lapsus neuro

23
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF Laporan Kasus FAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2015 UNIVERSITAS PATTIMURA Multipel Sklerosis Oleh : Chresta D. Illintutu (2008-83-048) Pembimbing : dr. Parningotan Yosi Silalahi, Sp.S DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKLUTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON 1

Upload: renny-niunifat-joseph

Post on 11-Apr-2016

12 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

StrokeGita Listawati

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Neuro

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF Laporan KasusFAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2015UNIVERSITAS PATTIMURA

Multipel Sklerosis

Oleh :

Chresta D. Illintutu

(2008-83-048)

Pembimbing :

dr. Parningotan Yosi Silalahi, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKLUTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2015

1

Page 2: Lapsus Neuro

PENDAHULUAN

Multiple sklerosis adalah penyakit kronis sistem saraf pusat. Penyakit ini biasanya

memperlihatkan gejala defisit neurologis, yang kemudian dalam perjalan penyakitnya,

cenderung tidak kembali seperti semula bahkan semakin lama semakin parah defisit yang

dialami bahkan dapat menyebabkan kecacatan. Manifestasi klinis sangat beragam

tergantung dari area kerusakan yang dialaminya. 1

Multiple sklerosis merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling sering

menyerang orang pada usia muda. Gejala jarang muncul sebelum usia 15 tahun atau

setelah usia 60 tahun. Multiple sklerosis ditandai dengan timbulnya destruksi bintik

mielin yang meluas diikuti oleh gliosis pada susbtansia alba susunan saraf pusat. Ciri

khas perjalanan multiple sklerosis adalah serangkaian serangan terbatas yang menyerang

bagian susunan saraf pusat yang berlainan. Masing-masing serangan kemudian akan

memperlihatkan beberapa derajat pengurangan, namun keseluruhan gambaran adalah

suatu keadaan yang makin memburuk.2,

Multiple sklerosis merupakan penyakit demielinasi inflamasi sistem saraf pusat.

Penyakit ini menunjukkan cidera pada selubung myelin (materi lemak yang menutupi

akson) dan oligodendrti (sel yang membentuk myelin). Gejala-gejala multiple sklerosis

sangat bervariasi tergantung dari lokasi plak dalam sistem saraf pusat. Meskipun penyakit

ini tidak dapat disembuhkan atau dicegah, pengobatan tersedia untuk mengurangi

keparahan dan progresifitas penyakitnya. 3

Penyakit ini terutama mengenai substansia alba otak dan medulla spinalis, serta

nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan mielin dengan akson yang

relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat daerah yang masih tampak normal yang

2

Page 3: Lapsus Neuro

berselang seling dengan focus inflamasi dan demielinisasi yang disebut juga plak, yang

seringkali terletak dekat venula. Demielinisasi inflamasi jalur susunan saraf pusat

menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar saraf dan akhirnya hilangnya

penghantaran informasi oleh jaras tertentu. 4

Gejala-gejala klasik yang merupakan manifestasi dari multiple sklerosis adalah

kelemahan motorik, parastesia, penurunan penglihatan, diplopia, nistagmus, disartria,

tremor, ataksia, kehilangan sensibilitas, gangguan saluran berkemih, paraparesis, dan

perubahan respon emosional. Karena bervariasinya manifestasi klinis yang muncul, maka

penegakan diagnosisnya tidak selalu dilihat dari gejala klinis yang dirasakan penderita,

karena gejala tersebut muncul sangat tergantung dari letak lesi yang terjadi. 5

LAPORAN KASUS

Pasien wanita usia 23 tahun datang dengan keluhan penglihatan kabur yang

dialami sejak 5 hari yang lalu sebelum masuk RS. Keluhan ini dialami pada mata sebelah

kanan dan kadang pasien tidak dapat melihat cahaya dalam jarak lebih dari 2 meter serta

penglihatan sering membayang.. Keluhan ini juga disertai dengan sakit kepala sebelah

kanan seperti tertusuk-tusuk dan terasa berdenyut, pusing seperti terputar-putar, kadang

demam disertai menggigil namun telinga berdenging, mual, muntah yang dialami 5 hari

sebelum masuk RS, muntah kurang lebih 3 x isi makanan. Pasien mempunyai riwayat

kejang sejak kecil, menurut pasien sebelum keluhan penglihatan kabur pasien sempat

kejang 3 x dengan durasi 1 – 2 menit. Selain ini pasien mengatakan sering demam hilang

timbul yang dialami sejak kecil namun sembuh sendiri tanpa minum obat. Pasien juga

