luka kronis

28
REFERAT PENUTUPAN LUKA TANPA REKONSTRUKSI Oleh : Iyan Asiana Syafaat, dr. Pembimbing: Almahitta Cintami Putri, dr., Sp.BP-RE DIVISI BEDAH PLASTIK 1

Upload: trustia-rizqandaru

Post on 17-Dec-2015

70 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Luka kronis

TRANSCRIPT

REFERATPENUTUPAN LUKA TANPA REKONSTRUKSI

Oleh :Iyan Asiana Syafaat, dr.

Pembimbing:Almahitta Cintami Putri, dr., Sp.BP-RE

DIVISI BEDAH PLASTIKUPF ILMU BEDAH RS Dr. HASAN SADIKIN BANDUNGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG2015

LEMBAR PENGESAHANPENUTUPAN LUKA TANPA REKONSTRUKSI

Nama : Iyan Asiana Syafaat , dr.Program Studi Stase: Ilmu Bedah PlastikTempat : Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung

Diajukan untuk memenuhi pembuatan salah satu tugas pada Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran

Pembimbing

Almahitta Cintami Putri, dr., Sp.BP-RE

Kepala Bagian SMF Bedah PlastikKepala Program Studi Bedah Palstik

Lisa Hasibuan, dr., Sp.BP (K) RE

DR. Hardi Siswo S., dr.,Sp.BP(K)RE

PENUTUPAN LUKA TANPA REKONSTRUKSI

PENDAHULUAN Luka dapat diklasifikasikan atas dasar Usia Luka ( Wound Age ), yaitu luka akut dan luka kronik. Luka kronik adalah luka yang tidak sembuh dalam waktu yang diharapkan. Ada yang mengatakan bila luka tidak sembuh dalam waktu 3 bulan maka disebut luka kronik. ( 1 ) Hal yang penting adalah pada luka kronik proses penyembuhan melambat atau berhenti dan luka tidak bertambah kecil atau tidak bertambah dangkal. Meskipun dasar luka tampak merah, lembab dan sehat tetapi bila proses penyembuhan luka tidak mengalami kemajuan maka dikatagorikan sebagai luka kronik. (3) Aterosklerosis merupakan penyebab paling umum dari iskemia kronis pada tungkai. (2)Menurut Cohen,dkk.(4) luka akut akan mencapai penyembuhan normal melalui proses penyembuhan yang diharapkan dalam waktu tertentu untuk mencapai pemulihan integritas anatomi dan fungsi. Pada luka kronik maka terjadi kegagalan untuk mencapai penyembuhan yang diharapkan dalam waktu tertentu untuk menghasilkan pemulihan integritas anatomi dan fungsi. (4,5) Penyembuhan luka kronik biasanya berkepanjangan dan tidak lengkap. Luka akut biasanya terjadi pada individu yang normal, sehat dan dapat dilakukan penutupan luka secara primer atau dibiarkan menyembuh secara sekunder. Sebagian besar luka yang terjadi akibat trauma pada organ atau jaringan dapat dikatagorikan sebagai luka akut. Luka kronik terjadi karena kegagalan proses penyembuhan luka akibat ada kondisi patologis yang mendasarinya. Luka kronik tidak akan sembuh bila penyebab yang mendasarinya tidak dikoreksi. (4) Seringkali luka kronik mengalami rekurensi. ( 4,5 ) Diantara kondisi patologis tersebut adalah penyakit vaskuler, oedema, diabetes melitus, malnutrisi dan tekanan (pressure). (3) Torre menyebutkan penyebab luka kronik diantaranya infeksi, hipoksia jaringan, trauma berulang, adanya jaringan nekrotik/debris dan sebab sistemik seperti diabetes melitus, malnutrisi, imunodefisiensi dan pemakaian obat-obatan tertentu. (5) Luka kronik biasanya terjadi hiperproliferasi dengan batas luka tidak jelas dengan fibroblas yang ada pada dasar luka menggambarkan sel yang tidak aktif, prematur atau berbeda-beda fenotipenya sebagai respon tidak adekuat terhadap rangsang inflamasi normal. Inflamasi kronis merupakan tanda luka yang tak menyembuh dan dapat menjadi predisposisi terjadinya kanker. Identifikasi secara benar pada penyebab luka kronis merupakan kunci penyembuhan luka. (8)

