lp stroke hemoragik

26
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN STROKE HEMORAGI A; Konsep Teori Stroke Hemoragi 1; Pengertian Menurut British Medical Association (2007), stroke hemoragi adalah pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik oleh cidera atau ruptur spontan dari pembuluh darah. Ada empat kemungkinan dari stroke hemoragi yaitu : subdural, ekstradural, subaraknoid, dan intraserebral. Ekstradural dan subdural hemoragi biasanya merupakan hasil dari cidera kepala. Subaraknoid dan perdarahan intraserebral biasanya terjadi secara spontan akibat pecahnya aneurisma atau pembuluh darah kecil di otak . Menurut Price (2006), stroke hemoragi dapat terjadi apabila lesi vaskuler intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan stroke hemoragi adalah pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik oleh cedera atau ruptur spontan dari pembuluh darah di area intraserebrum (parenkim), intraventrikel, dan perdarahan subraknoid. 2; Etiologi Menurut Mansjoer (2009), etiologi stroke hemoragi dapat dibedakan menjadi : 6

Upload: hyedaistay

Post on 10-Jul-2016

87 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN STROKE HEMORAGI

A; Konsep Teori Stroke Hemoragi

1; Pengertian

Menurut British Medical Association (2007), stroke hemoragi

adalah pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik

oleh cidera atau ruptur spontan dari pembuluh darah. Ada empat

kemungkinan dari stroke hemoragi yaitu : subdural, ekstradural,

subaraknoid, dan intraserebral. Ekstradural dan subdural hemoragi

biasanya merupakan hasil dari cidera kepala. Subaraknoid dan

perdarahan intraserebral biasanya terjadi secara spontan akibat

pecahnya aneurisma atau pembuluh darah kecil di otak .

Menurut Price (2006), stroke hemoragi dapat terjadi apabila lesi

vaskuler intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan

ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan stroke hemoragi

adalah pendarahan di dalam atau di sekitar otak yang disebabkan baik

oleh cedera atau ruptur spontan dari pembuluh darah di area

intraserebrum (parenkim), intraventrikel, dan perdarahan subraknoid.

2; Etiologi

Menurut Mansjoer (2009), etiologi stroke hemoragi dapat

dibedakan menjadi :

6

a; Perdarahan intraserebral (20%)

1; Hipertensi

2; Malformasi arteri-vena

3; Angiopati amiloid

b; Perdarahan subaraknoid (5%)

1; Perdarahan spontan (non traumatik) akibat pecahnya

aneurisma saccular intracranial.

3; Manifestasi Klinis

Menurut Machfoed (2011), pada perdarahan intraserebral yang

akut dijumpai :

a; Onset akut dari defisit neurologi fokal yang memberat sampai

koma dalam menit sampai jam.

b; Nyeri kepala, mual, muntah.

c; Pada non-hipertensi terdapat anamnesa demensia pada usia tua

curiga factor CAA

d; Riwayat penggunaan obat antikoagulan atau trombolitik

e; Riwayat kejang ataupun bruit kranial curiga adanya suatu sebab

malformasi vaskular.

Menurut Machfoed (2011), ciri khas dari kasus perdarahan

subaraknoid adalah keluhan nyeri kepala mendadak, dengan gambaran

“nyeri kepala paling hebat selama hidup” atau “seperti ada yang

menghantam kepala saya”. Keluhan ini terjadi mendadak dan

seringkali penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat ketika

onset. Dua pertiga kasus terjadi ketika penderita sedang tidur atau

melakukan aktivitas sehari-hari, sedangkan sisanya terjadi ketika

melakukan aktivitas fisik yang berat. Pemeriksaan neurologi

menunjukan adanya tanda rangsang meningeal seperti kaku kuduk.

