lapsus anestesi - azaria
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
MANAJEMEN PERIOPERATIF TERAPI CAIRAN
PADA PASIEN LUKA BAKAR DERAJAT II A/B 30% DENGAN TRAUMA INHALASI
Disusun oleh :
Azaria Amelia Adam (0810713046)
Pembimbing :
dr. Ristiawan Muji L, SpAn
LABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR SAIFUL ANWAR
MALANG
2013
BAB 1.
1.1. Latar Belakang
Luka bakar yang melebihi 20% total luas permukaan tubuh (total body surface area/TBSA) pada
dewasa dan 10% TBSA pada anak dapat menyebabkan burn shock sebagai akibat dari kombinasi
pergeseran elektrolit, respon inflamasi, dan evaforasi. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan
hipovolemia intra vaskular, hemokonsentrasi, dan penurunan cardiac output (Scott et al., 2005).
Pemberian cairan resusitasi pada luka bakar merupakan hal yang penting sebab dapat mencegah
terjadinya hipoperfusi jaringan yang dapat menyebabkan kegagalan organ, seperti gagal ginjal akut
yang merupakan penyebab kematian utama sebelum diterapkannya strategi cairan resusitasi pada
penderita luka bakar (Greenhalgh, 2007).
Namun, pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar harus diberikan secara hati-hati,
sebab resusitasi yang tidak adekuat dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan, gagal ginjal
akut, dan kematian. Sementara itu, pemberian cairan secara berlebihan dapat memperberat
terjadinya edema, peningkatan tekanan kompartemen, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
dan kegagalan organ multiple (Sullivan et al., 2006, Pham et al., 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada
penderita luka bakar penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar grade II A-B.
1.3. Tujuan Penulisan
Mengetahui tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar grade II A-B.
1.4. Manfaat Penulisan
Pada penulisan laporan kasus ini diharapkan daat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana pemberian cairan resusitasi
pada penderita luka bakar grade II A-B.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
1.5. Patofisiologi Luka Bakar
Sebelum membahas tatalaksana pemberian terapi resusitasi cairan pada luka bakar,
terlebih dahulu akan dibahas patofisiologi luka bakar, secara singkat digambarkan pada gambar 2.1.
Hal ini penting untuk tatalaksana pemberian yang tepat.
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-
benda yang menghasilakn panas secara langsung seperti api, atau secara tidak langsung seperti
paparan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia dan air, atau zat-zat yang bersifat
membakar seperti asam kuat atau basa kuat.
Akibat pertama luka bakar adalah kerusakan jaringan kulit akibat suhu yang tinggi.
Pembuluh darah kapiler yang terpapar suhu tinggi menjadi rusak dan terjadi peningkatan
permeabilitas. Peningkatan permeabilitas ini menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang
mengandugn elektrolit di permukaan kulit. Sehingga menyebabkan berkurangnya cairan
intravaskular. Kerusakan kulit akibat luka juga menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan
yang berlebihan.
Gambar 2.1 Patofisiologi Luka Bakar (Chan et al., 2009)
2.1.1 Injuri Awal
Luka bakar menyebabkan adanya jaringan mati, dimana sekitarnya terdapat daerah
iskemia yang potensi untuk reversibel. Injuri lokal ini menyebabkan pelepasan mediator inflamasi,
seperti histamin, prostaglandin, tromboxan, dan nitric oxide, yang meningkatkan permeabilitas
kapiler dan menyebabkan edema luka. Selain itu, injuri ini menyebabkan terproduksi reactive
oxygen species (ROS) dalam jumlah tinggi. ROS merupakan radikal bebas yang bersifat toksis
terhadap sel dan mempropogasi respon imun (Sheridan, 2001).
2.1.2 Edema dan Respon Inflamasi Sistemik
Jika luka bakar luas maka mediator inflamasi yang bersirkulasi, seperti TNFα, IL1,2,5,8, dan
interferonγ, menghasilkan respon inflamasi sistemik. Hal ini menyebabkan peningkatan
premeabilitas mikrovaskular, vasodilatasi, statis vaskular, penurunan kontraktilitas kardia, dan
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan perpindahan cairan, elektrolit, dan protein
intravaskular ke intersisial. Perpindahan protein menuju intersisial dan obstruksi pembuluh limfe
oleh sel-sel inflamasi menyebabkan tekanan onkotik intersisial meningkat, sedangkan vasodilatasi
dan statis vaskular menyebabkan tekanan hidrostatis intravaskular meningkat. Kedua hal ini
menyebabkan edema sesuai ketidakseimbangan tekanan dengan hukum Starling. Edema
mencapai maksimun pada 24 jam setelah kejadian dan mulai membaik setelah 1 - 2 hari (Ballard-
Croft et al., 2002).
2.1.3 Burn Shock
Hilangnya volume intravaskular menyebabkan burn shock dimana merupakan gabungan
dari syok distributif, hipovolemia, dan kardiogenik. Selain itu, cairan dapat keluar melalui
evaporasi. Sehingga volume intravaskular tidak cukup untuk memenuhi preload yang adekuat,
penurunan cardiac output, dan penurunan hipoperfusi jaringan. Kegagalan resusitasi pada
penderita luka bakar dapat menyebabkan systemic inflamatory respone syndrome (SIRS) atau
multiple dysfunction syndrome (MODS) (Tricklebank, 2009).
2.1.4 Trauma Inhalasi
Trauma Inhalasi adalah trauma akibat paparan atau inhalasi udara yang panas atau
produk gas dari benda yang terbakar.Trauma inhalasi dapat menyebabkan komplikasi saluran
pernapasan yang serius.
Sekitar 80% kematian akibat kebakaran karena trauma inhalasi, termasuk luka bakar pada
sistem respirasi. Udara yang panas dengan kombinasi kerusakan akibat suhu, racun dan iritasi
pulmonal dan edema disebabkan oleh karbon monoksida, sianida dan produk kebakaran lainnya.
Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bila luka bakar terjadi pada area wajah,
dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terhirup.
Edema laring yang ditimbulkan dapat menyebabkan sumbatan jalan napas dengan gejala sesak
napas, takipneu, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga
1.6. Mengukur Luas Luka Bakar (TBSA)
Total luas luka bakar dapat diukur menggunakan metode rule of nine pada dewasa, namun
rule of nine ini tidak dapat digunakan pada luka bakar anak. Lund-Browder chart merupakan salah
satu metode akurat untuk megukur luas luka bakar tiap bagian. Chart ini juga bisa digunakan pada
anak-anak. Selain itu, juga dapat memperkirakan juga memperkirakan dengan telapak tangan
penderita (Alharbi et al., 2012). Secara singkat ditampilkan pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Cara Memperkirakan Luas Luka Bakar. Ket. Rule of nine (kiri), Lund-Browder chart
(tengah), dan menggunakan telapak tangan penderita (kanan)
1.7. Tatalaksana Terapi Cairan Resusitasi
Tujuan resusitasi cairan pada penderita luka bakar saat 24 - 48 jam pertama (Chan et al.,
2009), adalah sebagai berikut:
Mengembalikan volume intravaskular
Menyediakan sodium yang adekuat untuk mengembalikan potensial transmembran selular
Mengembalikan kadar elektrolit ekstraselular, sehingga mencegah ketidakseimbangan
elektrolit yang dapat menyebabkan aritmia jantung
Mengkoreksi hipoproteinemia dan meningkatkan tekanan onkotik
Optimal Rute Pemberian Cairan
Luka bakar kurang dari 20% terjadi minimal pergeseran cairan, sehingga dapat diresusitasi
dengan oral hidrasi, kecuali luka bakar pada wajah, tangan, genital, pada anak dan pada geriatri.
