makalah gerd
DESCRIPTION
gastroesofagus refluks diseaseTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A .Definisi
Refluks gastroesofagus merupakan gerakan membalik isi lambung menuju
esophagus. Penyakit refluks gastroesofagus (RGE) juga mengacu pada berbagai
kondisi gejala klinik atau perubahan histologi yang terjadi akibat refluks
gastroesofagus. Ketika esophagus berulang kali kontak dengan material refluk
untuk periode yang lama, dapat terjadi inflamasi esophagus (esofagitis refluks)
dan dalam beberapa kasus berkembang menjadi erosi esophagus (esofagitis erosi)
(Dipiro, 2008).
Menurut Konsensus Nasional tahun 2013, GERD adalah suatu kelainan yang
menyebabkan cairan lambung dengan berbagai kandungannya mengalami refluks
ke dalam esofagus, dan menimbulkan gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar
di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) dan gejala-gejala lain seperti
regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri epigatrium, disfagia, dan
odinofagia (PGI, 2013).
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu gangguan dimana isi
lambung mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang bersifat
kronis dan menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu
(Simadibrata, 2009)
B. Epidemiologi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum
yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-
2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-
18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia
dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura
prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7%
(1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di
Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006).
Beberapa faktor risiko terjadinya GERD di Asia-Pasifik yaitu usia lanjut, jenis
kelamin laki-laki, ras, riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks
massa tubuh, dan merokok. Masalah heatburn dan regurgitasi didapatkan pada 6%
dan 16% populasi. Rata-rata sekitar 30% pria dan 23% wanita mengalami keluhan
GERD sekali dalam seminggu (Katz, 2013; PGI, 2013; Alipour, 2014)
C. Anatomi dan Fisiologi
Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus dan berjalan memanjang
diantara faring dan lambung. Sebagian besar esofagus terletak di dalam rongga
thoraks dan menembus diagfragma untuk menyatu dengan lambung di rongga
abdomen beberapa sentimeter dibawah diagfragma. Kadang-kadang sebagian
lambung mengalami herniasi menembus hiatus esofagus dan menonjol ke dalam
rongga thoraks, suatu keadaan yang dikenal sebagai hernia hiatus.
Esofagus dijaga di kedua ujungnya oleh sfingter. Sfingter adalah struktur berotot
berbentuk seperti cincin yang jika tertutup, mencegah lewatnya benda melalui
saluran yang dijaganya. Sfingter esofagus atas adalah sfingter faring esofagus ,
dan sfingter bawah adalah sfingter gastroesofagus. Kecuali sewaktu menelan,
sfingter faringoesofagus menjaga pintu masuk esofagus tetap tetap tertutup untuk
mencegah masuknya sejumlah besar udara ke dalam esofagus dan lambung saat
benapas.Apabila tidak ada sfingter faringoesofagus, saluran pencernan akan
menerima banyak gas, yang dapat menyebabkan eructatition (bersendawa)
berlebihan. Selama menelan,sfingter tersebut berkontraksi, sehingga sfingter
terbuka dan bolus dapat lewat kedalam esofagus. Setelah bolus berada dalam
esofagus , sfingter faring esofagus menutup, saluran pernapasan terbuka dan
bernapas dapat kembali di lakukan. Tahap orofaring selesai dan tahap ini kira-kira
memakan waktu 1 detik setelah proses menelan dimulai.
Tahap esofagus menelan sekarang dimulai. Pusat menelan memulai gelombang
peristaltik primer yang mengalir dari pangkal ke ujung esofagus,mendorong bolus
di depannya melewati esofagus ke lambung. Peristaltik mengacu pada kontraksi
berbentuk cincin otot polos sirkuler yang bergerak secara progresif ke depan
dengan gerakan mengosongkan, mendorong bolus ke depan kontraksi.Gelombang
peristaltik berlangsung sekitar lima sampai sembilan detik untuk mencapai ujung
bawah esofagus.
Kecuali sewaktu menelan, sfingter gastroesofagus tetap berkontraksi untuk
mempertahankan sawar antara esofagus dan lambung, sehingga mengurangi
kemungkinan refluks isi lambung yang asam ke esofagus. Apabila isi lambung
mengalir kembali ke esofagus walaupun terdapat sfingter, keasaman isi lambung
tersebut akan mengiritasi esofagus, menimbulkan rasa tidak nyaman di esofagus
yang dikenal sebagai heartburn.
