kuburan batu waruga di sulawesi utara
TRANSCRIPT
TOURIST ATTRACTION
KUBURAN BATU WARUGA
SULAWESI UTARA
Oleh :
Resti Mey Yana
Waruga adalah kubur atau makam leluhurorang Minahasa yang terbuat dari batu dan
terdiri dari dua bagian. Bagian atasberbentuk segitiga seperti bubungan rumah
dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang.
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur
orang meninggal sebelum ditanam terlebih
dulu dibungkus dengan daun woka
(sejenis janur). Lambat laun, terjadi
perubahan dalam kebiasaan menggunakan
daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini
berubah dengan mengganti wadah rongga
pohon kayu atau nibung kemudian orang
meninggal dimasukkan ke dalam rongga
pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru
sekitar abad IX Suku Minahasa mulai
menggunakan waruga. Orang yang telah
meninggal diletakkan pada posisi
menghadap ke utara dan didudukkan
dengan tumit kaki menempel pada pantat
dan kepala mencium lutut.
Tujuan dihadapkan ke bagian Utara
yang menandakan bahwa nenek
moyang Suku Minahasa berasal dari
bagian Utara. Sekitar tahun 1860
mulai ada larangan dari Pemerintah
Belanda menguburkan orang
meninggal dalam waruga.
Kemudian di tahun 1870, Suku
Minahasa mulai membuat peti mati
sebagai pengganti waruga, karena
waktu itu mulai berjangkit berbagai
penyakit, di antaranya penyakit tipus
dan kolera.
SEJARAH
Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen mengharuskanmayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki ukiran dan relief
umumnya terdapat di Tonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang tersimpandi waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencarian atau pekerjaan orang
tersebut semasa hidup.
Di Minahasa bagian utara, pada awalnya waruga-waruga yang ada tersebar yang akhirnyadikumpulkan pada satu tempat. Saat ini waruga yang tersebar tersebut dikumpulkan di Desa
Sawangan, Kabupaten Minahasa Utara, yaitu sebuah desa yang terletak di antara Tondano (ibukotaKabupaten Minahasa) dengan Airmadidi (ibukota Kabupaten Minahasa Utara). Kini lokasi waruga-waruga di Desa Sawangan tersebut menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Sulawesi Utara.
Tempat ini pun telah dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun1995.
Seorang arkeolog perempuan asal Sulawesi Utara bernama, Yuniawati Umar (1997), menjelaskan bahwa waruga termasuk peninggalan ‘megalitik’
berlangsung mulai masa ‘neolitik’ sekitar 4500 tahun yang lalu sampaidengan masa sekarang ini ‘gelalitik’. Perkiraan rentang waktu kapan
waruga muncul di Minahasa, berdasarkan informasi dari Kanwil DepdikbudSulut, didasari atas ‘konstatasi’ dan beberapa ‘komparasi’ yang ada,
diperkirakan sebelum abad XIV (pra-Kristenisasi). Dikatakan bahwa jenisbatu waruga merupakan salah satu peninggalan megalitik yang mempunyaikarakteristik khusus yang berbeda dengan peninggalan megalitik lainnya di
Indonesia.
Berdasarkan hasil surveinya tentang waruga di Tanah Minahasa, keseluruhannya berjumlah 1259 buah. Yang paling banyak tersebar di
daerah/pakasa’an, antara lain:
1) Pakasa’an Tonsea (Tumaluntung=280 buah, Airmadidi=210 buah, Sawangan=185 buah, Tatelu 42 buah);
2) Pakasa,an Toulour (Nimawale=70 buah, Nimawale Langoan=22 buah, Koya34 buah);
3) Pakasa’an Tombulu (Woloan=60 buah, Tara - Tara=30 buah, danSaronsong 20 buah).
Hal yang paling menarikadalah waruga itu dibuat
sendiri oleh orang yang akanmeninggal. Ketika orang ituakan meninggal maka diadengan sendirinya akanmemasuki waruga yang
dibuatnya itu setelah diberibekal kubur yang
selengkapanya. Kelak bila itudilakukan dengan sepenuhnyaakan mendatangkan kebaikan
bagi masyarakat yang di tinggalkan.
Mengenai isi yang ada di dalam kuburbatu waruga, adalah selain berisi
jenazah, juga terdapat seperangkatperalatan sebagai ‘tukal kubur’ berupa
piring dan mangkuk, manik-manik, gelang, pisau, tombak, mata uang atauperalatan apa saja yang sudah popular
ketika itu. Hal ini dilakukan karenamenurut kepercayaan setempat, orang
yang meninggal itu dalam perjalanannyakea lam baka (dunia akhirat), perlu
dibekali bahan dan perlengkapan sebagai‘siagaan’ menghadap Sang Pencipta.
Menurut kepercayaan setempat di masa itu, orang wafat harus ‘dipulangkan' ke alam baka sebagaimanaposisinya dalam rahim. Hingga mereka tidak berbaring telentang, tapi dibuat dalam kondisi seperti janin,
yaitu meringkuk atau disebut foetal position.
Urut-urutannya, jenazah disucikan dan diberi mantra serta sesaji. Lantas diarak keliling desa sebanyak tigakali yang melambangkan perpisahannya dengan dunia fana, lalu posisinya dibuat seperti janin dan
dimasukkan ke dalam waruga beserta barang-barang pendamping kesehariannya. Seperti senjata tradisionalatau peranti kerjanya. Juga disertakan emas dan berbagai perhiasan yang dipercaya tetap akan ia gunakan
di alam baru nanti.
Masyakarat kawasan ini senantiasa menggunakan waruga sebagai sarana pemakaman sanak keluargamereka sampai sekitar abad ke-17. Baru berakhir ketika pemerintah Hindia Belanda melakukan larangan
pemakaian makam waruga ketika terjangkit wabah penyakit, yang diduga kaum penjajah endeminya berasaldari jasad yang tidak dikubur dalam tanah.