manajemen nausea vomiting akibat kemoterapi

Upload: khairatunnisa

Post on 20-Jul-2015

814 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

TUGAS KELOMPOK

MANAJEMEN MUAL DAN MUNTAH

Disusun oleh :

Dini Prabasari Ibnu Mauluddin Sutrisna Khaidir Imam Jayanto

07613127 07613129 07613130 0761313

Anisah Septiningtyas 07613132 Khairatunnisa Nurul Faizah Reisha Miryanti 07613138 07613142 07613144

Kelompok A 9

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2011

MANAJEMEN EMESISA. Pengertian Muntah atau vomite atau emesis adalah keadaan akibat kontraksi otot perut yang kuat sehingga menyebabkan isi perut menjadi terdorong untuk keluar melalui mulut baik dengan maupun tanpa disertai mual terlebih dahulu Mual dan muntah sering muncul bersama dalam berbagai kondisi, termasuk menjadi efek samping yang umum terjadi pada penggunaan obat anti neoplastik.. Mual dan muntah yang terjadi setelah dilakukan kemoterapi dikenal sebagai Chemotherapy Induced Nausea and Vomiting (CINV) Nausea dan vomiting yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi terapi pada pasien secara keseluruhan dan mempengaruhi respon terapi serta menurunkan tingkat kesembuhan pasien kanker. Selain itu mual muntah yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, penurunan berat badan, dan malnutrsisi. Muntah yang bekepanjangan dapat menyebabkan esophageal, kerusakan gastric dan pendarahan. B. Penyebab Kemoterapi merupakan salah satu faktor terbesar penyebab mual muntah. Selain disebabkan oleh kemoterapi kanker, mual dan muntah dapat disebabkan oleh obstruksi usus, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (hiperkalsemia, hiperkalemia,

hiponatremia), uremia, obat (digitalis, opium) dan metastase otak. Mual muntah sendiri lebih sering diklasifikasikan sebagai gejala (symptom) daripada penyakit. C. Mekanisme Mekanisme terjadinya muntah setelah kemoterapi terjadi setelah adanya

pengiriman pesan menuju otak yang merupakan lokasi pusat muntah melalui dua jalur yaitu : 1. Stimulasi pada CTZ (Chemotherapy Trigger Zone) Chemotherapy Trigger Zone adalah organ kemosensoris mayor untuk mual dan muntah, biasanya berhubungan dengan mual karena bahan kimia. Obat kemoterapi menstimulasi reseptor neurotransmiter dan dapat membantu aktifitas CTZ dan pusat muntah. 2. Stimulasi pada bagian tertentu di esofagus, perut, usus halus dan usus besar.

D. Faktor Yang Mempengaruhi Mual Dan Muntah Paska Kemoterapi Mual muntah yang terjadi paska kemoterapi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Tipe agen kemoterapi yang digunakan 2. Dosis kemoterapi yang digunakan Dosis kemoterapi yang lebih besar menyebabkan mual dan muntah yang lebih besar pula. 3. Frekuensi dan interval pemberian Obat kemoterapi yang banyak menimbulkan mual dan muntah adalah obat yang diberikan dalam interval yang sering sehingga waktu pasien untuk dapat memulihkan diri dari mual dan muntah pendek. 4. Rute pemberian obat Obat kemoterapi yang diberikan secara intarvena dapat menyebabkan mual muntah lebih cepat dibandingkan dengan pemberian peroral, karena lebih cepat diabsorbsi. 5. Faktor individu Mual muntah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan konsumsi alkohol. E. Klasifikasi Mual-Muntah Belum ada standar yang jelas mengenai definisi jenis mual-muntah, namun secara umum mual muntah dapat dibagi menjadi: 1. Dipercepat: gejala mual dan muntah akan timbul 30 120 menit setelah kemoterapi. 2. Akut: gejala mual dan muntah muncul < 24 jam pertama setelah kemoterapi 3. Tertunda: gejala mual dan muntah muncul > 24 jam setelah pemberian kemoterapi, biasanya efek ini berhubungan dengan penggunaan cisplatin, cyclophosphamide dan obat lain (misalnya, doxorubicin, dan ifosfamide) yang diberikan dalam dosis tinggi atau 2 hari atau lebih secara berturut-turut. Gejala ini biasanya akan menghilang setelah 2 3 hari. pemberian terapi infus lanjutan carboplatin memiliki efek mual muntah yang berbeda dengan cisplatin. Carboplatin memiliki profil eksresi yuang lebih rendah daripada cisplatin, namun memiliki waktu pelepasan serotonin yang lebih panjang. Emesis pada penggunaan karboplatin biasanya terjadi setelah 6-7 jam pemberian kemoterapi dan dapat bertahan hingga 120 jam.

