masuk hindu-budha diindonesia
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
A. Sejarah Perkembangan Agama Hindu Budha di Indonesia
Agama yang pertama masuk di Indonesia adalah hindu dan budha. Sejarah
Perkembangan Agama Hindu Budha di Indonesia sangat menarik untuk di pelajari.
banyak kebudayaan pada masa tersebut yang sampai sekarang masih ada dan masih
sering kita lihat. Indonesia juga mencapai puncak kejayaan masa-masa tersebut, mulai
dari kerajaan sriwijaya, kerajaan majapahit, dan lain-lain. maka jika kita mempelajari
kebudayaan hindu-budha mungkin tak cukup 1 tahun. kebudayaan dan sangat
menarik, sangat berkesan, dan sangat berbudaya.
Sistem Kepercayaan
Dalam agama Budha terutama dalam system Mahayana menurut system wagniadatu
menyebutkan dewa tertinggi adalah Adibudha dan tidak dapat digambarkan karena
tidak berbentuk.
Sidharta Gautama
Pendiri agama Budha adalah Sidharta Gautama yaitu seorang anak raja yang
mendapat penerangan batin atau enliptenmen. Dia mengantakan bahwa dunia yang
kita lihat adalah maya dan manusia adalah tidak berpengetahuan. Kehidupan manusia
mengalami sansana atau hidup kembali sebagai manusia atau binatang.
Ganesha
Ganesha adalah anak Siwa dengan Arwati. Dengan digambarkan berkepala gajah dan
bertangan empat, pada dahinya juga terdapat mata ketiga. Dan pada setiap tangannya
terdapat benda yang berbeda yaitu :
a) Tangan kanan bawah memegang patahan gadingnya
b) Tangan kanan atas memegang tasbih
c) Tangan kiri atas memegang Kapak
d)Tangan kiri bawah memegang mangkuk yang berisi manisan
Dewa Siwa
Pada halaman tengah terdapat lima ekor kerbau, yaitu empat ekor kerbau kecil, dan
satu ekor kerbau besar yang merupakan kendaraan dari dewa Siwa yang
kesemuaannya terbuat dari patung.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangannya
1. Awal Perkembangan Agama Hindu
Agama Hindu berasal dari India. Untuk mengetahui sejarah perkembangannya
haruslah juga dipelajari sejarah perkembangan India meliputi aspek perkembangan
penduduk maupun aspek kebudayaannya dari jaman ke jaman. Berdasarkan
penelitian usia kitab- kitab Weda, para ahli sampai pada suatu kesimpulan bahwa
agama Hindu telah tumbuh dan berkembang pada sekitar 6.000 tahun sebelum
tahun Masehi. Sebagai agama tertua, agama Hindu kemudian berkembang ke
berbagai wilayah dunia, termasuk Asia Tenggara dan Indonesia.
2. Penduduk India
Penduduk asli yang mendiami India sekarang bermukim di daerah dataran tinggi
Dekkan. Kehidupannya masih sangat sederhana. Bangsa Dravida berasal dari
daerah Asia Tengah (Baltic) masuk ke India dan mendiami daerah sepanjang sungai
Sindhu yang subur. Kebudayaan mereka lebih tinggi dari penduduk asli. Bangsa
Arya juga berasal dari daerah sekitar Asia Tengah, menyebar memasuki daerah-
daerah Iran (Persia), Mesopotamia, dan juga masuk ke daerah Eropa. Yang sampai
masuk ke India adalah merupakan bagian dari yang pernah masuk ke Iran. Mereka
masuk ke India dalam dua tahap di dua tempat yang berbeda. Pertama mereka
masuk di daerah Punjab yaitu daerah lima aliran anak sungai yang disambut dengan
peperangan oleh bangsa Dravida yang sudah lebih dulu bermukim di sana. Karena
bangsa Arya lebih maju dan lebih kuat, Bangsa Dravida dapat dikalahkan. Tahap
kedua Bangsa Arya masuk ke India melalui daerah dua aliran sungai yaitu lembah
sungai Gangga dan lembah sungai Yamuna, daerah ini dikenal dengan nama daerah
Doab. Kedatangan mereka tidak disambut peperangan, bahkan kemudian terjadi
percampuran melalui perkawinan. Bangsa- bangsa inilah yang menjadi nenek
moyang bangsa India sekarang.
3. Jaman Weda
Telah diketahui bahwa bangsa yang datang kemudian di India adalah bangsa Arya
yang mendiami dua tempat yaitu di Punjab dan Doab. Di kedua daerah tersebut
mereka berkembang dan mengembangkan peradabannya. Dikatakan bahwa orang-
orang Aryalah yang menerima wahyu Weda. Wahyu- wahyu Weda ini tidak turun
sekaligus, melainkan dalam jangka waktu yang agak lama, dan juga tidak
diwahyukan di satu tempat saja. Penerima wahyu disebut Maha Resi, diterima
melalui pendengaran, dan oleh sebab itu wahyu Weda disebut Sruti (sru=
pendengaran). Kurun waktu turunnya wahyu- wahyu Weda itulah yang disebut
jaman Weda dan ajaran Weda inilah yang kemudian tersebar ke berbagai penjuru
dunia.
4. Penyebaran Agama Hindu
Dalam suatu penggalian di Mesir ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui
berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan
Hittites. Dalam perjanjian ini "Maitra Waruna" yaitu gelar manifestasi Sang Hyang
Widhi Wasa menurut agama Hindu yang disebut- sebut dalam Weda dianggap
sebagai saksi. Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian
Geologi adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta
Sagara artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara.
Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman dahulu
berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari India.
Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang
bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di daerah itu
didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan agama Hindu.
Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang- orang Astika (Aztec),
yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda. Kata Astika ini adalah
istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan "Aztec" yaitu nama penduduk
asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang ini.
Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat
matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini disebut
Inca. Kata "Inca" berasal dari kata "Ina" dalam bahasa Sanskerta yang berarti
"matahari" dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya.Uraian tentang
Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah satu Smrti Hindu
menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi Kapila. Putra- putra
raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika di balik India)
dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha Resi Kapila yang sedang bertapa di
hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan membakar semua putra- putra raja
Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian Patala loka adalah negeri di balik India
yaitu Amerika. Sedangkan nama Kapila Aranya dihubungkan dengan nama
California dan di sana terdapat taman gunung abu (Ash Mountain Park). Di
lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang
dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari-
penarinya dengan memakai tanda "Tri Kuta" atau tanda mata ketiga pada dahinya.
Tanda- tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan bahwa di negeri itu telah
mengenal kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu.
5. Agama Hindu di Indonesia
Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa
oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal
dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir dari Tiongkok
yakni Musafir Budha Pahyien. Kedua tokoh besar ini mengadakan perjalanan
keliling Nusantara menyebarkan Dharma. Bukti- bukti peninggalan ini sangat
banyak berupa sisa- sisa kerajaan Hindu seperti Kerajaan Tarumanegara dengan
rajanya Purnawarman di Jawa Barat.
Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman di Kalimantan Timur, Kerajaan
Mataram Hindu di Jawa Tengah dengan rajanya Sanjaya, Kerajaan Singosari
dengan rajanya Kertanegara dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, begitu juga
kerajaan Watu Renggong di Bali, Kerajaan Udayana, dan masih banyak lagi
peninggalan Hindu tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Raja- raja Hindu ini
dengan para alim ulamanya sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan agama,
seni dan budaya, serta kesusasteraan pada masa itu.
Sebagai contoh candi- candi yang bertebaran di Jawa di antaranya Candi
Prambanan, Borobudur, Penataran, dan lain- lain, pura- pura di Bali dan Lombok,
Yupa- yupa di Kalimantan, maupun arca- arca dan prasasti yang ditemukan hampir
di seluruh Nusantara ini adalah bukti- bukti nyata sampai saat ini. Kesusasteraan
Ramayana, Mahabarata, Arjuna Wiwaha, Sutasoma (karangan Empu Tantular yang
di dalamnya terdapat sloka "Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa")
adalah merupakan warisan- warisan yang sangat luhur bagi umat selanjutnya.
Agama adalah sangat menentukan corak kehidupan masyarakat waktu itu maupun
sistem pemerintahan yang berlaku; hal ini dapat dilihat pada sekelumit
perkembangan kerajaan Majapahit.Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan
Majapahit menerapkan sistem keagamaan secara dominan yang mewarnai
kehidupan masyarakatnya. Sewaktu meninggal, oleh pewarisnya dibuatkan
pedharman atau dicandikan pada candi Sumber Jati di Blitar Selatan sebagai
Bhatara Siwa dan yang kedua didharmakan atau dicandikan pada candi Antapura di
daerah Mojokerto sebagai Amoga Sidhi (Budha). Raja Jayanegara sebagai Raja
Majapahit kedua setelah meninggal didharmakan atau dicandikan di Sila Petak
sebagai Bhatara Wisnu sedangkan di Candi Sukalila sebagai Buddha.
Maha Patih Gajah Mada adalah seorang Patih Majapahit sewaktu pemerintahan Tri
Buana Tungga Dewi dan Hayam Wuruk. Ia adalah seorang patih yang sangat tekun
dan bijaksana dalam menegakkan dharma, sehingga hal ini sangat berpengaruh
dalam pemerintahan Sri Baginda. Semenjak itu raja Gayatri memerintahkan kepada
putranya Hayam Wuruk supaya benar- benar melaksanakan upacara Sradha.
Adapun upacara Sradha pada waktu itu yang paling terkenal adalah mendharmakan
atau mencandikan para leluhur atau raja- raja yang telah meninggal dunia (amoring
Acintya). Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma yang
harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya
sampai seribu hari dan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih
berjalan yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya disebut
Nyadran.
Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta seni
sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai pimpinan memperlakukan sama
terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan
pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh
rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang
diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur
ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih
tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat yang
meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca
Sradhanya. Kendatipun agama Hindu sudah masuk di Indonesia pada permulaan
Tarikh Masehi dan berkembang dari pulau ke pulau namun pulau Bali baru
mendapat perhatian mulai abad ke-8 oleh pendeta- pendeta Hindu di antaranya
adalah Empu Markandeya yang berAsrama di wilayah Gunung Raung daerah
Basuki Jawa Timur. Beliaulah yang memimpin ekspedisi pertama ke pulau Bali
sebagai penyebar agama Hindu dengan membawa pengikut sebanyak ± 400 orang.
Ekspedisi pertama ini mengalami kegagalan.
