lapsus anestesi - azaria

48
LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF TERAPI CAIRAN PADA PASIEN LUKA BAKAR DERAJAT II A/B 30% DENGAN TRAUMA INHALASI Disusun oleh : Azaria Amelia Adam (0810713046) Pembimbing : dr. Ristiawan Muji L, SpAn LABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

Upload: james-klemens-phieter-phie

Post on 01-Dec-2015

233 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Anestesi - Azaria

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PERIOPERATIF TERAPI CAIRAN

PADA PASIEN LUKA BAKAR DERAJAT II A/B 30% DENGAN TRAUMA INHALASI

Disusun oleh :

Azaria Amelia Adam (0810713046)

Pembimbing :

dr. Ristiawan Muji L, SpAn

LABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR SAIFUL ANWAR

MALANG

2013

Page 2: Lapsus Anestesi - Azaria

BAB 1.

1.1. Latar Belakang

Luka bakar yang melebihi 20% total luas permukaan tubuh (total body surface area/TBSA) pada

dewasa dan 10% TBSA pada anak dapat menyebabkan burn shock sebagai akibat dari kombinasi

pergeseran elektrolit, respon inflamasi, dan evaforasi. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan

hipovolemia intra vaskular, hemokonsentrasi, dan penurunan cardiac output (Scott et al., 2005).

Pemberian cairan resusitasi pada luka bakar merupakan hal yang penting sebab dapat mencegah

terjadinya hipoperfusi jaringan yang dapat menyebabkan kegagalan organ, seperti gagal ginjal akut

yang merupakan penyebab kematian utama sebelum diterapkannya strategi cairan resusitasi pada

penderita luka bakar (Greenhalgh, 2007).

Namun, pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar harus diberikan secara hati-hati,

sebab resusitasi yang tidak adekuat dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan, gagal ginjal

akut, dan kematian. Sementara itu, pemberian cairan secara berlebihan dapat memperberat

terjadinya edema, peningkatan tekanan kompartemen, acute respiratory distress syndrome (ARDS),

dan kegagalan organ multiple (Sullivan et al., 2006, Pham et al., 2008).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada

penderita luka bakar penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar grade II A-B.

1.3. Tujuan Penulisan

Mengetahui tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar grade II A-B.

1.4. Manfaat Penulisan

Page 3: Lapsus Anestesi - Azaria

Pada penulisan laporan kasus ini diharapkan daat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana pemberian cairan resusitasi

pada penderita luka bakar grade II A-B.

Page 4: Lapsus Anestesi - Azaria

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1.5. Patofisiologi Luka Bakar

Sebelum membahas tatalaksana pemberian terapi resusitasi cairan pada luka bakar,

terlebih dahulu akan dibahas patofisiologi luka bakar, secara singkat digambarkan pada gambar 2.1.

Hal ini penting untuk tatalaksana pemberian yang tepat.

Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-

benda yang menghasilakn panas secara langsung seperti api, atau secara tidak langsung seperti

paparan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia dan air, atau zat-zat yang bersifat

membakar seperti asam kuat atau basa kuat.

Akibat pertama luka bakar adalah kerusakan jaringan kulit akibat suhu yang tinggi.

Pembuluh darah kapiler yang terpapar suhu tinggi menjadi rusak dan terjadi peningkatan

permeabilitas. Peningkatan permeabilitas ini menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang

mengandugn elektrolit di permukaan kulit. Sehingga menyebabkan berkurangnya cairan

intravaskular. Kerusakan kulit akibat luka juga menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan

yang berlebihan.

Gambar 2.1 Patofisiologi Luka Bakar (Chan et al., 2009)

2.1.1 Injuri Awal

Luka bakar menyebabkan adanya jaringan mati, dimana sekitarnya terdapat daerah

iskemia yang potensi untuk reversibel. Injuri lokal ini menyebabkan pelepasan mediator inflamasi,

seperti histamin, prostaglandin, tromboxan, dan nitric oxide, yang meningkatkan permeabilitas

kapiler dan menyebabkan edema luka. Selain itu, injuri ini menyebabkan terproduksi reactive

oxygen species (ROS) dalam jumlah tinggi. ROS merupakan radikal bebas yang bersifat toksis

terhadap sel dan mempropogasi respon imun (Sheridan, 2001).

2.1.2 Edema dan Respon Inflamasi Sistemik

Page 5: Lapsus Anestesi - Azaria

Jika luka bakar luas maka mediator inflamasi yang bersirkulasi, seperti TNFα, IL1,2,5,8, dan

interferonγ, menghasilkan respon inflamasi sistemik. Hal ini menyebabkan peningkatan

premeabilitas mikrovaskular, vasodilatasi, statis vaskular, penurunan kontraktilitas kardia, dan

penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan perpindahan cairan, elektrolit, dan protein

intravaskular ke intersisial. Perpindahan protein menuju intersisial dan obstruksi pembuluh limfe

oleh sel-sel inflamasi menyebabkan tekanan onkotik intersisial meningkat, sedangkan vasodilatasi

dan statis vaskular menyebabkan tekanan hidrostatis intravaskular meningkat. Kedua hal ini

menyebabkan edema sesuai ketidakseimbangan tekanan dengan hukum Starling. Edema

mencapai maksimun pada 24 jam setelah kejadian dan mulai membaik setelah 1 - 2 hari (Ballard-

Croft et al., 2002).

2.1.3 Burn Shock

Hilangnya volume intravaskular menyebabkan burn shock dimana merupakan gabungan

dari syok distributif, hipovolemia, dan kardiogenik. Selain itu, cairan dapat keluar melalui

evaporasi. Sehingga volume intravaskular tidak cukup untuk memenuhi preload yang adekuat,

penurunan cardiac output, dan penurunan hipoperfusi jaringan. Kegagalan resusitasi pada

penderita luka bakar dapat menyebabkan systemic inflamatory respone syndrome (SIRS) atau

multiple dysfunction syndrome (MODS) (Tricklebank, 2009).

2.1.4 Trauma Inhalasi

Trauma Inhalasi adalah trauma akibat paparan atau inhalasi udara yang panas atau

produk gas dari benda yang terbakar.Trauma inhalasi dapat menyebabkan komplikasi saluran

pernapasan yang serius.

Sekitar 80% kematian akibat kebakaran karena trauma inhalasi, termasuk luka bakar pada

sistem respirasi. Udara yang panas dengan kombinasi kerusakan akibat suhu, racun dan iritasi

pulmonal dan edema disebabkan oleh karbon monoksida, sianida dan produk kebakaran lainnya.

Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bila luka bakar terjadi pada area wajah,

dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terhirup.

Page 6: Lapsus Anestesi - Azaria

Edema laring yang ditimbulkan dapat menyebabkan sumbatan jalan napas dengan gejala sesak

napas, takipneu, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga

1.6. Mengukur Luas Luka Bakar (TBSA)

Total luas luka bakar dapat diukur menggunakan metode rule of nine pada dewasa, namun

rule of nine ini tidak dapat digunakan pada luka bakar anak. Lund-Browder chart merupakan salah

satu metode akurat untuk megukur luas luka bakar tiap bagian. Chart ini juga bisa digunakan pada

anak-anak. Selain itu, juga dapat memperkirakan juga memperkirakan dengan telapak tangan

penderita (Alharbi et al., 2012). Secara singkat ditampilkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Cara Memperkirakan Luas Luka Bakar. Ket. Rule of nine (kiri), Lund-Browder chart

(tengah), dan menggunakan telapak tangan penderita (kanan)

1.7. Tatalaksana Terapi Cairan Resusitasi

Tujuan resusitasi cairan pada penderita luka bakar saat 24 - 48 jam pertama (Chan et al.,

2009), adalah sebagai berikut:

Mengembalikan volume intravaskular

Menyediakan sodium yang adekuat untuk mengembalikan potensial transmembran selular

Mengembalikan kadar elektrolit ekstraselular, sehingga mencegah ketidakseimbangan

elektrolit yang dapat menyebabkan aritmia jantung

Mengkoreksi hipoproteinemia dan meningkatkan tekanan onkotik

Optimal Rute Pemberian Cairan

Luka bakar kurang dari 20% terjadi minimal pergeseran cairan, sehingga dapat diresusitasi

dengan oral hidrasi, kecuali luka bakar pada wajah, tangan, genital, pada anak dan pada geriatri.