Sementara, luka bakar lebih dari 20% terjadi respon inflamasi sistemik dan pergeseran cairan
masif, yang menyebabkan burn shock seperti yang telah dijelaskan di atas. Meskipun, pada luka
bakar tersebut dapat diberika secara enteral namun penderita cenderung muntah, oleh karena
itu, pemberian cairan direkomendasikan menggunakan inta vena (Cantio et al., 2006).
Formula yang Digunakan Dalam Resusitasi Luka Bakar
Terdapat beberapa formula resusitasi yang telah ditemukan, pada tabel 2.1, namun formula
yang banyak digunakan adalah formula Parkland, modifikasi Paarkland, Brooke, Modifikasi Brooke,
Evans, dan Monafo (Fodor et al., 2006).
Tabel 2.1 Formula Resusitasi pada Penderita Luka Bakar
Formula Parkland24 jam pertama RL 4 mL/kg/%TBSA (dewasa)
RL 3 mL/kg/%TBSA (anak), ditambahkan cairan maintance pada anak:4 mL/kg/jam (0-10 kg)40 mL/jam + 2 mL/kg/jam (10-20 kg)60 mL/jam + 1 mL/kg/jam (>20 kg)
24 jam selanjutnya Colloid diberikan 20 - 60% volume plasma. Dextrose diberikan hingga urin 0.5 - 1 mL/jam (dewasa) dan 1 mL/jam (anak)
Formula Parkland Modifikasi24 jam pertama RL 4 mL/kg/%TBSA (dewasa)24 jam selanjutnya Colloid infus 5% albumin 0.3 - 1
mL/kg/%TBSA/16 tiap jamFormula Brooke24 jam pertama RL 1.5 mL/kg/%TBSA + 0.5 mL/kg/%TBSA
+ 2000 mL glukosa24 jam selanjutnya RL 0.5 mL/kg/%TBSA, kolloid 0.25
ml/kg/%TBSA dan jumlah gula yang sama dengan 24 jam pertama
Formula Brooke Modifikasi24 jam pertama RL 2 mL/kg/%TBSA (dewasa) dan 3
mL/kg/%TBSA (anak)24 jam selanjutnya Kolloid 0.3 - 0.5 mL/kg/%TBSA dan
glukosa maintanceFormula Evans24 jam pertama Kristalloid 1 mL/kg/%TBSA + kolloid 1
mL/kg/%TBSA + 2000 mL glukosa24 jam selanjutnya Kristalloid 0.5 mL/kg/%TBSA, kolloid 0.5
mL/kg/%TBSA dan jumlah glukosa yang sama pada 24 jam pertama
Formula MonafoMerekomendasikan cairan yang mengandung 250 mEq Na, 150 mEq lactate, dan
100 mEq Cl. 24 jam selanjutnya, titrasi 1/3 NS
Selain itu, terdapat beberapa keadaan yang dapat membuat penderita luka bakar
menerima lebih banyak kebutuhan cairan dibandingkan formula Parkman, seperti trauma inhalasi,
luka bakar elektrik, terdapat luka tambahan, mengkomsumsi alkohol, dan terlambat menerima
resusitasi (Tricklebank, 2009).
Akhir-akhir ini terdapat bukti yang menyebutkan bahwa penderita luka bakar menerima
cairan lebih banyak dibandingkan yang diprediksi menggunakan formula Parkland atau yang disebut
fluid creep. Selain itu, juga terdapat beberapa istilah, seperti permissive hypovolemia dan
hyperdinamic resuscitation dari beberapa studi.
“Fluid Creep”
Istilah ini menggambarkan terjadinya pemberian cairan berlebihan dari formula yang
telah ditentukan. Fluid creep juga dihubungkan dengan beberapa komplikasi, seperti
compatement syndrome, edema pulmonal, pemakaian ventilasi yang lama, dan kegagalan graft
kulit. Selain itu, kejadian fluid creep ini meningkat seiring dengan penggunaan agen opioid,
hipotesis yang saat ini menjelaskan mengapa itu terjadi menyebutkan agen opioid, terutama
dalam dosis tinggi, dapat menyebabkan terjadinya hipotensi yang dapat meningkatkan
kebutuhan cairan selama resusitasi (Saffle, 2007).
“Permissive Hypovolemia”
Untuk mencegah komplikasi over-resuscitation, maka Arlati et al. (2007)
merkomendasikan pemberian cairan low volume. Pada penelitiannya juga membuktikan hanya
dua dari lebih dari 2100 penderita luka bakar yang mengalami gagal ginjal akut.
Pemilihan Cairan Resusitasi Intra Vena
Cairan resusitasi yang idelal merupakan cairan yang dapat mengembalikan cairan
intravaskular tanpa efek samping. Banyak sekali pilihan cairan yang dapat digunakan, namun
belum ada pilihan cairan terbaik berdasarkan penelitian sampai saat ini. Berikut akan dibahas
kelebihan dan kekurangan masing-masing cairan.
2.3.3.1 Kristalloid
Cairan kristalloid merupakan cairan aqous yang dapat melewati membran
semipermeable. Pemberian kristalloid termasuk aman, mudah ditemui dan murah. Cairan
Hartmann atau Ringer Lactate (RL) merupakan pilihan cairan yang direkomendasikan oleh British
Burns Association. Komposisi dan osmolaritas cairan tersebut hampir menyamai cairan fisiologis
tubuh dan mengandung lactate yang dapat berfungsi sebagai buffer asidosis metanolik pada
fase akut luka bakar. Namun, karena sifatnya yang isotonis maka hanya 25% cairan kristalloid
intra vena berada di intra vaskular, sementara 75% cairan tersebut ekstravasasi menuju
intersisial. Selain itu, kristalloid juga tidak mengandung protein sehingga tidak dapat
meningkatkan tekanan onkotik intravaskular, sehingga dapat memperparah terjadinya edema.
Namun, terdapat studi menggunakan transpulmonary double indicator dilution method,
digunakan untuk mengukur akumulasu cairan di paru, membuktikan pemberian kristalloid tidak
menyebabkan edema pulmonal. Namun, belum ada penelitian yang dapat membuktikan pilihan
cairan yang lebih baik (Holm et al., 2004).
Penggunaan cairan hipertonis pertama kali diperkenalkan oleh formula Monafo.
Kelebihan menggunakan cairan ini adalah mengurangi abdominal compartement syndrome,
membutuhkan cairan yang lebih sedikit dibandingkan formula Parkman, memperbaiki
kontraktilitas jantung. Namun, penggunaan cairan ini jarang digunakan sebab memiliki beberapa
kekurangan yaitu, hipernatremia, hiperosmolaritas yang dapat menyebabkan gagal ginjal, otak
mengkerut, kejang, dan pecahnya vaskular intra kranial (Oda et al., 2006).
Kolloid
Tekanan onkotik yang berasal dari substansi dengan berat molekul tinggi memberikan
efek cairan kolloid lebih lama berada di inta vaskular, yaitu selama 3 - 6 jam. Cairan kolloid
berasal dari turunan plasma protein dan polimer glukosa sintetik. Cairan kolloid derivat dari
darah mengandung albumin dan fraksi plasma protein, sementara itu cairan kolloid sintetis
meliputi dextran, gelatin, dan hetastarch (HES) (Parel et al., 2007).
