macapat madura

75
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siapapun tidak dapat mengelak atau pun membantah tentang bukti-bukti keberhasilan para Wali Songo ketika berdakwah menyiarkan agama Islam di bumi nusantara. Keberhasilan para Wali tak terlepas dari metode yang dipergunakan pada saat itu, yaitu menggunakan media kesenian. Adapun media seni tersebut antara lain, gamelan, berbagai upacara, pertunjukan wayang ataupun menciptakan bentuk tembang (nyanyian). Untuk tembang mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan), di surau-surau sebelum didirikan shalat wajib. Tembang tersebut berbahasa Jawa, penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan pada jiwa. Tembang tersebut dinamakan tembang Macapat. Selain berisi pujian kepada Tuhan Pencipta alam semesta, tembang tersebut menyampaikan ajaran, anjuran, serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajakan untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia ber-kepribadian dan ber-budaya. Melalui tembang Macapat setiap hati manusia diketuk untuk lebih mendalami serta memahami tentang makna hidup. Lebih dalam lagi, syair-syair yang terkandung dalam tembang Macapat merupakan manifestasi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

Upload: helmi-rohmanil-aziz-kun

Post on 25-Jul-2015

1.738 views

Category:

Documents


34 download

TRANSCRIPT

Page 1: MACAPAT MADURA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Siapapun tidak dapat mengelak atau pun membantah tentang bukti-bukti keberhasilan 

para Wali Songo ketika berdakwah menyiarkan agama Islam di bumi nusantara. Keberhasilan

para Wali tak terlepas dari metode yang dipergunakan pada saat itu, yaitu  menggunakan

media kesenian. Adapun media seni tersebut antara lain, gamelan, berbagai upacara,

pertunjukan wayang ataupun menciptakan bentuk tembang (nyanyian). Untuk tembang mula-

mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan), di surau-surau

sebelum didirikan shalat wajib. Tembang tersebut berbahasa Jawa, penuh sentuhan lembut

dan membawa kesahduan pada jiwa.

Tembang tersebut dinamakan tembang Macapat. Selain berisi pujian kepada Tuhan

Pencipta alam semesta, tembang tersebut menyampaikan ajaran, anjuran, serta ajakan untuk

mencintai ilmu pengetahuan, ajakan untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan

budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia ber-kepribadian dan ber-

budaya. Melalui tembang Macapat setiap hati manusia diketuk untuk lebih mendalami serta

memahami tentang makna hidup. Lebih dalam lagi, syair-syair yang terkandung dalam

tembang Macapat merupakan manifestasi hubungan manusia dengan manusia, manusia

dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

Para wali yang menciptakan tembang Macapat adalah  ;

1. Sunan Giri menciptakan tembang Sinom yang berarti Nur, yaitu tentang cahaya hidup

yang tak pernah tua,

2. Sunan Majagung, tembang Maskumambang yang melambangkan ilmu,

3. Sunan Kalijaga, menciptakan tembang Dandang Gula, berisi mengajak pada rasa

manis, yaitu mengharap kebahagiaan,

4. Sunan Bonang, menciptakan tembang Durma “harimau”. Harimau adalah lambang

dari 4 nafsu manusia, yaitu :  ego centros – nafsu angkara, polemos – nafsu mudah

marah/berangasan, eros – nafsu birahi/sofia, relegios – nafsu keagamaan, kebenaran

dan kejujuran,

Page 2: MACAPAT MADURA

5. Sunan Murya, menciptakan tembang Pangkur yang melahirkan tembang pembirat,

yaitu tembang yang berisi bagaimana membasmi hati yang jahat,

6. Sunan Giri Parepen, menciptakan tembang Megatruh yang berisi ajaran meninggalkan

alam kotor,

7. Sunan Giri Jati, menciptakan tembang Pucung, melambangkan perasaan yang

memuncak (rasa perasaan itu puncak kehendak).

Seiring dengan penyebaran dan perkembangan agama Islam di berbagai wilayah

nusantara, tembang Macapat inipun menyebar sampai ke pulau Madura. Tembang Macapat

Madura awal keberadaannya berasal dari tembang Macapat Jawa dan tembang Macapat

Madura pada dasarnya adalah kumpulan beberapa tembang Jawa kuno. Oleh sebagian

penikmatnya, tembang Macapat diterjemahkan ke dalam bahasa Madura. Namun oleh

sebagian penikmat lainnya, setiap pembacaan tembang Macapat tetap menggunakan bahasa

Jawa kuna (kawi). Untuk mengetahui dan memahami makna, isi serta maksud tembang

tersebut, dipergunakan seorang penerjemah yang disebut “panegges”.

Kesenian tembang atau puisi tradisional “macapat”, kini terancam punah karena tidak

ada generasi penerusnya. Hanya para orang tua saja yang saat ini bisa nembang. Kalau dari

kalangan generasi mudah, sudah tidak ada lagi. Tidak adanya generasi muda yang mau

mempelajari kesenian tembang macapat ini karena jenis kesenian tradisional itu dinilai sulit.

Ada beberapa macam dalam tembang macapat dengan jumlah metrum bervariatif, mulai dari

lima hingga 10 metrum. Seperti tembang Artateh, Sinum (Senum), Kinanthi, Pangkur,

Pocung, Durma, Maskumambang, Asmaradana, Mijil, Jurudemung, Wirangrong, Balabak,

Gambuh, Megatruh, Girisa, dan Dhandhanggula.

Di Madura, jenis tembang macapat yang biasa digunakan hanya sekitar tujuh

tembang, yakni Artateh, Sinum, Pangkur, Pocung, Kinanthi, Kasmaran, dan tembang

Maskumambang. Ia menuturkan, jenis kesenian ini tergolong sulit dipelajari. Selain jenis

tembang dan cengkok lagi yang sangat banyak, juga dibutuhkan ketelatenan untuk berlatih.

Selain sulit mulai langkanya pelantun tembang macapat adalah karena gempuran budaya

modern yang oleh para generasi muda dianggap lebih keren, atraktif, dinamis, dan lebih

menarik untuk ditonton. Namun para maestro yang saat ini sudah mulai lanjut usia berkata

"Kalau kami-kami ini nanti tutup usia, jelas tidak akan ada lagi generasi penerusnya, karena

anak-anak muda sekarang tidak ada lagi yang mau belajar," katanya menjelaskan.

Page 3: MACAPAT MADURA

Oleh karena itu sangat perlu dilakukan antisipasi sebelum tembang macapat benar-

benar hilang seperti menjadikan tembang macapat pelajaran muatan lokal disekolah-sekolah

ataupun diadakan tempat kursus untuk belajar tembang macapat namun tentu saja hal tersebut

bukanlah hal mudah karena dari aspek-aspek yang telah dijelaskan diatas bahwa dalam

mempelajari tembang macapat sangatlah sulit, dan hal ini harus dilakukan dengan sabar dan

tekun agar rencana tadi benar-benar bisa terealisasi. Sehingga warisan luhur yang sangat

berharga ini dapat terus dipertahankan keberadaannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa tembang macapat Madura itu ?

2. Bagaimana mengatasi permasalahan semakin menghilangnya kesenian tembang macapat ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui dan memahami secara lebih mendalam tentang kesenian tembang

macapat.

2. Untuk mencari solusi apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan semakin

menghilangnya kesenian macapat Madura ?

Page 4: MACAPAT MADURA

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kebudayaan

Karakteristik Tembang Macapat Madura

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai

baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru

wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Macapat

dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda.

Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat

diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara

membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya

ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh

Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa

Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.

Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya

ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran

pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi'

saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat

Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.

Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang

cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Macapat digolongkan kepada kepada kategori

tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin

atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru,

tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang

tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.

Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih

mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang

didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan

pendek diabaikan.

Page 5: MACAPAT MADURA

Seni membaca tembang yang berasal dari tanah Jawa ini juga berkembang sampai ke

Pulau Madura. Namun, kini mulai terpinggirkan dan ditinggal masyarakatnya, khususnya di

Madura. Mengapa? Macapat mengandung makna dalam. Dengan mendengarnya, bisa

menyejukklan hati. Apalagi jika bisa tahu maknanya, akan sangat berarti dalam kehidupan.

Namun, seiring dengan berkembangnya berbagai musik modern, saat ini seni macapat kurang

digemari. Berdendang dengan dengan macapat dianggap kuno atau malah katrok. Meski

dengan peminat sedikit, macapat masih bertahan. Dan tidak menutup kemungkinan orang

kota juga menggemari kesenian macapat, meski yang menggemari sebatas kalangan tua.

Karena berasal dari satu pohon, maka tembang Macapat Madura  memiliki banyak

persamaan dan kesamaan dengan tembang Macapat Jawa. Keduanya diikat oleh suatu aturan

tembang, yaitu jumlah gatra (padde) dari masing-masing tembang berbeda, mengikuti aturan

guru lagu dan guru wilangan yang sama. Adapun perbedaannya terletak pada syair yang

dinyanyikan, pada tembang Macapat Jawa syair mengikuti aturan not balok atau angka,

sedangkan di Madura lebih mengutamakan cengkok atau lagu.

Jenis tembang Macapat Madura dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu tembang raja, tembang

tengahan dan tembang Macopat atau tembang kene’. Tembang Macopat atau tembang kene’

ada 11 tembang, yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu ; (1) Salanget (Kinanti), (2)

Pucung, (3) Mejil (Medjil), (4) Maskumambang, (5) Durma, (6) Kasmaran (Asmaradana), (7)

Pangkor, (8) Senom (Sinom), (9) Artate’ (Dandanggula), (10) Megattro (Megatruh), (11)

Gambuh.

Ciri-ciri yang membedakan antara tembang yang satu dengan lainnya ;

1. Tembang Salanget (Kinanti), tembang ini melukiskan cerita-cerita percintaan (kasih

sayang). Tembang ini mempunyai guru gatra (baris), yang terdiri dari enam baris,

baris pertama mempunyai sepuluh suku kata yang berakhir bunyi i (10 i ), kemudian

berturut-turut 6o – 10e – 10i – 6i dan 6u.

2. Tembang Pucung. Nama Pucung diambil dari nama biji pohon kepayang, dalam

tembang ini terdapat empat gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru lagu 12u –

6a – 8i –12a, maksudnya adalah pada baris pertama ada dua belas suku kata dengan

vokal akhir u, baris kedua dengan enam suku kata diakhiri vokal a, baris ketiga ada

delapan suku kata diakhiri vokal I dan baris keempat terdapat dua belas suku kata

Page 6: MACAPAT MADURA

diakhiri vokal a. watak dari tembang ini adalah sembrana parikena (sembarangan),

biasanya dipakai untuk menceritakan hal-hal yang ringan, jenaka atau teka-teki.

3. Mejil (Medjil), Mijil dalam bahasa Jawa berarti Medal artinya keluar, yaitu tembang

yang mengungkapkan dan melukiskan  rasa sedih. Di samping itu tembang Medjil

memuat pula kisah-kisah nasehat yang berisi tentang kebesaran Sang Pencipta.

Adapun tembang Medjil mempunyai guru gatra (baris) yang terdiri atas enam baris.

Baris pertama mempunyai sepuluh suku kata yang berakhir bunyi i (10i), kemudian

berturut-turut 6o –10e – 10i –6i dan 6u. Watak yang terkandung dalam tembang ini

berbicara tentang keprihatinan.

4. Maskumambang atau Kumambang mempunyai arti “mengapung”. Dalam tembang

ini terdapat empat gatra (baris) pertama ada duabelas suku kata dengan diakhiri vokal

i, baris kedua enam suku kata diakhiri vokal a, baris ketiga ada delapan suku kata

diakhiri vokal  i dan baris keempat ada delapan suku kata dan diakhiri vokal a.

5. Durma atau Sima (Jawa) artinya harimau. Sesuai dengan arti  tersurat tembang

Durma cenderung  bersifat keras. Karena tembang ini melambangkan tiga nafsu

manusia yang mewakili nafsu angkara, nafsu mudah marah serta nafsu birahi.

Tembang ini menggambarkan cerita-cerita perkelahian, perang serta kondisi

psikologi. Tembang  ini mempunyai tujuh gatra (baris). Baris pertama sampai dengan

baris ketujuh berturut-turut 12a – 7i –6a – 7a – 8i – 5a dan 7i.

6. Asmaradana atau Kasmaran (Madura), berarti suka, kasengsem (jatuh cinta).

Tembang ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta ataupun rasa

sedih. Selain itu juga memberikan gambaran rasa senang, bahagia, tidak ada pikiran

susah dan senantiasa berada dalam kondisi gembira. Tembang ini mempunyai tujuh

baris, baris pertama terdiri atas delapan suku kata yang berakhir huruf i (8i),

kemudian berturut-turut 8a – 8o –8a – 7a –8u dan 8a.