Sementara, luka bakar lebih dari 20% terjadi respon inflamasi sistemik dan pergeseran cairan

masif, yang menyebabkan burn shock seperti yang telah dijelaskan di atas. Meskipun, pada luka

bakar tersebut dapat diberika secara enteral namun penderita cenderung muntah, oleh karena

itu, pemberian cairan direkomendasikan menggunakan inta vena (Cantio et al., 2006).

Page 7: Lapsus Anestesi - Azaria

Formula yang Digunakan Dalam Resusitasi Luka Bakar

Terdapat beberapa formula resusitasi yang telah ditemukan, pada tabel 2.1, namun formula

yang banyak digunakan adalah formula Parkland, modifikasi Paarkland, Brooke, Modifikasi Brooke,

Evans, dan Monafo (Fodor et al., 2006).

Tabel 2.1 Formula Resusitasi pada Penderita Luka Bakar

Formula Parkland24 jam pertama RL 4 mL/kg/%TBSA (dewasa)

RL 3 mL/kg/%TBSA (anak), ditambahkan cairan maintance pada anak:4 mL/kg/jam (0-10 kg)40 mL/jam + 2 mL/kg/jam (10-20 kg)60 mL/jam + 1 mL/kg/jam (>20 kg)

24 jam selanjutnya Colloid diberikan 20 - 60% volume plasma. Dextrose diberikan hingga urin 0.5 - 1 mL/jam (dewasa) dan 1 mL/jam (anak)

Formula Parkland Modifikasi24 jam pertama RL 4 mL/kg/%TBSA (dewasa)24 jam selanjutnya Colloid infus 5% albumin 0.3 - 1

mL/kg/%TBSA/16 tiap jamFormula Brooke24 jam pertama RL 1.5 mL/kg/%TBSA + 0.5 mL/kg/%TBSA

+ 2000 mL glukosa24 jam selanjutnya RL 0.5 mL/kg/%TBSA, kolloid 0.25

ml/kg/%TBSA dan jumlah gula yang sama dengan 24 jam pertama

Formula Brooke Modifikasi24 jam pertama RL 2 mL/kg/%TBSA (dewasa) dan 3

mL/kg/%TBSA (anak)24 jam selanjutnya Kolloid 0.3 - 0.5 mL/kg/%TBSA dan

glukosa maintanceFormula Evans24 jam pertama Kristalloid 1 mL/kg/%TBSA + kolloid 1

mL/kg/%TBSA + 2000 mL glukosa24 jam selanjutnya Kristalloid 0.5 mL/kg/%TBSA, kolloid 0.5

mL/kg/%TBSA dan jumlah glukosa yang sama pada 24 jam pertama

Formula MonafoMerekomendasikan cairan yang mengandung 250 mEq Na, 150 mEq lactate, dan

Page 8: Lapsus Anestesi - Azaria

100 mEq Cl. 24 jam selanjutnya, titrasi 1/3 NS

Selain itu, terdapat beberapa keadaan yang dapat membuat penderita luka bakar

menerima lebih banyak kebutuhan cairan dibandingkan formula Parkman, seperti trauma inhalasi,

luka bakar elektrik, terdapat luka tambahan, mengkomsumsi alkohol, dan terlambat menerima

resusitasi (Tricklebank, 2009).

Akhir-akhir ini terdapat bukti yang menyebutkan bahwa penderita luka bakar menerima

cairan lebih banyak dibandingkan yang diprediksi menggunakan formula Parkland atau yang disebut

fluid creep. Selain itu, juga terdapat beberapa istilah, seperti permissive hypovolemia dan

hyperdinamic resuscitation dari beberapa studi.

“Fluid Creep”

Istilah ini menggambarkan terjadinya pemberian cairan berlebihan dari formula yang

telah ditentukan. Fluid creep juga dihubungkan dengan beberapa komplikasi, seperti

compatement syndrome, edema pulmonal, pemakaian ventilasi yang lama, dan kegagalan graft

kulit. Selain itu, kejadian fluid creep ini meningkat seiring dengan penggunaan agen opioid,

hipotesis yang saat ini menjelaskan mengapa itu terjadi menyebutkan agen opioid, terutama

dalam dosis tinggi, dapat menyebabkan terjadinya hipotensi yang dapat meningkatkan

kebutuhan cairan selama resusitasi (Saffle, 2007).

“Permissive Hypovolemia”

Untuk mencegah komplikasi over-resuscitation, maka Arlati et al. (2007)

merkomendasikan pemberian cairan low volume. Pada penelitiannya juga membuktikan hanya

dua dari lebih dari 2100 penderita luka bakar yang mengalami gagal ginjal akut.

Pemilihan Cairan Resusitasi Intra Vena

Cairan resusitasi yang idelal merupakan cairan yang dapat mengembalikan cairan

Page 9: Lapsus Anestesi - Azaria

intravaskular tanpa efek samping. Banyak sekali pilihan cairan yang dapat digunakan, namun

belum ada pilihan cairan terbaik berdasarkan penelitian sampai saat ini. Berikut akan dibahas

kelebihan dan kekurangan masing-masing cairan.

2.3.3.1 Kristalloid

Cairan kristalloid merupakan cairan aqous yang dapat melewati membran

semipermeable. Pemberian kristalloid termasuk aman, mudah ditemui dan murah. Cairan

Hartmann atau Ringer Lactate (RL) merupakan pilihan cairan yang direkomendasikan oleh British

Burns Association. Komposisi dan osmolaritas cairan tersebut hampir menyamai cairan fisiologis

tubuh dan mengandung lactate yang dapat berfungsi sebagai buffer asidosis metanolik pada

fase akut luka bakar. Namun, karena sifatnya yang isotonis maka hanya 25% cairan kristalloid

intra vena berada di intra vaskular, sementara 75% cairan tersebut ekstravasasi menuju

intersisial. Selain itu, kristalloid juga tidak mengandung protein sehingga tidak dapat

meningkatkan tekanan onkotik intravaskular, sehingga dapat memperparah terjadinya edema.

Namun, terdapat studi menggunakan transpulmonary double indicator dilution method,

digunakan untuk mengukur akumulasu cairan di paru, membuktikan pemberian kristalloid tidak

menyebabkan edema pulmonal. Namun, belum ada penelitian yang dapat membuktikan pilihan

cairan yang lebih baik (Holm et al., 2004).

Penggunaan cairan hipertonis pertama kali diperkenalkan oleh formula Monafo.

Kelebihan menggunakan cairan ini adalah mengurangi abdominal compartement syndrome,

membutuhkan cairan yang lebih sedikit dibandingkan formula Parkman, memperbaiki

kontraktilitas jantung. Namun, penggunaan cairan ini jarang digunakan sebab memiliki beberapa

kekurangan yaitu, hipernatremia, hiperosmolaritas yang dapat menyebabkan gagal ginjal, otak

mengkerut, kejang, dan pecahnya vaskular intra kranial (Oda et al., 2006).

Kolloid

Tekanan onkotik yang berasal dari substansi dengan berat molekul tinggi memberikan

efek cairan kolloid lebih lama berada di inta vaskular, yaitu selama 3 - 6 jam. Cairan kolloid

berasal dari turunan plasma protein dan polimer glukosa sintetik. Cairan kolloid derivat dari

darah mengandung albumin dan fraksi plasma protein, sementara itu cairan kolloid sintetis

meliputi dextran, gelatin, dan hetastarch (HES) (Parel et al., 2007).

