makalah skizofrenia

44
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentuk gangguan psikosis berbeda pada beberapa hal penting, namun sama-sama memiliki ciri utama gangguan hebat dalam pengalaman realitas individu mengenal dunia dan dirinya. Orang dengan gangguan psikotik memiliki kesulitan berfikir atau berbicara dengan selaras dan terganggu, dan mungkin tersiksa oleh gambaran atau suara yang hidup. Episode psikotik adalah salah satu hal yang paling menakutkan dan menyiksa dari pengalaman manusia, namun mungkin lebih menakutkan lagi adalah ketidakmampuan mereka untuk mengontrol. Distres orang-orang yang mengalami episode psikotik diperburuk dengan ketakutan dan aversi perilaku seperti itu yang terjadi pada orang lain. Sulit bagi orang awam untuk tidak terganggu dengan keeksentrikan dan pengembaraan yang aneh dari orang yang dalam keadaan psikotik. Karena orang yang memiliki gangguan psikotik sangat sering ditolak oleh orang lain, mereka sering terisolasi dan memiliki sedikit kesempatan untuk melakukan interaksi sosial. Skizofrenia mungkin merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan dan melumpuhkan. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Hal ini sering kali menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya simpati dan perhatian. Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara pemikiran

Upload: nabila-salsabila

Post on 08-Dec-2015

90 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Skizofrenia merupakan salah satu pembahasan dalam psikologi abnormal. gangguan skizofrenia biasanya terjadi pada remaja ataupun orang dewasa.

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bentuk gangguan psikosis berbeda pada beberapa hal penting, namun sama-sama

memiliki ciri utama gangguan hebat dalam pengalaman realitas individu mengenal dunia

dan dirinya. Orang dengan gangguan psikotik memiliki kesulitan berfikir atau berbicara

dengan selaras dan terganggu, dan mungkin tersiksa oleh gambaran atau suara yang hidup.

Episode psikotik adalah salah satu hal yang paling menakutkan dan menyiksa dari

pengalaman manusia, namun mungkin lebih menakutkan lagi adalah ketidakmampuan

mereka untuk mengontrol. Distres orang-orang yang mengalami episode psikotik

diperburuk dengan ketakutan dan aversi perilaku seperti itu yang terjadi pada orang lain.

Sulit bagi orang awam untuk tidak terganggu dengan keeksentrikan dan pengembaraan

yang aneh dari orang yang dalam keadaan psikotik. Karena orang yang memiliki gangguan

psikotik sangat sering ditolak oleh orang lain, mereka sering terisolasi dan memiliki sedikit

kesempatan untuk melakukan interaksi sosial.

Skizofrenia mungkin merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan dan

melumpuhkan. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan

dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Hal ini sering kali menimbulkan

rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya simpati dan perhatian.

Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara pemikiran

dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan

konsepsi yang tidak logis.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti yang telah dipikirkan orang awam

sebelumnya mengenai orang penderita skizofrenia, oleh karenanya Penulis menuangkan

berbagai hal mengenai gangguan skizofrenia dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah konsep skizofrenia?

2. Bagaimana konsep skizofrenia secara umum?

3. Apa saja bentuk-bentuk lain gangguan psikotik?

4. Bagaimana perspektif teoritis tentang skizofrenia?

5. Apa saja treatment yang bisa digunakan untuk mengatasi skizofrenia?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah konsep skizofrenia.

2. Untuk mengetahui konsep skizofrenia secara umum.

3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk lain gangguan psikotik.

4. Untuk mengetahui perspektif teoritis tentang skizofrenia.

5. Untuk mengetahui treatment yang bisa digunakan untuk mengatasi skizofrenia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Skizofrenia

Konseptualisasi modern tentang skizofrenia sebagian besar dibentuk oleh kontribusi

dari Emil Kraepelin, Eugen Bleuler, dan Kurt Schneider.

1. Emil Kraepelin

Kraepelin adalah salah seorang bapak psikiatri modern, menyebut gangguan

skizofrenia sebagai dementia praecox. Istilah ini diambil dari bahasa Latin dementis,

yang berarti “di luar” (de-) jiwa seseorang (mens), dan akar yang memebentuk kata

precocius, berarti “sebelum” tingkat “kematangan” dari seseorang. Dementia praecox

selanjutnya mengacu pada gangguan prematur (premature impairement) dari

kemampuan mental. Kraepelin meyakini bahwa dementia praecox adalah sebuah

proses penyakit yang disebabkan oleh patologi yang spesifik, meskipun tidak

diketahui, di dalam tubuh. Istilah ini dianggap sebagai degenarasi otak yang dimulai di

usia muda dan menyebabkan disintegrasi keseluruhan kepribadian. Kraepelin percaya

bahwa gangguan halusinasi, delusi, dan perilaku ganjil yang terlihat pada orang-orang

skizofrenia dapat dilacak pada abnormalitas fisik atau penyakit.

2. Eugen Bleuler

Pada tahun 1911, Psikiater Swiss Eugen Bleuler (1857-1939) mengganti nama

dementia praecox menjadi skizofrenia, dari kata Yunani schitos, yang berarti

“terpotong” atau “terpecah”, dan phren berarti “otak”. Dalam melakukan hal ini,

Bleuler memfokuskan pada karakterstik utama dari sindrom, yaitu terpisahnya fungsi

otak yang mempengaruhi kognisi, respons-respons perasaan atau afektif, dan tingkah

laku. Tidak seperti Kraepelin, Bleuler berfikir bahwa hal yang mungkin bagi orang

dengan skizofrenia untuk sembuh dari gangguannya. Di samping itu, Bleuler

menganggap skizofrenia mewakili sekelompok gangguan. Meskipun ia menulis

tentang gangguan tersebut hampir seabad lalu, gagasan Bleuler tentang skizofrenia

masih berpengaruh hingga sekarang.

Bleuler meyakini bahwa skizofrenia dapat dikenali berdasarkan empat ciri atau

simtom primer. Saat ini kita menyebutnya sebagai empat A:

1) Asosiasi; gangguan berfikir, dapat dibuktikan dari adanya ucapan yang melantur

dan tidak koheren.

2) Afek; gangguan pengalaman dan ekpresi emosi. Seseorang mungkin menunjukan

hilangnya respons terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan, atau tertawa

terbahak-bahak setelah mendengar anggota keluarga atau teman meninggal dunia.

3) Ambivalensi; ketidakmampuan untuk membuat atau mengikuti keputusan.

Seseorang yang menderita skizofrenia memiliki perasaan ambivalen atau konflik

terhadap orang lain, seperti mencintai dan membenci mereka pada saat yang sama.

4) Autisme; kecenderungan untuk mempertahankan gaya eksentrik dari pemikiran

dan perilaku egosentris. Istilah ini menjelaskan penarikan diri ke dunia fantasi

pribadi yang tidak terikat oleh prinsip-prinsip logika.

Dalam pandangan Bleuler, halusinasi dan waham mewakili “simtom sekunder”,

simtom-simtom yang menyertai simtom-simtom primer namun tidak menjelaskan

gangguan. Bleuler sangat dipengaruhi oleh teori psikodinamika. Dia yakin bahwa isi

halusinasi dan waham dapat dijelaskan sebagai usaha usaha untuk menggantikan dunia

luar dengan sebuah dunia fantasi.

3. Kurt Schneider

Schneider meyakini bahwa kriteria dari Bleuler (empat A) terlalu samar untuk

tujuan diagnostik dan kriteria itu gagal untuk membedakan secara adekuat antara

skizofrenia dengan gangguan lainnya. Kontribusi Schneider yang paling penting

adalah membedakan antara ciri-ciri skizofrenia yang diyakininya sebagai inti untuk

diagnosis. Schneider menyebutnya simtom peringkat pertama (first-rank symptoms),

dan simtom peringkat kedua (second-rank symptoms), yang diyakininya tidak hanya

ditemukan pada skizofrenia, namun juga pada gangguan psikosis lain dan pada

beberapa gangguan nonpsikosis, seperti gangguan kepribadian. Dalam pandangan

Schneider, apabila simtom peringkat pertama muncul dan tidak disebabkan oleh faktor

organik, maka diagnosis skizofrenia dapat ditegakan. Halusinasi dan waham adalah

simtom peringkat pertama yang utama. Gangguan mood dan kekacauan pikiran

dianggap sebagai simtom peringkat kedua. Meskipun peringkat Schneider untuk

perilaku yang terganggu membantu membedakan skizofrenia dari gangguan lainnya,

sekarang kita mengetahui bahwa simtom peringkat pertama terkadang juga dijumpai

pada orang yang mengalami gangguan lain, terutama gangguan bipolar.