3

Page 4: Lapsus Neuro

pernah dirawat sekitar 2 kali (tahun 2011 dengan keluhan sering sakit kepala dan tahun

2013 dengan keluhan mata kiri tidak dapat melihat disertai sakit kepala)..

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak sakit sedang dan kedua mata tampak

eksoftalmus. Pada pemeriksaan nervus kranialis didapatkan ketajalaman penglihatan pada

mata kanan 2/60 dan mata kiri 4/60, ukuran dan bentuk pupil pada mata kanan 4mm/bulat

dan mata kiri 2mm/bulat serta keduanya anisokor, tidak ada reflex cahaya langsung pada

mata kanan.Pada pemeriksaan lapangan pandang mata kanan, pasien tidak dapat melihat

dari arah temporal dan medial. Pada tes gangguan koordinasi yaitu tes jari hidung

dilakukan tidak tepat.

DISKUSI

Multipel sklerosis merupakan penyakit demyelinasi dan penyakit peradangan

kronis pada sistem saraf pusat yang terkait dengan imun.Penyakit ini merupakan salah

satu gangguan neurologis yang paling sering menyerang orang muda di mana perempuan

terinfeksi 2 kali lipat dari laki-laki meskipun awitannya lambat. Usia rata-rata timbulnya

gejala yaitu 30 tahun dengan kisaran antara 18 – 40 tahun.2,3 Sesuai dengan teori, pasien

pada kasus ini berjenis kelamin perempuan didiagnosa Suspek Multipel Sklerosis berusia

23 tahun. Etilogi dari penyakit ini belum jelas. Diduga Bukti-bukti terbaru mendukung

teori bahwa multiple sklerosis adalah penyakit autoimun, mungkin berkaitan dengan

pemicu lingkungan yang tidak dapat ditentukan seperti infeksi virus. Hipotesis ini berasal

dari observasi bahwa infeksi virus biasanya menyebabkan peradangan yang melibatkan

produksi interferon gamma, yaitu suatu zat kimia yang diketahui dapat memperburuk

multiple sklerosis. Sejumlah virus telah diajukan sebagai agen penyebab yang mungkin

4

Page 5: Lapsus Neuro

pada multiple sklerosis. Beberapa peneliti menduga virus campak (rubeola). Berbagai

antibodi campak telah ditemukan dalam serum dan cairan serebrospinalis (CSF) pasien

multiple sklerosis, dan bukti yang ada mengesankan antibody ini dihasilkan dalam otak.

Teori lain menduga bahwa faktor genetik tertentu menyebabkan beberapa orang lebih

peka terhadap invasi susunan saraf pusat dengan berbagai virus “lambat”. Virus yang

lambat memiliki masa inkubasi yang lama dan hanya mungkin berkembang dengan

keadaan defisiensi atau imun yang abnormal. Antigen histokompabilitas tertentu ( HLA-

A3, HLA-A7) telah ditemukan lebih sering pada pasien multiple sklerosis dibandingkan

dengan subjek yang terkontrol. Adanya antigen ini mungkin berkaitan dengan defisiensi

pertahanan imunologis dalam melawan infeksi virus Beberapa keadaan yang biasanya

dianggap sebagai faktor pencetus adalah kehamilan, infeksi (khususnya dengan demam),

stress emosional, dan cedera. Multipel Sklerosis diyakini terutama dimediasi (namun

tidak eksklusif) oleh autoreaktif sel Th1 secara auto-antigen yang diaktifkan di perifer

oleh mekanisme yang belum dikenalkan (pilihan termasuk mimikri molekuler dengan

faktor peptida lingkungan menular; super-antigens; kerusakan toleransi imunologi oleh

mekanisme lain, dll). Sel-sel T aktif berploriferasi, mengekspresikan berbagai reseptor

