makalah gerd

28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A .Definisi Refluks gastroesofagus merupakan gerakan membalik isi lambung menuju esophagus. Penyakit refluks gastroesofagus (RGE) juga mengacu pada berbagai kondisi gejala klinik atau perubahan histologi yang terjadi akibat refluks gastroesofagus. Ketika esophagus berulang kali kontak dengan material refluk untuk periode yang lama, dapat terjadi inflamasi esophagus (esofagitis refluks) dan dalam beberapa kasus berkembang menjadi erosi esophagus (esofagitis erosi) (Dipiro, 2008). Menurut Konsensus Nasional tahun 2013, GERD adalah suatu kelainan yang menyebabkan cairan lambung dengan berbagai kandungannya mengalami refluks ke dalam esofagus, dan menimbulkan gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) dan gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri epigatrium, disfagia, dan odinofagia (PGI, 2013). Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu gangguan dimana isi lambung mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang bersifat kronis dan

Upload: emmyek-charicha

Post on 08-Jul-2016

197 views

Category:

Documents


39 download

DESCRIPTION

gastroesofagus refluks disease

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah GERD

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A .Definisi

Refluks gastroesofagus merupakan gerakan membalik isi lambung menuju

esophagus. Penyakit refluks gastroesofagus (RGE) juga mengacu pada berbagai

kondisi gejala klinik atau perubahan histologi yang terjadi akibat refluks

gastroesofagus. Ketika esophagus berulang kali kontak dengan material refluk

untuk periode yang lama, dapat terjadi inflamasi esophagus (esofagitis refluks)

dan dalam beberapa kasus berkembang menjadi erosi esophagus (esofagitis erosi)

(Dipiro, 2008).

Menurut Konsensus Nasional tahun 2013, GERD adalah suatu kelainan yang

menyebabkan cairan lambung dengan berbagai kandungannya mengalami refluks

ke dalam esofagus, dan menimbulkan gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar

di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) dan gejala-gejala lain seperti

regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri epigatrium, disfagia, dan

odinofagia (PGI, 2013).

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu gangguan dimana isi

lambung mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang bersifat

kronis dan menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu

(Simadibrata, 2009)

B. Epidemiologi

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan

dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum

yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan

prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-

2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-

18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia

dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura

Page 2: Makalah GERD

prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7%

(1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di

Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006).

Beberapa faktor risiko terjadinya GERD di Asia-Pasifik yaitu usia lanjut, jenis

kelamin laki-laki, ras, riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks

massa tubuh, dan merokok. Masalah heatburn dan regurgitasi didapatkan pada 6%

dan 16% populasi. Rata-rata sekitar 30% pria dan 23% wanita mengalami keluhan

GERD sekali dalam seminggu (Katz, 2013; PGI, 2013; Alipour, 2014)

C. Anatomi dan Fisiologi

Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus dan berjalan memanjang

diantara faring dan lambung. Sebagian besar esofagus terletak di dalam rongga

thoraks dan menembus diagfragma untuk menyatu dengan lambung di rongga

abdomen beberapa sentimeter dibawah diagfragma. Kadang-kadang sebagian

lambung mengalami herniasi menembus hiatus esofagus dan menonjol ke dalam

rongga thoraks, suatu keadaan yang dikenal sebagai hernia hiatus.

Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh sfingter. Sfingter adalah struktur berotot

berbentuk seperti cincin yang jika tertutup, mencegah lewatnya benda melalui

saluran yang dijaganya. Sfingter esofagus atas adalah sfingter faring esofagus ,

dan sfingter bawah adalah sfingter gastroesofagus. Kecuali sewaktu menelan,

sfingter faringoesofagus menjaga pintu masuk esofagus tetap tetap tertutup untuk

mencegah masuknya sejumlah besar udara ke dalam esofagus dan lambung saat

benapas.Apabila tidak ada sfingter faringoesofagus, saluran pencernan akan

menerima banyak gas, yang dapat menyebabkan eructatition (bersendawa)

berlebihan. Selama menelan,sfingter tersebut berkontraksi, sehingga sfingter

terbuka dan bolus dapat lewat kedalam esofagus. Setelah bolus berada dalam

esofagus , sfingter faring esofagus menutup, saluran pernapasan terbuka dan

bernapas dapat kembali di lakukan. Tahap orofaring selesai dan tahap ini kira-kira

memakan waktu 1 detik setelah proses menelan dimulai.

