lapkas tht - krennsep.docx
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

Latar belakang
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Faringitis akut dibagi atas faringitis viral
dan bakteri. Gejala dan tanda faringitis viral adalah demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan, sulit
menelan. Faringitis bakteri memilik gejala nyeri kepala yang hebat, muntah kadang-kadang disertai
demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi
dapatmenurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari
berbagaipenyakit dan kelainan anatomis. Salah satu penyebab dari kelainan anatomi adalah deviasi
septum nasi
Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik penderita rhinitis alergi dan faringitis kronik.
Tujuan khusus
1. Mengetahui karakteristik profil penderita rhinitis alergi dan faringitis kronik berdasarkan
keluhan utama.
2. Mengetahui katakteristik profil penderita rhinitis alergi dan faringitis kronik berdasarkan
penyakit penyerta.
Manfaat
Bagi peneliti
1. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan.
2. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan.
3. Sebagai penambah wawasan bagi peneliti mengenai rhinitis alergi dan faringitis kronik..
Bagi Masyarakat
1. Memberikan sarana informasi kepada masyarakat umum mengenai profil penderita rhinitis
alergi dan faringitis kronik
2. Mengetahui faktor predisposisi dan komplikasi terjadinya rhinitis alergi dan faringitis kronik.
1

Laporan Kasus
Rhinitis Alergi Intermitten Ringan dan Faringitis Kronik Eksaserbasi Akut disertai Septum Deviasi
Nama : Krenni Sepa
Nim : 11.2014.020
Pembimbing:
dr. Riza Rizaldi, Sp. THT-KL
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD Tarakan Jakarta Pusat
Periode 23 Februari – 28 Maret 2015
2

Tinjauan Pustaka
Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah, yang terdiri dari
pangkal hidung, dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung. Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot
kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari
tulang hidung, prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang
kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk
terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum
nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis
os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang
disebut ager nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka
inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan
yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat
muara duktus nasolakrimalis. Meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris,
3

dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan
ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dan rongga hidung.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari a. oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior
dan a. palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. optalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat
persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang meurpakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal
dari n. oftalmikus. Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dan n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-
serabut sensoris dan n. maksila, serabut parasimpatis dan n. petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di
atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-
sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
4

metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi palut lendir pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan
menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung yang tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental, dan obat-
obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada
bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini
memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periganduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari
anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan
elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid
akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian
mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1
Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian
atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus
setinggi vertebra servikal ke 6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke
depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posteior
faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan
sebagian fasia bukofaringeal. Faring dibagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar yang memanjang. Otot-otot yang sirkular
terdiri dari m. konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-
otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari
belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan
ikat yang disebut “rafe faring”. Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini
5

dipersarafi oleh n. vagus. Otot-otot yang longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring. Letak
otot-otot ini disebelah dalam. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan m. palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan
laring. Jadi kedua otot ini penting pada waktu menelan. M. stilofaring dipersarafi oleh n. IX sedangkan
m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari
mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini, m.palatoglosus, m.palatofaring dan m. azigos
uvula. M. levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.
palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. Otot ini
dipersarafi oleh n. X. M. palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n. X. M.
azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas.
Otot ini dipersarafi oleh n. X.
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal
dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring ascendens dan cabang fausial) serta cabang a. maksila
interna yakni cabang palatina superior.
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas :
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke
depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif
kecil mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa rosenmuller, kantong rathke
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring di atas penonjolan kartilago tuba eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
glosofaring, n. vagus dan n. asesorius spinal saraf kranial dan v. jugularis interna, bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah
adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
6

Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang
kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior
faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. vagus.
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.
konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.
Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil fariengal, tonsil palatina, tonsil lingual, yang
ketiga-tiganya membentuk linkarang yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut
tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a. palatina asendens
cabang tonsil a. maksilaris interna, a. faring asendens dan a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di
dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata.
Laringofaring
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring,
batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa
dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan larinhg tidak langsung atau dengan laringoskop pada
pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Fungsi Faring
7

1. Fungsi menelan. Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase
esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja. Fase
faringeal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring, gerakan disini tidak
disengaja. Fase esofagal disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan
bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung.
2. Proses bicara. Pada saat biacar dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinging belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m. salpingofaring dan m.
palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama m. konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m. levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang
hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan passavant
pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m. palatofaring dan oleh kontraksi aktif m. konstriktor faring superior.
Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak waktu yang bersamaan.2
Rhinitis Alergi
Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE. 3
Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik
memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20-30%
semua populasi dan pada 10-15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam rhinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di
seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi. Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama
udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-
lain. 3
8

Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi, diperkirakan
mencapai prevalensi 5-22%. Rhinitis alergi telah menjadi problem kesehatan global, mempengaruhi 10%
sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama
pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan
banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter. 3
Patofisiologi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-28 jam. Pada
kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel
penyaji akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen
akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk
komplek peptida MHC kelas II yang kemudia dipresentasikan pada sel T helper. Kemudian sel penyaji
akan melepas sitokin seperti interleukin I yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi mwnjadi Th1
dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit b, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alaergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotatik yang menyebabkan akumulai
sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disni saja, tetapi gejala akan
9

berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor
(GMCFS) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic
Peroxide (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi.
Gambar 1. Patofisiologi rinitis alergi
Gambaran Histopatologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang
ditemukan terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus sepanjang tahun sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
iireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa
hidung menebal.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
10

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan misalnya debu rumah
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya udang, kacang
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat
berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
2. Respon Sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieleminasi pada tahap ini, reaksi
selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
3. Respon Tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara
atau menetap, tergantunga dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebab spesifik yaitu tepungsari dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
adalah polinosis atau rino konjuntivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung
dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus-menerus tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada
orang dewasa, dan alergen ingestan. Alegen inhalan utama adalah alergen dalam rumag dan
alergen luar rumah. Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan
11

sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain,
seperti urikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih
sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact On Asthma) tahun 2000 yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :
1. Intermitten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu
2. Persisten / menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai berolahraga, belajar,
bekerja, dan hal-hal lain yang menggangu
2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir
50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya
serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pagi hari atau
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri. Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan,
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya
histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Seringkali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
12

satu-satunya gejala yang diutarakan pasien. Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’,
berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya
sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan
nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya
bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi tulang.
Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok
lama ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tingi,
sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue).
Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
tuba eustachii. Tanda fariengal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan
limfoid. Seorang anak dengan rinitis alergi perenial dapat memperlihatkan semua ciri-ciri bernafas
melalui mulut yang lama yang terlihat sebagai hiperplasia adenoid. Tanda laringeal termasuk suara serak
dan edema pita suara. Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman,
mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE
total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
SorbentAssay Test).
13

Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan lengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/ SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desentisasi dapat diketahui.
Untuk alergen makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan. Diagnosis
biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge test makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.3
Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan
eliminasi
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non
sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat
diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga
sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolenergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal.
14

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistmain non sedative dapat dibagi menjadi
dua golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin
yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan
repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung
dan bahkan kematian mendadak. Kelompok kedua adalah loratadin, setirizin, fexofenadin,
desloratadin, dan levosetirisin. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin
atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topika maupun sistemik. Onset obat topikal jauh
lebih cepat daripada preparat sistemik, namun dapat menyebabkan rinitis medika mentosa
bila digunakan dalam jangka waktu lama. Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan
adalah pseudoephedrine HCl dan phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk
anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-
obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas.
c. Antikolenergik
Preparat antikolenergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
d. Kortikosteroid
Preparat kortikostreoid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa
hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperesponsif
terhadap rangsangan alergen. Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan
mastoit sehingga pelepasan aktivasi sel netrofil, eosinofil, dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA
rekombinan
3. Operatif
15

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple
outfactured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kateurisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2
metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 3
Gambar 2. Skema penatalaksanaan rhinitis alergi
16

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah
1. Polip hidung
2. Otitis media yang residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernapasan mulut yang lama khususnya pada anak-
anak
5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma bronkial. 3
Tes Alergi Uji Kulit
Beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi dan imunologi dapat dilakukan
walaupun tidak harus dipenuhi seluruhnya. Tiap jenis pemeriksaan mempunyai sensitivitas dan spesifitas
yang berbeda. Prinsip pemeriksaan uji kulit terhadap alergen ialah adanya reaksi wheal and flare pada
kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhdapa alergen yang diuji (reaksi tipe 1). Imunoglobulin
G4 (IgG4) juga dapat menunjukkan reaksi seprti ini, akan tetapi masa sensitisasinya lebih lama yaitu
sampai beberapa minggu. Reaksi maksimal terjadi setelah 15-20 menit dan dapat diikuti reaksi lambat
setelah 4-8 jam. Alergi tipe 1 ialah hasil dari produksi IgE spesifik untuk alergen oleh alergi individu.
Kondisi dimana alergi yang dimediasi IgE dapat memainkan peran utama termasuk rinitis alergi, asma,
dermatitis atopik, anafilaksis, urticaria dan angioedema akut, alergi makanan, alergi racun serangga,
lateks alergi dan beberapa obat alergi. Tes untuk alergi serum IgE spesifik (RAST) juga berguna dalam
situasi tertentu.4
Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (prick test), uji
gores (scratch test) dan uji tempel (uji tempel). Uji gores sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya
kurang akurat.
1. Uji kulit intradermal. Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit tuberkulin
disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga timbul 3mm gelembung. Dimulai dengan
konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur-angsur masing-
masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. Uji transdermal
ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada kulit. Tes alergi pengujian injeksi intradermal
tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk alergen makanan tetapi mungkin untuk
mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa resiko lebih besar anafilaksis dan harus
dilakukan dengan tenaga medis yang berkompeten melalui pelatihan spesialis.
17

2. Uji tusuk. Dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji kulit
yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 cm dari lipat
siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan
kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang
dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang
digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal.
Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan resiko terjadinya reaksi
anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan
uji intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih
rendah. Kontrol untuk kontrol positif digunakan 0,01% histamin pada uji intradermal dan 1%
pada uji tusuk. Kontrol negatif dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi
dermografisme akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarus gliserin.
Antihistamin dapat megurangi reaktivasi kulit. Oleh karena itu, obat yang mengandung
antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji kulit.
Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang lebih kecil, cukup
dihentikan 1 hari seblum uji kulit dilakukan. Obat golongan agonis b juga mempunyain pengaruh,
akan tetapi karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga
mempengaruhi reaktivasi kulit walaupun pada usian yang sama dapat saja terjadi reaksi berbeda.
Reaksi dinyatakan positif bila terasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan adanya indurasi
yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter terbesar (D) dan diameter terkecil (d) diukur
dan reaksi dinyatakan ukuran (D+D):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi
dengan pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur diameternya. Kertas dapat
disimpan untuk dokumentasi.
Uji Gores kulit adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif rendah, namun reaksi alergi
sistemik telah dilaporkan. Karena test adalah perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat
penting. Pengakuan terhadap keterbatasan uji gores kulit penting yaitu terbatasnya kemampuan dalam
prediksi tipe alergi reaksi lambat. Positif palsu atau negatif karena karakteristik alergi pasien atau
kualitas. Adanya IgE tanpa gejala klinis dan tes negatif tidak mengecualikan gejala yang disebabkan oleh
non-IgE mediated alergi atau penyebab medis lainnya.4
Patch Test
Metode lain adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah patch yang kemudian diletakkan
pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk menunjukkan yang memicu dermatitis kontak alergi. Jika
18

ada alergi antibodi dalam sistem anda, kulit anda akan menjadi gatal, lebih mirip gigitan nyamuk. Reaksi
ini berarti anda alergi terhadap zat tersebut. Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara
intradermal. Antigen yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu normal, misalnya
tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin, candida dan proteus. Pada 85 % orang dewasa normal reaksi
akan positif dengan paling sedikit pada satu dari antigen tersebut. Pada populasi anak persentase ini lebih
rendah, walaupun terdapat kenaikan persentase dengan bertambahnya umur. Hanya 1/3 dari anak umur
kurang dari 1 tahun yang akan bereaksi dengan kandida da akan mencapai persentase seperti orang
dewasa pada usia di atas 5 tahun. 4
Gambar 3. Perbedaan rinitis alergi dan rinitis vasomotor
Rhinitis Vasomotor
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan obat. Rhinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila
adanya alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor antara lain :
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti: obat anti hipertensi,
kontrasepsi oral
b. Faktor fisik seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, udara lembab, bau yang merangsang,
makanan yang pedas dan panas
c. Faktor endokrin, seperti keadaan hamil, pubertas, hipotiroidsme
d. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tenang
19

