limfoma maligna

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya). 1 Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit. 1 Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non- Hodgkin pada kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain. 1 3

Upload: resa-aini

Post on 31-Oct-2014

277 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

limfoma maligna tinjauan pustaka

TRANSCRIPT

Page 1: Limfoma Maligna

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam

kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi

sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya).1

Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada.

Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan

terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit.1

Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui,

tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma

Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada

kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV,

tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal

pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar

limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.1

2.2 Klasifikasi

Secara garis besar, limfoma dterbagi 4, yaitu limfoma Hodgkin (LH), limfoma non-

hodgkin (LNH), histiositosis X, Mycosis Fungoides. Dalam sebagian besar literatur, yang

dimaksud limfoma adalah LH dan LNH, sedangkan histiositosis X dan mycosis fungoides

sangat jarang ditemukan.

3

Page 2: Limfoma Maligna

2.3 Limfoma Hodgkin

2.3.1 Definisi limfoma Hodgkin

Limfoma Hodgkin dicirikan oleh pembesaran lymph nodes yang progresif dan tidak

nyeri, disertai dengan penyatuan/perlengketan antar region-region lymph nodes.2

2.3.2 Insidensi Limfoma Hodgkin

Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000 penderita per

tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita

adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat

dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara

umur 18 – 35 tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade

terakhir terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular

sklerotik pada golongan umur lebih muda. Pada anak-anak, limfoma Hodgkin merupakan lima

persen dari seluruh kejadian neoplasia.2,34

2.3.3 Etiologi Limfoma Hodgkin

Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang kurang jelas

dalam bidang ini. Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran

infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non industri,

dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur lebih muda, puncak

insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada

di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan,

(misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus

Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu

mempunyai efek predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih

belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada

patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi molecular pada persentase

4

Page 3: Limfoma Maligna

yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan

adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV

tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya

morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan kausa

langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.2,3,4

2.3.4 Patologi Limfoma Hodgkin

Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini

adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan gambaran

dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana

lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku

sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.3

2.3.5 Klasifikasi Limfoma Hodgkin

Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh adanya

varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel eosinofil, dan

histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering mempunyai susunan

nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang sedikit atau kurang luas yang

sklerotik.

Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit, eosinofil,

sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.

Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat.

Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau limfoma non-

Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L dan H

dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.

Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas. Dianggap dapat

merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak dikuatkan oleh data biologi

molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B jelas.3

5

Page 4: Limfoma Maligna

Tabel 1. Klasifikasi histopatologik morbus Hodgkin(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)3,4

Tipe utama Sub-tipe Frekuensi

Bentuk lymphocyte predominance (LP) Nodular

Difus

}5%

Bentuk nodular sclerosis (NS) 70-80%

Bentuk Mixed Cellulating (MC) 10-20%

Bentuk Lymphocyte Depletion (LD) Reticular

Fibrosis difus

}1%

Klasifikasi oleh The World Health Organization (WHO)/Revised European-American

Lymphoma (REAL)  :5

Nodular lymphocyte-predominant HL:

Limfoma Hodgkin (HL) klasik dibagi atas 4 tip :

Nodular sclerosis classic HL

Lymphocyte-rich classic HL

Mixed cellularity classic HL

Lymphocyte-depleted classic HL

2.3.6 Manifestasi Klinis Limfoma Hodgkin

Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe,

biasanya di leher. Kelenjar ini sering asimtomatik. Jika terjadi di bawah m.

sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang

bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat timbul dari

kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang keras,

teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah supraklavikula, atau

disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati halus.

6

Page 5: Limfoma Maligna

Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 20-30%

kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada 15% kasus

disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol.

Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat juga

terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi virus

lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada pembengkakan kelenjar yang

persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus cepat diadakan biopsi untuk penentuan

diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu untuk orientasi. Biopsi jaringan diperlukan

untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika ada dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi

harus disisihkan material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan DNA

untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan imunofenotipe. 2,3

2.3.7 Diagnosis Limfoma Hodgkin

Pemeriksaan untuk penentuan stadium meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan kelenjar regional, hepar dan lien.

Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik. Sel Reed Stenberg yang

merupakan bentuk histiosit (makrofag jaringan) ganas adalah temuan khas pada limfoma

Hodgkin. Pemeriksaan rontgen terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks untuk mencari kalau

ada perluasan mediastinal atau pleural. Untuk pemeriksaan perut ada dua kemungkinan, CT-scan

atau limfangiografi. Sebaiknya dimulai dengan CT-scan. Jika ini negatif, diperlukan

limfangiografi, karena kadang-kadang terdapat kelenjar yang mempunyai struktur abnormal

tetapi tidak jelas membesar, sehingga mungkin tidak terlihat pada CT-scan. Keuntungan

limfangiografi di samping itu adalah bahwa kontrasnya masih tampak 1-2 tahun, sehingga

perjalanan penyakit dapat diikuti dengan foto polos abdomen biasa.

Pengeboran tulang pada umumnya juga harus dikerjakan, dan jelas jika ada simptom B.

Tetapi, dalam hal misalnya stadium I tanpa keluhan arti diagnostiknya hanya sedikit dan

pemeriksaan itu tidak perlu dikerjakan.

Pemeriksaan isotop dengan gallium radioaktif dapat memberi gambaran mengenai

sarang-sarang di tempat lain dalam tubuh yang tidak dapat ditetapkan dengan pemeriksaan rutin

7

Page 6: Limfoma Maligna

penentuan stadium biasa. Keterandalan pemeriksaan ini masih diteliti. Jika kelenjar limfe juga

meresorbsi gallium, pemeriksaan ini dapat juga digunakan pada akhir terapi untuk mengetahui

apakah ada massa sisa, misalnya di dalam mediastinum, yang masih mengandung tumor yang

aktif. Ini mempunyai arti prognostik.