Page 3: Makalah GERD

Tahap esofagus menelan sekarang dimulai. Pusat menelan memulai gelombang

peristaltik primer yang mengalir dari pangkal ke ujung esofagus,mendorong bolus

di depannya melewati esofagus ke lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi

berbentuk cincin otot polos sirkuler yang bergerak secara progresif ke depan

dengan gerakan mengosongkan, mendorong bolus ke depan kontraksi.Gelombang

peristaltik berlangsung sekitar lima sampai sembilan detik untuk mencapai ujung

bawah esofagus.

Kecuali sewaktu menelan, sfingter gastroesofagus tetap berkontraksi untuk

mempertahankan sawar antara esofagus dan lambung, sehingga mengurangi

kemungkinan refluks isi lambung yang asam ke esofagus. Apabila isi lambung

mengalir kembali ke esofagus walaupun terdapat sfingter, keasaman isi lambung

tersebut akan mengiritasi esofagus, menimbulkan rasa tidak nyaman di esofagus

yang dikenal sebagai heartburn.

Sfingter gastroesofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik

mencapai bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung.

Setelah bolus masuk ke lambung, sfingter gastroesofagus kembali berkontraksi.

Sfingter gastroesofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik

mencapai bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk kelambung.

D. Patofisiologi GERD

1. Kebanyakan pasien dengan RGE, permasalahannya bukan karena produksi

asam yang berlebihan, akan tetapi kontak yang terlalu lama antara asam

yang diproduksi dengan mukosa esophagus

2. Refluks gastroesofagus sering kali disebabkan karena telah rusaknya

tekanan LES (Lower Esophageal Sphincter). Pasien mungkin mengalami

penurunan tekana LES karena relaksasi spontan LES, peningkatan

sementara tekanan abdominal atau lemahnya LES. Variasi makanan dan

obat dapat menurunkan tekanan LES.

3. Masalah lain dalam mekanisme pertahanan mukosa normal, juga dapat

menyebabkan berkembangnya RGE diantaranya adalah terlalu lamanya

Page 4: Makalah GERD

esophagus terpapar dengan asam, tertundanya pengosongan lambung dan

berkurangnya resistensi mukosa

4. Factor-faktor agresif yang dapat menyebabkan kerusakan esophagus akibat

refluks gastroesopfagus adalah asam lambung, pepsin, asam empedu, dan

enzim penting dalam menentukan akibat refluks gastroesofagus (Dipiro,

2008)

Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan

motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini

terdapat otot pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran

pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus

besar. Pada GERD akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan

kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau

asam lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya (Hadi, 2002).

Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif

dari esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor

defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen

esophagus, dan ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor

ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

a. Pemisah antirefluks

Pemeran terbesar pemisah anti refluks adalah tonus LES. Menurunnya

tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat

terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien

GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang

dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES

(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal

antikolinergik, beta adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan,

peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.

b. Bersihan asam dari lumen esophagus

Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah

gravitasi, peristaltik, eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi

refluks sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan

dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.

Page 5: Makalah GERD

c. Ketahanan epithelial esophagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki

lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan

ephitelial esophagus terdiri dari :

Membran sel

 Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi

H+  ke jaringan esophagus

Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan

bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2

Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion

H+ .

Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan

hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus

bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intra

abdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung

mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai

esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi

lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya

ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap

distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau

nasofaring (Hadi, 2002).