Manifestasi Klinis
1. Hidung tersumbat, bergantian kanan-kiri
2. Rinore mucus
3. Konka warna merah gelap/pucat
4. Konka dapat licin/berbenjol
Patofisiologi
Gangguan keseimbangan vasomotor yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dapat merangsang
saraf otonom yang ada di mukosa hidung (n. vidianus) sehingga terjadi penurunan aktivitas saraf
simpatis. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus.
Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf simpatis mengontrol sekresi
glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah kapiler. Efek
dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh
darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema intersisial dan akhirnya terjadi kongesti
yang bermanefestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan
sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksresif.
Penatalaksanaan
1. Menghindari penyebab
2. Pengobatan konservatif :
- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung
tersumbat. Contohnya : pseudoefedrine dan phenylpropanolamine
- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore
- Kortikosteroid topikal mengurangi hidung tersumbat, rinore, dan bersin-bersin dengan
menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya
digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu.
- Anti kolinergik
3. Terapi operatif dilakukan bila pengobatan konservatif gagal 3
Faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%),
bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan
menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi bakteri group A Streptokokus B hemolitikus dapat
20

menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraseluler yang
dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut. Bakteri ini banyak
menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan
infeksi melalui sekret hidung dan ludah.
Faktor risiko dari faringitis yaitu:
Cuaca dingin dan musim flu
Kontak dengan pasien penderita faringitis karena penyakit ini dapat menular melalui udara
Merokok, atau terpajan oleh asap rokok
Infeksi sinus yang berulang
Alergi
Epidemiologi
Di USA, faringitis terjadi lebih sering terjadi pada anak-anak daripada pada dewasa. Sekitar 15–
30 % faringitis terjadi pada anak usia sekolah, terutama usia 4–7 tahun, dan sekitar 10%nya diderita oleh
dewasa. Faringitis ini jarang terjadi pada anak usia <3 tahun. Penyebab tersering dari faringitis ini yaitu
streptokokus grup A, karena itu sering disebut faringitis GAS (Group A Streptococci). Bakteri penyebab
tersering yaitu Streptococcus pyogenes. Sedangkan, penyebab virus tersering yaitu rhinovirus dan
adenovirus. Masa infeksi GAS paling sering yaitu pada akhir musim gugur hingga awal musim semi.
Patogenesis
Bakteri S. Pyogenes memiliki sifat penularan yang tinggi dengan droplet udara yang berasal dari
pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan melalui batuk dan bersin. Jika bakteri ini hinggap pada sel sehat,
bakteri ini akan bermultiplikasi dan mensekresikan toksin. Toksin ini menyebabkan kerusakan pada sel
hidup dan inflamasi pada orofaring dan tonsil. Kerusakan jaringan ini ditandai dengan adanya tampakan
kemerahan pada faring. Periode inkubasi faringitis hingga gejala muncul yaitu sekitar 24 – 72 jam.
Beberapa strain dari S. Pyogenes menghasilkan eksotoksin eritrogenik yang menyebabkan bercak
kemerahan pada kulit pada leher, dada, dan lengan. Bercak tersebut terjadi sebagai akibat dari kumpulan
darah pada pembuluh darah yang rusak akibat pengaruh toksin.5
Faringitis Akut
Faringitis Viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan faringitis.
21

Gejala dan tanda faringitis viral adalah demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan, sulit
menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.Virus influenza, coxsachievirus dan
cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di
orofaring dan lesi kulit berupa mauclopapular rash. Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga
menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di
seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan HIV-1
menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak
faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.
Terapi
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika jika perlu dan tablet isap.
Antivirus metisoprinol diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian/hari
Faringitis Bakterial
Infeksi grup A streptokokus b hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada orang
dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Gejala
Nyeri kepala yang hebat, muntah kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang
disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.
Terapi
Antibiotik
Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A streptokokus b hemolitikus.
Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB IM dosis tunggal, atau amoxicillin 50 mb/kgBB dosis dibagi
3x/hari selama 10 hari.5
Faringitis Kronik
22

Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor
predisposisi poses radang kronik di faring ini ialah
1. Infeksi persisten di sekitar faring. Pada rhinitis dan sinusitis kronik, mukus purulen secara
konstan jatuh ke faring dan menjadi sumber infeksi yang konstan. Tonsilitis kronik dan sepsis
dental juga bertanggung jawab dalam menyebabkan faringitis kronik dan odinofagia yang
rekuren.
2. Bernapas melalui mulut. Bernapas melalui mulut akan mengekspos faring ke udara yang tidak
difiltrasi, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga menyebabkan lebih mudah
terinfeksi. Bernapas melalui mulut biasa disebabkan oleh :
a. Obstruksi hidung
b. Obstruksi nasofaring
c. Gigi yang menonjol
d. Kebiasaan
3. Iritan kronik. Merokok yang berlebihan, mengunyah tembakau, peminum minuma keras.
Makanan yang sangat pedas
4. Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan yang berdebu atau uap industri
5. Faulty voice production.
Faringitis Kronik Hiperplasia
Pada faringitis kronik hiperplasia terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak
kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa
dinding posterior tidak rata, bergranular.
Gejala
Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang bereak.
Terapi
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti
atau dengan listrik. Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati.
Faringitis Kronik Atropi
23

Faringitis kronik atropi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara
pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada
faring.
Gejala
Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak
mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
Terapi
Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofi ditambahkan dengan
obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.5
Septum Deviasi
Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung, tetapi pada orang dewasa biasanya tidak lurus
sempurna di tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi cukup
berat akan menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat terjadi gangguan
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.6
Definisi dan Klasifikasi
Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi
yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masik belum
menunjukkan gejala klinis yang bermakna
3. Tipe III : deviasi pada konka media
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, anterior ke sisi lainnya)
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan
rongga yang asimetri
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari 1 tipe yaitu tipe I dan tipe VI
Bentuk dan deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :7,8
24

