lapsus dka

35
BAB I PENDAHULUAN Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen yang dapat menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenikasi), dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu muncul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung bersifat residif dan menjadi kronis. 1 Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell- mediated atau tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh. 1,2 Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk membedakan. 1

Upload: olivia-slimmingskincare

Post on 06-Dec-2015

113 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

med

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus DKA

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen yang dapat

menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,

papul, vesikel, skuama, likenikasi), dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak

selalu muncul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik).

Dermatitis cenderung bersifat residif dan menjadi kronis.1

Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau

kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis

kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia,

dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana

memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat).

Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah

paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah

reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading

phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA

dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.1,2

Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin

sulit untuk membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan

maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering,

menjengkelkan, dan menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis

kontak akibat kerja (Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20%

alergi. Namun, data terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan

bahwa persentase dermatitis kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih

tinggi, berkisar antara 50 dan 60 persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi

dari kerja DKA.1.3

Pada kesempatan ini penulis akan menguraikan secara ringkas tentang

DKA disertai dengan pembahasan mengenai satu kasus DKA di RS Puri Raharja.

1

Page 2: Lapsus DKA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan kulit yang

timbul setelah kontak dengan alergen. DKA dimanifestasikan dalam berbagai

derajat eritema, edema, dan vesikulasi, yang timbul pada individu yang telah

mengalami proses sensitisasi terhadap alergen.1

2.2 Epidemiologi

Diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA

sebanyak 20%, namun data terbaru dari Inggris dan Amerika Serikat

menunjukkan bahwa persentase DKA kemungkinan lebih tinggi dari perkiraan

sebelumnya, berkisar antara 50% - 60%. Dari data NHANES (National Health

and Nutritional Examination Survey), berdasarkan pemeriksaan fisik,

diperkirakan prevalensi DKA di Amerika Serikat sebanyak 13,6 kasus per 1000

orang. Sedangkan prevalensinya di Swedia dan Belanda masing-masing sebanyak

2,7 dan 12 kasus per 1000 orang. Suatu studi cross-sectional di Denmark pada

tahun 1998 melaporkan sebanyak 18,6% memiliki alergi pada satu alergen

potensial untuk menimbulkan dermatitis kontak alergi. Predileksi dermatitis

kontak alergi umumnya pada tangan, kaki, dan wajah dimana bagian tersebut

memang sering terjadi kontak dengan dunia luar. DKA dapat mengenai semua

ras/suku bangsa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-

laki. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi, namun DKA lebih jarang

dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul pada usia dewasa muda tapi dapat

mengenai segala usia. Gejala dermatitis kontak alergi pada orang tua munculnya

lebih lambat.2,3

2.3 Etiopatogenesis

DKA merupakan bagian dari hipersensitivitas tipe IV.

Hipersensitivitas tipe IV merupakan respon imun yang diperantari oleh sel (cell-

mediated immune response) dan merupakan suatu reaksi imunologik tipe lambat.2

2

Page 3: Lapsus DKA

Kurang lebih sekitar 3000 bahan kimia yang telah diketahui menyebabkan

dermatitis kontak alergi.

DKA disebabkan suatu substansi kimia sederhana yang molekulnya

amat kecil (berat molekul < 1000 Da). Molekul yang disebut hapten ini

merupakan alergen yang belum diproses, bersifat lipofilik, sangat reaktif dan

mampu menembus stratum korneum. Berbagai faktor mempengaruhi timbulya

DKA, antara lain: potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang

terkena, lama pajanan, suhu, kelembaban, oklusi, vehikulum, dan pH. Selain itu

faktor individu seperti usia, keadaan kulit dan status imunologis.2

Reaksi Dermatitis kontak alergi terjadi dalam dua fase, yaitu fase

sensitisasi dan fase elisitasi.2

1. Fase sensitisasi

Dalam fase ini, hapten yang menembus stratum korneum, ditangkap oleh sel

Langerhans di lapisan basal epidermis melalui pinositosis. Kemudian hapten

diproses dan digabungkan pada molekul HLA-DR, sehingga menjadi antigen

yang lengkap, lalu dipresentasikan di permukaan sel Langerhans. Sel

Langerhans yang telah aktif bermigrasi menuju kelenjar getah bening regional

melalui aliran limfe dan mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen

kepada sel Th spesifik. Sel Langerhans kemudian mensekresikan sitokin

proinflamasi yang merangsang proliferasi sel Th spesifik seperti IL-1. Th yang

teraktivasi mengeluarkan sitokin IL-2 untuk mengaktifkan proliferasi sel T

spesifik lebih banyak lagi. Turunan dari sel Th spesifik yang dihasilkan (sel T

memori) memasuki aliran darah dan beredar ke seluruh tubuh. Fase sensitisasi

berlangsung selama 2-3 minggu.2,4

2. Fase elisitasi

Fase ini terjadi pada individu yang telah tersensitisisasi mengalami pajanan

ulang terhadap hapten. Hapten yang telah ditangkap dan diproses menjadi

antigen oleh sel Langerhans, dipresentasikan kepada sel T memori. Interaksi

ini mengakibatkan aktivasi sel T spesifik dan pelepasan mediator-mediator

inflamasi (histamin, leukotrien, prostaglandin, dan lainnya) yang diinduksi

oleh sitokin. Hal tersebut menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan

3

Page 4: Lapsus DKA

permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah

masuk ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan

eikosanoid menarik neutrofil dan monosit ke dalam dermis. Rentetan kejadian

tersebut menghasilkan gejala klinis DKA. Fase elisitasi berlangsung antara 24-

48 jam.2,4

Gambar 1. Patogenesis dermatitis kontak alergi.4

2.4 Gambaran Klinis

Umumnya penderita mengeluh gatal pada daerah kulit yang

mengalami kelainan. Kelainan kulit yang muncul bervariasi tergantung pada

lokasi dan durasi timbulnya kelainan. Pada DKA yang akut, muncul makula

eritema berbatas tegas, diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel

atau bula dapat pecah, menimbulkan erosi dan eksudasi. Namun, bagian tubuh

tertentu seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, gambaran akut yang dominan

adalah eritema dan edema dibandingkan vesikel. Pada keadaan yang kronis, kulit

terlihat kering, terjadi likenifikasi, berskuama, kadang terdapat fisura, batasnya

tidak jelas. Dapat juga disertai papulovesikel, namun tidak selalu. Pada awalnya,

DKA biasanya hanya terjadi pada kulit yang mengalami kontak dengan alergen.

Namun, dapat terjadi penyebaran ke bagian tubuh yang lainnya baik melalui

4

Page 5: Lapsus DKA

pajanan terhadap alergen, atau melalui autosensitisasi. Daerah kulit kepala,

telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.2

Gambaran klinis DKA juga dapat dilihat menurut predileksi regionalnya.

Hal ini akan memudahkan untuk mencari bahan penyebabnya. Tempat predileksi

DKA antara lain:2

1. Tangan

Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergi paling sering di

tangan, karena merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk

pekerjaan sehari-hari. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada penderita.

Etiologi DKA pada tangan sangat kompleks karena banyak faktor lain yag

berperan di samping atopi. Contoh bahan penyebabnya misalnya deterjen,

antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen dan pestisida. Riwayat pekerjaan

perlu diperhatikan apabila terjadi dermatitis kontak alergi pada tangan.

2. Lengan

Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan

(nikel), sarung tangan karet, debu semen dan tanaman. Di aksila umumnya

oleh deodaran, anti perspiran, dan formaldehid pada pakaian.

3. Wajah

Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, spons,

obat topikal, alergen yang ada di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca

mata). Alergen pada tangan dapat menenai muka dan leher pada waktu

menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh

lipstik, pasta gigi dan getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat

disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.

4. Telinga

DKA pada telinga sering diakibatkan oleh anting atau jepit telinga terbuat

dari nikel. Penyebab lainnya seperti obat topikal, tangkai kaca mata, cat

rambut, alat bantu pendengaran, gagang telepon.

5. Leher dan kepala

Pada leher penyebabnya adalah kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal

dari ujung jari), parfum, alergen di udara dan zat warna pakaian. Kulit

5

Page 6: Lapsus DKA

kepala relative tahan terhadap alergen kontak, namun dapat juga terkena

oleh cat rambut, semprotan rambut, sampo atau larutan pengeriting rambut.

6. Badan

Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis,

busa), plastik dan deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.

7. Genitalia

Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut

wanita dan alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen.

Bila mengenai daerah anal, mungkin karena obat anti hemorrhoid.

8. Paha dan tungkai bawah

Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon,

obat topikal (anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, sandal dan

sepatu. Pada kaki dapat diakibatkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.

9. Dermatitis kontak sistemik

Dapat terjadi pada individu yang telah mengalami sensitisasi, yang

kemudian mengalami pajanan secara sistemik. Walaupun jarang terjadi,

reaksi dapat meluas bahkan hingga terjadi eritroderma.