PENYEMBUHAN LUKAProses penyembuhan luka bersifat dinamis dengan tujuan akhir pemulihan fungsi dan integritas jaringan. Dengan memahami biologi penyembuhan luka, kita dapat mengoptimalkan lingkungan jaringan dimana luka berada.Proses penyembuhan luka merupakan hasil akumulasi dari proses-proses yang meliputi koagulasi, inflamasi, sintesis matriks dan substansi dasar, angiogenesis, fibroplasias, epitelisasi, kontraksi dan remodeling. Tetapi secara garis besar proses kompleks ini dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka : Fase inflamasi, fase proloferasi dan fase maturasi.A.

B. Gambar A, B. Fase-fase Penyembuhan Luka (Torre JDL, Sholar A. Wound Healing, Chronic Wounds. e-Medicine from WebMD (serial online) 2006 (cited 2006 May 26) ;1(477) Available from URL:HYPERLINK/http://www.emedicine.com/plastic/topic477.htm)

a. Fase Inflamasi Fase inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: Rubor, calor, tumor, dolor serta function laesa. Proses ini terjadi segera setelah trauma. Secara simultan cascade pembekuan, arachidonic pathways dan pembentukan growth factors serta sitokin bekerjasama memulai dan mempertahankan fase ini. (5)Setelah cedera jaringan pembuluh darah segera mengalami vasikonstriksi, produk tromboplastik jaringan menjadi terpapar dan dimulailah cascade komplemen dan koagulasi. Pletelet yang terperangkap dalam luka mengalami degranulasi, melepaskan substansi biologis yang penting untuk penyembuhan luka. Setidaknya ada tiga jenis substansi yang dilepaskan : a) Alpha granules yang mengandung growth factors seperi TGFbeta, PDGF, dan Insuline Like Growth Factors-1 ( IGF-1), b) Dense bodies yang mengandung amine vasoaktif seperti serotonin yang berfungsi meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler dan c) Lisosom yang mengandung hidrolase dan protease.(6)b. Fase ProliferasiFase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Fibroblast bermigrasi dari tepi luka menggunakan matrix fibrin-based provisional yang dibentuk selama fase inflamasi. Dalam minggu pertama luka fibroblast dikendalikan oleh makrfag: b-FGF, TGF-beta dan PDGF yang berperan dalam proliferasi dan sintesis glycosaminoglycans dan proteoglycans, serta kollagen.Pada fase ini fibroblast merupakan tipe sel dominan, dan mencapai puncaknya pada hari ke 7-14. Setelah sekresi kolgen fibroblast kemudian bergabung membentuk fibro-kolagen. Peningkatan jumlah jaringan kolagen pada luka berbanding lurus dengan kekuatan regangan luka.Pada fase ini juga terjadi stimulasi jumlah keratinosit dan populasi sel endotel. Secara simultan dengan proliferasi seluler terjadi perkembangan angiogenesis yang diawali dari pembuluh darah dari tepi luka, selanjutnya disebut neovaskularisasi.c. Fase MaturasiProduksi kolagen baru masih merupakan proses dominan penyembuhan luka dari minggu pertama sampai keenam. Kolagen ditempatkan secara random pada jaringan granulasi luka akut. Remodeling kolagen menjadi struktur yang lebih terorganisasi terjadi selam proses maturasi, meningkatkan kekuatan regangan luka. Selama pembentukan parut, kolagen tipe III jaringan granulasi digantikan oleh kolagen tipe I sampai perbandingannya 4:1.Luka akhirnya ditutup oleh migrasi sel-sel epitel yang berasal dari tepi luka, mengisi defek sampai terjadi kontak dengan epitel dari sisi berlawanan dan menghentikan proses migrasi ketika kontak terjadi. Proses epitelisasi ini tidak memberikan kontribusi pada kekuatan penyembuhan luka,karena proses remodeling terjadi dibawahnya.

