility” (Denhardt & Denhardt, 2007: 141).
Selanjutnya disampaikan unsur-unsur berikut umumnya mewakili pandangan utama
Administrasi Publik Lama (OPA):
1) Fokus pemerintah adalah pada pengiriman langsung dari pelayanan melalui lembaga
yang ada atau melalui pejabat pemerintah yang baru.
2) Kebijakan publik dan administrasi merancang serta menerapkan kebijakan politik ber-
fokus pada tujuan tunggal yang telah didefinisikan.
3) Administrator publik memainkan peran yang terbatas dalam pembuatan kebijakan dan
pemerintahan, tetapi mereka dibebankan dengan pelaksanaan kebijakan publik.
4) Penyediaan jasa harus dilakukan oleh administrator bertanggung jawab kepada pejabat
terpilih dan diberikan fleksibilitas yang terbatas dalam pekerjaan mereka.
5) Administrator bertanggung jawab kepada para pemimpin politik dipilih secara de-
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
64
mokratis.
6) Program-program umum yang terbaik disediakan melalui hierarkis organisasi, dengan
sebagian besar manajer yang menjalankan kontrol dari puncak organisasi.
7) Nilai-nilai utama organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
8) Organisasi Publik bekerja dengan sistem tertutup, sehingga keterlibatan masyarakat ter-
batas.
9) Peran administrator publik terutama didefinisikan sebagai perencanaan, pengorgani-
sasian staf, mengarahkan, koordinasi, pelaporan, dan penganggaran (Denhardt &
Denhardt, 2007: 11-12).
Dalam praktik administrasi model ini, sering memunculkan ketidakadilan, sering
para pemangku jabatan lebih mementingkan dirinya sendiri atau kelompoknya, hal ini juga
diakui oleh Buchanan yang berpendapat bahwa, perilaku politik, birokrat dan pegawai
negeri sipil, mengeploitasi keuntungan mereka sendiri dan pemerintah melampui batas-
batas yang sah (Buchanan, dalam Engelen, 2007). Namun demikian OPA pada saat ini, jika
berpraktik pada kondisi negara yang belum mapan, yang disebut sebagai negara ber-
kembang tidak selalu mendapatkan predikat yang buruk, semacam penerapannya di orde
baru pemerintah Indonesia. Hasil kerja OPA pada saat itu menghasilkan sebuah ketertiban
umum, pencapaian hasil pembangunan secara merata, dan negara mendapat kehormatan
yang baik di mata dunia, serta masih banyak prestasi yang bisa disebut. Artinya dalam kon-
disi tertentu praktik kenegaraan yang mencirikan OPA masih diperlukan, terutama bagi
negara yang memiliki perbedaan kualitas SDM yang sangat bervariasi, dengan kondisi wi-
layah geografis serta keragaman yang tinggi seperti di Indonesia, sehingga dalam kurun
waktu dan situasi tertentu OPA masih dipandang perlu.
IV. Model NPM dalam Mengukur Kinerja Kebijakan Publik
Kepentingan untuk menerapkan New Public Management (NPM) di sektor publik,
adalah menyikapi perlakuan sektor publik terhadap masyarakat sebagai klien dan konsti-
tuen, bersifat monopoli dan sebagai “single agent” yang menentukan dalam perencanaan,
desain dan pelaksanaan kebijakan. Penerapan administrasi publik yang sentralisasi “top
down”, membuat layanan pemerintah menjadi lamban, korupsi, tidak transfaran dan tidak
dapat menunjukkan responsibiltas dan akuntabilitas publiknya. Hal ini didukung pendapat
oleh Marshall Dimock, Robert Dahl, dan, yang sebagian besar dari semuanya termasuk,
Dwight Waldo berpendapat untuk kebijaksanaan yang lebih besar, respon yang lebih besar,
dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses administrasi (Denhardt & Denhardt, 2007:
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
65
25). Keadaan ini memunculkan paradigma baru yang disebut dengan New Public Mana-
gement. Memasukkan ukuran kinerja pada organisasi publik menjadi penting, untuk mem-
berikan batas-batas yang rinci tentang pencapaian keberhasilan sebuah organisasi publik
dalam melayani kepentingan masyarakatnya.
