lapsus epilepsi

61
LAPORAN KASUS EPILEPSI Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Saraf Rumah Sakit Tentara Tk II. Dr. Soedjono Magelang Disusun oleh: Raditya Ramadan R 01.210.6247 Pembimbing: Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2015

Upload: adityaedo

Post on 14-Feb-2016

71 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

neurologi

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Epilepsi

LAPORAN KASUS

EPILEPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan KlinikBagian Ilmu Saraf

Rumah Sakit Tentara Tk II. Dr. Soedjono Magelang

Disusun oleh:

Raditya Ramadan R

01.210.6247

Pembimbing:

Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2015

Page 2: Lapsus Epilepsi

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Raditya Ramadan

NIM : 01.210.6247

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Saraf

Judul : Stroke Nonhemorrhagic

Semarang, November 2015

Mengetahui dan Menyetujui

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Saraf RST Tk II. Dr. Soedjono Magelang

Pembimbing

Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S

Page 3: Lapsus Epilepsi

BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS KHUSUS COASS NEUROLOGI

DEPARTEMEN NEUROLOGI RST Dr. SOEDJONO MAGELANG

• Nama : Nn.Dessy

• Umur : 19 tahun

• Jenis kelamin : perempuan

• No registrasi :

• Alamat : Sarirejo, sidorejo lor, SALATIGA

I SUBJEK

A. Keluhan Utama

Penurunan kesadaran

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan pingsan + 2,5 jam. Dengan keluhan seperti itu pasien dibawa keluarganya ke RST tk II dr.Soedjono magelang. Setelah pingsan pasien sadar tetapi tidak bisa menggerakan tubuhnya dan keempat anggota geraknya, pasien sulit berkomunikasi, komunikasi dilkukan dengan gerakan bola mata. Pusing -, mual muntah -, demam -.

C. Riwayat Penyakit Dulu

Riwayat serupa 1 minggu yang lalu. Pasien sudah pernah sering mengalami hal

tersebut. Riwayat DM dan HT disangkal

II OBJEK

A. Status interna

• Kesadaran : Compos Mentis

• Anemis : -

• Ikterik : -

• Rhonki halus/ kasar : -/-

Page 4: Lapsus Epilepsi

• Wheezing : -/-

• Bunyi jantung : reguler

• Abdomen : peristaltik (+) normal

• Nyeri lumbal : -

• Ekstremitas : oedem -/- , akral dingin

• Tekanan darah : 200/120

• RR : 22 x/menit

• Nadi : 84 x/menit

• Suhu (rectal) : 37,5 C

B. Status neurologi

GCS : E4V5M6

Meningeal sign

Kaku kuduk : -

Kernig : -

Brudzinski I-IV : -

Laseque : -

Nervi craniales

1. N. Olfaktorius (N I) : tidak dilakukan

2. N. Opticus (N II)

a. Visual acuity : tidak dilakukan

b. Visual field : tidak dilakukan

c. Warna : tidak dilakukan

d. Funduskopi : tidak dilakukan

3. N. Oculomotor, N. Abducens, N. Trochlearis (N III, N IV, N VI)

a. Kedudukan bola mata saat diam : DBN

B. Gerakan bola mata : sulit dievaluasi

C. Pupil

Bentuk, lebar, perbedaan lebar : DBN

Reaksi cahaya langsung dan konsensui l: DBN

Page 5: Lapsus Epilepsi

Reaksi akomodasi dan konvergensi : sulit dievaluasi

4. N. Trigeminus (N V)

a. Sensorik : sulit dievaluasi

b. Motorik

Rapat gigi : sulit dievaluasi

Buka mulut : sulit dievaluasi

Gigit tongue spatel : sulit dievaluasi

Gerak rahang : sulit dievaluasi

C. Refleks

I. Masseter/mandibular : sulit dievaluasi

II. Kornea : +/+

5. N. Facialis (N VII)

a. Motorik

I. Diam : asimetris ke kiri

II. Bergerak

Kerut dahi : sulit dievaluasi

Menutup mata : (+) / (+)

