lp cedera medula spinalis (repaired)

21
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TRAUMA MEDULA SPINALIS A. KONSEP DASAR PENYAKIT I. Definisi Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain : 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, 2000). Trauma medula spinalis adalah trauma yang terjadi pada jaringan medulla spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra atau kerusakan jaringan medulla spinalis lainnya termasuk akar-akar saraf yang berada sepanjang medulla spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi. (Lynda Juall dan Carpenito, 2007). Trauma medula spinalis adalah kehilangan sensasi fungsi motorik volunteer total dan tidak komplet;campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunteer (Maryilynn E.Doenges, 1999). Menurut Brunner & Suddarth (2001) Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis. II. Epidemiologi

Upload: ekasintia

Post on 26-Nov-2015

152 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

bvnm,n.m.

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

TRAUMA MEDULA SPINALIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

I. Definisi

Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher

sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara

lain : 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang

lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan

penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum

membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan

memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut

terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang

belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer,

Arif, 2000).

Trauma medula spinalis adalah trauma yang terjadi pada jaringan

medulla spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu

atau lebih tulang vertebra atau kerusakan jaringan medulla spinalis

lainnya termasuk akar-akar saraf yang berada sepanjang medulla

spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi. (Lynda Juall dan

Carpenito, 2007). Trauma medula spinalis adalah kehilangan sensasi

fungsi motorik volunteer total dan tidak komplet;campuran kehilangan

sensasi dan fungsi motorik volunteer (Maryilynn E.Doenges, 1999).

Menurut Brunner & Suddarth (2001) Trauma medula spinalis adalah

suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada

daerah medulla spinalis.

II. Epidemiologi

Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu

mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan

ada sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan

cedera medula spinalis di negara tersebut, kira-kira 10.000 orang

meninggal karena komplikasi yang berhubungan dengan trauma medula

spinalis. Kasus baru trauma medula spinalis terjadi sekitar 15-50 per

sejuta penduduk, sementara angka prevalensi sekitar 900 per sejuta.

Trauma medula spinalis 80% terjadi pada pria usia sekitar 15-30 tahun

Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden trauma medula spinalis

lebih tinggi di negara yang sedang berkembang.

Penyebab trauma medula spinalis di negara berkembang bervariasi dari

satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar

49% penyebab trauma medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan

30% di Taiwan. Jatuh dari ketinggian mewakili penyebab trauma medula

spinalis lainnya dengan angka sebesar 36,5% di Turki dan 21,2% di

Jordania. Di Bangladesh, penyebab trauma medula spinalis yang paling

sering adalah jatuh saat membawa beban berat di kepala dan

kecelakaan lalu lintas. Penyebab lainnya yaitu luka tembak (antara 1,9%

dan 29,3% di Turki), luka tusuk (antara 1,38% dan 3,33% di Turki, 25,8%

di Jordania) dan kecelakaan saat menyelam.

Di Indonesia, menurut Prihardadi dan Prijambodo (1990), trauma tulang

belakang yang masuk di RSUD Dr. Soetomo rata-rata 111 kasus per

tahun. Sejak tahun 1983-1997 terdapat 1592 kasus yang dirawat di

RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

III. Etiologi

Trauma medula spinalis terjadi akibat patah tulang belakang dan

terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat

hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang

belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan

struktur thoraks. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana,

kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada

medula spinalis dapat berupa memar, contusio, kerusakan

melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau

perdarahan. Kelainan sekunder pada medula spinalis dapat

disebabkan hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan hipotensi,

oedema, atau kompressi.

Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :

Kecelakaan lalulintas, kecelakaan dapat menyebabkan benturan

yang hebat pada pada tulang belakang sehingga menyebabkan

cedera pada medulla spinalis.

