makalah joyful learning
DESCRIPTION
model pembelajaranTRANSCRIPT
JOYFUL LEARNING
Makalah Dibuat untuk tugas mata kuliah Inovasi Pendidikan
Dosen : DR. H. Sholehuddin, MA, M.Pd.
Oleh :
SUBUH ANGGORO/1201002DESEMBERI TRIANUGRAHWATI/1201304
HILMAN HILMAWAN/1201612
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASARSEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013
~ 0 ~
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Mutu pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. Berdasarkan tabel
liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, mutu pendidikan Indonesia
berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua
ditempati Finlandia dan Korea Selatan (Kompas, 27 Nopember 2012). Hal ini bertolak
belakang dengan pengakuan sebagian negara-negara Asia (Singapura, Hongkong dan
Korea Selatan) sebagai negara-negara yang menempati peringkat tertinggi untuk bidang
matematika, sains dan membaca yang dikeluarkan oleh peneliti dari Boston College
Amerika Serikat (Kompas, 12 Desember 2012). Kedua penelitian tersebut didasarkan pada
tiga mata pelajaran utama yaitu matematika, sains dan membaca dan keberhasilan negara-
negara memberikan status tinggi pada guru serta memiliki "budaya" pendidikan.
Menurut survei Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2011
menyatakan bahwa “ siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam
hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi Sains
Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada
pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang di survei, dan posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Disamping pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut (Suseno, http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/).
Menurut Suseno (http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/) penyebab rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia disebabkan masalah efektifitas, efisiensi dan standadisasi
pembelajaran. Permasalahan khusus yang teridentifikasi adalah (1) rendahnya sarana fisik;
(2) rendahnya kualitas guru; (3) rendahnya kesejahteraan guru; (4) rendahnya prestasi
belajar siswa; (5) rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan dan (6) mahalnya biaya
pendidikan. Pada penelitian ini permasalahan dibatasi pada rendahnya kualitas guru,
rendahnya prestasi belajar siswa dan rendahnya sarana fisik khususnya pada
pembelajaran Sains.
Rendahnya kualitas guru Sekolah Dasar dapat dilihat dari Data Balitbang Depdiknas
(1998) yang menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Hasil penelitian Ditjen PMPTK
menunjukkan, kondisi guru secara nasional memprihatinkan dalam segi kemampuan
melaksanakan pembelajaran dengan profesional. Guru, misalnya, belum memiliki tingkat
~ 1 ~
kualifikasi akademik standar minimal sebesar 44 persen dan belum memenuhi standar
kompetensi sebesar 61,96 persen. Itu merupakan hasil penelitian dengan sampel 29.238
guru. Bertolak dari hasil itu, dapat dipahami bila sekarang mutu pendidikan nasional
sangat rendah (Kompas, 8 Oktober 2012). Padahal berdasarkan PP No 19/2005 tentang
Standar Pendidikan Nasional, terutama Pasal 28, menggariskan bahwa standar pendidik
ialah memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat
jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi
akademik pendidik minimal berijazah S-1 atau D-4, sedangkan kualifikasi kompetensi
adalah bersertifikat profesi pendidik. Walaupun guru d bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada
kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya
Kegiatan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran bertujuan untuk mendorong
siswa agar mengamati dan mengeksplorasi lingkungan mereka, untuk memahami
hubungan di alam, hubungan antara manusia dan alam, dan untuk belajar memahami
manusia sebagai bagian integral dari mata rantai kehidupan. Belajar dapat menjadi lebih
menyenangkan, baik untuk siswa dan guru, apabila didasarkan pada pengalaman nyata.
(Hart et. al. 2000)
Keberhasilan pendidikan Sains atau pendidikan IPA di sekolah dasar banyak
ditentukan oleh guru. Guru selain mengajarkan pelajaran secara teoritis di kelas perlu juga
mengembangkan pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan dalam proses
pembelajaran IPA. Akan tetapi berdasarkan hasil observasi pada 20 SD yang digunakan
untuk PPL Terpadu Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tahun Akademik 2011/2012
di Kembaran Kabupaten Banyumas, 90% guru mengalami masalah dalam melakukan
pembelajaran Sains dan Matematika (Anggoro dan Harmianto, 2012). Berdasarkan temuan
sertifikasi guru pada tahun 2010 di Rayon 40 (Kabupaten Banyumas dan Cilacap)
menunjukkan 99% guru tidak membuat alat peraga sendiri (Anggoro dan Iswasta Eka,
2011).
~ 2 ~
Beberapa hasil penelitian lain menunjukkan kecenderungan yang sama. Penelitian
yang dilakukan oleh Jaya (2010: vi) tentang pembelajaran Sains di SD Kota Bandung
menunjukkan
“Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah dasar, khususnya dalam mata pelajaran Sains, terlalu ditekankan pada proses menghafalkan materi pelajaran, yang bersumber pada buku paket. Proses pembelajaran seperti itu sangat tidak sesuai dengan hakikat Sains sebagai proses. Proses pembelajaran yang lebih mengarahkan siswa kepada kemampuan untuk menghafal informasi, hanya memaksa otak siswa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi, tanpa dituntut untuk memahami informasi tersebut dan tidak berupaya untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika peserta didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, tetapi miskin dalam aplikasi”
Penelitian yang dilakukan Yasbiati (2001: 1) tentang pembelajaran IPA di SD Tasikmalaya
di Bandung menyimpulkan bahwa:
“diketahui bahwa pengajaran Sains yang dilakukan guru belum secara optimal mengacu pada karakteristik Sains, seperti yang tertuang dalam kurikulum pendidikan dasar dan karakteristik anak SD sebagaimana mestinya. Penyajian pengajaran Sains masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab, serta kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan benda-benda konkrit. Keberhasilan pembelajaran Sains di SD masih pada taraf siswa trampil mengerjakan soal-soal tes yang terdapat dalam buku ajar serta soal sumatif dan soal UAN”.
Hasil penelitian Jaenudin (2003) terhadap pembelajaran di SD di Palembang menyatakan
bahwa:
“Praktek penilaian di SD pada umumnya dilakukan dengan lebih menekankan pada aspek penguasaan pengetahuan. Guru melakukan penilaian dengan lebih menekankan pada aspek pengulangan materi dengan cara menghafalkan sejumlah konsep. Sistem penilaian yang dilakukan dan di kembangkan masih mengandalkan tes sebagai satu-satunya alat penilaian. Penilaian terhadap kinerja siswa dalam bentuk penugasan cenderung diabaikan dan tidak diperhatikan sebagai penilaian alternatif yang lebih bermakna”.
Berdasarkan ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa lebih banyak
menerima pelajaran atau lebih banyak menghapal yang diberikan melalui beberapa mata
pelajaran bahkan hanya mengingat-ingat pengetahuan yang dibacanya, jadi hasil bacaan
yang diulang-ulang kemudian diekspresikan secara otomatis. Akibat cara belajar seperti ini
aspek pemahaman siswa kurang diperhatikan karena lebih diutamakan hasil hapalan atau
penerimaan informasi yang berkaitan dengan stimulus dan respon (S-R) yang dibangun.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan
ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan
soal pilihan ganda. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya peringkat Indonesia
dalam pembelajaran Matematika, Sains dan membaca (Suseno,
http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/)
~ 3 ~
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dasar yang gedungnya rusak,
kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap.
Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan peneliti selama periode
2010-2012 di beberapa kabupaten di eks Karesiden Banyumas dan Tegal ditemukan
banyaknya alat peraga IPA berupa Kit IPA yang berdebu atau bahkan rusak karena tidak
pernah digunakan. Beberapa alasan yang dikemukakan, antara lain (1) hanya satu guru
yang pernah dilatih menggunakan peralatan tersebut; (2) peralatan yang tersedia tidak
sebanding dengan jumlah murid dan (3) kekhawatiran peralatan akan rusak ketika
digunakan. Padahal berdasarkan penelitian Anggoro dan Husin (2008), Anggoro dan
Badarudin (2009) serta Anggoro dan Iswasta (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran
menggunakan metode ceramah atau diskusi tingkat keberhasilannya lebih rendah
dibandingkan apabila menggunakan pendukung berupa media pembelajaran. Hal ini
sejalan dengan pendapat Silberman (2009) yang menyatakan penguasaan suatu konsep
yang paling baik adalah melalui serangkaian kegiatan mendengar, melihat,
mendiskusikan, melakukan dan mengajarkan kepada orang lain (What I hear, see, discuss,
do, and teach to another, I master).
Setiap pembelajaran seharusnya dikembangkan sedemikian rupa supaya siswa
merasa bahwa kondisi dalam pembelajaran memiliki suasana yang fleksibel,
menyenangkan, dan inpiratif. Bila suasana itu terjadi dalam pembelajaran maka kegiatan
belajar siswa akan penuh kebermaknaan serta aktivitas dan kreativitas yang dilakukan
siswa dapat dicapai secara optimal (Ruhimat, 2009).
Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur
dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya. Kuncinya adalah pada
permainan atau kegiatan bermain. Permainan atau bermain adalah kata kunci pada
pendidikan anak. Bermain adalah sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan
itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil
bermain yang melibatkan semua indra anak (Brotherson, 2009).
Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran
terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan
pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, bermain sebagai
gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam
berbagai lingkungan budaya (Brotherson, 2009). Menurut Bruner perkembangan kognitif
seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan.
~ 4 ~
Tahap pertama adalah tahap enaktif, di mana individu melakukan aktivitas–aktivitas
dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana ia
melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap
simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi
bahasa dan logika (Slavin, 2009).
Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut
Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh
anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua
aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat
berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan
menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan
semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan
spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak merupakan jembatan bagi berkembangnya
semua aspek.
Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan
praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran bermakna,
pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active
learning) dan psikologi perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya
sama, bahkan metodologi pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi yang
berbeda terkait dengan penekanan konseptualnya yang relevan dengan perkembangan
moral dan kejiwaan anak. Anak akan bersemangat dan gembira dalam belajar karena
mereka tahu apa makna dan gunanya belajar, karena belajar sesuai dengan minat dan
hobinya (meaningful learning) karena mereka dapat memadukan konsep pembelajaran
yang sedang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan dengan berbagai topik
yang sedang “in” berkembang di masyarakat (Marsh, 2008; Willis, 2011 dan Kholil,
2009).
Dave Meier (2002:36) dalam Indrawati dan Setiawan (2010) memberikan
pengertian menyenangkan atau fun sebagai suasana belajar dalam keadaan gembira.
Suasana gembira disini bukan berarti suasana ribut, hura-hura, kesenangan yang sembrono
dan kemeriahan yang dangkal.
~ 5 ~
Tabel 2. Ciri-ciri suasana belajar yang menyenangkan dan tidak menyenangkan
Menyenangkan Tidak menyenangkan1. Rileks2. Bebas dari tekanan3. Aman4. Menarik5. Bangkitnya minat belajar6. Adanya keterlibatan penuh7. Perhatian peserta didik tercurah8. Lingkungan belajar yang menarik
(misalnya keadaan kelas terang, pengaturan tempat duduk leluasa untuk peserta didik bergerak)
9. Bersemangat10. Perasaan gembira11. Konsentrasi tinggi
1. Tertekan2. Perasaan terancam3. Perasaan menakutkan4. merasa tidak berdaya5. tidak bersemangat6. malas/tidak berminat7. jenuh/bosan8. suasana pembelajaran monoton9. pembelajaran tidak menarik siswa
Sumber : Dave Meier (2002) dalam Indrawati dan Setiawan (2010)
Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dapat dinikmati
siswa. Siswa merasa nyaman, aman dan asyik. Perasaan yang mengasyikan mengandung
unsur inner motivation, yaitu dorongan keingintahuan yang disertai upaya mencari tahu
sesuatu. Selain itu pembelajaran yang menyenangkan perlu memberikan tantangan kepada
siswa untuk berfikir, mencoba, dan belajar lebih lanjut, penuh dengan percaya diri dan
mandiri untuk mengembangkan potensi diri secara optimal. Dengan demikian, diharapkan
kelak menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan
mempunyai kemampuan yang kompetitif (berdaya saing) (Marsh, 2008 dan Willis, 2011).
Sampai anak-anak berusia remaja, pembelajaran yang menyenangkan akan seiring
dengan belajar sambil bermain, yang mau tidak mau akan mengajak peserta didik untuk
aktif. Sambil bermain mereka aktif belajar dan sambil belajar mereka aktif bermain. Dalam
bermain mereka mendapatkan hikmah esensi suatu pengetahuan dan keterampilan, sambil
belajar mereka melakukan refreshing agar kondisi kejiwaan mereka tidak dalam suasana
tegang terus-menerus. Tidak ada metode standar untuk pembelajaran yang menyenangkan
ini. Setiap guru sesuai dengan konteks kelas dan perkembangan usia mental siswa dapat
memilah dan memilih metode yang sesuai atau bahkan metode yang diciptakannya sendiri.
B. Identifikasi dan perumusan masalah
Guru yang kompeten adalah kunci dalam sebuah sistem pendidikan secara keseluruhan.
Hanya melalui inisiatif dan inovasi dari guru bahwa setiap program yang berhasil dapat
dilakukan. Peran guru dalam kegiatan pendidikan, sesuai dengan teori belajar
~ 6 ~
konstruktivistik, tidak hanya mentransfer pengetahuan melainkan sebagai fasilitator,
pemimpin dan narasumber dalam proses pembelajaran yang partisipatif dan
menyenangkan. Berdasarkan fenomena dan hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa peran guru baru sampai pada tahap mentransfer pengetahuan. Hal ini
berimbas pada rendahnya prestasi belajar siswa baik secara nasional maupun internasional
yang ditunjukkan dari berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
internasional.