EPIDEMIOLOGI LUKA KRONISLuka kronis terutama mempengaruhi orang-orang di atas usia 60. Insiden adalah 0,78% dari populasi dan prevalensi berkisar 0,18-0,32%. Sebagai penduduk usia, jumlah luka kronis diperkirakan akan meningkat.ETIOLOGISelain sirkulasi yang buruk, neuropati, dan kesulitan bergerak, faktor yang berkontribusi terhadap luka kronis adalah penyakit sistemik, usia, dan penyakit trauma. Comorbid berulang yang dapat berkontribusi pada pembentukan luka kronis termasuk vaskulitis (radang pembuluh darah), kekebalan penindasan, pioderma gangrenosum, dan penyakit yang menyebabkan iskemia. Penekanan kekebalan dapat disebabkan oleh penyakit atau obat medis yang digunakan dalam jangka panjang, misalnya steroid. Faktor lain yang dapat menyebabkan luka kronis adalah usia tua. Kulit orang tua lebih mudah rusak, dan sel-sel yang lebih tua tidak berkembang biak secepat dan tidak mungkin memiliki respon yang memadai terhadap stres dalam hal upregulation gen yang terkait dengan stres protein. Fibrosis kronis, aterosklerosis, edema, penyakit sel sabit, dan arteri insufisiensi merupakan penyakit yang terkait dengan luka kronis. Faktor utama yang menyebabkan luka kronis, di antaranya adalah iskemia, cedera reperfusi, dan kolonisasi bakteri.Sedangkan faktor lokal yang mempengaruhi penyembuhan luka menurut Margolis adalah luas luka, adanya ulkus dan persiapan dasar luka dan letaknya. Lama terjadinya luka juga ikut mempengaruhi terjadinya penyembuhan luka dengan terbentuknya sel senescent di luka ( fibroblast). Jika ditemukan lebih dari 15 % sel senescent maka luka tersebut menjadi susah sembuh. Dari penelitian Margolis ditemukan bahwa pada luka dengan ukuran > 2 cm dengan durasi lebih dari 2 bulan dan terdapat penetrasi sampai ke tendon, ligament, tulang dan sendi biasanya lebih susah untuk sembuh. Berapa faktor juga dikaitkan dengan luka kroni yaitu SAD ( Size , Area, Depth atau Sepsis, Arteriopathy, Denervasi).Pada penyembuhan luka, sitokin dan growth faktor aka dikeluarkan dari platelet , dengan pembentukan makrofag, fibroblast, sel epidermal. Sitokin akan merangsang pembentukan Interleukin dan akan merangsang sel endotel untuk menghasilkan molekul adesi pada permukaan sel terinflamasi. Sel yang terinflamasi tadi mengikat sel endotel vascular dan berpindah ke membrane basal . TNF juga menginduksi makropag membentuk IL-1 yang memiliki fungsi mitogenik untuk fibroblast dan MMP dan pembentukan kolagen. Hal penting untuk luka kronis adalah kapasitas sel untuk melakukan respon terhadap regulasi molecular. Fibroblas pada luka kronis bersifat lambat untuk mengalami multiplikasi. Adanya protease dan sitokin yang tinggi, hasil dari reaksi inflamasi, disertai dengan rendahanya growth factor dan kemampuan untuk membelah ( senescent) menyebabkan luka menjadi susah untuk sembuh.

GEJALA KLINISPasien luka kronis sering mengeluhkan nyeri yang dominan. Enam dari sepuluh pasien dengan kaki vena ulkus mengalami nyeri. Nyeri persisten (pada malam hari, saat istirahat, dan saat aktivitas) adalah masalah utama bagi pasien dengan ulkus kronis.