1. Spina dan krista. Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat
terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya.
Bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut
spina. Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal.
2. Deviasi. Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan bentuk ‘C’ atau ‘S’ yang dapat terjadi
pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai kartilago maupun tulang.
3. Dislokasi. Bata bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol ke salah
satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan pada struktur sekitarnya.
4. Sinekia. Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di hadapannya.
Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi
Gambar 4. Tipe septum deviasi
Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa : 7
1. Dinding lateral hidung. Terdapat hipertrofi konka dan bula etmoidalis. Ini merupakan kompensasi
yang terjadi pada sisi konka septum
2. Maksila. Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri dan juga dapat
mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar, pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi
palatum, dan abnormalitas ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.
3. Piramid hidung. Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi pada
piramid hidung.
25

4. Perubahan mukosa. Udara inspirasi terjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit menyebabkan
efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta. Pengangkatan krusta dapat menyebabkan
ulserasi dan perdarahan. Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi
terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai akibat fenomena Bernouilli
yang kemudian menambah derajat obstruksi.
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan :
1. Ringan. Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung
2. Sedang. Deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang
menyentuh dinding lateral hidung
3. Berat. Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuk dinding lateral hidung
Etiologi
Deviasi septum umumnya disebabkan oelh trauma langsung dan biasanya berhubungan dengan
kerusakan pada bagian lain hidung seperti fraktur os nasal. Pada sebagian pasien, tidak didapatkan
riwayat trauma sehingga Gray (1972) menerangkannya dengan teori birth moulding. Posisi intrauterin
yang abnormal dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi
pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran dapat menambah trauma pada
septum.
Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari
olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau
sabuk pengaman ketika mengendara. Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang
rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap, juga karena
perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Dengan demikian terjadilah septum deviasi. 8
Gejala Klinis
Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral.
Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang mengalami deviasi terdapat konka yang hipertrofi sedangkan
pada sisi sebelahnya terjadi konka hipertrofi sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya
ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat
deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat ostium sinus sehingga
merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.
26

Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut ini :
1. Sumbatan pada salah satu atau kedua hidung
2. Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
3. Perdarahan hidung
4. Infeksi sinus
5. Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, post nasal drip
6. Mengorok saat tidur terutama pada bayi dan anak.
Pada beberapa kasus, seseorang dengan septum deviasi yang ringan hanya menunjukkan gejala ketika
infeksi saluran napas atas, seperti common cold. Dalam hal ini adanya infeksi respiratori akan
mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan menyebabkan gangguan aliran
udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah sumbatan yang juga terkait dengan deviasi septum nasi.
Namun apabila common cold telah sembuh dan proses inflamsi mereda, maka gejala obstruksi dari
deviasi septum nasi akan menghilang. 7.8
Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dinilai melalui inspeksi langsung pada batang hidungnya.
Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi
berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan biasanya normal.
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum, karena ujung spekulum
dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral
hidung untuk menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena
struktur-struktur ini sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum. Namun
diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Pada pemeriksaan rontgen kepala
posisi antero posterior tampak septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila
memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Bila
dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan pemeriksaan x-ray sinus paranasal. 8
Penataksanaan
1. Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum
2. Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit
3. Dekongestan digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung
4. Pembedahan :
27

a. Septoplasty. Merupakan operasi pilihan pada anak-anak, dapat dikombinasi dengan rhinoplasty
dan dilakukan bila terjadi dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga
dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau posterior. Pada operasi ini,
tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan.
Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi
submuka, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh
banyak terhadap pertumbuhan wajah pada anak-anak.
b. Reseksi sub mukosa. Pada operasi ini, muko perikondrium dan muko periousteum kedua sisi
dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
kemudian diangkat, sehingga muko perikondrium dan muko periosteum sisi kiri-kanan akan
langsung bertemu di garis tengah. Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti
terjadinya hidung pelana akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan
septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak
karena dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.
Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat
membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi diantaranya :
1. Uncontrolled bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung atau berasal dari
perdarahan pada membran mukosa
2. Septal hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga menyebabkan pembuluh
darah seubmukosa pecah dan terjadilan pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera
setelah operasi dilakukan.
3. Nasal septal perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang menghubungkan antara kedua sisi
hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama
operasi.
4. Saddle deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari dalam hidung.
5. Reccurence of the deviation. Biasanya terjadi padan pasien yang memiliki variasi septum yang
berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan.8,9
28

Rhinosinusitis
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polys (EPOS) 2012,
rhinosinusitis didefinisikan sebagai suatu radang dari hidung dan sinus paranasal, yang ditandai dengan
dua atau lebih gejala, yang salah satunya harus ada berupa obstruksi (hidung tersumbat) atau nasal
discharge (sekret hidung baik anterior atau posterior nasal drip): nyeri pada wajah dan berkurangnya
sensitivitas pembau. Pada rhinosinusitis kronis akut gejala berlangsung ≤ 12 minggu dan rinosinusitis
kronis berlangsung ≥ minggu.
Konsensus internasional yang merupakan hasil International Conference on Sinus Disease 1993,
dan telah disepakati untuk dipakai di Indonesia, mendefinisikan rinosinusitis akut dan kronis berdasarkan
pada patofisiologinya. Rhinosinusitis diklasifikasikan sebagai akut jika episode infeksinya sembuh
dengan terapi medikamentosa, tanpa terjadi kerusakan mukosa.
Rhinosinusitis kronis ialah penyakit yang tidak dapat sembuh dengan terapi medikamentosa saja. 10
Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4
minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan.
Tabel 1 Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut
International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004
Kriteria Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Kronik
Dewasa Anak Dewasa Anak
Lama dan Gejala <12 minggu < 12 minggu >/= 12 minggu >/ = 12 minggu
Jumlah episode
serangan akut,
masing-masing
berlangsung
minimal 10 hari
< 4 kali/ tahun < 6 kali/
tahun
>/= 4 kali/
tahun
>/= 6 kali/ tahun
Reversibilitas
mukosa
Dapat sembuh sempurna tanpa
pengobatan medikamentosa
Tidak dapat sembuh sempurna
dengan pengobatan medikamentosa
29

