masail fiqh.doc

23
PENDAHULUAN Berkembangnya persoalan-persoalan hukum dalam masyarakat, menjadi suatu yang harus cepat ditangani suapaya tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu sudah sepatutnya para pakar dalam keilmuan fiqih berijtihad untuk menyelesaikan persoalan yang muncul. Permasalahan yang terjadi dikalangan masyarakat dikarenakan oleh zaman yang terus berkembang sehingga munculnya kebudayaan dan peradaban yang bertolak belakang dengan hukum-hukum. Maka dalam hal ini masail fiqhiyah merupakan salah satu ilmu yang disusun untuk menjawab semua permasalahan. Hukum yang dibentuk bukanlah penyimpangan dari hukum yang telah ada, tetapi hukum yang baru merupakan pembaruan hukum bukan perubahan hukum. Untuk itu para pembaca yang budiman kita harus memahami betul-betul tentang hukum-hukum yang muncul dizaman yang serba maju ini, karena kalau kita tidak bisa memahaminya maka kita akan diperdayakan dengan kemajuan teknologi. Dalam makalah yang singkat ini penulis mencoba merumuskan beberapa sebab timbulnya persoalan hukum yang baru, sebab-sebab perbedaan pendapat ulama, dan contoh persoalan yang baru muncul, misalnya : memegang mushaf, menghafal Al-Qur’an, Dan masih banyak lagi persoalan yang baru, yang tidak penulis sebutkan satu-satu. 1

Upload: teukukhattab

Post on 22-Nov-2015

95 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

Berkembangnya persoalan-persoalan hukum dalam masyarakat, menjadi suatu yang harus cepat ditangani suapaya tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu sudah sepatutnya para pakar dalam keilmuan fiqih berijtihad untuk menyelesaikan persoalan yang muncul.

Permasalahan yang terjadi dikalangan masyarakat dikarenakan oleh zaman yang terus berkembang sehingga munculnya kebudayaan dan peradaban yang bertolak belakang dengan hukum-hukum. Maka dalam hal ini masail fiqhiyah merupakan salah satu ilmu yang disusun untuk menjawab semua permasalahan. Hukum yang dibentuk bukanlah penyimpangan dari hukum yang telah ada, tetapi hukum yang baru merupakan pembaruan hukum bukan perubahan hukum.

Untuk itu para pembaca yang budiman kita harus memahami betul-betul tentang hukum-hukum yang muncul dizaman yang serba maju ini, karena kalau kita tidak bisa memahaminya maka kita akan diperdayakan dengan kemajuan teknologi. Dalam makalah yang singkat ini penulis mencoba merumuskan beberapa sebab timbulnya persoalan hukum yang baru, sebab-sebab perbedaan pendapat ulama, dan contoh persoalan yang baru muncul, misalnya : memegang mushaf, menghafal Al-Quran, Dan masih banyak lagi persoalan yang baru, yang tidak penulis sebutkan satu-satu.PEMBAHASAN

A. Pengertian Masail Fiqhiyah.

Masail fiqhiyah secara bahasa Masail bermakna masalah-masalah baru, fiqhiyah adalah qaidah-qaidah hukum dalam Islam yang harus dijalankan menurut ketentuan yang telah ditetapkan dan mempunyai dalil-dalil yang terperinci.

Secara istilah Masail Fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang muncul setelah turunnya Al-Qur'an dan Hadist yang belum ada ketentuan-ketentuan hukum secara pasti sehingga memerlukan metodelogi ijtihad para ulama dalam mengistinbathkan hukum yang diambil dari Al-Qur'an dan Hadist.

Allah SWT Berfirman Surah An-Nisa ayat 59 ;

( : 59)Artinya :Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya(An-Nisa: 59)

B. Objek kajian Masail Fiqhiyah.

Yang termasuk dalam objek kajian masail fiqhiyah sangatlah luas, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia (Hablumminallah wa Hablumminannas), secara spesifik objek kajiannya masail fiqhiyah meliputi antara lain :

Muamalah yang merupakan hubungan manusia dengan berbagai aktifitas kehidupannya dalam berinteraksi sosial antara sesama. Syariah yaitu suatu hukum yang diberlakukan dalam kehidupan bermasyarakat yang menyangkut dengan ibadah manusia terhadap Sang Pencipta. Tafsir merupakan penjabaran dari ayat-ayat Al-Quan yang masih mujmal dan membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam, karena ayat-ayat Al-Quran ada yang bersifat dhanni dan ada yang bersifat qathi. Ibadah Masalah ibadah juga serupa dengan hal di atas, dalam kaitannya dengan individu. Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, sehingga banyak sekali pendapat yang mereka kemukakan. Aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Al-Qur'an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, yang bersifat universal sehingga memerlukaqn kajian yang mendalam. Hadist merupakan perkataan, perbuatan dan takrir Nabi SAW. Yang periwatannya mengalami perbedaan-perbedaan sehingga muncul pemahaman yang berbeda juga dalam kalangan ulama.C. Tujuan Masail Fiqhiyah

Masail Fiqhiyah bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam masyarakat sering kali timbul pertanyaan-pertanyaan sehingga membutuhkan jawaban logis tentang kepastian hukum.