Akan tetapi keluhan ini tidak selalu ada. Pemeriksaan fundus okuli

menunjukan gambaran perdarahan subarahknoid, vitreous, atau flame

shaped. Kondisi ini disebabkan oleh karena kongesti vena retina

akibat peningkatan tekanan inrakranial. Defisit neurologi lain bisa

bervariasi, bahkan perdarahan subaraknoid berat bisa meyebabkan

kondisi koma. Skala kondisi klinis yang sering digunakan untuk PSA

adalah Hunt and Hess Scale

Hunt and Hess scheme for grading cerebral aneurysms

Grade

0 Unruptured

I Asymptomatic or minimal headache, nuchal rigidity

II Moderate to severe headache, nuchal rigidity, no neurologicaldeficit other than cranial nerve palsy

III Drowsiness, confusion, mild focal deficit

IV Stupor, moderate to severe hemiparesis, possible earlydecerebrate rigidity and vegetative disturbances

V Deep coma, decerabrate rigidity, moribund appearance

4; Patofisiologi

Perdarahan pada otak dapat dengan cepat menimbulkan

gejala neurologi karena tekanan pada struktur-struktur saraf di

dalam tengkorak. Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari

Tabel 2.1. Hunt and Hess Scale

Sumber : Machfoed, 2011

perdarahan baik yang spontan maupun traumatik. Mekanisme

terjadinya iskemia tersebut ada dua: (1) tekanan pada pembuluh

darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak yang

volumenya tetap dan (2) vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh

darah yang terpajan ke daerah bebas di dalam ruang antara lapisan

araknoid dan piameter meningen. Biasanya stroke hemoragi secara

cepat menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan

kesadaran. Apabila perdarahan berlangsung lambat, pasien

kemungkinan mengalami nyeri hebat, yang merupakan gejala khas

perdarahan subaraknoid (Price, 2006).

Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak

(parenkim) paling sering terjadi akibat cedera vaskuler yang dipicu

oleh hipertensi dan rupture salah satu arteri kecil yang menembus

jauh ke dalam jaringan otak. Apabila perdarahan terjadi pada

individu yang tidak mengidap hipertensi, diperlukan pemeriksaan-

pemeriksaan untuk mengetahui kausa lain seperti gangguan

perdarahan, malformasi arteriovena, dan tumor yang menyebabkan

erosi. Lokasi perdarahan intraserebrum yang berdekatan dengan

basal ganglia dan kapsula interna sering menerima beban terbesar

tekanan dan iskemia yang disebabkan oleh stroke tipe ini.

Mengingat bahwa basal ganglia memodulasi fungsi motorik

volunter dan bahwa semua serat saraf aferen dan eferen di separuh

korteks mengalami pemadatan untuk masuk dan keluar dari kapsula

interna, maka dapat dilihat bahwa stroke di salah satu bagian ini

menimbulkan defisit neurologi fokal yang cepat dan memburuk

secara progresif dalam bebrapa menit sampai kurang dari 2 jam.

Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan

merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna

(Price, 2006).

Perdarahan subaraknoid memiliki dua penyebab utama:

ruptur aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan dapat

massif dan extravasasi darah ke dalam ruang subaraknoid lapisan

meningen dapat berlangsung cepat. Penyebab perdarahan

subaraknoid yang lebih jarang adalah malformasi arterionvena

(MAV), yaitu jaringan kapiler yang mengalami malformasi

kongenital. Pada MAV pembuluh melebar sehingga darah mengalir

di antara arteri bertekanan tinggi dan sistem vena bertekanan

rendah, akhirnya dinding venula melemah dan darah dapat keluar

dengan cepat ke jaringan otak. Pada sebagian besar pasien,

perdarahan terutama terjadi di intra parenkim dengan perembasan

ke dalam ruang subaraknoid (Price, 2006).

Efek spesifik stroke sangat tergantung bagian mana dari

otak yang mengalami kekurangan oksigen. Jika aliran darah yang

terputus adalah yang menuju bagian otak yang mengatur saraf

bicara, stroke akan menyebabkan penderita tidak bisa berbicara

atau pengucapan yang tidak jelas. Kesulitan dalam

mengekspresikan dalam perkataan ataupun tulisan, gangguan

dalam mengerti inti percakapan. Jika stroke merusak bagian otak

yang mengatur kemampuan gerak, penderita akan mengalami

kesulitan dalam berjalan, menggerakkan tangan. Biasanya terjadi

pada salah satu sisi tubuh, kiri atau kanan. Selain masalah fisik,

stroke memberi efek pada psikologi, orang yang mengalami stroke

lebih mudah depresi, marah, frustasi karena sulitnya untuk

melakukan tugas dimana sebelum stroke semuanya sudah berjalan

dengan normal dan otomatis (Muttaqin, 2008).