Page 10: Lapsus Anestesi - Azaria

Albumin merupakan derivat dari plasma, yang dipanaskan, dan disterilisasi. Oleh karena

itu, albumin dianggap aman dari transmisi penyakit infeksius. Namun, albumin mempunyai

kekurangan, yaitu transmisi beberapa obat dan substansi endogenous, seperti billirubin dan free

fatty acid. Efek ini tidak hanya dibuktikan secara eksperimen namun tidak dibuktikan secara

klinis. Pada penderita sehat, albumin berkontribusi 80% dari total tekanan onkotik plasma,

namun pada penderita critically ill, albumin berkorelasi rendah terhadap tekanan onkotik. Half

life albumin pada orang sehat berrkisar 5 - 10 hari, namun pada luka bakar hanya bertahan 8 jam

setelah kejadian luka bakar (Alderson et al., 2007)

Dextran merupakan polimer glukosa yang memiliki beberapa efek samping, seperti

abnormalitas koagulasi dimana terjadi peningkatan resiko perdarahan dan reaksi

hipersensitivitas yang mengancam jiwa. Gelatin merupakan modifikasi kolagen daging, gelatin

mempunyai berat molekul yang kecil, sekitar 35 kD yang menyebabkan half-life intra vaskular

gelatin relatif singkat, yaitu 2 jam. Gelatin berkaitan dengan reaksi alergi tipe cepat. Sementara

itu, HES menjadi pilihan terbaik sebab dari segi harga HES relatif lebih murah dibandingkan

dengan albumin, non-antigenik, dan reaksi anafilaktik yang jarang terjadi. Berat molekul HES

juga berkisar ± 450 kD. Namun, efek kolloid sintetis hanya sementara dan cocok digunakan saat

capillary leak minimal (Parel et al., 2007).

Darah

Hilangnya darah pada penderita luka bakar dipengaruhi beberapa hal, namun pemberian

restricted darah berhubungan dengan mortalitas yang menurun pada penderita luka bakar.

Terdapat studi yang membuktikan penderita luka bakar berat yang ditransfusi darah menderita

sepsis (Chan et al., 2009).

Monitoring Selama Pemberian Terapi Cairan Resusitasi

Terdapat hal yang lebih penting dibandingkan pemilihan cairan resusitasi, yaitu

menentukan apakah resusitasi tersbut berhasil atau gagal. Jika seorang petugas kesehatan

mengetahui end point resusitasi maka akan juga mengetahui kapan harus menghentikan

pemberian cairan secara agresif, namun sayangnya belum ada pengukuran yang tepat (Ahrns,

2004).

2.3.4.1 “Endpoint” Tradisional

Page 11: Lapsus Anestesi - Azaria

Parameter tradisional yang dapat digunakan dalam resusitasi adalah tekanan darah dan

nadi yang mungkin normal pada keadaan syok terkompensasi dan kurang tepat dalam

mendeteksi hipoperfusi jaringan ringan. Takikardia mungkin terjadi pada keadaan nyeri dan

cemas yang umum dijumpai pada penderita luka bakar. Secara tradisional, output urin dpat

digunakan dalam parameter resusitasi sebab output urin menggambarkan perfusi ginjal yang

akan menurun saat hipovolemia. American Burn Association merekomendasikan kecepatan infs

harus dititrasi sesuai dengan output urin 0.5 - 1 mL/kg/jam. Tidak ada studi yang membuktikan

bahwa nilai output urin perjam menggambarkan perfusi jaringan yang adekuat, serta banyak

studi yang membuktikan kegagalan output urin menggambarkan perfusi jaringan yang adekuat.

Oleh karea itu, dibutuhkan suatu pengukuran yang lebih dibandingkan metode tersebut (Ahrns,

2004; Pham et al., 2008).

Pengukuran Hemodinamik “Advance”

Salah satu contoh pengukuran hemodinamik yang stabil dan sederhana adalah

pemeriksaan BGA dan serum lactate. Dua pemeriksaan ini menggambarkan status metabolis dan

dapat digunakan sebagai marker perfusi jaringan (Andel, 2007). Selain itu, juga terdapat

beberapa metode, yang ditampilkan pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Metode Baru Menentukan End Point Resusitasi (Chan et al., 2009)

Managemen Cairan Preoperatif

Pasien preoperatif harus dipuasakan terlebih dahulu, sehingga terjadi defisit cairan.

Defisit ini dapat dihitung dengan cara mengkalikan jumlah kebutuhan cairan tubuh tiap jam

dengan durasi puasanya. Namun perdarahan preoperatif seperti perdarahan, muntah, diuresis,

dan diare harus diperhitungkan. Idealnya semua defisit cairan harus diganti pada penderita

preoperatif. Terdapat cara sederhana untuk menghitung kebutuhan cairan tubuh penderita

tiap jamnya, dijelaskan pada tabel 2.3. Namun, karena ini merupakan operasi emergency, puasa

penderita tidak terlalu diperhitungkan, sehingga penggantian defisit cairan sudah termasuk

dalam resusitasi cairan. Penderita luka bakar biasanya memerlukan operasi untuk debridement

Page 12: Lapsus Anestesi - Azaria

dan eschariotomi (Morgan et al., 2005)

Tabel 2.3 Cara Menghitung Kebutuhan Cairan

Berat Badan (kg) mL/kgBB/jam mL/kgBB/hari1 - 10 4 100

11 - 20 2 5021 - n 1 20

Managemen Cairan Selama Operatif

1.1.1.1. Memperkirakan Hilangnya Darah dan Cairan Lainnya Selama Operasi

Hilangnya darah dapat diperkirakan dari banyaknya kassa yang digunakan. Kassa kecil

(±4x4 cm) penuh darah diperkirakan darah yang hilang sebesar 10 mL, sedangkan kassa besar

(±10x5 cm) diperkirakan darah yang hilang sebesar 100 mL.

Cairan yang hilang dapat berasal dari evaporasi dan redistribusi internal cairan tubuh.

Cairan yang hilang dari evaporasi berasal dari luka operasi yang besar, sementara itu redistribusi

internal menuju ruang ketiga dapat menyebabkan deplesi intra vaskular (Morgan et al., 2005).

Berikut merupakan cara perhitungan jumlah cairan lain yang hilang dijelaskan pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Cara Menghitung Jumlah Cairan Lain

1.1.1.2. Managemen Cairan Selama Operatif

Dengan mengetahui sumber hilangnya darah dan cairan perioperatif, kita dapat

memperkirakan jumlah cairan yang dibutuhkan perioperatif. Untuk hilangnya darah dan cairan

Page 13: Lapsus Anestesi - Azaria

lainnya dapat diganti dengan menggunakan cairan kristalloid dan kolloid, namun jika cairan

tersebut melebihi acceptable blood loss (ABL) maka terdapat indikasi pemberian transfusi

(Morgan et al., 2005). Penentuan ABL didasarkan pada rumus :

Hematokrit awal - Hematokrit target

Hematokrit Awal

Sementara, perhitungan estimeted blood loss (EBV) dijelaskan pada tabel 2.5. Pada

penderita perioperatif tanpa gangguan jantung, hematokrit target dijaga agar tetap 24% atau

hemoglobin 8 gr/dL, sedangkan pada penderita usia tua atau terdapat gangguan jantung, maka

hematokrit target dijaga agar tetap 30% atau hemoglobin 10 gr/dL (Morgan et al., 2005).

