makalah imunologi "lupus"

22
1 MAKALAH IMUNOLOGI Systemic Lupus Erythematosus (SLE)OLEH: DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA NPM. 13161010 MATRIKULASI FA 1 SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG BANDUNG 2016

Upload: criss-dhyon

Post on 13-Apr-2017

181 views

Category:

Education


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

1

MAKALAH IMUNOLOGI“Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”

OLEH:DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA

NPM. 13161010MATRIKULASI FA 1

SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNGBANDUNG

2016

Page 2: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Lupus atau yang biasa dikenal dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah

penyakit inflamasi atau autoimun multiorgan yang penyebabnya belum secara jelas

ditemukan. Munculnya SLE dikarenakan adanya penyimpangan dari reaksi imunologik yang

menyebabkan tubuh menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi yang dihasilkan

secara terus menerus menyebabkan adanya kerusakan sitotosik. Bagian dari antibodi ini

kemudian menyebabkan terbentuknya kompleks imun, dimana kompleks ini merupakan

pencetus penyakit inflamasi imun (Darmawan, Nasution, Kalim & Sidabutar, 1997).

Penyakit Lupus menyerang hampir 90% perempuan. Tercatat bahwa kurang lebih 5 juta

pasien Lupus tersebar di seluruh dunia dan setiap tahunnya mengalami peningkatan sebanyak

100.000 pasien baru. Data di Amerika menunjukkan indisiden penyakit Lupus Ras Asia lebih

tinggi dibandingkan ras Kaukasia. Di Indonesia jumlah penderita lupus yang tercatat sebagai

anggota YLI >10.000 orang, tetapi bila kita melakukan pendataan lebih seksama jumlah

pasien Lupus di Indonesia akan lebih besar dari Amerika ( 1.500.000 orang) (Yayasan Lupus

Indonesia, 2011).

Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi pada

berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk. SLE

lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan

mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan

insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah

1:1000. Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi

terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang

hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi,

sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia sendiri jumlah penderita

SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di

Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia, 2011). Prevalensi penyakit

iflamasi sistemik berdasar diagnosis naskes di Indonesia adalah 11,9%. Prevalensi tertinggi di

Bali 19,3%, Aceh 18,3%, Jawa Barat 17,5 dan Papua 15,4%. Prevalensi penyakit sendi

beradasarkan jenis kelamin, diperoleh lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki-

Page 3: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

3

laki yaitu 13,4% dan 10,3% (Riskesdas, 2013). Dari data Dinas kesehatan provinsi Bali

diperoleh data kasus sistemik lupus eritematosus pada tahun 2012 sebanyak 25 kasus dan

mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebanyak 75 kasus.

Penyebab munculnya penyakit ini belum bisa dipastikan, dapat karena pengaruh

lingkungan, hormonal atau genetik. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit yang

timbul ketika tubuh melakukan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus asing dan

memproduksi banyak antibodi maupun protein-protein yang melawan jaringan tubuh. Oleh

sebab itu, lupus disebut dengan penyakit autoimun (Wallace, 2007).

Penderita lupus pada umumnya mengalami kemunduran baik secara fisik maupun psikis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak negatif dari SLE pada citra tubuh serta

ketidakpuasan seksual akan meningkat ketika pasien mengalami tingkat kelelahan dan gejala

depresi yang tinggi (Seawell & Burg, 2005). Manifestasi klinik yang dialami oleh penderita

lupus umumnya berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi kelainan kulit yang akut muncul

pada penderita Lupus berupa bercak malar yang menyerupai kupu-kupu. Bercak yang paling

sering ditemukan adalah bercak malar akut berupa eritema menonjol, terasa gatal, ataupun

nyeri. Beberapa jenis kelainan kulit yang dialami biasanya bersifat sementara dan tidak

meninggalkan bekas ketika sembuh. Akan tetapi untuk kelainan kulit yang bersifat akut

biasanya setelah sembuh akan meninggalkan bekas di kulit dan susah hilang dalam jangka

waktu yang cukup lama (Darmawan, Nasution, Kalim, & Sidabutar, 1997). Bentuk

manifestasi klinik lainnya yang dialami oleh penderita Lupus adalah apoleksia. Apoleksia

adalah tanda yang umum terjadi pada SLE dimana terjadi kerontokan rambut secara luas dan

subtotal. Rambut yang rontok dapat diasosiakan dengan kambuhnya SLE dan rambut yang

rontok ini akan tumbuh lagi setelah SLE dalam remisi. Kebotakan permanen yang dialami

oleh pasien SLE ini biasanya disebabkan karena kortikos teroid atau obat sitotosik. Secara

fisik, penderita SLE mengalami keluhan secara sistemik yang berhubungan dengan fungsi

fisiknya. Badan terasa lemas, lesu, dan mudah capek yang amat sangat menjadi penghalang

bagi penderita SLE untuk dapat melakukan kegiatan normal sehari-harinya. Bentuk keluhan

lain yang dirasakan adalah demam 38° Celsius, badan terasa pegal dan nyeri otot serta

penurunan berat badan. Gangguan penyakit SLE yang meningkat dari waktu ke waktu dan

penyembunyian gejala yang dialami, dapat menyebabkan depresi pada SLE (Schattner,

Shahar, Lerman & Shakra, 2010).

