lapsus tht ozaena

35
BAB I PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. 1 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menunjukan perbaikan, dilakukan operasi. Biasanya diagnosis rinitis atrofi secara klinis tidak sulit. Biasanya sekret berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia). 1,2 Menurut Boies frekwensi penderita rinitis atrofi wanita : laki-laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di

Upload: tr14ni

Post on 11-Dec-2015

74 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

OZAENA

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Tht Ozaena

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya

atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Secara

klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,

sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.1 Etiologi dan patogenesis rinitis

atrofi sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Oleh karena

etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan

ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menunjukan

perbaikan, dilakukan operasi. Biasanya diagnosis rinitis atrofi secara klinis tidak

sulit. Biasanya sekret berbau, bilateral, terdapat krusta kuning kehijauan. Keluhan

subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara

pasien sendiri menderita anosmia).1,2

Menurut Boies frekwensi penderita rinitis atrofi wanita : laki-laki adalah 3 : 1.

Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia

pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.1,2 Rinitis

atrofi atau ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada

di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di

Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu

penurunan tajam dalam insidens ozaena.2,3

Page 2: Lapsus Tht Ozaena

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung

Secara anatomis, hidung terbagi atas hidung luar dan rongga dalam

hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah : pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

(hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar

dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan

ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: tulang hidung (os

nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang

kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor,

dan tepi anterior kartilago septum.4

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum

nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut

nares anterior sedangkan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang

letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut

vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.4,5

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum

dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina

perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os

palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)

dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

Page 3: Lapsus Tht Ozaena

periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa

hidung.4,5

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling

bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang

lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka

suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan

tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan

konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.4,5

Gambar 1. Anatomi kavum nasi dan konka2

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus.Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.4,5

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga

hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus

etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka

superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

sfenoid.4,5

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila

dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk

oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga

Page 4: Lapsus Tht Ozaena

hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid.

Tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-

serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os

sfenoid.4,5

Vaskularisasi

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian

bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,

diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari

foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung

di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat

pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.4

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang

disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung

mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena

di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang

berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki

katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran

infeksi sampai ke intrakranial.4

Persarafan

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.

etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari

n. oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari n. maksila melalu ganglion sfenopalatina.4 Ganglion

sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut saraf dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.

Page 5: Lapsus Tht Ozaena

petrosus superfisialis mayor, dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus.

Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior

konka media.4 Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui

lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir

pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas

hidung.4

B. Fisiologi Hidung4

Berdasarkan teori struktur, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi

fisiologis hidug dan sinus paranasal adalah :

1. Fungsi respirasi

Untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,

humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme

imunologik lokal. Udara respirasi masuk ke hidung menuju sistem

respirasi melalui nares anterior, lalu naik keatas setinggi konka media dan

kemudian turun kebawah kearah nasofaring. Aliran udara yang melalui

hidung di atur sehingga berkisar 37̊:C. Fungsi pengatur suhu ini di

mungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya

permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan

d saring di hidung oleh ; rambut (vibrisse) pada vestibulum nasi, silia,

palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-

partikel yang besar akan di kelurakan denfan reflex bersin.

2. Fungsi penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

atas septum.

Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut

lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

3. Fungsi fenotik

Page 6: Lapsus Tht Ozaena

Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau

hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

4. Reflex nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan

menyebabkan sekresi refleks bersin dan berhenti nafas. Ransang bau

tertentu dapat menyebabkansekresi kelenjer liur, lambung, dan pancreas.