Gambar 1. Gambaran Dermatitis kontak alergi akut pada tangan

6

Page 7: Lapsus DKA

Gambar 2. Gambaran kronis dermatitis kontak alergi pada tangan

2.5 Histopatologis

Gambaran histopatologis tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik

karena dapat juga terlihat pada dermatitis oleh sebab lain. Pada DKA akut dan

kronis gambaran histopatologisnya agak berbeda, dan bergantung pada derajat

keparahan reaksi inflamasi yang terjadi.5

Pada stadium akut, umumnya akan terjadi spongiosis akibat edema

interselular, biasanya terbatas pada epidermis bagian bawah, tapi bila reaksi yang

terjadi lebih hebat dapat mencapai lapisan epidermis bagian atas. Dermis sembab

dan pembuluh darah mengalami vasodilatasi. Terdapat sebukan sel radang

terutama sel mononuklear, kadang eosinofil juga ditemukan. Manifestasi klinis

dari akumulasi cairan pada stadium akut yaitu pembentukan vesikel yang dapat

mengalami ruptur ke permukaan epidermis.5

Pada stadium subakut, gambarannya mirip dengan stadium akut namun

edema, eksositosis dan vesikel berkurang. Vasodilatasi dan sebukan sel radang

masih jelas. Epidermis mulai menebal (akantosis) dan stratum korneum

mengalami parakeratosis. Jumlah fibroblast meningkat.5

Stadium kronis, epidermis semakin menebal, pada stratum korneum terjadi

hyperkeratosis. Pigmen melanin di dalam sel basal bertambah dan papilla dermis

memanjang. Sebukan sel radang mononuklear masih Nampak terutama di sekitar

pembuluh darah dermis bagian atas. Dinding pembuluh darah menebal, fibroblast

bertambah, dan kolagen menebal.5

2.6 Diagnosis

7

Page 8: Lapsus DKA

Untuk menegakkan diagnosis DKA, diperlukan anamnesis yang teliti dan

cermat, pemeriksaan fisik, dan uji tempel. Anamnesis ditujukan selain untuk

menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya. Karena hal ini penting

dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu mencegah kekambuhan.

Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik dengan

pasien. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi pribadi dan keluarga,

perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, pemakaian kosmetika, penyakit kulit yang

pernah dialami, riwayat kontak, dan pengobatan yang pernah diberikan oleh

dokter maupun dilakukan sendiri, serta kondisi lain yaitu riwayat medis umum,

dan mungkin faktor psikologis.2

Pemeriksaan fisik amat penting, karena dari lokasi dan pola kelainan kulit

yang ditemukan, dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Sangat penting

untuk mencari tahu lokasi awal munculnya kelainan kulit dan membuat daftar

kontaktan yang mungkin menjadi penyebabnya. Bila penderita mengalami

dermatitis kontak alergi yang kronis, informasi tentang faktor-faktor yang

mengakibatkan kekambuhan dari pasien akan sangat bermanfaat.2

Individu dengan DKA biasanya muncul gejala setelah beberapa hari

terpapar oleh alergen. Terutama pada area yang terpapar. Minimal 10 hari untuk

seseorang menghasilkan gejala sensitivitas yang spesifik.3 Umumnya penderita

mengeluh gatal. Pada fase akut dimulai dari bercak eritema yang berbatas jelas

diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel dan bula yang

pecah menimbulkan ekskoriasi dan eksudasi. Pada DKA kronis terlihat kulit

kering, skuama, papul dan likenfikasi dengan batas tidak tegas.2

Gejala klinis fase akut DKA umumnya terjadi meningkat (escalating)

dimulai dari eritema hingga vesikel. Perkecualian pada daerah dengan kulit yang

tipis dan memungkinkan absorpsi yang lebih cepat seperti kelopak mata, mukosa

dan genital akan dominan tampak edema.3

Pola distribusi pada DKA mengikuti daerah kulit yang terpapar oleh

alergen atau kontaktan. Sehingga pola distribusi lesi dan daerah dengan gejala

DKA membuat klinisi mudah menentukan penyebab terjadinya dermatitis kontak

alergi.3

8

Page 9: Lapsus DKA

DKA dapat dibuktikan dengan uji tempel. Uji ini biasa digunakan untuk

alergen dengan berat molekul rendah yang dapat menembus stratum korneum

yang utuh (membran barier kulit yang intak). Meskipun anamnesis dari pasien

didapatkan kemungkinan adanya alergi, bukti yang nyata didapatkan dari hasil uji

kulit yang positif. Tujuan uji tempel adalah mencari atau membuktikan penyebab

DKA.2

2.7 Diagnosis Banding

Kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi sering tidak

menunjukkan gambaran morfologi yang khas. Berbagai jenis kelainan kulit yang

harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding adalah :