Instrumen NPM adalah manajemen kontrak, penyerahan tanggung jawab di bidang
sumber daya, orientasi pada hasil kerja (output), pengawasan melalui kalkulasi biaya dan
produk kerja, laporan dan penganggaran, orientasi pada warga/pelanggan, personalia,
teknik informasi dan manajemen kualitas. New Public Management telah menampilkan
dirinya sebagai alternatif birokrasi tradisional untuk melakukan "bisnis publik” mekanisme
pasar harus digunakan sedapat mungkin sehingga masyarakat akan disajikan dengan pilihan
di antara pilihan layanan; meningkatkan efisiensi dan produktivitas; penerapan teori pilihan
publik dan teori keagenan, secara umum penggunaan model ekonomi dalam desain dan
pelaksanaan kebijakan publik (Denhardt & Denhardt, 2007: 26). Privatisasi dan kontrak-
tualisasi pelayanan melalui perubahan kebijakan publik dengan pendekatan NPM, yang
berorientasi pada pelayanan klien dan standar pelayanan, peningkatan penerapan teknologi,
pengurangan, kontrol terpusat dan keseragaman standar, menciptakan badan-badan khusus
untuk memberikan pelayanan, penyampaian pelayanan alternatif untuk menciptakan lebih
banyak pilihan “public choice” (Hall, 2009, Ekelund & Hebert, Reksulak, Shughart II &
McChesney dan Moss, 2010), kemitraan dengan pemerintah lain atau sektor swasta lainnya.
Dalam pilihan publik yang memilih alternatif dan mendesain kebijakan publik adalah indi-
vidu, dengan persyaratan: a) tidak boleh oligopoli atau monopoli, b) pasar harus sempurna,
c) harus ada kompetisi, d) pemerintah harus menyediakan pilihan-pilihan atau alternatif
pilihan-tawaran, e) rational choice berlaku umum, rasional yang bisa dipilih oleh semua
orang, memungkinkan semua orang memperoleh manfaat, dan tidak ada rent seeking
(memperoleh keuntungan dari menjual atau memanfaatkan kewenangan atau jabatan) mau-
pun lower incentive to free ride (Brousseau, 2008: 239).
Selanjutnya menurut Denhardt, teori pilihan publik didasarkan pada beberapa
asumsi-asumsi kunci. Pertama, dan yang paling penting, teori pilihan publik berfokus pada
individu, dengan asumsi bahwa para pengambil keputusan individual, seperti "manusia
ekonomi", rasional tradisional, tertarik, dan mencoba untuk memaksimalkan "utilitas" diri
sendiri. Kedua, teori pilihan publik berfokus pada gagasan "barang publik" sebagai output
dari lembaga-lembaga publik. Ketiga pilihan publik adalah bahwa membuat aturan atau
berbagai situasi keputusan akan menghasilkan pendekatan yang berbeda untuk membuat
pilihan (Denhardt & Denhardt, 2007).
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
66
Alternatif yang dapat ditawarkan dalam reformasi kebijakan oleh NPM adalah pe-
misahan kebijakan dan penyampaian program, perubahan sistem pengelolaan finansial ber-
laku hukum swasta, pengubahan rejim tenaga kerja untuk memperbesar fleksibilitas, pe-
ningkatan penggunaan tenaga kerja paruh waktu, kontrak pelayanan, kontrak berbasis te-
naga kerja eksekutif, kompetisi antara pemerintah dan non-pemerintah, pembentukan orga-
nisasi yang baru sebagai agen pemerintah. Sepadan dengan reformasi administrasi melalui
NPM, Wescott (2009) menyebutkan bahwa, reformasi diharapkan dapat mengubah budaya
masyarakat, perbaikan kebijakan, pelaksanaan dan kegagalan penegakan hukum dan dalam
hal ini pemerintah pusat memiliki empat tugas utama: manajemen keuangan dan pengadaan
reformasi, administrasi dan reformasi layanan sipil (ACS), reformasi administrasi pajak dan
memerangi korupsi.
Penerapan teori agen di dalam sistem pemerintahan akan memenuhi kriteria antara
lain, informasi asimetris (Kaufman, 2010: 14), terdapat cost transaction (rational choice),
pasar harus sempurna, institusi pemerintah yang mendelegasikan pekerjaan pada individu
dalam bentuk kontrak (kontrak kerja), agen dapat terjadi jika sesorang memiliki sesuatu
atau beberapa group untuk mengerjakan pekerjaan yang diserahkan oleh principal. Berikut
prinsip teori agen: a) melibatkan persetujuan, b) membagi asumsi tentang orang, organisasi
dan informasi; c) agen bekerja sesuai dengan kontrak yang disepakati; d) target agen sesuai
dengan permintaan. Persyaratan teori agen adalah harus ada kompetitor agen, aplikasi dan
human interaksi, sedangkan bagi agen: memiliki spesifik talen, knowledge, kapabilitas
untuk meningkatkan nilai dari asset, memiliki good service, principal menginginkan expec-
ted utility, sedangkan agen harus talent and knowledge. Akhirnya dapat disebutkan bahwa
pendekatan reformis terhadap struktur yang baru melalui NPM memiliki tujuan sebagai
berikut. Simplisitas organisasi, efisiensi administrasi, fleksibilitas penggunaan sumberdaya
manusia, otoritas finansial: peningkatan otoritas dan delegasi yang pada akhirnya bermuara
pada peningkatan terhadap akuntabilitas dan pengukuran kinerja pemerintah.
