lapkas tht fraktur
Embed Size (px)
DESCRIPTION
gTRANSCRIPT
LEMBAR PENGESAHAN
CASE
FRAKTUR MAKSILOFASIALOleh :
Okky Nafiriana030.10.214Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan
Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan
Rrumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal
Periode : 7 Juli 16 Agustus 2014Tegal, 5 Agustus 2014Dokter PembimbingDAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
1BAB I PENDAHULUAN
3BAB II LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
4
ANAMNESIS
4
PEMERIKSAAN FISIK
5
RESUME
7
PEMERIKSAAN ANJURAN
8
DIAGNOSIS KERJA
8
DIAGNOSIS BANDING
8
TATA LAKSANA
8
PROGNOSIS
8BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 FRAKTUR MAKSILOFASIAL
93.1.1 Definisi
93.1.2 Etiologi
93.1.3 Epidemiologi
93.1.4 Manifestasi klinis
103.1.5 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial
103.1.5.1 Fraktur Nasal
103.1.5.2 Fraktur Maksila
163.1.5.3 Fraktur tulang orbita
183.1.5.4 Fraktur tulang mandibula
183.1.5.5 Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma
183.1.6 Diagnosis
193.1.7 Penatalaksanaan
203.1.8 Komplikasi
22BAB IV KESIMPULAN
23DAFTAR PUSTAKA
24BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur maksilofasial merupakan fraktur yang sering terjadi sebagai akibat dari faktor luar seperti kecelakaan lalu lintas (etiologi terbanyak), kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Fraktur maksilofasial ini terletak didaerah yang anatominya spesifik, sebagaimana yang kita ketahui bahwa kepala merupakan daerah tempat organ-organ penting seperti otak dan pusat persyarafan. Sehingga fraktur maksilofasial ini mewakili permasalahan terbesar bagi pelayanan kesehatan umum diseluruh belahan dunia karena tingginya insidensi dan kerugian finansial yang ditimbulkan dari fraktur maksilofasial ini.
Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan dan lebih banyak dijumpai pada usia produktif (21-30 tahun). Fraktur mandibula merupakan fraktur yang paling banyak terjadi (57,69%), selanjutnya fraktur kombinasi maksilofasial (21,15%), fraktur maksila (13,46%), fraktur komplek nasal (3,85%), fraktur maksilofasial yang diikuti oleh jenis fraktur lainnya (1,92%) dan jenis fraktur maksilofasial yang paling sedikit sekali terjadi adalah fraktur komplek zigoma (0,96%) dan fraktur dentoalveolar (0,96%).
Prinsip perawatan fraktur yang diberikan bertujuan untuk mengembalikan fragmen-fragmen tulang pada hubungan anatomi semula (reduksi), mempertahankannya supaya terjadi proses penyembuhan luka pada tulang (fiksasi) serta lamanya waktu fiksasi (immobilisasi). Walaupun teknologi bedah memberikan hasil yang baik, pencegahan fraktur maksilofasial merupakan langkah yang bijak. Dengan keterlibatan berbagai pihak, Insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup seseorang dapat dicegah dan angka dari insidensi fraktur akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini dapat dikurangi.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIENNama
: Sdr. TUmur
: 16 tahunJenis Kelamin: Laki-lakiStatus
: Belum menikah
Alamat
: Jln. SumbodroPekerjaan
: PelajarAgama
: Islam
Suku bangsa: JawaNo. RM
: 745328II. ANAMNESISAnamesis dilakukan secara autoanamesis, pada tanggal 26 Juli 2014 pada pukul 10.00 WIB bertempat di ruang IBS, RSUD Kardinah Tegal.