B. Skizofrenia

Skizofrenia (schizophrenia) adalah gangguan dengan serangkaian simtom yang

meliputi gangguan konteks berfikir, bentuk pemikiran, persepsi, afek, rasa terhadap diri

(sense of self), motivasi, perilaku, dan fungsi interpersonal. Skizofrenia menyentuh setiap

aspek kehidupan dari orang yang terkena. Episode akut dari skizofrenia ditandai dengan

waham, halusinasi, pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku

yang aneh. Diantara episode-episode akut, orang yang mengalami skizofrenia mungkin

tetap tidak dapat berfikir secara jernih dan mungkin kehilangan respons emosional yang

sesuai terhadap orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya.

Skizofrenia biasanya berkembang pada masa remaja akhir atau dewasa awal, tepat

pada saat orang mulai keluar dari keluarga menuju dunia luar (Cowan & Kandel, 2001;

Harrop & Tower, 2001). Orang yang mengidap skizofrenia semakin lama semakin terlepas

dari masyarakat. Merek gagal untuk berfungsi sesuai peran yang diharapkan sebagai

pelajar, pekerja, atau pasangan, dan keluarga serta komunitas mereka menjadi kurang

toleran terhadap perilaku mereka yang menyimpang. Gangguan ini biasanya berkembang

pada akhir masa remaja atau awal usia 20 tahun-an, pada masa di mana otak sudah

mencapai kematangan yang penuh. Pada sekitar tiga dari empat kasus, tanda-tanda pertama

dari skizofrenia tampak pada usia 25 tahun (Keith, Reiger & Rae, 1991).

Pada kebanyakan kasus, terjadi penurunan yang lebih perlahan dan berangsur-

angsur dalam fungsi individu. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun sebelum perilaku

psikotik muncul, meskipun tanda-tanda awal dari kemunduran mungkin dapat diamati.

Periode kemunduran ini disebut sebagai fase prodromal.

Karakteristik fase predromal

1) Berkurangnya minat dalam aktivitas social

2) Meningkatnya kesulitan dalam memenuhi tanggung jawab di kehidupan sehari-hari.

3) Menjadi kurang peduli akan penampilannya, mereka tidak mandi secara teratur atau

menggunakan pakaian yang sama secara berulang-ulang.

4) Terjadi penurunan-penurunan dalam perrforma kerja dan tugas sekolah.

5) Pembicaraan mereka semakin tidak jelas dan melantur

Mulanya perubahan-perubahan dalam kepribadian tersebut terjadi secara bertahap

sehingga hanya sedikit menarik perhatian dari teman-teman dan keluarga. Seiring waktu,

perilaku mereka menjadi bertambah aneh atau eksentrik seperti menimbun makanan,

mengumpulkan sampah, atau berbicara sendiri di jalan-jalan. Fase akut dari gangguan

skizofreniapun dimulai. Simtom-simtom psikotik yang sebenarnya berkembang, seperti

halusinasi, waham, dan meningkatnya perilaku yang aneh.

Fase selanjutnya setelah episode akut adalah fase residual yaitu fase dimana

perilaku mereka kembali pada tingkat sebelumnya yang merupakan karakteristik dari fase

prodmoral. Meskipun perilaku psikotik yang mencolok mungkin tidak muncul selama fase

residual, orang tersebut tetap dapat terganggu oleh perasaan apatis yang dalam, oleh

kesulitan dalam berfikir atau berbicara dengan jelas, dan menyimpan ide yang tidak biasa,

seperti keyakinan tentang telepati atau pandangan akan masa depan. Secara umum

kemungkinan seseorang untuk menjadi kembali normal memiliki presentase yang kecil,

kebayakan dari mereka justru mengalami pola kronis, yang ditandai dengan terjadinya

episode-episode psikotik akut dan berlanjutnya hendaya kognitif, emosional, dan

motivasional antarepisode (Wiersma dkk., 1998; USDHHS, 1999a).

Prevalensi Skizofrenia

Menurut hasil penelitian multinasional World Helath Organization (WHO), jumlah

rata-rata penderita skizofrenia tampak serupa pada budaya maju maupun sedang

berkembang (Jablensky dkk., 1992).

Laki-laki cenderung memiliki resiko yang sedikit lebih tinggi untuk mengalami

skizofrenia (APA, 2000). Perempuan cenderung mengalami gangguan pada usia yang lebih

lanjut daripada laki-laki dengan usia awal kemunculan simtom terjadi paling banyak antara

usia 25 sampai pertengahan 30 tahun untuk perempuan dan antara usia 15 sampai 25 tahun

pada laki-laki (APA, 2000). Perempuan juga cenderung mencapai tingkatan fungsi yang

lebih tinggi sebelum munculnya gangguan dan memiliki perjalanan penyakit yang kurang

parah daripada laki-laki ( Hafner,dkk., 1998; USDHHS, 1999a).

Meskipun terjadinya skizofrenia tampak bersifat universal pada semua budaya,

tahapan gangguan dan simtom-simtomnya mungkin bervariasi pada tiap budaya (Thakker

& Ward, 1998). Dalam penelitian yang diadakan di sebuah rumah sakit Inggris di Kenyam

para peneliti menemukan bahwa penderita Skizofrenia dengan latar belakang Afrika, Asia,

atau Jamaika sekitar dua kali lebih cenderung mengalami halusinasi visual dibandingkan

mereka dengan latar belakang Eropa (Ndetei & Vadher, 1984).

Ciri-ciri Skizofrenia

Skizofrenia adalah penyakit yang mempengaruhi lingkup yang luas dari proses

psikologis mencakup kognisi, afek,dan perilaku (Arango, Krikpatrick, & Buchanan, 2000).

Orang-orang dengan skizofrenia menunjukan kemunduran yang jelas dalam fungsi

pekerjaan dan sosial. Mereka mungkin mengalami kesulitan mempertahankan

pembicaraan, membentuk pertemanan, mempertahankan pekerjaan, atau memperhatikan

kebersihan pribadi mereka. Namun demikian tidak ada satu pola perilaku yang unik pada

skizofrenia, demikian pula tidak ada satu pola perilaku yang selalu muncul pada penderita

skizofrenia. Penderita skizofrenia mungkin menunjukan waham, masalah dalam berfikir

asosiatif, dan halusinasi, pada satu atau lain waktu, namun tidak selalu semua tampil pada

saat bersamaan. Juga terdapat perbedaan ragam atau jenis skizofrenia, dicirikan oleh pola-

pola perilaku yang berbeda.

Laki-laki penderita skizofrenia tampak berbeda dari perempuan yang mengalami

gangguan ini dalam beberapa hal. Mereka cenderung mengalami onset pada usia yang

lebih muda, memiliki tingkat penyesuaian diri yang lebih buruk sebelum menunjukan

tanda-tanda gangguan, dan memiliki lebih banyak gangguan kognitif, defisit tingkah laku,

dan reaksi yang lebih buruk terhadap terapi obat dibandingkan perempuan yang mengalami

skizofrenia (Gorwood dkk., 1995; Ragland dkk., 1999). Perbedaan-perbedaan tersebut

membuat para peneliti memperkirakan bahwa laki-laki dan perempuan cenderung

mengembangkan bentuk skizofrenia yang berbeda. Mungkin skizofrenia mempengaruhi

daerah otak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan, yang mungkin menjelaskan

perbedaan-perbedaan dalam bentuk atau ciri-ciri gangguan antargender.

Karakteristik Diagnostik Skizofrenia

Orang dengan gangguan ini mengalami gangguan yang berlangsung setidaknya 6

bulan dan meliputi setidaknya 1 bulan simtom aktif, termasuk setidaknya 2 dari simtom

berikut:

Gangguan pada isi fikiran: Delusi

Halusinasi

Pembicaraan yang tidak koheren atau ditandai oleh asosiasi longgar

Perilaku yang mengganggu atau perilaku katatonik.

Simtom negatif, seperti afek datar atau kurangnya motivasi yang parah.

Fungsi pada bidang-bidang seperti hubungan sosial, pekerjaan, atau perawatan diri

selama perjalanan penyakit secara nyata berada di bawah tingkatan yang dapat dicapai

sebelum munculnya gangguan. Apabila gangguan muncul pada masa kanak-kanak atau

remaja, terdapat suatu kegagalan untuk mencapai tingkat perkembangan sosial yang

diharapkan.

Tanda-tanda gangguan terjadi secara terus-menerus selama masa setidaknya 6

bulan. Masa 6 bulan ini harus mencakup fase aktif yang berlangsung setidaknya satu bulan

di mana terjadi simtom psikotik (terdaftar pada A), yang merupakan karakteristik

skizofrenia.

