makalan mikling compile

44
Makalah Mikrobiologi Lingkungan (Pre Requisite) Composting Oleh: Kelompok 10 Venessa Allia (25315022) Rosadalima Dee Panda (25315023) Kapas Fernando P. (25315024) Hamdi Wahyudi (25315026) Rimba Yudha Adipratama (25315026) PROGRAM PASCA SARJANA TEKNIK LINGKUNGAN

Upload: r-yudha-adipratama

Post on 29-Jan-2016

70 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

LAPORAN MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN COMPOSTING

TRANSCRIPT

Page 1: Makalan Mikling Compile

Makalah

Mikrobiologi Lingkungan (Pre Requisite)

Composting

Oleh:

Kelompok 10

Venessa Allia (25315022)

Rosadalima Dee Panda (25315023)

Kapas Fernando P. (25315024)

Hamdi Wahyudi (25315026)

Rimba Yudha Adipratama (25315026)

PROGRAM PASCA SARJANA TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2015

BAB I PENDAHULUAN

Page 2: Makalan Mikling Compile

Akhir-akhir ini masalah sampah merupakan salah satu masalah yang serius pada

lingkungan hidup baik di Indonesia yang hubungannya sangat dekat dengan aktivitas manusia.

Setiap aktivitas manusia tidak terlepas dengan masalah sampah. Dengan meningkatnya populasi

penduduk, maka bertambah pula jumlah sampah yang dihasilkannya. Oleh karenanya, diperlukan

banyak tempat penampungan sementara (TPS) maupun tempat penampungan akhir (TPA).

Namun hal ini tidak menyelesaikan masalah oleh karena membesarnya konversi lahan menjadi

tempat pemukiman mengurangi jatah lahan untuk TPS dan TPA. Masalah ini diperburuk oleh

kemajuan ekonomi manusia yang bukan hanya memperbesar jumlah sampah, namun

karakteristik limbah yang semakin berbahaya.

Adapun keuntungan dari pengolahan sampah adalah meningkatkan efektivitas

pengangkutan sampah, memperbaharui sumber daya, dan memperpanjang umur TPS dan TPA.

Salah satu pengolahan sampah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengomposan

sampah sehingga dihasilkan pupuk organik. Pupuk organik merupakan pupuk alami yang

dihasilkan dari proses pengomposan yang dapat meningkatkan unsur-unsur hara pada tanah.

Kompos memiliki unsur-unsur makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman.

Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara

biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber

energy (Hamastuti, 2012). Dalam skala besar, pengomposan diterapkan dalam treatment lumpur

hasil pengolahan limbah buangan industry. Sudah dilakukan penelitian pada beberapa industri

yang melakukan treatment lanjutan terhadap lumpur yang dihasilkan pada proses pengolahan

limbah seperti pada PT Indofood CBP (Hidayati, et al., 2013) dan pada PT Tirta Investama

Pandaan (Andriati, et al., 2010). Dari penelitian-penelitian tersebut, kompos yang dihasilkan

memenuhi kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga dapat dikembangkan

dalam bidang pertanian.

Saat ini penggunaan kompos sebagai pupuk kembali digalakkan dalam usaha pertanian.

Dalam skala besar, banyak pabrik memanfaatkan komposting untuk pengelolaan sludge hasil

dari Waste Water Treatment. Hal ini didorong oleh sifat tanah yang telah jenuh terhadap bahan

kimia dalam bentuk pupuk anorganik yang selama ini digunakan. Untuk mendorong

keberlanjutan tanaman dan keseimbangan mikroorganisme dan unsur hara dalam tanah, maka

Page 3: Makalan Mikling Compile

diperlukan kombinasi dengan memakai pupuk organik. Pupuk organik ini sangat memiliki nilai

manfaat yang besar bagi peningkatan produksi pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas

dan meningkatkan kualitas lahan disamping mengurangi pencemaran lingkungan.

Pengomposan adalah proses dekomposisi materi organik melalui proses fermentasi

dengan memanfaatkan kehadiran mikroorganisme. Materi organik didapat dari sisa dari tanaman,

pakan hewan, dan sampah organik lainnya yang kemudian dicerna secara kompleks untuk

menghasilkan bahan yang menyerupai humus yang disebut kompos.

Dalam proses pembuatan kompos, bahan baku akan mengalami dekomposisi / penguraian

oleh mikroorganisme. Proses sederhana pengomposan berlangsung secara anaerob yang sering

menimbulkan gas. Sedangkan proses pengomposan secara aerob memerlukan oksigen yang

cukup dan tidak menghasilkan gas. Pada kompos terdapat unsur-unsur hara yang dibutuhkan

tanaman, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.

Dalam prosesnya, bahan baku kompos mengalami perubahan kimiawi oleh

mikroorganisme yang membutuhkan nitrogen untuk hidupnya. Namun, tidak semua bahan baku

tersebut mengandung nitrogen yang cukup untuk kebutuhan mikroorganisme pengurai tersebut

sehingga pemberian tambahan nitrogen perlu dilakukan guna mendukung kebutuhan

mikroorganisme pengurai. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar nitrogen pada bahan baku

kompos adalah dengan penambahan effective microorganism 4 atau EM 4 sebagai activator. Hal

ini mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri sehingga proses penguraian bahan

baku kompos menjadi lebih cepat yang dapat mereduksi waktu yang dibutuhkan pada laju

pengomposan. Pada proses pengomposan, jika aerasi kurang, maka akan menghasilkan bau

busuk sebagai akibat terbentuknya ammonia (NH3) dan asam sulfida (H2S). Adapun Fungsi yang

didapat dari pengomposan adalah:

- Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah

- Mengurangi volume limbah

- Meningkatkan nilai jual sampah organik

-Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan sampah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Page 4: Makalan Mikling Compile

A. Pengertian Pengomposan

Pengomposan adalah proses dekomposisi materi organik melalui proses fermentasi

dengan memanfaatkan kehadiran mikroorganisme. Materi organik didapat dari sisa dari

tanaman, pakan hewan, dan sampah organik lainnya yang kemudian dicerna secara kompleks

untuk menghasilkan bahan yang menyerupai humus yang disebut kompos.

Proses pengomposan seperti dijelaskan diatas merupakan proses dekomposisi yang

dilakukan oleh mikroorganisme terhadap bahan organik yang biodegradable, atau dikenal pula

sebagai biomassa. Secara alamiah proses ini dapat terjadi dengan sendirinya. Dedaunan

misalnya, dapat membusuk dengan bantuan mikroorganisme pengurai. Proses tersebut dengan

bantuan manusia dapat dipercepat melalui penambahan mikroorganisme pengurai sehingga

dalam waktu yang singkat, diperoleh kompos yang berkualitas baik. Proses tersebut dapat juga

dipercepat dengan mengatur faktor-faktor yang memengaruhinya sehingga proses pengomposan

dapat berlangsung dalam kondisi optimum.

Secara umum, tujuan pengomposan (Damanhuri dan Padmi, 2010) adalah:

Mengubah bahan organik yang biodegradable menjadi bahan yang secara biologi bersifat

stabil.

Bila proses pembuatannya secara aerob, maka proses ini akan membunuh bakteri

patogen, telur serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada temperatur

normal.

Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah.

Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah meningkatkan kandungan bahan

organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pada pertanian.

Karakteristik umum yang dimiliki oleh kompos antara lain: mengandung unsur hara dalam jenis

dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal, menyediakan unsur hara secara perlahan

dalam jumlah terbatas dan memiliki peran utama dalam meperbaiki kesuburan dan keberlanjutan

tanah.