Setelah persiapan matang ekspedisi kedua dilaksanakan dengan pengikut ± 2.000
orang dan akhirnya ekspedisi ini sukses dengan gemilang. Adapun hutan yang
pertama dibuka adalah Taro di wilayah Payangan Gianyar dan beliau mendirikan
sebuah pura tempat pemujaan di desa Taro. Pura ini diberi nama Pura Murwa yang
berarti permulaan. Dari daerah ini beliau mengembangkan wilayah menuju pangkal
gunung Agung di wilayah Besakih sekarang, dan menemukan mata air yang diberi
nama Sindhya. Begitulah permulaan pemujaan Pura Besakih yang mula- mula
disebut Pura Basuki.Dari sini beliau menyusuri wilayah makin ke timur sampai di
Gunung Sraya wilayah Kabupaten Karangasem, selanjutnya beliau mendirikan
tempat suci di sebuah Gunung Lempuyang dengan nama Pura Silawanayangsari,
akhirnya beliau bermukim mengadakan Pasraman di wilayah Lempuyang dan oleh
pengikutnya beliau diberi gelar Bhatara Geni Jaya Sakti. Ini adalah sebagai tonggak
perkembangan agama Hindu di pulau Bali.Berdasarkan prasasti di Bukit Kintamani
tahun 802 Saka (880 Masehi) dan prasasti Blanjong di desa Sanur tahun 836 Saka
(914 Masehi) daerah Bali diperintah oleh raja- raja Warmadewa sebagai raja
pertama bernama Kesariwarmadewa. Letak kerajaannya di daerah Pejeng dan
ibukotanya bernama Singamandawa. Raja- raja berikutnya kurang terkenal, baru
setelah raja keenam yang bernama Dharma Udayana dengan permaisurinya
Mahendradata dari Jawa Timur dan didampingi oleh Pendeta Kerajaan Empu
Kuturan yang juga menjabat sebagai Mahapatih maka kerajaan ini sangat terkenal,
baik dalam hubungan politik, pemerintahan, agama, kebudayaan, sastra, dan irigasi
semua dibangun. Mulai saat inilah dibangun Pura Kahyangan Tiga (Desa, Dalem,
Puseh), Sad Kahyangan yaitu Pura Lempuyang, Besakih, Bukit Pangelengan,
Uluwatu, Batukaru, Gua Lawah, Sistem irigasi yang terkenal dengan Subak, sistem
kemasyarakatan, Sanggar/ Merajan, Kamulan/Kawitan dikembangkan dengan
sangat baik.
Sewaktu kerajaan Majapahit runtuh keadaan di Bali sangat tenang karena tidak ada
pergolakan agama. Pada saat itulah datang seorang Empu dari Jawa yang bernama
Empu Dwijendra dengan pengikutnya yang mengembangkan dan membawa
pembaharuan agama Hindu di Bali. Dewasa ini, terutama sejak jaman Orde Baru,
perkembangan Agama Hindu makin maju dan mulai mendapat perhatian serta
pembinaan yang lebih teratur.
B. Penyebaran Budaya Hindu-Buddha di Indonesia
Budaya Indonesia tumbuh lewat lintasan sejarah yang panjang. Jika budaya diartikan
sebagai tata keyakinan, pemikiran, perilaku ataupun produk yang dihasilkan secara
bersama, maka budaya Indonesia dapat dikatakan mengalami relativitas. Artinya,
budaya yang kini berkembang di Indonesia merupakan hasil percampuran dari aneka
budaya berbeda. Hasil dari percampuran tersebut hingga kini masih berada dalam
keadaan berubah secara konstan. Terdapat gelombang-gelombang pengaruh “luar”
yang turut membentuk karakter budaya Indonesia.
Namun, pembentukan budaya oleh pengaruh “luar” bukannya hendak menganggap
Indonesia “asli” tidak punya budaya spesifik. Misalnya, dalam tata keyakinan
sesungguhnya “orang Indonesia” telah mengenal keesaan Tuhan. Meski dalam bentuk
yang masih “proto” (tua), tokoh wayang Semar (asal katanya "samar") sesungguhnya
telah beredar dalam tata keyakinan orang Indonesia lokal (terutama di Jawa) sebelum
datangnya pengaruh Hindu-Buddha. Semar digambarkan meliputi seluruh sifat dan
ciri yang tidak dimiliki makhluk biasa. Tokoh ini bukan perempuan juga bukan laki-
laki. Tidak senyum atau cemberut. Tokoh Semar merupakan upaya orang “asli”
Indonesia mencari keberadaan Tuhan yang tunggal, dan hendak diterapkan dalam
kredo keagamaan mereka. Kitab-kitab narasumber pewayangan dari India (semisal
Mahabaratha atau Baratayudha) tidak mengenal tokoh Semar ini.
Tulisan ini tiada bertujuan melakukan penelusuran atas dimensi prasejarah Indonesia
sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Buddha. Tulisan ini sekadar berupaya memberi
gambaran tentang pembentukan budaya Indonesia pasca datangnya pengaruh “luar”
yang turut membentuk karakter budaya Indonesia. Percampuran oleh yang “baru”
terhadap yang “lama” dari budaya yang ada merupakan titik pusat perhatian tulisan.
Datangnya Budaya “Luar”
Perlu ditegaskan terlebih dulu, pengertian budaya yang digunakan pada tulisan ini
mengacu pada pendapat Kathy S. Stolley. Menurutnya, budaya terbangun dari seluruh
gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara
bersama, dan menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang
dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi.
Selain itu, budaya juga dapat dibedakan menurut komponen material dan nonmaterial
yang menyusunnya. Komponen material misalnya makanan, teknologi, pakaian,
rumah, dan sejenisnya. Sementara komponen nonmaterial termasuk bahasa, nilai,
keyakinan, tata perilaku, dan sejenisnya.