1. Dermatitis kontak iritan: Diagnosis banding yang terutama adalah

dermatitis kontak iritan. Dalam keadaan ini, diperlukan pemeriksaan uji

tempel untuk menegakkan diagnosis. Biasanya gejala dermatitis kontak

iritan lebih banyak mengarah pada nyeri dan rasa terbakar. Onset gejala

muncul berlangsung cepat setelah kontak dengan bahan iritan sehingga

biasanya pasien ingat bahan penyebabnya.

2. Dermatitis atopik: erupsi kulit yang bersifat kronik residif, pada tempat -

tempat tertentu seperti lipat siku, lipat lutut disertai riwayat atopi pada

penderita atau keluarganya. Biasanya gejalanya gatal hilang timbul

sepanjang hari terutama pada malam hari dan terkena keringat.

3. Dermatitis numularis: merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif

dengan lesi berukuran sebesar uang logam dan umumnya berlokasi pada

sisi ekstensor ekstremitas. Biasanya tanpa riwayat paparan terhadap

alergen.

4. Dermatomikosis: infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur dengan

efloresensi kulit bersifat eritema, berbatas tegas dengan tepi yang lebih

aktif dan bagian tengahnya tenang.

2.8 Uji Tempel

Uji tempel kulit pertama kali diperkenalkan oleh Jadassohn pada tahun

1895. Tujuan dari uji tempel untuk mendeteksi DKA, dilakukan dengan

9

Page 10: Lapsus DKA

menempelkan bahan yang dicurigai dengan bentuk dan konsentrasi yang benar

pada kulit normal. Uji tempel merupakan cara artifisial yang hasilnya tidak selalu

sama dengan hasil kontak dengan lingkungan pasien sehari-hari, sebab

dipengaruhi oleh absorsi perkutan. Oleh karena itu untuk menjamin dan

membantu absorbsi dari bahan yang diuji, uji tempel harus dilakukan secara

tertutup (oklusif). Absorbsi perkutan juga dipengaruhi oleh cara yang dipakai,

temperatur, kelembaban, dan waktu/kapan dilakukannya tes.2

Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Penempelan

dapat dilakukan dengan menggunakan thin-layer rapid-use epicutaneus (TRUE)

test atau dengan wadah aluminium (Finn chamber) yang diletakan pada perekat.

Setelah 48 jam lembaran uji diangkat dan dilakukan pembacaan dengan sistem

skoring tertentu.2

Berbagai hal berikut perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:2

a. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Dapat terjadi reaksi “angry

back”, reaksi positif palsu, bahkan memperburuk penyakit yang diderita.

b. Tes dilakukan sekurang-sekurangnya satu minggu setelah pemakaian

kortikosteroid sistemik dan topikal dihentikan. Sedangkan antihistamin

sistemik tidak mempengaruhi hasil tes.

c. Uji tempel dibuka setelah dua hari kemudian dibaca. Pembacaan kedua

dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.

d. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel

menjadi longgar, dilarang mandi sekurang-kurangnya 48 jam dan menjaga

agar punggung selalu kering sampai pembacaan terakhir selesai karena

dapat memberikan hasil negatif palsu.

e. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan pada penderita yang

mempunyai riwayat urtikaria dadakan karena dapat menimbulkan urtikaria

generalisata bahkan reaksi anafilaksis.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan

pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang

diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicacat seperti berikut:2

1 = reaksi lemah (nonvesikular): eritema, infiltrat, papul (+)

10

Page 11: Lapsus DKA

2 = reaksi kuat: edema atau vesikel (++)

3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)

4 = meragukan: hanya makula eritematosa (?)

5 = iritasi: seperti terbakar, pustule, atau purpura (IR)

6 = reaksi negative (-)

7 = excited skin

8 = tidak dites (NT= not tested)

Pembacaan kedua biasanya dilakukan 72-96 jam setelah aplikasi, penting untuk

membantu membedakan antara dermatitis kontak alergi atau iritan, juga

mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Untuk menginterpretasi

hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua.

Respon alergi biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan pertama dan kedua,

berawal dari +/- ke +/++ bahkan +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon

iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo).2

2.9 Penatalaksanaan

Pada prinsipnya penatalaksanaan DKA yang baik adalah mengidentifikasi

penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, dan menekan kelainan

kulit yang timbul dengan terapi topikal dan sistemik.2,3,4

1. Pengobatan topikal

Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum pengobatan

dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah (kompres terbuka), bila kering

berikan terapi kering. Makin akut penyakit, makin rendah prosentase bahan aktif.