Secara umum, terdapat dua proses utama dalam pengomposan:

a. Dekomposisi aerob

Page 5: Makalan Mikling Compile

Proses ini merupakan proses dimana materi organik terdekomposisi secara aerob

dengan memanfaatkan keberadaan oksigen. Didalam proses tersebut, organisme aerob

mendegradasi materi organik untuk membangun protoplasmanya dari nitrogen, pospor,

karbon dan nutrien lainnya. Kebanyakan dari karbon tersebut dimanfaatkan sebagai

sumber energi bagi organisme untuk dibakar dan kemudian direspirasikan sebagai CO2.

(Gotaas, 1956).

Secara umum, reaksi transformasi kompos secara aerob digambarkan sebagai berikut:

Materi organik + oksigen + nutrisi → sel baru + CO2 + SO42- + panas

Bila reaksi tersebut terjadi secara sempurna, maka:

CHON + O2 → CO2 + H2O + NH3

b. Dekomposisi anaerob/Fermentasi anaerob

Proses ini merupakan proses dimana materi organik terdekomposisi secara

anaerob oleh mikroorganisme melalui proses reduksi. Pada materi organik yang terkubur

di alam dan tidak mendapat oksigen proses ini berlangsung secara natural. Jika pada

aerobik materi nitrogen, fosfor dan materi lain digunakan untuk membangun protoplasma

sel, pada proses ini materi organik direduksi menjadi asam organik dan amonia. Karbon

dari materi organik yang tidak digunakan dalam proses pembentukan protein sel akan

direduksi dan dibebaskan dalam bentuk CH4.

Reaksi kimia pada proses fermentasi ini dapat ditulis dalam persamaan:

CHON → CH4 + CO2 + NH3 + H2O

Didalam prosesnya, bakteri, fungi, dan organisme mikro lainnya mendegradasi

sayuran, kotoran hewan dan materi organik lainnya serta mengkonversi materi tersebut

menjadi bentuk yang lebih stabil.

Pada dasarnya pengomposan dilakukan oleh karena bahan organik tersebut tidak

dapat digunakan secara langsung oleh tanaman. Hal ini dikarenakan rasio perbandingan

kandungan hidrat arang (C) dan nitrogen (N) dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan

rasio perbandingan tanah (C/N). Rasio ini, pada tanah berkisar antara 10-12. Apabila

Page 6: Makalan Mikling Compile

bahan organik memiliki rasio C/N yang mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah

maka bahan tersebut dapat digunakan oleh tanaman tanpa proses pengomposan. Namun

secara umum, bahan organik segar memiliki rasio C/N yang relatif tinggi, misalnya

jerami, dedaunan tanaman dan kayu-kayuan memiliki rasio C/N > 50.

Proses pada pengomposan meliputi beberapa tahapan. Sutanto (2002) membagi

proses dekomposisi menjadi 3 tahap. Pada tahap awal, proses dekomposisi yang

berlangsung adalah dekomposisi intensif. Dari proses ini, dihasilkan kenaikan suhu yang

cukup tinggi pada waktu yang relatif pendek. Senyawa lain yang merupakan bahan

organik yang mudah terdekomposisi, terurai pada tahap ini. Selanjutnya pada tahap

pematangan utama dan pasca pematangan, bahan yang sukar terdekomposisi pada tahap

awal akan terdekomposisi. Hasil proses ini membentuk ikatan kompleks lempung-humus.

Produk yang dihasilkan adalah kompos matang yang memiliki ciri-ciri:

Tidak berbau

Remah

Berwarna kehitaman

Mengandung hara yang tersedia bagi tanaman

Kemampuan mengikat air yang tinggi.

Secara ringkas, tahapan pengomposan diatas dapat digambarkan pada tabel 1 berikut.

No

.

Tahapan Pematangan Bahan Produk

1. Tahap dekomposisi dan sanitasi Pra-matang/dekomposisi

intensif

Kompos segar

2. Tahap konversi Pematangan utama Kompos

3. Tahap sintetik Pasca pematangan Kompos matang

B. Peranan Mikroorganisme dalam Pengomposan

2.1 Organisme pendekomposisi senyawa organik

Faktor keterbatasan aktivitas mikroba di lingkungan tanah bergantung pada ketersedian

karbon sebagai subtrat. Penambahan subsrat karbon seperti residu tanaman akan memicu

regenerasi , aktivitas, dan populasi mikroba di dalam tanah. Sehingga, penambahan ini akan

Page 7: Makalan Mikling Compile

meningakatkan jumlah senyawa organik, khususnya di tanah yang kering menjadi sangat krusial.

Fluktuasi populasi mikroba sangat bergantung pada residu tanaman dibanding sistem manajemen

tanah. Hubungan antara mikroba tanah sebagai pendekomposisi senyawa organik dan siklus

nutrien di tanah, dan proses dekomposisi kurang dipahami pada kondisi ini. Sehingga sangat

jelas bahwa memahami proses dekomposisi dan impelementasi strategisnya untuk mengatur

komposisi senyawa organik untuk meningkatkan kualitas tanah dan pemeliharaan keberagaman

mikroba akan mengarah pada agrikultural yang berkelanjutan. Pemanfaatan mikroorganisme ini

cocok untuk jenis tanah tertentu bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan efisiensi

dekomposisi senyawa organik, pemupukan, dan kesuburan tanah. Ketidakcocokan inokulan

dengan senyawa organik yang diinokulasi dan tidak efisien nya sistem teknologi menjadi salah

satu penyebab kegagalan pengaplikasian di lapangan, sehingga kualitasi dekomposer menjadi hal

yang sangat penting.

Di dalam ekosistem, organisme pendekomposisi senyawa organik memegang peranan

penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur yang dikembalikan ke

dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dan lain-lain) dan atmosfer (CH4 atau CO2) sebagai hara yang

dapat digunakan kembali oleh tanaman, sehingga siklus hara berjalan sebagai-mana mestinya

dan proses kehidupan di muka bumi dapat berlangsung, Adanya aktivitas organisme

pendekomposisi senyawa organik seperti mikroba dan mesofauna (hewan invertebrata) saling

mendukung keberlangsungan proses siklus hara dalam tanah. Belakangan ini, mikroorganisme

pendekomposisi senyawa organik digunakan sebagai strategi untuk mempercepat proses

dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa, selain untuk meningkatkan

biomassa dan aktivitas mikroba tanah, mengurangi penyakit, larva insek, biji gulma, volume

bahan buangan, sehingga pemanfaatannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah

yang pada gilirannya merupakan kebutuhan pokok untuk meningkat-kan kandungan bahan

organik dalam tanah.

Pengertian umum yang saat ini banyak dipakai untuk memahami organisme perombak

bahan organik atau biodekomposer adalah organisme pengurai nitrogen dan karbon dari bahan

organik (sisa-sisa organik dari jaringan tumbuhan atau hewan yang telah mati) yaitu bakteri,

fungi, dan aktinomisetes.

Perombak bahan organik terdiri atas perombak primer dan perombak sekunder.

Perombak primer dalah mesofauna perombak bahan organik, seperti Colembolla, Acarina yang

Page 8: Makalan Mikling Compile

berfungsi meremah-remah bahan organik/serasah menjadi berukuran lebih kecil. Cacing tanah

memakan sisa-sisa remah tadi yang lalu dikeluarkan sebagai faeces setelah melalui pencernaan

dalam tubuh cacing. Perombak sekunder ialah mikroorganisme perombak bahan organik seperti

Trichoderma reesei, T. harzianum, T. koningii, Phanerochaeta crysosporium, Cellulomonas,

Pseudomonas, Thermospora, Aspergillus niger, A. terreus, Penicillium, dan Streptomyces.