Gangguan tidak dapat diatribusikan sebagai dampak zat-zat tertentu (misalnya,

penyalahgunaan zat atau pengobatan yang diresepkan atau pada kondisi medis umum.

Sumber: DSM-IV-R (APA, 2000)

Berikut adalah penjelasan dari karakteristik/ciri-ciri gangguan skizofrenia:

1. Gangguan dalam isi fikiran (delusi/waham)

Skizofrenia ditandai dengan gangguan dalam pemikiran atau keyakinan yang salah

yang menetap pada pikiran seseorang tanpa mempertimbangkan dasar yang logis dan tidak

adanya bukti untuk mendukung keyakinan tersebut. Waham ini cenderung tidak

tergoyahkan meskipun dihadapkan pada bukti yang bertentangan. Waham dapat memiliki

bentuk yang berbeda. Beberapa yang umum adalah:

a. Waham persekusi.

b. Waham refrensi.

c. Waham dikendalikan.

d. Waham kebesaran.

Waham lain yang umumnya terjadi meliputi pemancaran pikiran (meyakini entah

bagaimana pikirannya disebarkan ke dunia luar sehingga orang lain dapat mendengarnya),

penyisipan pikiran (meyakini bahwa pikirannya telah ditanamkan pada otaknya oleh pihak

luar), dan penarikan pikiran (meyakini bahwa pikirannya telah dipindahkan dari dalam

otaknya). Mellor memberikan beberapa contoh pemancaran pikiran, penyisipan pikiran,

dan penarikan pikiran sebagai berikut:

Pemancaran pikiran: seorang mahasiswa berusia 21 tahun melaporkan, “Saat saya

berpikir, pikiran saya meninggalkan otak saya dalam bentuk sepertipita mental.

Setiap orang di sekitar saya hanya perlu menyalurkan pita itu melalui otak mereka

dan mereka akan mengetahui pemikiran saya.”

Penyisipan Pikiran: Seorang ibu rumah tangga berusia 29 tahun melaporkan bahwa

ketika ia melihat keluar jendela, ia berpikir. “Kebun itu tampak indah dan

rumputnya tampak bagus, tapi pikiran dari (nama seorang pria) masuk ke otak saya.

Tidak ada pikiran lain disana, hanya ada miliknya... Ia memperlakukan pikiran saya

seperti sebuah layar dan menyorotkan pemikirannya pada layar seperti kam

menyorot sebuah gambar.”

Penarikan Pemikiran: Seorang perempuan berusia 22 tahun mengalami hal berikut:

“Saya berfikir tentang ibu saya, dan tiba-tiba pikiran saya ditarik oleh sebuah

penyedot isi kepala, dan tidak ada apa pun di otak saya, kosong.

2. Gangguan Pada Persepsi: Halusinasi

Halusinasi, bentuk gangguan persepsi yang paling umum pada skizofrenia, adalah

gambaran yang dipersepsi tanpa adanya stimulus dari lingkungan. Hal ini sulit dibedakan

dari kenyataan. Halusinasi dapat melibatkan setiap indra. Halusinasi audiotoris (mendengar

suara) adalah yang paling umum. Halusinasi taktil (seperti digelitik, sensasi listrik atau

terbakar) dan halusinasi somatis (seperti merasa ada ular yang menjalar di dalam perut)

juga umum dialami oleh penderita skizofrenia. Halusinasi visual (melihat sesuatu yang

tidak ada), halusinasi gustatoris (merasakan dengan lidah sesuatu yang tidak ada), dan

halusinasi olfaktoris (mencium bau yang tidak ada) lebih jarang.

Halusinasi pendengaran terjadi sekitar 70% dari kasus skizofrenia (Cleghorn dkk.,

1992). Orang yang mengalami halusinasi mungkin mendengar suara tersebut berbicara

tentang mereka dalam bentuk orang ketiga, memperdebatkan kebaikan-kebaikan atau

kesalahan-kesalahan mereka.

Halusinasi bukanlah hal yang khas pada skizofrenia. Orang-orang yang mengalami

depresi mayor dan mania terkadang mengalami halusinasi. Demikian pula halusinasi tidak

selalu merupakan tanda dari psikopatologi. Halusinasi pada orang-orang yang tidak

mengalami kondisi psikiatris sering kali dipicu oleh stimulus sensoris dalan tingkat rendah

yang tidak biasa (berbaring dalam kegelapan di ruangan yang kedap suara untuk waktu

yang lama) atau tingkat pengaktifan yang rendah (Teunisse dkk., 1996).

3. Gangguan Emosi

Gangguan afek atau respons emosional pada skizofrenia ditandai oleh afek yang

tumpul, disebut juga afek datar atau afek yang tidak sesuai. Afek datar disimpulkan dari

ketiadaan ekspresi emosi pada wajah dan suara. Orang yang mengalami skizofrenia

mungkin berbicara secara monoton dan mempertahankan wajah tanpa ekspresi, atau

“topeng”. Mereka mungkin tidak mengalami rentang normal dalam respons emosi terhadap

orang-orang dan kejadian-kejadian. Atau respons emosi mereka mungkin tidak sesuai,

seperti tertawa terhadap berita buruk.

Namun, tidak sepenuhnya jelas apakah tumpulnya emosi pada orang yang

mengalami skizofrenia adalah suatu gangguan dalam kemampuan mereka

mengekspresikan emosi, untuk melaporkan kemunculan emosi, atau untuk sungguh-

sungguh mengalami emosi (Berenbaum & Oltmans, 1990). Bukti-bukti terakhir

berdasarkan penelitian laboratoris menunjukan bahwa pasien skizofrenia mengalami emosi

negatif yang lebih intens, dibandingkan kelompok mayor (Myn-Germeys, Delespaul, &

deVrie, 2000). Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin kehilangan kapasitas

untuk mengekspresikan emosi mereka keluar (Kring & Neale, 1996).

4. Beberapa jenis gangguan lainnya

Orang yang menderita skizofrenia mungkin menjadi bingung dengan identitas

pribadi mereka. Mereka mungkin gagal untuk mengenali diri mereka sebagai individu yang

unik dan tidak jelas mengenai seberapa banyak dari fenomena ini terkadang disebut

sebagai hilangnya batasan-batasan ego. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan

memahami perspektif pihak ketiga dan tidak memandang perilaku dan ucapan mereka

sebagai hal yang tidak sesuai secara sosial pada situasi tertentu karena mereka tidak dapat

memandang segala sesuatu dari sudut pandang orang lain (Carini & Nevid, 1992). Mereka

juga mengalami kesulitan mengenali atau mempersepsikan emosi-emosi orang lain (Penn

dkk., 2000).

Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin tidak mampu melaksanakan

rencana dan mungkin kehilangan minat atau dorongan. Munculnya ambivalensi terhadap

pemilihan serangkaian tindakan mungkin menghambat aktivitas yang menghasilkan tujuan.

Orang-orang yang menderita skizofrenia mungkin menunjukan perilaku

kegembiraan yang tinggi atau liar, atau perilaku yang lambat hingga keadaan stupor.

Mereka mungkin menunjukan gerakan-gerakan yang ganjil dan ekspresi wajah yang aneh,

atau menjadi tidak responsif dan terbatas dalam gerakan spontan. Pada kasus yang ekstrem,

seperti pada skizofrenia katatonik, orang tersbut tampaknya tidak menyadari

lingkungannya atau mempertahankan postur tubuh yang kaku. Atau orang tersbut mungkin

berkeliling-keliling dengan penuh semangat namun dengan cara yang tampaknya tidak ada

tujuan.

Orang-orang yang mengalami skizofrenia juga cenderung menunjukan gangguan

yang signifikan dalam hubungan interpersonal. Mereka cenderung menarik diri dari

interaksi sosial dan asyik dengan pikiran-pikiran dan fantasi-fantasi pribadi mereka. Atau

mereka sangat terikat pada orang lain sehingga membuat orang terebut tidak nyaman.

Mereka dapat sangat didominasi oleh fantasi-fantasi mereka sendiri sehingga pada intinya

mereka kehilangan sentuhan dengan dunia luar. Mereka juga cenderung introver dan aneh

bahkan sebelum kemunculan perilaku psikotik (Berenbaum & Fujita, 1994). Tanda-tanda

awal tersebut mungkin berhubungan dengan kerentanan terhadap skizofrenia, paling tidak

pada orang-orang yang memiliki resiko genetis untuk mengembangkan gangguan ini.

Tipe Skizofrenia

Meskipun kita berbicara tentang skizofrenia sebagai gangguan tersendiri,

sebenarnya ada bermacam-macam jenis. Berdasarkan DSM-IV-TR berikut adalah tipe-tipe

skizofrenia.