4. Antisipatif: merupakan mual-muntah yang terjadi sebelum awal siklus baru kemoterapi dimulai. Hal ini terjadi karena adanya rangsang seperti bau, pemandangan, dan suara yang ada di ruang terapi. Antisipatif merupakan respon klasik yang terjadi setelah 3-4 kali perawatan kemoterapi sebelumnya, baik pasien yang mengalami mual muntah akut maupun tertunda. 5. Kronis pada pasien kanker lanjut: yang terjadi pada pasien kanker stadium lanjut terkait dengan berbagai etiologi potensial. Belum ada definisi yang pasti mengenai hal ini, namun faktor potensial ini diperkirakan meliputi gastrointestinal, cranial, metabolic, drug-induced (cth: morphine), cytotoxic chemotherapy, dan radiationinduced mechanisms. F. Karakteristik Pasien dan Emesis a. Riwayat emesis tidak terkontrol Emesis yang sulit dikontrol sebelum penggunaan kemoterapi akan menyebabkan pasien lebih sulit untuk mengontrol emesisnya saat dilakukan kemoterapi walaupun sudah diberikan antiemesis, terutama untuk emesis yang bersifat akut. b. Pernah mengonsumsi alkohol Emesis akan lebih mudah muncul pada pasien yang biasa menggunakan alkohol dalam dosis tinggi (>100 g/ hari). Semakin banyak alkohol yang dikonsumsi makan risiko kejadian emesis akan semakin tinggi. c. Usia Beberapa penelitian mengemukakan lebih mudah untuk mengontrol emesis pada pasien dalam usia lanjut. Pada pasien yang lebih muda biasanya ada kecendrungan untuk perkembangkan kearah reaksi distonik akut. d. Jenis kelamin Lebih sulit untuk mengontrol emesis pada wanita daripada laki laki yang diberikan kemoterapi yang sama termasuk dalam dosis dan frekuensi pemberiannya. e. Motion sickness Pasien yang mengalami motion sickness biasanya lebih mudah mengalami mual muntah akibat kemoterapi. G. Klasifikasi Agen Kemoterapi Berdasarkan Emetogenisitasnya Terdapat bermacam-macam standar penggolongan emetogenisitas agen kemoterapi, tapi pada penelitian ini penggolongan mengacu pada standar National Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun 2007 dan DiPiro dan Taylor.

Tabel I. Aktivitas Emetogenik Obat Antikanker Menurut NCCN

Tabel II.Aktivitas Emetogenik Dari Obat Antikanker Menurut Dipiro Dan Taylor

Menurut American Society of Health-System Pharmacist (1999), penentuan tingkat emetogenisitas regimen kemoterapi kombinasi dilakukan dengan pedoman sebagai berikut: a. Tingkat emetogenisitas tertinggi dari regimen kemoterapi ditentukan terlebih dahulu.

b. Penambahan obat kemoterapi level 1 tidak mempengaruhi emetogenisitas regimen kemoterapi c. Penambahan 1 atau lebih obat kemoterapi level 2 akan meningkatkan emetogenisitas regimen kemoterapi 1 level lebih tinggi dari obat dengan emetogenisitas tertinggi. d. Penambahan obat kemoterapi level 3 dan 4 akan meningkatkan emetogenisitas regimen kemoterapi 1 level lebih tinggi tiap obat. H. Terapi Mual Dan Muntah Secara garis besar terapi yang digunakan meliputi 2 macam, yaitu :1. Terapi farmakologi dengan antiemetik

Antiemetik yang biasa digunakan dalam terapi CINV yaitu :a. Fenotiazin

Obat ini merupakan lini pertama yang digunakan dalam penanganan mual dan muntah akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya adalah dengan

memblokade reseptor dopamin di area postrema (CTZ dan pusat muntah) digunakan untuk mengobati mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas ringan. Fenotiazin yang diberikan secara IV memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan pemberian secara peroral. Contoh obat golongan ini misalnya : proklorperazin, klorpromazin, perphenazine, thiethylpirazine dan promethazine. Efek samping yang sering timbul adalah sedasi, akathisia, hipotensi, dan reaksi diastonik.b. Kortikosteroid