Olahraga, dimana olahraga yang ekstrim dapat menyebabkan trauma

pada tulang belakang serta olahraga yang memilki keamaan pada

saat melakukan olahraga

Kriminalitas, pada kasus kriminal seperti penusukan yang dilakukan

pada daaerah punggung atau memukul punggung dapat

menyebabkan trauma pada tulang punggung yang secara otomatis

dapat menjadi trauma spinalis.

Tumor, tumor dapat menyebabkana trauma medulla spinalis dimana

tumor mendesak medulla spinalis sehingga dapat menyebabkan

trauma spinalis.

Terjatuh dan dijatuhi benda keras, jatuh pada posisi duduk atau

kepala jatuh terlebih dahulu dapat menyebabkan trauma pada

medulla spinalis, dijatuhi benda keras juga dapat menyebabkan

trauma medulla spinalis.

Menurut Sylvia A. Price & Lorainne M. Wilson (2003), Medula spinalis

dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :

Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis

dan hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi

tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi

tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi

ke posterior dan trauma hiperekstensi. Kompresi medula spinalis

dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan.

Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan

pada jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi

medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan

bertambahnya usia.

Beban fleksi, ekstensi, dan rotasi bersama dengan kelemahan

relative sendi-sendi vertebra, menyebabkan fraktur dan dislokasi

paling sering terjadi pada titik pertemuan antara bagian kolumna

vertebralis yang relative selalu bergerak (mobile) dengan ruas yang

relatife terfiksasi, yaitu antara daerah servikal bawah dan sgmen

torakal atas, antara segmen torakal bagian bawah dan sacrum.

Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma

menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena.

IV. Patofisiologi

Trauma spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus

terbanyak trauma spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal.

Trauma dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau

rotasi pada tulang belakang. Fraktur pada cedera spinal cord dapat

berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi.

Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar,

kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan

peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf

parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot

pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut

anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum

serta kandung kemih.

Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang

terkena :

jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan

mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau

sistem muskular total;

jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjaditetraplegia

dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan

total terhadap aktivitas sehari-hari;

jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami

tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang

memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari;

jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang akan

mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari

tangan, meningkat kemandiriannya;

pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan

dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik;

jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang

tersebut akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan

fungsi defekasi dan berkemih.

V. Klasifikasi

Klasifikasi Cedera medula spinalis berdasarkan penyebabnya dapat

dibagi menjadi dua jenis:

Cedera medula spinalis traumatik

Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik

eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan

bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Cedera

medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula

spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.

Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and

Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine,

cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan

kontusio dari kolum vertebra.

Cedera medula spinalis non traumatik

Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi

kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan

kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada

medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.

Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit

motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan

inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan

metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

Ada 2 jenis grading pada cedera medula spinalis, yaitu klasifikasi Frankel

yang biasa digunakan oleh bagian orthopaedi dan klasifikasi ASIA

(American Spinal Injury Association) yang di anut oleh bagian bedah

saraf.

Derajat keparahan cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi

beberapa grade menurut Frankel, yaitu :

- Frankel A : kehilangan fungsi motorik dan sensorik

- Frankel B : ada fungsi sensorik, motorik tidak ada

- Frankel C : fungsi motorik ada tetapi tidak berfungsi

- Frankel D : fungsi motorik ada tetapi tidak sempurna

- Frankel E : fungsi sensorik dan motorik baik, hanya ada refleks

abnormal

Berikut adalah klasifikasi cedea medula spinalis oleh ASIA menurut Penurunan

Skala (dimodifikasi dari klasifikasi Frankel), dengan menggunakan

kategori berikut :

GRADE TIPE Gangguan Medula Spinalis ASIA

A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5

B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai

segmen sacral S4-S5

C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level tapi otot-otot

motorik utama masih punya kekuatan < 3

D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik

utama punya kekuatan > 3

E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

VI. Manifestasi Klinis

1. Trauma segmen servikalis

C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.

C1 sampai C5 menyebabkan respiratori paralisis dan quadriplegia

(dengan disfungsi kedua lengan, kedua kaki, defekasi, dan

berkemih ),

C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat

terjadi hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot

interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru menurun.

