manajemen pembelajaran literasi dan numerasi di …
TRANSCRIPT
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
92 | Julaeha. 92-105
MANAJEMEN PEMBELAJARAN LITERASI DAN NUMERASI
DI SEKOLAH DASAR SESUAI FRAMEWORK
ASESMEN KOMPETENSI MINIMUM
Julaeha
Sekolah Dasar Negeri Kranji VI, Bekasi
E-mail: [email protected]
Abstrak
Pembelajaran merupakan interaksi yang terjadi antarsiswa, siswa dengan guru dan sumber
belajar agar terjadi perubahan perilaku pada diri siswa dari berbagai aspek perilaku, baik
sikap, pengetahuan, maupun keterampilan. Perubahan perilaku pada diri siswa dapat
diketahui oleh guru melalui penilaian yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
pembelajaran. Penilaian dapat dilakukan oleh siapapun tergantung kebutuhannya, di
antaranya oleh guru pada tingkat satuan pendidikan dan pemerintah pada tingkat nasional.
Penilaian secara nasional telah lama dilaksanakan oleh pemerintah melalui Ujian Nasional
(UN) dengan tujuan untuk menguji kompetensi siswa secara individual, baru mulai tahun
2021 ini pada setiap satuan pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK) akan dilaksanakan asesmen
nasional, yang terdiri atas Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan
survei lingkungan belajar. Asesmen nasional dilakukan untuk mengevaluasi sistem, bukan
untuk menguji siswa secara individual. Dengan kata lain, asesmen nasional ditujukan untuk
memotret mutu setiap satuan pendidikan pada jenjang kelas V SD, VIII SMP, dan XI
SMA/SMK, sehingga dapat dirumuskan tindak lanjut yang relevan oleh setiap pihak yang
terlibat. Fokus AKM adalah kemampuan siswa yang dijadikan sampel terkait literasi dan
numerasi yang merupakan kemampuan mendasar yang penting untuk hidup siswa. Hal ini
mendasari bagaimana pembelajaran literasi dan numerasi dilaksanakan pada setiap jenjang
pendidikan, termasuk SD agar relevan dengan kerangka kerja (framework) AKM. Peran
kepala sekolah sangat dominan dalam mengelola pembelajaran literasi dan numerasi pada
setiap jenjang kelas di SD sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan framework AKM.
Kata kunci: asesmen, literasi, numerasi
Abstract
Learning is an interaction that occurs between students, students and teachers and learning
resources so that changes in behavior occur in students from various aspects of behavior, both
attitudes, knowledge, and skills. Changes in behavior in students can be known by the teacher
through assessment which is an integral part of learning. Assessment can be carried out by
anyone depending on their needs, including by teachers at the education unit level and the
government at the national level. National assessment has long been carried out by the
government through the National Examination (UN) with the aim of testing student
competencies individually, only starting in 2021 in each education unit (SD, SMP,
SMA/SMK) a national assessment will be carried out, which consists of an Assessment
Minimum Competence (AKM), character survey, and learning environment survey. National
assessments are conducted to evaluate the system, not to test individual students. In other
words, the national assessment is aimed at photographing the quality of each educational unit
at the fifth grade elementary school, VIII junior high school, and XI high school/vocational
school level, so that relevant follow-up can be formulated by each party involved. The focus
of AKM is on the ability of the sampled students related to literacy and numeracy which are
fundamental abilities that are important for students' lives. This underlies how literacy and
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
93 | Julaeha. 92-105
numeracy learning is carried out at every level of education, including elementary school so
that it is relevant to the AKM framework. The role of the principal is very dominant in
managing literacy and numeracy learning at every grade level in elementary school so that it
can be carried out in accordance with the AKM framework.
Keywords: assessment, literacy, numeracy
PENDAHULUAN
Penilaian menurut paradigma
kontemporer merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan pembelajaran
(assement as learning). Dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2016
dinyatakan bahwa penilaian merupakan
proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk mengukur pencapaian hasil
belajar peserta didik. Hasil belajar
merupakan bukti perubahan perilaku siswa
setelah pembelajaran berlangsung. Dari
hasil belajar yang diperoleh melalui
penilaian, guru dapat merumuskan tindak
lanjut perbaikan pembelajaran berikutnya.
Dengan demikian, penilaian dapat
dijadikan dasar untuk melaksanakan
pembelajaran yang lebih baik dari waktu ke
waktu.
Penilaian hasil belajar dapat
dilaksanakan oleh siapapun sesuai dengan
tujuan dan kebutuhannya, termasuk oleh
guru, satuan pendidikan, dan pemerintah
(Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016).
Penilaian hasil belajar oleh guru bertujuan
untuk memantau dan mengevaluasi proses,
kemajuan belajar, dan perbaikan hasil
belajar siswa secara berkesinambungan.
Penilaian hasil belajar oleh satuan
pendidikan bertujuan untuk menilai
pencapaian standar kompetensi lulusan
untuk semua mata pelajaran. Sementara itu,
penilaian hasil belajar oleh pemerintah
bertujuan untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada
mata pelajaran tertentu.
