materi bab 7

31
BAB 7 PEREKONOMIAN DALAM ISLAM Jual beli adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan jual beli manusia dapat memperoleh keuntungan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, makan sehari- hari, kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan anak-anaknya, bahkan pemenuhan kebutuhan yang sifatnya kurang utama. Pembahasan kita kali tentang konsep perekonomian dalam Islam dan akan dilengkapi dengan pembahasan hukum jual beli dan macam-macam transaksi yang telah diatur oleh hukum Islam. A. Jual Beli 1. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli Jual beli artinya pertukaran barang dengan barang atau barang dengan uang. Beberapa ahli mendefinisikan jual beli sebagai berikut, diantaranya adalah Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu', mengatakan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni, mengatakan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk saling memiliki. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu. Dasar hukum jual beli adalah sebagai berikut. a. Firman Allah SWT: Artinya: "…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…" (Q.S. Al Baqarah: 275). b. Sunah Nabi Muhammad SAW

Upload: dinanurfadhilah

Post on 11-Apr-2017

418 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi bab 7

BAB 7

PEREKONOMIAN DALAM ISLAM

Jual beli adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan jual

beli manusia dapat memperoleh keuntungan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, makan

sehari-hari, kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan anak-anaknya, bahkan pemenuhan

kebutuhan yang sifatnya kurang utama. Pembahasan kita kali tentang konsep perekonomian

dalam Islam dan akan dilengkapi dengan pembahasan hukum jual beli dan macam-macam

transaksi yang telah diatur oleh hukum Islam.

A. Jual Beli

1. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli artinya pertukaran barang dengan barang atau barang dengan uang. Beberapa

ahli mendefinisikan jual beli sebagai berikut, diantaranya adalah Imam Nawawi dalam

kitabnya Al Majmu', mengatakan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta

untuk kepemilikan. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni, mengatakan bahwa jual

beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk saling memiliki. Dari definisi-definisi

tersebut dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan

barang yang lain dengan cara tertentu. Dasar hukum jual beli adalah sebagai berikut.

a. Firman Allah SWT:

Artinya: "…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…" (Q.S. Al

Baqarah: 275).

b. Sunah Nabi Muhammad SAW

Pada suatu hari, saat Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik,

beliau menjawab, “Seorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang

mabrur.” Maksud mabrur dalam hadis itu adalah jual beli yang terhindar dari usaha

tipu-menipu dan merugikan orang lain.

c. Ijmak para Sahabat

Para ulama telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa

manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan tanpa bantuan dari orang lain.

Akan tetapi, bantuan barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti

dengan barang lainnya yang sesuai. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa hukum jual beli adalah boleh atau mubah.

Page 2: Materi bab 7

2. Rukun Jual Beli

Para ulama sepakat bahwa ada empat rukun jual beli.

a. Bai' (penjual), yaitu pihak yang dikenai tuntutan untuk menjual.

b. Musytari (pembeli), yaitu pihak yang menghendaki memiliki sesuatu dengaN

membelinya.

c. Sigat (ijab dan kabul), yaitu transaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

d. Ma'qud 'alaih (benda atau barang), yaitu sesuatu yang menjadi objek transaksi.

Adapun syarat agar jual beli sah, penjual dan pembeli harus memenuhi syarat berikut

ini.

a. Berakal, supaya seseorang tidak terkecoh.

b. Dilakukan atas kehendak sendiri, bukan dipaksa atau keterpaksaan.

c. Tidak mubazir (boros) sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya.

d. Balig (berumur 15 tahun ke atas), bagi anak-anak yang sudah mengerti boleh

melakukan jual beli yang kecil-kecil.

3. Syarat Jual Beli

Secara umum, disyaratkannya jual beli adalah untuk menghindari pertentangan di

antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang berakad, dan menghindari jual beli

garar (penipuan).

Syarat jual beli meliputi empat hal, yaitu sebagai berikut.

a. Syarat terjadinya akad

Jual beli batal apabila syarat terjadinya akad tidak terpenuhi. Ini menurut ulama

Hanabilah.

b. Syarat sahnya akad

Syarat terbagi dua, yaitu umum dan khusus.

1) Syarat umum

Yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah

ditetapkan oleh syarak dan terhindar dari kecacatan jual beli. Misalnya

ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan waktu dengan waktu, penipuan,

kemudaratan, dan persyaratan yang merusak lainnya.

2) Syarat khusus adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang tertentu,

seperti:

a) barang yang diperjualbelikan harus dapat dipegang;

b) harga awal harus diketahui;

Page 3: Materi bab 7

c) serah terima benda dilakukan sebelum berpisah, yaitu pada jual beli yang ada

di tempat;

d) terpenuhi syarat penerimaan;

e) harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu pada jual beli yang memakai

ukuran atau timbangan;

f) barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya. Oleh karena

itu, tidak boleh menjual barang yang masih berada di tangan penjual.

c. Syarat Terlaksananya Akad

Syarat terlaksananya akad adalah sebagai berikut.

1) Benda dimiliki oleh aqid (berkuasa untuk akad).