Tabel 2.5 Cara Perhitungan EBV

1.2. Manajemen Cairan Perioperatif

Manajemen cairan yang cermat sangat diperlukan pada semua pasien anak, karena batas

toleransi kesalahan yang sangat sempit. Overload cairan ditandai dengan vena yang prominen,

kulit kemerahan (flushed), peningkatan tekanan darah, penurunan sodium serum, dan

hilangnya lipatan kelopak mata atas. Terapi cairan dibagi menjadi kebutuhan maintenance,

defisit, dan penggantian cairan yang hilang.1

Kebutuhan cairan maintenance untuk anak dapat ditentukan dengan 4:2:1 rule, yaitu 4

ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, 2 ml/kgBB/jam untuk 10 kg kedua, dan 1 ml/kgBB/jam untuk

sisanya. Pemilihan cairan hingga saat ini masih kontroversial. Larutan seperti D5½NS dengan

20 mEq/L JCL menyediakan kebutuhan dekstrosa dan elektrolit yang cukup. D51/4NS dapat

merupakan pilihan yang lebih baik pada neonatus karena terbatasnya kemampuan untuk

menanggung beban sodium. Neonatus memerlukan infus glukosa 3-5 mg/kgBB/menit untuk

mempertahankan euglikemia (40-125 mg/dL); dan neonatus prematur memerlukan 5-6

EBV

Page 14: Lapsus Anestesi - Azaria

mg/kgBB/menit.1

Sebagai tambahan terhadap cairan maintenance, setiap defisit cairan preoperatif harus

digantikan. Tidak seperti dewasa, respon bayi terhadap dehidrasi ialah penurunan tekanan

darah tanpa peningkatan frekuensi nadi. Defisit cairan preoperatif umumnya diberikan bersama

dengan kebutuhan cairan maintenance, 50% dalam 1 jam pertama dan 25% dalam 1 jam kedua

dan ketiga. Cairan yang mengandung dextrose dalam jumlah besar sebaiknya dihindari untuk

mencegah hiperglikemia. Defisit cairan preoperatif biasanya digantikan dengan RL atau ½ NS.

Dibanding RL, NS mempunyai kerugian yaitu dapat menimbulkan asidosis hiperkloremia.1

Penggantian cairan yang hilang dapat dibagi menjadi kehilangan darah dan hilangnya

cairan pada rongga ketiga. Perkiraan volume darah (EBV) sesuai dengan kelompok umur dan

jenis kelamin ialah sebagai berikut.1,5

neonatus prematur : 95 mL/kgBB

neonatus aterm : 85 mL/kgBB

bayi dan anak - anak : 80 mL/kgBB

dewasa pria : 75 mL/kgBB

dewasa wanita : 65 mL/kgBB

Kehilangan darah pada umumnya digantikan dengan kristaloid yang tidak mengandung

glukosa (contoh: 3 mL RL untuk setiap 1 mL kehilangan darah) atau koloid (contoh: 1 mL

albumin 5% untuk setiap mL kehilangan darah), hingga hematokrit pasien mencapai batas

bawah nilai normal. Pada neonatus yang prematur dan sakit, nilai ini bisa mencapai 40% atau

50%, sedangkan pada anak yang lebih besar, nilai hematokrit 20-26% pada umumnya masih

bisa ditoleransi.1

Sedangkan kehilangan cairan pada rongga ketiga sulit untuk diukur, dan diperkirakan

berdasarkan beratnya prosedur pembedahan. Salah satu guideline yang sering digunakan ialah

sebagai berikut.1,5

4-8 ml/KgBB untuk pembedahan besar

2-4 ml/KgBB untuk pembedahan sedang

0-2 ml/KgBB untuk pembedahan kecil

Kehilangan cairan pada rongga ketiga ini biasanya digantikan dengan pemberian

kristaloid.1,5

Page 15: Lapsus Anestesi - Azaria
Page 16: Lapsus Anestesi - Azaria

BAB III. LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

a. Nama : Tn. A (No. RM 111175xx)

b. Usia : 20 tahun

c. Jenis Kelamin : Laki-laki

d. Alamat : Krejengan, Probolinggo

e. Agama : Islam

f. Suku : Jawa

g. Kewarganegaraan : Indonesia

h. Pekerjaan : Tidak Bekerja

i. Tanggal MRS : 22 Maret 2013

j. Berat Badan : ± 60 kg

3.2 Primary Survey

A : airway paten, stidor (-), snoring (-), gargling (-), parau (+)

B : spontan, simetris, NRBM, RR 20 kali/menit

C : Akral hangat, CRT < 2”, Nadi 88 kali/menit

D : Awake

E : Luka bakar pada wahah, lengan kanan dan kiri, kaki kiri dan kanan,

grade II A/B luas 36% , kejadian jam 14.00

status lokalis kepala: rambut terbakar, bulu mata dan alis terbakar, jelaga hidung (+),

suara serak (-), sesak (+)

3.3 Assessment dan Planning

Page 17: Lapsus Anestesi - Azaria

3.3.1 Assessment

Aktual : Combustio grade II A/B 30% ec. Api

Susp. Trauma Inhalasi

Potensial : Trauma inhalasi, burn shock

3.3.2 Planning

O2 masker NRBM 10 lpm

Pasang IV line, sehingga menjadi double line Resusitasi Cairan

Cek DL, GDA, SE, FH, BGA, CXR, EKG, broncoscopy.

Pasang Kateter Urin

KIE keluarga mengenai rencana dan resiko operasi debridement

Persiapan debridement (SIO, ALAT, OK)

Inj. Ciprofloxacin 2x400mg

Inj. Ketorolac 3x10mg

Inj. Ranitidine 2x50mg

Observasi tanda-tanda vital, distress napas.

3.4 Resusitasi Cairan di IGD

- Menghitung kebutuhan cairan dengan formula Parkman:

Pasien merupakan luka bakar pada daerah wajah, lengan kanan dan kiri, kaki kanan

dan kiri.

Page 18: Lapsus Anestesi - Azaria

Dari perhitungan, didapatkan ±36%, dengan menggunakan rumus Parkman:

4 x 65kg x 36% = 8640 mL RL

8 jam pertama (14.00 - 22.00) : 4320 mL RL ( flash RL)

16 jam berikutnya (22.00 - 14.00) : 4320 mL RL ( flash RL)

Pada jam ke 18, pasien diberikan HES 864 mL

HES 2/20 X 8640= 864ml

Pasien datang ke IGD pada jam 18.00 dengan tanda-tanda vital TD 130/70 mmHg, N 88

kali/menit, RR 20 kali/menit.

Kemudian, pasien dipasang kateter urin untuk memantau kecepatan cairan infus,

dengan produksi urin initial ± XXX mL dan produksi urin rata-rata pasien sampai jam XX.00,

yaitu ± mL/ jam ~ mL/kg/jam.

Wajah & Leher : 4,5 %

Lengan Kanan Kiri : 9% +4,5 %

Kaki kanan dan kiri: 9% + 9%

Page 19: Lapsus Anestesi - Azaria

3.5 Presiapan Pre-Operatif

3.2.1 Anamnesis Pre-Operatif (4 Juni 2013)

A (Alergy)

Pasien memiliki riwayat alergi makanan, yaitu udang. Tidak ada riwayat alergi, obat-obatan,

maupun penyakit asma, riwayat atopi dan alergi dalam keluarga

M (Medication)

Pasien tidak menjalani pengobatan apapun. Pasien merupakan rujukan dari RS Swasta di

Malang, belum dilakukan resusitasi cairan. Di IGD RSSA pasien mendapat pengobatan

Taxegram 1mg, Santagesic 1mg, pumpitor 40mg

P (Past Medical History)

Tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri

dada, dan keterbatasan aktifitas akibat sesak. Riwayat anastesi sebelumnya belum ada.

Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman beralkhohol. Keadaan psikis: kesan

tenang.

L (Last Meal)

Pasien terakhir makan pukul 14.00

E (Elicit History)

Pasien datang ke IGD RSSA pada tanggal 4juni 2013 pukul 18.00 dengan keluhan utama nyeri

karena luka bakar. Urutankejadiannya yaitupasien sedang beristirahat santai di kursiruang

tamu rumahnya. Lalu jam 2 siang pasien merokok dan puntung rokoknya jatuh terkena bahan

petasan yang meledatepat dibawah kursi pasien. Akhirnya petasan meledak dan mengenai

pasien dan salah satu saudara pasien. Cipratan petasan mengenai muka, tangan kanan,

tangan kiri, kaki kiri dan kaki kanan pasien. Pasien dibawa ke RS Krakasan dan dirujuk ke RSSA

jam 4 sore.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-Operatif (16 Maret 2013)

B1-Breathing

Airway : ETT, nafas spontan, RR 18-20 kali/menit, Sa02 100%

Wajah dan rongga mulut: bentuk wajah dalam batas normal, buka mulut lebih dari 3 jari,

Page 20: Lapsus Anestesi - Azaria

mallampati 1, suara parau (-), gigi palsu (-), telah terbakar, maloklusi rahang (-), lapisan

tambahan pada gigi (-), kebersihan rongga mulut cukup baik.

