makalah upaya hukum

44
BAB II PEMBAHASAN A. UPAYA HUKUM BIASA Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum. Jadi, Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003 : 114-115). Upaya hukum merupakan hak terdakwa yang dapat dipergunakan apabila siterdakwa merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan. Karena upaya hukum ini merupakan hak, jadi hak tersebut bisa saja dipergunakan dan bisa juga siterdakwa tidak menggunakan hak tersebut. Akan tetapi, bila hak untuk mengajukan Hukum Acara Perdata Page 1

Upload: raden-cokro-javanese

Post on 01-Dec-2015

681 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

BAB II

PEMBAHASAN

A. UPAYA HUKUM BIASA

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk

memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap

putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran

secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan,

bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat

diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim

itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat

mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya

hukum. Jadi, Upaya hukum merupakan Upaya atau alat untuk mencegah atau

memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Krisna Harahap, 2003 : 114-115).

Upaya hukum merupakan hak terdakwa yang dapat dipergunakan apabila

siterdakwa merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh pengadilan.

Karena upaya hukum ini merupakan hak, jadi hak tersebut bisa saja dipergunakan

dan bisa juga siterdakwa tidak menggunakan hak tersebut. Akan tetapi, bila hak

untuk mengajukan upaya hukum tersebut dipergunakan oleh siterdakwa, maka

pengadilan wajib menerimanya. Hal ini dapat dilihat dalam KUHAP pada

rumusan pasal 67 yang menyatakan: “terdakwa atau penuntut umum berhak untuk

minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap

putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah

kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan acara cepat”

KUHAP membedakan upaya hukum kepada dua macam, Upaya hukum biasa

dan upaya hukum luar biasa (istimewa). Upaya hukum biasa terdiri dari dua

bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan tingkat banding, dan bagian kedua

adalah pemeriksaan kasasi. Sedangkan uapaya hukum luar biasa adalah

peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

Hukum Acara Perdata Page 1

1. Banding

Banding merupakan lembaga yang tersedia bagi para pihak yang tidak

menerima atau menolak putusan pengadilan pada tingkat pertama, ketentuan

dimaksud diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan

Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang mencabut ketentuan banding yang

terdapat pada Herziene Inlandsche Reglement (HIR) . Namun demikian, untuk

ketentuan banding bagi yurisdiksi pengadilan tingkat banding di luar Jawa dan

Madura ketentuan tersebut masih diatur dalam  Pasal 199 sampai dengan Pasal

205 Rechtsglement Buitengewesten (RBg).

1. Landasan Hukum Banding

Sebenarnya banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda

peraturannya. Acara banding dalam perkara pidana pada awalnya diatur dalam

pasal 350-356 HIR yang kemudian dicabut oleh Stb. 1932 No. 460 jo 580,

sehingga hanya tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de

strafvordering voor de raden van justitie op java en het hooggerechtshof van

indonesia (pasal 282 dst.) serta Rbg pasal 660. Sekarang hal banding dalam

perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67, 87, 233-243 KUHAP.

Sedangkan banding dalam perkara perdata diatur dalam pasal-pasal 188-

194 HIR. Tetapi dengan adanya pasal 3 jo 5 UU darurat no. 1 tahun 1951 pasal-

pasal itu sudah tidak berlaku lagi dan yang sekarang berlaku ialah undang-undang

RI tahun 1947 no. 20 untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa

dan Madura ialah Rbg pasal 199-205. Jadi dasar hukumnya adalah UU no. 4/2004

tentang perubahan atas undang-undang pokok kekuasaan dan UU no.20/1947

tentang peradilan ulangan.

2. Alasan Permohonan Banding

Adapun alasan-alasan seseorang dapat mengajukan permohonan banding

diantaranya adalah:

Hukum Acara Perdata Page 2

a. Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan

pengadilan tingkat pertama karena merasa hak-haknya terserang oleh

adanya putusan itu.

b. Menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil.

Asas peradilan ini bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pada tingkat

pertama belum tentu tepat atau benar sehingga perlu pemeriksaan ulang oleh

pengadilan yang lebih tinggi. Dalam hal ini yang berwenang adalah pengadilan

tinggi untuk menelitti apakah pemeriksaan perkara tersebut telah dilakukan

menurut cara yang ditentukan UU dengan cukup teliti, dan juga pengadilan tinggi

berwenang untuk memeriksa putusan dan mengambil sikap atas putusan-putusan

tersebut seperti:

a. Dalam hal putusan dianggap telah benar, putusan pengadilan tingkat

pertama akan dikuatkan.

b. Dalam hal putusan dianggap salah, putusan akan dibatalkan dan

pengdailan tinggi akan memberi putusan lain.

c. Dalam hal putusan yang kurang tepat, maka pengadilan tinggi akan

memperbaiki putusan sebelumnya.

3. Prosedur Pengajuan Banding

Putusan yang bisa dimintakan banding hanya putusan pengadilan negeri

mengenai perkara yang harga gugatnya hanya lebih dari Rp.100,- saja. Hal ini

sesuai pasal 6 UU 1947 no. 20 bahwasannya “dari putusan-putusan pengadilan

negeri di jawa dan madura tentang perkara perdata, yang diternyata bahwa

besarnya harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari

pihak-pihak (partizen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan

pertama diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum

masing-masing” (komentar HIR, 2005:170).

Jadi dapat dikatakan hampir semua putusan (bukan declaratoir)

Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding. Maksud pihak yang

berkepentingan adalah pihak yang oleh putusan pengadilan tingkat pertama

dikalahkan dan juga jika ada gugat asal dan gugat balik yang di dalamnya ada

Hukum Acara Perdata Page 3

pihak yang dikalahkan maka pihak tersebut dapat mengajukan permohonan

banding (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:151).

Sedang dalam perkara pidana, permintaan banding dapat diajukan ke

pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau

penunttut umum (pasal 67 KUHAP). Permintaan banding dalam perkara pidana

ini dapat diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah

putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak

hadir sebagaiman dimaksud dalam pasal 196 ayat 2 KUHAP.

Permohonan banding dapat diterima jika diajukan dalam tenggang waktu

14 hari terhitung mulai berkutnya hari pengumuman putusan kepada yang

berkepentingan. Hal ini sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU no. 20 tahun 1947

“permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau

dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk

mengajukan permintaan itu, kepada panitera pengadilan negeri, yang

menjatuhkan putusan dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya

hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan.”

Untuk mengajukan permohonan banding pihak yang bersangkutan terlebih

dahulu harus membayar biaya permohonan banding kepada pengadilan negeri.