V. Pendekatan Governance dalam Kebijakan Publik
Dalam format good governance, prasyarat untuk mencapai pelayanan publik yang
berkualitas, juga menuntut pentingnya keterbukaan, transfaransi dan akuntabilitas peme-
rintah sebagai penyelenggara pelayanan, hingga kemampuan pemerintah untuk mendaya-
gunakan energi publik dalam proses kebijakan (Widada, 2008: 312). Munculnya sejumlah
gerakan konsumen yang menuntut transparansi lebih besar dan keterlibatan publik dalam
pengambilan keputusan mengenai perencanaan dan penyampaian layanan dari awal tahun
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
67
1970, (Kirkpatrick, 2005: 58), mendorong perubahan paradigma pelayanan dari monopoli
pemerintah pada kepentingan mengadopsi kekuatan berbagai aktor swasta bahkan organi-
sasi relawan, untuk menghadirkan percepatan peningkatan kualitas layanan guna men-
dorong kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan meningkatkan martabat manusia
yang terlibat dalam proses pelayanan.
Menurut Schwab dan Kubler 2001 (dalam Kurniawan, 2007: 14-15) melihat 5 di-
mensi governance dalam pengaturan sebuah kebijakan, yatu: dimensi aktor, dimensi fungsi,
dimensi struktur, dimensi konvensi dari interaksi dan dimensi distribusi kekuasaan. Dilihat
dari sisi aktor, governance dicirikan dengan banyaknya jumlah peserta, baik yang berasal
dari sektor publik maupun swasta yang terlibat dalam pengaturan sebuah kebijakan. Dalam
dimensi fungsi, governance dicirikan melalui banyaknya konsultasi yang dilakukan dalam
pengaturan kebijakan. Selanjutya bila dilihat dari struktur, dicirikan dengan adanya batas-
batas yang didefinisikan secara fungsional dan sangat terbuka, selain itu keanggotaan dari
struktur yang bersifat sukarela. Dari dimensi konvensi interaksi, dicirikan dengan konsul-
tasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang bersifat kooperatif sehingga lebih
banyak keterbukaan. Dan terakhir, berdasarkan dimensi distribusi kekuasaan, governance
dicirikan dengan rendahnya dominasi negara, dipertimbangkannya kepentingan masyarakat
dalam pengaturan kebijakan serta adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor.
Petter dan Pierre (1998) menyatakan empat element dasar karakteristik dari diskusi
governance: 1) dominasi jaringan, sebagai ganti institusi pembuat kebijakan formal, gover-
nance didominasi melalui sebuah kesatuan koleksi kepemilikan pengaruh berbagai aktor
terhadap apa dan bagaimana public good dan service diselenggarakan, 2) pengurangan ke-
kuatan kontrol Negara, walaupun pemerintah tidak lagi memperluas penyelenggaraan
pengawasan terpusat pada kebijakan publik, pemerintah masih memiliki kekuasaan yang
berpengaruh terhadap kebijakan. Kekuasaan negara sekarang terlihat pada kemampuan
negosiasi dan bargaining dengan aktor-aktor dalam jaringan kebijakan. Para anggota jaring-
an mengakui kesamaan posisi dalam proses kebijakan, 3) perpaduan antar sumber daya
publik dan privat, para aktor publik dan privat memanfaatkan satu dengan yang lainnya
untuk memperoleh sumber daya yang mereka tidak dapat peroleh secara mandiri. Sebagai
contoh menggunakan organisasi privat sebagai pelaksana kebijakan yang memungkinkan
pemerintah mengatasi persoalan kemahalan dan prosedur waktu penyelesaian serta isu
akuntabilitas. Organisasi privat meyakinkan negara pada sejumlah projek yang mengun-
tungkan kepentingan publik tetapi tidak seperti penyelenggara keuangan di sektor swasta,
4) menggunakan multi instrument, maksudnya dalam meningkatkan keikhlasan untuk me-
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
68
ngembangkan dan mempergunakan metode tradisional dalam membuat dan melaksanakan
kebijakan publik. Dalam hal ini sering terdapat intrumen secara tidak langsung, seperti
menggunakan insentif pajak untuk mempengaruhi perilaku daripada komando dan peng-
awasan regulasi yang merubah perilaku (Fredericson & Smith, 2003: 216).