Hidung: perdarahan (-), deviasi septum (-), NGT (-)

Leher: leher gemuk (-), gerak leher bebas

Paru: suara nafas vesikular, tidak terdapat suara nafas tambahan, seperti rhonki dan

wheezing.

B2-Blood

Akral hangat, merah, dan kering, nadi 88 kali/menit, reguler, kuat, CRT < 2”, TD 130/70

mmHg, S1S2 tunggal, tidak terdapat mur-mur dan gallop.

B3-Brain

Compos mentis, GCS 456

B4-Bladder

Produksi urin (+), kateter (+), produksi urin ditampung mL/ jam ~ mL/kgBB/jam, kuning

jernih

B5-Bowel

Flat, soefl, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba besar

B6-Bone/Body

Mobilitas terbatas, edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, mukosa mulut basah,

skoliosis (-), lordosis (-), Luka bakar di esktremitas (+)

3.2.3 Pemeriksaan Penunjang Pre-Operatif

3.2.3.1 EKG

Hasil :

Sinus Rhytm dengan HR 76 kali/menit

3.2.3.2 Radiologi

3.2.3.2.1 Pemeriksaan Chest X-Ray

Page 21: Lapsus Anestesi - Azaria

Pemeriksaan Chest X-Ray belum dilakukan

3.2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium

Nilai Satuan Nilai Rujukan Kesan

Darah Lengkap

Hemoglobin 13,8 g/dL 11.4-15.1 Normal

Eritrosit 5,78 106/mm3 4.0 – 5.0 Meningkat

Leukosit 14,78 103/mm3 4,7-11,3 Meningkat

Hematokrit 40,20 % 38 – 42 Normal

Trombosit 270 103/mm3 142 – 424 Normal

MCV 68,6 fL 80 – 93 Menurun

MCH 23,9 Pg 27 – 31 Menurun

MCHC 34,3 gr% 32 – 36 Meningkat

RDW 14,9 % 11,5 - 14,5 Meningkat

Faal Hemostasis

PPT 11,5 Detik 12.4 Normal

APTT 29,4 Detik 26,5 Normal

Elektrolit Serum

Natrium (Na) 136 Mmol/L 136 – 145 Normal

Kalium (K) 4,34 Mmol/L 3.5 – 5.0 Normal

Klorida (Cl) 112 Mmol/L 98 – 106 Meningkat

Faal Hati

AST/SGOT 40 U/L 0 – 31 Normal

ALT/SGPT 15 U/L 0 – 33 Normal

Albumin 3,79 g/dl 3.5 – 5.5 Normal

Faal Ginjal

Page 22: Lapsus Anestesi - Azaria

Ureum 16,6 mg/dL 16.6 – 48.5 Normal

Kreatinin 0,70 mg/dL < 1.2 Normal

Metabolisme Karbohidrat

Glukosa darah sewaktu (GDS)

112 mg/dL <200 Normal

Blood Gas Analysis

pH 7.40 7.35 - 7.45 Normal

pCO2 48.3 mmHg 35 – 45 Meningkat

pO2 218.3 mmHg 80 – 100 Meningkat

HCO3 24.8 Mmol/L 21 – 28 Normal

BE 0.4 Mmol/L (-3) - (+3) Normal

Saturasi O2 99.5 % >95 Normal

Berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang, maka pasien ini

dikategorikan dalam ASA 2 leukositosis.

3.2.4 Planning

Tanggal di lakukan anastesi : 5 Juni 2013

Jenis anastesi : GA Intubasi

Jenis pembedahan : Debridement

3.2.5 Persiapan Preoperatif

3.2.5.1 Di IRD

Surat persetujuan operasi dan anastesi

O2 10 lpm NRBM

Puasa 8 jam pre operasi

IVFD RL 1000 mL (flash ke-7 dan 8), melanjutkan resusitasi penderita luka bakar, dibahas di

atas. Maintenance kebutuhan cairan 100cc/jam

Page 23: Lapsus Anestesi - Azaria

Premedikasi :

Inj. Ranitidin 1 amp

Inj. Metoclopramide 1 amp

3.2.5. 2 Di Kamar Operasi

Scope Stetoskop, Laringoskop

Tubes ETT (cuffed) size 7,5

Airway oropharyngeal airway

Tape Plaster for fixation

Introducer Untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan

Connector penyambung antara ETT dengan tube mesin anestesi

Suction memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction

Obat emergensi : SA, lidokain, adrenalin, efedrin, dexamethasone

3.3 Selama-Operatif

Lama operasi : 13.05 - 14.30

Lama anastesi : 13.00 - 14.40

Jenis anesthesia : General anesthesia

Teknik anesthesia : Intubasi oral sleep apnea dengan ETT cuffed (+) kinking

no.7.5 dengan orofaringeal tube

Tindakan General Anesthesia

Medikasi :

Induksi : Fentanyl 75 µg iv (1-3 µg/kgBB)

Anestesi : Propofol 100 mg

Relaksasi : Atracurium 30mg

Gas intubasi : O2 2 lpm + N2O 2 lpm +isofluran

Teknik anestesi : intubasi oral sleep apnea dengan ETT Ø 7.5 cuff (+) kinking

dengan orofaringeal tube

Pernapasan : O2 ventilator, TV 200 ml/mnt, frekuensi 20 x/mnt

Posisi anestesi : supine

Infus : lengan kiri : venflon 18 G

Page 24: Lapsus Anestesi - Azaria

Lengan kanan : venflon 18 G

Medikasi durante operasi

1. inj. Midazolam 2mg

2. inj. Propofol 100mg (induksi)

3. O2 dan isoflurane (maintenance)

4. inj. Fentanyl 100 ug (anestesia)

5. inj. Atracurium 25mg

6. Monitor Cairan Masuk dan Keluar

1. Cairan Masuk

Pre operatif : RL 4000 mL

Durante Operasi :

RL 1000 mL (formula Parkman dan cairan durante operasi)

Cairan keluar:

Perdarahan : minimal (20cc)

Produksi Urine : PO : 500 cc

DO : 500 cc dalam 1,5 jam 250 cc/jam

EBV : 60 x 70 = 42000 cc

ABL : 20% x 4200 = 840 cc

M : 100 cc/jam

O8 : 2 x 60=120 cc/jam

3.5 Post Operasi

3.5.1 Pemeriksaan Fisis Post Operasi

B1 : Airway paten (ETT), napas spontan, RR 16 x/menit, Rh (-), Wh

(-)

B2 : Akral hangat, kering, merah; nadi 88 x/menit, reguler, kuat

angkat; TD 110/70 mmHg; CRT < 2”; S1S2 single regular, murmur (-)

B3 : sadar, GCS 456, composmentis

B4 : terpasang kateter 18 fr, urin (+) 100cc warna kuning

B5 : flatus (-), sementara puasa, Bu (+)

B6 : mobilitas (+), edema (-)

Page 25: Lapsus Anestesi - Azaria

alderete score 10

3.5.2 Terapi Post Operasi

Infus : RL 110 ml/jam

Antibiotika : sesuai TS bedah

Kepala dimiringkan, head down k/p suction aktif

Pengobatan lain : inj Ondansetron 4 mg IV ekstra bila mual/muntah

inj ranitidine 2 x 50 mg

inj ketorolac 3 x 30 mg

diberikan hingga 3 hari post operasi

Boleh makan/minum bia tdak mual/muntah

3.5.3 Monitoring

Cek tensi, nadi, napas, dan suhu setiap 15 menit selama 1 jam

Bila muntah, kepala dimiringkan, head down, suction aktif, dan diberikan

ondansetron 2 mg (0,1 mg/kgBB)

Bila RR ≤ 10 x/menit, diberikan O2 100% 8 L/menit dengan NRBM

Bila nadi ≤ 50 x/menit, diberikan Sulfas Atropin 0,5 mg IV cepat (0,01-0,02

mg/kgBB)

Jika tekanan darah < 80/40 mmHg, diberikan RL 500 cc dalam 30 menit efedrin 5-

10mg (0,1-0,3 mg/kgBB)

Bila urin < 0,5cc/kgBB/jam , evaluasi

Bila kesakitan, diberikan ketorolac 3x15 mg

Pindah ruangan jika Aldrette score > 8 dan tidak terdapat nilai 0

Page 26: Lapsus Anestesi - Azaria
Page 27: Lapsus Anestesi - Azaria

BAB IV. PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Preoperatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan

preoperasi, salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum pembedahan, yang

bertujuan untuk:

Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien

Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien

Tahapan risiko anesthesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status preoperasi

(pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)

Pemilihan jenis anesthesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)

kepada pasien

Pemberian obat-obatan premedikasi

Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Selanjutnya dokter anesthesi harus menjelaskan

kepada pasien mengenai manajemen anesthesi yang akan dilakukan, yang tercermin dalam

informed consent.