PERSIAPAN WOUND BEDPenatalaksanaan luka kronis berbeda dengan luka akut. Pada luka kronis , terjadi kemacetan pada fase inflamasi dan proliferasi sehingga terjadi keterlambatan penyembuhan luka. Bagian epidermis gagal untuk melakukan migrasi melewati dasar luka. Luka kronis menghasilkan matriks molecular yang berlebihan akibat disfungsi selular dan disregulasi. Fibrinogen dan fibrin pada luka kronis diperkirakan menghambat faktor pertumbuhan dan molekul lain yang berfungsi untuk penyembuhan luka. Cairan pada luka kronis secara biokimiawi juga berbeda dengan luka akut karena menghambat proliferasi sel. Oleh sebab itu adanya persiapan dasar luka membantu dokter untuk melakukan focus tersistematik pada komponen kritikal dari penyembuhan luka sehinga didapatkan luka yang stabil dengan granulasi yang sehat dan vaskularisasi yang bagus.

Komponen utama pada preparasi dasar luka meliputi: manajemen jaringan, kontrol infeksi dan inflamasi, keseimbangan kelembaban dan epiteliasasi tepi luka. Konsep TIME ini merupakan alat penting untuk menilai penghalang terjadinya penyembuhan luka. Penting untuk mengetahui persiapan dasar luka dan perawatan pasien secara menyeluruh. Jika luka gagal untuk sembuh biasanya terdapat gangguan baik lokal maupun sistemik harus dilakukan peninjauan dan terapi. Penyembuhan luka dapat diperoleh secara cepat jika kita menemukan etiologi dasarnya. Selain berfokus pada luka itu sendiri, tak dilupakan adalah faktor sistemik pada pasien itu sendiri.

Pada awalnya pasien dan lingkungannya menjadi focus untuk mencapai keberhasilan program. Pasien harus mengetahui penyakit dasarnya dan penatalaksanaan rasional yang dimiliki. Penilaian dan terapi dari penyakit dasar ini merupakan hal yang penting yang nantinya akan berpengaruh pada persiapan dasar luka. Seperti contohnya debridemen secara tajam biasa digunakan untuk pasien dengan kaki diabetic sedangkan terapi kompresi banyak dipakai untuk ulkus vena. Selanjutnya adalah menilai efektifitas dari terapi yang kita lakukan. Pasien yang sudah sembuh tidak dimasukkan dalam siklus ini , tetapi pasien yang tidak mengalami perkembangan dan lukanya tidak mengalami perkembangan harus dinilai dengan TIME. D for debridementI for infection/inflammationM for moisture imbalanceE for edge, which is not advancingor undermining.

a. DebridementKarakteristik dari jaringan pada dasar luka memegang peranan penting pada penyembuhan luka. Deskripsi yang akurat terhadap jaringan ini memiliki peranan penting nantinya. Jika tissue non viable atau deficient maka penyembuhan luka akan terhambat. Seperti diketahui adanya infeksi menyebabkan fase inflamasi akan diperpanjang sehingga secara mekanis akan menghambat proses kontraksi dan re epitelialisasi. Dasar luka yang nekrotik, eskar, slough merupakan gambaran non viable. Sel epidermal dapat migrasi melalui permukaan luka diperlukan matriks extraselular, oleh sebab itu penghilangan jaringan avital merupakan hal yang penting. Jaringan nekrosis atau eskar diidentifikasi melalui jaringan berwarna hitam atau abu-abu gelap, kering, teraba keras atau seperti kulit. Eskar merupakan jaringan tebal, kering dan avital yang tumbuh akibat iskemia yang berkelanjutan. Jaringan ini merupakan jaringan granulasi setelah kematian dari fibroblast dan sel endotel yang juga mengandung sel inflamatorik dan menghambat pembentukan matriks ekstraselular. Jaringan nekrotik berperan sebagai penghalang fisik untuk migrasi sel dan hidrasi pada permukaan kulit terhambat.