Penilaian yang dilaksanakan oleh
guru dapat berupa penilaian diagnostik,
formatif, maupun sumatif dengan tujuan
yang berbeda-beda untuk setiap jenis
penilaian tersebut. Penilaian oleh guru dan
satuan pendidikan idealnya dilaksanakan
untuk memperbaiki kualitas proses
pembelajaran, dibandingkan menguji siswa
secara individual. Penilaian yang
sebelumnya telah dilaksanakan oleh
pemerintah pada setiap akhir jenjang
pendidikan dikenal dengan Ujian Nasional
(UN) dengan tujuan untuk menguji
kemampuan siswa secara individual. Pada
tahun 2021, penilaian pemerintah melalui
asesmen nasional yang meliputi Asesmen
Kompetensi Minimum (AKM), survei
karakter, dan survei lingkungan belajar
lebih ditujukan untuk mengevaluasi sistem
pendidikan di setiap satuan pendidikan atau
untuk memotret mutu setiap satuan
pendidikan. Berdasarkan potret mutu dari
hasil asesmen nasional, seluruh pihak yang
terlibat terutama satuan pendidikan dapat
merumuskan tindak lanjut perbaikan
kualitas proses pembelajaran dari berbagai
aspek pendidikan.
AKM merupakan salah satu bentuk
penilaian yang dilaksanakan oleh
pemerintah secara nasional (AKM
nasional) dan oleh guru pada tingkat kelas
(AKM berbasis kelas) untuk aspek
pengetahuan. Fokus AKM adalah
kemampuan literasi dan numerasi siswa
yang merupakan kemampuan mendasar
yang dibutuhkan untuk hidup siswa, lintas
profesi dan bidang ilmu. Literasi
merupakan kemampuan siswa dalam
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
94 | Julaeha. 92-105
membaca dan memaknai isi bacaan, baik
berupa teks fiksi maupun teks informatif.
Sementara itu, numerasi merupakan
kemampuan siswa dalam bernalar,
memecahkan masalah, dan mengambil
keputusan secara logis dan rasional
berdasarkan fakta, data, informasi, dan
pengetahuan. Kemampuan literasi dan
numerasi dalam konteks AKM tersebut
diujikan kepada siswa yang menjadi sampel
di jenjang kelas V SD, VIII SMP, dan XI
SMA/SMK bukan untuk memotret
kemampuan siswa secara individual,
melainkan untuk memotret kualitas sistem
pendidikan di setiap satuan pendidikan.
Kemampuan literasi dan numerasi
yang akan sangat dibutuhkan oleh siswa
dalam hidupnya sudah seharusnya untuk
difasilitasi oleh guru melalui pembelajaran
di setiap satuan pendidikan, termasuk
jenjang SD. Kemampuan tersebut bukan
hanya diujikan kepada siswa pada AKM
nasional maupun AKM berbasis kelas,
tetapi juga dipelajari oleh siswa melalui
pembelajaran literasi dan numerasi yang
tentunya relevan dengan kerangka kerja
(framework) AKM. Framework AKM
membahas tentang konten, konteks, dan
proses kognitif yang relevan untuk
pembelajaran literasi dan numerasi pada
setiap jenjang pendidikan. Peran seluruh
pihak sangat diperlukan agar pembelajaran
literasi dan numerasi terlaksana sesuai
dengan framework AKM, sehingga siswa
dipersiapkan untuk dapat menjalani
hidupnya dengan literat dan numerat agar
kelak mereka dapat hidup dengan layak dan
menjadi manusia yang sejahtera lahir dan
batin.
Kepala sekolah sebagai pemimpin
di setiap satuan pendidikan idealnya
memiliki empat kompetensi sesuai model
kompetensi kepala sekolah termasuk
jenjang SD, yakni: (1) mengembangkan diri
dan orang lain; (2) memimpin
pembelajaran; (3) memimpin manajemen
sekolah; dan (4) memimpin pengembangan
sekolah. Hal ini dikuatkan oleh
Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018,
bahwa kepala sekolah memiliki tugas dan
tanggungjawab pada bidang manajerial,
pengembangan kewirausahaan, dan
supervisi pendidikan. Berdasarkan
kompetensi, tugas, dan tanggung jawab
kepala sekolah di atas, idealnya kepala
sekolah memiliki peran strategis agar
pembelajaran literasi dan numerasi dapat
dilaksanakan secara tertib, lancar, dan
efektif. Kepala sekolah dapat mengelola
pembelajaran literasi dan numerasi di
satuan pendidikan yang dipimpinnya, baik
terkait konten, konteks, maupun prosesnya
agar tetap sesuai dengan framework AKM.
Asesmen Kompetensi Minimum
Manusia merupakan makhluk
subjektif yang memandang objek tertentu
secara beragam dan berbeda satu dengan
lainnya dengan segala keunikannya.
Artinya, secara kodrat alam manusia
memiliki kodrat masing-masing baik dasar
maupun ajar. Sekaitan dengan hal tersebut,
pendidikan sebagai upaya memanusiakan
manusia (humanisasi) idealnya dilakukan
secara inklusif dengan memerdekakan
siswa sebagai manusia yang unik.
Dewantara (2004) menyatakan bahwa
pendidikan terdiri atas pendidikan umum
(SD, SMP, dan SMA) yang mengajarkan
ilmu atau kecakapan-kecakapan hidup dan
pendidikan khusus atau vokasi (SMK) yang
mengajarkan ilmu atau kecakapan-
kecakapan kerja/karier. Karena tugas
manusia dalam menjalani kehidupannya
termasuk belajar adalah berjuang sebagai
bentuk ujian, maka idealnya jenis
pendidikan umum yang mengajarkan ilmu
dan kecakapan hidup diuji melalui
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
95 | Julaeha. 92-105
kehidupannya. Artinya, siswa sebagai
manusia yang lulus dari ujian tersebut
adalah yang mampu menjalani hidup dan
perikehidupannya dengan wajar.