Pada history taking perlu digali adanya riwayat alergi terhadap makanan dan obat-

obatan. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) perlu dibedakan dengan dengan intoleransi

(biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus

digali, begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi

interaksi obat dengan agen anesthesi. Riwayat operasi dan anesthesi sebelumnya dapat

menunjukkan komplikasi anesthesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga

penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.

Pada pasien ini telah dilakukan anamnesa dan didapatkan tidak adanya riwayat alergi

makanan maupun obat dan pasien tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu. Pada

pasien juga tidak didapatkan adanya riwayat ISPA dalam 2-4 minggu terakhir, asma, penyakit

jantung bawaan, kejang ataupun biru, dan pasien tidak pernah menjalani prosedur pembedahan

sebelumnya. Hal – hal tersebut perlu digali untuk mengenali faktor – faktor yang dapat menjadi

penyulit tindakan anesthesia selama pembedahan.

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan antara lain tanda-tanda vital (tekanan darah,

frekuensi napas, frekuensi jantung, suhu), pemeriksaan jalan napas, jantung, paru-paru, dan

sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada pasien dengan

Page 28: Lapsus Anestesi - Azaria

cedera kepala. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi

geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk

mengetahui adanya penyulit intubasi. Kesesuaian masker untuk anesthesi yang jelek harus

sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak

pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of

Motion yang terbatas dari sendi temporomandibular atau vertebrae servikal, atau leher yang

pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.

Pada pasien ini, dari pemeriksaan fisik didapatkan breathing, blood, brain, bowel,

bladder, bone dalam kondisi stabil.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien ini ialah darah lengkap, faal

hemostasis, faal ginjal, faal hati, metabolism karbohidrat, elektrolit serum dan analisis gas

darah. Dari hasil pemeriksaan ini didapatkan leukositosis dengan kadar leukosit 14.000 /µl

(leukositosis).

Setelah pemeriksaan preoperatif selanjutnya perlu dilakukan klasifikasi status fisik

pasien sesuai dengan kriteria ASA (American Society of Anesthesiologists), seperti yang terlihat

pada Tabel 3.1. Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek

samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Status fisik ASA

secara umum berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.

Tabel 3.1 Klasifikasi Status Fisik Pasien Pre-Operatif berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA)4

Kelas DefinisiP1 Pasien yang sehatP2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan tanpa keterbatasan fungsional. P3 Pasien dengan penyakit sistemik berat dengan keterbatasan fungsional.P4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang menjalani pengobatan rutin. P5 Pasien yang tidak akan selamat tanpa dilakukan operasi.P6 Pasien yang sudah dinyatakan mati batang otak, yang organ tubuhnya akan didonorkan.E Emergency.

Pada pasien ini, dari seluruh hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, pasien

dikategorikan sebagai ASA …

Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah informed consent. Informed

consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada

tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang

cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.

Page 29: Lapsus Anestesi - Azaria

4.2. Tatalaksana Pemberian Cairan Resusitasi pada Penderita Luka Bakar

Secara singkat, penanganan awal luka bakar adalah menjauhkan pasien dari sumber trauma,

melakukan penilaian terhadap ABCDE, menentukan luas luka bakar, dan melakukan resusitasi cairan.

Pada tanggal Juni 2013, pasien Tn. A, laki-laki berusia 22 tahun dibawa ke IRD RSSA Malang

dengan keluhan utama luka bakar. Penderita datang ke IGD RSSA pada pukul 18.00, saat pasien

datang terlebih dahulu kita mengkaji ulang primary survey yang terdiri dari pemeriksan ABCDE (airway,

breathing, circulation, disability, dan event of injury) yang telah dilakukan di RS Swasta Malang. Pada

penderita ini didapatkan tidak ada kegawatan ABC dengan kondisi pasien awake atau GCS 456, namun

menurut event of injury, pasien ini memiliki potensial trauma injury karena terdapat luka bakar yang

mengenai wajah, serta menurut patofiologi terjadi luka bakar yang telah di bahas di atas, pasien ini

memiliki resiko dehidrasi akibat perpindahan cairan intravaskular menuju intersisial, sehingga

menyebabkan hemokonsentrasi, penurunan preload yang menyebabkan turunnya cardiac output dan

memperberat hipopperfusi jaringan. Hemokonsentrasi dapat dibuktikan dengan melihat pemeriksaan

darah lengkap pasien ini yang menunjukan adanya peningkatan kadar hemoglobin dan hematokrit.

Langkah pertama dalam tatalaksana pemberian cairan resusitasi luka bakar adalah

menentukan luas luka bakar. Penentuan ini dapat menggunakan tiga cara, yaitu rule of nine, Lund-

Browder chart, dan perkiraan menggunakan telapak tangan penderita. Dari anamnesis pasien serta

pemeriksaan fisik yang dicocokan dengan menggunakan rule of nine dan telapak tangan penderita,

dengan skema dibawah ini, maka diperkirakan luas luka bakar pada penderita ini ±36%. Dengan bagian

yang terkena adalah wajah, lengan kanan dan kiri, serta kaki kanan dan kiri, seperti yang digambarkan

pada skema di bawah ini.

Tujuan resusitasi cairan pada penderita luka bakar saat 24 - 48 jam pertama (Chan et al., 2009),

adalah mengembalikan volume intravaskular, menyediakan sodium yang adekuat untuk mengembalikan

potensial transmembran selular, mengembalikan kadar elektrolit ekstraselular, sehingga mencegah

ketidakseimbangan elektrolit yang dapat menyebabkan aritmia jantung, dan mengkoreksi

hipoproteinemia dan meningkatkan tekanan onkotik.

Dengan tujuan di atas, maka harus dipikirkan bagaimana rute pemberian cairan secara tepat.

Menurut Cantio et al. (2006), luka bakar kurang dari 20% dapat diresusitasi dengan oral hidrasi, kecuali

luka bakar pada wajah, tangan, genital, pada anak dan pada geriatri. Sementara, luka bakar lebih dari

20% dapat diberika secara enteral namun penderita cenderung muntah, oleh karena itu, pemberian

cairan direkomendasikan menggunakan inta vena. Pada pasien ini sudah sesuai dengan studi di atas,

pasien ini mendapatkan terapi cairan secara intra vena.

Page 30: Lapsus Anestesi - Azaria

Selanjutnya dengan menggunakan formula Parkman maupun modifikasi formula Parkman yang

dianut pada RSUD dr. Saiful Anwar dengan formula : 4 mL kristalloid x kgBB x % luas luka bakar, dengan

cara pemberian ½ volume total diberikan 8 jam pertama dan ½ volume berikutnya diberikan 16 jam

berikutnya. Pada pasien ini didapatkan 4 x 60 x 36= 8640 mL dengan 4320 mL diberikan 8 jam pertama

dan 4320 mL diberikan 16 jam berikutnya. Pasien datang ke IGD RSSA dan diresusitasi sebelum pasien

menjalani operasi debridement.

Terdapat beberapa keadaan yang dapat membuat penderita luka bakar menerima lebih

banyak kebutuhan cairan dibandingkan formula Parkman, seperti trauma inhalasi (Tricklebank, 2009).