Gejala klinis
Setiap gejala rhinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) telah membuat kriteria mayor dan
minor untuk mempermudahkan mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila
dijumpai dua atau lebih kriteria mayor dan minor adalah:
Gejala Mayor
Obstruksi hidung
Sekret pada daerah hidung (nasal discharge)/ sekret belakang hidungyang sering disebut
PND (Post Nasal Drip)
Kongesti pada daerah wajah
Nyeri/ rasa tertekan pada wajah
Kelainan penciuman (Hiposmia/ anosmia)
Demam (hanya pada akut)
Purulen pada pemeriksaan kavum nasi
Gejala Minor
Sakit kepala
Sakit/ rasa penuh pada telinga
Halitosis/ nafas berbau
Batuk dan iritabilitas
Demam (semua nonakut)
Sakit gigi, Lemah
Gejala ini disertai dengan kelainan yang terdeteksi dari endoskopi dan/ atau CT scan. Pada
endoskopi dapat terlihat polip nasi, dan/ atau sekret mukopurulen yang primer berasal dari meatus
medius, dan/ atau edema atau obstruksi mukosa yang primer berasal dari meatus medius. Sedangkan pada
CT scan dapat terlihat perubahan mukosa dari kompleks osteomeatal dan/ atau sinus.
30

Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European Position Paper On
Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka panduan untuk penatalaksanaan rhinosinusitis
kronis pada orang dewasa bagi para dokter spesialis THT adalah sebagai berikut :
Gejala dan tanda
Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu.
Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat /
pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui anterior
maupun posterior) :
a) ± disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah
b) ± berkurang / hilangnya penciuman
Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin , ingus yang cair, hidung gatal dan mata
gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut maka dilakukan tes alergi.
Untuk mengevaluasi tingkat keparahan rhinosinusitisnya, dapat ditanyakan kepada pasien dengan
skor visual analogue scale (VAS), dari skala 0-10, seberapa parah gejala yang dialaminya. Penyakit ini
dapat dibagi menjadi kategori ringan, sedang, dan berat. Ringan apabila VAS 0-3, sedang apabila VAS 3-
7, dan berat apabila VAS 7-10.
Gambar 5. Visual Analog Scale
Diagnosis rhinosinusitis kronis pada dewasa
Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini
Anamnesis
Riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau
1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International
Consensus on Sinus Disease, 1993 dan 2004. Keluhan rinosinusitus kronik seringkali tidak khas dan
31

ringan bahkan kadang kala tanpa keluhan dan baru diketahui karena mengalami beberapa episode
serangan akut.
Rinoskopi anterior
Terlihat adanya sekret purulen di meatus medius atau meatus superior. Mungkin terlihat adanya
polip menyertai rinosinusitis kronik.
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terlihat
dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus medius atau superior, polip kecil,
ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka paradoksikal, spina septum dan lain-
lain.
Pemeriksaan foto polos sinus
Dapat dilakukan mengingat biayanya murah, cepat, dan tidak invasif, meskipun hanya dapat
mengevaluasi kelainan di sinus paranasal yang besar.
Pemeriksaan CT Scan
Dianjurkan dibuat untuk pasien rinosinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan terapi
medikamentosa. Untuk menghemat biaya, cukup potongan koronal tanpa kontras. Dengan potongan ini
sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit di dalam rongga sinus dan adanya kelainan di
KOM. Sebaiknya pemeriksaan CT scan dilakukan setelah pemberian antibiotik yang adekuat, agar proses
eliminasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomis dapat terlihat dengan jelas.
Pungsi sinus maksila
Tindakan pungsi sinus maksila dapat dianjurkan sebagai alat diagnostic untuk mengetahui adanya
sekret di dalam sinus maksila dan jika diperlukan untuk pemeriksaan kultur dan resistensi.
Sinoskopi
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini menggunakan
endoskop yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret,
jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus maksila serta bagaimana keadaan mukosanya apakah
kemungkinan kelainnya masih reversible atau sudah irreversible.
32

Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat
biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi
orbita atau intracranial.
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata, yang paling sering
ialah sinusitis etmoid, disusul sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita,
abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.
Kelainan intracranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan
thrombosis sinus kavernosus.
Komplikasi yang juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: Osteomielitis dan abses
subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada
osteomielities sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya
asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan. 11
Manajemen Rhinosinusitis Kronis pada Pelayanan Primer
Apabila sudah dapat ditegakkan diagnosis rhinosinusitus kronis sesuai dengan kriteria yang telah
disebutkan di atas, maka bila mungkin dilakukan pemeriksaan penunjang pertama yakni endoskopi, maka
pada pemeriksaan fisik ditekankan pada rinoskopi anterior.
Pengobatan yang diberikan antara lain steroid topical dengan irigasi hidung, dan dievaluasi ulang
setelah 4 minggu. Apabila ada perbaikan, terapi dapat dilanjutkan, bila tidak ada perbaikan, maka pasien
harus dirujuk ke spesialis THT.
Apabila sarana memadai, tentukan derajat keparahannya berdasarkan skala VAS. Pada penyakit
yang ringan, tidak ditemukan kelainan mukosa yang serius, dapat diberikan preparat steroid topical,
beserta irigasi hidung. Apabila terdapat perbaikan, maka terap diteruskan dan dapat dipertimbangkan
pemberian antibiotik jangka panjang. Sedangkan bila tidak ada perbaikan, dapat dilakukan kultur untuk
memastikan patogen penyebabnya. Bila ada perbaikan, terapi dapat diteruskan.
33

Bila dengan keadaan tersebut sama sekali tidak ada perbaikan, atau skala VAS penyakit ini ada di
kategori sedang/ berat, atau terlihat ada kelainan mukosa pada endoskopi, dan membutuhkan tindakan
operasi, maka pasien harus segera dirujuk ke dokter spesialis THT. 10
Gambar 6. Skema Penanganan Rhinosinusitis Kronis pada Pelayanan Primer
34