Sfingter gastroesofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik
mencapai bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung.
Setelah bolus masuk ke lambung, sfingter gastroesofagus kembali berkontraksi.
Sfingter gastroesofagus melemas secara refleks saat gelombang peristaltik
mencapai bagian bawah esofagus sehingga bolus dapat masuk kelambung.
D. Patofisiologi GERD
1. Kebanyakan pasien dengan RGE, permasalahannya bukan karena produksi
asam yang berlebihan, akan tetapi kontak yang terlalu lama antara asam
yang diproduksi dengan mukosa esophagus
2. Refluks gastroesofagus sering kali disebabkan karena telah rusaknya
tekanan LES (Lower Esophageal Sphincter). Pasien mungkin mengalami
penurunan tekana LES karena relaksasi spontan LES, peningkatan
sementara tekanan abdominal atau lemahnya LES. Variasi makanan dan
obat dapat menurunkan tekanan LES.
3. Masalah lain dalam mekanisme pertahanan mukosa normal, juga dapat
menyebabkan berkembangnya RGE diantaranya adalah terlalu lamanya
esophagus terpapar dengan asam, tertundanya pengosongan lambung dan
berkurangnya resistensi mukosa
4. Factor-faktor agresif yang dapat menyebabkan kerusakan esophagus akibat
refluks gastroesopfagus adalah asam lambung, pepsin, asam empedu, dan
enzim penting dalam menentukan akibat refluks gastroesofagus (Dipiro,
2008)
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan
motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini
terdapat otot pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran
pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus
besar. Pada GERD akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan
kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau
asam lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya (Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif
dari esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor
defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen
esophagus, dan ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor
ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah anti refluks adalah tonus LES. Menurunnya
tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat
terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien
GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal
antikolinergik, beta adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan,
peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
b. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah
gravitasi, peristaltik, eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi
refluks sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan
dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
c. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki
lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan
ephitelial esophagus terdiri dari :
Membran sel
Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi
H+ ke jaringan esophagus
Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan
bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion
H+ .
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus
bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intra
abdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung
mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai
esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi
lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya
ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap
distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau
nasofaring (Hadi, 2002).
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik gejala refluk gastroesofagus:
1. Gejala yang terlihat dari refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah rasa
panas dalam perut, atau pirosis. Hal ini digambarkan sebagai sensasi
hangat atau panas substernal yang dapat menyebar ke leher dan sering kali
memburuk akibat aktivitas yang memperburuk refluks esophagus.
Contohnya: posisi terlentang, terlalu membungkung, makan makanan yang
tinggi kadar lemaknya. Gejala lainnya adalah hipersaliva, bersendawa dan
muntah.
2. Gejala yang tidak khas adalah asma non alergi, batuk kronik, serak,
faringitis, dan erosi gigi, dan rasa sakit di dada seperti angina.
3. Pengobatan yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi, paparan
asam yan terlalu lama seperti rasa sakit yang berkelanjutan, disfagia, dan
odinofagia. Komplikasi berat lainnya adalah penyempitan esophagus,
perdarahan, Barrett’s esophagus (perubahan abnormal, metaplasia, sel-sel
baguan terbawah esophagus), dan adenokarsinoma esophagus(dipiro,
2008)
Presentasi klinis GERD
1. Gejala khas (tipikal)
Adalah gejala yang umum diderita oleh pasien GERD Dapat diperburuk
oleh aktivitas yang memperburuk gastroesophageal refluks seperti posisi
berbaring , membungkuk , atau makan makan tinggi lemak .
Mulas
hipersalivasi
Sendawa
Regurgitasi
2. Gejala atipikal
Gejala ini cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Dalam beberapa
kasus , lebih sulit untuk mengenali GERD sebagai penyebab , terutama
ketika studi endoskopi yang normal.
Asma nonallergi
Batuk kronis
Suara serak
Faringitis
Sakit dada
Erosi gigi
3. Gejala rumit(alarm)
Adalah gejala yang menunjukkan GERD yang berkepanjangan dan
kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Gejala-gejala ini mungkin
menunjukkan komplikasi GERD seperti esophagus Barrett , striktur
esofagus , atau kanker kerongkongan .