7. Pangkur atau Pangkor (Madura) berarti penghujung, tembang ini biasanya

ditembangkan pada bagian  akhir suatu cerita. Tembang ini mempunyai tujuh gatra

(baris),  dan guru wilangan lagu masing-masing 8a – 11i – 8u – 7a – 12u – 8a – 8i.

Pangkor biasanya dipakai untuk mengungkap hal-hal yang bersifat keras, seperti

kemarahan, perkelahian dan perang. Meskipun tembang Pangkor identik dengan

Page 7: MACAPAT MADURA

nuansa heroic, namun banyak diantara-nya memberikan gambaran yang lugas dan

gamblang tentang kekerdilan manusia dihadapan Sang Pencipta.

8. Sinom (Senom) diambil dari pucuk daun asam. Tembang ini mempunyai sembilan

gatra (baris), baris pertama sampai kesembilan masing-masing 8a – 8i – 8a – 8i – 7i –

8u – 7a – 8i – 12a. Tembang ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan ha-hal yang

bersifat romantis, baik dalam hubungannya dengan kisah percintaan ataupun

hubungan antar sesama manusia.

9. Dhandanggula (Artate’) terdiri dari dhandang dan gula, dhandang mengandung arti

pangarep (Madura), gula berarti manis. Tembang ini mempunyai sepuluh gatra

(baris), guru wilangan dan guru lagu masing-masing 10i – 10a – 8e – 7u – 9i –7a – 6u

– 8a – 12i – dan 7a.  Tembang ini mempunyai maksud dan sebuah pengharapan

tentang  sesuatu dengan tujuan akhir mencapai  kebaikan. Tembang Macopat ini

biasanya dipakai untuk mengungkapkan perasaan suka cita atau pun ketika mencapai

sebuah kemenangan.

10. Megatruh atau Duduk Wuluh (Jawa), duduk artinya suling sedangkan Wuluh berarti

bambu. Tembang ini mempunyai lima gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru

lagu, masing-masing baris 12a –8i – 8u – 8i – 80. tembang ini biasanya dipakai untuk

melukiskan perasaan kecewa ataupun kesedihan yang mendalam.

11. Gambuh dalam bahasa Jawa “prigel”, dengan maksud bahwa segala sesuatu bisa

diatasi. Tembang ini terdiri atas lima gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru

lagu berturut-turut 7u – 10u – 12i – 8u- 8o. watak dari tembang ini adalah memberi

penjelasan.

B. Semiotika

Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-

empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-

satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan

beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions. Selain yang telah

disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis

(sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.

Page 8: MACAPAT MADURA

Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat

merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".

Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon

maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada

pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata

ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk

tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah

sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau

kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka,

pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya.

Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan

kepada semua wali.

Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan

dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa

Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.

Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung

Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi. Namun di sisi lain,

tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua

naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.

Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana

yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa

macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini

disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai

metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul

setelah pengaruh India semakin pudar.

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara

setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama.

Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.

Page 9: MACAPAT MADURA

Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang

digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik

atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah

suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula. Aturan mengenai

penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian

vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

Jenis metrum macapat

Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi

tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik

memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu

metrum.

Tabel macapat

Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari

tembang-

tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini :

Metrum Gatra I II III IV V VI VII VIII IX X

Tembang cilik / Sekar alit

Dhandhanggula 10 10i 10a 8é 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a

Maskumambang 4 12i 6a 8i 8a

Sinom 9 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a

Page 10: MACAPAT MADURA

Kinanthi 6 8u 8i 8a 8i 8a 8i

Asmarandana 7 8a 8i 8é 8a 7a 8u 8a

Durma 7 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i

Pangkur 7 8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i

Mijil 6 10i 6o 10é 10i 6i 6u

Pocung 4 12u 6a 8i 12a

Tembang tengahan / Sekar madya

Jurudhemung 7 8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u

Wirangrong 6 8i 8o 10u 6i 7a 8a

Balabak 6 12a 3é 12a 3é 12u 3é

Gambuh 5 7u 10u 12i 8u 8o

Megatruh 5 12u 8i 8u 8i 8o

Tembang gedhé / Sekar ageng

Page 11: MACAPAT MADURA

Girisa 8 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a

Sebagian warga di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, meyakini, kitab tembang

"macapat" tidak hanya untuk kesenian, tapi juga bisa berfungsi sebagai kitab untuk meramal

nasib seseorang. Orang-orang Madura sendiri menyebut ramalan dengan menggunakan kitab

tembang macapat ini dengan sebutan 'oghem'," Kitab bertuliskan "Arab-Jawa" (tulisan

menggunakan huruf Arab, tapi berbahasa Jawa halus) ini dijadikan ramalan dengan cara

memasang uang kertas pada halaman kitab, kemudian dari tempat uang kertas itu, si

penembang mulai membaca alur cerita tembang macapat. Ada beberapa persyaratan bagi

orang yang hendak melakukan ramalan dengan menggunakan kitab tembang macapat atau

dengan sebutan lain kitab layang tersebut. Selain harus konsentrasi terhadap apa yang

diinginkan atau menjadi cita-citanya, juga harus dengan niatan meminta petunjuk kepada

Allah SWT.

Kebanyakan orang yang melakukan ramalan dengan menggunakan kitab tembang

macapat ini tepat, sesuai kenyataan yang akan terjadi. Ketentuan bagi orang yang akan

diramal, antara laki-laki dan perempuan berbeda. Jika orang yang hendak diramal itu laki-

laki, maka pembacaan kitab tembang macapat dimulai dari halaman sebelah kanan, tapi kalau

perempuan mulai dari halaman sebelah kiri. ramalan dengan menggunakan kitab tembang

macapat terhadap diri seseorang tersebut dikiaskan dengan alur cerita yang ada di halaman

kitab, seperti yang telah ditentukan orang tersebut dengan menggunakan satu lembar uang

kertas.

Meskipun bukan uang sebenarnya kertas juga bisa. Tapi orang Madura menganggap

uang itu sebagai sedekah bagi pembacanya, dan pembacanya oleh orang sekitar disebut

'Salabat'. Jika dalam alur cerita kitab itu mengisahkan tentang tokoh yang dalam kesulitan,

lalu mencapai sukses, maka nasib orang yang diramal itu dipercaya sebagai pertanda akan

menuai sukses dikelak kemudian hari. Kepercayaan orang-orang Madura akan keberadaan

kitab macapat yang bisa digunakan sebagai alat untuk meramal ini timbul, karena kitab-kitab

Page 12: MACAPAT MADURA

jenis ini biasanya ditulis orang-orang yang memang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi

atau wali.

Selain itu, timbul anggapan bahwa kitab tembang macapat, atau kitab layang tersebut,

merupakan kitab yang bisa menjadi pegangan hidup terhadap pribadi seseorang. Kendatipun,

kitab-kitab itu memang mengandung nilai filsafat hidup yang sangat tinggi. Kitab tembang

macapat yang biasa digunakan untuk meramal ini biasanya kitab yang mengisahkan

kehidupan Nabi Yusuf, karena menurut sumber nabi Yusuf itu merupakan nabi yang ahli

dalam bidang ramalan.

C. Kritik Seni

Makna Tersirat Dan Tersurat Tembang Macapat

Kebijaksanaan para Wali Songo dalam usaha dakwah melalui media seni, ternyata

membawa hasil luar biasa. Hampir 90 % rakyat di wilayah nusantara mengaku dirinya ber-

agama Islam. Keberhasilan tersebut tentunya berkat kegigihan, keuletan, kesabaran serta

pembagian program secara terperinci dan ter-organisir rapi. Walaupun hidup para Wali tidak

seluruhnya satu jaman, namun perjuangan atau usahanya merupakan satu gerak langkah yang

terus-menerus, teratur, rapi dan disadari (bukan suatu hal yang kebetulan belaka).

Melalui tembang Macapat, dapatlah digali arti, maksud dan makna filosofi yang

mendalam dalam setiap tembang, walaupun satu sama lainnya berbeda dan mempunyai ke-

spesifikan tersendiri, namun satu sama lainnya merupakan rangkaian cerita yang tidak dapat

dipisahkan. Disamping itu isi dari tembang-tembang Macapat mempunyai nilai-nilai relegius

yang tinggi, sehingga nilai-nilai moralitas yang terkandung didalamnya mudah dipahami oleh

penikmatnya.

Seperti halnya tembang Macapat Jawa, tembang Macopat Madura berisi syair-syair

yang indah, dengan demikian ajaran, anjuran, ajakan menuju pintu kebaikan mudah dicerna

dan diserap oleh pengikutnya. Sehingga nilai budi pekerti luhur, nilai kejujuran, disiplin,

amanah dan nilai relegius yang tersirat maupun tersurat lebih mudah ditanamkan dalam hati

sanubari. Nilai-nilai yang tertanan tersebut diharapkan mampu membentuk manusia ber-

budaya sekaligus mencetak pribadi muslim menjadi manusia paripurna.

Page 13: MACAPAT MADURA

Secara lebih gamblang isi maupun makna dari masing-masing tembang akan dibahas

secara terperinci, sehingga dapat diketahui tujuan dari masing-masing tembang tersebut

diciptakan. Adapun rinciannya sebagai berikut ;

1. Tembang Salanget (Kinanti)

1. Mara kacong ajar onggu, kapenterran mara sare

ajari elmo agama, elmo kadunnya’an pole

sala settong ja’ pabidda, ajari bi’onggu ate

Nyare elmo pataronggu

sala settong ja’ paceccer

elmo kadunnya’an reya

menangka sangona odhi’

dineng elmo agamana, menangka sangona mate.

Paccowan kenga’e kacong, sombajang ja’ la’ ella’e, sa’ are samalem coma

salat wajib lema kae

badha pole salat sonnat, rawatib ban salat lail

(Anggoyudo, 1983: )

(Ayo anakku belajar yang tekun, kepandaian itu harus dicari, belajar pengetahuan agama,

juga pengetahuan dunia, jangan dibedakan, belajar dengan kesungguhan hati. Mencari ilmu

harus serius, salah satu jangan ditinggalkan, ilmu keduniaan itu, keperluan hidup, sedangkan

ilmu agama, adalah bekal untuk mati. Selain itu ingatlah anakku, sembahyang jangan sampai

lubang, satu hari satu malam, sholat wajib lima kali, ada juga shalat Sunnah, rawatib dan

shalat malam hari).

2. Bungka nyeor buwa bhalulug

Bhalulugga daddi tjengker

Se tjengker daddiya buggan

Se buggan daddiya pathe

Page 14: MACAPAT MADURA

Se pathe daddiya minyak

Mennya’ daddi damar kene’

(Asmoro, 1950:27)

(Pohon kelapa berbuah beluluk, beluluk menjadi cengker, buah cengker menjadi

kelapa, kelapa menjadi santan, santan menjadi minyak, minyak bisa menjadikan terang)

Secara lugas, Salanget (Kinanti) mempunyai arti sudah selesai menanti, sesuai dengan

arti apabila dipakai sewaktu dicari sudah diketemukan, apa yang diinginkan sudah tercapai.

Di samping itu tembang Salanget (Kinanti) banyak berisi nasehat atau anjuran kepada

manusia, untuk saling memberi, saling menerima, saling mengingatkan dan saling

ketergantungan sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, Penguasa alam semesta.

Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dalam memotivasi diri

menuju arah kebajikan. Sebagai makhluk lemah dan dhoif, manusia membutuhkan tuntunan

dalam kehidupan ber-masyarakat. Melalui tembang Kinanti inilah, manusia akan lebih peka

menangkap arti hidup dan kehidupan di dunia.

Di samping itu tembang Salanget (Kinanti) mengajak setiap manusia untuk lebih

meningkatkan mutu individu melalui proses belajar. Manusia diingatkan agar menguasai ilmu

pengetahuan, baik dalam bidang IPTEK maupun disiplin ilmu agama. Karena kedua disiplin

ilmu tersebut, memiliki intensitas yang tinggi bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan

menguasai IPTEK, manusia akan lebih menyadari tentang kebesaran Tuhan yang

diperlihatkan melalui ciptaan-Nya. Bahwa semua yang ada di alam, merupakan sumber ilmu

yang tak pernah habis apabila digali dan di pelajari. Dan semua itu harus diimbangi oleh

penguasaan ilmu agama. Sehingga terjadi keseimbangan, bahwa hidup manusia bukan hanya

memenuhi kebutuhan jasmaninya saja, tapi aspek rohani merupakan kebutuhan yang sangat

vital.

Allah SWT telah memberikan semua sarana dan prasarana yang memadai kepada

umat manusia. Semua yang ada di bumi, baik dalam perut bumi, di daratan, lautan, angkasa

raya, tata surya ataupun semua yang tumbuh di bumi semua diciptakan untuk manusia.

