laporan praktikum oseanografi ichul

32
Jurnal Oseanografi Oleh : Carissa Paresky Arisagy 12 / 334991 / PN / 12981 Manajemen Sumberdaya Perikanan Asisten Laporan : Andi Ibrahim Laboratorium Ekologi Perairan

Upload: carissa-paresky-arisagy

Post on 26-Dec-2015

159 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Laporan Praktikum Oseanografi Ichul, maaf ya buat para asisten aku share laporan gratisan nih :D, semoga hasil kerja rempongku ini bermanfaat . jangan di copas banget ya mohon hanya dijadikan sebagai referensi :D

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Jurnal

Oseanografi

Oleh :

Carissa Paresky Arisagy

12 / 334991 / PN / 12981

Manajemen Sumberdaya Perikanan

Asisten Laporan :

Andi Ibrahim

Laboratorium Ekologi Perairan

Jurusan Perikanan

Fakultas Pertanian

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

2014

Page 2: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

LAPORAN PRAKTIKUM OSEANOGRAFI

Carissa Paresky Arisagy12 / 334991 / PN / 12981

Manajemen Sumberdaya Perikanan

INTISARI

Oseanografi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu ilmu yang mempelajari lautan yang  meliputi berbagai ilmu dasar dan terapan antara lain fisika, kimia, biologi, ilmu tanah, ilmu bumi, dan juga ilmu iklim. Praktikum oseanografi ini dilaksanakan di Pantai Krakal, Gunung Kidul pada tangga 17 dan 18 Mei 2014. Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui kondisi lingkungan perairan di kawasan Pantai Krakal, Gunung Kidul berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi. Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah pengamatan dan pengambilan data parameter fisik, kimia, dan biologi yang terbagi dalam tiga stasiun. Kondisi periran yang paling baik adalah pada stasiun 3 dimana nilai-nilai parameternya cenderung lebih optimum dibandingkan dengan stasiun lainnya. Dimana suhu udara dan suhu air berkisar antara 25-32,85 oC dan 27,5-31 oC, kemiringan 8o, surut terendah 41 cm, pasang tertinggi 128 cm, gelombang 0,03-0,18 Hz, kecepatan angin antara 0-2,8 m/s, DO antara 4,2-7,7 ppm, CO2 bebas antara 0-8 ppm, alkalinitas antara 93-133 ppm, pH normal, dan salinitas antara 31-33 o/oo. Di samping itu pada stasiun 3 memiliki nilai indeks diversitas yang tinggi, dimana nilai tersebut merupakan ukuran kesuburan wilayah perairan.

Kata kunci : biologi, fisik, kimia, pantai, parameter

PENDAHULUAN

Kondisi geografis Indonesia yang strategis dan fakta fisik bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki luas laut 70% dari luas teritorialnya menjadikan sumber daya pesisir dan lautan sebagai sumber devisa yang penting dan bermanfaat bagi pembangunan nasional. Dimana lautan telah memberikan banyak manfaat bagi manusia baik sebagai sarana perhubungan dari suatu tempat ke tempat lainnya, sebagai tempat rekreasi dan hiburan, sebagai pembangkit tenaga listrik, maupun sebagai penyedia bahan makanan. Pemanfaatan sumberdaya dan potensi laut yang sangat berlimpah tersebut tentunya memerlukan suatu ilmu untuk mempelajari sifat-sifat dan karakteristik laut serta fenomena yang terjadi di dalamnya. Memperhatikan dan menyadari pentingnya laut bagi kehidupan, maka dirasa perlu untuk dilakukan peningkatan pemahaman mengenai sifat-sifat dan karakteristik laut melalui praktikum Oseanografi.

Oseanografi adalah ilmu yang mempelajari fenomena fisis dan dinamis air laut yang dapat dipublikasikan ke bidang-bidang lainnya seperti rekayasa lingkungan, perikanan, bencana alam dan mitigasi (pengelolaan dan pencegahan) (Ali, 2007). Oseanografi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu ilmu yang mempelajari

Page 3: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

lautan yang  meliputi berbagai ilmu dasar dan terapan antara lain fisika, kimia, biologi, ilmu tanah, ilmu bumi, dan juga ilmu iklim. Menurut Hutabarat dan Evans (1984) ilmu oseanografi dapat dibagi menjadi 4 cabang ilmu yaitu: Fisika Oseanografi, Geologi Oseanografi, Kimia Oseanografi, dan Biologi Oseanografi. Kondisi oseanografi fisik di kawasan laut dapat digambarkan oleh fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, gelombang, arus, kemiringan pantai, kondisi suhu dan kecepatan angin. Fenomena-fenomena tersebut memberikan kekhasan dan karakteristik pada kawasan laut sehingga menyebabkan terjadinya kondisi fisik perairan yang berbeda-beda (Dahuri 1996). Kekuatan yang berasal dari perairan dapat berwujud tenaga gelombang,pasang surut dan arus, sedangkan yang berasal dari udara berupa angin yangmengakibatkan gelombang dan arus sepanjang pantai, suhu udara dan curahhujan (Soetikno, 1993). Menurut Dahuri (1996), ombak merupakan salah satupenyebab yang berperan besar dalam pembentukan pantai.

Adapun tujuan dari pelaksanaan praktikum oseanografi ini adalah untuk mengetahui metode pengambilan sampel parameter fisik, kimia dan biologi perairan laut. Di samping itu, praktikum ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari korelasi antara parameter fisik, kimia dan biologi serta mengetahui pengaruh parameter tersebut terhadap pemanfaatan laut. Selain itu, praktikum ini juga bertujuan untuk mempelajari kualitas perairan laut berdasarkan indeks diversitas biota perairan.

METODE

Praktikum Oseanografi dilaksanakan di Pantai Krakal pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 17-18 Mei 2014. Praktikum ini dilaksanakan selama 22 jam dimulai sejak pukul 10.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB pada hari berikutnya. Adapun alat yang digunakan pada praktikum oseanografi ini meliputi tongkat, tali, termometer, stopwatch, kalkulator, anemometer, kompas, tisu, teropong, meteran, senter, refraktometer, pH meter, botol oksigen, erlenmeyer, pipet tetes, pipet ukur, kempot, botol air mineral, gelas ukur, ember, jaring larva, botol film, mikroskop, sedgwick rafter, dan jaring plankton. Sementara bahan yang digunakan antara lain, larutan MnSO4, reagen O2, larutan H2SO4 pekat, larutan 1/80 N Na2S2O3, indikator amilum, indikator PP (phenolpthelein), larutan 1/44 N NaOH, indikator MO (Methyl Orange), larutan 1/50 N H2SO4, larutan formalin dan aquadest.