Gambar 7. Skema PenangananRhinosinusitis Kronis oleh dokter THT
Penatalaksaaan
Berdasarkan rekomendasi dan penelitian yang dikeluarkan oleh pasien dengan rhinosinusitis
akut dapat diberikan terapi berupa steroid topical, irigasi hidung, serta antibiotik oral di bawah 4 minggu
pada eksaserbasi akut. Pemberian steroid oral, mukolitik, dekongestan dapat dipertimbangkan (level III-
IV). 6 Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi secara bersamaan. Di
samping obat-obatan yang memadai dengan antibiotik dan dekongestan, juga perlu diperhatikan
predisposisi kelainan obstruktif dan tiap alergi yang mungkin ada.
Tujuan terapi sinusitis adalah 1) Mempercepat penyembuhan; 2) Mencegah komplikasi; 3)
Mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka ialah membuka sumbatan di
KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka ostium sinus. Antibiotik yang dipilih
adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi
beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat, atau jenis sefalosforin generasi ke-2. Pada
sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronis
diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dapat dipakai sebagai dekongestan
hidung oral. 1,7 Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidup dengan NaCl atau pemanasan
(diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret
menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Anti
histamine generasi 2 bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif
mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada
SSP minimal (non sedatif). Anthistamin diabsobsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respon cepat seperti rinore, bersin, dan gatal. Antihistamin ini mempunyai dua
35

kelompok pertama: astemisol dan terfenadin bersifat kardiotoksok), kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadim dan levosetirisin. 11
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat
tidak berhasil diobati dengan obat lain. Kortikosteroid bekerja mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
allergen. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat aktivasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang
dapat bermanfaaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.11
Tindakan Operasi
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronis adalah membuat suatu lubang drainase
yang memadai. Prosedur yang paling lazim adalah nasoantrostomi atau pembentukan fenestra nasoantral.
Pembuatan lubang dari dinding medial meatus inferior dilakukan agar memungkinkan terjadinya
drainse gravitasional dan ventilasi, sehingga memungkinkan pula regenerasi membran mukosa yang sehat
di dalam sinus maksilaris. Prosedur yang lebih radikal adalah prosedur Calldwell-Luc, dimana dilakukan
insisi pada fosa kanina dan pengangkatan sepotong tulang dinding anterior sinus, epitel rongga sinus
maksilaris diangkat seluruhnya, dan pada akhir prosedur dilakukan antrostomi untuk drainase seperti cara
di atas. Pembedahan sinus endoskopik fungsional (Functional Endoscopic Sinus Surgery/ FESS)
merupakan suatu teknik pembedahan sinus
yang memungkinkan visualisasi dan magnifikasi anatomi hidung dan sinus yang baik, dengan
menggunakan bantuan endoskopi. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks
osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat
lancar kembali melalui ostium alami.
Tujuan FESS adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan panduan endoskop
dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami. Prinsip FESS adalah
bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap
berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan
patologik dan jaringan normal, maka FESS jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya
lebih rendah.
36

Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut yang berulang dan
polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal. Indikasi lain dari FESS termasuk di
dalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang
berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif atau neoplasia. Bedah sinus endoskopi sudah meluas
indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor
serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior,
dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan congenital (atresia koana)
dan lainnya.
Kontraindikasi dilakukannya FESS antara lain adanya osteitis atau osteomielitis tulang frontal
yang disertai pembentukan sekuester, pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil
(hipoplasi), serta penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostatis yang
tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai. 12
37

Laporan Kasus
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. SE
Umur : 24 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : S1
Agama : Katolik
Pekerjaan : Pelajar
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 12.00 WIB
Keluhan Utama :
Hidung kanan tersumbat sejak 3 hari SMRS
Keluhan Tambahan :
Keluar cairan berwarna bening dari hidung, nyeri saat menelan dan tenggorokan terasa kering dan gatal
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien perempuan 24 tahun datang ke Poli THT RSUD Tarakan dengan keluhan hidung kanan
tersumbat sejak 3 hari SMRS. Hidung tersumbat dirasakan hilang timbul dari pagi hari menjelang siang.
Hidung tersumbat bergantian kanan kiri hanya pada saat tidur. Diawali oleh bersin-bersin dan disertai
keluar cairan encer berwarna bening, banyak, dan tidak berbau dari hidung. Bersin didapatkan pada waktu
yang tidak menentu baik siang maupun malam hari. Bersin meningkat apabila terpapar debu dan udara
dingin. Bersin biasanya lebih dari 5 kali. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung dan kemudian
38

mengorek-orek lubang hidung, tetapi tidak dirasakan adanya air mata yang keluar. Lendir yang mengalir
ke tenggorokan disangkal. Tidak ada penurunan fungsi penghidu dan tidak terasa adanya massa di
hidung. Kesulitan dalam membuang ingus kadang terjadi. Pasien tidak pernah mengalami mimisan. Tidak
ada pembengkakan pada wajah. Nyeri pada pipi, dahi, dan sekitar mata disangkal. Sesak napas dan
mengorok saat tidur disangkal. Sakit gigi dan gigi berlubang disangkal.
Gangguan pada telinga disangkal. Di rumah pasien tidak memelihara hewan dan tidak ada benda
berbulu seperti karpet. Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas. Sejak 2 hari SMRS pasien
mengatakan terasa nyeri saat menelan dan tenggorokan terasa kering dan gatal. Tidak dirasakan adanya
rasa panas atau pahit yang menjalar dari lambung. Pasien tidak merokok dan tidak minum alkohol.
Berteriak-teriak atau penggunaan suara yang berlebihan disangkal. Lingkungan pasien agak berdebu
tetapi terkadang pasien menggunakan masker dan jauh dari uap industri. Sejak 1 hari SMRS keluhan
hidung tersumbat dan nyeri menelan semakin bertambah dan terkadang dirasakan sakit kepala. Pasien
belum minum obat apapun untuk mengatasi sakitnya. Demam, batuk, mual, dan muntah disangkal. Pasien
mengatakan bahwa sebelum sakit ia mengkonsumsi goreng-gorengan dan memakan makanan pedas.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku sering bersin-bersin semenjak kecil tapi semakin dewasa bersin dirasakan mereda.
Pasien mengaku sering mengalami nyeri menelan dan tenggorokan terasa gatal dan terakhir kali 3 bulan
yang lalu. Terdapat riwayat alergi terhadap debu dan udara dingin. Riwayat asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama. Tidak ada riwayat alergi dan asma
dalam keluarga.
III. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 80x/menit
Suhu : afebris
STATUS THT
39