Adanya aktivitas fauna tanah, memudahkan mikroorganisme untuk memanfaatkan bahan

organik, sehingga proses mineralisasi berjalan lebih cepat dan penyediaan hara bagi tanaman

lebih baik. Menurut Eriksson et al. (1989), umumnya kelompok fungi menunjukkan aktivitas

biodekomposisi paling signifikan, dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi

senyawa organik sederhana yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan

melepaskan nutrien di sekitar tanaman.

Tabel 2. Mikroorganisme yang umum berasosiasi dalam komposting

Bakteri FungiMesofil

Pseudomonas spp. Achromobacter spp. Bacillus spp. Falvobacterium spp. Clostridium spp. Streptomyces spp.

Termofil Bacillus spp. Streptomyces spp. Thermoactinomyces spp. Thermus spp. Thermonospora spp. Microplyspora

Alternaria spp. Cladosporium Aspergillus spp. Mucor spp. Humicola spp. Penicillium spp.

Aspergillus dpp. Mucor pusillus. Chaetomium thermophile Humicola lanuginosa Absidia ramosa Sprotricbum thermophile Torula thermophile (yeast) Thermoascus aureanticus

Menurut Eriksson et al. (1989), umumnya kelompok fungi menunjukkan aktivitas

biodekomposisi paling signifikan, dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi

senyawa organik sederhana yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan

melepaskan nutrien di sekitar tanaman.

2.2 Bakteri perombak bahan organik

Page 9: Makalan Mikling Compile

Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang mengandung senyawa

organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik di laut maupun di darat. Berbagai

bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana (bulat, batang, koma, dan lengkung), tunggal sampai

bentuk koloni seperti filamen/spiral mendekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan. Sebagian

bakteri hidup secara aerob dan sebagian lagi anaerob, sel berukuran 1 μm - ≤ 1.000 μm. Dalam

merombak bahan organik, biasanya bakteri hidup bebas di luar organisme lain, tetapi ada

sebagian kecil yang hidup dalam saluran pencernaan hewan (mamalia, rayap, dan lain-lain).

Bakteri yang berkemampuan tinggi dalam memutus ikatan rantai C penyusun senyawa lignin

(pada bahan yang berkayu), selulosa (pada bahan yang berserat) dan hemiselulosa yang

merupakan komponen penyusun bahan organik sisa tanaman, secara alami merombak lebih

lambat dibandingkan pada senyawa polisakarida yang lebih sederhana (amilum, disakarida, dan

monosakarida). Demikian pula proses peruraian senyawa organik yang banyak mengandung

protein (misal daging), secara alami berjalan relatif cepat.

2.3 Fungi perombak bahan organik

Fungi terdapat di setiap tempat terutama di darat dalam berbagai bentuk, ukuran, dan

warna. Pada umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam

mengurai sisa-sisa tanaman (hemiselulosa, selulosa, dan lignin). Umumnya mikroba yang

mampu mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi hemiselulosa (Alexander, 1977).

Sebagian besar fungi bersifat mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan memakai

mikroskop); hanya kumpulan miselium atau spora yang dapat dilihat dengan mata. Tetapi fungi

dari kelas asidiomycetes dapat diamati dengan mata telanjang sehingga disebut makrofungi.

Makrofungi menghasilkan spora dalam bangunan yang berbentuk seperti payung, kuping, koral

atau bola, bahkan beberapa makrofungi tersebut sudah banyak dibudidayakan dan dimakan.

Pertumbuhan hifa dari fungi kelas asidiomycetes dan Ascomycetes (diameter hifa 5–20 μm)

lebih mudah menembus dinding sel-sel tubular yang merupakan penyusun utama jaringan kayu.

Pertumbuhan pucuk hifa maupun miselium (kumpulan hifa) menyebabkan tekanan fisik

dibarengi dengan pengeluaran enzim yang melarutkan dinding sel jaringan kayu. Residu tanaman

terdiri atas kompleks polimer selulosa dan lignin. Perombakan komponen-komponen polimer

pada tumbuhan erat kaitan-nya dengan peranan enzim ekstraseluler yang dihasilkan. Beberapa

enzim yang terlibat dalam perombakan bahan organik antara lain adalah β- glukosidase, lignin

Page 10: Makalan Mikling Compile

peroksidase (LiP), manganese peroksidase (MnP), dan lakase, selain kelompok enzim reduktase

yang merupakan peng-gabungan dari LiP dan MnP yaitu enzim versatile peroksidase. Enzim-

enzim ini dihasilkan oleh Pleurotus eryngii, P. ostreatus, dan Bjekandera adusta (Lankinen,

2004).

Selain mengurai bahan berkayu, sebagian besar fungi menghasilkan zat yang bersifat

racun sehingga dapat dipakai untuk mengontrol pertumbuhan/perkembangan organisme

pengganggu, seperti beberapa strain Trichoderma harzianum yang merupakan salah satu anggota

dari Ascomycetes, bila kebutuhan C tidak tercukupi akan menghasilkan racun yang dapat

menggagalkan penetasan telur nematoda Meloidogyne javanica (penyebab bengkak akar)

sedangkan bila kebutuhan C tercukupi akan bersifat parasit pada telur atau anakan nematoda

tersebut.

Residu tanaman mengandung sejumlah senyawa organik larut dalam air, seperti asam

amino, asam organik, dan gula yang digunakan oleh mikroba untuk proses perombakan. Fungi

dari kelas Zygomycetes (Mucorales) sebagian besar sebagai pengurai amilum, protein, dan

lemak, hanya sebagian kecil yang mampu mengurai selulosa dan khitin. Beberapa Mucorales

seperti Mucor spp. dan Rhizopus spp. mengurai karbohidrat tingkat rendah (monosakarida dan

disakarida) yang dicirikan dengan perkecambahan spora, pertumbuhan, dan pembentukan spora

yang cepat.

2.4 Mesofauna perombak bahan organik

Sebagian invertebrata berperan dalam perombakan bahan organik tanah, merupakan

hewan (fauna) yang tidak mempunyai tulang belakang yang seluruh atau sebagian siklus

hidupnya berada dalam tanah. Hewan tersebut meliputi kelas Gastropoda, Oligochaeta, dan

Hexapoda (Insecta). Sebagian besar anggota subkelas Pterigota (bersayap) dari kelas Insecta,

hanya stadium telur dan larva yang hidup dalam tanah, sedangkan pada stadium dewasa berada

di luar lingkungan tanah. Sebaliknya anggota dari subkelas Apterigota (tidak bersayap) seluruh

siklus hidupnya berada dalam tanah. Berdasarkan ukuran tubuh, fauna tanah dibedakan menjadi

makrofauna (> 10,4 mm), mesofauna (0,2–10,4 mm), dan mikrofauna (< 0,2 mm) (Richards,

1974). Aktivitas makro-mesofauna tanah tertentu menyediakan nutrisi berupa koloid organik

tanah yang dibutuhkan makromesofauna tanah lainnya (misal: cacing). Selain hal tersebut

aktivitas fauna tanah menyebabkan fraksinasi bahan organik yang berukuran kasar menjadi

Page 11: Makalan Mikling Compile

serpihan yang lebih halus sehingga luas permukaan jenis bahan organic tersebut menjadi lebih

besar yang berarti memberi kemungkinan mikroba tanah kontak dengan bahan organik tersebut

lebih besar. Selain mendekomposisi bahan organik, fauna tanah juga berperan dalam

mendistribusikan bahan organik dalam tanah, meningkatkan kesuburan dan memperbaiki sifat

fisik tanah. Invertebrata dekomposer yang penting meliputi cacing tanah dan Collembola.