D. Manifestasi klinis

Manifestasi klinik gejala refluk gastroesofagus:

1. Gejala yang terlihat dari refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah rasa

panas dalam perut, atau pirosis. Hal ini digambarkan sebagai sensasi

hangat atau panas substernal yang dapat menyebar ke leher dan sering kali

memburuk akibat aktivitas yang memperburuk refluks esophagus.

Contohnya: posisi terlentang, terlalu membungkung, makan makanan yang

tinggi kadar lemaknya. Gejala lainnya adalah hipersaliva, bersendawa dan

muntah.

Page 6: Makalah GERD

2. Gejala yang tidak khas adalah asma non alergi, batuk kronik, serak,

faringitis, dan erosi gigi, dan rasa sakit di dada seperti angina.

3. Pengobatan yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi, paparan

asam yan terlalu lama seperti rasa sakit yang berkelanjutan, disfagia, dan

odinofagia. Komplikasi berat lainnya adalah penyempitan esophagus,

perdarahan, Barrett’s esophagus (perubahan abnormal, metaplasia, sel-sel

baguan terbawah esophagus), dan adenokarsinoma esophagus(dipiro,

2008)

Presentasi klinis GERD

1. Gejala khas (tipikal)

Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien GERD Dapat diperburuk

oleh aktivitas yang memperburuk gastroesophageal refluks seperti posisi

berbaring , membungkuk , atau makan makan tinggi lemak .

Mulas

hipersalivasi

Sendawa

Regurgitasi

2. Gejala atipikal

Gejala ini cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Dalam beberapa

kasus , lebih sulit untuk mengenali GERD sebagai penyebab , terutama

ketika studi endoskopi yang normal.

Asma nonallergi

Batuk kronis

Suara serak

Faringitis

Sakit dada

Erosi gigi

3. Gejala rumit(alarm)

Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang berkepanjangan dan

kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Gejala-gejala ini mungkin

menunjukkan komplikasi GERD seperti esophagus Barrett , striktur

esofagus , atau kanker kerongkongan .

Page 7: Makalah GERD

Nyeri terus menerus

Disfagia

Odynophagia

Berdarah

Penurunan berat badan

Tersedak(Dipiro. 2008)

E. Diagnosis

Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang

dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna

bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi

gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam)

(Makmun,2009)

Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan

penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

a. Endoskopi saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku

untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break(pecah) di

esophagus (esofagitis refluks).

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan

makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan

patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak

ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna

bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut

non-erosive reflux disease (NERD).

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang

dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat

Page 8: Makalah GERD

mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut

disebabkan oleh GERD.

Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s

esophagus, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung

perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD.

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan

endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan

klasifikasi Savarry-Miller.

Klasifikasi Los Angeles

Derajat

kerusakan

Gambaran endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter

< 5 mm

B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5

mm tanpa saling berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi

seluruh lumen

D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial

(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

b. Esofagografi dengan barium

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan

seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis

ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa

penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.

Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD,

namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari

endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis

peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.

Page 9: Makalah GERD

c. Pemantauan pH 24 jam

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal

esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan

mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada

esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks

gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap

diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

d. Tes Bernstein

Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal

dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam

waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring

pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan

ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien,

sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini

dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan

adanya nyeri yang berasal dari esophagus.

e. TesGastro-EsophagealScintigraphy

Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan

esofagus dan sifatnya non invasif (Djajapranata, 2001).

f. Tes PPI

Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada

pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang

selama satu minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75%.

g. Manometri esofagus

Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi

pada pasien NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan

peristaltik/motilitas esofagus.(Yusuf, 2009).

F. Terapi GERD

Tujuan dari pengobataan adalah untuk meringankan/mengurangi gejala-gejala,

mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks gastrofagus,

Page 10: Makalah GERD

mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan  mencegah berkembangnya

komplikasi.

Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks

dan / atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau

kerusakan mukosa. Secara spesifik, yaitu:

1. Mengurangi keasaman dari refluksat.

2. Menurunkan volume lambung yang tersedia untuk direfluks.

3. Meningkatkan pengosongan lambung.

4. Meningkatkan tekanan LES.

5. Meningkatkan bersihan asam esofagus.

6. Melindungi mukosa esophagus.

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi

medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi

endoskopik.

a. Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan

GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum

ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada

dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta

mencegah kekambuhan.

b. Terapi medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada

penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa

sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan

motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya

sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada

pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.

Page 11: Makalah GERD

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step

down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat

yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis

reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan

penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama

(penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down

pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan

dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah

atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.

Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down

ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien)

dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.

Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik

tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini

pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan

terapi step down.

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat

kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya

dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau

bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-

obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan

sampai gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala

menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan

esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup

efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.

Pendekatan Terapi GERD

Kondisi Terapi yang dianjurkan Keterangan

Page 12: Makalah GERD

pasien

Fase 1

Gejala

ringan

A . merubah gaya hidup

+

B . Antasida

Maalox atau Mylanta 30 mL

( sesudah makan dan pada

waktu tidur)

Maalox TC 5-10 mL (sesudah

makan dan pada waktu tidur)

Gaviscon 2 tab

( setelah makan dan sebelum

tidur)

Kalsium karbonat ( 500 mg ) 2-

4 tablet

.

Dan/ Atau

C . Dosis rendah untuk OTC antagonis

reseptor H2

Cimetidine 200 mg

Famotidine 10 mg

Nizatidine 75 mg

Ranitidin 75 mg

Atau

PPI (sekali sehari )

Omeprazole 20 mg

Perubahan gaya hidup

sebaiknya dimulai dari

awal dan dilanjutkan

pada saat pengobatan

Jika setelah 2 minggu

gejala tidak berhenti

dengan merubah gaya

hidup dan OTC obat

mulailah untuk terapi

farmakologis (terapi

fase II )

Page 13: Makalah GERD

Fase II

Gejala

GERD

A . Modifikasi pola hidup

+

B.Dosis standar dari antagonis

reseptor-H2 untuk 6-12 minggu.

Cimetidine 400 mg

( 2 x sehari )

Famotidine 20 mg

(2 x sehari)

Nizatidine 150 mg

(2 x sehari)

Ranitidin 150 mg

(2 x sehari)

.

Atau

B. Proton pompa inhibitor selama 4-8

minggu.

Esomeprazole 20 mg/hari

Lansoprazole 15 mg/hari

Omeprazole 20 mg/hari

Pantoprazole 40 mg

Rabeprazole 20 mg

A. Modifikasi gaya hidup

+

B. PPI untuk 4-16 minggu (semuanya

diberikan 2 x sehari)

Esomeprazole 20-40 mg

Untuk gejala yang khas,

pengobatan empiris

dengan terapi fase II

GERD ringan biasanya

dapat diobati secara

efektif dengan antagonis

reseptor H2. Pasien

dengan gejala berat

harus menerima pompa

proton inhibitor sebagai

terapi awal. Jika gejala

berkurang,pengobatan

dilakukan seperlunya.

Jika gejala kambuh

sering, pertimbangkan

terapi pemeliharaan

(MT) dengan dosis

efektif terendah.

Catatan : Kebanyakan

pasien akan memerlukan

dosis standar untuk

terapi pemeliharaan.

Untuk symtoms atipikal,

mendapatkan endoskopi

(jika mungkin) untuk

mengevaluasi mukosa.

Page 14: Makalah GERD

Lansoprazole 30 mg

Omeprazole 20 mg

Rabeprazole 20 mg

Pantoprazole 40 mg

Atau

B. Dosis tinggi H2-reseptor antagonis

selama 8-12 minggu

Cimetidine 400 mg(4 x sehari )

atau 800 mg ( 2 x sehari )

Famotidine 40 mg

( 2 x sehari)

Nizatidine 150 mg

X sehari)

Ranitidin 150 mg

(4 x sehari )

Berikan pompa proton

inhibitor atau antagonis

reseptor H2. Jika gejala

berkurang

pertimbangkan terapi

pemeliharaan.