Dari berbagai macam bentuk manifestasi klinik yang muncul pada penderita SLE khususnya

secara fisik, maka secara psikologis muncul rasa kurang percaya diri pada penderita lupus.

Page 4: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

4

Bekas dari bercak merah yang muncul di kulit hingga kerontokan yang menyebabkan

kebotakan, membuat pasien lupus menjadi malu dan stres dengan keadaan fisik yang dialami.

Stres yang muncul membuat pasien lupus menjadi khawatir dan tidak dapat menerima

keadaan dan kondisinya saat ini.

Pada saat seseorang divonis menderita SLE, maka keadaan ini akan mengubah pola

hidup nya. Pasien yang divonis SLE mungkin akan mengalami kehilangan pekerjaan,

kehilangan kepercayaan diri yang dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan emosional.

Tidak hanya itu saja, bagi pasien wanita pada usia dewasa awal akan mengalami perubahan

citra diri dan konsep diri mereka, pada umumnya hal ini akan menyebabkan terjadinya

dampak psikologis yang berat bagi pasien terutama dalam penerimaan dirinya. Perbedaan

kondisi pasien sebelum dan sesudah divonis SLE pasti sangat berbeda, sehingga pasien

dituntut untuk dapat beradaptasi dengan baik dengan kondisi yang dialaminya. Perubahan

pola hidup yang disebabkan oleh sakit ini dapat menjadi faktor sulitnya penerimaan diri pada

pasien dengan SLE (Hidayat, 2005).

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi systemic lupus erithematosus ?

2. Apa saja etiologi dan faktor prediposisi SLE?

3. Bagaimana gambaran klinis SLE?

4. Terapi apa yang bisa dilakukan untuk SLE?

1.3. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui secara rinci systemic lupus erithematosus

2. Mengetahui etiologi dan faktor predIposisi SLE

3. Mengetahui gambaran klinis SLE

4. Mengetahui terapi yang dapat dilakukan untuk SLE

Page 5: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

2.1.1.Definisi

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan

erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus

pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit

kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.

Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan

Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan

manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi

pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah

penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,

pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada

beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode

sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.

Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit

yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan

organ yang terlibat.

2.1.2.Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor

predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa

faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan

berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang

berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

a. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk

autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah

ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot

berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah

Page 6: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

6

58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah

20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang

memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, Human

Leukosit Antigen (HLA) DR-2, FC (Factor Complement) reseptor 3A, Protein fosfat non

reseptor 22, Cytotoxic T limfosit turunan antigen, telah dikaitkan dengan timbulnya SLE.

Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor

risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q

homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi

varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

b. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan

memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang

berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya

sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan

reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel

T.

Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan

teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk

autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit

mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan

autoantibodi menjadi tidak normal.

Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi

yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk

memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi

autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

c. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi

menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi

Page 7: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

7

lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan

sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

d. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam

tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen

infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan

Clebsiella.

Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi

kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini

menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi

inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.

Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan

terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan

SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.

Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan

Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan

DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

2.1.3.Gambaran Klinis

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi.

Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf,

kardiovaskular, serta rongga mulut.

Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya. Keterlibatan

ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada populasi ini.

Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian

berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal.

Page 8: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

8

Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal.

Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan nekrosis avaskular telah

dilaporkan terjadi pada pasien SLE.

Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis dapat

dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous lupus

erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang

umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan

sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena membentuk seperti sayap kupu-kupu

(Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan.

Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE,

sebanyak 20% memiliki DLE.15,21

Gambar 1 . Butterfly rash.

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik.

SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler

datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif, kebanyakan memiliki

antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa

urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis.

Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20% pasien

SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung.

Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk

keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.

SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu,

kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama

kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh

penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan

Page 9: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

9

sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2

dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan populasi

umum. Kecenderungan peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan

pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid. SSP

dan trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama morbiditas pada pasien SLE.

Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.

2.1.4.Diagnosa

Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan

kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan

tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan,

foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi

perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali

memberikan gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis,

anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini

penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan

penyakit lain.

Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang

dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada tahun 1997

telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi.

Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.

Kriteria Definisi

1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung

tidak mengenai lipatan nasolabial.

2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan

sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang

sudah lama timbul.

3. Fotosensitivitas Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan

B

4. Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya

tidak nyeri jika sudah kronis.