VI. New Public Service (NPS) Mendorong Partisipasi Masyarakat
Menurut Mark Considine dan Kamran Ali Afsal (dalam Bevir, 2011: 375) bahwa
kelemahan NPM dalam sektor publik adalah persoalan para pelayan publik lemah terutama
terkait dengan masalah etika dan peran normatif di masyarakat, meskipun NPM memberi
pengaruh efisiensi dan responsibilitas dari kinerja layanan publik. Sebagai kritik lain ter-
hadap berbagai produk NPM sebagai berikut:
“outsourcing policy advice, contracting out service provision, decentralizing
government outhority, disaggregating public organization, and devolving
government functions to private sector, the outcome has not only been a more
horizontal and complex framework of control, responsibility, and accountability but
also, very often, vague one” (Christensen and Laegreid, 2001 dalam Bevir, 2011:
375).
Kritik selanjutnya terhadap NPM disampaikan oleh Berry, Chackkerian & Weschler
1995 dan Dilulio, Garvey dan Kettl, 1993 (dalam Frederickson and Smith, 2003: 114), me-
nyampaikan bahwa prinsip NPM dalam jangka pendek menghasilkan efisiensi, namun me-
nimbulkan dampak negatif terkait dengan persoalan keterbukaan, pemerataan atau keadilan,
jarang dengan mengurangi biaya dan di sisi lain menghasilkan sejumlah inovasi dalam
mencapai tujuan kolektif atau publik. Berdasarkan pengalaman yang kurang sempurna dari
pendekatan NPM, memunculkan praktik baru dalam administrasi publik, yaitu apa yang di-
kenal sebaga “New Public Service”.
“The New Public service, a set of ideas about the role of public administration in
the governance system that places public service, democratic governance, and civic
engagement at the center” (Denhardt & Denhardt, 2007: 24). Melalui NPS yang menekan-
kan pentingnya memahami publik sebagai konsumen yang aktif (konsepsi citizen), teori ini
meyakinkan pentingnya pemberdayaan potensi warga, untuk ikut menentukan perbaikan
penyelenggaraan pelayanan publik. Melaui civic virtue dan democratic citizenship:
mempertanyakan a) bagaimana teori kewarganegaraan diformulasikan; b) bagaimana
masyarakat dibentuk dan dibatasi tentang hak dan kewajibannya dan c) adakah kemung-
kinan membangun keterlibatan secara aktif bagi warga negara. Dalam sebuah kebijakan ter-
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
69
jadi kontrak warga negara, negara share value, keputusan di citizen, mengakui manusia se-
utuhnya (totalitas) (Aristoteles, dalam Denhardt, 2007: 46), warga negara tidak sebagai
alat, legal being; penempatan manusia di mata hukum, good of community, mengupayakan
kemanfaatan luas bagi masyarakat dan members. “Power politic” membangun partisipasi
politik bukan politik elit, keterlibatan yang tinggi bagi citizen, dengan besar penekanan
pada morality democratic yaitu: a) memakai ukuran-ukuran kemanusiaan, b) demokrasi
memberi akses pada masyarakat, c) keterlibatan semua orang dalam pengambilan keputus-
an sebagai indikatornya: akses informasi, akses langsung/tidak langsung forum diskusi,
dan terbuka pada diskusi publik.
Selanjutnya menurut Denhardt terdapat empat prinsip utama dalam NPS yaitu: (1)
teori kewarganegaraan demokratis (democratic citizenship), (2) model komunitas dan
masyarakat sipil (community and civil society), (3) humanisme organisasi dan administrasi
publik baru (organizational humanism and the new public administration), dan (4) post-
modern publik administrasi (postmodern public administration), yang akan dijelaskan di
bawah ini.
a. Theories Of Democratic Citizenship
Membangun keterlibatan masyarakat dalam proses politik dan kebijakan publik
sangat penting dalam mewujudkan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Beberapa dimensi penting dalam upaya keterlibatan masyarakat sebagai berikut. Pertama,
kepercayaan bahwa melalui partisipasi aktif memungkinkan memperoleh hasil-hasil politik
terbaik, hasil yang mencerminkan pendapat dari kelompok tertentu dan konsisten dengan
nilai-nilai demokrasi. Kedua, melalui partisipasi, dapat memenuhi apa yang dinyatakan
Thompson sebagai tujuan demokratis, “merealisasikan aturan-aturan dan keputusan-ke-
putusan yang memuaskan kepentingan-kepentingan dari sebagian masyarakat. Melalui par-
tisipasi publik secara meluas dan dalam urusan-urusan kewarganegaraan, masyarakat bisa
membantu meyakinkan bahwa kepentingan-kepentingan perorangan dan kepentingan-ke-
pentingan kelompok didengar dan ditanggapi pejabat-pejabat pemerintahan. Terlebih, parti-
sipasi demokratis mendorong legitimasi pemerintah. Mereka yang terlibat dalam pengam-
bilan keputusan boleh jadi mendukung keputusan-keputusan tersebut dan institusi-institusi
yang terlibat dalam perumusan dan pengaplikasikan keputusan-keputusan itu (Denhardt &
Denhardt, 2007: 50).