Budaya tidak statis melainkan dinamis. Budaya baru, apapun itu, tatkala memasuki
suatu ranah budaya lain akan mengalami proses percampuran. Pasca percampuran
tersebut, muncul suatu budaya jenis “baru” yang khas. Ia sulit disamakan begitu saja
dengan yang “lama” atau “baru.” Proses percampuran budaya ini dinamakan
sinkretisasi. Demikian pula budaya Hindu dan Buddha ini, selain mempertahankan
wujud-wujud aslinya, juga menampakkan pengaruh budaya “asli” Indonesia.
C. Kerajaan – kerajaan bercorak hindu-budha
1. Kerajaan Kutai
Kerajaan Hindu pertama di Indonesia. Terletak di Tepi Sungai Mahakam, Kalimantan
Timur. Di Kutai ditemukan prasasti berupa "yupa" yaitu tugu batu yang digunakan
dalam upacara kurban. Yupa ini bertuliskan huruf Pallawa dan Bahasa Sankserta,
diperkirakan berasal dari tahun 400 M. Dalam Yupa diterangkan mengenai silsilah
raja-raja Kutai. Raja Kutai yang pertama adalah Kudungga(nama ini diperkirakan asli
orang Indonesia). Kudungga mempunyai putra yang bernama Aswawarman, nama ini
diperkirakan berasal dari India sehingga Aswawarman dianggap sebagai
"wangsakarta" atau pembentuk keluarga/dinasti. Selain itu ia juga dijuluki "Ansuman"
atau dewa matahari. Aswawarman mempunyai putra bernama Mulawarman.
Mulawarman adalah raja yang terbesar/terkenal di Kutai.
2. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Hindu ini terletak di dekat sungai Citarum, Jawa Barat. Kerajaan ini di
perkirakan berdiri tahun 450 M. Raja yang paling terkenal adalah Purnawarman. Ia
adalah raja yang sangat baik terhadap rakyat, hal ini dibuktikan dengan pembuatan
irigasi atau sungai untuk mengairi sawah dan mencegah banjir, sungai ini diberi nama
sungai "Gomati". Prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara antara lain
Prasasti Tugu, Munjul, Kebon Kopi, Pasir Awi, Jambu,Ciaruteun, dan Muara Cianten.
3. Kerajaan Kaling
Keterangan mengenai kerajaan ini diperoleh dari prasasti Tuk mas. Berdasarkan
prasasti ini diperkirakan Kerajaan Kaling berada di sekitar Purwodadi dan Blora. Raja
yang terkenal adalah Ratu Sima. Ia dikenal sebagai Ratu yang tegas, jujur, dan
bijaksana.
4. kerajaan Sriwijaya
Keterangan mengenai kerajaan sriwijaya diperoleh dari berita perjalanan I-Tsing,
seorang pendeta Budha dari Cina. Sriwijaya merupakan kerajaan Budha yang berada
di Sumatra Selatan. Selain dari I-Tsing, keterangan mengenai Sriwijaya juga
diperoleh dari Prasasti-prasasti antara lain : Prasasti kedukan bukit yang berisi tentang
perjalanan suci Sang Dapunta Hyang, Prasasti Kota Kapur yang berisi permintaan
kepada para dewa untuk menjaga kesatuan Sriwijaya, Prasasti Telaga Batu yang berisi
kutukan terhadap mereka yang berbuat kejahatan, prasasti Talang tuo dan prasasti
Karang Berahi. Raja yang pernah berkuasa adalah Sri Jayanaga, Balaputradewa (raja
yang paling terkenal), dan Sri Sanggramawijayatunggawarman. Kerajaan Sriwijaya
runtuh akibat serangan Raja Colamanda dari India dan Ekspedisi Pamalayu dari
Singosari.
5. Kerajaan Mataram Kuno
Keterangan mengenai kerajaan ini diperoleh berdasarkan prasasti Gunung Wukir,
Magelang. Kerajaan ini diperintah oleh Raja Sanjaya dan Raja Sanna (Sanjaya adalah
keponakan Sanna. Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Sanjaya
(yang menganut agama Hindu ) dan raja-raja dari Dinasti Syailendra (yang menganut
Agama Budha). Setelah Raja Sanjaya meninggal, Mataram diperintah oleh Rakai
Panangkaran. Setelah Panangkaran yang berkuasa adalah Samaratungga, pada masa
kekuasaan Samaratungga dibangun Candi Borobudur. Pengganti Samaratungga
adalah menantunya yaitu Rakai Pikatan (suami dari Pramodhawardani). Kerajaan
Mataram mencapai Puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Raja Balitung.Pada
tahun 929 M, pusat kerajaan Mataram dipindahkan ke Watugaluh (JawaTimur) oleh
Empu Sindok. Hal ini dilakukan untuk menghindari ancaman bahaya letusan gunung
berapi. Pengganti Empu Sindok adalah Dharmawangsa. Ketika kepemimpinannya
terjadi peristiwa "Pralaya Medang" yaitu penyerbuan Mataram oleh Wura Wari
(bawahan Darmawangsa yang dihasut oleh Sriwijaya). Pengganti Dharmawangsa
sekaligus raja terakhir Mataram adalah Airlangga. Airlangga adalah menantu
Dharmawangsa. Berakhirnya kerajaan mataram karena Airlangga membagi kerajaan
menjadi dua untuk menghindari perebutan kekuasaan antara putra Darmawangsa dan
putra Airlangga, Mapanji Garasakan. Mataram dibagi menjadi dua yaitu Jenggala atau
singosari yang beribu kota di kahuripan dan Panjalu atau Kediri yang beribu kota di
Daha.