Semua ciptaan Allah, sekecil apapun sangat bermanfaat bagi manusia. Melalui tembang

Page 15: MACAPAT MADURA

Salanget (Kinanti), manusia diajak untuk lebih peka, arif dan bijaksana, terbuka cakrawala

berfikir dan wawasan.

Di bawah ini, cuplikan 2 tembang Salanget (Kinanti)

2. Pucung

Pon angongngong pa’na Putjung

Dja’ onengga ngotja’

Lora tore rassa’agin

Kasennengan tebbasa mlarat sampeyan

(Asmoro, 1950:21)

Terjemahannya sebagai berikut :

(Sudah terdengar ceritanya bapak Putjung, jika saja bisa mengutarakan, coba rasakan

kesulitannya, kesenangan terbayar dengan kemiskinan-mu)

Tembang ini mempunyai watak sembrana parikena (sembarangan), biasanya dipakai

untuk menceritakan hal-hal yang ringan, jenaka atau teka-teki. Adapun tataran yang lebih

luas, isi dari tembang Pucung memberikan penggambaran hubungan yang sangat harmonis

dan serasi antara sesama manusia sebagai makhluk Tuhan. Apakah manusia itu mempunyai

kedudukan dan status tinggi dalam masyarakat, ataupun manusia itu hanya sebagai hamba

sahaya. Tembang ini mengingatkan kepada manusia, terutama kepada para penguasa, para

majikan, para juragan, para atasan agar tidak berbuat sewenang-wenang.

Tembang Pucung menggambarkan hubungan antara pemberi perintah dan penerima

perintah. Walaupun berada dalam posisi yang lebih tinggi, kaya dan mapan, manusia

dihimbau agar tidak silau dan berbuat tidak adil kepada para pelayan, bawahan, hamba

sahaya. Karena para bawahan, pembantu mempunyai andil yang sangat besar bagi

kesuksesan yang di raih. Hal itu sebagai suatu bukti, bahwa manusia membutuhkan orang

lain, manusia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi sebagai makhluk individu maupun

makhluk sosial.

Page 16: MACAPAT MADURA

Tembang ini mengungkapkan tentang nasehat kepada sesama manusia, dalam

menjalin hubungan dengan sesama untuk lebih mementingkan rasa rendah hati dan tenggang

rasa yang tinggi. Seseorang yang mempunyai status dan kedudukan lebih tinggi, dihimbau

memperlakukan bawahan untuk lebih bersikap manusiawi.

3. Mejil (Medjil)

1 . Tapa tedhung ka dhaja alowe,

Biridda emaos,

Atena sorat Yasin se dhingen.

Paparengnga ma’ keyae,

Enggi ebaca bajengnge,

Pon ta’ poron ambu

Sakeng rajana terro dha’ pottre,

Nyegga’ nase’ juko’,

Pon ta’ tedhung salanjangnga are,

Asena brang tadha’ pottre raddin,

Dha’ Allah amoji,

Nyo’on duli kabbul.

Kacator se atapa pon abit,

Badanna pon geddur,

Ta’ aguliyan sakale-kale.

Matang-matang enga’ oreng mate,

Page 17: MACAPAT MADURA

Ta’ kowat akebbi’,

Gun nyaba akelbu’……

(Asmoro, 1930…)

Terjemahannya sebagai berikut :

(Tapa tidur ke paling utara, wiridnya dibaca, hatinya surat Yasin yang dulu diberi Ulama,

sudah dibaca dengan rajin, dan tidak mau berhenti. Karena besarnya keinginan ke putri,

makan nasi ikan, sudah tidak tidur sehari-semalam, hampa tanpa rasa putri cantik, kepada

Allah memuji minta dikabulkan. Sudah berjalan tapanya sudah lama, tubuhnya lemas tanpa

urat, tidak ada gerak sedikit pun, kelihatan sudah seperti orang mati, tidak kuat menahan,

Cuma nafas yang kelihatan).

2. Langnge’ biru bintang tep ngarettep

Sabenne mancorong

Bulan bunter tjahya pote koneng

Tera’ ngantar ampon sasat are

Neng panas ta’andi’

Gneko bidha epon

Terjemahannya sebagai berikut :

(Langit biru bintang bertebaran sinarnya, Sinarnya menyilaukan, Bulan bulat cahaya

keemasan. Terang bulan karena hari suah senja, Panas tidak ada, Itu perbedaannya).

Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT.

Begitu besar kasih sayang Allah kepada makhluk yang bernama manusia, sehingga seluruh

alam raya yang diciptakan hanya untuk kemaslahatan umat manusia. Namun banyak sekali

manusia yang lupa bersyukur akan kebesaran kasih sayang Allah SWT. Alunan syair

tembang Medjil mengingatkan, supaya manusia tidak melupakan nikmat yang diterimanya.

Manusia diajak untuk menggunakan kepekaan batin sekaligus rasionya untuk memikirkan

Page 18: MACAPAT MADURA

kebesaran alam semesta. Dengan begitu manusia dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwa

Sang Maha Pencipta, Allah Ajja wa Jalla merupakan muara akhir dari perjalanan hidup

manusia.

Dalam syair-syairnya tembang Medjil mengisyaratkan sebuah pesan tersirat, bahwa

dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani maupun rohani

manusia tidak mampu bersandar pada kemampuan diri semata. Ada sebuah Zat yang

senantiasa memberi pertolongan, perlindungan sekaligus memberikan rahmat dan karunia. Di

samping itu manusia senantiasa diingatkan pada sebuah kesadaran yang hakiki, bahwa Sang

Maha Pencipta adalah tempat memohon, tempat bersandar, tempat meminta, tempat

berpasrah diri, tempat berharap dan merangkumkan doa-doa sebagai pengakuan diri sebagai

makhluk yang dhoif dan lemah.

4. Maskumambang

Mon nyaroan ratona banne ngerenge

Mastena nyarowan

Tao se ekabutowen

Dha’ ka oreng a manfaat

Terjemahannya sebagai berikut :

(Kalau lebah pemimpinnya bukan kecoak, seharusnya lebah, mengerti tentang kebutuhan,

kepada manusia sangat bermanfaat).

Tembang Maskumambang menyiratkan sebuah hubungan yang sangat serasi,

seimbang dan harmonis antara manusia dan semua makhluk hidup. Dengan akal pikirannya,

manusia diajak untuk membaca, menyimak memperhatikan serta memikirkan serta

mengambil manfaat dari keberadaan makhluk hidup lainnya. Hal itu sesuai dengan kapasitas

manusia sebagai pengemban amanah di bumi.

Melalui alunan tembang Maskumambang, manusia diajak untuk membaca secara

detail fenomena alam dan mengambil hikmah dari semua makhluk ciptaan Allah SWT.

Page 19: MACAPAT MADURA

Sekecil apapun bentuk dari makhluk ciptaan-Nya tetap memberikan nilai dan manfaat yang

sangat besar bagi manusia. Di samping itu tembang Maskumambang mengungkapkan

suasana hati yang rawan akibat kesedihan dan keprihatinan yang mendalam.

5. D u r m a

Lamon dika epassrae panggabayan

Ampon mare apekker

Terang ka’ekko’na

Adjanji maranta’a

Pon pon brinto tarongguwi

Anggap tanggungan

Ma’ ta’ malo da’ oreng

(Asmoro, 1950 ; 19)

Terjemahannya :

(Jika kamu mendapat beban pekerjaan, sudah selesai dipikir, tentang seluk-beluknya kerja,

usaha untuk menyelesaikan, jika demikian haruslah serius, bekerja dengan penuh tanggung

jawab, agar tidak mengecewakan orang).

Di samping melambangkan tentang nafsu manusia, tembang ini menyiratkan

hubungan yang sangat erat antar manusia sebagai makhluk sosial. Dalam menjalankan

kehidupannya, manusia senantiasa memiliki ketergantungan pada manusia lainnya. Dengan

adanya ketergantungan tersebut, maka setiap individu dituntut untuk bertanggung jawab

terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Terutama tanggung jawab dalam mengemban tugas.

Dalam arti nilai-nilai profesionalisme benar-benar dijunjung tinggi.

Tanggung jawab akan melahirkan rasa aman sekaligus rasa percaya terhadap diri

sendiri ataupun orang lain. Dengan bertanggung-jawab hubungan antara sesama manusia

menjadi serasi dan harmonis, sehingga menghilangkan rasa saling curiga dan buruk sangka.

Dengan demikian maka hubungan yang dilandasi saling percaya, saling ketergantungan,

Page 20: MACAPAT MADURA

saling bertanggung-jawab serta memiliki keterikatan yang kuat akan menjauhkan manusia

dari segala permusuhan.

6. Kasmaran (Asmaradhana)

1. Dhu tang ana’ reng se raddin, se ganteng pole parjuga

spopre enga’ ba’na kabbi.ja’ odhi’ badha neng dunnya

kodu ba’na enga’a, sabban are korang omor, sajan abid sajan korang.

Sabellun dhapa’ ka janji, la mara pong-pong sateya

bannya’-bannya’ pangabekte, alakowa parentana, jauwi laranganna

Guste Allah Maha Agung, ngobasane alam dunnya.

Dhu tang ana’ estowagi, asareya kabecce’anmenangka sangona odhi’.

Neng dunnya coma sakejje’, omor ta’ asomaja, tako’ dhapa’ dha’ ka omor

abali ngadep dha’ Allah

Terjemahannya :

(Duh, anak-anak yang cantik, yang bagus dan gagah, supaya kamu ingat semua, hidup ada di

dunia, harus kamu perhatikan, setiap hari umur berkurang, tambah lama tambah berkurang.

Sebelum sampai ke janji, ayu kerjakan sekarang juga, banyak-banyak berbakti, kerjakan

perintah Tuhan, jauhi larangan Tuhan, Gusti Allah Maha Agung, menguasai alam dunia. Duh

anak yang mendapat restu, carilah kebajikan, sebagai bekal hidup, takut sampai kebatasnya

umur, kembali menghadap Allah).

2. O, Alla se Maha Socce, Pangeranna alam dunnya,

Ngera-ngera pon ta’ oneng, Ran-maheran paparengnga, Se badha neng e jagat, Mecem-macem jutan ebun, hawa aeng apoy tana.

Akadi bintang e elangnge’, Gunggungnga sera onengnga

Nyo’on maaf langjkong sae

Opama badha atanya, mara kagali tretan

Pera’, emas menya’ lantong, tatombuwan ka’bungka’an

Page 21: MACAPAT MADURA

Durin salak jeruk manggis

Dha’-tedha’an manca barna

jaran macan juko’ rengnge’

Lantaran dhari bannya’na

Lerressa ta’ bangal tanggung

Ressem lecek lamon mongkat.

(Anggoyudo, 1983 :)

Terjemahannya :

(Allah Yang Maha Suci, penguasa alam dunia, diperkirakan jumlahnya tidak tahu, sangat

mengherankan pemberiannya yang ada di dunia, beribu-ribu, berjuta, udara, air, api dan

tanah. Seperti bintang di langit, besarnya siapa yang tahu, minta maaf lebih baik, sekiranya

ada yang tanya, ayo pikirkan saudara, perak, emas, minyak, pepohonan dan tumbuh-

tumbuhan lainnya. Buah durian, salak, jeruk, manggis, buat makanan beraneka warna, macan,

kuda, ikan sampai nyamuk, tak sanggup menghitung, sebenarnya tidak berani menanggung,

karena banyaknya ciptaan).

Asmaradhana atau Kasmaran (Madura), berarti suka, kasengsem (jatuh cinta).

Tembang ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta ataupun rasa sedih.

Selain itu juga memberikan gambaran rasa senang, bahagia, tidak ada pikiran susah dan

senantiasa berada dalam kondisi gembira.

Walaupun tembang Kasmaran senantiasa menyiratkan aroma kegembiraan dan

kebahagiaan, tembang ini juga memberikan gambaran utuh tentang kewajiban manusia

terhadap sesama manusia ataupun kewajiban manusia terhadap Khalik-Nya. Dalam arti

manusia harus seimbang dan selaras dalam menata hubungan, baik secara vertikal maupun

secara horizontal.

Tembang ini mengingatkan betapa pentingnya tali silaturahmi ditautkan. Saling

menyapa, saling berkunjung, saling membantu terhadap tetangga ataupun sanak saudara.

Menyambung tali silaturahmi merupakan ungkapan perasaan kasih sayang dan akan

memberikan dampak kegembiraan serta kebahagiaan terhadap sesama manusia.

