makalah f1 muskuloskletal

46
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama. Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit. Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini berhubungan dengan hilangnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh lagi diketahui bahwa kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex, tetapi juga oleh sel T, sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan produk-produk dari aktivasi komplemen. Penatalaksanaan 1

Upload: agustria-anggraeny

Post on 04-Jan-2016

276 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tentang tulang dan sendi-sendi

TRANSCRIPT

Page 1: makalah F1 muskuloskletal

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit

yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus.

Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis

yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata,

juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat

beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis

yang sama.

Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini

belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada

beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit.

Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini

berhubungan dengan hilangnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan

terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh

lagi diketahui bahwa kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex,

tetapi juga oleh sel T, sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan

produk-produk dari aktivasi komplemen. Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah

karena sampai saat ini belum ada penanganan yang menghasilkan penyembuhan secara

total, dapat terjadi eksaserbasi setelah masa stabil beberapa bulan dan juga efek samping

pengobatan.1

1.2 Tujuan Penulisan

Seperti yang telah ditulis di atas, bahwa SLE merupakan penyakit sistemik

autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem

saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Serta sering ditemui pada usia

produktif (15-40 tahun). Sehingga tujuan penulisan ini yaitu untuk mengenal penyakit

SLE, dapat mengetahui gejala-gejala SLE, dan dapat mengetahui bagaimana cara

pengobatan dan pencegahan SLE.

Bab II

1

Page 2: makalah F1 muskuloskletal

Isi

Skenario

Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan merasa lemah

sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan sejak 2 bulan yang lalu serimg mengalami nyeri

pada jari-jari kedua tangan serta kaku pada pagi hair. Rambut pasien juga banyak yang rontok

sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan wajahnya seringkali memerah bila sebentar

saja terpapar sinar matahari padahal sudah memakai payung saat aktivitas di luar ruangan. BB

tidak menurun. Badan terasa hangat hilang timbul. KU: tampak sakit ringan, kesadaran

compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 82x?menit, frekuensi nafas

18/menit, suhu 37°C. Pemeriksaan fisik:konjungtiva anemis (+) sklera ikterik -/-, leher: KGB

tidak tampak membesar. Cor, pulmo, abdomen dalam batas normal.

Status lokalis: manus dextra; phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),

oedem (-), kalor (-). Manus sinistra; phalanx proximal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan

(+), oedem (-), kalor (-).

Mind Mapping

2

Page 3: makalah F1 muskuloskletal

2.1 Anamnesis

Anamnesis adalah

komunikasi antara

dokter dengan pasien

apabila keadaan tidak

memungkinkan untuk

memperoleh data atau

informasi yang benar dan tepat dari pasien itu sendiri dapat mencari informasi dari

keluarga pasien/ orang terdekat dari pasien tersebut. Menanyakan keluhan utama dan

keluhan penyerta. Dalam kasus ini, anamnesis didapatkan langsung dari pasien. Gejala

apa yang pernah dialami pasien misalnya ruam malar, fotosensitifi, ruam diskoid (bintik-

bintik eritematosa menimbul), artralgia/ artritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik,

perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus di mulut. Selain itu juga

ditanyakan organ apa yang terkena, kemudian pernah ada peristiwa tromboembolik atau

aborsi spontan (pertimbangan sindrom anti-fosfolipid yang terkait), lalu tanyakan juga

penyakit ginjal dan neurologis karena memiliki kepentingan khusus.2

- Riwayat penyakit dahulu

Adakah riwayat penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius?

Pertimbangan riwayat kejadian tromboembolik.

Adakah riwayat kondisi autoimun lain(misalnya hipotiroidisme)?

- Obat-obatan

Apakah pasien mendapat terapi dengan imunosupresan (misalnya kortikosteroid,

azatioprin)?

Apakah pasien mengkonsumsi antikoagulan (warfarin, aspirin)?

Hati-hati terhadap lupus akibat obat.

- Riwayat keluarga

Adakah riwayat lupus atau penyakit autoimun lain dalam keluarga?2

Hasil laporan berdasarkan anamnesis didapatkan :

Seorang laki-laki berusia 22 tahun memiliki keluhan merasa lemah sejak 3 bulan

yang lalu. Kemudian sejka 2 bulan yang lalu sering mengalami nyeri pada jari-jari kedua

tangan serta kaku pada pagi hari. Rambut rontok, wajah seringkali memerah apalagi saat

sebentar saja terpapar sinar matahari, serta badan terasa hangat yang hilang timbul.

3

Page 4: makalah F1 muskuloskletal

Gambar 1. butterfly rash3

2.2 Pemeriksaan

2.2.1 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus lengkap, tetapi dengan pertimbangan khusus pada

adanya ruam, demam, anemia, alopesia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi:

efusi dan nyeri tekan, takipnea: pertimbangan hipertensi pulmonal, emboli paru,

gagal ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru, TD: periksa

adanya hipertensi, gesekan perikard/pleural, edema pergelangan kaki, neuropati,

defisit neurologis termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif, gangguan psikiatrik

khususnya psokosis, dan urin proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.2

Pada pemeriksaan fisik dimana pada saat melakukan inspeksi dan palpasi

didapatkan konjungtiva anemis (+), sklera ikterik -/-. Pada leher KGB tidak tampak

membesar, cor, pulmo, abdomen dalam batas normal. Status lokasi, manus dextra:

phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-).

Manus sinitra: phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),

oedem (-), kalor(-).

- Konjungtiva dan Sklera4

Minta pasien untuk melihat ke atas sementara pemeriksa menekan kedua

kelopak mata ke bawah dengan menggunakan ibu jari tangan sehingga membuat

sklera dan konjungtiva terpajan. Inspeksi sklera dan konjungtiva palpebralis

untuk melihat warnanya dan perhatikan pola vaskularisasi terhadap latar

belakang sklera yang berwarna putih. Cari setiap nodulus atau pembengkakkan.