Nyeri terus menerus
Disfagia
Odynophagia
Berdarah
Penurunan berat badan
Tersedak(Dipiro. 2008)
E. Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna
bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi
gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam)
(Makmun,2009)
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
a. Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break(pecah) di
esophagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan
makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan
patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak
ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut
non-erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut
disebabkan oleh GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung
perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD.
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan
endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan
klasifikasi Savarry-Miller.
Klasifikasi Los Angeles
Derajat
kerusakan
Gambaran endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter
< 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5
mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi
seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)
b. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.
Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD,
namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari
endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis
peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
c. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
d. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam
waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring
pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan
ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini
dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan
adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
e. TesGastro-EsophagealScintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan
esofagus dan sifatnya non invasif (Djajapranata, 2001).
f. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada
pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang
selama satu minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75%.
g. Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi
pada pasien NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan
peristaltik/motilitas esofagus.(Yusuf, 2009).
F. Terapi GERD
Tujuan dari pengobataan adalah untuk meringankan/mengurangi gejala-gejala,
mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks gastrofagus,
mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah berkembangnya
komplikasi.
Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks
dan / atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau
kerusakan mukosa. Secara spesifik, yaitu:
1. Mengurangi keasaman dari refluksat.
2. Menurunkan volume lambung yang tersedia untuk direfluks.
3. Meningkatkan pengosongan lambung.
4. Meningkatkan tekanan LES.
5. Meningkatkan bersihan asam esofagus.
6. Melindungi mukosa esophagus.
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi
endoskopik.
a. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum
ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada
dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta
mencegah kekambuhan.
b. Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa
sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan
motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya
sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada
pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat
yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis
reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan
penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama
(penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah
atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down
ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien)
dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini
pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan
terapi step down.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat
kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya
dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau
bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-
obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan
sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup
efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.
Pendekatan Terapi GERD
Kondisi Terapi yang dianjurkan Keterangan
pasien
Fase 1
Gejala
ringan
A . merubah gaya hidup
+
B . Antasida
Maalox atau Mylanta 30 mL
( sesudah makan dan pada
waktu tidur)
Maalox TC 5-10 mL (sesudah
makan dan pada waktu tidur)
Gaviscon 2 tab
( setelah makan dan sebelum
tidur)
Kalsium karbonat ( 500 mg ) 2-
4 tablet
.
Dan/ Atau
C . Dosis rendah untuk OTC antagonis
reseptor H2
Cimetidine 200 mg
Famotidine 10 mg
Nizatidine 75 mg
Ranitidin 75 mg
Atau
PPI (sekali sehari )
Omeprazole 20 mg
Perubahan gaya hidup
sebaiknya dimulai dari
awal dan dilanjutkan
pada saat pengobatan
Jika setelah 2 minggu
gejala tidak berhenti
dengan merubah gaya
hidup dan OTC obat
mulailah untuk terapi
farmakologis (terapi
fase II )
Fase II
Gejala
GERD
A . Modifikasi pola hidup
+
B.Dosis standar dari antagonis
reseptor-H2 untuk 6-12 minggu.
Cimetidine 400 mg
( 2 x sehari )
Famotidine 20 mg
(2 x sehari)
Nizatidine 150 mg
(2 x sehari)
Ranitidin 150 mg
(2 x sehari)
.
Atau
B. Proton pompa inhibitor selama 4-8
minggu.
Esomeprazole 20 mg/hari
Lansoprazole 15 mg/hari
Omeprazole 20 mg/hari
Pantoprazole 40 mg
Rabeprazole 20 mg
A. Modifikasi gaya hidup
+
B. PPI untuk 4-16 minggu (semuanya
diberikan 2 x sehari)
Esomeprazole 20-40 mg
Untuk gejala yang khas,
pengobatan empiris
dengan terapi fase II
GERD ringan biasanya
dapat diobati secara
efektif dengan antagonis
reseptor H2. Pasien
dengan gejala berat
harus menerima pompa
proton inhibitor sebagai
terapi awal. Jika gejala
berkurang,pengobatan
dilakukan seperlunya.