Kortikosteroid khususnya deksametason digunakan untuk mencegah mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas sedang hingga berat. Mekanisme kerjanya belum diketahui pasti, namun diduga karena mampu menyebabkan perubahan permeabilitas sel dan mampu menghambat

prostaglandin. Efek samping yang sering muncul adalah insomnia dan perut terasa terbakar.c. Metoklopramid

Metoklopramid merupakan antiemetik pilihan kedua dalam penanganan mual dan muntah akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade reseptor dopaminergik di CTZ dan dapat digunakan untuk segala macam klasifikasi dari mual muntah akibat kemoterapi. Efek samping yang sering muncul adalah diare, reaksi ekstrapiramidal, sedasi, dan hipotensi.

d. Antagonis reseptor neurokinin

Obat golongan ini biasanya digunakan secara kombinasi dengan SSRI dan kortikosteroid untuk mencegah mual muntah akut dan tunda, misalnya : aprepitan.e. SSRI (Selective serotonin reuptake inhibitor)

Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade fase CINV akut, sehingga digunakan sebagai terapi standar CINV, PONV, RINV, dengan efek samping yang ringan, misalnya : ondansentron, granisentron, palonosentron, dolasentron. Untuk terapi pencegahan karena pemakaian obat dengan emetogenisitas yang tinggi maka pemakaian obat ini dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid. Efikasi penggunaan obat ini dapat mencapai 30 50% pada pasien yang menggunakan cisplatin, sedangkan untuk obat-obatan kemoterapi lainnya efektivitas obat ini dapat mencapai 70%. Efek samping yang paling sering muncul dalam penggunaan obat golongan ini adalah pusing, konstipasi, meningkatkan enzim di hati, dan meningkatkan interval konduksi jantung.f. Antikolinergik

Alkaloid seperti skopolamin dan atropin memiliki efektivitas sebagai antiemetik dengan cara menghambat reseptor kolinergik pusat. Efek samping yang sering muncul adalah pandangan kabur, mulut kering, sedasi, dan lain lain. Contoh obat golongan ini adalah buclizin, meklizin.g. Antihistamin

Obat ini bekerja dengan memblok reseptor H di otak dan telinga tengah. Efek samping yang paling sering timbul adalah kantuk, mulut kering, dan sedasi. Contoh obat golongan ini adalah difenhidramin, dan hidroksizin.h. Benzodiazepin

Mekanisme antiemetik dari obat golongan ini belum dapat diketahui secara pasti. Efek samping yang paling sering dari obat ini adalah sedasi, pandangan kabur, dan amnesia. Lorazepam merupakan yang paling sering digunakan dari golongan ini, walaupun midazolam dan diazepam juga dapat digunakan. Benzodiazepin biasanya digunakan untuk aktivitas emetogenik yang ringan atau dipilih sebagai terapi profilaksis dalam penanganan mual dan muntah akut dan antisipatif.

Tabel III. Sediaan Antiemetik dan Regimen Dewasa

I. Tata Laksana Terapi Emesis 1. High Emetogenic Dexamethason 10-20mg P.O atau I.V + anatagonis serotonin per hari 15 - 30 menit sebelum kemoterapi. Antagonis serotonin yang direkomendasikan meliputi: a. Dolasetron 100 mg P.O 1x sehari b. Granisetron 2 mg P.O 1x sehari c. Granisetron 2 mg P.O tiap 12 jam d. Granisteron 10 mcg/kg I.V 1x sehari e. Granisetron 1 mg I.V 1x sehari f. Ondasetron 0,45 mg/kg I.V 1x sehari

g. Ondasetron 24-32 mg I.V 1x sehari h. Ondasetron 0,15mg/kg I.V tiap 8 jam i. Ondansetron 8-10mg I.V tiap 8 jam Untuk terapi infus lanjutan carboplatin dan regimen siklofosfamid dosis tinggi (>1g/m2) regimen yang dianjurkan adalah dexamethason 10mg P.O atau I.V + antagonis serotonin tiap 12 jam. Antagonis serotonin yang dianjurkan adalah : a. b. c. d. Granisetron 1mg P.O Granisetron 10mcg/kg I.V Ondansetron 10-16mg I.V Ondasetron 16-24mg P.O