angkat sudut bibir : sulit dievaluasi

tersenyum : sulit dievaluasi

B. Sensorik khusus:

Lakrimasi : tidak dilakukan

Refleks stapedius : tidak dilakukan

Pengecapan 2/3 anterior lidah : tidak dilakukan

6. N. Stato-akustikus (N VIII)

A. Suara bisik : tidak dilakukan

B. Arloji : tidak dilakukan

Page 6: Lapsus Epilepsi

C. Garputala : tidak dilakukan

D. Nistagmus : tidak dilakukan

E. Tes kalori : tidak dilakukan

7. N. Glossopharyngeus & N vagus (N IX, N X)

a. Inspeksi oropharing keadaan istirahat : tidak dilakukan

b. inspeksi oropharing keadaan fonas : tidak dilakukan

c. Refleks : tidak dilakukan

d. Sensorik khusus : tidak dilakukan

e. Suara serak atau parau : tidak dilakukan

f. Menelan : tidak dilakukan

8. N. Accessorius (N XI)

a. Kekuatan m.Trapezius : sulit dievaluasi

b. Kekuatan m.Sternocleidomasteideus : sulit dievaluasi

9. N. Hypoglossus (N XII)

a. Kondisi diam : sulit dievaluasi

b. Bergerak : sulit dievaluasi

Motorik

a. Observasi : normal

b. Palpasi : tidak ada atrofi, kenyal padat normal

c. Perkusi : normal (cekung 1-2 detik)

d. Tonus : Kuat tonus atas KaKi 5/5 bawah KaKi 5/5

e. Kekuatan otot

Ex atas

M. Deltoid : Kanan 5 Kiri 5

M. Biceps brachii : Kanan 5 Kiri 5

M.Triceps : Kanan 5 Kiri 5

M.Brachioradialis : Kanan 5 Kiri 5

M.Pronator teres : Kanan 5 Kiri 5

Genggaman tangan : Kanan 5 Kiri 5

Ex bawah

Page 7: Lapsus Epilepsi

M. Iliopsoas : Kanan 5, Kiri 5

M. Quadriceps : Kanan 5, Kiri 5

M. Hamstring : Kanan 5, Kiri 5

M. Tibialis anterior : Kanan 5, Kiri 5

M. Gastrocnemius : Kanan 5, Kiri 5

M. Soleus : Kanan 5, Kiri 5

Sensorik

a. Protopatik (nyeri/suhu, raba halus/kasar) : sulit dievaluasi

b. Propioseptif (gerak/posisi, getar tekan) : sulit dievaluasi

c. Kombinasi

a. Stereognosis : sulit dievaluasi

b. Barognosis : sulit dievaluasi

c. Graphestesia : sulit dievaluasi

d. 2 point tactile discrimination : sulit dievaluasi

e. Sensory extinction : sulit dievaluasi

f. Loss of body image : sulit dievaluasi

Reflek fisiologis

Refleks superfisial

a. BHR : -

b. Cremaster : -

Reflek tendon/periosteum

I. BPR/biceps : +/+

II. TPR/triceps : +/+

III. KPR/patella : +/+

IV. APR/achilles : +/+

V. Klonus

- Lutut/patella : -

- Kaki/ankle : -

Reflek patologis

a. Babinski : -/-

b. Chaddock : -/-

c. Oppenheim : -/-

d. Gordon : -/-

Page 8: Lapsus Epilepsi

e. Gonda : -/-

f. Schaeffer : -/-

g. Rossolimo : -/-

h. Mendel-bechtrew : -/-

i. Hoffman : -/-

j. Tromner : -/-

Refleks primitif

a. Grasp reflex : tidak dilakukan

b. Palmo-mental reflex : tidak dilakukan

Px cerebellum :