Jika gejala kambuh
sering, pertimbangkan
terapi pemeliharaan
(MT) dengan dosis
efektif terendah.
Catatan : Kebanyakan
pasien akan memerlukan
dosis standar untuk
terapi pemeliharaan.
Untuk symtoms atipikal,
mendapatkan endoskopi
(jika mungkin) untuk
mengevaluasi mukosa.
Lansoprazole 30 mg
Omeprazole 20 mg
Rabeprazole 20 mg
Pantoprazole 40 mg
Atau
B. Dosis tinggi H2-reseptor antagonis
selama 8-12 minggu
Cimetidine 400 mg(4 x sehari )
atau 800 mg ( 2 x sehari )
Famotidine 40 mg
( 2 x sehari)
Nizatidine 150 mg
X sehari)
Ranitidin 150 mg
(4 x sehari )
Berikan pompa proton
inhibitor atau antagonis
reseptor H2. Jika gejala
berkurang
pertimbangkan terapi
pemeliharaan.
PPI adalah terapi
pemeliharaan paling
efektif pada
pasien dengan gejala
atipikal, gejala
komplikasi , dan
penyakit erosif.
Pasien tidak merespon
fase terapi II, termasuk
mereka dengan gejala
atipikal persisten, harus
dievaluasi melalui rawat
jalan 24 jam dengan
pemantauan pH untuk
Menyakinkan diagnosis
GERD (jika mungkin).
Jika Gerd terbukti,
pertimbangkan fase
terapi tahap III.
Fase III Terapi interventional ( operasi anti
refluks atau terapi endoluminal)
Manometri harus
dilakukan kepada siapa
saja yang akan
melaksanakan operasi.
Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:
1. Fase I
Mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan
antasida dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau penghambat
pompa proton (PPI).
2. Fase II
Intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan dosis tinggi.
3. Fase III
Terapi intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal).
Terapi GERD terdiri atas terapi farmakologi dan non farmakologi
1 . Terapi Farmakologi
a. Antasida dan Produk Antasida-Asam Alginat
Digunakan untuk perawatan ringan GERD. Antasida efektif mengurangi gejala-
gejala dalam waktu singkat, dan antasida sering digunakan bersamaan dengan
terapi penekan asam lainnya. Pemeliharaan pH intragastrik di atas 4 dapat
menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, sebuah enzim proteolitik.
Netralisasi cairan lambung juga dapat mengarah pada peningkatan tekanan LES.
Produk antasid yang dikombinasikan dengan asam alginiat adalah agen penetral
yang tidak ampuh dan tidak meningkatkan tekanan LES, namun membentuk
larutan yang sangat kental yang mengapung di atas permukaan isi lambung.
Larutan kental ini diperkirakan sebagai pelindung penghalang bagi kerongkongan
terhadap refluks isi lambung dan mengurangi frekuensi refluks (dipiro, 2008)
b. Penekanan Asam dengan Antagonis Reseptor H2 (simetidin, famotidin,
nizatidin, dan ranitidin)
Terapi penekanan asam adalah pengobatan utama GERD. Antagonis reseptor H2
dalam dosis terbagi efektif dalam mengobati pasien GERD ringan hingga
sedang.Kemanjuran antagonis reseptor H2 dalam perawatan GERD sangat
bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respons terhadap
antagonis reseptor H2 tampaknya tergantung pada (a) keparahan penyakit, (b)
regimen dosis yang digunakan, dan (c) durasi terapi(dipiro, 2008)
C .Proton Pump Inhibitor (PPI) (esomeprazol, lansoprazol, omeprazol,
pantoprazol, dan rabeprazol)
PPI lebih unggul daripada antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien GERD
sedang sampai parah. Ini tidak hanya pada pasien erosif esofagtis atau gejala
komplikasi (BE atau striktur), tetapi juga pasien dengan GERD nonerosif yang
mempunyai gejala sedang sampai parah. Kekambuhan umumnya terjadi dan terapi
pemeliharaan jangka panjang umumnya diindikasikan. PPI memblok sekresi asam
lambung dengan menghambat H+/K+-triphosphatase adenosin lambung dalam sel
parietal lambung. Ini menghasilkan efek antisekretori yang mendalam dan tahan
lama yang mampu mempertahankan pH lambung di atas 4, bahkan selama
lonjakan asam setelah makan.