Albumin merupakan derivat dari plasma, yang dipanaskan, dan disterilisasi. Oleh karena
itu, albumin dianggap aman dari transmisi penyakit infeksius. Namun, albumin mempunyai
kekurangan, yaitu transmisi beberapa obat dan substansi endogenous, seperti billirubin dan free
fatty acid. Efek ini tidak hanya dibuktikan secara eksperimen namun tidak dibuktikan secara
klinis. Pada penderita sehat, albumin berkontribusi 80% dari total tekanan onkotik plasma,
namun pada penderita critically ill, albumin berkorelasi rendah terhadap tekanan onkotik. Half
life albumin pada orang sehat berrkisar 5 - 10 hari, namun pada luka bakar hanya bertahan 8 jam
setelah kejadian luka bakar (Alderson et al., 2007)
Dextran merupakan polimer glukosa yang memiliki beberapa efek samping, seperti
abnormalitas koagulasi dimana terjadi peningkatan resiko perdarahan dan reaksi
hipersensitivitas yang mengancam jiwa. Gelatin merupakan modifikasi kolagen daging, gelatin
mempunyai berat molekul yang kecil, sekitar 35 kD yang menyebabkan half-life intra vaskular
gelatin relatif singkat, yaitu 2 jam. Gelatin berkaitan dengan reaksi alergi tipe cepat. Sementara
itu, HES menjadi pilihan terbaik sebab dari segi harga HES relatif lebih murah dibandingkan
dengan albumin, non-antigenik, dan reaksi anafilaktik yang jarang terjadi. Berat molekul HES
juga berkisar ± 450 kD. Namun, efek kolloid sintetis hanya sementara dan cocok digunakan saat
capillary leak minimal (Parel et al., 2007).
Darah
Hilangnya darah pada penderita luka bakar dipengaruhi beberapa hal, namun pemberian
restricted darah berhubungan dengan mortalitas yang menurun pada penderita luka bakar.
Terdapat studi yang membuktikan penderita luka bakar berat yang ditransfusi darah menderita
sepsis (Chan et al., 2009).
Monitoring Selama Pemberian Terapi Cairan Resusitasi
Terdapat hal yang lebih penting dibandingkan pemilihan cairan resusitasi, yaitu
menentukan apakah resusitasi tersbut berhasil atau gagal. Jika seorang petugas kesehatan
mengetahui end point resusitasi maka akan juga mengetahui kapan harus menghentikan
pemberian cairan secara agresif, namun sayangnya belum ada pengukuran yang tepat (Ahrns,
2004).
2.3.4.1 “Endpoint” Tradisional
Parameter tradisional yang dapat digunakan dalam resusitasi adalah tekanan darah dan
nadi yang mungkin normal pada keadaan syok terkompensasi dan kurang tepat dalam
mendeteksi hipoperfusi jaringan ringan. Takikardia mungkin terjadi pada keadaan nyeri dan
cemas yang umum dijumpai pada penderita luka bakar. Secara tradisional, output urin dpat
digunakan dalam parameter resusitasi sebab output urin menggambarkan perfusi ginjal yang
akan menurun saat hipovolemia. American Burn Association merekomendasikan kecepatan infs
harus dititrasi sesuai dengan output urin 0.5 - 1 mL/kg/jam. Tidak ada studi yang membuktikan
bahwa nilai output urin perjam menggambarkan perfusi jaringan yang adekuat, serta banyak
studi yang membuktikan kegagalan output urin menggambarkan perfusi jaringan yang adekuat.
Oleh karea itu, dibutuhkan suatu pengukuran yang lebih dibandingkan metode tersebut (Ahrns,
2004; Pham et al., 2008).
Pengukuran Hemodinamik “Advance”
Salah satu contoh pengukuran hemodinamik yang stabil dan sederhana adalah
pemeriksaan BGA dan serum lactate. Dua pemeriksaan ini menggambarkan status metabolis dan
dapat digunakan sebagai marker perfusi jaringan (Andel, 2007). Selain itu, juga terdapat
beberapa metode, yang ditampilkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Metode Baru Menentukan End Point Resusitasi (Chan et al., 2009)
Managemen Cairan Preoperatif
Pasien preoperatif harus dipuasakan terlebih dahulu, sehingga terjadi defisit cairan.
Defisit ini dapat dihitung dengan cara mengkalikan jumlah kebutuhan cairan tubuh tiap jam
dengan durasi puasanya. Namun perdarahan preoperatif seperti perdarahan, muntah, diuresis,
dan diare harus diperhitungkan. Idealnya semua defisit cairan harus diganti pada penderita
preoperatif. Terdapat cara sederhana untuk menghitung kebutuhan cairan tubuh penderita
tiap jamnya, dijelaskan pada tabel 2.3. Namun, karena ini merupakan operasi emergency, puasa
penderita tidak terlalu diperhitungkan, sehingga penggantian defisit cairan sudah termasuk
dalam resusitasi cairan. Penderita luka bakar biasanya memerlukan operasi untuk debridement
dan eschariotomi (Morgan et al., 2005)
Tabel 2.3 Cara Menghitung Kebutuhan Cairan
Berat Badan (kg) mL/kgBB/jam mL/kgBB/hari1 - 10 4 100
11 - 20 2 5021 - n 1 20
Managemen Cairan Selama Operatif
1.1.1.1. Memperkirakan Hilangnya Darah dan Cairan Lainnya Selama Operasi
Hilangnya darah dapat diperkirakan dari banyaknya kassa yang digunakan. Kassa kecil
(±4x4 cm) penuh darah diperkirakan darah yang hilang sebesar 10 mL, sedangkan kassa besar
(±10x5 cm) diperkirakan darah yang hilang sebesar 100 mL.
Cairan yang hilang dapat berasal dari evaporasi dan redistribusi internal cairan tubuh.
Cairan yang hilang dari evaporasi berasal dari luka operasi yang besar, sementara itu redistribusi
internal menuju ruang ketiga dapat menyebabkan deplesi intra vaskular (Morgan et al., 2005).
Berikut merupakan cara perhitungan jumlah cairan lain yang hilang dijelaskan pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Cara Menghitung Jumlah Cairan Lain
1.1.1.2. Managemen Cairan Selama Operatif
Dengan mengetahui sumber hilangnya darah dan cairan perioperatif, kita dapat
memperkirakan jumlah cairan yang dibutuhkan perioperatif. Untuk hilangnya darah dan cairan
lainnya dapat diganti dengan menggunakan cairan kristalloid dan kolloid, namun jika cairan
tersebut melebihi acceptable blood loss (ABL) maka terdapat indikasi pemberian transfusi
(Morgan et al., 2005). Penentuan ABL didasarkan pada rumus :
Hematokrit awal - Hematokrit target
Hematokrit Awal
Sementara, perhitungan estimeted blood loss (EBV) dijelaskan pada tabel 2.5. Pada
penderita perioperatif tanpa gangguan jantung, hematokrit target dijaga agar tetap 24% atau
hemoglobin 8 gr/dL, sedangkan pada penderita usia tua atau terdapat gangguan jantung, maka
hematokrit target dijaga agar tetap 30% atau hemoglobin 10 gr/dL (Morgan et al., 2005).