Laparotomi untuk penetapan stadium dengan splenektomi dalam periode 1970-1980

sering digunakan untuk kelengkapan pemeriksaan stadium. Ternyata bahwa pada 20-30% kasus

terdapat sarang-sarang occult di limpa dan kelenjar limfe. Digunakan terminology stadium klinik

(sebelum laparotomi) dan stadium patologik (sesudah laparotomi diikuti splenektomi). Kira-kira

20-30% penderita dalam stadium klinik I atau II ternyata sebenarnya berada dalam stadium III.

Sebaliknya 10% penderita dalam stadium III ternyata sebenarnya berada dalam stadium I atau II.

Laparotomi untuk menetapkan stadium juga menunjukkan keberatan, seperti morbiditas

operasi, mortalitas (1%) dan kenaikan kemungkinan infeksi, terutama sepsis pneumokokus. Juga

dinyatakan bahwa kemungkinan untuk leukemia sekunder menjadi lebih besar sesudah

splenektomi.

Laparotomi dengan splenektomi sebagai penetapan stadium pada waktu ini sebenarnya

sudah tidak dikerjakan lagi. Jika seorang penderita harus menjalani splenektomi diperlukan

vaksinasi pneumokokus.

Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma Hodgkin

Anamnesis Gejala-gejala B

Anamnesis keluarga

Mononukleosis infeksiosa

sebelumnya

Pemeriksaan Kelenjar-kelenjar : lokalisasi &

besarnya

Pembesaran hepar, limpa

Pemeriksaan THT pada kelenjar

leher

Pemeriksaan laboratorium LED, Hb, leukosit, trombosit

Faal hati dan ginjal

8

Page 7: Limfoma Maligna

SLDH

Pemeriksaan rontgen X-thorax

CT-scan toraks-abdomen

Limfangiogram

Pemeriksaan sumsum tulang Biopsi tulang Yamshidi

Dipertimbangkan/jika indikasi

scan ada

Gallium

Scan tulang

Biopsi hepar

2.3.8 Penetapan Stadium Limfoma Hodgkin

Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor. Dalam suatu

pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan.

Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60% penderita

penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan sampai

stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan limfoma non-

Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.Tabel 3. Pembagian stadium morbus Hodgkin 2,3,4,5

Stadium I Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak

diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio

ekstralimfatik atau organ (IE)

Stadium

II

Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi

diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ

terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi

yang sama diafragma (IIE)

Stadium

III

Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma

(III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ

(IIIE), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE).

9

Page 8: Limfoma Maligna

Stadium

IV

Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau

lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum

tulang atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.

2.3.9 Terapi Limfoma Hodgkin

Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga

berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan residif

sesudah terapi pertama.

Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan atau

dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada pembicaraan antara

radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.3

Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin

Terapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi

kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang hanya

lapangan mantel saja

- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan

radioterapi

- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan “involved

field radiation”

Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB – IV Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

10

Page 9: Limfoma Maligna

Stadium klinik I dan II3,4

Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi di atas

diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah paraaortal dan

limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah ini, seperti ternyata dari hasil

laparotomi penetapan stadium. Terapi demikian itu berlangsung 4 minggu untuk daerah mantel

dan sesudah periode istirahat 3-4 minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar limfe paraaortal dan

limpa. Dengan terapi ini ketahanan hidup bebas penyakit yang berlangsung lama adalah kira-kira

75%, ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa periode bebas penyakit 5-

7 tahun berarti penyembuhan. Residif terutama terjadi pada tahun-tahun pertama sesudah terapi.

Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II diberikan

penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal, limpa, kelenjar iliakal dan

kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat dalam lapangan penyinaran. Karena itu

dipertimbangkan pada wanita muda untuk menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran.

Jika kelainan di perut sangat voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan

radioterapi.

Ada beberapa perkecualian terhadap garis pedoman standar ini. Dalam hal-hal tertentu

hanya dapat dipertimbangkan penyinaran lapangan mantel, misalnya pada stadium I terbatas

pada wanita-wanita, dengan lokasi tinggi di leher. Pengalaman menunjukkan bahwa lokasi occult

di dalam perut, jadi residif disitu, jarang terdapat. Ada 3 golongan penderita dalam stadium

klinik I dan II yang untuknya radioterapi saja tidak memberi hasil yang optimal. Kelompok

pertama terdiri atas penderita yang mempunyai mediastinum sangat lebar (lebar mediastinum

misalnya > 1/3 diameter toraks, diukur setinggi vertebra torakal 5-6). Penderita ini sering

mendapat residif di paru atau dalam mediastinum jika hanya diberikan radioterapi saja. Dalam

hal ini lebih dipilih kombinasi kemoterapi dan radioterapi.

Golongan kedua terdiri atas penderita yang meskipun dalam stadium II mempunyai

berbagai lokalisasi kelenjar limfe, misalnya bilateral di leher, mediastinum atau aksila.

Pengalaman menunjukkan bahwa pada penderita yang diberikan radiasi saja sering (40-50%)

11

Page 10: Limfoma Maligna

timbul residif, juga kalau perut atas ikut diberi sinar. Juga laju endap darah yang tinggi atau umur

lebih dari 50 tahun tampaknya memperbesar kemungkinan residif.

Golongan ketiga terdiri atas wanita muda. Ada laporan bahwa penyinaran lapangan

mantel yang diberikan pada wanita antara 15-25 tahun, sesudah 10-15 tahun memberikan

kemungkinan karsinoma payudara yang meningkat. Ini menjadi alasan bagi kelompok ini untuk

di terapi dengan kemoterapi dalam kombinasi dengan penyinaran terbatas, dengan sebagian besar

menghindari payudara.

Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara inisial harus

diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun akhir ini pada umumnya ada

tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa faktor resiko tambahan diterapi dengan

kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat

penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul

masalah kardial.

Dalam hal ini dipilih kombinasi kemoterapi, dengan efek samping relatif sedikit, dan

radioterapi terbatas pada daerah yang terkena. Sementara sebaiknya kombinasi ini tidak

digunakan dahulu di luar penelitian.