2) Pada benda tidak terdapat milik orang lain. Oleh karena itu, tidak boleh menjual

barang sewaan dan barang gadai karena barang tersebut bukan miliknya sendiri,

kecuali diizinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang ditangguhkan.

Berdasarkan syarat terlaksananya akad dan wakaf (penangguhan), maka jual beli

terbagi dua, yaitu jual beli nafaz dan jual beli mauquf.

1) Jual beli nafaz adalah jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah memenuhi

syarat dan rukun jual beli tersebut dikategorikan sah.

2) Jual beli mauquf adalah jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi

nafaz, yakni bukan milik dan tidak kuasa melakukan akad, seperti jual beli fudul

(jual beli milik orang lain, tanpa ada izin). Jika pemiliknya mengizinkan, maka

jual beli fudul dipandang sah. Sebaliknya, jika pemilik tidak mengizinkan,

dipandang batal. Para ulama berbeda pendapat dalam jual beli fudul ini.

d. Syarat Kepastian

Syarat kepastian hanya ada satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari

khiar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan menyebabkan

batalnya akad.

4. Jual Beli yang Dilarang

Yang dilarang di dalam Islam tentang jual beli sangatlah banyak. Diterangkan oleh

Wahbah al Zuhaili sebab-sebab terlarangnya jual beli.

a. Terlarang sebab ahliah

Orang yang dilarang melakukan transaksi jual beli karena sebab ahliah, yaitu:

1) orang gila,

2) anak kecil,

3) orang buta,

Page 4: Materi bab 7

4) fudul,

5) orang yang terhalang (misal karena kebodohan, bangkrut atau sakit), dan

6) malja' adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar

dari perbuatan zalim.

b. Terlarang sebab sigat

Ulama fikih telah sepakat bahwa jual beli yang didasarkan pada keridaan antara

pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian antara ijab dan kabul, berada di satu

tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah adalah sah. Sebaliknya, jual beli yang

tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah atau masih diperselisihkan

para ulama, seperti macam-macam jual beli berikut.

1) Jual beli mu'tah adalah jual beli yang sudah disepakati oleh pihak akad, berkenaan

dengan barang dan harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.

2) Jual beli melalui utusan dan surat. Jual beli semacam ini adalah sah selama utusan

dan surat itu sampai pada tujuan. Jual beli tidak sah bila yang terjadi adalah

sebaliknya.

3) Jual beli dengan syarat atau lisan selama bisa dibaca dan dimengerti. Jika terjadi

sebaliknya, maka jual beli menjadi tidak sah, misalnya tulisannya kabur dan

isyaratnya tidak dapat dipahami.

4) Jual beli barang yang tidak ada di tempat.

5) Jual beli tidak berkesesuaian dengan ijab kabul.

6) Jual beli munjiz (jual beli yang ditangguhkan).

c. Terlarang sebab ma'qud 'alaih (objek akad)

Ma'qud 'alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang berakad,

biasa disebut dengan istilah mabi' (barang jualan), seperti berikut.

1) Jual beli benda yang dikhawatirkan tidak ada barangya.

2) Jual beli yang tidak dapat diserahkan barangnya.

3) Jual beli garar (tipuan) adalah jual beli yang mengandung kesamaran. Contoh jual

beli garar adalah sebagai berikut.

a) Jual beli al hashah, yaitu jual beli dengan menggunakan batu kerikil atau

sejenisnya, dengan cara melemparkan batu tersebut pada benda yang tidak

diketahui zatnya. Ke mana batu itu jatuh maka terjadilah jual beli.

b) Dharbah al ghawas, yaitu jual beli dari menyelam, barang yang diperjualbelikan

tidak jelas, apa yang didapatkan dari laut ketika menyelam itulah yang dibayar.

Page 5: Materi bab 7

c) Jual beli al nitaaj, yaitu perjanjian jual beli pada hasil ternak sebelum dihasilkan,

misalnya susu sebelum diperah.

d) Jual beli mulamasah, yaitu jual beli dengan meraba. Contoh: keharusan membeli

pada kain yang diraba tanpa mengetahui keadaan barangnya.

e) Jual beli mukhadharah, yaitu jual beli benda yang masih hijau, buah atau biji-

bijian yang belum masak. Contoh: kurma yang masih hijau yang belum ada

tanda-tanda masak.

f) Jual beli bulu binatang yang masih di badan.

g) Jual beli munaabadah yaitu jual beli dengan cara berebutan. Contoh: dua orang

calon pembeli melakukan transaksi dengan cara berebut, barang wajib dibeli

walaupun tidak rida.

h) Jual beli muhaaqalah, yaitu membeli buah di kebun dengan sesuatu yang tertentu.

Contoh: jeruk ditukar dengan gandum.

i) Jual beli muzaabanah, contoh: kurma basah ditukar dengan kurma kering dengan

ukuran yang tidak jelas.

j) Jual beli habalu al habalah, yaitu jual beli binatang yang masih di perut (yang

belum dilahirkan).

4) Jual beli barang najis dan yang terkena najis.

5) Jual beli barang yang tidak jelas (majhul).

6) Jual beli air (Mazhab Zahiriah dan yang lain tidak mengharamkannya).