Tabel 2.5 Cara Perhitungan EBV
1.2. Manajemen Cairan Perioperatif
Manajemen cairan yang cermat sangat diperlukan pada semua pasien anak, karena batas
toleransi kesalahan yang sangat sempit. Overload cairan ditandai dengan vena yang prominen,
kulit kemerahan (flushed), peningkatan tekanan darah, penurunan sodium serum, dan
hilangnya lipatan kelopak mata atas. Terapi cairan dibagi menjadi kebutuhan maintenance,
defisit, dan penggantian cairan yang hilang.1
Kebutuhan cairan maintenance untuk anak dapat ditentukan dengan 4:2:1 rule, yaitu 4
ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, 2 ml/kgBB/jam untuk 10 kg kedua, dan 1 ml/kgBB/jam untuk
sisanya. Pemilihan cairan hingga saat ini masih kontroversial. Larutan seperti D5½NS dengan
20 mEq/L JCL menyediakan kebutuhan dekstrosa dan elektrolit yang cukup. D51/4NS dapat
merupakan pilihan yang lebih baik pada neonatus karena terbatasnya kemampuan untuk
menanggung beban sodium. Neonatus memerlukan infus glukosa 3-5 mg/kgBB/menit untuk
mempertahankan euglikemia (40-125 mg/dL); dan neonatus prematur memerlukan 5-6
EBV
mg/kgBB/menit.1
Sebagai tambahan terhadap cairan maintenance, setiap defisit cairan preoperatif harus
digantikan. Tidak seperti dewasa, respon bayi terhadap dehidrasi ialah penurunan tekanan
darah tanpa peningkatan frekuensi nadi. Defisit cairan preoperatif umumnya diberikan bersama
dengan kebutuhan cairan maintenance, 50% dalam 1 jam pertama dan 25% dalam 1 jam kedua
dan ketiga. Cairan yang mengandung dextrose dalam jumlah besar sebaiknya dihindari untuk
mencegah hiperglikemia. Defisit cairan preoperatif biasanya digantikan dengan RL atau ½ NS.
Dibanding RL, NS mempunyai kerugian yaitu dapat menimbulkan asidosis hiperkloremia.1
Penggantian cairan yang hilang dapat dibagi menjadi kehilangan darah dan hilangnya
cairan pada rongga ketiga. Perkiraan volume darah (EBV) sesuai dengan kelompok umur dan
jenis kelamin ialah sebagai berikut.1,5
neonatus prematur : 95 mL/kgBB
neonatus aterm : 85 mL/kgBB
bayi dan anak - anak : 80 mL/kgBB
dewasa pria : 75 mL/kgBB
dewasa wanita : 65 mL/kgBB
Kehilangan darah pada umumnya digantikan dengan kristaloid yang tidak mengandung
glukosa (contoh: 3 mL RL untuk setiap 1 mL kehilangan darah) atau koloid (contoh: 1 mL
albumin 5% untuk setiap mL kehilangan darah), hingga hematokrit pasien mencapai batas
bawah nilai normal. Pada neonatus yang prematur dan sakit, nilai ini bisa mencapai 40% atau
50%, sedangkan pada anak yang lebih besar, nilai hematokrit 20-26% pada umumnya masih
bisa ditoleransi.1
Sedangkan kehilangan cairan pada rongga ketiga sulit untuk diukur, dan diperkirakan
berdasarkan beratnya prosedur pembedahan. Salah satu guideline yang sering digunakan ialah
sebagai berikut.1,5
4-8 ml/KgBB untuk pembedahan besar
2-4 ml/KgBB untuk pembedahan sedang
0-2 ml/KgBB untuk pembedahan kecil
Kehilangan cairan pada rongga ketiga ini biasanya digantikan dengan pemberian
kristaloid.1,5
BAB III. LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
a. Nama : Tn. A (No. RM 111175xx)
b. Usia : 20 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Krejengan, Probolinggo
e. Agama : Islam
f. Suku : Jawa
g. Kewarganegaraan : Indonesia
h. Pekerjaan : Tidak Bekerja
i. Tanggal MRS : 22 Maret 2013
j. Berat Badan : ± 60 kg
3.2 Primary Survey
A : airway paten, stidor (-), snoring (-), gargling (-), parau (+)
B : spontan, simetris, NRBM, RR 20 kali/menit
C : Akral hangat, CRT < 2”, Nadi 88 kali/menit
D : Awake
E : Luka bakar pada wahah, lengan kanan dan kiri, kaki kiri dan kanan,
grade II A/B luas 36% , kejadian jam 14.00
status lokalis kepala: rambut terbakar, bulu mata dan alis terbakar, jelaga hidung (+),
suara serak (-), sesak (+)
3.3 Assessment dan Planning
3.3.1 Assessment
Aktual : Combustio grade II A/B 30% ec. Api
Susp. Trauma Inhalasi
Potensial : Trauma inhalasi, burn shock
3.3.2 Planning
O2 masker NRBM 10 lpm
Pasang IV line, sehingga menjadi double line Resusitasi Cairan
Cek DL, GDA, SE, FH, BGA, CXR, EKG, broncoscopy.
Pasang Kateter Urin
KIE keluarga mengenai rencana dan resiko operasi debridement
Persiapan debridement (SIO, ALAT, OK)
Inj. Ciprofloxacin 2x400mg
Inj. Ketorolac 3x10mg
Inj. Ranitidine 2x50mg
Observasi tanda-tanda vital, distress napas.
3.4 Resusitasi Cairan di IGD
- Menghitung kebutuhan cairan dengan formula Parkman:
Pasien merupakan luka bakar pada daerah wajah, lengan kanan dan kiri, kaki kanan
dan kiri.
Dari perhitungan, didapatkan ±36%, dengan menggunakan rumus Parkman:
4 x 65kg x 36% = 8640 mL RL
8 jam pertama (14.00 - 22.00) : 4320 mL RL ( flash RL)
16 jam berikutnya (22.00 - 14.00) : 4320 mL RL ( flash RL)
Pada jam ke 18, pasien diberikan HES 864 mL
HES 2/20 X 8640= 864ml
Pasien datang ke IGD pada jam 18.00 dengan tanda-tanda vital TD 130/70 mmHg, N 88
kali/menit, RR 20 kali/menit.
Kemudian, pasien dipasang kateter urin untuk memantau kecepatan cairan infus,
dengan produksi urin initial ± XXX mL dan produksi urin rata-rata pasien sampai jam XX.00,
yaitu ± mL/ jam ~ mL/kg/jam.
Wajah & Leher : 4,5 %
Lengan Kanan Kiri : 9% +4,5 %
Kaki kanan dan kiri: 9% + 9%
3.5 Presiapan Pre-Operatif
3.2.1 Anamnesis Pre-Operatif (4 Juni 2013)
A (Alergy)
Pasien memiliki riwayat alergi makanan, yaitu udang. Tidak ada riwayat alergi, obat-obatan,
maupun penyakit asma, riwayat atopi dan alergi dalam keluarga
M (Medication)
Pasien tidak menjalani pengobatan apapun. Pasien merupakan rujukan dari RS Swasta di
Malang, belum dilakukan resusitasi cairan. Di IGD RSSA pasien mendapat pengobatan
Taxegram 1mg, Santagesic 1mg, pumpitor 40mg
P (Past Medical History)
Tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri
dada, dan keterbatasan aktifitas akibat sesak. Riwayat anastesi sebelumnya belum ada.
Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman beralkhohol. Keadaan psikis: kesan
tenang.
L (Last Meal)
Pasien terakhir makan pukul 14.00
E (Elicit History)
Pasien datang ke IGD RSSA pada tanggal 4juni 2013 pukul 18.00 dengan keluhan utama nyeri
karena luka bakar. Urutankejadiannya yaitupasien sedang beristirahat santai di kursiruang
tamu rumahnya. Lalu jam 2 siang pasien merokok dan puntung rokoknya jatuh terkena bahan
petasan yang meledatepat dibawah kursi pasien. Akhirnya petasan meledak dan mengenai
pasien dan salah satu saudara pasien. Cipratan petasan mengenai muka, tangan kanan,
tangan kiri, kaki kiri dan kaki kanan pasien. Pasien dibawa ke RS Krakasan dan dirujuk ke RSSA
jam 4 sore.
3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-Operatif (16 Maret 2013)
B1-Breathing
Airway : ETT, nafas spontan, RR 18-20 kali/menit, Sa02 100%
Wajah dan rongga mulut: bentuk wajah dalam batas normal, buka mulut lebih dari 3 jari,
mallampati 1, suara parau (-), gigi palsu (-), telah terbakar, maloklusi rahang (-), lapisan
tambahan pada gigi (-), kebersihan rongga mulut cukup baik.