a. Koordinasi

b. Asinergia/disinergia : sulit dievaluasi

c. Diadokinesia : sulit dievaluasi

d. Metria : sulit dievaluasi

e. Tes memelihara sikap : sulit dievaluasi

f. Rebound phenomenon : sulit dievaluasi

g. Tes lengan lurus : sulit dievaluasi

B. Keseimbangan

I. Sikap duduk : sulit dievaluasi

II. Sikap berdiri : sulit dievaluasi

Wide base/broad base stance : sulit dievaluasi

Modifikasi romberg : sulit dievaluasi

Dekomposisi sikap : sulit dievaluasi

Iii. Berjalan / gait

tandem walking : sulit dievaluasi

Berjalan memutari kursi/meja : sulit dievaluasi

Berjalan maju mundur : sulit dievaluasi

Lari ditempat : sulit dievaluasi

Page 9: Lapsus Epilepsi

C. Tonus : sulit dievaluasi

D. Tremor : -

Px fungsi luhur

1. Aphasia :Global

2. Alexia : sulit dievaluasi

3. Apraksia : sulit dievaluasi

4. Agraphia : sulit dievaluasi

5. Akalkulia : sulit dievaluasi

6. Right-left disorientation : sulit dievaluasi

7. Fingeragnosis : sulit dievaluasi

Tes sendi sakro iliaka

a. Patrick’s : sulit dievaluasi

b. Kontra patrick’s : sulit dievaluasi

Tes provokasi n. Ischiadicus

a. Laseque : sulit dievaluasi

b. Sicard’s : sulit dievaluasi

c. Bragard’s : sulit dievaluasi

d. Minor’s : sulit dievaluasi

e. Neri’s : sulit dievaluasi

f. Doorbell’s : sulit dievaluasi

g. Kemp test : sulit dievaluasi

III. ASSESMENT

Page 10: Lapsus Epilepsi

IV. PLANNING

Diagnosis

Tes darah (gula darah, kolesterol, koagulan)

CT scan kepala tanpa kontras

PLANNING TERAPI

• Depacote 3x1

• Infus NaCL 0.9 %

• B6 3x1

• Extrace 500mg 2x1

• Tonicard 2x1

Monitoring

• TTV

• Perawatan luka (debridement)

d. Edukasi

• Jauhkan dari benda bahaya atau jatuh

• Beri bantalan di kepala

• Longgarkan pakaian yang ketat

1Klinis : Kejang umum,

2Topis : Intrakranial

3Etiologi : epilepsi atonikDD : epilepsi sekunder akibatTumor cerebral, abses cerebral

Page 11: Lapsus Epilepsi

• Miringkan pasien

• Jangan menahan/menghentikan saat kejang

• Jangan memasukkan benda apapun ke mulut

• Jangan di RJP

Page 12: Lapsus Epilepsi

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI

DEFINISI

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol

yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3

Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).3

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for epilepsy

(IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya

factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,

psikologis dan adanya konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya

satu riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

Page 13: Lapsus Epilepsi

Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang tanpa

disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)

EPIDEMIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi. Sekitar lima

puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsy lebih tinggi di negara

berkembang. Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara

berkembang mencapai 100/100.000.5

Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun.

Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi

terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi

pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait

dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi

sebelum umur 18 tahun.6

ETIOLOGI

Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:

A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak

B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak

pada saat lahir atau cedera lain

C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma

intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau

infeksi

D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6

tahun disebabkan karena febril

E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena birth trauma,

cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler (> 50 th)

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

Page 14: Lapsus Epilepsi

Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita epilepsi anak

dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan

berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini

semakin sedikit.

Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya :

post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolic, malformasi otak

kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik

serta kelainan neurodegenerative.

Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk

disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsy mioklonik.7

KLASIFIKASI

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.

Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3

1. Bangkitan parsial/fokal 1)Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

a. Dengan gejala motorikb. Dengan gejala sensorikc. Dengan gejala otonomik d. Dengan gejala psikik

2)Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran Dengan automatisme

b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan Dengan gangguan kesadaran saja Dengan automatisme

3)Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)

Page 15: Lapsus Epilepsi

a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umumb. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umumc. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,

dan berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi) 1) Bangkitan lena (absence)

Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.