Hal di atas direspon positif oleh
pemerintah secara berangsur dan berjenjang
melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) dengan
dikeluarkannya Permendikbud Nomor 43
Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian
yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan
dan Ujian Nasional. Pada Permendikbud
tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa
UN untuk jenjang SD ditiadakan mulai
tahun 2019. Selanjutnya, mulai tahun 2021
UN resmi ditiadakan untuk setiap jenjang
pendidikan dan digantikan dengan
Asesmen Nasional yang secara filosofis
relevan dengan hakikat pendidikan yang
merdeka dan memerdekakan. UN bersifat
menguji kompetensi individu pada bidang
ilmu atau mata pelajaran tertentu,
sedangkan Asesmen Nasional bertujuan
untuk menghasilkan informasi atau
memantau perkembangan mutu pendidikan
dan kesenjangan antarbagian dalam sistem
pendidikan di setiap satuan pendidikan dari
waktu ke waktu. Asesmen Nasional ini
dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan di satuan pendidikan, sehingga
dirancang untuk menghasilkan informasi
akurat dalam rangka memperbaiki kualitas
belajar dan mengajar yang pada gilirannya
akan meningkatkan hasil belajar siswa.
Dengan demikian, Asesmen Nasional
merupakan evaluasi sistem pendidikan
bukan evaluasi individual yang dilakukan
secara komprehensif meliputi AKM, survei
karakter, dan survei lingkungan belajar.
Hal yang perlu ditegaskan adalah
bahwa Asesmen Nasional tidak
menentukan kelulusan siswa, sehingga
dilakukan bukan di akhir jenjang
pendidikan melainkan dilaksanakan pada
kelas V, VIII, dan XI di setiap satuan dan
jenjang pendidikan di Indonesia dengan
peserta yang telah ditentukan oleh
Kemdikbud berdasarkan beberapa aspek
(30 orang untuk jenjang SD dan 45 orang
untuk jenjang SMP/SMA/SMK). Selain itu,
Asesmen Nasional tidak digunakan untuk
menilai siswa yang menjadi peserta
asesmen. Dengan kata lain, hasil Asesmen
Nasional tidak memuat skor atau nilai
siswa secara individual melainkan memuat
informasi tentang sistem pendidikan di
setiap satuan pendidikan sebagai dasar
perbaikan kualitas proses pembelajaran
untuk meningkatkan hasil belajar siswa
sesuai dengan level atau tingkatannya
(learning at the right level), baik Perlu
Intervensi Khusus (PIK), Dasar, Cakap,
atau Mahir. Penilaian untuk kelulusan
siswamerupakan kewenangan pendidik atau
guru dan satuan pendidikan.
Asesmen Nasional dilaksanakan
secara komprehensif meliputi AKM untuk
mengukur kemampuan literasi membaca
dan literasi matematika (numerasi) siswa,
Survei Karakter untuk mengukur sikap,
nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang
mencerminkan karakter siswa sebagai
perwujudan Profil Pelajar Pancasila
(beriman, bertakwa dan berakhlak mulia;
mandiri; kreatif; bernalar kritis, bergotong
royong, dan berkebinekaan global), dan
Survei Lingkungan Belajar untuk
mengukur kualitas proses pembelajaran dan
iklim sekolah yang menunjang
pembelajaran. Literasi dan numerasi
merupakan kemampuan mendasar yang
dapat diterapkan secara luas dalam segala
situasi dan dibutuhkan siswa untuk
menjalani hidup dan perikehidupannya
lintas bidang ilmu atau mata pelajaran dan
lintas profesi. Artinya, profesi apapun akan
selalu membutuhkan kemampuan literasi
dan numerasi yang dapat diajarkan pada
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
96 | Julaeha. 92-105
semua bidang ilmu atau mata pelajaran di
setiap jenjang pendidikan.
AKM sebagaimana dipaparkan di
atas merupakan asesmen yang dilaksanakan
secara nasional pada aspek pengetahuan
(kognitif). Pengembangan soal AKM dalam
framework AKM dibagi ke dalam enam
level, yakni level 1 (kelas 1 – 2), level 2
(kelas 3 – 4), level 3 (kelas 5 – 6), level 4
(kelas 7 – 8), level 5 (kelas 9 – 10), dan
level 6 (kelas 11 – 12). Setiap kompetensi
yang diukur dalam setiap level dituangkan
ke dalam learning progression literasi dan
numerasi. Hal ini mendasari pelaksanaan
AKM yang dilaksanakan selain secara
nasional juga berbasis kelas. AKM berbasis
kelas dilaksanakan oleh guru di setiap
satuan dan jenjang pendidikan untuk
memantau progres belajar literasi dan
numerasi (milestone) sebelum
dilaksanakannya AKM secara nasional
pada kelas V, VIII, dan XI. Dengan
demikian, guru harus memiliki
pengetahuan tentang kerangka kerja AKM,
pembelajaran berbasis AKM, dan
bagaimana mengembangkan soal AKM
(Pusmenjar, 2020, hlm. 19-33).
Pembelajaran Literasi Di Sekolah Dasar
Kemampuan literasi merupakan
salah satu kategori keterampilan yang
dibutuhkan pada abad 21, selain
kompetensi abad 21 (4C) dan kualitas
karakter menurut WEF (world economic
forum). Kemampuan literasi yang
dibutuhkan oleh setiap individu pada abad
21 agar dapat hidup dengan layak di
lingkungan masyarakat dunia terdiri atas
enam keterampilan, di antaranya literasi
membaca. Literasi membaca merupakan
kemampuan untuk memahami,
menggunakan, mengevaluasi, merefleksi
bentuk-bentuk teks tertulis yang dibutuhkan
oleh individu. Literasi membaca menurut
framework AKM dapat ditinjau dari tiga
komponen (aspek), yakni konten, proses
kognitif, dan konteks sebagaimana
framework asesmen internasional PISA
(Programme for Internasional Student
Assessment) dan TIMSS (Trends in
International Mathematics and Social
Study).