7) Jual beli barang yang tidak ada di tempat.

8) Jual beli sesuatu yang belum dipegang.

9) Jual beli buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan yang belum jelas buahnya.

d. Terlarang sebab syarak

1) Jual beli riba;

2) Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan;

3) Jual beli barang dari merampas atau malak di jalan;

4) Jual beli sperma hewan jantan dengan cara mencampurkan hewan tersebut dengan

hewan betina;

5) Jual beli anggur untuk dijadikan khamar;

6) Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain;

7) Jual beli bersyarat.

5. Hikmah Jual Beli

a. Membangkitkan Semangat Kerja

Page 6: Materi bab 7

Jual beli mendidik manusia untuk bekerja keras, tidak menjadi pengemis serta

mengharap pemberian orang lain. Sebab sikap meminta-minta akan menjatuhkan

martabat baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah SWT.

b. Menjadikan Manusia Ingat kepada Allah SWT

Allah SWT adalah Zat Yang Mahakaya dan kepada-Nya lah tempat seluruh umat

manusia memohon rezeki. Dalam berniaga sering orang menggunakan cara-cara yang

curang untuk meraup untung besar. Cara yang curang hanya akan memperoleh rezeki

yang tidak berkah. Sebaliknya, jika dalam berniaga sesuai dengan syariat-Nya serta

profesional, jujur, sabar, tidak menipu, ulet dan tidak lupa berdoa maka akan

memperoleh rezeki yang berkah.

6. Jual Beli yang Benar

Pada dasarnya jual beli adalah proses untuk memiliki harta atau barang dengan

sah secara hukum. Jual beli yang benar adalah jual beli yang sesuai dengan kehendak

syarak yaitu memenuhI persyaratan, rukun jual beli, dan hal-hal lain yang ada

kaitannya dengan jual beli. Maka perlu diperhatikan, agar terjadi jual beli yang benar

adalah barang yang dijual harus terjamin dari kesucian, jangan menjual barang najis,

bukan barang yang rusak, barang harus jelas dan tampak.

B. Khiar

1. Pengertian dan Dasar Khiar

Dalam jual beli, khiar adalah hak memilih salah satu di antara dua hal, yaitu

meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali jual beli). Khiar

bertujuan agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-

masing tentang jual belinya, sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari,

lantaran merasa tertipu. Khiar hukumnya mubah dan disyariatkan dalam agama Islam.

Rasulullah SAW membenarkan praktik khiar melalui hadisnya yang berbunyi:

Artinya: “Bahwa Rasulullah SAW bersabda,'Engkau berhak untuk khiar dalam tiap-

tiap barang yang engkau beli selama tiga hari'.” (H.R. Al-Baihaqi)

Dari hadis tersebut berarti batas khiar hanya boleh selama tiga hari, lebih dari itu tidak

diperbolehkan. Hal ini tampak pada hadis berikut ini.

Artinya: "Seorang laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainnya dan ia

mensyaratkan khiar selama empat hari, Rasulullah SAW membatalkan jual beli

tersebut dan bersabda,'khiar adalah tiga

hari'." (H.R. Abdul Razzaq)

Page 7: Materi bab 7

2. Macam-Macam Khiar

a. Khiar Majelis

Khiar majelis adalah hak khiar ketika si pembeli dan penjual boleh memilih

antara dua perkara, yakni meneruskan/melangsungkan jual beli atau

membatalkannya selama keduanya masih berada di tempat berlangsungnya akad jual

beli. Khiar majelis diperbolehkan dalam segala macam jual beli. Khiar majelis

biasanya terjadi pada akad yang bersifat pertukaran, seperti jual beli dan upah-

mengupah.

Dasar untuk berlakunya khiar majelis adalah hadis Nabi berikut ini.

Artinya: "Dua orang yang berjual beli, boleh memilih akan meneruskan jual beli

mereka atau tidak, selama keduanya belum berpisah dari tempat akad." (H.R. Al

Bukhari dan Muslim)

Khiar majelis dapat gugur dan tidak berlaku disebabkan hal-hal berikut ini.

1) Penjual dari pembeli telah memutuskan untuk memilih meneruskan jual beli atau

membatalkannya.

2) Penjual dan pembeli sudah berpisah menurut adat kebiasaan.

3) Salah satu atau keduanya meninggal dunia.

b. Khiar Syarat

Khiar syarat adalah khiar yang disyaratkan oleh salah satu pihak penjual atau

pembeli sewaktu berlangsungnya akad jual beli. Misalnya, kata penjual,"Saya jual

barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiar tiga hari atau kurang dari tiga

hari." Khiar syarat dapat dilakukan dalam segala bentuk jual beli, kecuali barang

yang wajib diterima di tempat jual beli, seperti barang-barang riba. Masa khiar

syarat paling lama hanya tiga hari. Sebagaiman sabda Rasulullah SAW berikut ini.