Page 10: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

10

5. Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih

persendian perifer dengan rasa sakit disertai

pembengkakan

6. Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau

pada jantung disebut juga pericardium

7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan

tidak normal dalam urin terlihat dengan bantuan

mikroskop

8. Kelainan Saraf Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan

metabolik yang diketahui.

9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x

10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau

lebih pemeriksaan.

10. Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer

abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan

pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum

yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus

menggunakan uji standar.

11. Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak

adanya obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang

diinduksi obat.

Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE

mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA

positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan diagnosis

bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan tidak terlihat manifestasi

klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.

2.1.5.Terapi

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan

terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :

Page 11: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

11

a. Edukasi dan Konseling

Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien

SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh

pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara

mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari

secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak

kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.

b. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE,

antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas,

kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.

c. Terapi Medikasi

Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid

Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi

lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.

NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang

ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain.

Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat

menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah,

diare dan perdarahan lambung.

Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian

lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan

penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan

secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan

yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol

dan dalam waktu yang lama. Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid

terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya

resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi

dan moon face.

Antimalaria

Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari hydroxychloroquinon

dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin

Page 12: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

12

karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk

SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa

meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan

dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut

sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam

bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.

Immunosupresan

Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem imun

tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE

seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,

cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.

2.1.6.Manifestasi SLE pada Rongga Mulut

Sekitar 20-45% pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral. Beberapa manifestasi oral

yang timbul pada pasien SLE, antara lain :

a. Xerostomia

Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut. Sekitar 75%

penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering terutama ketika

makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi limfosit pada kelenjar saliva mayor telah

ditemukan pada 50-75% pasien SLE, baik pada pasien yang mengeluhkan adanya rasa kering

di mulut ataupun tidak. Laju aliran saliva yang tidak distimulasi terlihat menurun pada

beberapa penderita SLE. Hal ini dapat dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu Sjogren’s

Syndrome yang menyerang kelenjar saliva mayor. SLE juga menjadi komponen diagnosis

dari Sjogren’s Syndrom.

Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat pemeriksaan

kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat terlihat adanya peningkatan

konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya dalam batas normal. Hal ini

dapat terjadi karena Ig A dan Ig M disintetis secara lokal dan disekresikan ke dalam saliva,

sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian ini ditemukan pada 30% pasien lupus.

Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat disebabkan oleh penurunan kuantitas saliva.

b. Lesi Ulserasi

Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu kriteria

untuk penegakan diagnosis SLE. Dalam suatu studi, prevalensi ulserasi orofaringeal

berjumlah 15% pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE berukuran lebih dari 1 cm, dengan

Page 13: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

13

tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo. Ulser ini dapat timbul

sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada pasien lupus sering ditemukan

pada mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas ke daerah faring. Lesi juga dapat tidak

spesifik, asimtomatik, dan bila semakin parah akan menimbulkan rasa sakit dan tidak

nyaman, namun pada pasien lupus, ulser biasanya timbul pada saat lupus teraktifasi (flare up)

(Gambar 2). Biasanya, ulser pada pasien lupus lebih lama mengalami masa penyembuhan.

Penyembuhan lesi ini cenderung membentuk jaringan parut dan fibrosis.

Gambar 2. Ulser oral pada pasien SLE

Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk garis-garis

yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini dapat dikatakan mirip

dengan lichen planus. Hal ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi

mukokutaneus imunologik kronik yang memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan,

dan disertai ulser. Pada pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan antara SLE dan

lichen planus, yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular,

hiperkeratotis, dan atrofi perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan

hidung dapat membantu dalam menyingkirkan diagnosa lichen planus. Selain itu, pada

pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen planus, yaitu

pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah, sementara pada lichen

planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut

Page 14: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

14

Gambar 3. Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE.

Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir, seperti lesi ulser

yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat berupa vesikel berukuran kecil

dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam vesikel akan pecah dan menjadi ulserasi

yang pada permukaannya terlihat lapisan berwarna kekuningan.

Gambar 4. Lesi Herpes Simplek.

c. Lesi Diskoid

Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian tepi

vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari, sementara itu bibir bagian atas juga

Page 15: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

15

dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang terdapat pada kulit. Lesi

biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lamakelamaan berubah menjadi lesi

keratotik dan bersisik. Bila sisik diangkat, maka bibir akan perih dan menimbulkan

perdarahan.

d. Lesi Mirip Lichen Planus

Pada pasien SLE dapat terlihat beberapa lesi mirip lichen planus, namun tidak disertai

ulserasi. Lesi terlihat berupa garis-garis atau papula-papula putih halus berkilauan yang

tersusun dalam satu jaringan mirip jala dan pada umumnya tidak sakit. Lesi biasanya dapat

terlihat di pipi, lidah, bibir, gusi dan palatum. Lesi lain yang juga dapat terlihat pada pasien

SLE merupakan lesi bercakbercak pada mukosa yang berwarna merah, tanpa disertai

ulserasi. Striae sering terlihat di tepi lesi. Dapat terlihat di pipi, lidah, gusi, dan palatum.