Bila akut berikan kompres, bila subakut diberi losio, pasta, krim atau linimentum

(pasta pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila basah berikan kompres, bila

kering superfisial diberi bedak, bedak kocok, krim atau pasta, bila kering di

dalam, diberi salep. Medikamentosa topikal saja dapat diberikan pada kasus-kasus

ringan. Jenis-jenisnya adalah:

Kortikosteroid

Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian

topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen dari dermatitis kontak

11

Page 12: Lapsus DKA

alergi. Steroid menghambat aktivasi dan proliferasi sel T spesifik. Efek

imunomodulator ini meniadakan respon imun yang terjadi dalam proses

dermatitis kontak. Jenis yang dapat diberikan adalah hidrokortison 2,5 %,

halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara pemakaian topikal dengan

menggosok secara lembut. Untuk meningkatan penetrasi obat dan

mempercepat penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup dengan film

plastik selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek

samping berupa potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.

Antibiotika dan antimikotika

Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa

hemolitikus, E. koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan superinfeksi

tersebut dapat diberikan antibiotika (misalnya gentamisin) dan

antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam bentuk topikal.

Imunosupresif topikal

Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus)

dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan menghambat proliferasi

sel T melalui penurunan sekresi sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa

merubah responnya terhadap sitokin eksogen lain. Hal ini akan

mengurangi peradangan kulit dengan tidak menimbulkan atrofi kulit dan

efek samping sistemik. SDZ ASM 981 merupakan derivat askomisin

makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi. Konsentrasi yang

diajurkan adalah 1%.

2. Pengobatan Sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau edema,

juga pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut atau kronik. Jenis-

jenisnya adalah :

Antihistamin

Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek

sedatifnya. Ada yang berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat

pelepasan histamin. Tapi ada juga yang berpendapat dengan adanya reaksi

12

Page 13: Lapsus DKA

antigen-antobodi terdapat pembebasan histamin, serotonin, SRS-A,

bradikinin dan asetilkolin.

Kortikosteroid

Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral,

intramuskular atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednison dan

prednisolon. Steroid lain lebih mahal dan memiliki kekurangan karena

berdaya kerja lama. Bila diberikan dalam waktu singkat maka efek

sampingnya akan minimal. Perlu perhatian khusus pada penderita ulkus

peptikum, diabetes dan hipertensi. Efek sampingnya terutama

pertambahan berat badan, gangguan gastrointestinal dan perubahan dari

insomnia hingga depresi. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat

proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD1 dan HLA- DR pada sel

Langerhans, menghambat pelepasan IL-2 dari limfosit T dan menghambat

sekresi IL-1, TNF-a.

2.10 Komplikasi

Infeksi sekunder mudah terjadi pada kulit yang mengalami kelainan

seperti pada DA, DKA, dan psoriasis. Bakteri yang sering mengakibatkan infeksi

sekunder adalah Staphylococcus aureus atau Steptococcus pyogenes. Antibiotik

topikal merupakan salah satu pilihan terapi karena tidak mengaibatkan toksisitas

sistemik, mengurangi kemungkinan resistensi bakteri, dan memiliki konsentrasi

tinggi. Antibiotika topikal yang sering digunakan antara lain : mupirosin,

neomisin, basitrasin, polimiksin. Dapat pula digunakan antibiotik sistemik, seperti

penisilin, klindamisin, dikloksasilin, doksisiklin, minosiklin, atau vancomisin.

2.11 Prognosis

Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat

disingkirkan. Prognosis kurang baik dan dapat menjadi kronis bila bersamaan

dengan dermatitis lainnya akibat faktor endogen.

13

Page 14: Lapsus DKA

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : IDP

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 18 tahun

Suku : Bali

Bangsa : Indonesia

Agama : Hindu

Alamat : Br. Pengiasaan, Mengwi

Tanggal pemeriksaan : 10 September 2015

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)

Keluhan utama : Gatal pada kedua lipatan tangan

Perjalanan Penyakit

Pasien datang poliklinik dengan keluhan gatal pada pada pergelangan tangan kiri

sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan timbul bentol-bentol kecil yang

bertambah banyak serta berwarna kemerahan dan melingkar pada pergelagan

tangan pasien. Pasien mengatakan keluhan gatal ini sangat mengganggu sehingga

sering kali pasien menggaruk dan mengakibatkan lecet yang mengering di daerah

keluhan dan terasa perih. Keluhan ini muncul setelah pasien menggunakan jam

yang baru dibelinya selama 2 hari.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien juga pernah mengalami keluhan yang sama di lingkar jari

tengahnya setelah menggunakan cincin kurang lebih bulan yang lalu.. Dan

keluhan tersebut massih menyisakan bekas kehitaman di daerah lingkar jari

tengah tangan kiri pasien.