Page 22: MACAPAT MADURA

Salah satu sifat manusia adalah senantiasa berbuat khilaf dan lalai. Dalam syair-

syairnya, tembang Kasmaran mengingatkan tentang kewajiban manusia terhadap Sang

Pencipta. Segala keindahan perhiasan yang ada di dunia ini, jangan sampai memalingkan

manusia dari Sang Pencipta. Kewajiban manusia yang utama adalah beribadah kepada-Nya.

Untuk itulah manusia senantiasa diajak berbuat kebajikan, menjauhkan diri dari perbuatan

hina, keji, khianat dan mungkar. Di samping itu juga diingatkan tentang batas umur yang

dikaruniakan oleh-Nya, jangan sampai terbang percuma dan sia-sia. Karena kehidupan

manusia ibarat berada di persimpangan untuk menuju kehidupan yang lebih hakiki dan abadi.

Di sisi lain tembang Kasmaran menyiratkan kebesaran alam ciptaan-Nya. Dengan

sifat Rahman dan Rahim-Nya, seluruh alam semesta dan semua penghuni yang ada di bumi,

mulai tumbuh-tumbuhan, hewan darat maupun hewan laut ditundukkan serta diperuntukkan

oleh Sang Maha Pencipta kepada umat manusia. Melalui tembang ini manusia diingatkan

untuk senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang demikian besar. Selain mensyukuri nikmat-

Nya, manusia diingatkan untuk memikirkan kebesaran Sang Pencipta dalam upaya

mempertebal iman sebagai bekal beribadah dan mengabdi hanya kepada-Nya.

7. Pangkur (Pangkor)

1. Raja onggu panremanna

Tanenmanna pon a nglebbi’I oreng

Oreng se mratane lebur

Klamon cokop landhu’na

Buwana ba’ lebba’ ka’ bungka’enna dhuluk

Nyaman bai long polongan

Panyeramanna la mare

Terjemahannya :

(Besar sekali rasa syukurnya, tanamannya sudah setinggi orang, orang yang merawat

gembira, jika sudah cukup mencangkulnya, buahnya lebat sampai pohonnya meliuk, jika

butuh tinggal mengambil, sebelumnya setiap saat di siram).

2. Perak-peral mare pasa

Page 23: MACAPAT MADURA

Tello polo are nakso e karengkeng

Tabu’ lapar nante’ bakto

Ta’ kenneng sarombanna

Pangaterro maste ngala ban atellok

Da’ ka atoranna pasa

Buka saor se epantje

(Asmoro, 1950 :19)

Terjemahannya :

(Gembira sekali setelah selesai puasa, tiga puluh nafsu ter-penjara, perut lapar menanti waktu

buka, tidak bisa sembarangan, keinginan harus kalah oleh ketentuan, dan aturannya puasa,

berbuka dan sahur sesuai waktu).

Tembang Pangkor ini biasanya dipakai untuk mengungkap hal-hal yang bersifat

keras, seperti kemarahan, perkelahian dan perang. Meskipun tembang Pangkor identik

dengan nuansa heroic, namun banyak diantara-nya memberikan gambaran yang lugas dan

gamblang tentang kekerdilan manusia dihadapan Sang Pencipta.

Selain itu, tembang ini menyiratkan satu sisi lain tentang nilai-nilai kebahagiaan yang

luar biasa pada diri manusia. Kebahagiaan tersebut dicapai karena keberhasilan menjalankan

perintah-Nya. Yaitu sebuah perintah untuk menahan hawa nafsu, membersihkan hati, jiwa

dan pikiran serta berbuat jujur. Kewajiban menjalankan perintah-Nya, selama sebulan penuh

di bulan Ramadan yang penuh berkah.

Puasa merupakan cerminan hubungan yang paling dekat dan langsung antara manusia

dengan Sang Khalik. Hal itu disebabkan seseorang yang sedang ber-puasa dituntut jujur

terhadap diri sendiri, tidak berbohong, taat serta berbuat baik. Akibat yang paling

mencengangkan dan menakjubkan dari orang yang ber-puasa adalah intropeksi diri. Dengan

melakukan intropeksi diri, seseorang akan mampu untuk selalu jujur pada diri sendiri, orang

lain dan jujur pada Tuhan-Nya.

Page 24: MACAPAT MADURA

Selain itu, syair-syair yang diguratkan dalam tembang Pangkor menyiratkan tentang

perlunya manusia menjaga serta merawat lingkungannya. Dengan perawatan yang baik, maka

semua yang ada di permukaan bumi ini memberikan keuntungan dan bermanfaat bagi

manusia. Dari gambaran diatas dapatlah dikatakan bahwa manusia sangat bergantung kepada

makhluk lainnya, sehingga keseimbangan dan ekosistem alam akan terjaga apabila manusia

berlaku arif dan bijaksana ketika mengelola kekayaan yang diciptakanNya.

8. Senom (Sinom)

1. Sakalangkong loros bungkana

Pappa bi’ tolop dha’ andhi’

Dhauna bi’ topeng padha

Buwa bannya’ raja kene’

Dha’ bungka padha nyelpe’

Ta’ asa pesa apolong

Se ngodha biru barnana

Ding towa oba koneng

Mon buwa eporrak, bigi katon kabbi

( Sastrodiwirjo)

(Pohonnya sangat lurus, pelepah dan ranting tidak punya, daunnya bisa dipakai payung,

buahnya banyak besar dan kecil, bersatu melekat pada pohonnya, bersatu tidak terpisah, yang

muda biru warnanya, bila tua berubah warna kuning, kalau buah sudah dibelah, biji baru

kelihatan).

2. Mon ta’ rokon sataretan,

Pedjer apadu ban are’

Ontong tada’ rogi bada

Oreng towa lake’ bine’

Tlebet sossa mekkere

Page 25: MACAPAT MADURA

Daddina saaherrepon

Ta’ burung salbut salsal

San bada se klero diddi

Pon ta’ ngabbru atjaggik napso e lombar

(Asmoro, 1950: 18)

(Kalau tidak rukun se-saudara, pastilah bertengkar setiap hari, untung tidak rugi pasti, orang

tua laki dan perempuan, sangat susah memikirkan, bagaimana akhirnya, paling tidak rusak

berserakan, kalau ada yang salah mintalah maaf. Kalau tidak minta maaf, bertengkar dengan

nafsu membara).

Tembang Sinom ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan ha-hal yang bersifat

romantis, baik dalam hubungannya dengan kisah percintaan ataupun hubungan antar sesama

manusia. Di samping itu, bait-bait dalam tembang ini menyiratkan tentang kemampuan

membangun hubungan yang harmonis dan romantis antar sesama manusia sebagai makhluk

sosial. Apabila hubungan baik telah terbangun dan terjalin, maka akan terbentuk tatanan

sosial yang mapan. Saling menghargai, saling tolong menolong dan bersama-sama menjaga

kerukunan.

Manusia merupakan makhluk yang senantiasa lalai dan berbuat kesalahan. Oleh sebab

itu pintu maaf harus senantiasa terbuka. Apalagi hidup dalam suatu masyarakat yang

homogen, berbagai karakter berbaur, berbagai kepentingan saling mendahului. Maka setiap

manusia hendaknya membekali diri dengan sikap toleransi dan tenggang rasa yang tinggi,

mempunyai kebijaksanaan dalam bergaul sehingga tercipta kedamaian yang hakiki untuk

mencapai kebahagiaan lahir maupun batin.

Menuntut ilmu agama dan mewariskan kepada generasi penerus merupakan

kewajiban utama. Dengan berbekal ilmu agama, manusia mampu membentengi diri dari sifat

iri, dengki dan tamak serta mampu berbuat jujur baik pada diri sendiri, orang lain serta

terhadap Tuhan-Nya. Di sisi lain, tembang ini mengingatkan agar manusia senantiasa berada

dalam lintasan lurus, yaitu dengan cara menjalankan semua perintah-Nya, serta menjauhi

semua larangan-Nya.

9. Artate’ (Dhandanggula)

Page 26: MACAPAT MADURA

1. Lamon sedha ngadek rato radin

Sentosa’a neggu ka adillan

Aseya dha’ bala kene’

Ja’ lebur dha’ panggunggung

Ajja’ pesan a pele kase

Ja’ baji’ dha reng juba’

Pan jurgaepon

Soppeya mare juba’na

Ban ja’ nyeya dha’ reng nestha ban mesken

Maka sedha bellasa

(Asmoro. 1991 )

(Jika sudah berani menjadi pemimpin, pegang rasa keadilan dan buat sentosa, jangan suka

pekerjaab kecil, dan jangan suka mendapat pujian, jangan sekali-kali pilih kasih, janganlah

benci pada orang jelek/bodoh, supaya cepat selesai kejelekannya, dan jangan menyia-nyiakan

orang nestapa dan miskin, kalau bisa kasihani).

2. Oreng odhi’ neng e dunnya mangken

Ngagaliya dha’ kabajibanna, onenga se nyama odhi’

emota dha’ sal osol, Asallepon odhi’na dibi’

Odhi’na du parkara, Saparkaraepon

Odhi’ epon badan kasar, badan alos enggi sokma enyamae

Moga ekagaliya, badan kasar badan alos enggi

Sadajana buto ka teddha’an, sareng angguy se e sae, se raja gunaepon

Se faeda amanfaate,

Banne angguy teddha’an

Se parsasat racon, Se oneng daddi lantaran

Rosakkepon badan kasar alos pole

Page 27: MACAPAT MADURA

Se kasebbut e adha’

(Orang hidup dalam dunia sekarang, dipikirkan apa kewajibannya, tahunya cuma hidup, ingat

asal-usulnya, asalnya hidup sendiri, hidup ada dua perkara, perkara pertama, kehidupan

badan kasar (tubuh) dan badan halus yaitu jiwanya, semoga direnungkan, badan kasar (tubuh)

dan badan halus (jiwa), semuanya butuh makanan, yang dapat dipakai untuk kebaikan, yang

besar manfaatnya, bukan makanan yang dapat membawa kejelekan, yang dapat menjadi

lantaran, rusaknya badan kasar dan badan halus, seperti yang disebutkan di atas).

Tembang ini mempunyai maksud dan sebuah pengharapan tentang sesuatu dengan

tujuan akhir mencapai kebaikan. Tembang Macopat ini biasanya dipakai untuk

mengungkapkan perasaan suka cita atau pun ketika mencapai sebuah kemenangan. Ada pun

rasa suka cita dalam tembang Artate (Dhandanggula), adalah rasa suka cita yang

berlandaskan nilai-nilai tinggi ilahiyah. Bagaimana tidak ? sebagai makhluk ciptaan yang

paling sempurna, manusia dikaruniai kecerdasan akal, kecerdasan emosional maupun

kecerdasan spiritual dalam upaya mengenali serta mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Melalui kecerdasan akalnya, manusia dapat memilih dan memilah kebutuhan hidup, baik

yang bersifat material maupun spiritual.

Untuk bertahan dan melangsungkan kehidupannya, manusia memerlukan makanan.

Dalam upaya pemenuhan kebutuhan inilah, manusia diingatkan supaya berhati-hati, teliti, dan

cermat agar makanan yang akan menjadi penopang kehidupannya tidak tercampur dengan

makanan yang dihasilkan dari pekerjaan yang nista dan haram. Tembang ini mengingatkan

agar manusia bekerja dengan tekun, rajin dan jujur, sehingga hasil yang dicapai akan

menghasilkan rejeki yang halal. Rejeki halal tersebut akan menjadi makanan yang berguna

dan bermanfaat bagi perkembangan jiwa maupun pertumbuhannya.

Di sisi lain, jiwa (roh) yang bersemayan dalam tubuh manusia juga memerlukan

makanan. Adapun makanan yang dibutuhkan oleh jiwa adalah keimanan dan ketakwaan,

yaitu dengan jalan senantiasa menjalankan amal kebajikan. Dengan demikian, baik tubuh dan

jiwa merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam mengemban tugas

sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Tembang ini juga menyiratkan sebuah pesan tentang keberadaan manusia sebagai

seorang pemimpin. Karena pada hakekatnya setiap manusia adalah pemimpin, tapi

bagaimanakah figur dan sosok pemimpin sejati ? Bait-bait tembang ini memberikan nasehat,

Page 28: MACAPAT MADURA

bahwa seorang pemimpin haruslah adil, terbuka, jujur dan penuh kasih sayang. Rasa keadilan

tersebut harus diterapkan terutama pada sesama manusia yang berada dalam posisi lemah,

miskin dan serba kekurangan. Disamping itu, figur pemimpin dapat dilihat dari

kemampuannya dalam menata diri, mawas diri, mampu menahan ambisi pribadi serta

mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Makna suka cita dan kemenangan yang tersirat dalam tembang Artate

(Dhandanggula), adalah kemenangan besar manusia melawan diri sendiri. Baik sebagai

makhluk individu, makhluk sosial maupun sebagai makhluk ciptaan-Nya.

