lapsus individu bedah

64
1 BAB I PENDAHULUAN Hemoroid merupakan pembengkakan submukosa pada lubang anus yang mengandung pleksus vena, arteri kecil, dan jaringan areola yang melebar. Hemoroid adalah jaringan normal yang terdiri atas pleksus arteri-vena, berfungsi sebagai katup di dalam saluran anus untuk membantu sistem sfingter anus, mencegah inkontinensia flatus dan cairan. Gangguan pada hemoroid terjadi ketika plexus vaskular ini membesar (Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, et al, 2010). Hemoroid merupakan salah satu penyakit anorektal yang sering terjadi pada dewasa. Lebih dari 50% pria dan wanita usia 50 tahun keatas mengalami gejala hemoroid. Beberapa laporan menyatakan bahwa kejadian hemoroid juga terjadi pada anak-anak. Tingkat kejadian hemoroid yaitu sebesar 4,4% sampai 36.4 % dengan insiden tertinggi pada usia 45-65 tahun (Sakr, Mahmoud dan Khaled Saed, 2014). Prevalensi hemorrhoid di Indonesia juga tergolong cukup tinggi. Di RSCM Jakarta

Upload: atika

Post on 11-Jan-2016

22 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

,,kkk

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Individu Bedah

1

BAB I

PENDAHULUAN

Hemoroid merupakan pembengkakan submukosa pada lubang anus yang

mengandung pleksus vena, arteri kecil, dan jaringan areola yang melebar.

Hemoroid adalah jaringan normal yang terdiri atas pleksus arteri-vena, berfungsi

sebagai katup di dalam saluran anus untuk membantu sistem sfingter anus,

mencegah inkontinensia flatus dan cairan. Gangguan pada hemoroid terjadi

ketika plexus vaskular ini membesar (Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John,

Pieter, et al, 2010).

Hemoroid merupakan salah satu penyakit anorektal yang sering terjadi pada

dewasa. Lebih dari 50% pria dan wanita usia 50 tahun keatas mengalami gejala

hemoroid. Beberapa laporan menyatakan bahwa kejadian hemoroid juga terjadi

pada anak-anak. Tingkat kejadian hemoroid yaitu sebesar 4,4% sampai 36.4 %

dengan insiden tertinggi pada usia 45-65 tahun (Sakr, Mahmoud dan Khaled Saed,

2014). Prevalensi hemorrhoid di Indonesia juga tergolong cukup tinggi. Di RSCM

Jakarta pada tahun 2010-2011, hemorrhoid mendominasi sebanyak 20% dari

pasien kolonoskopi (Osman N, 2011), sedangkan di RS Bhakti Wira Tamtama

Semarang pada tahun 2008 dari 1575 kasus di instalasi rawat jalan klinik bedah,

kasus hemorrhoid mencapai 16% dari seluruh total kasus di instalasi tersebut

(Irawati D, 2008).

Tingginya prevalensi hemorrhoid disebabkan oleh beberapa faktor antara

lain kurangnya konsumsi makanan berserat, konstipasi, usia, keturunan, kebiasaan

duduk terlalu lama, peningkatan tekanan abdominal karena tumor, konstipasi,

Page 2: Lapsus Individu Bedah

2

hubungan seks peranal, kurangnya intake cairan, kurang olah raga dan kehamilan

(Simadibrata M, 2006).

Hemoroid bukan merupakan penyakit yang berbahaya atau mengancam

nyawa. Gejala biasanya menghilang dalam beberapa hari, dan pada beberapa

orang bahkan tidak memiliki gejala. Walaupun keadaan ini tidak mengancam

jiwa, tetapi dapat menyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa sekitar 5% -10% dari pasien yang menderita

hemoroid tidak respon dengan perawatan konservatif, sehingga diperlukan

prosedur bedah sebagai pengobatan pilihan dalam kasus tersebut (Sakr, Mahmoud

dan Khaled Saed, 2014).

Page 3: Lapsus Individu Bedah

3

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Umur : 32 tahun

Alamat : Srening, RT 16, RW 8, Selorejo, Baureno, Bojonegoro

Pendidikan Terakhir : D3

Pekerjaan : Guru TK dan PAUD 

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Tanggal masuk : 26 Juni 2015

No RM : 69.12.88

2.2 Anamnesis

Keluhan utama :  Keluar benjolan dari anus

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poli bedah umum RS Muhammadiyah Lamongan, Jumat, 26 Juni

2015, dengan keluhan terdapat benjolan yang keluar dari anus sejak 3 hari ini.

Benjolan sebesar 2-3 cm dan terasa mengganggu. Benjolan tidak dapat masuk

sendiri setelah buang air besar. Benjolan terasa sangat nyeri dan panas. Pasien

mengaku bahwa 3 hari sebelum benjolan keluar pasien mengendarai motor dari

bojonegoro ke lamongan. Sejak + 1 tahun ini pasien sering merasakan sulit buang

air besar, feses terasa keras sehingga pasien harus mengedan kuat. Saat pasien

Page 4: Lapsus Individu Bedah

4

buang air besar seperti ada benjolan yang keluar dari anus sebesar 0,5-1 cm.

Benjolan tidak terasa nyeri dan dapat masuk sendiri setelah buang air besar

selesai. Feses kecil-kecil dan kadang disertai darah berwarna merah segar. Pasien

jarang mengkonsumsi makanan berserat, dan minum kurang dari 8 gelas per hari.

Untuk mengatasi benjolannya pasien sudah mengkonsumsi obat ambiven dan

obat dalam bentuk suppositoria untuk melunakan feses.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien mengaku terdapat benjolan sudah 1 tahun ini tetapi benjolan dapat masuk

kembali setelah buang air besar. Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit

jantung, ginjal, hipertensi, keganasan, diabetes mellitus, asma, sakit kuning dan

alergi terhadap obat-obatan.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Menurut pasien, ayah dan kakak pasien memiliki keluhan yang serupa, yaitu

terdapat benjolan keluar dari anus ketika buang air besar, namun benjolan dapat

masuk kembali setelah buang air besar selesai. Riwayat penyakit jantung, ginjal,

hipertensi, keganasan, diabetes mellitus, asma, sakit kuning dan alergi terhadap

obat-obatan disangkal.

Riwayat Penyakit Sosial

Pasien mengaku jarang mengkonsumsi makanan berserat, suka makanan pedas,

dan sedikit minum air putih (<8 gelas sehari). Pasien menyangkal sering

melakukan aktivitas yang berat, seperti duduk dan berdiri lama. Kebiasaan buang

air besar 3 hari sekali (BAB posisi jongkok), feses terasa keras sehingga pasien

harus mengedan untuk mengeluarkan feses.

