makna simbolik patung mi lek hut dan patung ta ol...
TRANSCRIPT
MAKNA SIMBOLIK PATUNG MI LEK HUT DAN PATUNG TA OL LAO
SHI DI VIHARA DHARMA JAYA (SIN TEK BIO) PASAR BARU
JAKARTA PUSAT
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Salwa Anwar
NIM: 11140321000021
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
SALWA ANWAR. “Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao
Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat.” Skripsi.
Jakarta: Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolik patung Mi
Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar
Baru Jakarta Pusat, serta melihat ritual pemujaan terhadap patung Mi Lek Hut dan
patung Ta Ol Lao Shi. Dalam hal ini penulis berusaha memahami makna simbolik
dan ritual pemujaan patung Mi Lek Hut dan patung Ta Ol Lao Shi di Vihara
Dharma Jaya.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Research) yang
bersifat kualitatif. Sumber data dan informasi yang penulis dapatkan dari proses
wawancara langsung maupun dari buku-buku, jurnal, dan artikel yang sesuai
dengan tema dan judul yang dibahas. Penelitian ini menggunakan satu pendekatan
yaitu pendekatan antropologis. Penulis berusaha untuk menjelaskan hasil
penelitian berdasarkan pengamatan yang telah penulis lakukan selama beberapa
hari di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat.
Hasil dari penelitian ini adalah prosesi ritual pemujaan patung Mi Lek Hut
dan Ta Ol Lao Shi sama dengan patung-patung lain yaitu berdoa dan kebaktian,
dengan melakukan pembakaran dupa atau hio lalu dan jamaah mempersembahkan
sesajian atau sesajen. Sesajen atau perlengkapan yang dibawa berupa lilin, buah-
buahan yang segar, air, bunga jajanan kue, manisan, nasi kuning, bubur merah,
bubur putih dan wajik. Adapun makna simbolik dari patung Mi Lek Hut
diantaranya adalah senyum yang lebar atau tertawa, melambangkan cinta kasih,
kebahagiaan dan kegemaran membawa kebahagiaan pada makhluk hidup lainnya,
telinga yang panjang melambangkan dengan kelembutan dan kebaikannya, beliau
dengan setia akan mendengarkan dan mengerti semua makhluk hidup, dada lebar
melambangkan pikiran yang luas, ketulusan dan cinta kasih pada semua makhluk
hidup, perut besar melambangkan rasa toleransi yang besar, hati yang terbuka dan
akan menanggung semua beban dunia tanpa membeda-bedakan. Makna filosofis
dari patung Mi Lek Hut untuk memperoleh kebahagiaan, rezeki serta keturunan.
Maka dari itu Mi Lek Hut sering digambarkan sebagai seorang bikkhu gendut
yang sedang tertawa dan dikelilingi lima orang anak kecil. Sedangkan makna
simbolik patung Ta Ol Lao Shi atau Mbah Jugo adalah sebagai penghormatan atas
keampuhan ilmu yang dimilikinya dan menolong terhadap sesama.
Kata Kunci : Simbolik, Patung, Ritual Pemujaan dan Vihara
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
Skripsi yang berjudul Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta
Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat disusun
guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu, Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari
sempurna ini tidak akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dan banyak pihak
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada:
1. Kedua Orang tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, nasihat,
motivasi, saran, dukungan dan dorongan moril maupun materil. Semoga
adinda dapat membalas semua perjuangan Ayahanda H. Abdul Rachman
Anwar dan Ibunda Hj. Lily Nurlailiyah. Beserta kakak-kakak tersayang
Rif’at, Lya Shofwatul Mawaddah dan Hariry Anwar yang telah memberikan
motivasi, dukungan, doa dan keceriaan.
2. Bapak Drs. Dadi Darmadi, MA, sebagai dosen Pembimbing Akademik yang
selalu memberikan pencerahan dan arahan dalam membimbing pembuatan
proposal skripsi sampai selesai.
3. Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si, sebagai dosen pembimbing yang
selalu meluangkan waktu serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan
sehingga membuka cakrawala berpikir dan nuansa ilmu yang baru.
4. Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Kepala Jurusan Studi Agama-Agama dan
Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku Sekertaris Jurusan Studi Agama-
vi
Agama yang memberikan arahan serta motivasi yang luar biasa kepada
penulis dan selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswa/i dengan baik.
5. Seluruh dosen Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
tidak dapat disebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat atas ilmu
dan pelajaran dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.
6. Seluruh jajaran pimpinan dan staff Fakultas Ushuluddin atas bantuan dalam
persiapan pelaksanaan seminar proposal dan ujian komprehensif.
7. Bapak Santoso Witoyo selaku pimpinan Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)
Pasar Baru Jakarta Pusat dan Bapak Andy selaku jamaah Vihara Dharma Jaya
yang telah berkenan memberikan izin penelitian sekaligus menjadi
narasumber untuk melengkapi isi skripsi.
8. Handy Rizki Prima teman berjuang bersama dalam mengerjakan skripsi dari
awal hingga selesai.
9. Sahabat-sahabat terbaik penulis yang selalu memberikan semangat untuk ke
perpustakaan dan menulis skripsi hingga selesai Siti Pheunna Tiara Hati,
Muhammad Wahyu, Ridwan Efendi, Wahyu Vebry Putra, Zikri Sulthoni,
Muhammad Samtoni, Binna Ridhatul Shaumi, Qonita, Nur Afifah, dan Teti
Eliza. Kebaikan dan kekonyolan kalian akan selalu penulis ingat sampai tua
nanti.
10. Bidadari Macho; Nadya Qudsiyyah, Muthia Imantari, dan Sarah Maulidasari
terimakasih sudah bersedia mendengarkan keluh kesah dan selalu
memberikan semangat kepada penulis hingga skripsi selesai.
11. Ulfa Aulia Faradiba sebagai teman satu kost yang selalu menemani dari awal
kuliah hingga lulus, terimakasih banyak atas doa, dukungan, motivasi,
kebersamaan serta dorongan yang telah diberikan.
12. Squad anak bontot Bahauddin Hasan Al-Bisri, Ikhsan Nur Amal, Maulana
terimakasih banyak atas keceriaan yang selalu diberikan selama berada di
ciputat.
13. Seluruh teman-teman Studi Agama-Agama angkatan 2014 terimakasih sudah
memberikan warna kehidupan di Fakultas Ushuluddin.
vii
14. Kepada teman-teman KKN KLOROFIL 136 yang telah memberikan doa dan
semangat. Semoga kalian diberikan kelancaran dalam menyelesaikan urusan
dan selalu diberikan kesehatan.
15. Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan tanpa mengurangi
rasa hormat. Terimakasih banyak.
Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kekurangan dan
keterbatasan, penulis menyadari bahwa penelitian ini mungkin masih banak
kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak
dan dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh semua pihak. Semoga Allah SWT
memberikan keberkahan kepada kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 15 Juli 2019
Salwa Anwar
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah.................................................................................................. 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ......................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 12
BAB II SIMBOLISME ................................................................................................. 14
A. Pengertian Simbol ............................................................................................... 14
B. Fungsi Simbol ..................................................................................................... 19
C. Perbedaan Simbol dengan Tanda ........................................................................ 21
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG VIHARA DHARMA JAYA
(SIN TEK BIO) PASAR BARU JAKARTA PUSAT ................................................ 23
A. Perkembangan Agama Buddha di Jakarta........................................................... 23
B. Profil Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat .................. 25
ix
BAB IV ANALISIS MAKNA SIMBOLIK PATUNG MI LEK HUT DAN
PATUNG TA OL LAO SHI DI VIHARA DHARMA JAYA (SIN TEK BIO)
PASAR BARU JAKARTA PUSAT ............................................................................. 33
A. Makna Patung dalam Agama Buddha ................................................................. 33
B. Prosesi Ritual Pemujaan Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi .......... 38
C. Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi ...................... 46
1. Mi Lek Hut .......................................................................................................... 46
2. Ta Ol Lao Shi ...................................................................................................... 49
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 55
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 55
B. Saran ................................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 58
LAMPIRAN .................................................................................................................. 62
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Lembar Pernyataan Wawancara dengan Pak Susanto Witoyo
Lampiran II : Lembar Pernyataan Wawancara dengan Pak Andy
Lampiran III : Dokumentasi
Lampiran IV: Permohonan Bimbingan Skripsi
Lampiran V: Surat Izin Penelitian Skripsi
Lampiran VI: Hasil Ujian Proposal Skripsi
Lampiran VII: Hasil Ujian Komprehensif
Lampiran VIII: Sertifikat OPAK
Lampiran IX: Sertifikat KKN
Lampiran X: Hasil Ujian Toefl dan Toafl
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Buddha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama
ini memperoleh namanya dari panggilan yang diberikan kepada pendirinya
yaitu Siddharta Gautama, dan mendapat sebutan Buddha setelah menjalani
sikap hidup penuh kesucian, bertapa, berkhalawat, menggembara untuk
mencari kebenaran selama hampir tujuh yahun lamanya, dan dibawah
pohon besar di kota Goya ia memperoleh hikmat dan cahaya hingga sampai
kini pohon tersebut disebut Pohon hikmat.1
Kota Jakarta telah berdiri sejak awal abad XVII yaitu tahun 1527.
Dimulai dengan nama “Gemeente dan Stadgemeente Batavia” atau
singkatnya Batavia.2
Pada tahun 1929 di Batavia (Jakarta) berdiri sebuah organisasi yang
bernama The Association for the Propagation of Buddhism in Java
kemudian organisasi ini berganti nama menjadi Java Buddhist Association
yang diketuai oleh Ernest Erle Power serta sekertarisnya Josias van Dienst.
Di bawah aktivitas anggota Java Buddhist Association ini kemudian
diterbitkan sebuah majalah berbahasa Belanda bernama Nama Buddhaya
pada tahun 1934.3
1 Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1983), h.72. 2 https://www.adangdaradjatun.com diakeses pada tanggal 9 Mei 2018 pukul 12:28 WIB. 3 Abdul Syukur, Kebangkitan Agama Buddha (Bandung: Gunung Djati Press, 2009) h. 47
2
Asal mula peranan kehidupan agama Buddha di Indonesia, dimulai
pada zaman Crivijaya (Sriwijaya) di pulau Suvarnadvipa (Sumatera) sekitar
abad ke-7 sampai tahun 1377 dibawah pemerintahan Wangsa Syailendra.
Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha yang sangat terkenal pada waktu
itu. Di Sriwijaya ada seorang guru besar agama Buddha yang sangat
terkenal bernama Dharmakirti, seeorang pangeran dari India yang datang ke
Sriwijaya dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh dan lama penuh
dengan bahaya. Pangeran tersebut bernama Atisa Dipamkara yang telah
berguru kepada Dharmakirti selama sebelas tahun.4
Catatan-catatan berharga berupa prasasti-prasasti yang apabila
dikumpulkan menunjukkan adanya kerajaan Buddha di Palembang.
Diantara prasasti-prasasti itu adalah prasasti yang tertua ialah Prasasti
Kedukan Bukit (dekat Palembang) yang dipastikan tahun Caka (= 13 April
683) menceritakan perjalanan suci Dapunta Hyang berangkat dari
Minangtamwan.5
Kemudian perjalanan seorang peziarah Buddha dari negeri
Tiongkok yang terkenal dalam perjalanannya ke India yang bernama I-
Tsing (634-713) mengatakan bahwa ia dari negeri Tiongkok ke Sriwijaya
dengan kapal saudagar Persia. Sebelum ia pergi ke India, di Sriwijaya I-
Tsing belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Hal ini membuktikan
bahwa Sriwijaya adalah pusat untuk mempelajari agama Buddha Mahayana
pada waktu itu. Ia juga mengatakan bahwa Sriwijaya memiliki 1000 bhiksu,
4 Oka Diputhera, Agama Buddha Bangkit (Denpasar: Arya Suryacandra Berseri, 2006),
h.1. 5 Suwarto, Buddha Dharma Mahayana (Palembang, Majelis Agama Buddha Indonesia,
1995), h. 533.
3
aturan dan tata upacara mereka sama dengan di India, demikian juga agama
Buddha Mahayana yang ada di negeri Tiongkok.6
Selanjutnya, puncak kejayaan masa agama Buddha di Indonesia
adalah pada masa kerjaan Majapahit. Raden Wijaya mendirikan keratonnya
di Majapahit, tempat markas besarnya di lembah kali Brantas, menjadi
pendiri dinasti besar terakhir dalam sejarah Jawa. Prasasti Negarakertagama
menyatakan bahwa semua orang Jawa bergembira dengan naik tahtanya
Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana dan perkawinannya
dengan keempat putri Kertanegara.7
Pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itu dapat dijadikan
tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia, karena memenuhi persyaratan
sebagai bangsa yang mempunyai negara karena berdaulat, bersatu dan
mempunyai wilayah Nusantara.8
Perkembangan agama Buddha dilandasi oleh ketaatan pemeluknya,
yang menghasilkan karya seni yang tinggi dalam budaya materi. Bangunan-
bangunan stupa dan arca-arca pemujaan merupakan hasil budaya materi
yang tercipta dari dedikasi seniman pada agama. Hasil-hasil budaya materi
ini tak lekang di makan zaman. Dan masih dapat disaksikan di Jawa dan
Sumatera serta beberapa tempat di dataran Asia Tenggara.9
Salah satu jenis ungkapan rasa seni manusia yang paling awal adalah
simbol. Bentuk ini telah dikenal oleh umat manusia beribu-ribu tahun
6 Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, h. 535. 7 Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, h. 540. 8 Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, h.542. 9 Bambang Budi Utomo, Buddha di Nusantara (Jakarta: Buddhist Education Centre,
2008) h.xiv.
4
sebelum tulisan ditemukan, sehingga tidaklah mengherankan pemakaian
simbol pun telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban
manusia. Pada umumnya, simbol adalah sarana yang mengandung suatu
pernyataan khusus dimana makna tersebut berhubungan dengan
karakteristik visual dari tanda yang digunakan.10
Dalam sejarah pemikiran ada dua arti simbol yang sangat berbeda
satu sama lainnya, yaitu dalam pengertian agama dan dalam sistem logika
atau ilmu pengetahuan, berikut pemaparannya:
1. Dalam agama simbol dipandang sebagai ungkapan indrawi atas
realitas transenden.
2. Dalam sistem logika atau ilmu pengetahuan, simbol atau
lambang memiliki arti sebagai tanda yang abstrak.11
Simbol merupakan contoh terbaik tentang bentuk ekspresi
pengalaman keagamaan yang bercorak endeiktik. Endeiktik adalah bentuk
pengeskpresian pengalaman keagamaan dengan mengunakan isyarat atau
bentuk-bentuk terselubung lainnya.12
Simbol-simbol keagamaan memperlihatkan ciri umum dari segala
macam simbol dan merupakan gambaran penting yang berfungsi membantu
pikiran dan jiwa orang yang sedang melakukan pemujaan untuk memahami
realitas spiritual.13 Pemujaan yang merupakan perwujudan cinta manusia
10 Buletin Kamadhis UGM, Eka-Citta Bersatu dalam Dhamma: Simbol dalam Buddhisme
(Yogyakarta: Kamadhis UGM, 2008), h.2. 11 Gerald O’collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi. Terjemahan I. Suharyo
(Yogyakarta: Kanisius, 1996) h. 108. 12 Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 1998) h. 47. 13 Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian, h. 58-59.
5
kepada Tuhan ini adalah inti, nilai dan makna kehidupan yang sebenarnya.
Adapun cara pemujaanya tergantung pada agama, kepercayaan, kondisi dan
situasinya.14 Keanekaragaman mitos dapat kita kumpulkan dan kita
garisbawahi arti penting penggunaan dan fungsinya dalam hidup
keagamaan manusia.