10. Megattro (Megatruh)

Pojur onggu reng se kateban Wahyu

Enggi se olle pamanggi

Parkara se sanget parlo

Da’ bangsa amanfaadi

Asmana kodu epondjung

(Sungguh beruntung orang yang mendapat Wahyu, yaitu yang mendapatkan penerangan lahir

bathin, urusan yang sangat perlu, dalam kehidupan sangat bermanfaat, namanya haruslah

dijunjung tinggi).

Tembang ini biasanya dipakai untuk melukiskan perasaan kecewa ataupun kesedihan

yang mendalam. Makna yang terkandung dalam syair-syairnya, selain melukiskan perasaan

kecewa dan kesedihan mendalam, tembang ini menggambarkan secara jelas dan gamblang

tentang ketergantungan manusia dengan Sang Pencipta. Karena sifat Maha dari Allah, maka

manusia mendapat uluran kasih sayang-Nya, limpahan anugerah yang melimpah ruah,

karunia serta Rahmat-Nya.

Selain itu tembang Megatruh mengabarkan tentang manusia-manusia pilihan (utusan)

Allah SWT yang telah diturunkan ke bumi untuk menjadi figur teladan dan panutan. Para

Nabi dan Rasul merupakan utusan yang mempunyai kedudukan sangat tinggi. Hal itu

disebabkan, para utusan Allah merupakan pembawa pesan serta ajaran-ajaran yang harus

dilaksanakan oleh manusia. Kewajiban untuk melaksanakan semua ketentuan-ketentuan

Page 29: MACAPAT MADURA

Allah dan utusan-Nya, tidak boleh ditawar-tawar sebagai wujud totalitas ketergantungan

manusia pada Khalid-Nya.

Di sisi lain, secara khusus tembang ini menyiratkan tentang keberuntungan manusia

yang mendapatkan anugerah serta hidayah dari Allah SWT. Hidayah tersebut berupa

keterbukaan pintu hati dalam menerima kehadiran Allah dalam bentuk utuh dalam jiwanya.

Dengan demikian, sosok individu itu akan mampu meningkatkan kadar keimanan dan

ketakwaan-nya. Dengan keimanan dan ketakwaan yang tinggi, maka manusia tersebut akan

mampu meng-implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

11. Gambuh (Gambu)

Maneh-maneh welingku

Ngabektia maring rama ibu

Uga guru kabeh paring suluh becik

Kanggo nata urip besuk

Paring teken miwah obor

(Suwito, 1983:41)

(Sekali lagi nasehatku, berbakti-lah terhadap bapak dan Ibu, juga guru sebab semua memberi

nasehat yang baik, untuk menjalani kehidupan kelak, memberi tongkat dan cahaya).

Watak dari tembang ini adalah memberi penjelasan, selain itu tembang Gambu

menyiratkan satu sisi tentang ketergantungan manusia kepada manusia lain. Manusia

memerlukan figur lain dalam membentuk kepribadian diri yang baik dan mantap. Orang tua,

guru, ulama merupakan sosok yang paling ideal dan pas dalam menanamkan proses menuju

kemandirian dan pendewasaan diri.

Tembang ini penuh berisi petunjuk-petunjuk dan nasehat kepada generasi muda

tentang pentingnya menghormati serta menghargai orang lain, terutama kepada orang yang

lebih tua (baik orang tua/guru). Bentuk penghargaan dan penghormatan dengan jalan meng-

implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, semua ajaran, perintah dan petuah yang

berkaitan dengan proses menuju arah kebaikan.

Page 30: MACAPAT MADURA

Manusia merupakan makhluk yang senantiasa lalai, oleh sebab itu tembang ini

mengingatkan supaya antar sesama manusia saling mengingatkan, saling memberi nasehat

dan saling memberi petunjuk, baik terhadap anggota keluarga, sanak saudara atau pun orang

lain. Hal itu dilakukan sebagai kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah sebagai

bentuk tanggung jawab moral terhadap sesama.

Proses Pelaksanaan dan Perkembangannya

Pelantunan tembang Macapat biasanya diadakan oleh masyarakat pecinta seni

tradisional di pedesaan. Pementasan ini biasanya diadakan ketika sedang melaksanakan

hajatan, misal ; selamatan kandungan (pelet kandung), Mamapar (potong gigi), sunatan, ritual

rokat (ruwatan anak), pesta perkawinan dan ketika memperingati hari-hari besar Islam.

Durasi pembacaan Macopat pun beragam, dari durasi pendek sekitar satu jam sampai durasi

panjang selama semalam suntuk. Acara ini biasanya dilaksanakan pada malam hari.

Adapun cerita yang dibawakan, tergantung dan disesuaikan kepada situasi dan

kondisi pelaksanaan hajatan. Terkadang setiap tembang dinyanyikan secara terpisah,

terkadang pula mengambil variasi dari berbagai tembang. Untuk permainan semalam suntuk,

dinyanyikan bermacam tembang, dari masing-masing tembang dipilih dan disesuaikan

dengan cerita yang dibawakan. Biasanya untuk acara ritual rokat (ruwatan anak) menyajikan

cerita Pandawa atau Betarakala, untuk Mamapar (potong gigi) dibacakan cerita Maljuna,

cerita Nabbi Yusuf dibacakan pada acara selamatan kandungan (pelet kandung). Sedangkan

cerita Nabi Muhammad, dibacakan ketika memperingati hari-hari besar Islam.

Ada pun lagu/ laras yang ada dalam tembang ada dua, yakni laras Pelog dan laras

Slendro. Ada beberapa tembang yang dibacakan tanpa alat musik, misalnya dalam acara rokat

pandabha atau Careta Nabbi, namun ada pula yang menggunakan musik pengiring. Musik

pengiring dalam pembacaan Macapat menggunakan seruling ataupun iringan seperangkat

gending. Tiupan musik tunggal atau pun alunan gending tersebut ternyata mampu membawa

suasana lebih hidup. Disela-sela pembacaan Macapat yang mendayu-dayu, memiriskan serta

merawankan perasaan, liukan-liukan seruling maupun alunan gending membawa suasana hati

lebih menyatu dengan tembang-tembang yang dinyanyikan. Komposisi yang sangat harmonis

tersebut, mampu menghanyutkan perasaan sekaligus mempermudah memahami serta

memaknai isi dari tembang-tembang yang dibacakan.

Page 31: MACAPAT MADURA

Sampai saat ini tembang Macapat masih mampu bertahan dan tetap digandrungi oleh

masyarakat, terutama yang berdomisili di pedesaan. Kegiatan pelantuman Macapat

dipentaskan sebagai ritual yang tak terpisahkan ketika memperingati berbagai peristiwa yang

berhubungan dengan prosesi kehidupan manusia. Dimulai ketika manusia masih dalam

kandungan, masa kanak-kanak, memasuki masa akil balig dan ketika memasuki alam dewasa,

bersatu dalam mahligai perkawinan.

Kesenian tembang macapat sangat kompleks hal inilah yang membuat kesenian ini

saat ini terancam punah, hal ini merupakan kelebihan sekaligus kelemahan kesenian macapat,

kelebihannya adalah karena kekomplekannya kesenian tembang macapat menjadi suatu

kebudayaan yang dianggap sakral, namun dibalik kelebihan itu tersimpan kelemahan yaitu

kekomplekan adi membuat generasi muda jarnag yang ingin mempelajarinya karena kesulitan

dalam mempelajari cukup tinggi.

D. Estetika

Tradisi lisan merupakan salah satu kebudayaan yang telah berkembang di tengah-

tengah masyarakat pemakainya. Tradisi lisan diartikan segala wacana yang diucapkan

meliputi yang lisan dan yang beraksara atau dikatakan juga sebagai sistem wacana yang

bukan aksara (Pudentia, 1998:vii). Dalam perkembangan dari waktu ke waktu, jenis budaya

ini kurang mendapat perhatian. Padahal, tradisi lisan memiliki nilai dan muatan yang sangat

bermakna bagi komunitas masyarakat tertentu, dan menjadi penanda budaya kelompok

masyarakat tertentu pula.

Itulah sebabnya, Waiko dalam Djuweng (1998:169) menekankan bahwa wacana lisan

merupakan landasan keasadaran diri dan otonomi sebuah suku bangsa ketika mereka

berhubungan dengan dunia luar, dari yang verbal sampai yang non-verbal. Lewat keasadaran

itu, mereka menemukan kepercayaan diri yang pada gilirannya memainkan peranan penting

dalam membentuk jati diri dan eksisitensi mereka.

Eksistensi manusia selalu dipengaruhi oleh produk budaya yang ada di sekitarnya.

Karena itu, Chair dan Leoni (1995:216) mendeskripsikan bahwa  kebudayaan merupakan

segala hal yang menyangkut manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam

masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, dan

termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat

komunikasi nonverbal lainnya.

Page 32: MACAPAT MADURA

Untuk mengenal jati diri suatu bangsa, dapat dilihat dari hasil budaya bangsanya.

Dengan kata lain, sebagai bangsa yang terdiri atas beraneka ragam suku, kebudayaan

merupakan jati diri suatu bangsa. Harus merasa bangga. Karena dengan kebudayaan yang

beraneka ragam akan terjadi kontak antarkebudayaan daerah yang melahirkan kebudayaan

nasional yang dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia.

Kebudayaan daerah di Indonesia berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan semboyan

bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika. Warna perbedaan budaya sangatlah kental dalam

kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya yang berbeda ini selalu berinteraksi dalam Negara

kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, memahami mengapa seorang berucap,

bertindak, berbuat dengan cara mereka masing-masing ini sangat penting dihayati oleh semua

warga Negara Indonesia. Mereka hidup dan selalu berinteraksi dalam masyarakat yang

pluralistik dan multikultural baik etnis, agama, kepercayaan, keyakinan, dan sosial ekonomi.

Perbedaan keyakinan, kepercayaan, sejarah dan politik menyebabkan adanya ketidaksamaan

respsi, persepsi, ekspresi, aktualisasi, dan eksternalisasi terhadap nilai-nilai budaya.

Perbedaan-perbedaan ini, menyebabkan operasionalisasi atau penerapan nilai budaya tidak

sama pula (Yasin, 2004:4).

Oleh karena itu, nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu

masyarakat dan kebudayaannya. Sebagai contoh, sejarah dan keadaan alam yang berbeda

antara masyarakat Madura dan Jawa walaupun mereka selalu berdampingan dan letak

geografisnya tidak terlalu jauh, menyebabkan perbedaan resepsi, persepsi, ekspresi,

aktualisasi, artikulasi, dan eksternalisasi tentang keselarasan, keindahan, dan kebersamaan

dalam budaya dua masyarakat tersebut.

Dalam hal nilai estetik, masyarakat Madura lebih menyukai warna-warna menyala,

seperti merah, kuning, dan biru yang mereka pandang sebagai pemacu semangat untuk

bekerja keras, karena keadaan alam di Madura yang memerlukan semangat yang tinggi untuk

bekerja. Lain halnya dengan pandangan masyarakat Jawa yang lebih menyukai warna-warna

sejuk, yang mereka pandang sebagai cerminan kehalusan budi pekerti.

Namun, keanekaragaman budaya itu merupakan aset (kekayaan) budaya bangsa

Indonesia yang amat tinggi nilainya. Tiap daerah atau masyarakat memiliki corak dan budaya

Page 33: MACAPAT MADURA

masing-masing sehingga memperlihatkan ciri khasnya. Karena itu, di Indonesia tampak

berbagai bentuk budaya bangsa yang beraneka ragam, adat-istiadat, upacara ritual, berbagai

seni pertunjukan, tari-tarian, cerita rakyat, bahasa rakyat, dan beraneka nyanyian rakyat.

Salah satu tradisi lisan atau sastra lisan yang berkembang di masyarakat Madura dan

Jawa adalah tradisi macapatan. Tradisi lisan ini lahir dan hidup dalam masyarakat sebagai

salah satu nyanyian rakyat. Jika kahadiran lagu-lagu pop atau dangdut yang selama ini

menggejala mendominasi di masyarakat berdampak sebagai sebuah hiburan belaka,

keberadaan tembang dalam tradisi macapatan yang memang tercipta secara alamiah

memberikan nuansa yang berbeda, yang mampu memberikan gambaran identitas diri dari

kelompok sosial masyarakat yang berdomisili di daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa

tradisi macapatan (nyanyian rakyat) yang dimaksud memiliki peranan dan nilai yang tinggi

dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.

Di Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep terdapat tradisi macapatan

(mamaca). Menggejala dan hidup di wilayah perkotaan maupun pelosok pinggiran. Tradisi

ini diselenggarakan dalam rangka arisan, upacara pembawa berkat di makam keramat (rokat

bhuju’), di rumah pribadi (rokat bengko), upacara sunat atau khitan (sonnat), perkawinan

(penganten), pangur gigi (mapar gigi), nazar, memperingati hari raya Islam, dan acara nujum.