dan molekul adhesi, mensekresi mediator proinflamasi dan metaloproteinase,

mengaktifkan blood-brain barrier (BBB) dan berinteraksi untuk masuk ke dalam otak,

dimana mereka mengalami reaktivasi oleh autoantigen lokal yang dihadirkan oleh

molekul MHC kelas II diekspresikan pada mikroglia aktif, astrosit dan makrofag. Ini

memulai reaksi inflamasi lokal di mana sitokin, kemokin dan mediator lain disekresikan

oleh sel-sel aktif, menarik dan mengaktifkan komponen lainnya dari sistem kekebalan

tubuh (makrofag, sel T sitotoksik, sel B, astrosit dan komplemen) dan menyebabkan

5

Page 6: Lapsus Neuro

serangan terpadu pada mielin, akson dan glia, yang dimediasi oleh sel sitotoksik dan

sitokin, fagositosis, protease, antibodi antimyelin, komplemen, glutamat, NO dan

intermediet oksigen reaktif lain. Hasil berupa edema, demielinasi, transeksi aksonal,

kehilangan oligodendrocytes dan aktivasi astrosit berkontribusi terhadap disfungsi

neurologis, untuk pembentukan plak akut diikuti kemudian oleh bekas luka gliotic dan

hilangnya volume otak. Proses lain seperti apoptosis, pergeseran Th1 ke Th2, pelepasan

faktor pertumbuhan dan sitokin oleh glia aktif, dan perubahan lingkungan sitokin yang

berkontribusi terhadap regulasi dan resolusi dari respon inflamasi lokal. Hal ini

memungkinkan pelepasan blok konduksi, reorganisasi jalur fungsional pada tingkat

selular dan tingkat sistem, remielinasi dan beberapa aktivitas regeneratif, dan sinyal

pemulihan fungsional. Mekanisme restoratif ini hanya efektif sebagian dan hanya untuk

sementara, seperti akumulasi hilangnya aksonal ireversibel dari waktu ke waktu secara

signifikan, reaktivitas astrosit menyegel lesi, dan gliosis menyebabkan penghalang fisik

untuk remielinasi lebih lanjut, mengurangi kapasitas untuk mengakomodasi defisit

kumulatif, dan menandai transisi ke tahap defisit persisten. Kehilangan dukungan trofik

dari glia ke akson dapat berkontribusi pada degenerasi aksonal kronis dan peningkatan

defisit klinis yang merupakan karakteristik dari fase progresif dari penyakit5

Penyembuhan sempurna biasanya terjadi setelah serangan pertama. Remisi biasanya

timbul dalam waktu 1 hingga 3 bulan dengan serangan yang berturut-turut. Namun pada

akhirnya penyembuhan tidak terjadi secara sempurna, dan pasien diwarisi kerusakan

permanen tambahan setelah serangan penyakit tersebut.2,3 Pada pasien ini penyebab

multiple sklerosis belum jelas namun diduga dari riwayat infeksi lama.

6

Page 7: Lapsus Neuro

Gejala-gejala multiple sklerosis sangat bervariasi tergantung dari lokasi plak

dalam sistem saraf pusat.3 Pola waktu evolusi gejala yang umum terjadi adalah gambaran

klinis memburuk selama beberap hari atau beberapa minggu, mencapai plateau dan

kemudian membaik secara bertahap, sebagaian atau total. Kemudian dapat terjadi

rekurensi pada interval yang tidak dapat diperkirakan yang mengenai pada bagian yang

sama atau berbeda pada susunan saraf pusat. Beberapa pasien dapat mengalami satu atau

lebih episode inisial kemudian tidak ada gejala untuk bertahun-tahun (pola jinak hingga

10%). Dapat terjadi resolusi simptomatik total atau hampir total, khususnya dengan

episode-episode awal (penyakit relaps-remisi, kurang lebih pada 80%). Sebagian akan

mengalami akumulasi disabilitas, walaupun tetap mampu bekerja selama bertahun-tahun.