Slough merupakan materi fibrous lengket berasal dari protein, fibrin dan fibrinogen, berwarna kekuningan seperti krim dan ditemukan menempel pada dasar luka atau terlepas, lebih lembab. Adanya jaringan avital pada luka menyebabkan klinisi susah untuk melakukan penilaian kedalaman luka. Debridemen diperlukan disini untuk mengetahui kedalaman luka. Tetapi pada awalnya kita perlu mengetahui aliran darah pada area ini terutama jika luka berada di kaki. Jika dibutuhkan revaskularisasi, maka tidak dianjurkan untuk melakukan debridemen sampai viabilitas jaringan ditegakkan.

Debridemen merupakan proses penghilangan jaringan avital ataupun material luar dari luka.Pada luka kronis dapat dilakukan debridemen lebih dari sekali karena proses penyembuhan luka dapat terhambat pada jaringan avital yang terus bertumbuh. Metode yang digunakanan dapat berupa surgical, tajam, autolysis, enzimatik, larva atau mekanikal. SurgikalMerupakan cara debridemen yang cepat untuk menghilangkan jaringan avital sehingga merubah dari luka kronis menjadi luka akut. Tindakan ini dilakukan jika terdapat jaringan avital yang luas dan terdapat resiko infeksi. Pengetahuan tengang anatomi, identifikasi viable atau non viable tissue , penanganan komplikasi seperti perdarahan penting dalam hal ini AutolitikMerupakan proses selektif yang melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogenus yang mencairkan dan membebaskan jaringan nekrotik atau eskar dari jaringan sehat. Proses alami ini dipercepat dengan dressing oklusiv atau semi oklusive untuk menciptakan lingkungan yang lembab dan mempercepat granulasi EnzimatikJarang digunakan untuk debridemen tetapi efektif untuk penghilangan jaringan nekrotik seperti eskar, jika surgical bukan merupakan pilihan. Enzim eksogenus dipaparkan pada dasar luka sehingga akan bersatu dengan enzim endogenus dan menghancurkan jaringan avital. LarvaCepat dan efisien untuk menghilangkan slough dan debris pada luka , tetapi secara social belum dapat diterima oleh banyak kalangan. Larva steril menghasilkan enzim untuk memecah jaringan avital tanpa menghancurkan jaringan granulasi sehat.

Mekanikal Dengan irigasi atau dressing , tetapi jarang digunakan karena nyeri dan merusak jaringan granulasi baru. Jika debridement sudah efektif , proses penyembuhan luka dapat berlanjut.

b. Infeksi/ InflamasiInfeksi akan menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman pada pasien, penyembuhan luka yang lama, dan mengancam jiwa. Jika ditemukan infeksi maka biaya untuk perawatan luka juga meningkat. Semua luka memiliki bermacam macam bakteri baik itu dari tingkat kontaminasi sampai ke kolonisasi kritis ( bacterial burden or occult infection ) sampai infeksi. Peningkatan bacterial burden dapat terbatas pada permukaan dasar luka atau sampai dalam ke bagian kompartemen,jaringan sekitarnya atau batas luka. Faktor lokal dan sistemik dapat menyebabkan perkembangan infeksi. Tidak dapat dilupakan adalah kondisi imun dari pasien yang menentukan terjadinya infeksi. Adanya resistensi host akibat perfusi jaringan yang rendah, nutrisi yang buruk, edema, atau merokok dan alcohol mengganggu penyembuhan luka;. Sedangkan faktor sistemik lainnya seperti penggunaan steroid atau obat imunosupresive mengingkatkan komorbiditas. Faktor lokal seperti nekrotik tissue, materi luar, frakmen kasa, dressing dapat menyebabkan infeksi. Jika luka terinfeksi, maka mikroorganisme akan bereplikasi dan menurunkan respon dari host. Pada infeksi akut, respon imun diperoleh dengan pelepasan sitokin dan faktor peertumbuhan, dan kemudian dilanjutkan dengan kaskade inflamasi yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke bagian yang luka, sehingga menfasilitasi penghancuran mikroorganisme, jaringan luar, toksin bakteri dan enzim oleh sel fagosit, komplemen dan antibody. Koagulasi diaktifasi di tempat infeksi untuk melindungi host. Pada luka kronis , mikroorganisme yang virulen menyebabkan fase inflamasi diperpanjang sehingga terjadi cedera pada host. Produksi persisten mediator inflamasi dan migrasi netrofil yang terus menerus menghasilkan enzim sitolitik dan oxygen free radikal. Trombosis lokal dan pelepasan metabolit vasokonstriksi menyebabkan hipoksia dan meningkatkan terjadinya proliferasi bakteri dna penghancuran jaringan.

Adanya bakteria pada luka kronis bukan merupakan tanda infeksi masih berlanjut. Mikroorganisme dapat tumbuh pada luka kronis dan pada level rendah, bakteri memfasilitasi penyembuhan luka dengan memproduksi enzim seperti hyaluronidase yang berkonstribusi pada debrideent luka dan release protease. Diagnosis infeksi diperlukan ketajaman pemeriksaan dan data mikrobiologi dengan tandan nyeri, kemerahan, edema, discharge purulent, hangat. Pada luka kronis ditambahkan penyembuhan luka yang terhambat, eksudat , granulasi, jaringan yang rapuh, slough, undermining, malodor.

Penatalaksanaan infeksi harus berfokus pada pengoptimalan resistensi host dengan meningkatkan kekebalan dengan nutrisi adekuat, hindari merokok dan penatalaksanaan komorbid. Antibiotik sistemik belum tentu diperlukan untuk menangani luka yang superfisial. Penanganan pertama dengan debridemen, pembersihan luka dan penggunaan antimikrobial topical. Hal yang harus diperhatikan sekarang adalah peningkatan resistensi antibiotika. Silver dan povidone iodine memiliki efek terhadap MRSA. Tanda sistemik dari infeksi seperti demam, selulitis yang meluas >1 cm dari tepi luka dan luka yang dalam memerlukan pemberian antibiotika sistemik.

c. Moisture balanceKelembaban diperlukan untuk penyembuhan luka. Eksudat dihasilkan sebagai respon terhadap kerusakan jaringan dan bergantung pada tekanan jaringan. Luka yang melewati fase penyembuhan normal biasanya cukup lembab untuk merangsang epitelialisasi , proliferasi dan devitalisasi jaringan dengan autolysis. Jika luka menjadi infeksi maka eksudat akan diproduksi akibat vasodilatasi. Eksudat ada 5 jenis.

Pada luka akut, cairan luka merangsang stimulasi fibroblast dan pembentukan sel endothelial yang kaya lekosit dan nutrient. Pada luka kronis ditemukan protease tinggi yang akan menghambat penyembuhan luka dan menghambat proliferasi. Sehingga enzim proteolitik dan penurunan faktor pertumbuhan menghambat pertumbuhan matrix ekstraselular dan migrasi permukaan terhambat. Kelembaban pada luka merupakan proses otolitik alami dan transport faktor pertumbuhan selama epitelialisasi. Jika kering maka akan muncul kerak yang menghambat pertumbuhan jaringan sehingga matrik kolagen dan jaringan sekitarnya kering. Tetapi dilain pihak jika eksudat berlebih maka luka menjadi jenuh dan terjadi maserasi dan eksoriasi shingga meningkatkan resiko terjadinya infeksi.