6. Kerajaan Singasari
Pusat Kerajaan Singosari terletak di Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh
Ken Arok, setelah berhasil membunuh Bupati tumapel Tunggul Ametung. Ken Arok
menjadi raja pertama Singasari dan berhasil memperistri Ken Dedes, istri Tunggul
Ametung. Ken Arok bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Pada tahun
1227 Ken Arok dibunuh oleh Anusapati (anak dari Tunggul Ametung). Pemerintahan
Anusapati tidak berjalan lama karena ia dibunuh oleh Tohjaya (anak dari Ken Arok).
Tidak lama kemudian Ranggawuni (anak dari Anusapati menuntut kekuasaan dari
Tohjaya, tetapi Tohjaya menolak dan mengirimkan pasukan melawan Ranggawuni,
dalam pertempuran tersebut Tohjaya melarikan diri dan akhirnya meninggal di daerah
Katang Lumbung. Ranggawuni naik tahta dengan gelar Sri Jaya Wisnu Wardana.
Setelah meninggal ia digantikan putranya yaitu Kertanegara. Keruntuhan kerajaan
Singasari adalah karena mendapat serangan Jayakatwang dari Kediri.
7. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit berada di sekitar Delta sungai Brantas, Mojokerto. Raja
Majapahit yang pertama adalah Raden Wijaya dengan gelar Kertarajasa
Jayawardhana. Setelah Raden Wijaya meninggal, Majapahit diperintah oleh
Jayanegara.Dalam masa pemerintahannya timbul beberapa pemberontakan antara
lain, pemberontakan Nambi, Semi, Ranggalawe, Lembu Sora dan Kuti.
Pemberontakan Kuti adalah yang dianggap paling berbahaya karena berhasil
menduduki ibukota Majapahit dan Jayanegara terpaksa mengungsi ke daerah
Badander. Akhirnya pemberontakan Kuti berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada, dan
berkat jasanya ia di angkat menjadi patih Kahuripan. Pengganti Jayanegara adalah
Tribuwanatunggadewi. Ketika pemerintahannya timbul pemberontakan Sadeng,
pemberontakan ini juga berhasil ditumpas oleh Gajah Mada sehingga ia di angkat
menjadi Mahapatih Majapahit. Pada waktu pelantikan ia mengucapkan sumpah yang
dikenal dengan "Sumpah Palapa". Isi sumpahnya adalah tidak akan merasakan palapa
(istirahat) sebelum menyatukan nusantara di bawah Majapahit. Setelah
Tribuwanatunggadewi meninggal ia digantikan putranya yaitu Hayam Wuruk.
Majapahit mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di
dampingi mahapatih Gadjah Mada. Keruntuhan Majapahit antara lain akibat tidak ada
tokoh yang cakap dan berwibawa sesudah wafatnya Hayam Wuruk dan Gajah Mada,
Terjadi Perang paregrek (perang saudara) antara Bhre Wirabumi dan
Wikramawardhana, Banyak negeri bawahan Majapahit yang berusaha melepaskan
diri, dan Berkembangnya agama Islam di pesisir Pantai Utara Jawa.
D. Pengaruh Budaya Hindu-Buddha di Indonesia
Penggunaan istilah “pengaruh Hindu-Buddha” pun kiranya kurang tepat. Istilah ini
sesungguhnya hendak memberikan gambaran beberapa pengaruh yang diberikan
orang-orang India atau Cina yang datang dan melakukan kontak dengan penduduk
kepulauan Indonesia. Kebetulan, orang-orang India dan Cina yang melakukan kontak-
kontak tersebut mayoritas beragama Hindu dan Buddha. Di masa-masa awal ini,
Islam belumlah lagi berdiri selaku sebuah agama secara formal.
Tulisan ini pun sengaja tidak bercorak historiografis yang ketat pada dimensi
kronologis suatu peristiwa. Tulisan ini lebih condong pada identifikasi sejumlah
komponen material dan nonmaterial budaya yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha.
Komponen-komponen tersebut selain punya bentuk asli juga punya dimensi sinkretis
hasil percampurannya dengan kebudayaan yang berkembang di Indonesia
sebelumnya.
Pengaruh Hindu-Buddha bukan pada tataran agama belaka. Pengaruh tersebut
meliputi baik bahasa, bangunan, teknologi, aksara, politik, ataupun sistem sosial.
Kendati sekurangnya telah teridentifikasi pengaruh awalnya sejak tahun 400-an
Masehi, pengaruh Hindu-Buddha tetap dapat diidentifikasi di kehidupan Indonesia
kontemporer saat ini. Jill Forshee bahkan mencatat, sejak abad pertama Masehi telah
tercatat kontak-kontak antara masyarakat asli Indonesia dengan India juga Cina.
Kontak ini terutama melalui jalur hubungan laut.
Budaya Indonesia asli seperti “desa” yang egaliter perlahan berubah dengan
masuknya konsep kenegaraan India Selatan yang hirarkis. Raja mulai dianggap
sebagai turunan dewa. Namun, pengaruh hirarkis ini juga tidak dapat dipukul rata. Ia
terutama diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan Indonesia yang ada di pedalaman dan
mengandalkan pertanian dan penggunaan irigasi sebagai basis ekonominya.