Akan tetapi sepertiga pasien terkena lebih parah. Saat ini belum dapat diprediksi

prognosis setiap pasien, walaupun biasanya keterlibatan motorik dan serebelar

mempunyai prognosis lebih buruk.4 Lokasi lesi menentukan manifestasi klinisnya. Segala

bentuk kombinasi tanda dan gejala berikut ini dapat terjadi yaitu antara lain :

1. Gangguan sensorik

Derajat parestesia (rasa baal, rasa geli, perasaan “mati”, tertusuk-tusuk jarum dan

peniti) (pins and needles) bervariasi dari satu hari ke hari lainnya. Bila terdapat

lesi pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi pada leher

menyebabkan sensasi seperti syok yang menuruni spinalis (tanda Lhermitte).

Gangguan proprioseptif seringkali meningkatkan ataksia sensoris dan

inkoordinasi lengan. Sensasi getar seringkali terbatas.

Karena gangguan sensorik tak dapat diperagakan secara obyektif, maka gejala-

gejala tersebut dapat disalah duga sebagai histeria.2,5

7

Page 8: Lapsus Neuro

2. Gangguan penglihatan

Banyak pasien yang mengalami keluhan visual sebagai gejala awal. Sering

dilaporkan adanya diplopia (pandangan ganda), pandangan buram, distorsi warna

merah-hijau, dan lapangan pandang abnormal dengan bintik buta (skotoma) pada

satu atau dua mata. Penglihatan dapat hilang sepenuhnya pada satu mata dalam

beberapa jam hingga beberapa hari. Neuritis optikus merupakan dasar dari

gangguan ini. Keluhan lain yang sering diungkapkan adalah diplopia akibat lesi

batang otak yang mengenai jaras serabut atau nucleus dari otot ekstraokular dan

nistagmus.5

3. Kelemahan spastik anggota gerak

Sering dikeluhkan kelemahan ekstremitas pada satu sisi tubuh atau kelemahan

dengan distribusi asimetris pada keempat ekstremitas. Pasien dapat mengeluh

kelelahan dan rasa berat di satu tungkai dan secara sadar menyeret kaki itu dan

memiliki control yang buruk. Spastisitas lebih jelas jika dibarengi dengan spasme

otot yang nyeri. Refleks tendon dapat menjadi hiperaktif dan tidak terdapat refleks

abdomen; respons plantaris adalah ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda

tersebut mengindikasikan keterlibatan jaras kortikospinalis.5

4. Tanda-tanda serebelum

Nistagmus (bola mata bergerak cepat kearah horizontal atau vertikal) dan ataksia

serebelum adalah gejala lazim lain yang mengindikasikan keterlibatan traktus

serebelum dan kortikospinalis. Gerakan volunter yang tidak terkoordinasi, tremor

intensional, gangguan keseimbangan dan koordinasi, pusing, sakit kepala serta

8

Page 9: Lapsus Neuro

disartria (pengamatan bicara dengan kata-kata yang terpisah ke dalam suku kata

dan berhenti di antara suku kata) adalah tanda dari ataksia serebelum2,5

5. Disfungsi kandung kemih

Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menyebabkan gangguan pengontrolan

sfingter; hesitansi, urgensi (tidak dapat menahan kencing), dan sering berkemih

lazim terjadi dan mengindikasikan adanya penurunan kapasitas spastik kandung

kemih. Juga terjadi retensi akut dan inkontinensia..2

6. Gangguan afek

Banyak pasien mengalami euforia (perasaan gembira yang tidak sewajarnya).

Perasaan ini diyakini akibat keterlibatan substansia alba lobus frontalis. Tanda

lain dari gangguan otak adalah hilangnya memori dan demensia.2,5

Pada kasus, pasien`cenderung lebih menunjukkan gejala gangguan penglihatan

yaitu adanya penglihatan yang kabur pada satu mata dan riwayat penglihatan hilang pada

mata kiri 5 bulan lalu namun membaik setelah dirawat beberapa hari di RS. Selain itu,

pasien juga mengeluh penglihatan sering membayang. Kemudian pada pemeriksaan

ditemukan ketajaman penglihatan dan lapangan pandang yang abnormal yakni ketajaman

penglihatan pada mata kanan 2/60 dan mata kiri 4/60 serta lapangan pandang pada mata

kanan di mana pasien tidak dapat melihat dari arah medial dan temporal. Adanya keluhan

tanda-tanda serebelum yang dialami oleh pasien ini yaitu sering pusing, sakit kepala, dan

adanya gangguan koordinasi ketika dilakukan tes jari hidung.

