lapsus ortopedi.docx

58
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh salah satu sebab. Penyebab utama trauma adalah kecelakaan lalu lintas, industri, olahraga, dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk di Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis, 3,6 juta (12%) membutuhkan perawatan di rumah sakit dan menghabiskan biaya besar. Didapatkan 300 ribu orang diantaranya menderita kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta orang menderita kecacatan sementara (30%). Keadaan ini dapat menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang per tahun (0,5%). 1 Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas ± 12.000 orang per tahun, sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat menyebabkan pembiayaan yang besar, kematian yang sangat tinggi, hilangnya waktu kerja yang banyak, dan kecacatan sementara dan permanen. 1 Untuk itu pertolongan penderita trauma perlu dimasyarakatkan dan para dokter pelayanan primer perlu mengetahui dasar-dasar penanggulangan trauma untuk melakukan penanggulangan pertama dan rujukan ke rumah sakit terdekat. 1

Upload: malisa-lukman

Post on 08-Aug-2015

260 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Ortopedi.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera

oleh salah satu sebab. Penyebab utama trauma adalah kecelakaan lalu lintas,

industri, olahraga, dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk di Amerika

Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis, 3,6 juta (12%)

membutuhkan perawatan di rumah sakit dan menghabiskan biaya besar.

Didapatkan 300 ribu orang diantaranya menderita kecacatan yang bersifat

menetap (1%) dan 8,7 juta orang menderita kecacatan sementara (30%). Keadaan

ini dapat menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang per tahun (0,5%).1

Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas ± 12.000 orang per

tahun, sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat menyebabkan pembiayaan

yang besar, kematian yang sangat tinggi, hilangnya waktu kerja yang banyak, dan

kecacatan sementara dan permanen.1

Untuk itu pertolongan penderita trauma perlu dimasyarakatkan dan para

dokter pelayanan primer perlu mengetahui dasar-dasar penanggulangan trauma

untuk melakukan penanggulangan pertama dan rujukan ke rumah sakit terdekat.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi tulang?

2. Apakah definisi fraktur?

3. Bagaimana proses terjadinya suatu fraktur?

4. Bagaimana klasifikasi fraktur?

5. Bagaimana gambaran klinis fraktur?

6. Bagaimana cara mendiagnosis fraktur?

7. Bagaimana prinsip pengobatan fraktur?

8. Bagaimana terjadinya proses penyembuhan suatu fraktur?

9. Bagaimana terjadinya komplikasi kompartemen sindrom pada fraktur?

1

Page 2: Lapsus Ortopedi.docx

1.3. Tujuan

1. Mengetahui anatomi tulang.

2. Mengetahui definisi fraktur.

3. Mengetahui proses terjadinya suatu fraktur.

4. Mengetahui klasifikasi fraktur.

5. Mengetahui gambaran klinis fraktur.

6. Mengetahui cara mendiagnosis fraktur.

7. Mengetahui prinsip pengobatan fraktur.

8. Mengetahui terjadinya proses penyembuhan suatu fraktur.

9. Mengetahui terjadinya komplikasi kompartemen sindrom pada fraktur.

1.4. Manfaat

Teoritis

Makalah ini diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan dan

landasan teori mengenai fraktur dan prinsip penanganannya.

Praktis

Makalah ini diharapkan mampu memberikan landasan ilmiah bagi para

dokter pelayanan primer sebagai dasar penanggulangan trauma untuk melakukan

penanggulangan pertama dan rujukan ke rumah sakit terdekat.

2

Page 3: Lapsus Ortopedi.docx

BAB II

STATUS PASIEN

2.1. IDENTITAS

Nama : Ny. Yasmi

Usia : 53 th

Pekerjaan : IRT

Pendidikan : SD

Alamat : Sanan wetan-Blitar

Tgl MRS : 14 Mei 2012

Tgl Periksa : 21 Mei 2012

2.2. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri pada tungkai kaki kanan

R. Penyakit Sekarang :

Nyeri pada tungkai kaki kanan sejak 7 hari yang lalu setelah ditabrak

sepeda motor. Nyeri dirasa terus menerus, terutama saat tungkai

digerakkan. Nyeri sedikit menurun setelah minum obat anti nyeri.

Tungkai kaki kanan juga terasa berat, bengkak, kesemutan, dan susah

digerakkan. Saat ini pasien tidak dapat berjalan dan hanya berbaring

di tempat tidur. Selain itu pasien juga merasa kepalanya pusing seperti

berputar.

Tujuh hari yang lalu pasien ditabrak sepeda motor saat menyebrang di

jalan raya. Pasien ditabrak dari arah kanan, kemudian pasien terjatuh

ke arah kiri dengan kepala bagian belakang membentur aspal. Sesaat

setelah kecelakaan pasien sadar, tidak mual, tidak muntah, dan kepala

terasa pusing. Pasien kemudian digotong dan dibawa ke IGD RSD

Mardi Waluyo.

R. Alergi Obat : disangakal

2.3. PRIMARY SURVEY

3

Page 4: Lapsus Ortopedi.docx

Airway :

Obstruksi jalan nafas (-), fraktur mandibula (-), fraktur maksila (-),

fraktur laring atau trakea (-).

Breathing :

Nafas spontan, frekuensi 16 x/menit, suara nafas vesikuler.

Hard tissue : fraktur costae (-).

Soft tissue : pneumothorax (-), hematothorax (-).

Circulation :

Nadi : frekuensi 100x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup.

Tekanan darah : 120/80 mmHg.

CRT : 1 detik

Disability :

Kesadaran composmentis, GCS 456.

Pupil isokor 2 mm/2 mm, reflek cahaya +/+.

Exposure :

Ekstremitas inferior dextra :

Regio cruris : deformitas (+), vulnus appertum (+) dengan Ø : ± 10

cm, bullae (+), edema (+), abrasio (+).

Regio gulteus dekstra : abrasio (+)

2.4. SECONDARY SURVEY

Keadaan Umum : Cukup, kesadaran composmentis, GCS 456

Vital Sign :

TD : 120/80

Nadi : 100 x/menit

RR : 16 x/menit

Suhu : 36,8⁰C

Review of System (Head to Toe)

Kepala & leher : anemis (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-), dyspneu (-)

Thorax : Cor : S1/S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-).

Pulmo : suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)

Abdomen : Soefl, flat, BU (+) Normal, meteorismus (-).