Page 5: Lapsus Individu Bedah

5

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

1. Vital sign

Tekanan darah : 114/60 mmHg

Frekuensi nadi : 78 kali/ menit, regular

Frekuensi napas : 22 kali/ menit, regular

Suhu : 36,9 ºC

2. Status Generalis

a. Kepala-leher

- Kepala : Normocephal

- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-, pupil bulat isokor 3

mm/3mm, refleks pupil +/+

- Telinga : Bentuk normal,serumen -/-

- Hidung : deviasi septum -, secret -

- Mulut : bibir sianosis -, mukosa basah, bercak-bercak putih pada rongga

mulut -, gusi berdarah -, tonsil tidak membesar (T1-T2) tenang

- Leher : kelenjar tiroid tidak teraba membesar, pembesaran KGB -

b. Thoraks : bentuk dada normal , pergerakan dinding dada simetris kanan

dan kiri, tidak ada retraksi kanan kiri

- Pulmo: I : normochest, retraksi -/-

P: fremitus taktil hemitoraks kanan=kiri

P: sonor pada kedua lapang paru

A : suara nafas vesikular/vesikular, ronkhi -/-, wheezing -/-

Page 6: Lapsus Individu Bedah

6

- Cor: I: Tidak tampak ictus cordis

P: Iktus cordis tidak teraba, thrill/fremissment (-)

P: batas pinggang jantung ICS III LPSS, batas kiri jantung

ICS V LMCS, batas kanan jantung ICS IV linea sternalis

dextra

A: S1 S2 tunggal, regular, gallop (-), murmur (-)

c. Abdomen

- I : datar, jaringan parut -, bekas operasi –, darm contour -

- A : Bising usus (+) normal

- P : Supel, defans muscular -, nyeri tekan -, Hepar dan Lien tidak teraba

membesar

- P : timpani, meteorismus -

d. Ekstremitas

- Edema -/-, akral hangat kering merah +/+, CRT <2 detik

e. Status Lokalis R/ Perianal

Inspeksi : tampak massa sirkuler diliputi mukosa dan kulit ukuran + 3 cm

pada jam 3-11, merah, Fissure (-), Abses (-), thrombus +

Palpasi : konsistensi padat kenyal, nyeri tekan +, mobile (+), melekat pada

dasar (+)

f. Pemeriksaan Rectal Toucher

Tonus sfingter ani baik, mukosa licin, ampula recti tidak kolaps, teraba

massa - , nyeri tekan - , pada handscoon tidak didapatkan darah dan feses,

lendir (+)

Page 7: Lapsus Individu Bedah

7

Foto Klinis Pasien

2.4. Assessment

Hemoroid Interna Grade IV dan Hemoroid Eksterna

2.5. Planning

1. Planning Diagnosis

(Pemeriksaan Darah Lengkap)

Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil NormalLekosit 7,1 10 3/uL 4,0-11,0

Neutropil 66,7 % 49,6-67Limfosit 21,2 % 25,0-33,0Monosit 4,5% 3,0-7,0Eosinofil 3,2% 1,0-2,0Basofil 4,4% 0,0-1,1

Eritrosit 5,26 106/uL 3,8-5,3Hemoglobin 13,4 g/dL 13-18Hematokrit 40,3 % 35-47

MCV 80,40 fl 87-100MCH 25,50 pg 28-36

MCHC 31,70 g/dL 31,0-v37,0RDW 12% 10-16.5

Trombosit 300 103/uL 150-450MPV 5 5-10

LED 1 8 0-1LED 2 17 1-7

PT 15,30 detik 10,30 – 16,30APTT 27,60 detik 24,20 – 38,20

Page 8: Lapsus Individu Bedah

8

2. Planning Terapi

- Operatif Haemoroidectomy

- Injeksi Metamizole 3x 1 gr IV/po asam mefenamat 3x500 mg

3. Planning Monitoring

- Keluhan pasien

- Vital Sign

- Rectal Toucher pada hari ke-5 atau ke-6 untuk memastikan penyembuhan

luka dan adanya spasme sfingter ani interna

4. Planning Edukasi

- Menjelaskan kondisi pasien

- Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan

- Menjelaskan kepada pasien tentang terapi yang akan dilakukan yaitu

secara operasi dan resiko yang akan terjadi apabila tidak dilakukan operasi

- Menjelaskan komplikasi yang kemungkinan muncul dari tindakan operasi

tersebut

- Menjelaskan prognosis penyakit kepada pasien dan menjelaskan bahwa

penyakitnya dapat kambuh kembali apabila tidak merubah pola hidup

- Menjelaskan pengaturan gaya hidup meliputi olahraga, banyak minum air

putih, diet berserat, konsumsi sayur dan buah-buahan, menghindari

makanan pedas, menghindari duduk yang terlalu lama, dan tidak menahan

saat ingin BAB

7. Follow Up Pasien Post Haemoroidectomy

Hari Ke-1 (28 Juni 2015)

- Subyektif : Keadaan umum cukup, nyeri luka post op

Page 9: Lapsus Individu Bedah

9

- Obyektif : Tekanan darah 105/67 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit,

frekuensi napas 20x/menit, suhu 36,5˚C, terpasang pump

VAS kecepatan 1,0

- Assestment : Hemoroid interna Grade IV + Hemoroid eksterna (post

haemoroidectomy hari ke-1)

- Planning : cek DL post haemoroidectomy, Infus Futrolit 1500 cc/24 jam,

Injeksi metamizole 3x 1 gr, Injeksi Ranitidine 2x 50 mg,

Injeksi ceftriaxone 1x2 gr, PO Hidrosmin 2x 200 mg kap,

tampon dipertahankan 1x24 jam, perawatan luka rendam

duduk hangat selama 10-15 menit (pagi dan sore)

Hari Ke-2 (29 Juni 2015)

- Subyektif : Keadaan umum cukup, nyeri luka post op

- Obyektif : Tekanan darah 92/58 mmHg, frekuensi nadi 79x/menit,

frekuensi napas 24x/menit, suhu 36,6˚C, terpasang pump

VAS kecepatan 1,0

- Assessment : Hemoroid interna Grade IV + Hemoroid eksterna (post

haemoroidectomy hari ke-2)

- Planning : Terapi lanjut

Page 10: Lapsus Individu Bedah

10

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Hemoroid

Hemorrhoid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di

daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis. Plexus hemorrhoidalis

tersebut merupakan jaringan normal yang terdapat pada semua orang yang

berfungsi untuk mencegah inkontinensia flatus dan cairan (Riwanto, Ign, Ahmad

Hidayat, John, Pieter, et al, 2010). Karena adanya suatu faktor pencetus, pleksus

tersebut dapat mengalami pelebaran, inflamasi, bahkan perdarahan. Pelebaran ini

berkaitan dengan peningkatan tekanan vena pada pleksus tersebut, dimana

pelebaran ini tidak diikuti dengan perubahan kondisi anatomi dari kanalis analis

(Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, et al, 2010; Simadibrata M, 2006).

Menurut Mounsey, Anne, Jacqueline Halladay, dan Timothy S. Sadiq,

2011, hemoroid berasal dari dilatasi jaringan vaskular submukosa pada kanalis

analis distal. Jaringan vaskular ini diperkuat oleh jaringan ikat yang apabila

jaringan ikat tersebut melemah akan menyebabkan turunnya atau prolap dari

hemoroid.

3.2 Anatomi Kanalis Analis

Kanalis ani mempunyai panjang 4 cm (1,5 inci), dimulai sebagai

kelanjutan rectum, berjalan melalui diagfragma pelvic dan berakhir pada tepi anus

(kulit) (Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014). Batas posterior dari

kanalis analis berhubungan dengan corpus anococcygeum , massa jaringan yang

terletak di antara kanalis analis dan os coccygis. Batas lateral berhubungan dengan

Page 11: Lapsus Individu Bedah

11

fossa ischioanalis yang berisi lemak. Batas anterior pada laki-laki berbatasan

dengan corpus perineale, diaphragma urogenitale, urethra pars membranacea,

dan bulbus penis, sedangkan pada perempuan, di anterior berhubungan dnegan

corpus perineale, diaphragm urogenitale, dan bagian bawah vagina (Snell, S.