Stadium IIIA3,4

Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang mungkin, misalnya

dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di limpa atau

perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi

“total node”). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini

diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB – IV.

12

Page 11: Limfoma Maligna

Stadium IIIB – IV3

Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi. Skema MOPP yang telah lama

sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-

1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini

kemungkinan penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja. Persentase remisi komplit

adalah 80%, dengan 60% kemungkinan penyembuhan.

Sesudah periode istirahat biasanya 2 minggu seri berikutnya diberikan, dengan kadang-

kadang mengatur kembali dosisnya atas dasar jumlah leukosit dan trombosit. Mengenai lamanya

terapi berlaku aturan bahwa diberikan terapi sampai tercapai remisi komplit, diteruskan dengan 2

terapi konsolidasi. Jika cepat terjadi remisi ini berarti 6 seri, jika tidak, menjadi 8 seri. Lebih

lama dari ini tidak ada artinya.

Pertanyaannya adalah apakah ada artinya bila pada kemoterapi diberikan penyinaran

tambahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Ini tidak seluruhnya jelas.

Kemungkinan residif lokal di daerah yang disinar dapat diperkecil, tetapi belum jelas dibuktikan

bahwa kemungkinan kurasi menjadi lebih baik.

Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada umumnya lebih

baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek akut yang terjadi (misalnya

nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek

samping yang timbul kemudian. Pada terapi MOPP pada laki-laki terjadi sterilitas yang menetap

dalam persentase yang tinggi. Sebaiknya sebelum mulai terapi harus dibicarakan dengan

penderita resiko infertilitas dan kemungkinan pembekuan spermanya. Meskipun pada terapi

MOPP/ABV resikonya lebih kecil, disini juga harus dilakukan pembekuan sperma. Pada wanita

harus diperhatikan kemungkinan amenorrhea jika mereka lebih tua daripada 25-30 tahun. Pada

wanita lebih muda kemungkinan cukup besar bahwa siklus dan fertilitasnya tetap utuh.

Tampaknya lebih mungkin bahwa pada laki-laki maupun wanita fertilitas lebih dapat

dipertahankan pada terapi ABVD.

Selanjutnya ada resiko terjadinya tumor kedua seperti leukemia sekunder dan limfoma

non-Hodgkin. Kemoterapi memegang peran dalam hal ini. Terapi MOPP terkenal tidak baik

13

Page 12: Limfoma Maligna

dalam hal terjadinya leukemia sekunder. Kemungkinannya adalah 5% sesudah 10 tahun.

Nitrogen mustard, suatu zat pengalkil tampaknya merupakan penyebab terbesar. Ini juga menjadi

alasan bahwa akhir-akhir ini lebih disukai skema-skema dengan mengurangi obat pengalkil atau

sama sekali tidak, seperti MOPP/ABV atau ABVD.

Tabel 5. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin

Dosis

(mg/m2)

Hari

ke-

1 5 8 15

MOPP

Nitrogen

mustard

Vinkristin

Procarbazine

Prednisone

6

1,4

100

25

i.v.

i.v.

p.o.

p.o.

+ +

+ +

—————————

—————————

ChlVPP

Chlorambusil

Vinblastin

Procarbazine

Prednisone

6

6

100

25

p.o.

i.v.

p.o.

p.o.

—————————

+ +

—————————

—————————

ABVD

Adriamisin

Bleomisin

Vinblastin

DTIC

25

10

6

250

i.v.

i.v.

i.v.

i.v.

+ +

+ +

+ +

+ +

MOPP/ABV

Nitrogen

mustard

Vinkristin

Procarbazine

Prednisone

6

1,4

100

40

35

i.v.

i.v.

p.o.

p.o.

i.v.

+

+

——————

—————————

+

14

Page 13: Limfoma Maligna

Adriamisin

Vinblastin

Bleomisin

6

10

i.v.

i.v.

+

+

CEP

CCNU

Etoposid

prednimustin

80

100

80

p.o.

p.o.

p.o.

+

———

———

Keterangan : + dosis sekali

— diminum tiap hari berkelanjutan

Penanganan Residif2,3

Jika penderita hanya disinar pada terapi pertama dan kemudian mengalami residif, maka

dia harus ditangani dengan kemoterapi. Hasil-hasilnya dapat disamakan dengan penderita yang

dalam instansi pertama ditangani dengan kemoterapi. Pada residif sesudah kemoterapi dengan

atau tanpa radioterapi, kebijaksanaan ditentukan oleh interval akhir terapi sebelumnya dan

residifnya.

Prognosis penderita dengan residif selama atau segera sesudah (kurang dari 1 tahun)

akhir kemoterapi pertama adalah buruk. Terapi dengan skema lain yang disebut skema non cross

resistant, ditambah dengan radiasi jika memungkinkan, memberi 20% kemungkinan ketahanan

hidup lebih lama pada residif dini. Jika penderita diterapi dengan MOPP/ABV dan selama atau

segera sesudah itu mendapat residif, akan lebih sukar lagi untuk menemukan terapi lini kedua,

karena hampir semua obat yang aktif telah terpakai dalam skema ini.

Jika residif timbul belakangan ternyata dengan kemoterapi yang sama atau dengan

alternatif yang non cross resistant, ditambah dengan radioterapi jika masih memungkinkan, dapat

dicapai remisi jangka panjang pada 30-40% penderita.

Baik untuk residif dini maupun jangka setengah panjang sedang diadakan penelitian

mengenai nilai kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi sumsum tulang autolog (ABMT).

Prinsipnya adalah diambil sumsum tulang dan dibekukan. Kemudian penderita diberi kemoterapi

15

Page 14: Limfoma Maligna

yang biasa dipakai untuk mencapai remisi sebaik mungkin, kemudian diadakan intensifikasi

dengan kemoterapi dosis tinggi, dengan reinfusi sumsum tulang yang tersimpan untuk

memperpendek periode pansitopenia. Tahun-tahun terakhir didapat banyak pengalaman dalam

hal ini. Sedang diadakan penelitian acak untuk menunjukkan golongan penderita mana yang

dengan prosedur demikian itu mendapat kenaikan kemungkinan kesembuhan dibanding dengan

terapi standar.