Masyarakat atau kerajaan di pesisir pantai tidak terlampau terpengaruh oleh sistem
India Selatan ini. Di masa mendatang, wilayah-wilayah pesisiran kerap melakukan
pembangkangan politik atas kuasa sentral di pedalaman. Misalnya, pemberontakan
Pati (pesisir Utara) di bawah pimpinan Adipati Pragola terhadap Sultan Agung
Hanyakrakusuma di Yogyakarta (pedalaman-sentral)
Negara pesisir lain semisal Sriwijaya juga biasanya mengandalkan perdagangan
sebagai basis ekonominya. Dalam Negara yang demikian, tidak diperlukan wilayah
pertanian, petani yang banyak, sistem komando yang tersentralistik, serta pedalaman
yang luas oleh sebab barang produksi dapat diperoleh lewat interaksi pertukaran.
Hubungan lebih berada dalam suasana egalitarian. Ini mungkin menjadi sebab
Sriwijaya pun lebih terpengaruh oleh Buddha ketimbang Hindu.
Sebaliknya, di Jawa lebih berkembang pengaruh Hindu. Ini akibat basis ekonomi
Jawa yang kental nuansa pertaniannya. Contoh dari ini adalah kerajaan Majapahit,
Kediri, Singasari, juga Mataram Kuno. Mereka adalah Negara-negara agraris.
Letaknya di daerah-daerah subur lembah sungai, gunung berapi, dan rakyatnya hidup
dari bercocok tanam. Akibat surplus beras, mulailah kerajaan-kerajaan Jawa ini
berekspansi keluar wilayah (misalnya Majapahit) dengan mencari Negara-negara
bawahan di kepulauan Nusantara. Pola sentralistik kuasa politik mereka kemudian
berbenturan dengan nuansa egalitarian di kerajaan-kerajaan (atau wilayah-wilayan)
pesisiran.
Kerajaan Jawa biasanay tersusun secara hirarkis, dengan semua pemberkatan
diutarakan kepada raja. Namun, susunan ini hanya berlangsung di level atas (palace
circle) sementara masyarakat biasa hampir tidak tersentuh oleh ciri ini. Inilah yang
mungkin mengakibatkan pengaruh-pengaruh lain semisal Islam dan Barat (terutama
Islam yang egalitarian) masuk dengan mudahnya ke kalangan masyarakat Indonesia.
Bahasa
Kita mungkin kerap menemui nama dan kata seperti Pustaka, Karya, Guru, Sastra,
Indra, Wisnu, Wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi
ataupun Jalesveva Jayamahe. Nama-nama dalam bahasa Sanskerta tersebut
merupakan suatu bukti bahwa hingga kini pun pengaruh India masih terasa kental di
bumi Indonesia. Salah satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya “asing”
pertama yang sifatnya “maju” dan telah lama berasimilasi dengan budaya lokal
Indonesia. Asimilasi ini kemudian diakui selaku bagian dari budaya Indonesia itu
sendiri. Seharusnya bahasa Sanskrit ini terus "populer" layaknya bahasa Arab, tetapi
oleh sebab dahulunya ia eksklusif dikuasai oleh hanya struktur atas masyarakat dan
ahli agama saja, tidak terlampau banyak orang menguasai dan menturun-temurunkan
penguasaan bahasa ini.
Jika ditelusuri ke belakang, maka bahasa yang berkembang di Indonesia dapat dibagi
dua kelompok. Pertama rumpun bahasa Papua dan kedua rumpun bahasa Austronesia.
Rumpun bahasa Austronesia terdiri atas 200 jenis, sementara rumpun bahasa Papua
terdiri atas 150 bahasa. Rumpun bahasa Papua berkembang di wilayah timur
nusantara, termasuk Timor Timur, kepulauan Maluku dan Papua Barat. Rumpun
bahasa Austronesia juga merasuk ke wilayah-wilayah ini.
Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa ini, maka prasasti
Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 km ke arah hulu Sungai
Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun
400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti tersebut menyuratkan adanya proses
asimilasi dua budaya. Pertama Indonesia asli, kedua pengaruh India. Proses ini terlihat
dari isi prasasti yang berlingkup pada perubahan nama.
Prasasti di Muara Kaman tersebut menceritakan Raja Kudungga punya putra namanya
Acwawarman. Acwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara
ketiganya adalah Mulawarman. Acwawarman dan Mulamarman adalah bahasa
Sanskrit, sementara Kudungga adalah bukan dan kemungkinan besar adalah nama
yang berkembang sebelum datangnya pengaruh India dan agama Hindu. Jadi, nama
Kudungga dapat dikatakan sebagai nama "Kalimantan" asli atau "Indonesia" asli. Pola
ini diubah dengan mahirnya oleh para jenius lokal Indonesia, sehingga turunan
langsung dari Kudungga otomatis langsung mengadaptasi Sanskrit sebagai bahasa
penyebut gelarannya.
Sanskerta adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India, sementara Pallawa
adalah huruf yang digunakan selaku tulisannya. Sanskerta secara genealogis termasuk
rumpun bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo Eropa adalah
bahasa Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di
Asia, rumpun bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, dan termasuk ke dalamnya
adalah bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.2
Mengenai fungsinya, Sanskerta adalah bahasa yang dipergunakan dalam disiplin
agama Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya
selaku bahasa pergaulan dan dagang di nusantara. James T. Collins mencatat
signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, ikatan antara
bahasa Melayu (cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah ratusan tahun. Ini ditandai
bahwa sejak abad ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar
hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).3
Kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha
dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok bahkan menulis
2 buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya agar singgah di
Fo-shih (Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum
melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota suci Buddha di India.4 I-Ching
mengutarakan bahwa di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha yang
rata-rata adalah orang lokal Indonesia.