PPI terdegradasi dalam lingkungan asam sehingga diformulasi dalam tablet atau
kapsul pelepasan tertunda. Pasien harus diinstruksikan untuk meminum obat pada
pagi hari, 15 sampai 30 menit sebelum sarapan untuk memaksimalkan efektivitas,
karena obat ini hanya menghambat secara aktif sekresi pompa proton. Jika
dosisnya dua kali sehari, dosis kedua harus diberikan sekitar 10 hingga 12 jam
setelah dosis pagi hari dan sebelum makan atau makan makanan ringan.
d. Agen Promotilitas
Khasiat dari agen prokinetik cisaprid, metoklopramid, dan bethanechol telah
dievaluasi dalam pengobatan GERD. Cisapride memiliki khasiat yang sebanding
dengan antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien esofagitis ringan, tetapi
cisaprid tidak lagi tersedia untuk penggunaan rutin karena efek aritmia yang
mengancam jiwa bila dikombinasikan dengan obat-obatan tertentu dan penyakit
lainnya.
Metoklopramid, antagonis dopamin, meningkatkan tekanan LES, dan
mempercepat pengosongan lambung pada pasien GERD. Tidak seperti cisapride,
metoklopramid tidak memperbaiki bersihan esofagus. Metoklopramid dapat
meredakan gejala GERD tetapi belum ada data substantial yang menyatakan
bahwa obat ini dapat memperbaiki kerusakan esofagus.
Agen prokinetik juga telah digunakan untuk terapi kombinasi dengan antagonis
H2-reseptor. Kombinasi dilakukan pada pasien GERD yang telah diketahui atau
diduga adanya gangguan motilitas, atau pada pasien yang gagal pada pengobatan
dengan penghambat pompa proton dosis tinggi.
e. Protektan Mukosa
Sucralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap,
mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju
pengobatan yang sama seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis ringan
tapi kurang efektif dari pada antagonis reseptor H2 dosis tinggi pada pasien
dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat tidak
direkomendasikan untuk terapi
2. Terapi Non Farmakologi
a. Modifikasi Gaya Hidup
Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal).
Gunakan penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. Tidur pada kasur busa.
Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak,
coklat, kopi, kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alkohol,
karminativ (pepermint, dan spearmint))
Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus
(makanan pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)
Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin
3 jam) (menurunkan volume lambung)
Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esofagus,
gelombang peristaltik dan frekuensi kontraksi).
Menghindari pakai pakaian yang ketat.
Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat
menurunkan tekanan LES (Antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin
(misalnya diazepam), kafein, penghambat kanal kalsium dihidropiridin,
dopamin, estrogen, etanol, isoproterenol, narkotik (meperidin, morfin),
nikotin (merokok) nitrat, fentolamin, progesteron dan teofilin).
Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat
mengiritasi secara langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, KCl,
garam besi, aspirin, AINS dan alendronat).
b. Pendekatan Intervensi
Pembedahan Antirefluks
Intervensi bedah adalah alternatif pilihan bagi pasien GERD yang
terdokumentasi dengan baik. Tujuan pembedahan antirefluks adalah untuk
menegakkan kembali penghalang antirefluks, yaitu penempatan ulang
LES, dan untuk menutup semua kerusakan hiatus terkait. Operasi ini harus
dipertimbangkan pada pasien yang gagal untuk merespon pengobatan
farmakologi; memilih untuk operasi walaupun pengobatan sukses karena
pertimbangan gaya hidup, termasuk usia, waktu, atau biaya obat-obatan;
memiliki komplikasi GERD (Barret’s Esophagus/BE, strictures, atau
esofagitis kelas 3 atau 4); ataumempunyai gejala tidak khas dan
terdokumentasikan mengalami refluks pada monitoring pH 24-jam.
Terapi Endoluminal
Beberapa pendekatan endoluminal baru untuk pengelolaan GERD baru
saja dikembangkan. Teknik-teknik ini meliputi endoscopic gastroplastic
plication, aplikasi endoluminal radiofrequency heat energy (prosedur
Stretta), dan injeksi endoskopik biopolimer yang dikenal sebagai Enteryx
pada penghubung gastroesofagus.