Di dalam Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) terdapat ratusan patung
yang memiliki makna, yang terdapat di dalam diantaranya patung Mi Lek
Hut (Maitreya) dan patung Ta Ol Lao Shi. Patung Mi Lek Hut dipuja untuk
memperoleh kekayaan dan kebahagian. Ada juga yang mempercayainya
bisa memberikan keturunan kepada orang yang medambakannya. Sebab itu
seringkali dipatung beliau dikelilingi oleh lima orang anak kecil. Tapi
bentuk yang paling umum adalah dalam posisi wajahnya tertawa, perutnya
buncit terbuka dan kantong besar tergeletak disampingnya. Karena
penampilannya selalu tertawa, dijuluki Buddha Tertawa.15 Sedangkan
patung Ta Ol Lao Shi (Kyai Zakaria II atau akrab dengan sebutan Eyang
Djugo), sebuah patung kayu mengenakan sorban dengan sikap berdoa
memangku kitab suci. Eyang Djugo mendapat gelar Taw Low She/ Ta Ol
Lao Shi, artinya guru besar pertama. 16
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik
untuk meneliti tentang makna simbolik yang terdapat di dalam rumah
ibadah agama Buddha yaitu Vihara yang terletak di Pasar Baru Jakarta
14 Sujarwo, Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. 37-38. 15http://lociabio.com/mi-lek-hud/ diakses pada tanggal 8 Juli 2018 pukul 20:07 WIB. 16 Olyvia Bendon, Klenteng Sin Tek Bio Pasar Baru Jakarta diakses dari
https://www.aroengbinang.com/2018/06/klenteng-sin-tek-bio-pasar-baru-jakarta.html pada tanggal
8 Juli 2018 pukul 20:24 WIB.
6
Pusat. Vihara tersebut diberi nama Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio).
Diyakini vihara ini dibangun pada tahun 1698 yang berdasarkan buku daftar
penyumbang pembangunan vihara ini yang tertulis dalam bahasa
Tionghoa.17
Dari penjeleasan latar belakang diatas skripsi ini diberi judul :
“Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi di
Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat”.
17 Pradaningrum, vihara Sin Tek Bio dari Perkebunan Chastelein diakses dari
https://entertaiment.kompas.com/read/2009/Vihara.Sin.Tek.Bio.Vihara.dari.Perkebunan.Chastelein
pada tanggal 18 September 2018 pukul 22:58 WIB.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membatasi masalah dan
mengambil pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses ritual pemujaan patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol
Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)?
2. Apa makna simbolik yang terkandung dalam setiap unsur dari patung Mi
Lek Hut dan patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui proses ritual pemujaan patung Mi Lek Hut dan
patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio).
b. Untuk mengetahui makna simbolik yang terkandung dalam setiap
unsur dari patung Mi Lek Hut dan patung Ta Ol Lao Shi di Vihara
Dharma Jaya (Sin Tek Bio).
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian dibagi menjadi tiga, yaitu kegunaan teoritis, praktis
dan akademis.
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
sumbangan data ilmiah dan mampu memperkaya khasanah
keilmuan dalam memahami dan menginterpretasikan hasil karya
penulis mengenai makna simbolik patung Mi Lek Hut dan Ta Ol Lao
Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat.
8
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi para
mahasiswa/i, khususnya jurusan studi agama-agama agar lebih
subjektif lagi dalam menginterpretasikan setiap hasil karya orang
lain, dan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan para peneliti lain
dengan tema atau judul yang serupa.
c. Kegunaan Akademis
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan guna untuk mendapatkan gelar
Sarjana Agama (S.Ag) jurusan Studi Agama-Agama Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Tujuan adanya tinjauan pustaka adalah untuk membuktikan bahwa
penelitian yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya memiliki objek dan
kajian yang relevan dengan penelitian ini. Dibawah ini merupakan beberapa
penulis yang pernah menulis atau sekilas mirip dengan penulis gunakan.
Pertama, skripsi Miskaningsih mahasiswa Universitas Negeri
Yogyakarta yang berjudul “ Makna Simbolis Ornamen Pada Bangunan
Utama Vihara Avalokitesvara Di Kawasan Banten Lama” di dalam skripsi
ini mendeskripsikan dan menjelaskan jenis-jenis ornamen yaitu ornamen
Naga yang melambangkan kekuatan dan kebaikan, keberanian dan
pendirian teguh, keberanian dan daya tahan, ornamen Naga ini diletakkan
pada tiang dan langit-langit Patung Dewi Kwan Im. Ornamen Qilin yang
melambangkan panjang umur ,kemegahan, kebahagiaan dan kebijaksanaan,
9
ornamen Qilin ini diletakkan pada kontruksi kayu atap bagian depan.
Ornamen burung Phoenix melambangkan keabadian, keselarasan, dan
keberuntungan, ornamen burung Phoenix ini selalu dipasangkan dengan
ornamen Naga. Sedangkan ornamen Bunga Teratai melambangkan
kesucian, ornamen Bunga Teratai ini diletakkan pada balok penyangga.18
Kedua, skripsi Kadek Arya mahasiswa Universitas Negeri
Yogyakarta yang berjudul “Kajian Makna Simbolik Bunga Mandarava di
Kuil Hosei-Ji Jakarta Selatan”. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan Bunga Mandarava serta mendeskripsikan Makna
Simbolik Bunga Mandarava di Kuil Hosei-Ji Jakarta Selatan.19
Ketiga, skripsi Choirulnisah Trisnayanti mahasiswa Institut Seni
Indonesia Surakarta yang berjudul “Studi Bentuk dan Bentuk Makna Relief
Candi Sojiwan”. Skripsi ini membahas tentang bentuk relief dan makna
relief Candi Sojiwan. Yang di fokuskan pokok permasalahannya adalah
bentuk relief dan makna relief Candi Sojiwan.20
Dari ketiga judul diatas, dapat diketahui bahwa judul yang penulis
angkat yaitu Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi
di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, dapat
dipastikan belum ada penelitian ilmiah yang membahas dengan detail.
18 https://eprints.uny.ac.id diakses pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 14:57 WIB. 19 https://eprints.uny.ac.id diakses pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 14:57 WIB. 20 https://repository.isi-ska.ac.id diakses pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 15:00 WIB.
10
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Reserach)
yang bersifat penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis
penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat
dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur statistik atau dengan
cara-cara lain dari kuantifikasi.21
2. Sumber Data
Terdapat dua model data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
sumber data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang
secara langsung berkaitan dengan objek material penelitian. Sedangkan
data sekunder penulis dapatkan dari buku-buku refrensi pelengkap
berupa buku-buku, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan bahan yang
sedang penulis teliti.22
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang sumber datanya
adalah bahan-bahan pustaka dan literatur-literatur lainnya dengan
tujuan sebagai dasar untuk mendapatkan data-data baik itu data
primer maupun data sekunder.23
21 Syamsir Salam, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h. 30. 22 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2008) h.32 23 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
h. 18.
11
b. Observasi
Metode ini menggunakan pengamatan atau penginderaan
langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi, proses atau
perilaku.24 Metode ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke
lapangan untuk mengetahui makna simbol patung Mi Lek Hut dan
patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar
Baru Jakarta Pusat.
c. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara mendalam adalah metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan berpedoman pada panduan atau petunjuk
wawancara yang berisi pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses
wawancara dengan maksud agar pokok-pokok yang direncanakan
tersebut mencakup seluruhnya dengan melakukan dialog antar
pewawancara dan informan terkait dengan tema penelitian.25 Dalam
penelitian ini yang menjadi responden adalah ketua yayasan Vihara
Dharma Jaya (Sin Tek Bio) atau orang lain yang dianggap relevan
dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini peneliti juga akan
menggunakan alat bantu lain seperti alat perekam suara, selanjutnya
hasil wawancara dituangkan dalam catatan data lapangan.26
Responden dalam penelitian ini ialah seorang pimpinan yang
24 Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, h.52. 25 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007) h. 159. 26 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2013) h.326.
12
mengelola vihara, kemudian jamaah yang beribadah di vihara
tersebut.
d. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen
tertulis, gambar maupun elektronik.27
4. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
antropologis. Pendekatan antropologis adalah pendekatan yang
berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan produk manusia yang
berhubungan dengan agama. Sejauh mana agama memberi pengaruh
terhadap budaya dan sebaliknya; sejauh mana kebudayaan suatu
kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap agama.28
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri lima bab. Dan beberapa bab terdiri dari sub
pembahasan, yaitu:
Bab I Merupakan pendahuluan yang di dalamnya terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan.
27 Supardi, Metodologi Penelitian Bisnis (Yogyakarta: UII Press, 2005) h.138. 28 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 47.
13
Bab II Membahas tentang simbolisme, yang meliputi sub bab :
Pengertian simbol, fungsi simbol dan perbedaan simbol
dengan tanda.
Bab III Membahas gambaran umum tentang Vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, yang meliputi sub
bab: perkembangan agama buddha di Jakarta, dan profil
Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat.
Bab IV Membahas tentang Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan
Patung Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)
Pasar Baru Jakarta Pusat, yang meliputi sub bab yaitu:
makna patung dalam agama Buddha, makna simbolik Patung
Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi dan ritual pemujaan
Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi.
Bab V Penutup, yang menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran
14
BAB II
SIMBOLISME
A. Pengertian Simbol
Simbol memiliki arti penting dalam kebudayaan karena simbol
merupakan representasi dari dunia, hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-
hari dimana orang-orang sangat memerlukan dan membutuhkan simbol
untuk mengungkapkan tentang suatu hal.1 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) kata simbol memiliki arti yang sama dengan lambang,
yaitu sesuatu yang seperti tanda (lencana, lukisan, dsb) yang menyatakan
sesuatu atau mengandung maksud tertentu.2 Pada awalnya kata “simbol”
berasal dari bahasa Yunani yaitu “symbolos” yang memiliki arti tanda atau
ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.3
Simbol merupakan sesuatu yang dengan persetujuan bersama
dianggap sebagai gambaran atas realitas dan pemikiran. Simbol tidak
menunjuk langsung pada yang ditandakan. Simbol itu banyak memiliki arti,
merangsang perasaan dan berpartisipasi dalam dirinya. Sedangkan tanda
diubah menurut tuntutan kecocokan. Bagi manusia, membuat simbol adalah
aktivitas primer. Menciptakan simbol merupakan proses berpikir yang
fundamental dan berlangsung sepanjang waktu. Sepanjang hidupnya
1 Agustiano, A., “ Makna Simbol dalam Kebudayaan Manusia”, Jurnal Ilmu Budaya,
vol.8, no.1, tahun 2011, h.2. 2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-4
(Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.557. 3Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita, 1983),
h.10.
15
manusia bergulat dengan simbol dan tanda. Simbol juga merupakan bagian
integral dari hidup dan kehidupan di planet bumi ini.4
Simbol juga merupakan “gambaran yang sakral” sekaligus juga
sebagai mediator manusia untuk berhubungan dengan yang sakral. Sebab,
manusia tidak bisa mendekati Yang Sakral secara langsung, karena yang
sakral itu adalah trasenden sedangkan manusia adalah makhluk temporal
yang terikat di dalam dunianya. Maka manusia bisa mengenal Yang Sakral,
agar bisa dikenal, yaitu melalui simbol. 5
Simbol biasanya sudah disepakati bersama dalam sebuah kelompok,
tetapi mungkin saja tidak dimengerti di luar lingkup kelompok tersebut.
Oleh karena itu, pemakaian simbol sering kali arbitrer6, misalnya seperti
hampir semua mahasiswa dapat mengerti frase “matakuliah ini tanpa
prasyarat”, sementara orang-orang di luar perkuliahan mungkin saja tidak
memahaminya.7
Hal senada itu diungkapkan oleh Sumbo Tinarbuko di dalam
jurnalnya, bahwa simbol merupakan tanda berdasarkan konversi, peraturan,
atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika
seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Seperti
contohnya, Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang
memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki
4B. Rahmanto, Simbolisme Dalam Seni, Basis. Edisi Maret XLI No.03 (Yogyakarta: Andi
Offset, 1992), h. 106. 5Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 63. 6Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Android, arbitrer mengandung arti
sewenang-wenang, sembarang, manasuka. Lihat KBBI Android 2.5.0 atau dapat diakses dari
https://yufid.com. 7Richard West dan Lynn H. Turner, Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Penerjemah
Maria Natalia Damayanti Maer (Jakarta: Salmbe Humanika, 2012),h. 7.
16
latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya Garuda Pancasila
hanya dipandang sebagai burung elang biasa.8
Menurut Charles Sunders Peirce dalam “Teori Semiotika
Arsitektural” yang sebagaimana dikutip oleh Wawan Junaidi dalam
artikelnya: “Simbol merupakan tanda yang hadir karena mempunyai
hubungan yang sudah disepakati bersama atau sudah memiliki perjanjian
(arbitrary relation) antara penanda dan petanda. Sedangkan dalam Sign,
Symbol an Architecture, Charles Peirce menjelaskan bahwa Symbol adalah
suatu tanda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari
dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus.”9
Isyarat adalah suatu keadaan yang diberitahukan oleh si subjek
kepada si objek, artinya subjek berbuat sesuatu untuk memberitahukan
kepada si objek yang diberi isyarat agar si objek mengetahuinya pada saat
itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan pemakaiannya, isyarat hanya
berlaku pada waktu itu juga saat dikeluarkan atau dilakukan oleh si subjek.
Isyarat yang dapat ditangguhkan atau di simpan pemakaiannya akan
berubah bentuknya menjadi tanda. Tanda adalah sesuatu hal yang
menerangkan atau memberitahukan sesuatu kepada si objek, sedangkan
simbol atau lambang adalah sesuatu hal yang memimpin pemahaman si
subjek kepada si objek. 10
8Sumbo Tinarbuko, “Semiotika Analisis Tanda Pada Karya Desain Komunikasi Visual”,
Nirmana Vol.5. No. 1 (Januari 2003), h. 34-35. 9Wawan Junaidi, Definisi Tanda, Lambang dan Simbol,di akses pada tanggal 30
November 2018 pukul 20:00 dari http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/definisi-tanda-
lambang-dan-simbol.html. 10Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, h. 11.
17
Dari pengertian-pengertian simbol diatas maka Penulis memiliki
kesimpulan bahwa simbol atau lambang adalah suatu tanda atau ciri yang
memiliki maksud untuk menyampaikan sesuatu kepada seseorang.
Kemudian, simbol akan dapat dipahami jika sekelompok orang telah
menyepakati arti atau makna dari simbol tersebut, yang berarti simbol
menjadi jembatan pemahaman terhadap perilaku realitas yang tersembunyi.
Ernest Cassirer11 cenderung untuk menandai manusia sebagai
Animal Symbolicum atau hewan yang bersimbol. Ia menegaskan bahwa
manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara
langsung tetapi melalui berbagai simbol.12
Untuk memahami arti dari simbol agama, agaknya sangat relevan
untuk merenungkan kembali pemikiran Mircea Eliade13 yang menyatakan
bahwa manusia pada dasarnya adalah Homo Symbolicus, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ernest Cassirer bahwa manusia pada dasarnya adalah Animal
Symbolicum. Oleh sebab itu, semua aktivitas manusia mengandung nilai
simbolis. Tidak ada dugaan yang lebih tepat daripada pernyataan bahwa
setiap perilaku keagamaan dan setiap objek pemujaan memiliki tujuan meta
empiris. Umpamanya adalah sebuah pohon atau batu yang menjadi objek
pemujaan, dia bukanlah disembah sebagai pohon atau batu semata,
melainkan sebagai sesuatu yang suci. Demikian pula setiap perilaku
11Ernest Cassirer dilahirkan di Breslau, Jerman pada tanggal 28 Juli 1874. Ia adalah salah
satu figur pengembangan idealisme filosofis di pertengahan abad ke-20, seorang filsuf Yahudi
Jerman. Ia menggunakan tradisi neo-Kantianisme Marburg, mengembangkan suatu filosofi budaya
sebagai teori simbol yang ditemukan di fenomenologi pengetahuan. Ia wafat pada tanggal 13 April
1945. 12Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, h. 10. 13Mircea Eliade dilahirkan di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak seorang
pegawai kemiliteran Rumania. Dimasa kecilnya Eliade suka menyendiri, menyenangi sains,
sejarah dan piawai dalam kepenulisan.