Jika ingin melihat mata pasien secara lebih luas, letakkan ibu jari dan jari

telunjuk pada tulang pipi dan alis mata, dan kemudian renggangkan kedua

kelopak mata tersebut. Minta pasien untuk melihat ke samping kanan dan kiri,

serta ke bawah. Dengan teknik ini, sklera dan konjungtiva bulbaris dapat terlihat

4

Page 5: makalah F1 muskuloskletal

dengan baik, tetapi tidak dapat melihat konjungtiva kelopak mata atas. Untuk

melihat konjungtiva kelopak mata atas, kelopat mata tersebut harus dibalik.

- Kelenjar Getah Bening Leher5

Leher diperiksa secara sistematis untuk mencari adanya pembesaran

kelenjar getah bening dan kelainan lainnya, dengan meraba segitiga anterior dan

posterior leher secara bergantian. Batas-batas segitiga anterior: batas lateral

adalah sternomastoid, batas superior adalah mandibula, dan batas anterior adalah

garis tengah. Batas-batas segitiga posterior: batas anterior adalah sternomastoid,

batas posterior adalah otot trapezius, dan batas inferior adalah klavikula.

Kelenjar getah bening dapat dibagi menjadi beberapa kelompok.

Pemeriksaan dilakukan dengan jari dan dalam keadaan relaks dan lakukan

gerakan “putaran kecil” secara lembut. Tonsil terletak tepat di sudut rahang.

Kelompok KGB skalenus anterior terletak pada iga pertama di belakang dan

tepat di bawah ujung medial klavikula, dan KGB ini harus diraba melalui kaput

klavikular otot sternomastoid. Perabaan ini paling baik jika dilakukan dengan

meminta pasien menjatuhkan kepalanya ke depan dan pemeriksaan dilakukan

dari belakang.

- Lesi Simetris pada Kulit5

Lesi kulit simetris sering kali mencerminkan penyakit kulit generalisata

atau penyakit sistemik: manifestasi sistemik dapat memberikan petunjuk

diagnostik. Pada SLE, ruam kulit timbul pada sekitar 85% pasien dan meliputi

ruam kupu-kupu khas pada kedua pipi. Fenomena Raynaud dapat terjadi.

Fotosensitivitas dapat terjadi dan alopesia berparut dapat terbentuk;

telangiektasis juga umum ditemukan.

2.2.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah

pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan kelainan imunologis

ditemukan sel LE, antibodi antinuclear, komplemen serum menurun, faktor

rheumatoid dan uji terhadap VDRL yang positif palsu. Tes antibodi anti-Ro

positif pada 25% penderita lupus. Tes komplemen serum, bila

rendah menunjukkan penyakit lupus sedang aktif biasanya

5

Page 6: makalah F1 muskuloskletal

disertai penyakit ginjal. Hasil pemeriksaan darah dapat

menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopeni,

limfopenia, atau leukopenia; erythrocyte sedimentation rate (ESR)

meningkat selama penyakit aktif, test Coombs mungkin positif,

level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, serum

globulin meningkat, albumin dan sel darah merah juga sering

ditemukan pada urin.

1. Adanya ANA

Hasil ini ditemukan pada 95% pasien SLE. Pola yang paling lazim adalah

homogen dan difus (pola yang menghasilkan sel LE). Antigen anti-DNA untai

ganda dan anti-Smith hanya ditemukan pada SLE, sedangkan antibodi lain

seperti anti-DNA untai tunggal bisa juga ditemukan pada penyakit lain.

Antibodi lainnya misalnya anti-Ro dan anti-La juga dapat ditemukan. Pada

pasien dengan rematoid artritis serta para pasien dengan penyakit autoimun

yang relatif sehat dapat memiliki ANA positif. ANA positif juga bisa karena

faktor usia, infeksi virus tertentu.

2. Tes faktor rheumatoid

Hasilnya positif pada 80% rheumatoid artritis dan 20-30% pasien SLE. Faktor

rheumatoid yang tinggi dan ANA yang rendah menunjukkan bahwa diagnosis

rematoid artritis. Antibodi anti cyclic citrullinated peptide (CCP), jika ada,

cukup spesifik untuk rematoid artritis dan hanya terlihat 5% pada SLE.

3. Kelainan hematologik

Anemia normokromik normositik terdapat pada 40% pasien. Bisa ditemukan

tanda-tanda anemia hemolitik antara lain peningkatan haptoglobin serum.

Trombositopenia ditemukan pada 25% pasien. Kadar LED mungkin meningkat

tetapi tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit.

4. Antikoagulan lupus

Ditandai dengan adanya antikoagulan dalam sirkulasi dengan peningkatan PTT

atau antifosfolipid dalam sirkulasi (50% pasien dengan lupus) / antibody

kardiolipin terkait dengan thrombosis vena atau arterial.

5. Pasien SLE dapat memiliki uji VDRL positif palsu. Namun antibodi

Treponemal fluoresen (FTA) akan negatif.

6

Page 7: makalah F1 muskuloskletal

6. Hipokomplementia (CH50, C3, C4) bisa ditemukan dan berhubungan dengan

aktivitas penyakit.

7. Uji laboratorium yang kadang masih dipakai sampai sekarang adalah uji faktor

LE. Sel LE dapat juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit

golongan reumatik yang juga diperantarai oleh imunitas. Urin diperiksa untuk

mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit, dan silinder. Uji ini dilakukan

untuk menentukan adanya kompliksi ginjal dan untuk pemantauan

perkembangan penyakit.6

2.3 Diagnosis

2.3.1 Diagnosis Banding (Differential diagnose)

Osteoartritis

Osteoartritis merupakan penyakit degeneratif kronis dari sendi-sendi.Pada

penyakit ini terjadi penurunan fungsi tulang rawan terutama yang menopang

sebagian dari berat badan dan seringkali pada persendian yang sering digunakan.