Konten teks dalam literasi
membaca, meliputi teks fiksi atau teks
imajinasi dan teks informasi atau teks
faktual. Teks fiksi berupa karya imajinatif
yang mengangkat persoalan-persoalan
kehidupan manusia (cerita rakyat, legenda,
fabel, mitos, fiksi ilmiah, satir, puisi, prosa,
drama, novel, pantun, soneta, epos, cerita
fantasi, ironi, lirik lagu, dll.), sedangkan
teks informasi atau nonfiksi berupa teks
yang ditulis berdasarkan data-data faktual,
peristiwa-peristiwa, dan sesuatu yang
benar-benar ada dan terjadi dalam
kehidupan yang dilengkapi dengan
gambar/foto, tabel, grafik, infografis,
diagram, dll. (iklan, dokumen perusahaan,
berita, artikel, laporan, pidato, buku
pelajaran, pamplet, brosur, bulletin,
infografis, label makanan/obat, resep,
ulasan, jurnal ilmiah, laporan penelitian,
buku panduan, editorial, dll.). Teks fiksi
dapat digunakan dalam pembelajaran untuk
membangkitkan daya imajinasi dan
kreativitas siswa, terutama siswa SD yang
pada umumnya memiliki karakteristik
senang berimajinasi, sementara teks
informasi dapat digunakan dalam
pembelajaran untuk menumbuhkan
keterampilan berpikir kritis dengan dasar
fakta, data, dan informasi.
Konteks teks dalam literasi
membaca terdiri atas konteks personal,
sosial budaya, dan saintifik. Konteks
personal berupa teks atau bacaan yang
berisi peristiwa, latar, aksi, karakter,
suasana, perasaan, ide, mapun wawasan
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
97 | Julaeha. 92-105
yang bersifat personal (hobi, cita-cita,
peristiwa, pengalaman, gaya hidup,
pekerjaan/profesi, dll.), konteks sosial
budaya berupa teks atau bacaan yang
mencerminkan pandangan masyarakat
terkait kondisi sosial budaya (transportasi
umum, permainan tradisional,
perekonomian, kebijakan publik, makanan
khas, tarian, kebiasaan masyarakat, dll.),
sementara konteks saintifik berupa teks
atau bacaan yang dapat meningkatkan
kemampuan untuk memahami pengetahuan
kecakapan ilmiah dengan mengidentifikasi
pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru,
menjelaskan fenomena ilmiah, mengambil
simpulan berdasarkan fakta, memahami
karakteristik sains, dan kemauan untuk
terlibat dan peduli terhadap isu-isu sains
(ilmu ruang angkasa, ilmu medis,
kandungan gizi, ilmu fisika, cuaca/iklim,
gejala alam, ilmu biologi, dll.). Beragam
konteks dilibatkan dalam pembelajaran
literasi, agar siswa memiliki kemampuan
literasi yang berkembang mulai dari level
perlu intervensi khusus, dasar, cakap, dan
mahir.
Proses kognitif pada literasi
membaca terdiri atas tiga level, yakni (1)
menemukan informasi dalam teks (access
& retrieve); (2) memahami teks (interpret
& integrate); dan (3) mengevaluasi dan
merefleksi teks (evaluate & reflect). Level
menemukan informasi dalam teks (access
& retrieve) merupakan kompetensi untuk
menemukan, mengidentifikasi, dan
mendeskripsikan suatu gagasan atau
informasi yang secara eksplisit terdapat
dalam teks. Level memahami teks
(interpret & integrate) merupakan
kompetensi untuk menguraikan dan
mengintegrasikan informasi yang
ditemukan dengan cara membandingkan
dan mengontraskan ide atau informasi
dalam atau antarteks, membuat simpulan,
mengelompokkan, dan mengombinasikan
ide dan informasi dalam teks atau antarteks.
Sementara itu, level mengevaluasi dan
merefleksi teks (evaluate & reflect)
merupakan kompetensi untuk membuat
penilaian terhadap teks atau membuat
refleksi terhadapnya dengan menggunakan
pengetahuan, ide, atau sikap yang termuat
secara eksplisit atau implisit dalam teks
kedalam kehidupan atau pengalaman
sehari-hari. Pembelajaran literasi
dilaksanakan secara berjenjang, mulai dari
level menemukan informasi dalam teks,
memahami teks, dan merefleksi teks
(Pusmenjar, 2020, hlm. 11-21).
Pembelajaran literasi sesuai dengan
framework asesmen nasional AKM
merujuk pada asesmen internasional PISA
dan TIMSS meliputi beberapa tahapan
supaya siswa dapat berinteraksi dengan
konten-konten yang termuat di dalam teks,
baik fiksi maupun informasi. Tahapan
dalam pembelajaran literasi menurut
framework AKM relevan dengan level
dalam proses kognitif untuk literasi
membaca sebagai berikut.