4

Page 5: Lapsus Ortopedi.docx

Ekstremitas :

Motorik

Sensorik

Akral Dingin

Regio gluteus dekstra : abrasio (+)

Regio cruris dekstra : abnormalitas (+)

Status Lokalis Ekstremitas Inferior Regio Cruris Dextra :

Look :

Warna kulit : normal

Edema : (+)

Bullae : (+)

Abrasio : (+)

Vulnus appertum : (+) Ø 10 cm, sudah di hecting

Deformitas : (+)

Feel :

Suhu kulit : normal

Nyeri tekan : (+)

Krepitasi : sulit dievaluasi

Pulsasi arteri dorsalis pedis : (+)

True leg legth dekstra/sinistra : 81 cm/83 cm

Apparent leg length dekstra/sinistra : 82 cm/85 cm

Move :

Aktif :

Ekstensi : (+)

Fleksi : (-)

Endorotasi : (+) minimal

5

5 5

2 5

N N

N N

- -

- -

Keterangan : ekstremitas inferior dekstra motorik 2/5 karena tungkai kanan nyeri.

Page 6: Lapsus Ortopedi.docx

Eksorotasi : (+) minimal

Pasif :

Ekstensi : (+)

Fleksi : (+) minimal

Endorotasi : (+) minimal

Eksorotasi : (+) minimal

Neurovascular Distal (NVD) :

Neurologis :

Reflek fisiologis : sulit dievaluasi

Reflek patologis : (-)

Motorik : 2/5 (karena tungkai kanan nyeri)

Sensorik : raba (+), nyeri (+), suhu (+)

Vaskular : CRT : 1 detik

2.5. WORKING DIAGNOSIS

Suspect close fracture tibia & fibula dekstra with impending compartment

syndrome

2.6. PLANNING DIAGNOSIS

Foto rontgen regio cruris dekstra AP dan Lateral

Foto rontgen toraks AP

Pemeriksaan laboratorium DL, PTT, APTT, RFT, LFT, HIV, HbsAg

Pemeriksaan EKG

2.7. RESUME

Seorang wanita usia 53 tahun, datang ke IGD RSD Mardi Waluyo 7

hari yang lalu dengan keluhan nyeri pada tungkai kaki kanan setelah ditabrak

sepeda motor. Nyeri dirasa terus menerus, terutama saat tungkai digerakkan.

Tungkai kaki kanan juga terasa berat, bengkak, kesemutan, dan susah

digerakkan. Saat ini pasien tidak dapat berjalan dan hanya berbaring di

tempat tidur. Selain itu pasien juga merasa kepalanya pusing seperti berputar.

Tujuh hari yang lalu pasien ditabrak sepeda motor saat menyebrang di jalan

6

Page 7: Lapsus Ortopedi.docx

raya. Pasien ditabrak dari arah kanan, kemudian pasien terjatuh ke arah kiri

dengan kepala bagian belakang membentur aspal. Sesaat setelah kecelakaan

pasien sadar, tidak mual, tidak muntah, dan kepala terasa pusing seperti

berputar.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan abnormalitas pada regio cruris

dekstra. Pemeriksaan status lokalis pada tungkai kaki bawah tampak adanya

edema, bullae, abrasio, deformitas, dan vulnus appertum dengan diameter 10

cm yang sudah di hecting. Saat dipalpasi terdapat nyeri tekan, adanya pulsasi

arteri dorsalis pedis, perbedaan true leg legth dekstra dan sinistra 81 cm/83

cm, dan perbedaan apparent leg length dekstra dan sinistra 82 cm/85 cm.

Pada pergerakan aktif pasien mampu melakukan ekstensi, endorotasi

minimal, eksorotasi minimal, namun tidak mampu melakukan fleksi.

Sedangkan pada pergerakan pasif, pasien mampu melakukan ekstensi, fleksi

minimal, endorotasi minimal, dan eksorotasi minimal. Pada pemeriksaan

neurovascular distal (NVD) tidak didapatkan adanya reflek patologis,

pemeriksaan motorik sebesar 2/5 (karena tungkai kanan dalam kondisi

nyeri), tidak ada gangguan sensorik, dan CRT 1 detik.

Dari hasil foto rontgen regio cruris dekstra AP dan lateral didapatkan

adanya fraktur tibia distal dekstra komunitif intra-artikuler & fraktur fibula

dekstra segmental.

2.8. DIAGNOSIS

Close fracture tibia distal dekstra communitif intra-articuler & fracture

fibula dekstra segmental with impending compartment syndrome

2.9. PLANNING THERAPY

Medikamentosa

IVFD RL 20 tpm

Analgetik antiinflamasi : Ketorolac 3 x 30 mg IV

Antibiotik : Ceftriakson 1 x 2 gr IV

H2 reseptor antagonis : Ranitidine 2 x 1 ampul IV

Non-Medikamentosa :

7

Page 8: Lapsus Ortopedi.docx

Konservatif :

Close reduction long leg casting

Elevasi tungkai setinggi dada

Evaluasi NVD

KIE keluarga : setelah dilakukan pemasangan casting,

sebaiknya melakukan mobilisasi untuk mempercepat proses

penyembuhan fraktur.

Operatif :

Segera konsul dokter spesialis ortopedi.

Dapat dilakukan ORIF atau OREF

BAB III

8

Page 9: Lapsus Ortopedi.docx

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Tulang

Tulang adalah suatu jaringan dan organ yang terstruktur dengan baik.

Tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut dengan

korteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan

dilapisi oleh periosteum pada bagian luarnya sedangkan yang membatasi tulang

dari cavitas medullaris adalah endosteum(1). Tulang tersusun atas:

a) Komponen sel : osteosit, osteoblast dan osteoklas.

b) Komponen matrix ossea : serabut-serabut kolagen tipe 1 dan substantia

fundamentalis.

Arsitektur jaringan tulang dikenal dengan 2 jenis yaitu:

a) Jaringan tulang dengan arsitektur serupa jala.

b) Jaringan tulang yang menunjukkan gambaran lembaran-lembaran (lamella

ossea). Masing-masing memiliki deretan lacuna ossea yang pada keadaan

segar ditempati oleh osteosit. Tiap lacuna mempunyai lanjutan-

lanjutan dinamakan canalliculi ossea. Matriks juga ditembus oleh canalis

perforans (volkmann) yang arahnya tegak lurus dengan permukaan tulang.