5; Pemeriksaan penunjang

Menurut Machfoed (2011), pemeriksaan diagnostik untuk

stroke hemoragi adalah:

a; Tes laboratorium : tes faal koagulasi, darah lengkap.

b; Pemeriksaa CT Scan kepala harus segera (kurang dari 12 jam)

dilakukan pada kasus dugaan perdarahan subaraknoid. Bila hasil

CT Scan tidak menunjukan adanya perdarahan subaraknoid, maka

langsung dilanjutkan dengan tindakan pungsi lumbal untuk

menganalisa hasil cairan serebrospinal dalam kurun waktu 12 jam.

Kemudian dilanjutkan pemeriksaan spektrofotometri cairan

serebrospinal untuk mendeteksi adanya xanthochromia.

c; Pemeriksaan angiografi selektif dilakukan pada penderita

perdarahan subaraknoid untuk mengetahui adanya gambaran

aneurisma. Angiografi dan venografi : dilakukan pada perdarahan

intraserebral di usia muda <50 tahun dengan perdarahan

intraserebral yang belum diketahui faktor risikonya curiga suatu

malformasi vaskular otak

d; Pemeriksaan MRA dan CT Angiografi hanya dilakukan bila

angiografi konvensional tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan MRI

tidak dianjurkan untuk mendeteksi perdarahan subaraknoid.

6; Diagnosis banding

Menurut Gofir (2011), gejala neurologi fokal yang terjadi

mendadak seperti pada stroke memiliki diagnosis banding yang luas,

seperti:

a; Penyakit sistemik atau kejang, yang menyebabkan perburukan

stroke yang pernah dialami

b; Kejang epileptik atau kejang non konvulsif

c; Lesi struktural intrakranial: hematoma subdural, tumor otak.

d; Ensefalopati metabolik/toksik: hipoglikemia, hiperglikemia non-

ketotik, hiponatremia, Wernicke-Korsakoff syndrome, ensefalopati

hepatik, intoksikasi obat dan alkohol, septikemia.

7; Penatalaksanaan

Menurut Machfoed (2011), terapi konservatif pada pasien

perdarahan intraserebral adalah pasien perdarahan intraserebral dengan

perdarahan kecil (<10 cc) atau defisit neurologi minimal, pasien

perdarahan intraserebral dengan GCS <4; kecuali pasien perdarahan

serebellar disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life

saving.

Terapi konservatif ini meliputi :

a; Terapi umum : menjaga dan mengevaluasi ABCD (Airway,

Breathing, Circulation, and Neurological Deficit).

b; Terapi khusus :

1; Hipertensi

Bila tekanan darah sistol > 220 diastol >140 mmHg, atau MAP

rerata >145 mmHg dapat diberikan antihipertensi parenteral

dengan nikardipin, diltiazem, atau labetalol. Bila tekanan darah

sistol 180-220 mmHg atau diastol 105-140 mmHg atau MAP

rerata 130 mmHg dapat diberikan juga obat antihipertensi

seperti di atas. Bila tekanan darah sistol <180 mmHg diastol

<105, tangguhkan pemberian antihipertensi. Pada fase akut

tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20-25% dari

MAP dalam 1 jam pertama.

2; Kejang

Pada status kejang; pada saat kejang diberikan injeksi

diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg diikuti fenitoin

loading dose 15-20 mg/kg/menit dengan kecepatan maksimum

50 mg/menit dan diberikan dosis pemeliharaan 5 mg/kg/hari.

Apabila kejang tidak teratasi perlu dirawat di ICU.