Artinya: "Engkau boleh khiar dalam segala barang yang engkau telah beli selama

tiga hari tiga malam." (H.R. Ibnu Majah)

c. Khiar 'Aibi (Cacat)

Khiar 'aibi adalah hak pembeli untuk memilih meneruskan jual beli atau

membatalkannya, ketika diketahui barang yang dibelinya ternyata cacat dan cacat

tersebut tidak tampak pada saat berlangsungnya akad. Menjual barang yang cacat

tanpa menjelaskan kepada pembeli tentang cacat tersebut, hukumnya haram. Oleh

karena itu, jika di saat akad tidak diketahui ada cacat pada barang yang dibeli,

kemudian setelah akad diketahui bahwa barang tersebut cacat, pembeli boleH

Page 8: Materi bab 7

menolak barang tersebut dan membatalkan jual beli. Hal tersebut telah menjadi milik

ijmak ulama. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan sebagai berikut.

Artinya: "Aisyah berkata, 'Bahwasannya seorang laki-laki telah membeli seorang

budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa

budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan perkaranya kepada Rasulullah, keputusan

dari beliau, budak itu dikembalikan kepada si penjual'." (H.R. Abu Dawud)

3. Praktik Khiar

Ahmad membeli sebuah TV berwarna. Sesudah terjadi akad, ditemukan cacat,

seperti lecetlecet dan speaker tidak berbunyi. Saat barang belum dibawa pulang maka

cacat tersebut masih dalam tanggungan si penjual. Artinya, penjual harus menggantinya

dengan barang yang tidak cacat sedikitpun. Jika kedua belah pihak telah terjadi akad

dan pembeli mengetahui cacat setelah dibawa pulang, si pembeli dapat mengembalikan

pada penjual dengan meminta kembali uangnya. Jika pembeli tidak segera

mengembalikan barang yang cacat kepada pemilik toko, berarti ia telah rida atas cacat

barang tersebut. Barang tersebut kemudian dijual kepada pihak kedua. Jika pihak kedua

mengetahui ada cacat pada barang tersebut, ia berhak meminta ganti rugi, namun tidak

berhak mengembalikan barangnya dengan meminta ganti barang yang baru.

4. Hikmah Khiar

Hikmah dari adanya khiar adalah manusia dididik untuk jujur dan sabar.

Seandainya saja ada kecacatan dalam membeli barang, hendaknya langsung

dikembalikan, tidak perlu marah, memfitnah, atau mencaci maki atas kesalahan pihak

penjual. Bisa jadi si penjual tidak tahu atau tidak sengaja bahwa barang yang dijualnya

cacat. Di sini kita dididik untuk saling menghargai antara satu dengan lain karena pada

hakikatnya kedua pihak akan memperoleh keuntungan dari akad yang dilakukan.

5. Khiar yang Benar

Setiap orang Islam dalam bermuamalah tidak boleh melakukan kecurangan, dan

harus selalu memikirkan kemaslahatan dalam melaksanakan khiar dan jual beli. Dengan

berbuat curang hanya akan menjatuhkan martabat diri, baik di hadapan manusia

maupun di hadapan Allah SWT. Setiap pembeli hendaknya waspada terhadap barang

yang dibeli. Jangan segan untuk menanyakan tentang baik buruk barang yang akan

dibeli sehingga tidak ada keraguan dalam memutuskan membeli apa tidak, melainkan

akan dengan mantap dalam mengambil keputusan dan rida.

Page 9: Materi bab 7

C. Musaqah, Muzara'ah, dan Mukhabarah

1. Musaqah

Akad musaqah merupakan peluang bagi orang lain untuk bekerja dan mendapat hasil

dari pekerjaannya dengan cara yang halal dan diridai Allah SWT. Sedangkan bagi

majikan juga merasa sangat terbantu. Islam sangat menganjurkan musaqah karena

memberi manfaat sosial yang sangat tinggi.

a. Pengertian dan Dasar Hukum Musaqah

Musaqah berasal dari kata al-saqa, yaitu seseorang yang bekerja mengurus

pohon anggur, tamar, atau lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan

mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalannya.

Secara istilah, musaqah adalah mempekerjakan manusia untuk mengurus

pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang direzekikan Allah

SWT dari pohon itu untuk mereka berdua (pendapat Syekh Syihab ad-Din al-

Qalyubi dan Syekh Umarah).

Dasar hukumnya adalah hadis Nabi SAW riwayat Imam Muslim dari Ibnu

Amr, RA bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Memberikan tanah

Khaibar dengan separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian

(tanaman).” Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar

itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya

untuk Nabi.”

b. Rukun Musaqah

Rukun musaqah meliputi beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

1) Antara pemilik kebun dan tukang kebun (penggarap) hendaknya orang yang

samasama berhak bertasaruf (membelanjakan harta keduanya).

2) Kebun dan semua pohon yang berbuah boleh diparokan (bagi hasil), baik yang

berbuah tahunan (satu kali dalam satu tahun) maupun yang berbuah hanya satu

kali kemudian mati, seperti jagung dan padi.

c. Syarat Musaqah

Syarat musaqah adalah sebagai berikut:

1) ahli dalam akad;

2) menjelaskan bagian penggarap;

3) membebaskan pemilik dari pohon;

4) hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan akad sampai

batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir. Tidak disyaratkan untuk

Page 10: Materi bab 7

menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta

ketetapan waktu.

d. Hikmah Musaqah

Memberi kesempatan pada orang lain untuk bekerja dan menikmati hasil kerjanya,

sesuai dengan yang dikerjakan. Sementara itu, pemilik kebun/tanah garapan

memberikan kesempatan kerja dan meringankan kerja bagi dirinya.