Kedua jenis saluran tersebut dalam keadaan segar terutama berisi

pembuluh darah yang membawa sari mkanan dan saling berhubungan (1).

Tulang secara garis besar dibagi atas (1):

a. Tulang panjang.

Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia, fibula, ulna dan

humerus, dimana daerah batas disebut diafisis dan daerah yang berdekatan

dengan garis epifisis disebut metafisis. Daerah ini merupakan suatu daerah

yang sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit, oleh karena daerah

ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung

pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan perkembangan pada daerah

lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang.

b. Tulang pendek.

Contoh tulang pendek adalah tulang vertebra dan tulang-tulang karpal.

c. Tulang pipih.

9

Page 10: Lapsus Ortopedi.docx

Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang skapula dan

tulang pelvis.

Gambar 3.1. Anatomi dan Histologi Tulang Panjang(2)

Struktur tulang berubah sangat lambat terutama setelah periode

pertumbuhan tulang berakhir. Komposisi tulang terdiri atas substansi organik

(35%) meliputi sel-sel tulang serta matriks kolagen dan sisanya adalah asam

hialuronat dan kondroitin asam sulfur; substansi inorganik (45%) meliputi

kalsium (99% dari seluruh kalsium tubuh) dan fosfor (90% dari seluruh fosfor

tubuh) serta sisanya adalah magnesium, sodium, hidroksil, karbonat dan

fluorida; air (20%). Sementara enzim tulang adalh alkali fosfatase yang

diprouksi oleh osteoblas yang kemungkinan besar mempunyai peranan yang

penting dalam produksi organik matriks sebelum tejadi kalsifikasi(1).

3.2. Definisi Fraktur

10

Page 11: Lapsus Ortopedi.docx

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang

rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial (1).

3.3. Proses Terjadinya Fraktur

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan,

kita harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat

menyebabkan tulang patah. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang

menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan(1). Trauma

bisa bersifat :

a. Trauma langsung

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi

fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat

komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.

b. Trauma tidak langsung

Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang

lebih jauh dari daerah fraktur. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak

tetap utuh.

Tekanan pada tulang dapat bersifat(1) :

a. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral.

b. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal.

c. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,

dislokasi, atau fraktur dislokasi.

d. Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah.

e. Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan

menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z.

f. Fraktur oleh karena remuk.

g. Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian

tulang.

3.4. Klasifikasi Fraktur

11

Page 12: Lapsus Ortopedi.docx

1. Klasifikasi etiologi(1)

Fraktur traumatik, terjadi karena trauma tiba-tiba

Fraktur patologis, terjadi karena keleahan tulang sebelumnya akibat

proses patologis didalam tulang

Fraktur stres, terjadi akibat trauma yang terus menerus pada suatu

tempat tertentu.

2. Klasifikasi klinis(1)

Fraktur tertutup (simple fracture) adalah suatu fraktur yang

tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

Fraktur terbuka (compound fracture) adalah fraktur yang

mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit

dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau

from without (dari luar).

Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan

komplikasi misalnya malunion, delayed union, non union, infeksi

tulang.

3. Klasifikasi Radiologi(1)

a. Lokalisasi

Diafisial

Metafisial

Intra-artikuler

Fraktur dengan dislokasi

b. Konfigurasi

Fraktur transversal

Fraktur oblik

Fraktur spiral

Fraktur kupu-kupu

Fraktur komunitif

Fraktur segmental

Fraktur depresi

Fraktur impaksi

Fraktur avulsi

12

Page 13: Lapsus Ortopedi.docx

Fraktur pecah (burst)

Fraktur Z

Gambar 3.2. Klasifikasi Fraktur Berdasarkan Konfigurasi Garis Fraktur(1)

c. Menurut ekstensi

Fraktur total

Fraktur tidak total

Frakur buckle atau torus

Fraktur garis rambut

Frakur green stick

d. Menurut hubungan antara fragmen satu dengan yang lainnya

Tidak bergeser (undisplaced)

Bergeser (displaced) : bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi,

over-riding, impaksi.

Gambar 3.3. Klasifikasi Fraktur berdasarkan Hubungan antar Fragmen(1)

3.5. Gambaran Klinis Fraktur

a) Anamnesis

13

Page 14: Lapsus Ortopedi.docx

Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik fraktur), baik

yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan

untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan

cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma, mungkin

fraktur terjadi di daerah lain. Trauma dapat terjadi akibat kecelakaan lalu

lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh di kamar mandi pada orang tua,

penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja, atau karena

trauma pada olahraga. Penderita biasanya datang karena keluhan nyeri,

pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan

gerak, krepitasi, atau datang dengan gejala yang lain(1).

b) Pemeriksaan Fisik(1)

Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:

Syok, anemia atau perdarahan.

Kerusakan pada organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang,

atau organ dalam rongga toraks, panggul, dan abdomen.

Faktor predisposisi , misalnya fraktur patologis.

c) Pemeriksaan Lokal(1)

Inspeksi (Look)

Keadaan umum.

Ekspresi wajah karena nyeri.

Bandingkan dengan bagian yang sehat.

Perhatikan posisi anggota gerak.

Adanya luka pada kulit atau jaringan lunak.

Perhatikan adanya deformitas anggota gerak.

Keadaan vaskularisasi.

Keadaan mental penderita.

Palpasi (Feel)

Temperatur setempat yang meningkat.

Adanya nyeri tekan.

Adanya krepitasi.

Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma, berupa pulsasi

arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, dan

14

Page 15: Lapsus Ortopedi.docx

pengisian kapiler pada kuku.

Lakukan pengukuran panjang tungkai terutama tungkai bawah.

Pergerakan (Move)

Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara

aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami

trauma.

d) Pemeriksaan Neurologis(1)

Saraf sensoris

Saraf motoris.

Catat gradasi kerusakan saraf.

e) Pemeriksaan Radiologis(1)

Tujuan:

Mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.

Konfirmasi adanya fraktur.

Melihat sejauh mana pergeseran dan konfigurasi fragmen.

Menentukan teknik pengobatan.

Melihat apakah fraktur tersebut baru atau lama.

Menentukan apakah fraktur melibatkan persendian.

Melihat keadaan patologis lain dari tulang.

Melihat adanya benda asing.

Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua, yaitu :

Dua posisi proyeksi, sekurang-kurangnya proyeksi AP dan lateral.