Richard, 2006).

Gambar 3.1 Anatomi Kanalis Analis(Sumber: www.emedicinehealth.com)

Tunika mucosa setengah bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm

usus belakang (hindgut). Tunika mukosa ini dibatasi oleh epitel selapis kolumnar,

mempunyai lipatan vertical yang dinamakan columnae anales dan dihubungkan

satu sama lain pada ujung bawahnya oleh plicae semilunares yang dinamakan

valvula anales (sisa membrane proctodeum). Persarafannya sama seperti

persarafan mukosa rectum dan berasal dari saraf otonom plexus hypogastricus

dengan mukosa yang hanya peka terhadap regangan. Vaskularisasi kanalis analis

berasal dari arteria yang mendarahi usus belakang, yaitu arteria rectalis superior,

sebuah cabang dari arteria mesenterika inferior. Aliran darah terutama dari vena

rectalis superior, sebuah cabang dari vena mesenterika inferior, dan vena porta.

Aliran limfatik terutama ke atas di sepanjang arteria rectalis superior menuju ke

Page 12: Lapsus Individu Bedah

12

nodi rectales superiors dan akhirnya ke nodi mesenterika inferior (Snell, S.

Richard, 2006).

Tunika mukosa setengah bagian bawah kanalis analis berasal dari

ectoderm proctodeum yang dibatasi oleh epitel berlapis gepeng yang secara

bertahap bergabung dengan epidermis perianal di anus. Tunika mukosa ini tidak

memiliki columnae anales dan persarafannya berasal dari saraf somatik nervus

rektalis inferior sehingga peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan. Suplai

arteria berasal dari arteria recktalis inferior, cabang dari arteria pudenda interna.

Aliran darah vena oleh vena rectalis inferior, cabang vena pudenda interna yang

mengalirkan darahnya ke vena iliaca interna. Aliran limfa berjalan ke bawah

menuju ke nodi superomediales dari nodi inguinales superficiales. Pecten ossis

pubis menunjukkan tempat pertemuan setengah bagian atas dan setengah bagian

bawah kanalis analis. Tunika muskularis terbagi atas stratum longitudinal di

bagian luar dan stratum sirkuler di bagian dalam (Snell, S. Richard, 2006).

Kanalis analis mempunyai muskulus sfingter ani internus yang bekerja

secara involuntar dan muskulus sfingter extermus voluntar yang bekerja secara

voluntar. Muskulus sfingter ani internus dibentuk oleh penebalan otot polos

stratum sirkular pada ujung atas kanalis analis (Snell, S. Richard, 2006). Sfingter

interna merupakan kelanjutan serabut otot sirkular rektum dan berakhir 0,5 cm di

bawah linea pektinata. Sphrincter interna merupakan otot involuntar dan

mempunyai panjang 2,5 cm. Serabut motorik berasal dari pleksus presakralis

(Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014).

Muskulus sphrincter ani eksternus dibentuk oleh serabut otot serat lintang

yang saling menjalin dengan serabut otot longitudinal rectum yang melekat

Page 13: Lapsus Individu Bedah

13

dengan kulit di daerah perianal. Sfingter ekternus mempunyai bagian superficial,

profunda dan kutaneus. Levator dan puborektalis mempunyai perlekatan dengan

sfingter interna. Suplai saraf (motorik) berasal dari ramus hemoroidalis inferior

nervus pudendus interna dan ramus perianal nervus sakralis ke empat (juga

motorik ke elevator ani). Sfingter eksternus bersifat volunter dan memberikan

kontinensia yang temporer (Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014).

Pada perbatasan di antara rektum dan kanalis analis (junction

anorectalis), muskulus sfingter ani internus, muskulus sfingter ani eksternus pars

profunda, dan muskulus puborectalis membentuk cincin yang disebut cincin

annorektalis dan dapat diraba pada pemeriksaan rektal (Snell, S. Richard, 2006).

Arteria rectalis superior memperdarahi setengah bagian atas kanalis

analis, sedangkan arteria rectalis inferior memperdarahi setengah bagian

bawahnya. Setengah bagian atas dialirkan oleh v. rectalis superior ke vena

mesenterica inferior, sedangkan setengah bagian bawah dialirkan oleh v. rectalis

inferior ke v. pudenda interna. Anastomosis v.rectalis membentuk anastomosis

portal sistemik yang penting yaitu pleksus hemorrhoidales (Snell, S. Richard,

2006).

Pada submukosa kanalis terdapat plexus venosus yang mengalirkan

darahnya ke atas melalui v. rectalis superior. Cabang-cabang kecil v. rectalis

media dan v.rectalis inferior berhubungan satu dengan yang lain dan dengan

v.rectalis superior melalui plexus ini. Oleh sebab itu plexus venosus rectalis

membentuk anastomosis portal sistemik yang penting karena v.rectalis superior

mengalirkan darahnya ke v.porta dan v/rectalis media serta v.rectalis inferior ke

sistem sistemik (Snell, S. Richard, 2006).

Page 14: Lapsus Individu Bedah

14

Gambar 3.2 Vaskularisasi Rektum dan Kanalis Analis

3.3 Anatomi dan Klasifikasi Hemoroid

Gambar 3.3 Tiga Posisi Primer Hemoroid

Hemoroid adalah bantalan vaskular yang terdapat di anal canal yang

biasanya ditemukan di tiga daerah utama yaitu kiri samping, kanan depan, dan

bagian kanan belakang. Hemoroid berada dibawah lapisan epitel anal canal dan

terdiri dari plexus arteriovenosus terutama antara cabang terminal arteri rektal

superior dan arteri hemoroid superior. Selain itu hemoroid juga menghubungkan

Page 15: Lapsus Individu Bedah

15

antara arteri hemoroid dengan jaringan sekitar. Bantalan vaskular membesar data

maneuver valsava atau ketika tekanan intraabdominal meningkat, menyebabkan

kanalis analis tetap tertutup. Kongesti dari bantalan vaskular disebabkan oleh

penurunan secara cepat dari tonus anal yang mengakibatkan pengosongan isi

rectum (Person, Orit Kaidar, Benjamin Person,dan Steven DWexner, 2007).

Persarafan pada bagian atas anal canal disuplai oleh plexus otonom,

bagian bawah dipersarafi oleh saraf somatik rektal inferior yang merupakan akhir

percabangan saraf pudendal (Snell, S. Richard, 2006).

Gambar 3.4 Klasifikasi Hemoroid (Sumber: www.emedicinehealth.com)

Hemoroid dibedakan antara interna dan eksterna. Hemoroid interna

adalah pleksus vena hemoroidales superior di atas garis mukokutan atau linea

dentata, ditutupi oleh mukosa. Hemoroid interna ini merupakan bantalan vaskular

di dalam jaringan submukosa pada rektum sebelah bawah. Hemoroid interna

dibedakan menjadi derajat 1, 2, 3 dan 4. Hemoroid eksterna yang merupakan

pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid inferior terdapat di sebelah distal

garis mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel anus, ditutup dengan kulit.

Page 16: Lapsus Individu Bedah

16

Hemoroid interna-eksterna dimana kedua varietas ditemukan secara bersamaan

(Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, et al., 2010).

Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus saling berhubungan

secara longgar dan merupakan awal dari aliran vena yang kembali bermula dari

rectum sebelah bawah dan anus. Pleksus hemoroid internus mengalirkan darah ke

vena hemoroidalis superior dan selanjutnya ke vena porta. Pleksus hemoroid

eksternus mengalirkan darah ke peredaran sistemik melalui daerah perineum dan

lipat paha ke vena iliaka (Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, 2010).

Hemoroid biasanya terletak pada posisi 3,7, 11, secara berturut-turut

lateral sinistra, posterior dekstra dan anterior dekstra. Arteria (vena) hemoroidalis

superior memberikan 2 cabang pada sisi kanan dan 1 cabang pada sisi kiri.

Dengan demikian hemoroid berjumlah dua pada sisi kanan dan satu pada sisi kiri

(Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014).

Tabel 3.1 Klasifikasi Derajat Hemoroid Interna

No Ciri-Ciri Gejala Klinis

12

3

4

Tidak pernah prolapsProlaps pada saat defekasi dan tereduksi spontanProlaps pada saat defekasi, memerlukan reduksi manual

Prolaps yang permanen

Perdarahan per rektumAda sesuatu yang turun dan kembali lagiAda sesuatu yang turun, perdarahan, secret, mucus, pruritusNyeri yang akut, rasa tidak enak yang berdenyut

(Sumber : Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014)

Page 17: Lapsus Individu Bedah

17

Gambar 3.5 Klasifikasi Hemoroid Interna(Sumber: www.emedicinehealth.com)

3.4 Patogenesis Hemoroid

Anal kanal memiliki lumen yang dilapisi bantalan (cushion) atau alas

dari jaringan mukosa. Bantalan ini tergantung di anal canal oleh jaringan ikat yang

berasal dari sfingter anal internal dan otot longitudinal. Di dalam tiap bantalan

terdapat plexus vena yang diperdarahi oleh arteriovenosus. Struktur vaskular

tersebut membuat tiap bantalan membesar untuk mencegah terjadinya

inkontinensia (Person, Orit Kaidar, Benjamin Person,dan Steven D Wexner.

2007). Terdapat ada beberapa teori dan mekanisme menerangkan pembentukan

hemoroid yang telah dikemukakan (Yuwono, 2010):

a) Teori Mekanik

Ligamentum suspensorium dan ligamentum Parks adalah jaringan

muskulo-fibro-elastika yang merupakan jaringan ikat (supporting tissue) yang

Page 18: Lapsus Individu Bedah

18

menahan hemorhoid interna di tempatnya cenderung mengalami degenerasi

dengan bertambahnya usia. Proses degenerasi telah dimulai sejak usia dekade ke -

3 sehingga jaringan penahan tersebut tidak lagi kuat berpancang pada lapisan

dalam terutama pada otot sphingter interna dan otot-otot submukosa. Kelemahan

tersebut mengakibatkan mobilitas hemoroid ketika terjadi peningkatan intra

rektal, misalnya dalam keadaan mengejan pada gangguan konstipasi. Pada

puncaknya dapat terjadi ruptur ligamentum suspensorium dan ligamentum Parks

sehingga hemorhoid interna mengalami prolap, keadaan ini yang memudahkan

terjadinya dilatasi vena sehingga ukuran hemorhoid membesar. Selanjutnya

setelah terjadi dilatasi dan motilasi, timbul kerapuhan dinding mukosa yang

melapisi hemorhoid interna, sehingga akibat tindakan mengejan dan bergeseran

dengan permukaan feses akan memudahkan terjadinya perdarahan.

Kecenderungan genetik yang mendasari kelemahan ligamentum suspensorium dan

ligamentum Park’s menerangkan tingginya angka kejadian hemorhoid pada

keluarga penderita.

Menurut Acheson, A.G. dan Scholefield, J. H., 2008, Efek degenerasi

akibat penuaan dapat memperlemah jaringan penyokong dan bersamaan dengan

usaha pengeluaran feses yang keras yang akan mengakibatkan prolapsus. Bantalan

yang mengalami prolapsus akan terganggu aliran balik venanya. Perdarahan yang

timbul dari pembesaran hemoroid disebabkan oleh trauma mukosa lokal atau

inflamasi yang merusak pembuluh darah di bawahnya.

b) Teori Hemodinamik

Struktur vena dan arteri di dalam hemorhoid saling berhubungan

(hubungan arteriol-venosa) dan tanpa memiliki katup. Peninggian tekanan intra

Page 19: Lapsus Individu Bedah

19

abdomen oleh karena kebiasaan mengejan yang terlalu kuat ketika buang air

besar, yang terjadi pada keadaan konstipasi, kehamilan, feses yang tersisa dan

melekat (fecolith) dalam ampula recti, dan kegagalan relaksasi muskulus stingfer

interna setelah defekasi, akan menyebabkan hambatan drainase aliran vena

(gangguan venous return). Keadaan tersebut menimbulkan dilatasi bantalan

karena terisi darah dan dinding yang meregang menjadi menipis. Feses keras yang

melalui bantalan vaskuler yang melebar dapat menyebabkan bantalan tersebut

robek dan mengeluarkan darah merah terang yang menetes di atas masa feses

yang telah lebih dahulu keluar. Peningkatkan aliran darah dalam perut yang terjadi

segera setelah makan dapat menyebabkan dilatasi hemoroid interna (dilatasi post

prandial), yaitu karena terdapat hubungan antara vena porta dengan plexus

hemorhoidalis.

c) Faktor fungsi spingter yang mengalami peninggian tekanan walaupun

sedang istirahat (tidak sedang defekasi). Abnormalitas fungsi sfingter dibuktikan

pada pemeriksaan manometri anorektal penderita penyakit hemoroid bila

dibandingkan dengan tekanan istirahat anorektal kelompok control.

Taweevisit M, Wisadeopas N, Phumsuk U, dan Thorner PS (2008)

menjelaskan bahwa sel mast memiliki peran terhadap patogenesis hemoroid,

melalui mediator dan sitokin yang dikeluarkan oleh granul sel mast. Pada tahap

awal vasokonstriksi terjadi bersamaan dengan peningkatan vasopermeabilitas dan

kontraksi otot polos yang diinduksi oleh histamin dan leukotrien. Ketika vena

submukosal meregang akibat dinding pembuluh darah pada hemoroid melemah,

akan terjadi ekstravasasi sel darah merah dan perdarahan. Sel mast juga

melepaskan platelet-activating factor sehingga terjadi agregasi dan trombosis yang

Page 20: Lapsus Individu Bedah

20

merupakan komplikasi akut hemoroid. Pada tahap selanjutnya hemoroid yang

mengalami trombosis akan mengalami rekanalisasi dan resolusi. Proses ini

dipengaruhi oleh kandungan granul sel mast. Termasuk diantaranya tryptase dan

chymase untuk degradasi jaringan stroma, heparin untuk migrasi sel endotel dan

sitokin sebagai TNF-α serta interleukin 4 untuk pertumbuhan fibroblas dan

proliferasi. Selanjutnya pembentukan jaringan parut akan dibantu oleh basic

fibroblast growth factor dari sel mast.

3.4 Faktor Resiko

1. Anatomik : Vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus

hemoroidalis kurang mendapat skokongan dari otoot dan fascia sekitarnya

2. Usia : pada usia tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga

otot sphingter menjadi tipis dan atonis

3. Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis

4. Pekerjaan : pada orang yang harus berdiri, duduk lama atau harus

mengangkat barang berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid

5. Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan intra

abdomen, misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun dan

sering mengejan pada waktu defekasi

6. Endokrin : pada wanita hamil, terjadi dilatasi vena ekstremitas dan anus

oleh karena sekresi hormon relaksin

7. Sirosis Hepatis: bendungan pada peredaran darah portal

(Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014).