1. Skizofrenia katatonik, simtom yang muncul adalah perilaku motorik yang ganjil.

2. Skizofrenia tipe disorganisasi dicirikan dengan kombinasi simtom yang meliputi

ucapan yang tidak teratur, perilaku terganggu, dan afek datar atau tidak sesuai.

Delusi dan halusinasi orang tersebut, ketika muncul, tidak koheren temanya.

Individu dengan gangguan tersebut ganjil dalam perilaku dan penampilan mereka

dan biasanya memiliki kelemahan yang serius dalam pekerjaan dan konteks sosial

yang lain.

3. Skizofrenia tipe paranoid. Penderitanya diliputi dengan satu atau lebih delusi

yang ganjil atau mengalami halusinasi auditori yang berkaitan dengan suatu tema

bahwa ia disiksa atau dilecehkan, tetapi tidak disertai ucapan yang tidak teratur atau

perilaku yang terganggu. Halusinasinya biasanya berkaitan dengan isi delusi.

Fungsi kognitif dan fungsi afek cukup normal. Orang dengan skizofrenia tipe

paranoid memiliki masalah interpersonal yang parah karena kecurigaan mereka dan

gaya argumentatif mereka.

4. Skizofrenia tipe tidak terindentifikasi digunakan ketika seseorang menunjukan

simtom skizofrenia yang kompleks, seperti delusi, halusinasi, ketidakjelasan, dan

perilaku tergangguam namun tidak sesuai dengan kriteria skizofrenia tipe katatonik

(abnormalitas gerakan), tipe disorganisasi (afek yang terganggua atau datar), atau

tipe paranoid (delusi ganjil yang sistematis).

5. Skizofrenia tipe residu. Skizofrenia tipe ini penderitanya tidak mengalami delusi,

halusinasi, ketidakjelasan, atau disorganisasi namun, mereka memiliki beberapa

simtom, seperti ketumpulan emosi, penarikan diri dari lingkungan sosial, perilaku

eksentrik, atau pemikiran yang tidak logis.

C. Bentuk-Bentuk Lain Gangguan Psikotik

Gangguan psikotik lain yang seperti skizofrenia ini memiliki tiga ciri yang sama

dengan skizofrenia:

1. Masing-masing dalam bentuk psikosis yang mewakili keterputusan yang serius

dengan realitas

2. Kondisinya tidak disebabkan oleh suatu gangguan kelemahan kognitif (misalnya

penyakit alzhaimer)

3. Gangguan mood tidak menjadi simpton utama

Bentuk-bentuk gangguan psikotik lainnya:

1. Gangguan psikotik singkat

Gangguan psikotik singkat merupakan suatu gangguan yang dicirikan dengan onset

tiba-tiba simton-simton psikotik yang berlangsung kurang dari satu bulan. Simton

tersebut biasanya muncul ketika seseorang dihadapkan pada kondisi stress.

Karakteristik:

Selama 1 hari, 1 bulan, individu dengan gangguan ini mengalami setidaknya

satu dari gejala-gejala berikut sebelum kembali berfungsi secara normal.

a. Delusi

b. Halusinasi

c. Cara bicara yang tidak tertata

d. Memunculkan perilaku katatonik atau terganggu

Kondisi ini tidak terkait dengan gangguan lain, kondisi medis, ataupun

penggunaan obat-obatan

Kondisi ini dapat ditentukan oleh:

a. Stressor tertentu

b. Tanpa stresor tertentu

c. Dengan serangan yang muncul (seperti setelah melahirkan)

2. Gangguan skizofreniform (schizophreniform disorder)

Gangguan ini memiliki gejala psikotik yang pada dasarnya sama dengan yang

ditemukan pada skizofrenia. Hal yang membedakan adalah durasi munculnya

gejala-gejala tersebut. Gejala gangguan skizofreniform ini berlangsung lebih lama

dibandingkan gejala pada gangguan psikotik singkat, namun lebih pendek apabila

dibandingkan dengan apa yang didiagnosis oleh para klinisi sebagai skizofrenia.

Biasanya, gejala aktif akan berakhir dari 1-6 bulan, apabila gejala tersebut masih

bertahan hingga lebih dari 6 bulan, klinisi akan cenderung membuat diagnosis

adanya gangguan skizofrenia.

Mayoritas penderita gangguan ini memerlukan pengobatan untuk membantu

mengontrol simtom-simtom mereka yang alami. Bagi beberapa orang, simton akan

hilang dengan sendirinya, namun biasanya penderita dengan gangguan ini

mengalami gangguan yang sangat mengganggu sehingga keluarga dan teman akan

memaksa dilakukannya suatu intervensi.

Karakteristik:

Seseorang dengan gangguan ini mengalami suatu episode (setidaknya

berdurasi 1 bulan, namun kurang dari 6 bulan) dari setidaknya dua gejala

yang berkaitan dengan skizofrenia berikut:

a. Delusi

b. Halusinasi

c. Kata-kata tidak tertata

d. Perilaku katatonik

e. Simtom-simtom negative seperti emosi yang sangat datar atau motivasi

yang sangat rendah

Simton tersebut tidak disebabkan oleh gangguan lain, suatu kondisi medis,

ataupun penggunaan obat-obatan

3. Gangguan delusi

Gangguan delusi (delusional disorder) memunculkan system psikotik tunggal yang

menonjol, suatu system yang terorganisasi yang berisi kepercayaan yang salah.

Mereka yang mengalami gangguan ini, tidak memperlihatkan simtom-simtom lain

yang mengarahkan mereka kepada diagnosis skizofrenia atau gangguan mood.

Delusi yang mereka alami menonjol dan tidak terlalu aneh bila dibandingkan

dengan penderita skizofrenia.

Para individu tersebut biasanya dapat menjalani fungsi-fungsi kehidupan

dengan baik dan memuaskan dan mereka tidak terlihat berbeda dari orang lain

kecuali pada saat mendiskusikan hal-hal tertentu yang termasuk dalam delusi

mereka.

Macam-macam gangguan delusi:

a. Tipe erotomania: bentuknya perasaan cinta, individu berkeyakinan bahwa orang

lain menyukai dirinya.

b. Tipe delusi kebesaran (grandiose): adalah suatu delusi yang wujudnya adalah

kepercaayaan bahwa dirinya adalah orang besar atau orang penting.

c. Tipe pencemburu: bahwa partnernya adalah partner yang tidak setia

d. Tipe kejaran (persecutory) atau penganiaya: bahwa mereka telah mengalami

penganiyayaan atau ditekan

e. Tipe somatis: percaya bahwa mereka memiliki sebuah penyakit dan akan segera

meninggal

Karakteristik:

Seseorang dengan gangguan ini memiliki delusi tidak aneh yang

berlangsung setidaknya 1 bulan

Mereka tidak pernah memunculkan simtom yang berkaitan dengan

skizofrenia sebelumnya, selain halusinasi taktif dan olfaktori yang mungkin

ada yang terkait dengan tema-tema delusi

Mayoritas dapat berfungsi dengan baik dan perilakunya pun tidak aneh

Apabila gangguan mood terjadi bersamaan dengan munculnya delusi,

durasinya mungkin akan singkat

Simtom-simtom tersebut tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis atau

penggunaan obat.

4. Gangguan skizoafektif (schizoaffective disorder)

Seseorang yang mengalami suatu episode depresi mayor, suatu episode mania, atau

suatu episode campuran pada saat yang bersamaan hingga mereka memenuhi

kriteria diagnostik bagi skizofrenia.

Karakteristik:

Diagnosis ini sesuai untuk mereka yang mengalami suatu periode gangguan

yang terus menerus yang mungkin juga mereka mengalami suatu episode

manic depresif, suatu periode mania, atau suatu episode campuran dari

setidaknya 2 simtom yang berkaitan dengan skizofrenia berikut ini:

a. Delusi

b. Halusinasi

c. Perkataan yang tidak terorganisasi

d. Perilaku katatonik atau terganggu

e. Gejala negative, emosi datar dan rendahnya motivasi

Pada saat terjadi gangguan, orang ini telah mengalami delusi atau halusinasi

tanpa adanya gejala gangguan mood selama setidaknya 2 minggu

Simtom-simtom episode mood muncul dalam suatu porsi durasi aktif dan

periode residu yang signifikan

Simtom tersebut tidak disebabkan oleh gangguan lain, suatu kondisi medis

atau penggunaan obat-obatan.