C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus,

otot-otot abdominal.

C5 dan C6 dapat menyebabkan paralisis kaki, tangan, pergelangan;

abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks

brachioradialis

C7 dan C8 dapat menyebabkan paralisis kaki dan tangan.

2. Trauma pada segmen torakal

T2 dan T1 dapat menyebabkan paralisis otot-otot kaki, hilangnya

sensasi di bawah putting, dan gerakan normal pada bahu dan

siku.

T5-T8 dapat menyebabkan kelumpuhan kaki dan bagaian yang

lebih rendah dan hilangnya sensasi di bawah tulang rusuk

T6 dapat menyebabkan paraplegia (disfungsi ektrimitas bawah,

defekasi, dan berkemih )

T9-T11 dapat menyebabkan kelumpuhan kaki dan hilangnya

sensasi di bawah pusar

3. Trauma pada segmen lumbal

L1-L2 dapat menyebakan mengakibatkan anaestesia perianal,

gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya

refleks anal dan refleks bulbokafernosa.

L1 dapat menyebabkan paraplegia (disfungsi ektrimitas bawah,

defekasi, dan berkemih)

4. Trauma pada segmen sacral

S2-S4 dapat menyebakan penurunan penis ereksi

S2-S3 dapat menyebabkan gangguan berkemih dan defekasi

S3-S5 dapat menyebabkan mati rasa pada perineum

VII. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pada sistem persarafan secara menyeluruh meliputi :

tanda-tanda vital status mental, komunikasi dan bahasa, pengkajian

saraf kranial, respon motorik, dan respon sensorik. Secara umum dalam

pemeriksaan fisik klien gangguan sistem persarafan, dilakukan

pemeriksaan :

Tanda-tanda vital meliputi : tekanan darah, nadi, suhu, laju

pernapasan, nyeri

Status mental : Status mental, termasuk kemampuan berkomunikasi

dan berbahasa serta tingkat kesadaran dilakukan dengan

pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS).

Fungsi sensorik : Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien

digambarkan sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless),

rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-

perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik

(kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia, cramp dan

sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik.

Sistem Motorik : Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara

observasi dan pemeriksaan kekuatan diantaranya Massa otot, Tonus

otot dan Kekuatan otot

Aktifitas refleks : Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada

tendon menggunakan refleks hammer. Refleks-refleks yang diperiksa

adalah : Refleks patella, Refleks biceps, Refleks triceps, Refleks

Achilles, Refleks abdominal dan Refleks Babinski

VIII. Pemeriksaan Penunjang

CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik

komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur

akut. Akurasi Pemeriksaan CT berkisar antara 72 -91 % dalam

mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi dapat mencapai 96 %

bila mengkombinasikan CT dengan myelografi.

MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk

daerah servikal . MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun

diskus. Seluruh daerah medula spinalis , radiks saraf dan tulang

vertebra dapat divisualisasikan. Namun pada salah satu penelitian

didapatkan adanya abnormalitas berupa herniasi diskus pada

sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil pemeriksaan ini

tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit ,

keluhan maupun pemeriksaan klinis.

Elektromiografi (EMG) : Pemeriksaan EMG membantu

mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau

tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga mempunyai

gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari

iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf

perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi.

X-Ray spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur

ataudislokasi)

Mielografi untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal

vertebral) jika faktorpatologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya

dilusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak

akan dilakukan setelahmengalami luka penetrasi).

Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru (contoh :

perubahan padadiafragma, atelektasis)

Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal) :

mengukur volumeinspirasi maksimal khususnya pada pasien

dengan trauma servikat bagianbawah atau pada trauma torakal

dengan gangguan pada saraf frenikus /ototinterkostal).

AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

(Marilyn E. Doengoes, 1999)

IX. Komplikasi

Syok neurogenik

Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang

desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan

kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis

pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah

visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah

dan konsekuensinya terjadi hipotensi.