Pasien tidak memiliki riwayat rhinitis alergi ataupun asma. Riwayat

diabetes mellitus, hipertensi, alergi makanan dan alergi lain disangkal pasien.

14

Page 15: Lapsus DKA

Riwayat keluarga

Menurut pasien tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama

seperti pasien.

Riwayat sosial

Pasien bekerja sebagai pegawai swasta.

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Present

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan umum : Baik

Status general

Kepala : Normochepali

Mata : anemia (-/-), ikterus (-/-)

THT : kesan tenang

Thorax : dalam batas normal

Abd : dalam batas normal

Extremitas : sesuai dengan status dermatologis

Status dermatologis

Lokasi : Dorsum pedis dextra et sinistra

Effloresensi : Patch eritema, bentuk geografika, jumlah multiple, ukuran

bervariasi, batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris

mengikuti bentuk sandal jepit. Beberapa tampak erosi, ditutupi

krusta kecoklatan.

15

Page 16: Lapsus DKA

Gambar 3. Lesi pada punggung kaki penderita

16

Page 17: Lapsus DKA

3.4 Diagnosis Banding

1. Dermatitis Kontak Iritan

2. Dermatitis Atopik

3.5 Diagnosis Kerja

1. Diagnosis Kontak Alergi

3.6 Resume

Pasien perempuan, umur 51 tahun, agama Islam, suku Jawa, datang

dengan keluhan gatal dan luka pada pada kedua punggung kaki sejak 10 hari yang

lalu. Pasien mengalami keluhan ini sejak tahun 1985 dan membaik dengan

pengobatan. Namun setelah menghentikan pengobatan 10 hari yang lalu timbul

keluhan gatal serta bercak kemerahan diikuti dengan muncul benjolan berisi air di

daerah celah jari kaki pertama dan kedua. Lama-lama lesi semakin banyak

mengikuti garis sandal jepit. Pasien tidak memiliki riwayat rhinitis alergi ataupun

asma. Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti

pasien. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan sehari-hari menggunakan

sandal jepit berbahan karet.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan status vital dan status generalis dalam

batas normal. Dari pemeriksaan status dermatologisnya dimana lokasinya pada

kedua punggung kaki kanan dan kiri didapatkan efloresensi berupa patch eritema,

bentuk geografika, jumlah multiple, ukuran bervariasi, batas tegas, susunan

konfluens, distribusi simetris mengikuti bentuk sandal jepit. Beberapa tampak

erosi, ditutupi krusta kecoklatan.

3.7 Usulan Pemeriksaan

Pemeriksaan uji tempel.

3.8 Penatalaksanaan

Sefadroxyl 500mg

Somerol 5mg

Loratadin 10mg

17

Page 18: Lapsus DKA

Inerson cream 15mg

Foson cream 10gr

KIE

1. Menghindari bahan-bahan yang mungkin dapat menyebabkan timbulnya

keluhan tersebut dalam hal ini penggunaan sandal jepit berbahan karet.

2. Memberikan pengertian kepada keluarga penderita tentang penyakitnya,

jenis penyakitnya, penyebab penyakitnya dan prognosis

3. Menggunakan sabun yang daya larut dan iritasi minimal seperti sabun bayi

4. Mengikuti pengobatan oleh dokter dengan tepat

5. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar

6. Menyarankan untuk kontrol kembali ke poliklinik kulit dan kelamin 4 hari

lagi.

18

Page 19: Lapsus DKA

BAB IV

PEMBAHASAN

Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan

kulit yang timbul setelah kontak dengan alergen. Dermatitis kontak alergi

dimanifestasikan dalam berbagai derajat eritema, edema, dan vesikulasi, timbul

pada individu yang telah mengalami proses sensitisasi terhadap alergen. Kelainan

kulit pada dermatitis kontak alergi timbul akibat reaksi imunologis, yaitu reaksi

hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) atau reaksi

hipersensitivitas tipe IV.