Penerapan teori ini berdasarkan atas kebijakan merupakan pilihan, hasil musya-
warah publik yang diperoleh dari proses politik masyarakat dalam sistem politik bersama-
sama “politik institusional”. Kebijakan yang dilandaskan pada moral yang terikat dengan
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
70
masyarakat, memiliki pengetahuan tentang urusan publik, membentuk solidaritas, komit-
men dan kemaslahatan sipil yang sepenuhnya dikelola secara partisipatif.
b. Models Of Community and Civil Society
Menempatkan posisi masyarakat sipil, dalam pendekatan komunitas, di mana citizen
dalam komunitas memiliki nilai-nilai yang dikejar dan ingin dimaksimalkan melalui proses
“deliberation” musyawarah untuk menetapkan sebuah kebijakan, sebagai gerakan akar
rumput, memenuhi tanggungjawab sosial, ramah lingkungan, terjadi diskusi yang intim,
sehat tidak ada unsur pemaksaan kehendak, ekploitasi antara individu yang satu dengan
yang lainnya. Interaksi antar-mereka berlangsung secara alamiah, untuk menghasilkan ke-
baikan bersama “common good”, penuh pemaknaan secara personal untuk dapat menyele-
saikan persoalan-persoalan komplik, persoalan sosial maupun dalam menyelesaikan per-
soalan-persoalan yang berkenaan dengan keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerin-
tahan. Gerakan akar rumput warga negara ini, berupaya dibangun melalui jejaring interaksi
warga sebagai modal sosial dalam membangun komunitas dan masyarakat sipil.
Menurut Gutmann dan Thompson (2004) bahwa pentingnya musyawarah dalam
pengambilan keputusan strategis dari sudut pandang kebijakan publik, disebut sebagai
“demokrasi deliberatif” merupakan upaya untuk meningkatkan legitimasi keputusan,
dengan hati-hati mempertimbangkan tuntutan kelompok yang saling bertentangan, untuk
memperluas pemahaman peserta mengenai isu-isu kepentingan bersama, untuk meningkat-
kan rasa hormat terhadap perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada nilai-nilai, dan untuk
mengembangkan posisi kebijakan yang dapat bertahan dari pemeriksaan kritis berkelan-
jutan (Smith, 2009: 11; Ozzane, et al, 2009: 29).
c. Organizational Humanism and The New Public Administration
Pendekatan NPS mengakui keterlibatan individu secara bebas dalam organisasi
“manusia organisasi”, dengan moralitas yang tinggi, individu-individu berupaya dapat me-
nyelesaikan berbagai persoalan organisasi secara terbuka, penuh tanggungjawab. Otoritas
pengetahuan dan kompetensi diakui, dan setiap individu dapat melakukan aktualisasi,
dengan memaksimalkan kolaborasi satu sama lainnya, berupaya meningkatkan pengendali-
an diri dan pengarahan diri-sendiri untuk warga, meningkatkan kesadaran proses kelompok
dan konsekuensinya untuk kinerja melalui dialektis organisasi dan model consociated.
Menurut Bingham kolaborasi adalah untuk mengizinkan warga dan pemangku kepentingan
untuk secara aktif berpartisipasi dalam pekerjaan pemerintah (2005: 547), hal ini diakarena-
kan bahwa individu dan kelompok memiliki hak-hak dasar partisipasi penting untuk pe-
merintahan yang demokratis (Brettschneider, 2007: 13).
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
71
Menurut Dryzek (1990) bahwa forum warga diberi kesempatan untuk belajar
tentang gagasan, melibatkan orang lain dalam perdebatan tentang sebuah gagasan, dan ke-
mudian menjadikan keputusan bersama sebagai kebijakan yang diambil. Pedoman yang
mendasari musyawarah adalah terfokus pada keterlibatan dan menghormati antara peserta,
dan simpulan mewakili kelompok yang berunding untuk menemukan kesamaan. Tujuan
mendasar dari demokrat deliberatif adalah menyediakan suatu proses untuk partisipasi
warga yang memungkinkan diskursus sambil menghindari manipulasi (O'doherty &
Davidson, 2010: 226).