C. Definisi

Rinitis atrofi merupakan penyakit kronik nonspesifik yang ditandai dengan

mukosa dan konka yang atrofi, kelainan mukosa yang menyebabkan terbentuknya

krusta, kavum nasal yang luas, anosmia, dan bau busuk. Rinitis atrofi memiliki

banyak istilah lain seperti Rinitis sika, Rinitis kering, sindrom hidung terbuka dan

ozaena.2,6,7̊

D. Epidemiologi

Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun,

terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen

(faktor hormonal). Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian

wanita:pria adalah 3:1.1 Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di

negara-negara berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah

subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa

Timur dan Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah

dengan status higiene buruk.1

E. Etiologi

Penyebab pasti dari rinitis atrofi (ozaena) belum diketahui secara jelas sampai

sekarang. Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofi dan penyakit

degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter. Namun ada

beberapa teori dan keadaan lain yang dianggap berhubungan dengan terjadinya

Page 7: Lapsus Tht Ozaena

rinitis atrofi (ozaena), yaitu :1,2

1. Infeksi oleh kuman spesifik. Kuman yang paling sering ditemukan

adalah spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman ini

menghentikan aktivitas silia normal pada mukosa hidung manusia.

Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain

Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus mucosus,

Diphteroid bacilli, dan Cocobacillus foetidus ozaena.

2. Defisiensi Fe (zat besi).

3. Defisiensi vitamin A.

4. Infeksi sekunder, misalnya sinusitis kronis.

5. Kelainan hormonal, misalnya ketidakseimbangan hormon estrogen.

6. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.

7̊. Dan lain sebagainya

F. Klasifikasi

Menurut dr. Spencer Watson (187̊5), rinitis atrofi dapat diklasifikasikan menjadi

dua, yaitu berdasarkan gejala klinis dan berdasarkan penyebab/ etiologinya.

Berdasarkan gejala klinis, rinitis atrofi dibedakan menjadi: 8

1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan

mudah ditangani dengan irigasi.

2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang

berbau.

3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis,

ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.

Sedangkan berdasarkan penyebab/etiologinya, rinitis atrofi dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 8,9

1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang

didiagnosis pereklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung,

atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella

ozenae. Dengan kata lain, rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang

Page 8: Lapsus Tht Ozaena

terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.

2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan

di negara berkembang. Rinitis atrofi sekunder merupakan komplikasi dari

suatu tindakan atau penyakit. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus,

radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi.

G. Patogenesis

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasia epitel kolumnar bersilia

menjadi epitel skuamosa atau atrofik dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat

pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran serta adanya

endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara

patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua :10

1. Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal

akibat infeksi kronik, membaik dengan efek vasodilator dari terapi

estrogen.

2. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah buruk dengan terapi

estrogen.

Sebagian besar kasus rinitis atrofi merupakan tipe I. Endarteritis di

arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa, juga akan

ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young11 mendapatkan sel

endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya

absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus

menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka

menyebabkan saluran nafas menjadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori

proses autoimun.10,11

Dobbie11 mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan

protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya

resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan

pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik

terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan

Page 9: Lapsus Tht Ozaena

juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus

akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta

yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.10,11

Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (ozaena), yaitu :11

1. Mukosa hidung berubah menjadi lebih tipis.

2. Silia hidung akan menghilang.

3. Pada epitel hidung akan terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak

bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.

4. Kelenjar hidung akan mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil),

atau jumlahnya berkurang.

H. Gejala Klinis

Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung

tersumbat, gangguan penciuman (anosmia), ingus kental yang berwarna hijau,

adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung

terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien

biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) sehingga

pasien biasanya tidak merasakannya, sedangkan orang lain yang penciumannya

normal yang biasanya akan terganggu dengan bau tersebut.1,3

Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak

ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin

lebar/ lapang, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas

lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan

hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf

pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.11,12

I. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan

rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika

krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi

media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen

Page 10: Lapsus Tht Ozaena

dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat/

telur larva (karena bau busuk yang timbul).7̊,10

Sutomo dan Samsudin10 membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 10

1. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan

berlendir, krusta sedikit.

2. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,

warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

3. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak

sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta

di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini

mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya

pertama mengenai mukosa hidung, tampak beberapa daerah metaplasia yang

kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia dan terbentuk

krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan

pendarahan.2

Atrofi tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih

besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung. Secara perlahan

keadaan ini akan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan

semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara

fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan akan semakin menyeluruh. Jaringan di

sekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka

tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta, dan iritasi mukosa

hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring, dan laring. Keadaan ini

dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi telinga tengah

kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus

lakrimalis termasuk keratitis sicca.1,2

Page 11: Lapsus Tht Ozaena

Gambar 2.(kiri) Endoscopy menunjukkan krusta kehijauan, (kanan)cavum nasi tampak lapang

J. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis,

antara lain transluminasi, foto rongen sinus paranasal, pemeriksaan

mikroorganisme dan uji resistensi kuman, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan

Fe serum dan pemeriksaan histopatologik.

CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan. Pada CT scan dapat

ditemukan :13,14

1. penebalan mukoperiosteum sinus paranasal

2. kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk

meresobsi bula etmoid dan proses “uncinate”.

3. hipoplasia sinus maksilaris

4. pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding lateral

hidung .

5. resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.

Gambar 3. CT-Scan Rinitis Atrofi13

Page 12: Lapsus Tht Ozaena

Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia

menghilang, metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng

berlapis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan

bentuknya jadi kecil.15

Gambar 4. Microphotograph menunjukkan metaplasia skuamosa15

Gambar 5. Microphotograph menunjukkan pembuluh darah melebar15

K. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.1,16

L. Diagnosis Banding

Diagnosa banding dari rhinitis atrofi adalah (1) Rinitis kronik tbc, (2) rinitis

kronik lepra, (3) rinitis kronik sifilis, (4) sinusitis.1,17̊

M. Penatalaksanaan1,2,6

Karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatan rinitis atrofi belum ada

Page 13: Lapsus Tht Ozaena

yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan mengatasi gejala.

Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau pembedahan.

Konservatif

Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi

kuman. Terapi secara paliatif dapat di lakukan dengan melakukan irigasi atau cuci

hidung untuk menghilangkan bau dan membersihkan krusta. Nasal

irrigation&douches, dengan komposisi 28.4g sodium bicarbonate (disolusi

krusta), 28.4g sodium diborate (antiseptik, bertindak sebagai bakterisidal dalam

asam dan membantu untuk membuffer bicarbonate), 56.7̊ sodium chloride (untuk

membuat larutan menjadi isotonik). Satu sendok teh campuran diatas dicampur

dengan 280ml air hangat-luke, dapat digunakan sebagai douches pada kavum

nasi untuk membersihkan krusta menggunakan disposibel 10 atau 20 cc. Dapat

diulang 3-4 kali sehari.

Saat prosedur berlangsung, pasien diminta untuk terus mengucapkan

“K,K,K…” untuk menutup nasofaringeal isthmus, sehingga resiko aspirasi jadi

semakin kecil. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi

dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring

dikeluarkan melalui mulut.

Berdasarkan studi di California, penggunaan hipertonik salin pulsasi nasal

irigasi selama tiga sampai enam minggu menunjukkan perubahan yang

signifikan pada gejala-gejala tersebut. Jika sukar mendapatkan larutan diatasm

dapat dilakukan juga dengan menggunakan 100cc air hangat, satu sendok makan

betadine (15cc), atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas

air hangat. Dapat diberikan juga vitamin A 3x50.000 unit dan preparat FE selama

dua minggu. Tetes hidung glukosa-gliserin juga dapat diadministrasikan setelah

melakukan douches. Glukosa diharapkan dapat menghambat infeksi saprofitik,

dan bakteri proteolitik, serta meningkatkan pertumbuhan flora komensal. Gliserin

disisi lain membantu sebagai lubrikan dan agen higroskopik. Efek samping dari

gliserin dapat menyebabkan iritasi. Pada Rinitis Atrofi tipe satu dapat

diberikan, estradiol dalam minyak arachis dalam bentuk obat tetes dan semprot

(100.000 unit/ml). Perlu diperhatikan, penggunaan dekongestan merupakan

Page 14: Lapsus Tht Ozaena

kontraindikasi pada rinitis atrofi karena dapat memperburuk patologis penyakit.