Pembacaan tembang macapatan ini diikuti dengan tukang tegghes sebagai penerjemah isi

tembang. Tukang tegghes digunakan, karena tembang yang dibaca diyakini menggunakan

bahasa Jawa Kuna dalam tulisan Arab Pegon dan perlu dijelaskan kepada pendengar.

Untuk rokat dan niyat, acaranya berlangsung dari pukul 22.00 WIB sampai dengan

pukul 04.00 WIB keesokan pagi hari dan teks yang bersangkutan dibaca secara keseluruhan.

Sementara arisan, acaranya lebih pendek, antara pukul 21.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB

dan yang dibacakan hanyalah fragmen dari teks yang dirujuk. Terdapat bentuk-bentuk mitos

macapatan (mamaca) yang diyakini pelaku maupun masyarakat pendukungnya. Penggunaan

instrumen seperti musik suling dan gamelan hanya bisa digunakan untuk tembang-tembang

tertentu, dan tidak bisa digunakan untuk tembang dalam cerita Hadis Norbhuwat Nabbhi,

Nabbhi Mohammad, Nabbhi Yusuf, dan Isra’ Mi’raj. Diyakini akan muncul malapetaka jika

cerita-cerita dalam tembang tersebut diiringi dengan musik instrumen, seperti suling dan

gamelan.

Page 34: MACAPAT MADURA

Di samping itu, tradisi melihat perjalanan nasib dan masa depan seseorang melalui

bentuk ramalan juga dilakukan dalam tradisi macapatan ini. Para pewaris menyebut dengan

istilah mokka’ oghem. Setelah pembacaan kitab macapat selesai, penonton atau pendengar 

bisa  menanyakan segala hal yang berkaitan dengan perjalanan karier, nasib, keluarga, dan

lain-lain. Pertanyaan tidak disampaikan secara vulgar, cukup diucapkan dalam hati. Penanya

diminta membuka kitab tembang (serat yusuf)-diikuti dengan pemberian tebusan sesuai

dengan keikhlasan penanya-kemudian sang ahli membacakan, ditegaskan oleh tokang

tegghes dan ditafsirkan. Penafsiran itu dilakukan dalam rangka menerjemahkan makna-

makna yang terdapat dalam tembang tersebut dan kaitannya dengan isi pertanyaan.

Demikian pula tradisi macapatan di Jawa dilaksanakan sebagai bagian dari perayaan

suatu acara, sebagai hiburan pribadi, dan aktivitas lainnya sebagai seni pertunjukan (Arps,

1961:3). Mitos yang muncul juga sama dengan keyakinan masyarakat pendukungnya di

Madura, yaitu akan lahir malapetaka karena menggunakan instrumen untuk tembang-

tembang tertentu. Namun tradisi pembacaan tembang di Jawa tidak menggunakan tukang

tegghes sebagaimana macapatan  di Madura.

Persamaan kedua tembang dalam tradisi macapatan itu tidak lepas dari pencipta dan

penulisnya. Penulis-penulis pesisir yang pada umumnya para wali dan ahli tasawuf

terkemuka, seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunanan Panggung, dan Syekh Siti Jenar

memiliki peran yang cukup besar dalam melahirkan tradisi lisan macapatan di Jawa dan

Madura.

Bentuk tembang tidak lepas dari struktur estetik puisi yang lebih menekankan pada

ritme. Sedangkan isi tembang mengandung unsur ekstraestetik yang menunjukkan keluhuran

budi penulisnya. Hampir semua tembang yang diciptakan melalui macapatan memiliki nilai

profetik vertikal, maupun nilai sosial horisontal. Menggambarkan hablumminallah dan

hablumminannas, termasuk latar belakang sosial budaya masyarakatnya.

Selain berisi puji-pujian juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu

pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti,

mencari hakikat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya. Melalui

tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna

Page 35: MACAPAT MADURA

hidup. Syair tembang macapat merupakan manivestasi hubungan manusia dengan alam, serta

ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

Baik teks maupun konteksnya dinilai memiliki kesamaan antara tembang macapat

Madura dengan tembang macapat Jawa. Menurut Bouvier (2002:160) semua peneliti sepakat

bahwa kesenian mamaca Madura berasal dari Jawa. Menurut Pigeaud asal itu harus dicari,

untuk Jawa Timur pada zaman pra-Islam, yaitu sebelum abad ke-15. Menurut Munardi, dkk,

di Madura mamaca menggunakan buku berbahasa Madura dan Jawa, dan dengan huruf Jawa

ataupun Arab. Bouvier menyaksikan sendiri penggunaannya ditulis di dalam bahasa Jawa

Kawi, dan beraksara Arab. Imron menyebutkan bahwa korpus tembhang lebih luas daripada

yang saya saksikan. Beberapa tembhang, menurutnya, ditulis di dalam bahasa Madura dan

berasal dari awal abad ke-20. Namun ia juga menegaskan  bahwa tembhang yang paling

populer dipinjam dari kesusastraan Jawa.

Kelangkaan kreativitas sastra di dalam bahasa Madura di keraton Sumenep agaknya

menjadi penjelasan mengapa buku-buku yang tersebar di desa-desa ditulis dalam bahasa

Jawa, yang tampaknya merupakan hasil salinan teks-teks keraton. Oleh karena mamaca

berdasarkan pembacaan teks tertulis, kesusastraan Madura dalam bahasa Madura, pada awal

abad ke-20, hanya terjadi di kalangan cendekiawan Sumenep dan sama sekali tidak

menyentuh desa-desa.

Di Gresik, lahirnya tradisi macapatan tidak lepas dari peran para wali sanga dan ahli tasawuf 

yang melakukan syiar agama Islam di pesisir utara. Peran wali sanga yang tiada henti dengan

semangat profetik menyebarkan ajaran-ajaran Islam sampai di Sumenep, telah melahirkan

tembang-tembang macapatan sebagai sarana untuk meyakinkan masyarakat dalam

melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang hakiki.

Tembang macapatan yang lahir di Sumenep dan Gresik memiliki karakteristik yang

sama ditinjau dari karakteristik teks. Karakteristik itu, seperti penggunaan (1) gatra, (2) guru

lagu, (3) guru wilangan, (4) watak tembang, dan (5) pedotan. Namun dalam pembacaan

tembang, tradisi macapatan di Sumenep menggunakan tokang tegghes sebagaimana

dijelaskan di bagian awal, sedangkan di Gresik tanpa hal tersebut.

Di sisi lain penggunaan istilah watak tembang mengalami perbedaan antara tembang macapat

Sumenep dan macapat Gresik. Hal itu dapat dipahami melalui tabel di bawah ini.

Page 36: MACAPAT MADURA

Perbedaan Watak Tembang dalam Tradisi Macapat Gresik dan Tradisi Macapat Sumenep

No. Macapat Gresik Macapat Sumenep

1. kinanti salanget

2. pucung pucung

3. asmaradana kasmaran

4. mijil lambang sari

5. maskumambang maskumambang

6. pangkur pangkor

7. sinom senom

8. dandanggula artate

9. durma durma

Temuan tersebut mengindikasikan bahwa tembang macapat Madura belum memiliki karakter

mandiri, dan masih merupakan subordinat dari tradisi lisan Jawa. Gambaran itu kemudian

digeneralisasi sebagai gambaran budaya secara umum, bahwa budaya Madura merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Jawa.

Melalui tembang Macapat, dapatlah  digali arti, maksud dan makna filosofi  yang

mendalam  dalam setiap tembang, walaupun satu sama lainnya berbeda dan  mempunyai  ke-

spesifikan tersendiri, namun satu sama lainnya merupakan rangkaian cerita yang tidak dapat

dipisahkan. Disamping itu isi dari tembang-tembang Macapat mempunyai nilai-nilai relegius

yang tinggi, sehingga nilai-nilai moralitas yang terkandung didalamnya mudah dipahami oleh

penikmatnya.

Seperti halnya tembang Macapat Jawa, tembang Macopat Madura berisi syair-syair

yang indah, dengan demikian ajaran, anjuran, ajakan menuju pintu kebaikan mudah dicerna

dan diserap oleh pengikutnya. Sehingga nilai budi pekerti luhur, nilai kejujuran, disiplin,

amanah dan nilai relegius yang tersirat maupun tersurat lebih mudah ditanamkan dalam hati

sanubari. Nilai-nilai yang tertanan tersebut diharapkan mampu membentuk manusia ber-

budaya sekaligus mencetak pribadi muslim menjadi manusia paripurna.

Page 37: MACAPAT MADURA

BAB III

PEMBAHASAN

a. Analisa Kebudayaan

Bagi masyarakat Madura yang memiliki diligensi eklektik dan animo yang kuat

terhadap primordialitas budayanya, mereka tentu membantah terhadap persepsi orang luar

(Jawa) yang beranggapan bahwa mamaca Madura merupakan embrio dari budaya Jawa.

Meski sedikit banyak terdapat pengaruh dari kebudayaan Jawa yang bersumber dari kraton,

namun bukan berarti Madura tidak mempunyai akar budaya sendiri. Mamaca Madura

mempunyai ciri khas tersendiri. Dan munculnya anggapan bahwa mamaca Madura

merupakan imitasi kebudayaan Jawa agaknya lebih terkait persoalan transfer informasi yang

terhambat.

Dinamika budaya mamaca di Madura merupakan manifestasi defensif masyarakat

terhadap kesenian yang diwariskan nenek moyangnya. Dalam perkembangannya, ia tak lepas

dari transisi ajaran Hindu di mana dalam perkembangan berikutnya filosofi Hindu menjadi

bait-bait yang mengandung nilai filosofi Islami sebagai nilai inti (core value). Hal ini terkait

peran para mubaligh di masa lampau yang menjadikan kesenian sebagai media dalam

berdakwah.

Para mubaligh terdahulu menciptakan tembang-tembang kreatif dan inovatif yang

berisi doktrin agama, puji-pujian kepada Allah, anjuran dan ajakan untuk mencintai ilmu

Page 38: MACAPAT MADURA

pengetahuan. Menyeru pesan-pesan agama: moralitas, pencarian dan kontemplasi hakekat

kebenaran dan pembentukan manusia yang berkepribadian dan berkebudayaan. Melalui

tembang mamaca tersebut, setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan

mendalami makna hidup

b. Analisa Semiotika

Mamaca atau macapat adalah salah satu seni olah vokal Madura yang merupakan

media dakwah dan pendidikan serta media kontemplasi dan pemahaman filsafat. Mulai

berkembang di Madura sebelum abad ke-15 (pra Islam). Mamaca biasanya dimainkan oleh

dua orang pemain, yaitu pembawa lagu dan panegghes.

Panegghes merupakan juru makna yang bertugas menjelaskan arti dan isi dari lagu

yang dinyanyikan oleh pembawa lagu. Ia juga sebagai penerjemah tembang yang

dinyanyikan dengan bahasa Madura.

Mamaca memiliki dua unsur penting, yakni seni sastra dan seni suara (vokal).

Beberapa nama lagu mamaca Madura antara lain, Artate, Kasmaran, Senom, Salanget dan

Dhurma. Cara membawakannya menggunakan gaya tekanan bahasa mirip aksen seorang

dalang dalam pertunjukan wayang. Ketika mamaca dilantunkan, biasanya diiringi seruling,

gambang, dan instrumen gamelan lain—yang dibunyikan dengan samar atau lirih—dengan

tujuan suara pembawa lagu menjadi lebih dominan. Dan tak jarang, kegiatan mamaca hanya

diiringi seperangkat kecil gamelan: gambang atau seruling saja.

Ciri khas yang paling menonjol adalah suara si penembang yang diembat-embat

(vibrasi) berkepanjangan, seakan tak ada putusnya antara bagian lirik lagu yang satu dengan

yang lainnya. Tembang tersebut menjadi terasa penuh dengan sentuhan kelembutan.

Bang-tembangan mamaca umumnya dengan pembacaan sebuah kakawin secara

bersama-sama. Sedangkan kakawin biasanya dalam bahasa Jawa Kawi atau Madura klasik.

Di sinilah peran panegghes atau tokang tegghes (juru makna) dimainkan. Perhelatan tersebut

biasanya untuk mengiringi prosesi ritual-ritual tertentu, misalnya selamatan kandungan (pelet

kandung), Rorokadan (rokat) seperti rokat bujuk dan pandhaba, potong gigi (mamapar), dan

sunatan.

c. Analisa Kritik Seni

Page 39: MACAPAT MADURA

Budaya merupakan hasil karya dan karsa manusia. Begitulah kita sering

memahaminya. Sebagai sebuah hasil karya dan karsa, budaya menjadi identitas sebuah

daerah yang itu sangat ditentukan oleh latar belakang manusianya, baik dari segi tempat, pen

didikan,agama, sosial, ekonomi maupun politiknya. Sehingga, dengan sendirinya perbedaan

latar belakang juga akan menyebab kan perbedaan sebuah kebudayaan.