Hidung: perdarahan (-), deviasi septum (-), NGT (-)
Leher: leher gemuk (-), gerak leher bebas
Paru: suara nafas vesikular, tidak terdapat suara nafas tambahan, seperti rhonki dan
wheezing.
B2-Blood
Akral hangat, merah, dan kering, nadi 88 kali/menit, reguler, kuat, CRT < 2”, TD 130/70
mmHg, S1S2 tunggal, tidak terdapat mur-mur dan gallop.
B3-Brain
Compos mentis, GCS 456
B4-Bladder
Produksi urin (+), kateter (+), produksi urin ditampung mL/ jam ~ mL/kgBB/jam, kuning
jernih
B5-Bowel
Flat, soefl, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba besar
B6-Bone/Body
Mobilitas terbatas, edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, mukosa mulut basah,
skoliosis (-), lordosis (-), Luka bakar di esktremitas (+)
3.2.3 Pemeriksaan Penunjang Pre-Operatif
3.2.3.1 EKG
Hasil :
Sinus Rhytm dengan HR 76 kali/menit
3.2.3.2 Radiologi
3.2.3.2.1 Pemeriksaan Chest X-Ray
Pemeriksaan Chest X-Ray belum dilakukan
3.2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium
Nilai Satuan Nilai Rujukan Kesan
Darah Lengkap
Hemoglobin 13,8 g/dL 11.4-15.1 Normal
Eritrosit 5,78 106/mm3 4.0 – 5.0 Meningkat
Leukosit 14,78 103/mm3 4,7-11,3 Meningkat
Hematokrit 40,20 % 38 – 42 Normal
Trombosit 270 103/mm3 142 – 424 Normal
MCV 68,6 fL 80 – 93 Menurun
MCH 23,9 Pg 27 – 31 Menurun
MCHC 34,3 gr% 32 – 36 Meningkat
RDW 14,9 % 11,5 - 14,5 Meningkat
Faal Hemostasis
PPT 11,5 Detik 12.4 Normal
APTT 29,4 Detik 26,5 Normal
Elektrolit Serum
Natrium (Na) 136 Mmol/L 136 – 145 Normal
Kalium (K) 4,34 Mmol/L 3.5 – 5.0 Normal
Klorida (Cl) 112 Mmol/L 98 – 106 Meningkat
Faal Hati
AST/SGOT 40 U/L 0 – 31 Normal
ALT/SGPT 15 U/L 0 – 33 Normal
Albumin 3,79 g/dl 3.5 – 5.5 Normal
Faal Ginjal
Ureum 16,6 mg/dL 16.6 – 48.5 Normal
Kreatinin 0,70 mg/dL < 1.2 Normal
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa darah sewaktu (GDS)
112 mg/dL <200 Normal
Blood Gas Analysis
pH 7.40 7.35 - 7.45 Normal
pCO2 48.3 mmHg 35 – 45 Meningkat
pO2 218.3 mmHg 80 – 100 Meningkat
HCO3 24.8 Mmol/L 21 – 28 Normal
BE 0.4 Mmol/L (-3) - (+3) Normal
Saturasi O2 99.5 % >95 Normal
Berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang, maka pasien ini
dikategorikan dalam ASA 2 leukositosis.
3.2.4 Planning
Tanggal di lakukan anastesi : 5 Juni 2013
Jenis anastesi : GA Intubasi
Jenis pembedahan : Debridement
3.2.5 Persiapan Preoperatif
3.2.5.1 Di IRD
Surat persetujuan operasi dan anastesi
O2 10 lpm NRBM
Puasa 8 jam pre operasi
IVFD RL 1000 mL (flash ke-7 dan 8), melanjutkan resusitasi penderita luka bakar, dibahas di
atas. Maintenance kebutuhan cairan 100cc/jam
Premedikasi :
Inj. Ranitidin 1 amp
Inj. Metoclopramide 1 amp
3.2.5. 2 Di Kamar Operasi
Scope Stetoskop, Laringoskop
Tubes ETT (cuffed) size 7,5
Airway oropharyngeal airway
Tape Plaster for fixation
Introducer Untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector penyambung antara ETT dengan tube mesin anestesi
Suction memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Obat emergensi : SA, lidokain, adrenalin, efedrin, dexamethasone
3.3 Selama-Operatif
Lama operasi : 13.05 - 14.30
Lama anastesi : 13.00 - 14.40
Jenis anesthesia : General anesthesia
Teknik anesthesia : Intubasi oral sleep apnea dengan ETT cuffed (+) kinking
no.7.5 dengan orofaringeal tube
Tindakan General Anesthesia
Medikasi :
Induksi : Fentanyl 75 µg iv (1-3 µg/kgBB)
Anestesi : Propofol 100 mg
Relaksasi : Atracurium 30mg
Gas intubasi : O2 2 lpm + N2O 2 lpm +isofluran
Teknik anestesi : intubasi oral sleep apnea dengan ETT Ø 7.5 cuff (+) kinking
dengan orofaringeal tube
Pernapasan : O2 ventilator, TV 200 ml/mnt, frekuensi 20 x/mnt
Posisi anestesi : supine
Infus : lengan kiri : venflon 18 G
Lengan kanan : venflon 18 G
Medikasi durante operasi
1. inj. Midazolam 2mg
2. inj. Propofol 100mg (induksi)
3. O2 dan isoflurane (maintenance)
4. inj. Fentanyl 100 ug (anestesia)
5. inj. Atracurium 25mg
6. Monitor Cairan Masuk dan Keluar
1. Cairan Masuk
Pre operatif : RL 4000 mL
Durante Operasi :
RL 1000 mL (formula Parkman dan cairan durante operasi)
Cairan keluar:
Perdarahan : minimal (20cc)
Produksi Urine : PO : 500 cc
DO : 500 cc dalam 1,5 jam 250 cc/jam
EBV : 60 x 70 = 42000 cc
ABL : 20% x 4200 = 840 cc
M : 100 cc/jam
O8 : 2 x 60=120 cc/jam
3.5 Post Operasi
3.5.1 Pemeriksaan Fisis Post Operasi
B1 : Airway paten (ETT), napas spontan, RR 16 x/menit, Rh (-), Wh
(-)
B2 : Akral hangat, kering, merah; nadi 88 x/menit, reguler, kuat
angkat; TD 110/70 mmHg; CRT < 2”; S1S2 single regular, murmur (-)
B3 : sadar, GCS 456, composmentis
B4 : terpasang kateter 18 fr, urin (+) 100cc warna kuning
B5 : flatus (-), sementara puasa, Bu (+)
B6 : mobilitas (+), edema (-)
alderete score 10
3.5.2 Terapi Post Operasi
Infus : RL 110 ml/jam
Antibiotika : sesuai TS bedah
Kepala dimiringkan, head down k/p suction aktif
Pengobatan lain : inj Ondansetron 4 mg IV ekstra bila mual/muntah
inj ranitidine 2 x 50 mg
inj ketorolac 3 x 30 mg
diberikan hingga 3 hari post operasi
Boleh makan/minum bia tdak mual/muntah
3.5.3 Monitoring
Cek tensi, nadi, napas, dan suhu setiap 15 menit selama 1 jam
Bila muntah, kepala dimiringkan, head down, suction aktif, dan diberikan
ondansetron 2 mg (0,1 mg/kgBB)
Bila RR ≤ 10 x/menit, diberikan O2 100% 8 L/menit dengan NRBM
Bila nadi ≤ 50 x/menit, diberikan Sulfas Atropin 0,5 mg IV cepat (0,01-0,02
mg/kgBB)
Jika tekanan darah < 80/40 mmHg, diberikan RL 500 cc dalam 30 menit efedrin 5-
10mg (0,1-0,3 mg/kgBB)
Bila urin < 0,5cc/kgBB/jam , evaluasi
Bila kesakitan, diberikan ketorolac 3x15 mg
Pindah ruangan jika Aldrette score > 8 dan tidak terdapat nilai 0
BAB IV. PEMBAHASAN
4.1 Pemeriksaan Preoperatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan
preoperasi, salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pembedahan, yang
bertujuan untuk:
Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
Tahapan risiko anesthesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status preoperasi
(pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
Pemilihan jenis anesthesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)
kepada pasien
Pemberian obat-obatan premedikasi
Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Selanjutnya dokter anesthesi harus menjelaskan
kepada pasien mengenai manajemen anesthesi yang akan dilakukan, yang tercermin dalam
informed consent.