Pada pasien ini terdapat resiko menerima terapi cairan lebih banyak dibandingkan yang dihitung dengan

formula Parkman. Namun, berdasarkan studi Arlati et al. (2007) yang merekomendasi pemberian cairan

low volume atau yang dikenal permissive hypotension, namun relatif tidak menimbulkan hipoperfusi

jaringan yang ditandai kejadian gagal ginjal akut sebesar 0.001. Dengan dasar dua studi di atas, maka

pada pasien ini tidak ditambahkan cairan dan dijaga agar produksi urin tetap pada 0.5 - 1 mL/kg/jam.

Pemilihan cairan resusitasi pada penderita luka bakar masih kontroversial, masing-masing

mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, seperti kristalloid mempunyai kelebihan yaitu

sangat mirip dengan cairan tubuh dan murah, namun half life kristalloid pada intravaskular sangat

sebentar sekali, sekitar 30 - 60 menit. Sedangkan kolloid, mempunyai kelebihan meningkatkan tekanan

onkotik vaskular, menarik cairan intersisial, dan bertahan lebih lama intravaskular, sekitar 3 - 6 jam.

Namun, pada penderita luka bakar terjadi pelebaran intersisial, sehingga ada kemungkinan kolloid

berpindah ke intesisial, jika ini terjadi maka akan memperberat edema. Sementara, darah telah

dibuktikan tidak memiliki kelebihan dibandingkan kristalloid dan kolloid.

Pada penderita ini menerima kristalloid selama 24 jam dengan jumlah sesuai dengan

perhitungan formula Parkman. Namun, pada penderita ini diberikan kolloid, berupa HES, pada jam ke 18

setelah kejadian. Meskipun belum ada formula yang sesuai dengan pemberian ini. Alasan pemberian ini,

dimungkinkan karena terjadinya edema puncaknya pada 24 jam pertama, dimana HES sendiri dapat

bertahan sekitar 3 - 6 jam setelah pemberian, sehingga diharapkan pemberian HES dapat membantu

mempertahankan cairan intravaskular.

Monitoring resusitasi cairan di IGD menggunakan produksi urin dari pasien, sesuai yang telah

disebutkan di atas bahwa produksi urin dijaga tetap dengan volume 0.5 - 1 mL/kg/jam. Pada penderita

ini, dipasang kateter urin sekitar jam 18.00 malam dengan initial produksi urin sebesar 200 mL, produksi

urin initial ini dibuang untuk mengetahui keberhasilan resusitasi, pada tiga jam observasi di IGD

didapatkan produksi urin pasien 500 mL atau setara dengan 2.7 mL/kg/jam. Sementara durante operasi,

Page 31: Lapsus Anestesi - Azaria

produksi urin pasien juga sebanyak 500 mL sekitar 250 mL/jam, Monitoring dengan cara terbaru juga

dapat menggunakan pemeriksaan BGA dan serum lactate.

Manajemen cairan yang cermat sangat diperlukan pada semua pasien luka bakar. Hal

ini disebabkan karena pasien beresiko mengalami dehidrasi dan perlu resusitasi yang cepat.

Terapi cairan dibagi menjadi kebutuhan maintenance, defisit, dan penggantian cairan yang

hilang. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena

terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus

- menerus dari kulit dan paru. Oleh karena itu, selama puasa preoperatif perlu tetap diberikan

cairan maintenance. Kebutuhan cairan maintenance untuk anak dapat ditentukan dengan 4:2:1

rule, yaitu 4 ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, 2 ml/kgBB/jam untuk 10 kg kedua, dan 1

ml/kgBB/jam untuk sisanya.1

Pasien ini mempunyai berat badan 65 kg sehingga kebutuhan cairan maintenance-nya

adalah: (4x10) + (2x10) + (1x45) = 105 cc/jam, yang telah diberikan berupa IVFD RL 105 cc/jam

sejak puasa.

4.3 Durante Operasi

4.3.3 Cairan

Terapi cairan intravena dapat berupa infus kristaloid, koloid, atau kombinasi

keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan

atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular

weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik

koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat

menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Pemilihan cairan pada anak hingga saat ini masih kontroversial. Larutan seperti

D5½NS dengan 20 mEq/L menyediakan kebutuhan dekstrosa dan elektrolit yang cukup.

D51/4NS dapat merupakan pilihan yang lebih baik pada neonatus karena terbatasnya

kemampuan untuk menanggung beban sodium. Cairan yang mengandung dextrose dalam

jumlah besar sebaiknya dihindari untuk mencegah hiperglikemia. Dibanding RL, NS

mempunyai kerugian yaitu dapat menimbulkan asidosis hiperkloremia. Meskipun sedikit

hipotonik, RL menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk

menurunkan natrium serum 130 mEq / L. Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling

sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan cairan yang paling fisiologis

ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan

dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

Page 32: Lapsus Anestesi - Azaria

Penggantian cairan yang hilang dapat dibagi lebih lanjut menjadi kehilangan darah

dan hilangnya cairan pada rongga ketiga. Perkiraan volume darah (EBV) sesuai dengan

kelompok umur dan jenis kelamin ialah sebagai berikut.1,5

neonatus prematur : 95 mL/kgBB

neonatus aterm : 85 mL/kgBB

bayi dan anak - anak : 80 mL/kgBB

dewasa pria : 75 mL/kgBB

dewasa wanita : 65 mL/kgBB

Salah satu metode yang paling sering digunakan untuk memperkirakan volume

kehilangan darah ialah dengan menghitung jumlah darah pada kontainer suction dan

perkiraan visual jumlah darah pada spons dan kain pembedahan. Spons 4x4 yang dipenuhi

darah setara dengan kehilangan 10 mL darah, sedangkan kain yang dipenuhi darah setara

dengan kehilangan 100-150 mL darah.

Kehilangan darah pada umumnya digantikan dengan kristaloid yang tidak

mengandung glukosa (contoh: 3 mL RL untuk setiap 1 mL kehilangan darah) atau koloid

(contoh: 1 mL albumin 5% untuk setiap mL kehilangan darah), hingga hematokrit pasien

mencapai batas bawah nilai normal. Perdarahan di bawah 20% dari volume darah total

pada dewasa cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama

dengan komposisi elektrolit serum.

Sedangkan kehilangan cairan pada rongga ketiga sulit untuk diukur, dan diperkirakan

berdasarkan beratnya prosedur pembedahan. Salah satu guideline yang sering digunakan

ialah sebagai berikut.

4-8 ml/KgBB untuk pembedahan besar

2-4 ml/KgBB untuk pembedahan sedang

0-2 ml/KgBB untuk pembedahan kecil

Kehilangan cairan pada rongga ketiga ini biasanya digantikan dengan pemberian

kristaloid. Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 4200 mL (60 kg x 70

mL/kg). Allowable blood loss diperkirakan sebanyak 840 mL (20% dari EBV pasien).

Estimated blood loss pada pasien ini ialah minimal, sekitar 20 cc. Cairan maintenance

sebanyak 120 cc/jam. Sedangkan kehilangan cairan pada rongga ketiga diperkirakan

berdasarkan koefisien operasi, di mana pasien diaggap menjalani pembedahan sedang

sehingga kehilangan cairan pada rongga ketiga = 2 x 60 = 120 cc/jam. Dari berbagai

perhitungan tersebut, maka selama operasi diberikan cairan RL 120 cc/jam

Pemilihan jenis cairan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa banyak

Page 33: Lapsus Anestesi - Azaria

anestesiologist berpendapat bahwa pemberian cairan berupa koloid dan darah dapat

memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding kristaloid dalam mencegah edema

serebri pada pasien dengan cedera kepala. Oleh karena itu, untuk maintenance cairan

diberikan pula koloid (HES) di samping kristaloid (RL).

4.3.4 Monitoring

Tujuan monitoring selama perianestesia untuk membantu mendapatkan informasi

fungsi organ vital selama perianestesia, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring

standar untuk oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu badan perianaestesi untuk semua

kasus termasuk anestesi umum, regional, dan pasien diberikan sedativa sebagai berikut:

Standar 1 : selama anestesi pasien harus diawasi oleh personel anestesi yang berkualitas.