Osteoarthritis merupakan gangguan yang umum pada usia lanjut, sering dianggap

sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan dalam tulang dengan lanjutnya usia.

Penyakit ini biasa terjadi pada umur 50 tahun ke atas dan pada orang kegemukan

(obesitas), tetapi bisa juga disebabkan oleh trauma persendian.

Pada usia lanjut tampak dua hal yang khas, yaitu rasa sakit pada persendian

dan terasa kaku jika digerakkan disertai krepitus yang khas. Osteoartritis

diklasifikasikan sebagai tipe primer (idiopatik) tanpa kejadian atau penyakit

sebelumnya. Pertambahan usia berhubungan secara langsung dengan proses

degeneratif dalam sendi, mengingat kemampuan kartilago artikuler untuk bertahan

terhadap mikrofraktur dengan beban muatan ringan yang berulang-ulang menurun.

Osteoarthritis sering dimulai pada dekade ketiga dan mencapai puncaknya diantara

dekade kelima dan keenam (75-85 tahun).Cairan sinovial dari aspirasi sendi

berwarna jernih dengan viskositas normal serta bersifat noniflamasi (jumlah sel

darah putih rendah) pada pemeriksaan makroskopis.

Penyakit ini dibagi atas dua kategori yaitu primer yang terkait dengan umur,

dan sekunder yang terjadi pada orang muda di mana diawali dengan kerusakan

tulang rawan sendi akibat trauma, infeksi atau kelainan kongenital.

7

Page 8: makalah F1 muskuloskletal

Penyakit ini umumnya menyerang tulang belakang dan sendi-sendi besar

seperti sendi-sendi yang menanggung beban tubuh dan dapat terjadi hanya pada

satu sendi saja (monoartritis). Tidak seperti pada kebanyakan artritis, pada kelainan

ini perubahan anatomis yang utama adalah degenerasi tulang rawan sendi,

sedangkan artritis pada umumnya ditandai dengan proses peradangan pada

membran sinovial.

Pada penyakit dengan derajat menengah / moderate, terdapat proliferasi

kondrosit yang tampaknya merupakan proses perbaikan. Pada akhirnya semua

kondrosit mengalami degenerasi. Membran sinovial akan menunjukkan sedikit

tanda peradangan, namun berbeda dengan RA, proses peradangan di sini tidak

hebat dan tidak terjadi pannus. Dengan rusaknya tulang rawan, maka akan tampak

jaringan tulang yang mendasarinya. Daerah pada tulang itu akan menjadi tebal

karena kompresi atau proses pembentukan tulang baru yang reaktif. Yang khas di

sini adalah terbentuknya spurs formation yang menonjol dari tulang yang reaktif

pada tepi rongga sendi. Walaupun sudah jelas bahwa degenerasi matriks tulang

rawan merupakan patogenesis utama dari OA, akan tetapi penyebab dari proses ini

masih belum jelas. Selain perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses

menua, perlu ditambahkan bahwa kerusakan jaringan karena proses imunologis dan

penyakit yang berkaitan dengan faktor genetik juga berperan dalam terjadinya

degenerasi tulang rawan.

Dalam perjalanannya, terdapat perubahan kualitas kondroitin sulfat dan

glikosaminoglikan.Sebagai akibat dari perubahan ini, kondrosit yang biasanya

tenang, dipacu untuk berproliferasi, berupaya untuk mengisi kekurangan matriks

dengan meningkatkan sintesis.Karena kondrosit yang terangsang juga mensekresi

enzim penghancur maka terjadi kehilangan proteoglikan yang berkesinambungan.

Gejala biasanya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku,

kemudian timbul rasa nyeri yang terutama terasa saat bergerak dan akan berkurang

dengan isitirahat. Maka dari itu fungsi sendi berkurang menyebabkan atrofi otot.

Pada umumnya, penyakit ini timbul secara tersembunyi sehingga kekakuan

sendi timbul secara progresif lambat.Mula-mula terasa kaku, kemudian timbul rasa

nyeri dan krepitasi pada waktu ada pergerakan sendi juga kadang disertai

pembengkakkan sendi.Keadaan ini menyebabkan fungsi sendi berkurang dan atrofi

otot.Akan tetapi tidak ada tanda-tanda konstitusional dari suatu penyakit

8

Page 9: makalah F1 muskuloskletal

inflamasi.Berbeda dengan RA, penderita OA sering tidak merah dan tidak panas,

juga tidak timbul ankilosis. Apabila mengenai tulang belakang, akan

mengakibatkan penekanan pada saraf dan menimbulkan nyeri radikular. Apabila

tonjolan tulang terjadi pada sendi interfalang distal dari jari, maka secara klinis

akan tampak pembengkakan yang bersifat nodular, keras pada perabaan dan dikenal

sebagai nodul Heberden. Kelainan ini lebih sering dijumpai pada pria daripada

wanita dan merupakan pengecualian karena umumnya penyakit ini terjadi pada

sendi besar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh.

Reumatoid artritis

Rheumatoid arthritis merupakan bentuk arthritis yang serius, disebabkan oleh

peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian.Ditandai

dengan sakit dan bengkak pada sendi-sendi terutama pada jari-jari tangan,

pergelangan tangan, siku, dan lutut. Dalam keadaan yang parah dapat menyebabkan

kerapuhan tulang sehingga menyebabkan kelainan bentuk terutama pada tangan dan

jari-jari. Tanda lainnya yaitu persendian terasa kaku terutama pada pagi hari, rasa

letih dan lemah, otot-otot terasa kejang, persendian terasa panas dan kelihatan

merah dan mungkin mengandung cairan, sensasi rasa dingin pada kaki dan tangan

yang disebabkan gangguan sirkulasi darah.

