lapsus epilepsi
DESCRIPTION
neurologiTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
EPILEPSI
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan KlinikBagian Ilmu Saraf
Rumah Sakit Tentara Tk II. Dr. Soedjono Magelang
Disusun oleh:
Raditya Ramadan R
01.210.6247
Pembimbing:
Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Raditya Ramadan
NIM : 01.210.6247
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Saraf
Judul : Stroke Nonhemorrhagic
Semarang, November 2015
Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Saraf RST Tk II. Dr. Soedjono Magelang
Pembimbing
Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S
BAB I
LAPORAN KASUS
STATUS KHUSUS COASS NEUROLOGI
DEPARTEMEN NEUROLOGI RST Dr. SOEDJONO MAGELANG
• Nama : Nn.Dessy
• Umur : 19 tahun
• Jenis kelamin : perempuan
• No registrasi :
• Alamat : Sarirejo, sidorejo lor, SALATIGA
I SUBJEK
A. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan pingsan + 2,5 jam. Dengan keluhan seperti itu pasien dibawa keluarganya ke RST tk II dr.Soedjono magelang. Setelah pingsan pasien sadar tetapi tidak bisa menggerakan tubuhnya dan keempat anggota geraknya, pasien sulit berkomunikasi, komunikasi dilkukan dengan gerakan bola mata. Pusing -, mual muntah -, demam -.
C. Riwayat Penyakit Dulu
Riwayat serupa 1 minggu yang lalu. Pasien sudah pernah sering mengalami hal
tersebut. Riwayat DM dan HT disangkal
II OBJEK
A. Status interna
• Kesadaran : Compos Mentis
• Anemis : -
• Ikterik : -
• Rhonki halus/ kasar : -/-
• Wheezing : -/-
• Bunyi jantung : reguler
• Abdomen : peristaltik (+) normal
• Nyeri lumbal : -
• Ekstremitas : oedem -/- , akral dingin
• Tekanan darah : 200/120
• RR : 22 x/menit
• Nadi : 84 x/menit
• Suhu (rectal) : 37,5 C
B. Status neurologi
GCS : E4V5M6
Meningeal sign
Kaku kuduk : -
Kernig : -
Brudzinski I-IV : -
Laseque : -
Nervi craniales
1. N. Olfaktorius (N I) : tidak dilakukan
2. N. Opticus (N II)
a. Visual acuity : tidak dilakukan
b. Visual field : tidak dilakukan
c. Warna : tidak dilakukan
d. Funduskopi : tidak dilakukan
3. N. Oculomotor, N. Abducens, N. Trochlearis (N III, N IV, N VI)
a. Kedudukan bola mata saat diam : DBN
B. Gerakan bola mata : sulit dievaluasi
C. Pupil
Bentuk, lebar, perbedaan lebar : DBN
Reaksi cahaya langsung dan konsensui l: DBN
Reaksi akomodasi dan konvergensi : sulit dievaluasi
4. N. Trigeminus (N V)
a. Sensorik : sulit dievaluasi
b. Motorik
Rapat gigi : sulit dievaluasi
Buka mulut : sulit dievaluasi
Gigit tongue spatel : sulit dievaluasi
Gerak rahang : sulit dievaluasi
C. Refleks
I. Masseter/mandibular : sulit dievaluasi
II. Kornea : +/+
5. N. Facialis (N VII)
a. Motorik
I. Diam : asimetris ke kiri
II. Bergerak
Kerut dahi : sulit dievaluasi
Menutup mata : (+) / (+)
angkat sudut bibir : sulit dievaluasi
tersenyum : sulit dievaluasi
B. Sensorik khusus:
Lakrimasi : tidak dilakukan
Refleks stapedius : tidak dilakukan
Pengecapan 2/3 anterior lidah : tidak dilakukan
6. N. Stato-akustikus (N VIII)
A. Suara bisik : tidak dilakukan
B. Arloji : tidak dilakukan
C. Garputala : tidak dilakukan
D. Nistagmus : tidak dilakukan
E. Tes kalori : tidak dilakukan
7. N. Glossopharyngeus & N vagus (N IX, N X)
a. Inspeksi oropharing keadaan istirahat : tidak dilakukan
b. inspeksi oropharing keadaan fonas : tidak dilakukan
c. Refleks : tidak dilakukan
d. Sensorik khusus : tidak dilakukan
e. Suara serak atau parau : tidak dilakukan
f. Menelan : tidak dilakukan
8. N. Accessorius (N XI)
a. Kekuatan m.Trapezius : sulit dievaluasi
b. Kekuatan m.Sternocleidomasteideus : sulit dievaluasi
9. N. Hypoglossus (N XII)
a. Kondisi diam : sulit dievaluasi
b. Bergerak : sulit dievaluasi
Motorik
a. Observasi : normal
b. Palpasi : tidak ada atrofi, kenyal padat normal
c. Perkusi : normal (cekung 1-2 detik)
d. Tonus : Kuat tonus atas KaKi 5/5 bawah KaKi 5/5
e. Kekuatan otot
Ex atas
M. Deltoid : Kanan 5 Kiri 5
M. Biceps brachii : Kanan 5 Kiri 5
M.Triceps : Kanan 5 Kiri 5
M.Brachioradialis : Kanan 5 Kiri 5
M.Pronator teres : Kanan 5 Kiri 5
Genggaman tangan : Kanan 5 Kiri 5
Ex bawah
M. Iliopsoas : Kanan 5, Kiri 5
M. Quadriceps : Kanan 5, Kiri 5
M. Hamstring : Kanan 5, Kiri 5
M. Tibialis anterior : Kanan 5, Kiri 5
M. Gastrocnemius : Kanan 5, Kiri 5
M. Soleus : Kanan 5, Kiri 5
Sensorik
a. Protopatik (nyeri/suhu, raba halus/kasar) : sulit dievaluasi
b. Propioseptif (gerak/posisi, getar tekan) : sulit dievaluasi
c. Kombinasi
a. Stereognosis : sulit dievaluasi
b. Barognosis : sulit dievaluasi
c. Graphestesia : sulit dievaluasi
d. 2 point tactile discrimination : sulit dievaluasi
e. Sensory extinction : sulit dievaluasi
f. Loss of body image : sulit dievaluasi
Reflek fisiologis
Refleks superfisial
a. BHR : -
b. Cremaster : -
Reflek tendon/periosteum
I. BPR/biceps : +/+
II. TPR/triceps : +/+
III. KPR/patella : +/+
IV. APR/achilles : +/+
V. Klonus
- Lutut/patella : -
- Kaki/ankle : -
Reflek patologis
a. Babinski : -/-
b. Chaddock : -/-
c. Oppenheim : -/-
d. Gordon : -/-
e. Gonda : -/-
f. Schaeffer : -/-
g. Rossolimo : -/-
h. Mendel-bechtrew : -/-
i. Hoffman : -/-
j. Tromner : -/-
Refleks primitif
a. Grasp reflex : tidak dilakukan
b. Palmo-mental reflex : tidak dilakukan
Px cerebellum :
a. Koordinasi
b. Asinergia/disinergia : sulit dievaluasi
c. Diadokinesia : sulit dievaluasi
d. Metria : sulit dievaluasi
e. Tes memelihara sikap : sulit dievaluasi
f. Rebound phenomenon : sulit dievaluasi
g. Tes lengan lurus : sulit dievaluasi
B. Keseimbangan
I. Sikap duduk : sulit dievaluasi
II. Sikap berdiri : sulit dievaluasi
Wide base/broad base stance : sulit dievaluasi
Modifikasi romberg : sulit dievaluasi
Dekomposisi sikap : sulit dievaluasi
Iii. Berjalan / gait