18
manusia yang didasarkan atas semangat keagamaan, adalah merupakan
simbol selama perilaku tersebut menunjuk kepada nilai-nilai supranatural.14
Menurut Mircea Eliade, berpendapat bahwa simbol-simbol
didasarkan pada prinsip-prinsip kemiripan atau analogi. Kualitas, bentuk
dan karakter-karakter sesuatu yang menyebabkan kita berkesimpulan
bahwa sesuatu itu sama dengan sesuatu yang lain. Dalam pengalaman
keagamaan, terdapat hal-hal yang kelihatannya sama dengan Yang Sakral
atau menandakan adanya Yang Sakral dan dapat memberikan petunjuk
mengenai alam supranatural. Sekarang bila kita ingin melihat bagaimana
cara kerja simbol, Eliade mengatakan satu hal yang perlu ditekankan, bahwa
apa saja dalam kehidupan ini yang bersifat biasa-biasa saja adalah bagian
dari Yang Profan. Dia hanya ada untuk dirinya sendiri. Namun, dalam
waktu tertentu, hal-hal Yang Profan dapat ditransformasikan menjadi Yang
Sakral. Seperti sebuah benda, seekor binatang, atau seorang manusia bisa
menjadi tanda Yang Sakral asalkan manusia menemukan dan kemudian
meyakininya.15
Dari uraian diatas, penulis sepaham dengan pengertian simbol
menurut Eliade bahwa simbol-simbol keagamaan memiliki arti penting bagi
manusia dalam mengungkapkan kebutuhan hidupnya baik dalam interaksi
sosial maupun dalam beribadah. Dengan simbol-simbol tersebut manusia
dapat memahami pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Karna
sebuah simbol, berasal dari sebuah benda Yang Profan kemudian terdapat
14Mircea Eliade, dkk, Metodologi Studi Agama, Penerjemah Ahmad Norma Permata
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), h.182. 15 Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Penerjemah Inyiak
Ridwan Mundzir dan M. Syukri (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), h. 258.
19
suatu peristiwa atau pemaknaan yang diyakini oleh umat manusia. Sehingga
benda Yang Profan ini menjadi Yang Sakral, yang dapat dipercayai
memiliki kekuatan supranatural didalamnya. Yang Profan disini artinya
adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara
teratur, acak dan sebenarnya tidak terlalu penting. Sementara yang Sakral
adalah wilayah yang supranatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah
dilupakan dan sesuatu yang amat penting. Apabila Profan itu mudah hilang
dan terlupakan, hanya bayangan, sebaliknya Yang Sakral itu abadi, penuh
substansi, dan realitas. Yang Profan adalah dimana manusia tempat berbuat
salah, selalu mengalami perubahan dan terkadang dipenuhi konflik. Yang
Sakral adalah tempat dimana segala keteraturan dan kesempurnaan berada,
tempat berdiamnya roh para leluhur, para kesatria dan dewa-dewi.16
B. Fungsi Simbol
Manusia sebagai makhluk yang dalam perjalanannya telah
mengenal simbol, menggunakan simbol demi tujuan mengungkapkan siapa
dirinya. Manusia menjalani hidupnya tidak mungkin sendirian melainkan
secara berkelompok atau yang disebut dengan masyarakat.
Seringkali manusia memakai simbol maupun lambang dalam
kehidupan sehari-hari untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan menggunakan simbol atau lambang realitas kehidupan lebih
bermakna. Contohnya seperti memaknai lampu merah, hijau dan kuning
sebagai pengatur lalu lintas di perempatan jalan raya, ternyata mampu
menertibkan lalu lintas dari kemacetan.
16 Pals, Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, h. 258.
20
Menurut Ivan Th. J. Weismann, dalam artikelnya yang berjudul
“Simbolisme Menurut Mircea Eliade”, fungsi simbol yang mendasar adalah
fungsi religius, yaitu mentransformasikan suatu hal atau tindakan ke dalam
suatu hal atau suatu tindakan ke dalam sesuatu yang lain (yang kudus), yang
tidak nampak pada pengalaman yang profan (duniawi). Simbol menyatakan
yang kudus atau realitas kosmologis, menimbulkan solidaritas permanen
antara manusia dengan yang kudus. Simbol bukanlah univokal (memiliki
hanya satu macam ideologi atau kognitif) melainkan multivalen atau
polivalen (menyatakan motivasi yang berbeda), sehingga simbol dapat
menyingkap banyak arti pada suatu simbol dapat pula menimbulkan
kontradiksi, akan tetapi juga fungsi simbol adalah mempersatukan.17
Adapun fungsi simbol yang lain diantaranya:
1. Simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia
material dan sosial dengan membolehkan mereka memberi nama,
membuat kategori dan mengingat objek-objek yang mereka temukan
dimana saja. Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat
penting.
2. Simbol menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya.
3. Simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berfikir. Dalam
arti, berfikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri
sendiri.
17 Ivan Th. J. Weismann, “Simbolisme Menurut Mircea Eliade,” diakses pada tanggal 30
Desember 2018 pukul 14:37
darihttps://www.sublibrary.com/simbolisme+menurut+mircea+eliade.pdf.
21
4. Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memecahkan
persoalan manusia. Sedangkan manusia bisa berfikir dengan
menggunakan simbol-simbol sebelum melakukan pilihan-pilihan dalam
melakukan sesuatu.
5. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi
dari segi waktu, tempat dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan
menggunakan simbol-simbol manusia bisa membayangkan bagaimana
hidup dimasa lampau atau akan datang. Mereka juga bisa
membayangkan tentang diri mereka sendiri berdasarkan pandangan
orang lain.
6. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan
kenyataan-kenyataan metafisis seperti surga dan neraka.
7. Simbol-simbol memungkinkan manusia agar tidak diperbudak oleh
lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam
mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat.18
C. Perbedaan Simbol dengan Tanda
Simbol merupakan sebuah objek yang berfungsi sebagai sarana
untuk mempresentasikan sesuatu hal yang bersifat abstrak, karena
berhubungan dengan kesan tersendiri, sehingga tidak bersifat langsung dan
alamiah serta harus dipelajari. Misalnya burung sebagai simbol kedamaian.
Simbol memiliki nilai fungsional tertentu untuk menjelaskan hal tertentu
pula serta menyiratkan sebuah arti.
18 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pusaka, 2007), h. 110.
22
Tanda yaitu sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran,
perasaan benda dan tindakan secara langsung dan alamiah. Sederhananya,
tanda cenderung berbentuk fisik atau visual yang dapat ditangkap oleh
panca indera manusia. Misalnya, jika ditandai asap hitam membumbung
tinggi, maka kita tahu bahwa disana ada api, sebab asap merupakan tanda
adanya atau adanya api.19
Maka dari simbol dan tanda tersebut memiliki perbedaan, yaitu
tanda adalah bagian dan dunia fisik, simbol adalah bagian dan dunia makna
manusia. Tanda adalah operator sedangkan simbol adalah designator.20
Tanda merepresentasikan benda atau yang ditunjuk di dalam pikiran si
penafsir, sehingga hanya dalam pemikiran si penafsir saja tanda yang
dimaksud dapat dipahami. Sedangkan simbol banyak pandangan dan
penafsiran.
Seperti yang dijelaskan diatas, simbol memiliki nilai fungsional
tertentu dan bersifat bervariasi bentuk dan warna. Menurut Pierce, simbol
muncul dari kesepakatan umum. Sehingga simbol dapat dipahami apabila
seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.
19 Perbedaan Tanda dan Simbol, diakses dari
https://www.academia.edu/16923551/Perbedaan_Tanda_dan_Simbol pada tanggal 29 Juni 2019
pukul 16:41 WIB. 20 Febry Pradipka Mahendra, “Makna Pesan Dari Lirik Lagu “Bebas Merdeka” Karya
Steven Coconut Treez (Analisis Semiotika Roland Barthes)”, eJournal Ilmu Komunikasi Vol. 2,
No. 3, 2014, h.74.
23
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG VIHARA DHARMA JAYA (SIN TEK
BIO) PASAR BARU JAKARTA PUSAT
A. Perkembangan Agama Buddha di Jakarta
No. Nama Kabupaten/Kota Jumlah Vihara
1. Kepulauan Seribu 0
2. Jakarta Selatan 8
3. Jakarta Barat 136
4. Jakarta Pusat 34
5. Jakarta Utara 61
6. Jakarta Timur 20
Tabel 1: Data Jumlah Sarana Ibadah Menurut Kabupaten Kota DKI
Jakarta 2011.1
Tabel 2 : Data Penduduk 2010 Menurut Wilayah dan Agama yang
Dianut.2
1 Jumlah Sarana Ibadah Menurut Kabupaten Kota, diakses dari https://data.jakarta.go.id
pada tanggal 13 Maret 2019 pukul 12:50 WIB. 2 Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut, diakses dari
https://sp2010.bps.go.id pada tanggal 12 Maret 2019, pukul 12:17 WIB.
24
Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa pemeluk
agama Buddha di DKI Jakarta terdiri dari 317.527 jiwa. Pemerintah di DKI
Jakarta juga menyediakan fasilitas untuk beribadah bagi umat Buddha atau
yang biasa kita sebut Vihara sebanyak 259 tempat beribadah yang tersebar
di seluruh kota Jakarta. Kota Jakarta Barat mayoritas penduduknya
memeluk agama Buddha seperti di daerah Glodok terdapat vihara yang
paling banyak di kunjungi oleh umat Buddha. Vihara tersebut bernama
Vihara Dharma Bakti yang letaknya di Jalan Kemenangan III Petak
Sembilan No. 19 RT. 03/RW. 02, Tamansari, Glodok. Selain itu, di Jakarta
Barat juga terdapat wisata yang bernama Chinatown. Chinatown versi
Jakarta Barat ini normalnya untuk yang berkunjung disini dapat melihat
bangunan-bangunan dengan arsitektur China dan suasananya seperti di
China.
Selanjutnya, berdasarkan data Kota Kepulauan Seribu tidak ada
penduduk yang memeluk agama Buddha. Kepulauan Seribu mayoritas
penduduknya paling banyak memeluk agama Islam.
25
B. Profil Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat
Vihara Dharma Jaya pada zaman dahulu disebut Het Kong Sie Huis
Tek (Sin Tek Bio/Xin-de miao) yang merupakan salah satu vihara tua yang
didirikan pada abad ke-17. Perubahan nama dari Klenteng Het Kong Sie
Huis Tek menjadi Sin Tek Bio diduga setelah dibukanya Passer Baroe (Pasar
Baru) pada tahun 1820. Sejak itulah Klenteng Het Kong Sie Huis Tek disebut
sebagai Sin Tek Bio. Kemudian, pada tanggal 12 Mei 1982 diubah menjadi
Vihara Dharma Jaya yang dikelola oleh Yayasan Vihara Dharma Jaya.3
Berdasarkan data dari perabotan klenteng yang masih ada
keterangan dari pengurusnya atau warga Tionghoa yang secara turun-
temurun tinggal di sekitar sejak abad ke-18, Sin Tek Bio diyakinin didirikan
pada tahun 1698.4 Angka tahun 1698 ini dikuatkan dari buku daftar
penyumbang pembangunan klenteng, yang ditemukan dan kini disimpan
oleh pengurusnya yaitu Santoso Witoyo. Klenteng ini terletak di Jalan Pasar
Baru (Dalam Pasar) No.146, telepon: (021) 3849021-3864320, Jakarta
Pusat 10710. Di dalam buku tua yang berbahasa Mandarin tercantum bahwa
angka 1698 adalah Tahun Macan, yang diperkirakan sebagai tahun
pendirian klenteng; atau sebagai awal usaha pendirian klenteng tersebut.
Selain itu ditemukan juga papan nama para sinbeng yang hingga kini masih
utuh dan terawat dengan baik, tercantum angka tahun pembuatannya, yaitu
3 Bambang S., Riwayat Singkat Sin Tek Bio Vihara Dharma Jaya- Pasar Baru Anno
1698-Batavia (Jakarta: Yayasan Vihara Dharma Jaya, 2006), h. 6. 4 Bambang S., Riwayat Singkat Sin Tek Bio..., h.5.
26
pada tahun 1769 yang disebut dengan Tahun Tikus, yang cukup menguatkan
keberadaan klenteng ini.5
Sebelum membahas lebih lanjut, vihara dan klenteng memiliki
perbedaan diantaranya adalah klenteng dan vihara sama-sama di dasari oleh
budaya dan keyakinan. Kedua agama ini berpisah karena perbedaan
keyakinan dan acara ritual. Klenteng lebih bersifat perorangan sedangkan
vihara lebih bersifat kebersamaan. Kemudian, nilai-nilai agama yang
diterapkan pada klenteng adalah ajaran konfusius yang mendasari segala
sesuatu kepada alam. Karena menurut pengajaran konfusius, segala sesuatu
harus menghormati alam terlebih dahulu. Aturan ini diatur disebut dengan
Feng Shui. Sedangkan nilai-nilai agama yang diterapkan pada desain sebuah
vihara adalah ajaran sang Buddha dan simbolisme yang mengingatkan
umatnya akan sang Buddha. Penerapan desain pada ruang ibadah sebuah
klenteng terdapat meja untuk sembahyang, dan terdapat tiga bagian altar
yang tiap-tiap altar ditaruh dewa yang menjaga para umat sedangkan pada
penerapan desain ruang ibadah sebuah vihara, hanya terdapat satu altar yang
menaruh patung sang Buddha. Apabila dilihat dari gaya interior yang
digunakan pada klenteng lebih bersifat spiritual karena warna yang
digunakan adalah merah yang didasari tradisi dan ada istiadat cina,
sedangkan pada vihara lebih bersifat modern karena terlihat mengikuti
perkembangan zaman dan berdasarkan filosofi ajaran sang Buddha.6
5 Yoest, Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten (Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Populer,2008), h. 189. 6 Jenny Irawan, “Kajian Perbedaan Interior Ruang antara Vihara dan Klenteng di
Tarakan”, Jurnal Intra Vol. 3, No. 2 (2015), h. 519.
27
Vihara tua ini kini terletak di tengah-tengah pusat keramaian Pasar
Baru. Meski begitu pada abad ke-17 vihara ini terletak di pedalaman, sekitar
5 kilometer di luar tembok kota Batavia. Pada saat itu kawasan Batavia
hanya meliputi Sunda Kelapa, Pasar Ikan sampai Stasiun Jakarta Kota
(Beos). Kawasan Passer Baroe (baca: Pasar Baru) dan sekitarnya dahulu
masih berupa hutan belantara yang dihuni oleh binatang buas, dan di Kali
Ciliwung masih terdapat banyak buaya. Tidak heran jika kawasan itu
disebut pedalaman.7
Pendirian vihara Sin Tek Bio bersamaan dengan mulai banyaknya
petani-petani Tionghoa yang tinggal di Kebun Chastelein. Pada awal
mulanya, vihara ini hanyalah sebuah klenteng kecil, sehingga tidak dikenal
seperti klenteng Kim Tek Ie (Jin-de yuan) dan klenteng Ancol (Da-Bo-gon
an-xu miao). Hal ini dapat dilihat dari ukuran dan bentuk atap bangunan Sin
Tek Bio yang lama dan kini dipergunakan Mie Aboen. Selain ukurannya
kecil, juga tidak dihiasi dengan naga-naga seperti layaknya bangunan
klenteng lainnya pada masa itu.