Umumnya penderita DKA mengeluh gatal pada daerah kulit yang

mengalami kelainan. Kelainan kulit yang muncul bervariasi tergantung pada

lokasi dan durasi timbulnya kelainan. DKA yang akut, muncul makula eritema

berbatas tegas, diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula

dapat pecah, menimbulkan erosi dan eksudasi. Pada keadaan yang kronis, kulit

terlihat kering, terjadi likenifikasi, berskuama, kadang terdapat fisura, batasnya

tidak jelas. Dapat juga disertai papulovesikel, namun tidak selalu. Pada awalnya,

dermatitis kontak alergi biasanya hanya terjadi pada kulit yang mengalami kontak

dengan alergen. Namun, dapat terjadi penyebaran ke bagian tubuh yang lainnya

baik melalui pajanan terhadap alergen, atau melalui autosensitisasi. Kejadian

dermatitis kontak baik iritan maupun alergi paling sering di tangan, karena

merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk pekerjaan sehari-hari.

Individu dengan DKA biasanya muncul gejala setelah beberapa hari

terpapar oleh alergen. Terutama pada area yang terpapar. Minimal 10 hari untuk

seseorang menghasilkan gejala sensitivitas yang spesifik.3 Umumnya penderita

mengeluh gatal. Pada fase akut dimulai dari bercak eritema yang berbatas jelas

diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel dan bula yang

pecah menimbulkan ekskoriasi dan eksudasi. Pada DKA kronis terlihat kulit

kering, skuama, papul dan likenfikasi dengan batas tidak tegas.

Dari anamnesis pada pasien, didapatkan keluhan berupa gatal dan luka

pada pada kedua punggung kaki sejak 10 hari yang lalu. Pasien mengalami

keluhan ini sejak tahun 1985 dan membaik dengan pengobatan. Namun setelah

19

Page 20: Lapsus DKA

menghentikan pengobatan 10 hari yang lalu timbul keluhan gatal serta bercak

kemerahan diikuti dengan muncul benjolan berisi air di daerah celah jari kaki

pertama dan kedua. Lama-lama lesi semakin banyak mengikuti garis sandal jepit.

Pasien tidak memiliki riwayat rhinitis alergi ataupun asma. Pasien bekerja sebagai

ibu rumah tangga dan sehari-hari menggunakan sandal jepit berbahan karet.

Lesi penderita tergolong subakut ditandai dengan adanya krusta yang

berasal dari vesikel-vesikel yang pecah. Penderita sering terlihat menggaruk

kedua kakinya yang menandakan lesi bersifat gatal. Kemungkinan benda yang

menyebabkan timbulnya lesi adalah sandal jepit berbahan karet yang dipakainya.

Gambaran ini mendukung ke arah diagnosis DKA dimana terdapat jangka waktu

yang cukup lama untuk menimbulkan gejala sejak pemakaian sandal jepit

berbahan karet. Selain itu, lesi awal hanya eritema dengan muncul vesikel kecil

dan kemudian pecah menjadi krusta, distribusi lesi yang mengikuti pola

menyerupai sandal jepit mengarahkan pada diagnosis DKA penyebab alergi pada

sandal jepit berbahan karet.

Pemeriksaan dermatologis pada kedua punggung kaki kanan dan kiri

didapatkan effloresensi berupa patch eritema, bentuk geografika, jumlah multiple,

ukuran bervariasi, batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris mengikuti

bentuk sandal jepit. Beberapa tampak erosi, ditutupi krusta kecoklatan. Hal ini

sesuai dengan gambaran efloresensi dermatitis kontak alergi yaitu lesi yang

polimorfik dengan gatal yang terlihat dari adanya erosi akibat garukan.

Dengan pemeriksaan uji tempel diharapkan dapat ditemukan reaksi positif

terhadap alergen yang dicurigai sebagai penyebab penyakit, dan timbul reaksi

crescendo (menguat) pada pemeriksaan kedua untuk menyingkirkan diagnosis

banding dermatitis kontak iritan. Dimana pada dermatitis kontak iritan juga akan

ditemukan reaksi positif terhadap iritan, namun pada pemeriksaan kedua akan

melemah (reaksi decrescendo). Namun pada kasus ini, uji tempel tidak dilakukan.

Pada prinsipnya penatalaksanaan dermatitis yang baik adalah

mengidentifikasi penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, dan

menekan kelainan kulit yang timbul dengan terapi topikal dan sistemik. Obat-obat

topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum pengobatan dermatitis

yaitu bila basah diberi kompres terbuka, bila kering berikan terapi kering. Makin

20

Page 21: Lapsus DKA

akut penyakit,makin rendah prosentase bahan aktif. Medikamentosa topikal saja

dapat diberikan pada kasus-kasus ringan. Pengobatan sistemik ditujukan untuk

mengontrol rasa gatal dan atau edema, juga pada kasus-kasus sedang dan berat

pada keadaan akut atau kronik, juga bila terdapat infeksi sekunder.