Meskipun sebagian individu mengalami kombinasi gejala multiple sklerosis yang

berbeda-beda maka miltipel sklerosis ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :6,7

9

Page 10: Lapsus Neuro

1. Relapsing-Remiting Multiple Sclerosis

Pada multiple sklerosis jenis ini, terjadi kekambuhan beberapa kali yang tidak

terduga. Serangan ini berlangsung dalam waktu yang bervariasi (dalam hitungan

hari atau bulan) dan dapat pulih secara parsial atau total. Jenis ini dapat bersifat

‘tidak aktif’ selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Frekuensinya kurang

lebih 25%.

2. Benign Multiple Sclerosis

Setelah satu atau dua kali serangan kemudian pulih total, Multiple sklerosis jenis

ini tidak mengalami perburukan dan tidak timbul kecacatan permanen. Jenis ini

hanya dapat diidentifikasi ketika adanya gejala yang ringan timbul pada masa 10-

15 tahun setelah serangan dan pada awalnya dapat dikategorikan sebagai multiple

sklerosis relaps-remisi. Jenis ini juga cenderung berhubungan dengan gejala-

gejala yang tidak parah ketika terjadinya serangan (contohnya pada sistem

sensorik). Frekuensinya kurang lebih 20%.

3. Secondary Progressive Multiple Sclerosis

Bagi beberapa pasien yang mengalami Relapsing-Remiting Multiple Sclerosis,

dalam perjalanan penyakitnya ada bentuk perkembangan lebih lanjut yang

mengarah pada ketidakmampuan yang bersifat progresif dan sering kali disertai

kekambuhan terus menerus. Frekuensinya kuarng lebih 40%.

4. Primary Progressibe Multiple Sclerosis

Multipel sklerosis jenis ini ditandai dengan tidak ada serangan yang parah, tetapi

ada serangan-serangan kecil dengan gejala yang terus menerus memburuk secara

nyata. Terjadi satu akumulasi perburukan dan kerdakmampuan yang membawa

10

Page 11: Lapsus Neuro

penderita pada tingkat/titik yang semakin rendah atau terus berlanjut hingga

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Frekuensinya kurang dari 15%.

Pada pasien ini termasuk mulipel sklerosis dengan jenis Relapsing-Remising

karena pasien mengalamai serangan yang tidak terduga dan sekitar 5 bulan lalu pasien

mengalami serangan gejala yaitu penghilatan yang hilang namun kemudian sembuh

parsial.

Karena tidak ada yang spesifik untuk Multipel Sklerosis, maka diagnosa terutama

berdasarkan adanya remisi dan relaps pada pasien itu sendiri, dengan lesi multifokal dan

asimetrik pada traktus subtansia alba. 7,8

1. Clinically definite MS

Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih dari satu

lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI atau evoked

2. Laboratory supported definite MS

Terbuktinya ada dua lesi adri riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya satu

lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked potensial dan

kadar Ig G abnormal

3. Clinically probable MS

Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya, terbukti ada

lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa dan hanya satu dari

pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya bukti pada MRI lebih lesi

dan pemeriksaan IgG CSF normal.

4. Laboratory supported probable

11

Page 12: Lapsus Neuro

Kriteria yang dipakai pada MS ada dua yaitu kriteria Schumacher dan Poser,

tetapi yang banyak adalah kriteria poser.

Kriteria Poser

Jumlah serangan

Bukti adanya > 1 lesi IgG CSF

Klinik LabA. Clinically definite

A1A2

22

21 dan 1

B. Laboratory–supported definiteB1B2B3

211

1 atau 1 2 1 dan 1

+++

C. Clinically probableC1C2C3

211

1 2 1 dan 1

D. Laboratory-suported probable

2 0 +

Beberapa pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pasien

dengan multiple sklerosis antara lain :

a. Laboratorium

Tidak ada tes laboratorium tunggal untuk menegakkan diagnosis Multipel

Sklerosis, namun, beberapa tes dapat mendukung diagnosis klinis penyakit.