Dalam hal melibatkan masyarakat dalam musyawarah penentuan kebijakan meng-
ikuti prinsip pemerintahan kolaboratif, yaitu: (1) warga negara biasa harus terlibat dalam
produksi bersama barang publik; 2) masyarakat harus didorong untuk memobilisasi aset
mereka sendiri sebagai bagian pemecahan masalah publik; 3) administrator publik dan pro-
fesional harus berbagi keahlian mereka dengan masyarakat dan memberdayakan masya-
rakat; 4) kebijakan harus mempromosikan dan mengaktifkan musyawarah publik yang akan
melampaui kepentingan pribadi; 5) berkelanjutan ketimbang memecah belah, kemitraan
harus dipupuk; 6) pemerintah harus mencari bidang strategis yang luas; 7) budaya peme-
rintah harus diubah untuk merangkul praktik-praktik kolaboratif; dan 8) akuntabilitas harus
timbal-balik antara aktor (Sirianni, 2010:. 513)
d. Postmodern Public Administration
Gerakan postmodern yang hendak merevisi paradigma modern, namun tidak dengan
menolak modernisasi itu secara total, melainkan dengan memperbarui premis-premis
modern. Gerakan modern adalah pemikiran dan gambaran tentang dunia tertentu yang
awalnya diinspirasikan oleh Descartes, dikokohkan oleh gerakan pencerahan (aufklarung)
dan mengabdikan dirinya hingga abad kedua puluh ini melalui dominasi sains dan kapitalis.
Beberapa kritik terhadap modernisasi, pertama: pandangan dualistik yang membagi
seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritual material, manusia dunia dan seba-
gainya, telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan penggurasan alam se-
mena-mena. Kedua, pandangan modernisasi bersifat objektivistis dan positivistis yang
akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah-olah objek juga, dan masyarakatpun dire-
kayasa bagai mesin. Ketiga, dalam modernism ilmu-ilmu positif empiris mau tak mau men-
jadi standar kebenaran tertinggi, akibatnya nilai-nilai moral religius kehilangan wibawanya.
Keempat, materialism, bahwa hidup ini menjadi keinginan yang tak habis-habisnya untuk
memiliki dan mengontrol hal-hal material. Kelima, militerisme, pendekatan kekuasaan dan
ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Dan keenam, adalah
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
72
bangkitnya kembali tribalisme atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok
sendiri (Sugiharto, 1996: 29-30).
Gerakan postmodern dalam proses politik penyusunan kebijakan mengamati peri-
laku manusia "dari dalam", memahami makna tindakan manusia atau kehidupan manusia,
nilai-nilai lebih penting daripada fakta-fakta dalam memahami tindakan manusia atau sen-
sitif terhadap nilai, mengenali komponen rasional pengalaman manusia secara intuisi,
emosi, dan perasaan, pemahaman secara komplit tentang makna dan nilai-nilai yang begitu
banyak dari kehidupan manusia, penilaian nilai kritis melalui face-to-face interaksi berda-
sarkan pengakuan manusia yang satu terhadap yang lain, komitmen berpusat gagasan-
gagasan "diskursus”, cita-cita wacana otentik melihat administrator dan warga negara ter-
libat sepenuhnya satu dengan yang lain dalam kesamaan, proses yang dihasilkan dari nego-
siasi dan membangun konsensus adalah satu, di mana individu terlibat satu sama lain saat
mereka terlibat dengan diri mereka sendiri, sepenuhnya merangkul semua aspek kepribadi-
an manusia (Denhardt dan Denhardt, 2007).
Dengan kearifan serta kecerdasan para pemangku kebijakan dalam menggunakan
berbagai pendekatan yang ada, diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang ramah, dan
dapat memuaskan berbagai pihak. Seperti apa yang disampaikan Compston, (2009: 214)
bahwa kebijakan publik yang dihasilkan ke depan adalah kebijakan bisnis yang lebih
ramah; kebijakan ketenagakerjaan lebih ramah; kebijakan penegakan hukum dan inter-
nasionalisasi keamanan, kebijakan lebih ramah pada perempuan, kebijakan sosial yang
lebih liberal, iklim kebijakan yang lebih kuat, lebih giat kebijakan untuk melawan efek
negatif dari teknologi inovasi dan internasionalisasi ekonomi. Mengembangkan kebijakan
yang tepat dan institusi yang tepat yang akan memungkinkan untuk mengelola keberhasilan
integrasi negara ke dalam ekonomi global, pengentasan kemiskinan dan pembangunan fitur
sosial yang sesuai dari setiap aspek kebijakan ekonomi dan sosial (Kennett, 2008). Berikut
disampaikan pola hubungan paradigma administrasi publik, dan pergeserannya dalam me-
wujudkan legitimasi dan kepercayaan publik pemerintah. Setiap paradigma, baik OPA,
NPM, Governance, dan NPS mengandung empat unsur yang menjadi landasan berpikirnya,
yang dapat dikaji dan berpengaruh pada setiap paradigma, yaitu institusional, norm
(norma), culture, dan nilai (value) dalam bagan digambarkan dengan garis putus-putus (---).
