lapsus radiologi fraktur clavicula dan cruris
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Lapsus radiologi fraktur clavicula dan crurisTRANSCRIPT

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 49 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Status : Menikah
No RM : 052232
Tanggal masuk RS : 13 Agustus 2015
II. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa dan aloanamnesis tanggal 14
Agustus 2015 jam 13.30 WIB di Bangsal Anggrek RSUD Tugurejo Semarang
Keluhan utama : Pundak dan kaki kiri sakit post kejatuhan pohon
RPS :
Tanggal 13 Agustus 2015 pukul 04.30 WIB pasien Tn. S datang ke IGD
RS tugu rejo dengan keluhan pundak kanan dan kaki kiri sakit setelah kejatuhan
pohon. Tidak ada luka terbuka, pasien mengeluh nyeri (+) pada saat
menggerakan bahu kanan, dan pasien tidak bisa berjalan karena kaki kirinya
sakit, nyeri dirasakan terus menerus pasien menyangkal kesemutan, mati rasa,
pusing, demam, mual, muntah.
Tanggal 14 Oktober 2015 dilakukan operasi pada bahu kanan dan kaki
kiri pasien. Setelah oprasi pasien mengeluh masih nyeri. Pasien menyakal adanya
kesemutan, mati rasa, pusing, demam, mual, muntah.
RPD :
Riwayat sakit sama : disangkal.
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal.
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat alergi obat dan atau makanan : disangkal.
Riwayat sakit jantung : disangkal

RPK :
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal.
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat alergi obat dan atau makanan : disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien dahulu bekerja swasta
Kebiasaan merokok diakui
Kebiasaan minum alkohol disangkal.
Kebiasaan berolahraga cukup sering.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemerikaan fisik dilakukan tanggal 13 Agustus 2015 Pukul 13.40 WIB.
1. Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80x /menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
RR : 22x/menit reguler
Suhu : 370 C (aksiler)
2. STATUS INTERNA
Kulit : sama dengan warna kulit sekitar
Kepala : kesan mesocephal
Mata : Corpus alineum (-/-); konjungtiva anemis (-/-),
konjungtiva hiperemis (-/-), ikterik (-/-); reflek
cahaya direk (+/+); reflek cahaya indirek (+/+);
hematom palpebra (+/-); pupil isokor 3mm/3mm.
Hidung : Nafas cuping (-), deformitas (-), sekret (-)
Telinga : Serumen (-/-), nyeri mastoid (-/-), Nyeri tragus (-/),
sekret (-/-)
Mulut : Lembab (+), Sianosis (-), perot (-), lidah kotor (-),
stomatitis (-), hiperemis (-), karies gigi (-), faring
hiperemis (-), tonsil hiperemis (-), drooling (+).

Leher : Limfonodi (-), pembesaran tiroid (-), JVP (N),
gerakan terbatas, kaku kuduk (tidak bisa dinilai),
deviasi trakea (-), penggunaan otot bantu nafas (-),
Thorax :
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, tak kuat angkat
Perkusi : Batas atas jantung : ICS II Linea parasternal
sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternal
sinistra
Batas kiri bawah jantung : ICS V 2 cm medial Linea
mid clavicula sinistra
Batas kanan bawah jantung : ICS V Linea sternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II normal & murni,
Suara mitral M1 & M2 M1 > M2
Suara aorta A1 & A2 A1 < A2
Suara pulmonal P1 & P2 P1 < P2
Bising jantung (-), gallop (-).
Pulmo
Dextra Sinistra
Depan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Warna sama dengan warna
sekitar, simetris statis &
dinamis, retraksi (-).
Stem fremitus normal kanan =
kiri.
Sonor seluruh lapang paru.
SD paru vesikuler (+), suara
tambahan paru: wheezing (-),
ronki (-).
Warna sama dengan warna
sekitar, simetris statis &
dinamis, retraksi (-).
Stem fremitus normal kanan =
kiri.
Sonor seluruh lapang paru.
SD paru vesikuler (+), suara
tambahan paru: wheezing (-),
ronki (-).

Belakang
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Warna sama dengan warna
sekitar, simetris statis & dinamis
Stem fremitus kanan = kiri.
Sonor seluruh lapang paru.
SD paru vesikuler (+), suara
tambahan paru : wheezing (-),
ronki (-).
Warna sama dengan warna
sekitar, simetris statis &
dinamis
Stem fremitus kanan = kiri.
Sonor seluruh lapang paru.
SD paru vesikuler (+), suara
tambahan paru: wheezing (-),
ronki (-).
Abdomen
Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), massa (-),warna
kulit sama dengan warna kulit sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal (15x/menit)
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, pekak hepar (+),
pekak sisi (-), pekak alih (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar & Lien tak teraba
Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral pucat -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
Deformitas -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik/< 2 detik < 2 detik/< 2 detik
3. STATUS LOKALIS
Bahu kanan
Inspeksi : tidak tampak luka terbuka
Palpasi : nyeri tekan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : tidak dilakukan
Cruris kiri
Inspeksi : tidak tampak luka terbuka

Palpasi : nyeri tekan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : tidak dilakukan
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X foto clavicula dextra AP
Gambar Rongten diatas di ambil sebelum dilakukan oprasi
Tampak discontuinitas os tibia dan fibula sinistra
Aposisi dan alignment tak baik
Struktur tulang baik
Kesan : fraktur transversal 1/3 distal os clavicula dextra

2. X foto cruris dextra AP dan Lateral
Gambar Rongten diatas di ambil sebelum dilakukan oprasi
Tampak discontuinitas os tibia dan fibula sinistra
Aposisi dan alignment tak baik
Struktur tulang baik
Kesan : fraktur transversal os tibia sinistra, fraktur transversal os
fibula sinistra
3. X foto post operasi fiksasi interna clavicula dextra

Tampak pin fiksasi interna
Tampak garis fraktur minimal
Aposisi dan alignment baik
Struktur tulang baik
Kesan : post fiksasi interna clavicula dextra
4. X foto post operasi fiksasi interna tibia dan fibula
Tampak pin fiksasi interna
Tampak garis fraktur minimal
Aposisi dan alignment baik
Struktur tulang baik
Kesan : post fiksasi interna os tibia dan fibula
5. Hematologi EDTA (B)
No Darah rutin (WB EDTA) Hasil Satuan
1 Lekosit 8,79 10^3/ul
2 Eritrosit 4,32 10^6/ul