Cacing tanah.

Cacing tanah tergolong dalam famili Lumbricidae dari ordo Oligochaeta, terdapat di

berbagai ekosistem, ukuran tubuh 0,6–60 cm. Berdasarkan cara dan tempat hidupnya cacing

tanah dibedakan atas: (1). Epigaesis: cacing tanah yang hidup dan hanya makan serasah organik

di permukaan tanah, disebut pula sebagai litter fe (Tomlin, 2006) eder (pemakan serasah)

(Gambar 3); (2). Anazeisis: cacing tanah yang hidup di dalam tanah (horizon A-C) tapi makan

dipermukaan tanah (Gambar 4); dan (3). Endogaesis: cacing tanah yang hidup dan makan bahan

organik di dalam tanah, cacing ini bersifat geophagus/pemakan tanah (Blakemore, 2000).

Sedangkan cacing tanah yang hidup di tanah berlumpur sebagai limiphagus (pemakan tanah

lumpur/subur).

Aristoteles menyebut cacing tanah sebagai intestines of the earth (usus bumi) karena

peranannya sangat penting dalam mencerna dan mendekomposisi sisa tanaman yang telah mati

sehingga sisa tanaman atau limbah organik lainnya tidak menumpuk. Tanaman yang telah mati

oleh cacing tanah dicerna dan diubah menjadi humus dan nutrisi alami. Humus sangat besar

peranannya dalam memperbaiki sifat tanah dan nutrisi alami dapat memicu terjadinya berbagai

aktivitas mikroba tanah. Kadar unsur hara dalam casting (kotoran cacing) segar setara dengan

lima kali N tersedia, tujuh kali P-tersedia dan 11 kali K-tersedia pada kadar hara yang sama

kompos biasa (http://en.wikipedia.org/wiki/earthworm#benefit). Oleh karena itu dengan adanya

cacing tanah pertumbuhan/hasil tanaman dan kualitas lingkungan meningkat karena tanah

menjadi lebih subur dan siklus unsur hara dapat berlangsung dengan lebih baik.

Page 12: Makalan Mikling Compile

Gambar 3. Cacing epigaesis, Gambar 4. Cacing anazeiseis,

Eisenia sp. ( Ea Kosman doc.) Pheretima sp. ( Ea Kosman doc.)

2.5. Proses perombakan bahan organik

Proses biologi untuk menguraikan bahan organik menjadi bahan humus oleh

mikroorganisme dikenal sebagai dekomposisi atau pengomposan. Aktivitas dasar

mikroorganisme tanah sama seperti kehidupan lainnya, bertahan hidup melalui reproduksi.

Mikroorganisme tanah menggunakan komponen residu tanaman sebagai substrat untuk

memperoleh energi yang dibentuk melalui oksidasi senyawa organik, dengan produk utama CO2

yang dilepas kembali ke alam, dan sumber karbon untuk sintesis sel baru. Dekomposisi atau

pengomposan disebut juga sebagai respirasi mikroba atau mineralisasi, yang merupakan salah

satu bagian dari siklus karbon. Mikroorganisme umumnya berumur pendek. Sel yang mati akan

didekomposisi oleh populasi organisme lainnya untuk dijadikan substrat yang lebih cocok

daripada residu tanaman itu sendiri. Secara keseluruhan proses dekomposisi umumnya meliputi

spektrum yang luas dari mikroorganisme yang memanfaatkan substrat tersebut, yang dibedakan

atas jenis enzim yang dihasilkannya. Upaya kombinasi tersebut dapat mengubah karbon yang

berada dalam berbagai bentuk senyawa organik menjadi ke bentuk oksidasi, yaitu CO2. Salah

satu bentuk produk transformasi adalah bahan organik tanah (humus).

Reaksi yang terjadi pada perombakan sistem aerobik:

Gula (CH2O)x + O2 x CO2 + H2O + E

(Selulosa, hemiselulosa)

N-Organik ( Protein) NH4+ NO2

- NO3- + E

Page 13: Makalan Mikling Compile

Sulfur organik ( S) + x O2 SO4-2 + E

Fosfor organik H3BO3 Ca (HPO4)

(Fitin, lesitin)

Reaksi utuh :

Bahan Organik Aktivitas mikroorganisme CO + H2O + hara + humus + E

(484 – 674 kcal / mol glukosa)

Pengomomposan anaerob diartikan sebagai proses dekomposisi bahan organik tanpa O2. Reaksi

yang terjadi pada perombakan sistem anaerobik :

(CH2O) x Bakteri Penghasil asam x CH3COOH Methanomonas CH4 + CO2

N-Organik NH3

2H2S + CO2 (CH2O) x + S + H2O + E ( 26 kcal/mol glukosa)

Proses pengomposan terdiri atas tiga tahapan dalam kaitannya dengan suhu, yaitu

mesofilik, termofilik, dan pendinginan. Tahap awal mesofilik, suhu proses naik ke sekitar 40oC

karena adanya fungi dan bakteri pembentuk asam. Suhu proses akan terus naik ke tahap

termofilik antara 40-70oC, bakteri termofilik Actinomisetes dan fungi termophilik. Pada kisaran

suhu termofilik, proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal. Pada

tahapan pendinginan terjadi penurunan aktivitas mikroba, penggantian mikroba termofilik

dengan bakteria dan fungi mesofilik. Selama tahapan pendinginan, proses penguapan air dari

material yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilisasi pH dan

penyempurnaan pembentukan asam humat (http://www.std.ryu.titech. ac.jp). Bahan akhir yang

terbentuk bersifat stabil dan merupakan sumber pupuk organik.

Dalam proses perombakan bahan organik, sel mikroba yang mati merupakan sumber hara

bagi tanaman dan substrat mikroorganisme yang hidup. Dinding sel fungi yang terdiri selulosa,

khitin, dan khitosan, dan dinding sel bakteri yang terdiri atas asam N-acetylglucosamin dan

Nacetylmuramic yang terkandung dalam peptidoglikan bersama dengan material polisakharida

lainnya di degradasi dan merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba. Kurva

dekomposisi beberapa jenis mikroba ditunjukkan pada Gambar 6.

Page 14: Makalan Mikling Compile

Gambar 6. Kurva dekomposisi beberapa jenis mikroba

Proses perombakan bahan organik secara alami membutuhkan waktu relatif lama (3-4

bulan) sehingga sangat menghambat upaya pelestarian penggunaan bahan organik untuk lahan-

lahan pertanian, apalagi jika dihadapkan dengan masa tanam yang mendesak untuk

menghasilkan produksi tinggi, sehingga sering dianggap kurang ekonomis dan tidak efisien.