Pada kasus ini, pengobatan yang diberikan adalah pengobatan

medikamentosa dapat diberikan secara topikal dan sistemik. pengobatan topikal

yang diberikan adalah krim inerson dan fuson yang dicampur berfungsi sebagai

anti radang dan antibiotik yang digunakan 2x sehari. Obat sistemik yang diberikan

cefadroxyl diberikan 2x sehari yang berfungsi sebagai antibiotik untuk mematikan

bakteri gram (+). Somerol diberikan 2 pagi dan 2 siang untuk anti inflamasi dan

anti alergi. Loratadin 1x sehari diberikan untuk anti alergi.

Selain pengobatan secara medikamentosa juga diberikan KIE seperti :

menghindari bahan-bahan yang mungkin dapat menyebabkan timbulnya keluhan

tersebut seperti penggunaan sandal jepit berbahan karet (disarankan menggunakan

sandal berbahan lain), memberikan pengertian kepada keluarga penderita tentang

penyakitnya, jenis penyakitnya, penyebab penyakitnya, prognosis sampai faktor

risiko apa saja yang bisa menyebabkan kekambuhan penyakit tersebut, memberi

edukasi cara penggunaan obat yang diberikan dan menyarankan untuk kontrol

kembali ke poliklinik kulit dan kelamin dalam waktu 4 hari.

Prognosis penderita dengan DKA adalah baik bila kontak terhadap alergen

pencetus dapat dihindari dan penderita tidak memiliki riwayat dermatitis lain

yang disebabkan oleh faktor endogen seperti: dermatitis atopi, dermatitis

numularis, atau psoriasis.

21

Page 22: Lapsus DKA

BAB V

KESIMPULAN

Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu reaksi peradangan kulit yang

timbul setelah kontak dengan alergen. Reaksi dermatitis kontak alergi terjadi

dalam dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Manifestasi klinis

dermatitis kontak alergi pada kasus ini adalah rasa gatal pada dorsum pedis dextra

et sinistra akibat pemakaian sandal jepit berbahan karet. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan efloresensi berupa plak hiperpigmentasi, bentuk sesuai dengan kontak

sandal yang dipakai pasien, jumlah multiple, ukuran plakat, batas tegas, susunan

konfluens, distribusi bilateral. Di atasnya terdapat erosi, ditutupi krusta

kecoklatan, fisura dan likenifikasi. Beberapa tampak erosi, ditutupi krusta

kecoklatan. Pemeriksaan penunjang tes tempel pada kasus ini tidak dilakukan.

Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan DKA et causa sandal jepit

berbahan karet yang dipakai sehari-hari. Usulan pemeriksaan penunjang adalah uji

tempel untuk mengkonfirmasi penyebab dari DKA tersebut. Penderita diterapi

dengan campuran krim inerson dan fuson ditambah obat sistemik berupa

cefadroxyl, somerol dan loratadin. Pasien diberi KIE untuk tidak memakai sandal

jepit dengan bahan yang sama, tata cara pengobatan dan kontrol kembali ke

poliklinik kulit dan kelamin 5 hari kemudian. Prognosisnya adalah dubius ad

Bonam.

22

Page 23: Lapsus DKA

DAFTAR PUSTAKA

1. Saint-Mezard, P., Rosiers, A., Krasteva, M., Berard, F., Dubois, B.,

Kaiserlian, D., et al. Allergic Contact Dermatitis. European Journal of

Dermatology. 2008.14:284-295

2. Sularsito, S. P., Djuanda, S. Dermatitis, dalam: Djuanda, A., Hamzah,M.,

Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed 4. 2005. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. hal. 129-153

3. Belsito DV. Allergic Contact Dermatitis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,

Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York: The McGraw-Hill;

2003. h. 1164-1179.

4. Hogan, D., May, J. Contact Dermatitis Allergic. 2007. Available:

http://www.emedicine.com/derm/topic84.htm.

5. Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres A, Hennino A, Nicolas JF. “allergic

and irritant contact dermatitis”. Eur J Dermatol. 2009. 19(4):325-32.

6. Siregar, R. S. (2004), Dermatitis Kontak Alergi, dalam: Atlas Berwarna:

Saripati Penyakit Kulit, Ed 2, EGC, Jakarta, hal 109-112

23