Masail fiqhiyah termasuk menghubungkan suatu hukum dengan hukum lainnya belum ada nashnya dan didasari atas kumpulan hasil pemahaman para mujtahid terhadap Al-Qur'an dan Hadist, jadi dengan adanya Masail Fiqhiyah ini masyarakat dapat mengetahui hukum serta menjalankan dalm kehidupan sehari-hari.

Semua masalah tersebut ada yang berawal dari perkembangan tuntutan zaman selain itu juga berbeda dalam penafsiran dalam suatu hal sehingga membutuhkan jawaban yang pasti dan memiliki dalil hukum.

D. Ruang Lingkup Masail Fiqhiyah.

Adapun ruang lingkup Masail Fiqhiyah meliputi antara lain :

Hubungan manusia dengan Allah SWT.

Hubungan manusia dengan sesama manusia.

Hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Hubungan manusia dengan alam/ lingkungan.E. Permasalahan-permasalahan Fiqhiyah

A. Sebab-sebab Timbulnya Persoalan-persoalan Hukum Baru Dalam IslamAgama Islam diturunkan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Islam tentu dapat terus menjawab semua persoalan umat manusia yang telah dan akan timbul yang disebabkan oleh berbagai macam hal diantaranya :

1. Perubahan zaman, yaitu kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya : nikah melalui internet.

2. Hukum-hukum Islam yang tidak staknan.

3. Perubahan budaya dalam masyarakat, misalnya : banyak harta baru yang tidak disebutkan hukumnya terbeban zakat atau tidak.

4. Penafsiran hukum Islam.

5. Perbedaan waktu dan tempat. Perkembangan masyarakat, maupun terjadinya hal-hal yang sifatnya darurat, sehingga para ahli fiqh yang biasanya mengeluarkan fatwa harus mengubah fatwa yang telah lalu untuk disesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, tradisi dan kondisi masyarakatnyaB. Sebab-sebab Perbedaan Pendapat UlamaUlama merupakan penggerak utama dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Ulama dianggap sebagai penggerak kerana pemikiran serta pendekatan yang dilakukan oleh merekalah, maka Islam telah berkembang di Nusantara. Di samping itu, ulama juga memahami psikologi masyarakat, sehingga kehadiran agama dalam tradisi dan budaya

masyarakat setempat tidak dianggap sebagai musuh yang menakutkan, tetapi hadir dalam keramahan dan dapat diterima oleh mereka. Penyebaran Islam yang demikian dikenali dengan penyebaran Islam yang ramah, yang mana ulama tidak membawa konflik dalam misinya. Biasanya, penyebaran ajaran Islam yang ramah ini dilakukan dengan penyesuaian budaya dan tradisi masyarakat setempat sehingga ajaran itu menjadi salah satu unsur atau sistem yang diterima dalam masyarakat dengan perbedaan-perbedaan tertentu.Jika kita menerima bahwa ikhtilaf dalam masalah pemikiran termasuk perbedaan dalam masalah fiqih merupakan situasi alami sebagai akibat dari perbedaan manusia dalam akal, pemahaman, dan pengetahuan, maka kita harus menerima bahwa perbedaan pendapat pada masa Nabi dan Khulafaurrasyidin yang terjadi diantara beberapa orang sahabat adalah fenomena nyata yang didukung oleh beberapa fakta. Tidak mengakui adanya ikhtilaf dikalangan mereka, berarti menganggap tidak adanya proses pengelolaan atas agama Islam ini. Kalau ijtihad seorang ahli fiqih tidak bisa mencapai hukum yang dikehendaki syara, namun dia harus berusaha agar ijtihadnya mendekati kebenaran hakiki yang dikehendaki syara. Dengan demikian ikhtilaf menjadi perkara yang disyariatkan. Ikhtilaf yang disyariatkan harus memenuhi dua syarat berikut :

1. Setiap orang yang berikhtilaf harus memiliki dalil yang sah untuk dijadikan hujjah.

2. Tidak boleh mengambil pendapat mazhab yang mustahil dan batil, jika terjadi maka ikhtilaf batal sejak awal.

Para ahli fiqih menganjurkan setiap orang yang mengikuti mazhab mereka untuk memenuhi dua syarat diatas. Para ulama berbeda pendapat tentang sebab-sebab ikhtilaf dibidang fiqih pada masa ini. Diantara sebab-sebab perbedaan antara lain:

1. Sebab-sebab yang berkaitan dengan bahasa, hal ini terjadi karena firman Allah yang musytarak yakni kalimat yang mengandung beragam makna, seperti : lafal ain, yang bisa berarti penglihatan, sesuatu yang mengalir, emas murni, orang yang menyertai, dan berbagai arti yang lain.