Bahan dasar serasah tanaman, secara alami adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sebagian

besar materi limbah organik Gumnospermae dan Angiospermae merupakan lignoselulosa dan

hampir setengah materi lignoselulose merupakan senyawa selulose dan 15-36% adalah senyawa

lignin (Eriksson et al., 1989), serta hemiselulosa 25-30% dari total berat kering kayu (Perez et

al., 2002). Degradasi lignin merupakan tahapan pembatas bagi kecepatan dan efisiensi

dekomposisi yang berhubungan dengan selulosa (Thorn et al., 1996). Lignin berikatan dengan

hemiselulosa dan selulosa membentuk segel fisik di antara keduanya, yang merupakan barier

yang mencegah penetrasi larutan dan enzim (Howard et al., 2003). Kompleksitas struktur, bobot

molekul yang tinggi, dan sifat ketidaklarutannya dalam air membuat degradasi lignin sangat sulit

(Perez et al., 2002). Oleh karena itu lignin menjadi penghalang akses enzim selulolitik pada

degradasi bahan berligno-selulose. Hal ini menghambat proses dekomposisi, yang pada akhirnya

menyebabkan penumpukan limbah organik yang berdampak negatif bagi lingkungan. Polimer

tersebut dapat didegradasi oleh beberapa macam mikroorganisme yang mampu memproduksi

enzim yang relevan. Strategi untuk mempercepat proses biodekomposisi bahan organik dengan

memanfaatkan mikroba lignoselulotik (dekomposer).

Page 15: Makalan Mikling Compile

2.6. Aktivitas enzim selama proses pengomposan

Mikroorganisme di dalam tumpukan bahan organik tidak dapat langsung memetabolisme

partikel bahan organik tidak larut. Mikroorganisme memproduksi dua sistem enzim

ekstraselular; sistem hidrolitik, yang menghasilkan hidrolase dan berfungsi untuk degradasi

selulosa dan hemiselulosa; dan sistem oksidatif, yang bersifat ligninolitik dan berfungsi

mendepolimerasi lignin. Mikroorganisme memproduksi enzim ekstraseluler untuk depolimerisasi

senyawa berukuran besar menjadi kecil dan larut dalam air (subtrat bagi mikroba). Pada saat itu

mikroba mentransfer substrat tersebut ke dalam sel melalui membran sitoplasma untuk

menyelesaikan proses dekomposisi bahan organik. Aktivitas enzim selulase menurunkan jumlah

selulosa sekitar 25% selama sekitar tiga minggu. Aktivitas lipase, protease, dan amilase

meningkat dan menurun selama tahapan pengomposan. Aktivitas semua enzim tersebut menurun

tajam selama tahapan termofilik, yang kemungkinan disebabkan oleh inaktivasi panas.

Denaturasi enzim sering dikorelasikan dengan kematian mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa

adanya mikroba dan aktivitas enzim dalam tumpukan kompos setelah tahapan termofilik

disebabkan oleh introduksi ulang, pembalikan, ketahanan hidup mikroba di bagian luar, bagian

dingin dari tumpukan kompos. Dari hal tersebut tampak pentingnya proses mikrobial dalam

proses engomposan, dan kecepatannya dapat diatur oleh berbagai faktor yang mempengaruhi

keterlibatan mikroba dalam proses. Ketidakcocokan substrat, kelembapan, atau suhu kompos di

luar rata-rata, dan problem difusi oksigen ke dalam kompos merupakan faktor pembatas dalam

proses pengomposan.

Penampilan fungi perombak selulosa (selulolitik) pada medium carboxymethyl cellulose

(CMC)-agar dan fungi perombak lignin (lignolitik) pada medium lignin-guaicol-benomyl-agar

ditampilkan pada Gambar 1 dan 2. Enzim selulase sangat aktif memutuskan turunan selulosa

dapat larut (selulosa amorf) seperti CMC menghasilkan selodekstrin (6 C), selobiosa (4 C) dan

glukosa (2 C). CMC-ase merupakan salah satu komponen kompleks enzim selulase yang

menyerang secara acak bagian dalam struktur selulosa. Aktivitas CMC-ase koloni fungi

selulolitik pada media CMC-agar membentuk zona bening di bawah dan sekitar koloni. Koloni

fungi yang menunjukkan aktivitas degradasi lignin membentuk zona berwarna merah di bawah

dan sekitar koloni karena adanya quinon yang merupakan produk oksidasi guaicol akibat

aktivitas lakase atau peroksidase (LiP, MnP) (Thorn et al., 1996). Aktivitas enzim secara

Page 16: Makalan Mikling Compile

kualitatif dinilai dari intensitas warna merah dan semikuantitatif dinilai dari rasio diameter zona

bening atau zona merah terhadap diameter koloni fungi uji dibandingkan fungi reference.

Gambar 1. Fungi pendekomposisi selulosa, Gambar 2. Fungi pendekomposisi lignin,

Chaetomium sp. (sarasvati doc) Trametes sp. (sarasvati doc)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan

Faktor-faktor pengomposan menurut Damanhuri & Padmi 2010 dalam Lestari, 2013

1. Rasio C/N

Pada prinsipnya bahan organik tidak dapat langsung atau dimanfaatkan oleh tanaman

karena memiliki nilai rasio C/N yang tinggi atau tidak sama dengan C/N tanah. Rasio C/N yang

baik adalah antara 30:1 -40 :1. Organisme memanfaatkan carbon sebagai sumber energi dan

nitrogen sebagai pembentuk protein sel sehingga lebih banyak Carbon yang digunakan daripada

Nitrogen. Nilai C/N kompos (produk) yang semakin besar menunjukan lebih banyak Carbon

dibandingkan Nitrogen. Hal ini menyebabkan sistem kekurangan nitrogen sehingga pertumbuhan

optimal bakteri menjadi terhambat yang mempengaruhi lama waktu pengomposan. Jika sistem

dalam rasio C/N yang terlalu kecil maka akan ada kelebihan Nitrogen sehingga kelebihannya

dikeluarkan dari dalam sistem dalam bentuk ammonia gas yang menyebabkan sistem

pengomposan mengeluarkan bau.

Page 17: Makalan Mikling Compile

Tingginya rasio C/N mempengaruhi pertumbuhan bakteri di dalam sistem pengomposan

sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menjadi kompos semakin lama. Bahan-bahan dengan

rasio C/N yang tinggi misalnya: dedaunan (30-80:1), jerami (40-100 :1) kertas (150-200 :1) ,

serbuk gergaji (100-500:1). Sedangkan bahan kompos dengan rasio C/N rendah adalah sampah

dedaunan hijau dari sisa sayuran ( 12-20:1), rerumputan (12-25:1), kotoran sapi & kuda ( 20-

25:1)

2. Kadar air

Kelembaban dalam kompos harus selalu dijaga dengan kadar air maksimum 50-60%. Jika

lebih dari 65 % maka unsur hara akan ikut tercuci, sehingga aktivitas mikroba menurun. Proses

pengomposan akan bereaksi secara anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Dengan kadar

air yang cukup, mikroorganisme dapat memanfaatkan senyawa organik yang larut dalam air.

3. Bahan Pengomposan

Material organik yang dijadikan bahan pengomposan juga perlu diperhatikan. Apakah

bahan tersebut mudah terurai atau sulit terurai, misalnya makin banyak mengandung kandungan

kayu atau lignin makin sulit terurai. Lignin1 berikatan dengan hemiselulosa2 dan selulosa

membentuk segel fisik di antara keduanya, yang merupakan barier yang mencegah penetrasi

larutan dan enzim (Howard et al., 2003) dalam Saraswati et al., 2006 Kompleksitas struktur,

bobot molekul tinggi dan sifat hidrofobik membuat lignin sulit terurai (C tinggi ). Untuk itu

1 Lignin: bahan polimer tidak berbentuk yang bersama-sama dijumpai di antara sel dan dinding sel tumbuhan, berfungsi sebagai pembentuk kayu2 Hemiselulosa merupakan suatu polisakarida lain yang terdapat dalam tanaman dan tergolong senyawa organik (Simanjuntak,1994). Hemiselulosa mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah sebaliknya

Page 18: Makalan Mikling Compile

dalam proses pengomposan, perlu ditambahkan decomposer seperti enzim lignoselulotik yang

dapat mempercepat proses dekomposisi.