Daerah pengamatan dibagi menjadi tiga stasiun pengamatan. Adapun parameter yang diamati pada praktikum kali ini meliputi parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi suhu air, suhu udara, pasang surut, gelombang, kecepatan angin, arah angin, dan kemiringan pantai. Kemudian, parameter kimia meliputi DO (Disolved Oxygen), CO2 bebas, pH, alkalinitas serta salinitas. Sementara, parameter biologi meliputi larva dan plankton.

Pada prinsipnya praktikum oseanografi ini dilakukan dengan pengamatan, pengukuran serta pehitungan secara langsung terhadap parameter-parameter perairan. Pengukuran suhu air dan udara dilakukan secara langsung dengan menggunakan

Page 4: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

termometer. Begitu pula kecepatan angin dan arah angin yang diukur secara langsung dengan menggunakan anemometer dan kompas. Pengukuran frekuensi gelombang dilakukan dengan menghitung banyaknya gelombang yang melewati titik tertentu dalam kurun waktu 1 menit. Kemiringan pantai diukur dengan mengaplikasikan persamaan trigonometri. Sedangkan, pada pengamatan parameter pasang surut hanya dilakukan dengan simulasi. Pada pengamatan parameter kimia, pH dan salinitas ditentukan secara visual dengan menggunakan pH meter dan refraktometer. Kemudian, kandungan O2

terlarut (DO) ditentukan dengan menggunakan metode Winkler dengan rumus,

DO=100050

x volume x1 x 0,1 (mg/l). Sementara pengukuran CO2 bebas dilakukan dengan

metode alkalimetri dengan rumus CO2=1000

50x volume x1 (mg/l). Sedangkan, alkalinitas

ditentukan dengan metode alkalimetri melalui titrasi yang kemudian dilakukan perhitungan

dengan menjumlahkan CO32- dan HCO3

- di mana CO3

2−¿= 100050

x volumtitran1 x1 ¿ dan

HCO3

−¿=100050

xvolum titran2 x1¿ .

Pada pengamatan parameter biologi, densitas dan diversitas plankton dilakukan dengan metode pengambilan sampel yang kemudian diamati dengan bantuan sedgwick rafter dan mikroskop. Kemudian untuk pengamatan larva dilakukan dengan pengambilan sampel yang kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku panduan identifikasi larva.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan dan pengukuran parameter fisik, kimia, dan biologi pada perairan pantai dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 untuk stasiun 1, tabel 3 dan 4 untuk stasiun 2, serta tabel 5 dan 6 untuk stasiun 3. Masing-masing lokasi memberikan gambaran nilai parameter yang bervariasi.

Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan Parameter Fisik dan Kimia Stasiun 1

Page 5: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Tabel 3. Tabel Hasil Pengamatan Parameter Fisik dan Kimia Stasiun 2

Tabel 2. Tabel Hasil Pengamatan Parameter Biologi Stasiun 1

Tabel 4. Tabel Hasil Pengamatan Parameter Biologi Stasiun 2

Tabel 5. Tabel Hasil Pengamatan Parameter Fisik dan Kimia Stasiun 3

Tabel 6. Tabel Hasil Pengamatan Parameter Biologi Stasiun 3

Page 6: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Praktikum Oseanografi di Pantai Krakal, Gunung Kidul dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 17 dan 18 Mei 2014. Pengamatan dilakukan setiap 2 jam sekali selama 22 jam, dimulai sejak pukul 10.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB pada hari berikutnya. Pengamatan oseanografi dilakukan pada 3 stasiun pengamatan yang berbeda. Pada masing-masing stasiun dilakukan pengamatan terhadap parameter fisik, kimia, dan biologi. Pantai Krakal terletak pada bagian selatan pulau Jawa sehingga memiliki ombak yang besar karena pantai ini menghadap langsung ke samudra Hindia. Letaknya yang berhadapan langsung dengan samudera menyebabkan besarnya pengaruh parameter oseanografi terhadap bentukan pantai. Pantai ini memiliki bentuk pantai yang landai dan berpasir putih yang terhampar sepanjang lebih dari 5 km. Berdasarkan penelitian geologis, pada zaman yang silam, daerah ini merupakan dasar dari lautan. Lambat laun terjadi proses pengangkatan yang terjadi pada kerak bumi, dasar laut ini semakin lama semakin meninggi dan akhirnya muncul sebagai dataran tinggi. Dengan demikian, pantai ini digolongkan sebagai pantai berbatu (rocky beach) karena dipenuhi oleh batu-batuan karang yang merupakan hasil pengangkatan dari dasar laut. Batuan karang tersebut menyusun daerah intertidal. Dimana pada daerah ini banyak ditumbuhi oleh tanaman laut dan dihuni berbagai macam hewan laut seperti moluska, echinodermata, ikan-ikan karang, kepiting, dan lain sebagainya, membentuk suatu ekosistem yang komplek. Bagian tepian pantai ada yang berupa tebing dan ada pula yang berpasir dengan vegetasi khas pantai.

Berdasarkan Hasil pengamatan yang diperoleh dari stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 terdapat perbedaan namun tidak terlalu signifikan baik pada parameter fisik, kimia, maupun biologi. Hal ini dikarenakan lokasi stasiun yang jaraknya tidak terlalu jauh, hanya selang beberapa meter saja. Masing-masing stasiun tersebut memiliki kriteria yang berbeda. Pada stasiun 1 berada di samping gundukan material bangunan dengan kemiringan pantai 8o suasananya panas meskipun di dekatnya terdapat beberapa vegetasi. Sementara, stasiun 2 berada di lokasi yang dekat dengan menara pengawas SAR, kemiringan di stasiun ini adalah 6o, suasananya cukup teduh, karena sinar matahari sedikit terhalang oleh bangunan. Stasiun 3 berada di daerah yang cukup terik dan ramai pengunjung dengan kemiringan pantai 9o. Berdasarkan derajat kemiringannya pantai Krakal dapat dikategorikan sebagai pantai yang landai. Berikut disajikan grafik beserta penjelasan dari masing-masing parameter baik fisik, kimia, maupun biologi pada prairan pantai.