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
98 | Julaeha. 92-105
Gambar 1. Pembelajaran Literasi Membaca sesuai Framework AKM
Berdasarkan Gambar 1 di atas,
pembelajaran literasi membaca pada
jenjang SD dimulai dari pengelolaan
terhadap konteks dan tugas membaca siswa
dimana guru harus memiliki bank atau
koleksi teks, baik fiksi maupun informasi
yang dikembangkan sendiri atau komunitas
agar relevan dengan konteks siswa yang
diajarnya. Selanjutnya, guru memfasilitasi
pembelajaran literasi membaca secara
bertahap mulai dari membaca permulaan
(kelas awal SD) dan membaca lancar
pemahaman untuk menemukan informasi
yang secara eksplisit terdapat dalam teks,
menceritakan isi teks dengan bahasa
sendiri, menyimpulkan makna dari isi teks,
menilai teks, dan merefleksi isi teks
dikaitkan dengan pengalaman atau
kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Numerasi di Sekolah
Dasar
Numerasi merupakan kemampuan
berpikir menggunakan konsep, prosedur,
fakta, dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah sehari-hari pada
berbagai jenis konteks yang relevan untuk
individu sebagai warga negara Indonesia
dan dunia. Numerasi juga dapat dimaknai
sebagai kemampuan yang dimiliki individu
dalam menggunakan pengetahuan
matematika yang dimilikinya untuk
menjelaskan kejadian, memecahkan
masalah, atau mengambil keputusan dalam
kehidupan sehari-hari (berpikir/bernalar
logis dan sistematis). Numerasi banyak
kaitannya dengan bidang ilmu Matematika,
terutama terkait konten dalam numerasi
berdasarkan framework AKM merujuk
pada bidang kajian dalam bidang ilmu
Matematika yang meliputi: Bilangan
(Kuantitas), Aljabar (Perubahan dan
Hubungan), Geometri dan Pengukuran
(Ruang dan Bentuk), serta Statistik dan
Penyajian Data (Ketidakpastian dan Data).
Konteks numerasi seperti halnya
konteks literasi meliputi konteks personal,
sosial budaya, dan saintifik. Konteks
personal berupa aktivitas seseorang,
keluarga, atau kelompok tertentu (makanan,
belanja, permainan, kesehatan pribadi,
transportasi pribadi, olahraga, perjalanan,
penjadwalan pribadi, keuangan pribadi,
dll.), konteks sosial budaya berupa masalah
komunitas atau masyarakat baik lokal,
nasional, maupun global (sistem
pemungutan suara, transportasi umum,
pemerintahan, kebijakan publik, demografi,
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
99 | Julaeha. 92-105
periklanan, statistik, ekonomi nasional,
dll.), dan konteks saintifik berupa aplikasi
matematika di alam semesta dan isu serta
topik yang berkaitan dengan sains dan
teknologi (cuaca/iklim, ekologi, ilmu
medis, ilmu ruang angkasa, genetika,
pengukuran, dll. baik ekstra- maupun
intramatematika). Beragam konteks
dilibatkan dalam pembelajaran numerasi,
agar siswa memiliki kemampuan numerasi
yang berkembang dari mulai level perlu
intervensi khusus, dasar, cakap, dan mahir,
sehingga guru dapat memberikan intervensi
pembelajaran sesuai dengan level belajar
numerasi siswa (learning at the right level).
Proses kognitif pada numerasi
terdiri atas tiga level, yakni (1) knowing
(mengetahui) berupa kemampuan
pengetahuan peserta didik tentang fakta,
proses, konsep, dan prosedur; (2) applying
(menerapkan) berupa kemampuan siswa
untuk menerapkan pengetahuan atau
pemahaman tentang fakta, relasi, proses,
konsep, prosedur, dan metode pada konteks
situasi nyata untuk menyelesaikan masalah
atau menjawab pertanyaan; dan (3)
reasoning (bernalar) berupa kemampuan
siswa dalam menganalisis data dan
informasi, membuat simpulan, dan
memperluas pemahaman mereka dalam
situasi baru, baik yang tidak diketahui
sebelumnya maupun konteks yang lebih
kompleks. Pembelajaran numerasi
dilaksanakan secara berjenjang sesuai
dengan tahapan proses kognitif di atas, agar
setiap siswa belajar sesuai dengan lintasan
belajar masing-masing (learning trajectory)
(Pusmenjar, 2020, hlm. 70-73).
Pembelajaran numerasi sesuai
dengan framework asesmen nasional AKM
merujuk pada asesmen internasional PISA
dan TIMSS meliputi beberapa tahapan
supaya siswa dapat mengetahui,
menerapkan, dan bernalar menggunakan
objek matematis untuk memecahkan
masalah dan mengambil keputusan yang
melibatkan proses berpikir logis sistematis.
Proses belajar ini dapat melatih
kemampuan siswa dalam berpikir kritis,
memecahkan masalah, dan mengambil
keputusan berdasarkan fakta, data,
informasi, dan pengetahuan. Fakta
merupakan sesuatu yang tertangkap oleh
alat indera, data merupakan catatan dari
fakta, informasi merupakan keterkaitan
antardata yang memunculkan makna yang
lebih komprehensif, sedangkan
pengetahuan merupakan informasi yang
terbukti benar dan diyakini benar. Tahapan
dalam pembelajaran numerasi relevan
dengan level dalam proses kognitif untuk
numerasi sebagai berikut.
Gambar 2. Pembelajaran Numerasi sesuai Framework AKM
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
100 | Julaeha. 92-105
Berdasarkan Gambar 2 di atas,
pembelajaran numerasi dimulai dari
masalah kontekstual tertentu untuk
diformulasikan kedalam masalah matematis
bersama guru dan siswa. Selanjutnya, guru
memfasilitasi siswa untuk melakukan
aktivitas matematis sambil melakukan
eksplorasi terhadap objek-objek matematis
berupa fakta, konsep, prosedur, relasi,
operasi, dan objek matematis lainnya. Guru
memantau kinerja mandiri siswa dalam
melakukan eksplorasi matematis dengan
sekali-kali memberikan bimbingan atau
bantuan untuk siswa yang
membutuhkannya. Objek-objek matematis
yang berhasil dieksplorasi oleh siswa dan
tertanam dalam benaknya dikaitkan dengan
konteks baru tertentu, sehingga siswa dapat
lebih memaknai atau menginterpretasi
objek-objek matematis tersebut. Akhirnya,
guru menguji kemampuan numerasi siswa
terkait objek-objek matematis yang
dipahaminya melalui masalah kontekstual
baru lainnya sehingga pembelajaran lebih
bermakna dan akan terskemakan dengan
baik dalam skemata benak siswa. Hal ini
relevan dengan pembelajaran matematika
kontemporer menurut Harel (2008) yang
disebut dengan Model Triadic.