Kemungkinan Sin Tek Bio dibangun oleh petani-petani Tionghoa
yang tinggal di tepi kali Ciliwung di sekitar Pasar Baru. Perlu diketahui,
pada masa itu orang-orang pribumi dan Tionghoa tidak diperbolehkan
tinggal di dalam Kota Batavia, dan hanya pada siang hari saja sebagian dari
mereka diperbolehkan masuk ke dalam Kota Batavia. Sedangkan di daerah
Glodok atau Pancoran, sebagai pusat pemukiman orang Tionghoa terbesar
7 Yoest, Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten, h.189.
28
di Batavia, kebanyakan dihuni oleh orang-orang Tionghoa yang mampu
atau sebagai pedagang.8
Oleh karena itu, orang-orang Tionghoa miskin (petani) tinggal jauh
di luar kota Batavia dan Pancoran. Mereka merambah hutan dan rawa untuk
dijadikan perkebunan dan persawahan untuk bercocok tanam sayur-
sayuran, padi, dan tebu di ladang-ladang basah dekat kali Ciliwung. Kali
Ciliwung pada masa itu dijadikan jalur utama transportasi perdagangan,
untuk mengangkut hasil bumi dan hasil hutan ke daerah Kota Batavia dan
Glodok. Pada masa itu juga terdapat beberapa pabrik gula di sepanjang
tepian kali Ciliwung, maka dari itu banyak pula orang-orang Tionghoa yang
menjadi buruh pabrik.
Pada masa itu, sudah menjadi kebiasaan dimanapun orang-orang
perantau biasanya mengikutsertakan kebudayaan, adat-istiadat atau tradisi,
agama bahasa dan cara hidup mereka. Demikian pula dengan orang-orang
Tionghoa yang tinggal disitu, mereka membangun klenteng untuk
menjalankan ibadah dan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa terima
kasih atas berkah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan para
Sinbeng/Shenming (para dewata).9
Pasar Baru mulai dihuni orang pada pertengahan abad ke-17,
menyusul mulai dibukanya persawahan dan perkebunan kopi (Kebun
Chastelein) di sekitar Lapangan Banteng. Pada awal abad ke-18 semakin
berkembang dan semakin banyak orang-orang kaya yang mendirikan
8Bambang S., Riwayat Singkat Sin Tek Bio..., h.4. 9Yoest, Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten, h.190.
29
rumah-rumah peristirahatan di sekitar waterloopin (Lapangan Banteng-
dahulu sebagai tempat menggembalakan ternak), hal tersebut
mengakibatkan semakin padat dan kurang sehatnya Kota Batavia.10
Semula vihara ini menghadap ke selatan dan terletak di Jalan
Belakang Kongsie No.16. Pada tahun 1812 (Tahun Monyet) pindah ke
belakang bangunan lama dan menghadap ke utara atau ke Jalan Samanhudi
yang dahulunya dikenal sebagai Gang Toapekong yang kini berubah nama
menjadi Jalan Pasar Baru Dalam No. 146, Jakarta Pusat. Kemungkinan
pendirian klenteng ini bersamaan dengan maraknya orang kaya yang pindah
ke daerah sekitar Paviljoensveld atau Waterloopin (Lapangan Benteng),
karena udaranya segar dengan pohon-pohon yang rindang.
Pada pertengahan abad ke-18 bangunan-bangunan megah mulai
berdiri di sekitarnya, seperti Istana Weltevreden kini diubah menjadi Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), het Groote Huis atau het Witte Huis
(Rumah Besar/Gedung Putih) yang kini diubah menjadi kantor Departemen
Keuangan, gedung Stadsschouwburg yang pada saat ini berubah menjadi
Gedung Kesenian, dan lain sebagainya. Terlebih lagi setelah Tuan Tanah
Justinus Vick membuka Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang pada tahun
1733. Tak lama kemudian, daerah ini menjadi pusat pemerintahan dan
militer, pusat niaga, dan koloni Belanda.11
Dahulu Vihara Dharma Jaya mudah ditemukan karena letaknya
ditengah keramaian pasar tradisional Pasar Baru dan atapnya nampak dari
10Bambang S., Riwayat Singkat Sin Tek Bio..., h. 3. 11Yoest, Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten, h. 191.
30
Jalan Raya Samanhudi, karena pada masa itu depan Sin Tek Bio masih
berupa lapangan tempat istal-istal kuda. Kemudian berkembang menjadi
pasar dan banyak berdiri toko-toko. Sejak tahun 1980-an di depannya
dibangun gedung Metro Atom Plaza, karena dibangunnya bangunan
tersebut mengakibatkan vihara ini tidak tampak sama sekali dari jalan raya
dan bagi yang tidak mengenal daerah itu agak sulit menemukannya, karena
harus melewati lorong sempit persis di belakang Gedung Metro atau melalui
gang Kelinci yang dipenuhi pedagang kaki lima dan tempat tinggal
tunawisma.12
Sin Tek Bio memiliki ciri khas yang sama dengan klenteng-klenteng
lainnya. Di ruang utama terdapat ukiran dua naga yang membelit tiang-tiang
utama bangunan. Di kanan – kiri pintu masuk terdapat dua ekor singa batu
penjaga pintu atau Bao-gu-shi. Pada altar pertama, ada patung Kongco Hok
Tek Ceng Sin yang dibuat sekitar abad ke-17. Kemudian di beberapa altar
lain yang berisi sinbeng lainnya seperti Kwan Kong, Mi Lek Hut, Han Tian
Kong dan Ema Kwan Im terdapat di lantai atas.
Sepanjang sejarah Sin Tek Bio terdapat benda-benda dan perabotan
tua yang memiliki riwayat tersendiri. Diantaranya adalah joli atau tandu/kio
dan tempat dupa. Enam buah joli buatan tahun 1768, pada zaman dahulu
digunakan untuk mengarak Dewata Utama klenteng pada setiap peringatan
Cap Go Meh dalam upacara Gotong Toapekong. Tempat dupa produk abad
ke-18 yang terbuat dari kayu berukuran 20 x 50 cm2 dengan tinggi 25 cm
12Bambang S., Riwayat Singkat Sin Tek Bio..., h.7-8.
31
yang tampak sangat sederhana, tanpa hiasan atau ukiran sama sekali selainn
di kanan-kirinya. Tempat dupa tersebut sekarang sudah tidak dipergunakan
lagi. Kemudian Teng Lung atau Tempat Lilin dan payng kuno yang dibuat
dari kain warna-warni bersulam naga dan burung hong serta bunga. Payung
itu berbentuk silinder yang berfungsi untuk memayungi para sinbeng ketika
diarak.
Selain itu ada tiga buah kotak dupa cendana yang berukir halus dan
artistik. Tidak ketinggalan meja-meja altar dan peralatan sembahyang,
seperti Hio-lo atau tempat dupa, dan lukisan Ema Kwan Im yang telah
berusia kurang lebih 200 tahun. Patung-patung sinbeng dari abad ke-17
sampai abad ke-19, seperti Pai Hu Chang Kun, Kwan Seng Te Kun itu juga
mengisi ruangan Sin Tek Bio.
Vihara ini di dalamnya terdapat 26 altar, yang meliputi sekitar 40
sinbeng yang dipuja. Kurang lebih 146 buah pratima atau patung yang
beberapa diantaranya sudah tua berasal dari abad ke-17 dan 18, selebihnya
patung-patung baru di abad ke-20. Tuan rumah vihara ini adalah Kongco
Hok Tek Ceng Sin atau Dewa Bumi dan Kekayaan.
Sejak tahun 1996, Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) mendapat
tambahan satu bangunan yang letaknya di samping vihara, yang
dipergunakan sebagai tempat beribadah. Mulanya bangunan Kwan Im Bio
ini akan digunakan untuk memindahkan sebagian altar yang ada di Sin Tek
Bio karena apabila dipandang sudah terlalu penuh.
32
Bangunan baru yang tidak jauh dari pintu belakang Sin Tek Bio ini
disebut Kwan Im Bio, yang terletak di Jalan Belakang Kongsi No.5, Jakarta
Pusat. Didalamnya terdapat altar Dewi Kwan Im dan Kwan Kong.
Patung Dewi Kwan Im yang berasal dari Vihara Dharma Metta itu
konon terbuat dari tulang macan yang ditemukan sekitar tahun 1920. Oleh
penemunya kemudian di-hoksai atau dipuja dan dibuatkan altar.
Bersamaan dengan selesainya pembangunan vihara Kwan Im Bio
ini, pemilik vihara Dharma Metta yang terletak di Gang Mandor III No. 12
RT 008/RW 05, Kartini Jakarta Pusat ini meniggal dunia. Kemudian,
meyerahkan seluruh altar berserta perabotannya kepada Santoso Witoyo,
pengurus vihara Dharma Jaya.13
13 Yoest, Riwaya Klenteng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten, h. 193-194
33
BAB IV
ANALISIS MAKNA SIMBOLIK PATUNG MI LEK HUT DAN PATUNG
TA OL LAO SHI DI VIHARA DHARMA JAYA (SIN TEK BIO) PASAR
BARU JAKARTA PUSAT
A. Makna Patung dalam Agama Buddha
Agama merupakan kebutuhan setiap orang yang berakal sehat. Hal
ini tidak dapat diingkari karena manusia pada dasarnya memiliki fitrah
untuk percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan manusia adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena Tuhan menciptakan manusia
beserta aturan-Nya, yaitu agama. Agama juga diciptakan hanya untuk
manusia. Walaupun manusia secara fitrah mempunya rasa untuk percaya
kepada Tuhan, namun ada segolongan manusia yang mencari sesuatu yang
cocok dengan kehendaknya untuk di pertuhankan atau setidaknya dijadikan
perantara untuk menyembah sebagai Tuhannya, baik disadari maupun tidak
disadari. Hubungan manusia dengan Yang Maha Tinggi merupakan suatu
yang unik yang tidak dapat secara jelas di ungkapkan.1
Agama Buddha adalah religi humanitis, berpusat pada diri manusia
sendiri dengan segala kekuatannya yang dapat dikembangkan sehingga
mencapai kesempurnaan, berbeda dengan religi otoriter yang menghendaki
penyerahan, kepasrahan atau ketergantungan terhadap kekuatan diluar
manusia.2 Kemajuan belajar untuk meneladani pribadi Sang Buddha maka
1 Arief Wibowo, “Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha”, Suhuf Vol. 20, No. 1
(Mei 2008), h. 78. 2 Wang che Kuang, Enam Perbuatan Mulia Sang Pengasih (Jakarta: DPP
MAPANBUMI,tt), h. 18-19.
34
dengan sembahyang umat dapat mengagungkan-memuliakan Sang Buddha
Gautama dalam kehidupannya.
Agama maupun aliran keagamaan mempunyai hubungan yang erat
bahkan mendasari terciptanya suatu kesenian, khusunya seni rupa.
Hubungan antara agama dengan seni akan tercermin dan mengarah pada
konteks estetika yang mengandung makna simbolis spiritual dalam karya
seni, walaupun relevansi dan cara pemahaman tidak merupakan keharusan.
Dalam arti bahwa agama atau aliran keagamaan bukan hal yang esensial
bagi seni, demikian juga sebaliknya seni bukan merupakan suatu hal yang
esensial bagi agama atau aliran keagamaan.
Keberadaan elemen estetis yang berwujud seni bangunan, seni
patung, seni hias yang bersifat fungsional dalam hubungannya dengan
pemujaan terhadap Tri Dharma dan leluhurnya tampak memiliki ciri-ciri
atau sifat yang spesik dan unik. Oleh karena itu, keunikan dan spesifikasi
elemen-elemen tersebut perlu dikaji melalui struktur, fungsinya, dan
simbolnya.
Salah satu diantara agama-agama yang ada di dunia yang dalam cara
ibadahnya karena Tuhan memakai perantara adalah agama Buddha. Agama
Buddha memakai patung Buddha sebagai tumpuan konsentrasi atau
perantara. Dengan demikian antara umat dengan patung Buddha
mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. 3
3 Wibowo, “Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha”, Suhuf Vol. 20, No. 1 (Mei
2008), h. 79.
35
Bagi umat Buddha, istilah buddharûpa atau patung Buddha bukan
hal yang asing lagi. Benda ini yang di mengerti sebagai pusat utama umat
Buddha. Buddharûpa berarti bentuk atau perwujudan yang mewakili sang
Buddha. Perwujudan ini bisa berbentuk patung, relief, gambar dan lain-lain.
Ditinjau dari segi tujuannya, buddharûpa adalah salah satu bentuk pujaan
yang digunakan dalam kegiatan ritual sebagai alat pengenang keagungan
dan kebajikan sang guru junjungan Buddha Gotama.4
Dalam membicarakan buddharûpa, tidak lepas membahas cetiya.
Karena buddharûpa dalam tradisi buddhis adalah salah satu bentuk dari
cetiya. Cetiya berarti benda pujaan, tempat memuja, bangunan sakral
(devâlaya), stupa, pohon sakral (cetiyadduma). Yang dimaksud dengan
benda pujaan adalah suatu benda yang dikeramatkan, dihormati untuk
tujuan-tujuan spiritual tertentu. Apabila dikelompokkan, cetiya dalam
tradisi buddhis dibedakan menjadi empat jenis, yakni:
1. Dhâtucetiya
Dhâtucetiya dikenal dengan nama buddhasârîrikacetiya, sârîrikacetiya
atau dalam bahasa sehari-hari disebut dengan relik Sang Buddha. Relik
ini adalah bagian organ jasmaniah Sang Buddha setelah beliau mencapai
parinibbana dan diperabukan. Bagi umat Buddha relik ini di hormati
sebagai simbol keagungan Guru Junjungan Sang Buddha.
4 Bikkhu Dhammadhiro, Buddharûpa Bagaimana Buddhis Menyikapi Objek Pujaan
(Jakarta: Yayasan Sammasayambhu, 2012), h. 1.
36
2. Paribhogacetiya
Paribhogacetiya adalah benda pujaan berupa benda atau peralatan yang
pernah dipakai oleh Sang Buddha. Benda atau peralatan tersebut adalah
barang keperluan beliau sehari-hari yang berupa jubah, mangkuk
makanan, alas tempat duduk dan yang lainnya.