Gejala ekstra-artikuler yang sering ditemui ialah demam, penurunan berat

badan, mudah lelah, anemia, pembesaran limfe dan jari-jari yang pucat.Penyakit ini

belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun diduga berhubungan dengan

penyakit autoimmunitas.Ditandai dengan adanya artritis erosif pada sendi sinovial

yang simetris dan kronis yang menyebabkan gangguan fungsi yang

berat.Rheumatoid arthritis lebih sering menyerang wanita daripada laki-

laki.Walaupun dapat dapat meyerang segala jenis umur, namun lebih sering terjadi

pada umur 30-50 tahun.Hasil tes reumatoid faktor menunjukan hasil positif dan tes

antinuklear antibodies (ANA) meningkat atau positif.Respon inflamasi akut (LED

dan CRP yang meningkat).

Artritis Gout

Gout yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin

bawaan yang ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan akibat

penimbunan kristal asam urat di sendi yang menimbulkan artritis urika akut.

Berbeda dengan RA, penyakit ini lebih sering ditemukan pada pria dengan ratio

9

Page 10: makalah F1 muskuloskletal

20:1. Biasanya menunjukkan gejala pada usia dewasa muda dengan puncaknya

setelah berusia 40 tahun. Penyakit ini sering menyerang sendi perifer kaki dan

tangan, dan tersering mengenai persendian meta tarso falangeal ibu jari kaki.

Pada anamnesis, biasanya ditemukan keluhan sendi kemerahan disertai nyeri

akut seringkali pada ibu jari kaki.Rasa sakit pada sendi dengan permulaan eksplosif

dan khas menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari kaki.Rasa sakit biasanya

selalu berulang-ulang dengan sendi yang terkena bengkak, panas, kemerahan dan

sakit, sering dijumpai thopi.Pada penderita seringkali terdapat batu ginjal. Pada

pemeriksaan laboratorium, didapatkan kadar asam urat meningkat, ditemukannya

Kristal-kristal asam urat dalam cairan synovial sendi yang terserang.

Stadium awal berupa serangan monoartikuler yang ditandai dengan nyeri

sendi hebat karena artritis akut.Biasanya terdapat kemerahan, pembengkakan, nyeri

tekan lokal dan sendi tidak dapat digerakkan.

Artritis akut ini disertai demam dan leukositosis serta gambaran gejala

selulitis dan artritis septik akut. Umumnya serangan berakhir dalam beberapa hari,

akan tetapi serangan yang berat dapat menetap untuk beberapa minggu. Setelah

beberapa tahun, 50% akan berkembang menjadi pirai bertophus. Tophus adalah

nodul kecil yang terdiri dari kristal asam urat.

Artritis pirai kronik, ditandai dengan adanya pembengkakan dan kekakuan

sendi.Pada stadium lanjut yang kronik ini serangan akut dapat terjadi. Pada foto

rontgen, timbunan kristal asam urat murni memberi gambaran radiolusen

sedangkan timbunan kalsium tampak radioopak. Pada pemeriksaan laboratorium,

ditemukan hiperurisemia dan pada 50% penderita ditemukan kristal urat pada

cairan sinovial atau tophus.

Pada penderita penyakit ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid

dan sulfinpirazon yang bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli

ginjal.Kadar asam urat dalam duktus kolektivus meninggi sehingga kemungkinan

timbul batu ginjal menjadi lebih tinggi.Hal ini dapat diatasi dengan minum

banyak.Kemudian bisa diberikan allupurinol yang menghambat enzim xantin

oksidase sehingga mengurangi pembentukan asam urat.Kadar asam urat ini perlu

diturunkan sampai di bawah 7 mg%. Dengan menurunnya kadar urat, maka tophi

lambat laut akan menghilang.7

2.3.2 Diagnosis Kerja (Working diagnose)

10

Page 11: makalah F1 muskuloskletal

Gejala yang paling sering adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul

pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal.

Sendi-sendi paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan,

pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE

berbeda dari artritis rematoid karena jarang bersifat erosif atau menimbulkan

deformitas. Nodul subkutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-

gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat

badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam

perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai gejala

sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan SLE.

Manifestasi kulit mencakup ruam eritamatosa yang dapat timbul pada wajah,

leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki ruam

khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini.

Dapat timbul alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat.

Rambut biasanya dapat tumbuh kembali tanpa masalah. Juga dapat terjadi ulserasi

pada mukosa mulut dan nasofaring.

Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE.

SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium,

dan perikardium. SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer.

Gejala-gejala yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi),

kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahan-perubahan

pada sistem saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan

seringkali fatal.

Kriteria diagnosis laboratorium SLE menurut the American Rheumatology

Association (ARA) antara lain adanya beberapa autoantibodi yaitu ANA, anti ds-

DNA, anti Sm dan antifosfolipid seperti ACA, LA, atau VDRL positif palsu. ANA

sangat sensitif untuk SLE karena dijumpai pada 90-100% penderita sehingga

merupakan pemeriksaan pertama pada penderita yang diduga SLE.

ANA umumnya terdeteksi lewat imunofluoresensi tak langsung. Pola

imunofluoresensi ( misalnya bersifat homogen, perifer, bercak nukleoler) walaupun

tidak spesifik, dapat menunjukan tipe antibodi yang beredar. ANA dapat pula

ditemukan pada kelainan autoimun (terdapat hingga 10% dari orang-orang normal)

11

Page 12: makalah F1 muskuloskletal

tetapi adanya antibodi-antiDNA benang rangkap dan antibodi antigen anti-Smith

merupakan petunjuk kuat ke arah SLE.