Standar 2 : selama anestesi oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu. Pasien

harus dievalusi baik secara berkala atau terus menerus.

Monitoring pada anak secara umum hampir sama dengan dewasa, dengan beberapa

modifikasi minor. Nilai ambang perlu disesuaikan. Pulse oximetry memiliki peranan penting

karena hipoksia akibat ventilasi yang tidak adekuat adalah penyebab utama morbiditas dan

mortalitas perioperatif. Analisis end-tidal CO2 membantu mengetahui kecukupan ventilasi,

konfirmasi penempatan ETT, dan memberi peringatan awal terhadap hipertermia.

Temperatur perlu dimonitor secara ketat karena anak memiliki resiko yang lebih tinggi

terhadap terjadinya hipertermia malignan dan sangat berpotensi mengalami hipotermia

maupun hipertermia iatrogenik. Pengukuran produksi urine penting untuk memantau status

volume.

Parameter yang digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:

Frekuensi napas, kedalaman dan karakter

Heart rate, nadi, dan kualitasnya, tekanan darah

Warna membran mukosa, dan capillary refill time

Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra)

Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

Pada pasien ini, selama proses anestesi saturasi oksigen pasien tidak pernah <

95%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 130-110, D 70-60), nadi 88-90x/menit,

frekuensi napas 18-20x/menit (dengan ventilator), yang masih berada dalam rentang nilai

normal tanda – tanda vital.

Page 34: Lapsus Anestesi - Azaria
Page 35: Lapsus Anestesi - Azaria

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pada tanggal 4 Juni 2013, pasien Tn. A, 20 tahun datang ke IGD RSSA dengan combustio

grade IIA/B 30% + susp. Trauma inhalasi. Pasien dilakukan resusitasi cairan sesuai rumus Parkland

dan dilakukan intubasi pemasangan ETT. Pada tanggal 5 Juni 2013, pasien dilakukan debridement

dengan anestesi umum.

Tatalaksana pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar didasarkan pada

formula Parkman, dimana 4 mL x kgBB x %TBSA, dengan cara pemberian ½ volume tersebut

diberikan 8 jam pertama dan ½ volume berikutnya diberikan 16 jam berikutnya. Pemantauan

pemberian cairan resusitasi pada penderita luka bakar dapat dilakukan dengan dengan cara

memantau produksi urin penderita, selain itu juga dapat menggunakan laboratorium berupa

pengecekan BGA dan serum lactate.

Selain itu, pemilihan cairan yang digunakan juga penting mengingat masing-masing cairan

memiliki kelebihan dan kekuragan, dan lebih baik jika pemberian cairan tersebut sesuai setelah

tenaga kesehatan memahami patofisiologi luka bakar, serta cara pemberian cairan juga harus

dipertimbangkan berdasarkan luas luka bakar.

Page 36: Lapsus Anestesi - Azaria

DAFTAR PUSTAKA

Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Pediatric Anesthesia. In: Lange-Clinical

Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.

2006; 44: 922-50.

Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Anesthesia in Neurosurgery. In: Lange-

Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies,

Inc. 2006; 26: 631-46.

Burkitt HG, Quick CRG. Accidents, Head Injuries, and Burns. In: Essential Surgery –

Problems, Diagnosis and Managements. New York: Churchill Livingstone Elsevier.

2004; 5:117-35.

Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. The Practice of Anesthesiology. In: Lange-

Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies,

Inc. 2006; 1: 1-16.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Terapi Cairan pada Pembedahan. Dalam: Petunjuk

Praktis Anestesiologi Edisi ke-2. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI.

2007; 9:133-9.

Nicholau D. The Postanesthesia Care Unit. In: Miller RD, et al. Miller’s Anesthesia 7th

Edition. United States of America: Churchil-Livingstone Elsevier. 2009; 85: 2707-28.

Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Fluid Anesthesia for the Trauma Patient. In:

Lange-Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill

Companies, Inc. 2006; 41: 861-73.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Anestesia Umum. Dalam: Petunjuk Praktis

Anestesiologi Edisi ke-2. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI. 2007;

3:29-96.

Cote CJ. Pediatric Anesthesia. In: Miller RD, et al. Miller’s Anesthesia 7th Edition. United

States of America: Churchil-Livingstone Elsevier. 2009; 82: 2559-94.

Nelson, Waldo E., et al. Reference Ranges for Laboratory Tests and Procedures. In:

Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition. New York: Elsevier. 2003; 710: 2138-46.

Barash PG, et al. Clinical Anesthesia 6th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins. 2009.

Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Fluid management and Transfusion. In:

Lange-Clinical Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill

Page 37: Lapsus Anestesi - Azaria

Companies, Inc. 2006; 29: 690-707.

Ahrns, K. S. 2004. Trends in burn resuscitation: shifting the focus from fluids to adequate endpoint

monitoring, edema control, and adjuvant therapies. Crit Care Nurs Clin N Am 16: 75-98.

Alderson, P., Bunn, F., Lefebvre, C., et al. 2004. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 4: CD001208.

Alharbi, Z., Piatkowski, A., Dembinski, R., et al. 2012. Treatment of burns in the first 24 hours: simple and practical guide by answering 10 questions in a step by step form. World Journal of Emergency Surgery 7: 13.

Andel, D., Kamolz, L. P., Roka, J., et al. 2007. Base deficit and lactate: early predictors of morbidity and mortality in patients with burns. Burns 33: 973 - 978.

Arlati, S., Storti, E., Predella, V., et al. 2007. Decreased fluid volume to reduce organ damage: a new approach to burn shock resuscitation? A preliminary study. Resuscitation 72: 371-378.

Ballard-Croft, C., Horton, J. W. 2002. Sympathoadrenal modulation of stress-activated signalling in burn trauma. J Burn Care Rehabil 23: 172-182.

Cancio, L. C., Kramer, G. C., Hoskin, S. L. 2006. Gastrointestinal fluid resuscitation of thermally injured patients. J Burn Care and Res 27: 561 - 569.

Chan, J. K., Ghosh, S. J. 2009. Fluid resuscitation in burns: an update. Hongkong J Emerg Med 16: 51 - 62.

Fodor, L., Fodor, A., Ramon, Y., et al. 2006. Controversies influid resuscitation for burn management: Literature review and our experience. Injury Int J Care Injured 37: 374-379.

Greenhalgh, D. G. 2007. Burn Resuscitation. J Burn Care Res 28: 555 - 565.

Holm, C., Mayr, M., Tegeler, J., et al. 2004. A clinical randomized study on the effects of invasive monitoring on burn shockk resuscitation. Burn 30: 798 - 807.

Morgan, G. E., Mikail, M. S., Murray, M. J. 2005. Clinical Anaesthesiology. McGraw Hill: Medical.

Oda, J., Inoue, K. Y. T., Harunari, N., et al. 2006. Resuscitation volume and abdominal compartement sysndrome in patients with major burns. Burns 32: 151-154.

Perel, P., Roberts, I. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 4: CD000567.

Pham, T. N., Cancio, L. C., Gibran, N. S. 2008. American Burn A: American burn assossiation practice guidelines burn shock resuscitation. J Burn Care Res 29: 257 - 266.

Saffle, J. R. 2007. The phenomenon of “fluid creep” in acute burn resuscitation. J Burn Care Res 28: 382-395.

Page 38: Lapsus Anestesi - Azaria

Scott, J. R., Muangman, P. R., Tamura, R. N., et al. 2005. Substance P levels and neutral endopeptidase activity in acute burn wounds and hypertropic scar. Plast Reconstr Surg 115: 1095-1102.

Sheridan, R. L. 2001. Comprehensive treatment of burns. Curr Prob Surg 38: 657 - 756.

Sullivan, S. R., Ahmadi, A. J., Singh, C. N., et al. 2006. Elevated orbital pressure: another untoward effect of massive resuscitation after burn injury. J Trauma 60: 72 - 76.

Tricklebank, S. 2009. Modern trends influid therapy for burns. Burns 2009.