5. Gangguan psikotik terbagi (shared psychotic disorder)

Pada gangguan ini, satu atau beberapa orang mengembangkan suatu sistem delusi

sebagai suatu hasil dari kedekatan hubungan dengan seorang penderita psikotik

yang delusi. Biasanya dua orang yang terlibat dalam gangguan tersebut dan disebut

dengan istilah kebodohan bersama. Terkadang terdapat dua atau lebih dari

keseluruhan anggota keluarga yang mengalami gangguan tersebut. Gangguan ini

berkembang dalam konteks hubungan yang dekat yang terdapat suatu sejarah

ketergantungan patologis. Seorang nonpsikotik menjadi terbiasa dan mengonsumsi

kepercayaan irasional yang ada. Apabila dua orang yang mengalami gangguan

tersebut dipisahkan, seseorang yang sebelumnya tidak menderita psikotik akan

cenderung kembali kepada cara berfikir yang normal.

Karakteristik:

Diagnosis ini tetap diberikan pada kasus-kasus yang menggambarkan

kondisi seseorang yang mengembangkan suatu delusi yang mirip dengan

delusi yang telah terbangun dalam diri seseorang yang terlibat hubungan

dengan mereka

Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan lain, suatu kondisi medis

ataupun penggunaan obat-obatan

D. Perspektif Teoritis Tantang Skizofrenia

Perspektif Psikodinamika

Menurut pandangan psikodinamika, skizofrenia mencerminkan ego yang

dibanjirinya oleh dorongan-dorongan seksual primitif atau agresif atau impuls-impuls yang

berasal dari id. Impuls-ilmpuls tersebut mengancam ego dan berkembang menjadi konflik

intrapsikis yang kuat. Di bawah ancaman seperti itu, orang tersebut mundur ke periode

awal dari tahapan oral, yang disebut sebagai narsisme primer. Pada periode ini bayi belum

belajar bahwa dunia dan dirinya adalah hal yang berbeda. Karena ego menjembatani

hubungan antara diri degan dunia luar, kerusakan pada fungsi ego ini berpengaruh terhadap

adanya jarak terhadap realitas yang khas skizofrenia. Masukan dari id menyebabkan fantasi

menjadi disalahartikan sebagai realitas, menyebabkan halusinasi dan waham. Impuls-

impuls primitif mungkin juga membawa beban yang lebih berat daripada norma-norma

sosial dan diekspresikan pada perilaku yang aneh, dan tidak sesuai secara sosial.

Pengikut-pengikut Freud, seperti Erik Erikson dan Harry Stuck Sullivan lebih

menekankan pada faktor interpersonal daripada intrapsikis. Sullivan (1962), misalnya,

yang mengabdikan sebagian besar waktu kerjanya untuk meneliti skizofrenia, menekankan

pentingnya hubungan ibu dan anak yang terganggu, dan mengemukakan argumentasi

bahwa hal tersebut dapat menetapkan tahapan untuk penarikan diri secara perlahan-

lahandari orang lain. Pada masa kanak-kanak awal, interaksi yang penuh kecemasan dan

permusuhan antara anak dan orang tua membawa anak untuk mencari perlindungan pada

dunia fantasi yang bersifat pribadi. Lingkaran setan pun terjadi: Semakin anak menarik

diri, semakin berkurang kesempatan yang ada untuk membangun kepercayaan pada orang

lain dan keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk membangun keintiman. Kemudian

ikatan yang lemah antara anak dan orang lain mendorong kecemasan sosial dan penarikan

diri yang lebih jauh. Siklus ini berlanjut sampai masa dewasa muda. Kemudian,

dihadapkan dengan meningkatnya tuntutan di sekolah atau pekerjaan dan dalam hubungan

intim, orang tersebut menjadi semakin dibanjiri dengan kecemasan dan menarik diri

sepenuhnya ke dunia fantasi.

Kritik terhadap pandangan Freud menyatakan bahwa perilaku skizofrenia dan

perilaku infantil tidak sepenuhnya sama, sehingga skizofrenia tidak dapat dijelaskan

dengan regresi. Ahli psikoanalisis tidak pernah dapat menunjukan bahwa hipotesis tentang

pengalaman masa kanak-kanak awal atau pola-pola keluarga menyebabkan skizofrenia

Faktor Biokimia

Peran faktor genetik dalam skizofrenia menunjukkan bahwa faktor-faktor biokimia

perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah faktor keturunan

tersebut dapat berpengaruh.

Aktivitas Dopamin. Teori bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas

berlebihan neurotransmiter dopamin, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-

obatan yang efektif untuk menangani skizofrenia menurunkan aktivitas dopamin.

Selain dopamine, terdapat pula amfetamin. Amfetamin dapat menyebabkan suatu

kondisi yang sangat mirip dengan skizofrenia paranoid dan dapat memperparah

simtomatologi orang dengan gangguan skizofrenia. Efek amfetamin yang menimbulkan

psikosis merupakan akibat peningkatan dopamin dan bukan peningkatan norepinefrin

karena obat-obat antipsikotik adalah obat yang menyembuhkan psikosis amfetamin.

Reseptor dopamin lebih besar jumlahnya atau hipersensitif pada beberapa orang

penderita skizofrenia. Memiliki terlalu banyak reseptor secara fungsional akan sama

dengan memiliki terlalu banyak dopamin itu sendiri. Penyebabnya adalah bila dopamin

dilepaskan kedalam sinaps, hanya beberapa diantaranya yang secara aktual berinteraksi

dengan reseptor pascasinaptik. Memiliki banyak reseptor memberikan kesempatan yang

lebih besar bagi dopamin yang dilepaskan untuk merangsang suatu reseptor.

Kelebihan reseptor dopamin mungkin tidak berperan dalam semua simtom

skizofrenia, kondisi itu tampaknya berhubungan terutama dengan simtom-simtom positif.

Amfetamin tidak memperparah simtom-simtom pada semua orang dengan gangguan

skizofrenia. Simtom-simtom secara aktual berkurang setelah para orang dengan gangguan

skizofrenia diberi amfetamin. Obat-obatan antipsikotik ternyata hanya mengurangi

beberapa simtom skizofrenia. Amfetamin memperparah simtom-simtom positif dan

mengurangi simtom-simtom negatif. Antipsikotik mengurangi simtom-simtom positif

namun hanya berpengaruh sedikit atau bahkan tidak berpengaruh bagi simtom-simtom

negatif.

Perkembangan selanjutnya dalam teori dopamin memperluas ruang lingkupnya.

Perubahan penting termasuk diketahuinya perbedaan di antara jalur-jalur saraf yang

menggunakan dopamin sebagai transmiter. Kelebihan aktivitas dopamin yang diduga

paling relevan dengan skizofrenia terdapat di dalam jalur mesolimbik dan efek terapeutik

obat-obatan antipsikotik terhadap simtom-simtom positif terjadi dengan cara menghambat

berbagai reseptor dopamin dan sistem saraf tersebut sehingga menurunkan aktivitasnya.

Rendahnya aktivitas neuron dopamin dalam daerah otak tersebut juga dapat

menjadi penyebab simtom-simtom negatif skizofrenia. Teori ini memiliki keuntungan yaitu

memungkinkan terjadinya simtom-simtom negatif dan positif secara simultan pada orang

dengan gangguan skizofrenia.

Evaluasi Data Biokimia. teori dopamin tidak muncul sebagai teori lengkap

skizofrenia. Contohnya, perlu beberapa minggu bagi obat-obat antipsikotik untuk secara

bertahap mengurangi simtom-simtom positif skizofrenia meskipun obat-obat tersebut

dengan cepat menghambat reseptor dopamin.

Meskipun dopamin tetap merupakan variabel biokimia yang paling aktif diteliti,

namun tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lengkap mengenai biokimia

skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan dengan simtom-simtom yang luas mencakup

persepsi, kognisi, aktivitas motorik dan perilaku sosial. Tidak mungkin bila satu

neurotransmiter tunggal dapat menjadi penyebab semua itu.

Kelainan Otak

Beberapa orang dengan gangguan skizofrenia telah diketahui memiliki patologi

otak yang dapat diamati. Analisis pascakematian pada otak orang dengan gangguan

skizofrenia merupakan salah satu sumber bukti. Berbagai studi semacam itu secara

konsisten mengungkap adanya abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antarstudi

dan terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten

adalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak.

Berbagai temuan lain yang cukup konsisten mengindikasikan abnormalitas struktur pada

daerah subkortikal temporal limbik, seperti hipokampus dan basal ganglia dan pada korteks

prefrontalis dan temporal.

Sejauh ini, berbagai citra jaringan otak hidup secara paling konsisten mengungkap

bahwa beberapa orang dengan gangguan skizofrenia, terutama laki-laki memiliki rongga

otak yang melebar. Penelitian juga menunjukkan berkurangnya daerah abu-abu kortikal di

daerah temporal dan frontalis dan berkurangnya volume basal ganglia dan struktur limbik.

