kti desi aisyarini -...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

PEMBERIAN NEBULIZER DAN BATUK EFEKTIF TERHADAP STATUS
PERNAFASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN
CHRONIC OBSTRUKTIVE PULMONALY DISEAS
DI RUANG ANGGREK 1 RUMAH SAKIT
Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DISUSUN OLEH :
DESI AISYARINI
NIM. P 13 076
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016

i
PEMBERIAN NEBULIZER DAN BATUK EFEKTIF TERHADAP STATUS
PERNAFASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. A DENGAN
CHRONIC OBSTRUKTIVE PULMONALY DISEAS
DI RUANG ANGGREK 1 RUMAH SAKIT
Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
DESI AISYARINI
NIM. P 13 076
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016

ii

iii

iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah dengan Judul “Pemberian Nebulizer dan Batuk Efektif Terhadap Status
Pernafasan pada Asuhan Keperawatan Tn. A dengan Chronic Obstruktive Pulmonaly
Deases di Ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penilis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat :
1. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku Ketua STIKes yang telah memberikan
kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani M.Kep, selaku Ketua Prodi Studi DIII Keperawtan yang telah
memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada
Surakarta.
3. Ns. Alfyana Nadya R. M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII Keperawtan
yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Ns. Anisa Cindy Nurul A, M.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan,
inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi
sempurnanya studi kasus ini.

v
5. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku dosen penguji I yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan
nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
6. Ns. Anisa Cindy Nurul A, M.Kep, selaku dosen penguji II yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan
nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
7. Semua dosen Progran Studi DIII Keperawtan STIKes Kusuma Husada Surakarta
yang telah memeberikan bimbingan dengan sabar dan wawasanya serta ilmu
yang bermanfaat.
8. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
9. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta 3A maupun 3B, teman-teman Fredi’s and Bandy’s Family dan
berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan
dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, Mei 2016
Penulis

vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ............................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Tujuan Pnulisan ................................................................................ 5
C. Manfaat ............................................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori .................................................................................... 7
B. Penyakit Paru Obstruksi Kronis ........................................................ 7
C. Asuhan Keperawatan ....................................................................... 16
D. Nebulizer ......................................................................................... 25
E. Batuk Efektif ..................................................................................... 28
F. Status Pernafasan .............................................................................. 30

vii
G. Kerangka Teori ................................................................................ 37
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset ...................................................................... 38
B. Tempat dan Waktu ........................................................................... 38
C. Media dan Alat ................................................................................ 38
D. Prosedur Tindakan .......................................................................... 40
E. Alat Ukur Evaluasi Dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset ...... 43
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien ................................................................................. 45
B. Pengkajian ........................................................................................ 46
C. Perumusan masalah keperawatan ..................................................... 54
D. Perancanaan ...................................................................................... 56
E. Implementasi ..................................................................................... 57
F. Evaluasi ............................................................................................. 63
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ........................................................................................ 67
B. Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 72
C. Perencanaan ...................................................................................... 77
D. Implementasi .................................................................................... 82
E. Evaluasi ............................................................................................. 87

viii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 92
B. Saran ................................................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ix
DAFTAR TABEL
1 Tabel 1 Kecepatan Respiratory Rate ............................................... 44

x
DAFTAR GAMBAR
1 Gambar 1 Kerangka Teori ............................................................... 37

xi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 USULAN JUDUL
LAMPIRAN 2 LEMBAR KONSULTASI
LAMPIRAN 3 SURAT PERNYATAAN
LAMPIRAN 4 JURNAL
LAMPIRAN 5 ASUHAN KEPERAWATAN
LAMPIRAN 6 LOG BOOK
LAMPIRAN 7 PENDELEGASIAN
LAMPIRAN 8 LEMBAR OBSERVASI
LAMPIRAN 9 SOP NEBULIZER, BATUK EFEKTIF DAN STATUS
PERNAFASAN
LAMPIRAN 10 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit paru obstruksi kronis merupakan salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
dunia saat ini tidak hanya bagi negara maju namun juga di negara berkembang
(Helmi, dkk 2013).
Pada tahun 2002 jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di
negara-negara Asia Pasifik memiliki angka prevalens (6,3%). Angka bagi
masing-masing negara berkisar (3,5-6,7%). Negara dengan angka terkecil
adalah Hongkong dan Singapura (3,5%), sedangkan negara dengan angka
terbesar adalah Vietnam (6,7%). Indonesia memiliki angka angka (5,6%).
Pada tahun 2008 PPOK menjadi salah satu penyakit dengan angka morbiditas
yang tinggi di Selandia Baru pada tahun 2012 dengan proporsi (14%)
penduduk usia 40 tahun ke atas dan pada tahun berikutnya diperkirakan akan
mengalami kenaikan (WHO, 2013).
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM &
PL di 5 rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Tengah, Jawa Barat,Jawa
Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukan PPOK
berada diurutan pertama dengan angka 35%. Pada tahun 2010 Dinas
Kesehatan Yogyakarta menyatakan PPOK menduduki peringkat ke-4