Setiap pembelajaran seharusnya dikembangkan sedemikian rupa supaya siswa
merasa bahwa kondisi dalam pembelajaran memiliki suasana yang fleksibel,
menyenangkan, dan inpiratif. Bila suasana itu terjadi dalam pembelajaran maka kegiatan
belajar siswa akan penuh kebermaknaan serta aktivitas dan kreativitas yang dilakukan
siswa dapat dicapai secara optimal. Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya
merupakan strategi, konsep dan praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari
pembelajaran bermakna, pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme,
pembelajaran aktif (active learning) dan psikologi perkembangan anak. Pembelajaran
yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dapat dinikmati siswa. Siswa merasa
nyaman, aman dan asyik. Pembelajaran yang menyenangkan dan memberikan tantangan
kepada siswa untuk berfikir, mencoba, dan belajar lebih lanjut, penuh dengan percaya diri
dan mandiri untuk mengembangkan potensi diri secara optimal, diharapkan siswa kelak
menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan
mempunyai kemampuan yang kompetitif.
C. Manfaat/signifikansi Penelitian
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis studi literatur ini ini diharapkan dapat mendukung prinsip-prinsip
pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas perbelajaran
sains di sekolah dasar
2. Manfaat Praktis
Hasil studi literatur ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam
melaksanakan proses pembelajaran yang mampu mengantarkan siswa kelak
menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan
mempunyai kemampuan yang kompetitif
~ 7 ~
BAB II:
KAJIAN PUSTAKA
Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah berkenaan masalah pendidikan dan
keimanan. Allah berfirman:
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq : 1-5).
Dalam melaksanakan proses pembelajaran Allah memberikan pelajaran yang
sangat indah yaitu pada QS An Nahl: 125 yang artinya:
“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar) dan pengajaran yang baik/menyenangkan , dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik/ma’ruf. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”
Berdasarkan kedua ayat diatas memberikan gambaran bahwa pendidikan
merupakan pondasi yang seharusnya menjadi kekuatan sebuah bangsa dan peradaban.
Sedangkan dalam proses pembelajarannya, kasih sayang, hikmah dan amar ma’ruf menjadi
filosofi yang membangun terjalinnya hubungan yang sederajat antara pendidik dan yang
dididik.
A. Belajar dan Pembelajaran
Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan mutu pendidikan adalah
pembelajaran, karena pembelajaran merupakan aspek yang utama dalam pendidikan.
Jadi, mutlak kalau ingin meningkatkan mutu pendidikan perlu dimulai dari
pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa di sekolah. Ini artinya guru harus
berupaya semaksimal mungkin mengkondisikan pembelajaran agar menjadi suatu
proses yang bermakna dalam membentuk pengalaman dan kemampuan siswa
(Ruhimat, 2009 )
Belajar merupakan proses perubahan tingkahlaku yang diperoleh melalui
latihan, perubahan itu disebabkan karena ada dukungan dari lingkungan yang positif
yang menyebabkan terjadinya interaksi edukatif (Ruhimat, 2009). Menurut Slavin
(2009), belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman.
~ 8 ~
Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif dimana si
subjek didik belajar membangun sendiri pengetahuannya, dan mencari sendiri makna
dari sesuatu yang dipelajari (Sardiman, 2004). Selain itu, belajar dapat diartikan juga
sebagai aktivitas pengembangan diri melalui pengalaman, bertumpu pada kemampuan
diri belajar di bawah bimbingan pengajar. Belajar juga dapat dikatakan sebagai proses
penting bagi perubahan perilaku bagi perubahan perilaku manusia dan ia mencakup
segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa belajar merupakan suatu proses terjadinya suatu perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari interaksi lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal
(Sardiman, 2004).
B. Teori belajar dan implikasinya terhadap pendidikan
1. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar yang dikembangkan oleh Piaget ini didasarkan pada asumsi bahwa (1)
individu mempunyai kemampuan memproses informasi, (2) kemampuan memproses
informasi tergantung pada faktor kognitif yang perkembangannya berlangsung secara
bertahap sejalan dengan tahapan usianya, (3) belajar adalah proses internal yang
kompleks yang berupa pemrosesan informasi, (4) hasil belajar adalah berupa
perubahan struktur kognitif, (5) cara belajar anak-anak dan orang dewasa berbeda
sesuai dengan tahap perkembangannya (Marsh, 2008 dan Nurihsan dan Agutin, 2011)
Teori belajar kognitif berkembang dari Piaget, Vygotsky dan teori pemrosesan
informasi.
Teori kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. Dalam pandangan Piaget pengetahuan
datang dari tindakan, jadi perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada
seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu : struktur, isi dan fungsi
(http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/
Chapter_3:_Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Pi
aget).
Struktur atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada
individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku
khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang
dihadapinya. Sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk
membuat kemajuan intelektual. Fungsi itu terdiri dari organisasi dan adaptasi. Semua
~ 9 ~
organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri
dengan lingkungan mereka. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu
dengan yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui 2 proses yaitu :
assimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur
atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam
lingkungan. Dan proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental
yang ada untuk mengadakan respon terhadap tantangan lingkungan
http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_ Educational_Psychology/Chapter_3:_
Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Piaget.
Piaget menjelaskan bagaimana tiap individu mengembangkan schema, yaitu suatu
sistem organisasi aksi atau pola pikir yang membuat manusia secara mental
mencerminkan “berpikir mengenainya”. Dua proses diaplikasikan dalam hal ini yaitu
asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi kita berusaha memahami hal yang baru
dengan mengaplikasikan schema yang ada; sedangkan akomodasi terjadi ketika
seseorang harus merubah pola berpikirnya untuk merespon terhadap situasi yang baru.
Seseorang melakukan adaptasi dalam situasi yang makin kompleks ini dengan
menggunakan schema yang masih bisa dianggap layak (asimilasi) atau dengan
melakukan perubahan dan menambahkan pada schema-nya sesuatu yang baru karena
memang diperlukan (akomodasi) (Marsh, 2008).
Penjelasan di atas menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang
dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi
pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan.
Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif
dan berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya
(Piaget, 1962).
Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak
harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya
bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif
darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang
dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru
sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk
bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik,
bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih
membantu siswa dalam belajar dan memahami sesuatu
~ 10 ~
(http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_
Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Piaget).
Menurut Slavin (2009) implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai
berikut :
1) Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada
produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2) Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam
inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas
Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak
didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan
lingkungan.
3) Tidak menekankan pada praktek-praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-
anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
4) Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan
perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang
berbeda.
Dari uraian tersebut pembelajaran menurut konstruktivis dilakukan dengan
memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada
hasilnya dan mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran serta
memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan yang dapat
dipegaruhi oleh perkembangan intelektual anak.
2. Teori Belajar Konstruktivisme
Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti
dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu bagi diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-
ide. Tugas pendidikan tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi
ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting
dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa
(http://projects.coe.uga.edu/epltt/index.php?title=Constructionism,_Learning_by_
Design, _ and_Project_Based_Learning )
Teori yang dikenal dengan constructivist theories of learning menyatakan bahwa
siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek
~ 11 ~
informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu apabila tidak lagi
sesuai. Hakekat dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menjadikan
informasi itu miliknya sendiri (Nur dan Retno,2000:2).
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down
daripada bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk
dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru)
keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up
tradisional yang mana keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun
menjadi keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 2009). Sehingga dapat
dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa, peran guru adalah membantu
siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan
ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.
Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu konsep kunci dari teori belajar
konstruktivis adalah pembelajaran dengan pengaturan diri (self regulated learning) yaitu
seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta
kapan menggunakan pengetahuan itu (Slavin, 2009). Jadi apabila siswa memiliki strategi
belajar yang efektif dan motivasi serta tekun menerapkan strategi itu sampai pekerjaan
terselesaikan maka kemungkinan mereka adalah pelajar yang efektif.
Salah satu pendekatan dalam pengajaran konstruktivis yang sangat berpengaruh
dari Jerome Bruner adalah belajar penemuan (inquiry) dimana siswa didorong untuk
belajar sebagian besar melalui partisipasi aktif mereka sendiri dengan konsep dan prinsip
dimana guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman serta dapat melakukan
eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka
sendiri. (Metin, 2011).
Pendekatan yang lain dalam pengajaran dan pembelajaran yang juga berlandaskan
pada teori konstruktivis adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning). Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu
konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia
nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja. Pada
dasarnya CTL juga menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. PBM lebih diwarnai student
centred daripada teacher centered. Sebagaian besar waktu PBM berlangsung dengan
berbasis pada aktivitas siswa. Inquiry-Based Learning dan Problem-Based Learning
~ 12 ~
disebut sebagai strategi CTL yang diwarnai student centered dan aktivitas siswa
(http://teachertomsblog. blogspot.com /2012/04/teaching-play-based-curriculum.html)
a. Teori Piaget
b. Teori Vygotsky
Teori Vygotsky memberikan suatu sumbangan yang sangat berarti dalam kegiatan
pembelajaran. Teori ini memberi penekanan pada hakekat sosiokultural dari
pembelajaran. Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta
didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun
tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada
dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan
anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
(http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_
Educational_Psychology/Chapter_3 :_Student_Development).
Vygotsky menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir
dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa,
lambang dan simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini ke anak dalam
kegiatan sehari-hari dan si anak menginternalisasi hal tersebut. Sehingga alat
psikologis ini dapat membantu siswa meningkatkan perkembangan mental dan
berpikirnya. Pada saat anak berinteraksi dengan orang tua atau teman yang lebih
mampu, mereka saling bertukar ide dan cara berpikir tentang representasi dan
konsep. Sehingga pengetahuan, ide, sikap dan sistem nilai yang dimiliki anak
berkembang seperti halnya cara yang dia pelajari dari lingkungannya (http://en.
wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_
Student_Development)
Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal dengan istilah
scaffolding (perancahan), dimana perancahan mengacu kepada bantuan yang
diberikan teman sebaya atau orang dewasa yang lebih lompeten, yang berarti
bahwa memberikan sejumlah besar dukungan kepada anak selama tahap-tahap awal
pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan
kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera
setelah ia mampu melakukannya sendiri. ((http://en.
wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_Student_
Development)
~ 13 ~
Implikasi dari teori Vygostky dalam pendidikan yaitu :
1) Dikehendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga
siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas dan saling memunculkan strategi-
strategi pemecahan masalah afektif dalam zona of proximal development.
2) Dalam pengajaran ditekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin
bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.
c. Teori Ausubel Tentang Belajar Bermakna (Meaningful)
Ausubel mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful) jika
informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif
yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi
barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel juga menyatakan
bahwa agar belajar bermakna terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa syarat,
yaitu: (1). Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial, (2). Anak
yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga
mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna
(
http://sites.wiki.ubc.ca/etec510/Ausubel's_Assimilation_Learning_Theory :_Theore
tical_Basis_for_Concept_Maps_and_E-Maps)
Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel ada tiga kebaikan dari belajar bermakna
yaitu : (a) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (b)
Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya
untuk materi pelajaran yang miri, (c) Informasi yang dipelajari secara bermakna
mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa
(http://www.edutopia.org/pdfs/edutopia-teaching-for-meaningful-learning.pdf ) .
Bermain adalah pekerjaan anak. Bermain sangat penting untuk perkembangan anak
dan belajar. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak belajar lebih baik dalam
suasana yang mendorong eksplorasi, penemuan dan bermain (Brotherson, 2009)
Bermain sangat penting untuk pertumbuhan yang sehat dan perkembangan anak.
Sebagai anak-anak dengan bermain, mereka belajar untuk memecahkan masalah,
untuk bergaul dengan orang lain dan untuk mengembangkan keterampilan motorik
halus dan kasar yang dibutuhkan untuk tumbuh dan belajar (Brotherson, 2009) .
Bermain membantu anak melakukan hal berikut:
a. Mengembangkan keterampilan fisik. Keterampilan motorik kasar anak
berkembang melalui proses belajar untuk mencapai, pegang, merangkak, berjalan,
~ 14 ~
memanjat, dan keseimbangan. Sedangkan keterampilan motorik halus anak
dikembangkan melalui penggunaan mainan berukuran kecil dan lebih rumit
b. Mengembangkan konsep kognitif. Anak-anak belajar untuk memecahkan masalah
(Apa yang dilakukan ini? Apakah ini potongan puzzle cocok di sini?) melalui
bermain. Anak-anak juga belajar warna, angka, ukuran dan bentuk. Mereka
memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan memori mereka serta
rentang perhatian mereka. Anak-anak beralih ke tingkat yang lebih tinggi dari
pemikiran karena mereka bermain di lingkungan yang lebih merangsang.
c. Mengembangkan kemampuan bahasa. Bahasa anak berkembang melalui kegiatan
bermain dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dimulai dengan bermain
bersama antara orang tua dengan anak-anak mereka lewat bercerita dan membuat
lelucon.
d. Mengembangkan keterampilan sosial. Dengan bermain anak belajar untuk bekerja
sama, bernegosiasi, bergiliran dan bermain sesuai aturan keterampilan yang
dipelajari di awal permainan. Keterampilan ini tumbuh sebagai sejalan dengan
pertumbuhan usia anak. Dengan demikian anak-anak akan belajar tentang peran
dan aturan dalam suatu masyarakat
Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan tentang bermain dan pengaruhnya
terhadap diri dan lingkungannya seperti disajikan pada Tabel 2.1. berikut ini
~ 15 ~
Tabel 2.1. Teori Belajar Berdasarkan Alasan dan Manfaat
THEORIES REASONS FOR PLAY GREATEST BENEFITS
Surplus EnergyH. Spencer
To discharge the natural energy of the body
Physical
Renewal of EnergyG.T.W. Patrick
To avoid boredom while the natural motor functions of the body are restored Physical
RecapitulationG.S. Hall
To relive periods in the evolutionary history of the human species Physical
Practice for AdulthoodK. Groos
To develop skills and knowledge necessary for functioning as an adult
Physical, intellectual
PsychoanalyticS. Freud, A. Freud , E. Erikson
To reduce anxiety by giving a child a sense of control over the world and an acceptable way to express forbidden impulses
Emotional, social
Cognitive – DevelopmentalJ. Bruner, J. Piaget
B. Sutton-Smith
To facilitate general cognitiveDevelopment; To consolidate learning that has already taken place while allowing for the possibility of new learning in a relaxed atmosphere
Intellectual, social
Arousal ModulationD.E. Berlyne, G. Fein
H. Ellis
To keep the body at an optimal state of arousal; To relieve boredomTo reduce uncertainty
Emotional, physical
NeuropsychologicalO. Weininger, D. Fitzgerald
To integrate the functioningof the right and left cerebral hemispheres
Biological, intellectual
Sumber: HUGHES, FERGUS P. Children, Play, and Development. USA; Allyn & Bacon, 1995. p. 15
Pada awalnya teori bermain lebih mengarah hanya pada manfaat fisik dari
bermain. Menurut Herbert Spencer (1873) dengan teori "Surplus energi", bermain
diperlukan untuk memungkinkan anak-anak untuk membuang kelebihan energi.