Perkembangan yang lebih baru sebagai pengganti sumsum tulang adalah sel induk perifer

(PSC) dipanen dari darah dan dikembalikan pada penderita. Sel-sel induk ini dapat dimobilisasi

dengan satu kuur kemoterapi dengan memberikan G-CSF (Granulocyte stimulating factor). Efek

tindakan ini adalah bahwa sesudah penurunan singkat jumlah sel darah putih dalam darah perifer,

jumlah itu meningkat lagi dengan penambahan sel muda (diantaranya sel induk dengan CD34-

positif). Ini melalui leukoferesis dapat dikumpulkan dan dibekukan. Jika kemudian sel induk itu

diberi dosis tinggi kemoterapi dan diinfuskan, dengan cepat akan terjadi perbaikan nilai darah

perifer lagi. Perbaikan ini umumnya lebih cepat daripada jika sumsum tulang yang dikembalikan.

Pada residif yang timbul sesudah waktu lama, artinya lebih lama daripada 5-7 tahun

sesudah akhir kemoterapi pertama, pada umumnya diusahakan dengan kemoterapi yang sama,

atau variannya, dengan tambahan radioterapi untuk menginduksi remisi kedua. Ini dapat berhasil

pada residif lambat. Dalam hal ini orang tidak akan tergesa-gesa memberikan dosis tinggi

kemoterapi diteruskan dengan ABMT. Tindakan ini baru akan dilakukan pada residif kedua.

Skema yang dipakai pada residif lambat atau pada situasi paliatif adalah skema CEP yang

diberikan per oral.

Tabel 6. Pilihan terapi residif pada morbus Hodgkin3

Terapi residif

Sesudah

radioterapi

Kemoterapi, seperti pada penderita yang tidak

diterapi sesudah kemoterapi

Interval pendek Kemoterapi lain dengan obat-obat yang tidak dipakai

sebelumnya, dengan radioterapi dalam penelitian;

kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT

16

Page 15: Limfoma Maligna

Interval panjang Kemoterapi sama atau lain, jika mungkin dengan

radioterapi dalam penelitian kemoterapi dosis tinggi

dengan ABMT atau PSCT

2.4 Limfoma Non-Hodgkin

2.4.1 Definisi Limfoma Non-Hodgkin

Limfoma Non-Hodgkin (NHL) adalah neoplasia dari system limfatik dan sel-sel prekursornya

dengan pengaturan proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis yang terganggu.2

2.4.2 Insidensi Limfoma Non-Hodgkin

Insidensi puncak terdapat di atas 40 tahun dan untuk berbagai subtipe bahkan di atas 60

tahun. Median umur penderita limfoma non-Hodgkin adalah 50 tahun. Tetapi ada beberapa tipe,

yaitu NHL derajat tinggi, yang juga (dan terutama) terdapat pada umur anak dan remaja muda.

Insidensinya adalah 6 per 100.000.3,6

Insidensi NHL lebih sedikit dianding Limfoma Hodgkin, maka angka kejadian NHL pun

kurang dari 5% dari seluruh keganasan pada anak. Angka kejadian pada laki-laki lebih banyak

disbanding perempuan, yaitu 3:1.4

2.4.3 Etiologi Limfoma Non-Hodgkin

Etiologi NHL sebagian besar belum diketahui. Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus

tampaknya memegang peran. Yang paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr

(EBV). Kaitan langsung untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik)

pada anak-anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV, infeksi

malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14), yang menyebabkan

17

Page 16: Limfoma Maligna

berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV dapat ditunjukkan dalam berbagai

tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis

NHL ini jauh kurang jelas daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.3,4,7,8

HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada hubungan

dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah Karibia. Di Eropa, virus ini

tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di samping infeksi virus imunosupresi yang lama

merupakan faktor etiologi yang lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti

misalnya pada ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi

imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini mendapat limfoma sel-

B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih banyak diketahui mengenai peran

onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini

adalah bahwa bagian kromosom spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor

immunoglobulin atau sel T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa

disini justru terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu kebetulan. Dalam

perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses pengaturan kembali pada niveau

DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai komponen gen pada kromosom.

Pada proses ini terjadi sementara patah kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam

kromosom asli malahan dapat juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain.

Hasilnya adalah suatu translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi

dan teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut di atas, dimana satu dari

gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke onkogen c-myc pada

kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi hebat. Translokasi t(8; 14) secara spesifik

terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B

derajat tinggi.2,3,8

Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang terdapat dalam kira-

kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe yang berasal dari ini). Onkogen

bcl-2 yang bersangkutan dengan ini menyebabkan sentrosit dalam keadaan normal mempunyai

jangka hidup sangat terbatas, dapat hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut

kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada terjadinya tipe NHL

18

Page 17: Limfoma Maligna

ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen dapat menstimulasi proliferasi maupun menghambat

kematian sel. Kedua faktor itu dapat menimbulkan replikasi sel neoplastik.3,6

2.4.4 Patologi Limfoma Non-Hodgkin

2.4.4.1 Pembagian Histologik

Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen dengan

spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai kelainan indolen dengan

perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan waktu dikembangkan berbagai usaha untuk

mendapatkan klasifikasi NHL yang dapat diyakini dan dapat direproduksi. Semula klasifikasi ini

didasarkan atas sifat-sifat morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan kriteria

imunologik dan biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran yang lebih tepat mengenai

tipe sel dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa pada umumnya digunakan klasifikasi Kiel, di

Amerika Serikat kebanyakan klasifikasi menurut Lukes dan Collins dan kadang-kadang juga

menurut Rappaport. Karena dengan ini perbandingan hasil terapi dan prognosis mendapat

banyak kesukaran, pada tahun 1982 dikembangkan Working Formulation (WF). Ini bukanlah

suatu sistem klasifikasi baru melainkan suatu kompromi berdasarkan empiri klinik yang dapat

membedakan entities dengan implikasi prognostik.2,3

Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi menjadi 2, yaitu NHL

limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk antibodi

(prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk

aktif.