4. Ukuran partikel bahan kompos

Untuk efektifitas proses pengomposan dimana terjadi kontak yang maksimal antara

mikroorganisme dan material organik maka ukuran partikel yang paling baik adalah ukuran

yang kecil. Ukuran partikel kecil menyebabkan luas permukaan semakin besar sehingga kontak

terjadi dengan baik.

5. Suhu

Temperatur yang tinggi menyebabkan konsumsi oksigen yang tinggi sehingga proses

dekomposisi semakin cepat. Temperatur ideal adalah sekitar 40-60 C. Suhu yang terlalu rendah

menyebabkan proses pengomposan berjalan lambat. Jika suhu terlalu tinggi, maka akan

membunuh mikroorganisme sehingga mikroorganisme yang tertinggal adalah mikroorganisme

thermofilik. Suhu mempengaruhi proses composting. Pengaruh suhu dapat dilihat dengan

grafik. Pada prinsinya suhu sistem pengomposan dipengaruhi oleh material pengomposan,

ukuran partikel, kadar air dan aerasi.

Perubahan suhu terjadi sejalan dengan aktivitas mikroorganisme di dalam sistem

pengomposan yakni pada tahapan-tahapan proses pengomposan.

Tahap awal mesofilik, suhu proses naik ke sekitar 40 C karena adanya fungi dan

bakteri pembentuk asam.

Suhu proses akan terus naik ke tahap termofilik antara 40-70 C, bakteri termofilik

Actinomisetes3 dan fungi termophilik.Suhu termofilik, proses degradasi dan

stabilisasi akan berlangsung secara maksimal.

Pada tahapan pendinginan terjadi penurunan aktivitas mikroba dan penggantian

mikroba termofilik4 dengan bakteria dan fungi mesofilik5. Sel mikroba yang mati

merupakan sumber makanan bagi mikroba mesofilik.

3

4 Bakteri Thermofilik: bakteri yang tumbuh pada suhu tinggi.5 Bakteri Mesofiik: dapat tumbuh pada suhu 25° – 37°C dengan suhu optimum 32°C. Umumnya bakteri jenis ini  hidup di dalam alat pencernaan.

Page 19: Makalan Mikling Compile

6. pH

Perubahan pH menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi

bahan organic (Ismayana.,et al., 2012) pH pada proses pengomposan sebaiknya dijaga 6-9.

pH optimum untuk bakteri secara umum antara 6 sampai 7,5 sedangkan untuk jamur, rentang

pH adalah 5,5-8 (Wilson., 1977). Pada sistem pengomposan, terjadi perubahan pH selama

rentang waktu pengomposan. pH awal material organic adalah antara 5-7. Pada pH 5, terjadi

perombakan material organik menjadi asam-asamnya. Kemudian terjadi peningkatan pH

mencapai 8 yang disebabkan oleh ion ammonium yang dilepakan pada saat pertumbuhan

bakteri.

7. Aerasi

Pengomposan akan terjadi dengan cepat pada proses aerob artinya jika cukup

oksigen dalam sistem. Jika sistem kekurangan oksigen maka dekomposisi akan berjalan

dengan lambat. Ketika aerasi terjadi, sistem mengeluarkan kelebihan panas, uap air dan

gas-gas lain yang terperangkap di dalam sistem. Untuk mengalirkan cukup oksigen ke

dalam sistem, maka perlu dilakukan pengadukan dan pengaliran udara melalui pipa

berlubang.

Page 20: Makalan Mikling Compile

Gambar: Pipa untuk aerasi pada sistem pengomposan

4. Metode Pengomposan

Komposting adalah salah satu metode yang bertujuan untuk memanfaatkan sampah

organik. Sampah organik yang sudah dipilah di masing masing tempat sampah setiap kelas,

dapat diolah menjadi pupuk kompos. Kompos menghasilkan bahan organic dan nutrien (seperti

nitrogen dan potassium) yang tinggi, kandungan unsur hara yang dihasilkan kompos dapat

meningkatkan kesuburan tanah yang dapat bermanfaat di masyarakat terutama di bidang

pertanian dalam skala rumahan atau industri. Biosolid merupakan limbah padat yang bersumber

dari pengolahan air limbah industri dan limbah rumah tangga yang dapat dimanfaatkan sebagai

pupuk. Terdapat tiga metode dalam pengelolaannya. Setiap metode melibatkan aktivitas mikroba

untuk meningkatkan suhu dalam proses pengomposan. Suhu tertentu yang harus dicapai dan

dipertahankan untuk proses composting bervariasi berdasarkan metode dan penggunaan akhir

produk. Tiga metode pengomposan adalah aeratic static pile, windrow process, dan in vessel.

A. Aeratic Static Pile

Pengomposan dengan metode ini dilakukan dengan menimbun bahan kompos dan

mengangin-anginkannya menggunakan aerasi mekanik. Tumpukan/gundukan kompos (seperti

windrow system) diberi aerasi dengan menggunakan blower mekanik. Tumpukan kompos

ditutup dengan terpal plastik. Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan hingga 3 – 4

minggu. Secara prinsip proses komposting ini hampir sama, dengan windrow sistim, tetapi dalam

sistim ini dipasang pipa yang dilubangi untuk mengalirkan udara. Udara ditekan memakai

Page 21: Makalan Mikling Compile

blower. Karena ada sirkulasi udara, maka tumpukan bahan baku yang sedang diproses dapat

lebih tinggi dari 1 meter.

Proses itu sendiri diatur dengan pengaliran oksigen. Apabila temperatur terlalu tinggi,

aliran oksigen dihentikan, sementara apabila temperatur turun aliran oksigen ditambah. Karena

tidak ada proses pembalikan, maka bahan baku kompos harus dibuat sedemikian rupa homogen

sejak awal. Dalam pencampuran harus terdapat rongga udara yang cukup. Bahan- bahan baku

yang terlalu besar dan panjang harus dipotong-potong mencapai ukuran 4 – 10 cm.

Contoh Aerated Static Pile

B. Windrow Process

Pada proses Windrow Composting, kompos ditumpuk dalam barisan tupukan yang

disusun sejajar. Bahan baku kompos ditumpuk memanjang , tinggi tumpukan 0.6 sampai 1

meter, lebar 2-5 meter.  Sementara itu panjangnya dapat mencapai 40 – 50 meter.Tumpukan

secara berkala dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi, menurunkan suhu apabila suhu terlalu

tinggi, dan menurunkan kelembaban kompos. Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala yang

besar. Lama pengomposan berkisar antara 3 hingga 6 bulan, yang tergantung pada karakteristik

bahan yang dikomposkan.

Pada system ini cara pembuatan kompos ditempat terbuka beratap (bukan di dalam

reaktor yang tertutup dengan injeksi udara) dengan aerasi alamiah. secara teknis tidak diperlukan

sarana dan prasarana yang kompleks dan modern sehingga dapat diterapkan dengan mudah dan

tepat guna. Demikian pula jumlah modal, biaya operasional dan biaya pemeliharaan tempat

pengkomposan relatif lebih rendah dibandingkan dengan semua sistem pengkomposan lainnya.

Sedangkan prosesnya sangat cocok dengan iklim tropika dimana kelembaban dan temperatur

udaranya cukup tinggi dan stabil (25 sampai 30 oC).