Dalam studi kembar yang menderita skizofrenia memiliki rongga otak yang lebih

lebar dibandingkan kembar yang sehat dan dalam salah satu studi sebagian besar kembar

yang menderita skizofrenia dapat diidentifikasi hanya dengan melakukan pengamatan

visual sederhana terhadap pemindaian tersebut. Karena para kembar tersebut secara

genetik identik, data ini menunjukkan bahwa abnormalitas otak tersebut mungkin tidak

berciri genetik. Rongga otak yang lebar pada para orang dengan gangguan skizofrenia

berkolerasi dengan kinerja yang lemah dalam berbagai tes neuropsikologis, penyesuaian

yang buruk sebelum timbulnya gangguan dan respons yang buruk dalam terapi obat.

Meskipun demikian, pelebaran rongga otak tersebut hanya sedikit dan dalam hal ini

banyak orang dengan gangguan skizofrenia yang tidak berbeda dari orang normal. Rongga

otak yang melebar tidak spesifik pada skizofrenia karena juga ditemukan dalam

pemindaian CT pada para orang dengan gangguan skizofrenia yang menderita beberapa

psikosis lain, seperti mania.

Berbagai macam data menunjukkan bahwa korteks prefrontalis secara khusus

penting dalam skizofrenia. Korteks prefrontalis diketahui berperan dalam perilaku seperti

berbicara, pengambilan keputusan dan tindakan yang bertujuan, yang kesemuanya

mengalami gangguan dalam skizofrenia; berbagai studi MRI menunjukkan berkurangnya

daerah abu-abu dalam korteks prefrontalis; ketika orang dengangangguan skizofrenia

sedang mengerjakan tes-tes psikologis, para orang dengangangguan skizofrenia

menunjukkan tingkat metabolisme yang rendah dalam korteks prefrontalis. Karena tes-tes

tersebut membutuhkan pengaktifan korteks prefrontalis, secara normal metabolisme

glukosa meningkat sejalan dengan penggunaan energi. Para orang dengan gangguan

skizofrenia, terutama dengan simtom-simtom negatif yang dominan, tidak dapat

melakukan tes tersebut dengan baik dan juga tidak menunjukkan terjadinya aktivasi daerah

prefrontalis. Tidak terjadinya aktivasi frontalis juga ditemukan dengan menggunakan alat

yang dikembangkan lebih mutakhir yaitu fmri.

 Terlepas dari berkurangnya volume darah abu-abu dalam korteks temporalis dan

frontalis, jumlah neuron dalam daerah-daerah tersebut tidak tampak berkurang. Berbagai

studi yang lebih detail mengindikasikan bahwa sesuatu yang hilang di daerah-daerah

tersebut kemungkinan adalah sesuatu yang disebut spinal dendritik. Spinal dendritik adalah

cabang kecil pada batang dendrit dimana impuls-impuls saraf diterima dari berbagai

neuron lain. Hilangnya spinal dendritik tersebut berarti komunikasi diantara neuron-neuron

akan terganggu, mengakibatkan kondisi yang diistilahkan oleh beberapa orang sebagai

“sindrom diskoneksi.” Salah satu kemungkinan akibat kegagalan berbagai sistem neural

untuk saling berkomunikasi dapat berupa disorganisasi pembicaraan dan behavioral yang

terjadi pada skizofrenia.

Otak orang yang mengalami skizofrenia mengalami kerusakan pada awal

perkembangannya, mengapa gangguan tersebut baru dialami bertahun-tahun kemudian

pada masa remaja atau masa dewasa awal? Weinberger mengemukakan jawabannya,

bahwa cedera otak berinteraksi dengan perkembangan otak normal dan bahwa korteks

prefrontalis merupakan struktur otak yang mengalami kematangan paling akhir, pada

umumnya pada masa remaja. Oleh karena itu, cedera di daerah ini tidak tercermin dalam

perilaku seseorang sebelum mencapai periode perkembangan di mana korteks prefrontalis

mulai berperan lebih besar dalam perilaku. Perlu dicatat, aktivitas dopamin juga

memuncak pada masa remaja, yang dapat lebih jauh memicu tahap terjadinya simtom-

simtom skizofrenik.

Stres Psikologis

Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan

biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa, sebagaimana pada

banyak gangguan yang telah dibahas, peningkatan stres kehidupan meningkatkan

kemungkinan kekambuhan. Para individu yang mengalami skizofrenia tampak sangat

reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Orang

dengan gangguan skizofrenia sangat rentan terhadap stres sehari-hari.

Kelas Sosial dan Skizofrenia.

Angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat di berbagai wilayah pusat kota yang

dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial rendah. Hubungan antara kelas sosial dan

skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin tinggi seiring

dengan semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam

antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah

penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial lain.

Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk

menginterpretasikannya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang

berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap

terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenik. Perlakuan merendahkan yang diterima

seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya penghargaan

serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas

sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres yang membuat seseorang setidak-tidaknya

yang memiliki predisposisi menderita skizofrenia.

Teori seleksi-sosial

Teori seleksi social membalikan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia.

Dalam perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita

skizofrenia dapat terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif

dan motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut dapat

sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapat sehingga mereka

tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah ke wilayah di

mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di mana mereka dapat

melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.

Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial dibanding

teori sosiogenik. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan sosial tidak

memiliki peran apapun dalam skizofrenia.

Keluarga dan Skizofrenia. 

Hubungan keluarga yang terganggu sejak lama telah dianggap berperan dalam

perkembangan dan perjalanan gangguan skizofrenia (Miklowiz, 1994). Teori-teori

keluarga yang awal memfokuskan pada peran anggota keluarga yang “patogenik” seperti

ibu yang skizofrenogenik (Fromm-Reichmann, 1948, 1950). Dalam pandangan seksisme

psikiatris historis yang dianut oleh sejumlah feminis, ibu yang skizofrenogenik

digambarkan sebagai orang yang dingin, angkuh, overprotektif, dan sangat mendominasi.

Satu dari teori yang penting, dikemukakan oleh Gregory Beteson dan rekan-rekannya

(1965), bahwa komunikasi double-bind berkontribusi terhadap perkembangan skizofrenia.

Komunikasi double-bind mengirim dua pesan yang saling tidak bersesuaian. Pada

komunikasi double-bind dengan seorang anak, seorang ibu mungkin bersikap dingin ketika

anak mendekatinya dan kemudian memarahi anak karena menjaga jarak. Apapun yang

dilakukan anak, ia selalu salah. Dengan pengalaman yang berulang pada kejadian double-

bind semacam ini pemikiran anak mungkin menjadi tidak terorganisasi dan kacau.

Mungkin komunikasi double-bind berperan sebagai sumber stress keluarga yang

meningkatkan risiko skizofrenia pada individu yang memiliki kerentanan genetis..

Penelitian mulai mengidentifikasi faktor penyebab stres pada keluarga yang mungkin

berinteraksi dengan kerentanan genetis dalam menyebabkan berkembangnya skizofrenia.

Dua sumber utama dari stres keluarga yang telah dipelajari adalah pola-pola komunikasi

yang menyimpang dan ekspresi emosi yang negatif dalam keluarga.

1. Penyimpangan dalam komunikasi. Penyimpangan dalam komunikasi

(communication deviance-CD) adalah pola komunikasi yang tidak jelas, samar-

samar, terganggu, atau terpecah-pecah, yang tidak sering ditemukan pada orang tua

dan anggota keluarga dari pasien skizofrenia. Orang tua dengan CD yang tinggi

mengalami kesulitan memfokuskan pada apa yang disampaikan oleh anak mereka

(Miklowitz, 1994). Mereka cenderung untuk menyerang anak-anak mereka secara

verbal daripada menawarkan kritik membangun, dan mungkin membawa mereka

dalam komunikasi double-bind. Mereka juga cenderung untuk menginterupsi anak

dengan komentar yang negatif dan mengganggu. Mereka cenderung untuk

mengatakan pada anak apa yang “benar-benar” mereka pikirkan daripada

membiarkan anak untuk memformulasikan pikiran dan perasaannya sendiri. Orang

tua dari orang-orang yang menderita skizofrenia menunjukan tingkat

penyimpangan komunikasi yang lebih tinggi daripada orang tua dari orang-orang

yang tidak menderita skizofrenia (Miklowitz, 1994).