Dibedakan 3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%) dan tinggi

(20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi Dorfman, Lukes, dan

Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum dipakai di Amerika Serikat ini didasarkan

atas pola pertumbuhan dan tipe sel. Kriteria imunologik, yang antara lain membedakan antara

tipe sel-B dan sel-T, belum dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF adalah dalam

kenyataan bahwa WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik untuk perilaku klinis malignitas

ini. Karena itu, sistem ini merupakan dasar untuk tindakan terapeutik.3

19

Page 18: Limfoma Maligna

Konsep klasifikasi Kiel berdasar atas perbandingan dengan pertumbuhan sel-B dan sel-T

normal. Limfoma non-Hodgkin dianggap sebagai lawan maligna stadium spesifik dalam

pertumbuhan ini dan dengan itu mempunyai fenotipe yang cocok (morfologi dan pola penanda).

Terutama dalam hal NHL sel-B ini menyebabkan pengenalan entities biologic yang disebut

penyakit limfoma. Kepentingannya adalah pertama bahwa dalam golongan NHL dengan derajat

malignitas yang sama dapat dibuat prediksi mengenai kelakuan tumornya dalam arti lokalisasi

tumor yang diharapkan (lien, sumsum tulang, ekstranodal, susunan saraf sentral) dan

kemungkinan terhadap relaps. Kedua, cara klasifikasi demikian merupakan dasar yang baik

untuk penelitian medik biologik dalam lapangan non-Hodgkin. Karena itu, di Amerika Serikat

makin besar antusiasme untuk penanganan demikian. Hal ini belakangan ini menyebabkan usul

bersama hematopatolog Eropa dan Amerika untuk memodernisasi klasifikasi Kiel, berdasar atas

kesatuan biologik yang didefinisikan dengan menggunakan morfologi, imunohistologi,

sitogenetika, dan biologi molekuler. Klasifikasi baru ini berbeda dengan klasifikasi Kiel

sedemikian rupa, bahwa tekhnik pemeriksaan modern diimplementasikan dalam diagnostik NHL

dan bahwa juga NHL ekstranodal, yang dalam klasifikasi Kiel tidak dapat dimasukkan dengan

baik padahal kira-kira merupakan 40% semua NHL, secara eksplisit diikutsertakan.3

Pengenalan entities biologi diharapkan dapat menuntun ke pengembangan terapi yang

ditujukan pada perilaku klinis spesifik penyakit limfoma individual.

Pada anak dengan NHL, lebih dari 90% tumor adalah bagian dari 3 subtipe histological

berikut :4

1. Limfoblastik limfoma (30%)

2. Small non-cleave cell limfoma (40-50%)

3. Large Cell Lymphoma (20-25%)

2.4.4.2 Teknik Tambahan pada Pemeriksaan Histologik

Di samping kriteria morfologik untuk menentukan diagnosis NHL, banyak digunakan

pemeriksaan imunohistokimiawi. Kenyataan bahwa malignitas itu sifatnya klonal, artinya terjadi 20

Page 19: Limfoma Maligna

dari satu sel yang tertransformasi, dapat digunakan untuk diferensiasi antara proliferasi reaktif

dan NHL. Pada limfoma sel B dalam hal ini dapat diperhatikan restriksi rantai ringan. Artinya

bahwa satu NHL sel B hanya memproduksi satu tipe rantai ringan, kappa, atau lambda. Ini

ditunjukkan dengan tekhnik imunohistokimiawi. Dengan penggunaan panel zat penanda yang

karakteristik untuk berbagai stadium perkembangan sel B dan sel T lebih lanjut dapat dibedakan

antara NHL sel B dan sel T dan antara berbagai subtipe NHL.

Pemeriksaan imunohistokimiawi, dalam banyak hal harus dikerjakan atas vriescoupe.

Jadi sangatlah penting bahwa patolog anatomi menerima material yang dikirim (kelenjar limfe,

material biopsi lambung, dan lain-lain) tidak terfiksasi, jadi tidak dalam formalin. Juga dengan

menggunakan teknik biologi molecular dapat ditunjukkan monoklonalitas, tipe sel-B dan sel-T

dari proliferasi limfoid. Disini diperhatikan penyusunan (kembali) gen-gen reseptor

immunoglobulin dan sel-T. juga dengan cara ini dapat diperiksa translokasi yang terdapat pada

berbagai tipe NHL.3

2.4.5 Manifestasi Klinis Limfoma Non-Hodgkin

NHL kebanyakan menampakkan diri sebagai pembesaran kelenjar limfe. Ini dapat terjadi

pada semua stasiun kelenjar. Kelenjar limfe biasanya tidak nyeri dan ukurannya dapat bervariasi

dari 1-2 cm sampai paket yang lebih besar. Pada limfoma folikular pembengkakan kelenjar limfe

kadang-kadang sudah ada beberapa tahun tanpa mengalami banyak perubahan dalam ukurannya.