Page 21: Lapsus Individu Bedah

21

3.5 Gejala Klinis

Hemoroid Eksterna

Pada fase akut, hemoroid eksterna dapat menyebabkan nyeri,biasanya

berhubungan dengan adanya edema dan terjadi saat mobilisasi. Hal ini

muncul sebagai akibat dari trombosis dari v.hemorrhid dan terjadinya

perdarahan ke jaringan sekitarnya. Beberapa hari setelah timbul nyeri, kulit

dapat mengalami nekrosis dan berkembang menjadi ulkus, akibatnya dapat

timbul perdarahan. Pada beberapa minggu selanjutnya, area yang mengalami

thrombus tadi dapat mengalami perbaikan dan meninggalkan kulit berlebih

yang dikenal sebagai skin tag. Akibatnya dapat timbul rasa mengganjal, gatal

dan iritasi (Snell, S. Richard, 2006).

Hemoroid Interna

Gejala yang biasa adalah protusio, perdarahan, nyeri tumpul dan pruritus.

Thrombosis atau prolapsus akut yang disertai edema atau ulserasi luar akan

menimbulkan nyeri. Hemoroid interna bersifat asimptomatik, kecuali bila

prolaps dan menjadi strangulata. Tanda satu-satunya yang disebabkan oleh

hemoroid interna adalah perdarahan darah segar tanpa nyeri per rektum

selama atau setelah defekasi (Snell, S. Richard, 2006; Riwanto, Ign, Ahmad

Hidayat, John, Pieter, et al, 2010). Gejala yang muncul pada hemoroid interna

dapat berupa:

- Perdarahan

Merupakan gejala yang paling sering muncul dan biasanya merupakan

awal dari penyakit ini. Perdarahan dapat berupa darah segar dan biasanya

tampak setelah defekasi apalagi jika fesesnya keras. Selanjutnya

Page 22: Lapsus Individu Bedah

22

perdarahan dapat berlangsung lebih hebat, hal ini disebabkan karena

prolaps bantalan pembuluh darah dan mengalami kongesti oleh sfingter

ani.

- Prolaps

Adanya tonjolan keluar dari anus. Tonjolan ini dapat masuk kembali

secara spontan ataupun harus dimasukkan kembali oleh tangan

- Nyeri

Nyeri jarang terjadi pada hemoroid interna tapi bisa terjadi bila terjadi

komplikasi seperti thrombosis atau fissura anal, karena mukosa hanya

mendapatkan sedikit saja inervasi saraf, berbeda dengan hemoroid eksterna

pada kulit yang sering nyeri karena banyak mengandung serabut saraf

- Pruritus ani

Pruritus ani bukan merupakan akibat dari hemoroid. Rasa gaal bisa terjadi

karena sulit untuk menjaga kebersihan di daerah yang terasa nyeri. Pruritus

ani yang timbul bisa juga disebabkan karena iritasi kulit perianal oelh

karena kelembaban yang terus menerus dan rangsangan anus.

- Keluarnya sekret

Walaupun tidak selalu disertai keluarnya darah, sekret yang menjadi

lembab sehingga rawan untuk terjadinya infeksi ditimbulkan akan

mengganggu kenyamanan penderita dan menjadikan suasana di daerah

anus.

3.6 Diagnosis

Page 23: Lapsus Individu Bedah

23

1. Anamnesis

Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi, defekasi yang keras,

yang membutuhkan tekanan intraabdominal meninggi (mengejan), pasien

sering duduk berjam-jam di WC, dan dapat disertai rasa nyeri bila terjadi

peradangan. Saat anamnesis juga harus diperhatikan gambaran klinis yang

sesuai yang terdapat pada pasien seperti perdarahan, prolaps, nyeri dan

pruritus.

2. Pemeriksaan umum

Pemeriksaan umum tidak boleh diabaikan karena keadaan ini dapat

disebabkan oleh penyakit lain seperti sindrom hipertensi portal. Hemoroid

eksterna dapat dilihat dengan inspeksi apalagi bila terjadi thrombosis. Bila

hemoroid interna mengalami prolaps, maka tonjolan yang ditutupi epitel

penghasil musin akan dapat dilihat apabila penderita diminta mengejan.

3. Pemeriksaan Rectal Toucher

Pada pemeriksaan RT, hemoroid interna stadium awal tidak dapat diraba

sebab tekanan vena di dalamnya tidak terlalu tinggi dan biasanya tidak

nyeri. Hemoroid dapat diraba apabila sangat besar. Apabila hemoroid

sering prolaps, selaput lendir akan menebal. Thrombosis dan fibrosispada

perabaan terasa padat dengan dasar yang lebar. Selain itu, pemeriksaan RT

juga untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rectum.

4. Pemeriksaan Anoskopi

Pemeriksaan ini dapat melihat hemoroid anoskopi yang tidak menonjol

keluar. Anoskop dimasukkan untuk mengamati keempat kuadran.

Penderita dalam posisi litotomi. Anoskop dan penyumbatannya

Page 24: Lapsus Individu Bedah

24

dimasukkan dalam anus sedalam mungkin, penyumbat diangkat dan

penderita disuruh bernapas panjang. Hemoroid interna terlihat sebagai

struktur vaskuler yang menonjol ke dalam lumen. Apabila penderita

diminta mengejan sedikit maka ukuran hemoroid akan membesar dan

penonjolam atau prolaps akan lebih nyata. Banyaknya benjolan,

derajatnya, letak, besarnya dan keadaan lain dalam anus seperti polip,

fissura ani dan tumor ganas harus diperhatikan.

5. Pemeriksaan Proktosigmoidoskopi

Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk memastikan keluhan bukan

disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat tinggi,

karena hemoroid merupakan keadaan fisiologik saja atau tanda yang

menyertai. Feses harus diperiksa terhadap adanya darah samar.

(Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, et al, 2010)

3.7 Diagnosis Banding

Perdarahan rektum merupakan manifestasi utama hemoroid interna yang

juga terjadi pada karsinoma kolorektum, polip, kolitis ulserosa dan penyakit

divertikel (Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014).

Page 25: Lapsus Individu Bedah

25

(Sumber: Mounsey, Anne, 2011)

3.8 Penatalaksanaan

Hemoroid Eksterna

Trombosis akut pada hemoroid eksterna merupakan penyebab nyeri

yang konstan pada anus. Penderita umunya berobat ke dokter pada fase

akut (2-3 hari pertama). Jika keluhan belum teratasi, dapat dilakukan eksisi

dengan anastesi lokal, kemudian dilanjutkan dengan pengobatan non

operatif. Eksisi dianjurkan karena thrombosis biasanya meliputi satu

pleksus pembuluh darah. Insisi mungkin tidak sepenuhnya mengevakuasi

bekuan darah dan mungkin menimbulkan pembengkakan lebih lanjut dan

perdarahan dari laserasi pembuluh darah subkutan. Selain itu, insisi juga

lebih sering menimbulkan skin tag daripada eksisi (F, Charles B, 2010).

Hemoroid Interna

Page 26: Lapsus Individu Bedah

26

(Sumber: Mounsey, Anne, 2011)

1. Terapi Non-Bedah

Terapi non bedah diindikasikan pada hemoroid grade I dan II yang

tidak menyebabkan perdarahan atau rasa tidak enak yang bermakna.