Posisi Sriwijaya sebagai basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh
bahasa tersebut jadi signifikan “menular” lewat perdagangan. Seperti diketahui,
Sriwijaya adalah kerajaan yang basis ekonominya perdagangan oleh sebab berlokasi
di pesisir Laut Jawa dan dekat dengan Selat Malaka. Bahasa Sanskerta yang dibawa
dari India, setelah masuk ke Indonesia berangsur-angsur mengalami perubahan. Di
Jawa misalnya, bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal lalu dikenal
dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuno kemudian menyebar
ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja
vassal Jawa semisal Adityawarman. Namun, sulit dipungkiri bahwa bahasa Kawi
dipengaruhi secara besar oleh bahasa Sanskrit.
Saat itu pula, nusantara dikenal dengan penggunaan 3 bahasa yang punya fungsi
sendiri-sendiri. Pertama bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari,
Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan, dan Sanskerta sebagai bahasa keagamaan.
Di era Hindu-Buddha jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok
bahasa “tinggi” yang dipakai dalam kepentingan keagamaan maupun bahasa formal
suatu kerajaan. Bahasa ini cukup "elitis" layaknya bahasa Yunani dan Latin pada
Abad Pertengahan Eropa.
Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun juga terjadi. Bahasa Melayu
ini merupakan lingua-franca yang dipergunakan dalam hubungan dagang antarpulau
nusantara. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari berkembangnya bahasa
Indonesia selaku bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta
ini sedikit banyak punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia.
Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu dicontohkan oleh
prasasti Kedukan Bukit, Palembang.5 Prasasti tersebut ditemukan tanggal 29
Nopember 1920 dan diperkirakan sama tahun 683 masehi. Jejak lain penggunaan
bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf
Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang
Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa
Tengah (832 M, aksara Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila,
Filipina. Sebagian bahasa Sanskerta kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu. Ada
kemungkinan 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa
Sanskerta. Beberapa kosa kata Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga
Indonesia) antara lain
Selain kata-kata yang sudah diserap di table atas, ada pula kosa kata yang sudah
digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah
Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah : derma, acara, bumi,
keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri,
ataupun seri paduka.
Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun
turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia
seperti Bugis, Sunda, ataupun Jawi.
Arsitektur
Arsitektur atau seni bangunan ala masa Hindu-Buddha juga bertahan hingga kini.
Meski tampilannya tidak lagi serupa benar dengan bangunan Hindu-Buddha (candi),
tetapi pengaruh Hindu-Buddha membuat arsitektur bangunan yang ada di Indonesia
menjadi khas.
Salah satu ciri bangunan Hindu-Buddha adalah “berundak.” Sejumlah undakan
umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di Indonesia. Undakan
tersebut paling jelas terlihat di Candi Borobudur, bangunan peninggalan Dinasti
Syailendra yang beragama Buddha. Hal yang khas dari arsitektur candi adalah
adanya 3 bagian utama yaitu ‘kepala’, ‘badan’ dan ‘kaki.’ Ketiga bagian ini
melambangkan ‘triloka’ atau tiga dunia, yaitu: bhurloka (dunia manusia), bhuvarloka
(dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa). Untuk lebih
jelasnya, lihat Figure 1.
Pengaruh sistem 3 tahap hidup religius manusia ini bertahan cukup lama. Bahkan ia
banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada masa yang lebih
kekinian. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak dari bangunan
spiritual semisal masjid maupun profan (biasa) semisal Gedung Sate di Bandung.
Arsitektur semacam candi ini sebagian terus bertahan dan mempengaruhi bangunan-
bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus mempertahankan pola
arsitektur bangunan Hindu ini. Masjid Kudus aslinya bernama Masjid Al Aqsa,
dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Yang unik adalah, sebuah
menara di sisi timur bangunan masjid menggunakan arsitektur candi Hindu.
Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu pun terdapat pada gerbang masjid
yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi wudhu, yang
pancurannya dihiasi ornament khas Hindu. Banyak hipotesis yang diutarakan
mengapa Jafar Shodiq menempatkan arsitektur Hindu ke dalam sebuah masjid.
Hipotesis pertama mengasumsikan pembangunan tersebut merupakan proses
akulturasi antara budaya Hindu yang banyak dipraktekkan masyarakat Kudus
sebelumnya dengan budaya Islam yang hendak dikembangkan. Ini dimaksudkan agar
tidak terjadi Cultural Shock yang berakibat terasingnya orang-orang pemeluk Islam
baru sebab tercerabut secara tiba-tiba dari budaya mereka. Hipotesis kedua
menyatakan bahwa penempatan arsitektur Hindu diakibatkan para arsitek dan tukang
yang membangun masjid menguasai gaya bangunan Hindu. Ini berakibat hasil
pembangunan mereka bercorak Hindu.
Pengaruh arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal
Gedung Sate yang terletak di Kota Bandung. Gedung Sate didirikan tahun 1920-1924
dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Ornamen-ornamen di bawah dinding gedung secara
kuat bercirikan ornament masa Hindu Indonesia. Termasuk pula, menara yang terletak
di puncak atas gedung yang mirip dengan menara masjid Kudus atau tumpak yang
ada di bangunan suci Hindu di daerah Bali.