Kebalikan dari pandangan Spencer, G.T.W. Patrick (1916) menjelaskan tujuan
bermain sebagai pembaharuan energi (Hughes,1995) dan kebutuhan untuk relaksasi
(Mussen, 1983). Dia melihat bermain sebagai alat yang membuat anak-anak yang
diduduki sementara mereka mengembalikan pasokan energi alami mereka.
Teori kontemporer Erikson, Freud, Ellis dan Piaget menekankan pentingnya
bermain dalam pembangunan sosial, kognitif dan emosional anak-anak. Mereka
menganggap bermain sebagai bagian penting dan integral dari masa kanak-kanak
(Hart, 1993). Sebagai ahli teori psychoanalitic, Sigmund Freud menyarankan fungsi
utama bermain sebagai pengurangan kecemasan. Menurut dia, sumber perasaan anak,
seperti marah, takut tidak masuk akal, dan rasa ingin tahu seksual, diciptakan oleh
~ 16 ~
masyarakat dewasa. Dengan bermain, anak mengeksplorasi perasaan ditolak tanpa
menghadapi halangan dewasa (Hughes, 1995).
Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran
terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan
pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, bermain sebagai
gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam
berbagai lingkungan budaya (Singer, et al, 2006). Menurut Bruner perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat
lingkungan Tahap pertama adalah tahap enaktif, di mana individu melakukan
aktivitas–aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap
ikonik, dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap
terakhir adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang
banyak dipengaruhi bahasa dan logika (Slavin 2009)
Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut
Conny R. Semiawan (Jalal, 2002) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh
anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua
aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak
dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui
dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat
mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental
intelektual dan spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak merupakan jembatan bagi
berkembangnya semua aspek.
Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan
praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran bermakna,
pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active
learning) dan psikologi perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya
sama, bahkan metodologi pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi
yang berbeda terkait dengan penekanan konseptualnya yang relevan dengan
perkembangan moral dan kejiwaan anak. Anak akan bersemangat dan gembira dalam
belajar karena mereka tahu apa makna dan gunanya belajar, karena belajar sesuai
dengan minat dan hobinya (meaningful learning) karena mereka dapat memadukan
konsep pembelajaran yang sedang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan
dengan berbagai topik yang sedang “in” berkembang di masyarakat (Kholil, 2009).
~ 17 ~
Adapun ciri-ciri pokok Pembelajaran yang menyenangkan ( joyful learning ) ialah:
a) Adanya lingkungan yang rileks, menyenangkan, tidak membuat tegang ( stress ),
aman, menarik, dan tidak membuat siswa ragu melakukan sesuatu meskipun
keliru untuk mencapai keberhasilan tinggi;
b) Terjaminnya ketersediaan materi pelajaran dan metode yang relevan;
c) Terlibatnya semua indera dan aktivitas otak kiri dan kanan;
d) Adanya situasi belajar yang menantang ( challenging ) bagi peserta didik untuk
berfikir jauh ke depan dan mengeksplorasi materi yang sedang dipelajari ;
e) Adanya situasi belajar emosional yang positif ketika para siswa belajar bersama,
dan ketika ada humor, dorongan semangat, waktu istirahat, dan dukungan yang
enthusiast.
(Corbell, 1999)
Dalam pembelajaran yang menyenangkan guru tidak membuat siswa :
a) Takut salah dan dihukum;
b) Takut ditertawakan teman-teman;
c) Takut dianggap sepele oleh guru atau teman;
Di sisi lain, pembelajaran yang menyenangkan dapat membuat siswa :
a) Berani bertanya;
b) Berani mencoba/membuat;
c) Berani mengemukakan pendapat/gagasan ;
d) Berani mempertanyakan gagasan orang lain.
Dalam mempelajari IPA banyak menerapkan konsep dasar dan prinsip dasar, maka
siswa dituntut untuk berfikir secara ilmiah dan memiliki sifat ilmiah, oleh karena itu
penggunaan pendekatan keterampilan proses sangat tepat dilakukan. Hal ini dapat
diwujudkan melalui penerapan teori pembelajaran kognitif yang dalam psikologi
pendidikan dikelompokkan dalam teori konstruktivisme dan memberikan penjelasan
tentang pembelajaran yang berpusat pada proses mental yang sulit diamati.
Salah satu rahasia keberhasilan dalam belajar Sains pada anak adalah dengan
mengkombinasikannya dengan permainan. Selain itu proses belajar ini harus dirangkai
dengan diskusi dan pengulangan penyajian materi. Penelitian tentang penguasaan materi
pengajaran Sains menggunakan sistem belajar yang dikombinasikan dengan permainan
yang dilakukan oleh Saptorini (2011) pada sejumlah anak di SD Al Azhar Syifa Budi
Cibinong menunjukkan bahwa 93 % siswa mengalami ketuntasan belajar atau memperoleh
nilai di atas 70 setelah 3 kali pengulangan.
~ 18 ~
Siswa yang akan diuji, setelah menerima materi dari guru, diminta untuk
mengungkapkan pendapat baik dalam kelompok maupun dalam diskusi kelas.
Kemudian dilanjutkan dengan sistem bermain menggunakan gambar. Kemudian anak
di perlihatkan gambar di kartu, sesaat kemudian diperlihatkan tulisannya kemudian
anak dibagi menjadi 4 kelompok. Diakhir pengujian anak mengerjakan test untuk
mengetahui tingkat penguasan materi. Siswa yang diuji berjumlah 29 orang. Masing-
masing kelompok diberi 10 set kartu bergambar dikartu dan siswa diminta
menuliskan gambar yang dilihatnya tadi. Dalam 1 kelompok dibagi 2 yang kelompok
satu memegang kartu gambar yang kelompok yang lain memegang kartu tulisan.
Kemudian mereka saling menebak kartu yang dipegang. Setelah hafal mereka
bertukar peran. Dengan metoda ini ternyata. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
penerapan belajar dengan bermain efektif meningkatkan daya serap anak untuk belajar
Sains.
~ 19 ~
BAB III:PEMBAHASAN
Terdapat tiga isu utama dalam peningkatan kualitas pendidikan yaitu pembaruan
kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektifitas metode pembelajaran.
Kurikulum pendidikan harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial,
relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan keberagaman keperluan dan
kemajuan teknologi. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan
kualitas hasil pendidikan. Dan secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan
pembelajaran yang efektif di kelas, yang lebih memberdayakan potensi anak (Nurhadi,
dkk.,2003).