3; Peningkatan tekanan intrakranial

Akibat penekanan massa hematom yang besar pada jaringan

otak yang berdekatan. Biasanya timbul dalam 48 jam pertama

dan dapat berlangsung dalam 2 mingu setelah perdarahan awal.

Ditandai dengan perburukan gejala neurologis dan gambaran

CT Scan ulangan adanya gambaran impending herniasi.

Langkah- langkah yang dapat ditempuh adalah :

a; Non medikamentosa :

1; Posisi kepala da tubuh berbaring 20-30o

2; Pemberian O2 dan membuat hiperventilasi (PaO2 30-

35)

3; Menghindari pemberian cairan glukosa/hipotonik

4; Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular

5; Pemasangan urine kateter

6; Mencegah konstipasi

7; Menurunkan metabolisme dengan membuat hipotermi.

b; Medikamentosa :

Obat hiperosmolar manitol dosis 0.25-1 g/kg bolus,

dilanjutkan dengan 0.25-0.5 g/kg diulang setiap 4-6 jam

sekali.

Terapi operatif dilakukan pada kasus perdarahan

intraserebral cerebellar dengan diameter >3 cm dengan perburukan

klinis dan penekanan pada batang otak menyebabkan hidrosephalus

akibat obstruksi ventrikel IV; perdarahan intraserebral dengan lesi

struktural seperti aneurisma, malformasi AV, atau angioma kavernosa,

yang mempunyai harapan keluaran yang baik dan lesi strukturalnya

terjangkau; pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang-besar

yang memburuk.

Sedangkan penatalaksanaan untuk perdarahan subaraknoid

biasanya berupa medikamentosa seperti berikut :

a; Monitor dan kontrol tekanan darah untuk mencegah risiko

perdarahan ulang dan menjaga tekanan perfusi serebral. Tekanan

darah dipertahankan dengan MAP <110 mmHg atau tekanan

darah <160/90 mmHg.

b; Pemberian terapi dini antifibrinolitik jangka pendek yang

dikombinasi dengan terapi aneurisma, serta dilanjutkan dengan

upaya pencegahan hipovolemia dan vasospasme. Terapi

antifibrinolitik hanya diberikan pada kondisi tertentu, yaitu pada

penderita yang memiliki risiko rendah terjadinya vasospasme

sambil menunggu tindakan operasi.

c; Penatalaksanaan vasospasme serebral

1; Nimodipin (calcium channel blocker) oral 60 mg tiap 4 jam

dapat menurunkan outcome jelek pada kasus perdarahan

subaraknoid aneurisma. Obat ini diberikan selama 21 hari.

Bila terjadi hipotensi, maka dapat dilakukan penyesuaian

dosis.

2; Memelihara sirkulasi volume darah normal dan menghindari

terjadinya hipovolemia.

3; Terapi triple H (Hipertensi, Hemodilusi, Hipervolemia).

a; Mempertahankan cerebral venous pressure (CVP) pada

kisaran 10-12 mmHg dan hematokrit pada kisaran 30-

35%.

b; Mempertahankan tekanan darah sistolik pada kisaran

160-200 mmHg.

4; Angioplasty serebral dan/atau vasodilator intrakranial selektif

merupakan terapi alternatif.

d; Pemberian profilaksis antikejang dilakukan segera setelah periode

perdarahan. Profilaksis antikejang diberikan pada penderita

dengan resiko berupa riwayat kejang sebelumnya, perdarahan

parenkim, infark parenkim atau adanya aneurisma pada arteri

serebri media.

e; Pencegahan hiponatremia

1; Pemberian cairan hipotonis dan cairan penarik cairan ke

dalam intravaskuler dalam jumlah besar hendaknya dihindari

pada kasus perdarahan subaraknoid.

2; Monitor status volume cairan penderita perdarahan

subaraknoid dengan menggubakan kombinasi central venous

pressure, pulmonary artery wedge pressure, keseimbangan

cairan, serta berat badan penderita. Cairan yang diberikan

adalah cairan isotonis.