2. Moderate Emetogenic Dexamethason 10-20mg P.O atau I.V + anatagonis serotonin per hari 15 - 30 menit sebelum kemoterapi. Antagonis serotonin yang direkomendasikan adalah : a. Granisetron 1mg P.O 1x sehari b. Ondansetron 16mg P.O 1x sehari c. Ondansetron 8-10mg I.V 1x sehari Untuk infus terapi lanjutan regimen yang diberikan adalah Dexamethason 4mg P.O atau I.V + Ondansetron 8mg P.O atau I.V tiap 12 jam pada setiap hari kemoterapi 3. Low Emetogenic Semua agent diberikan 15-30 menit sebelum kemoterapi dan dapat diulangi tipa 4-6 jam bila perlu kecuali dexamethason (diberikan 5-15 menit) dan droperidol diberikan secara I.V selama 30menit. Obat-obat yang direkomendasikan : a. Dexamethason 4mg P.O, I.V, I.M b. Droperidol 1,25-5mg I.V, I.M c. Haloperidol 2mg P.O, I.V, I.M d. Metoklopramid 30mg P.O, I.V, I.M e. Prochlorperazine 10-20mg P.O, I.V, I.M f. Tiethylpirazine 10-20mg P.O, I.V, I.M

4. Delay Emetogenic Dexamethason + antagonis serotonin atau dopamin. Terapi harus diberikan 12-24 jam sebelum kemoterapi. regimen yang direkomendasikan : Dexamethason 8mg P.O tiap 12 jam selama 2 hari kemudian 4 mg P.O tiap 12 jam selama 2 hari atau 20 mg P.O 1 jam sebelum kemoterapi; 10 mg P.O 12 jam setelah kemoterapi kemudian 8 mg P.O tiap 12 jam dibagi dalam 4 dosis kemudian 4 mg P.O tiap 12 jam dalam 4 dosis. Antagonis serotonin dan dopamin yang diberikan a. Droperidol 1,25-2,5 mg I.V atau I.M tiap 4 jam selama 4 hari b. Metoklopramid 0,5 mg/ kg P.O tiap 6 jam selama 4 hari c. Ondansetron 8 mg P.O tiap 8 jam selama 4 hari d. Prochlorperazine 10mg P.O tiap 6 jam selama 4 hari e. Prochlorperazine 15mg (sustained release) P.O 1jam sebelum kemoterapi diberikan tiap 12 jam untuk 5 dosis f. Thietylperazine 10mg P.O tiap 6 jam selama 4 hari

J. Rekomendasi Antiemetik untuk tiap regimen kemoterapi Regimen kemoterapi PMB Regimen antiemetik Terapi harus diberikan 12-24 jam sebelum

Cisplatin (high emetogenic); methotrexate; kemoterapi. bleomicin Dexamethason 8mg P.O tiap 12 jam selama 2 hari kemudian 4 mg P.O tiap 12 jam selama 2 hari. (+) antagonis serotonin Ondansetron 8 mg P.O tiap 8 jam selama 4 hari. BIP Bleomisin; emetogenic) ifosfamid; cisplatin Dexamethason 10-20mg P.O atau I.V (+) (high anatagonis serotonin Ondansetron 8-10mg I.V tiap 8 jam. Per hari 15 - 30 menit sebelum kemoterapi. CT Carboplatin (moderat emetogenic); paclitaxel Dexamethason 10-20mg P.O atau I.V + anatagonis serotonin Ondansetron 8-10mg I.V 1x sehari. Per hari 15 - 30 menit sebelum kemoterapi. Antagonis serotonin

ECF Epirubicin; cisplatin(high emetogenic); 5-fluorouracil

Terapi harus diberikan 12-24 jam sebelum kemoterapi. Dexamethason 8mg P.O tiap 12 jam selama 2 hari kemudian 4 mg P.O tiap 12 jam selama 2 hari. (+) antagonis serotonin Ondansetron 8 mg P.O tiap 8 jam selama 4 hari.