3. Dhammacetiya
Seiring berjalannya waktu dan berkembang meluasnya penganut ajaran
Sang Buddha, penghormatan terhadap dhâtucetiya dan paribhogacetiya
oleh umat Buddha semakin sulit dilakukan. Beberapa tempat pemujaan
harus ditempuh dengan jarak yang amat jauh dan beberapa yang lain
juga telah menghilang dimakan zaman. Upaya umat Buddha untuk dapat
melakukan penghormatan secara jasmaniah kepada Sang Buddha,
sebagai alternatif adalah umat Buddha menciptakan dhammacetiya
dengan membangun stupa yang disemayamkan sabda atau kata mutiara
yang pernah disampaikan oleh Sang Buddha yang ditulis di atas daun
lontar di dalamnya. Stupa merupakan salah satu objek religius
terpenting, khususnya untuk Buddhisme. Objek ini, dalam berbagai
aspek ajaran Buddha, mempunyai tingkatan yang berbeda pula. Makna
dari terjemahan kata stupa dalam bahasa Tibet adalah “wadah
persembahan”, dan dalam tradisi Tibet rupang Buddha, kitab suci dan
stupa secara berturut-turut merupakan simbol religius dari tubuh,
ucapan, dan pikiran Buddha. Makna yang terdalam dari stupa adalah
bahwa objek ini merupakan simbol dari tubuh Dharma Buddha. Sang
Buddha sendiri menanggap bahwa stupa adalah objek religius dan
37
merupakan Tubuh Dharma (Dharmakaya). Beliau juga mengatakan
bahwa Arahat, Bodhisatvva, dan Tahtagatha, patut didirikan stupa, dan
siapapun yang melakukan hal ini dan memahaminya, akan mendapatkan
kemajuan dalam batinnya. Dengan demikian, stupa juga sangat
bermanfaat bagi orang hidup yang mengormatinya.5
4. Uddesikacetiya
Uddesikacetiya artinya benda-benda atau tempat-tempat yang
ditetapkan atau dikukuhkan sebagai objek pujaan. Uddesikacetiya
bukan hanya berkaitan dengan benda atau tempat, tapi bisa juga dengan
waktu, misalnya waktu Sang Buddha lahir untuk terakhir kalinya di
lingkar kehidupan, waktu Sang Buddha mencapai penerangan
sempurna, dan waktu mencapai parinibbana yang ketiga hari ini dikenal
dengan “ peringatan Visâkhapûja’, demikian pula waktu Sang Buddha
membabarkan Dhamma untuk pertama kalinya.6
Patung dibuat tentunya ada maksudnya, seperti halnya arca atau
patung Buddha. Patung Buddha dibuat oleh kaum Buddhis untuk
mengenang jasa-jasanya dan keagungan budinya terutama ajaran-ajaran
yang membuat jutaan manusia hidup dalam kedamaian dan ketentraman.
Walaupun wujudnya tidak mirip betul dengan wajah yang sebenarnya, tetapi
lukisan patung tersebut, bagi kaum Buddhis harus selalu dengan benar
membayangkan dan meresapi siapakah tokoh tersebut.
5 Sekilas Mengenal Tentang Stupa, dari
https://ruangmemajangkarya.wordpress.com/2011/12/07/sekilas-mengenal-tentang-stupa/ diakses
pada tanggal 2 Juli 2019 pukul 11:47 WIB. 6 Bikkhu Dhammadhiro, Buddharûpa Bagaimana Buddhis Menyikapi Objek Pujaan
(Jakarta: Yayasan Sammasayambhu, 2012), h. 8-17.
38
Pak Santoso selaku pimpinan pengurus vihara juga mengatakan
bahwa dalam konsep Buddhis, patung adalah lambang dari kebuddhaan,
oleh karena itu dalam membuat patung biasanya memperhatikan ciri-ciri
Sang Buddha, karena semuanya melambangkan kebudhaannya, bukan
pibadinya. Patung juga merupakan simbol Sang Guru, sehingga apabila kita
mengadakan puja bakti bukanlah untuk menyembah patung tersebut,
melainkan untuk menghormati dan mengingat ajaran Sang Guru.7 Begitu
juga dengan penjelasan Pak Andy selaku jamaah di Vihara, ia mengatakan
bahwa patung dijadikan sebagai simbol saja baik pada zaman dahulu
maupun zaman modern saat ini. Bagaimanapun setiap orang itu memiliki
pegangan hidup.8 Jadi dapat disimpulkan bahwa makna patung atau rupang
adalah sebagai lambang dan kesempatan untuk merenungkan ajaran-ajaran
yang disampaikan oleh Sang Guru.
B. Prosesi Ritual Pemujaan Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi
Vihara Dharma Jaya ini memiliki tradisi unik yang mana tidak semua
vihara melakukan tradisi tersebut. Hanya ada di vihara tua saja, seperti
Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru dan Vihara Bahtera Bhakti
Ancol. Tradisi ini tidak menjadi sebuah keharusan di setiap vihara. Vihara
ini memiliki tradisi memukul gendang sebanyak tiga kali dan satu kali
mendentangkan lonceng. Hal tersebut dilakukan untuk menyambut para
jemaah disana untuk melakukan sembahyang. Dalam penjelasan Pak
7 Wawancara pribadi dengan pimpinan vihara Santoso Witoyo, di Vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, 25 Maret 2019. 8 Wawancara pribadi dengan jamaah vihara Andy, di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)
Pasar Baru Jakarta Pusat, 25 Maret 2019.
39
Santoso mengenai tradisi tersebut bahwa pukulan gendang yang pertama
ditandai sebagai waktu sembahyang pertama dimulai. Pukulan gendang
yang kedua di bunyikan sebagai tanda memanggil roh bahwa ada jamaah
yang datang ke vihara. Pukulan gendang yang ketiga disusul dengan
dentangan lonceng di bunyikan sebagai tanda tuang teh. Tuang teh ini
dilakukan oleh jemaah untuk persembahan kepada roh-roh yang ada di
vihara ini.9
Pak Santoso juga mengatakan bahwa di dalam Vihara Dharma Jaya
ini melakukan ritual pemujaan terhadap patung Mi Lek Hut dan patung Ta
Ol Lao Shi sama dengan patung-patung yang lain yaitu berdoa dan
kebaktian. Berdoa guna untuk membangkitkan daya kekuatan dalam jiwa
untuk mencapai tujuan, sedangkan kebaktian adalah pembacaan ayat kitab
suci yang berisi pujian, ajaran, pedoman hidup yang diajarkan Buddha.
Biasanya dilakukan didepan altar oleh sekelompok orang atau pribadi.
Umat Buddha melakukan ritual pemujaan sebagai wujud pemujaan terhadap
dewa-dewa yang mereka yakini. Mereka melakukan ritual ini rutin
berdasarkan jadwal yang selalu mereka laksanakan sebagai bakti mereka.
Yang dilakukan dengan menggunakan dupa dan sesajen.10 Ritual pemujaan
ini dilakukan pada waktu:
a. Pagi hari antara pukul 06:30
b. Sore hari antara pukul 18:30
9 Wawancara Pribadi dengan Pimpinan vihara Santoso Witoyo, di vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, 25 Maret 2019. 10 Wawancara Pribadi dengan Pimpinan vihara Santoso Witoyo, di vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, 25 Maret 2019.
40
Pagi hari menurut umat buddha merupakan masa positif yang
memiliki energi yang sangat besar. Pelaksanaan ritual pemujaan pada pagi
hari mengandung makna, yaitu pagi hari adalah waktu pertama dimana
melakukan kegiatan atau berkarya, sebelum berkarya diharuskan untuk
menjunjung, berpegang teguh, berlindung dan bernaung pada firman Tuhan,
serta untuk mengagungkan Sang Buddha. Pelaksanaan pada pagi hari
dimaksudkan agar dalam pelaksanaan tugas sehari-hari selalu meneladani
Sang Buddha. Menggunakan energi positif ini dengan sebaik-baiknya
dengan pemujaan. Sore hari pukul 17:00-18:30 merupakan masa negatif,
pada masa ini diharuskan untuk kembali melaksanakan pemujaan sebagai
tanda rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sudah memberikan
kelancaran dan kesehatan dalam mengerjakan tugas sehari-hari.
Dupa atau hio sudah ada sejak zaman dahulu dan sudah menjadi
tradisi vihara ketika sedang melakukan sembahyang. Dupa atau Hio
mempunyai arti harum, hio dibakar ketika sedang melakukan sembahyang
agar mengeluarkan asap yang berbau wangi dan harum.11 Harumnya dupa
yang menyebar ke segenap penjuru sama halnya dengan harumnya
perbuatan mulia dan nama baik seseorang, yang bahkan menyebar ke segala
penjuru sekalipun berlawan arah angin.12 Dupa yang digunakan terdiri dari
3 batang, yaitu dupa pertama berarti berteduhkan langit, bahwa manusia
benar-benar hidup dibawah langit yang begitu luas. Dupa kedua berarti
11 Muyadi Liang, Mengenal Agama Khonghucu (Sidiarjo: SPOC (Studi Park Of
Confucius)), h. 130. 12 Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha (Jakarta: FKUB DKI Jakarta dan
Yayasan Avalokitesvara,2007),h.72.
41
menghirup hawa alam semesta, dimana kehidupan dan nafas manusia sangat
bergantung kepadanya, dan dupa ketiga berarti berinjakan kaki, dapat
bersentuhan dengan tempat manusia berada. Dupa sebagai pernyataan sikap
ketulusan, kesucian, kebesaran Tuhan dan para Dewa yang dapat
membimbing umat kearah kemajuan, ketentraman, kebijaksanaan, dan
dapat mengontak langsung kepada Tuhan, dan para Dewa yang lain dapat
menciptakan suasana nikmat dan sakral. Dupa juga melambangkan jasa dan
kebajikan perbuatan baik tanpa pamrih, akan menambah pahala yang
berlimpah-limpah, bagaikan asap dupa menyebar luas kemana-mana. Asap
dupa ini bisa masuk kedalam syaraf sehingga seseorang dapat menerima
hawa positif dan dapat mengusir hawa negatif sehingga akhirnya bisa
tenang.
Selain dupa atau hio mengeluarkan bau yang harum, dupa juga
berguna untuk menentramkan pikiran, memudahkan konsentrasi dan
bermeditasi dan juga bisa mengusir hawa atau hal-hal yang bersifat jahat
atau negatif. Dupa atau hio yang dipakai saat melakukan sembahyang boleh
satu atau tiga dalam bentuk ganjil, biasanya tiga batang untuk bersujud ke
hadapan Tuhan, Nabi, atau para suci. Cara menaikkan dan menancapkan
dupa juga mempunyai tata cara sendiri, yaitu dengan melakukan dingli atau
mengangkat tangan sampai dahi atas, setelah itu menancapkan dupa dengan
menggunakan tangan kiri, karena dengan tangan kiri melambangkan sifat
yang positif. 13
13 Liang, Mengenal Agama Khonghucu, h. 134.
42
Setelah jamaah melakukan pembakaran dan penancapan dupa atau
hio, jamaah juga mempersembahkan sesajen untuk diberikan ke altar vihara.
Sesajen atau sesaji atau perlengkapan yang mereka bawa berupa lilin, buah-
buahan yang segar, air, bunga, jajanan kue, manisan, nasi kuning, bubur
merah, bubur putih dan wajik. Perlengkapan itu memiliki makna sebagai
berikut:
1. Lilin dilambangkan sebagai penerangan batin yang terang. Biasanya
lilin warna merah yang dipergunakan untuk persembahan. Sebelum
menyalakan dupa, terlebih dahulu kita menyalakan lilin. Cara
menyalakan lilin, yang pertama lilin disebelah kanan, baru kemudian
lilin yang berada disebelah kiri. Lilin yang dinyalakan bermakna
memberikan penerangan atau cahaya yang menerangi jalan kehidupan
dan penghidupan di waktu sekarang. Cahaya Buddha Dharma
menerangi hati dan pikiran kita, dengan selalu membimbing kita ke jalan
yang benar, dan membawa kita ke jalan penerangan atau pencerahan
agung. Selain itu juga melambangkan jiwa seorang Boddhisattva yang
bermakna ia mencerahi setiap makhluk yang mengalami kegelapan
bathin tanpa pamrih.14.
2. Buah-buahan yang segar dipersembahkan di altar Hyang Buddha,
Bodhisattva atau Dewa merupakan sikap pengorbanan tulus terhadap
yang dipuja. Buah segar yang dipersembahkan merupakan tekad
mengabdi diri kepada semua makhluk dan membagi hasil pahala kepada
orang lain. Selain itu, ada beberapa makhluk suci (para dewa-dewi) yang
14 Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha, h. 72.
43
hidup dari persembahan buah-buah segar dan makhluk-makhluk suci
yang telah menerima persembahan itu akan melindungi dari gangguan-
gangguan jahat, serta dapat menimbulkan nilai-nilai kesakralan atau
getaran suci. Di dalam buah yang segar diantaranya itu terdapat pisang,
jeruk dan delima. Pisang dalam bahasa Hokkian nya adalah Cio yang
melambangkan keselamatan, jeruk dalam bahasa Hokkian nya adalah
Kiet yang melambangkan kesejahteraan. Sedangkan delima
melambangkan kelimpahan, karena buah delima ini isinya banyak.
3. Wajik, wajik ini sifatnya lengket dan tidak mudah dicerai beraikan.
Wajik melambangkan bahwa kita semua harus bersatu padu. Jangan
saling membeda-bedakan. Dengan adanya semangat kerjasama dan
gotong royong maka negara akan maju.15
4. Air mempunyai makna agar pikiran, ucapan dan perbuatan anda selalu
bersih. Air dapat membersihkan segala kotoran bathin (klesa) yang
berasal dari keserakahan (lobha), kebencian (dvesa) dan kebodohan atau
kegelapan bathin (moha) dan ia memancarkan kasih sayang (maitri),
welas kasih (karuna), memiliki rasa simpati (mudita) dan keseimbangan
bathin (upeksha).
5. Bunga mempunyai makna ketidakekalan, semua yang berkondisi adalah
tidak kekal atau tidak abadi. Demikian juga dengan badan jasmani anda
tidak kekal; lahir, tumbuh, tua atau lapuk, kemudian meninggal atau
hancur. Yang tertinggal hanyalah keburukan atau keharuman perbuatan
15 Sesaji Yang di Perlukan dalam Sembahyang dari
https://dhammanggala.com/dnews/sesaji-yang-diperlukan-dalam-sembahyang diakses pada
tanggal 14 Mei 2019 Pukul 12:50 WIB.
44
selama hidupnya saja, yang kelak dikenang oleh sanak saudara dan
handai taulan.16
6. Jajanan kue ini tersirat pesan agar dalam menjalani hidup hendaknya
tidak melupakan “rumah” dan memiliki kepekaan seperti kura-kura.
Kura-kura yang selalu membawa tempurungnya sebagai rumah, dan jika
di sentuh cepat-cepat menyembunyikan kepalanya. Dan juga di dalam
jajanan kue ini terkandung restu leluhur, agar usia panjang menyertai
hidup generasi selanjutnya.17
Ritual mempunyai perilaku yang bersifat simbolis, yang berarti
menyatakan hal-hal yang ada dengan simbol-simbil yang dipergunakan.
Maksudnya, ritual ingin menjelaskan ungkapan-ungkapan dalam diri
manusia melalui simbol-simbol yang mereka miliki. Contohnya, untuk
mengungkapkan rasa syukur, dengan adanya ritual ini disimbolkan dengan
mempersembahkan buah-buahan terbaik yang dimiliki. Ritual juga
memberikan suatu transformasi bagi kehidupan manusia sehingga ada
perubahan-perubahan ke arah situasi yang baru.18
Terdapat tujuan dan manfaat yang menjadi dorongan jamaah setelah
melakukan ritual pemujaan di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio), yaitu:
16 Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha, h. 73. 17 Makna Simbolis Beberapa Jenis Sajian dari https://www.spocjurnal.com/religi/makna-
simbolis-beberapa-jenis-sajian diakses pada tanggal 14 Mei 2019 Pukul 15:56 WIB. 18 Julie Lanz, Komunikasi diakses dari https://academia.edu/23259697/komunikasi pada
tanggal 15 September 2019 Pukul 19:29 WIB.
45
1. Tujuan mereka berdoa merupakan tradisi dari agama Buddha,
semata-mata untuk memuja Tuhan, Dewa-dewa, Boddhisatva agar
kehidupan mereka diberikan kelancaran oleh Tuhan.