Pembedahan

Dilakukan jika tidak ada perbaikan setelah diberikan pengobatan

konservatif. Prinsip pembedahan pada rinitis atrofi dibagi dalam empat kelompok

besar:

1. mengurangi ukuran dari kavum nasi, untuk mengurangi turbulensi

udara dalam kavum nasi dan mencegah pengeringan mukosa serta

produksi krusta,

2. menginduksi regenerasi mukosa normal nasal dengan cara

penyempitan rongga hidung sebagian atau total, dengan implantasi,

dilakukan selama dua tahun,

3. meningkatkan lubrikasi pada mukosa nasal yang kering,

4. improvisasi vaskularisasi pada kavum nasi.

Pembedahan dengan tujuan mengurangi ukuran dari kavum nasi

pertama kali dilakukan oleh Lautenschlager, dengan cara menarik dinding lateral

nasal kearah medial, atau dinding edial dari antrum maksilaris dengan metode

Caldwell-Luc. Tindakan ini sering disebut juga “rekalibrasi fosa nasalis”.

Menginduksi regenerasi mukosa nasal dapat dilakukan dengan beberapa cara,

seperti Metode Young, disusul dengan Modifikasi Sinha, Modifikasi Gadre,

Ghosh’s vestibuloplasty., dan lainya saling berkaitan dengan metode young.

Induksi lubrikasi pada kavum nasal yang kering dapat dilakukan dengan

metode Wiitmack, dimana dilakukan implantasi duktus stensen ke antrum

maksilaris. Injeksi ganglion stellate dilakukan dengan tujuan adanya improvisasi

vaskularisasi kavum nasi.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:

1. Operasi Young

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang

baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan

menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga

tahun.

2. Operasi Young yang dimodifikasi

Page 15: Lapsus Tht Ozaena

Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3. Operasi Lautenschlager

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,

kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan

sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin.

5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack)

dengan tujuan membasahi mukosa hidung.

Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain:13

1. Simpatektomi servikal

2. Blokade ganglion Stellata

3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina

Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap

faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan. Penutupan

ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk

mengistirahatkan mukosa hidung.

N. Komplikasi

Komplikasi dari rinitis athrofi dapat berupa: perforasi septum, faringitis,sinusitis,

miasis hidung, hidung pelana.17̊

O. Prognosis17̊

Prognosis rinitis atrofi tergantung dari etiologi dan progresifitas penyakitnya,

jika cepat ditangani umumnya akan berakhir baik. Jika penyakit didiagnosa pada

tahap awal dan penyebabnya dapat dipastikan bakteri, maka terapi antimikrobial

yang adekuat serta cuci hidung yang rutin diharapkan dapat mengembalikan

fungsi hidung kembali. Jika penyakit didapati dengan gejala klinis yang parah,

tetap dicoba dengan terapi medika mentosa, dan jika tidak berhasil perlu

dipikirkan untuk melakukan tindakan bedah.

Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada

Page 16: Lapsus Tht Ozaena

pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan

dalam pengobatan.

Page 17: Lapsus Tht Ozaena

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. EP

Umur : 54 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Benteng atas

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Swasta

Waktu Pemeriksaan: Poli klinik THT RSUD dr. M. Haullusy Ambon

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 06-01-2015

B. Anamnesis

- Keluhan Utama: pilek.

- Anamnesis Terpimpin:

Pasien datang ke Poliklinik THT dengan keluhan pilek sejak 3 tahun lalu.

Keluhan dialami pada kedua lubang hidung dan hilang timbul. Ingus

berwarna putih hingga kehijauan, konsistensi cair hingga kental. Pasien

juga sering mengeluh hidung tersumbat pada kedua hidung dan terkadang

pasien sering mengeluh bau busuk pada hidung. Nyeri kepala (+) pada

seluruh bagian kepala. Riwayat alergi (-), nyeri tenggorokan (-), sesak

nafas (-), keluhan lain pada telinga (-), batuk (+) lendir berwarna putih.