Sebagian besar kasus hemoroid derajat I dapat diterapi dengan pengobatan

konservatif. Tatalaksana tersebut antara lain koreksi konstipasi jika ada,

meningkatkan konsumsi serat, laksatif, dan menghindari obat-obatan yang

dapat menyebabkan kostipasi seperti kodein (Daniel, W.J., 2010).

Penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa suplemen serat dapat

memperbaiki gejala dan perdarahan serta dapat direkomendasikan pada

derajat awal hemoroid (Zhou, Q., Mills, E., Martinez, Z.M.J.,dan Allonso,

C.P., 2006). Micronized Purified Flavoniod Fraction yang terdiri dari 90%

Diosmin dan 10% Hesperidin telah terbukti memiliki efikasi dalam terapi

hemoroid. Meskipun memiliki aktivitas phlebotonic, efek protektif

pembuluh darah, dan antagonis mediator biokimia inflamasi (Sakr,

Mahmoud dan Khaled Saed, 2014). Kombinasi diosmin dan hesperidin

(radium) yang bekerja pada vascular dan mikrosirkulasi dikatakan dapat

Page 27: Lapsus Individu Bedah

27

menurunkan desensibilitas dan stasis pada vena dan memperbaiki

permeabilitas kapiler. Untuk terapi hemoroid interna biasanya diberikan

dosis diosmin 1350 mg dan hesperidin 150 mg 2x dalam sehari selama 4

hari dilanjutkan diosmin 900 mg dan hesperidin 100 mg 2x sehari selama 3

hari. Beberapa peneliti juga mencoba diosmin 600 mg 3x sehari selama 4

hari, dilanjutkan dengan 300 mg 2x sehari selama 10 hari dalam kombinasi

Psylium 11 gram sehari.

Kombinasi antara anestesi lokal, kortikosteroid, dan antiseptik dapat

mengurangi gejala gatal-gatal dan rasa tak nyaman pada hemoroid.

Penggunaan steroid yang berlama-lama harus dihindari untuk mengurangi

efek samping. Selain itu suplemen flavonoid dapat membantu mengurangi

tonus vena, mengurangi hiperpermeabilitas serta efek antiinflamasi

meskipun belum diketahui bagaimana mekanismenya (Acheson, A.G. dan

Scholefield, J. H., 2008).

2. Injeksi Sklerosan

Fenol 5% dalam minyak almond atau Polidoanol di injeksikan ke

dalam submukosa di atas linea dentate. Dengan demikian, terapi ini tidak

menimbulkan rasa sakit. Terapi injeksi ini menimbulkan thrombosis

aseptik massa hemoroid dan diindikasikan pada hemoroid Grade I. Injeksi

dilakukan di perivaskular (Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar,

2014).

Page 28: Lapsus Individu Bedah

28

Gambar 3.6 Metode SklerosanSumber: www.nohemorroid.com

3. Aplikasi Ligasi Pita Barron

Terapi ini diindikasikan untuk hemoroid derajat II dan III, dimana

liasi pita dipasang pada leher hemoroid. Tindakan ini menyebabkan

nekrosis dan dengan demikian, hemoroid mengalami fibrosis. Satu atau

dua hemoroid dapat diligasi pada waktu yang sama (Shenoy, K. Rajgopal

dan Anitha Nileshwar, 2014).

Gambar 3.7 Metode Rubber Band Ligation pada Hemoroid (Sumber: colorectalsurgeonssydney.com.au)

Page 29: Lapsus Individu Bedah

29

4. Terapi Bedah

Terapi pembedahan hemoroidektomi merupakan terapi yang paling

efektif untuk semua jenis hemoroid dan terutama dengan indikasi seperti

berikut (Thornton, 2014):

a. Terapi konservatif dan non bedah gagal. (perdarahan yang

menetap dan gejala yang menahun)

b. Hemoroid derajat 3 dan 4 dengan gejala yang berat.

c. Adanya kondisi yang dapat menyebabkan kontaminasi anorektal

(seperti : fisura atau fistula ani, riwayat hemoroid eksternal

dengan thrombus berulang)

d. Keinginan pasien.

Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan

menahun dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah

dapat juga dilakukan pada penderita dengan perdarahan berulang dan

anemia yang tidak sembuh dengan cara terapi lainnya yang lebih

sederhana. Penderita hemoroid derajat IV yang mengalami thrombosis dan

kesakitan hebat dapat segera ditolong dengan hemoroidektomi. Prinsip

yang harus diperhatikan pada hemoroidektomi adalah eksisi hanya

dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat

mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan tidak

mengganggu sfingter anus (Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, et

al., 2010).

Page 30: Lapsus Individu Bedah

30

Acheson, A.G. dan Scholefield, J. H. (2008) menyatakan apabila

hemoroid internal derajat I yang tidak membaik dengan penatalaksanaan

konservatif maka dapat dilakukan tindakan pembedahan.

Hemoroidektomi-Metode Terbuka: Ligasi dan Eksisi Milligan

Morgan (Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014).

Metode ini dikembangkan oleh Milligen-Morgan,

dilakukan apabila terdapat hemoroid yang telah mengaami

gangrene atau meliputi seluruh lingkaran ataupun bila terlalu

sempit untuk masuk retracter. Teknik Open Hemorroidectomy

Milligan Morgan yaitu:

- Posisi pasien Lithotomy

- Infiltrasi kulit perianal dan submukosa dengan larutan adrenalin

saline 1:300.000

- Kulit diatas tiap jaringan hemoroid utama dipegang dengan klem

arteri dan ditarik

- Ujung mukosa setiap jaringan hemoroid diperlakukan serupa di

atas

- Insisi bentuk V pada anoderm dipangkal hemoroid kira-kira 1,5-

3cm dari anal verge

- Jaringan hemoroid dipisahkan dari sfingter interna dengan jarak

1,5-2 cm

- Dilakukan diathermi untuk menjamin hemostasis

- Dilakukan transfixion dengan chromic/catgut 0 atau 1-0 pada

pangkal hemoroid

Page 31: Lapsus Individu Bedah

31

- Eksisi jaringan bemoroid setelah transfiksi dan ligasi pangkal

hemoroid

Hemoroidektomi –Metode Tertutup (Hill-Ferguson) (Shenoy, K.

Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014).

Metode ini dikembangkan oleh Ferguson dan Heaton,

dengan 3 prinsip, yaitu:

- Mengangkat sebanyak mungkin jaringan avaskular tanpa

mengorbankan anoderm

- Memperkecil serous discharge setelah operasi dan

mempercepat proses penyembuhan dengan cara mendekatkan

anal kanal dengan epitel berlapis gepeng (anoderm)

- Mencegah stenosis sebagai komplikasi akibat komplikasi luka

terbuka luas yang diisi jaringan granulasi

Indikasi metode ini yaitu perdarahan berlebihan, tidak

terkontrol dengan rubber band ligation, prolaps hebat disertai

nyeri, adanya penyakit anorectal lain. Adapun teknik closed

hemorrhoidectomy menurut Ferguson yaitu:

- Posisi pasien LLD

- Jaringan hemoroid diidentifikasi dan di klem

- Kulit diatas anal verge diinsisi sampai anal kanal diatas jaringan

hemoroid

- Jaringan hemoroid eksternal maupun internal dibebaskan dari

bagian subkutan sfingter interna maupun eksterna dan dieksisi

seluruhnya

Page 32: Lapsus Individu Bedah

32

- jaringan hemoroid yang tersisa diangkat dengan undermining

mukosa

- ligasi dengan catgut 2-0 atau 3-0, bisa dengan menggunakan

dexan 4-0 atau 5-0 dengan vicril

Whitehead Hemorrhoidectomy

Teknik pembedahan ini melibatkan eksisi secara melingkar dari

kompleks hemoroid yang berada tepat diatas linea dentate. Setelah

dilakukan eksisi, mukosa rektum kemudian ditarik dan dijahit pada

linea dentate. Beberapa ahli bedah masih menggunakan teknik ini,

namun sebagian besar telah meninggalkanya karena ada resiko

terjadinya ektropion (Bullard, 2010).