Gambar 3. Pembelajaran Numerasi sesuai Model Triadic (Harel, 2008)
Berdasarkan Gambar 3 di atas,
pembelajaran numerasi dimulai dari
masalah tertentu baik kontekstual maupun
rekayasa sebagai pemicu aktivitas berpikir
(aksi mental) meskipun masih bersifat acak
(belum terstruktur), sehingga siswa dapat
memformulasikannya ke dalam masalah
matematis dan menyelesaikan masalah
tersebut menggunakan pengetahuan
matematika yang telah diketahui atau
dipahaminya (fakta, konsep, prosedur,
relasi, operasi, dll.) dan berjuang mencari
tahu pengetahuan matematika yang belum
diketahuinya. Kesempatan yang diberikan
untuk siswa berjuang memecahkan masalah
melalui aktivitas eksplorasi matematis
secara mandiri akan membentuk alur
berpikir yang lebih teratur, sehingga siswa
mampu menemukan atau menghasilkan
materi pembelajaran berupa objek
matematis tertentu yang kebenarannya
masih bersifat informal-subjektif.
Selanjutnya, guru memfasilitasi
pembelajaran agar terjadi aktivitas
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
101 | Julaeha. 92-105
pemahaman terhadap konten materi
pembelajaran numerasi yang memiliki
kebenaran formal-universal. Akhirnya,
konten materi pembelajaran numerasi akan
bermakna bagi siswa ketika dikaitkan
kembali dengan konteks yang relevan dan
digunakan untuk memecahkan masalah
yang relevan dengan materi pembelajaran
yang telah dipelajari (Suryadi, 2019, hlm.
14).
Pembelajaran numerasi berdasarkan
paradigma di atas relevan dengan
pernyataan Dewantara (2004, hlm. 48)
bahwa dalam pengajaran pengetahuan, guru
tidak hanya menyampaikan pengetahuan
yang baik dan perlu saja, tetapi juga yang
bermanfaat untuk hidup siswa dengan cara
menemukan sendiri dan tidak melupakan
lingkungan di sekitarnya. Pengetahuan
yang bermanfaat merupakan hasil proses
belajar yang bermakna, eksplorasi
matematis merupakan perjuangan siswa
untuk menemukan sendiri pengetahuan,
dan lingkungan di sekitar siswa merupakan
konteks yang dapat berbentuk masalah
untuk menstimulasi belajar siswa. Hal ini
dikuatkan dengan pernyataan Iriawan
(2019, hlm. 362-366) bahwa pembelajaran
matematika idealnya diawali dengan proses
rekontekstualisasi matematis merupakan
tahap pembelajaran yang mengembalikan
materi pembelajaran matematika kedalam
konteksnya sehingga setiap siswa dapat
memaknainya dengan cara pandang yang
berbeda, dan diakhiri dengan
kontekstualisasi matematis yang
merupakan proses pembelajaran
matematika yang mengondisikan siswa
untuk mengalami atau terlibat dengan
situasi didaktis nyata yang kontekstual.
Dengan demikian, pembelajaran numerasi
idealnya dimulai dengan masalah
kontekstual sebagai input untuk
diselesaikan secara mandiri oleh siswa dan
diakhiri dengan masalah kontekstual
lainnya yang masih relevan sebagai bentuk
evaluasi untuk mengukur ketercapaian
kemampuan numerasi siswa.
Manajemen Pembelajaran Literasi dan
Numerasi di SD
Pembelajaran literasi pada jenjang
SD dapat terlaksana dengan efektif sesuai
framework AKM apabila dikelola dengan
baik secara sistemik melibatkan seluruh
unsur atau sumber daya yang dimiliki oleh
sekolah sesuai dengan perannya masing-
masing. Guru dapat mengembangkan bank
atau koleksi teks yang terdiri atas teks fiksi
dan teks informasi dengan beragam
konteks, kemudian mengelola pembelajaran
literasi dengan memanfaatkan bank teks
tersebut. Teks fiksi akan lebih banyak
digunakan pada jenjang SD terutama kelas
awal dibanding dengan teks informasi,
karena siswa SD memiliki karakteristik
secara umum yang masih senang
berimajinasi. Kepala sekolah berperan
sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya, terutama dalam bidang
manajerial dan supervisi akademik sesuai
kompetensinya dalam memimpin
pembelajaran dan memimpin manajemen
sekolah terkait pembelajaran literasi.
Kepala sekolah menginisiasi kegiatan
sekolah untuk menguatkan kemampuan
literasi guru, tenaga kependidikan, dan
siswa yang terintegrasi dengan program
Gerakan Literasi Sekolah dan Gerakan
Literasi Kelas. Selain itu, kepala sekolah
memantau atau memonitor kinerja guru
dalam mempersiapkan perangkat
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
dan melakukan penilaian pembelajaran
berbasis pembelajaran literasi sesuai
framework AKM.