3 Hemoglobin 12,50 g/dL
4 Hematokrit 35,90
5 MCV 83,10 Fl
6 MCH 28,90 Pg
7 MCHC 34,80 g/dL
8 Trombosit 221 10^3/ul
9 RDW 13,10
Diff Count
11 Eosinofil Absolute 0,12 10^3/ul
12 Basofil Absolute 0,05 10^3/ul
13 Netrofil Absolute 3,53 10^3/ul
14 Limfosit Absolute 1,52 10^3/ul
15 Monosit Absolute 0,57 10^3/ul
16 Eosinofil L 1,40
17 Basofil 0,60
18 Neutrofil L 40,10
19 Limfosit N 51,40
20 Monosit 6,50
V. RESUME

Tanggal 13 Agustus 2015 pasien datang dengan keluhan utama luka
tertutup pada clavicula dextra dan luka tertutup pada cruris sinistra, akibat
kejatuhan pohon. Pasien mengakui adanya nyeri pada tangan yang terluka, secara
terus menerus. Bahu kiri nyeri bila digerkkan, dan kaki kiri tidak bisa digunakkan
untuk bejalan. Setelah diilakukan pemeriksaan penunjang x foto rongten AP dan
Lateral pada cruris didapat fraktur transversal os tibia sinistra, fraktur transversal
os fibula sinistra dan pada x foto clavicula fraktur transversal 1/3 distal os
clavicula dextra
Tanggal 14 Agustus 2015 dilakukan oprasi pada pasien. Post oprasi
pasien masih mengeluh adanya nyeri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status
generalis dalam batas normal, status lokalis tangan sudah dibebat luka.
VI. DAFTAR MASALAH
Anamnesis :
1. Nyeri pada bahu kanan dan kaki (cruris) kiri
Pemeriksaan Fisik :
1. fraktur transversal os tibia sinistra,
2. fraktur transversal os fibula sinistra dan pada x foto clavicula
3. fraktur transversal 1/3 distal os clavicula dextra
VII. INITIAL PLAN
IP Dx :
Masalah aktif :
1. fraktur transversal os tibia sinistra,
2. fraktur transversal os fibula sinistra
3. fraktur transversal 1/3distal os clavicula dextra
Dx. S : -
O : X foto AP regio clavicula, X foto AP dan lateral regio cruris
IP Tx :
Injeksi ceftriaxon 1 x 1 gr
Metil Prednisolon tab 4 mg ( 3 x 1 hari )
Ketorolac drip 1 ampul

IP Mx :
1. Tanda Vital
2. Status Generalis
3. Status Lokalis post oprasi
IP Ex :
1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang keadaan sakit yang
diderita pasien saat ini
2. Menyarankan pada pasen dan keluarga agar pasien dirawat inap di rumah
sakit
3. Menyarankan kepada keluarga pasien untuk mengawasi pasien dalam
minum obat secara teratur
4. Menyarankan pada pasien untuk makan makanan sehat dan bergizi
5. Menjelaskan rencana fisioterapi pada pasien dan keluarganya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG
Kerangka terdiri dari berbagai tulang dan tulang rawan. Tulang adalah jaringan
ikat yang bersifat kaku dan membentuk bagian terbesar kerangka, serta merupakan
jaringan penunjang tubuh utama. Tulang rawan (cartilago) adalah sejenis jaringan ikat
yang bersifat lentur dan membentuk bagia kerangka tertentu (misalnya kartilago kostalis).
Perbandingan antara tulang dan tulang rawan dalam kerangka berubah seiring dengan
pertumbuhan tubuh; makin muda usia seseorang, makin besar bagian kerangka yang
berupa tulang rawan.
Kerangka aksial terdiri darri tulang kepala (cranium), tulang leher (os hyoiddeum
dan vertebrae cervicales), dan tulang batang tubuh (costa, sternum, vertebra dan sacrum).
Kerangka apendikular terdiri dari tulang ekstremitas (lengan dan tungkai) termasuk
tulang yang membentuk gelang bahu (pectoral) dan gelang panggul.
Dapat dibedakan dua jenis tulang, yakni substansia spongiosa dan substansia
compacta. Perbendaan antara kedua jenis tulang ini ditentukan oleh banyaknya bahan
padat dan jumlah serta ukuran ruangan yang ada di dalamnya. Semua tulang memiliki
kulit luar dan lapisan substansia compacta yang meliputi massa substansia spongiosa di
sebelah dalam, kecuali bila massa substansia spongiosa diubah menjadi cavitas
medularis.

Gambar 1 bagian tulang
Penggolongan Tulang
Tulang digolongkan menurut bentuknya, yaitu:
Tulang panjang adalah tubular (co: humerus)
Tulang pendek adalah kuboidal, dan hanya terdapat pada di pergelangan kaki (tarsus)
dan di pergelangan tangan (carpus)
Tulang pipih, umuumnya berguna sebagai pelindung (co: tulang pipih cranium
melindungi otak)
Tulang tak beraturan dengan bentuk aneka ragam (co: tulang wajah)
Tulang sesamoid (ossa sesamoidea), terbentuk dalam tendo tertentu (misalnya
patella) dan terddapat di tempat persilanggan tendo dengan ujung tulang panjang
ekstremitas; tulang sesamoid melindungi tendo terhadap keausan berlebih dan
seringkali mengubah sudut tendo sewaktu menuju ke tempat lekatnya.
Perkembangan Tulang
Semua tulang berasal dari mesenkim, tetapi dibentuk melalui 2 cara yang
berbeda. Tulang dibentuk melalui 2 cara, entah dengan mengganti mesenkim, entah
dengan mengganti tulang rawan; susunan histologis tulang selalu bersifat sama, baik
tulang itu dikembangkan dari mesenkim ataupun tulang itu berasal dari tulang rawan.