Penilaian eksudat penting dalam manajemen luka. Tipe, jumlah, kejernihan perlu dicatat dan pemilihan dressing harus didasarkan dari tipe eksudat. Jika luka terlalu kering maka harus dilakukan rehidrasi. Dressing oklusive menjaga kelembaban luka. Jika luka menyembuh maka produksi eksudat juga agak berkurang. Pemilihan dressing dapat berupa foam, hidrokoloid, alginate, hidrofiber, cadexomer iodine sampai dressing capillary. Semua bertujuan untuk menghilangkan cairan berlebih dari permukaan luka. VAC terapi atau Tekanan negatif total yang menarik cairan dari permukaan luka juga dapat dipakai. Kondisi sekitar kulit juga penting untuk kulit yang rapuh yang dengan eksudat berlebih menyebabkan maserasi , eksoriasi, dermatitis iritat. Aplikasi dari skin barrier dapat mengurangi resiko ini.

d. EdgeTepi epidermis dari luka yang gagal migrasi ke tepi luka menyebabkan luka gagal mengalami kontraksi dan berkurang ukurannya. Oleh sebab itu harus dinilai ulang wound bed dan penyebab luka kronis. Tahap akhir luka adalah epitelialisasi yang aktif mengalami pembelahan, migrasi dan maturasi. Faktor yang yang mempengaruhinya adalah jaringan granulasi tervaskularisasi untuk dapat terjadinya proliferasi sel epidermal dan migrasi, oksigen dan nutrisi adekuat sehingga dapat terjadi pembelahan sel. Pada senescent, terjadi kelambatan pertumbuhan atau benar-benar terhenti pembelahannya akibat kerusakan dna atau prolong hipoksia, infeksi, kekeringan, trauma, hiperkratosis, kalus.

Hipoksia menyebabkan gangguan lekosit membunuh bakteri dan menurunkan produksi kolagen dan menurunkan epitelialisasi. Luka membutuhkan aliran mikro dan makrosirkulasi yang baik.

MODERN WOUND DRESSING

Dalam memilih jenis dressing untuk menutup luka, ada beberapa pedoman dan aturan yang harus dipenuhi. Kriteria di bawah ini adalah sebuah kriteria untuk suatu dressing / penutup luka yang baik, diantaranya:1. Memelihara lingkungan yang lembab.2. Dapat memfasilitasi autolytic debridement3. Dapat digunakan untuk berbagai macam tipe luka 4. Tersedia dalam berbagai macam ukuran5. Bersifat adsorbent / menyerap 6. Memiliki sifat menahan / suhu 7. Menahan bakteri 8. Dapat mereduksi nyeri, tidak nyeri saat dibuka

Alogritma Pemilihan Wound Dressing

Referensi

1. Brown DL. Wound. In: In: Brown DL, Borschel GH, editors. Michigan Manual of Plastic Surgery. 1st ed. Philadelphia, USA: Lippincott Williams & Wilkins;2004.p.1-92. K. WayneJohnston,MD: Rutherford: Vascular Surgery, 6th ed., Copyright 2005 Saunders, An Imprint of Elsevier3. Judd H. Wound Care made Incredibly Easy.1sted.Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2003.p.30-344. Cohen IK, Diegelmann RF, Yager DR, Wornum IL, Graham MF, Crossland MC. Wound Care and Wound Healing. In : Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC, editors. Principles of Surgery. 7th ed. NewYork: Mc-Graw Hill; 1999.p263-2945. Torre JDL, Sholar A. Wound Healing, Chronic Wounds. e-Medicine from WebMD (serial online) 2006 (cited 2006 May 26);1(477) Available from URL: HYPERLINK http://www.emedicine.com/plastic/topic477.htm 6. Adzick NS. Wound healing: Biological and Clinical features. In: Sabiston DC, Lyerly HK, editors. Textbook of Surgery: The biological basis of modern surgical practice. 15th edition. Philadelphia:W.B Saunders Company, 1997.p. 207-157. Chronic Wound Care Guidelines, Copyright 2007. The Wound Healing Society 341 N. Maitland Ave: Florida.

8. Werdin, Frank, MD. Evidenced-based Management Strategies for Treatment of Chronic Wounds. Eplasty. 2009: 9-e19.

19