Dua sendi, di proksimal dan di distal fraktur .

Dua anggota gerak, utamanya pada anak.

Dua trauma.

Dua kali dilakukan foto.

f) Pemeriksaan Radiologis yang Lain

Tomografi

CT – Scan

MRI

Radioisotop scanning

15

Page 16: Lapsus Ortopedi.docx

3.6. Diagnosis Fraktur

Untuk menentukan diagnosis dari suatu fraktur, digunakan beberapa

pertanyaan yang mewakili terjadinya fraktur, yaitu(2) :

1) Tulang apa yang terkena?

2) Bagian segmen apa dari tulang yang terkena?

3) Bagaimana tipe frakturnya?

Pada tulang panjang, seperti femur, tibia, fibula, radius, ulna, dan humerus

terbagi menjadi beberapa segmen, yaitu : proksimal, 1/3 proksimal, 1/3 medial,

1/3 distal, dan distal. Penentuan bagian proksimal dan distal pada tulang panjang

dilakukan dengan membentuk suatu bujur sangkar yang panjangnya sama dengan

bagian terlebar dari epifisis. Sedangkan pada bagian tengah atau diafisis dibagi

menjadi tiga bagian, yakni : 1/3 proksimal, 1/3 medial, dan 1/3 distal(2).

Gambar 3.4. Penentuan Segmen Proksimal pada Tulang Panjang(2)

Gambar 3.5. Penentuan Segmen Diafisis pada Tulang Panjang(2)

16

Page 17: Lapsus Ortopedi.docx

Gambar 3.6. Penentuan Segmen Distal pada Tulang Panjang(2)

3.7. Pengobatan Fraktur

1) Penatalaksanaan Awal(1)

a) Pertolongan pertama

Membersihkan jalan napas, menutup luka dan imobilisasi fraktur

sebelum diangkut dengan ambulans.

b) Penilaian klinis

Lakukan penilaian adakah luka tembus tulang, trauma pembuluh

darah/saraf ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain.

c) Resusitasi

Kebanyakan penderita dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit

dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi berupa pemberian

transfusi darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.

2) Prinsip Umum Pengobatan Fraktur(1)

Jangan membuat keadaan lebih jelek.

Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang akurat.

Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus, yakni :

Menghilangkan nyeri.

Memperoleh posisi yang baik dari fragmen.

Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang.

Mengembalikan fungsi secara optimal.

Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara individual.

Perlu penilaian faktor umur, jenis fraktur, komplikasi yang terjadi

dan perlu pula dipertimbangkan keadaan sosial ekonomi penderita

secara individual.

3) Prinsip Pengobatan Fraktur (1)

Recognition

Diagnosis dan penilaian fraktur, lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,

17

Page 18: Lapsus Ortopedi.docx

menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang

mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan

Reduction

Reduksi fraktur jika perlu. Restorasi fragmen fraktur sehingga didapat

posisi yang dapat diterima. Posisi yang baik adalah : alignment yang

sempurna dan aposisi yang sempurna.

Retention

Imobilisasi fraktur.

Rehabilitation

Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.

4) Metode Pengobatan Fraktur(1)

A. Fraktur tertutup

1. Konservatif

a) Proteksi semata-mata (tanpa reduksi atau imobilisasi).

Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut

dengan cara memberikan slim (mitela) pada anggota gerak

atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.

Indikasi : terutama untuk fraktur yang tidak bergeser, fraktur

iga yang stabil, falang dan metakarpal atau fraktur klavikula

pada anak, fraktur kompresi tulang belakang, impaksi fraktur

pada humerus proksimal serta fraktur yang sudah

mengalamiunion secara klinis, tetapi belum mencapai

konsolidasi radiologik.

b) Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi).

Biasanya hanya memberikan sedikit imobilisasi

menggunakan plaster of Paris (gips) atau dengan bermacam-

macam bidai dari plastik atau metal.

Indikasi : digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan

posisinya dalam proses penyembuhan.

c) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna,

mempergunakan gips.

Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi, dilakukan baik

18

Page 19: Lapsus Ortopedi.docx

dengan pembiusan umum atau lokal. Reposisi yang dilakukan

melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips

merupakan alat utama pada teknik ini.

Indikasi : sebagai bidai pada fraktur untuk pertologan

pertama, imobilisasi sebagai pengobatan definitif pada

fraktur, diperlukan manipulasi pada fraktur yang bergeser,

imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis, sebagai alat

bantu tambahan pada fiksasi interna yang kurang kuat.

d) Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan

imobilisasi.

Reduksi tertutup pada fraktur yang diikuti dengan traksi

berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu traksi

kulit dan traksi tulang.

e) Reduksi tertutup dengan traksi kontinyu dan counter traksi.

Dengan mempergunakan alat-alat mekanik seperti bidai

Thomas, bidai Brown Bohler, bidai Thomas dengan Pearson

knee flexion attachment. Tindakan ini bertujuan untuk

reduksi yang bertahap dan imobilisasi. Terdapat empat

metode traksi kontinyu : traksi kulit, traksi menetap, traksi

tulang, traksi berimbang dan traksi sliding.

Indikasi :

Bilamana reduksi tertutup dengan manipulasi dan

imobilisasi tidak memungkinkan serta untuk mencegah

tindakan operatif.

Bilaman terdapat otot yang kuat mengelilingi fraktur

pada tulang tungkai bawah yang menarik fragmen dan

menyebabkan angulasi, over-riding, dan rotasi yang

dapat menimbulkan mal-union, non-union, atau delayed

union.

Bilamana terdapat fraktur yang tidak stabil, oblik, fraktur

spiral, atau kominutif pada tulang panjang.

Fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil.

19

Page 20: Lapsus Ortopedi.docx

Fraktur femur pada anak-anak.

Fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat disertai

dengan pergeseran yang hebat serta tidak stabil, misalnya

pada fraktur suprakondiler humerus.

2. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi perkutaneus

dengan K-Wire.

Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak

stabil, maka reduksi dapat dipertahankan dengan memasang K-

Wire perkutaneus.

3. Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang

a) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna

Indikasi :

Fraktur intra-artikuler.

Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan.

Bila terdapat interposisi jaringan diantara kedua fragmen.

Bila diperlukan fiksasi rigid.

Bila terjadi fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi

secara baik dengan reduksi tertutup.

Pada fraktur terbuka.

Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi eksterna

sedangkan diperlukan mobilisasi yang cepat.