Paradigma baru pendidikan yang semula sentralistik kini telah berubah menjadi
desentralistik. Institusi pendidikan (sekolah) dan pengajar (guru) menjadi tumpuan utama
tingkat keberhasilan dan mutu pendidikan. Sekolah dan guru harus mampu merancanakan,
mengelola dan mengevaluasi dari kinerja rancangannya tersebut. Untuk itulah manfaatnya
manggaluri/mendeskripsikan alur apa dan mengapa KTSP harus menerapkan pembelajaran
yang menyenangkan dan model pembelajaran inovatif.
Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan
praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran bermakna, pembelajaran
kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active learning) dan psikologi
perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya sama, bahkan metodologi
pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi yang berbeda terkait dengan
penekanan konseptualnya yang relevan dengan perkembangan moral dan kejiwaan anak.
Anak akan bersemangat dan gembira dalam belajar karena mereka tahu apa makna dan
gunanya belajar, karena belajar sesuai dengan minat dan hobinya (meaningful learning)
karena mereka dapat memadukan konsep pembelajaran yang sedang dipelajarinya dengan
kehidupan sehari-hari, bahkan dengan berbagai topik yang sedang “in” berkembang di
masyarakat (Kholil, 2009).
Mereka dapat belajar dari lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosialnya (contextual teaching and learning). Mereka juga bergembira dalam
belajar karena memulainya dari sesuatu yang telah dimilikinya sendiri, sehingga timbul
rasa “PD” (percaya diri) dan itu akan menimbulkan perasaan diakui dan dihargai yang
menyenangkan hatinya karena ia diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya (teori
konstruktivisme) sesuai ciri-ciri perkembangan fisiologis dan psikologisnya. Hal tersebut
~ 20 ~
pada gilirannya akan memotivasi mereka untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran
karena atmosfer pembelajaran yang sesuai kepentingannya dan diciptakannya sendiri
(Slavin, 2009).
Dalam hal ini, sampai kira-kira anak-anak berusia remaja, pembelajaran yang
menyenangkan akan seiring dengan belajar sambil bermain, yang mau tidak mau akan
mengajak peserta didik untuk aktif. Sambil bermain mereka aktif belajar dan sambil
belajar mereka aktif bermain. Dalam bermain mereka mendapatkan hikmah esensi suatu
pengetahuan dan keterampilan, sambil belajar mereka melakukan refreshing agar kondisi
kejiwaan mereka tidak dalam suasana tegang terus-menerus. Tidak ada metode standar
untuk pembelajaran yang menyenangkan ini. Setiap guru sesuai dengan konteks kelas dan
perkembangan usia mental siswa dapat memilah dan memilih metode yang sesuai atau
bahkan metode yang diciptakannya sendiri (Kholil, 2009 ).
Siswa akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat
mengkomunikasikan gagasannya dengan siswa lain atau guru. Dengan kata lain siswa
membangun pemahaman melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi
memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa melalui diskusi, saling
bertanya, dan saling menjelaskan. Interaksi dapat ditingkatkan dengan belajar kelompok.
Penyampaian gagasan oleh siswa dapat mempertajam, memperdalam, memantapkan atau
menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh tanggapan dari siswa lain atau guru.
PBM perlu mendorong siswa untuk mengkomunikasikan gagasan, hasil kreasi dan
temuannya kepada siswa lain., guru atau pihak-pihak lain. Dengan demikian KBM
memungkinkan siswa bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap,
kemampuan, prestasi ) dan berlatih untuk bekerja sama. Artinya KBM perlu mendorong
siswa untuk mengembangkan empatinya sehingga dapat mengembangkan saling
pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakan.
Hasil belajar yang bermakna (meaningful learning) lebih lama dikuasai daripada
belajar menghafal. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang substantif dan non arbiter
dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif. Keadaan demikian
memungkinkan sejumlah besar bahan dapat disatukan dalam struktur kognitif dengan
penguasaan yang lebih efektif (Sukmadinata, 2010 dan Vallori, 2002).Hubungan suatu
konsep yang dipelajari dengan pembelajaran yang bermakna menyebabkan konsep tersebut
lebih lama dikuasai dalam ingatan.
Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel ada tiga kebaikan dari belajar bermakna
yaitu : (a) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (b)
~ 21 ~
Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk
materi pelajaran yang miri, (c) Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah
belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa
(http://www.edutopia.org/pdfs/edutopia-teaching-for-meaningful-learning.pdf ) .
Berdasarkan hasil penelitian Anggoro dan Husin (2008), Anggoro dan Badarudin
(2009) serta Anggoro dan Iswasta (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran IPA
menggunakan metode ceramah atau diskusi tingkat keberhasilannya lebih rendah
dibandingkan apabila menggunakan pendukung berupa media pembelajaran. Sebagai
contoh, dalam pembelajaran matematika atau IPA (sains) di kelas III SD, siswa bermain
pesawat terbang kertas (origami) sambil belajar. Setiap anak menyiapkan soal matematika
yang ditulis di sisi sayap sebelah kiri, kemudian pesawat terbang diterbangkan. Pesawat
terbang meluncur, siswa yang kebetulan kejatuhan dan atau tertabrak pesawat terbang itu
adalah siswa yang wajib menjawab soalnya di sisi sayap sebelah kanan. Setiap anak
berkesempatan untuk menerbangkan pesawat terbangnya sendiri, dengan kata lain, setiap
siswa diberi kesempatan secara aktif membuat soalnya sendiri. Pada akhir pembelajaran
guru dan para siswa melakukan refleksi dan penarikan simpulan bersama. Refleksi adalah
cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa
yang sudah dilakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya
sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari
pengetahuan sebelumnya. Inilah yang menjadi ciri pendekatan konstruktivistik.
Belajar yang menyenangkan itu penting. Sebagai guru diharapkan untuk
menciptakan kondisi tersebut. Terkait hal tersebut dalam buku “Genius Learning Strategy”
Andi Wira Gunawan menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada mata pelajaran yang
membosankan, yang ada adalah guru yang membosankan, suasana belajar yang
membosankan. Hal ini terjadi karena proses belajar berlangsung secara monoton dan
merupakan proses perulangan dari itu ke itu juga tiada variasi. Proses belajar hanya
merupakan proses penyampaian informasi satu arah, siswa terkesan pasif menerima materi
pelajaran (Brougere, 1999).
Suatu penelitian tentang “cara kerja otak” menunjukkan bahwa ketika kita senang,
maka hormon “neorotransmitter dopamine” dilepaskan dalam otak. Hal itulah yang
membuat kita merasa senang. Jude Willis (2011) mengemukakan bahwa kita
membutuhkan dopamine mengalir di dalam otak peserta didik, ketika mereka belajar.
Kesenangan itu harus menjadi bagian dari pembelajaran. Semakin para siswa aktif terlibat
dalam sebuah kegiatan pembelajaran, semakin otak mengalami perubahan.