Besarnya biaya tersebut ditaksir oleh panitera Pengadilan Negeri yang

bersangkutan. Jika pemohon banding adalah orang yang tidak mampu maka harus

dibuktikan dengan surat dari kepala desa. Hal ini sesuai dengan pasal 7 (3) UU no.

20 tahun 1947 bahwasannya “jika ada permintaan akan pemeriksaan ulangan

tidak dengan biaya maka tempo itu dihitung mulai hari berikutnya hari

pemberitahuan putusan pengadilan tinggi atas permintaan tersebut kepada ketua

pengadilan negeri.”

Biaya perkara banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui

bank pemerintah atau kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim

bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan. Dalam menentukan

biaya banding harus diperhitungkan:

a. Biaya pencatatan pernyataan banding,

Hukum Acara Perdata Page 4

b. Besarnya biaya banding yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi,

c. Biaya pengiriman uang melalui bank/kantor pos,

d. ongkos kirim berkas,

e. biaya pemberitahuan berupa:

(1) Biaya pemberitahuan akta banding.

(2) Biaya pemberitahuan memori banding.

(3) Biaya pemberitahuan kontra memori banding.

(4) Biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi pembanding dan

terbanding.

(5) Biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi pembanding dan terbanding.

Pasal 10 uu no. 20 tahun 1947 menyatakan “(1) permintaan pemeriksaan

ulangan yang dapat diterima, dicatat oleh panitera pengadilan negeri di dalam

daftar. (2) panitera memberitahukan hal itu kepada pihak lawan yang minta

pemeriksaan ulangan.” Jadi sudah jelas dalam hal ini panitera harus memberitahu

pihak terbanding supaya siap-siap juga menyiapkan kontra memori bandingnya.

Begitupun KUHAP mengatur tentang kewajiban panitera perkara pidan untuk

memberitahukan kepada pihak-pihak terkait tentang adanya permintaan banding

yang diatur dalam pasal 233.

Setelah satu pihak menyatakan naik banding dan dicatat oleh panitera,

maka pihak lawan diberitahu panitera tentang permintaan banding itu selambat-

lambatnya 14 hari setelah permintaan banding diterima dan kedua belah pihak

diberi kesempatan untuk melihat surat-surat dan berkasnya di pengadilan negeri

selama 14 hari sesuai dengan pasal 11 ayat 1 uu no. 20 tahun 1947, 202 Rbg

(Sudikno Mertokusumo, 1998:235).

Surat-surat termaksud adalah memori banding yang harus dipelajari oleh

pihak terbanding sehingga bisa menjawabnya dengan kontra memori banding.

Memori banding harus memuat alasan-alasan pembanding menganggap bahwa

putusan pengadilan tersebut adalah salah. Akan tetapi hal ini tidak merupakan

syarat mutlak asalkan syarat-syarat lain yang ditentukan UU terpenuhi. Kedua

belah pihak boleh memasukkan surat keterangan dan bukti-bukti baru.

Hukum Acara Perdata Page 5

Setelah pemeriksaan di panitera Pengadilan Negeri selesai, maka surat

pemeriksaan harus dikirim ke Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 7 hari

setelah pemeriksaan selesai (pasal 13 UU no.20 tahun 1947). Dalam perkara

pidana selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah permintaan banding

diajukan, panitera mengirimkan berkas-berkas ke pengadilan tinggi. Selama 7 hari

sebelum pengiriman berkas perkara ke pengadilan tinggi, pemohon banding wajib

diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan

negeri.

Menurut pasal 15 ayat 1 uu no 20 tahun 1947 dan pasal 238 KUHAP,

pengadilan tinggi dalam pemeeriksaan ulangan, memeriksa dan memutuskan

dengan tiga hakim, jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri kedua belah

pihak atau saksi. Ayat ini dirubah oleh pasal 2 undang-undang darurat no. 11

tahun 1955 “jika dipandang perlu, pengadilan tinggi atau seorang hakim

pengadilan tinggi itu dapat mendengar sendiri para pihak yang berperkara.”

Bukanlah maksudnnya ssupaya semua perkara bandingan diperiksa oleh seorang

hakim, melainkan supaya semua pengadilan tinggi tidak diwajibkan lagi untuk

memeriksa semua perkara dengan tiga orang hakim, juga perkara-perkara yang

tidak sulit (R. Soepomo, 1993:114).

Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas

dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan

atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama,

pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri (Sudarsono, 1994:153). Dan

putusannya harus segera diberitahukan kepada pihak pembanding dan terbanding.

Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada

dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya

terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan (pasal 242 KUHAP).

Dalam tingkat banding hakim harus membiarkan putusan dalam tingkat

peradilan pertama sepanjang tidak dibantah dalam tingkat banding (tantum

devolatum quantum appelatum) sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal

19 Juni 1971 (Sudikno Mertokusumo, 1998:237). Dan mengenai pencabutan

permohonan banding dapat dilakukan setiap saat oleh pihak pembanding dengan

Hukum Acara Perdata Page 6

persetujuan pihak lawan selama perkara tersebut belum diputus oleh pengadilan

tinggi.

4. Putusan Peradilan Tingkat Banding

Putusan yang dapat diajukan permohonan banding adalah putusan

Pengadilan Negeri/Agama bukan penetapan, yaitu putusan declaratoir yang

diberiakan hakim pengadilan negeri atas suatu surat permohonan, seperti

penetapan ahli waris. Terhadap putusan seperti ini tidak dapat diajukan banding

akan tetapi langsung mengajukan kasasi (Retnowulan Sutantio, Iskandar

Oeripkartawinata, 2009:149).

Jika putusannya berbentuk verstek maka harus diajukan verzet dulu di

tingkat peradilan pertama. Namun seperti dijelaskan dalam ayat 2 pasal 8, jika

untuk kedua kalinya tergugat kalah dengan putusan verstek, maka tergugat dapat

mengajukan banding namun harus menunggu sampai putusan verstek diputus oleh

pengadilan negeri.

Ketentuan pasal 9 mengemukakan “(1) dari putusan pengadilan negeri

yang bukan putusan penghabisan dapat diminta pemeriksaan ulangan hanya

bersama-sama dengan putusan penghabisan. (2) putusan dalam mana pengadilan

negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa perkarannya,

dianggap sebagai putusan penghabisan.” Dari pasal satu kita tahu bahwa apabila

dalam suatu perkara telah dijatuhkan suatu putusan provisionil, insidentil ataupun

putusan sela lainnya, dan pihak yang dikalahkan mengajukan permohonan

banding, permohonannya dicatat oleh pengadilan negeri akan tetapi berkasnya

baru akan dikirim ke pengadilan tinggi setelah putusan final ada.