2) Bangkitan mioklonikMioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang

muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan. Gambaran klinis yang

terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang

berulang dan terjadinya cepat.

3) Bangkitan tonikTonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik

umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau

ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.

4) Bangkitan atonik/astatikAtonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di

menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan

total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya

penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini

jarang terjadi.

5) Bangkitan klonik

Page 16: Lapsus Epilepsi

Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.

6) Bangkitan tonik-klonikTonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh

disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan

tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai

dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah

atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan

sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan

tertidur setelahnya.

3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah :3

1. Fokal / Partial (localized related)

1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal

(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)

1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital

1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)

1.2. Simtomatik

1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak – anak

(Kojenikow’s Syndrome)

Page 17: Lapsus Epilepsi

1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan

(kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsy,

stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

1.2.3. Epilepsi lobus temporal

1.2.4. Epilepsi lobus frontal

1.2.5. Epilepsi lobus parietal

1.2.6. Epilepsi lobus oksipital

1.3. Kriptogenik

2. Epilepsi Umum

2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)

2.1.1. Kejang neonatus familial benigna

2.1.2. Kejang neonatus benigna

2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja

2.1.4. Epilepsi lena pada anak

2.1.5. Epilepsi lena pada remaja

2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja

2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga

2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas

2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik

2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)

2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)

2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut

2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic

2.2.4. Epilepsi mioklonik lena

2.3. Simtomatik

2.3.1. Etiologi non spesifik

Ensefalopati mioklonik dini

Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi

Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas

2.3.2. Sindrom Spesifik

2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

Page 18: Lapsus Epilepsi

3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

3.1. Bangkitan Umum dan fokal

3.1.1. Bangkitan neonatal

3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi

3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam

3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)

3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas

3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom Khusus

4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

4.1.1. Kejang demam

4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali( isolated)

4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau

toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik

4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

PATOFISIOLOGI

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari

pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran

konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya

sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas

serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler

dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.

Page 19: Lapsus Epilepsi

Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri

penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon

depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+

secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan

adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.

Page 20: Lapsus Epilepsi

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada

daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai tempat

paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial

luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA)

menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan

dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara

tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik

dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai

aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan

epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang

terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan

manifestasi yang sangat bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya

terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan

bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan

maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di

otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada

penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat

membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Page 21: Lapsus Epilepsi

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion

klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian

konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan

kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup

mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya

dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam

otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak,

secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal

hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan

hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA

(gamma aminobutyric acid ) tidak normal.  Pada otak manusia yang menderita epilepsi

ternyata kandungan GABA rendah.  Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial

postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.

Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya

inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.

Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset

membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak

lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil

neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda

dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik.

Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )

sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan

neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan

terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan

heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut

Page 22: Lapsus Epilepsi

dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,

sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan

terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap

serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang

cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada

pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah

hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus

asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal

epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena

efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini

dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau

glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal

epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya,

semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga

menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal

dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang

mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada

sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan

oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron bergantung pada permeabilitas

selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke

intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi

ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang

ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.

Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan

neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Ada dua

jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas

muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron

lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi

dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal

ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan

listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik

apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai

Page 23: Lapsus Epilepsi

potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan

depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.

Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu

fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan

ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan lepas

muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah

besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan

epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga

inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem

inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus

berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan

epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi

otak.

Patofisiologi Epilepsi Umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah

epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan

karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti

selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat

beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain

mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga

terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi

sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga

menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks

terjadi pada saat tidur non-REM.

Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik

terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (pada tabel berikut). Contoh:

Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.

Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6

Kanal Gen Sindroma

Voltage-gated

Kanal Natrium SCN1A, SCN1B

SCN2A, GABRG2

Generalized epilepsies with febrile

seizures plus

Page 24: Lapsus Epilepsi

Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal convulsions

Kanal Kalsium CACNA1A, CACNB4

ACNA1H

Episodic ataxia tipe 2

Childhood absence epilepsy

Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Epilepsy with grand mal seizure on

awakening

Ligand-gated

Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal lobe

epilepsy

Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium

influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan

repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat

pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan

sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang

berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.

Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi

kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel

neuron.

Patofisiologi Anatomi Seluler

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor

otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal

(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik

maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan

perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan

pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan

bangkitan listrik di otak.

Page 25: Lapsus Epilepsi

Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi

lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan

disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi

disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan

inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak

terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.

Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi

terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip

kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor

yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari

reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini

terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari

resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan

kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk

dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame

neuron.

Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan

juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor

neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma

aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang

sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di

hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.

GEJALA

Kejang parsial simplek 

Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa

“déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.

Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat di

jelaskan.

Page 26: Lapsus Epilepsi

Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian

tubuh tertentu.

Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu

Halusinasi  

Kejang parsial (psikomotor) kompleks

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien

mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan.

Gejalanya meliputi :

gerakan seperti mencucur atau mengunyah

melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya

Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan

seperti sedang bingung

Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang

Berbicara tidak jelas seperti menggumam

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik

atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya

mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura.

Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa : merasa

sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.

Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan

dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi

bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan

tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak

sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan

semacam ini.

Page 27: Lapsus Epilepsi

DIAGNOSIS

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui

anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun

demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi

(klinis) sudah dapat ditegakkan.8

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa

hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala

sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya

serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.

Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan

kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan

tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekuensi serangan

Page 28: Lapsus Epilepsi

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :

Major :

Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder. Epilesi grand mal

ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik. Manifestasi klinik: kedua golongan

epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu

atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului

aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak.Aura

dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara

gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang

kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-

otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-

paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.

Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan

membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain

kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif,

mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan

stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenungdan kalau tak

diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.

Minor :

Page 29: Lapsus Epilepsi

Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik.

Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..

Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi

lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui

apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)

Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya

tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan

kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat

terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.

Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma

West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum

diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif,

gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan

kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai

teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada

salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali

dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot

lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi

parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).9

Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada

koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus postcentralis memberi

gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan

kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron

sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. Epilepsi lobus

temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas

sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus

temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan

asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini

bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.

Page 30: Lapsus Epilepsi

Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme.

Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran

ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini

timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa

detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan

automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme

penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

- Pada orang dewasa

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari adanya tanda

neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih, dan adenoma seboseum pada

muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-

Weber. Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari

kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium,

bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia,

hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia.

Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak

dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan saraf

sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau

perdarahan subaraknoid.10,11

Page 31: Lapsus Epilepsi

a. Pemeriksaan radiologis

Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu. Elektroensefalografi (EEG)

merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat memastikan diagnosis

epilepsy. Gelombang yang ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang

paku, runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan

foto polos kepala

b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris

Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik turunnya kesadaran.

c. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan

abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer

otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya misal gelombang delta.

Page 32: Lapsus Epilepsi

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat

yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG

yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,

epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3

spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat

dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

a. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang

mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi

sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara

fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang

kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat

untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta

bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus

epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

Page 33: Lapsus Epilepsi

Gambar Pembentukan EEG

Page 34: Lapsus Epilepsi

Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang

optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan

bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping

seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.10

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat

Page 35: Lapsus Epilepsi

(Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.

Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.

Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.

Page 36: Lapsus Epilepsi

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi

yakni:13,14

1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan,

terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus

terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari

pengobatan tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan

dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan,

maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama

dosisnya diturunkan secara perlahan.

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol

dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :

1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor

NMDA, monoamine dan asetilkolin.

2. Fenitoin :  Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan

neurotransmitter yang voltage dependen

3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan eksitabilitas

glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.