OPA dalam kondisi masyarakat dan organisasi tertentu masih dapat efektif dalam menum-
buhkan legitimasi dan kepercayaan publik, semisal pada masyarakat yang SDMnya masih
rendah maupun praktik OPA di organisasi militer, yang penting tergantung pada komitmen
pelayan publik, yang berusaha mewujudkan pelayanan yang memenuhi kepuasan publik.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
73
Selanjutnya demikian juga terjadi pada pendekatan lain, NPM dengan penekanan kinerja
administrasi publik, yang bisa berubah ke NPS lalu menghasilkan legitimasi dan kepercaya-
an publik, atau langsung hanya dengan NPM mampu menimbulkan kepercayaan publik,
dan seterusnya digambarkan dengan garis panah ( ) seperti bagan di bawah ini.
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
74
Bagan
Pergeseran Administrasi Publik dalam Public Policy reform
Public Policy:
1. Institusional
2. Norm
3. Culture
4. Value
Old Administration:
1. Top Down
2. designing and
implementing
policies focusing on
a single
3. Control by
regulation
4. Client or
constituents oriented
5. Bureaucratic
management
New Public Manajemen
1. Economic
rationality
2. Entrepreneurial
spirit & Market
3. Effciency
4. Effectiveness
New Public Service:
1. Democratic
citizenship
2. Community and
civil society
3. Organizational
humanism and
new public
administration
4. Postmodern Public
Administration
Legitimacy
and Public
Trust of
government
Governance
1. Dominance of
network
2. The state declining
capacity for direct
control
3. The blending of
public & private
resources
4. Use of multiple
instruments
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
75
Simpulan
Reformasi kebijakan publik adalah upaya untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan
yang ramah lingkungan dan penuh keterlibatan masyarakat, guna mendorong terciptanya
layanan publik yang dapat memenuhi kepentingan pemenuhan “public good” yang ber-
kualitas, mengakomodir pengakuan manusia seutuhnya dalam pelayanan negara, mencipta-
kan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas publik bagi lembaga penyelenggara layanan
publik.
Paradigma administrasi publik, tidak sepenuhnya sempurna di antara paradigma
yang ada, jika bermaksud untuk mengunggulkan salah satu pendekatan tersebut, baik OPA,
NPM, Governance, maupun NPS. Pendekatan-pendekatan ini akan dapat memenuhi kepen-
tingan pencapaian tujuan publik, bila penerapannya tepat menurut situasi dan tempat
(lokus) di mana praktik administrasi publik dilaksanakan. Partisipasi dari semua aktor akan
memberi kontribusi dalam upaya mencapai kearifan dan kecerdasan memilih paradima, me-
lalui pemikiran, ide dan gagasan bersama, membuat administrasi publik memiliki keper-
cayaan diri, untuk merumuskan dan memformulasikan kebijakan-kebijakan yang menyang-
kut kepentingan bersama.
Daftar Pustaka
Azizy, Aqudri, 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Bevir, Mark, eds., 2011. Governance. London: Sage Publications.
Bingham, LB., et al., 2005. The New Governance: Practices and Processes for Stakeholder
and Citizen Participation in the Work of Government. Public Administration
Review • September/October 2005, Vol. 65, No. 5
Brettschneider, Corey, 2007. Democratic Rights: The Substance of Self-Government. New
Jersey: Princeton University Press.
Brousseau, Eric & Jean Michel Glachant, eds., 2008. New Institutional Economics. New
York: Cambridge University Press.
Compston, Hugh, 2009. Policy Networks and Policy Change Putting Policy Network
Theory to the Test. New York: Palgrave Macmillan.
Denhardt, Janet V & Robert B Denhardt, 2007. The New Public Service: Serving, Not
Steering. Armonk New York : ME. Sharpe.
Ekelund Jr ,Robert B,& Robert F. Hébert, 2010. Interest-group analysis in economic
history and the history of economic thought, dalam Jurnal Public Choice Public
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
76
Choice (2010) 142: 471–480 Department of Economics, Auburn University, 404
Blake St., Auburn.