2. Muzara'ah

Muzara'ah disyariatkan Islam dengan tujuan memberi kesempatan kepada orang lain,

agar dapat menikmati kekayaan yang ada pada orang lain dengan ketentuan bagi hasil

sesuai dengan kesepakatan antara dua belah pihak.

a. Pengertian dan Dasar Hukum Muzara'ah

Muzara'ah berasal dari bahasa Arab yang berarti menumbuhkan. Secara istilah para

ulama fikih mendefinisikan sebagai berikut.

1) Syekh Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa muzara'ah adalah pekerja mengelola

sawah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik

tanah.

2) Ulama Malikiyah berpendapat muzara'ah adalah bersekutu dalam akad.

3) Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemilik tanah menyerahkan tanahnya

kepada orang lain untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Dari beberapa

definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa muzara'ah adalah pemilik tanah

menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola dengan bagi hasil, yakni

seperdua, sepertiga, atau lebih yang benihnya dari petani. Dasar hukum

diperbolehkannya muzara'ah adalah hadis Nabi yang artinya, “Sesungguhnya

Nabi SAW menyatakan tidak mengharamkan bermuzara'ah, bahkan beliau

menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan

katanya, 'barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau

diberikan'.”

b. Rukun dan Sifat Akad Muzara'ah

Ada perbedaan pendapat mengenai rukun muzara'ah di antara para ulama.

1) Ulama Hanabilah berpendapat rukun muzara'ah yaitu ijab dan kabul. Boleh

dilakukan dengan lafal apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan kabul.

Bahkan muzara'ah sah dilafalkan dengan ijarah.

2) Ulama Hanafiah berpendapat rukun muzara'ah ada empat, yaitu tanah, perbuatan

pekerja, modal, dan alat-alat untuk menanam.

Page 11: Materi bab 7

Setiap muslim yang akan melaksanakan akad muzara'ah, harus mengetahui

syaratsyarat muzara'ah, antara lain sebagai berikut.

1) 'Aqidain, yakni harus berakal;

2) Tanaman, yakni disyaratkan adanya penentuan jenis tanaman apa saja yang

akan ditanam;

3) Perolehan hasil dari tanaman, yaitu:

a)bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (prosentase ketika akad);

b) hasil adalah milik bersama;

c) bagian antara amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama;

d) bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui;

e) tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum.

4) Tanah yang akan ditanami, yaitu tanah tersebut dapat ditanami dan diketahui

batasbatasnya;

5) Waktu, syaratnya adalah:

a) waktunya telah ditentukan,

b) waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti

menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan (tergantung teknologi yang

dipakainya) atau menurut kebiasaan setempat, dan

c) waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut kebiasaan.

6) Alat-alat muzara'ah disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan

kepada pemilik tanah.

c. Hikmah Muzara'ah

Bumi diciptakan untuk kepentingan manusia, maka manusialah yang harus

mengolahnya, menanaminya dengan berbagai jenis tanaman untuk kepentingannya

juga sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya. Maka

sangat penting bagi manusia untuk menuntut ilmu tentang pertanian agar lebih

maksimal mendapatkan manfaat dari bumi yang diolahnya dengan cara bertani.

Muzara'ah menjadikan pemilik tanah dan penggarap tanah bersinergi untuk

sama-sama mendapatkan bagian atas apa yang sudah disumbangkan kedua belah

pihak dengan penuh keikhlasan dan rida atas dasar saling tolong-menolong dan

percaya sehingga saling menguntungkan tidak saling merugikan.

Page 12: Materi bab 7

3. Mukhabarah

Mukhabarah adalah akad yang sama dengan muzara'ah baik dalam dasar hukum,

syarat, dan rukunnya. Keduanya masih sama-sama dalam perdebatan para ulama. Ada

sebagian yang membolehkan dan ada sebagian yang tidak membolehkan. Namun,

dilihat dari manfaat yang diambil dari kedua akad tersebut maka secara syarak boleh

dilakukan sepanjang tidak ada maksud mencari keuntungan untuk diri sendiri dan

mempekerjakan orang lain tanpa diberi upah sedikitpun dari hasil kerjanya.

Perbedaan antara mukhabarah dan muzara'ah terletak dalam hal benih yang akan

ditanam apakah benih menjadi tanggungan pemilik tanah atau menjadi tanggungan

penggarap. Dalam akad muzara'ah, pihak penggarap adalah yang menyediakan benih,

sedangkan pada akad mukhabarah, pemilik tanah adalah pihak yang menyiapkan benih.

Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam akad mukhabarah, antara lain:

a. para akid adalah mereka yang sudah cukup dewasa;

b. usahakan penggarap adalah seagama;

c. tanah garapan betul-betul dapat menghasilkan dan menguntungkan;

d. akad harus jelas, tidak boleh ada keraguan dan kecurangan. Apabila perlu ditulis atau

dicatat untuk menghindari kelupaan, terutama batas waktu akad, jenis benih yang

akan ditanam, berapa bagian masing-masing dari penghasilan, kapan penyerahan

tanah dan benih, dan dibuat perjanjian kerja sama yang saling menguntungkan.

e. kesepakatan penggunaan alat untuk bekerja, memakai alat tradisional atau memakai

alat modern. Hal itu perlu disebutkan karena menyangkut biaya yang dikeluarkan

oleh masingmasing adalah berbeda.

Beberapa hikmah mukhabarah, adalah sebagai berikut.

a. Membuka peluang kerja.

b. Mendidik manusia agar lebih memahami tentang ilmu pertanian dan kerja

profesional.

c. Saling menghargai antara pemilik tanah dan penggarap tanah sangat mulia dan

diridai Allah SWT.

d. Memberi pelajaran agar manusia rajin bekerja.

D. Syirkah

Dalam rangka untuk saling memenuhi kebutuhan hidupnya maka Islam memberi sarana

dengan adanya akad syirkah. Ini penting karena tidak mungkin manusia dapat memenuhi

kebutuhannya sendiri tanpa ada pihak lain.

Page 13: Materi bab 7

1. Pengertian Syirkah

Secara bahasa syirkah artinya percampuran. Dalam hal ini adalah bercampurnya

salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya.

Menurut istilah para fukaha, syirkah adalah kerja sama untuk mendayagunakan

(tasaruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni

keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik

keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasaruf.

Jadi, dapat dipahami bahwa syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih

dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.

Adapun dasar hukumnya adalah sebagai berikut.

a. Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 12

Artinya: “... Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka

bersamasama (bersekutu) dalam bagian yang seperti itu...” (Q.S. An-Nisaa/4 : 12)

b. Sunah Nabi Muhammad SAW

Artinya: Allah taala berfirman, 'Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat

selagi masing- masing dari keduanya tidak mengkhianati yang lain. Jika salah

seorang dari keduanya mengkhianati yang lain, aku keluar dari keduanya'.” (H.R.

Abu Dawud)

2. Macam-Macam Syirkah (Kerja Sama)

Ada dua macam syirkah, yaitu milk dan 'uqud.

a. Syirkah milk

Syirkah milk adalah kerja sama dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa

adanya akad syirkah. Kerja sama ini meliputi dua macam.

1) Syirkah milk ikhtiyar

Adalah kerja sama yang muncul karena adanya kontrak dua orang yang

bersekutu.

Misalnya dua orang yang membeli, memberi, atau berwasiat tentang sesuatu dan

keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang diberi, dan yang diberi wasiat

bersekutu

di antara keduanya, yakni kerja sama milik.

2) Syirkah milk al-jabr

Adalah kerja sama yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan

didasarkan atas perbuatan keduanya (secara paksa). Misal, dua orang mewariskan

sesuatu maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka.

Page 14: Materi bab 7

b. Syirkah 'Uqud

Syirkah 'uqud merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih

bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Syirkah ini mempunyai empat bentuk.

1) Syirkah 'Inan

Adalah persekutuan atau kerja sama antara dua orang dalam harta milik untuk

berdagang secara bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama.

Kerja sama ini boleh dilakukan oleh umat Islam. Modal dan pengolahannya tidak

harus sama. Masing-masing pemodal dapat berbeda, yang satu bisa lebih besar

dari yang lainnya. Begitu juga dalam menikmati hasil bisa berbeda, bisa banyak,

dan bisa sedikit sesuai dengan persetujuan yang mereka buat bersama.

2) Syirkah Mufawadah

Adalah transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki

kesamaan dalam jumlah modal, penentuan keuntungan, pengelolaan, dan agama

yang dianut. Ulama membolehkan kerja sama ini dengan syarat persamaan

modal. Jika tidak sama maka batal.

3) Syirkah Wujuh

Adalah kerja sama dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal,

untuk membeli barang secara tidak kontan (kredit) dan akan menjualnya secara

kontan. Kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi di antara mereka dengan

syarat tertentu. Kerja sama seperti ini menimbulkan perbedaan pendapat. Ada

ulama yang membolehkan, ada yang tidak membolehkan.

a) Pendapat yang tidak membolehkan adalah kalangan dari ulama Malikiyah,

Syafi'iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah. Mereka beralasan bahwa kerja sama ini

sangat rentan terhadap penipuan karena tidak dibatasi oleh pekerjaan tertentu.

b) Pendapat yang membolehkan adalah ulama dari kalangan Hanafiyah,

Hambaliyah, dan Zaidiyah. Mereka beralasan bahwa kerja sama (syirkah wujuh)

telah mengandung unsur adanya perwakilan dari seorang kepada partnernya

dalam

penjualan dan pembelian.

4) Syirkah Abdan

Adalah kerja sama dua orang atau lebih untuk menerima suatu pekerjaan yang

akan dikerjakan secara bersama-sama. Kemudian, keuntungan dibagi antara

keduanya dengan menetapkan persyaratan tertentu. Contoh: kerja sama dua orang

penjahit dan tukang besi.