Page 22: Makalan Mikling Compile

Contoh Pengomposan dengan Teknik Windrow Composting

Proses Pembalikan Kompos

C. In-Vessel

Dalam sistim ini membutuhkan biaya lebih besar dengan system yang otomatis. Merode

ini dapat mempergunakan kontainer berupa apa saja, dapat silo atau parit memanjang. Karena

sistim ini dibatasi oleh struktur kontainer, sistim ini baik digunakan untuk mengurangi pengaruh

bau yang tidak sedap seperti bau sampah kota. Sistim in vessel juga mempergunakan pengaturan

udara sama seperti sistim Aerated Static Pile. Sistim ini memiliki pintu pemasukan bahan

kompos dan pintu pengeluaran kompos jadi yang berbeda.. Pada proses In-Vessel proses

pengomposan lebih cepat berkisar antara 7-14 hari.

Page 23: Makalan Mikling Compile

Contoh In-Vessel

Berikut ini adalah perbandingan ketiga metode komposting.

Aerated Static Pile Windrow In-Vessel

Dipengaruhi oleh cuaca Dipengaruhi oleh cuaca Tidak terlalu Dipengaruhi oleh cuaca

Dapat diaplikasikan secara luas baik dalam skala kecil dan besar

Tidak memerlukan teknologi tinggi

Prosesya membutuhkan waktu yang singkat

Memerlukan volume yang besar untuk setiap proses, produk yang dihasilkan banyak

Memerlukan volume yang besar untuk setiap proses, produk yang dihasilkan banyak

Memerlukan volume yang sedikit di setiap tahap

Kisaran biaya modal sedang Biaya modal rendah Biaya modal tinggiMembutuhkan beberapa tenaga kerja

Tenaga kerja intensif Tenaga kerja tidak intensif

Volume besar udara harus diolah untuk kontrol bau

Potensi tinggi untuk pembangkit bau selama berputar; sulit untukmengisi udara untuk perlakuan

Volume kecil proses udara yang lebih mudah ditangkap untuk perlakuan

Cukup tergantung padaperalatan mekanik

Sedikit tergantung padaperalatan mekanik

Sangat tergantung padaperalatan mekanik

Membutuhkan cukup energi Membutuhkan energi yang rendah Membutuhkan cukup energi

Sumber : Parsons, 2002.

Page 24: Makalan Mikling Compile

III. STUDI KASUS

OPTIMASI PROSES PENGOMPOSAN AEROBIK SLUDGE AIR LIMBAH INDUSTRI

MIZONE DAN SAMPAH ORGANIK DI PT TIRTA INVESTAMA PANDAAN

Siti Choni Andriati* dan Yulinah Trihadiningrum

Program Pasca Sarjana Teknik Lingkungan Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS

Pendahuluan

AQUA DANONE merupakan salah satu industri air minum dalam kemasan. Salah satu

Industri AQUA DANONE berada di Pandaan, PT Tirta Investama Pandaan. PT Tirta Investama

Pandaan memproduksi MIZONE. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) MIZONE

menghasilkan sludge yang saat ini hanya diolah menggunakan conventional sand drying bed.

Sludge menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga perlu pengolahan lebih lanjut agar tidak

berbau. Selain itu jerami hasil samping proses panen di dekat lokasi pabrik biasanya dibakar.

Asap yang ditimbulkan masuk ke area pabrik dan dapat mempengaruhi kualitas produk

MIZONE serta aktivitas para pekerja. Pada penelitian akan dilakukan pengomposan campuran

sludge dengan jerami guna memanfaatkan jerami agar tidak dibakar

Pengomposan secara aerobik tidak menimbulkan bau dan membutuhkan waktu yang

lebih pendek dan lebih mudah untuk diterapkan daripada pengomposan secara anaerobik (Isro’i,

2009; Ponsá et al., 2008; Nemerow, 2007). Oleh karena itu, pengomposan yang akan digunakan

adalah pengomposan aerobik. Suplai udara dalam proses pengomposan aerobik dapat dilakukan

dengan konvensional, yaitu dengan pembalikan dan dengan injeksi, yaitu aerated pile.

Pengomposan sludge secara aerobik membutuhkan waktu sekitar 3 bulan (Abouelwafa et al.,

2008). Penambahan biostimulan dapat mempercepat proses pengomposan dan kualitas produk

kompos (Isro’i, 2009; Sulistyawati, Mashita, dan Choesin, 2008). Biostimulan yang digunakan

adalah effective microorganisms 4 (EM4) karena EM4 dapat menekan timbulnya bau (Anonim,

2009). Penelitian ini bertujuan untuk melakuakn karakterisasi sludge yang dihasilkan dari proses

pengolahan air limbah di PT Tirta Investama Pandaan. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk

menentukan kondisi optimum proses pengomposan sludge, berdasarkan jenis bahan pencampur,

metoda aerasi, dan penambahan biostimulan

Page 25: Makalan Mikling Compile

I. Metode

Berikut adalah rangkuman metode pengomposan yang dilakukan pada studi kasus ini:

Pada proses pengomposan bahan yang dikomposting sebesar 10 L. Komposisi bahan

pencampur sebesar 70% dari volume total. Bahan pencampur yang akan digunakan dicacah

hingga mencapai ukuran sebesar 3-6 cm. Selanjutnya sludge dan bahan pencampur dicampur.

Sludge yang akan dikomposting diatur kadar air dan rasio C/N-nya dalam kondisi optimum.

Pengaturan kadar air ini dilakukan dengan penjemuran secara alami, yaitu dengan pemanasan

sinar matahari hingga bahan kompos mencapai kadar air berkisar 40-60%. Rasio C/N diatur

sebesar 25-35, apabila unsur N yang kurang dapat 3 ditambahkan pupuk NPK. Penambahan

pupuk NPK ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kompos, khususnya unsur hara

seperti P dan K dalam kompos yang dihasilkan. Pengomposan yang dilakukan menggunakan

biostimulan EM4 dan tanpa penambahan biostimulan. EM4 yang ditambahkan sebesar 5% dari

volume bahan komposting. Aerasi secara konvensional dilakukan dengan pembalikan kompos

tiap hari selama 2 bulan pertama dan dilanjutkan 2 hari sekali hingga kompos matang. Proses

pengomposan pada sistem aerated pile, suplai udara yang dinjeksikan sebesar 0,6 L/menit.kg

selama 2 bulan pertama dan dilanjutkan 0,4 L/menit.kg hingga kompos matang. Pengaturan

suplai udara pada tiap reaktor dilakukan dengan pengaturan jumlah orifice pada pipa di tiap

Analisa Bahan Baku dan

Kompos

Pengukuran volume dan berat jenis sludgeKarakterisasi sludge, jerami, dan sampah organik halaman yang diukur meliputi parameter pH, kadar air, volatile solid, bahan organik (C), Nitrogen (N) total Kjehdahl, dan fosfor (P)Karakterisasi Unsur Hara pada Kompos

Pengompo

san

Variabel yang digunakan : (1) jenis sampah organik, yaitu jerami dan sampah organik halaman, (2) penambahan dan tanpa penambahan biostimulan, serta (3) metoda aerasi, yaitu konvensional dan aerated pile

Page 26: Makalan Mikling Compile

reaktor. Temperatur proses pengomposan diukur setiap hari. Karakteristik kompos, meliputi

rasio C/N, pH dan kadar air diperiksa setelah pengomposan 2 minggu yang kemudian diukur tiap

2 minggu sekali. Apabila rasio C/N mencapai 10-20 maka kompos telah matang (SNI:19-7030-

2004).