Sekitar 20-30% dari NHL mulai ekstranodal, keluhan bervariasi tergantung pada organ

yang terlibat. Limfoma ekstranodal antara lain dapat dijumpai di kulit, traktus digestivus, tulang,

kelenjar tiroid dan testis.3

Pada anak NHL paling banyak terjadi di dada dan abdomen. Seluruh tumor NHL tumbuh

dengan cepat dan memiliki kecendrunan untuk terjadi penyebaran sistemik. Seluruh jaringan

limfatik dapat terlibat, termasuk lymph nodes, Peyer’s patches, timus, Waldeyer’s ring, organ

pelvis, hati, dan limpa. Hampir pada 75% anak dengan limfoblastik limfoma terdapat massa

mediastinum anterior yang besar dan dapat mengkompresi trakea atau menyebabkan obstruksi

vena kava superior. Gejala yang timbul di antaranya dyspnea, wheezing, stridor, bengkak pada 21

Page 20: Limfoma Maligna

leher dan kepala, dan kadang disfagia. Small non-cleaved cell limfoma bermanifestasi sebagai

tumor abdomen yng tumbuh dengan cepat. Bagian-bagian tubuh lain yang juga dapat terlibat

antara lain testis, sinus nasal, tulang, system saraf pusat, kulit, dan lain-lain.4

2.4.6 Diagnosis Limfoma Non-Hodgkin2,3,4

Diagnosis ditetapkan dengan pemeriksaan material biopsi kelenjar limfe. Pungsi

histologik dapat mencurigakan untuk diagnosis, tetapi histologi diperlukan untuk klasifikasi yang

tepat dan menentukan subtipenya, yang mempunyai konsekuensi terapeutik penting.

Sesudah diagnosis NHL ditetapkan, perlu dijalankan penetapan stadiumnya. Pembagian

stadium yang digunakan identik dengan yang digunakan pada penyakit Hodgkin. Di samping

anamnesis dan pemeriksaan fisik, dengan perhatian khusus untuk organ limfoid antara lain juga

lingkaran Waldeyer, pemeriksaan inisial ini juga meliputi analisis darah (gambaran darah, fungsi

hepar, fungsi ginjal dan spektrum protein). Jelas jika ada kelenjar di leher ikut serta dalam proses

itu diperlukan pemeriksaan THT. Pemeriksaan rontgen meliputi foto toraks dan CT-scan perut.

CT-scan pada NHL praktis menggantikan limfangiografi.

Untuk penetapan stadium pengeboran tulang penting, terutama pada limfoma folikular,

hasilnya 60-70% dari kasus positif. Pada limfoma difus sel besar hasilnya lebih rendah (30%).

Karena itu pada limfoma folikular, penyakitnya dalam 70-80% kasus telah berada dalam stadium

III atau IV pada presentasi pertama.

Limfoma limfoblastik dan limfoma Burkitt seperti LLA, dapat menunjukkan perluasan

meningeal, pasti jika sumsum tulangnya positif. Untuk ini diperlukan pemeriksaan liquor.

Pada NHL dapat terjadi hemolisis autoimun dan trombositopenia. Pada anemia atau

trombositopenia yang tidak jelas sebabnya harus diingat akan hal ini. Kadang-kadang terdapat

juga paraproteinemia.

Pada NHL yang primer terlokalisasi di organ dalam prinsipnya dilakukan penetapan

stadium yang sama, ditambah dengan pemeriksaan organ yang bersangkutan. Pada limfoma

22

Page 21: Limfoma Maligna

lambung sering didapatkan lokalisasi tonsil, dan juga kebalikannya. Jadi pemeriksaannya harus

diarahkan ke sini.

2.4.7 Terapi Limfoma Non-Hodgkin

2.4.7.1 Terapi Limfoma Derajat Malignitas Rendah

Sekitar 25-30% NHL termasuk limfoma derajat malignitas rendah. Dari golongan ini

limfoma folikular sentroblastik-sentrositik merupakan bagian terbesar. Sebagian besar limfoma

ini berada dalam stadium III dan IV. Yang dibicarakan di bawah terutama mengenai tipe ini.

Untuk stadium I dan II yang frekuensinya kecil, radioterapi adalah terapi yang diperlukan.

Dengan ini, 70% penderita dalam stadium I dan 50% dalam stadium II sembuh. Penelitian

mengenai nilai kemoterapi ajuvant sesudah radioterapi tidak menunjukkan perbaikan ketahanan

hidup.2,3

Terdapat problem mengenai terapi stadium III dan IV. Limfoma folikular mempunyai

perjalanan yang sedikit agresif, tetapi kemungkinan penyembuhannya terbatas. Prosesnya mudah

didesak kembali, tetapi tidak dapat dihilangkan karena masih ada sarang-sarang yang

ketinggalan, antara lain di dalam sumsum tulang. Jika tercapai remisi masih dapat timbul residif.

Di samping itu, penderita kebanyakan lebih tua. Bisa dipilih “tunggu dan amati”, artinya baru

dimulai terapi jika jelas ada progresi. Juga dapat dipilih monokemoterapi yang tidak banyak

memberatkan dalam bentuk klorambusil, atau untuk kemoterapi kombinasi dalam bentuk seri

CVP. Penyinaran tubuh total, dengan menyinari seluruh tubuh dengan dosis rendah, juga

merupakan suatu alternatif.

23

Page 22: Limfoma Maligna

Tabel 7. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada limfoma non-Hodgkin3

Dosis

(mg/m2)

Hari

ke-

1 2 3 4 5 8 15

CVP

Vinkristin

Siklofosfamid

Prednisone

1,4

300

50-100

p.o.

p.o.

p.o.

+

——————

——————

CHOP

Siklofosfamid

Prednisone

Vinkristin

Prednisone

750

50

1,4

60-100

i.v.

i.v.

i.v.

p.o.

+

+

+

——————

CHVmP/VCR

bleo

Siklofosfamid

Adriamisin

VM 26

Prednisone

Vinkristin

Bleomisin

600

50

60

60

1,4

10

i.v.

i.v.

i.v.

p.o.

i.v.

i.v.

+

+

+

—————–

+

+

Keterangan : + dosis sekali

— diminum tiap hari berkelanjutan

Pada massa tumor yang kecil dapat diadakan periode observasi, yang pasti pada penderita

yang lebih tua, dan bila terjadi progresi dapat dimulai dengan klorambusil. Tetapi jika yang

dihadapi paket kelenjar limfe yang besar yang memberi keluhan, maka akan diinginkan regresi

yang lebih cepat dan akan dipilih CVP. Lama terapi ditentukan oleh saat dicapainya remisi baik,

kemudian ditunggu. Pada residif, terapi diulang.