Pada history taking perlu digali adanya riwayat alergi terhadap makanan dan obat-
obatan. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) perlu dibedakan dengan dengan intoleransi
(biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus
digali, begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi
interaksi obat dengan agen anesthesi. Riwayat operasi dan anesthesi sebelumnya dapat
menunjukkan komplikasi anesthesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga
penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.
Pada pasien ini telah dilakukan anamnesa dan didapatkan tidak adanya riwayat alergi
makanan maupun obat dan pasien tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu. Pada
pasien juga tidak didapatkan adanya riwayat ISPA dalam 2-4 minggu terakhir, asma, penyakit
jantung bawaan, kejang ataupun biru, dan pasien tidak pernah menjalani prosedur pembedahan
sebelumnya. Hal – hal tersebut perlu digali untuk mengenali faktor – faktor yang dapat menjadi
penyulit tindakan anesthesia selama pembedahan.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan antara lain tanda-tanda vital (tekanan darah,
frekuensi napas, frekuensi jantung, suhu), pemeriksaan jalan napas, jantung, paru-paru, dan
sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada pasien dengan
cedera kepala. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk
mengetahui adanya penyulit intubasi. Kesesuaian masker untuk anesthesi yang jelek harus
sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak
pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of
Motion yang terbatas dari sendi temporomandibular atau vertebrae servikal, atau leher yang
pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Pada pasien ini, dari pemeriksaan fisik didapatkan breathing, blood, brain, bowel,
bladder, bone dalam kondisi stabil.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien ini ialah darah lengkap, faal
hemostasis, faal ginjal, faal hati, metabolism karbohidrat, elektrolit serum dan analisis gas
darah. Dari hasil pemeriksaan ini didapatkan leukositosis dengan kadar leukosit 14.000 /µl
(leukositosis).
Setelah pemeriksaan preoperatif selanjutnya perlu dilakukan klasifikasi status fisik
pasien sesuai dengan kriteria ASA (American Society of Anesthesiologists), seperti yang terlihat
pada Tabel 3.1. Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek
samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Status fisik ASA
secara umum berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Tabel 3.1 Klasifikasi Status Fisik Pasien Pre-Operatif berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA)4
Kelas DefinisiP1 Pasien yang sehatP2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan tanpa keterbatasan fungsional. P3 Pasien dengan penyakit sistemik berat dengan keterbatasan fungsional.P4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang menjalani pengobatan rutin. P5 Pasien yang tidak akan selamat tanpa dilakukan operasi.P6 Pasien yang sudah dinyatakan mati batang otak, yang organ tubuhnya akan didonorkan.E Emergency.
Pada pasien ini, dari seluruh hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, pasien
dikategorikan sebagai ASA …
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah informed consent. Informed
consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada
tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang
cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.
4.2. Tatalaksana Pemberian Cairan Resusitasi pada Penderita Luka Bakar
Secara singkat, penanganan awal luka bakar adalah menjauhkan pasien dari sumber trauma,
melakukan penilaian terhadap ABCDE, menentukan luas luka bakar, dan melakukan resusitasi cairan.
Pada tanggal Juni 2013, pasien Tn. A, laki-laki berusia 22 tahun dibawa ke IRD RSSA Malang
dengan keluhan utama luka bakar. Penderita datang ke IGD RSSA pada pukul 18.00, saat pasien
datang terlebih dahulu kita mengkaji ulang primary survey yang terdiri dari pemeriksan ABCDE (airway,
breathing, circulation, disability, dan event of injury) yang telah dilakukan di RS Swasta Malang. Pada
penderita ini didapatkan tidak ada kegawatan ABC dengan kondisi pasien awake atau GCS 456, namun
menurut event of injury, pasien ini memiliki potensial trauma injury karena terdapat luka bakar yang
mengenai wajah, serta menurut patofiologi terjadi luka bakar yang telah di bahas di atas, pasien ini
memiliki resiko dehidrasi akibat perpindahan cairan intravaskular menuju intersisial, sehingga
menyebabkan hemokonsentrasi, penurunan preload yang menyebabkan turunnya cardiac output dan
memperberat hipopperfusi jaringan. Hemokonsentrasi dapat dibuktikan dengan melihat pemeriksaan
darah lengkap pasien ini yang menunjukan adanya peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit.
Langkah pertama dalam tatalaksana pemberian cairan resusitasi luka bakar adalah
menentukan luas luka bakar. Penentuan ini dapat menggunakan tiga cara, yaitu rule of nine, Lund-
Browder chart, dan perkiraan menggunakan telapak tangan penderita. Dari anamnesis pasien serta
pemeriksaan fisik yang dicocokan dengan menggunakan rule of nine dan telapak tangan penderita,
dengan skema dibawah ini, maka diperkirakan luas luka bakar pada penderita ini ±36%. Dengan bagian
yang terkena adalah wajah, lengan kanan dan kiri, serta kaki kanan dan kiri, seperti yang digambarkan
pada skema di bawah ini.
Tujuan resusitasi cairan pada penderita luka bakar saat 24 - 48 jam pertama (Chan et al., 2009),
adalah mengembalikan volume intravaskular, menyediakan sodium yang adekuat untuk mengembalikan
potensial transmembran selular, mengembalikan kadar elektrolit ekstraselular, sehingga mencegah
ketidakseimbangan elektrolit yang dapat menyebabkan aritmia jantung, dan mengkoreksi
hipoproteinemia dan meningkatkan tekanan onkotik.
Dengan tujuan di atas, maka harus dipikirkan bagaimana rute pemberian cairan secara tepat.
Menurut Cantio et al. (2006), luka bakar kurang dari 20% dapat diresusitasi dengan oral hidrasi, kecuali
luka bakar pada wajah, tangan, genital, pada anak dan pada geriatri. Sementara, luka bakar lebih dari
20% dapat diberika secara enteral namun penderita cenderung muntah, oleh karena itu, pemberian
cairan direkomendasikan menggunakan inta vena. Pada pasien ini sudah sesuai dengan studi di atas,
pasien ini mendapatkan terapi cairan secara intra vena.
Selanjutnya dengan menggunakan formula Parkman maupun modifikasi formula Parkman yang
dianut pada RSUD dr. Saiful Anwar dengan formula : 4 mL kristalloid x kgBB x % luas luka bakar, dengan
cara pemberian ½ volume total diberikan 8 jam pertama dan ½ volume berikutnya diberikan 16 jam
berikutnya. Pada pasien ini didapatkan 4 x 60 x 36= 8640 mL dengan 4320 mL diberikan 8 jam pertama
dan 4320 mL diberikan 16 jam berikutnya. Pasien datang ke IGD RSSA dan diresusitasi sebelum pasien
menjalani operasi debridement.
Terdapat beberapa keadaan yang dapat membuat penderita luka bakar menerima lebih
banyak kebutuhan cairan dibandingkan formula Parkman, seperti trauma inhalasi (Tricklebank, 2009).