4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium

(T) dan kalium.

5. Levetiracetam : Tidak diketahui

6. Gabapetin :  Modulasi kalsium channel tipe N

Page 37: Lapsus Epilepsi

7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8. Okskarbazepin :  Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi

aktivitas channel.

9. Topiramat :  Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride,

modulasi efek reseptor GABA.

10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan

tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas

dari bangkitan kejang.

Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni:

1. Syarat umum yang meliputi :

- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana

penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

- Gambaran EEG normal

- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam

jangka waktu 3-6bulan.

- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang

bukan utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

- Epilepsi simtomatik

Page 38: Lapsus Epilepsi

- Gambaran EEG abnormal

- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

- Penggunaan OAE lebih dari 1

- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas bangkitan

selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan

menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

STATUS EPILEPTIKUS

Definisi

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus

didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya

pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang

yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status

epileptikus.11,12

Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang

efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus

dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset) atau

dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan

klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi

mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik,

Page 39: Lapsus Epilepsi

absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain

membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-

konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda

berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan

dewasa, hanya dewasa).

Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:

1) Overt generalized convulsive status epilepticus

Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.

Tonik klonik

Tonik

Klonik

Mioklonik

2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized convulsive status

epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.

3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)

Simple motor status epilepticus

Sensory status epilepticus

Aphasic status epilepticus

4) Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)

Petit mal status epilepticus

Complex partial status epilepticus.

PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa

yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus

dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini

diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam

penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering

digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini

bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada

Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.

Page 40: Lapsus Epilepsi

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami

status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana

Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65

persen.13,14

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan

karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan

terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam

plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan

dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.

Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan

infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk

hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan

Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan

NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan

dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang

mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah mencapai kadar terapi OAE

dalam satu tahun terakhir setelah awitan. Hal ini diakibatkan oleh karena kegagalan dari OAE untuk

Page 41: Lapsus Epilepsi

mengontrol fokus epileptik bukan karena dosis yang tidak tepat, ketaatan minum OAE , ataupun

kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi.

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun

dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak

seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.

Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang

epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang

berespon terhadap terapi lini pertama.

Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat

atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan

kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg

EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang

dengan dosis awal.

Page 42: Lapsus Epilepsi

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus

Gambar : Algoritma tatalaksana pada stasus epileptikus

Page 43: Lapsus Epilepsi

Pada : awal menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)

a. Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen

c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubu

e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

Page 44: Lapsus Epilepsi

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah

lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah

Arteri)

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM

untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty

5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan

kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi

berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan

tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara

intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT

jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per

menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga

kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus

lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan

darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per

menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan

gambaran EEG.

Page 45: Lapsus Epilepsi

BAB IV

KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang berulang.

Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat

menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi.

Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh kondisi

tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe kejang pada

epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung

pada banyaknya area otak yang terpengaruh.

Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden

unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih dari 30

menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah kedaruratan

medis pada kejang tonik klonik. Sedangkan SUDEP sangat jarang terjadi.

Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang. Hamper

delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol

dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan diberikan satu jenis obat untuk

Page 46: Lapsus Epilepsi

mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih

kombinasi dari obat anti kejang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Accessed on February 22th 2014 :

http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf

2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita Selekta

Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005. p119-127.

3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).

Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.

Page 47: Lapsus Epilepsi

4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pediatric

Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007

5. Accessed on February 22th 2014:

http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf

6. Accessed on February 22th 2014: http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm

7. Accessed on February 22th 2014 : http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-

dan-anak/pahami-gejala- epilepsi-pada-anak-2

8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in Children and

Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005

9 . P r i c e d a n W i l s o n . 2 0 0 6 . Patofisiologi: Konsep Klinis Proses -Proses Penyakit.

Ed: 6. Jakarta: EGC

10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.

11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 200515.PERDOSSI. Pedoman

Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809

12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat;

2009.p.439.

13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI; 2005.

14. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.