Sebagian lainnya mempengaruhi pemeriksaan assay koagulasi in vitro

(memperpanjang masa pembekuan). Antibodi yang disebut antikoagulan lupus ini

sebenarnya menimbulkan efek prokoagulan in vivo sehingga terjadi trombosis

vaskuler rekuren, keguguran dan iskemia seberal (sindrom antibodi antifosfolipid

sekunder).

The American Rheumatism Association telah mengembangkan kriteria untuk

memilah SLE. Adanya empat dari ke-11 kriteria, baik secara serial maupun

simultan, cukup untuk menegakkan diagnosis.7

1. Ruam di daerah malar, ruam berupa eritema terbatas, rata, atau meninggi,

letaknya di daerah malar, biasanya teletak di pipi.

2. Lesi diskoid, lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik

keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama

mungkin akan terbentuk sikatriks.

3. Fotosensitivitas, terjadi lesi kulit sebagai akibat reaki abnormal terhadap

cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui pengamatan

dokter.

4. Ulkus pada mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri,

diketahui melalui pemeriksaan dokter.

5. Artritis, Artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai dengan

nyeri, bengkak, atau efusi.

6. Serositis: Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi

gesekan pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura.

Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi

gesekan perikardium atau adanya efusi perikardium

7. Gangguan pada ginjal; proteinuria (+3) atau 0,5 g/hari proteinuria persisten

atau silinder sel khas, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular tubular, atau

campuran.

8. Gangguan neurologik; kejang-kejang atau psikosis tanpa adanya penyebab lain

(adanya obat-obatan yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti

uremia, ketosidosis, dan gangguan keseimbangan elektrolit).

12

Page 13: makalah F1 muskuloskletal

9. Gangguan hematologik; anemia hemolitik, leucopenia, limfopenia, atau

trombositopenia.

- Anemia hemolitik dengan retikulositosis.

- Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.

- Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.

- Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat yang mungkin

menyebabkannya.

10. Gangguan imunologik; sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti-DNA, anti-

Sm, atau suatu uji serologik positif palsu untuk sifilis.

- Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer abnormal.

- Uji serologi untuk sifilis yang positif seem selama paling sedikit 6 bulan dan

diperkuat oeh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluoresens absorpsi

antibodi treponema.

11. Kelainan antinuklear, titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara

imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak

adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom lupus karena obat

Kecurigaan akan penyakit SLE bisa dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ

sebagaimana tercantum dibawah ini, yaitu:

- Jender wanita pada rentang usia reproduksi

- Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat

badan

- Muskuloskeletal: artritis, artalgia, miositis

- Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLE membrana

mukosa, alopseia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

- Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan sindroma nefrotik

- Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

- Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru

- Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

- Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

- Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

- Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati

kranial dan perifer. (sama dgn etiologi)8

13

Page 14: makalah F1 muskuloskletal

2.4 Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.

Prevalensi SLE di berbagai negara bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-

beda, bervariasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras

tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi

familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit

ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa

reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan pada pria berkisar antara 5,5-9 : 1.2-5

Carter MA. Lupus eritematosus sistemik.8

SLE adalah propotipe penyakit autoimun multisitem, yang ditandai oleh beragam

autoantibodi, terutama antibodi antinukleus (ANA). Penyakit ini memiliki awitan

mendadak atau perlahan, bersifat kronik, dapat mereda dan kambuh, sering disertai

demam serta terutama ditandai oleh kelainan di kulit, ginjal, sendi, dan membran serosa.

Akan tetapi, hampir semua organ lain di tubuh dapat terkena. SLE merupakan penyakit

yang relatif sering, dengan prevalensi yang dapat mencapai 1 dari 2500 pada populasi

tertentu. Serupa dengan banyak penyakit autoimun lainnya, SLE terutama mengenai

wanita, dengan frekuensi 1 dari 700 wanita berusia subur dan rasio wanita terhadap pria

9:1. Sebagai perbandingan, rasio wanita terhadap pria untuk penyakit yang timbul pada

masa anak atau setelah usia setelah 65 tahun menjadi 2:1. Meskipun biasanya muncul

pada usia 20-an dan 30-an, SLE dapat muncul pada semua usia, bahkan pada masa anak-

anak dini.

Diketahui bahwa wanita memiliki kecenderungan terkena lupus lebih besar

daripada laki-laki yaitu 8 kali lebih banyak daripada laki-laki. Penyakit ini kebanyakan

menyerang umur 20-45 tahun. Menurut laporan statistik lupus lebih banyak 2 sampai 3

kali terjadi pada perempuan Afrika-Amerika daripada wanita kaukasian.6 Beberapa data

yang ada di Indonesia, diperoleh dari pasien yang dirawat dirumah sakit berdasarkan dari

3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pada periode yang berbeda pada

kasus yang terjadi di Jakarta diperoleh data sebagai berikut : antara 1969-1970 ditemukan

5 kasus, 1972-1976 ditemukan 1 kasus LES insidensi 15/10000 perawatan, 1988-1990

insidensi rata-rata 37,7/10000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-

beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, criteria pendahuluan ARA dan criteria ARA

yang telah diperbaiki.9

14

Page 15: makalah F1 muskuloskletal

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah

sakit. Dari 3 peneliti dari departemen ilmu penyakit dalam universitas Indonesia yang

melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut:

- Antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE.

- Antara tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat

(insidensi sebesar 15 per 10000 perawatan).

- Antara tahun 1988-1990 insidensi rata-rata ialah 37,7 per 10000 perawatan.

Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria

Dubois, kriteria pendahuluan ARA, dan kriteria ARA yang telah diperbaiki.8,9

2.5 Etiologi

Etiologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang

kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik

diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi

secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga

terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab.

Interaksi antara sex, status humoral dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA)

mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme

pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun

merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya

tolenrasi imun, meningkatkan beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan

supresi sel B dan peralihan respon imun dari T-helper 1 (Th 1) ke Th2 menyebabkan

hiperaktivitas sel B memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar

faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam

periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.