2. Untuk meminta keluarganya menjadi semakin rukun dan harmonis.
Jamaah ada pula yang berdoa untuk negara kita bebas dari segala
masalah dan bencana.
3. Untuk meminta kelancaran dan dipermudah dalam urusan bisnis.
4. Untuk meminta dipertemukan dengan jodoh. 19
5. Menyerahkan diri secara bulat karena menyadari akan kelemahan
dan keterbatasannya.
6. Untuk mengadakan penebusan dosa yang dimiliki.
7. Untuk menolong dan menyelamatkan makhluk-makhluk lainnya
menuju kelepasan.
Adapun manfaat dari pelaksanaan setelah menjalankan ritual pemujaan
adalah:
1. Dapat meningkatkan kesucian hati dan fikiran
2. Dapat menumbuhkan keikhlasan.
3. Menumbuhkan rasa aman dan jiwa yang tenang.
4. Dapat menumbuhkan cinta kasih.
5. Dapat melestarikan alam dan semesta.
6. Dapat memelihara kesehatan jasmani.
19 Wawancara Pribadi dengan jamaah Pak Andy, pada tanggal 25 Maret 2019.
46
Saat melakukan ritual pemujaan hal yang terpenting adalah pikiran bersih,
penuh konsentrasi agar indra-indra terkendali saat membaca doa untuk
mengagungkan Triratna. Paritta yang dibaca dalam puja bakti berisi doa agar semua
makhluk berbahagia. 20
C. Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi
1. Mi Lek Hut
Mi Lek Hut atau Mi Le Fo berasal dari bahasa Sansekerta: Buddha
Maitreya, yang memiliki arti “Yang Maha Pengasih dan Penolong”.
Yang merupakan dewa dari Buddhisme yang sangat terkenal dari
Tiongkok. Ketenarannya hanya berada di bawah Guan Yin, sang Dewi
Welas Asih. Orang-orang yang percaya beranggapan bahwa siapa saja
yang memperoleh pertolongannya asal mau memusatkan pikiran dalam
samadhi dan menyebutkan namanya berulang kali. Karena itu ia sangat
di hormati baik di kalangan Mahayana maupun Theraveda. Menurut
legenda Mi Le Fo telah banyak kali mengalami bertumimbal lahir.
Reinkarnasinya yang paling terkenal adalah sebagai seorang pangeran,
putra raja Varanaisa di Asia Tengah. Menurut cerita zaman dahulu sang
Pangeran lahir lengkap dengan 32 tanda-tanda suci yang menunjukkan
bahwa ia kelak akan menjadi murid Buddha. Oleh sebab itu, walaupun
Maitreya masih dalam tingkat Boddhisattva yang ke-9, ia seringkali
dipuja sebagai Buddha karena dianggap sebagai Buddha pada masa
yang datang.21
20 Sumanera Utamo, Bhakti (Puja) (Jakarta: Sangha Theraveda Indonesia), h.45. 21 Mi Lek Hud dari http://lociabio.com/mi-lek-hud diakses pada tanggal 22 Mei 2019
pukul 14:10.
47
Pada umumnya, orang Tionghoa memuja Mi Lek Hut atau Mi Le Fo
ini untuk memperoleh kekayaan dan kebahagiaan. Sama hal nya seperti
di dalam Vihara Dharma Jaya, ketika jamaah memuja Mi Lek Hut atau
Mi Le Fo ini mereka membawa uang logam dan disebar disekitar
patung. Uang logam ini dibawa dan disebar guna untuk persembahan.
Dan juga uang logam yang disebar itu disimbolkan supaya dilancarkan
rezeki selama hidup berlangsung selain itu juga untuk beramal. Maka
dari itu Mi Lek Hut disebut juga sebagai dewa rezeki. Ada juga yang
begitu percaya bahwa beliau bisa memberikan keturunan kepada orang
yang mendambakan si buah hati. Oleh karena itu, sering kali beliau di
patungkan dengan di kelilingi oleh 5 orang anak kecil.
Menurut penjelasan Pak Santoso ketua yayasan vihara, bentuk
paling umum patung Mi Lek Hut atau Mi Le FO di vihara-vihara adalah
posisinya setengah berbaring, wajahnya tertawa, perutnya buncit
terbuka dan kantong besar tergeletak di sampingnya. Karena
tampilannya yang selalu tertawa maka dari itu beliau di juluki Buddha
Tertawa.22 Mi Lek Hut yang di juluki sebagai buddha tertawa ini kira-
kira di mulai pada akhir dinasti Tang dan permulaan zaman Lima
Dinasti (907-1060 M). Pada saat itu ada seorang Bikkhu yang berlimu
dan tiap orang memanggilnya sebagai Bu Dai. Bu Dai disini memiliki
arti kantong kain, karena ia selalu membawa kantong yang besar kalau
berpergian. Beliau adalah penduduk asli dari Provinsi Zhe-Jiang. Ia rajin
22 Wawancara pribadi dengan pimpinan vihara Santoso Witoyo, di Vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, 25 Maret 2019.
48
dalam menyebarkan ajaran Buddha. Nama yang sesungguhnya tidak ada
yang tahu. Beliau memiliki watak yang ramah, jenaka, selalu ringan
tangan dalam menolong orang yang sedang menderita. Beliau juga tidak
pernah susah, sering berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain guna
untuk meminta sedekah dan mengajar Dharma kepada siapa saja yang
mau mendengarnya. Seringkali beliau pada saat itu terlihat
mengumpulkan segala macam benda yang di masukkan ke dalam
karung. Bagi seorang yang memikirkan keduniaan, tindakan ini biasa
dianggap tamak atau loba. Yang sesungguhnya perbuatan itu beliau
lakukan dalam arti mencari dan mengumpulkan makhluk-makhluk
untuk mengantarkan mereka ke tanah sua.
Ada beberapa makna simbol dari Mi Lek Hut diantaranya yaitu,
senyum yang lebar atau tertawa, melambangkan cinta kasih,
kebahagiaan dan kegemaran membawa kebahagiaan pada makhluk
hidup lainnya. Telinga yang panjang melambangkan dengan
kelembutan dan kebaikannya, beliau dengan setia akan mendengarkan
dan mengerti semua makhluk hidup. Telinga panjang juga berarti
kebijaksanaan. Dada lebar melambangkan pikiran yang luas, ketulusan
dan cinta kasih pada semua makhluk. Perut besar melambangkan rasa
toleransi yang besar, hati yang terbuka dan akan menanggung semua
beban dunia tanpa membeda-bedakan. Karung kain besar,
melambangkan cinta kasih dan kebijakan tanpa batas serta Dharma.
Karung ini konon ceritanya dapat menyimpan segala sesuatu, termasuk
seluruh alam semesa. Karung ini juga dipercaya membawa kebahagiaan,
49
cahaya, dan mengusir kekacauan. Karung ini menutup dan membungkus
semua kegelapan, kejahatan, kekacauan, penderitaan, sebagai gantinya
mendatangkan terang, kebaikan, kedamaian, kebahagiaan bagi manusia.
Tangan memegang bola dunia, melambangkan mencintai dan
memberikan berkat pada semua makhluk dan beliau juga berjanji untuk
merubah dunia menjadi tanah murni. Dan yang terakhir adalah tasbih
yang dipegang melambangkan senantiasa mengikat jodoh baik kepada
semua makhluk, membawa kebahagiaan kepada semua makhluk.
Menurut cerita pada zaman dahulu, orang-orang yang akrab dengan
beliau pasti tahu, bahwasanya beliau yang jenaka ini sangat cocok dalam
meramal nasib seseorang dan cuaca. Misalnya, apabila beliau berjalan
dengan terburu-buru dengan menggunakan sendal yang basah, itu
diartikan pasti hujan akan datang. Sedangkan apabila beliau memakai
sepatu dengan santainya berjalan kesana dan kemari, cuaca akan cerah.
Bu Dai atau Mi Lek Hut ini seringkali kelihatan tidur nyenyak diatas
tumpukkan salju di malam musim dingin dan tidak mandi walau udara
panas sekali. Kemudian, pada akhir hidupnya ia meninggal dengan
keadaan duduk dan semedi di lorong sebuah klenteng dengan
meninggalkan serangkum syair.
2. Ta Ol Lao Shi
Ta Ol Lao Shi atau biasa disapa Mbah Jugo di Vihara Dharma Jaya
digambarkan dengan patung yang mengenakan sorban dengan sikap
berdoa memangku kitab suci. Mbah Jugo mendapatkan gelar Taw Low
She atau Ta Ol Lao Shi, yang memiliki arti sebagai guru besar pertama.
50
23Ta Ol Lao Shi sebutan dari etnis tionghoa yang berarti guru pertama
atau yang biasa dikenal oleh masyarakat sekitar Gunung Kawi adalah
Mbah Djugo merupakan tokoh yang terkenal pada situs keramat Gunung
Kawi yang banyak dikunjungi baik etnis Tionghoa, Jawa, maupun etnis
lainnya. Dengan demikian, banyak yang belum mengenal riwayat
beliau.
Riwayat hidup Mbah Djugo yang mempunyai nama asli Kyai
Zakaria II dapat ditelusuri berdasarkan surat keterangan yang
dikeluarkan oleh pangageng Kantor Tepas Daerah dalam Kraton
Yogyakarta Hadiningrat nomor 55/TD/1964 yang ditanda tangani oleh
Kanjeng Tumenggung Donoehadiningrat pada tanggal 23 Juni 1964. Di
dalam surat itu terdapat silsilah Kyai Zakaria II atau Mbah Djugo yang
diterangkan sebagai berikut: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I (Pangeran Puger) memerintah
keraton Mataram pada tahun 1705 sampai 1719 berputera Bandono
Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro. Pangeran ini mempunyai putera
bernama Kanjeng Kyai Zakaria I. Pada saat itu beliau adalah seorang
ulama besar di lingkungan Keraton Kartasura.24
Kanjeng Kyai Zakaria I memiliki putera yang bernama Raden Mas
Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo. Di masa mudanya,
23 Olyvia Bendon, Klenteng Sin Tek Bio Pasar Baru Jakarta diakses dari
https://www.aroengbinang.com/2018/06/klenteng-sin-tek-bio-pasar-baru-jakarta.html pada tanggal
8 Juli 2018 pukul 20:24 WIB. 24 Tashadi, Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h.18.
51
ia telah tertartik mempelajari pengetahuan keagamaan.25 Setelah
dewasa, karena kemampuannya yang mahir dan ketekunannya dalam
mempelajari hal-hal keagamaan atas perkenan Kanjeng Susuhunan
Paku Buwana II, Raden Mas Soeryokoesoemo mengubah namanya
sesuai pemberian nama oleh Susuhan, nunggak semi26 dengan
ayahandanya, menjadi Kanjeng Kyai Zakaria II. Jadi, Raden Mas
Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo itulah Kanjeng
Kyai Zakaria II.
Dalam perjalanan kisahnya Kyai Zakaria II mengembara ke Jawa
Timur dan menyamar sebagai rakyat biasa. Hal ini dimaksudkan agar
identitasnya sebagai bangsawan keraton yang terkenal itu, tidak
diketahui oleh orang lain terutama oleh penjajah Belanda. Kyai Zakaria
II pada saat itu memakai nama Mbah Sadjoego atau singkatnya Mbah
Djoeogo dan nama tersebut sangat populer hingga sekarang. Kyai
Zakaria II memulai perjalanannnya dari Yogyakarta di lanjutkan ke
Sleman, Nganjuk, Bojonegoro, dan yang terakhir Blitar. Sesampainya
di Blitar ia terkejut. Ternyata, tempatnya berdekatan dengan Kadipaten
yang dibawah kekuasaan Belanda. Kemudian ia menepi ke daerah
Kesamben, sekitar 60 km dari kota Blitar. Beliau menetap di tepi sungai
Brantas desa Sonan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Di desa ini
Kyai Zakaria II bertemu dengan Pak Tasiman yang menanyakan asal
usulnya. Ketika ditanya asal-usul ia merasa khawatir kehadirannya
25 Riwayat Mbah Jugo dari https://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2298-
riwayat-mah-jugo diakses pada tanggal 2 Mei 2019 pukul 11:37. 26 Nunggak semi adalah tradisi Jawa yang menggunakan nama sama dengan ayah.
52
diketahui oleh Belanda, disaat beliau ditanya oleh Pak Tasiman maka
beliau menjawab, “kulo niki sajugo” (saya ini sendirian). Namun, Pak
Tosiman salah sangka, dan mengira bahwa nama beliau adalah Sayugo.
Oleh sebab itu, Kyai Zakaria II dikenal dengan sebutan Mbah Jugo. 27
Pak Santoso selaku pimpinan vihara mengatakan bahwa Mbah Jugo
ini semakin terkenal dan di hormati oleh masyarakat baik karena
kearifannya, kemampuannya di bidang ilmu agama, keampuhan ilmu
yang dimilikinya dan juga pribadinya yang suka menolong sesama
umat.28
Ada salah satu wujud pertolongan beliau yaitu pada saat itu ketika
terjadi wabah penyakit hewan di desa Sonan pada tahun 1860.
Masyarakat disekitar sana panik karena penguasa Belanda tak mampu
mengatasi. Akhirnya dengan keampuhan ilmu Mbah Jugo, wabah
penyakit tersebut berhasil disingkirkan dan masyarakat semakin hormat
kepada Mbah Jugo. Karena peristiwa tersebut, namanya semakin
kondang dan Mbah Jugo melayani berbagai konsultasi dari masyarakat.
Dari soal jodoh, bertanam, berternak, bahkan sampai soal dagang yang
menguntungkan, semuanya dilayani dengan beliau secara memuaskan.
Selama hidupnya Mbah Jugo sangat di hormati dan disegani, sampai ia
meninggal pada tahun 1871 jasadnya di makamkan di komplek Pasarean
Gunung Kawi.29
27 Tashadi, Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur, h. 19. 28 Wawancara pribadi dengan pimpinan vihara Santoso Witoyo, di Vihara Dharma Jaya
(Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat, 25 Maret 2019. 29 Tashadi, Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur, h. 19.
53
Keikutsertaan warga Tionghoa dalam lingkungan perziarahan di
Pasarean Gunung Kawi dimulai dari seorang yang bernama Tan Kie
Liem. Pada waktu itu ia sempat diobati dan disembuhkan oleh Eyang
Imam Sudjono berkat air guci wasiat dari peninggalan Mbah Jugo.
Kemudian Tan Kie Liem ikuy berguru di padepokan Gunung Kawi dan
tinggal disana. Sebagai seorang Tionghoa, ia mendirikan klenteng kecil
sendiri untuk bersembahyang dan untuk menghormati almarhum
gurunya.
Menurut penelusuran Martinus Herwiratno di dalam artikelnya yang
membuat Pasarean Gunung Kawi ini terkenal adalah ada seorang
Tionghoa ia adalah pendiri perusahaan rokok besar yang pernah berdiri
di Malang yang sekarang sudah bangkrut, ia datang untuk berguru di
padepokan Gunung Kawi. Namun, niat sang pendiri ini di tolak oleh
juru kunci dengan alasan si pendiri perusahaan ini tidak pantas menjadi
seorang pendekar melainkan ia pantas menjadi pedagang. Kemudian
sang juru kunci menyarankan untuk pulang dan membekalinya dua
batang bentoel atau umbi-umbian. Sesampainya dirumah, ia berpikir
bahwa oleh-oleh dua batang bentoel dari sang juru kunci ini pasti
memiliki arti. Akhirnya ia menggunakan Cap Bentoel sebagai merk
usahanya. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, perusahaan rokok Cap
Bentoel ini maju dan berkembang pesat. Rupanya, dari kesuksesan
rokok bentoel ini dan Pasarean Gunung Kawi dengan cepat menyebar
luas di kalangan masyarakat Tionghoa. Berbondong-bondong warga
Tionghoa datang dan kebetulan banyak yang berhasil. Hasil akhirnya
54
adalah sekarang komplek Pasarean Gunung Kawi menjadi tempat
percampuran budaya dan ritual khas Jawa dan Tionghoa.30
Vihara Dharma Jaya dengan adanya patung Mbah Jugo memiliki
makna bagi orang-orang yang datang. Patung ini dilambangkan sebagai
penghormatan kepada Mbah Jugo atas keampuhan ilmu yang
dimilikinya dan pribadinya yang suka menolong kepada sesama.