tandem walking : sulit dievaluasi
Berjalan memutari kursi/meja : sulit dievaluasi
Berjalan maju mundur : sulit dievaluasi
Lari ditempat : sulit dievaluasi
C. Tonus : sulit dievaluasi
D. Tremor : -
Px fungsi luhur
1. Aphasia :Global
2. Alexia : sulit dievaluasi
3. Apraksia : sulit dievaluasi
4. Agraphia : sulit dievaluasi
5. Akalkulia : sulit dievaluasi
6. Right-left disorientation : sulit dievaluasi
7. Fingeragnosis : sulit dievaluasi
Tes sendi sakro iliaka
a. Patrick’s : sulit dievaluasi
b. Kontra patrick’s : sulit dievaluasi
Tes provokasi n. Ischiadicus
a. Laseque : sulit dievaluasi
b. Sicard’s : sulit dievaluasi
c. Bragard’s : sulit dievaluasi
d. Minor’s : sulit dievaluasi
e. Neri’s : sulit dievaluasi
f. Doorbell’s : sulit dievaluasi
g. Kemp test : sulit dievaluasi
III. ASSESMENT
•
IV. PLANNING
Diagnosis
Tes darah (gula darah, kolesterol, koagulan)
CT scan kepala tanpa kontras
PLANNING TERAPI
• Depacote 3x1
• Infus NaCL 0.9 %
• B6 3x1
• Extrace 500mg 2x1
• Tonicard 2x1
Monitoring
• TTV
• Perawatan luka (debridement)
d. Edukasi
• Jauhkan dari benda bahaya atau jatuh
• Beri bantalan di kepala
• Longgarkan pakaian yang ketat
1Klinis : Kejang umum,
2Topis : Intrakranial
3Etiologi : epilepsi atonikDD : epilepsi sekunder akibatTumor cerebral, abses cerebral
• Miringkan pasien
• Jangan menahan/menghentikan saat kejang
• Jangan memasukkan benda apapun ke mulut
• Jangan di RJP
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
EPILEPSI
DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol
yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for epilepsy
(IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis dan adanya konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya
satu riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang tanpa
disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)
EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi. Sekitar lima
puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsy lebih tinggi di negara
berkembang. Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara
berkembang mencapai 100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun.
Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi
terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi
pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait
dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi
sebelum umur 18 tahun.6
ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak
pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau
infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6
tahun disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena birth trauma,
cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita epilepsi anak
dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini
semakin sedikit.
Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya :
post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolic, malformasi otak
kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
serta kelainan neurodegenerative.
Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsy mioklonik.7
KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3
1. Bangkitan parsial/fokal 1)Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorikb. Dengan gejala sensorikc. Dengan gejala otonomik d. Dengan gejala psikik
2)Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan Dengan gangguan kesadaran saja Dengan automatisme
3)Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umumb. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umumc. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi) 1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2) Bangkitan mioklonikMioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang
muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan. Gambaran klinis yang
terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat.
3) Bangkitan tonikTonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4) Bangkitan atonik/astatikAtonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di
menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan
total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya
penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini
jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonikTonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh
disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan
tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai
dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah
atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan
sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya.
3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan
Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah :3
1. Fokal / Partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak – anak
(Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsy,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali( isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya
sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas
serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler
dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+
secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan
adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada
daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai tempat
paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial
luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA)
menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan
dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara
tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik
dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai
aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan
epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan
manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya
terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan
bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan
maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di
otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada
penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan
kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup
mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya
dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam
otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak,
secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial
postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya
inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil
neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik.
Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan
neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan
terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan
heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap
serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang
cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada
pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah
hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus
asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal
epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau
glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya,
semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga
menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal
dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang
mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan
oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron bergantung pada permeabilitas
selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke
intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi
ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang
ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan
neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Ada dua
jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas
muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron
lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan
listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik
apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai
potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah
besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan
epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan
epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.
Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah
epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan
karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti
selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat
beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga
terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi
sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga
menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks
terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik
terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (pada tabel berikut). Contoh:
Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
Kanal Gen Sindroma
Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B
SCN2A, GABRG2
Generalized epilepsies with febrile
seizures plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, CACNB4
ACNA1H
Episodic ataxia tipe 2
Childhood absence epilepsy
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on
awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal lobe
epilepsy
Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic epilepsy
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium
influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan
repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat
pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan
sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang
berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi
kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel
neuron.
Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor
otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik
maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan
perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan
bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi
lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan
disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi
disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak
terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi
terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip
kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor
yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari
resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk
dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame
neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan
juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor
neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang
sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di
hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
GEJALA
Kejang parsial simplek
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa
“déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat di
jelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubuh tertentu.
Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien
mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
gerakan seperti mencucur atau mengunyah
melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan
seperti sedang bingung
Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
Berbicara tidak jelas seperti menggumam
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik
atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya
mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura.
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa : merasa
sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan
dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi
bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan
tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak
sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.
DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan
tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :
Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder. Epilesi grand mal
ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik. Manifestasi klinik: kedua golongan
epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu
atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului
aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak.Aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara
gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang
kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-
otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-
paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.
Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain
kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif,
mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan
stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenungdan kalau tak
diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik.
Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi
lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui
apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya
tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat
terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma
West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum
diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif,
gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan
kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai
teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada
salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali
dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot
lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi
parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).9
Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada
koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus postcentralis memberi
gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan
kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron
sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. Epilepsi lobus
temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas
sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus
temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan
asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini
bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme.
Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran
ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini
timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa
detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan
automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme
penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
- Pada orang dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari adanya tanda
neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih, dan adenoma seboseum pada
muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-
Weber. Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari
kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium,
bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia,
hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia.
Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak
dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan saraf
sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau
perdarahan subaraknoid.10,11
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu. Elektroensefalografi (EEG)
merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat memastikan diagnosis
epilepsy. Gelombang yang ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang
paku, runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan
foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3
spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat
dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
a. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang
kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus
epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
Gambar Pembentukan EEG
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang
optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan
bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping
seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.10
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat
(Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi
yakni:13,14
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus
terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari
pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan,
maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama
dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol
dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :
1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor
NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan
neurotransmitter yang voltage dependen
3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan eksitabilitas
glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.
4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium
(T) dan kalium.
5. Levetiracetam : Tidak diketahui
6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi
aktivitas channel.
9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride,
modulasi efek reseptor GABA.
10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas
dari bangkitan kejang.
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni:
1. Syarat umum yang meliputi :
- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana
penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
- Gambaran EEG normal
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6bulan.
- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas bangkitan
selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan
menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
STATUS EPILEPTIKUS
Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang
yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus.11,12
Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang
efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset) atau
dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan
klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi
mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik,
absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain
membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-
konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda
berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan
dewasa, hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:
1) Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
Tonik klonik
Tonik
Klonik
Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized convulsive status
epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
Simple motor status epilepticus
Sensory status epilepticus
Aphasic status epilepticus
4) Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
Petit mal status epilepticus
Complex partial status epilepticus.
PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa
yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus
dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini
diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini
bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada
Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami
status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana
Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65
persen.13,14
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam
plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan
dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin.
Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan
infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk
hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan
Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan
NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang
mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter
Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah mencapai kadar terapi OAE
dalam satu tahun terakhir setelah awitan. Hal ini diakibatkan oleh karena kegagalan dari OAE untuk
mengontrol fokus epileptik bukan karena dosis yang tidak tepat, ketaatan minum OAE , ataupun
kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi.
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak
seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang
epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang
berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat
atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan
kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg
EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang
dengan dosis awal.
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Gambar : Algoritma tatalaksana pada stasus epileptikus
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubu
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah
lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah
Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi
berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan
tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara
intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT
jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per
menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga
kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus
lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan
darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per
menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan
gambaran EEG.
BAB IV
KESIMPULAN
Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang berulang.
Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat
menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh kondisi
tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe kejang pada
epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung
pada banyaknya area otak yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden
unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih dari 30
menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah kedaruratan
medis pada kejang tonik klonik. Sedangkan SUDEP sangat jarang terjadi.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang. Hamper
delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol
dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan diberikan satu jenis obat untuk
mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih
kombinasi dari obat anti kejang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Accessed on February 22th 2014 :
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita Selekta
Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005. p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).
Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
5. Accessed on February 22th 2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
6. Accessed on February 22th 2014: http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed on February 22th 2014 : http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-
dan-anak/pahami-gejala- epilepsi-pada-anak-2
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in Children and
Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005
9 . P r i c e d a n W i l s o n . 2 0 0 6 . Patofisiologi: Konsep Klinis Proses -Proses Penyakit.
Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 200515.PERDOSSI. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat;
2009.p.439.
13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; 2005.
14. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.