Pengadilan tinggi juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan dalam

memutus perkara jika menganggap bahwa pemeriksaan semula belum cukup

bukti. Karena dalam taraf banding asasnya “ bahwa perkara mentah kembali” dan

kedudukan pengadilan tinggi sebagai judex factie, yaitu hakim yang memeriksa

dan mengadili perkara baik mengenai fakta maupun mengenai hukumnya, dan

wewenang yang dipunyai pengadilan tinggi dalam pemeriksaan perkara yang

sama dengan wewenang hakim pengadilan negeri, sebelum pemeriksaan

Hukum Acara Perdata Page 7

tambahan, pengadilan tinggi harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah

pihak yang bersengketa (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata,

2009:160)

Wewenang pengadilan tinggi juga untuk membatalkan putusan pengadilan

tingkat pertama meskipun putusan pengadilan negeri tersebut berdasarkan sumpah

penambah atau supletoir. Apalagi jika sumpah tersebut dimintakan kepada

penggugat yang tidak mempunyai bukti yang harus ditambah. Lain halnya dengan

sumpah pemutus atau decisoir, sumpah seperti ini dalam tingkat banding maupun

kasasi tidak dapat mengubah putusan. Karena pada hakikatnya sumpah decisoir

ini adalah melepaskan hak untuk menang.

Berkaitan dengan putusan sela, pengadilan tinggi pun dapat melakukannya

misalnya saja dalam hal sita jaminan. Pengadilan tinggi berwenang untuk

memerintahkan pengadilan negeri terkait melakukan sita tersebut (R. Subekti,

1977:152).

2. KASASI

1. Pengertian dan Landasan Hukum Kasasi

Upaya hukum kasasi (cassatie/appeal in cassation) merupakan lembaga

hukum yang dilahirkan di prancis dengan istilah cassation dan berasal dari kata

kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan adalah salah satu

tindakan Mahkamah Agung Repulik Indonesia (MA RI) sebagai pengawas

tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti

merupakan  pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat kasasi

tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi hanya

diperiksa masalah-masalah hukumnya/penerapan hukumnya.  Sehingga yang

dapat mengajukan permohonan kasasi dalam perkara perdata adalah pihak-pihak

berperkara atau wakilnya yang khusus  dikuasakan untuk itu (Pasal 44 ayat (1)

huruf a UU no 3 tahun 2009).

Pada asasnya, landasan hukum kewenangan  kasasi diatur dalam ketentuan

pasal 24 A ayat (1) perubahan ke-3 UUD 1945, pasal 20 ayat (2) UU no. 48 tahun

2009, penjelasan umum angka 2, pasal 28 dan 30 UU no. 48 tahun 2009.

Hukum Acara Perdata Page 8

2. Prosedur Permohonan Kasasi

Menurut Mahkamah Agung RI pada hakikatnya prosedural administrasi

permohonan kasasi adalah bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam

tenggang waktu paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan 

kasasi diucapkan. Senada dengan pasal 245 KUHAP yang menyatakan tenggang

waktu selama 14 hari untuk mengajukan permohonan. Prosedural  berikutnya

adalah apabila biaya kasasi telah  dibayar lunas semuanya, pengadilan wajib

membuat akta pernyataan kasasi tersebut dalam register induk perkara dan register

kasasi, kemudian akta ini diberitahukan kepada lawannya dalam waktu 7 hari.

Perlu juga disampaikan dalam kontek ini bahwa dalam mengajukan kasasi,

pemohon kasasi harus mengajukan memori kasasi dan berdasarkan ketentuan

pasal 12 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004 menentukan bahwa, “Pemohon kasasi

wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan memori kasasi pada tanggal

permohonan kasasi didaftarkan.”

Tanggal penerimaan memori kasasi tersebut, harus dicatat dalam suatu

surat keterangan panitera yang ditandatangani oleh panitera. Yang dimaksud

sebagai tanggal permohonan kasasi adalah tanggal pada waktu biaya perkara

diterima oleh panitera yang bersangkutan. Sedangkan apabila biaya perkara yang

diterima melampaui tenggang waktu, maka permohonan kasasi dianggap tidak

ada. Dalam pidana juga pemohon harus menyerahkan memori kasasi dan alasan

mengajukan kasasi yang sesuai dengan pasal 248 dan 253 KUHAP.

Kemudian berdasarkan Ketentuan pasal  12 ayat (3) UU No. 37 tahun

2004: “Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitra

Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi

menerima memori kasasi dan panitra Pengadilan wajib menyampaikan kontra

memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra

memori kasasi diterima.”

Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) UU No. 37 tahun

2004: “Panitra wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan

kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada

Hukum Acara Perdata Page 9

Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal

permohonan kasasi di daftarkan.”

Dalam praktik, berkas perkara dikirim kepada MA RI berupa bundel A

dan bundel B. Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, barkas

kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung. Pada

dasarnya, bundel A merupakan surat-surat perkara diawali dengan surat gugatan

dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara tersebut dan selalu

di simpan di Pengadilan Negeri/Niaga serta terdiri atas:

Surat permohonan;

Penetapan Penunjukan Majelis Hakim;

Penetapan hari sidang;

Relaas-relaas panggilan;

Berita acara sidang (jawaban/tanggpan dan bukti-bukti surat dimasukan

dalam berita acara);

Surat kuasa khusus dari kedua belah pihak yang berperkara;

Tanda bukti pengiriman biaya perkara kasasi;

Penetapan-penetapan lainnya yang berkaitan dengan perkara (bila ada);

Berita Acara Sita Jaminan/Penyegelan (bila ada);

Lampiran-lampiran surat yang dimajukan oleh kedua belah pihak (bila

ada)

Surat-surat bukti Pemohon;

Surat-surat bukti Termohon;

Surat-surat lainnya;

Naskah Asli Putusan.

Sedangkan bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara dan kasasi

serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan kasasi dan akhirnya

menjadi arsip perkara MA RI, yang terdiri atas:

Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Pengadilan Niaga kepada kedua

belah pihak yang berperkara;

Akta permohonan kasasi;

Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi;

Hukum Acara Perdata Page 10

Memori kasasi dan/atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak

mengajukan memori kasasi;

Tanda terima memori kasasi;

Relaas pemberitahuan kasasi kepada Termohon Kasasi;

Kontra memori kasasi;

Salinan putusan Pengadilan Niaga dan penetapan-penetapan Pengadilan

Niaga; dan

Surat-surat lain yang sekiranya ada.