30 Martinus Herwiratno, Eyang Dojego dan Eyang RM Imam Soedjono: Dua Bangsawan
Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa diakses dari http://web.budaya.tionghoa.net/eyang-
djoego-dan-eyang-rm-imam-soedjono-bangsawan-jawa-yang-dihormati-masyarakat-tionghoa pada
tanggal 4 Juli 2019 pukul 9:58 WIB.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan dalam skripsi ini
mengenai Makna Simbolik Patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao
Shi di Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Pasar Baru Jakarta Pusat,
yaitu sebagai berikut: Tata cara ritual pemujaan patung Mi Lek Hut
dan Ta Ol Lao Shi di Vihara Dharma Jaya sama seperti patung-patung
lainnya, yaitu dengan menggunakan dupa atau hio dan memberikan
sesaji atau sesajen. Sesaji yang dibawa oleh jamaah berupa lilin, buah-
buahan yang segar, air, bunga, jajan kue, manisan, nasi kuning, bubur
merah dan bubur putih serta wajik. Dengan adanya ritual pemujaan,
terdapat tujuan dan manfaat yang menjadi dorongan jamaah setelah
melakukan ritual pemujaan, tujuannya adalah mereka berdoa untuk
memuja Tuhan, Dewa-dewa, Bodhisattva agar kehidupan diberikan
kelancaran, untuk mengadakan penebusan dosa, untuk menolong dan
menyelamatkan makhluk-makhluk lainnya menuju kelepasan.
Adapun manfaatnya adalah dapat meningkatkan kesucian hati dan
fikiran, dapat menumbuhkan rasa keikhlasan, dapat menumbuhkan
cinta kasih, dapat melestarikan alam dan semesta.
Makna simbolik dari patung Mi Lek Hut diantaranya adalah
senyum yang lebar atau tertawa, melambangkan cinta kasih,
kebahagiaan, dan kegemaran membawa kebahagiaan pada makhluk
hidup lainnya. Telinga yang panjang melambangkan dengan
56
kelembutan dan kebaikannya, beliau dengan setia mendengarkan dan
mengerti semua makhluk hidup. Dada yang lebar melambangkan
pikiran yang luas, ketulusan dan cinta kasih pada semua makhluk.
Perut besar melambangkan rasa toleransi yang besar, hati yang
terbuka dan akan menanggung semua beban dunia tanpa membeda-
bedakan. Makna filosofis dari patung Mi Lek Hut adalah untuk
memperoleh kebahagiaan, rezeki serta keturunan. Maka dari itu Mi
Lek Hut ini sering digambarkan sebagai seorang bikkhu gendut yang
sedang tertawa dan di kelilingi lima orang anak kecil. Sedangkan
makna simbolik dari patung Ta Ol Lao Shi atau Mbah Jugo adalah
sebagai penghormatan atas keampuhan ilmu yang dimilikinya dan
menolong terhadap sesama.
Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) ini memiliki tradisi yang unik
dan tidak semua vihara melakukan tradisi ini. Tradisi tersebut adalah
memukul gendang sebanyak tiga kali dan satu kali mendentangkan
lonceng. Hal tersebut guna untuk menyambut para jamaah vihara
untuk melakukan sembahyang. Tradisi diatas dilakukan hanya di
vihara tua saja dan tidak menjadi sebuah keharusan untuk
melaksanakan tradisi ini untuk vihara-vihara yang lain.
B. Saran
Tidak dapat dihindari bahwa sebuah karya akan luput dari
kesalahan dan kekurangan. Begitu juga dalam penulisan skripsi ini,
penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan
serta kekeliruan. Oleh sebab itu, sumbangan saran dan kritik adalah
57
sebuah keniscayaan demi istilah kesempurnaan. Meskipun demikian,
tujuan melengkapi penelitan-penelitian terdahulu adalah harapan dari
penulis kedepan. Semoga harapan itu dapat ditemukan dalam skripsi
ini.
58
DAFTAR PUSTAKA
A, Agustiono. “Makna Simbol dalam Kebudayaan Manusia”,Jurnal Ilmu
Budaya, vol.8, no.1, tahun 2011.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cetakan pertama, 2015.
Bendon, Olyvia. Klenteng Sin Tek Bio Pasar Baru Jakarta diakses dari
https://www.aroengbinang.com/2018/06/klenteng-sin-tek-bio-pasar-
baru-.html. pada tanggal 8 Juli 2018 pukul 20:24 WIB.
Conze,Edward. Sejarah Singkat Agama Buddha. Jakarta: Karaniya, 2010.
Dhammadhiro, Bikkhu. Buddharupa Bagaimana Buddhis Menyikapi Objek
Pujaan. Jakarta: yayasan Sammasayambhu, 2012.
Diputhera, Oka. Agama Buddha Bangkit. Denpasar: Arya Suryacandra Berseri,
2006.
Djam’annuri. Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1998.
Eliade, Mircea, dkk. Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000. Penerjemah Ahmad Norma Permata.
Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers,
2008.
Farrugia, Edward G. Dan Gerald O’collins. Kamus Teologi. Terj. I Suharyo.
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Ghazali, Adeng Muchtar. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta, 2011.
H. Turner, Lynn dan Richard West, Teori Komunikasi: Analasis dan Aplikasi.
Jakarta: Salmbe Humanika, 2012. Penerjemah Maria Natalia Damayanti
Maer.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Hanindita, 1983.
Herwiratno, Martinus. Eyang Djoego dan Eyang RM Imam Soedjono: Dua
Bangsawan Jawa yang Dihormati Masyarakat Tionghoa, diakses dari
https://web.budaya.tionghoa.net/eyang-djoego-dan-eyang-rm-imam-
soedjono-dua-bangsawan-jawa-yang-dihormati-masyarakat-tionghoa
pada tanggal 4 Juli 2019 pukul 9:58 WIB.
Https://eprints.uny.ac.id diakses pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 14:57 WIB.
Https://repository.isi-ska.ac.id diakses pada tanggal 26 Juni 2019 pukul 15.00
WIB.
59
J. Weisman, Ivan Th. Simbolisme Menurut Mircea Eliade, diakses dari
https://www.sublibrary.com/simbolisme+menurut+mircea+elidade.pdf
pada tanggal 30 Desember 2018 pukul 14:37 WIB.
Jakarta Dulu dan Kini,dari https://www.adangdaradjatun.com diakeses pada
tanggal 9 Mei 2018 pukul 12:28 WIB.
Jumlah Sarana Ibadah Menurut Kabupaten Kota, Jakarta Open Data, diakses
dari https://data.jakarta.go.id pada tanggal 13 Maret 2019 pukul 12:50
WIB.
Junaidi, Wawan. Definisi Tanda, Lambang dan Simbol, diakses dari
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/definisi-tanda-lambang-
dan-simbol.html. Pada tanggal 30 November 2018 pukul 20:00 WIB.
Kebudayaan, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Kuang, Wan che. Enam Perbuatan Mulia Sang Pengasih. Jakarta: DPP
MAPANBUMI,tt.
Lanz, Julie. Komunikasi, diakses dari
https://academia.edu/23259697/komunikasi pada tanggal 15 September
2019 pukul 19:29 WIB.
Liang, Muyadi. Mengenal Agama Khonghucu. Sidiarjo: SPOC (Studi Park Of
Confucius).
Mahendra, Febry Pradipka. “Makna Pesan Dari Lirik Lagu “Bebas Merdeka”
Karya Steven Coconut Treez (Analisis Semiotika Roland Barthes)”,
eJournal Ilmu Komunikasi Vol. 2, No. 3 (2014), h. 74.
Mi Lek Hud, Vihara Bodhi Dharma, diakses dari https://lociabio.com/mi-lek-
hud pada tanggal 22 Mei 2019 pukul 14:10 WIB.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
Makna Simbolis Beberapa Jenis Sajian, Spoc Jurnal, diakses dari
https://www.spocjurnal/com/religi/makna-simbolis-beberapa-jenis-
sajian pada tanggal 14 Mei 2019 pukul 15:56 WIB.
Pals, Daniel L. Dekonstruksi Kebenaran Kritik Tujuh Toeri Agama.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2001. Penerjemah Inyiak Ridwan Mundzir dan
M. Syukri.
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut, Badan Pusat Statistik,
diakses dari https://sp2010.bps.go.id pada tanggal 12 Maret 2019 pukul
12:17 WIB.
60
Perbedaan Tanda dan Simbol, diakses dari
https://www.academia.edu/Perbedaan_Tanda_dan_Simbol pada tanggal
29 Juni 2019 Pukul 16:41 WIB.
Pradaningrum, Vihara Sin Tek Bio, Vihara dari Perkebunan Chastelein,
diakseshttps://entertainment.kompas.com/read/2009/06/04/11411482/Vi
hara.Sin.Tek.Bio.Vihara.dari.Perkebunan.Chastelein pada tanggal 18
September 2018 pukul 22:58 WIB.
Rahmanto,B. Simbolisme Dalam Seni, Basis. Yogyakarta: Andi Offset, 1992.
Edisi Maret XLI No. 03.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Riwayat Mbah Jugo, Budaya Tionghoa Forum Budaya dan Sejarah Tionghoa,
diakses dari https://web.budaya-tionghoa.net/index.php/2298-riwayat-
mah-jugo pada tanggal 2 Mei 2019 pukul 11:37 WIB.
S, Bambang. Riwayat Singkat Sin Tek Bio Vihara Dharma Jaya Pasar Baru
Anno 1698-Batavia. Jakarta: Yayasan Vihara Dharma Jaya, 2006.
Salam, Syamir. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2006.
Sekilas Mengenal Tentang Stupa, diakses dari
https://ruangmemajangkarya.wordpress.com/2011/12/07/sekilas-
mengenal-tentang-stupa pada tanggal 2 Juli 2019 pukul 11:47 WIB.
Sesaji Yang di Perlukan dalam Sembahyang, Dhamma Manggala, diakses dari
https://dhammanggala.com/dnews/sesaji-yang-diperlukan-dalam-
sembahyang pada tanggal 14 Mei 2019 pukul 12:50 WIB.
Sudharma, Budiman. Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI
Jakarta dan Yayasan Avalokitesvara, 2007.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2013.
Sujarwo. Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas
Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Supardi. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Suryabrata, Sumarta. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998.
Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha
Indonesia, 1995.
Syukur, Abdul. Kebangkitan Agama Buddha. Bandung: Gunung Djati Press,
2009.
61
Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta: Pustaka Al Husna,
1983.
Tashadi. Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1995.
Tinarbuko, Sumbo. “Semiotika Analisis Tanda Pada Karya Desain
Komunikasi Visual”, Nirmana (Januari 2003) Vol. 5 No. 1.
UGM, Buletin Kamadhis. Eka-Citta Bersatu dalam Dhamma: Simbol dalam
Buddhisme. Yogyakarta: Kamadhis UGM, 2008.
Utamo, Sumanera. Bhakti (Puja). Jakarta: Sangha Theraveda Indonesia, tt.
Utomo, Bambang Budi. Buddha di Nusantara. Jakarta: Buddhits Education
Centre, 2008.
Wibowo, Arief. “Makna Patung Buddha dalam Agama Buddha”, Suhuf (Mei
2008) Vol.20 No.1.
Wawancara Pribadi dengan Pimpinan Vihara Santoso Witoyo. Jakarta, 25
Maret 2019.
Wawancara Pribadi dengan Jamaah Pak Andy. Jakarta, 25 Maret 2019.
Yoest, Riwayat Klenteng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten. Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer, 2008.
62
LAMPIRAN-LAMPIRAN
63
PEDOMAN WAWANCARA
1. Tahun berapa vihara ini di dirikan?
2. Operasional vihara dibuka dari jam berapa sampai jam berapa?
3. Bagaimana sejarah vihara ini didirikan?
4. Berapa jumlah jamaah sejak pertama kali vihara ini dibangun sampai
sekarang?
5. Apakah ada peningkatan jumlah jamaah dari waktu ke waktu?
6. Bagaimana fungsi vihara pada zaman dahulu dan sekarang?
7. Adakah pengunjung tetapnya disini?
8. Apakah fungsi patung dalam agama Buddha?
9. Ada berapa banyak patung di vihara ini?
10. Bagaimana sejarah dan makna simbolik patung Mi Lek Hut dan patung Ta
Ol Lao Shi?
11. Bagaimana tata cara ritual pemujaan patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol
Lao Shi?
12. Mengapa ada banyak lilin disini? Darimana lilin ini datang?
13. Mengapa setiap orang yang datang, pengurus vihara membunyikan gendang
dan lonceng? Apakah sudah menjadi ciri khas disini?
14. Mengapa tidak semua vihara mengikuti tradisi pukul gendang?
15. Mengapa disekitar patung Mi Lek Hut tersebar banyak uang receh disana?
16. Apa yang dilakukan jamaah di vihara selain berdoa? Adakah kegiatan lain?
17. Apa yang biasa Anda doakan?
64
18. Bagaimana orang-orang yang berdoa di vihara ini meyakinkan diri jika
doanya di kabulkan? Apa yang biasa dilakukan? Apakah dengan terus
berbuat baik maka doa akan di kabulkan atau yang lain?
19. Menurut Anda, seberapa penting simbol patung dalam prosesi doa?
20. Apa makna patung Mi Lek Hut dan Patung Ta Ol Lao Shi?
21. Apa motivasi yang menjadi dorongan anda setelah melakukan ritual
pemujaan di vihara Dharma Jaya?
22. Menurut Anda, patung di masa modern ini dijadikan sebagai manivestasi
Tuhan atau sebagai simbol saja?
65
Lampiran I
66
HASIL WAWANCARA
Nama : Santoso Witoyo
Jabatan : Pimpinan Pengurus Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio)
Waktu Wawancara : 25 Maret 2019 pukul 13:00 WIB
1. Tahun berapa vihara ini di dirikan?
Jawab:
Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) di dirikan pada tahun 1698.
2. Operasional vihara dibuka dari jam berapa sampai jam berapa?
Jawab:
Dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Dari terbit fajar sampai terbenam fajar.
3. Bagaimana sejarah vihara ini didirikan?
Jawab:
Pada awalnya Vihara Dharma Jaya ini sebelumnya disebut Klenteng Het
Kong Sie Huis Tek merupakan salah satu vihara tua yang diyakini dibangun
pada tahun 1698 (Tahun Macan). Angka tahun 1698 ini dikuatkan oleh buku
daftar penyumbang pembangunan klenteng ini, yang ditemukan dan kini
disimpan oleh pengurusnya yang bernama Santoso Witoyo. Vihara ini
terletak di Jalan Pasar Baru (Dalam Pasar) No. 146, Jakarta Pusat 10710.
Vihara tua ini terletak beberapa kilometer diluar tembok Kota Batavia.