TELINGA
Dextra SinistraBentuk daun telinga
Kelainan kongenital
Radang, tumor
Nyeri tekan tragus
Penarikan daun telinga
Kelainan pre-, infra,
retroaurikuler
Region mastoid
Liang telinga
Membran timpani
Normotia
Mikrotia (-), makrotia (-) atresia
(-), fistula (-), kelainan bentuk
(-), bat’s ear (-), anotia (-),
protruding ear (-), stenosis
canalis (-),agenesis kanalis (-),
lop’s ear (-), mozart ear (-),
wildermuth’s ear (-), cyptotia (-),
clumped ear (-), question mark
ear (-), satyr ear (-), shell ear (-),
stahl ear (-)
Nyeri (-), massa (-), hiperemis
(-), sekret (-), edema (-)
Nyeri tekan (-)
Nyeri (-)
Massa (-), hiperemis (-), oedem
(-), nyeri (-), fistula (-), ulkus (-),
ekimosis (-), hematoma (-),
sikatrik (-)
Massa (-), hiperemis (-), oedem
(-), nyeri (-)
Lapang, furunkel (-), jar.
Granulasi (-), serumen (-), oedem
(-), sekret (-), darah (-),
hiperemis (-)
Refleks cahaya (+) jam 5,
hiperemis (-), perforasi (-),
bulging (-)
Normotia
Mikrotia (-), makrotia (-) atresia
(-), fistula (-), kelainan bentuk
(-), bat’s ear (-), anotia (-),
protruding ear (-), stenosis
canalis (-),agenesis kanalis (-),
lop’s ear (-), mozart ear (-),
wildermuth’s ear (-), cyptotia (-),
clumped ear (-), question mark
ear (-), satyr ear (-), shell ear (-),
stahl ear (-)
Nyeri (-), massa (-), hiperemis
(-), sekret (-), edema (-)
Nyeri tekan (-)
Nyeri (-)
Massa (-), hiperemis (-), oedem
(-), nyeri (-), fistula (-), ulkus (-),
ekimosis (-), hematoma (-),
sikatrik (-)
Massa (-), hiperemis (-), oedem
(-), nyeri (-)
Lapang, furunkel (-), jar.
Granulasi (-), serumen (-), oedem
(-), sekret (-), darah (-),
hiperemis (-)
Refleks cahaya (+) jam 7,
hiperemis (-), perforasi (-),
bulging (-)
Tes Penala
Dextra SinistraRinne + +
40

Weber Tidak ada lateralisasiSwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksaPenala yang dipakai 512 hz 512 hzKesan : kedua telinga normal.
HIDUNG
Rhinoskopi Anterior
Dextra SinistraBentuk Normal, tidak ada deformitas Normal, tidak ada deformitasDaerah sinus frontalis dan maxillaris
Nyeri tekan (-),nyeri ketuk (-), deformitas (-)
Nyeri tekan (-),nyeri ketuk (-), deformitas (-)
Vestibulum Tampak bulu hidung, laserasi (-), sekret (+), furunkel (-), krusta (-)
Tampak bulu hidung, laserasi (-), sekret (+), furunkel (-), krusta (-)
Cavum nasi Lapang, sekret (+) Lapang, sekret (+)Konka inferior Hiperemis (+), hipertrofi (-) Hiperemis (+), hipertrofi (-)Meatus nasi inferior Terbuka, sekret (-) Terbuka, sekret (-)Konka medius Hiperemis (-), hipertrofi (-) Hiperemis (-), hipertrofi (-)Meatus nasi medius Terbuka, sekret (-) Terbuka, sekret (-)Septum nasi Deviasi ke kanan Tidak ada deviasi
Rhinoskopi Posterior
Dextra Sinistra
Koana sekret (-), massa (-) sekret (-), massa (-)
Septum nasi posterior deviasi (-) deviasi (-)
Muara tuba eustacius terbuka, oedem (-), sekret (-) terbuka, oedem (-), sekret (-)
Post nasal drip (-) (-)
PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Sinus frontalis kanan, kiri : tidak dilakukan
Sinus maxilaris kanan, kiri : tidak dilakukan
41

TENGGOROKAN
Faring
Dinding pharynx : hiperemis (+), granula (+), ulkus (-), darah (-), post nasal drip (-)
Arcus : pergerakan simetris, hiperemis (+), ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil : T1-T1 tenang, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-)
Gigi
Tidak ada gigi yang berlubang
Laring
Epiglotis : hiperemis (-), edema (-), ulkus (-)
Plica aryepiglotis : hiperemis (-), massa (-), ulkus (-)
Arytenoid : hiperemis (-), massa (-), ulkus (-)
Ventricular band : edema (-), hiperemis (-), massa (-)
Pita suara : nodul (-), oedem (-), hiperemis (-), ulkus (-)
Rima glottis : terbuka, lapang, benda asing (-)
Cincin trakea : massa (-), benda asing (-)
Sinus Piriformis : benda asing (-)
Kelenjar limfe submandibula dan servical
Pada inspeksi dan palpasi tidak ada pembesaran
RESUME
Anamnesis
Pasien perempuan 24 tahun mengeluh hidung kanan tersumbat sejak 3 hari SMRS. Hidung
tersumbat lebih dirasakan saat pagi hari, rinore yang banyak dan tidak berbau. Bersin apabila terpapar
debu, udara dingin dan bersin lebih dari 5 kali disertai gatal pada hidung. Keluhan tidak mengganggu
aktivitas. Riwayat alergi debu dan udara dingin. Dua hari SMRS terdapat odinofagia, tenggorokan terasa
42

kering dan gatal. Riwayat mengkonsumsi goreng-gorengan dan makanan pedas. Satu hari SMRS keluhan
hidung tersumbat dan nyeri menelan semakin bertambah dan kadang dirasakan sakit kepala. Pasien
mengaku sering mengalami nyeri menelan dan tenggorokan terasa gatal dan terakhir kali 3 bulan yang
lalu.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak sakit ringan, TD 110/70, HR 80 x/menit.
Hidung
Hidung luar : bentuk normal, tidak ada tanda peradangan, tidak ada nyeri tekan sinus frontalis dan maksilaris
Hidung dalam
Kanan : kavum nasi lapang, ada sekret (+). Konka inferior hiperemis (+), deviasi septum (+)
Kiri : kavum nasi lapang, ada sekret (+). Konka inferior hiperemis (+)
Rhinoskopi posterior
Tidak ada kelainan
Telinga
Tidak ada kelainan
Faring
Dinding faring hiperemis (+), bergranulasi (+), arcus hiperemis (+), pergerakan simetris, tonsil dalam T1-T1 tenang, kripta (-), detritus (-), uvula di tengah.
Gigi
Gigi dalam batas normal
Laring
Tidak ada kelainan
Kelenjar limfe submandibula dan servical
Pada inspeksi dan palpasi tidak ada pembesaran
Working Diagnosis
1. Rhinitis Alergi Intermitten Ringan
43