Dalam menaksir biaya kasasi diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi

yang ditentukan oleh Ketua Muda. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung

ditambah dengan biaya pemberitahuan, berupa :

·      Biaya pemberitahuan pernyataan kasasi.

·      Biaya pemberitahuan memori kasasi.

·      Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi.

·      Biaya pemberitahuan bunyi kasasi.

Foto copy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, dikirim ke

Mahkamah Agung. Permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu atau

penerimaan memori kasasi yang melempaui tenggang waktu, harus dinyatakan

tidak dapat diterima.  Mengajukan memori kasasi yang disertai dengan alasan-

alasan merupakan syarat mutlak. Didalam risalah kasasi harus dimuat keberatan-

keberatan atau alasan-alasan kasasi yang berhubungan dengan pokok persoalan

perkara, jika tidak mengajukan risalah kasasi sudah tentu akan menyebabkan tidak

diterimanya permohonan kasasi.

3. Tugas Pengadilan Tingkat Kasasi dan Alasan Pengajuan Kasasi

Tugas pengadilan kasasi adalah menguji dan meneliti putusan pengadilan-

pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang

dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah

ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. Oleh karena itu, maka

dasar dari pembatalan suatu putusan yang oleh pengadilan kasasi dianggap salah

Hukum Acara Perdata Page 11

adalah “pelanggaran hukum” yang telah dilakukan oleh pengadilan yang

bersangkutan.

Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan

dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 adalah :

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang

Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini tendens

kepada kompetensi relatif (relatieve competentie)  dan kompetensi absolut

(absolute competentie). Konkretnya, yudex facti incasu Pengadilan Niaga

telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU tersebut seolah-olah merupakan

kewenangannya, padahal sebenarnya tentang yudex factie tidak

berwenang/bukan merupakan kewenangannya. Sedangkan alasan kasasi

disebabkan yudex facti melampaui batas wewenang adalah bahwa yudexfacti

telah mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan  yang ditentukan

dalam UU.

Kemudian, melampaui batas wewenang ini dapat juga di artikan

bahwa yudexfacti dalam putusannya telah mengabulkan lebih dari pada apa

yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya.

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku

Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara sederhana

adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum acara maupun

hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari penerapan hukum

yang berlaku.

Sedangkan melanggar hukum tendens kepada penerapan hukum itu

sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan 

seharusnya yang digariskan oleh UU.

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang

bersangkutan

Dalam doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat

yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam

kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim disebut dengan istilah

Hukum Acara Perdata Page 12

melalaikan persyaratan formal (formalities), sehingga diancam pula kebatalan

formal (formele nietigheid atau formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo 

lebih jauh menegaskan bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak

dipenuhi oleh hakim dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi

Mahkamah Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya

perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada

pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. Apabila batalnya putusan

atau perbuatan hakim sebagai akibat kelalaian ditentukan oleh undang-

undang, maka terdapat kebatalan formal (formele nietigheid atau formele

nulliteit).

Kemudian, tentang kebatalan formal ini misalnya dapat disebutkan

apabila sidang pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan terbuka untuk umum

mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum (Pasal 19 ayat 1, 2 Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2009), begitu pula halnya semua putusan hanya sah

dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapakan dalam sidang terbuka

untuk umum dan apabila tidak dilakukan demikian akan batal (Pasal 13 ayat 1

dan 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 dan putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 334 K/Sip?1972 tanggal 4 Oktober 1972.

Dari alasan-alasan tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa didalam

tingkat kasasi tidak diperiksa tentang duduknya perkara atau faktanya melainkan

tentang hukumnya, sehingga tentang terbukti atau tidaknya peristiwa tidak akan

diperiksa. Penilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam

pemeriksaan tingkat kasasi. Mahkamah Agung terikat pada peristiwa yang telah

diputuskan dalam tingkat terakhir, jadi pada tingkat kasasi peristiwanya tidak

diperiksa kembali. Oleh karena pada tingkat kasasi tidak diperiksa ulang duduk

perkaranya, maka pemeriksaan tingkat kasasi pada umumnya tidak dianggap

sebagai pemeriksaan tingkat ke-3.       

Dasar hukum bagi pengadilan kasasi yang dilakukan Mahkamah Agung

diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun

1970, yang berbunyi: “Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir

Hukum Acara Perdata Page 13

oleh pengadilan-pengadilan lain daripada MA, kasasi dapat dimintakan kepada

Mahkamah Agung.” UU Mahkamah Agung No. 14 tahun 1985, mengatur Hukum

Acara bagi Mahkamah Agung yang berhubungan dengan tugasnya untuk memberi

putusan dalam tingkat kasasi. Bab III UU no. 14 Tahun 1985, mengatur tentang

kekuasaan Mahkamah Agung. Pada Pasal 28, menyatakan sebagai berikut :

(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

a.  Permohonan kasasi;

b.  Sengketa tentang kewenangan mengadili;

c.  Permohonan peninjauan kembali

(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana yang dimaksudkan ayat

(1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas dalam

Mahkamah Agung.

Pada pasal 28 dinyatakan : “Mahkamah Agung memutus permohonan

kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari

semua Lingkungan Peradilan”.   

4. Putusan peradilan tingkat kasasi

Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi dan membatalkan

putusan yang dimohonkan kasasi tersebut, maka akan terjadi dua kemungkinan,

yakni :

1) Kalau pembatalan itu didasarkan pada tidak berwenangnya pengadilan

yang telah mengambil putusan yang dimohonkan kasasi, maka berkas

perkara akan dikirimkan kepada pengadilan yang oleh Mahkamah Agung

yang dianggap berwenang, untuk diperiksa dan diputusi.

2) Kalau pembatalan didasarkan pada kesalahan dalam penerapan hukum,

maka Mahkamah Agung akan memutusi sendiri perkara itu. Dengan

sendirinya putusan yang akan diambil oleh Mahkamah Agung itu adalah

final. Disini dikatakan bahwa hakim kasasi dalam memutusi perkara

tersebut “duduk di atas kursi judex facti” karena ia memutusi apa yang

biasanya menjadi wewenang “judex facti” (Pengadilan Negeri atau

Pengadilan Tinggi).