Gambar 5. Lesi diskoid pada bibir pasien SLE. ,

Gambar 6. Lesi bibir bersisik dan merah pada

Page 16: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

16

Gambar 8 . Trush .

Gambar 7. Lesi mirip lichen planus retikuler

e. Kandidiasis Oral

Kandidiasis pseudomembran akut (trush) merupakan suatu infeksi opurtunistik yang

disebabkan oleh jamur candida albicans superfisial dan menjadi komplikasi paling sering

akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik yang sering digunakan

oleh pasien SLE. Secara klinis, thrush terlihat sebagai plak-plak putih, berkelompok,

mempunyai tepi eritematosus, dan jika dikerok akan meninggalkan permukaan yang merah,

kasar atau berdarah.

Kandidiasis hiperplastik kronis disebabkan oleh jamur candida sp. yang masuk

melalui permukaan mukosa dan menstimulasi respon hiperplastik. Lesi paling sering timbul

di daerah dorsum lidah, palatum dan sudut bibir. Lesi tersebut mempunyai tepi menimbul

yang tegas, dan permukaan putih berbintil-bintil dengan beberapa daerah merah dan tidak

dapat dikerok.

Page 17: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

17

Gambar 9. Kandidiasis hiperplastik kronis disudut mulut yang menyebar ke mukosapipi

Penggunaan antibiotik spektrum luas terutama tetrasiklin, dapat

mengakibatkan kondisi mulut yang disebut kandidiasis atrofik akut. Infeksi ini membuat

daerah mukosa permukaan mengelupas dan tampak seperti bercak-bercak merah difus. Sakit

seperti terbakar adalah keluhan utama.

Gambar 10. Kandidiasis atrofik akut.

Page 18: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

18

2.2. Kerangka Teori

Page 19: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

19

2.3. Kerangka Konsep

ODAPUS

(Orang Penderita Lupus )Manifestasi Oral

Xerostomia

Lesi Ulserasi

Lesi Merah dan Merah /Putih

Lesi Diskoid

Jenis kelamin

Page 20: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

20

BAB 3

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Lupus erythematosus (LE) merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat

kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.

Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri

dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang

jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan

kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki

korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, Human Leukosit

Antigen (HLA) DR-2, FC (Factor Complement) reseptor 3A, Protein fosfat non reseptor 22,

Cytotoxic T limfosit turunan antigen, telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu,

kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi

yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan

berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur

komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari target

organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti multiple

sclerosis, arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering menyulitkan

dalam penegakkan diagnosa.

Para tenaga medis sangat berhati-hati dalam mendiagnosa lupus eritematosus,

pemeriksaan status sistem imun yang lengkap dan menyeluruh, termasuk mengetahui seluruh

riwayat penyakit pasien mutlak diperlukan sebelum diagnosa lupus eritematosus ditegakkan.

Perkembangan penelitian penyebab dan pengobatan lupus eritematosus di dunia cukup

menjanjikan dalam 3 dekade terakhir, terlihat bahwa pendekatan pengobatan mulai berubah,

diagnosa dini mulai dapat ditegakkan, manifestasi penyakit pada sebagian besar pasien mulai

dapat dikontrol sehingga jumlah dan jenis obat-obatan yang dikonsumsi dapat dikurangi.

3.2.Saran

Dengan adanya makalah ini kami selaku penulis sangat berharap kepada seluruh

mahasiswa agar mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit Lupus erythematosus

Page 21: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

21

(LE). Semoga dengan adanya makalah ini dapat membawa pengaruh yang baik dan

bermanfaat bagi kita semua.

Kami penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari

itu kami mengharapkan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Page 22: MAKALAH IMUNOLOGI "LUPUS"

22

DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, Dede Farhan, 2008, Mengenal Penyakit Lupus. Diakses 2 mei 2014

http://www.panduankesehatan.com.

Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM, 2002, Systemic Lupus Erythematosus. Yayasan

Lupus Indonesia, Jakarta.

Joseph A. Bellanti, M.D, 1993, Imunologi III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Michelle Petri, M.D.,M.P.H, 1998, Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Johns

Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.

Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V, 1999, Dasar Patologi Penyakit. EGC, Jakarta.

Sjaiffoellah, Noer, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI, Jakarta.

Sylvia, A.P & Lorratine, M.W, 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.

EGC, Jakarta.

Underwood, J.C.E, 1999, Patologi Umum dan Sistematik. EGC, Jakarta.

Wallace, J.D, 2007, The Lupus Book : Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan

Keluarganya, B first, Jakarta.