Hemoroidektomi Stapler: Prosedur non-eksisi

Metode ini diperkenalkan oleh Dr. Antonio Longo pada tahun 1997

yang dikenal sebagai Prosedur untuk Prolaps dan Hemoroid (PPH).

Setelah hemoroid yang mengalami prolaps direduksi, dipasang jahitan

tabacsacnat benang prolen secara sirkumferensial, dengan mengambil

mukosa yang baik 3cm di atas linea dentate. Tindakan ini mungkin

dikerjakan dengan menggunakan Dilator Anal Sirkular (CAD). Dengan

mempertahankan ujung jahitan, stapler ditutup penuh dan ditembakkan.

Stapler perlahan-lahan dibuka dan ditarik keluar. Amati bentukan donat,

jika gambaran donat terbentuk komplit, tidak ada yang perlu

dikhawatirkan. Dengan demikian cincin jaringan mukosa yang sirkular di

atas level linea dentate diiiangkat. Hemoroid internal tidak diangkat,

hernia eksternal juga tidak diangkat (akhirnya hemoroid ini mengalami

Page 33: Lapsus Individu Bedah

33

regresi). Dengan demikian, ada 2 jajaran stapler dan 28 staples (Shenoy,

K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar, 2014).

Gambar 3.8 Metode Operasi Staple pada Hemoroid (Sumber: colorectalsurgeonssydney.com.au)

Keuntungan metode ini yaitu waktu operasi yang lebih singkat,

perdarahan lebih sedikit, nyeri paska bedah lebih ringan dan memerlukan

analgesia lebih singkat, masa tinggal di rumah sakit yang lebih singkat,

sebagian diperuntukkan prosedur perawatan, dapat kembali ke aktivitas

normal lebih cepat, tidak ada komplikasi jangka-pendek dan jangka

panjang mayor. Tidak ada efek samping jangka-panjang seperti stenosis

ani atau nyeri yang kronis seperti yang dapat terjadi pada hemoroidektomi

terbuka. Sedangkan kerugian metode ini adalah biayan instrumentasi yang

tinggi, secara teknik sulit dan memerlukan pelatihan khusus, komplikasi

yang jarang terjadi seperti perdarahan intra dan pasca bedah. Kadang-

Page 34: Lapsus Individu Bedah

34

kadang kasus fisura pasca bedah, secret mukosa, tenesmus yang menetap,

infeksi dan komplikasi jangka panjang seperti fistula rektovaginalis, polip

pada lini stapler dan kekambuhan (Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha

Nileshwar, 2014).

Cryotherapy

Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang sangat

rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang

terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan. Namun

prosedur ini menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup

mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan

untuk hemoroid (American Gastroenterological Association.2004).

Bipolar Diathermy

Metode ini menggunakan energi listrik untuk mengkoagulasi

jaringan hemoroid dan pembuluh darah yang memperdarahinya. Biasanya

digunakan pada hemoroid internal derajat rendah (Person, Orit Kaidar,

Benjamin Person,dan Steven D Wexner, 2007).

Infrared Thermocoagulation

Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah menjadi panas.

Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur

banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan

koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan hemoroid. Teknik ini singkat dan

dengan komplikasi yang minimal (Person, Orit Kaidar, Benjamin

Person,dan Steven D Wexner, 2007).

Page 35: Lapsus Individu Bedah

35

Gambar 3.9 Metode Infrared ThermocoagulationSumber: www.nohemorroid.com

3.9 Komplikasi dan Prognosis

Hemoroid dapat menyebabkan anemia yang kronis, meskipun jarang.

Perdarahan yang massif dapat terjadi karena terdapat hipertensi portal. Prolaps

keluar terjadi dengan manifestasi nyeri yang berat di daerah perianal-hemoroid

yang terjepit oleh sfingter internal menyebabkan kongesti venosa dan edema yang

diikuti dengan strangulasi. Selain itu, komplikasi hemoroid adalah ulserasi, infeksi

sekunder, thrombosis dan fibrosis (Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha Nileshwar,

2014).

Dengan terapi yang sesuai, semua hemoroid simptomatis dapat dibuat

menjadi asimptomatis. Pendekatan konservatif hendaknya diusahakan terlebih

dahulu pada semua kasus. Hemoroidektomi pada umunya memberikan hasil yang

baik. Sesudah terapi penderita dianjurkan untuk menghindari obstipasi dengan

makan makanan serat agar dapat mencegah timbulnya kembali gejala hemoroid

(Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, et al., 2010).

Page 36: Lapsus Individu Bedah

36

Dengan penanganan yang baik hemoroidektomi dapat memberikan angka

kekambuhan hanya 2-5%, dan dengan terapi non bedah seperti RBL, angka

kekambuhanya mencapai 30-50% dalam jangka waktu 10 tahun (Thornton, 2014).

Gambar 3.10 Algoritma Penatalaksanaan Hemoroid Interna

Page 37: Lapsus Individu Bedah

37

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien berusia 34 tahun, datang ke Poli Bedah Umun Rumah Sakit

Muhammadiyah Lamongan dengan keluhan keluar benjolan dari anus sejak 3 hari

ini. Pasien mengaku benjolan tidak dapat masuk sendiri setelah buang air besar

dan terasa sangat nyeri. Sejak + 1 tahun ini pasien sering merasakan sulit buang

air besar, feses terasa keras sehingga pasien harus mengedan kuat. Awalnya

benjolan tidak terasa nyeri dan dapat masuk sendiri setelah buang air besar selesai.

Feses kecil-kecil dan kadang disertai darah. Sebelumnya pasien mengaku bahwa

bahwa 3 hari sebelum benjolan keluar permanen pasien mengendarai motor dari

bojonegoro ke lamongan. Pasien jarang mengkonsumsi makanan berserat, dan

minum kurang dari 8 gelas per hari. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan

tekanan darah 114/60 mmHg, frekuensi nadi 78 kali/ menit, frekuensi napas. Pada

pemeriksaan status lokalis tampak massa sirkuler diliputi mukosa dan kulit

ukuran + 3 cm, kenyal, merah, nyeri +, fissure (-), abses (-), thrombus +, pada RT

tonus sfingter ani baik, mukosa licin, ampula recti tidak kolaps, nyeri tekan -, pada

handscoon tidak didapatkan darah dan feses, lendir (+).

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dimana terdapat

benjolan pada anus dengan prolaps permanen diliputi mukosa dan kulit disertai

nyeri akut, maka diagnosis pada pasien ini adalah Hemoroid Interna grade IV dan

Hemoroid Eksterna. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan seperti anoskopi

dan proktosigmoidoskopi, hal ini dikarenakan pada kasus ini, hemoroid sudah

masuk grade IV sehingga dapat dikaji dengan melakukan pemeriksaan fisik.