Vihara ini awalnya dibangun oleh petani-petani Tionghoa yang tinggal di
tepi Kali Ciliwung disekitar Pasar Baru. Kali Ciliwung pada saat itu
dijadikan sebagai jalur utama transportasi perdagangan, sehingga daerah
pinggiran sungai menjadi cepat berkembang dan lambat laun berdirilah
67
desa-desa yang ramai. Sudah menjadi kebiasaan dimanapun perantau
tinggal, mereka biasanya akan mengikutsertakan kebudayaan, adat istiadat,
agama, bahasa, dan cara hidup mereka. Dengan adanya orang-orang
Tionghoa yang tinggal itu, mereka membangun tempat ibadah ini untuk
menjalankan ibadah dan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa terima
kasih atas berkah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Mulanya vihara ini
menghadap ke selatan dan terletak di Jalan Belakang Kongsie No. 16.
Kemudian pada tahun 1812 pindah ke belakang bangunan lama dan
menghadap ke Utara atau ke Jalan Samanhudi yang dulu di kenal sebagai
Gang Toapekong yang kini berubah menjadi Jalan Pasar Baru Dalam No.
146, Jakarta Pusat. Pergantian nama Het Kong Sie Huis Tek menjadi Sin
Tek Bio, diduga jauh sebelum Pasar Baru dibuka. Dugaan ini dikuatkan
dengan ditemukannya catatan yang menyatakan bahwa papan nama Sin Tek
Bio disumbangkan pada tahun 1752 (Tahun Ayam).
4. Berapa jumlah jamaah sejak pertama kali vihara ini dibangun sampai
sekarang?
Jawab:
Jumlah jamaah sejak pertama vihara dibangun sampai sekarang terhitung
sangat banyak. Jamaah yang beribadah disini datang dari 24 provinsi.
Bahkan ada jamaah yang datang dari luar negeri untuk beribadah di vihara
ini.
5. Apakah ada peningkatan jumlah jamaah dari waktu ke waktu?
Jawab:
Setiap tahunnya di vihara ini jumlah jamaahnya meningkat.
68
6. Bagaimana fungsi vihara pada zaman dahulu dan sekarang?
Jawab:
Fungsi vihara pada zaman dahulu dan sekarang sama, fungsinya untuk
sembahyang, sosial kemasyarakatan.
7. Adakah pengunjung tetapnya disini?
Jawab:
Ada pastinya. Namun tidak bisa disebutkan satu-satu karena banyak.
8. Apakah fungsi patung dalam agama Buddha?
Jawab:
Dalam konsep Buddhis, patung adalam lambang dari kebuddhaan, oleh
karena itu dalam membuat patung biasanya memperhatikan ciri-ciri Sang
Buddha, karena semuanya melambangkan kebuddhaan, bukan pribadinya.
Patung juga merupakan simbol Sang Guru, sehingga apabila kita
mengadakan puja bakti bukanlah untuk menyebambah patung tersebut,
melainkan untuk menghormati dan mengingat ajaran Sang Guru. Jadi
fungsinya sebagai lambang dan kesempatan untuk merenungkan ajaran
Sang Guru.
9. Ada berapa banyak patung di vihara ini?
Jawab :
Tentunya ada banyak. Ada ribuan patung. Karena satu patung terbagi
beberapa macam. Contohnya seperti Kwan Kong bisa terbagi menjadi 20
atau 25 buah dan yang lainnya juga seperti itu.
10. Bagaimana sejarah dan makna simbolik patung Mi Lek Hut dan
patung Ta Ol Lao Shi?
Jawab :
Patung Mi Lek Hut atau Mi Le Fo atau Mi Le Pusa di dalam
bahasa Sansekerta disebut Maitreya, yang memiliki arti Yang Maha
69
Pengasih dan Penolong, yang merupakan salah satu dewa dari
Buddhisme yang sangat terkenal di Tiongkok. Ketenarannya hanya
ada di bawah Guan Yin atau sang Dewi Welas Asih. Menurut
legenda Mi Le Fo ini banyak sekali bertumimbal lahir. Reinkarnasi
yang paling terkenal adalah sebagai seorang pangeran di Asia
Tengah. Menurut cerita yang berkembang pangeran ini lahir dengan
32 tanda-tanda suci yang menunjukan bahwa ia kelak akan menjadi
murid Buddha. Oleh karena itu, walaupun Maitreya masih dalam
tingkat Boddhisattva yang ke-9, ia seringkali dipuja sebagai seorang
Buddha pada masa yang akan datang. Pada umumnya orang
Tionghoa memuja Mi Lek Hut atau Mi Le Fo ini untuk memperoleh
kekayaan dan kebahagiaan. Ada juga yang sangat percaya beliau
bisa memberikan keturunan kepada orang yang mendambakannya.
Oleh sebab itu seringkali beliau dipatungkan dengan di kelilingi oleh
5 orang anak kecil. Tetapi bentuk yang paling umum di kelenteng-
kelenteng adalah dalam posisi setengah berbaring, wajahnya
tertawa, perutnya buncit terbuka dan kantong besar tergeletak di
sampingnya. Oleh karena itu, karena tampilannya yang selalu
tertawa ini beliau di juluki Buddha Tertawa. Mi Lek Hut sebagai
buddha tertawa ini kira-kira di mulai pada akhir dinasti Tang dan
permulaan zaman Lima Dinasti (907-1060 M). Waktu itu ada
seorang Bikshu yang berilmu dan tiap orang memanggilnya sebagai
Bu Dai. Bu Dai yang berarti kantong kain, karena ia selalu
membawa kantong yang besar kalau berpergian. Beliau adalah
penduduk asli dari Provinsi Zhe-Jiang. Ia rajin dalam menyebarkan
ajaran Buddha. Nama yang sesungguhnya tidak ada yang tahu.
Beliau memiliki watak yang ramah, jenaka, selalu ringan tangan
dalam menolong orang yang menderita. Beliau juga tidak pernah
susah, sering berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain guna
untuk minta sedekah dan mengajar Dharma kepada siapa saja yang
mau mendengarnya. Seringkali beliau pada saat itu terlihat
mengumpulkan segala macam benda yang di masukkan ke dalam
70
karung itu. Bagi seorang yang memikirkan keduniaan, tindakan ini
biasa dianggap tamak atau loba. Yang sesungguhnya perbuatan itu
dilakukan beliau dalam arti mencari dan mengumpulkan makhluk-
makhluk untuk mengantarkan mereka ke tanah sua. Orang-orang
yang akrab dengan beliau pasti tau bahwasanya beliau yang jenaka
ini sangat cocok dalam meramal nasib orang dan cuaca. Dari segi
tingkah lakunya sendiri, dalam kesehariannya beliau ini dapat
memperkirakan cuaca yang akan terjadi. Misalnya, apabila beliau
berjalan dengan terburu-buru dengan menggunakan sendal yang
basah, pasti hujan akan datang. Sedangkan apabila beliau memakai
sepatu dengan santainya berjalan kesana dan kemari, cuaca akan
cerah. Bu Dai seringkali kelihatan tidur nyenyak diatas tumpukkan
salju di malam musim dingin dan tidak mandi walau udara panas
sekali. Ia meninggal dengan keadaan duduk dan semedi di lorong
sbuah kelenteng dengan meninggalkan serangkum syair.
Patung Ta Ol Lao Shi atau yang biasa disebut Mbah Jugo. Mbah
Jugo ini merupakan tokoh yang terkenal pada situs keramat Gunung
Kawi yang banyak di kunjungi baik etnis Tionghoa, Jawa, maupun
etnis lainnya. Mbah Jugo adalah keturunan Susuhunan Paku
Bowono I yang memerintah Mataram. Beliau berputra Bandono
Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro. BPH Diponegoro berputera
Kanjeng Kyai Zakaria I yang mana beliau adalah seorang ulama
besar di Keraton Kartasura. Kanjeng Kyai Zakaria I berputera Raden
Mas Soeryokoesomo atau Raden Mas Seoryodiatmodjo. Masa
mudanya, ia telah tertarik mempelajari pengetahuan keagamaan.
Berkat restu Susuhunan Paku Buwono II, beliau lantas mengubah
namanya, yakni nama yang sama dengan ayahnya. Oleh karena itu,
beliau dikenal sebagai Kyai Zakaria II. Kyai Zakaria II melakukan
pengembaraan ke Jawa Timur dan menyamar sebagai rakyat biasa
demi menghindarkan dirinya dari Belanda yang pengaruhnya
semakin besar di istana. Rute pengembaraan Kyai Zakaria II itu
Yogyakarta-Nganjuk-Bojonegoro-Blitar. Tibanya beliau di Blitar,
71
Kyai Zakaria ini kurang begitu menyukai kawasan tersebut. Di
karenakan kawasan ini berdekatan dengan kadipaten yang dikuasai
Belanda. Beliau pindah ke Kesamben, yang letaknya 60 km dari
Blitar. Kyai Zakaria II menetap di tepi Sungai Brantas, desa Sonan,
Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Disana beliau berjumpa
dengan Pak Tosiman yang menanyakan asal usulnya. Khawatir
kehadirannya diketahui oleh Belanda, maka beliau menjawab
dengan bahasa Jawa “kulo niki sajugo”. Namun Pak Tosiman salah
sangka dengan jawaban beliau, dan mengira nama beliau itu adalah
Sayugo. Itulah sebabnya Kyai Zakaria II dikenal dengan sebutan
Mbah Jugo. Beliau semakin lama semakin terkenal dan di hormati
oleh masyarakat, baik karena pengetahuan agama, ilmu, maupun
kesediaan beliau menolong ke sesama.
11. Bagaimana tata cara ritual pemujaan patung Mi Lek Hut dan patung
Ta Ol Lao Shi?
Jawab :
Sama seperti patung-patung yang lain. Sama-sama memberikan sesajen.
Sesajennya itu seperti buah-buahan, kue-kue, nasi kuning, bubur merah,
bubur putih dan wajik.
12. Mengapa ada banyak lilin disini? Darimana lilin ini datang?
Jawab:
Lilin di vihara ini datang dari para jamaah yang beribadah disini. Seorang
jamaah yang membawa lilin mempercayai sebuah keyakinan dan
kepercayaan untuk di doakan.
13. Mengapa setiap ada orang yang datang, pengurus vihara
membunyikan gendang dan lonceng? Apakah sudah menjadi ciri khas
disini?
Jawab:
Vihara Dharma Jaya memiliki tradisi memukul gendang sebanyak dua kali
dan satu kali dentang lonceng.
Pukulan gendang yang pertama ditandakan sebagai tanda bahwa
sembahyang petama dimulai. Pukulan gendang kedua di bunyikan sebagai
72
tanda bahwa ada tamu datang. Semacam Jas Bau saja. Pukulan gendang
yang ketiga disusul dengan dentangan lonceng dibunyikan sebagai tanda
tuang teh. Tuang teh dilakukan oleh jamaah untuk penyembahan kepada
roh-roh yang ada di vihara ini.
Tidak semua vihara memiliki tradisi seperti memukul gendang ini.
Memukul gendang ini hanya ada di vihara-vihara tua saja. Seperti vihara
Dharma Jaya (Sin Tek Bio) dan vihara Bahtera Bhakti di Ancol.
14. Mengapa tidak semua vihara mengikuti tradisi pukul gendang?
Jawab:
Karena memukul gendang ini harus ada pelatihan sebelumnya tidak
sembarang orang bisa melakukan kegiatan ini. Dan tidak menjadi sebuah
keharusan setiap vihara ada tradisi seperti ini.
15. Mengapa di sekitar patung Mi Lek Hut disini tersebar banyak uang
receh disana?
Jawab:
Karena ada jamaah yang mempercayai bahwa uang receh sebagai
persembahan. Sembahyang disini kan menurut kepercayaan masing-
masing. Dari hasil uang tersebut bisa dibelikan untuk keperluan
sembahyang para jamaah disini juga.
Uang tersebut juga disimbolkan supaya dilancarkan rezekinya. Selain itu
untuk beramal juga.
73
Lampiran II
74
HASIL WAWANCARA
Nama : Pak Andy
Jabatan : Jamaah Vihara
Waktu wawancara : 25 Maret 2019 pukul 13:30 WIB
1. Apa yang dilakukan jamaah di vihara selain berdoa? Adakah kegiatan
lain?
Jawab:
Di vihara ini tidak ada kumpul-kumpul selain beribadah. Disini hanya fokus
untuk beribadah.
2. Apa yang biasanya anda doakan ?
Jawab:
Yang biasa di doakan itu memintah keberkahan, keselamatan untuk semua
keluarga, murah rezeki, negara aman, rakyat tentram, dan meminta jodoh
yang terbaik.
3. Bagaimana orang-orang yang berdoa di vihara ini meyakinkan diri
jika doanya di kabulkan? Apa yang bisa di lakukan? Apakah dengan
terus berbuat baik maka doa akan di kabulkan atau lainnya?
Jawab:
Harus meyakinkan diri bahwa agama yang kita peluk itu adalah benar. dari
keyakinan tersebut bisa jadi doa yang di panjatkan bisa berhasil atau di
kabulkan. Selain itu kita juga harus berbuat baik kepada sesama pemeluk
agama agar segala yang diharapkan bisa terwujud.
4. Menurut anda, seberapa penting simbol patung dalam prosesi doa?
Jawab:
Tidak ada seberapa penting. Tergantung kepercayaan masing-masing dari
diri kita. Ada yang ikut Kwan Kwong, ada yang ingin memakai dupa atau
yang hanya di sembahkan.
75
5. Apa makna patung Mi Lek Hut dan patung Ta Ol Lao Shi?
Jawab:
Makna nya adalah apabila menyembah kedua patung tersebut mendapatkan
hasil apa yang di doakan. Yang paling penting apapun yang kita sembah,
hati kita harus bersih dan suci dari segala ketidakbenaran yang ada. Dan
mesti ada pegangan hidup agar bisa melengkapi kehidupan.
6. Apa motivasi yang menjadikan dorongan anda setelah melakukan
ritual pemujaan di vihara Dharma Jaya?
Jawab:
Terdapat beberapa motivasi yaitu semata-mata berdoa hanya untuk memuja
Tuhan, Dewa-dewa, Boddhisatva dan yang lainnya agar kehidupan
diberikan kelancaran oleh Tuhan. Meminta keluarga rukun, hormat dan
harmonis. Setiap hidup pasti menginginkan kebahagiaan, oleh karena itu
saya berdoa agar dibahagiakan di dunia maupun di akhirat. Untuk di
lancarkan segala urusan dan di permudahkan segala rezekinya. Dan yang
terakhir juga meminta untuk dipertemukan dengan pasangan hidup.
7. Menurut anda, patung di masa modern ini dijadikan sebagai
manivestasi Tuhan atau sebagai simbol saja?
Jawab:
Menurut saya, itu hanya sebagai simbol saja. Bagaimanapun setiap orang
harus ada pegangan hidup. Semua agama sebagai pelengkap, pegangan
hidup supaya hidup tidak tawar dan berwarna
76
Lampiran III
Tampak Depan Vihara
Foto dengan Pimpinan Pengurus Vihara Dharma Jaya (Sin Tek Bio) Bapak Santoso
Witoyo.
77
Foto Nama-Nama Penyumbang dalam Pembangunan Vihara Dharma Jaya
Salah satu altar di Vihara Dharma Jaya Lilin-lilin yang terdapat di Vihara
(Sin Tek Bio) Dharma Jaya (Sin Tek Bio)
78
Altar Mi Lek Hut Ta Ol Lao Shi
Replika Makam Embah Surya
Kencana
79
Pembakaran rumah-rumahan
80
Lampiran IV
81
Lampiran V
82
Lampiran VI
83
84
Lampiran VII
85
Lampiran VIII dan Lampiran IX
86
Lampiran X