3; Penggunaan fludrocortisones acetate dan salin hipertonis

ditujukan untuk mengkoreksi hiponatremia.

f; Mengurangi keluhan penderita dengan memberikan analgetik

adekuat, sedasi ringan dan pelunak feses.

8; Komplikasi

Menurut Smeltzer, S. C., & Bare (2002), serangan stroke

tidak berakhir dengan akibat pada otak saja, gangguan emosional dan

fisik akibat berbaring lama tanpa dapat bergerak adalah hal yang tidak

dapat dihindari. Ada beberapa komplikasi dari penyakit stroke, yaitu:

a; Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi

darah adekuat ke otak. Pemberian oksigen suplemen dan

mempertahankan hemoglobin serta hematokrit dalam tingkat

dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan

oksigenasi jaringan.

b; Penurunan aliran darah serebral. Aliran darah serebral bergantung

pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah

serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk

mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi

meluasnya area cidera.

c; Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau

fibrilasi atrium. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke

otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia

mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian

thrombus lokal.

B; Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragi

1; Pengkajian menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada klien dengan

kegawatdarutan stroke antara lain:

a; Primary Survey

Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain :

1; Airway maintenance

Menurut Thygerson (2011), tindakan pertama kali yang harus

dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan

mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau

tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat

berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka.

Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pasien yang tidak sadar

mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi

jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada

kondisi pasien tidak sadar. Perlu diperhatikan dalam

pengkajian airway pada pasien antara lain :

a; Kepatenan jalan nafas pasien.

b; Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien

antara lain:

1; Adanya snoring atau gurgling

2; Agitasi (hipoksia)

3; Penggunaan otot bantu pernafasan

4; Sianosis

c; Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas

bagian atas dan potensial penyebab obstruksi

d; Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan

nafas pasien terbuka.

e; Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan

nafas pasien sesuai indikasi :

1; Chin lift/jaw thrust

2; Lakukan suction (jika tersedia)

3; Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,

Laryngeal Mask Airway

4; Lakukan intubasi

2; Breathing dan oxygenation

Menurut Wilkinson & Skinner (2000), pada kasus

stroke mungkin terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat

stroke) atau oleh karena komplikasi infeksi di saluran napas.

Pedoman konsensus mengharuskan monitoring saturasi O2 dan

mempertahankannya di atas 95% (94-98%). Pada pasien stroke

yang mengalami gangguan pengendalian respiratorik atau

peningkatan TIK, kadang diperlukan untuk melakukan

ventilasi.

3; Circulation

Wilkinson & Skinner (2000), shock didefinisikan

sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi

jaringan. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis:

hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas

dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi

urin. Pengkajian circulation menurut Muttaqin (2008) pada

klien stroke biasanya didapatkan renjatan (syok) hipovolemik,

tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan bisa terdapat

hipertensi massif dengan TD >200 mmHg.

4; Disability - pemeriksaan neurologis.

Menurut Muttaqin (2008), tingkat kesadaran klien dan

respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif

untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan

kesadaran. Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien stroke

biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan

semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma, maka

penilaian GCS sangat penting untung menilai tingkat

kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan

pemberian asuhan.

b; Secondary Assessment

Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien

mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda

syok telah mulai membaik.

1; Anamnesis

Menurut Rudd dalam Emergency Nursing Association (2009),

anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa

didapat dari pasien dan keluarga:

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan,

plester, makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti

sedang menjalani pengobatan hipertensi, jantung, dosis, atau

penyalahgunaan obat).

P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti

penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,

dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian).

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera

(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama).

2; Pemeriksaan fisik

a; Kulit kepala

Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya

pigmentasi, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit

kepala.

b; Mata

Ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana

refleks cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau

midriasis, adanya ikterus, apakah konjungtivanya anemis

atau tidak.

c; Hidung

Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan

penciuman.

d; Telinga

Periksa adanya nyeri, penurunan atau hilangnya

pendengaran.

e; Mulut

Inspeksi pada bagian mukosa terhadap tekstur, warna,

kelembaban.

f; Toraks

Inspeksi: peningkatan produksi sputum, sesak nafas,

penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi

pernafasan.

Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri pada klien

dengan tingkat kesadaran compos mentis.

Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan

keredupan.

Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien

stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Tidak

didapatkan bunyi nafas tambahan pada klien dengan tingkat

kesadaran compos mentis.

g; Abdomen

Inspeksi : adakah distensi abdomen, asites.

Auskultasi : bising usus.

Perkusi : untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).

Palpasi : untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri

tekan, hepatomegali, splenomegali.

h; Ektremitas

Pada saat inspeksi lihat adanya edema, gerakan, dan sensasi

harus diperhatikan, paralisis, sedangkan pada jari-jari

periksa adanya clubbing finger serta hitung berapa detik

kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik).

3; Pengkajian Nervus Kranial menurut Muttaqin (2008).

a; Syaraf Olfaktorius (N.I)

Biasanya tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.

b; Syaraf Optikus (N.II)

Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensorik

primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan

hubungan visual-spasial sering terlihat pada klien dengan

hemiplegi kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian

tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan

pakaian ke bagian tubuh.

c; Syaraf Okulomotorius (N.III), Trokealis (N.IV), dan

Abdusens (N.VI)

Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi otot-

otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan

konjugat unilateral di sisi yang sakit.

d; Syaraf Trigeminalis (N.V)

Pada beberapa keadaan stroke mengakibatkan paralisi saraf

trigeminus, didapatkan penurunan koordinasi gerakan

mengunyah. Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral

dan kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoidus internus dan

eksternus.

e; Syaraf Fasialis (N.VII)

Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris,

otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.

f; Syaraf Vestibulokoklear (N.VIII)

Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

g; Syaraf Glosofaringeus (N.IX) dan Vagus (N.X)

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka

mulut.

h; Syaraf Asesorius Spinal (N.XI)

Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

i; Saraf Hipoglossus (N.XII)

Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi.

Indra pengecapan normal.

Gambar 2.2. Pathways Stroke Hemoragi

Penumpukan secret pada jalan nafas

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Pola nafas tidak efektif

Penekanan pada medulla oblongata

Peningkatan TIK/herniasi otak

Hematoma serebral

Perdarahan araknoid/ventrikel

Aneurisma/AVM

Peningkatan tekanan sistemik

Stroke hemoragi

Hipertensi, gangguan perdarahan, pemberian antikoagulan yang berlebihan

Refleks batuk menurun

Penurunan kesadaran

Suplai darah ke jaringan serebral tidak adekuat

iskemik/infark

deficit neurologi

Perfusi jar. serebral

Vasospasme arteri serebral/saraf serebral

2; Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu label singkat,

mengambarkan kondisi pasien yang diobservasi di lapangan

(Wilkinson dalam NANDA 2013). Diagnosa keperawatan pasien

dengan masalah stroke hemoragi didapatkan diagnosa keperawatan

gawat darurat sebagai berikut :

Sumber :Nanda, 2013

hemiparese/plegi kanan

Hemisfer kiri

hemiparese/plegi kiri

Hemisfer kanan

a; Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan

penumpukan sekret.

b; Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan

hiperventilasi.

c; Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan iskemia.

3; Intervensi Keperawatan

Menurut Iowa Intervention Project (2008), NIC merupakan

klasifikasi intervensi keperawatan yang dibuat untuk

menyeragamkan bahasa intervensi yang dilakukan oleh perawat.

Menurut Iowa Intervention Project (2008), NOC adalah

istilah standar untuk menggambarkan outcomes pasien.

No

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan KriteriaHasil

Intervensi

1 Bersihan Jalan Nafastidak Efektif

Batasan Karakteristik :a; Dispneu, b; Sianosisc; Kelainan suara

nafas (ronkhi,wheezing)

d; Kesulitan berbicarae; Batuk, tidak efektif

atau tidak adaf; Produksi sputumg; Perubahan

frekuensi dan iramanafas

Faktor yangberhubungan:Penumpukan sekret.