~ 22 ~
Metode pembelajaran yang berlangsung saat ini dengan penyajian lebih menitik
beratkan pada rangsangan dengar (auditory) berupa latihan (drill), pengulangan,
orientasinya detail, kurang melibatkan proses pemecahan suatu masalah, sangat sesuai
dengan pola belajar pada otak kiri, dimana individu tersebut kurang hiperaktif dan tidak
mendapatkan terlalu banyak rangsangan. Masalah mulai timbul karena pada generasi anak
saat ini dimana dengan berkembangnya budaya, sejak kecil anak telah diberi banyak
rangsang penglihatan (visual), misalnya rangsangan dari TV dll; sehingga pola
pembelajaran anak bergeser kearah otak kanan dengan pola berpikir secara visual dan
lemah dalam menerima rangsang dengar (auditory) tetapi mempunyai kemampuan untuk
pemecahan masalah. Hal ini mengakibatkan jurang antara anak didik dan guru menjadi
lebar, karena pola pembelajaran disekolah tidak sesuai dengan pola pembelajaran yang
dibutuhkan; sekolah menjadi tidak sejalan dengan pikiran anak. Sementara itu para
pendidik yang umumnya adalah populasi dengan pola otak kiri, seperti juga pada dominasi
otak kiri lainnya, mempunyai kelemahan berupa kesulitan untuk dapat memahami bahwa
orang lain mempunyai cara pandang yang berbeda dalam memproses keadaan. (Freed,
1997 dalam Willis, 2011).
Sains selain sebagai produk juga sebagai proses tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Pernyataan di atas selaras dengan pendapat Carin yang menyatakan bahwa sains
sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum dan teori sains.
Fakta merupakan kegiatan-kegiatan empiris di dalam sains dan konsep, prinsip, hukum-
hukum, teori merupakan kegiatan-kegiatan analisis di dalam sains. Sebagai proses sains
dipandang sebagai kerja atau sesuatu yang harus dilakukan dan diteliti yang dikenal
dengan proses ilmiah atau metode ilmiah, melalui keterampilan menemukan antara lain,
mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan keterampilan spesial,
mengkomunikasikan, memprediksi, menduga, mendefinisikan secara operasional,
merumuskan hipotesis, menginterprestasikan data, mengontrol variabel, melakukan
eksperimen. Sebagai sikap sains dipandang sebagai sikap ilmiah yang mencakup rasa ingin
tahu, berusaha untuk membuktikan menjadi skeptis, menerima perbedaan, bersikap
kooperatif, menerima kegagalan sebagai suatu hal yang positif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya sains terdiri atas tiga
komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan
pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga merupakan kegiatan atau proses aktif
menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam. Hal ini dapat dicapai
melalui joyful learning dan active learning (Benek-Rivera dan Mathews,2004).
~ 23 ~
Dalam mempelajari IPA banyak menerapkan konsep dasar dan prinsip dasar, maka
siswa dituntut untuk berfikir secara ilmiah dan memiliki sifat ilmiah, oleh karena itu
penggunaan pendekatan keterampilan proses sangat tepat dilakukan. Hal ini dapat
diwujudkan melalui penerapan teori pembelajaran kognitif yang dalam psikologi
pendidikan dikelompokkan dalam teori konstruktivisme dan memberikan penjelasan
tentang pembelajaran yang berpusat pada proses mental yang sulit diamati.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan Tahap pertama adalah tahap enaktif, di
mana individu melakukan aktivitas–aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan.
Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-
gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika (Slavin 2009).
Joyful learning diakui berhasil membuat siswa merasakan atmosfer pembelajaran
yang berbeda dan menyenangkan. In seperti yang dilaporkan oleh Hongkong Arts
Development Council (2005) yang melakukan kolaborasi pembelajaran antara minimimal
2 sekolah untuk membuat pembelajaran tentang seni dan sejarah. Hasil penelitian Chopra
dan Chabra (2013) menujukkan hal yang sama di India. Melalui Project PEACE yang
dilaporkan oleh Posma (2004) pendekatan joyful learning dapat digunakan untuk
membelajarkan tentang sanitasi dan pemanfaatan sumberdaya air yang baik. Hayes (2007)
melaporkan bahwa joyful learning sangat tepat digunakan untuk sekolah dasar dalam
bebrbagai mata pelajaran.
~ 24 ~
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching and assessing: A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives: Complete edition, New York : Longman
Anggoro, Subuh dan Arief Husin (2008). Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa dalam Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan pada Pokok Bahasan Difusi dan Osmosis menggunakan Model Pembelajaran CBSA dengan Pendekatan Discovery. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)
Anggoro dan Iswasta Eka (2009). Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa dalam Mata Kuliah Konsep Dasar IPA pada Pokok Bahasan Energi dan Perubahannya menggunakan Model Pembelajaran CBSA dengan Pendekatan Discovery. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)
______________________(2009). Pengembangan Perangkat Praktikum Pembelajaran BIOLOGI SD Model Laboratorium Kering. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)
_____________________ (2010). Model Pembelajaran PAKEM dan Perangkat Praktikum Pembelajaran berbasis Multimedia (Upaya peningkatan pemahaman konsep dalam Mata Kuliah BIOLOGI SD). Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)
Anggoro, Subuh dan Badarudin (2011). Perangkat Pembelajaran Bumi dan Ruang Angkasa berbasis Multimedia (Upaya peningkatan Prestasi dan Minat Mahasiswa dalam Mata Kuliah Bumi dan Ruang Angkasa). Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)
Bloom, Benjamin S. & David R. Krathwohl. (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals, by a committee of college and university examiners. Handbook 1: Cognitive domain. New York , Longmans.
Benek-Rivera, J and Vinilla E. Mathews. (2004). Active Learning with Jeopardy: Students Ask the Questions J. Of Management Educations 2004. Vol 28: 104 [Online] tersedia: h ttp://jme.sagepub.com/content/28/1/104
Brougere. (1999). Some Elements Relating to Children's Play and Adult Simulaton/ Gaming. Simulation Gaming 1999 30: 134 . DOI: 10.1177/104687819903000204 [Online] tersedia:http://sag.sagepub.com/content/30/2/134
Brotherson, Sean. (2009). Young Children and the important of Play. dalam Bright Beginning #23 August 2009 [Online] tersedia. www.ag.ndsu.edu [20 Agusutus 2012]
~ 25 ~
Chopra, Varma dan Sonal Chabra,.2013. Digantar In India: A Case Study For Joyful Learning. Journal of Unschooling and Alternative Learning 2013 Vol. 7 Issue 13.
Corbell, Peter. (1999). Learning from the Children: Practical and Theoretical Reflections on Playing and Learning Simulation and Gaming 1999 30:163. [Online] tersedia:http://sag.sagepub.com/ content/30/2/163 DOI: 10.1177/1057083710373578
Furtak, Erin Marie, Tina Seidel, Heidi Iverson and Derek C. Briggs 2012. Teaching : A Meta-Analysis Experimental and Quasi-Experimental Studies of Inquiry-Based Science Review Of Educational Research 2012 82: 300 104 [Online] tersedia:http://rer.sagepub.com / content/82/3/300 DOI: 10.3102/0034654312457206
Hart, Christina, P. Mulhall, A. Berry, J. Loughram, R. Gunstone. 2000. What is the Purpose of this Experiment?Or Can Students Learn Something from Doing Experiments? J Res Sci Teach 37: 655±675 . John Wiley & Sons, Inc.