10:0012:00

14:0016:00

18:0020:00

22:000:00

2:004:00

6:008:00

22

24

26

28

30

32

34

Grafik Suhu Udara vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Suhu

Uda

ra (o

C)

Page 7: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Menurut Nybakken (1992), suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Alat untuk mengukur suhu udara atau derajat panas disebut thermometer. Biasanya pengukur dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Dalam pengamatan parameter fisik perairan diamati suhu udara dan suhu air. Menurut Benyamin (1997), Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Suhu udara merupakan kondisi atau keadaan temperatur yang menunjukkan situasi udara pada suatu wilayah atau daerah. Suhu udara pada suatu wilayah perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor kondisi dari wilayah perairan tersebut. Vegetasi yang ada pada suatu wilayah perairan sangat menentukan kondisi suhu udara pada wilayah perairan tersebut. Suhu udara pada pagi hari, siang hari maupun malam hari akan berbeda-beda. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Semakin tinggi intensitasnya maka akan semakin tinggi pula suhu udaranya.

Berdasarkan grafik suhu udara vs waktu tersebut dapat dilihat bahwa suhu udara pada masing-masing stasiun setiap waktunya mengalami fluktuasi. Dari grafik tersebut tampak bahwa suhu udara dari masing2 stasiun tinggi pada waktu siang hari dan rendah pada waktu dini hari. Dimana suhu tertinggi berada pada stasiun 3 dengan nilai 32,85 oC, sedangkan suhu terendah berada pada stasiun 2 dengan nilai 24 oC. Suhu udara tinggi pada siang hari dan rendah pada waktu dini hari disebabkan oleh adanya pengaruh sinar matahari. Dimana pada waktu dini hari matahari belum muncul sementara pada waktu siang hari matahari sedang terik. Pada stasiun 1 suhu udara rendah pada pukul 02.00 dengan nilai 24,5 oC dan tinggi pada pukul 12.00 dengan nilai 31 oC. Pada stasiun 2 suhu udara rendah pada pukul 04.00 dengan nilai 24 oC dan tinggi pada pukul 16.00 dengan nilai 30,5 oC. Sementara pada stasiun 3 suhu udara rendah pada pukul 06.00 dengan nilai 25 oC dan tinggi pada pukul 12.00 dengan nilai 32,8 oC. Suhu udara dapat dengan cepat berubah dikarenakan udara lebih mudah menyerap dan melepaskan intensitas panas dari matahari (Odum, 1993). Berdasarkan data suhu udara yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa kondisi stasiun 3 lebih optimal dibandingkan dengan stasiun 1 dan 2. Sebab menurut Odum (1993), suhu udara yang optimal bagi kehidupan adalah berkisar antara 28oC-32oC. Dimana pada stasiun 3 kisaran suhu udaranya lebih mendekati nilai optimumnya.

Grafik 1. Suhu Udara vs Waktu

10:0012:00

14:0016:00

18:0020:00

22:000:00

2:004:00

6:008:00

22

24

26

28

30

32

34

Grafik Suhu Air vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Suhu

Air

(oC)

Grafik 2. Suhu Air vs Waktu

Page 8: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Suhu air merupakan kodisi keadaan temperatur yang menunjukkan situasi air pada suatu wilayah atau daerah. Faktor yang mempengaruhi suhu air pada suatu perairan adalah pemanasan langsung oleh sinar matahari, organisme yang hidup di dalam air seperti tanaman air dan hewan-hewan air yang dapat mempengaruhi suhu perairan. Suhu air merupakan faktor penting dalam lingkungan perairan. Suhu air dapat mempengaruhi besarnya kadar O2 terlarut dalam suatu perairan, semakin tinggi suhu periran maka kadar O2 terlarutnya akan rendah, begitu pula sebaliknya. Hal ini disebabkan pada suhu yang tinggi organisme akan melakukan metabolisme yang tinggi pula sehingga organisme tersebut membutuhkan Oksigen yang lebih untuk beraktivitas, sebagai sumber energi. Menurut Effendi (2003), suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam satu hari, siklus udara, penutupan awan, dan aliran air serta kedalaman dari badan air. Kenaikan suhu air dapat akan menimbulkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Air memiliki beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebihlambat dari pada udara. Selanjutnya Soetjipta (1992) menambahkan bahwa walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam air daripada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas utama, oleh karena itu mahluk akuatik sering memiliki toleransi yang sempit. Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungansekelilingnya (Hoole et al. 2005). Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Menurut Nontji (1993), Suhu di perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi antara air dan udara. Sementara menurut Gusrina (2008). Suhu air pada suatu perairan dapat di pengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam satu hari, penutupan awan, aliran dan kedalaman air. Peningkatan suhu air mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatisasi serta penurunan kelarutan gas dalam air seperti DO, CO2, N2, CH4, dan sebagainya.

Berdasarkan grafik 2 tersebut suhu air pada masing-masing stasiun tampak fluktuatif namun cenderung stabil. Suhu tertinggi justru terdapat pada waku siang hingga sore hari, antara pukul 12.00 hingga pukul 16.00 ketika matahari mulai beranjak tenggelam. Hal tersebut dikarenakan sifat air yang cenderung menyerap panas, sehingga pada sore hari sekalipun suhunya masih tinggi (Odum, 1993). Hal tersebut juga dikarekan sifat termal air  yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara. Pada stasiun 1 suhu air rendah pada pukul 00.00 dengan nilai 28 oC dan tinggi pada pukul 16.00 dengan nilai 31 oC. Pada stasiun 2 suhu udara rendah pada pukul 06.00 dengan nilai 25 oC dan tinggi pada pukul 12.00, 16.00, dan 22.00 dengan nilai 31 oC. Sementara pada stasiun 3 suhu udara rendah pada pukul 02.00 dengan nilai 28 oC dan tinggi pada pukul 16.00 dengan nilai 31 oC. Pada dasarnya antara suhu, kandungan O2

terlarut (DO) serta CO2 bebas memiliki hubungan yang saling berkaitan. Menurut Haslam (1995), peningkatan suhu air mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4. Menurut Odum (1993), air dengan suhu berkisar antara 24-27oC adalah suhu yang optimal bagi kehidupan biota perairan. Hal tersebut menandakan bahwa, baik pada stasiun 1, 2 dan 3 telah melampaui suhu optimalnya. Akan tetapi, diantara ketiga

Page 9: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

stasiun tersebut stasiun 3-lah yang memiliki kondisi suhu perairan yang cenderung lebih mendekati optimum.

Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil. Factor-faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut yaitu: adalah rotasi bumi pada sumbunya, revolusi bulan terhadap matahari, revolusi bumi terhadap matahari, kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi (gaya coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga terdapat beberapa faktor lokal yang dapat mempengaruhi pasut disuatu perairan seperti, topogafi dasar laut, lebar selat, bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga berbagai lokasi memiliki ciri pasang surut yang berlainan (Wyrtki, 1961).

Pada grafik 3 terlihat bahwa pada masing-masing stasiun memiliki pola pasang surut yang sama. Hal ini dikarenakan masing-masing stasiun berdekatan jaraknya. Dimana antara stasiun yang satu dengan stasiun yang lainnya hanya berjarak beberapa meter saja. Dari grafik tersebut tampak bahwa pasang tertinggi terjadi pada waktu pagi hari yaitu pada pukul 10.00 dengan ketinggian antara 120 hingga 130 cm atau kurang lebih sekitar 2 meter. Kemudian surut terendah terjadi pada waktu sore hari menjelang malam dimana bulan mulai tampak yakni pada pukul 18.00 dengan ketinggian berkisar antara 40 hingga 50 cm atau kurang lebih setengah meter. Pasang tertinggi terjadi ketika resultan gaya gravitasi benda-benda luar angkasa seperti bulan mengarah ke atas atau menjauhi bumi akibatnya massa air akan naik karena adanya gaya tarik bulan. Sedangkan surut terendah terjadi ketika resultan gaya gravitasi benda-benda luar angkasa mengarah ke bawah atau masuk ke bumi akibatnya massa air akan turun karena banyak tertarik oleh resultan gaya

10:0012:00

14:0016:00

18:0020:00

22:000:00

2:004:00

6:008:00

0

20

40

60

80

100

120

140

Pasang Surut Vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Pasa

ng S

urut

(cm

)

Grafik 3. Pasang Surut vs Waktu

Page 10: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

gravitasi tersebut (Supangat dan Susanna, 1999). Ditinjau dari pola pasang surut yang hanya sekali terjadi pada waktu pagi dan sore tersebut, dapat disimpulkan bahwa pola pasang surut pada pantai Krakal ini termasuk jenis pasang surut harian tunggal (diurnal tide).

Frekuensi gelombang adalah jumlah gelombang yang terjadi dalam satu satuan waktu (Jatilaksono, 2007). Umumnya gelombang yang kita amati di laut disebabkan oleh hembusan angin. Ada tiga faktor yang mempengaruhi besarnya gelombang yang disebabkan oleh angin yakni kuatnya hembusan, lamanya hembusan dan jarak tempuh angin (fetch). Setiap gelombang mempunyai tiga unsur yang penting yakni panjang, tinggi, dan periode. Panjang gelombang ialah jarak mendatar antara dua puncak yang berurutan, tinggi gelombang adalah jarak menegak antara puncak dan lembah, sedangkan periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua puncak yang berurutan untuk melalui suatu titik (Foster, 2004). Ukuran besar kecilnya gelombang umumnya ditentukan berdasarkan tinggi gelombang (Nontji, 1993).

Berdasarkan grafik di atas, masing-masing stasiun menunjukan frekuensi gelombang yang sangat fluktuatif. Frekuensi gelombang tertinggi berada pada stasiun 1, yakni sebesar 0,25 Hz terjadi pada pukul 16.00, sedangkan frekuensi gelombang terendah berada pada stasiun 3, yakni sebesar 0,03 Hz terjadi pada pukul 14.00. Apabila dilihat dari masing, masing stasiun, stasiun 1 memiliki nilai frekuensi gelombang tertinggi 0,25 Hz dengan nilai terendah 0,05 Hz, kemudian pada stasiun 2 memiliki nilai frekuensi gelombang tertinggi 0,22 Hz dengan nilai terendah 0,05 Hz, sementara pada stasiun 3 nilai frekuensi gelombang tertingginya 0,18 Hz dan nilai terendahnya 0,03 Hz. Besar kecilnya frekuensi gelombang tergantung pada kecepatan angin yang bertiup. Kecepatan angin yang tinggi menyebabkan penumpukan energi dan pertumbuhan gelombang yang signifikan. Frekuensi gelombang juga dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berhubungan dengan gaya tarik-menarik bumi dan bulan. Ditinjau berdasarkan bentuk dasar perairannya,

10:0012:00

14:0016:00

18:0020:00

22:000:00

2:004:00

6:008:00

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

Grafik Frekuensi Gelombang vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Frek

uens

i gel

ombn

ag (H

z)

Grafik 4. Frekuensi Gelombang vs Waktu

Page 11: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

pantai Krakal memiliki tipe pecah gelombang surging, yaitu tipe pecah gelombang yang tidak banyak menimbulkan hempasan.

Kecepatan angin adalah kecepatan udara yang bergerak secara horizontal (Foster, 2004). Perbedaan tekanan udara antara asal dan tujuan angin merupakan faktor yang menentukan kecepatan angin. Kecepatan angin akan berbeda pada permukaan yang tertutup oleh vegetasi dengan ketinggian tertentu, misalnya tanaman padi, jagung, dan kedelai. Oleh karena itu, kecepatan angin dipengaruhi oleh karakteristik permukaan yang dilaluinya. Kecepatan angin dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut anemometer.

Grafik di atas memperlihatkan rata-rata kecepatan angin tinggi pada waktu siang hingga sore hari, yakni antara pukul 12.00-18.00 WIB dan rendah pada waktu dini hari, yakni pada pukul 00.00-06.00 WIB. Kecepatan angin tertinggi mencapai 5,55 m/s, sedangkan pada dini hari cenderung tidak berangin, dimana kecepatan anginnya 0 m/s. Kecepatan angin di stasiun 1 berkisar antara 0 - 5,55 m/s sedangkan pada stasiun 2 berkisar antara 0 - 2 m/s, kemudian pada stasiun 3 kecepatan anginnya berkisar antara 0 – 2,8 m/s Kecepatan angin ini dipengaruhi oleh lingkungan misalnya keadaan vegetasi dan bangunan disekitar lingkungan pengamatan. Perubahan kecepatan angin dan hembusan arah angin dipengaruhi oleh perbedaan suhu antara laut dan darat. Diketahui pula bahwa suhu akan mengalir dari tempat yang lebih dingin ke tempat yang lebih panas. Pada pagi hari laut lebih dingin dari darat sehingga angin akan berhembus ke arah darat, sedangkan pada malam hari darat akan lebih dingin daripada laut sehingga angin akan berhembuh ke arah lautan. Semakin tinggi atau rendah suhu daratan atau lautan akan mempengaruhi kecepatan angin di kawasan tersebut. Arah angin yang ditunjukan pada waktu siang hari hingga sore di ketiga stasiun relative ke arah Barat Laut yang artinya menuju kedaratan, sedangkan pada waktu petang hingga pagi dini hari sebelum matahari terbit pada ketiga stasiun menunjukan arah relative Selatan yang artinya menuju ke arah lautan. Hal tersebut membuktikan bahwa malam hari terjadi angin darat dan siang hari terjadi angin laut.