Pada pasien ini terdapat resiko menerima terapi cairan lebih banyak dibandingkan yang dihitung dengan
formula Parkman. Namun, berdasarkan studi Arlati et al. (2007) yang merekomendasi pemberian cairan
low volume atau yang dikenal permissive hypotension, namun relatif tidak menimbulkan hipoperfusi
jaringan yang ditandai kejadian gagal ginjal akut sebesar 0.001. Dengan dasar dua studi di atas, maka
pada pasien ini tidak ditambahkan cairan dan dijaga agar produksi urin tetap pada 0.5 - 1 mL/kg/jam.
Pemilihan cairan resusitasi pada penderita luka bakar masih kontroversial, masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, seperti kristalloid mempunyai kelebihan yaitu
sangat mirip dengan cairan tubuh dan murah, namun half life kristalloid pada intravaskular sangat
sebentar sekali, sekitar 30 - 60 menit. Sedangkan kolloid, mempunyai kelebihan meningkatkan tekanan
onkotik vaskular, menarik cairan intersisial, dan bertahan lebih lama intravaskular, sekitar 3 - 6 jam.
Namun, pada penderita luka bakar terjadi pelebaran intersisial, sehingga ada kemungkinan kolloid
berpindah ke intesisial, jika ini terjadi maka akan memperberat edema. Sementara, darah telah
dibuktikan tidak memiliki kelebihan dibandingkan kristalloid dan kolloid.
Pada penderita ini menerima kristalloid selama 24 jam dengan jumlah sesuai dengan
perhitungan formula Parkman. Namun, pada penderita ini diberikan kolloid, berupa HES, pada jam ke 18
setelah kejadian. Meskipun belum ada formula yang sesuai dengan pemberian ini. Alasan pemberian ini,
dimungkinkan karena terjadinya edema puncaknya pada 24 jam pertama, dimana HES sendiri dapat
bertahan sekitar 3 - 6 jam setelah pemberian, sehingga diharapkan pemberian HES dapat membantu
mempertahankan cairan intravaskular.
Monitoring resusitasi cairan di IGD menggunakan produksi urin dari pasien, sesuai yang telah
disebutkan di atas bahwa produksi urin dijaga tetap dengan volume 0.5 - 1 mL/kg/jam. Pada penderita
ini, dipasang kateter urin sekitar jam 18.00 malam dengan initial produksi urin sebesar 200 mL, produksi
urin initial ini dibuang untuk mengetahui keberhasilan resusitasi, pada tiga jam observasi di IGD
didapatkan produksi urin pasien 500 mL atau setara dengan 2.7 mL/kg/jam. Sementara durante operasi,
produksi urin pasien juga sebanyak 500 mL sekitar 250 mL/jam, Monitoring dengan cara terbaru juga
dapat menggunakan pemeriksaan BGA dan serum lactate.
Manajemen cairan yang cermat sangat diperlukan pada semua pasien luka bakar. Hal
ini disebabkan karena pasien beresiko mengalami dehidrasi dan perlu resusitasi yang cepat.
Terapi cairan dibagi menjadi kebutuhan maintenance, defisit, dan penggantian cairan yang
hilang. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena
terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus
- menerus dari kulit dan paru. Oleh karena itu, selama puasa preoperatif perlu tetap diberikan
cairan maintenance. Kebutuhan cairan maintenance untuk anak dapat ditentukan dengan 4:2:1
rule, yaitu 4 ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, 2 ml/kgBB/jam untuk 10 kg kedua, dan 1
ml/kgBB/jam untuk sisanya.1
Pasien ini mempunyai berat badan 65 kg sehingga kebutuhan cairan maintenance-nya
adalah: (4x10) + (2x10) + (1x45) = 105 cc/jam, yang telah diberikan berupa IVFD RL 105 cc/jam
sejak puasa.
4.3 Durante Operasi
4.3.3 Cairan
Terapi cairan intravena dapat berupa infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan
atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular
weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik
koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Pemilihan cairan pada anak hingga saat ini masih kontroversial. Larutan seperti
D5½NS dengan 20 mEq/L menyediakan kebutuhan dekstrosa dan elektrolit yang cukup.
D51/4NS dapat merupakan pilihan yang lebih baik pada neonatus karena terbatasnya
kemampuan untuk menanggung beban sodium. Cairan yang mengandung dextrose dalam
jumlah besar sebaiknya dihindari untuk mencegah hiperglikemia. Dibanding RL, NS
mempunyai kerugian yaitu dapat menimbulkan asidosis hiperkloremia. Meskipun sedikit
hipotonik, RL menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq / L. Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling
sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan cairan yang paling fisiologis
ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan
dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
Penggantian cairan yang hilang dapat dibagi lebih lanjut menjadi kehilangan darah
dan hilangnya cairan pada rongga ketiga. Perkiraan volume darah (EBV) sesuai dengan
kelompok umur dan jenis kelamin ialah sebagai berikut.1,5
neonatus prematur : 95 mL/kgBB
neonatus aterm : 85 mL/kgBB
bayi dan anak - anak : 80 mL/kgBB
dewasa pria : 75 mL/kgBB
dewasa wanita : 65 mL/kgBB
Salah satu metode yang paling sering digunakan untuk memperkirakan volume
kehilangan darah ialah dengan menghitung jumlah darah pada kontainer suction dan
perkiraan visual jumlah darah pada spons dan kain pembedahan. Spons 4x4 yang dipenuhi
darah setara dengan kehilangan 10 mL darah, sedangkan kain yang dipenuhi darah setara
dengan kehilangan 100-150 mL darah.
Kehilangan darah pada umumnya digantikan dengan kristaloid yang tidak
mengandung glukosa (contoh: 3 mL RL untuk setiap 1 mL kehilangan darah) atau koloid
(contoh: 1 mL albumin 5% untuk setiap mL kehilangan darah), hingga hematokrit pasien
mencapai batas bawah nilai normal. Perdarahan di bawah 20% dari volume darah total
pada dewasa cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama
dengan komposisi elektrolit serum.
Sedangkan kehilangan cairan pada rongga ketiga sulit untuk diukur, dan diperkirakan
berdasarkan beratnya prosedur pembedahan. Salah satu guideline yang sering digunakan
ialah sebagai berikut.
4-8 ml/KgBB untuk pembedahan besar
2-4 ml/KgBB untuk pembedahan sedang
0-2 ml/KgBB untuk pembedahan kecil
Kehilangan cairan pada rongga ketiga ini biasanya digantikan dengan pemberian
kristaloid. Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 4200 mL (60 kg x 70
mL/kg). Allowable blood loss diperkirakan sebanyak 840 mL (20% dari EBV pasien).
Estimated blood loss pada pasien ini ialah minimal, sekitar 20 cc. Cairan maintenance
sebanyak 120 cc/jam. Sedangkan kehilangan cairan pada rongga ketiga diperkirakan
berdasarkan koefisien operasi, di mana pasien diaggap menjalani pembedahan sedang
sehingga kehilangan cairan pada rongga ketiga = 2 x 60 = 120 cc/jam. Dari berbagai
perhitungan tersebut, maka selama operasi diberikan cairan RL 120 cc/jam
Pemilihan jenis cairan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa banyak
anestesiologist berpendapat bahwa pemberian cairan berupa koloid dan darah dapat
memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding kristaloid dalam mencegah edema
serebri pada pasien dengan cedera kepala. Oleh karena itu, untuk maintenance cairan
diberikan pula koloid (HES) di samping kristaloid (RL).
4.3.4 Monitoring
Tujuan monitoring selama perianestesia untuk membantu mendapatkan informasi
fungsi organ vital selama perianestesia, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring
standar untuk oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu badan perianaestesi untuk semua
kasus termasuk anestesi umum, regional, dan pasien diberikan sedativa sebagai berikut:
Standar 1 : selama anestesi pasien harus diawasi oleh personel anestesi yang berkualitas.