2.5.1 Faktor Genetik

Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan

dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE

dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik

tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis SLE.

15

Page 16: makalah F1 muskuloskletal

Banyak gen yang berkonstribusi terhadap kepekaan penyakit. Pada sebagian kecil pasien

hanya gen tunggal yang bertanggung jawab. Tetapi pada sebaagian besar pasien

memerlukan keterlibatan banyak gen. Elemen genetik yang paling banyak diteliti

kontribusinya terhadap SLE pada manusia adalah gen dari Kompleks Histokompatibilitas

Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE

melibatkan polimorfisme dan gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II. Hubungan

HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda,

dengan resiko relative terjadinya penyakit berkisar antara 2 sampai 5. Gen HLA kelas II

juga berhubungan dengan adanya antibody tertentu seperti anti-sm (small nuclear

ribonuclearprotein), anti-RO, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein) dan anti-

DNA. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4,

memberikan resiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan homozygous

C4A null alleles tanpa memandang latar belakang etnik, mempunyai resiko tinggi

berkembang menjadi SLE. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan

terhadap penyakit oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan,

baik terhadap self antigen maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas

pembersihan dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi.

Selain itu banyak gen non-MHC polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan

SLE, termasuk gen yang mengkode mannose binding protein (MBP), TNF-α, reseptor sel

T, interleukin 6 (IL-6), CR1, imunoglobuin Gm dan Km allotypes. Penemuan darah

kromosom yang multiple (multiple chromosome regions) sebagai resiko berkembangnya

SLE, mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.8

2.5.2 Faktor Hormonal

SLE adalah penyakit yang lebih menyerang perempuan. Serangan pertama kali SLE

jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause.

Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin,

dimana peningkatan hidroksilasi 16a dari estrone mengakibatkan peningkatan yang

bermakna kosentasi 16a hidroksiestron. Metabolit 16a lebih kuat dan merupakan

feminising estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen

plasma yang rendah, termasuk testoteron, dehidrotestoteron, dehidroepiandrosteron

(DHEA) dan dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin

disebabkan oleh peningkatan oksidasi testoteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas

aromatase jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi negativ dengan aktivitas penyakit.

16

Page 17: makalah F1 muskuloskletal

Konsentrasi testosteron plasma yang rendah meningkatkan konsentrasi luteinising

hormone (LH) ditemukan pada beberapa penderita SLE laki-laki, jadi estrogen yang

berlebihan dengan aktivitas hormone androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun

perempuan, mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi

progesteron didapatkan lebih rendah pada penderita SLE perempuan dibandingkan dengan

kontrol sehat.

Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior,

diketahui menstimulasi respon imun humoral dan selular, yang diduga berperanan dalam

patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel sistem imun juga mampu mensintesis

PRL. Fungsi PRL menyerupai sitokin, yang mempunyai aktivitas endokrin, parakrin dan

autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makofag, neutrofil,

sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik presentasi antigen.

Hormon dari sel lemak yang diduga terlihat dalam patogenesis SLE adalah leptin.

Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita SLE permpuan yang dilakukan oleh

Garcia-Gonzales dkk, mendapatkan kadar leptin pada penderita SLE lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol sehat.

2.5.3 Autoantibodi

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi.

Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma,

permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi.

Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada

penderita SLE (lebih dari 95%). Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm

antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam

kriteria klasifikasi dari SLE. Antigen Sm merupakan suatu small nuclear

ribonucleoprotein (snRNP), terdiri dari rangkaian uridine yang kaya molekul RNA,

berikatan dengan kelompok protein inti dan protein lain yang berhubungan dengan RNA.

Anti-Sm antibodi berikatan dengan protein inti snRNP, sedangkan antibodi anti-DNA

berikatan dengan conserved nucleic acid determinant yang tersebar luas dalam DNA.

Titer antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas penyakit,

sedangkan antibodi anti-Sm biasanya konstan.

2.5.4 Faktor Lingkungan

17

Page 18: makalah F1 muskuloskletal

Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi untuk SLE,

tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan

lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon

spesifik melalui kemiripan molekuler dan gangguan terhadap regulasi imun; diet

mempengaruhi produksi mediator inflamasi; toksin/obat-obatan memodifikasi respon

selular dan imunogenisitas dan self antigen; dan agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet

(UV) dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan

jaringan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap predisposisi individual sangat bervariasi.

Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas dan adanya periode bergantian antara

remisi dan eksaserbasi dari penyakit ini. Faktor lingkungan lainnya dapat dilihat pada

tabel 3.

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang Mungkin Berhubungan dengan Patogenesis SLE.8

Faktor fisik/kimia:

Amin aromatic

Hydrazine

Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin, penisilamin)

Merokok

Pewarnaan rambut

Sinar ultraviolet (UV)

Faktor makanan:

Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan

L-canavanine (kuncup dari alfalfa)

Agen infeksi:

Retrovirus

DNA bakteri/endotoksin

Hormone dan estrogen lingkungan:

Terapi sulih hormone (HRT), pil kontrasepsi oral

18

Page 19: makalah F1 muskuloskletal

Paparan estrogen prenatal

Sumber: Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana IN. Lupus eritematosus sistemik.

Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar

ilmu penyakit dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.2568.

Radiasi UV bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada SLE,

juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan

terbentuknya autoantibodi. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia

yang menghasilkan blebs nuclear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel.

Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan postmenopause dan untuk kepentingan

kontrasepsi. Paparan estrogen secara kronik pada tikus prepubertas non-imun

mempengaruhi perkembangan timus dan toleransi imun. Paparan senyawa etrogenik

selama kehidupan fetus bisa menimbulkan resiko imunologik yang potensial. Paparan

dietilstilbestesol prenatal berhubungan dengan gangguan autoimun, meskipun masih

memerlukan investigasi lebih lanjut. HRT dan penggunaan pil kontrasepsi oral juga

berhubungan dengan sedikit peningkatan resiko berkembangnya SLE. Estrogen

lingkungan dan gangguan endokrin mungkin merupakan pencetus yang penting untuk

autoimunitas pada individu yang peka.8

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala Muskuloskeletal

Gejala yang sering pada SLE ialah gejala musculoskeletal berupa artritis atau artralgia

(93%) dan seringkali mendahului gejala-gejala lainnya, yang paling sering terkena ialah

sendi interfalangeal proksimal diikuti lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal,

siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan kaki dan nyeri mungkin juga terdapat

efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi). Kaku pagi hari jarang

ditemukan. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa

menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakalanya dapat terjadi pada

berbagai tempat dan terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan

steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.

Gejala Mukokutan.

Kelainan kulit,rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit

yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan livido

19

Page 20: makalah F1 muskuloskletal

retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan

diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang

agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini

dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul

ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk

lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khasi berbentuk anular. Lesi diskoid yang

berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hyperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak

sebagai bercak eritematosa yang meninggi, ,tertutup oleh sisik keratin disertai adanya

penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk sikatriks.

Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan

antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang

secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi.

Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi

perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian

pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit ,Sedangkan pada sebagian lagi

akan membaik jika penyakit mereda.

Ginjal.

Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah

proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang

terjadi hanya terdapat 25% kasus SLE yang urinnya menunjukan kelainan.

Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis

lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis

biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang

sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan

sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin

berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.

Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis

kronik,tuberkolosis ginjal dan sebagainnya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab

kematian SLE kronik.

Kardiovaskular

Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard),

iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).

20

Page 21: makalah F1 muskuloskletal

Paru

Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin

ditemukan pada sel LE dalam cairan pleura.Biasanya efusi menghilang dengan pemberian

terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor

lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkolosis dan sebagianya telah disingkirkan.

Saluran Pencernaan

Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang)

dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya terdapat

pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau

arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.

Alteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.

Kelenjar getah bening & kelenjar parotis

Pembesaran pada kelenjar getah bening sering ditemukan (50%). Biasanya berupa

limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-

kadang disangka sebagai limfoma. Kelenjar parotis membesar pada 6% kasus SLE.

Susunan saraf tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya

bersifat sementara.

Susunan saraf pusat

Gangguan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-

kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE

pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukan gejala delusi/halusinasi disamping gejala

khas kelainan organik otak seperti disorientasi.8

2.7 Patogenesis

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,

peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi

autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan

karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan

kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam

yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)

atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan

APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan.

21

Page 22: makalah F1 muskuloskletal

Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk

membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel

T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 .10

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1

berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan

membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10

yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga

mengganggu cell-mediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa

berkurangnya  produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-

2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T .4 Abnormalitas dan disregulasi

sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC,

dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi

antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya

hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B,

reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga

meningkatkan heat shock protein 90  (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90

akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon

imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+

(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan 

subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan

menyediakan signal bagi CD8+. Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan

berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan

menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua

subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis

dan sekresi autoantibodi. Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik

pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel

sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme

yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran

jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua,

autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam

jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang

terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi

komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan

22

Page 23: makalah F1 muskuloskletal

berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui

mekanismenya terhadap kerusakan jaringan.11

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,

gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun

pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan

juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor

FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen

komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan

antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai

macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini

menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang

menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya

keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,

pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya.5 Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa

UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat  (seperti

klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah

apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui

kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang

secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar

membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan  komponen

komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti

transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin,

dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan  pada 

SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi  yang kemudian akan berinteraksi

dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan

apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan

apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 .11

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi

obat yang kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Periode timbulnya penyakit ini

tersering adalah pada akhir masa remaja, dan awal dari masa dewasa seorang perempuan.

Karena masa ini adalah tahun-tahun reproduksi yang paling prima, maka diperlukan

23

Page 24: makalah F1 muskuloskletal

penyuluhan serius dalam mengambil keputusan akan memiliki anak atau tidak.

Kehamilan dapat menyebabkan timbulnya SLE, yang dapat berbahaya pada perempuan

yang memiliki kerusakan ginjal. Obat-obatan sitotoksik mungkin diperlukan untuk

mengendalikan penyakit ini, dan obat-obatan ini sangat berpotensi untuk mencelakan

fetus. Metode kontraseptif oral tidak diperbolehkan karena dapat memperberat SLE. IUD

dapat menjadi suatu masalah bagi perempuan yang mendapat pengobatan dengan

kortikosteroid sistemik karena adanya potensi untuk menimbulkan infeksi.

Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi

non-steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan

obat yang sesuai bergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. OAINS

dipakai untuk mengatasi artritis dan atralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena

memiliki insidens hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami

gangguan pada hepar. Seseorang dengan SLE juga memiliki risiko tinggi terhadap efek

samping OAINS pada kulit, hepar, dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau

dengan seksama.

Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat

mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan

dosis tinggi untuk memperoleh kedaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupaka parameter

untuk memantau pemakaian dosis. Terapi penekan imun (siklofosfamid dan azatioprin)

dapat dilakukan dengan menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya

dipakai ketika diagnosis pasti sudah ditegakkan, adanya gejala-gejala berat yang

mengancam jiwa, kegagalan tidakan-tindakan pengobatan lainnya, dan tidak adanya

infeksi. Serangan akut SLE diobati dengan kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu

yang singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya dikurangi setelah beberapa minggu.

Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari sinar ultraviolet.

Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat

dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet

secara normal akan bersifat antigenik dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah

terkena sinar. Pasien SLE harus dianjurkan untuk memakai paying, topi, dan baju lengan

panjang apabila ke luar rumah.12

Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya kenaikan berat

badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan “junk food”

atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari kenaikan berat badan

24

Page 25: makalah F1 muskuloskletal

berlebih. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada

anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB. Pencegahan

infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat pada anak

dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis harus dihindari dan hanya

diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan

infeksi pada penderita lupus, yaitu 1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit

infeksi, terutama infeksi bakterial, 2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai

leukositosis (leukosit >10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi, 3) gambaran

radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai infeksi bakterial sebelum

dibuktikan sebagai keadaan lain, dan 4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu

kemungkinan pielonefritis.13

2.8.1 Medica Mentosa

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita SLE:

Tabel 2. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES12

Antimalaria     Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)

Kortiko-steroid           PrednisonDosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersamamethylprednisolone dosis tinggi intermitten  (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu

Obat imuno-supresif   Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu.  maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)Azathioprine  1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari

Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)Naproxen7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hariTolmetin15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hariDiclofenac< 12 tahun : tak dianjurkan> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

Suplemen Kalsium dan vitamin D        Kalsium karbonat      < 6 bulan : 360 mg/hari6-12 bulan : 540 mg/hari1-10 bulan : 800 mg/hari11-18 bulan : 1200 mg/hariCalcifediol< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu 

25

Page 26: makalah F1 muskuloskletal

> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/mingguAnti-hipertensi

Nifedipin        0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.Enalapril        0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hariPropranolol    0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

2.8.2 Non-medica mentosa

- Penyuluhan dan intervasi psikosional sangat penting diperhatikan dalam

pentalaksanaan penderita SLE terutama penderita yang baru di diagnosis.

- Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,

gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya

mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas

yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup

- Hindari Merokok

- Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

- Hindari stres dan trauma fisik

- Hindari sinar ultraviolet dan paparan sinar matahari untuk meminimalkan gejala

memburuk akibat photosensitivity

- Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon

estrogen. Karena studi terbaru menyarankan bahwa kontrasepsi oral tidak dapat

dikaitkan dengan flare penyakit atau risiko trombosis pada pasien dengan lupus

ringan tanpa antifosfolipid antibodies.

- Penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU

and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4,

IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA.

- Terapi antimalaria (hydroxychloroquine) telah ditunjukkan untuk mencegah

relaps dan meningkatkan mortality.

- Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan / atau angiotensin reseptor

blockers mungkin berguna pada pasien dengan penyakit ginjal.

- Kalsium, vitamin D, dan bifosfonat profilaksis dapat mengurangi risiko

osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid.

26

Page 27: makalah F1 muskuloskletal

2.9 Komplikasi

Infeksi oportunistik dapat terjadi, paling sering pada pasien yang menerima terapi

imunosupresif kronis. Komplikasi lain yang kurang umum adalah osteonekrosis, terutama

bagian pinggul dan lutut setelah penggunaan dosis tinggi kortikosteroid berkepanjangan.

Lebih umum, penyakit aterosklerosis prematur dan infark miokard adalah komplikasi

indolen peradangan kronis.

Yang paling sering ditakutkan adalah jika pada ginjal dan jantung terjadi kelainan

sistemik. Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE

adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas

pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun

pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan

inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas.Penyebab

peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk

disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis,

dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari

SLE). 8

2.10 Prognosis

Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-organ

yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,

penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh

mana gejala-gejala ini dapat diatasi. SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun

sebesar 90%.Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena

gagalginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.Data dari

beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan5-year survival ratessebesar 17.5%-

69%. Sedangkan tahun 1980-1990,5-year survival ratessebesar 83%-93%. Beberapa

peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien SLE dapat hidup selama 10 tahun, sebesar

88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara

jangka panjang dan menetap.8

27

Page 28: makalah F1 muskuloskletal

Bab III

Penutup

3.1 Simpulan

Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bila terdapat nyeri dan bengkak pada

sendi pergelangan tangan, jari-jari tangan dan tumit serta ruam merah pada pipi merupakan

gejala dari SLE yang disebabkan oleh karena autoimun (respon imun yang tidak normal).

Yang mana pada keadaan normal, tubuh memiliki tolerance yaitu tidak timbulnya respon

imun pada antigen sendiri.

28

Page 29: makalah F1 muskuloskletal

Daftar Pustaka

1. Goldstan BG, Goldstein A. Dermatologi praktis. Jakarta:Hipokrates; 2001. hal. 267-270.

2. Gleade J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005. hal.

197.

3. Gambar Butterfly rush. Edisi November 2010. Diunduh dari:

http://www.medicinenet.com/systemic_lupus. 16 Maret 2012.

4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Jakarta: EGC,

2009. hal. 151.

5. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC, 2009. hal.

4,24,184,198-9.

6. Graber MA, Toth PP, Herting RL. Buku saku dokter keluarga. Edisi ke-3. Jakarta:

EGC;2006. hal. 288-293.

7. Suarjana IN. Artritis reumatoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

MK, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta: Interna

Publishing, 2009. hal. 2495-2500.

8. Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana IN. Lupus eritematosus sistemik. Dalam:

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, 2009. hal. 2565-77.

9. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.

Volume 2. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006. p 1392-6.

10. Myers SA, Mary HA. Cutaneous Manifestation of Lupus: Can You Recognize Them all

? Women’s Health in Primary Care. Vol 4 No 1. 2001.

11. Manzi S. Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. The American Journal of

Managed Care. Vol 7 No 16. 2001.

12. Klein G, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman RM,

Jenson HB. Textbook of Pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia:WB Saunders;2004. p. 809-

12.

13. Savage P. Lupus and the Eye. Lupus Foundation of America Lupus News vol 21 No 12.

2001.

29