NOC : Respiratory status :Airway patency

Kriteria Hasil :Menunjukkanndyspnea berkurang,mempunyai iramateratur dan frekuensipernafasan dalamrentang normal (16-20x/menit), sekretdapat keluar

NIC :

Airway Management

a; Buka jalan nafasdengan tekhik chinlift/jaw thrust

b; Posisikan pasienuntukmemaksimalkanventilasi dengansemifowler 20-30o

c; Pasang mayod; Lakukan suction

pada mayoe; Monitor respirasi dan

status O2

Tabel 2. Intervensi NIC

2 Pola Nafas TidakEfektif

Batasan karakteristik : a; Menggunakan otot

pernafasantambahan

b; Dyspneac; Nafas pendek

Faktor yangberhubungan :Hiperventilasi

NOC : a; Vital sign Status

Kriteria Hasil :menunjukan tanda-tanda vital dalamrentang normal

NIC : Vital sign Monitoring

a; Monitor TTVb; Monitor frekuensi,

irama pernapasan, &pola pernapasan

c; Monitor sianosisperifer

d; Monitor adanyacushing triad(tekanan nadi yangmelebar,bradikardi, peningkatan sistolik)

3 Perfusi JaringanSerebral tidak Efektif

Serebral a; Abnormalitas

bicara b; Kelemahanc; Perubahan status

mental d; Perubahan pada

respon motorik e; Perubahan reaksi

pupil

Faktor yangberhubungan : iskemia

NOC :Circulation statusTissue Prefusion :serebral

Kriteria Hasil: tidakada tanda tandapeningkatan tekananintrakranial.

NIC :Intrakranial Pressure(ICP) Monitoring

a; Monitor tekananintrakranial pasien

b; Monitor responneurologi terhadapaktivitas

c; Restrain pasiend; Monitor angka WBCe; Kolaborasi terapi

antibiotikf; Berikan informasi

kepada keluargag; Monitor irama

jantung (EKG)

Implem

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan yang

dilakukan oleh perawat (Doengoes, 2000).

Implementasi dibedakan menjadi :

a; Secara mandiri (independent) adalah tindakan yang diprakarsai

sendiri oleh perawat untuk membantu klien dalam mengatasi

masalah.

b; Saling ketergantungan atau kolaborasi (interdependent) adalah

tindakan keperawatan atas dasar kerja sama tim perawat dan

tim kesehatan lainnya.

c; Ketergantungan (dependent) adalah tindakan keperawatan atas

dasar rujukan profesi lainnya.

5; Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan dari

intervensi tersebut tercapai/tidak (Doengoes, 2000).

Evaluasi disusun menggunakan SOAP, yaitu :

S : Adakah hal-hal yang dikemukakan oleh pasien/keluarga secara

subyektif.

O : Adakah hal-hal yang ditemukan perawat secara obyektif setelah

dilakukan intervensi keperawatan.

A : Adakah analisa dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu

pada tujuan yang terkait diagnosis.

Sumber : Dochterman, J. M and Bulecheck, G. M., 2004

P : Adakah perencanaan yang akan datang setelah melihat respon

pasien/keluarga pada tahap evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. (2009). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data.

Jakarta: Salemba Medika.

Jackson, M, 2009. Seri Panduan Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta : Penerbit

Erlangga

Machfoed, Moh. Hasan, dkk.2011. Buku Ajar Penyakit Saraf. Pusat Penerbitan

dan Percetakan Unair:Surabaya

Medical Association, British. 2007. Illustrated Medical Dictionary edisi 2.

Singapura: DK Company

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

NANDA, nic-noc. (2013). Diagnosis Keperawatan, NANDA 2013 Definisi &

Klasifikasi, T. Heather Herdman, PhD, RN, Jilid 2. Jakarta: EGC

Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Pnelitian Ilmu

Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian

Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC.

Sylvia A. Price dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit alih bahasa Brahm U. EGC : Jakarta

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN STROKE HEMORAGI

DISUSUN OLEH :

Disti Widiastuti

13068

PROGRAM DIPLOMA III KEPERAWATAN

AKADEMI KEPERAWATAN INSAN HUSADA SURAKARTA

TAHUN 2016