Eksisi fragmen yang kecil.

Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan mengalami

nekrosis avaskuler.

Fraktur avulsi misalnya pada kondilus humeri.

Fraktur epifisis tertentu pada grade III dan IV pada anak

Fraktur multiple.

Untuk mempermudah perawatan penderita.

b) Reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna

Indikasi :

Fraktur terbuka grade II dan III.

20

Page 21: Lapsus Ortopedi.docx

Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang

yang hebat.

Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartrosis.

Fraktur yang miskin jaringan ikat.

Kadang pada fraktur tungkai bawah paenderita DM.

Komplikasi reduksi terbuka :

Infeksi (osteomielitis).

Kerusakan pembuluh darah dan saraf.

Kekaukan sendi bagian proksimal dan distal.

Kerusakan periosteum yang hebat sehingga terjadi

delayed union atau non union.

Emboli lemak.

4. Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis

B. Fraktur terbuka

a) Prinsip dasar pengelolaan fraktur terbuka

Mengobati fraktur terbuka sebagai suatu kegawatan

Evaluasi awal dan diagnosis adanya kelainan yang

menyebabkan kematian.

Berikan antibiotik dalam ruang IGD, OK, dan setelah operasi

Segera lakukan debrideman dan irigasi yang baik.

Ulangi debrideman 24-72 jam berikutnya.

Stabilisasi fraktur.

Biarka luka terbuka antara 5-7 hari.

Lakukan bone graft autogenous secepatnya.

Rehabilitasi anggota gerak yang terkena.

b) Tahap-tahap pengobatan fraktur terbuka

Pembersihan luka

Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debrideman)

Pengobatan fraktur itu sendiri

Penutupan kulit

Pemberian antibiotik

Pencegahan tetanus

21

Page 22: Lapsus Ortopedi.docx

3.8. Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan fraktur (tulang kortikal pada tulang panjang) terdiri

atas lima fase, yaitu(1) :

1. Fase hematoma (dalam waktu 24 jam timbul perdarahan)

Apabila terjadi fraktur maka pembuluh darah kecil yang melewati

kanalikuli dalam sistem harvesian mengalami robekan pada daerah fraktur

dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma

yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan

dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga

dapat terjadi ekstravasasi darah kedalam jaringan lunak. Osteosit dengan

lakunanya yang terletak eberapa milimeter daridaerah fraktur akan

kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cicin

avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

2. Fase proliferasi/inflamasi (Terjadi 1 – 5 hari setelah trauma)

Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi

penyembuhan. Penyembuhan terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang

berproliferasi dari perosteum untuk membentuk kalus eksterna serta

pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktivitas seluler

dalam canalis medullaris. Apabila terjadi robekan hebat pada periosteum

maka penyembuhan sel berasal dari sel-sel mesenkimal yang tidak

berdiferensiasi kedalam jaringan lunak. Pada tahap awal penyembuhan

fraktur terjadi penambahan jumlah sel-sel osteogenik yang memberikan

pertumbuhan yang cepat melebihi sifat tumor ganas. Jaringan seluler tidak

terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur.

Setelah beberapa minggu kalus dari fraktur akan membentuk satu massa

yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologi kalus belum

mengandung tulang sehingga masih merupakan suatu daerah radiolusen.

3. Fase pembentukan kalus (terjadi 6 – 10 hari setelah trauma)

Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen

se dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas

membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks

22

Page 23: Lapsus Ortopedi.docx

interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-garam kalsium

membentuk tulang- tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut

“woven bone” (merupakan indikasi radiologi pertama penyembuhan

fraktur).

4. Fase konsolidasi (2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh)

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan

diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang

menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus dapat diresorpsi secara

bertahap.

5. Fase remodeling (waktu lebih 10 minggu)

Perlahan - perlahan terjadi resorbsi secara osteoklastik dan tetap terjadi

proses osteoblastik pada kalus eksterna secara perlahan-lahan

menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang kompak dan

berisi sistem haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami

peronggaan untuk membentuk ruang sum-sum.

Gambar 3.7. Proses Penyembuhan Fraktur pada Tulang Kortikal(1)

Faktor-faktor yang yang mempengaruhi penyembuhan fraktur(1) :

1. Umur penderita

2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur

3. Pergeseran awal fraktur

23

Page 24: Lapsus Ortopedi.docx

4. Vaskularisasi pada kedua fragmen

5. Reduksi serta imobilisasi

6. Waktu imobilisasi

7. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak

8. Faktor adanya infeksi

9. Cairan sinovial

10. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak

Penyembuhan fraktur berkisar antara 3 minggu sampai 4 bulan.

Waktu penyembuhan pada anak secara kasar ½ waktu penyembuhan pada

dewasa.

Tabel 3.1. Perkiraan Penyembuhan Fraktur pada Orang Dewasa(1)

Lokalisasi Waktu penyembuhan

Falang/metakarpal/metatarsal/kosta 3-6 minggu

Distal radius 6 minggu

Diafisis ulna dan radius 12 minggu

Humerus 10-12 minggu

Klavikula 6 minggu

Panggul 10-12 minggu

Femur 12-16 minggu

Kondilus femur atau tibia 8-10 minggu

Tibia/Fibula 12-16 minggu

Vertebra 12 minggu

3.9. Komplikasi Fraktur : Sindrom Kompertemen

3.9.1 Definisi

Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan

tekanan dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap

saraf, pembuluh darah dan otot di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup.

Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen

dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan(3).

3.9.2. Anatomi

24

Page 25: Lapsus Ortopedi.docx

Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang,

interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan

pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana

fascia ini melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok(4).

Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak

yaitu terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), di lengan

bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, dan posterior). Di anggota gerak

bawah, terdapat tiga kompartemen di tungkai atas (kompartemen anterior, medial,

dan kompartemen posterior), empat kompartemen di tungkai bawah

(kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, posterior profundus).

Sindrom kompartemen yang paling sering terjadi di daerah tungkai bawah dan

lengan atas(4).

Setiap kompartemen pada tungkai bawah memiliki satu nervus mayor.

Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus profundus, kompartemen lateral

memiliki nervus peroneus superfisial, kompartemen posterior profunda memiliki

nervus tibialis posterior dan kompartemen posterior superfisial memiliki nervus

suralis. Ketika tekanan kompartemen meningkat, suplai vaskuler ke nervus akan

terpengaruh menyebabkan timbulnya parestesia(4).