2. Faringitis kronik eksaserbasi akut3. Septum deviasi
Different Diagnosis
1. Rhinitis VasomotorDasar yang mendukung :- hidung tersumbat bergantian kanan-kiri saat tidur- Konka inferior hiperemis
Dasar yang tidak mendukung :
- keluar cairan encer berwarna bening, banyak, dan tidak berbau dari hidung- hidung terasa gatal- bersin lebih dari 5 kali- riwayat alergi debu dan udara dingin- rhinoskopi anterior : sekret bening pada cavum nasi
2. Rhinosinusitis
dasar yang mendukung :
- Obstruksi hidung- Kesulitan dalam membuang ingus
Dasar yang tidak mendukung :
- Tidak ada lendir yang mengalir ke tenggorokan
- Tidak ada penurunan fungsi penghidu
- Tidak terasa adanya massa di hidung.
- Tidak ada nyeri pada pipi, dahi, dan sekitar mata
- Tidak ada sakit gigi dan gigi berlubang
- Tidak ada demam
- Tidak ada batuk
- Tidak terdapat keluhan pada telinga
- Tidak ada kongesti pada wajah
Penatalaksanaan
1. Avamys nasal spray 1x 1 puff selama 5 hari2. Aldisa 2x1 hari selama 10 hari3. Cefixime 100mg, 2 x 1 hari selama 10 hari4. Metylprednisolon 5mg, 2 x 1 hari selama 10 hari
Edukasi
44

1. Jangan mengorek hidung2. Mengkonsumsi obat secara teratur3. Mempertahankan kondisi tubuh sehat dengan makan yang baik, istirahat cukup dan berolahraga
teratur4. Tidak mengkonsumsi minuman dingin, makanan berlemak, goreng-gorengan5. Hindari pencetus alergi seperti debu dan dingin6. Kontrol poli THT 1 minggu lagi untuk evaluasi pengobatan
Prognosis
Bonam
Saran Penunjang
1. Prick test2. X-ray sinus paranasal
Pembahasan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka dapat ditegakkan diagnosis
kerja rhinitis alergi intermitten ringan, faringitis kronik eksaserbasi akut, dan septum deviasi.
Pasien memiliki keluhan hidung kanan tersumbat disertai keluar cairan encer berwarna bening,
banyak, dan tidak berbau. Bersin dirasakan semenjak kecil, meningkat apabila terpapar debu dan udara
dingin dan bersin lebih dari 5 kali dan terasa gatal pada hidung. Keluhan tidak mengganggu aktivitas.
Pada pemeriksaan fisik hidung kanan dan kiri didapatkan cavum nasi berisi sekret dan konka inferior
tampak hiperemis. Diagnosis faringitis kronik eksaserbasi akut ditegakkan dengan adanya nyeri saat
menelan dan tenggorokan terasa kering dan gatal dan dirasakan sakit kepala. Riwayat makan gorengan
dan pedas serta pasien sering mengalami hal ini, sembuh dan sekarang kambuh kembali. Pada
pemeriksaan fisik faring didapatkan arcus faring hiperemis, dinding faring hiperemis dan bergranulasi.
Septum deviasi ke kanan terlihat dari pemeriksaan rhinoskopi anterior. Penatalaksanaan diberikan
semprot hidung Avamys mengandung bahan aktif flutikason furoate, yang merupakan jenis obat yang
dikenal sebagai kortikosteroid untuk untuk mengurangi peradangan di bagian hidung, antibiotic cefixime
untuk pengobatan infeksi bakteri pada tenggorokan. Diberikan aldisa karena mengandung loratadine
untuk mengatasi alergi pada pasien dan pseudoefedrine sebagai dekongestan. Diberikan metylprednisolon
sebagai obat untuk mengurangi inflamasi pada tenggorokan.
Disarankan untuk melakukan pemeriksaan penunjang seperti prick test untuk mengetahui macam
alergen sehingga bisa dihindari, dan x-ray sinus paranasal.
Kesimpulan
45

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Faringitis akut dibagi atas faringitis viral
dan bakteri. Gejala dan tanda faringitis viral adalah demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan, sulit
menelan. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan
pasien tampak lemah. Terapi dengan antivirus metisoprinol diberikan pada infeksi herpes simpleks
dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak <
5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
Faringitis bakteri memilik gejala nyeri kepala yang hebat, muntah kadang-kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan
tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Terapi antibiotik diberikan terutama bila diduga
penyebab faringitis akut ini grup A streptokokus b hemolitikus. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB IM
dosis tunggal, atau amoxicillin 50 mb/kgBB dosis dibagi 3x/hari selama 10 hari.
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum adalah sumbatan hidung. Sumbatan bisa
unilateral dapat pula bilateral sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipertrofi, sebagai akibat mekanisme
kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan sekitar mata. Selain dari itu penciuman bisa
terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian septum atas.
Daftar Pustaka
1. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6. Jakarta; Balai Penerbitan FKUI;2011.h.118-20.
2. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6. Jakarta; Balai Penerbitan FKUI;2011.h.212-14.
3. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6. Jakarta; Balai Penerbitan FKUI;2011.h.128-36.
4. AP, Arwin et al. Buku ajar alergi imunologi anak. Edisi 2. Jakarta: IDAI;2007.h.76-88.5. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6. Jakarta; Balai Penerbitan FKUI;2011.h.217-8.
6. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan septum. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi ke 6. Jakarta; Balai Penerbitan FKUI;2011.h.126.
7. Baumann I, Baumann H. A new classification of septal deviation. Department of Otolayngology, Head and Neck Surgery, University of Heidelberg. Germany. Journal of Rhinology, 2007;45:220-223. Available at : http://www.rhinologyjournal.com/Rhinology_issues/44_Baumann.pdf (accessed : 18 Maret 2015)
8. Park JK, Edward IL. Deviated septum. The practice of marshfield clinic, American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery. 2005. Available at :
46

http://www.marshfieldclinig.org/proxy/MC-ent-DeviatedSeptum.1.pdf (accessed : 18 Maret 2015).
9. Bull PD. The nasal septum. In : Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 9 th edition. USA : Blackwell Science Ltd;2002.p.81-5.
10. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 2012 Mar (23): 1-298.
11. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD (editor); Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Ed 6.
Jakarta: FKUI, 2007; h. 150-4.
12. Departemen Kesehatan RI. HTA Indonesia: Functional endoscopic sinus surgery di Indonesia.
2006. Diunduh dari buk.depkes.go.id, 14 Maret 2015.
47