Bangunan modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu juga ditampakkan
Masjid Demak. Nuansa arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan tahun 1466 M
misalnya tampak pada atap limas yang bersusun tiga (meru), mirip dengan candi
dimana bermaknakan bhurloka, bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga makna
tersebut kemudian ditransfer kearah aqidah Islam menjadi islam, iman, dan ihsan. Ciri
lainnya adalah bentuk atap yang mengecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang
atap di bawahnya. Atap tertinggi yang berbentuk limasan ditambah hiasan mahkota
pada puncaknya. Komposisi ini mirip meru, bangunan tersuci di pura Hindu.6
Kesusasteraan
Salah satu peninggalan Hindu di bidang sastra yang terkenal adalah Ramayana,
Mahabarata, dan kisah perang Baratayudha. Sastra Hindu ini cukup berpengaruh
terhadap budaya asli Indonesia semisal wayang. Wayang yang tadinya digunakan
sebagai media pemberi nasihat tetua adat terhadap keluarga yang ditinggalkan kini
memiliki trend tersendiri. Ia digunakan sebagai basis pengajaran agama dan budaya.
Tokoh-tokoh wayang yang kini terkenal adalah Pandawa Lima (Yudhistira, Bima,
Arjuna, Nakula-Sadewa), Kurawa (Duryudana dan keluarganya), Ramayana
(Hanoman, Rama, Sinta), ataupun kisah Bagavadgita (wejangan Sri Kresna atas
Arjuna sebelum perang).
Cerita-cerita yang terkandung di dalam kesusasteraan India di atas memiliki nilai
moralitas tinggi. Ia menceritakan pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan,
kelemahan-kelemahan manusia, dan bakti terhadap orang tua serta Negara. Tradisi
sastra Hindu ini justru memperkaya khasanah cerita wayang lokal Indonesia di
antaranya dengan menghadirkan tokoh-tokoh serta alur cerita yang sangat variatif.
Sisa peninggalah Hindu kini paling jelas terlihat di Bali dan sebagian masyarakat
Tengger di Jawa Timur. Bali bahkan menjadi semacam daerah konservasi pengaruh
Hindu yang pernah berkembang di kepulauan nusantara. Di Bali, seni bangunan, seni
ukir, seni rupa dan tari masih kental nuansa pengaruh peradaban Hindu.
BAB III
PENUTUP
Koentjaraningrat mencatat, penduduk asli Indonesia telah mengembangkan sejumlah
pranata sosial semisal “Negara.” Entitas Negara ini diantaranya dibuktikan dengan
adanya prasasti Muara Kaman yang menunjukkan kerajaan Kutai dengan rajanya
Kudungga. Orang-orang Indonesia ini kemudian melakukan kontak dengan para
pedagang dari India. Selain di Kutai, juga berdiri kerajaan-kerajaan di Jawa Barat
tepatnya di tepi sungai Cisadane, Bogor. 1
Koentjaraningrat juga beranggapan kerajaan-kerajaan tersebut sudah hidup makmur
lewat kontak dagangnya dengan India Selatan. Raja-rajanya kemudian mengadaptasi
konsep-konsep Hindu ke dalam struktur kerajaannya. Mereka mengundang para
Brahmana India Selatan dari aliran Wisnu atau Brahma. Para pendeta tersebut
memberi konsultasi dan nasehat mengenai struktur dan upacara-upacara keagamaan,
termasuk pula bentuk Negara, organisasi Negara, dan upacara-ucapara kenegaraan
menurut sistem yang berlaku di India Selatan. Ke-"jenius-lokal"-an orang-orang
Indonesia ini ditunjukkan dengan kemampuan mereka mengadaptasi pola-pola sosial
dan politik India ke dalam hidup kerajaan mereka.
Dari anggapan ini, maka sesungguhnya pengaruh Hindu tidak datang lewat
penaklukan melainkan atas permintaan (influenced by demand). Jadi, orang-orang
Indonesia ini justru mengundang oleh sebab keinginan mereka hendak maju dan
membuka diri. Lewat cara “undangan” inilah, kesusasteraan Hindu dan agamanya
masuk ke dalam Indonesia secara hampir taken for granted. Sayang, akibat masalah
elitisme dan sistem kasta yang inheren di sistem kemasyarakatan Hindu di India, yang
menerima pengaruh paling besar adalah lapisan atas kekuasaan dan masyarakat di
sekitar istana. Mereka rata-rata memang secara sosiologis diuntungkan oleh pola
kemasyarakatan tersebut. Masyarakat biasa hampir kurang merasa tersentuh oleh
pengaruh ini.
DAFTAR PUSTAKA
(Adaptasi) Pengaruh Bahasa Sanskerta oleh Bahasa Melayu Kuna dalam
http://culture.melayuonline.com/?a=SlRSWi9xUksvQVRVY01rZQ%3D%3D
%3D&l=(adaptation-the-influence-of-sanskrit-on-(ancient-malay =Indonesia⟨
download tanggal 2 Mei 2009.
James T. Collins, Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu, (Jakarta: KPG, 2009) h.23.
Kathy S. Stolley, The Basics of Sociology, (Connecticut: Greenwood Press, 2005).
Kayato Hardani, Peristiwa Diglosia dalam Masyarakat Jawa Kuna: Suatu
Interpretasi Linguistis atas Kehadiran Unsur Serapan Bahasa Sanskerta di dalam
Prasasti Bahasa Jawa Kuna Abad 9-10 Masehi, (Yogyakarta: Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Yogyakarta, tt) h.3.
Koentjaraningrat, Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
Cet.22, 2007) h. 21.
Masjid Agung Demak: Jejak Trowulan di Tanah Rawa dalam
http://www.gatra.com/2001-12-26/versi_cetak.php?id=13523 download tanggal 3 Mei
2009.