Gambar 3.8. Anatomi Kompartemen pada Tungkai Bawah(4)

Tabel 3.2. Letak dan Isi Kompartemen(4)

Letak Kompartemen IsiLengan Atas Anterior M. Biceps brachii, M. Coracobrachialis, M. Brachialis;

A. Brachialis;N. MusculocutaneusStruktur yang Menembus Kompartemen : N.

25

Page 26: Lapsus Ortopedi.docx

Musculocutaneus, N. Medius, M. Ulnaris, A. Brachialis, V. Basilica

Posterior M. Triceps brachii;A. Profunda brachii, A. Collateralis ulnaris;N. Radialis Struktur yang Menembus Kompartemen : N. Radialis dan N. Ulnaris

Lengan Bawah

Anterior M. Pronator teres, M. Flexor carpi radialis, M. Palmaris longus, M. Flexor carpi ulnaris, M. Flexor digitorum superficialis, M. Flexor pollicis longus, M. Flexor digitorum profundus, M. Pronator quadratus;A. Ulnaris, A. Radialis;N. Medianus

Lateral M. Brachioradialis, m. Flexor carpi radialis longus;A. Radialis, a. Brachialis;N. Radialis

Posterior M. Extensor carpi radialis brevis, M. Extensor digitorum, M. Extensor digiti minimi, M. Extensor carpi ulnaris, M. Anconeus, M. Supinator, M. Abductor pollicis longus, M. Extensor pollicis brevis, M. Extensor pollicis longus, M. Extensor indicis;Arteriae interoseus anterior dan posterior; Ramus profundus nervi radialis

Tungkai Atas

Anterior M. Sartorius, M. Iliacus, M. Psoas, M. Pectineus, M. Quadriceps femoris;A. Femoralis;N. femoralis

Medial M. Gracilis, M. Adductor longus, M. Adductor brevis, M. Adductor magnus, M. Obturatorius externus; A. profunda femoris, A. Obturatoria;N. obturatorius

Posterior M. Biceps femoris, M. Semitendinosus, M. Semimembranosus, M. Adductor magnus;Cabang-cabang a. Profunda femoris

Tungkai Bawah

Anterior M. Tibialis anterior, M. Extensor digitorum longus, M. Peroneus tertius, M. Extensor hallucis longus, M. Extensor digitorum brevis;A. Tibialis anterior;N. Peroneus profundus

Lateral M. Peroneus longus, M. Peroneus brevis;Cabang-cabang dari a. Peronea;N. peroneus superficialis

Posterior Superfisial

M. Gastrocnemius, M. Plantaris, M. Soleus;A. Tibialis posterior;N. Tibialis

Posterior Profundus M. Popliteus, M. Flexor digitorum longus, M. Flexor hallucis longus, M. Tibialis posterior;A. Tibialis posterior;N. Tibialis

26

Page 27: Lapsus Ortopedi.docx

3.9.3 Patofisiologi

Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal

normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah

kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia(3).

Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan

menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan

terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada

titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan

kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam kompartemen

semakin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri

hebat(3).

Bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat.

Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini

penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan

(pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang

akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut(3).

Gambar 9. Lingkaran Setan Iskemia Volkmann(3)

Ada 3 teori tentang penyebab iskemia, yaitu:

1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen

2. “Theori of critical closing pressure.” Akibat diameter yang kecil dan

tekanan mural arteriol yang tinggi, tekanan transmural secara signifikan

berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan) ini dibutuhkan untuk

27

Page 28: Lapsus Ortopedi.docx

memelihara patensi. Bila tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol

menurun perbedaan tidak ada, yaitu critical closing pressure dicapai,

arteriol akan menutup.

3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila tekanan jaringan

melebihi tekanan vena. Bila darah mengalir secara kontinyu dari kapiler,

tekanan vena secara kontinyu akan meningkat pula sampai melebihi tekanan

jaringan dan drainase vena dibentuk kembali(4).

Sedangkan respon otot terhadap iskemia yaitu dilepaskannya histamine like

substances mengakibatkan dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas endotel.

Ini berperan penting pada transudasi plasma dengan endapan sel darah merah ke

intramuskular dan menurunkan mikrosirkulasi(4).

Alasan yang mendasari untuk peningkatan tekanan pada sindrom

kompartemen yaitu peningkatan isi cairan atau berkurangnya ukuran

kompartemen(4).

1. Peningkatan isi cairan dapat disebabkan sebagai berikut :

a. Penggunaan otot yang terus-menerus (antara lain : tetanus, kejang)

b. Aktivitas sehari-hari (bersepeda, menunggang kuda)

c. Terbakar

d. Injeksi intraarterial (paling sering karena iatrogenik)

e. Osmolaritas serum menurun

f. Perdarahan (terutama dari cedera pembuluh darah yang besar)

2. Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan sebagai berikut :

a. Military Antishock Trousers (MAST)

b. Terbakar

c. Penutupan defek fascia

d. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas

3.9.4. Manifestasi klinik

Secara klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom kompartemen, yaitu

Pain, Paresthesia, Pallor, Paralysis, Pulseness(3).

1. Pain (Nyeri ) :

28

Page 29: Lapsus Ortopedi.docx

Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,

ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling

penting, terutama jika munculnya nyeri tak sebanding dengan keadaan

klnik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan

analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada

kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. Gambarannya

biasa berat, konstan dan nyeri terlokalisasi.

2. Parestesia : Rasa kesemutan

3. Pallor (pucat) : diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut

4. Pulseness : berkurangnya atau hilangnya denyut nadi.

5. Paralysis : merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf

yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom

kompartemen.. Pemeriksaan dengan uji sensasi raba dengan jarum dan

peniti ) pada saraf kulit.

3.9.5. Diagnosis

Dalam mendiagnosis suatu kasus sindrom kompartemen, sama seperti kasus

lainnya, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik menyeluruh dan dengan

bantuan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan carilah tanda-tanda khas dari

sindrom kompartemen yang ada pada pasien, karena dapat membantu penegakkan

diagnosis(4).

Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah

kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk

mendiagnosis kompartemen sindrom yaitu nyeri dan parestesia (namun parestesia

gejala klinis yang datangnya belakangan) (3).

Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang

terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,

penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal

didapatkan pallor (pucat) dan pulseness (denyut nadi melemah) akibat

menurunnya perfusi ke jaringan tersebut. Menindak lanjuti pemeriksaan fisik

penting untuk mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri

pada saat istirahat atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu,

29

Page 30: Lapsus Ortopedi.docx

terutama saat peregangan otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan

merupakan awal indikator klinis dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut

biasanya tidak dapat teratasi dengan pemberian analgesik termasuk morfin.

Kemudian bandingkan daerah yang terkena dan daerah yang tidak terkena(3).

Nyeri yang dikeluhkan pasien, harus kita pantau dan pertimbangkan ada

saraf yang terkena(4).

a. Saraf sensoris mulai hilang kemampuannya, diikuti oleh saraf motorik.

b. Beberapa saraf dapat mengakibatkan efek meningkatkan tekanan.

c.Sebagai contoh, dalam kompartemen tungkai bawah bagian depan, saraf

peroneal cepat terpengaruh, dan sensasi di anatara jari-jari kaki bisa

hilang.

3.9.6. Diagnosis Banding

Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan

dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer,

dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya(4).

Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang timbul,

dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada saat beristirahat.

Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan claudikasio intermitten yang

merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan

berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas.

Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal,

tidak ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom

kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat

meningkatkan tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia kemudian

menurunkan aliran darah dan otot menjadi kram(4).

Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain :

1. Selulitis

2. Coelenterate dan Jellyfish Envenomations

3. Deep Vein Trombosis dan Thrombophlebitis

30

Page 31: Lapsus Ortopedi.docx

4. Gas Ganggrene

5. Necrotizing Fasciitis

6. Peripheral Vascular Injuries

7. Rhabdomyolis

3.9.7. Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang, antara lain :

1. Laboratorium(4)

Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk

mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis

banding lainnya.

a. Complete Metabolic Profile (CMP)

b. Hitung sel darah lengkap

c. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin

d. Serum myoglobin

e. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak

membantu dalam menentukan terapi pasiennya.

f. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah

ke diagnosis rhabdomyolisis.

g. Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)

2. Imaging(4)

a. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.

b. USG

USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi

Deep Vein Thrombosis (DVT)

3. Pemeriksaan Lainnya(3)

a. Pengukuran tekanan kompartemen

31

Page 32: Lapsus Ortopedi.docx

Gambar 3.10. Alat Pengukur Tekanan Kompartemen

b. Pulse oximetry

Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas, namun

tidak cukup sensitif.

3.9.8. Penatalaksanaan

Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi

neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan

bedah dekompresi. Tindakan non-operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti

menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan

operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi

dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen

memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindaklanjutinya(3).

Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom

sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi

disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih

diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular

adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi(3).

Penanganan sindrom kompartemen meliputi :

1. Terapi medikamentosa/non operatif

Pemilihan terapi secara medikamentosa digunakan apabila masih menduga

suatu sindrom kompartemen, yaitu :

a. Menempatkan ekstremitas yang terkena setinggi jantung, untuk

mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari

karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.

b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut

konstriksi dilepas.

32

Page 33: Lapsus Ortopedi.docx

c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat

perkembangan sindrom kompartemen.

d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.

e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat

mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan

memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot

yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.

2. Terapi pembedahan / operatif

Terapi operatif untuk sindrom kompartemen apabila tekanan

intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan

segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan

memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai

dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya,

kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang

dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau

kalau tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan.

Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik

dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Tidak ada

keuntungan yang utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah

paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi

tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan

vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat

kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus

dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen,

kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan), atau dilakukan

pencangkokan kulit(4).

Terapi untuk sindrom kompartemen biasanya adalah operasi. Insisi

panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di

dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan

ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis

otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit

(tanpa regangan), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka ini(4).

33

Page 34: Lapsus Ortopedi.docx

Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain:

Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat dan gambaran

klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien dengan

masalah psikiatrik, dan dibawah pengaruh narkotik) dengan tekanan jaringan

lebih dari 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan

yang normal(3).

Bila ada indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena

penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan

intrakompartemen.

Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen.

Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi

intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran

tekanan dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya(3).

Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk semua

sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk

mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga

dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi.

Setiap yang berpotensi membatasi ruang, termasuk kulit, dibuka di sepanjang

daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah

prosedur selesai. Debridemant otot harus seminimal mungkin selama operasi

dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis(4).

3.9.9. Komplikasi

Tekanan yang tidak dapat teratasi dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis

jaringan, saat perfusi kapiler mengalami gangguan terjadi hipoksia pada jaringan.

Hal ini dapat meningkatkan Volkman contracture. Bila semakin parah tidak

teratasi maka akan terjadi rhabdomyolis dan kidney failure(4).

Sindrom kompartemen dapat mengalami komplikasi antara lain :

1. Kerusakan saraf yang permanen

2. Infeksi

a.Sepsis

b. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

34

Page 35: Lapsus Ortopedi.docx

3. Deformitas kosmetik akibat fasciotomi

4. Kehilangan anggota tubuh

5. Kematian

3.9.10. Prognosis

Prognosis pada kasus sindrom kompartemen bisa menjadi baik atau

bertambah buruk, tergantung seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom

dilaksanakan dan pada ada tidaknya komplikasi.

BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis adanya fraktur tertutup pada regio cruris dekstra pada pasien ini

ditegakkan dari hasil anamnesis yang menyebutkan bahwa pasien mengeluh nyeri

pada tungkai kaki kanan setelah ditabrak sepeda motor. Nyeri dirasa terus

35

Page 36: Lapsus Ortopedi.docx

menerus, terutama saat tungkai digerakkan. Tungkai kaki kanan juga terasa berat,

bengkak, kesemutan, dan susah digerakkan. Tujuh hari yang lalu pasien ditabrak

sepeda motor saat menyebrang di jalan raya. Pasien ditabrak dari arah kanan,

kemudian pasien terjatuh ke arah kiri dengan kepala bagian belakang membentur

aspal. Sesaat setelah kecelakaan pasien sadar, tidak mual, tidak muntah, dan

kepala terasa pusing seperti berputar.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan abnormalitas pada regio cruris

dekstra. Pemeriksaan status lokalis pada tungkai kaki bawah tampak adanya

edema, bullae, abrasio, deformitas, dan vulnus appertum dengan diameter 10 cm

yang sudah di hecting. Saat dipalpasi terdapat nyeri tekan, adanya pulsasi arteri

dorsalis pedis, perbedaan true leg legth dekstra dan sinistra 81 cm/83 cm, dan

perbedaan apparent leg length dekstra dan sinistra 82 cm/85 cm. Pada pergerakan

aktif pasien mampu melakukan ekstensi, endorotasi minimal, eksorotasi minimal,

namun tidak mampu melakukan fleksi. Sedangkan pada pergerakan pasif, pasien

mampu melakukan ekstensi, fleksi minimal, endorotasi minimal, dan eksorotasi

minimal. Pada pemeriksaan neurovascular distal (NVD) tidak didapatkan adanya

reflek patologis, pemeriksaan motorik sebesar 2/5 (karena tungkai kanan nyeri),

tidak ada gangguan sensorik, dan CRT 1 detik.