- Riwayat penyakit yang sama: (-)

- Riwayat Penyakit Dahulu: Hipertensi (-), DM (-)

- Riwayat Keluarga: (-)

- Riwayat Pengobatan: tidak ada obat yang diminum

- Riwayat Kebiasaan : Korek hidung dengan kuku tajam (+), minum air es

(+).

17

Page 18: Lapsus Tht Ozaena

C. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Telinga

a. Inspeksi Telinga: normal

b. Otoskopi

Kanan Kiri

Daun Telinga Nyeri Tekan(-)

Nyeri Tarik Aurikula (-)

Nyeri Tekan(-)

Nyeri Tarik Aurikula (-)

Liang Telinga Lapang, serumen (-) Lapang, serumen (-)

Membran

Timpani

Intak, reflex cahaya (+) Intak, reflex cahaya (+)

c. Pemeriksaan Pendengaran

Kanan Kiri

Rinne (+) (+)

Weber Tidak ada lateralisasi Tidak Lateralisasi (-)

Swabach Sesuai dengan pemeriksa Sesuai dengan pemeriksa

2. Pemeriksaan Hidung

a. Rhinoscopy Anterior

Kanan Kiri

Cavum Lapang, sekret (-) Lapang, krusta (+),sekret

(+)

Chonca Hiperemis (-) Edema (-) Hiperemis (-), edema (-)

Septum Deviasi (-), spina (-) Deviasi (-), spina (-)

b. Rhinoskopi posterior: Tidak diperiksa.

c. Laringoskopi Indirect : Tampak hiperemis, sekret (+).

18

Page 19: Lapsus Tht Ozaena

3. Pemeriksaan Tenggorokan

- Tonsil : T1/T1 tenang

- Dinding faring : Hiperemis (-), granuler (-), post nasal drip (-)

- Uvula : deviasi (-)

4. Pemeriksaan Leher

- Kelenjar Limfe : (-)

- Kelenjar Tiroid : (-)

- Nodul : (-)

D. Pemeriksaan penunjang : Tidak dilakukan

E. Diagnosis: Laringitis kronik + Rinitis atrofi

F. Terapi

- Clindamycin cap 300mg 2 dd 1 cap

- Vestein 3 dd 1 tab

19

Page 20: Lapsus Tht Ozaena

BAB IV

DISKUSI

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik yang ditandai adanya

atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Keluhan

penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan

penciuman (anosmia), ingus kental yang berwarna hijau, adanya krusta (kerak)

berwarna hijau, sakit kepala, bau busuk pada hidung. Pada kasus ini ditemukan

keluhan hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmia), ingus kental yang

berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, dan bau pada

hidung yang sudah dialami sejak 3 tahun yang lalu dan hilang timbul.

Pada kasus ini, pasien merupakan seorang wanita, dimana epidemiologi rinitis

atrofi terbanyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Pada teori dikatakan bahwa

rinitis atrofi terjadi pada usia 1-35 tahun, dimana terbanyak terjadi pada usia pubertas.

Namun, dalam kasus pasien berusia 54 tahun.

Diagnosis rinitis atrofi ditegakkan melalui anamnesis (gejala klinis),

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini dari hasil pemeriksaan

rhinoskopi anterior ditemukan cavum nasi lebih luas dan lapang, pada cavum kiri

ditemukan krusta berwarna kehijauan, dan concha kedua hidung sudah atrofi. Pada

kasus belum dilakukan pemeriksaan penunjang, baik pencitraan, kultur sekret,

maupun, apusan hidung untuk melihat perubahan epitel.

Penatalaksanaan rinitis atrofi yakni secara konservatif maupun pembedahan.