Model tulang mesenkimal terbentuk selama masa embrional dan mulai mengalami
penulangan (osifikasi) langsung pada masa fetal; cara pembentukan tulang ini disebut
penulangan membranosa.
Model tulang dalam bentuk tulang rawan yang terjadi pada masa fetal dari mesenkim
dan kemudian diganti dengan tulang pada sebagian besar model bersangkutan; jenis
perkembangan tulang demikian disebut penulangan endokondral. Jenis penulangan
ini terjadi pada tulang panjang.
Gambar 2. Perkembangan Tulang
Badan (batang, tangkai) suatu tulang yang menulang dari suatu pusat penulangan
primer, disebut diafisis. Pusat penulangan sekunder terbanyak terbentuk setelah
kelahiran; bagian tulang yang mengalami penulangan melalui pusat sekunder demikian
disebut epifisis. Bagian diafisis yang melebar dan terletak paling dekat pada epifisis
dikenal sebagai metafisis. Supaya pertumbuhan memanjang dapat berlangsung, tulang
yang berasal dari pusat primer dalam diafisis tidak melebur dengan tulang yang berasal
dari pusat sekunder dalam kedua epifisis sampai ukuran tulang dewasa tercapai. Selama
pertumbuhan tulang, lempeng tulang rawan yang dikenal dengan lempeng epifiseal,
terdapat diantara diafisis dan kedua epifisis. Lempeng pertumbuhan ini akhirnya diganti
dengan tulang pada kedua sisinya, di sebelah diafisis dan di sebelah epifisis. Bilamana ini
terjadi, pertumbuhan tulang berhenti, dan diafisis melebur dengan kedua epifisis. Tulang
yang terbentuk pada proses peleburan (sinostosis) ini, terutama bersifat padat dan dapt
dikenali sebagai garir epifiseal. Peleburan epifiseal pada tulang berlangsung secara
progresif dari masa akil balig sampai usia dewasa.
Vaskularisasi dan Persarafan Tulang
Arteri memasuki tulang dari periosteum, selaput jaringan ikat berserabut yang
meliputi tulang. Arteri periostral masuk di banyak tempat dan menperdarahi substansia

compacta; arteri ini bertanggung jawab untuk nutrisinya. Maka, tulang yang
periosteumnya disingkirkan akan mati. Di dekat pertengahan diafisis satu arteri nutriens
menembus substansia compacta secara miring dan mendarahi substansia spongiosa dan
sumsum tulang. Arteri metafiseal dan arteri epifiseal memperdarahi ujung tulang.
Vena mengiringi arteri, dan banyak vena besar meninggalkan tulang melalui
foramen di dekat ujung ujung artikular tulang. Tulang yang bersumsum tulang merrah,
memiliki banyak vena besar. Pembuluh limfe terdapat amat banyak dalam periosteum.
Saraf mengikuti pembuluh darah yang memasok tulang. Periosteum amat kaya
akan saraf sensoris yang disebut saraf periostral; beberapa di antara saraf itu mengandung
serabut untuk rasa sakit. Saraf ini terutama peka terhadap robekan, atau tegangan dan ini
dapat menjelaskan mengapa rasa sakit pada fraktur terasa amat hebat.
B. FRAKTUR
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan
fungsi, pemendekan , dan krepitasi (Doenges, 2002). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder
terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis
(Mansjoer, 2002). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan) dan peristiwa patologis.
1) Peristiwa Trauma (kekerasan)
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya
kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan

patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat
terbuka, dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena
kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit
kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang
pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang.
Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat
menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang.
Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang
akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot
triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
2) Peristiwa Patologis
a. Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang–
ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih
berat dari biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat
pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara
tiba–tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang.
b. Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu
tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya
osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang
yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
Klasifikasi
Berdasarkan derajat kerusakan tulang, fraktur dibagi menjadi 2 yakni :
1. Fraktur lengkap (complete fracture)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainnya, atau
garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang
biasanya berubah tempat.

2. Fraktur tidak lengkap (incomplete fracture)
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian, periosteum tetap
menyatu. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering
disebut green stick.
Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, fraktur dapat dibagi
menjadi 2 yakni :
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Dapat dikatakan terbuka bila
tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan/ potensial untuk
terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang
yang patah.
Fraktur dibagi menjadi 3 derajat (menurut R. Gustillo) yaitu :
Derajat Luka Fraktur
I Laserasi < 2 cm Sederhana, dislokasi
fragmen minimal
II Laserasi > 2 cm, kontusi otot di
sekitarnya
Dislokasi fragmen jelas
III Luka lebar, rusak berat atau hilangnya
jaringan di sekitarnya
Kominutif, segmental,
fragmen tulang ada yang
hilang

Gambar. Klasifikasi fraktur berdasarkan hubungan tulang dengan
jaringan disekitar
Berdasarkan bentuk patahan tulang, fraktur dibagi menjadi :
1. Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang
atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah
dikontrol dengan pembidaian gips.
2. Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak.
3. Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
4. Segmental

Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak
dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
5. Kominutif
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
6. Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana korteks
tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini sering
terjadi pada anak – anak.
7. Fraktur impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
8. Fraktur fisura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen
biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.

Gambar. Klasifikasi fraktur berdasarkan bentuk patahan
Berdasarkan lokasi pada tulang fisis.
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng pertumbuhan, bagian
ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis pada anak –
anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga
kebanyakan terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga.
Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah
klasifikasi fraktur menurut Salter – Harris :
Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan, epifisis
dan cakram epifisis lepas dari metafisis, prognosis sangat baik setelah dilakukan
reduksi tertutup.
Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui tulang
metafisis, prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup.
Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis dan
kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan.
Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan reduksi anatomi.
Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan terjadi
melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko
gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan
pertumbuhan lanjut adalah tinggi.

Gambar. Klasifikasi fraktur berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Epidemiologi
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan usia di
bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang
disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki –
laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan
lebih sering mengalami fraktur daripada laki – laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada
menopause. Di Indonesia, jumlah kasus fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas 4 kali lebih banyak terjadi pada laki–laki daripada perempuan.
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna. Gejala umum fraktur
menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi,
spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas,
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).

Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat dari
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Sinar-X
Pemeriksaan sinar-x harus dilakukan dengan prinsip :
1. Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak dapat terlihat pada film sinar-x tunggal,
setidaknya dilakukan dari dua sudut pandang (anteroposterior dan lateral).
2. Dua sendi
Kedua sendi di atas dan dibawah fraktur harus disertakan pada pengambilan foto
sinar-x.
3. Dua tungkai
Terutama pada anak-anak, karena lempeng epifisis yang belum menutup dapat
diduga sebagai fraktur, sehingga foto pada tungkai yang tidak cedera dapat
bermanfaat.
4. Dua cedera
Kekuatan yang hebat dapat menyebabkan fraktur pada lebih dari satu tingkat,
karenanya bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu dilakukan foto sinar-x
pada pelvis dan tulang belakang untuk mengetahui ada tidaknya fraktur.
5. Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu fraktur (misalnya skafoid karpal) mungkin sulit
dilihat. Jika ragu, sebagai akibat resorpsi tulang sebaiknya dilakukan foto ulang
pada 10-14 hari kemudian untuk menegakan diagnosis.
Komplikasi
Komplikasi Dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam waktu satu minggu pasca trauma.
1) Pada tulang
a. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.

b. Osteomielitis, dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada
fraktur tertutup.
2) Pada jaringan lunak
a. Kulit melepuh, akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema.
b. Dekubitus, terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips.
3) Pada otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang
utuh, kapsul sendi dan tulang.
4) Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus, sedangkan
pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan
perdarahan berhenti spontan.
5) Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi
nervus.
Komplikasi Lanjut
1) Delayed union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
2) Non union
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
Secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe I (hypertrophic
non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dikarenakan adanya
jaringan fibrus di antara fragmen fraktur yang masih mempunyai potensi untuk

union. Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat
jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan.
3) Mal union
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
4) Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada
fraktur tertutup sebingga menimbulkan delayed union sampai non union.
5) Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama,
sehingga terjadi perlengketan periartikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan
antara otot dan tendon.
C. PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR
Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai
usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan – kerusakan yang dialaminya.
Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor
sistemik, adapun faktor lokal:
a. Lokasi fraktur
b. Jenis tulang yang mengalami fraktur.
c. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil.

d. Adanya kontak antar fragmen.
e. Ada tidaknya infeksi.
f. Tingkatan dari fraktur.
Adapun faktor sistemik adalah :
a. Keadaan umum pasien
b. Umur
c. Malnutrisi
d. Penyakit sistemik.
Proses penyembuhan fraktur terdiri dari beberapa fase, sebagai berikut :
1. Fase Reaktif
a. Fase hematom dan inflamasi
b. Pembentukan jaringan granulasi
2. Fase Reparatif
a. Fase pembentukan callus
b. Pembentukan tulang lamellar
3. Fase Remodelling
Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah dibagi atas
penyembuhan fraktur primer dan fraktur sekunder.
Proses penyembuhan Fraktur Primer
Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi upaya langsung
oleh korteks untuk membangun kembali dirinya ketika kontinuitas terganggu. Agar
fraktur menjadi menyatu, tulang pada salah satu sisi korteks harus menyatu dengan
tulang pada sisi lainnya (kontak langsung) untuk membangun kontinuitas mekanis.
Tidak ada hubungan dengan pembentukan kalus. Terjadi internal remodelling dari
haversian system dan penyatuan tepi fragmen fraktur dari tulang yang patah.
Ada 3 persyaratan untuk remodeling Haversian pada tempat fraktur adalah:
1. Pelaksanaan reduksi yang tepat
2. Fiksasi yang stabil
3. Eksistensi suplay darah yang cukup
Penggunaan plate kompresi dinamis dalam model osteotomi telah diperlihatkan
menyebabkan penyembuhan tulang primer. Remodeling haversian aktif terlihat pada
sekitar minggu ke empat fiksasi.
Proses Penyembuhan Fraktur Sekunder.

Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan jaringan-
jaringan lunak eksternal. Proses penyembuhan fraktur ini secara garis besar
dibedakan atas 5 fase, yakni fase hematom (inflamasi), fase proliferasi, fase kalus,
osifikasi dan remodelling.
1. Fase Inflamasi:
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan
pembentukan hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang
mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah terjadi hipoksia dan
inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan mempromosikan pembelahan sel
dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Produksi atau
pelepasan dari faktor pertumbuhan spesifik, Sitokin, dapat membuat kondisi
mikro yang sesuai untuk :
1) Menstimulasi pembentukan periosteal osteoblast dan osifikasi intra
membran pada tempat fraktur,
2) Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur, dan
3) Menstimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan
osifikasi endokondral yang mengiringinya.
Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan
pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun pada
perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan
pembuluh darah tetapi juga berperan faktor-faktor inflamasi yang menimbulkan
kondisi pembengkakan lokal. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur
terjadi sampai 2 – 3 minggu.
2. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-
benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi,
dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang
dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan
proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan
ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak pertumbuhan

melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal
pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak
struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial
elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya
fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
3. Fase Pembentukan Kalus
Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai
terbentuk jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh
atau umumnya disebut sebagai jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang rawan
ini masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar dan wovenbone. Pertumbuhan
jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai
celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan
jaringan fibrous, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk kalus dan volume
dibutuhkanuntuk menghubungkan efek secara langsung berhubungan dengan
jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat
minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan
fibrous. Secara klinis fragmen tulang tidak bisa lagi digerakkan. Regulasi dari
pembentukan kalus selama masa perbaikan fraktur dimediasi oleh ekspresi dari
faktor-faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian
banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1
(TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam pengaturan differensiasi
dari osteoblast dan produksi matriks ekstra seluler. Faktor lain yaitu: Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berperan penting pada proses
angiogenesis selama penyembuhan fraktur.
Pusat dari kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama
osteoblast akan berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini
menandakan adanya sel tulang serta kemampuan mengantisipasi tekanan
mekanis. Proses cepatnya pembentukan kalus lunak yang kemudian berlanjut
sampai fase remodelling adalah masa kritis untuk keberhasilan penyembuhan
fraktur.
Jenis-jenis Kalus
Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut berada
terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi dalam waktu 2
minggu Bridging (soft) callus terjadi bila tepi-tepi tulang yang fraktur tidak

bersambung. Medullary (hard) Callus akan melengkapi bridging callus secara
perlahan-lahan. Kalus eksternal berada paling luar daerah fraktur di bawah
periosteum periosteal callus terbentuk di antara periosteum dan tulang yang
fraktur. Interfragmentary callus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi
celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary callus terbentuk di dalam
medulla tulang di sekitar daerah fraktur.
4. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang
yang immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan
tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan
debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di
antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-lahan
selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang
normal.
5. Stadium Remodelling.
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan
bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang
terus menerus lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang
tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali
pada ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk
semulanya, terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh
secara klinis dan radiologi.