II. Hasil dan Diskusi.

II.1 Produksi dan Penanganan Sludge Eksis

Produksi dan Penanganan Sludge Eksisting Sludge diolah menggunakan conventional

sand drying bed. Sampai saat ini (telah 2 tahun), sludge tidak pernah dipanen karena belum

mendapatkan ijin dari BAPPEDAL setempat. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), seharusnya

lama waktu tinggal sludge di conventional sand drying bed, yaitu 10-15 hari. Produksi sludge

berkisar 19,73 L/hari. Kadar air sludge dari unit sedimentasi sebesar 98% dan mengalami

penurunan sebesar 6%. Perusahaan menutup unit conventional sand drying bed dalam ruang

yang terbuat dari fiber agar bau yang ditimbulkannya tidak menyebar. Akan tetapi upaya tersebut

menimbulkan masalah baru, yaitu proses pengeringan terganggu.

II.2 Karakteristik Sludge, Jerami, dan Sampah Organik Halaman

Karakter sludge, jerami dan sampah organik adalah sebagai berikut

II.3 Karakter Kompos

Pada minggu ke-8, warna kompos yang diolah dengan metoda konvensional coklat

kehitaman, berbau menyerupai tanah, dan ukurannya lebih kecil dibandingkan pada awal

pengomposan. Kompos tersebut bila digenggam tidak lagi lengket di tangan. Kompos tidak

menghasilkan uap air ketika dibungkus dalam plastik tertutup selama 1 hari. Beberapa kondisi ini

adalah tanda-tanda kompos matang, namun perlu dicek rasio C/N-nya apakah kompos benar

telah matang.

Page 27: Makalan Mikling Compile

Suhu pengomposan kompos campuran sludge dan sampah organik halaman dengan

metoda konvensional dan penambahan EM4 (HEK), campuran sludge dan sampah organik

halaman dengan metoda konvensional (HTK), campuran sludge dan jerami dengan metoda

konvensional (JTK), dan campuran sludge dan jerami dengan metoda konvensional dan

penambahan EM4 (JEK) mencapai suhu optimum (30 oC) pada hari ke-2 waktu pengomposan.

Suhu kompos yang lainnya, yaitu sludge dengan EM4 metoda konvensional (KEK), sludge tanpa

EM4 metoda konvensional (KTK), campuran sludge dan jerami dengan metoda aerated pile dan

penambahan EM4 (JEA), campuran sludge dan sampah organik halaman dengan metoda aerated

pile dan EM4 (HEA), sludge dengan EM4 metoda aerated pile (KEA), dan sludge tanpa EM4

metoda aerated pile (KTA) kecuali kompos campuran sludge dan sampah organik halaman

dengan metoda aerated pile (HTA), mencapai suhu optimum pada hari ke-3 waktu pengomposan.

Mulai pada hari ke 53 waktu pengomposan, kompos JEK memiliki suhu yang sama besar dengan

suhu ruangan. Data 5 terkait dengan suhu kompos yang sama dengan ruangan ini,

mengindikasikan bahwa kompos matang. Namun perlu dilakukan pengecekan terhadap rasio

C/N kompos untuk memastikan apakah kompos telah matang.

Pada minggu ke-2 kadar air kompos berkurang. Selain itu penurunan kadar air ini sebagai

akibat dari proses aerasi yang menyebabkan kadar air terevaporasi. Mulai minggu ke-2 dilakukan

penambahan air guna mempertahankan aktivitas mikroba. Bila kadar air kompos lebih kecil dari

40% maka aktivitas mikroba akan menurun. Jumlah air yang ditambahkan sekitar 50-100 mL,

hingga kompos menjadi lembab (kadar air berkisar 40-60%).

Rasio C/N dari masing-masing perlakuan kompos ditunjukan pada grafik berikut

Page 28: Makalan Mikling Compile

II.4 Karakter Kompos yang Telah Matang

Karakter kompos yang telah matang dirangkum pada tabel berikut:

III. Kesimpulan

Kesimpulan yang diambil pada studi kasus ini adalah sebagai berikut:

Karakteristik sludge dari pengolahan air limbah MIZONE yang terkait dengan

pemanfaatannya sebagai bahan baku kompos adalah nitrogen total Kjeldahl 0,47-1,54% dan

fosor total 0,24-0,31 mg/L. Sludge mudah menggumpal sehingga kurang baik untuk dikompos

tanpa campuran sampah organik. Pengomposan optimum yang direkomendasikan adalah

pengomposan sludge dicampur dengan sampah organik halaman dan diolah dengan metoda

konvensional selama 8 minggu. Unsur hara kompos yang dihasilkan tersebut memenuhi

spesifikasi kompos (SNI:19-7030-2004).

Page 29: Makalan Mikling Compile
Page 30: Makalan Mikling Compile

Daftar Pustaka

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. New York: John Wiley and Sons.

Anonim. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/earthworm =benefit (diakses pada tanggal 25 Oktober 2005).

Anonim. Available at http://www.std.ryu.titech.ac.jp (diakses pada tanggal 25 Oktober 2005).

Blakemore, R. 2000. Vermicology I. Ecological considerations of the earth worms used in vermiculture - a review of the species. http://bioeco. eis.ynu.ac.jp/ eng/ database/ earthworm/ A%20series%20of%20 searchable%20texts/vermillennium%202000/ vermicology%20I.pdf#search=’vermicology’.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2003. Sistem Pengelolaan Sampah.

Eriksson, K.E.L., R.A. Blanchette, and P. Ander. 1989. Microbial and Enzymatic Degradation of Wood and Wood Components. Springer- Verlag Heildeberg. New York.

Howard, R.L., E. Abotsi, J.V. Rensburg, and Howards. 2003. Lignocellulose biotechnology: issues of bioconversion and enzyme production. African Journal of Biotechnology 2: 602-619. http://www.vtt.fi/inf/pdf (diakses pada tanggal 25 Oktober 2005).

Ismayana,et al.2012. Faktor Rasio C/N Awal Dan Laju Aerasi Pada Proses Co-Composting Bagasse dan Blotong. Jurnal Teknologi Industri Pertanian.

Lankinen, P. 2004. Ligninolytic enzymes of the basidiomycetous fungi Agaricus bisporus and Phlebia radiata on lignocellulose-containing media. Academic Dissertation in Microbiology. http://www.u.arizona.edu/~leam/lankinen.pdf [10 Desember 2005]

Perez, J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia, and J. Martinez. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemi cellulose, and lignin: an overview. Int. Microbiol. 5: 53-63.

Thorn, R.G., C.A. Reddy, D. Harris, and E.A. Paul. 1996. Isolation of Saprophytic Basidiomycetes from soil. Appl. Environ. Microbiol. 62: 4.288-4.292.

Tomlin, D.A. 2006. Earthworm biology. http://www.wormdigest.org/index. php?option= com_content&task=view&id=200&ltemid=2 http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/ dokumentasi/lainnya/10organisme%20perombak.pdf (diakses pada tanggal 6 Oktober 2015)

 Saraswati, et al. 2006. Organisme Perombak Bahan Organik. Dokumentasi Litbang Kementrian

Pertanian.

Page 31: Makalan Mikling Compile

Siti Choni Andriati dan Yulinah Trihadiningrum. 2010. Optimasi Proses Pengomposan Aerobik Sludge Air Limbah Industri Mizone dan Sampah Organik di PT Tirta Investama Pandaan (digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-10111-Paper.pdf)

United States Environmental Protection Agency. 2002. Biosolids Technology Fact Sheet Use of Composting for Biosolids Management. Municipal Technology Branch U.S. EPA.

Wilson. 1977 .Handbook of Solid Waste Management. Van Nostrand Reinhold Company.