Diagnosis pasti adanya fraktur pada regio cruris dekstra ditegakkan

berdasarkan hasil foto rontgen regio cruris dekstra AP dan lateral yang

menunjukkan adanya fraktur tibia distal dekstra komunitif intra-artikuler &

fraktur fibula dekstra segmental.

Sedangkan diagnosis adanya komplikasi yang mengarah pada impending

compartment syndrome ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang

menunjukkan adanya nyeri (pain) dan kesemutan (parasthesia). Hal ini

menandakan munculnya 2 dari 5 tanda dan gejala klasik sindroma kompartemen.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya bullae pada regio cruris dekstra.

Bullae tersebut menunjukkan adanya jaringan yang mati pada daerah superfisial

epidermis yang disebabkan oleh pembuluh darah yang terkompresi pada daerah

tungkai bawah sehingga terjadi penurunan oksigenasi pada daerah epidermis dan

otot.

36

Page 37: Lapsus Ortopedi.docx

Pemeriksaan rontgen toraks AP, pemeriksaan laboratorium DL, PTT,

APTT, RFT, LFT, HIV, HbsAg, dan pemeriksaan EKG bertujuan sebagai

persiapan jika dilakukan tindakan operatif pada pasien ini.

Penatalaksanaan medikamentosa pada kasus adalah : IVFD RL 20 tpm,

analgetik antiinflamasi : ketorolac 3 x 30 mg IV, antibiotik : ceftriaxon 1 x 2 gr

IV, H2 reseptor antagonis : ranitidine 2 x 1 ampul IV. Ketorolac digunakan

sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Ceftriaxon

diberikan sebagai antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien ini

dan diberikan ranitidine untuk mencegah stress ulcer.

Terapi non medikamentosa terdiri atas terapi konservatif dan operatif.

Terapi konservatif : melakukan imobilisasi sebagai pertolongan pertama dengan

close reduction long leg casting, elevasi tungkai setinggi dada untuk mencegah

terjadinya komplikasi compartment syndrome, evaluasi NVD untuk memonitoring

adanya rasa nyeri dan terjadinya komplikasi fraktur, dan KIE keluarga, yaitu :

setelah dilakukan pemasangan casting, sebaiknya melakukan mobilisasi untuk

mempercepat proses penyembuhan fraktur dan mencegah komplikasi fraktur.

Pada terapi operatif dapat dilakukan open reduction internal fixation (ORIF)

karena pada kasus ini terjadi fraktur intra-artikuler pada tulang tibia distal. Selain

itu dapat pula dilakukan bone graft untuk mengisi defek tulang karena terjadi

fraktur komunitif pada tulang tibia distal. Karena pada kasus ini usia pasien tua

dengan kulit yang tipis, vaskularisasi yang tidak adekuat, tulang yang sudah

mengalami osteoporosis, dan impending compartment syndrome sehingga

dikhawatirkan terjadi komplikasi infeksi, maka sebaiknya dilakukan tindakan

operatif berupa open reduction external fixation (OREF).

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

37

Page 38: Lapsus Ortopedi.docx

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang

rawan epifisis, baik bersifat total maupun parsial. Umumnya fraktur terjadi karena

kegagalan tulang menahan tekanan, terutama tekanan membengkok, memutar dan

tarikan. Klasifikasi fraktur dibagi menjadi, klasifikasi etiologis, klasifikasi klinis,

dan klasifikasi radiologis. Diagnosis fraktur ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lokal berupa inspeksi, palpasi, pergerakan ,

pemeriksaan neurologis, pemeriksaan vaskuler, dan pemeriksaan radiologis.

Prinsip pengobatan fraktur adalah recognition, reduction, retention, dan

rehabilitation. Pengobatan ini nantinya dibagi berdasarkan fraktur tertutup dan

fraktur terbuka. Pada fraktur tertutup pengobatan dibagi menjadi pengobatan

konservatif dan operatif. Proses penyembuhan pada fraktur terdiri dari 5 fase,

yaitu fase hematoma, fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal, fase

pembentukan kalus, fase konsolidasi, dan fase remodeling.

Sindrom kompartemen adalah salah satu komplikasi dari fraktur yang

terjadi akibat peningkatan tekanan dalam suatu kompartemen sehingga

mengakibatkan penekanan terhadap saraf, pembuluh darah dan otot di dalam

kompartemen osteofasial yang tertutup. Tanda dan gejala sindrom kompartemen

disebut 5P, yaitu pain, pallor, parasthesia, paralysis, pulseness. Penatalaksanaan

pada sindrom kompartemen meliputi medikamentosa dan operatif berupa

fasciotomi. Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit

fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya

dengan bedah dekompresi.

5.2. Saran

Perlu perhatian khusus bagi para dokter pelayanan primer untuk

mengetahui dasar-dasar tentang trauma dan fraktur sebagai dasar penanggulangan

trauma untuk melakukan penanggulangan pertama dan rujukan ke rumah sakit

terdekat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad, Chairuddin. 2000. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar :

Universitas Hasanudin

38

Page 39: Lapsus Ortopedi.docx

2. Ruedi, Thomas P dan Murphy. William M, 2000. AO Principles of

Fracture Management. New York : Thieme Stuttgart

3. Apley, A Grahm dan Solomon, Louis. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan

Fraktur Sistem Apley. Edisi ketujuh. Jakarta : Widya Medika.

4. Tiwari, A., Haq, A, I., Hamilton, G,. 2002. Acute Compartment

Syndromes, British Journal of Surgery 89 : 397-412

39