24

Page 23: Limfoma Maligna

Peran intereferon pada terapi primer pada tahun-tahun akhir ini diteliti. Sebagai adjuvant

yang diberikan pada waktu terapi primer interferon memberi perbaikan ketahanan hidup bebas

penyakit, tetapi tidak untuk lamanya ketahanan hidup. Tetapi, hasilnya belum sedemikian

sehingga penambahan interferon dapat menjadi standar. Efek samping adalah rasa lelah dan

batuk pilek.

Pada NHL derajat malignitas rendah lama remisi pada umumnya tidak panjang. Sesudah

5 tahun 40% penderita masih dalam remisi. Ketahanan hidup adalah 70% sesudah 5 tahun, dan

50% sesudah 10 tahun.

Kalau residif terjadi lama sesudah terapi pertama dan bersifat lokal, dapat

dipertimbangkan radioterapi lokal. Pada residif yang lebih tergeneralisasi, kebijaksanaan

tergantung pada intervalnya. Pada interval yang lebih lama (lebih dari 1-2 tahun) dapat dipilih

terapi yang sama seperti pada penanganan pertama, pada interval yang singkat akan dipilih terapi

yang lebih berat, misalnya CVP sesudah leukeran, atau CHOP sesudah CVP.3,9

Tahun-tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa obat baru yang pada NHL derajat

rendah memberi hasil yang lebih baik. Fludarabin, suatu antimetabolit dalam lini kedua memberi

30% remisi baik dan dalam lini pertama bahkan 60%. Dapat diharapkan bahwa obat ini akan

menduduki tempat yang penting dalam terapi limfoma tipe ini. Jika digunakan dalam lini kedua

atau ketiga, ada kemungkinan infeksi oportunistik, karena limfosit normal juga turun jumlahnya.

Prognosis tipe limfoma ini dalam tahun-tahun terakhir tidak tampak adanya kemajuan.

Introduksi dosis tinggi kemoterapi dengan transplantasi sumsum tulang atau sel induk pada

limfoma derajat intermedier atau derajat tinggi menimbulkan pertanyaan apakah ini juga pada

limfoma derajat rendah dapat memberikan hasil. Penelitian untuk ini sedang dilakukan.

Limfoma masa anak sangat responsif terhadap kemoradioterapi biasa, dengan angka

ketahanan hidup bebas-penyakit jangka-lama berkisar 60-75% untuk LNH.9

25

Page 24: Limfoma Maligna

2.4.7.2 Terapi Limfoma Derajat Malignitas Intermedier dan Tinggi3,6

Pada terapi limfoma derajat melignitas intermedier dan tinggi akhir-akhir ini tampaknya

ada perkembangan penting, tetapi ternyata harapan tidak menjadi kenyataan. Jika disebutkan

limfoma derajat intermedier dan tinggi perlu dijelaskan bahwa di dalam kebanyakan publikasi,

dan juga apa yang disebutkan di bawah ini limfoma limfoblastik tidak termasuk dalam kategori

ini. Limfoma ini biasanya ditangani sebagai LLA. Saat ini, mengenai terapi tidak ada perbedaan

antara tipe sel-T dan sel-B.

Mengenai stadium I, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa dengan

radioterapi saja dalam 60-70% kasus dapat diperoleh kesembuhan. Jika dalam stadium I limfoma

lebih besar dari 5 cm maka radioterapi saja tidak cukup. Sebagian lain cenderung semua limfoma

intermedier dan derajat tinggi diterapi dengan kemoterapi, tetapi radioterapi saja untuk stadium I

dengan massa kelenjar yang kecil dapat dipertahankan.

Dalam stadium II, III, dan IV, kemoterapi merupakan tindakan terpilih. Terapi standar

masih tetap kemoterapi CHOP (siklofosfamid, adriamisin, vinkristin, prednisone). Dengan ini

kira-kira 60% kasus dapat mencapai remisi komplit, dengan 30% ketahanan hidup lebih lama,

atau dalam hal ini kesembuhan.

Sejumlah besar studi dari berbagai institut dengan menggunakan skema kemoterapi yang

lebih baru dan lebih intensif, belakangan ini menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan dengan

terapi CHOP. Kemoterapi baru ini berbeda dengan seri CHOP karena diberikan lebih banyak

obat sebagian besar dalam dosis yang lebih tinggi dan juga dengan interval yang lebih pendek.

Contoh adalah m-BACOD dan pro-MACE-MOPP. Terobosan yang paling konsekuen dalam

lapangan ini adalah kombinasi MACOP-B. Pada cara ini kemoterapi diberikan 12 minggu

kontinyu, tanpa terputus dan hampir sama sekali tanpa memperhitungkan angka-angka darah. Di

samping itu, diberikan profilaktik antibiotik dan kadang-kadang pemberian trombosit berkali-

kali. Persentase remisi komplit adalah 84 dan persentase ketahanan hidup lama adalah 69. Tetapi

ini merupakan penelitian yang tidak dirandomisasi, berasal dari satu institut.

Belakangan dapat dibaca hasil penelitian besar di Amerika yang dirandom terhadap 899

penderita, yang di dalamnya dibandingkan beberapa skema baru dengan terapi standar CHOP.

26

Page 25: Limfoma Maligna

Tidak didapat perbedaan, baik dalam kemungkinan remisi, maupun dalam ketahanan hidup

bebas sakit, atau dalam ketahanan hidup. Ketahanan hidup bebas penyakit yang panjang adalah

antara 40-45% untuk semua skema yang diteliti. Yang jelas adalah justru adanya lebih banyak

morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi sebagai akibat efek samping.