Page 15: Materi bab 7

3. Syarat dan Rukun Syirkah

Menurut Hanafiyah, syarat-syarat syirkah ada empat, sebagai berikut.

a. Segala yang berkaitan dengan bentuk syirkah, baik dengan harta atau yang lain. Ada

dua syarat di dalamnya, yaitu:

1) yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima

sebagai perwalian;

2) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan

dapat diketahui dua pihak, misalnya, setengah dan sepertiga.

b. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), terdapat dua perkara yang harus

dipenuhi.

1) Modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah uang (alat pembayaran).

2) Yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik

jumlahnyasama maupun berbeda.

c. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadah, disyaratkan sebagai berikut.

1) Modal harus sama;

2) Bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah (jaminan);

3) Bagi yang dijadikan objek akad disyariatkan syirkah umum, yakni pada semua

jenis jual beli atau perdagangan.

d. Syarat yang bertalian dengan syirkah 'inan sama dengan syarat-syarat syirkah

mufawadah.

Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad

adalah merdeka, balig, dan pandai. Rukun syirkah menurut ulama Hanafiyah ada dua,

yaitu ijab dan kabul.

4. Hikmah Syirkah

Hikmah syirkah adalah sebagai berikut.

a. Menggalang kerja sama untuk saling menguntungkan antara pihak-pihak yang

bersyirkah;

b Membantu meluaskan ruang rezeki karena tidak merugikan secara ekonomi.

E. Murabahah, Mudharabah, dan Salam

1. Murabahah

Akar kata dari murabahah adalah 'ribh' yang artinya profit atau laba. Transaksi al-

murabahah adalah transaksi jual beli dengan harga pokok yang ditambah dengan

keuntungan (laba) di mana harga pokok dan laba dari pihak penjual diketahui oleh pihak

pembelinya.

Page 16: Materi bab 7

a. Praktik transaksi murabahah pada bank syariah.

Nasabah berjanji akan membeli komoditi dari bank syariah dengan menggunakan akad

wa'ad (janji). Lalu bank mewakilkan pembelian komoditi tersebut kepada nasabah

menggunakan akad wakalah. Dengan akad wakalah itu, nasabah pergi ke

supplier/dealer/developer untuk membeli komoditi atas nama bank. Setelah bank

mendapatkan barang yang dibelinya lewat nasabah, lalu bank menjualnya kembali

kepada nasabah dengan menggunakan akad murabahah.

b. Hal-hal yang dilarang dalam transaksi perbankan syariah yang menggunakan akad

almurabahah

1) Transaksi bay al-murabahah hanya diperbolehkan untuk transaksi jual beli barang

atau komoditi tidak untuk penambahan modal atau digunakan untuk modal kerja.

Untuk modal kerja bisa menggunakan akad lain seperti mudharabah (bagi hasil) dan

musyarakah (kemitraan, bagi hasil, dan bagi rugi), bukan akad murabahah.

2) Nasabah menggunakan dana pinjaman dari bank dengan akad murabahah untuk di

gunakan pada keperluannya yang lain, bukan untuk membeli komoditi dari bank.

Padahal jelas sekali akad bay al-murabahah adalah akad jual beli di mana bank

syariah bertindak sebagai pihak penjual.

3) Bank menjual komoditi kepada nasabah sebelum bank memiliki komoditi tersebut.

Hal ini tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah di mana bank sebagai pihak

penjual harus sudah memiliki barang yang hendak dijualnya kepada pihak pembeli.

4) Bank dan nasabah melakukan perjanjian akad murabahah pada saat nasabah sudah

membeli komoditi dari pihak lain. Seharusnya nasabah membeli komoditi dari bank

pada saat akad berlangsung. Bukannya membeli barang pada pihak lain dan

mendapatkan pinjaman pembayarannya dari pihak bank. Dalam hal ini transaksinya

sama dengan memberi pinjaman dengan imbalan bunga (riba) pada Bank

Konvensional.

5) Murabahah tidak boleh di roll-over, karena prinsip murabahah adalah jual beli,

bukan pinjaman berbasis bunga.

6) Nasabah tidak boleh dikenakan sanksi untuk late or default payment, karena sekali

lagi transaksi murabahah adalah prinsip syariah berdasarkan jual beli, bukan

pinjaman dengan imbalan bunga. Kalau memang nasabahnya dengan sengaja

memanfaatkan kondisi seperti ini, maka bank syariah dapat mengenakan sanksi

berupa denda atas keterlambatan pembayaran kepada nasabah, dan harus

menyalurkan pendapatan dari pembayaran denda tersebut kepada Badan Zakat.

Page 17: Materi bab 7

7) Pemberlakuan praktik da wa ta'ajjal,

Atau pemberian diskon pada nasabah yang rajin membayar cicilannya sebelum jatuh

tempo. Sebagian besar ulama melarang praktik ini kalau diskon tersebut dikaitkan

dengan waktu pembayaran yang dipercepat, dengan alasan ada indikasi riba, di mana

riba terjadi ketika satu pihak diuntungkan dan pihak yang lain di rugikan. Namun,

sebagian dari ulama klasik mengizinkan praktik ini, tetapi kebanyakan dari para

ulama juga menolak 'da wa ta'ajjal' ini diterapkan termasuk para ulama-ulama dari

pengikut golongan empat mazhab, yaitu: Maliki, Hanafi, Safi'i dan Hambali.