10:0012:00

14:0016:00

18:0020:00

22:000:00

2:004:00

6:008:00

0

1

2

3

4

5

6

7

Grafik Kecepatan Angin vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Kece

pata

n A

ngin

(m/s

)

Grafik 5. Kecepatan Angin vs Waktu

Page 12: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen dalam mg yang terdapat dalam satu liter air (ppm). Oksigen terlarut juga dapat diartikan sebagai kandungan gas Oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi Oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny and Olem, 1994). Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang.

Berdasarkan grafik tersebut, DO tertinggi terjadi pada pukul 14.00 dan terendah pada pukul 18.00. Pada pukul 14.00 tersebut intensitas sinar matahari yang masuk ke perairan optimum sehingga fitoplankton aktif berfotosintesis alhasil kandungan DO-nya tinggi. Akan tetapi berangsur-angsur menurun seiring dengan semakin aktifnya aktivitas organisme air di dalamnya yang membutuhkan O2. DO pada suatu penelitian sangat bergantung pada suhu air dan pemakaian oksigen oleh biota perairan. Hubungan DO dengan waktu adalah semakin siang maka DO semakin menurun meski plankton akan aktif memproduksi O2, hal ini dikarenakan biota perairan akan semakin banyak menggunakan O2 sebab adanya pengaruh suhu yang semakin tinggi. Di samping itu, kadar DO di perairan berfluktuasi secara harian, karena dipengaruhi percampuran (mixing) dan pergerakan massa air (turbulence), aktivitas fotosintesis dan respirasi serta masukan limbah kedalam air. Kemudian, dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan an-organik juga dapat mengurangi kadar DO. Sumber utama oksigen di perairan terbuka antara lain berasal dari interaksi air dan udara melalui proses difusi, aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton (Hutagalung, 1997). Hal tersebutlah yang mempengaruhi tingginya kadar DO pada pukul 14.00 di masing-masing stasiun. Sementara rendahnya kadar DO pada pukul 18.00 disebabkan tingginya suhu air, Alfianti (2009) menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu perairan maka kandungan DO rendah. Menurut, Harjono (1992), kandungan O2 yang

10:00 14:00 18:00 22:00 2:00 6:000

1

2

3

4

5

6

7

8

Grafik DO vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

DO

(ppm

)

Grafik 6. DO vs Waktu

Page 13: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

optimal bagi biota perairan adalah DO yang berkisar antara 6-15 ppm. Dengan demikian perairan yang optimum adalah pada stasiun 2.

Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2 pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO2 bebas 12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l, sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1989).

Berdasarkan grafik tersebut nampak bahwa pada pagi hari hingga siang hari antara pukul 10.00-14.00 baik pada stasiun 1, 2, maupun 3 tidak terdapat kandungan CO 2

bebas pada perairan. Tidak adanya kandungan CO2 bebas pada pagi hari hingga siang hari tersebut dikarenakan oleh adanya pergolakan massa air akibat adanya gelombang permukaan air. Pada stasiun 1 kandungan CO2 terlarut tinggi pada waktu dini hari (7,8 ppm), pada stasiun 2 kandungan CO2 terlarut tinggi pada waktu malam hari (13 ppm), sementara pada stasiun 3 kandungan CO2 terlarut tinggi pada waktu malam hingga pagi hari yakni sebesar 8 ppm. Hal tersebut diakibatkan oleh proses respirasi yang mana pada malam hari akan mengonsumsi O2 dan menghasilkan CO2. Pada malam hari tidak terjadi proses fotosintesis sehingga O2 yang terakumulasi digunakan sepenuhnya untuk respirasi dan menghasilkan CO2 bebas pada perairan. Sementara pada siang hari kandungan CO2

bebas mulai menurun dan naik kembali pada sore menjelang malam. Hal tersebut berkaitan dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton dan produsen perairan lainnya. pH dapat mempengaruhi CO2 bebas dimana semakin rendah pH maka CO2 bebas akan semakin tinggi. Pada dasarnya antara suhu, kandungan O2 terlarut (DO) serta CO2 bebas memiliki hubungan yang saling berkaitan. Menurut Haslam (1995), peningkatan suhu air mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4. Menurut

10:00 14:00 18:00 22:00 2:00 6:00

0

2

4

6

8

10

12

14

Grafik CO2 vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

CO2

(ppm

)

Grafik 7. CO2 vs Waktu

Page 14: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Odum (1993), kandungan CO2 bebas yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm. Dengan demikian, kondisi perairan terbaik berada pada stasiun 3.

Alkalinitas merupakan suatu parameter kimia perairan yang menunjukkan jumlah ion karbonat dan bikarbonat yang mengikat logam golongan alkali tanah pada perairan tawar. Alkalinitas juga didefinisikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) yang menetralkan perubahan pH perairan yang sering terjadi (Effendi,2003). Pembentuk alkalnitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat dan hidroksida (Irianto, 2005).