Hukum Acara Perdata Page 14

Menurut ketentuan hukum yang berlaku dan yurisprudensi konstan

Mahkamah Agung Republik Indonesia, peradilan kasasi dalam putusannya

terbatas memeriksa perkara terhadap aspek yuridis semata-mata yaitu apakah

benar yudex facti telah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak

sebagaimana mestinya. Konkritnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia

memeriksa terhadap penerapan hukumnya dan tidak terhadap peristiwa dan

pembuktian sehingga kedudukannya sebagai yudex yuris. Dengan demikian, aspek

peristiwa dan penilaian mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan

terhadap suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan/tidak tunduk dalam

pemeriksaan kasasi sebagaimana ditegaskan putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2650 K/Sip/1982 tanggal 20 September 1983.

Putusan peradilan tingkat kasasi ini pada asasnya dapat di klasifikasikan

ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :

1.    Permohonan kasasi tidak dapat diterima

Hakikat permohonan kasasi haruslah didasarkan kepada

ontvankelijkeheid (dapat diterimanya) permohonan kasasi. Apabila suatu

permohonan kasasi tidak memenuhi syarat formal (formalitas) untuk

mengajukan kasasi seperti dilampauinya tenggang waktu melakukan kasasi,

surat kuasa khusus kasasi tidak memenuhi syarat, tidak ada/terlambat

mengajukan memori kasasi, dan lain sebagainya, sehingga hal demikian dapat

diklasifikasikan bahwa permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima.

Adapun mengenai bunyi amar putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia dalam aspek ini hakikatnya dapat berbunyi, sebagai berikut:

Menyatakan, bahwa permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi: ................... tersebut tidak dapat diterima;

Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara dalam Peradilan

Kasasi ini sebesar Rp ................ (..............)

2.    Permohonan kasasi ditolak

Permohonan kasasi dari pemohon kasasi ditolak oleh Mahkamah

Agung Republik Indonesia dapat disebabkan bahwa yudex facti tidak salah

menerapakan hukum, bahwa pemohon kasasi dalam memori kasasi

Hukum Acara Perdata Page 15

mempersoalkan tentang kejadian atau hal yang tidak merupakan wewenang

hakim kasasi, misalnya tentang penilaian hasil pembuktian, penghargaan atas

suatu fakta dan lainnya. Dapat pula permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah

Agung Republik Indonesia karena pemohon kasasi dalam mengajukan memori

kasasi tidak relevan (irrelevant) dengan pokok perkara.

Apabila permohonan kasasi ditolak, ammar putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia pada pokoknya, dapat berbunyi sebagai berikut:

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ... tersebut;

Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam

peradilan kasasi ini yang ditetapkan sebesar Rp ......

3.   Permohonan kasasi dikabulkan

Permohonan kasasi dikabulkan berarti bahwa alasan-alasan atau

keberatan-keberatan yang dikemukakan pemohon kasasi dalam memori kasasi

oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia karena yudex facti dianggap telah

salah atau tidak benar dan tepat dalam penerapan hukum atau karena alasan-

alasan hukum lain (Pasal 30, 52 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009). Dalam

hal permohonan kasasi dikabulkan karena alasan dari pemohon kasasi atau

karena alasan hukum lain, Mahkamah Agung Republik Indonesia akan

membatalkan putusan yudex facti. Terhadap hal ini ada 2 (dua) kemungkinan 

sikap dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu:

- Mahkamah Agung Republik Indonesia menyerahkan perkara tersebut ke

pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutuskannya.

Aspek ini didasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat 1 Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2009 yaitu mengabulkan permohonan kasasi 

berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf a Undang-undang nomor 3 Tahun

2009 bahwa pembatalan itu didasarkan kepada tidak berwenang/

melampaui batas wewenangnya yudex facti yang dimohonkan kasasi,

berkas perkara oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia akan dikirim

kepada yudex facti yang dianggap berwenang untuk diperiksa dan diputus.

- Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus sendiri perkara yang

dimohonkan kasasi itu

Hukum Acara Perdata Page 16

Apabila permohonan kasasi dikabulkan dan putusan yudex facti

dibatalkan karena alasan Pasal 30 huruf b dan c Undang-undang Nomor 3

Tahun 2009 dan menurut ketentuan Pasal 51 ayat 2 Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus

perkara yang dimohonkan kasasi itu. Dengan demikian, putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah final, yang menurut istilah

R. Subekti disini dikatakan bahwa Hakim Kasasi dalam memutus perkara

tersebut duduk diatas kursi yudex facti karena ia memutusi apa yang

biasanya wewenang yudex facti (Pengadilan Negeri atau Pengadilan

Tinggi).

B. Upaya Hukum Luar Biasa

1. Prosedur Administrasi Peninjauan Kembali

Pada dasarnya prosedural administrasi pengajuan permohonan peninjauan

kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf

(a) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, setelah perkara

diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara

diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum bisa ditemukan, dilakukan dalam

jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal

putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memounyai kekuatan hukum tetap.

Sedangkan alasannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2

huruf (b) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, dalam putusan

hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, dilakukan dalam

jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal putusan yang

dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.

Hal ini senada dengan pasal 69 Undang-undang No. 14 tahun 1985 yang

mengatur tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kembali. Pasal tersebut

menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan berdasarkan

alasan harus diajukan dalam tenggang waktu 180 hari untuk :

Hukum Acara Perdata Page 17

(a) Yang tersebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat

atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan

telah diberitahukan kepada para pihak yang berpekara.

(b) Yang disebut pada huruf b sejak diketemukan surat-surat bukti, yang hari

serta tanggal diketemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan

disahkan oleh pejabat berwenang.

(c) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan meperoleh kekuatan

hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.

Kemudian, pernyataan peninjauan kembali dapat diminta apabila panjar

perkara yang ditaksir dalam SKUM oleh meja pertama Panitra Muda Perdata yang

telah dibayar lunas. Dalam menaksir biaya peninjauan kembali ini, ditentukan

dengan besarnya biaya peninjauan kembali yang ditentukan oleh ketua Pengadilan

pertama dan ongkos pengiriman uang ke Mahkamah Agung ditambah dengan

biaya berupa:

Biaya registrasi (pencatatan)

Biaya pemberitahuan adanya peninjauan kembali

Ongkos pengiriman (pengiriman uang dan pengiriman berkas) dan

Biaya pengiriman jawaban peninjauan kembali ke Mahkamah Agung

Republik Indonesia

Prosedural selanjutnya apabila biaya peninjauan kembali telah dibayar

lunas, Panitra Muda Perdata wajib membuat Akta Peninjauan kembali dan

mencatat permohonan tersebut ke dalam register induk perkara peninjauan

kembali.

Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitra

Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan

peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali

berikut salinan bukti pendukung yang bersangkutan pada tanggal permohonan

peninjauan kembali didaftarkan. Panitra Pengadilan menyampaikan salinan

permohonan Peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung kepada

termohon dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal

permohonan didaftarkan. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap

Hukum Acara Perdata Page 18

permohonan peninjauan kembali yang diajukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh)

hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Panitra

Pengadilan wajib menyampaikan jawaban kepada Panitra Mahkamah Agung

dalam jangka waktu paling lambat 12 (duabelas) hari setelah tanggal permohonan

didaftarkan (pasal 297 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004).

Kemudian setelah itu berkas perkara peninjauan kembali berupa bundel A

dan B harus dikirim ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada hakikatnya,

bundel A merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan

semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara dan selalu disimpan

pada Pengadilan negeri, bundel A ini isinya sama seperti bundel A perkara Kasasi.

Sedangkan mengenai bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara yang

diawali dengan permohonan pernyataan kasasi dan peninjauan kembali serta

semua kegiatan berkenaan dengan adanya peninjauan kembali dan Kasasi yang

akhirnya menjadi berkas perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia. Adapun

mengenai bundel B untuk perkara peninjauan kembali terdiri atas:

Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung kepada Pemohon

dan Termohon atau relaas pemberitahuan isi Putusan Pengadilan negeri (bila

permohonan peninjauan kembali itu diajukan atas Putusan Pengadilan negeri)

Akta permohonan peninjauan kembali

Surat permohonan peninjauan kembali, dilampiri dengan surat bukti

Tanda terima surat permohonan peninjauan kembali

Surat Kuasa Khusus

Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali

kepada pihak lawan

Salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung

Tanda bukti setoran biaya peninjauan kembali dari Bank dan

Surat-surat lainnya yang sekiranya ada.

Dalam praktik, setelah para pihak selesai mempelajari/memeriksa berkas perkara

(inzage) dan di tuangkan dalam akta ekploit lalu berkas peninjauan kembali

dikirim kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia

2. Alasan-alasan Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali

Hukum Acara Perdata Page 19

Hakikat principal dari permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan

secara tertulis atau apabila permohonan tidak dapat menulis diajukan dengan

dengan lisan  dan menyebut alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan dan

dimasukan di Kepanitraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam

tingkat pertama ( Pasal 71 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009). Terhadap

diajukan Peninjauan Kembali, secara limitative dalam perkara perdata pada

umumnya Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pasal 266 KUHAP

dengan menyebutkan alasan-alasan Peninjauan Kembali terhadap putusan

Pengadilan yang berkekuatan hokum tetap adalah:

a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang

pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum

ditemukan.

Pada asasnya, Aspek ini lazim disebut dengan istilah Novum, dan

mengenai tenggang waktunya adalah 180 hari (seratus delapan puluh) hari

setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh

kekuatan hukum tetap (Pasal 296 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun

2004 dengan hari dan tanggal ditemukan Novum dibuat dibawah sumpah serta

disahkan pejabat berwenang (Pasal 69 huruf b Undang-undang Nomor 3

Tahun 2009).

b. Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata

Pada dasarnya, pembentuk Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak

menyebutkan bagaimana dimensi dari ketentuan Pasal 295 ayat 2 huruf b

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang, dalam putusan hakim yang

bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Dikaji dari praktik peradilan,

hakikat kekeliruan yang nyata diartikan secara letterlijke tentang kekeliruan

yang nyata sebagaimana bunyi Undang-Undang dan kemudian di

implementasikan sebagai kesalahan berat dalam penerapan hukum.

Dalam pasal 67 Undang-undang No. 15 tahun 1985 dinyatakan, bahwa

permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai

beikut:

Hukum Acara Perdata Page 20

(a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat

pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan

pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

(b) Apabila setelah pekara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksan tidak dapat diketemukan.

(c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada

yang dituntut.

(d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya.

(e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,

atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya

telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan lain.

(f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kehilafan hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata.

Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:

(a) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohonan secara tertulis

dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar

permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang

memutus perkara dalam tingkat pertama.

(b) Apabila pemohon tidak pandai menulis, maka ia menguraikan

permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang

memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh

Ketua Pengadilan Negeri yang akan membuat catatan tentang permohonan

tersebut.

3. Putusan Peradilan Peninjauan Kembali

Pada dasarnya, putusan peradilan terhadap Peninjauan Kembali dalam

perkara perdata dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

a. Putusan yang menyatakan bahwa permohona peninjauan kembali tidak

dapat diterima

Suatu permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan tidak dapat diterima

(niet ontvankelijk verklaard) karenan pemohon terlambat mengajukan Peninjauan

Hukum Acara Perdata Page 21

Kembali sebagaimana ditentukan Pasal 69 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009,

permohonan Peninjauan Kembali Tanpa adanya surat kuasa, atau surat kuasa tidak

khusus dibuat untuk Peninjauan Kembali, atau dapat juga disebabkan Peninjauan

Kembali diajukan untuk kedua kalinya, serta Peninjauan Kembali dimohonkan

terhadap Putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hokum tetap

( inkracht van gewisjde ). Tegasnya, permohonan Peninjauan Kembali dilakukan

tidak memenuhi syarat formal (formalitas) sebagaimana ditentukan oleh Undang-

undang.

b. Putusan yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali ditolak

Permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan ditolak apabila Mahkamah

Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali

yang diajukan oleh pemohon tidak beralasan (Pasal 74 ayat 2 Undang-undang

nomor 3 Tahun 2009). Alasan ini dapat disebabkan permohonan Peninjauan

Kembali tidak didukung oleh fakta atau keadaan yang merupakan alasan dan

menjadi dasar permohonan Peninjauan Kembali, atau dapat pula disebabkan

alasan-alasan permohonan  Peninjauan Kembali tidak sesuai alasan-alasan yang

ditetapkan secara limitative sebagaimana ketentuan Pasal 67 huruf a Undang-

undang nomor 3 Tahun 2009 atau juga dapat disebabkan putusan yudex facti yang

dimohonkan Peninjauan Kembali tidak melanggar alas an-alasan permohonan

Peninjauan Kembali.

c. putusan yang meyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali

dikabulkan

Suatu Permohonan Peninjauan Kembali akan dikabulkan apabila

Mahkamah Agung Republik Indonesia membenarkan alasan-alasan permohonan

Peninjauan Kembali karena sesuai dengan ketentuan Pasal 67 Undang-undang

nomor 3 Tahun 2009. Dalam hal Mahkamah Agung Republik Indonesia

mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung akan

membatalkan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut dan

selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri Perkaranya (Pasal 74 ayat 1 Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2009.