Gambar 3 Proses Penyembuhan Kalus
Jay.R. liberman, M.D and Gary E friedlaender (2005)

Berikut ini ringkasan proses regenerasi tulang (penyembuhan tulang) :
D. PENANGANAN FRAKTUR
Terapi Pada Fraktur Tertutup
Pada dasarnya terapi fraktur terdiri atas manipulasi fraktur untuk
memperbaiki posisi fragmen, diikuti dengan pembebatan untuk
mempertahankannya bersama-sama sebelum fragmen-fragmen itu menyatu;
sementara itu gerakan sendi dan fungsi harus di pertahankan. Pada penyembuhan
fraktur dianjurkan untuk melakukan aktivitas otot dan penahanan beban secara

lebih awal. Tujuan ini mencakup dalam 3 keputusan yang sederhana; reduksi,
mempertahankan, lakukan latihan.
Pada penanganan sulit menahan fraktur secara memadai sambil tetap
menggunakan tungkai secukupnya: ini merupakan suatu pertentangan (tahan lawan
gerakan) yang perlu dicari pemecahannya secepat mungkin oleh ahli bedah
(misalnya dengan fiksasi internal). Terapi bukan saja d tentukan oleh jenis fraktur
tetapi juga oleh keadaan jaringan lunak di sekitarnya. Tscherne (1984) telah
menyediakan klasifikasi cedera tertutup yang bermanfaat: tingkat 0 adalah fraktur
biasa dengan sedikit atau tanpa cidera jaringan lunak; tingkat 1 adalah fraktur
dengan abrasi dangkal atau memar pada kulit dan jaringan subkutan; tingkat 3
adalah cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartemen.
Reduksi
Meskipun terapi umum dan resusitasi harus selalu di dahuluka, tidak boleh
ada keterlambatan dalam menangani fraktur; pembengkakan bagian lunak selama
12 jam pertama akan mempersukar reduksi. Tetapi terapat beberapa situasi yang
tak memerlukan reduksi;
(1) bila pergeseran tidak banyak atau tidak ada;
(2) bila pergeseran tidak berarti (misalnya pada fraktur clavicula); dan
(3) bila reduksi tampak tak akan berhasil (misalnya pada fraktur kompresi pada
vertebra).
Fraktur yang melibatkan permukaan sendi; ini harus di reduksi sempurna
mungkin karna setiap ketidakberesan akan memudahkan timbulnya arthritis
degenerative. Terdapat dua metode reduksi; tertutup dan terbuka.
Reduksi tertutup
Dengan anastesi yang tepat dan relaksasi otot, fraktur dapat direduksi dengan
manuver tiga tahap:
1) bagian distal tungkai di tarik ke garis tulang;
2) sementara fragmen-fragmen terlepas, fragmen itu di reposisi (dengan
membalikkan arah
3) kekuatan asal kalau ini dapat di perkirakan); dan
4) penjajaran di sesuaikan ke setiap bidang.

Beberapa fraktur (misalnya pada batang femur) sulit di reduksi dengan
manipulasi karena tarikan otot yang sangat kuat dan membutuhkan traksi yang
lama.
Reduksi terbuka
Reduksi bedah pada fraktur dengan penglihatan langsung di indikasikan:
1) Bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesukaran mengendalikan fragmen atau
karena
2) Terdapat jaringan lunak di antara fragmen-fragmen itu;
3) bila terdapat fragmen artikular besar yang perlu di tempatkan secara tepat; atau
4) bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah. Namun biasanya reduksi
terbuka hanya merupakan langkah pertama untuk fiksasi internal.
Mempertahankan Reduksi
Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi adalah:
(1) traksi terus-menerus;
(2) pembebatan dengan gips:
(3) pemakaian panahan fungsional,
(4) fiksasi internal; dan
(5) fiksasi eksternal.
Otot di sekeliling fraktur, kalau utuh bertindak sebagai suatu kompartemen
cair; traksi atau kompresi menciptakan suatu efek hidrolik yang dapat membebat
fraktur. Karena itu metode tertutup paling cocok untuk fraktur dengan jaringan
yang lunak yang utuh, dan cenderung gagal jika metode itu digunakan sebagai
metode utama untuk terapi fraktur yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak
yang hebat.
Traksi terus – menerus
Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal fraktur, supaya melakukan
suatu tarikan yang terus menerus pada poros panjang tulang itu. Cara ini sangat

berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblik atau spiral yang mudah bergeser
dengan kontraksi otot.
Traksi tidak dapat menahan fraktur yang diam, traksi dapat menarik tulang
panjang secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi reduksi yang tepat
kadang-kadang suka dipertahankan. Dan sementara itu pasien dapat menggerakkan
sendi-sendinya dan melatih ototnya. Traksi cukup aman, asalkan tidak berlebihan
dan berhati-hati bila menyiapkan pen-traksi. Masalahnya adalah kecepatan: bukan
karena fraktur menyatu secara perlahan-lahan (bukan demikian) tetapi karena traksi
tungkai bawah akan menahan pasien tetap di rs. Akibatnya, segera setelah fraktur
lengket (dapat mengalami deformitas tetapi tidak mengalami pergeseran), traksi
harus digantikan dengan bracing kalau metode ini dapat dilaksanakan.
Traksi dengan gaya berat; cara ini hanya berlaku pada cedera tungkai atas.
Karena itu, bila memakai kain penggendong lengan, berat lengan akan
memberiakan traksi terus menerus pada humerus.
Traksi kulit; traksi kulit (traksi buck) dapat menahan tarikan yang tak lebih
dari 4 atau 5 kg. Ikatan holland atau elastoplast rentang-satu-arah di tempelkan
pada kulit yang telah di cukur dan di pertahankan dengan suatu pembalut. Maleolus
di lindungi dengan tisu gamgee, dan untuk traksi di gunakan tali atau plaster
Traksi kerangka; kawat kirscer, pen steinmann atau pen denham di
masukkan, biasanya di belakang tuberkel tibia untuk cidera pinggul, paha dan lutut;
di sebelah bawah tibia atau pada kalkaneus untuk fraktur tibia. Kalau digunakan
suatu pen, di pasang kait yang dapat berputar dengan bebas, dan tali dipasang pada
kait itu untuk menerapkan traksi. Traksi harus selalu dilawan dengan oleh aksi
lawan; artinya, tarikan harus di lakukan terhadap sesuatu, atau tarikan itu hanya
akan menarik pasien ke bawah tempat tidurnya.
Traksi tetap; tarikan di lakukan terhadap suatu titik tertentu, contohnya
palster di tempelkan pada bagian persilangan bebat thomasdan menarik kaki ke
bawah hingga pangkal tungkai menyentuh cicin bebat itu.
Traksi berimbang; tarikan di lakukan terhadap kekuatan berlawanan yang
berasal dari berat tubuh bila kaki tempat tidur tersebut di naikkan. Tali dapat di
ikatan pada kaki tempat tidur, atau di lewatkan pada kerekan-kerekan dan di beri
pemberat.

Traksi kombinasi; beban thomas di gunakan. Plester di tempelkan pada
ujung bebat dan bebat itu di gantung, atau di ikat pada ujung tempat tidur yang di
angkat.
Pembelatan dengan gips
Cara ini cukup aman, selama kita waspada akan bahaya pembalut gips yang
ketat dan asalkan borok akibat tekanan dapat dicegah. Kecepatan penyatuannya
tidak lah lebih tinggi maupun lebih rendah dibandingkan traksi, tetapi pasien dapat
pulang lebih cepat. Mempertahankan reduksi biasanya tak ada masalah dan pasien
dengan fraktur tibia dapat menahan berat pada pembalut gips. Tetapi, sendi-sendi
yang terbungkus dalam gips tidak dapat bergerak dan cenderung kaku, kekakuan
yang mendapat julukan penyakit fraktur merupakan masalah dalam penggunaan
gips konvensional.
Kekakuan dapat diminimalkan dengan :
1.Pembebatan tertunda yaitu penggunaan traksi hingga gerakan telah diperoleh
kembali, dan baru kemudian menggunakan gips, atau
2.Memulai dengan gips konvensional, tetapi setelah beberapa hari bila tungkai
dapat dipertahankan tanpa terlalu banyak ketidaknyamanan gips tersebut maka
diganti dengan suatu penahan fungsional yang memungkinkan gerakan sendi.
Bracing fungsional
Bracing fungsional menggunakan gips salah satu dari bahan yang ringan
merupakan salah satu cara mencegah kekakuan pada sendi sambil masih
memungkinkan pembebatan fraktur. Segmen dari gips hanya dipasang pada batang

tulang itu, membiarkan sendi-sendi bebas, segmen gips itu dihubungkan dengan
engsel dari logam atau plastic yang memungkinkan gerakan pada suatu bidang.
Bebat bersifat fungsional dalam arti bahwa gerakan sendi tidak banyak terbatas
dibandingkan gips konvensional.
Bracing fungsional paling luas digunakan untuk fraktur femur atau tibia,
tetapi karena penahan ini tidak kaku, biasanya ini hanya dipakai bila fraktur mulai
menyatu, misalnya 3-6 minggu setelah traksi atau gips konvensional. Bila
digunakan dengan cara ini, ternyata 4 persyaratan dasar yang diperlukan akan
terpenuhi; fraktur dapat dipertahankan cukup baik; sendi-sendi dapat digerakkan;
fraktur akan menyatu dengan kecepatan normal (atau mungkin sedikit lebih cepat)
tanpa tetap menahan pasien di rs dan metode itu cukup aman.
Teknik diperlukan banyak keterampilan untuk memasang suatu penahan
yang efektif. Pertama fraktur di stabilkan; setelah beberapa hari dalam traksi atau
dalam gips konvensional untuk fraktur tibia; dan setelah beberapa minggu dalam
traksi untuk fraktur femur (sampai fraktur telah lengket, artinya dapat melentur
tetapi tidak dapat terjadi pergeseran). Kemudian pembalut gips atau bebat yang
berengsel di pasang yang akan cukup menahan fraktur tetapi memungkinkan
gerakan sendi; di anjurkan melakukan aktivitas fungsional, termasuk penahan
beban.
Fiksasi internal

Fragmen tulang dapat di ikat dengan sekrup, pen atau paku pengikat, plat
logam yang di ikat dengan sekrup, paku intramedular yang panjang (dengan atau
tanpa sekrup pengunci),circumferential bands, atau kombinasi dari metode ini. Bila
di pasang dengan semestinya, fiksasi internal menahan fraktur secara aman
sehingga gerakandapat segera di mulai; dengan gerakan lebih awal penyakit fraktur
(kekakuan dan edema) dapat di hilangkan. Dalam hal kecepatan pasien dapat
meninggalkan rumah sakit segera setelah luka sembuh, tetapi dia harus ingat bahwa
meskipun tulang bergerak sebagai satu potong, fraktur belum menyatu, hanya
dipertahankan oleh jembatan logam; karna itu penahanan beban yang tak terlidung
selama beberapa waktu tidak aman. Bahaya yang terbesar adalah sepsis; kalau
terjadi infeksi semua keuntungan fiksasi internal (reduksi yang tepat, stabilitas
yang segera dan gerakan lebih awal) dapat hilang.
Indikasi fiksasi internal sering menjadi bentuk terapi yang paling di
perlukan. Indikasi utamanya adalah:
1. Fraktur yang tidak dapat di reduksi kecuali dengan operasi
2. Fraktur yang tak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami pergeseran
kembali setelah reduksi (misalnya fraktur pertengahan batang pada lengan
bawah dan fraktur pergelangan kaki yang bergeser); selain itu, juga fraktur yang
cenderung perlu di tarik terpisah oleh kerja otot (misalnya fraktur melintang
pada patella atau olecranon)
3. Fraktur yang penyatuannya kurang baik dan perlahan-lahan, terutama fraktur
pada leher femur.
4. Fraktur patologik, di mana penyakit tulang dapat mencegah penyembuhan.
5. Fraktur multiple, bila fiksasi dini (dengan fiksasi internal atau luar) mengurani
resiko komplikasi umum dan kegagalan organ pada berbagai sistem.

6. Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya (penderita paraplegia, pasien
dengan cedera multiple) dan sangat lansia).
Teknik banyak tersedia metode, termasuk pengunaan kawat, skrup, plat,
batang intramedula dan kombinasi dari semua itu. Bila plat di gunakan, kalau
mungkin plat harus di pasang pada permukaan yang dapat di tegangkan, yang
biasanya pada sisi cembung tulang, bila paku intramedula di gunakan, paku itu
dapat dikuncikan dengan sekrup melintang (muller dkk., 1991)
Fraktur tulang tidak boleh melepas logam terlalu cepat, atau tulang akan
patah lagi. Paling cepat satu tahun dan 18 atau 24 bulan lebih aman; beberapa
minggu setelah pelepasan, tulang itu lemah, dan di perlukan perawatan atau
perlindungan.
Fiksasi luar
Fraktur dapat di pertahankan dengan sekrup pengikat atau kawat penekan
melalui tulang di atas dan di bawah fraktur dan di lekatkan pada suatu kerangka
luar. Cara ini dapat di terapkan terutama pada tibia dan pelvis, tetapi metode ini
juga digunakan untuk fraktur pada femur, humerus, radius bagian bawah dan
bahkan tulang-tulang pada tangan.
Indikasi fiksasi luar sangat berguna untuk:
1. Fraktur yang di sertai dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat di mana luka
dapat dibiarkan terbuka untuk pemeriksaan, pembalutan atau pencangkokan
kulit.
2. Fraktur yang disertai dengan kerusakaan saraf atau pembuluh.

3. Fraktur yang sangat kominutif dan tak stabil, sehingga sebujur tulangnya dapat
dipertahankan hingga mulai terjadi penyembuhan.
4. Fraktur yang tak menyatu, yang dapat dieksisi dan dikompresi; kadang-kadang
fraktur ini di kombinasi dengan pemanjangan.
5. Fraktur pada pelvis, yang sering tidak dapat di atasi dengan metode lain.
6. Fraktur yang terinfeksi, di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok.
7. Cidera multipel yang berat, bila stabilisasi lebih awal mengurangi resiko
komplikasi yang berbahaya (phillips dan contreras, 1990)
Teknik prinsip fiksasi eksternal sederhana: tulang di tranfiksikan di atas dan
di bawah fraktur dan sekrup atau kawat di transfiksikan bagian proksimal dan distal
kemudian di hubungkan satu sama lain dengan suatu batang yang kaku. Terdapat
berbagai teknik dan alat fiksasi: transfiksi dengan pen, sekrup atau kawat; batang
penghubung pada kedua sisi tulang atau pada satu sisi saja.
Latihan
Lebih tepatnya memulihkan fungsi-bukan saja pada bagian yang mengalami
cedera tetapi juga pada pasien secara keseluruhan. Tujuannya adalah mengurangi
edema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan tenaga otot dan memandu
pasien kembali ke aktivitas normal.
Pencegahan edema pembengkakan hampir tak dapat dielakkan setelah
fraktur dan dapat menyebabkan perengangan dan lepuh pada kulit. Edema yang
menetap adalah penyebab adalah penyebab penting kekakuan sendi, terutama pada
tangan; kalau dapat, ini perlu dicegah, dan terapi dengan giat kalau sudah terjadi,
dengan kombinasi peninggian dan latihan. Pasien tidak perlu dirawat di rumah
sakit, dan cidera yang tidak begitu berat pada tungkai atas berhasil ditangani
dengan penempatan lengan pada kain gondongan; tetapi kemudian penting untuk
berusaha menggunakannya secara aktif, dengan menggerakkan semua sendi bebas.
Inti perawatan jaringan lunak dapat diringkas sbb : meninggikan dan melakukan
latihan: jangan menjutaikan, jangan memaksa.
Peninggian tungkai yang mengalami cedera berat biasanya perlu di
tinggikan; setelah reduksi pada fraktur kaki, kaki tempat tidur ditinggikan dan
latihan di mulai.

Latihan aktif gerakan aktif membantu memompa keluar cairan edema,
merangsang sirkulasi, mencegah pelekatan jaringan lunak dan membantu
penyembuhan fraktur.
Gerakan berbantuan telah lama diajarkan bahwa gerakan pasif dapat
merusak, terutama pada cidera sekitar siku dimana terdapat banyak resiko
munculnya miositis osifikans. Tentu saja tak boleh lakukan gerakan paksaan, tetapi
bantuan perlahan-lahan selama latihan aktif dapat membantu mempertahankan
fungsi atau memperoleh kembali gerakan setelah terjadi fraktur yang melibatkan
permukaan artikular.
Aktifitas fungsional pasien mungkin perlu diajarkan lagi bagaimana cara
melakukan tugas sehari-hari, misalnya berjalan, rebah, dan bangun dari tempat
tidur, mandi, dll.
Terapi Pada Fraktur Terbuka
Pertimbangan Umum
Ada 4 klasifikasi yang perlu di perhatikan; bagaimana sifat luka itu;
bagaimana keadan kulit di sekitar luka? Apakah sirkulasi cukup baik? Dan apakah
semua saraf utuh?
Semua fraktur terbuka seberapapun ringannya harus di anggap
terkontaminasi dan perlu untuk mencegah adanya infeksi. Untuk tujuan ini, empat
hal penting adalah: pembalutan luka dengan segera; profilaksis antibiotika;
debridemen luka secara dini; dan stabilisasi fraktur.
Klasifikasi
1. Tipe I luka biasanya kecil, luka tusuk yang bersih pada tempat tulang
menonjol keluar. Terdapat sedikit kerusakan pada jaringan lunak, tanpa
pengancuran dan fraktur tidak kominutif.