Pada stasiun 1 nilai alkalinitas tertinggi mencapai 138 ppm, dengan nilai alkalinitas terendah 63 ppm. Nilai terendah terjadi pada pukul 06.00, sedangkan nilai tertinggi pada pukul 02.00. Sementara pada stasiun 2 nilai alkalinitas tertinggi mencapai 121,7 ppm, dengan nilai alkalinitas terendah 104,5 ppm. Nilai terendah terjadi pada pukul 10.00, sedangkan nilai tertinggi pada pukul 22.00. Kemudian pada stasiun 3 nilai alkalinitas tertinggi mencapai 133 ppm, dengan nilai alkalinitas terendah 93 ppm. Nilai terendah terjadi pada pukul 18.00, sedangkan nilai tertinggi pada pukul 14.00. Berdasarkan kedua grafik tersebut alkalinitas baik pada stasiun 1, 2, maupun 3 cenderung fluktuatif, bahkan pada stasiun 1 pada pukul 02.00 alkalinitasnya menurun drastis dari 138 ppm menjadi 63 ppm. Hubungan antara alkalinitas dan waktu ini dipengaruhi oleh pH, sebab pH akan menurun ke arah asam apabila terjadi pelapukan senyawa organik. pH turut dipengaruhi oleh CO2. Semakin rendah alkalinitas maka CO2 semakin tinggi , begitu pula sebaliknya. Menurut Odum (1993), ketinggian alkalinitas sebaiknya tidak lebih dari 500 sehingga kisaran optimum bagi biota perairan adalah 50-200 ppm. berdasrkan pengamatan alkalinitas pada masing-masing stasiun alkaliniasnya optimum. Dengan demikian pantai Krakal cocok sebagai habitat ikan karena nilai alkalinitasnya yang optimal, sehingga kemampuan untuk mempertahankan pH-nya pun optimum. Ikan sangat sensitif pada kondisi  kadar alkalinitas yang rendah (Mintardjo, 1984). Fluktuasi pH air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi, maka air tersebut  akan  mudah  mengembalikan  pH nya (Sastrawijaya, 2000).

10:00 14:00 18:00 22:00 2:00 6:0060

70

80

90

100

110

120

130

140

Grafik Alkalinitas vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Alk

alin

itas

(ppm

)

Grafik 8. Alkalinitas vs Waktu

Page 15: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Menurut Purba (2006), pH merupakan parameter keasaman dari suatu larutan. Derajat keasaman atau pH merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003).

Berdasarkan data tersebut tampak bahwa pH tertinggi didapat pada pukul 14.00 hingga 18.00. Pada stasiun 1 nilai pH tertinggi mencapai 7,2 dengan nilai pH terendah 6,7. Nilai terendah terjadi pada pukul 08.00-10.00, sedangkan nilai tertinggi terjadi pada pukul 14.00-22.00. Kemudian, pada stasiun 2 nilai pH tertinggi mencapai 7,3 dengan nilai pH terendah 7,1. Nilai terendah terjadi pada pukul 22.00-02.00, sedangkan nilai tertinggi pada pukul 10.00. Pada stasiun 3 nilai pH tertingginya 7,1 dengan nilai terendah 6,7. Nilai terendah terjadi pada pukul 02.00, sedangkan nilai tertinggi pada pukul 10.00-18.00. Kondisi air pada kedua perairan tersebut cenderung bersifat netral. Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan. pH mempengaruhi kandungan CO2 bebas. pH tinggi menyebabkan CO2

bebas rendah pada perairan. Berdasarkan nilai pH perairan yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa stasiun 2 memiliki nilai pH yang relatif optimal bagi kehidupan biota perairan. Sebab menurut Odum (1993) pH air yang sesuai dengan kehidupan dari biota perairan atau bisa dikatakan optimum yaitu berkisar antara 7-8,5.

10:00 14:00 18:00 22:00 2:00 6:006.6

6.7

6.8

6.9

7

7.1

7.2

7.3

7.4

Grafik pH vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

pH

Grafik 9. pH vs Waktu

Page 16: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Salinitas adalah konsentrasi konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd,1988). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbon dikonversi menjadi oksida,semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau permil (‰).

Berdasarkan grafik diatas kadar salinitas pada stasiun 1 dan 2 berkisar antara 31-34 ‰ , sementara pada stasiun 3 berkisar antara 31-33 ‰. Kadar salinitas tertinggi pada stasiun 1 dicapai pada pukul 18.00 sedangkan kadar terendah terjadi pada pukul 22.00. Pada stasiun 2 salinitas tertinggi dicapai pada pukul 10.00 dan terendah pada waktu dini hari. Kemudian pada stasiun 3 salinitas tertinggi dicapai pada pukul 10.00 dan terendah pada waktu pagi hari. Tinggi rendahnya salinitas di perairan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, aliran sungai. Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. Dalam hal ini penguapan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suhu. Semakin tinggi suhu maka tingkat penguapannya akan semakin tinggi, sehingga menyebabkan konsentrasi perairan menjadi pekat, maka salinitas menjadi lebih tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan, pada pukul 10.00 salinitas mencapai nilai tertinggi dimana pada pukul 10.00 intensitas cahaya matahari tinggi sehingga suhu pun tinggi. Suhu yang tinggi menyebabkan tingkat penguapan bertambah, oleh karena itu koonsentrasi ion di perairan menjadi lebih pekat. Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan terjadinya peningkatan suhu maka nilai salinitasnya pun semakin bertambah. Begitu pula sebaliknya semakin rendah suhu, salinitasnya pun semakin rendah pula. Di samping itu sebaran salinitas di perairan tersebut juga dapat dipengaruhi oleh curah hujan, dimana semakin tingginya curah hujan menyebabkan salinitasnya menjadi berkurang karena konsentrasi ion di perairan menjadi lebih encer. Menurut Welch (1952), kadar salinitas normal perairan laut mencapai >30 ‰. Dengan demikian, kadar salinitas pada stasiun 1, 2, dan 3 berada dalam keadaan normal.

10:00 14:00 18:00 22:00 2:00 6:0030

31

32

33

34

35

Grafik Salinitas vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Salin

itas

(o/o

o)

Grafik 10. Salinitas vs Waktu

Page 17: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Plankton merupakan sekelompok biota akuatik baik berupa tumbuhan maupun hewan yang hidup melayang maupun terapung secara pasif di permukaan perairan, dan pergerakan serta penyebarannya dipengaruhi oleh gerakan arus walaupun sangat lemah (Nybakken, 1992). Densitas plankton merupakan banyaknya individu plankton yang dinyatakan dengan persatuan luas, maka nilai itu juga disebut sebagai kepadatan (density) plankton.

Berdasarkan grafik tersebut plankton berada pada kepadatan maksimum ketika pukul 10.00 dan minimum pada pukul 16.00. Grafik densitas plankton diatas berguna untuk mengetahui kepadatan dari plankton baik pada stasiun 1, 2 maupun 3. Pada stasiun 1 densitas plankton tertinggi muncul pada pukul 22.00 dengan nilai densitas 122,5 idv/L, sedangkan densitas terendah terjadi pada pukul 10.00 dengan nilai 77,5 idv/L. Pada stasiun 2 densitas plankton tertinggi muncul pada pukul 10.00 dengan nilai densitas 442,5 idv/L, sedangkan densitas terendah terjadi pada pukul 16.00 dengan nilai 37,5 idv/L. Kemudian pada stasiun 3 densitas plankton tertinggi muncul pada pukul 22.00 dengan nilai densitas 132,5 idv/L, sedangkan densitas terendah terjadi pada pukul 10.00 dengan nilai 87,5 idv/L. Hubungan antara densitas dengan waktu adalah seberapa padat plankton dalam melakukan fotosintesis pada pagi, siang serta sore hari dan ternyata waktu kepadatan berada pada siang serta sore hari yang dimana intensitas matahari tinggi dan ketika sore mulai berkurang. Densitas plankton sedikit terjadi karena adanya unsur hara yang banyak tersedia pada perairan dan dilengkapi dengan intensitas penyinaran matahari yang baik. Selain itu distribusi plankton tersebut bisa juga dipengaruhi oleh kandungan DO serta CO2 bebasnya. Semakin melimpah kandungan DO maka densitas plankton akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.Berdasarkan hasil praktikum ini hubungan antara plankton dengan O2 dan CO2 bebas tidak dapat terlihat dengan jelas, dikarenakan adanya perbedaan waktu pengamatan. Hubungan antara densitas plankton dengan kadar O2 terlarut (DO) dan CO2 bebas hanya tampak pada pukul 10.00 serta pada pukul 22.00, dimana densitas plankton tinggi ketika kandungan DO di perairan tinggi dengan kendungan CO2 bebas yang rendah. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Odum (1993), bahwa semakin banyak fitoplankton di perairan dapat memberi oksigen terlarut yang lebih banyak, selain itu dapat berguna juga

4:00 10:00 16:00 22:000

50100150200250300350400450500

Grafik Densitas Plankton vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Den

sita

s Pla

nkto

n (i

dv/L

)

Grafik 11. Densitas Plankton vs Waktu

Page 18: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

sebagai produksi energi bagi ikan pemakan plankton. Plankton memiliki kepekaan yang tinggi terhadap tingkat salinitas. Tingkat toleransi pada tiap-tiap plankton sangat bervariasi. Apabila dibandingkan antara nilai salinitas dengan densitas plankton yang diperoleh dari hasil praktikum, tingginya densitas plankton pada perairan pantai Krakal dipengaruhi nilai salinitas normal dimana pada perairan ini memiliki kisaran salinitas antara 31-34 o/oo. Heal tersebut sesuai dengan pernyataan Odum (1993) yang menyebutkan bahwa, salinitas yang ekstrim dapat menghambat  pertumbuhan dan meningkatkan kematian pada plankton. Menurut Sachlan (1982), pada salinitas 0 – 10 ppt hidup plankton air tawar, pada salinitas 10 – 20 ppt hidup plankton air tawar dan laut, sedangkan pada salinitas yang lebih besar dari 20 ppt hidup plankton air laut. Kelimpahan plankton pada suatu perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor abiotik yaitu suhu,  kecerahan, kecepatan arus, salinitas, pH, DO, sedangkan faktor biotik yang dapat mempengaruhi distribusi zooplankton adalah bahan nutrien dan ketersedian makanan (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Ditinjau dari nilai densitas planktonnya wilayah perairan yang terbaik berada pada stasiun 2.

Dari grafik ini kita dapat mengetahui keragamana plankton yang bisa ditemukan diperairan baik dari stasiun 1, 2 maupun 3. Berdasarkan data yang ada keragaman tersebut tampak adanya fluktuasi nilai keragaman plankton setiap waktunya. Pada stasiun 1 pukul 04.00 terjadi penurunan nilai diversitas, kemudian naik pada pukul 10.00 dan turun kembali pada pukul 16.00. Pada stasiun 2 diversitasnya cenderung turun pada pukul 04.00, kemudian naik kembali pada pukul 16.00. Sementara pada stasiun 3, pukul 04.00 terjadi kenaikan nilai diversitas yang kemudian berangsur-angsur turun pada pukul 10.00. Nilai keragaman tertinggi berada pada stasiun 3 dengan indeks diversitas 4,41115, sedangkan nilai terendahnya berada pada stasiun 1 dengan nilai indeks diversitas 1,5177.Hubungan antara waktu dan keragaman plankton adalah pada waktu siang hari dimana intensitas penyinaran matahari yang baik, berbagai jenis plankton (fitoplankton) akan keluar dan berkembangbiak serta melakukan fotosintesis, sementara zooplankton juga akan keluar untuk memakan fitoplankton tersebut. Semakin tinggi keragaman plankton pada suatu perairan, maka perairan tersebut akan semakin subur (Odum, 1993). Dengan demikian wilayah perairan yang tersubur adalah pada stasiun 3.

4:00 10:00 16:00 22:000

0.51

1.52

2.53

3.54

4.55

Grafik Diversitas Plankton vs Waktu

Stasiun IStasiun IIStasiun III

Waktu

Div

ersi

tas P

lank

ton

Grafik 12. Diversitas Plankton vs Waktu

Page 19: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Berdasarkan hasil pengamatan larva pada perairan pantai Krakal ini, ditemukan spesies ikan Stolephorus watei, Stolephorus inclicus dan Amblygaster sirm pada masing-masing stasiun, dimana Stolephorus sp. termasuk dalam golongan ikan teri sementara Amblygaster sp. termasuk dalam golongan ikan sarden. Dengan ditemukannya larva ikan tersebut menandakan bahwa pada perairan pantai Krakal ini subur dan merupakan wilayah nursery ground. Faktor yang mempengaruhi keberadaan larva ikan di suatu perairan adalah banyaknya substrat, garam mineral serta plangkton yang menjadi makanan para larva ikan. Menurut Reddy (1993), salinitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi pada beberapa ikan dan distribusi berbagai stadia hidup. Cahaya juga mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak pada malam hari dibandingkan pada siang hari. Ikan sardin disebut juga lemuru, dikenal dengan produk ikan kaleng. Ikan Sardin ini merupakan ikan yang memiliki nilai komersial sedang.