A. KELUHAN UTAMAPendarahan hidungB. KELUHAN TAMBAHANPendarahan mulut, edema palpebraC. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANGPasien mengalami kecelakaan lalu lintas pada Kamis (24 Juli 2014) malam, beberapa jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak mengenakan helm saat mengendarai motor bersama temannya dan motor tersebut terjatuh saat menabrak pohon. Kemudian pasien dibawa ke RSU Kardinah dalam keadaan sadar dengan pendarahan hidung dan mulut serta mata yang bengkak. Mual dan muntah disangkal oleh pasien.D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULUPasien tidak pernah mengalami sakit yang sama seperti sekarang. Tekanan darah tinggi, diabetes millitus, alergi obat maupun makanan disangkal oleh pasien E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGATidak ada keluarga yang menderita gejala atau keluhan yang sama seperti pasien. Riwayaat tekanan darah tinggi, diabetes millitus dan alergi dalam keluarga disangkal.F. RIWAYAT KEBIASAAN Pasien mengaku tidak minum alkohol dan merokok. Pasien jarang berolahraga.III. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS GENERALIS Kesan sakit
: Tampak sakit berat Kesadaran
: Compos metis
Tanda vital
Suhu
: 36 oC Nadi
: 104X/ menit Tekanan darah : 118 / 60 mmHg Respiration Rate : 26 X / menit Kepala
: Normocephali, tidak terdapat deformitas Mata
: Pupil bulat, isokor, CA -/-, SI -/-, edema palpebra Mulut
: Pendarahan (+) Leher
: Tidak dilakukan Thorax : Tidak dilakukan Abdomen : Tidak dilakukan Ekstremitas : Tidak dilakukanB. STATUS LOKALIS1. PEMERIKSAAN TELINGA
KANANKIRI
Normotia, nyeri tarik (-)
Nyeri tekan tragus (-)Daun TelingaNormotia, nyeri tarik (-)Nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis(-), fistula(-) oedem(-), sikatriks (-)PreaurikulerHiperemis (-), fistula (-) oedem (-), sikatriks (-)
Hiperemis (-), fistula (-) oedem (-), nyeri tekan mastoid (-) sikatriks (-)RetroaurikulerHiperemis (-), fistula (-) oedem (-), nyeri tekan mastoid (-) sikatriks (-)
Tidak dilakukanLiang telingaTidak dilakukan
Tidak dilakukanMembrana timpaniTidak dilakukan
Kesan : telinga kanan dan kiri dalam batas normal2. PEMERIKSAAN HIDUNG DAN SINUS PARANASALRHINOSKOPI ANTERIORBentuk Tidak simetris
Tanda peradangan diluar+
Daerah sinus frontalis dan maksilarisNyeri tekan +/+Nyeri ketuk +/+Krepitasi +/+
Vestibulum Tampak bulu hidung +/+, nyeri +/+, pendarahan +/+
Septum nasiDeviasi (+)
Konka inferior kanan dan kiriTidak dapat dinilai
Konka media kanan dan kiri Tidak dapat dinilai
Meatus nasi medius kanan dan kiriTidak dapat dinilai
Kesan : hidung bagian anterior mengalami deviasi akibat trauma3. PEMERIKSAAN TENGGOROKTrismus+
Arkus faringTidak dilakukan
Mukosa faringTidak dilakukan
Dinding faringTidak dilakukan
Uvula Tidak dilakukan
Tonsil palatinaTidak dilakukan
Gigi geligiTidak dilakukan
Kesan : pemeriksaan tenggorok tidak dilakukan karena pasien mengalami trismus dan kesakitan4. PEMERIKSAAN LEHER
Bentuk: Normal, simetris Eritema (-), nyeri tekan (-)5. MAKSILO FASIAl
Tampak deformitas
Paralisis nervus kranialis (-)
Nyeri pada: dahi (+), pipi (+), hidung (+), depan telinga (+)IV. RESUMESeorang Laki-laki dibawa ke ICU RSU Kardinah pada Kamis, 24 Juli 2014 malam dengan keluhan hidung mengalami pendarahan aktif. Beberapa jam sebelumnya, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas karena tidak mengenakan helm saat mengendarai motor bersama temannya dan motor tersebut terjatuh saat menabrak pohon. Pasien dibawa ke RSU Kardinah dalam keadaan sadar dengan pendarahan aktif pada hidung dan mulut serta mata yang bengkak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat. Pada status generalis, didapatkan edema palpebral. Pemeriksaan status lokalis, pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, didapatkan bentuk tidak simetris, deviasi septum, nyeri tekan maupun ketuk pada daerah sinus frontalis dan maksilaris, serta pendarahan dan nyeri pada vestibulum. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan trismus dan kesakitan saat membuka mulut. Pada pemeriksaan maksilofasial, tampak deformitas dan nyeri pada dahi, pipi, hidung dan depan telinga.V. DIAGNOSIS KERJAFraktur maksilofasial: fraktur nasal dan fraktur maksila le fort IIIVI. PEMERIKSAAN TAMBAHANA. CT ScanB. Rontgen kepalaC. Laboratorium darah VII. PENATALAKSANAANA. Medikamentosa
Asam traneksamat Ceftriaxone Dexamethasone Ketorolac B. Non medikamentosa
Tampon nasal dextra dan sinistra Oksigen sungkupVIII. PROGNOSIS
Ad Vitam
: Dubia ad bonam
Ad Fungsionam: Dubia ad bonam
Ad Sanationam: Dubia ad bonamBAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Fraktur Maksilofasial
3.1.1 Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang wajah yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.1,63.1.2 EtiologiPenyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72 % kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan kecelakaan lalu lintas.6,7
3.1.3 EpidemiologiPenyebabPersentase (%)
Dewasa
Kecelakaan lalu lintas40-45
Penganiayaan / berkelahi10-15
Olahraga5-10
Jatuh5
Lain-lain5-10
Anak anak
Kecelakaan lalu lintas10-15
Penganiayaan / berkelahi5-10
Olahraga (termasuk naik sepeda)50-65
Jatuh5-10
Tabel 3.1 Etiologi trauma maksilofasial73.1.4 Manifestasi klinis
Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi), emfisema subkutis, rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan, epistaksis, obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan, diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea, gangguan saraf sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang nervus cranialis kelima, gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran cairan cerebrospinalis, krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula.10
3.1.5 Klasifikasi Fraktur MaksilofasialKlasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur orbita, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III. 113.1.5.1 Fraktur NasalPada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi septum.8,10Jika hanya fraktur tulang hidung sederhana dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesia lokal. Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi.8,10Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :5a) Depresi atau pergeseran tulang tulang hidung.
b) Terasa lembut saat menyentuh hidung.
c) Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
d) Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
e) Deformitas hidung.
f) Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
g) Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
h) Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat darurat :
Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua lubang hidung
Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung
Cedera lain pada tubuh dan muka
Kehilangan kesadaran
Sakit kepala yang hebat
Muntah yang berulang
Penurunan indra penglihatan
Nyeri pada leher
Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan. 5Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.1Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan berguna untuk melihat fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur penyerta lainnya.1Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat fraktur, bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses, dimana terjadi resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana ( saddle nose ) yang berat.3a. Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah penting untuk penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia.3,12,13b. Pemeriksaan fisikKebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat dihantam atau terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan bawah.3,7,13Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara deviasi septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera. Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis. 3,7,13Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan hematom septi tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera. Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal.3,7,12,13b. Pemeriksaan radiologisJika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang diindikasikan. Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering salah dalam menginterpretasikan sutura normal sebagi fraktur yang disertai dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi. CT-scan dapat diindikasikan untuk menilai fraktur wajah atau mandibular. 3,12,17Adapun tujuan Penangananan Fraktur Hidung, yaitu :a. Mengembalikan penampilan secara memuaskanb. Mengembalikan patensi jalan nafas hidungc. Menempatkan kembali septum pada garis tengahd. Menjaga keutuhan rongga hidung e. Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela, perubahan bentuk punggung hidungf. Mencegah gangguan pertumbuhan hidung 6 KonservatifPenatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien. 1,10Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak sehingga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu terapi akan menurunkan resiko kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat mengenai kapan seharusnya penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan segera setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada hidung. Sayangnya, jarang pasien dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada jaringan lunak dapat mengaburkan apakah patah yang terjadi ringan atau berat dan membuat tindakan reduksi tertutup menjadi sulit dilakukan. Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah 3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi tertutup dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda setelah 7-10 hari maka akan terjadi kalsifikasi. 3,7 Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan penatalaksaan terhadap fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka dan kemungkinan kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan (debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus diperhatikan dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan kulit diperlukan untuk melapisi kartilago yang terbuka.7,12 OperatifUntuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung. 4,12A. Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut yang sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Namun, pada kasus tertentu tindakan reduksi terbuka di ruang operasi kadang diperlukan. Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat memberikan hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terbentuk proses kalsifikasi pada tulang hidung sehingga perlu dilakukan tindakan rinoplasti estetomi.Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan tindakan yang sederhana. Reposisi dilakukan dengan cunam Walsham. Pada penggunaan cunam Walsham ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi yang lain di luar hidung dia atas kulit yang diproteksi dengan selang karet. Tindakan manipulasi dilakukan dengan kontrol palpasi jari. 1Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi karena dislokasi tulang hidung, cunam Asch digunakan dengan cara memasukkan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur dikembalikan pada posisi semula dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan antibiotika.1Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti, sesudah pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk dari huruf T dan dipertahankan hingga 10-14 hari.1B. Teknik reduksi terbukaFraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan. Pada daerah dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam tulang. Masalah pada hidung menjadi kecil karena hidung mempunyai banyak suplai aliran darah bahkan pada masa sebelum adanya antibiotik, komplikasi infeksi setelah fraktur nasal dan rhinoplasti sangat jarang terjadi. 4,13Teknik reduksi terbuka diindikasikan untuk :
1. Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah trauma.2. Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Disini, sangat nyata adanya fragmentasi tulang sering dengan kerusakan ligamentum kantus medial dan apparatus lakrimalis. Reposisi dan perbaikan hanya mungkin dengan reduksi terbuka, dan sayangnya hal ini harus segera dilakukan.3. Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik manipulasi reduksi tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik reduksi terbuka harus dilakukan insisi pada interkartilago. Gunting Knapp disisipkan di antara insisi interkartilago dan lapisan kulit beserta jaringan subkutan yang terpisah dari permukaan luar dari kartilago lateral atas, dengan melalui kombinasi antara gerakan memperluas dan memotong.3 Komplikasi
A) Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum hematom ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang hilang. Prosedur yang harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan disertai dengan pemberian antibiotik setelah drainase. 3,7,12Penanganan hematom septum berupa : 3,13 insisi dan drainase hematoma,
pemasangan drain sementara,
pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum
dan memperkecil kemungkinan terjadinya hematom ulang
dimulainya terapi antibiotik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya infeksi.