Kepala sekolah dapat memfasilitasi
guru untuk mengembangkan bank atau
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
102 | Julaeha. 92-105
koleksi teks dengan beragam konteks,
memberikan contoh sebagai model untuk
memimpin pembelajaran terkait
pelaksanaan pembelajaran literasi,
melakukan supervisi pembelajaran
menerapkan pendekatan yang relevan untuk
meningkatkan kemampuan guru dalam
merancang, melaksanakan, dan menilai
pembelajaran literasi sesuai framework
AKM, seperti supervisi kolaboratif
reflektif. Kepala sekolah juga sebagai
pemimpin dan manajer di setiap satuan
pendidikan dapat membangun jejaring
kemitraaan dengan komunitas lain di
sekitarnya yang memiliki kepedulian
terhadap pendidikan untuk mendukung
seluruh program sekolah, terutama terkait
pembelajaran literasi. Kepala sekolah yang
visioner memiliki visi dan misi yang jelas
dan terukur untuk mewujudkan lulusan
yang literat, disertai strategi yang logis dan
rasional yang relevan dengan teori-teori
kontemporer tentang pembelajaran literasi
di SD.
Pembelajaran numerasi pada
jenjang SD harus disesuaikan dengan
karakteristik siswa SD yang masih berpikir
konkret, sehingga setiap konten selalu
disesuaikan dengan konteks yang dekat
dengan hidup siswa. Peran semua unsur di
setiap satuan pendidikan sangat
menentukan terlaksananya pembelajaran
numerasi secara efektif sesuai framework
AKM. Guru dapat mengembangkan
berbagai masalah kontekstual atau rekayasa
dengan beragam konteks, kemudian
mengelola pembelajaran numerasi dengan
memanfaatkan berbagai masalah tersebut.
Kepala sekolah berperan sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya, terutama
dalam bidang manajerial dan supervisi
akademik sesuai kompetensinya dalam
memimpin pembelajaran dan memimpin
manajemen sekolah terkait pembelajaran
numerasi. Kepala sekolah menginisiasi
kegiatan sekolah untuk menguatkan
kemampuan numerasi guru, tenaga
kependidikan, dan siswa. Selain itu, kepala
sekolah memantau atau memonitor kinerja
guru dalam mempersiapkan perangkat
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
dan melakukan penilaian pembelajaran
berbasis pembelajaran numerasi sesuai
framework AKM.
Kepala sekolah dapat memfasilitasi
guru untuk mengembangkan berbagai
masalah kontekstual dan rekayasa dengan
beragam konteks, memberikan contoh
sebagai model untuk memimpin
pembelajaran terkait pelaksanaan
pembelajaran numerasi, melakukan
supervisi pembelajaran menerapkan
pendekatan yang relevan untuk
meningkatkan kemampuan guru dalam
merancang, melaksanakan, dan menilai
pembelajaran numerasi sesuai framework
AKM. Kepala sekolah juga sebagai
pemimpin dan manajer di setiap satuan
pendidikan dapat membangun jejaring
kemitraaan dengan komunitas lain di
sekitarnya yang memiliki kepedulian
terhadap pendidikan untuk mendukung
seluruh program sekolah, terutama terkait
pembelajaran numerasi. Kepala sekolah
yang visioner memiliki visi dan misi yang
jelas dan terukur untuk mewujudkan
lulusan yang numerat, disertai strategi yang
logis dan rasional yang relevan dengan
teori-teori kontemporer tentang
pembelajaran numerasi di SD.
Manajemen pembelajaran literasi
dan numerasi yang baik di setiap satuan
pendidikan akan menentukan efektivitas
pembelajaran literasi dan numerasi di
satuan pendidikan tersebut. Manajemen
pembelajaran dilaksanakan secara
kolaboratif dengan penuh kesadaran akan
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
103 | Julaeha. 92-105
peran masing-masing. Hal ini relevan
dengan pernyataan Hicks & Gullett (1981,
hlm. 5) bahwa manajer dalam aktivitas
manajemen berjalan saling membutuhkan
dan bergandengan tangan dengan sebuah
organisasi yang dipimpinnya. Manajemen
pembelajaran yang baik akan
menumbuhkan budaya belajar kolaboratif
dan iklim belajar yang kondusif untuk
siswa melaksanakan pembelajaran literasi
dan numerasi, yang pada akhirnya akan
mampu mewujudkan generasi yang literat
dan numerat. Generasi tersebut merupakan
generasi gemilang berbudaya yang mampu
menaklukan alam dan zaman, sehingga
menjadi manusia paripurna yang hidup
dengan layak di lingkungan masyarakat
dunia, sejahtera lahir dan batin.
Kesejahteraan lahir dan batin siswa
merupakan tujuan utama pendidikan,
termasuk pembelajaran literasi dan
numerasi yang merupakan bagian integral
dari pendidikan dengan cara memberikan
ilmu pengetahuan tentang keterbukaan
wawasan dan pemecahan masalah secara
logis dan sistematis.
SIMPULAN
Asesmen nasional yang akan
dilaksanakan mulai tahun 2021, melalui
AKM, survei karakter, dan survei
lingkungan belajar di setiap satuan
pendidikan pada setiap jenjang pendidikan
kelas V SD, kelas VIII SMP, dan kelas XI
SMA/SMK harus disambut baik oleh
shareholders dan stakeholders pendidikan
pada jenjang pendidikan tersebut. Asesmen
nasional yang akan dilaksanakan tidak lagi
melakukan evaluasi individual, melainkan
mengevaluasi sistem pendidikan di setiap
satuan pendidikan. Potret mutu pendidikan
setiap satuan pendidikan merupakan dasar
perbaikan secara berkelanjutan di satuan
pendidikan tersebut. Mutu pendidikan di
setiap satuan pendidikan dipotret melalui
hasil AKM dengan fokus pada kecakapan
literasi membaca dan numerasi, survei
karakter untuk memotret sikap dan budi
pekerti siswa, serta survei lingkungan
belajar untuk memotret lingkungan belajar
siswa sebagai pendukung pembelajaran.