Analisis cairan serebrospinal menunjukkan ikatan oligoclonal IgG, yang

mengindikasikan sintesis imunoglobulin intratekal dan inflamasi patologi di

lebih dari 90% pasien. Latensi tertunda pada peningkatan potensi visual,

auditori dan somatosensori pada studi elektrofisiologi dari jalur sensorik

pusat, sebagaimana waktu konduksi memanjang pada motor sentral,

12

Page 13: Lapsus Neuro

merupakan ciri khas dari demielinasi, dan dapat menunjukkan lesi

tersembunyi secara klinis. Tes darah biasanya digunakan untuk

menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyerupai gejala infeksi awal dari

Multipel Sklerosis.8.9

b. Pencitraan

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah tes yang paling sensitif untuk

mendeteksi dan menunjukkan lesi Multipel Sklerosis. MRI digunakan untuk

mendukung diagnosis, memperkirakan beban lesi dan aktivitas penyakit,

mengukur atrofi otak dan hilangnya aksonal, mengikuti perkembangan

penyakit, memberikan prognosis, berfungsi sebagai penanda pengganti dan

memberikan hasil pengukuran pada percobaan klinis. Lesi Multipel Sklerosis

hyperintense pada T2, kepadatan proton atau pencitraan FLAIR, dan

hypointense atau isointense pada pencitraan T1 Lesi Multipel Sklerosis

biasanya berbentuk bulat telur, ukuran kecil (rata-rata 3-8mm, meskipun plak

raksasa dapat terjadi) dan terletak terutama di lapisan putih periventricular.

Lesi tersebut cenderung tegak lurus ke ventrikel, melibatkan corpus callosum

dan U-fibers dan dapat meningkatkan gadolinium, terutama selama

peradangan aktif, karena gangguan dari BBB10.

Pada kasus ini tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang baik laboratorium

dengan analisis cairan serebrospinal maupun pencitraan yakni MRI karena adanya

keterbatasan fasilitias di RS. Oleh karena itu pengobatan yang diberikan kepada pasien

hanya secara simptomatik.

13

Page 14: Lapsus Neuro

DAFTAR PUSTAKA

1. Mumenthelar, Mark. Multiple sklerosis: Fundamentals.of.Neurology.edisi 1

volume 1.2006.New York:ebook. Hal:156

2. Price Sylvia A., Wilson Lorraine M. Multipel Sklerosis. Patofisiologi : konsep

klinis proses-proses penyakit Edisi 6 Volume 2. 2005. Jakarta : EGC. Hal. 1145-

1147.

3. Compston A. Coles A. Multiple Sclerosis. Lancet Neurology . 2012; 359: 1321-31

4. Lucchinetti C, Bruck W, Parisi J, et al. Heterogeneity of multiple sclerosis

lesions: Implications for the pathogenesis of demyelination. Ann Neurol 2014;

47(10): 707-17

5. Matthews B. Symptoms and signs of multiple sclerosis. In: Compston A (ed.).

McAlpine’s Multiple Sclerosis. Churcill Livingstone. London: 2013;39(6): 208-14

6. Lublin FD, ReinGOLD sc. Defining the clinical course of multiple sclerosis:

Results of an international survey. National Multiple Sclerosis Society (USA)

Advisory Committee on Clinical Trials of New Agents in Multiple Sclerosis.

Neurology 201;46(4);907-11.

7. Hauser SL,MD. Manegement of Multiple Sclerosis. Departement of

Neurology;University of California; 2013; 20(4): 281-5

8. Polman CH, Reingold SC, Edan C, et al. Diagnostic criteria for multiple sclerosis:

2010 revisisons to the “Poster criteria”. Ann Neurol 2011; 56(6): 840-6

9. ZH Nevrol, Korsakova SS, Brian VV, Pozer CHM. Multiple Sclerosis:

Laboratory Findings: 2014; 23(5): 133-38

14

Page 15: Lapsus Neuro

10. Filippi M, Bakshi R, Rovaris M, Comi G. MRI and Multiple Sclerosis; What

Happened in the last 10 years? J Neuroimaging 2014; 17(7):S1-7

15