Syok spinal

Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas pada medula

spinalis di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-otot yang

dipersarafi oleh bagian segmen medula yang ada di bawah tingkat

lesi menjadi paralisis komplet dan flaksid, dan refleks-refleks tidak

ada. Tekanan darah turun dan bagian dari tubuh di bawah tingkat lesi

medula paralisis dan tanpa sensasi.

Karena cedera pada servikal dan medula spinalis torakal atas,

persarafan pada otot aksesori mayor pernafasan hilang dan terjadi

masalah pernafasan: penurunan kapasitas vital, retensi sekresi,

peningkatan parsial karbon dioksida (PCO2), penurunan gPO2,

kegagalan pernapasan, dan edema pulmonal.

Refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi dipengaruhi.

Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang

dapat diatasi dengan dekompresi usus. Pasien tidak berkeringat pada

bagian tubuh yang paralisis, karena aktivitas simpatis dihambat

sehingga observasi ketat diperlukan untuk deteksi dini terhadap

awitan demam tiba-tiba.Pertahanan tubuh pasien disokong dan

dipertahankan sampai syok spinal mereda dan sistem telah pulih dari

traumatik (3 sampai 6 minggu). Perhatian khusus juga harus

diarahkan pada sistem pernapasan. Pasien mungkin tidak dapat

menciptakan tekanan intratorakal yang cukup untuk batuk secara

efektif. Terapi fisik dada dan pengisapan dapat membantu dalam

pembersihan sekresi pulmonal.

Thrombosis vena profunda

Thrombosis vena profunda (TVP) adalah komplikasi umum dari

imobilitas dan umumnya pada pasien cedera medula spinalis. Pasien

PVT beresiko mengalami embolisme pulmonal (EP), suatu komplikasi

yang mengancam hidup. Manifestasi EP meliputi nyeri dada pleuritis,

cemas, napas pendek, dan nilai gas darah abnormal (peningkatan

PCO2) dan penurunan PO2). Pengkajian pada paha dan betis

dilakukan setiap hari. Pasien akan dievaluasi terhadap adanya TVP,

jika hal itu terlihat signifikan meningkat di salah satu ekstermitas.

Terapi antikoagulan dosis rendah biasanya dimulai untuk mencegah

stoking elastis dari paha atas alat yang menekan pneumatik.

Hipoventilasi

Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan

hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah

servikal bawah atau torakal atas.

Hiperfleksia autonomic

Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak,

kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.

X. Penatalaksanaan Tindakan Therapy

1. Penatalaksanaan kedaruratan

Penatalaksanaan pasien segara di tempat kejadian adalah sangat

penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat

menyebabkan kerusakan dan kehilangan fungsi neurologic. Korban

kekcelakaan bermotor atau berkendara , jatuh, olah raga atau traum

langsung pada kepala dan leher dipertimbangkan mengalami cedera

spinalis.

Di tempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan

spinal (punggung) dalam kepala dan leher dalam posisi netral,

untuk mencegah cedera komplit

Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk

mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinal

atau alat imobilisasi servikal dipasang.

Paling sedikit empat orang harus mengangakat dengan hati-hati

keatas utuk memendahkan kerumah sakit. Adanya geraka

memutar atau merusak medulla spinali irreversible yang

menyebabkan fragmen tulang vertebrata terputus patah atau

memotong medulla spinalis.

Prioritas pengelolaan selalu mengikuti Primary Survey serta urutan

ABCDE :

A-Airway, membebaskan jalan nafas dengan melindungi tulang

leher (cervical spine)

B-Breathing, bantuan pernafasan

C-Circulation, bantuan untuk sirkulasi dan pemantauan tekanan

darah

D-Disability, pemantauan kesadaran dan kerusakan syaraf pusat

E-Exposure, melepas baju pasien untuk memeriksa secara

lengkap semua kerusakan.