2. Sebab-sebab yang berkaitan dengan periwayatan sunnah. Sebab ikhtilaf jenis ini mengandung beberapa dimensi, perbedaan pengaruh, dan menjadi penyebab banyaknya perbedaan pendapat yang dialami para ulama terdahulu. Kadang suatu hadis tidak sampai kepada para mujtahid kita, maka ia berfatwa sesuai dengan maksud hadist, atau dengan mengqiaskan dengan permasalahan dahulu. Seperti : mujabanah, mukhabarah, mulamasah, munabadzah, gharar, karena perbedaan dalam penafsirannya. Ulama kita berbeda pendapat mengenai jenis pekerjaan mana yang paling utama dan paling banyak pahalanya di sisi Allah SWT, apakah pertanian, perindustrian, ataukah perdagangan? Penyebab perbedaan pendapat ini ialah hadits-hadits yangmenjelaskan keutamaan masing-masing jenis pekerjaan tersebut.3. Sebab-sebab yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul. Ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang menjelaskan dalil-dalil fiqih secara global, tata cara memahaminya dan menjelaskan sifat-sifat peneliti (mujtahid). Sebagai contoh maslahah mursalah, sadduz zarai, dan sebagainya.

4. berbeda pendapat dalam hal taarudh adillah. Pertentangan ayat dengan ayat ataupun ayat dengan hadist.

5. Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang ijtihadi. Contoh ayat tentang mengqadha puasa yaitu memberikan makan 60 orang miskin.

6. Berbeda urf, contoh pemberian upah guru ngaji.

C. Bolehkah Wanita Haid Berdzikir Kepada Allah Dan Membaca Al Qur'an?Al Imam Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ummu Athiyah radhiallahu 'anha, ia berkata :"Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.) pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang (yang shalat), mereka bertakbir dan berdo'a dengan takbir dan doanya orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan kesuciannya." (Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 10 : Shalat Iedain')

Aisyah radhiallahu 'anha berkata : "Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum sempat Thawaf di Ka'bah dan Sa'i antara Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Beliau bersabda : "Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, hanya saja jangan engkau Thawaf di Ka'bah sampai engkau suci (dari haid)." (HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nombor 120/ Kitab Al Hajj)

Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan untuk berdzikir kepada Allah Ta'ala, dan Al Qur'an termasuk dzikir sebagaimana Allah berfirman :

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur'an) dan Kami-lah yang akan menjaganya." (Al Hijr : 9)Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca Al Qur'an maka demikian pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam larangan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada Aisyah yang sedang haid hanyalah Thawaf. Permasalahan membaca Al Qur'an bagi wanita haid ini memang ada perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Qur'an dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi'i dan Ahmad, dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan : "Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih

yang jelas." Adapun jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid untuk membaca Al Qur'an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir kepada Allah. Mereka ini mengkiaskan (atau menyamakan) haid dengan junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang melarang orang junub untuk membaca Al Qur'an. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa dilihat dalam Majmu' Fatawa 21/460 dan Syarhuz Zad 1/291. (Nukilan dari Syarh Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az Zaawii, murid senior Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadhi'i).Asy Syaikh Mushthafa Al Adhawi dalam kitabnya Jami' Ahkamin Nisa' (1/183-187) membawakan bantahan bagi yang berpendapat tidak bolehnya wanita haid membaca Al Qur'an dan di akhir tulisannya beliau berkata : "Maka kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur'an karena tidak ada dalil yang shahih yang jelas dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil yang memberi faedah bolehnya (wanita haid) membaca Al Qur'an dan berdzikir sebagaimana telah lewat penyebutannya, Wallahu A'lam."D. Hukum Menyentuh Mushaf/Al-Quran Bagi Wanita Haid

Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya wanita haid membawa Al Qur'an dan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut dan mereka menyatakan bahwa membawa Al Qur'an dalam keadaan haid mengurangi pengagungan terhadap Al Qur'an. Berkata Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi : "Mayoritas Ahli Ilmu berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur'an. Namun dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami pandang benar, Wallahu A'lam, bahwasannya boleh bagi wanita haid untuk menyentuh mushaf Al Qur'an. Berikut ini kami bawakan dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur'an. Jawaban atas dalil-dalil tersebut untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untuk menyentuh mushaf :

a. Firman Allah Ta'ala : "Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan." (Al Waqi'ah : 79)b. Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam : "Tidaklah menyentuh Al Qur'an itu kecuali orang yang suci." (HR. Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami' 7880. Al Misykat 465)

Jawaban atas dalil di atas : Pertama, mayoritas Ahli Tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan dengan dlamir (kata ganti) dalam firman Allah Ta'ala : Laa Yamassuhu adalah ?Kitab Yang Tersimpan Di Langit. Sedangkan Al Muthahharun adalah Para Malaikat. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang mulia : "Sesungguhnya dia adalah Qur'an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali Al-Muthahharun (mereka yang disucikan)." (Al Waqi'ah : 77-79). Dan yang menguatkan hal ini adalah firman Allah Ta'ala : "Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para malaikat)." (Abasa : 13-16). Inilah pendapat mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini.Pendapat Kedua : Tentang tafsir ayat ini bahwasanya yang diinginkan dengan Al Muthahharun adalah kaum Mukminin, berdalil dengan firman Allah :"Hanyalah orang-orang musyrik itu najis." (At Taubah : 28). Dan dengan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : "Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis." (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nombor 116). Dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam melarang berpergian dengan membawa mushaf ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. (HR. Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma)Pendapat Ketiga : Bahwasannya yang diinginkan dengan firman Allah (yang artinya) : "Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan." (Al Waqi'ah : 79) adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang Mukmin. Pendapat Keempat, walaupun sedikit yang berpendapat dengan pendapat ini, bahwa : "Yang dimaksudkan dengan Al-Muthahharun adalah mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan. Pendapat Kelima : Al-Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar dan kecil. Pendapat Keenam : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar (janabah).

Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh Al Qur'an. Sedangkan mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur'an memilih sisi kelima dan keenam. Dan telah lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al-Muthahharun dengan malaikat. Dalil kedua tidak didapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang hasan, bahkan yang mendekatinya. E. Bolehkah Wanita Haid Masuk Ke Masjid ?

Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan Ahli Ilmu, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak dan kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yang membolehkan wanita haid masuk ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya :

a. Dalil Yang Membolehkan

1) Al Bara'ah Al Ashliyyah, maknanya tidak ada larangan untuk masuk ke masjid.

2) Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam masjid pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.

3) Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada Aisyah ra. yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau Shallallahu 'Alaihi Wassallam :"Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka'bah." (HR. Bukhari nomor 1650). Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam tidak melarang Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid).

4) Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam : "Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis." (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid).

5) Atha bin Yasar berkata : "Aku melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu shalat." (Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan isnadnya hasan). Maka sebagian ulama mengkiaskan junub dengan haid. Mereka yang membolehkan juga berdalil dengan keberadaan ahli shuffah yang bermalam di masjid. Di antara mereka tentunya ada yang mimpi basah dalam keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yang i'tikaf di masjid, tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada yang mimpi basah hingga terkena janabah dan di antara wanita yang i'tikaf ada yang haid.b. Dalil Yang Melarang

1) Firman Allah Ta'ala : "Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi." (An Nisa' : 43). Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata shalat dalam ayat di atas adalah tempat-tempat shalat, berdalil dengan firman Allah Ta'ala :" niscaya akan runtuh tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani, tempat ibadah orang umum dari Nasrani, shalawat, dan masjid-masjid." (Al Hajj : 40). Mereka berkata : "(Akan runtuh shalawat) maknanya (akan runtuh tempat-tempat shalat)." Di sini mereka mengkiaskan haid dengan junub. Namun kata As-Syaikh Mushthafa : "Kami tidak sepakat dengan mereka karena orang yang junub dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat ini ada anjuran untuk bersegera dalam bersuci, sedangkan wanita yang haid tidak dapat berbuat demikian."

2) Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam kepada para wanita ketika beliau memerintahkan mereka untuk keluar ketanah lapangan pada saat shalat Ied. Beliau menyatakan :"Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla." (HR. Bukhari nomor 324). Jawaban atas dalil ini adalah bahwa yang dimaksud dengan mushalla' di sini adalah shalat itu sendiri, yang demikian itu karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam dan para shahabatnya shalat Ied di tanah lapang, bukan di masjid dan sungguh telah dijadikan bumi seluruhnya untuk ummat ini sebagai masjid (tempat shalat).

3) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam mendekatkan kepala beliau kepada Aisyah yang berada di luar masjid ketika beliau sedang berada di dalam masjid, hingga Aisyah dapat menyisir beliau dan ketika itu Aisyah sedang haid. Jawaban atas dalil ini adalah tidak ada di dalamnya larangan secara jelas bagi wanita haid untuk masuk ke dalam masjid. Sementara di masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam tentu tidak suka mereka sampai melihat istri beliau.

4) Perintah-perintah yang ada untuk membersihkan masjid dari kotoran-kotoran. Dalam hal ini juga tidak ada larangan yang tegas bagi wanita haid. Yang jelas selama wanita haid tersebut aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid, maka tidak apa-apa ia duduk di dalam masjid.

5) Hadits yang lafadhnya :"Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid." (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al-Irwa' 1/124). Namun hadits ini dlaif (lemah) karena ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah. "Sebagai akhir" , kata Asy Syaikh Mushthafa, "kami memandang tidak ada dalil yang shahih yang tegas melarang wanita haid masuk ke masjid, dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid masuk masjid atau berdiam di dalamnya." (Jami' Ahkamin Nisa' 1/191-195, dengan sedikit ringkasan).F. Bunga Bank

Bunga, apabila secara definisi dapat dikatakan sebagai tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa

mempertimbangkan pemanfaatan / hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu dan

diperhitungkan secara pasti dimuka berdasarkan persentase yang ditentukan oleh pihak

yang memberikan pinjaman.

Adapun riba adalah tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Secara kontekstual antara riba dan bunga tidak jauh berbeda, oleh karena itulah kemudian keluar fatwa MUI yang melarang

transaksi yang menggunakan sistem bunga karena prinsipnya sama dengan prinsip riba.

1. Hukum Bunga.

Praktek pembungaan uang yang terjadi saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasullah SAW, dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba dan riba haram hukumnya. Contoh-contoh praktek pembungaan adalah bank, asuransi, pasar modal, dan pegadaian.Yang dikelola secara konvensional.2. Korelasi Dengan Lembaga Keuangan Konvensional.

Untuk wilayah yang sudah ada kantor /jaringan lembaga keuangan syariat, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. Untuk wilayah yang belum ada kantor / jaringan lembaga keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan prinsip- prinsip konvensional dengan alasan darurat/hajat.3. Fatwa Fatwa MUI.

Bunga uang dari pinjaman / simpanan yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang diharamkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran karena riba hanya dikenakan tambahan pada saat si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan bunga bank sudah langsung dikenakan tambahan sejak terjadinya transaksi. Adanya ketetapan akan keharaman bunga bank oleh tiga forum ulama internasional, yaitu:

Majmaul Buhuts Al-Islamiyyah di Al-Azhar, Mesir pada Mei 1965. Majma AL-Fiqh Al-Islamy negara Negara OKI di Jeddah Desember 1985. Majma Fiqh Rabithah Al-Alam Al-Islamy keputusan 6 sidang IX yang diselenggarakan di Makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H. Keputusan Dar Al-itfa, kerajaan Saudi Arabia 1979. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan, 22 Desember 1999. Fatwa Dewan Syariah Nasional DSN Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan Syariah. Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada pembahasan maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dizaman globalisasi ini merupakan hal yang wajar karena zaman yang terus berubah sehingga terjadinya pembaruan-pembaruan hukum itu sendiri.Islam adalah agama yang sejalan dengan perubahan kehidupan buktinya hukum yang ada dari dulu sampai sekarang terus terjadi pembaruan, hukum yang dimaksud bersifat elastis tidak kaku. Jadi intinya Islam tidak memaksa manusia harus seperti ini misalnya tetapi memudahkan hidup manusia, karena semua persoalan hukum darisegi manapun semuanya dijelaskan.

B. SARANDalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan.DAFTAR PUSTAKAHalim Berkatullah, Abdul dan Prasetyo, Teguh. Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006.Farid Washil, Nasir. Wanita Bertanya Islam Menjawab, Bandung : Mujahid, 2005.Shihab, Quraisy. Tafsir Al-Mishbah Vol 13. Cet V, Jakarta : Lentera hati, 2006.Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000.Al-Awani, Thaha Jabir Fayyadh. Etika Berbeda Pendapat Dalam Islam, Bandung : Pustaka Hidayah, 2001.

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh. Majmu Fatwa, Solo : Pustaka Arafah, 2002.

Qardhawi, Yusuf. Fiqh Prioritas.Shahihul Jami' 7880. Al Misykat.Shahih Bukhari dan Muslim.PAGE 14