B) Fraktur dinding orbita
Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat terjadi. Gejala klinis yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler. 3C) Fraktur septum nasalSekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal. Trauma pada hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa adanya kerusakan tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik manipulasi reduksi tertutup dengan menggunakan forceps Asch.3D) Fraktur lamina kribriformis
Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang akan menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak.12,15 PrognosisKebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka dan tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 % pasien.6,123.1.5.2 Fraktur Maksila
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau arteri karotis eksterna atau arteri etmoidalis anterior. Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi. 8,10Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.3,19A. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur fraktur Le Fort II dan III.Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.12-15B. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.12-15C. Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.
Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III
3.1.5.3 Fraktur tulang orbita
Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Fraktur ini memberikan gejala-gejala seperti enoftalmus, exoftalmus, diplopia, asimetri pada muka dan gangguan saraf sensoris.10
3.1.5.4 Fraktur tulang mandibula
Fraktur tulang mandibula adalah kedua terbanyak dari fraktur wajah. Penderita mengeluh maloklusi dan nyeri pada pergerakkan rahang. Selain itu terdapat juga gejala pembengkakan atau pun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula, anestesia dapat terjadi pada satu sisi bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak serta gangguan jalan napas disebabkan kerusakan hebat pada mandibula seperti terjadinya perubahan posisi, trismus, hematoma dan edema jaringan lunak.9
3.1.5.5 Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma
Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Gejala fraktur zigoma antara lain adalah pipi menjadi lebih rata, diplopia, edema periorbita, perdarahan subkonjungtiva, hipestesia atau anestesia, emfisema subkutis dan epistaksis karena terjadi pada antrum.8Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koronoid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi.83.1.6 DIAGNOSISSebuah riwayat trauma yang lengkap dibutuhkan, mulai dari kapan kejadian, penyebab trauma, bagaimana mekanisme kejadiannya, pertolongan pertama yang sudah dilakukan dan jumlah perdarahan. Sebuah riwayat trauma yang lengkap akan berpengaruh terhadap jenis dan waktu perawatan terjadi serta hasil akhirnya.1Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dan terfokus pada area trauma, dengan tetap mewaspadai luka-luka atau trauma lain yang berhubungan. Jika perlu dikonsultasikan ke spesialis lain seperti THT, mata dan bedah saraf.1,8Nilai lokasi, panjang dan kedalaman dari robekan dari wajah. Robekan, memar, terbakar berdampak merusak struktur yang lebih dalam. Bila ada hal tersebut, lakukan pemeriksaan teliti terhadap regio di sekitarnya. Selalu diasumsikan terdapat fraktur di bawah luka robekan atau memar sampai pemeriksaan klinis dan hasil radiologis membuktikannya.1,11Pemeriksaan fisik yang akurat dimulai dengan inspeksi bagian wajah simetris atau tidak. Perbandingan kedua sisi muka amat penting dan dapat digunakan referensi dari foto pasien. Setelah semua dilakukan inspeksi, dilanjutkan dengan palpasi dengan jari-jari di atas kelopak mata, hidung, arcus zigomatikus, dan batas-batas mandibula.11Pada pemeriksaan intraoral lakukan palpasi regio maksila dan mandibula, kemudian waspadai ada tidaknya pecahan gigi atau kehilangan gigi. Rahang dinilai dari gerakannya ke lateral atau ke depan belakang. Rasa lunak yang terlokalisasi atau pergerakan yang abnormal mengindikasikan adanya fraktur. Sensasi di daerah wajah dinilai.12Pemeriksaan intranasal mengidentifikasi robekan, hematoma dan area obstruksi dari dalam hidung. Mengalirnya cairan jernih dari hidung menunjukan rhinorrhea dari cairan cerebrospinal dan penting untuk kemungkinan fraktur di fossa anterior cranium dan dapat juga mengenai daerah cribiformis. 12Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan.4 CT scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan dari midfasial, seperti nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.6 Penilaian radiologis dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi orbita inferior, maksila, dan zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region frontozigomatikus dan arkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus zigomatikus.93.1.7 PENATALAKSANAAN