PPI adalah terapi

pemeliharaan paling

efektif pada

pasien dengan gejala

atipikal, gejala

komplikasi , dan

penyakit erosif.

Pasien tidak merespon

fase terapi II, termasuk

mereka dengan gejala

atipikal persisten, harus

dievaluasi melalui rawat

jalan 24 jam dengan

pemantauan pH untuk

Menyakinkan diagnosis

GERD (jika mungkin).

Jika Gerd terbukti,

pertimbangkan fase

terapi tahap III.

Fase III Terapi interventional ( operasi anti

refluks atau terapi endoluminal)

Manometri harus

dilakukan kepada siapa

Page 15: Makalah GERD

saja yang akan

melaksanakan operasi.

Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:

1. Fase I

Mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan

antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau penghambat

pompa proton (PPI).

2. Fase II

Intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan dosis tinggi.

3. Fase III

Terapi intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal).

Terapi GERD terdiri atas terapi farmakologi dan non farmakologi

1 . Terapi Farmakologi

a. Antasida dan Produk Antasida-Asam Alginat

Digunakan untuk perawatan ringan GERD. Antasida efektif mengurangi gejala-

gejala dalam waktu singkat, dan antasida sering digunakan bersamaan dengan

terapi penekan asam lainnya. Pemeliharaan pH intragastrik di atas 4 dapat

menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, sebuah enzim proteolitik.

Netralisasi cairan lambung juga dapat mengarah pada peningkatan tekanan LES.

Produk antasid yang dikombinasikan dengan asam alginiat adalah agen penetral

yang tidak ampuh dan tidak meningkatkan tekanan LES, namun membentuk

larutan yang sangat kental yang mengapung di atas permukaan isi lambung.

Larutan kental ini diperkirakan sebagai pelindung penghalang bagi kerongkongan

terhadap refluks isi lambung dan  mengurangi frekuensi refluks (dipiro, 2008)

Page 16: Makalah GERD

b.  Penekanan Asam dengan Antagonis Reseptor H2 (simetidin, famotidin,

nizatidin, dan ranitidin)

Terapi penekanan asam adalah pengobatan utama GERD. Antagonis reseptor H2

dalam dosis terbagi efektif dalam mengobati pasien GERD ringan hingga

sedang.Kemanjuran antagonis reseptor H2 dalam perawatan GERD sangat

bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respons terhadap

antagonis reseptor H2 tampaknya tergantung pada (a) keparahan penyakit, (b)

regimen dosis yang digunakan, dan (c) durasi terapi(dipiro, 2008)

C .Proton Pump Inhibitor (PPI) (esomeprazol, lansoprazol, omeprazol,

pantoprazol, dan rabeprazol)

PPI lebih unggul daripada antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien GERD

sedang sampai parah. Ini tidak hanya pada pasien erosif esofagtis atau gejala

komplikasi (BE atau striktur), tetapi juga pasien dengan GERD nonerosif yang

mempunyai gejala sedang sampai parah. Kekambuhan umumnya terjadi dan terapi

pemeliharaan jangka panjang umumnya diindikasikan. PPI memblok sekresi asam

lambung dengan menghambat H+/K+-triphosphatase adenosin lambung dalam sel

parietal lambung. Ini menghasilkan efek antisekretori yang mendalam dan tahan

lama yang mampu mempertahankan pH lambung di atas 4, bahkan selama

lonjakan asam setelah makan.