Bangsa Indonesia, merupakan bangsa yang sangat plural dalam berbagai aspek selain

itu Bangsa Indonesia juga terdiri dari berbagai macam daerah, yang tiap daerah memiliki ciri

khas yang tidak sama dengan daerah yang lainnya. Berangkat dari pluralitas bangsa maka

keragaman dalam banyak hal menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Penyeragaman

justru akan menjadi ancaman bagi integritas bangsa itu sendiri. Upaya mempersatukannya,

malah harus dengan menghargai adanya keragaman. Tanpa memaksakan pada kehendak

sindiri, kelompok maupun golongan.

Kebudayaan adalah salah satu keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tidak

bisa dinafikan lagi, dalam bangsa yang plural maka munculnya berbagai macam kebudayaan

menjadi sesuatu yang wajar. Sehingga, sebagai sebuah keragaman, maka keberadaannya

hams diperhatikan dan dipertahanakan. Sebab upaya mempertahkan kebudayaan, bagian dari

upaya mempertahankan integritas bangsa.

Madura merupakan salah satu daerah yang ada di Indonesia. Yang keberdaannya juga

menjadi satu kesatuan dari pada bangsa itu sendiri. Sebagai bagian dari bangsa yang plural,

maka sudah sewajarnya jika Madura juga memiliki keragaman yang berbeda dengan daerah-

daerah lain dan itu menjadi ciri tersendiri yang dimiliki oleh Madura.

Selama ini Madura sangat dikenal dengan daerah yang kaya akan kebudayaan.

Berbagai kebudayaan lokal yang lahir dan berkembang di Madura. Ada kebudayaan yang

berupa kesenian tradisional,benda-benda peninggalan dan ada juga kebudayaan yang kental

dengan nuansa religiusnya.

Salah satu kebudayaan yang dimiliki Madura adalah macopat. Kebudayaan ini sudah

ada sejak puluhan tahun yang silam, dan sampai sekarang juga masih ada dan berkembang.

Kebudayaan ini biasanya banyak kita temui di daerah pedesaan.

Page 40: MACAPAT MADURA

Macapat atau juga ada yang menyebutnya dengan mamaca, merupakan kebudayaan

madura yang juga bisa dikategorikan berbentuk kesenian. Tembang yang ditulis dengan

bahasa jawa ini dilantunkan dengan syair-syair tertentu, atau juga yang dikanal dengan istilah

tembeng. Dan selain dibaca dengan syair-syair tertentu, biasanya ketika dibaca ada orang ke

dua yang mengartikan bacaan-bacaan tersebut atau menterjemahkan ke dalam bahasa dearah,

dan orang tersebut biasanya disebut dengan “  panegges  atau tokang tegges “ .

Selain panegges, yang tidak kalah menariknya biasanya dalam pembacaan macopat

ini terkadang diringi dengan alunan musik, dan yang sering dengan menggunakan seruling.

Sehingga dengan kolaborasi antara pemabaca tembeng, kemudian ada yang mengartikan

yang disebut tokang tegges, dan diiringi dengan musik seruling, maka tampak kedengaran

dengan begitu indah. Sungguh merupakan kebudayaan yang sangat unik dan patut

diapresisasi, yang paling penting lagi adalah patut untuk dilestarikan keberadaannya.

Dan tak kalah penting lagi, macapat bukan hanya tembang-tembang tanpa makna.

Dibalik keidahan syiar yang dilantunkan, macapat  juga berisi tentang cerita-cerita yang

mengandung nilai-nilai luhur yang patut untuk diikuti.

Biasanya juga macapat  bacaannya berupa hadist-hadist Nabi yang ditulis dalam

bahasa jawa atau juga cerita-cerita masa lalu. Sehingga dengan demilikian kitajuga bisa

mengambil pelajaran luhur darinya.

Dalam perjalanannya, sebagai bentuk upaya pelestarian budaya ini, di Desa-desa

diadakanlah yang namanya arisan-arisan. Atau masyarakat lebih mengenal dengan sebutan

kompolan mamaca. Dalam kompolan ini selain ada pembacaan macapat juga ditarik uang,

yang nominalnya sebenarnya tidak terlalu besar, sebab bagi mereka (masyarakat) subtansi

nya adalah macapatnya bukan arisannya. Aris an hanya sebagai salah satu media untuk bisa

melestarikan kebudayaan macapat tersebut. Selain ada kompolan mamaca, macapat juga

biasanya dibacakan dalam acara-acara tertentu di desa. Seperti halnya ketika pada rokat,

yakni acara mandi yang dilakukan pada pasangan suami istri yang sedang hamil. Dan pada

acara-acara lainnya.

Bagi sebagian masyarakat pedesaan, kebu dayaan macapat adalah kebudayaan yang

Page 41: MACAPAT MADURA

sa ngat penting. Bahkan dulu sampai ada desa dimana di desa tersebut macopat menjadi salah

satu syarat orang untuk mendapatkan tuna ngan. Meski tidak ada kesepakatan secara ter tulis,

namun dengan sendirinya itu sudah men    jadi hukum adat di suatu desa. Sehingga belajar

macopat juga sangat diuatamakan. Biasanya dulu seorang anak yang usia SD sudah mulai

belajar macapat  pada orang-orang tertentu yang mimang ahli. Setelah habis belajar membaca

Al-Qur’an atau nagaji di Langgar biasanya lang sung pergi belajar macapat. Begitulah kebera

daan kebudayaan Madura yang bernama macopat.

Namun dalam perjalanannya, kubudayaan ini juga tidak beda nasibnya dengan kebuda

yaan-kebudayaan Madura yang lainnya. Kebera daannya ditengah-tengah kehidupan

masyarakat sudah mulai tidak diperhatikan. Jadi yang namanya macapat juga sudah hampir

“punah”, Tidak lagi banyak masyarakat yang peduli dan berusaha untuk melestarikannya.

Seperti di desa yang dulunya meski tidak secara tertulis sudah menjadi prasyarat dapat

tunangan, sekarang tidak lagi. Bahkan tragisnya, sekarang juga sudah banyak orang Madura

yang sama sekali tidak mengenal kebudayaan tersebut.

Itulah realitas memilukan tentang perjalanan kebudayaan kita. Kebudayaan Madura

yang itu menjadi identitas, atau jati diri sebagai masyarakat Madura sudah mulai

ditinggalkan. Masyarakat yang seharusnya berusaha untuk melesta rikan terkadang juga

malah lebih bersifat apriori terhadap kondisi yang demikian. Jika itu yang terns terjadi, maka

masa depan Madura pasti akan suram. Kalau sekarang yang mulai hilang adalah

kebudayaannya, maka tak ayal pada tahun-tahun berikutnya justru Maduranya yang juga akan

hilang dari pusaran zaman. Inilah tantangan terbesar bagi masyarakat Madura, yakni merawat

dan melestarikan budaya-budaya yang dimilikinya.

d. Analisa Estetika

Secara keseluruhan tembang macapat termasuk juga asmaradana mampunyai irama

yang tidak konstan, dalam arti irama tampa birama dan tempo. Seperti di CD bila

didengarkan tidak menggunakan ketukan dengan kata lain menurut si penyanyi dalam

menyanyikannya. Di dalam musik barat seperti irama yang di gunakan lagu-lagu gegrorian

yang sekarang masih digunakan dalam ibadat agama katholik. Untuk irama tembang macapat

tersebut dalam istilah jawa, sunda dan juga bali yaitu disebut irama merdeka.

Page 42: MACAPAT MADURA

Tangga nada tembang macapat asmaradana seperti di cd menurut notasi  barat 

menggunakan tangga nada pentatonik yaitu lima nada (  C+, D+, E, G+, A). Kemudian untuk

picthnya dengan tonalitas nada terkuatnya C+ dan modalitasnya hampir atau sama dengan

tangga nada minor asli yaitu 6 (la) sama dengan C+ dengan medium vokal dan timbre

terdengar jelas kualitas suarannya adalah suara pria yang mempuyai teksture monofonis

(sebuah suara tunggal maupun melodis yang tunggal tampa iringan. Dan untuk dinamikanya

terdapat dalam intensitas volume yaitu terdapat penekanan pada nada akhir di setiap motif.

Yang diuraikan seperti dibawah ini:

(dalam notasi barat/solmisasi)

6   7   1   3  3    3    3    3

C+   D+  E    G+———–

3    =  6    7    7 1    6     6     3     4 3

G+   C+ D+      E    C+          G+  A

Dan seterusnya

Untuk melodi pada register nadanya  nada terendah G+= 3(mi rendah), nada tertinggi

E= 1 (do tinggi), sedangkan untuk Gerakan melodi : melangkah dan melompat. Dan juga

pada dimensi melodi ditentukan oleh motif dan kalimat/frase yang sudah dicontohkan diatas.

Page 43: MACAPAT MADURA

Dalam pemahaman tentang tembang macapat khususnya asmaradana di uraian diatas

banyak menggunakan  istilah-istilah dari musik barat, itu dikarenakan sebuah tuntutan global

atas kesejajaran akan pengetahuan tentang musik, saling melengkapi dan menambah

khasanah pengetahuan macapat di singkronkan pada istilah-istilah yang terdapat pada  musik

barat, dan sebagai perbandingan istilah-istilah tetapi tidak mengurangi estetikanya dan tidak

menunjukan keburukan atau kekurangan akan suatu teori-teori musik barat maupun teori-

teori musik daerah.

Tembang Macapat itu jika disebut tembang macapat yang asli, pada umumnya

digunakan menyebar dimana-mana. Urutan-urutan tembang macapat itu sama dengan

perjalanan hidup manusia dari mulai dari bayi sampai dengan manusia meninggal. Sebagai

contoh tembang asmaradana menurut acuan perjalanan manusia yang diartikan bahwa

asmaradana itu artinya perasaan suka, sayang, cinta kepada pria kepada wanita atau

sebaliknya yang semua itu sudah jadi kodrat yang ilahi.

Uraian diatas adalah sebuah gambaran besar tentang konteks tembang macapat, untuk

seterusnya membahas secara tekstual dari tembang macapat yang berjudul asmaradana.

Hubungan dengan unsur-unsur dari tembang macapat yang berjudul asmaradana tersebut

seperti unsur waktu (meliputi irama, tempo, birama/sukat), unsur bunyi (meliputi nada,

timbre, medium, picth, dinamika, melodi, register nada, dimensi melodi dan lain-lain).

Tembang Asmarada adalah salah satu bentuk sekar macapat. mempunyai vokaboler dalam

teksnya yang meliputi guru lagu, guru gatra dan guru wilangan seperti yang sudah di

contohkan diatas. Isi dari teks yang dicontohkan seperti dibawah yaitu  mengenai perintah-

perintah yang mengandung ajaran hidup di dunia.

Page 44: MACAPAT MADURA

BAB IV

KESIMPULAN

A. Simpulan Analisa Kebudayaan

Macapat Jawa maupun macapat Madura pada intinya adalah satu karena keduanya

berasal dari sumber yang sama yaitu, berasal dari tembang macapat yang diciptakan oleh para

wali untuk menyebarkan agama islam di pulau Jawa, namun karena penyeberannya tembang

tersebut merambah ke pulau Madura dan di Madura tembang macapat tadi berangsur-angsur

membaur dan menjadi macapat Madura, dan jika dilihat dan diteliti lebih jauh tidak ada

perbedaan signifikan antara keduanya, hanya saja bahasa yang digunakan dalam tembang,

untuk mbang macapat Madura bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura dan untuk

tembang macapat Jawa bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa, lebih dari itu semuanya

hampir serupa.

B. Simpulan Analisa Semiotika

Mamaca pada dasarnya adalah satu bentuk seni suara (vokal) yang bermula dari puisi yang

dinyanyikan, lalu dituturkan. Dalam konteks ini suatu cerita yang dinyanyikan oleh seorang

pembaca (laki-laki), kemudian diterjemahkan, dijelaskan, dan dikembangkan oleh orang

kedua (laki-laki) dengan gaya deklamasi. Pada umumnya kedua mitra dalam acara mamaca

saling bersahutan.

         Mamaca biasanya diselenggarakan pada acara arisan. Adapun yang dibaca adalah

fragmendari teks yang ditunjuk. Acara ini biasanyadimulai pada pukul 21.00 – 23.00 WIB.