Secara umum penderita dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlukaan maksilofasial pada trauma kecil, misalnya dipukul atau ditendang, dapat diterapi pada intermediate biasa pada ruang gawat darurat. Kelompok kedua adalah kelompok perlukaan maksilofasial berat diakibatkan trauma tumpul berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan khusus.11,13Trauma maksilofasial berat harus dirawat pada tempat khusus diikuti dengan teknik ATLS. Pasien harus diperhatikan jalan napasnya dan bila terjadi cedera servikal harus dilakukan imobilisasi tulang leher. Pasien bisa dalam keadaan setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal. Jika perlu dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Pasien diberikan oksigenasi. Monitor tanda vital harus dilakukan setiap 5 10 menit, juga dipasang ECG serta pulse oksimetri. Pemberian anti tetanus serum diperlukan untuk mencegah tetanus dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi.13Penanggulangan fraktur muka dilakukan dengan reduksi tertutup atau terbuka. Biasanya reduksi terbuka dilakukan apabila reduksi tertutup gagal. Pada fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar menggunakan kawat baja atau mini-plate sesuai garis fraktur sehingga oklusi gigi menjadi sempurna. Optimalnya fraktur ditangani sebelum oedem pada jaringan muncul, tetapi pada praktek di lapangan hal ini sangat sulit. Pada fraktur zigoma, keputusan untuk penanganan tidak perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan keadaan yang darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu sampai oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih mudah.13,14Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi estetika dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak ada intervensi dan observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa antara 9-50% dari fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi diperlukan, perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi.6,13Pada fraktur mandibula penanggulangan tergantung pada lokasi fraktur, luasnya fraktur, dan keluhan yang diderita. Di negara maju untuk fraktur mandibula digunakan mini atau mikroplate yang dipasang dengan menggunakan skrup, keuntungannya lebih stabil, tidak memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu yang lama, mudah dikerjakan. Kekurangannya sulit didapat dan mahal.13,14Pada fraktur hidung sederhana dapat dilakukan reposisi dengan analgesia lokal. Akan tetapi anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif memerlukan anestesi umum. Analgesia lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidocain 1-2% yang dicampur dengan epineprin 1:1000%. Tampon kapas yang berisi obat analgesia lokal ini dipasang masing-masing 3 buah, pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakan pada meatus superior tepat di bawah tulang hidung, tampon kedua diletakan antara konka media dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen sfenopalatina, tampon ketiga diletakan antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10 menit. Kadang-kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray beberapa kali melalui rinoskopi anterior untuk mempermudah efek anestesi dan efek vasokonstriksi.14Penggunaan anestesi lokal yang baik dapat memberikan hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Tindakan reduksi ini dapat dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi sangat sedikit. Namun reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Sesudah waktu tersebut tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terjadi kalsifikasi sehingga harus dilakukan tindakan rinoplasti estetomi. Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi adalah elevator tumpul yang lurus (Boies nasal fracture elevator), cunam Asch, cunam Walsham, spekulum hidung pendek dan panjang (Killian), pinset bayonet.14
Deformitas hidung minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan tindakan sederhana. Reposisi dapat dilakukan dengan cunam Walsham. Pada penggunaan cunam Walsham ini, satu sisinya dimasukan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi lain di luar hidung di atas kulit yang diproteksi dengan selang karet. Tindakan manipulasi dikontrol dengan palpasi jari. Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang hidung, cunam Asch digunakan dengan cara memasukan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti sesudah pemasangan tampon pada kedua hidung. Fiksasi luar dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti huruf T dan dipertahankan hingga 10-14 hari.13,14