Selanjutnya ternyata bahwa prognosis pada tipe limfoma ini tergantung pada beberapa

cirri inisial, yang disebut faktor prognostik. Telah dibuat analisis luas mengenai faktor-faktor

prognostik ini pada limfoma derajat intermedier dan derajat tinggi. Faktor prognostik yang

terepenting adalah umur (di atas atau di bawah 60 tahun), stadium (I-II versus III-IV), jumlah

lokalisasi ekstranodal (0-1 terhadap lebih dari 2), performance status (0-1 versus 2-3) dan kadar

SLDH (normal dibandingkan dengan abnormal). Ketahanan hidup jangka panjang dapat

bervariasi dari 70% pada faktor tidak menguntungkan 0-1, sampai 20-30% pada adanya faktor

tidak menguntungkan 4 atau 5, tidak tergantung pada terapi. Jadi, sangat mungkin bahwa hasil

baik yang pertama disebutkan dari skema yang lebih intensif itu berdasar atas kriteria seleksi.

Jadi, sementara terapi CHOP yang lama tetap dipertahankan.

Juga pada NHL diterapkan kemoterapi dosis tinggi dengan pemberian kembali sumsum

tulang atau sel induk perifer. Dengan ini dapat dicapai remisi pada keadaan yang dengan terapi

konservatif tidak dapat diharapkan.

Kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT dengan reinfusi sel induk perifer antara lain

diterapkan pada penderita dengan ciri-ciri yang tidak menguntungkan (volume besar, LDH

tinggi), sebagai konsolidasi lini pertama, dan pada penderita dengan residif pertama atau kedua

sesudah mereka dikembalikan lagi di dalam remisi sebaik mungkin. Ternyata bahwa tidak ada

artinya menerapkan terapi ini pada penderita yang telah diobati dengan segala cara atau pada

penderita dengan progresi selama kemoterapi standar. Indikasi tepat untuk cara penanganan ini

belum seluruhnya pasti dan studi lebih lanjut sedang dilakukan.

Pada penderita lebih tua (1/3 adalah lebih tua daripada 70 tahun) pada waktu ini sedang

diteliti apakah dengan varian terapi CHOP yang lebih dapat ditoleransi dapat dicapai hasil yang

sama: kurang toksisitas, tanpa kehilangan keberhasilan. Yang digunakan adalah skema CNOP,

yang di dalamnya adriamisin dari CHOP diganti dengan mitoksantron (Novantrone) yang kurang

27

Page 26: Limfoma Maligna

toksisitasnya, meskipun dalam beberapa studi hasilnya tampak kurang dibandingkan dengan

CHOP.

Tempat radioterapi pada penanganan stadium II, III, dan IV limfoma derajat intermedier

dan tinggi tidak jelas. Tidak tampak bahwa radioterapi membantu perbaikan ketahanan hidup,

tetapi residif lokal dapat dicegah. Dalam publikasi yang paling akhir, radioterapi tidak diberikan

sebagai bagian tetap dari terapi.

Jika penyakit ini sesudah kemoterapi lini pertama kembali lagi, sulit mencapai remisi

baru untuk jangka panjang dengan bentuk lain standar kemoterapi. Pada golongan penderita

dengan residif pertama atau kedua yang sensitif untuk kemoterapi, sementara dapat ditunjukkan

bahwa kemoterapi dosis tinggi dengan bantuan sumsum tulang memperbaiki prognosis

dibanding dengan terapi standar.

2.5. Bentuk Khusus Limfoma Maligna

Jarang pada dewasa, tetapi lebih frekuen pda anak adalah NHL limfoblastik dan limfoma

burkitt. Limfoma limfoblastik pada usia dewasa biasanya diterapi sebagai leukemia limfatik

akut, termasuk profilaksis meningeal. Limfoma burkitt disamping ciri-ciri morfologik dan

kromosomal juga mempunyai sifat-sifat klinis spesifik: limfoma ini sering menunjukkan

pertumbuhan cepat, lokalisasinya ekstranodal. Tempat preferensi adalah abdomen yaitu sudut

ileosekal. Kadang-kadang menampakkan diri sebagai perut akut sebagai akibat invaginasi. Untuk

tipe limfoma ini sering digunakan pembaian stadium lain daripada klasifikasi Ann Arbor.3,10

Limoma burkitt terbagi 2, yaitu limfoma burkitt endemic dan sporadic. Tipe endemic ini terjadi

di Afrika. Berhubungan erat dengan virus Epstein Barr (EBV). Umumnya melibatkan ulang

rahang, yang sangat jarang terjadi ada tipe sporadic. Tipe ini juga umumnya melibatka abdomen.

Sedangkan tipe sporadic terjadi di bagian dunia lain di luar Afrika. Pengruh EBV tidaklah sekuat

jenis endemic meskipun bukti infeksi EBV didapatkan pada satu dari lima pasien. 90% kasus

melibatkan abdomen.10

28

Page 27: Limfoma Maligna

DAFTAR PUSTAKA

1. Limfoma Maligna. Diakses dari http://doctorology.net/?p=368. Diunduh tanggal 15

Februari 2012

2. Imbach P. Pedriatic Oncolgy A comprehensive Guide. 2006. Springer. Heidelberg. Hal

61-69

3. C J H van de Velde, 1999. Onkologi. Edisi 5. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta. Hal 677-696

4. Arensman, Robert M. Pediatric Surgery. 2000.Landes Bioscience. Texas. Hal 211-219

5. Hodgkin Lymphoma Staging. Diakses dari

http://emedicine.medscape.com/article/2007081-overview. Diunduh tanggal 15 Februari

2012

6. Limfoma Non-Hodgkin. Diakses dari http://doctorology.net/?p=380. Diunduh tanggal 15

Februari 2012

7. De Jong W, Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal

137, 381

8. Diagnostic dan Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin. 2004. Dalam Dexa Media. No

4. Vol 17. Jakarta. Hal 143-146

9. Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta. Hal 742-743

10. Burkitt lymphoma. Diakses dari

http://lymphoma.about.com/od/nonhodgkinlymphoma/p/burkitts.htm. Diunduh tanggal

15 Februari 2012

29