Selain pada acara arisan, mamaca juga dipentaskan dalam berbagai kesempatan, seperti pada

upacara rokat bhuju (makam keramat) atau di rumah pribadi dalam rangka upacara di

lingkaran hidup individu (sunat, perkawinan dan nazar). Mengingat teks yang harus dibaca

Page 45: MACAPAT MADURA

biasanya utuh (seluruhnya), maka waktu yang dibutuhkan relatif lama ketimbang pementasan

mamaca dalam acara arisan (pukul 22.00 – 04.00 WIB.).

         Mamaca menggunakan buku yang berbahasa Madura dan Jawa. Sedangkan huruf yang

digunakan adalah huruf Jawa dan atau huruf Arab. Teksnya sendiri menggunakan bahasa

Jawa-Kawi dengan aksara Arab. Beberapa tembang ditulis dalam bahasa Madura yang

berasal dari abad ke-20. namun tembang-tenbang yang populair diambil dari kesusastraan

Jawa. Tembang-tembang berbahasa Jawa tidak hanya terdapat di kalangan luar keraton (di

pedesaan), tetapi juga di kalangan bangsawan. Malahan, tembang-tembang tersebut sangat

digemari di lingkungan bangsawan. Dalam sebuah pementasan mamaca ada dua atau tiga

repertoar, yaitu naratif (cerita), prosodis (tembang) dan musikal (gending). Dan mamaca di

Sumenep mencakup apa yang disebut sebagai mamaca di Madura.

C. Simpulan Analisa Kritik Seni

Macapat termasuk dalam tembang cilik (tembang kecil), dan memiliki derivasi irama

yang kaya. Secara garis besar tembang macapat terdiri atas (berurutan sesuai dengan fase

kehidupan manusia) Masing-masing jenis tembang diatas memiliki aturan baku sendiri-

sendiri seperti berapa jumlah gatraI (baris)nya dalam satu pupuh (bait), Guru lagu serta guru

wilangannya. Macapat merupakan tembang klasik asli Jawa, dan pertama kali muncul adalah

pada awal jaman para Wali Songo, dimana para wali pada saat itu mencoba berdakwah dan

mengenalkan Islam melalui budaya dan diantaranya adalah tembang-tembang macapatan

ini.Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat serta Sunan Kudus adalah kreator awal

munculnya tembang-tembang macapat. Apabila diperhatikan dari asal-usul bahasanya (kerata

basa), macapat berarti maca papat-papat(membaca empat-empat).

Kalo berdasarkan jenis dan urutannya tembang macapat ini sebenarnya menggambarkan

perjalanan hidup manusia, tahap-tahap kehidupan manusia dari mulai alam ruh sampai

dengan meninggalnya. Sebagaimana dalam Al-qur’an disebutkan: “Latarkabunna Thobaqon

An Thobaq”, “Sungguh kamu akan menjalani fase demi fase kehidupan”

Berikut ini penulis rangkaikan urut-urutan dari jenis tembang macapat:

1. Maskumambang

Page 46: MACAPAT MADURA

Adalah gambaran dimana manusia masih di alam ruh, yang kemudian ditanamkan dalam

rahim/ gua garba ibu kita. Dimana pada waktu di alam ruh ini Allah SWT telah bertanya pada

ruh-ruh kita: “Alastu Bi Robbikum”, “Bukankah AKU ini Tuhanmu”, dan pada waktu itu

ruh-ruh kita telah menjawabnya: “Qoolu Balaa Sahidna”, “Benar (Yaa Allah Engkau adalah

Tuhan kami) dan kami semua menjadi saksinya”.

2. Mijil

Merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia, mijil/mbrojol/mencolot dan keluarlah

jabang bayi bernama manusia. Ada yang mbrojol di India, ada yang di China, di Afrika, di

Eropa, di Amerika dst. Maka beruntunglah kita lahir di bumi pertiwi yang konon katanya

Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharjo Lir Saka Sambikala. Dan bukan

terlahir di Somalia, Etiopia atau negara-negara bergizi buruk lainnya.

3. Sinom

Adalah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.

4. Kinanthi

Masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi

atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar

cita-cita kita bisa terwujud. Misalnya belajar dan menuntut ilmu secara sungguh-

sungguh.”Apa yang akan kita petik esok hari adalah apa yang kita tanam hari ini”.

“In Ahsantum, Ahsantum ILaikum, Walain Asa’tum Falahaa”, “Jika kamu berbuat kebajikan

maka kebajikan itu akan kembali padamu, tapi jika kamu berbuat jahat itu akan kembali

padamu juga”.

5. Asmarandana

Menggambarkan masa-masa dirundung asmara, dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan

kasih. Asmara artinya cinta, dan Cinta adalah ketulusan hati, meminjam istilahnya kang Ebiet

G.Ade dalam lagunya: “ Cinta Yang Kuberi Setulus Hatiku Entah Apa Yang Kuterima Aku

Tak Peduli”.

Page 47: MACAPAT MADURA

Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti Allah dan bagian dari tanda-tanda keAgungan-Nya.

“…..Waja’alna Bainakum Mawwaddah Wa Rahmah, Inna Fi Dzaalika La’aayatil Liqoumi

Yatafakkaruun”. “…Dan Kujadikan diantara kalian Cinta dan Kasih Sayang, sesungguhnya

didalamnya merupakan tanda-tanda(Ke-Agungan-Ku) bagi kaum yang berfikir”.

6. Gambuh

Awal kata gambuh adalah jumbuh / bersatu yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta

dalam satu biduk rumah tangga. Dan inti dari kehidupan berumah tangga itu yaitu: “ Hunna

Li Baasulakum, Wa Antum Libaasu Lahun”, “Istri-istrimu itu merupakan pakaian bagimu,

dan kamu adalah merupakan pakaian baginya”.

Lumrahnya fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari panas dan

dingin.Dalam berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi dan mengayomi satu

sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan sakinah dalam naungan Ridlo-

Nya.

7. Dhandhanggula

Gambaran dari kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah

tercapai, cukup sandang, papan dan pangan (serta tentunya terbebas dari hutang piutang).

Kurangi Keinginan Agar Terjauh Dari Hutang, sebab kata Iwan Fals: “ Keinginan adalah

sumber penderitaan ”.Hidup bahagia itu kuncinya adalah rasa syukur, yakni selalu bersyukur

atas rezeki yang di anugerahkan Allah SWT kepada kita.

8. Durma

Sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Allah maka kita harus sering berderma, durma

berasal dari kata darma / sedekah berbagi kepada sesama. Dengan berderma kita tingkatkan

empati sosial kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan, mengulurkan tangan berbagi

kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa dan kepedulian kita terhadap kondisi-kondisi

masyarakat disekitar kita.

“Barangsiapa mau meringankan beban penderitaan saudaranya sewaktu didunia, maka Allah

akan meringankan bebannya sewaktu di Akirat kelak”.

Page 48: MACAPAT MADURA

9. Pangkur

Pangkur atau mungkur artinya menyingkirkan hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang

menggerogoti jiwa kita. Menyingkirkan nafsu-nafsu angkara murka, memerlukan riyadhah /

upaya yang sungguh-sungguh, dan khususnya di bulan Ramadhan ini mari kita gembleng hati

kita agar bisa meminimalisasi serta mereduksi nafsu-nafsu angkara yang telah mengotori

dinding-dinding kalbu kita.

10. Megatruh

Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya Ruh / Nyawa

menuju keabadian (entah itu keabadian yang Indah di Surga, atau keabadian yang Celaka

yaitu di Neraka).

“ Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut “, “ Setiap Jiwa Pasti Akan Mati “.

“ Kullu Man Alaiha Faan “, “ Setiap Manusia Pasti Binasa “.

Akankah kita akan menjumpai Kematian Yang Indah (Husnul Khotimah) ataukah sebaliknya ?

Seperti kematian Pujangga kita WS Rendra, disaat bulan sedang bundar-bundarnya (bulan

Purnama) ditengah malam bulan Sya’ban tepat pada tanggal 6 Agustus atau tanggal 15

Sya’ban (Nisfu Sya’ban).

Diatas ranjang kematiannya, menjelang saat-saat Sakratul Mautnya dia bersyair:

“ Aku ingin kembali pada jalan alam,

“ Aku ingin meningkatkan pengabdian pada Allah,

“ Tuhan aku cinta pada-Mu ”

11. Pocung (Pocong / dibungkus kain mori putih)

Manakala yang tertinggal hanyalah jasad belaka, dibungkus dalam balutan kain kafan / mori

putih, diusung dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan jasad kita menuju liang

lahat, rumah terakhir kita didunia.

“ Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna “, “ Sesungguhnya kamu itu akan mati dan

mereka juga akan mati”.

Page 49: MACAPAT MADURA

D. Simpulan Analisa Estetika

Mamaca, dalam bahasa Madura artinya membaca. Merupakan satu ekspresi seni yang

tergolong paling tua dari keragaman budaya musik Madura. Pertunjukan ini biasa disajikan

oleh empat orang yang terdiri atas tiga orang penembang (pembaca) dan seorang paneges

(juru terjemah). Secara teknis setiap penggalan dari pembacaan yang dilakukan oleh

penembang, pada bagian akhir selalu disisipi oleh tuturan terjemahan oleh paneges. Pada jeda

antara satu tembang ke tembang lain, biasanya terdapat tambahan bacaan yang fungsinya

mengantar ke pergantian penembang untuk membacakan tembang selanjutnya. Bacaan yang

ditembangkan itu sendiri adalah kisah Nabi Yusuf yang diambil dari layang Barzanji (kitab

Al-Barzanji).

  Macapat secara khakikatnya merupakan dakwah yang memiliki unsur seni agar

menjadi fleksibel masuk pada masyarakat. Karena masyarakat secara keseluruhan suka

terhadap unsur-unsur yang terkandung dalam seni. Pertama kali macapat diciptakan oleh

Sunan Kalijaga dengan cerita-cerita mendidik yang dikemas dalam tembang-tembang yang

indah, sehinggah banyak orang tertarik untuk sekedar mendengarkan dan bahkan belajar

macapat dengan makna yang terkandung didalamnya. Oleh sebab itu banyak orang hindu

budha masuk islam karena memahami secara mendalam pesan yang disampaikan.Lama-

kelamaan dengan perantara macapat, umat islam semakin bertambah banyak dan macopat

mengalami peningkatan dengan munculnya iringan musik-musik gamelan dan seruling.

            Masuknya macapat ke Madura lama ketika para Sunan yang sembilan sudah wafat

semua dan orang madura kebanyakan sudah beragama islam. Dengan perantara berdagang

antara orang Madura dengan Jawa akhirnya orang madura belajar dengan tujuan menjadi

ajang silaturrahmi satu sama lain, tidak tidur (tatang-ngen), tirakat, dan lain sebagainya.

Ketika masuknya macapat ke Madura sudah tertulis diatas kertas, tinggal orang-orang belajar

membaca dan nembang tanpa harus menghafal teks, sehingga dampaknya juga tak begitu

baik. Sudah mulai menjadi hal langga di Desa-desa saat sekarang ini orang mau belajar dan

membaca macapat tersebut.

Page 50: MACAPAT MADURA

Apabila diperhatikan lebih seksama, nada-nada dalam pelaguan tembang cukup

dominan dengan suara yang pitch-nya tinggi serta cenderung dekat dengan sistem nada

pentatonic seperti laras slendro yang dikenal dalam karawitan jawa.

Fungsi seni Mamaca disajikan pada acara-acara perayaan yang berkaitan dengan

siklus hidup manusia seperti slametan, ruwatan, sunat dan yang paling sering adalah untuk

hiburan pada saat musim haji. Satu hal yang cukup unik dari seni Mamaca ini adalah

penamaan tetembangannya yang hampir sama persis dengan nama-nama dalam tembang

yang ada dan dikenal dalam seni Macapat dari Jawa seperti Sinom, Pangkur, Asmarandana

dan lainnya. Namun struktur tembang dalam Mamaca tersebut sesungguhnya samasekali

berbeda dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Macapat jawa.

Sama halnya dengan berbagai bentuk seni tradisi nusantara lainnya, Mamaca pun

kurang mendapat tempat bagi kalangan muda di Madura. Artinya, penerusan maupun upaya

pengembangan warisan budaya yang tak ternilai harganya itu pun harus berhadapan dengan

realita sulitnya regenerasi.

Page 51: MACAPAT MADURA

Macapat Madura (Mamaca) Kesenian Tembang Versi Madura

Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliahKapita Selekta Budaya

Yang dibina oleh bapak Drs. Mistaram, M.Pd, PH.D

Oleh :

Helmiy Rohmanil Aziz

209251420457

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS SASTRA

Page 52: MACAPAT MADURA

JURUSAN SENI DAN DESAIN

PENDIDIKAN SENI RUPA

MEI 2012