Engelen, Bart. 2007. Thinking Things Through: The Value and Limitations of James
Buchanan’s Public Choice Theory. Review of Political Economy, Volume 19,
Number 2, 165–179, April 2007. Rouledge Taylor and Francis Group.
Frederickson, H.George & Kevin B. Smith, 2003. The Public Administration Theory
Primer. Oxford : WestView Press.
Gibson, C., & Michael Woolcock, 2008. Empowerment, Deliberative Development, and
Local-Level Politics in Indonesia: Participatory Projects as a Source of
Countervailing Power. Springer Science + Business Media, LLC 2008, St Comp Int
Dev (2008) 43:151–180
Hall, Darwin C, 2009. Prescriptive Public Choice: Application To Residential Water Rate
Reform. Contemporary Economic Policy (ISSN 1465-7287), Vol. 27, No. 4,
October 2009, 555–565 Western Economic Association International.
Hidayat, Misbah L, 2007. Reformasi Administrasi Kajian Koperatif Pemerintah Tiga
Presiden. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hodgkinson, Christoher, 1978. Towards a Philosphopy 0f Administration. Oxford: Basil
Blackwell.
Kaufman, Bruce E., 2010. Comparative Employment Relations: Institutional and Neo-
Institutional Theories. Working Paper 2010-1-2 January 2010. Georgia State
University.
Kennett, Patricia, 2008. Governance, Globalization and Public Policy. Northampton USA:
Edward Elgar Publishing Limited.
Kirkpatrick, IAN, et al., 2005. The New Managerialism and Public Service Professions.
New York: Palgrave Macmillan.
Kurniawan, Teguh, 2007. Pergeseran Paradigma Administrasi Publik : Dari Prilaku
Model Klasik dan NPM ke Good Governance. Jiana Jurnal Ilmu Adm Negara,
Volume 7, 1 Januari 2007, hal 52-70.
Little, Angela W., 2008. EFA Politics, Policies and Progress. Brighton UK: Create 2008.
Moss, Laurence S, 2010. Thomas Hobbes’s Influence on David Hume:The Emergence of a
Public Choice Tradition. American Journal of Economics and Sociology, Vol. 69,
No. 1 (January, 2010). American Journal of Economics and Sociology, Inc.es_685
398..430.
Muhamad, Fadel, 2008. Reinventing Local Government Pengalaman dari Daerah. Jakarta:
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 3 April 2012
77
PT Elex Media Komputindo.
O’doherty, KC., & HJ. Davidson, 2010. ubject Positioning and Deliberative Democracy:
Understanding Social ProcessesUnderlying Deliberation. Blackwell Publishing,
9600 Garsington Road, Oxford, Journal for the Theory of Social Behaviour 40:2
0021-8308
Ozzane, JL.,et al., 2009. The Philosophy and Methods of Deliberative Democracy:
Implications for Public Policy and Marketing. Journal of Public Policy &
Marketing. American Marketing Association, Vol. 28 (1) Spring 2009, 29–40
Reksulak, Michael, 2010. Antitrust public choice(s). dalam Jurnal Public Choice (2010)
142: 385–406 School of Economic Development, Georgia Southern University,
Statesboro.
Saleh, A Chunaini, 2008. Penyelenggaraan Haji Era Refromasi Analisis Internal
Kebijakan Publik Departemen Agama. Tanggerang: Pustaka Alfabet.
Shughart II , William F., & Fred S. McChesney, 2010. Public choice theory and antitrust
policy. Dalam Public Choice (2010) 142: 385–406 Department of Economics,
University of Mississippi, P.O. Box 1848, University, MS
Sirianni, Carmen, 2010. Citizen Participation and Dispute Resolution : Investing in
Democracy: Engaging Citizens in Collaborative Governance . Brookings
Institution Press, Washington : Journal of the American Planning Association,
Autumn 2010, Vol. 76, No. 4
Smith, Graham, 2009. Democratic Innovations: Designing institutions for citizen
participation. New York: Cambridge University.
Smith, Neale, 2010. The Public Administrator As Collaborative Citizen: Three
Conceptions. PAQ Summer 2010, page 238-261.
Sugiharto, Bambang, 1996. Postmodernisme: Tantantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Wescott, Clay, et al., (eds.), 2009. The Many Faces Of Public Management Reform In The
Asia-Pacific Region. Bingley BD16 1WA, UK: Emerald Group Publishing Limited.
Widada, YS., dkk,. Edt,. 2008. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Wiloto, Christovita, 2006. The Power Of Public Relations. Jakarta: Power PR Global
Publishing.