2. Tipe II luka lebih dari 1 cm tetapi tidak ada penutup kulit tidak banyak
terdapat kerusakan jaringan lunak dan tidak lebih dari kehancuran atau
kominusi fraktur tingkat sedang.
3. Tipe III terdapat kerusakaan yang luas pada kulit, jaringan lunak dan struktur
neurovascular, disertai banyak kontaminasi luka. Pada tipe III a, tulang yang
mengalami fraktur mungkin dapat di tutupi secara memadai oleh jaringan
lunak. Pada tipe III b tidak dan malah terdapat pelepasan periosteum, selain
fraktur kominutif yang berat. Fraktur di golongkan sebagai tipe III c kalau
terdapat cidera arteri yang perlu di perbaiki, tak perduli berapa banyak
kerusakaan jaringan lunak yang lain. Cedera kecepatan tinggi di golongan
sebagai tipe III b atau c meskipun luka itu kecil, kerusakan internal hebat.
Insidensi infeksi luka berhubungan langsung dengan tingkat kerusakan
jaringan lunak; kurang dari 2% pada fraktur tipe I sampai lebih dari 10% pada
fraktur tipe II.
Penanganan Dini
Luka harus tetap ditutup. Antibiotika diberikan secepat mungkin,
seberapapun laserasi itu harus dilanjutkan hingga bahaya infeksi terlewati. Pada
umumnya pemberian kombinasi benzilpensilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama
48 jam akan mencukupi. Jika luka sangat terkontaminasi, maka untuk mencegah
gram-negatif yaitu dengan menambahkan gentaminisin atau methonidazol dan
melanjutkan terapi selama 4-5 hari. Pemberian profilaksis tetanus juga penting.
Toksoid yang diberikan pada mereka yang sebelumnya telah diimunisasi. Jika
belum, berilah antiserum manusia.
Debridemen
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan
mati, memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian tersebut.
Dilakukan irigasi akhir disertai obat antibiotika. Jaringan kemudian di tangani
sebagai berikut.
Kulit
Hanya sesedikit mungkin kulit di eksisi dari tepi luka. Pertahankan sebanyak
mungkin kulit. Luka sering perlu di perluas dengan insisi yang terencana

untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai.setelah di perbesar,
pembalut dan bahan asing lain dapat di lepas.
Fasia
Fasia di belah secara meluas sehigga sirkulasi tidak terhalang.
Otot
Otot yang mati berbahaya, karna merupakan makanan bakteri. Otot yang mati
biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang keungu-unguannya,
konsistensinya buruk, tidak dapat berkontraksi bila di rangsang, dan tak
berdarah bila di potong.
Pembuluh darah
Pembuluh darah yang banyak mengalami pendarahan diikat dengan cermat
tetapi, untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka,
pembuluh yang kecil di jepit dengan gunting tang arteridan di pilin.
Saraf
Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja tetapi bila luka itu bersih
dan ujung-ujung luka bersih dan tidak terdiseksi, selubung luka dijahit dengan
bahanyang tak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan dibelakang hari.
Tendon
Biasanya, tendon yang terotong juga dibiarkan saja seperti halnya saraf,
penjahitan diperbolehkan hanya kalau luka itu bersih dan diseksi tak perlu
dilakukan.
Tulang
Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada
posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru
boleh dibuang bila kecil dan lepas sama sekali.
Sendi
Cidera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka, penutupan
sinovium dan kapsul, dan antibiotika sistemik: drainase atau irigasi sedotan
hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.
Penutupan Luka

Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam
beberapa jam setelah cidera, setelah debridement, dapat dijahit. Luka yang lain
harus dibiarkan terbuka hingga bahaya infeksi telah dilewati. Luka itu dibalut
sekedarnya dengan kasa steril dan diperiksa setelah 5 hari. Kalau bersih, luka
tersebut dijahit.
Stabilisasi Fraktur
Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi infeksi. Untuk luka tipe i
atau tipe ii yang kecil dengan fraktur yang stabil, boleh menggunakan gips yang
dibelah secara luas atau, untuk femur digunakan traksi pada bebat. Metode yang
paling aman adalah fiksasi external. Pemasangan pet intramedula dapat digunakan
untuk femur atau tibia, terbaik jangan melakukan pelebaran luka pendahuluan yang
akan meningkatkan resiko infeksi.
Perawatan Sesudahnya
Tungkai ditinggikan ditempat tidur dan sirkulasinya diperhatikan dengan
cermat. Syok mungkin masih membutuhkan terapi. Kalau luka dibiarkan terbuka,
periksa setelah 5-7 hari.
Sekuele pada fraktur terbuka
Kulit, kalau terdapat kehilangan kulit atau kontraktur, pencangkokan mungkin
diperlukan. Bila diperlukan operasi perbaikan atau rekonstruksi pada jaringan
yang lebih dalam, pencangkokan kulit dengan ketebalan penuh sangat
diperlukan.
Tulang, infeksi dapat mengakibatkan sekuester dan sinus. Sekuester yang kecil
harus disingkirkan secara dini, tetapi potongan-potongan besar dapat dieksisi.
Penundaan penyatuan tak dapat dielakkan setelah infeksi fraktur, tetapi
penyatuan akan terjadi jika infeksi dikendalikan dan terapi dilanjutkan dalam
waktu yang cukup lama.
Sendi, bila fraktur yang terinfeksi mempunyai hubungan dengan suatu sendi,
prinsip terapinya sama seperti terapi infeksi tulang, yaitu ; pengobatan, drainase,
dan pembebatan.

DAFTAR PUSTAKA

Apley, Graham, 1995, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Edisi Ketujuh,
Widya Medika, Jakarta
Bone Fracture Repair, 2012, Available
from :http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002966.htm, diunduh
tanggal 1 Maret 2014
Bone Morphology. 2012 Available From http://meds.queensu.
ca/courses/msk/documents/ bone_morphology.pdf diunduh tgl 1 Maret 2014
De Jong Wim, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit : Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
Rasjad, Chairuddin, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi, Edisi ketiga, Yarsif
Watampone, Jakarta.
Schwartz, Shires, Spencer, 2000, Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Snell, Richard, 2006, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi 6, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta