laporan fistum 3 - dormansi doc alhamdulillah.pdf

46
  1  LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN (SB -141325) DORMANSI  RIZKA RAHMAWATI (1512100 003) R. GLADY PUTRI A.C.S (1512100 010) LAILATUL MUFROH (1512100 025) RISKA IRAWAN (1512100 034) INDIRA RIZQITA I. (1512100055) VIA NUR FADILAH (1512100 060) ABDUL AZIS (1512100 061) Dosen Pengampu: Tutik Nurhidayati, S.Si., M.Si Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahu an Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2014

Upload: revina

Post on 04-Nov-2015

66 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 1

    LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN (SB-141325) DORMANSI

    RIZKA RAHMAWATI (1512100003) R. GLADY PUTRI A.C.S (1512100010) LAILATUL MUFROH (1512100025) RISKA IRAWAN (1512100034) INDIRA RIZQITA I. (1512100055) VIA NUR FADILAH (1512100060) ABDUL AZIS (1512100061)

    Dosen Pengampu: Tutik Nurhidayati, S.Si., M.Si

    Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2014

  • i

    ABSTRAK

    Dormansi merupakan keadaan biji yang tidak

    berkecambah atau dengan kata lain tunas yang tidak dapat

    tumbuh walaupun sudah diletakkan pada kondisi yang sudah

    sesuai. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini

    adalah dengan melakukan pengukuran pertumbuhan tunas

    pada biji Acacia sp. dengan berbagai perlakuan fisik dan

    kimia untuk mempercepat pematahan dormansi. Tujuan dari

    penelitian ini adalah untuk mematahkan dormansi biji

    berkulit keras dengan perlakuan fisik dan kimia. Hasil yang

    didapatkan adalah pada empat perlakuan tidak didapatkan

    pertumbuhan tunas sebagai tanda belum terpatahkannya

    masa dormansi biji.

    Kata kunci : Acacia sp., Dormansi, Perkecambahan,

    Skarifikasi.

    ABSTRACT

    Dormancy is the state of seed that is unable to

    germinate or cannot grow under a combination of

    environmental factor that are suitable. The method that we

    use are measuring the growth of Acacia sp. by physic and

    chemical treatments. The purpose of this experiment is to

    break the dormant seed with hard testa by physic and

    chemical treatment. Result of this experiment is all of

    pretreatment can not break the dormant of Acacia sp. seed.

    Key words: Acacia sp., Dormancy, Germination,

    Scarification.

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT

    yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kami

    dan dengan pertolonganNya sehingga kami dapat menyelesaikan

    laporan praktikum Fisiologi Tumbuhan yang berjudul Dormansi

    ini dengan baik. Selain itu tidak lupa kami mengucapkan terima

    kasih kepada semua pihak yang terlibat yakni Dosen pembimbing

    kami Ibu Tutik Nurhidayati, S.Si., M.Si yang telah membimbing

    kami dalam praktikum ini. Dalam laporan praktikum ini kami

    akan membahas mengenai konsep dasar dormansi, mekanisme

    pematahan dormansi, mekanisme perkecambahan, tipe-tipe

    dormansi, serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses

    dormansi pada tumbuhan. Kami memohon maaf apabila terdapat

    kesalahan penulisan dalam laporan praktikum ini dan memohon

    adanya kritik maupun saran yang dapat menjadi suatu perbaikan

    untuk laporan praktikum ini. Semoga laporan praktikum ini dapat

    bermanfaat dan dapat memberikan wawasan terhadap para

    pembacanya.

    Surabaya, 25 November 2014

    Penulis

  • iii

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK .................................................................................... i

    DAFTAR ISI ............................................................................... iii

    DAFTAR TABEL ........................................................................ v

    DAFTAR GAMBAR .................................................................. vi

    BAB I ........................................................................................... 1

    PENDAHULUAN........................................................................ 1

    BAB II .......................................................................................... 3

    TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 3

    2.1 Tumbuhan Akasia (Acacia sp.) .......................................... 3

    2.2 Dormansi ............................................................................ 4

    2.3 Pematahan Dormansi ......................................................... 4

    2.4 Tipe-tipe Dormansi ............................................................ 5

    2.5 Perkecambahan ................................................................ 12

    2.6 Tipe-tipe Perkecambahan ................................................. 12

    2.7 Mekanisme Perkecambahan ............................................. 14

    2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan ......... 16

    BAB III ...................................................................................... 17

    METODOLOGI ......................................................................... 17

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................... 17

    3.2 Metode yang Digunakan .................................................. 17

    3.2.1 Alat ........................................................................... 17

    3.2.2 Bahan ........................................................................ 17

    3.2.3 Cara Kerja ................................................................. 17

    BAB IV ...................................................................................... 19

    HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 19

  • iv

    4.1 Fungsi Perlakuan .............................................................. 19

    4.2 Persentase Perkecambahan ............................................... 20

    4.3 Peran KNO3 ..................................................................... 24

    4.4 Peran HCl ......................................................................... 25

    4.5 Peran Skarifikasi .............................................................. 29

    BAB V ....................................................................................... 33

    KESIMPULAN .......................................................................... 33

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 34

  • v

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Tipe-tipe Dormansi ................................................ 5

    Tabel 2. Hasil pengukuran perkecambahan ....................... 20

  • vi

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Dormansi Kontrol ............................................. 21

    Gambar 2. Perlakuan KNO3 ............................................... 21

    Gambar 3. Perlakuan HCl .................................................. 21

    Gambar 4. Perlakuan Skarifikasi ........................................ 21

    Gambar 5. Grafik Perkecambahan ..................................... 22

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Dormansi benih adalah ketidakmampuan benih hidup untuk

    berkecambah pada lingkungan yang optimum. Dormansi dapat

    disebabkan oleh keadaan fisik dari kulit benih, keadaan fisiologis

    dari embrio atau kombinasi dari kedua keadaan tersebut. Namun

    demikian dormansi bukan berarti benih tersebut mati atau tidak

    dapat tumbuh kembali (Widyawati dkk, 2009). Dormansi pada

    tumbuhan sangat beragam tergantung dari jenis tumbuhannya.

    Beberapa tumbuhan memiliki karakter biji yang memiliki kulit

    biji yang cukup lunak. Namun beberapa tumbuhan lainnya

    memiliki struktur kulit biji yang yang keras. Oleh karena itu

    untuk mematahkan dormansi harus dilakukan perlakuan tertentu.

    perlakuan yang dilakukan meliputi perlakuan fisik dan perlakuan

    kimia. Contoh perlakuan pematahan dormansi biji adalah

    skarifikasi, pemberian zat kimia tertentu dsb.

    Dengan adanya hal tersebut, maka dilakukan praktikum

    fisiologi tumbuhan tentang dormansi pada tumbuhan.

    1.2 Rumusan Permasalahan Adapun rumusan permasalahan pada praktikum ini adalah

    sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah mekanisme dormansi pada tumbuhan? 2. Apakah yang menyebabkan dormansi pada tumbuhan? 3. Bagaimana korelasi faktor lingkungan terhadap dormansi

    biji pada tumbuhan

    1.3 Batasan Masalah Batasan masalah pada praktikum ini adalah biji percobaan

    adalah biji tumbuhan Akasia (Acacia sp.). Perlakuan yang

    diberikan meliputi perlakuan dengan KNO3, HCl, dan skarifikasi.

    1.4 Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mematahkan

    dormansi biji berkulit keras dengan perlakuan fisik dan kimia

    1.5 Manfaat

  • 2

    Manfaat dari praktikum ini adalah mendapatkan pengetahuan

    tentang dormansi pada biji berkulit keras sehingga dapat

    diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

  • 3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tumbuhan Akasia (Acacia sp.)

    Akasia termasuk dalam family Leguminoceae yang tipe

    dormansinya dikarenakan impermeabilitas kulit biji terhadap air.

    Benih-benih yang menunjukkan tipe dormansi ini disebut benih

    keras contohnya seperti pada famili Leguminoceae, Malvaceae,

    Solanaceae. Pengambilan air terhalang kulit biji yang mempunyai

    struktur terdiri dari lapisan sel-sel berupa palisade yang

    berdinding tebal, terutama dipermukaan paling luar dan bagian

    dalamnya mempunyai lapisan lilin. Di alam selain pergantian

    suhu tinggi dan rendah dapat menyebabkan benih retak akibat

    pengembangan dan pengkerutan, juga kegiatan dari bakteri dan

    cendawan dapat membantu memperpendek masa dormansi benih

    (Pence, 1992).

    Acacia sp. memiliki biji dengan morfologi kulit bijinya

    lebar , berbentuk linier dan tergulung secara ireguler dengan lebar

    3-5 mm dan panjang 7-8 cm. bijinya berwarna coklat tua hingga

    kehitam-hitaman dan berkilap. Panjangnya antara 3-5 mm dan

    lebar 2-4 mm, bijinya akan matang setelah 6-7 bulan. Habitat asli

    Acacia sp. adalah hidup pada daerah lembab dengan curah hujan

    tahunan bervariasi antara 1000 mm4500 mm. Terdapat secara luas pada ketinggian di bawah 100 meter dari permukaan laut

    kecuali di Australia ditemukan dua bidang tegakan pada

    ketinggian 450 meter dari permukaan laut dengan suhu rata-rata

    pertahun 26,7C dan suhu maksimal berkisar antara 31C-34C

    dan suhu minimum 12C-26C. Kemampuan Acacia sp.

    beradaptasi terhadap lingkungan sangat tinggi, jenis ini mampu

    hidup dengan baik pada kondisi lingkungan yang sangat terbatas.

    Acacia sp. tidak di temukan secara alami pada tanah yang berasal

    dari batubatuan basa, namun terdapat pada tanah asam dengan pH 4,2 hal ini merupakan keistimewaan Acasia sp. yang tidak

    dimiliki Leguminoseae lainnya. Acacia sp. mampu tumbuh

    dengan baik pada jenis tanah gambut, ultisol, tanah alluvial

  • 4

    campuran, tanah lempung berpasir, tanah pegunungan, tanah

    kering dan rawa-rawa, di mana pH berkisar antara 5,3 - 6

    (Gbadamosi, 2004)

    2.2 Dormansi

    Dormansi berasal dari kata dorman yang berarti tidur atau istirahat (Campbell, 2003). Dormansi pada biji dapat

    meningkatkan peluang bahwa perkecambahan akan terjadi pada

    waktu dan tempat paling menguntungkan bagi pertumbuhan biji.

    Di alam, dormansi dipatahkan secara perlahan-lahan atau di suatu

    kejadian lingkungan yang khas. Tipe dari kejadian lingkungan

    yang dapat mematahkan dormansi tergantung pada tipe dormansi.

    Menurut Salisbury dan Ross (1995), dormansi merupakan

    bagaimana tumbuhan dapat hidup di daerah dengan suhu

    mendekati atau di bawah titik beku selama beberapa minggu atau

    bulan setiap tahunnya. Daun dan tunas tumbuhan tetap hijau

    menurun aktivitasnya selama musim dingin, sedangkan tumbuhan

    gugur daun tahunan membentuk tunas tak aktif yang khusus. Biji

    sebagian besar spesies di daerah dingin mengalami dormansi

    selama musim dingin.

    Dormansi benih berhubungan dengan usaha benih untuk

    menunda perkecambahannya, hingga waktu dan kondisi

    lingkungan memungkinkan untuk melangsungkan proses tersebut.

    Dormansi dapat terjadi pada kulit biji maupun pada embryo. Biji

    yang telah masak dan siap untuk berkecambah membutuhkan

    kondisi klimatik dan tempat tumbuh yang sesuai untuk dapat

    mematahkan dormansi dan memulai proses perkecambahannya.

    Pretreatment skarifikasi digunakan untuk mematahkan dormansi

    kulit biji, sedangkan stratifikasi digunakan untuk mengatasi

    dormansi embryo (Saleh, M.S., 2004).

    2.3 Pematahan Dormansi

    Menurut Copeland (1985) cara pematah dormansi dapat

    diatasi dengan melakukan perlakuan, antara lain :

    A. Perlakuan fisik

  • 5

    1. Pemarutan atau penggoresan (skarifikasi, scarification) yaitu dengan cara menghaluskan kulit benih atau menggores kulit

    benih agar dapat dilalui air dan udara.

    2. Melepaskan kulit benih dari sifat kerasnya agar dengan demikian terjadi lubang-lubang yang memudahkan air dan

    udara melakukan aliran yang mendorong perkecambahan.

    3. Stratifikasi terhadap benih dengan suhu rendah ataupun suhu tinggi (stratifikasi yaitu memberikan temperature rendah pada

    keadaan lembab, kebutuhan stratifikasi berbeda untuk setiap

    jenis tanaman. Perlakuan dengan temperature rendah dan

    tinggi). Temperatur tinggi jarang digunakan untuk

    memecahkan dormansi benih, kecuali pada kelapa sawit.

    4. Perendaman biji dengan air panas sehingga memudahkan air untuk masuk ke dalam biji.

    B. Perlakuan kimia

    Pemberian bahan kimia (H2SO4 pekat dan KNO3) bertujuan

    menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada

    waktu proses imbibisi.

    2.4 Tipe-tipe Dormansi

    Menurut Schmidt (2000), berdasarkan hubungannya

    dengan sifat fisiologis, dormansi benih dapat diklasifikasikan ke

    dalam 6 tipe seperti pada Tabel 2.4. Pada beberapa jenis sering

    kali mempunyai dormansi ganda sehingga memerlukan perlakuan

    yang dikombinasikan untuk memecahkan dormansi benih-benih

    tersebut.

    Tabel 1. Tipe-tipe Dormansi Tipe

    dormansi

    Karakteristik Perlakuan

    Alami Buatan

    Dormansi

    embrio

    Benih secara

    fisiologis

    belum masak

    atau embrio

    dorman

    Pertumbuhan

    setelah

    penyebaran

    Pemeraman

    Dormansi Pertumbuhan Pembusukan Pemencaran

  • 6

    mekanis embrio secara

    fisik dihambat

    karena kulit

    benih

    bagian yang

    keras oleh

    organisme

    tanah

    bagian yang

    keras

    Dormansi

    fisik

    Penyerapan air

    dihambat

    karena kulit

    benih yang

    kedap air

    Abrasi oleh

    pasir, suhu

    tinggi,

    pemangsaan

    oleh binatang

    Skarifikasi

    mekanis, air

    mendidih,

    perlakuan

    dengan asam

    Dormansi

    kimia

    Benih

    mengandung

    zat-zat

    kimia

    penghambat

    perkecambaha

    n

    Pemangsaan

    oleh

    binatang,

    pelarutan

    oleh hujan

    atau

    pembusukan

    daging buah

    Menghilangkan

    daging buah dan

    Membersihkan

    dengan air,

    perendaman

    dengan

    penggantian air,

    rendah jemur

    Dormansi

    cahaya

    Benih tidak

    dapat

    berkecambah

    kecuali jika

    berada dalam

    kondisi cahaya

    Kondisi

    cahaya yang

    tepat untuk

    memacu

    Perkecambah

    an

    Pemberian

    cahaya selama

    perkecambahan

    atau

    perlakuan gelap

    dan terang

    Dormansi

    suhu

    Perkecambaha

    n rendah tanpa

    suhu yang

    tepat

    Fluktuasi

    suhu harian,

    kebakaran

    lantai hutan

    Suhu tinggi,

    suhu

    berfluktuasi

    Menurut Baskin dan Baskin (2005), dormansi juga dapat

    dikelompokkan menjadi 5 kelas, yaitu :

    - Dormansi fisiologi : Dormansi embrio sama dengan dormansi fisiologi pada

    Schmidt (2000) seperti yang terjadi pada benih pinus

    (Hartati, 1996), kemenyan (Suita, 2008), dan kepuh

    (Sudrajat et al., 2010). Benih tersebut mempunyai sifat after

    ripening (pemasakan lanjutan) sehingga perlu pemeraman

  • 7

    selama beberapa hari atau minggu seperti pada benih

    kemenyan yang mengalami peningkatan perkecambahan

    selama penyimpanan 4-6 minggu. Beberapa penyebab

    dormansi fisiologis menurut Yuniarti (2002) adalah :

    a. Immaturity Embrio Pada dormansi ini perkembangan embrionya tidak

    secepat jaringan sekelilingnya sehingga perkecambahan

    benih-benih yang demikian perlu ditunda. Sebaiknya

    benih ditempatkan pada tempe-ratur dan kelembapan

    tertentu agar viabilitasnya tetap terjaga sampai embrionya

    terbentuk secara sempurna dan mampu berkecambah.

    b. After ripening Benih yang mengalami dormansi ini memerlukan

    suatu jangkauan waktu simpan tertentu agar dapat

    berkecambah, atau dika-takan membutuhkan jangka

    waktu "After Ripening". After Ripening diartikan sebagai

    setiap perubahan pada kondisi fisiologis benih selama

    penyimpanan yang mengubah benih menjadi mampu

    berkecambah. Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-

    beda dari beberapa hari sampai dengan beberapa tahun,

    tergantung dari jenis benihnya.

    - Dormansi morfologi : Disebabkan oleh kondisi embrio yang kecil dan tidak

    berkembang normal sebelum radikel muncul. Umumnya,

    embrio benih masak secara fisiologis mulai tumbuh dalam

    periode beberapa hari hingga 1-2 minggu, dan benih

    berkecambah setelah 1 hingga 4 minggu setelah tabor

    - Dormansi morfofisiologi : Mempunyai embrio yang tidak berkembang normal yang

    secara fisiologis mengalami dormansi. Perkecambahan tidak

    terjadi hingga dormansi fisilogis hilang dan embrio

    berkembang normal

    - Dormansi fisik :

  • 8

    Penyerapan air dihambat karena kulit benih yang kedap

    air. Dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras

    dan impermeable atau penutup buah yang menghalangi

    imbibisi dan pertukaran gas. Fenomena ini sering disebut

    sebagai benih keras (Schmidth, 2002). Yang termasuk

    dormansi fisik menurut Yuniarti (2002) adalah:

    a. Impermeabilitas kulit biji terhadap air Benih-benih yang menunjukkan tipe dormansi ini

    disebut benih keras contohnya seperti pada famili

    Leguminoceae, disini pengambilan air terhalang kulit biji

    yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel-sel

    berupa palisade yang berdinding tebal, terutama

    dipermukaan paling luar dan bagian dalamnya

    mempunyai lapisan lilin. Di alam selain pergantian suhu

    tinggi dan rendah dapat menyebabkan benih retak akibat

    pengembangan dan pengkerutan, juga kegiatan dari

    bakteri dan cendawan dapat membantu memperpendek

    masa dormansi benih.

    b. Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio

    Pada tipe dormansi ini, beberapa jenis benih tetap

    berada dalam keadaan dorman disebabkan kulit biji yang

    cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan embrio. Jika

    kulit ini dihilangkan maka embrio akan tumbuh dengan

    segera. Tipe dormansi ini juga umumnya dijumpai pada

    beberapa genera tropis seperti Pterocarpus, Terminalia,

    Eucalyptus, dll. Pada tipe dormansi ini juga didapati tipe

    kulit biji yang biasa dilalui oleh air dan oksigen, tetapi

    perkembangan embrio terhalang oleh kekuatan mekanis

    dari kulit biji tersebut. Hambatan mekanis terhadap

    pertumbuhan embrio dapat diatasi dengan dua cara

    mengekstrasi benih dari pericarp atau kulit biji.

    c. Adanya zat penghambat Sejumlah jenis mengandung zat-zat penghambat

    dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan.

  • 9

    Zat penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan

    dalam daging buah. Untuk itu benih tersebut harus

    diekstrasi dan dicuci untuk menghilangkan zat-zat

    penghambat.

    - Dormansi kombinasi (fisik-fisiologi) : Merupakan gabungan dormansi fisik (kulit benih yang

    kedap air) dan fisiologis (embrio yang belum berkembang

    sempurna).

    Secara umum tipe-tipe dormansi dapat dikelompokan

    menjadi (Schmidth 2002) :

    1. Embrio yang belum berkembang Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum berkembang

    pada saat penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi

    perkecambahan normal dan karenanya tergolong kategori

    dorman. Fenomena ini seringkalidimasukkan ke dalam kategori

    dormansi fisiologis, dengan memperhatikankondisi morfologis

    embrio yang belum matang.

    2. Dormansi mekanis Dormansi mekanis dapat terlihat ketika pertumbuhan embrio

    secara fisik dihalangi struktur kulit benih yang keras. Imbibisi

    dapat terjadi tetapi radikula tidak dapat membelah atau

    menembus kulitnya. Pada dasarnya hampir semua benih yang

    mempunyai dormansi mekanis mengalami keterbatasan dalam

    penyerapan air.

    3. Zat-zat penghambat Beberapa jenis benih mengandung zat-zat penghambat dalam

    buah atau benih yang mencegah perkecambahan, misalnya

    dengan menghalangi proses metabolisme yang diperlukan untuk

    perkecambahan. Zat-zat penghambat yang paling sering dijumpai

    ditemukan dalam daging buah. Gula, coumarin dan zat-zat lain

    dalam buah berdaging mencegah perkecambahan karena tekanan

    osmose yang menghalangi penyerapan.

    4. Dormansi cahaya

  • 10

    Sebagian besar benih dengan dormansi cahaya hanya

    berkecambah pada kondisi terang. Sehingga benih tersebut

    disebut dengan peka cahaya. Dormansi cahaya umumnya

    dijumpai pada pohon-pohon pioner.

    5. Dormansi suhu Istilah dormansi suhu digunakan secara luas mencakup

    semua tipe dormansi, suhu berperan dalam perkembangan atau

    pelepasan dari dormansi. Benih dengan dormansi suhu seringkali

    memerlukan suhu yang berbeda dariyang diperlukan untuk proses

    perkecambahan. Dormansi suhu rendah ditemui pada kebanyakan

    jenis beriklim sedang.

    6. Dormansi gabungan Apabila dua atau lebih tipe dormansi ada dalam jenis yang

    sama,dormansi harus dipatahkan baik melalui metode beruntun

    yang bekerja padatipe dormansi yang berbeda, atau melalui

    metode dengan pengaruh ganda.

    B. Tipe Dormansi Berdasarkan Mekanismenya

    Berdasarkan mekanismenya ada dua tipe dormansi yang

    berhubungan dengan lokasi dormansi pada bagian benih, yaitu

    dormansi embrio dan dormansi kulit benih (Villiers, 1972;

    Bewley dan Black, 1985; Pukittayacamee, 1990).

    A. Dormansi embrio Terjadi ketika embrio belum masak atau embrio dorman

    dimana benih yang viabel tidak mampu berkecambah meskipun

    berada pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk

    perkecambahan. Dormansi embrio diduga melibatkan beberapa

    pengendali seperti :

    1. Kotiledon Pada banyak kasus kotiledon berperan dalam

    menghalangi pertumbuhan sumbuembrio dorman. Hal ini

    ditunjukkan oleh beberapa percobaan yang membuktikan

    bahwa satu atau kedua kotiledon yang dipotong akan

    merangsang perkecambahan lebih cepat. Pada benih ulin

  • 11

    (Eusidiroxylon zwagery) pemotongan kotiledon mampu

    meningkatkan perkecambahan benih (Nurhasybi dan Sudrajat,

    2006). Dasar fisiologi dan biokimia peran kotiledon dalam

    dormansi belum banyak diketahui. Informasi awal

    menunjukkan bahwa Abscisic acid (ABA) diturunkan dari

    testa yang berada dalam kotiledon.

    2. Inhibitor (penghambat perkecambahan) Inhibitor penting yang ditemukan dalam banyak embrio

    dorman adalah Abscisic acid (ABA). Ini ditunjukkan oleh

    penemuan bahwa proses pembesaran dan penghijauan embrio

    akan terhambat pada kotiledon yang dilembabkan dengan

    larutan ABA (Pukittayacamee, 1990). Dengan demikian

    inhibitor khususnya yang ada dalam kotiledon mampu

    mengendalikan pertumbuhan embrio. Beberapa hal yang

    memperkuat dugaan ini adalah:

    a. Inhibitor ditemukan dalam embrio pada sebagian besar jenis yang memiliki embrio dorman.

    b. Pencucian inhibitor mampu meningkatkan perkecambahan pada embrio dorman yang diisolasi

    c. Perlakuan pemecahan dormansi pada beberapa kasus menyebabkan turunnya tingkat inhibitor pada embrio.

    Mekanisme penghambatan perkecambahan oleh ABA diduga

    karena ABA dapat mengurangi energi yang diperlukan untuk

    pertumbuhan akar. Menurut Mayer dan Mayber (1982), ABA

    menghambat metabolisme asam nukleat terutama RNA sehingga

    mengganggu proses translasi mRNA. Senyawa mRNA sangat

    penting dalam proses sintesis protein enzim yang diperlukan

    sebagai katalisator reaksi-reaksi oksidasi dan reduksi dalam siklus

    respirasi termasuk Siklus Kreb yang menghasilkan energi.

    Tingginya kadar ABA pada kotiledon akan menghambat produksi

    energi yang dibutuhkan oleh embrio untuk menembus kulit benih

    yang keras.

    B. Dormansi benih

  • 12

    Pada sebagian besar jenis disebabkan oleh struktur yang

    menyelimuti embrio yang disebut kulit benih (termasuk struktur

    yang mengelilingi benih seperti glumme, lemma, palea, perikarp,

    dan testa). Contoh dormansi yang banyak disebabkan oleh kulit

    benih adalah pada benih jenis-jenis legum (Acacia spp., Albizia

    sp., Casia sp. dan Paraserianthes falcataria) yang mempunyai

    kulit benih kedap air. Mekanisme dormansi kulit benih belum

    banyak dimengerti, namun beberapa bukti dapat menunjukkan

    kemungkinan bahwa struktur yang menyelimuti benih dapat

    mempertahankan embrio tidak berkecambah (Copeland dan

    McDonald, 1985; Murniati, 1995) karena :

    1. Menghambat penyerapan air. 2. Menghambat pengambilan oksigen. 3. Berisi zat kimia inhibitor. 4. Berperan dalam menghalangi pelepasan inhibitor dari

    embrio.

    5. Menghalangi masuknya cahaya ke embrio. 6. Pembatasan mekanik sehingga struktur penting (poros

    embrio) tidak dapat menembus kulit benih.

    2.5 Perkecambahan

    Perkecambahan adalah proses pertumbuhan embrio

    dan komponen-komponen biji yang memiliki kemampuan

    untuk tumbuh secara normal menjadi tumbuhan baru

    (Sudjadi, 2006).

    2.6 Tipe-tipe Perkecambahan

    Adapun tipe-tipe perkecambahan ada tumbuhan adalah

    sebagai berikut :

    1. Tipe Perkecambahan Epigeal Yaitu pertumbuhan radikula diikuti dengan memanjangnya

    hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon yang

    masih menutup dan plumula ke atas permukaan tanah. Kotiledon

    kemudian terpisah satu sama lain dan menjadi daun pertama yang

    berfotosintesis (paracotyledons). Paracotyledon ini secara

  • 13

    morfologi berbeda dengan daun sebenarnya, paracotyledon tidak

    berkembang menjadi lebih besar, tidak mempunyai urat daun dan

    mempunyai struktur tidak berdaging, sejalan dengan

    perkembangan epikotil dan plamula, paracotyledon kemudian

    gugur (Schmidth, 2002).

    2. Tipe Perkecambahan Hipogeal Adalah perkecambahan yang menghasilkan kecambah

    dengan kotiledon tetap berada di bawah permukaan tanah. Dalam

    proses perkecambahan, plumula dan radikel masing-masing

    menembus kulit benih. Radikel menuju ke bawah dilinungi oleh

    koleoriza, dan plumula menuju ke atas dilindungi oleh koleoptil.

    Setelah kolepotil menembus permukaan tanah dari bawah

    mencapai udara, lalu membuka dan plumula terbebas dari

    lindungan koleoptil dan terus tumbuh dan berkembang,

    sedangkan koleotil sendiri berhenti tumbuh (Franklin, 1991).

    3. Perkecambahan Semi Hipogeal Adalah perkecambahan dimana kotiledon muncul dari biji

    tetapi mereka tetap berada di permukaan tanah dan biasanya tidak

    berfotosintesis. Jenis perkecambahan menengah seperti semi

    hipogeal telah tercatat terjadi pada bibit beberapa spesies yang

    muncul dengan kotiledon terpisah (phanerocotylar), tetap pada

    permukaan tanah dan tidak ditinggikan oleh hipokotil (Lobo,

    2014).

    4. Perkecambahan Precocious Perkecambahan Precocius (dewasa sebelum waktunya)

    adalah keadaan dimana benih berkecambah tapi tanpa menjalani

    empat tahap perkecambahan, yaitu bulat, bentuk hati, torpedo,

    dan tahap kotiledon. Kadar ABA (Abscisic Acid) yang ada selama

    perkembangan embrio mungkin dapat memblokir perkecambahan

    dewasa sebelum waktunya, sehingga ABA memungkinkan biji

    untuk menyelesaikan pematangan (Quatrano, 1986). Dalam biji

    tomat, tingkat ABA meningkat selama pertumbuhan embrio dan

    menurun ketika biji matang dan dehidrasi. Selama tahap akhir

    pematangan biji tomat, tingkat ABA pada embrio dan endosperm

    menurun (Hocher etal., 1991). ABA endogen mampu

  • 14

    menginduksi dormansi selama perkembangan benih tetapi

    perkecambahan dewasa sebelum waktunya dalam biji, dapat

    ditekan oleh stres osmotik. Dalam biji, ABA berfungsi untuk

    penyerapan gula yang dibutuhkan untuk pengembangan kotiledon

    yang normal (Pence, 1992).

    5. Tipe perkecambahan durian Yaitu hipokotil memanjang tetapi kotiledon tidak muncul

    dari dalam tanah karena kotiledon telah keluar saat masih tertutup

    dalam kulit biji. Hasil perkecambahan tidak berfungsi untuk

    fotosintesa (Gbadamosi, 2004).

    6. Tipe perkecambahan Vivipari Adalah perkecambahan dimana embrio keluar dari perikarp

    selagi masih menempel pada ranting pohon, kadang-kadang

    berlangsung lama pada pohon induknya. Vivipari terjadi pada

    Bruguiera, Ceriops, Rhizophora, Kandelia dan Nypa. Viviparitas

    ini merupakan mekanisme adaptasi terhadap beberapa aspek

    lingkungan, diantaranya bertujuan untuk mempercepat perakaran,

    pengaturan kadar garam, keseimbangan ion, perkembangan daya

    apung dan memperpanjang waktu memperoleh nutrisi dari induk.

    Kriptovivivari adalah perkecambahan dimana embrio

    berkembang dalam buah, tapi tidak mencukupi untuk keluar dari

    pericarp. Kriptovivipari terjadi pada Aegialitis, Acanthus,

    Avicennia, Laguncularia dan Pelliciera.

    2.7 Mekanisme Perkecambahan

    Mekanisme perkecambahan menurut Mader (2010)

    adalah sebagai berikut:

  • 15

    Proses perkecambahan pada eudicots mengalami tahapan

    yang berbeda. Awalnya zigot akan membelah ke dalam sel basal

    dan sel terminal. Ketika sel basal membelah dan memanjang

    untuk membentuk suspensor, yaitu sel terminal yang menjadi sel

    embrio. Embrio melewati tahapan globular (spherical) dan

    membentuk fase hati (heart). Ketika embrio melanjutkan

    pemanjangan dan berdiferensiasi, embrio akan memasuki fase

    torpedo dimana meristem akar, meristem pucuk (Shoot meristem)

    dan kotiledon menjadi kelihatan atau lebih tampak jelas. Pada

    gambar terlihat (a) Biji setelah terfertilisasi (me = micropylar

    end), (b) Biji membelah menunjukkan micropylar end dengan

    endosperm cells (en) dan globular embryo (em), (c) Globular

    embryo dengan suspensor, (d) Sisa lengan micropylar setelah

    hilang dari suspensor, (e) Globular embryo, (f) Heart embryo (cp

    = cotyledon primordia), (g) and (h) Awal dan akhir torpedo

    embryos, (i) dan (j) Fase kotiledon dan mature embryo dengan

    kotiledon yang memanjang, (k) Kotiledon yang membesar (co)

    dan hipokotil, atau sumbu embrionik (dari sisipan pada j), (l)

    Radicle tip yang menunjukkan embryonic root apical meristem

    (ram), (m) Embryonic shoot apical meristem (sam) dan

    menginisiasi pembentukan daun, atau primordia daun/leaf

    primordia (lp), (n) dan (o) Mature embryonic cotyledon (N) dan

    hipokotil (O) pada sisi yang berlawanan (Mader, 2010).

    Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian

    kompleks dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan

    biokimia. Tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai

    dengan proses penyerapan air oleh benih, melunaknya kulit benih

    dan hidrasi dari protoplasma. Imbibisi terjadi pada waktu biji

    kering yang tidak mempunyai kulit biji yang kedap diletakkan

    dalam kontak dengan air sebagaimana biji dalam tanah.

  • 16

    Sementara air masuk, bahan-bahan koloid, terutama protein

    cenderung untuk menggembung dan penggembungan ini sering

    kali bertanggungjawab dalam pemecahan kulit biji. Derajat

    kontak antara tanah dan biji adalah penting untuk laju imbibisi

    karena air dalam tanah yang tak jenuh terdapat selaput tipis

    disekitar partikel-partikel tanah dan hanya bagian kulit biji yang

    berhubungan dengan selaput tersebut untuk pengambilan air

    (Goldsworthy dan Fisher, 1996).

    Tahap kedua dimulai dengan kegiatan-kegiatan sel dan

    enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih. Tahap ketiga

    merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan seperti

    karbohidrat, lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang

    melarut dan ditranslokasikan ketitik-titik tumbuh. Tahap keempat

    adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah diuraikan tadi di

    daerah meristematik untuk menghasilkan energi bagi kegiatan

    pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap

    kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses

    pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titk

    tumbuh. Sementara daun belum dapat berfungsi sebagai organ

    untuk fotosintesa maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung

    pada persediaan makanan yang ada dalam biji (Sutopo, 2004).

    2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan

    Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan

    (Sutopo, 2004) adalah sebagai berikut : a. Faktor internal meliputi kemasakan benih, ukuran benih,

    dormansi, dan penghambat perkecambahan

    b. Faktor eksternal meliputi suhu, kadar air, oksigen, cahaya dan medium pertumbuhan.

  • 17

    BAB III

    METODOLOGI

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

    Praktikum fisiologi tumbuhan materi dormansi dilakukan

    pada 7 November 2014 pukul 07.00 10.40 WIB di Laboratorium Botani Jurusan Biologi FMIPA ITS.

    3.2 Metode yang Digunakan

    3.2.1 Alat

    Alat-alat yang dibutuhkan dalam praktikum ini adalah pot

    (bekas air mineral 1,5 L), media tanam berupa tanah berpasir dan

    pupuk dengan perbandingan 1:1, kertas atau alat gosok (amplas

    atau gerinda), cutter dan kertas label.

    3.2.2 Bahan

    Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini adalah

    biji Akasia (Acacia sp.), larutan HCl, larutan NaOH, dan aquades

    atau air PAM.

    3.2.3 Cara Kerja

    Langkah yang dilakukan adalah disiapkan 12 biji Akasia

    (Acacia sp.). Kemudian keseluruhan biji tersebut dibagi menjadi

    4 perlakuan. Dengan masing-masing perlakuan dalam 1

    wadah/pot berisi 3 biji.

    a. Perlakuan kontrol

    Langkah pertama, dimasukkan media tanam berupa

    tanah berpasir dan pupuk dengan perbandingan 1:1 ke dalam

    wadah/pot. Setelah itu biji dimasukkan ke dalam media

    tanam dan disiram dengan aquades atau air PAM. Dilakukan

    pengukuran perkecambahan selama 14 hari. b. Perlakuan dengan KNO3

    Langkah pertama, dimasukkan media tanam berupa

    tanah berpasir dan pupuk dengan perbandingan 1:1 ke dalam

    wadah/pot. Setelah itu biji direndam dalam larutan KNO3

    selama 15 menit dimasukkan ke dalam media tanam dan

  • 18

    disiram dengan aquades atau air PAM. Dilakukan

    pengukuran perkecambahan selama 14 hari. c. Perlakuan dengan HCl

    Langkah pertama, dimasukkan media tanam berupa

    tanah berpasir dan pupuk dengan perbandingan 1:1 ke dalam

    wadah/pot. Setelah itu biji direndam dalam larutan HCl

    selama 15 menit dimasukkan ke dalam media tanam dan

    disiram dengan aquades atau air PAM. Dilakukan

    pengukuran perkecambahan selama 14 hari. d. Perlakuan dengan skarifikasi Langkah pertama, dimasukkan media tanam berupa

    tanah berpasir dan pupuk dengan perbandingan 1:1 ke dalam

    wadah/pot. Setelah itu biji diamplas dengan kertas gosok

    dan dimasukkan ke dalam media tanam dan disiram dengan

    aquades atau air PAM. Dilakukan pengukuran

    perkecambahan selama 14 hari.

  • 19

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Fungsi Perlakuan

    Praktikum dormansi bertujuan untuk mematahkan

    dormansi biji berkulit keras dengan perlakuan fisik dan kimia.

    Bahan yang digunakan adalah biji Acacia sp. Dipilih biji Acacia

    sp. untuk mengetahui pengaruh perlakuan skarifikasi, serta

    pemberian KNO3 dan HCl terhadap dormansi suatu biji. Pada

    percobaan dormansi langkah pertama yang dilakukan adalah

    disiapkan 4 botol aqua yang sebelumnya telah dibelah terlebih

    dahulu. Hal ini bertujuan agar mempermudah proses pengamatan

    dormansi biji, serta komposisi antara banyaknya tanah dan

    besarnya botol aqua seimbang. Selanjutnya botol aqua diberi

    tanah dan pupuk kompos dengan perbandingan 1:1. Dipilih biji

    acacia sp. sebanyak 12 buah, dipilih biji yang berkualitas unggul

    agar mempermudah proses dormansi. Selanjutnya biji diberi

    perlakuan yang berbeda-beda. 3 biji diberi perlakuan skarifikasi,

    hal ini bertujuan agar diketahui peran skarifikasi pada proses

    pematahan dormansi, 3 biji diberi perlakuan dengan direndam di

    larutan KNO3, hal ini bertujuan agar diketahui peran KNO3 dalam

    pematahan dormansi, lalu 3 biji diberi perlakuan dengan

    direndam di larutan HCL, hal ini bertujuan agar diketahui peran

    HCl dalam pematahan dormansi. Selanjutnya 3 biji terakhir

    ditanam biasa diatas tanah sebagai kontrol, tujuannya sebagai

    pembanding dengan perlakuan yang lain. Direndam selama 15 menit, tujuannya untuk mematahkan masa dormansi biji dan

    mempermudah proses imbibisi air yang merupakan awal proses

    perkecambahan. Pada perlakuan perendaman, diangkat biji dari

    larutan KNO3 dan HCL, selanjutnya ditanam pada botol aqua

    yang sebelumnya telah diberi tanah dan pupuk kompos.

    Diletakkan biji dengan cara diberi jarak antar satu biji dengan biji

    lainnya, tujuannya agar terlihat perbandingan proses dormansi

    yang terjadi pada ketiga biji. Pada perlakuan skarifikasi, diamplas

    biji hingga permukaan luarnya mengelupas, tujuannya agar

    merusak bagian luar kulit biji dan mempermudah pematahan

  • 20

    dormansi. Selanjutnya biji ditanam di tanah dengan diberi jarak

    antar satu biji dengan biji lainnya. Pada perlakuan kontrol,

    ditanam 3 biji pada botol aqua yang telah diberi campuran tanah

    dan pupuk kompos. Diberi label pada tiap botol aqua, agar

    mempermudah saat proses pengamatan. Disiram setiap hari, agar

    mencegah terjadinya kekeringan pada biji. Setelah itu diamati

    selama 14 hari jumlah biji yang berkecambah pada tiap-tiap

    perlakuan.

    4.2 Persentase Perkecambahan

    Berdasarkan percobaan di atas, dapat dihasilkan data

    sebagai berikut : Tabel 2. Hasil pengukuran perkecambahan

    Hari

    Panjang akar Panjang batang

    Biji

    1

    Biji

    2

    Biji 3 Biji 1 Biji 2 Biji 3

    1 0 0 0 0 0 0

    2 0 0 0 0 0 0

    3 0 0 0 0 0 0

    4 0 0 0 0 0 0

    5 0 0 0 0 0 0

    6 0 0 0 0 0 0

    7 0 0 0 0 0 0

    8 0 0 0 0 0 0

    9 0 0 0 0 0 0

    10 0 0 0 0 0 0

    11 0 0 0 0 0 0

    12 0 0 0 0 0 0

    13 0 0 0 0 0 0

    14 0 0 0 0 0 0

    Persentase perkecambahan :

    % perkecambahan =

    100%

  • 21

    Berdasarkan perhitungan persentase perkecambahan,

    didapatkan hasil nol / 0% perkecambahan yang terjadi pada biji

    Akasia (Acacia sp.). Dilihat dari tabel tersebut, dapat diketahui

    bahwa biji Akasia (Acacia sp.). masih mengalami dormansi,

    ditinjau dari pertumbuhan biji dari hari ke 1 hingga hari ke 14

    belum mengalami pertumbuhan akar maupun batang. Berikut

    adalah gambar hasil pematahan dormansi:

    Gambar 1. Dormansi

    Kontrol

    Gambar 2. Perlakuan

    KNO3

    Gambar 3. Perlakuan

    HCl

    Gambar 4. Perlakuan

    Skarifikasi

  • 22

    Sehingga grafik perkecambahan untuk semua perlakuan

    adalah sebagai berikut :

    Gambar 5. Grafik Perkecambahan

    Pada gambar di atas menunjukkan bahwa biji dari hari ke

    1 hingga hari ke 14 belum menunjukkan adanya perkecambahan

    atau pertumbuhan akar dan batang. Pada hari ke 14 terlihat biji

    masih dalam keadaan tetap atau tidak terlihat adanya pemecahan

    dormansi baik untuk perlakuan KNO3, HCl, skarifikasi dan

    kontrol. Jika dibandingkan antara perlakuan KNO3, HCl, dan

    skarifikasi dengan kontrol, tidak nampak perbedaan pematahan

    dormansi secara signifikan. Ketiga pretreatment yang telah

    dilakukan memiliki hasil yang sama dengan kontrol. Sehingga

    dapat dianalisa bahwa biji Akasia (Acacia sp.) masih dalam

    keadaan dormansi meskipun diberikan perlakuan secara fisik

    maupun perlakuan secara kimia.

    Berdasarkan pengamatan dormansi selama 14 hari pada

    biji Acacia sp. Didapatkan semua biji pada setiap perlakuan tidak

    tumbuh atau dapat dikatakan masih dalam keadaan dormansi. Hal

    ini ditunjukkan pada biji tidak terlihat adanya epikotil maupun

    rizoid yang menandakan berakhirnya masa dormansi biji. Tidak

    tumbuhnya biji dimungkinkan disebabkan karena kondisi

    lingkungan yang kurang sesuai dan ketidaksiapan biji untuk

    memulai perkecambahan, karena sebelum dikecambahkan biji

    0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1

    H1 H3 H5 H7 H9 H11 H13

    Pa

    nja

    ng

    Ak

    ar

    Grafik Perkecambahan

    Biji 1

    Biji 2

    Biji 3

  • 23

    kontrol maupun perlakuan lainnya tidak diawali dengan

    perendaman di dalam air tetapi langsung diberi perlakuan seperti

    Skarifikasi dan penambahan senyawa HCl maupun KNO3.

    Menurut Nuraeni dan Maemunah (2003), Pemecahan biji atau

    pengakhiran masa dormansi dipengaruhi kondisi lingkungan

    sekitar biji yaitu ketersediaan air pada medium tunbuh.

    Perendaman dengan air sebelum dikecambahkan mendorong

    proses pemasakan embrio dan meningkatnya permeabilitas kulit

    benih sehingga memungkinkan penyerapan ataupun imbibisi dan

    gas - gas yang diperlukan dalam proses perkecambahan. Imbibisi

    berlangsung jika potensial osmotik larutan di sekitar benih lebih

    rendah daripada osmotik di dalam sel-sel benih (Nuraeni dan

    Maemunah, 2003)

    Struktur biji Acacia sp. juga mempengaruhi proses

    imbibisi air kedalam biji. Kedapnya kulit benih Acacia sp.

    terhadap air atau O2 serta kulit benih tersebut terlalu keras karena

    adanya lapisan lilin menyebabkan resistensi mekanis. Sedangkan

    embrio yang memiliki daya untuk berkecambah tidak dapat

    menyobek kulit dan tunas sehingga epikotil tidak dapat keluar

    untuk tumbuh sebagaimana mestinya. Air di dalam proses

    perkecambahan berfungsi untuk mencairkan zat - zat makanan

    yang berada dalam keping biji yang disalurkan di dalam lembaga

    (Jenita, AN., 2011).

    Proses Imbibisi lebih mudah terjadi pada biji kering yang

    tidak mempunyai kulit biji yang kedap diletakkan dalam kontak

    dengan air sebagaimana biji dalam tanah. Sementara air masuk,

    bahan-bahan koloid, terutama protein cenderung untuk

    menggembung dan penggembungan ini sering kali

    bertanggungjawab dalam pemecahan kulit biji. Derajat kontak

    antara tanah dan biji adalah penting untuk laju imbibisi karena air

    dalam tanah yang tak jenuh terdapat selaput tipis disekitar

    partikel-partikel tanah dan hanya bagian kulit biji yang

    berhubungan dengan selaput tersebut untuk pengambilan air

    (Goldsworthy dan Fisher, 1996).

  • 24

    Peningkatan konsentrasi zat-zat terlarut di luar benih

    dapat memperlambat kecepatan imbibisi benih. Benih dapat

    mengalami kekeringan fisiologis, bahkan jika konsentrasi larutan

    luar sel benih lebih tinggi, maka dapat terjadi pergerakan air

    dalam benih mengalami plasmolisis (Mugnisjah, 1994). Pada

    beberapa biji yang dibiarkan tunbuh dengan penyiraman air yang

    terlalu banyak serta proses penaburan biji yang kurang steril

    menyebabkan infeksi jamur pada biji sehingga mempengaruhi

    pertumbuhan biji.

    Menurut Sunarti S., et.al (2012) Penaburan benih

    biasanya dilakukan di dalam laminar airflow, 1 benih per tabung.

    Penaburan dengan cara ini dilakukan untuk membuat kondisi

    perkecambahan seseragam mungkin dan menghindari adanya

    kontaminasi jamur yang biasa menyerang biji apabila ditabur

    pada bak tabur di lapangan. Benih yang telah ditabur kemudian

    diletakkan di atas rak yang telah dilengkapi dengan penyinaran

    lampu TL (Sunarti S., et.al. 2012).

    4.3 Peran KNO3

    Pada perlakuan dengan pemberian larutan KNO3 (Kalium

    Nitrat/Potassium Nitrat) sebagai mekanisme pematahan dormansi

    biji Akasia secara kimia didapatkan hasil bahwa sepanjang hari ke

    1 hingga hari ke 14 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan.

    Terlihat di gambar 2, dapat diketahui tidak adanya pertumbuhan

    akar maupun batang. Jika dibandingkan dengan kontrol terlihat

    tidak ada perbedaan yang signifikan atau biji masih dalam

    keadaan dormansi untuk perlakuan pematahan dormansi secara

    kimia menggunakan KNO3 dengan perlakuan kontrol. Sehingga

    dapat dianalisa bahwa biji Akasia membutuhkan waktu yang lama

    untuk melakukan pematahan dormansi dan perkecambahan.

    Menurut ISTA (1996); diacu dalam Schmidth (2002),

    upaya yang lain dalam pematahan dormansi biji adalah dengan

    menggunakan Potassium Nitrat (KNO3) merupakan salah satu

    perangsang perkecambahan yang sering digunakan. KNO3

  • 25

    digunakan baik dalam hubungannya dengan pengujian dan dalam

    operasional perbanyakan tanaman.

    KNO3 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap

    persentase perkecambahan dan vigor pada perlakuan pendahuluan

    asam benih Acacia nilotica (Palani et al. 1995 diacu dalam

    Schmidth 2002). KNO3 sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu

    serta untuk mempercepat penerimaan benih akan O2

    (Kartasapoetra, 2003).

    KNO3 merupakan salah satu perangsang perkecambahan

    yang sering digunakan. Menurut Hartmann et al.(1997) dalam

    Schmidth (2000), KNO3 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap

    presentase perkecambahan dan vigor pada perlakuan pendahuluan

    asam benih Acacia nilotica. Pada konsentrasi 1% perkecambahan

    meningkat dari 37% menjadi 79% dan pada konsentrasi 2%

    meningkat menjadi 85%. Sedangkan menurut Widhityarini

    (2011), KNO3 2% mampu meningkatkan daya berkecambah

    benih kacang tanah varietas Gajah dari 60% menjadi 80% dengan

    lama perendaman selama 48 jam. Hasil penelitian Saleh et al.,

    (2008), menyatakan bahwa benih aren berkecambah terbanyak

    diperoleh pada perlakuan skarifikasi dan KNO3 0,5% yang

    direndam selama 36 jam dan pada suhu 400C yang

    dikecambahkan pada media tumbuh pupuk organik dengan tanah

    (1:1) yaitu daya berkecambah 83,33 - 86,67. Dari data tersebut

    dapat disimpulkan bahwa KNO3 dengan konsentrasi 2% dapat

    mempercepat proses perkecambahan biji tanaman.

    4.4 Peran HCl

    Pada perlakuan dengan pemberian larutan HCl sebagai

    mekanisme pematahan dormansi biji Akasia didapatkan hasil

    bahwa sepanjang hari ke 1 hingga hari ke 14 tidak menunjukkan

    adanya pertumbuhan. Terlihat di gambar 3, dapat diketahui tidak

    adanya pertumbuhan akar maupun batang. Jika dibandingkan

    dengan kontrol terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan atau

    biji masih dalam keadaan dormansi untuk perlakuan pematahan

    dormansi secara kimia menggunakan HCl dengan perlakuan

  • 26

    kontrol. Sehingga dapat dianalisa bahwa biji Akasia

    membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan pematahan

    dormansi dan perkecambahan.

    Menurut Sagala (1990), tanaman akasia mempunyai

    benih dengan kulit yang keras. Hal ini akan menghambat proses

    perkecambahan benih. Kulit benih ini sedemikian kerasnya

    sehingga bila akan di semai perlu diberi perlakuan khusus.

    Perlakuan khusus ini dapat dilakukan dengan cara fisik maupun

    kimia. Salah satu perlakuan kimia yang dilakukan adalah dengan

    cara merendam benih dalam HCl. Pada penelitian Novendra

    (2010) menyatakan bahwa perendaman HCl 5% dapat

    meningkatkan laju pertumbuhan biji Acacia dengan lama

    perendaman 72 jam. Dapat disimpulkan bahwa HCl 5% dapat

    menumbuhkan biji tanaman. Sadjad et al. (1975) menyatakan

    bahwa perlakuan kimia (biasanya asam kuat) yang digunakan

    dapat membebaskan koloid hidrofil sehingga tekanan imbibisi

    meningkat dan akan meningkatkan metabolisme benih. Perlakuan

    kimia seperti HCL pada prinsipnya adalah membuang lapisan

    lignin pada kulit biji yang keras dan tebal sehingga biji

    kehilangan lapisan yang permiabel terhadap gas dan air sehingga

    metabolisme dapat berjalan dengan baik.

    Menurut Harjadi (1979), perendaman benih dalam asam

    klorida selama 15 menit berpengaruh pada pelunakan kulit benih

    bagian luar (testa), sedangkan menurut Bewley dan Black (1978)

    asam klorida dapat mempegaruhi perkecambahan melalui

    peningkatan temperatur. Apabila temperatur pada saat

    pengenceran HCl tinggi, maka akan meningkatkan imbibisi HCl

    ke dalam benih. Perlakuan perendaman dengan HCl

    dikombinasikan dengan lama perendaman yang berbeda akan

    mempengaruhi banyaknya larutan HCL yang terserap kedalam

    benih. Semakin pekat HCl yang digunakan maka perendaman

    semakin cepat (Harjadi, 1979).

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan lama

    perendaman tidak berpengaruh terhadap persentase

    perkecambahan. Hal ini karena konsentrasi HCl belum terlalu

  • 27

    pekat sehingga hanya melunakkan kulit benih dan pada

    perendaman 15 menit HCl tidak terserap sampai embrio sehingga

    embrio tidak mengalami kerusakan. Perendaman benih dalam

    HCl menyebabkan kulit benih menjadi lunak, air dan gas dapat

    berdifusi masuk selama proses perendaman (Salisbury dan Ross,

    1995; Isbandi, 1989).

    Proses pelunakan kulit benih melalui mekanisme sebagai

    berikut : dinding sel tersusun atas mikrofibril selulosa yang terikat

    pada matrik nonselulosik polisakarida. Mikrofibril selulosa terdiri

    dari protein, pektin dan polisakarida. Pektin dapat berubah

    menjadi Ca pektat melalui reaksi esterisasi dengan menambahkan

    Ca2+

    . Perlakuan HCl dalam hal ini adalah merubah posisi ion Ca2+

    dari subtansi pektin, dikarenakan HCl melepaskan hydrogen pada

    mikrofibril selulosa. Pengikatan komponen matrik satu dengan

    komponen matrik yang lain melalui ikatan hidrogen. Salah satu

    komponen matrik yaitu siloglukan yang terikat dengan serat

    mikrofibril selulosa dengan membentuk ikatan hidrogen. Ikatan

    hidrogen ini mudah lepas dengan adanya HCl sehingga terjadi

    perubahan komponen dinding sel kemudian dinding sel

    melonggar, turgor menjadi berkurang dan kulit benih menjadi

    lunak (Wareing dan Phillips, 1989).

    Setelah terjadi penyerapan air, enzim diaktifkan dan

    masuk ke dalam endosperm dan mendegradasi zat cadangan

    makanan Enzim amilase merombak pati menjadi glukosa, enzim

    lipase merombak lemak menjadi asam lemak dan gliserol,

    sedangkan enzim protease merombak protein menjadi asam

    amino. Senyawa-senyawa sederhana ini akan ditrasport ke embrio

    untuk pertumbuhan. Selain itu dari aktivitas kerja enzim protease

    akan dihasilkan asam amino yang berguna untuk pembentukan

    protein baru misalnya amilase. Apabila enzim amilase semakin meningkat maka proses hidrolisis amilum menjadi gula

    sederhana dapat berlangsung lebih cepat. Pembentukan amylase juga dipengaruhi oleh giberelin yang ada dalam embrio. Pada

    awal perkecambahan asam giberelin diaktifkan untuk membentuk

    amylase (Gardner dkk, 1991).

  • 28

    Asam klorida adalah larutan akuatik dari gas hidrogen

    klorida (HCl). Asam klorida adalah asam kuat. Senyawa ini juga

    digunakan secara luas dalam industri. Ciri fisik asam klorida,

    seperti titik didih, titik leleh, kepadatan, dan pH tergantung dari

    konsentrasi atau molarity dari HCl di dalam larutan asam.

    Perendaman Dengan Larutan Asam Kuat (HCl) menyebabkan

    kerusakan pada kulit biji dan dapat diterapkan baik pada legum

    dan non legum. Lamanya perlakuan larutan HCl harus

    memperhatikan kulit biji atau pericarp dapat diretakkan untuk

    memungkinkan imbibisi dan larutan asam tidak mengenai embrio.

    Perendaman selama 1 10 menit terlalu cepat untuk dapat mematahkan dormansi, sedangkan perendaman selama 60 menit

    atau lebih dapat menyebabkan kerusakan. Larutan asam kuat

    seperti HCl sering digunakan dengan konsentrasi yang bervariasi

    tergantung jenis benih yang diperlakukan, sehingga kulit biji

    menjadi lunak. Disamping itu pula larutan kimia yang digunakan

    dapat pula membunuh cendawan atau bakteri yang dapat

    membuat benih dorman. Perlakuan perendaman dengan

    menggunakan HCl terhadap parameter yang diamati berupa

    jumlah benih yang berkecambah, dan waktu perkecambahan

    tidak menunjukan pengaruh yang nyata.

    Wattimena (1987) menyatakan bahwa jenis asam kuat

    yang diberikan hanya efektif pada jumlah tertentu. Pengenceran

    yang terlalu tinggi tidak akan merusak bagian yang kulit benih,

    sedangkan konsentrasi yang rendah menjadi tidak efektif. Dari

    hasil analisis data terhadap perendaman dengan HCl yang

    diberikan tidak menunjukan pengaruh yang nyata terhadap

    parameter yang diamati. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan

    Isbandi (1984) bahwa zat pengatur tumbuh yang berasal dari

    embriolah yang memegang peranan penting terhadap

    perkecambahan benih. Hasil analisis yang menunjukan bahwa

    perlakuan HCl tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang

    diamati, berarti HCl yang diperlakukan pada benih Acacia sp.

    tidak mampu untuk mengaktifkan embryonic, hal itu dikarenakan

    kurang lamanya waktu perendaman serta kadar pengenceran yang

  • 29

    terlalu tinggi. Jika hasilnya dibandingkan dengan kontrol, tidak

    dapat dilihat perbedaanya dikarenakan hasil kontrol juga tidak

    mengalami perkecambahan. Hal ini dikarenakan benih Acacia sp.

    mengalami kekurangan asupan air selama proses perkecambahan

    berlangsung.

    4.5 Peran Skarifikasi

    Pada perlakuan skarifikasi (perlukaan) sebagai

    mekanisme pematahan dormansi biji Akasia secara didapatkan

    hasil bahwa sepanjang hari ke 1 hingga hari ke 14 tidak

    menunjukkan adanya pertumbuhan. Terlihat di gambar 4, dapat

    diketahui tidak adanya pertumbuhan akar maupun batang. Jika

    dibandingkan dengan kontrol terlihat tidak ada perbedaan yang

    signifikan atau biji masih dalam keadaan dormansi untuk

    perlakuan pematahan dormansi secara fisik yaitu perlukaan

    (skarifikasi) dengan perlakuan kontrol. Sehingga dapat dianalisa

    bahwa biji Akasia membutuhkan waktu yang lama untuk

    melakukan pematahan dormansi dan perkecambahan.

    Pada benih yang dormansinya tidak bisa dipatahkan secara

    efektif dengan menggunakan perendaman dalam air, terutama jika

    kulit benihnya tebal seperti benih Acacia sp., maka perlakuan

    fisik lebih diperlukan, yaitu dengan cara skarifikasi. Teknik

    perlakuan dan metode perkecambahan yang terbaik di

    laboratorium yaitu perlakuan benih dicabik dengan menggunakan

    metode perkecambahan UDK. Hal ini sesuai dengan hasil

    penelitian sebelumnya bahwa perlakuan pendahuluan yang tepat

    untuk benih Acacia sp. adalah dengan cara mencabik kulit benih

    pada punggung endosperm dengan gunting kuku (Iriantono, et

    al.,1999). Berdasarkan literature tersebut, hal yang sama juga

    dilakukan pada biji Acacia sp. pada penelitian kami. Namun

    berbeda dengan literature, pada penelitian ini skarifikasi

    dilakukan dengan cara diamplas. Hasil yang didapatkan pada

    pengujian dengan perlakuan skarifikasi menunjukkan hasil yang

    negatif dimana biji tidak melakukan perkecambahan sampai hari

    ke 14.

  • 30

    Pada penelitian yang dilakukan oleh Gaol dan Fox (2009)

    menunjukkan biji Akasia dengan perlakuan seperti skarifikasi dan

    pemberian KNO3 memiliki waktu untuk berkecambah pada hari

    ke 20. Dan perlakuan pada biji tersebut membuat biji lebih cepat

    berkecambah jika dibandingkan dengan tanaman kontrol. Jika

    dibandingkan dengan literature tersebut, waktu yang diperlukan

    pada penelitian kami adalah 14 hari. Selama waktu tersebut tidak

    menunjukkan adanya perkecambahan baik pada biji kontrol atau

    biji dengan perlakuan. Diduga lama waktu pada penelitian ini

    belum cukup untuk mematahkan dormansi biji akasia. Selain itu

    diduga masih ada banyak factor yang mempengaruhi tidak

    terjadinya perkecambahan pada biji akasia antara lain faktor

    lingkungan.

    Skarifikasi merupakan salah satu proses yang dipercaya

    dapat mematahkan dormansi pada biji keras karena dapat

    meningkatkan imbibisi benih. Skarifikasi dilakukan dengan cara

    melukai benih sehingga terdapat celah tempat keluar masuknya

    air dan O2.

    Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa, dengan

    skarifikasi kulit biji maka ketebalan dan kerasnya kulit biji dapat

    dikurangi. Peresapan larutan zat perangsang pertumbuhan embrio

    pada benih yang diskarifikasi menjadi lebih mudah, sehingga

    daya pertumbuhan biji meningkat. Teknik skarifikasi kulit biji

    yang keras telah dilaksanakan untuk mempercepat

    perkecambahan biji dalam skala komersial. Sesuai dengan

    perlakuan dengan skarifikasi memberikan efek sedikit kurang

    baik sebab pada benih yang dilukai umumnya memiliki kecacatan

    tersendiri selama pertumbuhannya. Kecacatan ini dapat berupa

    calon bakal daun yang tidak utuh karena pelukaan benih terlalu

    dalam, ataupun efeknya setelah benih dilukai seperti bakal daun

    sedikit keriting, kerdil, akar tidak tumbuh sempurna, berjamur

    bahkan menjadi busuk. Hal ini dapat terjadi mungkin karena pada

    benih yang dilukai, terdapat celah yang mana larutan kimia dapat

    langsung menuju endosperm benih (Soedjono dan Suskandari,

    1996). Hal tersebut juga terjadi pada penelitian kami dimana ada

  • 31

    beberapa biji yang ditumbuhi jamur yang diduga karena tidak

    tepatnya perlukaan yang diberikan sehingga menghambat

    perkecambahan biji.

    Penelitian Gaol dan Fox (2009) menunjukkan pemberian

    kombinasi perlakuan akan semakin mempercepat perkecambahan

    biji berkulit keras. Kombinasi perlakuan tersebut antara lain:

  • 32

    Halaman ini sengaja dikosongkan

  • 33

    BAB V

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan bahwa

    perlakuan pematahan dormansi secara fisik dengan skarifikasi,

    dan perlakuan pematahan dormansi secara kimia dengan

    penambahan KNO3 dan HCl tidak memiliki pengaruh terhadap

    pematahan dormansi biji Akasia (Acacia sp.).

  • 34

    DAFTAR PUSTAKA

    Baskin, C.C. and J.M. Baskin. 2005. Seed Dormancy in Trees of

    Climax Tropical Vegetation Types. Tropical Ecology

    46(1): 17-28.

    Bewley, D dan M. Black. 1978. Physiology and biochemistry of

    Seed, Springer verlag, Berlin Heidlberg.

    Bewley, J.D. and M. Black. 1985. Seeds: Physiology of

    Development and Germination. Plenum Press. New York

    Campbell,N.A., J.B.Reece, & L.G. Mitchell. 2003. Biologi .Edisi

    ke-5. Jakarta: Erlangga

    Copeland, L.O. and M.B. McDonald. 1985. Principle of Seed

    Science and Technology. Burgess Publishing Company.

    Minneapolis, Minnesota.

    Franklin, G. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI PRESS :

    Jakarta.

    Franklin, G. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press :

    Jakarta.

    Gardner, F.W; P. Pearce dan Michen. 1991. Fisiologi

    Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman, Universitas Indonesia Press, Jakarta

    Gbadamosi, A. E and O. Oni. 2004. Effect of pretreatments on

    germination of seeds of the medicinal plant Enantia

    chlorantha Oliv. Food, Agriculture & Environment Vol.2

    (2) : 288-290. 2004

    Goldsworthy, P.R Fisher, N.M. 1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press.

    Yokyakarta

    Harjadi, S.S., 1979. Pengantar Agronomi. Penerbit PT

    Gramedia, Jakarta.

    Hartati, S.A. 1996. Pengaruh Metode Precuring dan Tingkat

    emasakan Kerucut terhadap Kualitas Benih Pinus

    merkusii Jungh et de Vriese. Skripsi Jurusan Manajemen

    Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

  • 35

    Hocher, V.; Sotta, B; Maldiney, R. & Miginiac, E. 1991.

    Changes in abscisic acid and its b-D-glucopyranosyl

    ester levels during tomato (Lycopersicon esculentum

    Mill.) seed development. Plant Cell Reports, 10:444-447.

    Isbandi. 1989. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman,

    UGM Press, Yogyakarta.

    Jenita, AN., 2011, Penyebaran dan Morfologi Kemiri (Aleurites sp.) diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25234/4/C

    hapter%20II.pdf pada hari senin 24 November 2014 jam

    14.58 WIB.

    Lobo, G. A, Denise, Garcia de Santana, Antonieta, Nassif

    Salomo, Luciana, Salazar Rehbein, and Anglica Polenz

    Wielewicki. 2014. A technological approach to the

    morphofunctional classification of seedlings of 50

    Brazilian forest species. Journal of Seed Science, v.36,

    n.1, p.087-093,

    Mader, Sylvia.2010.Essensials of Biology 3rd

    Edition.Pearson

    Education, Inc. Prentice Hall, UK.

    Mayer, A.M. and P. Mayber. 1982. The Germination of Seed.

    Pergamon Press Ltd. Oxford. New York. Toronto. Syney.

    Paris. Frankfurt.

    Mugnisjah, W.Q, Asep, S, Suwarto, Cecep,S. 1994. Panduan

    Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi

    Benih. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

    Novendra, M. Harri . 2010. Pengaruh Konsentrasi Larutan

    HCL dan Lama Perendaman Terhadap Pememcahan

    Dormansi Benih Acacia . Fakultas Pertanian Universitas

    Andalas. Sumatera Tengah. (Aleurites moluccana W).

    Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland Vol. 10 No. 3

    September 2003.

    Nuraeni dan Maemunah. 2003. Peran Air dan KNO3 dalam

    Pemecahan Dormansi Benih dan Pertumbuhan Bibit

    Kemiri

  • 36

    Nurhasybi dan W. Widodo. 1988. Cara Ekstraksi Benih

    Cendana (Santalum album) dengan Ethyl Alkohol.

    Laporan Hasil Uji Coba Balai Teknologi Perbenihan No.

    49. Bogor.

    Onrizal. 2008. Panduan Pengenalan dan Analisis Vegetasi

    Hutan Mangrove. Departemen Kehutanan, Fakultas

    Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

    Pence, V.C. 1992. Abscisic acid and the maturation of cacao

    embryos in vitro. Plant Physiology, 98:1391-1395, 1992.

    Pukittayacamee, P. 1990. Pretreatment of Seeds. In Planting

    Stock Production Technology. Asean-Canada Forest Tree

    Seed Centre Project. Thailand.

    Quatrano, R.S. 1986. Regulation of gene expression by abscisic

    acid during angiosperm embryo development. Oxford

    Surveys of Plant Molecular & Cell Biology, 3:467-477.

    Sadjad, S. 1975. Teknologi Benih dan Masalah Uji Viabilitas

    Benih. Hal : 127- 145. Institut Pertanian Bogor, Biro

    Penataran.

    Sagala, J. 1990. Perlakuan Benih cendana Dengan Air, asam

    Sulfat, GA3, Jurnal Departemen Kehutanan, Bogor.

    Saleh,M.S. Adelina, E. Murniati, E dan Budiarti, T. 2008.

    Pengaruh Skarifikasi dan Media Tumbuh Terhadap

    Viabilitas Benih dan Vigor Kecambah Aren. Jurnal

    Agroland 15(3) : 182-190

    Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan,

    diterjemahkan oleh Diah R Lukman, Penerbit ITB,

    Bandung.

    Salisbury, Frank. B & Ross, Cleon. W. 1995. Fisiologi

    Tumbuhan Perkembangan & Fisiologi Tumbuhan Edisi

    4 Jilid 3. Bandung. ITB Bandung.

    Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman

    Hutan Tropis dan Subtropis. Jakarta : Direktorat Jenderal

    Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen

    Kehutanan.

  • 37

    Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman

    Hutan Tropis dan Sub Tropis. Terjemahan. Kerjasama

    Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan

    Sosial dengan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.

    Sudjadi, Bagod. 2006. Biologi Sains dalam Kehidupan. Jakarta :

    PT. Gramedia.

    Sudrajat, D.J., Nurhasybi, D. Syamsuwida dan T. Suhartati. 2010.

    Produksi, Penanganan Benih, dan Standardisasi

    Pengujian Mutu Benih Kepuh (Sterculia foetida).

    Laporan Sementara Kegiatan Penelitian Program

    Kementerian Negara Riset Dan Teknologi. Balai Penelitian

    Teknologi Perbenihan. Bogor.

    Suita, E. 2008. Pengaruh Ruang, Media, dan Periode Simpan

    terhadap Perkecambahan Benih Kemenyan (Styrax

    benzoin Dryand). Jurnal Hutan Tanaman. Pusat Penelitian

    dan Pengembangan Hutan Tanaman. 5(1): 45-52.

    Sunarti S., et.al. 2012. Karakter Hibrid Acacia (Acacia

    mangiumx A. auriculiformis) Berdasarkan Viabilitas

    Benih, Kemampuan Bertunas Dan Berakar Stek. Balai

    Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman

    Hutan.Yogyakarta.

    Villiers, T. A. 1972. Seed Dormancy. In T.T. Kozlowski (Ed.).

    Seed Biology Vol. II. Academy Press. New York. P.220-

    282.

    Wareing, P.F. dan I.D. Phillips. 1989. Growth and

    defferntiation Plants, 3rd edition, Pergamon Press,

    Chicago.

    Wattimena, G.A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman.

    Laboratorium Kultur Jaringan. Institut Pertanian Bogor.

    Bogor.

    Widhityarini, D. Suryadi Mw, Purwantoro, A. 2011. Pematahan

    Dormansi Acacia Dengan Skarifikasi dan Penambahn

    Kalium Nitrat. Jurnal Gronomi Indonesia 37 (2) : 152-

    158.

  • 38

    Widyawati, N., Tohari, P. Yudono, dan I. Soemardi. 2009.

    Permeabilitas dan perkecambahan benih aren (Arenga

    pinnata (Wurmb.) Merr.). Jurnal Agronomi Indonesia 37

    (2) : 152 158. Yuniarti, N. 2002. Penentuan Cara Perlakuan Pendahuluan

    Benih Saga Pohon ( Adenanthera sp.). Jurnal Manajemen

    Hutan Tropika Vol. VIII No. 2 : 97-101 (2002).