Hayes, Denis, 2007 . Joyful Teaching and Learning in Primary School. Great Britain by Bell & Bain Ltd, Glasgow
Hongkong Arts Development Council, 2005. Joyful Learning The Arts-in Education Program. Hongkong Arts Development Council. Hongkong
Hughes, F.P. (1995). Children, Play, and Development. Allyn and Bacon U S A : Simon & Schuster Company
Kartikawati dan W. Setiawan. 2010. Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). P4TK IPA. Bandung
Kholil, Anwar. (2009). Joyful Learning sebagai Landasan Pembelajaran Siswa Aktif. [Online] tersedia http.kholil.blogspot.com
Koops, Lisa Huisman and Cynthia Crump Taggart. 2010. Learning Through Play: Extending an Early Childhood Music Education Approach to Undergraduate and Graduate Music Education Journal of Music Teacher Education 2011 20: 55 originally published online 15 June 2011 Ciaran Sugrue (ed.) London: Routledge, 2008 ISBN 0415431077
Kompas, 2012. Sistem Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia. 27 Nopember 2012 [Online] tersedia : www.kompas.com
Kompas, 2012. Pendidikan Asia Nomor Satu di Dunia. 12 Desember 2012 [Online] tersedia : www.kompas.com
Marsh, Collin. (2008). Becoming a Teacher. Knowledge, Skills and Issues. Pearson Education. Australia
~ 26 ~
Metin, Pinar. (2010). The Effects Of Traditional Playground Equipment Design In Children’s Developmental Needs [Online] tersedia:
Moore, R.C., Goltsman, S.M., & Iacofano, D.S. (1992). Play for All Guidelines: Planning, Design and Management of Outdoor Play Settings For All Children. Berkeley: MIG Communications,
Mussen, P.H. (1983). Handbook of Child Psychology. United States of America: John Wiley & Sons,
Nurihsan, A. Juntika dan Agustin Mubiar. (2011). Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja Tinjauan Psikologi, Pendidikan dan Bimbingan. Bandung: Refika Aditama
Papalia, D.E., & Olds, S.W. (1993). A Child’s World: Infancy Through Adolescence.
United States of America: Mc Graw-Hill,
Perry, B.D. (2001). “ The Importance of Pleasure in Play” Early Childhood Today. Vol.15, 7(2001)
Piaget, J. (1962). Play, Dreams and Imitation in Childhood. NewYork:Norton.
Posma, Leonia, 2004. Joyful Learning on Hygiene, Sanitation, Water, Health and The Environment. Source Book for Lesson Plan. Participatory Education Activities for Children and Educators (PEACE) IRC International Water and Sanitation Centre 2004
Rana M. Tamim, Robert M. Bernard, Eugene Borokhovski, Philip C. Abrami and Richard F. Schmid. 2011. Learning : A Second-Order Meta-Analysis and Validation Study What Forty Years of Research Says About the Impact of Technology on Education. Review Of Educational Research 2011 81: 4 . 104 [Online] tersedia: http://sag.sagepub.com/ content/40/2/217. DOI: 10.3102/0034654310393361
Raymund, J.F.(1995) “From Barnyards to backyards: An Exploration Through Adult Memories and Children’s Narratives in Search of an Ideal Playscape” Children’s Environ m ents.1995 12(3)
Roth, Wolff-Michael and Lee, Yew-Jin . 2007. “Vygotsky’s Neglected Legacy”: Cultural-Historical Activity Theory. Review of Educational Research June 2007, Vol. 77, No. 2, pp. 186–232. [Online] tersedia:http://rer.aera.net . DOI: 10.3102/0034654306298273
Ruhimat, Toto. 2009. Pengembangan Pembelajaran Siswa Aktif (Active Learning). [Online] tersedia. http//www.repository. upi.edu [21 September 2012]
Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Sardiman. (2004). Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
~ 27 ~
Schneider, Rebecca M. and Kellie Plasman. (2011) Science Teacher Learning Progressions : A Review of Science Teachers' Pedagogical Content Knowledge Development. Review Of Educational Research 2011 81: 530. [Online] tersedia: http://rer.sagepub.com/content/81/4/530
Slavin, Robert E. ( 2009 ). Cooperative Learning. Bandung: Nusamedia.
Stewart, Alice Stewart, Susan M. Houghton and Patrick R. Rogers.(2012). Using a Trading Room to Teach Strategy Instructional Design, Active Learning, and Student Performance: J. Of Management Educations 2004. Vol 8: 27 [Online] tersedia:http://jme.sagepub.com/content/early/ 2012/08/27 /1052562912456295
Singer, D., Golinkoff, R. M., & Hirsh-Pasek, K. (Eds.) (2006). Play=Learning:How play motivates and enhances children’s cognitive and social-emotional growth. New York, NY: Oxford University Press.
Spicer, David Eddy. 2010. Book Review: The Future of Educational Change: International Perspectives. Journal of Research in International Education 2010 9: 100 [Online] tersedia:http://jri.sagepub.com/content/9/1/100 DOI: 10.1177/14752409100090010603
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung ; PT Remaja Rosdakarya
Vallori, A. Ballester. (2002). Meaningful Learning in Practice: How to put meaningful learning in the classroom. Seminar of Meaningful Learning. [Online]. tersedia: http://www.aprendizajesignificativo.es/wp-content/uploads/ 2011/05/meaningful_learning_in_practice.pdf (tanggal 19 Desember 2012)
Wadell, K.A. ( 2 0 0 1 ) “ What is the Minimum Standard of Care That the Playground Owner Must Provide?” Parks and Recreation. Vol.36, 4(2001)
Willis, Jude. (2011). Understanding How the Brain Thinks. [Online] tersedia: http://www.edutopia.org/blog/willis_judemd/ Understanding How the Brain Thinks
http://sites.wiki.ubc.ca/etec510/Ausubel's_Assimilation_Learning_Theory:_Theoretical_Basis_for_Concept_Maps_and_E-Maps (19122012)
http://www.edutopia.org/pdfs/edutopia-teaching-for-meaningful-learning.pdf (19122012)
~ 28 ~
PROPOSAL TESIS
Dibuat untuk Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Pedagogy Pendidikan Dasar
Dosen : DR. H. Y. Suyitno, M.Pd.
Oleh :
SUBUH ANGGORO1201002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASARSEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013
~ 29 ~
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Joyful Learning”
untuk pemenuhan salah satu tugas Mata Kuliah Inovasi Pendidikan yang diampu oleh Dr. H.
Sholehuddin, MA, M.Pd. Secara garis besar makalah ini berisikan uraian tentang sebuah alternatif
pendekatan pembelajaran yang dapat membuat siswa merasa belajar adalah menyenangkan.
Saya menyadari tulisan ini masih belum sempurna. Saran dan kritik saya harapkan untuk
menjadikan hasil makalah ini selalu lebih baik. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi
khasanah pengetahuan kita.
Bandung, 03 April 2013
Subuh AnggoroHilman Himawan
Desemberi Tri Anugrahwati
~ 30 ~