Standar 2 : selama anestesi oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu. Pasien
harus dievalusi baik secara berkala atau terus menerus.
Monitoring pada anak secara umum hampir sama dengan dewasa, dengan beberapa
modifikasi minor. Nilai ambang perlu disesuaikan. Pulse oximetry memiliki peranan penting
karena hipoksia akibat ventilasi yang tidak adekuat adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas perioperatif. Analisis end-tidal CO2 membantu mengetahui kecukupan ventilasi,
konfirmasi penempatan ETT, dan memberi peringatan awal terhadap hipertermia.
Temperatur perlu dimonitor secara ketat karena anak memiliki resiko yang lebih tinggi
terhadap terjadinya hipertermia malignan dan sangat berpotensi mengalami hipotermia
maupun hipertermia iatrogenik. Pengukuran produksi urine penting untuk memantau status
volume.
Parameter yang digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
Frekuensi napas, kedalaman dan karakter
Heart rate, nadi, dan kualitasnya, tekanan darah
Warna membran mukosa, dan capillary refill time
Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra)
Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
Pada pasien ini, selama proses anestesi saturasi oksigen pasien tidak pernah <
95%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 130-110, D 70-60), nadi 88-90x/menit,
frekuensi napas 18-20x/menit (dengan ventilator), yang masih berada dalam rentang nilai
normal tanda – tanda vital.
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada tanggal 4 Juni 2013, pasien Tn. A, 20 tahun datang ke IGD RSSA dengan combustio
grade IIA/B 30% + susp. Trauma inhalasi. Pasien dilakukan resusitasi cairan sesuai rumus Parkland
dan dilakukan intubasi pemasangan ETT. Pada tanggal 5 Juni 2013, pasien dilakukan debridement
dengan anestesi umum.
Tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar didasarkan pada
formula Parkman, dimana 4 mL x kgBB x %TBSA, dengan cara pemberian ½ volume tersebut
diberikan 8 jam pertama dan ½ volume berikutnya diberikan 16 jam berikutnya. Pemantauan
pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar dapat dilakukan dengan dengan cara
memantau produksi urin penderita, selain itu juga dapat menggunakan laboratorium berupa
pengecekan BGA dan serum lactate.
Selain itu, pemilihan cairan yang digunakan juga penting mengingat masing-masing cairan
memiliki kelebihan dan kekuragan, dan lebih baik jika pemberian cairan tersebut sesuai setelah
tenaga kesehatan memahami patofisiologi luka bakar, serta cara pemberian cairan juga harus
dipertimbangkan berdasarkan luas luka bakar.
DAFTAR PUSTAKA
Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Pediatric Anesthesia. In: Lange-Clinical
Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.
2006; 44: 922-50.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Anesthesia in Neurosurgery. In: Lange-
Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies,
Inc. 2006; 26: 631-46.
Burkitt HG, Quick CRG. Accidents, Head Injuries, and Burns. In: Essential Surgery –
Problems, Diagnosis and Managements. New York: Churchill Livingstone Elsevier.
2004; 5:117-35.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. The Practice of Anesthesiology. In: Lange-
Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies,
Inc. 2006; 1: 1-16.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Terapi Cairan pada Pembedahan. Dalam: Petunjuk
Praktis Anestesiologi Edisi ke-2. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI.
2007; 9:133-9.
Nicholau D. The Postanesthesia Care Unit. In: Miller RD, et al. Miller’s Anesthesia 7th
Edition. United States of America: Churchil-Livingstone Elsevier. 2009; 85: 2707-28.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Fluid Anesthesia for the Trauma Patient. In:
Lange-Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill
Companies, Inc. 2006; 41: 861-73.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Anestesia Umum. Dalam: Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi ke-2. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI. 2007;
3:29-96.
Cote CJ. Pediatric Anesthesia. In: Miller RD, et al. Miller’s Anesthesia 7th Edition. United
States of America: Churchil-Livingstone Elsevier. 2009; 82: 2559-94.
Nelson, Waldo E., et al. Reference Ranges for Laboratory Tests and Procedures. In:
Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition. New York: Elsevier. 2003; 710: 2138-46.
Barash PG, et al. Clinical Anesthesia 6th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2009.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Fluid management and Transfusion. In:
Lange-Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill
Companies, Inc. 2006; 29: 690-707.
Ahrns, K. S. 2004. Trends in burn resuscitation: shifting the focus from fluids to adequate endpoint
monitoring, edema control, and adjuvant therapies. Crit Care Nurs Clin N Am 16: 75-98.
Alderson, P., Bunn, F., Lefebvre, C., et al. 2004. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 4: CD001208.
Alharbi, Z., Piatkowski, A., Dembinski, R., et al. 2012. Treatment of burns in the first 24 hours: simple and practical guide by answering 10 questions in a step by step form. World Journal of Emergency Surgery 7: 13.
Andel, D., Kamolz, L. P., Roka, J., et al. 2007. Base deficit and lactate: early predictors of morbidity and mortality in patients with burns. Burns 33: 973 - 978.
Arlati, S., Storti, E., Predella, V., et al. 2007. Decreased fluid volume to reduce organ damage: a new approach to burn shock resuscitation? A preliminary study. Resuscitation 72: 371-378.
Ballard-Croft, C., Horton, J. W. 2002. Sympathoadrenal modulation of stress-activated signalling in burn trauma. J Burn Care Rehabil 23: 172-182.
Cancio, L. C., Kramer, G. C., Hoskin, S. L. 2006. Gastrointestinal fluid resuscitation of thermally injured patients. J Burn Care and Res 27: 561 - 569.
Chan, J. K., Ghosh, S. J. 2009. Fluid resuscitation in burns: an update. Hongkong J Emerg Med 16: 51 - 62.
Fodor, L., Fodor, A., Ramon, Y., et al. 2006. Controversies influid resuscitation for burn management: Literature review and our experience. Injury Int J Care Injured 37: 374-379.
Greenhalgh, D. G. 2007. Burn Resuscitation. J Burn Care Res 28: 555 - 565.
Holm, C., Mayr, M., Tegeler, J., et al. 2004. A clinical randomized study on the effects of invasive monitoring on burn shockk resuscitation. Burn 30: 798 - 807.
Morgan, G. E., Mikail, M. S., Murray, M. J. 2005. Clinical Anaesthesiology. McGraw Hill: Medical.
Oda, J., Inoue, K. Y. T., Harunari, N., et al. 2006. Resuscitation volume and abdominal compartement sysndrome in patients with major burns. Burns 32: 151-154.
Perel, P., Roberts, I. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 4: CD000567.
Pham, T. N., Cancio, L. C., Gibran, N. S. 2008. American Burn A: American burn assossiation practice guidelines burn shock resuscitation. J Burn Care Res 29: 257 - 266.
Saffle, J. R. 2007. The phenomenon of “fluid creep” in acute burn resuscitation. J Burn Care Res 28: 382-395.
Scott, J. R., Muangman, P. R., Tamura, R. N., et al. 2005. Substance P levels and neutral endopeptidase activity in acute burn wounds and hypertropic scar. Plast Reconstr Surg 115: 1095-1102.
Sheridan, R. L. 2001. Comprehensive treatment of burns. Curr Prob Surg 38: 657 - 756.
Sullivan, S. R., Ahmadi, A. J., Singh, C. N., et al. 2006. Elevated orbital pressure: another untoward effect of massive resuscitation after burn injury. J Trauma 60: 72 - 76.
Tricklebank, S. 2009. Modern trends influid therapy for burns. Burns 2009.