2. Ekspresi Emosi. Pengukuran lain dari komunikasi keluarga yang terganggu disebut

sebagai ekspresi emosi (expressed emotion-EE). EE melibatkan kecenderungan

anggota keluarga untuk bersikap kejam, mengkritik, dan tidak mendukung pada

anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Orang dengan skizofrenia yang

memiliki keluarga dengan EE tinggi cenderung menunjukan penyesuaian diri yang

lebih buruk dan memiliki rata-rata kambuh yang tinggi setelah keluar dari rumah

sakit, dibandingkan mereka yang memiliki keluarga yang lebih mendukung

(Cutting & Docherty, 2000; King & Dixon, 1999). Pemeriksaan terhadap fungsi

kepribadian menunjukan sanak keluarga dengan EE tinggi menunjukan lebih

sedikit empati, toleransi dan fleksibilitas daripada sanak keluarga yang memiliki

EE yang rendah ( Hooley & Hiller, 2000 ). Sanak keluarga dengan EE tinggu juga

cenderung untuk percaya bahwa pasien skizofrenia dapat melatih kontrol yang

lebih besar terhadap perilaku mereka, dibandingkan sanak keluarga dari pasien

yang sama yang meiliki EE rendah (Weisman, dkk., 2000). Ekspresi emosi pada

sanak keluarga juga dikaitkan dengan risiko yang lebih besar untuk kambuh dari

gangguan lainnya, seperti depresi utama dan gangguan makan (Butzlaff & Hooley,

1998).

Faktor Keluarga dalam Skizofrenia: Penyebab atau Sumber Stres? Tidak

terdapat bukti yang mendukung keyakinan bajwa faktor keluargam seperti interaksi

keluarga yang negatif, menyebabkan skizofrenia pada anak-anak yang tidak

memiliki kerentanan genetis. Kemudian apa peranan faktor keluarga pada

skizofrenia? Dalam model diatesis stres, pola-pola interaksi dan komunikasi

emosioanl yang terganggu dalam keuarga menunjukan suatu sumber stres potensial

yang mungkin meningkatkan risiko berkembangnya skizofrenia pada orang-orang

yang memiliki predisposisi genetis untuk gangguan ini. Mungkin peningkatan

risiko ini dapat meminimalkan atau dihilangkan apabila anggota keluarga diajarkan

untuk mengatasi stress dan mengurangi kritik serta lebih mendukung terhadap

anggota-anggota keluarga mereka yang menderita skizofrenia. Program-program

konseling yang membantu anggota keluarga dari orang yang menderita skizofrenia

kronis belajar ntuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa menyerang atau

mengkritik orang yang menderita skizofrenia mungkin dapat mencegah konflik

keluarga yang merusak penyesuaian diri orang tersebut. Anggota keluarga yang

menderita skizofrenia mungkin juga dapat mengambil manfaat dari usaha-usaha

untuk mengurangi tingkat kontak dengan saudara yang gagal berespons pada

intervensi keluarga.

Bukti Penelitian yang Mendukung Model Diatesis-Stres. Beberapa macam bukti

yang mendukung model diatesis-stres. Satu sumber yang mendukung adalah fakta

bahwa skizofrenia cenderung berkembang pada masa remaja akhir atau masa

dewasa awal, sekitar waktu dimana orang muda biasanya menghadapi

meningkatnya tekanan yang berhubungan dengan tantangan perkembangan yang

berkaitan dengan diperolehnya kemandirian dan penemuan sebuah peran dalam

kehidupan. Bukti lain menunjukan bahwa stres psikososial, seperti kritik yang

berulang-ulang dari anggota keluarga, memperburuk simtom-simtompada orang

yang menderita skizofrenia, meningkatkan risiko kambuh (King & Dixon, 1995).

Sumber-sumber stres lain yang mungkin berkontribusi dalam perkembangan

skizofrenia pada orang-orang yang memiliki kerentana genetis mencakup faktor-

faktor psikososial yang berhubungan dengan kemiskinan, seperti kepadatan yang

berlebihan, makanan dan sanitasi yang buruk, perumahan yang miskin, dan

perawatan kesehatan yang tidak adekuat (Kety,1980).Pendukung lain untuk model

diatesis-stres nerasal dari enelitian longitudinal terhadap anak-anak yang memiliki

risiko tinggi yang berada pada risiko genetis yang meningkat untuk

mengembangkan penyakit karena salah satu atau kedua orang tuanya menderita

skizofrenia. Penelitian longitudinal pada anak-anak yang orang tuanya mengalami

skizofrenia mendukung prinsip utama model diatesis-stres bahwa hereditas

berinteraksi dengan pengaruh lingkungan dalam menentukan kerentanan terhadap

skizofrenia.  

E. Treatmen Skizofrenia

Tidak ada penyembuhan untuk skizofrenia. Penanganan biasanya mencakup banyak

segi, menggabungkan pendekatan farmakologis, psikologis, dan rehabilitatif. Kebanyakn

orang skizofrenia yang dirawat dalam lingkup kesehatan mental yang terorganisasi

menerima beberapa bentuk obat antipsikotik, yang dimaksudkan untuk mengendalikan

pola-pola perilaku yang lebih ganjil, seperti halusinasi dan waham, dan mengurangi resiko

yang berulang-ulang.

1. Treatmen Biologis.

Munculnya obat-obat antipsikotik pada 1950-an-juga dikenal sebagai penenang

mayor atau neuroleptik, membawa perubahan dalam perawatan pasien skizofrenia dan

memeberikan dorongan terhadap dilepaskannya pasien penyakit mental dalam skala besar

kembali ke komunitas (deinstitusionalisasi). Fakta bahwa obat-obatan dapat mengontrol

sebagian besar simtom psikosis yang menguras tenaga dan melemahkan, setidaknya

terhadap beberapa hal yang berarti bahwa ratusan ribu orang dapat ditangani dengan cara

berobat jalan dan bukan lagi melalui supervisi yang konstan dan terbatas.

Terdapat beberapa kategori obat-obatan psikotik yang disebut juga obat penenang

utama atau neuroleptik yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti

“memperbaiki saraf”. Sebagai tambahan bagi kualitas menenangkan yang dimilikinya,

neuroleptik menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan simtom-simtom psikotik.

Berbagai jenis neuroleptik berbeda dalam dosis yang diperlukan untuk mencapai efek

terapeutik mereka, dengan rentang yang bergerak dari obata-obatan dengan potensi rendah

yang memerlukan dosis tinggi hingga obat-obatan yang berpotensi tinggi hingga hanya

diperlukan dosis yang relatif lebih rendah. Seorang dokter akan lebih cenderung

memberikan resep obat-obatan potensi rendah untuk pasien yang sangat terganggu karena

obat-obatan potensi rendah cenderung memiliki efeke lebih menenangkan daripada obat-

obatan dengan potensi tinggi. Obat-obatan potensi tinggi dapat diberikan pada seorang

pasien yang tidak terlalu terganggu, namun memiliki risiko efek samping yang serius.

Obat-obatan antipsikosis yang biasanya diresepkan tersebut memiliki efek

mengahalangi reseptor dopamin. Dengan kata lain, obat-obatan tersebut mengandung zat

kimia yang terkait dengan neuron yang biasanya akan bereaksi terhadap neurotransmitter

dopamin. Hal ini menimbulkan dua hasil perilaku, perilaku terapeutik dan perilaku yang

tidak diharapkan serta mengganggu.

2. Treatmen Sosiokultural 

Mempertahankan hubungan antara orang yang mengalami skizofrenia dengan

anggota keluarga dan komunitas yang lebih besar merupakan bagian dari tradisi budaya

pada banyak kebudayaan Asia, juga pada bagian dunia lainnya, seperti Afrika. Orang yang

sakit mental di Cina, misalnya tetap memiliki dukungan kuat dari hubungan dengan

keluarga dan tempat kerja, yang membantu meningkatkan kesempatan untuk kembali

berintegrasi dengan kehidupan komunitas (Liberman, 1994). Pada pusat-pusat pengobatan

untuk penanganan skizofrenia di Afrika, dukungan yang kuat uang diterima oleh pasien

dari keluarga dan anggota komunitas, bersama-sama dengan gaya hidup yang berpusat

pada komunitas, merupakan elemen penting terhadap keberhasilan perawatan (Peltzer &

Machleidt, 1992).

3. Terapi Psikodinamika.

Freud tidak yakin bahwa psikoanalisis tradisional sesuai untuk penanganan

skizofrenia. Tindakan menarik dari ke dalam dunia fantasi yang merupakan ciri skizofrenia

mencegah penderita untuk membentk hubungan yang bermakna dengan psikoanalisis.

Teknik psikoanalisis klasik, tulis Freud, harus “digantikan oleh yang lain; dan kita belum

dapat mengetahui apakah kita akan berhasil menemukan pengganti” (sebagaimana dikutip

dalam Arieti, 1974, hal 532).