Literasi dan numerasi merupakan
kemampuan mendasar yang dibutuhkan
untuk hidup siswa harus dipelajari sejak
dini, mulai dari jenjang SD. Fasilitasi dan
intervensi guru dalam pembelajaran literasi
dan numerasi di SD harus disesuaikan
dengan framework AKM, agar siswa dapat
belajar sesuai dengan tingkat
pencapaiannya (learning at the right level).
Pembelajaran literasi melibatkan konten
berupa teks fiksi dan teks informasi yang
melibatkan proses pembelajaran membaca
dan menemukan isi teks secara eksplisit,
menginterpretasi dan mengintegrasikan isi
teks secara implisit agar dapat dimaknai
dan disimpulkan oleh siswa, serta
mengevaluasi dan merefleksi teks dikaitkan
dengan teks lainnya dan pengalaman
sehari-hari siswa. Sedangkan pembelajaran
numerasi melibatkan masalah kontekstual
untuk diformulasikan oleh siswa kedalam
masalah matematis, dieksplorasi secara
mandiri oleh siswa, dimaknai dengan
mengaitkan pengetahuan matematis dengan
masalah kontekstual lainnya, serta
dievaluasi dengan masalah kontekstual
yang berbeda dengan sebelumnya.
Manajemen pelaksanaan
pembelajaran literasi dan numerasi akan
sangat menentukan efektivitas
pembelajaran literasi dan numerasi.
Beberapa pengelolaan pembelajaran literasi
dan numerasi di SD yang dapat dilakukan
oleh guru dan kepala sekolah, antara lain:
a. Guru membuat bank atau koleksi teks
yang dikembangkan sendiri oleh guru,
baik teks fiksi maupun teks informasi
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
104 | Julaeha. 92-105
untuk pembelajaran literasi, sedangkan
kepala sekolah memonitor kinerja guru
dalam merancang pembelajaran literasi
di SD.
b. Guru membuat bank atau koleksi
masalah kontekstual yang dikembangkan
sendiri oleh guru untuk pembelajaran
numerasi, sedangkan kepala sekolah
memonitor kinerja guru dalam
merancang pembelajaran numerasi di
SD.
c. Guru melaksanakan pembelajaran
literasi secara bertahap, mulai dari
membaca dan menemukan isi teks secara
eksplisit, menginterpretasi dan
mengintegrasikan isi teks sampai
memaknai dan menyimpulkan isi teks
secara implisit, serta mengevaluasi dan
merefleksi teks dikaitkan dengan teks
lainnya dan pengalaman hidup siswa.
Sementara itu, kepala sekolah
melakukan supervisi akademik dengan
menerapkan pendekatan kontemporer,
serta menempatkan diri sebagai
pemimpin pembelajaran melalui menjadi
model atau contoh bagi guru dalam
pembelajaran literasi.
d. Guru melaksanakan pembelajaran
numerasi secara bertahap, mulai dari
memahami masalah kontekstual,
memformulasikan masalah kontekstual
kedalam masalah matematis, melakukan
eksplorasi matematis, menginterpretasi
objek matematis dikaitkan dengan
masalah kontekstual lainnya, dan
mengevaluasi siswa menggunakan
masalah kontekstual yang berbeda
dengan sebelumnya. Sementara itu,
kepala sekolah melakukan supervisi
akademik dengan menerapkan
pendekatan kontemporer, serta
menempatkan diri sebagai pemimpin
pembelajaran melalui menjadi model
atau contoh bagi guru dalam
pembelajaran numerasi.
e. Kepala sekolah membangun jejaring
kemitraan dengan komunitas lainnya
untuk mendukung terlaksananya
pembelajaran literasi dan numerasi, baik
secara material maupun non-material.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara. 2004. Pendidikan. Yogyakarta:
Majelis Luhur Persatuan Taman
Siswa.
Harel. 2008. What is Mathematics? A
Pedagogical Answer to a
Philosophical Question. Dalam B.
Gold & R.A. Simons (Eds.): Proof
and other Dilemmas: Mathematics
and Philosophy (pp. 256-290). The
Mathematical Associationof
America.
Hicks, G. H. & Gullett, C. R. 1981.
Management. Tokyo Japan:
McGraw Hill, Inc.
Iriawan, S. B. 2019. Pengembangan Model
Pembelajaran Matematika berbasis
Sistem Among Ki Hadjar
Dewantara untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis,
Kemandirian Belajar, dan
Kebiasaan Berpikir Matematis
Siswa Sekolah Dasar. (Desertasi).
Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud). 2016. Peraturan
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian
Pendidikan. Jakarta: Kemdikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud). 2018. Peraturan
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2018
Jurnal EDUPENA, Volume 01, Nomor 02, Desember 2020 p-ISSN 2722-3426
105 | Julaeha. 92-105
tentang Penugasan Guru sebagai
Kepala Sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud). 2019. Peraturan
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 43 Tahun 2019
tentang Penyelenggaraan Ujian
yang Diselenggarakan Satuan
Pendidikan dan Ujian Nasional.
Jakarta: Kemdikbud.
Pusat Asesmen dan Pembelajaran
Kemdikbud. 2020. Framework
AKM. Jakarta: Badan
Pengembangan, Penelitian, dan
Perbukuan.
Suryadi, D. 2019. Landasan Filosofis
Penelitian Desain Didaktis (DDR).
Bandung: Pusat Pengembangan
DDR Indonesia.