2. Mudarabah

Mudarabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik

modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib)

dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi

seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.

Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam

manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati

dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan

penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan shahibul maal diharapkan untuk

mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.

a. Tipe Mudarabah

1) Mudarabah mutlaqah, di mana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh

kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha

yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung

jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha

normal yang sehat (uruf).

2) Mudarabah muqayyadah, di mana pemilik dana menentukan syarat dan

pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka

waktu, tempat, jenis usaha, dan sebagainya.

b. Keistimewaan Mudarabah

1) Berdasarkan prinsip bagi hasil dan bagi risiko.

a) Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

b) Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak

memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.

2) Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari.

Page 18: Materi bab 7

3. Salam

a. Pengertian Salam

As-Salam dinamai juga As-Salaf ialah suatu akad jual beli antara dua orang

atau lebih, dan barang yang akan dijual belum ada wujudnya tetapi ciri-ciri atau

kriterianya, baik kualitas dan kuantitasnya, besar dan kecilnya, timbangannya, dan

lain sebagainya telah disepakati. Sedangkan pembayarannya dilakukan pada saat

terjadi transaksi. Seperti A memesan sebuah almari pakaian kepada B, dengan

ukuran, kualitas kayu, warna cat telah ditentukan B menerima pesanan A dengan

harga tertentu dan pembayarannya dilakukan oleh A secara kontan pada saat

terjadinya transaksi.

Dengan demikian, salam merupakan jual beli pesanan dari calon pembeli

dengan pembayaran kontan dan hutang bagi calon penjual, karena barangnya baru

berupa pesanan dan akan diserahkan sesuai dengan kesepakatan kedua pihak. Dalam

sebuah hadis Rasulullah SAW, bersabda:

Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata: Nabi SAW tiba di Madinah dan orang-

orang (Madinah) meminjamkan buah-buahan satu tahun dan dua tahun, maka

beliau bersabda: “Bagi siapa yang meminjamkan (mengutangkan) buah-buahan,

maka hendaklah ia mengutangkan dengan takaran dan timbangan yang jelas dan

sampai batas waktu yang jelas.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas oleh para ulama dijadikan dasar kebolehan jual beli salam.

b. Rukun dan Syarat Salam

1) Rukun Salam

a) penjual (muslam ‘alaih)

b) pembeli (muslam atau rabbus salam)

c) barang (muslam fih) dan harga atau modal (ra’sul mal)

d) sigat (akad)

2) Syarat-Syarat Salam

a) Uang hendaknya dibayar pada saat terjadi transaksi atau di majlis akad, berarti

pembayaran dilakukan terlebih dahulu.

b) Barang menjadi utang atau tanggungan penjual dan diberikan kepada pembeli

sesuai dengan kesepakatan, baik mengenai waktunya maupun tempatnya.

c) Barang itu hendaknya jelas kriterianya, baik ukuran, kualitas, jenis, timbangan

dan lain sebagainya sesuai dengan jenis barang yang dijual. Dengan kriteria tersebut

dapat dibedakan antara satu barang dengan barang lain, sehingga tidak terdapat

Page 19: Materi bab 7

keraguan yang dapat menyebabkan perselisihan antara keduanya (penjual dan

pembeli).

c. Hukum Jual Beli Salam

Para ulama sepakat bahwa jual beli salam hukumnya boleh selama rukun dan

syaratnya terpenuhi dan tidak terjadi garar (penipuan). Dasar hukum yang dijadikan

pegangan selain nas seperti telah disebutkan di atas adalah bahwa jual beli salam

mengandung unsur-unsur kemaslahatan dan hikmah yang dibutuhkan oleh manusia.

d. Hikmah Salam

Di antara hikmah jual beli salam ialah seperti berikut ini.

1) Terpenuhinya kebutuhan. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan kemampuan

yang berbeda dengan orang lain. Ada di antara mereka, misalnya A mempunyai

cukup uang tetapi tidak memiliki barang yang dia perlukan. Sementara ada orang

lain, misalnya B memiliki kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan A namun tidak

mempunyai modal untuk mewujudkannya. Dalam keadaan seperti ini, A bisa

memesan barang yang ia perlukan dengan terlebih dahulu membayar harga pesanan

sesuai dengan kesepakatan, dan B, dengan modal yang ia terima bisa bekerja untuk

memenuhi permintaan A. Dengan demikian, kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.

2) Adanya asas tolong-menolong. Dengan terpenuhinya kebutuhan masing-masing

seperti digambarkan di atas, berarti A telah menolong B sehingga dia bekerja dan

memanfaatkan keahliannya, B telah menolong A karena dia dapat memenuhi

kebutuhan A. Asas tolongmenolong ini merupakan ciri manusia sebagai makhluk

sosial dan sangat dianjurkan oleh agama.