Secara konservatif, pasien diberikan antibiotik spektrum luas dengan uji resistensi

dan uji kepekaan. Pada kasus, pasien diberikan antibiotik Clindamycin dengan dosis

yang sesuai namun tanpa uji resistensi dan uji kepekaan dikrenakan waktu yang lama

dalam menunggu hasil pengujian. Terapi secara paliatif yakni dengan melakukan

irigasi atau cuci hidung untuk menghilangkan bau dan membersihkan krusta perlu

20

Page 21: Lapsus Tht Ozaena

dipertimbangkan untuk pasien. Terapi vestein® (Erdosteine) yang diberikan tujuannya

sebagai mukolitik karena pada pemeriksaan laringoskop indirect terdapat sekret.

BAB V

KESIMPULAN

Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh

adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Penyakit ini paling sering

menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini

dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Rinitis atrofi kebanyakan

terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1.

Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi

primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya,

sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau

penyakit. Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana

penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan

klebsiella ozaenae.

Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna

hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu (penciuman), sakit kepala, dan

merasa hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat

lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen berwarna

hijau, dan krusta berwarna hijau. Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif

atau kalau tidak menolong dilakukan pembedahan. Pengobatan konservatif diberikan

antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang

adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.

21

Page 22: Lapsus Tht Ozaena

DAFTAR PUSTAKA

1. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Jakarta.

2. Adams GL, Boies Jr LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6.

Wijaya C, alih bahasa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC),1997̊: 17̊3-

188, 221-2

3. Dutt SN, Kameswaran M. Aetology and Management of atropic rinitis.

Journal Otolaryngol. 2005 Nov;119:843-52

4. Endang, M. & Nusjirwan, R. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2006. Jakarta.

5. Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and

accessory sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head, & Neck.

Fourteenth ed. Ballenger JJ. Lea & Febinger. Philadelphia, London, 1991:

p.3-8.

6. Yucel A, Aktepe O, et al. Atrophic Rinitis: a case report. Turk J Med sd.

2003 July 2008; 33:405-7̊

7̊. Moore & Kern. Atrophic Rinitis. American Journal Of Rhinology.

2001;15(6): 355-61

8. Cowan, Alan MD. Atrophic Rhinitis. Grand Round Presentation, UTMB,

Dept of Otolaryngology 2005.

9. Yucel, Aylin, et al. Atrophic Rinitis : A case report, Turkey Journal Medical

Scientists. 2003; 33: 405-7̊.

10. Asnir, Rizalina Arwinati. Rinitis Atrofi. Cermin Dunia Kedokteran. 2004:144.

11. Ballenger JJ. Chronic Rhinitis and Nasal Obstruction. In : Ballenger JJ, Snow

22

Page 23: Lapsus Tht Ozaena

JB, editors. Otorhinolaryngology Head and Neck 15th Baltimore,

Philadelphia. Williams & Wilkins, 1996: p.129-34

12. Soedarjatni. Updated 197̊7̊. Foetor Ex Nasi. Available from :

http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2015, January 13. Sumber : Cermin Dunia

Kedokteran No. 9, 197̊7̊.

13. Yuka Sevil Ari et all. A forgotten difficult entity:Ozena Report of two

cases. Eastern Journal of Medicine 15. 2010: 114-117̊.

14. Mark E. Friedel et all. Skull base defect in a patient with ozena undergoing

dacryocystorhinostomy. Allergy Rhinol (Providence). 2011 Jan-Mar; 2(1):

36–39.

15. Marisa A. Earley, et all. Study of Histopathological Changes in Primary

Atrophic Rhinitis. ISRN Otolaryngol. 2011: 26947̊9.

16. Thiagarajan, Balasubramanian. Atrophic Rhinitis. A Literature Review.

Webmed Central: ENT Scholar Review articles 2012;3(4):WMC003261.

17̊. Munir, Delfitri. Penatalaksanaan Rinitis Atrofi (Ozaena) Secara Konservatif.

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Majalah Kedokteran

Nusantara. 2006: 39: 2.

23