Psikoanalisis yang lainm seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda Fromm-

Reichmann, mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk perawatan

skizofrenia. Namun, penelitian gagal menunjukan efektivitas terapi psikoanalisis maupun

psikodinamika untuk skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan

negatif, beberapa kritik mengemukakan bahwa penggunaan terapi psikodinamika untuk

menangani skizofrenia tidaklah terjamin (antara lain Klermanm 1984). Namun hasil yang

menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk terapi individual yang disebut terapi personal

yang berpijak pada model diatesis-stres. Tetapi personal membantu pasien beradaptasi

secara lebih efektif terhadap stres dan membantu mereka membangun keterampilan sosial,

seperti mempelajari bagaimana menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal

menjelaskan bahwa terapi personal mungkin mengurangi rata-rata kambuh dan

meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien skizofrenia yang tinggal dengan

keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk., 1997a, 1997b).

4. Treatmen Berdasarkan Belajar.

Meskipun sedikit terapis perilaku yang meyakini bahwa yang salah menyebabkan

skizofrenia, intervensi berdasarkan pembelajaran telah menunjukan efektivitas dalam

memodifikasi perilaku skizofrenia dan membantu orang-orang yang mengalami gangguan

ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif yang dapat membantu mereka

menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup dalam komunitas. Metode terapi

meliputi teknik-teknik seperti (1) reinforcement selektif terhadap perilaku (seperti

memberikan perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan verbalisasi yang

aneh dengan tidak lagi memberi perhatian); (2) token ekonomi, dimana individu padaunit-

unit perawatan di rumah sakit diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token,

seperti kepingan plastik, yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti barang-

barang atau hak-hak istimewa yang diinginkan; dan (3) pelatihan keterampilan sosial, di

amna klien diajarkan keterampilan untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain

yang sesuai melalui coaching (latihan), modeling, latihan perilaku, dan umpan balik.

5. Rehabilitasi Psikososial

Orang-orang yang mengalami skizofrenia biasanya mengalami kesulitan untk

berfungsi dalam peran-peran sosial maupun pekerjaan. Masalah-masalah ini membatasi

kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri terhadap kehidupan komunitas bahkan dalam

keadaan tidak adanya perilaku psikotik yang tampak.

Pusat rehabilitasi dengan beragam layanan biasanya menawarkan perumahan

sebagaimana pekerjaan dan kesempatan pendidikan. Pusat-pusat ini sering kali

mempergunakan pendekatan pelatihan perselisihan dengan anggota keluarga, membangun

persahabatan, naik bus, memasak makanan mereka sendiri, berbelanja, dan lain-lain.

6. Program Intervensi Keluarga.

Konflik-konflik keluarga dan interaksi keluarga yang negatif dapat menumpuk stres

pada anggota keluarga yang  mengalami skizofreni, meningkatkan risiko episode yang

berulang (Marsh & Johnson, 1997). Para peneliti serta klinisi telah bekerja dengan

keluarga-keluarga dari orang-orang yang mengalami skizofrenia untuk membantu mereka

menyesuaikan diri dengan beban untuk merawat dan membantu mereka dalam

mengembangkan cara-cara yang lebih kooperatif dan tidak terlalu konfrontatif dalam

berhubungan dengan orang lain. Komponen-komponen spesifik dari intervensi keluarga

bervariasi pada tiap program, namun biasanya mereka memiliki beberapa ciri yang sama,

seperti memfokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-hari, mendidik anggota

keluarga yang skizofrenia, mengajarkan mereka bagaimana cara berhubungan dengan cara

yang tidak terlalu frontal terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia,

meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan memacu pemecahan masalah yang efektif

dan keterampilan coping untuk menangani masalah-masalah dan perselisihan-

perselisihan keluarga. Bukti-bukti menunjukan bahwa program intervensi keluarga yang

terstruktur dapat mengurangi friksi dalam keluarga, meningkatkan fungsi sosial pada

pasien skizofrenia, dan bahkan mengurangi rata-rata kekambuhan (Bustillo dkk., 2001;

Mueser dkk., 2001; Penn & Mueser, 1996). Namun, keuntungannya tampak biasa saja, dan

tetap ada pertanyaan tentang apakah kekambuhan dicegah atau sekedar ditunda.

Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua

kebutuhan orang yang menderita skizofrenia. Konseptualisasi skizofrenia sebagai

disabilitas sepanjang hidup menggarisbawahi kebutuhan untuk perawatan

intervensi  jangka panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi keluarga,

bentuk-bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan vokasional, dan

penyediaan perumahan yang layak serta pelayanan dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk.,

2001; Huxley, Rendall, & Sedere, 2000; Sensky dkk., 2000; Tarrier dkk., 2000).

Intervensi-intervensi ini seharusnya dikoordinasikan dan diintegrasikan dalam model

perawatan yang menyeluruh agar lebih efektif dalam membantu individu meraih

penyesuaian sosial secara maksimal (Coursey dkk., 1997). Layanan-layanan penanganan

juga lebih cenderung meningkatkan fungsi klien dalam area-area tertentu, seperti

meningkatkan pekerjaan dan kehidupan yang mandiri, apabila mereka secara khusus

diarahkan pada area-area tersebut (Brekke dkk., 1997).  Model ini dapat terdiri dari terapi

obat, perawatan rumah sakit apabila dibituhkan, program berdasarkan belajar di dalam

rumah sakit, program intervensi keluarga, program pelatihan keterampilan, kelompok-

kelompok self-help sosial, dan program rehabilitasi yang terstruktur

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik kronis yang ditandai oleh episode akut yang mencakup kondisi terputus dengan realitas, yang ditampilkan dalam ciri-ciri seperti waham, halusinasi, pikiran tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku yang aneh. Defisit residual dalam area kognitif, emosional, dan sosial dari fungsi-fungsi yang ada sebelum epsode akut.

Skizofrenia biasanya berkembang pada akhir masa remaja akhir atau awal masa dewasa. Kemunculannya bisa mendadak ataupun perlahan-lahan. Kemunculan yang perlahan-lahan diawali oleh fase prodromal, suatu periode deteriorasi secara perlahan-lahan yang mengawali kemunculan dari simtom-simtom yang akut. Episode akut, yang mungkin terjadi secara berkala sepanjang kehidupan, ditandai oleh simtom psikotik yang jelas, seperti halusinasi dan waham. Antara episode-episode akut, gangguan ditandai oleh fase residual di mana tingkat fungsi seseorang serupa dengan apa yang muncul selama fase prodromal.

Model diatesis stres mengemukakan bahwa skizofrenia berasal dari interaksi antara predisposisi genetis dan stresor lingkungan (misalnya, konflik keluarga, perlakuan yang salah pada anak, deprivasi emosional, hilangnya figur-figur pendukung, trauma otak di awal kehidupan).

Faktor-faktor keluarga seperti penyimpangan komunikasi dan ekpresi emosi mungkin berperan sebagai sumber stres yang meningkatkan risiko berkembangnya atau berulangnya kembali skizofrenia pada orang-orang yang memiliki predisposisi genetis.

Perawatan kontemporer cenderung menyeluruh, menggabungkan antara pendekatan psikofarmakologis dan psikososial. Pengobatan antipsikostik bukanlah penyembuh namun cenderung menghambat aspek-aspek gangguan yang lebih mencolok dan mengurangi kebutuhan akan perawatan rumah sakit serta risiko episode yang berulang.

Jenis-jenis intervensi psikososial yang menunjukan hasil yang menunjukan adalah pendekatan yang pada prinsipnya berdasarkan prinsip belajar, seperti sistem token ekonomi dan pelatihan keterampilan sosial. Hal-hal tersebut dapat membantu meningkatkan perilaku adaptif pada pasien skizofrenia. Pendekatan rehabilitasi psikososial membantu orang-orang yang menderita skizofrenia beradaptasi secara lebih berhasil terhadap pekerjaan dan peran-peran sosial di komunitas. Program intervensi keluarga membantu keluarga untuk melakukan coping terhada beban merawat, berkomunikasi secara lebih jelas, dan belajar cara-cara yang lebih membantu dalam berhubungan dengan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Nevid,Jeffrey S., & Rathus,Spencer,A., & Greene, B. (2005) Psikologi Abnrmal Edisi

Kelima Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga

P.Halgin,Richard., & K. Whitbourne,Susan (2011) Psikologi Abnormal Persektif Klinis

pada Gangguan Psikologis Edisi Kedua Jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika

http://ulfiati-tsania.blogspot.com/2014/10/makalah-tentang-skizofrenia.html