2. Transportasi pasien

Pasien harus selalu diperthankan dalam posisi ekstensi. Tidak ada

bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk juga jangan biarkan

pasien mengambil posisi duduk. Jangan memindahkan / membawa

pasien dengan dugaan trauma tulang leher pada posisi duduk atau

tengkurap. Pastikan dulu pasien dalam kondisi stabil sebelum

transportasi.

3. Medikasi

Penggunaan metil prednisolon

Farmakologi :

Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja

intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi

dan imunosupresan.

Adrenokortikoid

Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati

membran dan membentuk komplek dengan reseptor

sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian memasuki inti

sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman

messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari

berbagai enzim akan bertanggung jawab pada efek sistemik

adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini dapat menekan

perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit).

Efek Glukokortikoid

Anti-inflamasi (steroidal)

Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan

terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala

inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid

menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan

leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga

menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis

dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi.

Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara

lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor

penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag :

reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan

mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler,

menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan

meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor

fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari

membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap

sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat

(prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja

immunosupresan juga dapat mempengaruhi efek antiinflamasi.

Immunosupresan

Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara

lengkap tetapi kemungkinan dengan pencegahan atau

penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda) reaksi imun

seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi

respon imun, Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit

timus (T-limfosit), monosit, dan eosinofil. Metilprednisolon juga

menurunkan ikatan immunoglobulin ke reseptor permukaan sel

dan menghambat sintesis dan atau pelepasan interleukin,

sehingga T-limfosit blastogenesis menurun dan mengurangi

perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat

menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran,

konsentrasi komponen pelengkap dan immunoglobulin.

Dosis Metilprednisolon yaitu 30 mg/kgBB secara bolus intravena,

dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi

tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah

cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon

intravena kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam

kemudian. Jika terapi bolus metilprednisolon dapat dikerjakan pada

waktu antara 3 hingga 8 jam setelah cedera maka terapi tersebut

dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan

dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian. Terapi ini efektif

dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan motorik secara

signifikan dalam waktu 6 minggu pada cedera parsial dan 6 bulan

pada cedera total. Efek dari metilprednisolon ini kemungkinan

berhubungan dengan efek inhibisi terhadap peroksidasi lipid

dibandingkan efek glukokortikoid.

4. Tindakan Respiratori

Berikan oksigen untuk mempertahankan PO₂ arterial yang

tinggi.

Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk

menghindari fleksi atau ekstensi leher bila diperlukan intubasi

endotrakeal.

Pertimbangkan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf

frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi.

(Baughman & Hackley, 2000)

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian

IDENTITAS

RIWAYAT KEPERAWATAN

- Keluhan utama : Perawat memperoleh gambaran secara detail

pada kondisi yang utama dialami klien. Memperoleh informasi

tentang perkembangan, tanda-tanda dan gejala-gejala : onset

(mulainya), faktor pencetus dan lamanya. Perlu menentukan kapan

mulainya gejala tersebut serta perkembangannya.

- Riwayat kesehatan masa lalu : Mencakup penyakit yang pernah

dialami sebelumnya, penyakit infeksi yang dialami pada masa

kanak-kanak, pengobatan, periode perinatal, tumbuh kembang,

riwayat keluarga, riwayat psikososial dan pola hidup.

Penyakit saraf sering mempengaruhi kemampuan fungsi-fungsi

tubuh. Perawat perlu menanyakan perubahan tingkat kesadaran,

nyeri kepala, kejang-kejang, pusing, vertigo, gerakan dan postur

tubuh.

- Masalah kesehatan utama dan hospitalisasi :

Berbagai penyakit yang berhubungan dengan perubahan akibat

gangguan persarafan misalnya diabetes mellitus, anemia

pernisiosa, kanker, berbagai penyakit infeksi dan hipertensi.

Penyakit hati dan ginjal yang menahun akan mengakibatkan

gangguan metabolisme misalnya gangguan keseimbangan cairan

elektrolit dan asam basa akan mempengaruhi fungsi mental.