Hukum Acara Perdata Page 22

Pada hakikatnya dalam putusan perdata niaga pada umumnya pembatalan

putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali atau pengabulan permohonan

Peninjauan Kembali dapat mengenai seluruh bagian putusan atau sebagian

/seluruhnya dari gugatan.

Sedangkan putusan di bidang pidana berdasarkan pasal 266 ayat 2

KUHAP dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum,

pidana ringan, menolak tuntutan jaksa jika alasan-alasan permohonan dibenarkan

MA. Dan jika alasan permohonan tidak dibenarkan maka permintaan PK akan

ditolak MA.

C. ANALISIS KASUS

POSISI KASUS

Kasus ini berawal dari peminjaman atas uang dan emas oleh Parlindungan

Harahap (selanjutnya disebut sebagai Tergugat I) ) dan Nuria br. Simatupang

(selanjutnya disebut Tergugat II) dari almarhum Imbalo Harahap pada tanggal 8

Juli 1978. Pinjaman tersebut diberikan dengan jaminan rumah dan pekarangan

milik kedua tergugat. Dalam perjanjian utang-piutang tersebut dinyatakan bahwa

Tergugat I dan Tergugat II akan melunasi utangnya pada tanggal 3 Januari 1979.

Jatuh tempo pinjaman tersebut kemudian diperpanjang hingga tanggal 1 Mei

1979.

Ternyata sampai dengan tanggal jatuh tempo, Tergugat I dan Tergugat II

tidak melunasi utang tersebut. Bahkan ketika Imbalo Harahap meninggal dunia,

hutang tersebut belum juga dibayar. Sedangkan tanah jaminan berikut bangunan

diatasnya, dengan tanpa hak, telah ditempati oleh Pendi Harahap, Deliana br

Lubis, Ishak Pane dan Sayur Siregar (selanjutnya disebut Tergugat III, Tergugat

IV, Tergugat V dan Tergugat VI). Atas piutang ini, Hj. Badariah Mawar Harahap

(isteri almarhum Imbalo Harahap) kemudian mengajukan gugatan Wanprestasi ke

PN Padang Sidempuan dengan nomor register 16/Pdt.G/1997PN.Psp.

Dalam putusannya, Majelis Hakim PN Padang Sidempuan memenangkan gugatan

Penggugat untuk sebagian serta menghukum Tergugat I dan Tergugat II

Hukum Acara Perdata Page 23

membayar hutang uang sebanyak Rp. ½ x 6.708.357 = Rp.3.354.178,5 kepada

Penggugat. Selain itu, Majelis Hakim dalam putusannya juga menghukum

Tergugat I dan Tergugat II membayar hutang emas 24 karat seberat 11,250 gram

sekaligus dan tunai. Majelis Hakim PN Padang Sidempuan juga menyatakan

penguasaan Tergugat III, Tergugat IV, Tergugat V dan Tergugat VI atas rumah

dan tanah perkara adalah tanpa hak dan menghukum Tergugat III, Tergugat IV,

Tergugat V dan Tergugat VI atau orang lain yang mendapat hak dari mereka atau

orang lain yang mendapat hak dari orang lain untuk menyerahkan rumah dan

tanah perkara dalam keadaan baik dan kosong kepada Penggugat untuk dijual

lelang oleh PN Padang Sidempuan melalui Kantor Lelang Negara.

Atas Putusan PN Padang Sidempuan tersebut, para Tergugat kemudian

mengajukan Banding melalui Pengadilan Tinggi (PT) Medan dengan Nomor

385/Pdt.G/1997/PT.Mdn. Dalam putusannya, PT Medan membatalkan Putusan

PN Padang Sidempuan dan mengadili sendiri. Isi dari putusan PT itu sendiri sama

dengan putusan PN Padang Sidempuan, hanya saja dalam putusan PT dinyatakan

bahwa putusan tersebut merupakan putusan verstek.

Atas putusan PT Medan, para Tergugat kemudian mengajukan Kasasi. Atas

permohonan Kasasi tersebut Mahkamah Agung dalam Amar Putusannya yang

terdaftar dengan Nomor 4080 K/Pdt/1998, menolak Permohonan Kasasi para

Pemohon/Tergugat asal (Tergugat III, Tergugat IV, Tergugat V dan Tergugat VI)

dengan pertimbangan bahwa terhadap putusan verstek tidak dapat diajukan kasasi.

Namun apabila ada pihak yang keberatan dengan putusan verstek tersebut maka

pihak yang keberatan tersebut dapat mengajukan verzet.

Sebelum Putusan dari MA turun (13 Juni 2002), Hj. Badariah Mawar Harahap

selaku Pengugat Asal meninggal dunia, sehingga kemudian perkara ini

dilanjutkan oleh ahli warisnya, yaitu H. Muchtar Siregar. Berdasarkan Putusan

MA tersebut, ahli waris Penggugat Asal kemudian mengajukan permohonan

eksekusi pada tanggal 14 Oktober 2002 kepada Ketua PN Padang Sidempuan agar

segera melakukan eksekusi atas putusan tersebut. Sebelumnya, pada tanggal 9 Juli

2002 Muchtar Siregar juga telah mengajukan permohonan kepada Kepala PT

Hukum Acara Perdata Page 24

Medan yang intinya adalah sudah lewatnya tenggang waktu pengajuan Verzet

sehingga memohon kepada Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara untuk

menyatakan bahwa Putusan PT Medan telah berkekuatan hukum tetap dan agar

putusan dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Padang Sidempuan,

memohon agar Tergugat/Terbanding/Pemohon Kasasi dipanggil agar dapat

diperiksa surat kuasa Tergugat I dan Tergugat II guna memastikan keberadaanya.