Page 38: Lapsus Individu Bedah

38

Benjolan yang keluar dari anus pasien disebabkan karena adanya

pelebaran pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal dari plexus

hemorrhoidalis (Riwanto, Ign, et al., 2010). Benjolan pada pasien terletak pada

posisi 3,7, 11, hal ini disebabkan karena pleksus hemoroidalis superior

memberikan 2 cabang pada sisi kanan (posterior dekstra dan anterior dekstra) dan

1 cabang pada sisi kiri (lateral sinistra) (Shenoy, K. Rajgopal dan Anitha

Nileshwar, 2014).

Nyeri akut pada benjolan yang terjadi pada pasien disebabkan karena

adanya thrombosis. Trombosis dapat terjadi karena tekanan tinggi di vena tersebut

misalnya ketika mengangkat barang berat atau mengedan. Vena lebar yang

menonjol tersebut dapat terjepit sehingga kemudian dapat terjadi thrombosis.

Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi keluhan dengan rendam duduk

menggunakan larutan hangat, salep analgesik untuk mengurangi nyeri atau

gesekan (Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, et al., 2010). Terapi topikal

dengan nifedipine dan krim lidokain lebih efektif untuk mengatasi nyeri

dibandingkan hanya menggunakan lidokain (Mounsey, Anne, Jacqueline

Halladay, dan Timothy S. Sadiq, 2011).

Sel mast memiliki peran terhadap terjadinya trombosis dan nyeri pada

hemoroid, melalui mediator dan sitokin inflamasi yang dikeluarkan oleh granul sel

mast. Ketika vena submukosal meregang akibat dinding pembuluh darah pada

hemoroid melemah, terjadi ekstravasasi sel darah merah dan perdarahan. Sel mast

juga melepaskan platelet-activating factor sehingga terjadi trombosis (Taweevisit

M, Wisadeopas N, dan Phumsuk U, Thorner PS, 2008).

Page 39: Lapsus Individu Bedah

39

Perdarahan yang terjadi setelah defekasi umumnya disebabkan akibat

trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak

bercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis pada feses, yang kaya akan zat

asam sehingga berwarna merah segar (Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter,

et al., 2010). Menurut Acheson, A.G. dan Scholefield, J. H., 2008 perdarahan

yang timbul dari pembesaran hemoroid disebabkan oleh trauma mukosa lokal atau

inflamasi yang merusak pembuluh darah di bawahnya.

Faktor predisposisi terjadinya hemoroid pada pasien ini diduga akibat

konstipasi kronis yang terjadi yaitu kebiasaan BAB tidak teratur dan kurangnya

konsumsi makanan berserat dan air putih. Selama evakuasi feses, sfingter

volunter berkontraksi mengalirkan sisa feses dari kanalis analis ke rectum.

Peregangan menyebabkan evakuasi feses keseluruhan, mengakibatkan kongesti

dari bantalan vaskular. Oleh sebab itu, peregangan, asupan serat yang kurang,

terlalu lama duduk, dan kosntipasi akan menyebabkan peningkatan tekanan

intraabdominal sehingga berhubungan dengan faktor resiko hemoroid (Person,

Orit Kaidar, Benjamin Person,dan Steven D Wexner, 2007).

Penatalaksanaan hemoroid pada pasien ini yaitu dengan

Haemoroidectomy. Penderita hemoroid derajat IV yang mengalami trombosis dan

kesakitan hebat dapat segera ditolong dengan hemoroidektomi (Riwanto, Ign,

Ahmad Hidayat, John, Pieter, et al 2010). Perubahan pola hidup seperti

meningkatkan asupan makakan berserat, konsumsi banyak air putih dapat

menghindari peregangan yang lama dengan mengurangi bentukan feses yang

keras. Selain itu, memperbaiki kebersihan anal, menghindari mengejan terlalu

Page 40: Lapsus Individu Bedah

40

lama dan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi dan diare dapat menurunkan

faktor resiko terjadinya hemoroid (Sakr Mahmoud dan Khaled Saed, 2014).

Page 41: Lapsus Individu Bedah

41

BAB V

KESIMPULAN

Hemorrhoid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di

daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis. Pelebaran ini berkaitan

dengan peningkatan tekanan vena pada pleksus tersebut, dimana pelebaran ini

tidak diikuti dengan perubahan kondisi anatomi dari kanalis analis .

Pada pasien ini hemoroid timbul karena dilatasi, pembengkakan atau

inflamasi vena hemoroidalis yang disebabkan faktor-faktor resiko seperti faktor

mengejan saat BAB, pola BAB yang salah, konstipasi kronik, kurang minum air,

kurang asupan makan berserat, dan kurang olahraga. Diagnosis pada kasus ini

adalah hemoroid interna grade IV dan hemoroid eksterna yang didapatkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan pada pasien ini

yaitu secara operatif dengan melakukan hemoroidektomi.

Page 42: Lapsus Individu Bedah

42

DAFTAR PUSTAKA

Acheson, A.G. dan Scholefield, J. H., 2008. Management of Haemorrhoids.

British Medical Journal;336. p.380-383

American Gastroenterological Association. 2004. American Gastroenterological

Association Technical Review on The Diagnosis and Treatment of

Hemorrhoids. American Gastroenterological Association Clinical

Practice Comitee.

Bullard,KM. Schwartz’s Principles of Surgery 9th Edition. Colon, Rektum, and

Anus. USA: McGraw-Hill Companies.2010

Daniel, W.J., 2010. Anorectal Pain, Bleeding, and Lumps. Australian Family

Physician Journal. 39 (6). p.376-381.

F. Charles, Brunicardi. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery. Ed 9. United

States of America: McGraw-Hill Companies

Mounsey, Anne, Jacqueline Halladay, dan Timothy S. Sadiq. 2011. Hemorrhoids.

American Family Physician Journal. 84(2). p.204-210

Person, Orit Kaidar, Benjamin Person,dan Steven D Wexner. 2007. Hemorrhoidal

Disease: A Comprehensive Review. American College of Surgeons.

204(1). p.101-117

Riwanto, Ign, Ahmad Hidayat, John, Pieter, et al. 2010. Usus Halus, Apendiks,

Kolon dan Anorektum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. (ed).

Sjamsuhidayat dan De Jong. Jakarta: penerbit EGC. p.781-792

Sakr Mahmoud dan Khaled Saed. 2014. Recent Advances In The Management Of

Hemorrhoids. World Journal of Surgical Procedures. 4(3). p.55-65

Page 43: Lapsus Individu Bedah

43

Shenoy, K. Rajgopal dan Nileshwar, Anitha. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah

Ilustrasi Berwarna. Ed 3. Tanggerang: Karisma Publishing Group

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed 6.

Jakarta: EGC

Taweevisit M, Wisadeopas N, Phumsuk U, Thorner PS. 2008. Increased mast cell

density in haemorrhoid venous blood vessels suggests a role in

pathogenesis. Singapore Med J. 49:977–97.

Thornton SC. 2014. Haemorrhoids. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/775407-overview#a0156.

Zhou, Q., Mills, E., Martinez, Z.M.J., dan Allonso, C.P. 2006. Metaanalysis of

Flavonoid for The Treatment of Haemorrhoid. BrJ Surg. 93. p.909-920.