PPI terdegradasi dalam lingkungan asam sehingga diformulasi dalam tablet atau

kapsul pelepasan tertunda. Pasien harus diinstruksikan untuk meminum obat pada

pagi hari, 15 sampai 30 menit sebelum sarapan untuk memaksimalkan efektivitas,

karena obat ini hanya menghambat secara aktif sekresi pompa proton. Jika

dosisnya dua kali sehari, dosis kedua harus diberikan sekitar 10 hingga 12 jam

setelah dosis pagi hari dan sebelum makan atau makan makanan ringan.

d.  Agen Promotilitas

Khasiat dari agen prokinetik cisaprid, metoklopramid, dan bethanechol telah

dievaluasi dalam pengobatan GERD. Cisapride memiliki khasiat yang sebanding

Page 17: Makalah GERD

dengan antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien esofagitis ringan, tetapi

cisaprid tidak lagi tersedia untuk penggunaan rutin karena efek aritmia yang

mengancam jiwa bila dikombinasikan dengan obat-obatan tertentu dan penyakit

lainnya.

Metoklopramid, antagonis dopamin, meningkatkan tekanan LES, dan

mempercepat pengosongan lambung pada pasien GERD. Tidak seperti cisapride,

metoklopramid tidak memperbaiki bersihan esofagus. Metoklopramid dapat

meredakan gejala GERD tetapi belum ada data substantial yang menyatakan

bahwa obat ini dapat memperbaiki kerusakan esofagus.

Agen prokinetik juga telah digunakan untuk terapi kombinasi dengan antagonis

H2-reseptor. Kombinasi dilakukan pada pasien GERD yang telah diketahui atau

diduga adanya gangguan motilitas, atau pada pasien yang gagal pada pengobatan

dengan penghambat pompa proton dosis tinggi.

e.  Protektan Mukosa

Sucralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap,

mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju

pengobatan yang sama seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis ringan

tapi kurang efektif dari pada antagonis reseptor H2 dosis tinggi pada pasien

dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat tidak

direkomendasikan untuk terapi

2. Terapi Non Farmakologi

a. Modifikasi Gaya Hidup

Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal).

Gunakan penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. Tidur pada kasur busa.

Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak,

coklat, kopi, kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alkohol,

karminativ (pepermint, dan spearmint))

Page 18: Makalah GERD

Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus

(makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)

Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)

Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin

3 jam) (menurunkan volume lambung)

Penurunan berat badan (mengurangi gejala)

Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).

Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esofagus,

gelombang peristaltik dan frekuensi kontraksi).

Menghindari pakai pakaian yang ketat.

Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat

menurunkan tekanan LES (Antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin

(misalnya diazepam), kafein, penghambat kanal kalsium dihidropiridin,

dopamin, estrogen, etanol, isoproterenol, narkotik (meperidin, morfin),

nikotin (merokok) nitrat, fentolamin, progesteron dan teofilin).

Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat

mengiritasi secara langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, KCl,

garam besi, aspirin, AINS dan alendronat).

b. Pendekatan Intervensi

Pembedahan Antirefluks

Intervensi bedah adalah alternatif pilihan bagi pasien GERD yang

terdokumentasi dengan baik. Tujuan pembedahan antirefluks adalah untuk

menegakkan kembali penghalang antirefluks, yaitu penempatan ulang

LES, dan untuk menutup semua kerusakan hiatus terkait. Operasi ini harus

dipertimbangkan pada pasien yang gagal untuk merespon pengobatan

farmakologi; memilih untuk operasi  walaupun pengobatan sukses karena

pertimbangan gaya hidup, termasuk usia, waktu, atau biaya obat-obatan;

memiliki komplikasi GERD (Barret’s Esophagus/BE, strictures, atau

esofagitis kelas 3 atau 4); ataumempunyai gejala tidak khas dan

terdokumentasikan mengalami refluks pada monitoring pH 24-jam.

Page 19: Makalah GERD

Terapi Endoluminal

Beberapa pendekatan endoluminal baru untuk pengelolaan GERD baru

saja dikembangkan. Teknik-teknik ini meliputi endoscopic gastroplastic

plication, aplikasi endoluminal radiofrequency heat energy (prosedur

Stretta), dan injeksi endoskopik biopolimer yang dikenal sebagai Enteryx

pada penghubung gastroesofagus.