Kemudian pada tanggal 14 Januari 2003, Ketua PN Padang Sidempuan

memberikan laporan kepada Ketua PT Medan sehubungan dengan permohonan

Muchtar Siregar terhadap pelaksanaan putusan tersebut yang berisi jawaban atas

permohonan Muchtar Siregar. Ketua PN Padang Sidempuan mengatakan bahwa

para Tergugat telah diberi peringatan (aanmaning). Namun karena Penggugat

belum menyetorkan biaya maka eksekusi tidak bisa dilakukan karena tidak ada

biaya eksekusi. Kemudian pada tanggal 12 Februari 2003 Muchtar Siregar melalui

kuasa hukumnya Melur Lubis SH, kemudian mengajukan permohonan kepada

Ketua PT Medan mengenai eksekusi atas putusan MA tersebut, sekaligus

mengkoreksi laporan Ketua PN Padang Sidempuan karena pada tanggal 14

Januari 2003 Muchtar Siregar telah mendatangi Ketua PN Padang Sidempuan

untuk menyetor biaya eksekusi tersebut. Namun Muchtar Siregar tidak berhasil

menemui Ketua PN karena Ketua PN menolak untuk bertemu dan menugaskan

Panitera Kepala untuk bertemu dengan Muchtar Siregar.

Pada tanggal 18 Februari 2003 Ketua PN Padang Sidempuan memberikan

informasi kepada Muchtar Siregar bahwa Tergugat II masih hidup terbukti dengan

surat kuasa yang diberikan Tergugat II kepada Supratman Sidahuruk, SH. Untuk

kebenarannya, Pengadilan minta kuasa hukumnya untuk menghadirkan Tergugat

II dan Muchtar Siregar diminta hadir pada tanggal 24 Februari 2003 untuk

menyaksikannya. Berdasarkan surat tertanggal 25 Februari 2003, Muchtar Siregar

meminta segera dilaksanakan eksekusi terhadap Tergugat III dan Tergugat IV

yang telah menempati tanah jaminan tersebut. Sedangkan kepada Tergugat II

pelaksanaan eksekusinya masih menunggu penyidikan lebih lanjut atas pengaduan

dari Muchtar Siregar yang menganggap Tergugat II melakukan penipuan dengan

Hukum Acara Perdata Page 25

cara menghilangkan diri dari tuntutan perdata yang mengiringinya, Hal tersebut

diikuti pula somasi yang diajukan oleh Kuasa Hukum Muchtar Siregar, terhadap

Tergugat II tanggal 14 Maret 2003.

Pada tanggal 21 Maret 2003 Ketua PN Padang Sidempuan mengajukan

jawaban tertulis atas surat Kuasa Hukum Muchtar Siregar tertanggal 14 Maret

2003 yang mempertanyakan kembali perihal pelaksanaan eksekusi kepada

Tergugat III dan Tergugat IV. Adapun isi dari jawabannya tersebut adalah KPN

Padang Sidempuan membatalkan putusan PN, PT dan MA mengenai eksekusi

atas tanah jaminan dimaksud. Pertimbangan pembatalan Putusan tersebut antara

lain karena Tergugat II telah membayar seluruh hutang-hutangnya secara sukarela

kepada Penggugat, pembayaran tersebut dititipkan di Kepaniteraan Pengadilan

Negeri Padang Sidempuan. Dengan demikian Ketua PN Padang Sidempuan

menilai eksekusi pengosongan tidak perlu dilaksanakan.

Menurut penulis bahwa perkara peminjaman atas uang dengan

memberikan jaminan rumah dan pekarangan, dalam kasus ini tergugat I dan

tergugat II tidak mau melaksanakan putusan pengadilan Negri sidempuan yang

menjatuhkan putusan bahwa tergugat I dan Terguagat II harus membayar hutang

uang sebanyak Rp. ½ x 6.708.357 = Rp.3.354.178,5 kepada Penggugat. Selain itu,

Majelis Hakim dalam putusannya juga menghukum Tergugat I dan Tergugat II

membayar hutang emas 24 karat seberat 11,250 gram sekaligus dan tunai dalam

putusan tingkat pertama, akan tetapi tergugat I dan Tergugat II tidak puas dengan

putusan dari pengadilan negri sidempuan sehingga mengajukan banding dengan

Nomor 385/Pdt.G/1997/PT.Mdn untuk mendapatkan putusan yang adil menurut

para terguagat, dan putusan yang di berikan oleh pengadilan tinggi medan

dinyatakan bahwa putusan tersebut merupakan putusan verstek artinya tergugat

tidak hadir dalam persidangan di pengadilan tinggi saat mengajukan banding

sehingga hasil putusanya sama dengan pengadilan Negri sidempuan, para tergugat

merasa tidak puas, sehingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam

Amar Putusannya yang terdaftar dengan Nomor 4080 K/Pdt/1998, menolak

Permohonan Kasasi para Pemohon/Tergugat asal (Tergugat III, Tergugat IV,

Hukum Acara Perdata Page 26

Tergugat V dan Tergugat VI) dengan pertimbangan bahwa terhadap putusan

verstek tidak dapat diajukan kasasi. Namun apabila ada pihak yang keberatan

dengan putusan verstek tersebut maka pihak yang keberatan tersebut dapat

mengajukan verzet. Dari hasil analisis kasus di atas penulis bisa menunjukkan

bahwa upaya hukum yang di berikan oleh pengadilan Negri di mana kasus itu di

persidangkan adalah jenis upaya hukum biasa karena dalam upaya hukum biasa

terdiri dari mengajukan Verzet, Banding dan Kasasi, itu semua adalah hak yang

dimiliki para tergugat untuk membela dirinya dalam mendapatkan putusan yang

seadil – adilnya dalam perkara tersebut.

KESIMPULAN

Dari kedua jenis upaya hukum yang telah dipaparkan di atas dengan

berbagai persamaan dan perbedaannya maka perlulah kita mengetahui tujuan dari

upaya hukum itu sendiri adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum dengan

mengadakan peradilan di tingkat yang berbeda. Transparansi hukum juga akan

terlihat, karena pada hakikatnya orang yang melakukan upaya hukum adalah

orang yang mempertahankan haknya untuk mendapatkan rasa keadilan yang

tentunya relatif dan subjektif. dan dalam kasusu yang di bahas oleh penulis

termasuk dalam pemberian upaya hukum biasa dengan hak – hak yang dimiliki

oleh para terguagat.

Hukum Acara Perdata Page 27

DAFTAR PUSTAKA

1. Krisna Harahap S.H. 2003. Pengdilan Negeri, Poengadilan Tinggi,

Mahkamah Agung Dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Rineka Cipta.

2. Mr. R . Tresna. 2005. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita.

3. Prof Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. 1982. Hukum Acara Perdata

Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

4. Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, 2008. Hukum Acara Pidana

Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika.

5. Prof. Dr. Soepomo, S.H. 1993, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri.

Jakarta: pradnya paramita.

6. Retnowulan Sutantio, S.H. Iskandar Oeripkartawinata S.H. 2002, Hukum

Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Mandar Maju, Bandung,.

Hukum Acara Perdata Page 28