Perawat juga akan memperoleh informasi mengapa klien dirawat di

rumah sakit, kecelakaan atau pembedahan sehubungan dengan

sistem persarafan seperti trauma kepala, kejang, stroke atau luka

akibat kecelakaan.

- Riwayat Pengobatan : Perawat akan memperoleh informasi

sehubungan dengan obat-obatan yang diperoleh klien. Banyak

obat-obat anti alergi dan pilek yang bisa dikomsumsi dapat

mengakibatkan klien mengantuk. Perawat harus mengkaji obat

yang digunakan, jenis obat, efek terapinya, efek samping yang

ditimbulkan dan lamanya digunakan.

- Riwayat keluarga :

Perawat akan menanyakan pada keluarga sehubungan dengan

gangguan persarafan guna menentukan faktor-faktor resiko /

genetik yang ada. Misalnya epilepsi, hipertensi, stroke, retardasi

mental dan gangguan psikiatri.

PENGKAJIAN NEUROLOGIK BERDASARKAN POLA FUNGSI

GORDON :

HEALTH PERCEPTION – HEALTH MANAGEMENT : Riwayat ganguan

neurologik, terjatuh/trauma, atau pembedahan; pernah mengalami

masalah-masalah yang berhubungan dengan kemampuan pergerakan

bagian-bagian tubuhnya.

NUTRITIONAL – METABOLIC : Adanya kesukaran mengunyah atau

menelan

ELIMINATION : Adanya perubahan pada kebiasaan B A K atau B A B

ACTIVITY – EXERCISE : Mengalami kesulitan terhadap keseimbangan,

koordinasi atau berjalan. Apakah klien menggunakan alat bantu jalan;

Mengalami kelemahan pada lengan atau kaki

SEXUALITY-REPRODUCTIVE : Adanya masalah aktifitas sexual klien

mengalami gangguan oleh adanya masalah neurologic

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan pada sistem persarafan secara menyeluruh meliputi :

tanda-tanda vital status mental, komunikasi dan bahasa, pengkajian

saraf kranial, respon motorik, dan respon sensorik

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

- CT SCAN

- MRI

- Elektromiografi (EMG)

- X-Ray spinal

- Mielografi

- Foto rongent thoraks

- Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal)

- AGD

(Marilyn E. Doengoes, 1999)

II. Diagnosa Keperawatan

Nyeri akut

Ketidakefektifan pola nafas

Inkontinensia defekasi

Hambatan mobilitas fisik

Inkontinensia urinarius fungsional

Disfungsi seksual

DAFTAR PUSTAKA

Baughman, C. Diane & Hackley JoAnn. 2000. Keperawatan Medikal bedah

Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Edisi 1. Jakarta : EGC

Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Heater Herdman,T.2012. Nanda Internasional Diagnosa keperawatan Definisi

dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.

Johnson, M, dkk. 2004. Nursing Outcome Classification (NOC). Mosby:

Philadelphia

Lynda Juall dan Carpenito. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.

Jakarta : EGC

Maryilynn E.Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

McCloskey, dkk .2004. Nursing intervention Classification (NIC). Mosby:

Philadelphia

MSKTC Experts. Pain after Spinal Cord Injury.

http://www.msktc.org/sci/factsheets/Pain. diakses tanggal 15 Februari

2014

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika

Spinal cord medicine Respiratory Management Following Spinal Cord Injury:

What You Should Know. Paralyzed Veterans of America.

http://www.learnicu.org/docs/guidelines/cspmrespiratorymanagement.pd

f. diakses tanggal15 Februari 2014

Spinal cord injury. Mayo clinic staff. http://www.mayoclinic.com/health/spinal-

cord-injury/DS00460/DSECTION=symptoms. diakses tanggal 15 Februari

2014

Sylvia A. Price & Lorainne M. Wilson. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC

Symptoms of Spinal shock. Health Grades Inc.

http://www.rightdiagnosis.com/s/spinal_shock/symptoms.htm. diakses

tanggal 15 Februari 2014