3.1.8 KOMPLIKASI
Komplikasi jaringan ikat umumnya pada proses penyembuhan luka, seperti jaringan parut. Penutupan kulit harus dilakukan dengan penanganan nontraumatic dari tepi luka dan harus menghasilkan tepi luka yang sedikit membalik keluar serta mengikuti garis kulit. 14Cedera saraf mungkin telah terjadi sebelum operasi akibat dari trauma awal. Oleh karena itu, status sensorik dan saraf motorik dari wajah dan dahi harus didokumentasikan sebelum operasi. Perawatan harus diambil untuk mengidentifikasi dan mempertahankan neurovaskular supraorbital dan infraorbital. Cedera ke akar gigi dari lubang sekrup salah dapat mengakibatkan gigi nonviable. Infeksi pasca operasi lebih cenderung terjadi dalam cedera jaringan lunak yang ekstensif, luka yang terkontaminasi, fraktur terbuka, fraktur berhubungan dengan ruang intranasal atau intraoral, atau tidak terevakuasi darah di sinus. Jika terapi antibiotik empiris tidak dapat menghapus infeksi, debridemen dan drainase mungkin diperlukan. Sinusitis dapat terjadi jika garis fraktur mengganggu drainase sinus. Malunion dan maloklusi serta deformitas bisa terjadi jika fiksasi tidak tepat atau longgar selama periode pascaoperasi. Pada fraktur tulang hidung dapat terjadi komplikasi neurologik seperti robeknya duramater, laserasi otak, sedang komplikasi pada mata dapat terjadi hematoma pada mata, ptosis, epifora, untuk komplikasi pada hidung dapat terjadi perubahan bentuk hidung, epistaksis posterior yang hebat dan gangguan penciuman.14,15BAB IVKESIMPULAN
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur orbita, fraktur mandibula dan fraktur maksila.Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma. Pada fraktur os nasal, perlu dipasang tampon sebagai penanganan awal untuk mengatasi pendarahan aktif hidung. Tujuan dari penatalaksanaan fraktur os nasal adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi hidung. Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka dan tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 % pasien.DAFTAR PUSTAKA1. Sofii I, Dachlan I. Correlation between midfacial fractures and intracranial lesion in mild and moderate head injury patients. Available at: http://bedahugm.com/Correlation-between-midfacial-fractures-and-intracranial-lesion-in-mild-and-moderate-head-injury-patients.php. Accesed on August 28, 2010.2. Berkovitz BK, Moxham BJ.A Textbook of Head & Neck Anatomy. 1st ed. Mosby-Year Book;1988. 3. Rohen JW, Yokochi C.Color Atlas of Anatomy.Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;1988.
4. Bron AJ, Tripathi RC, Tripathi BJ.Wolff's Anatomy of the Eye and Orbit. 8th ed.Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;1997. 5. Lang J.Clinical Anatomy of the Nose, Nasal Cavity, and Paranasal Sinuses.NY: Thieme Medical Publishers;1989. 6. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson lj et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co. 2003
7. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun IX hal 41-50.8. Dwidarto D. Affandi M. Pengelolaan deformitas dentofasial pasca fraktur panfascial (Management of the Dentofacial Defomity Post Panfacial Fracture: Case Report). Available at: http://www.pdgionline.com/web/index. php?option=content&task=category§ionid=4&id=10&Itemid=26. Accesed on August 28,2010.
9. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex Fractures. Dalam : Miloro M et al. Petersons principles of Oral and Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London: BC Decker Inc. 200410. Dutton JJ.Atlas of Clinical and Surgical Orbital Anatomy.Philadelphia: WB Saunders Co;1994. 11. Beaty NB, Le TT.Mandibular thickness measurements in young dentate adults. Arch Otolaryngol Head Neck Surg .Sep2009;135(9):920-3.
12. Haribhakti VV.The dentate adult human mandible: an anatomic basis for surgical decision making. Plast Reconstr Surg .Mar1996;97(3):536-41; discussion 542-3
13. Miller PJ, Smith S, Shah A.The subzygomatic fossa: a practical landmark in identifying the zygomaticus major muscle. Archives of Facial Plastic Surgery .Jul-Aug2007;9(4):271-4.
14. Zide BM, Swift R.How to block and tackle the face. Plast Reconstr Surg. Mar1998;101(3):840-51. 15. Webster RC, Gaunt JM, Hamdan US, et al.Supraorbital and supratrochlear notches and foramina: anatomical variations and surgical relevance. Laryngoscope .Mar1986;96(3):311-5.
8