CMF

Terapi harus diberikan 12-24 jam sebelum

Cyclophosphamid (moderat emetogenic); kemoterapi. methotrexate; 5-fluorouracil Dexamethason 8 mg P.O tiap 12 jam selama 2 hari kemudian 4 mg P.O tiap 12 jam selama 2 hari (+) anatagonis

serotonin/dopamin Metoklopramid 0,5 mg/ kg P.O tiap 6 jam selama 4 hari atau Ondansetron 8 mg P.O tiap 8 jam selama 4 hari XT Capecetabine; docetaxel (moderat) Dexamethason 10-20mg P.O atau I.V + anatagonis serotonin Ondansetron 8-10mg I.V 1x sehari. Per hari 15 - 30 menit sebelum kemoterapi. ABVD Doxorubicin (moderat); bleomisin; vinblastin; decarbazine (high emetogenic). Dexamethason 10-20mg P.O atau I.V (+) anatagonis serotonin Ondansetron 8-10mg I.V tiap 8 jam. Per hari 15 - 30 menit sebelum kemoterapi. CHOP Cyclphosphamid (moderat); doxorubicin; vincristin; prednisolone. Prednisolone 100 mg p.o padahari 1-5. (+) anatagonis serotonin/dopamin Metoklopramid 0,5 mg/ kg P.O tiap 6 jam selama 4 hari atau Ondansetron 8 mg P.O tiap 8 jam selama 4 hari

K. Pendekatan yang perlu dilakukan dalam penanganan mual dan muntah 1. Pencegahan lebih baik diberikan pada pasien yang mengalami mual dan muntah yang akut. Sedangkan untuk pasien yang mengalami mual muntah kategori menengah hingga berat dapat diberikan antiemetik. Hal ini tergantung pada pemilihan antiemetik dan rute pemberian. Perlakuan sebaiknya diberikan 1 jam hingga 5 menit sebelum kemoterapi dilakukan. 2. Dosis dan frekuensi pemberian diberikan secara individual berbeda bagi tiap kondisi pasien dengan jadwal yang tetap. 3. Jika pasien tidak mengalami mual setelah 24 jam, maka terapi antiemetik dapat diberikan bila diperlukan. Pasien dianjurkan untuk menggunakan jadwal yang tetap dimulai dari gejala mual yang pertama kali muncul hingga 24 jam setelah pasien tidak lagi mengalami mual. 4. 5. Dosis dapat diturunkan tergantung daya toleransi pasien. Regimen kombinasi sebaiknya diberikan untuk mengoptimalkan terapi walaupun harus menggunakan dua golongan obat yang berbeda. 6. Sedapat mungkin hindari penggunaan dua obat atau lebih yang berasal dari kategori farmakologi yang sama. 7. Mual dan muntah antisipatif dapat diminimalisir dengan cara menggunakan terapi profilaksis yang efektif dalam menangani mual sejak siklus pertama kemoterapi. 8. Jika mual dan muntah antisipatif ini terus berkembang, pasien dapat menerima obat obat ansiolitik. 9. Untuk mual dan muntah kategori menengah, steroid dan penghambat reseptor dopamin (seperti: metoklorpramid, proklorperazin, thiethylpirazine) dapat menjadi regimen yang paling efektif. 10. Untuk mual dan muntah kategori berat, steroid dan penghambat reseptor serotonin (seperti: dolasetron, granisetron, ondansetron) dapat menjadi regimen yang paling dianjurkan. 11. Penghambat reseptor dopamin dapat diberikan apabila penghambat reseptor serotonin tidak dapat diberikan. 12. Antiemetik lainnya biasanya digunakan sebagai terapi inisiasi dan akan lebih baik bila dikombinasikan dengan agent yang efektif dalam penanganan mual dan muntah sehingga bisa dilakukan sebagai terapi lini kedua ataupun ketiga.

13. Obat obatan golongan penghambat reseptor serotonin lebih efektif bila digunakan sebagai terapi profilaksis daripada pemakaian obat yang diberikan bila perlu dalam penanganan emesis. 14. Obat obatan golongan penghambat reseptor serotonin memiliki dosis optimal yang apabila diberikan lebih tinggi tidak dapat memberikan efek antiemetik.

REFERENSI Dipiro, Joseph T., 2009, Pharmacotherapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York. Pazdur, Richard, Lawrence A. Coia, William J. Hoskins, Lawrence D. Wagman, 2003, Cancer Management: A Multidisciplinary Approach 7th editon, The Oncology Group, New York. Solimando, Dominic A., 2003, Drug Information Handbook for Oncology: featuring a complete guide to Combination Chemotherapy Regimen 3rd edition, Lexy Comp Inc, Ohio.