Dapat dilihat bahwa pada stasiun 3 memiliki kepadatan plankton yang tinggi begitupun dengan keragamannya maka dapat disimpulkan bahwa stasiun 3 lebih subur dibandingkan dengan stasiun 1 dan 2, namun pada masing-masing stasiun masih berada dalam kondisi yang baik. Hal ini dilihat dari parameter fisika, kimia, dan biologi yang masih berada pada lingkup atau rentang optimum bagi biota perairan, seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Berdasarkan analisis diperoleh hasil kelimpahan plankton dan larva di perairan pantai Krakal, Gunung Kidul memiliki korelasi yang erat dengan parameter suhu, gelombang, salinitas, pH, DO serta CO2. Di mana pada pH dan suhu yang normal terjadi kemelimpahan plankton dan larva. Di samping itu peningkatan DO berbanding lurus dengan tingginya densitas dan diversitas plankton, namun berbanding terbalik dengan tinggi rendahnya CO2. Pergolakan massa air akibat pasang surut maupun gelombang juga mempengaruhi tinggi rendahnya kelarutan O2 dan CO2 bebas pada perairan, yang tentunya juga akan berpengaruh pada keberadaan organisme akuatik yakni plankton dan larva.

Ilmu tentang oseanografi memiliki peran yang penting khususnya bagi program studi Manajemen Sumberdaya Perairan yakni untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya laut dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan perairan laut. Ilmu ini juga dapat diterapkan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih baik. Berdasarkan perbandingan antar parameter, baik fisik, kimia, maupun biologi, stasiun 3-lah yang memiliki tingkat kualitas air yang baik untuk biota perairan dapat hidup. Sebab pada perairan pantai ini baik prameter biologi, kima, maupun fisika menunjukkan nilai yang optimum atau mendekati optimum.

KESIMPULAN

Praktikum Oseanografi ini dilakukan dengan pengamatan terhadap parameter fisik, kimia dan biologi perairan laut. Parameter fisika diperoleh dengan melakukan

Page 20: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

pengamatan, pengukuran dan perhitungan secara langsung di lapangan. Kemudian parameter kimia, CO2 bebas dan Alkalinitas diukur dengan menggunakan metode alkalimetri, DO (Disolved Oxygen) diukur dengan menggunakan metode Winkler, sedangkan pH dan salinitas diukur melalui pengamatan secara visual dengan menggunakan pH meter dan refraktometer. Parameter biologi, sampel larva dan plankton diambil dengan menggunakan jaring plankton dan jaring larva, kemudian diawetkan dan diidentifikasi jenis dan jumlahnya. Parameter fisika, kimia dan biologi tersebut memiliki korelasi yang erat. Dimana, ketiga parameter tersebut dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan berperan dalam pemanfaatan sumberdaya laut sehingga tetap terjaga kelestariannya. Pengetahuan tentang kemiringan pantai, gelombang dan pasang surut dapat dijadikan landasan untuk usaha budidaya perairan payau dan laut.

SARAN

Pada saat praktikum di lapangan, alangkah baiknya apabila masing-masing kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan pengamatan parameter fisik, kimia, dan biologi, agar praktikan lebih mengetahui dan memahami cara-cara pengamatan serta pengambilan sampel dari masing-masing parameter yang diamati. Kedisiplinan waktu dalam melakukan pengamatan di lapangan maupun di laboratorium lebih ditingkatkan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Alfianti, Madyastuti R. 2009. Pengantar Ekologi Perairan. Penerbit Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Ali, M. 2007. Oseanografi. FITB ITB. Bandung.

Benyamin, L. 1997. Klimatologi Dasar. Radja Grafindo Persada. Jakarta.

Boyd. 1988. Water Quality In Warm Water Fish Ponds. Craff Masker Printer. Alabama.

Dahuri, R dkk. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisirdan Lautan Secara Terpadu.

Pradnya Paramitha. Jakarta

Dronkers, J. J. 1964. Tidal Computations in rivers and coastal waters. North-Holland

Publishing Company. Amsterdam.

Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta

Foster, B. 2004. Fisika Terpadu. Erlangga. Jakarta.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 1. PT Macanan Jaya Cemerlang. Jakarta.

Harjono, B. 1992. Kualitas Sumberdaya Perairan.Gramedia Pustaka. Jakarta.

Page 21: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Haslam, S. M. 1995. Biological Indicators of Freshwater Pollution and Enviromental.

Management. Elsevier Applied Science Publisher. London.

Hoole, S.R.H. dan Hoole P.R.P. 1996. Modern Short Course in Engineering

Electromagnetics. Oxford University Press. New York.

Hutabarat, S dan Evans, S. M. 1984. Pengantar Oseanografi. Penerbit UI, Jakarta.

Hutagalung, P. 1997. Metode Penelitian Air Laut dan Sedimen. LIPI. Jakarta.

Irianto, A. 2005. Faktor-Faktor Lingkungan Abiotik Air. Jurnal Manusia dan Lingkungan,

Vol. XI, No.2. 

Jatilaksono, M. 2007. Gelombang Air Laut. Erlangga. Jakarta.

Mahida, U.N. 1993. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri, PT Raja. Gravindo

Persada. Jakarta.

Mintardjo, K.A. 1984. Persyaratan Tanah dan Air. Direktorat Jendral Perikanan. Direktorat

Pertanian. Hal 63-89.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Novotny, V. dan Olem H. 1994. Water Quality: Prevention, Identification, and

Management of Diffuse Pollution. van Nostrand Reinhold. New York.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta.

Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Pariwono, J.I. 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut. Dalam Pasang Surut. Ed. Ongkosongo,

O.S.R. dan Suyarso. P3O-LIPI. Jakarta. Hal. 13-23

Purba, M. 2006. Kimia I. Erlangga. Jakarta.

Reddy, M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the

Abundance of Fish Catch; Apllication of Satellite Remote Sensing for Identifying

and Forecasting Potential Fishing Zones in DevMegalopsing Countries. India.

Romimohtarto, K. Dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Sachlan, M., 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan UNDIP. Semarang.

Sastrawijaya, A. Tresna. 2000. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Soetikno. 1993. Karakteristik Bentuk dan Geologi di Indonesia. Dirjen Pengairan DPU.

Yogyakarta.

Soetjipta. 1992. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

Page 22: Laporan Praktikum Oseanografi Ichul

Supangat, A. dan Susanna. 1999. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan

Sumberdaya Non-Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen

Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Wardoyo, S.T.H. 1989. Kriteria Kualitas Air untuk Pertanian dan Perikanan. Makalah pada

Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan

Umum. Bandung.

Welch, P. 1952. Limnology. Mc Graw Hill Book Company. New York.

Wyrtki, K. 1961. Phyical Oceanography of the South East Asian Waters. Naga Report Vol.

2 Scripps,. Institute Oceanography. California.