2
penyebab kematian di Indonesia. Sebanyak (10%) penduduk usia 40 tahun
keatas menderita PPOK (WHO 2010).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pumonaly Disease (COPD) adalah penyakit yang dapat diobati dan dicegah
yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon peradangan
yang abnormal dari paru terhadap udara yang berbahaya yang mengakibatkan
penyempitan dari saluran udara, hipersekresi lendir, dan perubahan dalam
pembuluh darah paru (Brunner & Suddarth, 2002). Penyakit Paru Obstruksi
Kronis sering ditandai oleh sekresi yang sangat banyak dan sekresi tersebut
harus di keluarkan untuk mencegah komplikasi paru. PPOK atau COPD
merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang
menahun dan presisten dari jalan nafas di dalam paru (Murwani, 2011).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pumonaly Disease (COPD) merupakan keadaan yang ditandai dengan
kelemahan kemampuan untuk bernapas, mereka yang menderita COPD akan
menanggung akibat dari kurangnya oksigen. Penurunan kadar oksigen dalam
sirkulasi dan jaringan tubuh, menempatkan pasien pada risiko tinggi terhadap
beberapa kondisi serius lainnya. Bila COPD menunjukkan keadaan ketidak
seimbangan antara perbaikan paru dan mekanisme pertahanan diri
menyebabkan fibrosis jalan nafas perifer, sehingga rusaknya struktur

3
bronkiolus dan melebarnya alveoli yang nantinya menyebabkan meningkatnya
tahanan dijalan napas perifer, akhirnya terjadi obstruksi sehingga
memperberat penyempitan jalan napas akibat adanya edema dan hipersekresi
mucus (Brunner & Suddarth, 2002).
Pada asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa Penyakit Paru
Obstruksi Kronis akan muncul masalah yaitu ketidakefektifan bersihan jalan
nafas yang disebabkan oleh hipersekresi, pasien mengalami batuk produktif
kronik, sesak nafas, intoleransi aktifitas karena suplei oksigen terganggu,
mengi (Francis, 2008). Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka
dilakukan Intervensi keperawatan yang dilaksanakan pada pasien Penyakit
paru obstruksi kronis yaitu membersihkan sekresi bronkus dengan
pertolongan berbagai cara, pengobatan simtomatik (lihat tanda dan gejala
yang muncul), sesak nafas diberi posisi yang nyaman semi fowler, dehidrasi
diberi minum yang cukup, penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang
timbul, mengatur posisi dan pola bernafas untuk mengurangi jumlah udara
yang terperangkap, memberi penjelasan tentang teknik-teknik relaksasi dan
cara untuk menyimpan energi (Padila, 2012). Salah satu intervensi
keperawatan yang dilaksanakan pada pasien PPOK yaitu mengeluarkan sekret
agar saluran pernafasan kembali efektif. Salah satunya yaitu tindakan yang
bisa di laksanakan klien untuk mengeluarkan sekret yaitu terapi nebulizer dan
teknik terapi batuk efektif (Pranowo, 2008).

4
Nebulasi adalah salah satu terapi inhalasi dengan menggunakan alat
bernama nebulizer. Alat ini mengubah cairan menjadi droplet aerosol
sehingga dapat dihirup oleh pasien. Obat yang digunakan untuk nebulizer
dapat berupa solusio atau suspensi (Tanto, 2014).
Nebulizer merupakan suatu alat pengobatan dengan cara pemberian
obat-obatan dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut terlebih dahulu
dipecahkan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara aerosol
atau humidifikasi. Tujuan dari pemberian nebulizer yaitu rileksasi dari psasme
bronchial, mengencerkan sekret melancarkan jalan nafas, melembabka saluran
pernafasan (Purnamadyawati, 2000).
Tehnik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk
membersihkan sekresi dari saluran nafas. Tujuan dari batuk efektif adalah
untuk meningkatkan ekspansi paru, mobilisasi sekresi dan mencegah efek
samping dari retensi sekresi seperti pneumonia, atelektasis dan demam.
Dengan batuk efektif pasien tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk
mengeluarkan sekret (Pranawo, 2008). Caranya adalah sebelum dilakukan
batuk, klien dianjurkan untuk minum air hangat dengan rasionalisasi untuk
mengencerkan dahak. Setelah itu dianjurkan untuk inspirasi dalam. Hal ini
dilakukan selama dua kali. Kemudian setelah inspirasi yang ketiga, anjurkan
klien untuk membatukkan dengan kuat (Pranowo, 2008).
Berdasarkan berbagai data dan informasi di atas maka penulis tertarik
untuk melakukan studi kasus tentang pemberian nebulizer dan batuk efektif

5
pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis, karena pada kasus ini pasien
mengalami batuk produktif dan peningkatan frekuensi infeksi saluran
pernafasan bawah. Pada dasarnya jika sputum tertumpuk maka akan terjadi
pengumpalan sekresi pernafasan pada area jalan nafas dan paru-paru serta
menutup sebagian jalan udara yang kecil sehingga menyebabkan ventilasi
menjadi tidak adekuat dan gangguan pernafasan, maka tindakan yang harus
dilakukan adalah nebulizer dan batuk efektif (Pranowo, 2008).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan tindakan nebulizer dan batuk efektif terhadap status
pernafasan pada pasien PPOK
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan PPOK
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
dengan PPOK
c. Penulis mampu menyusun intervensi pada pasien dengan PPOK
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan PPOK
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan PPOK
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian nebulizer dan batuk
efektif terhadap status pernafasan pasien PPOK

6
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Institusi
Sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam manfaat
pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pasien
PPOK
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan khususnya untuk perawat dalam manfaat
pemberian nebulizer dan batuk efektif yang pada pasien yang mengalami
penyakit PPOK sehingga perawat mampu memberikan tindakan yang
tepat kepada pasien.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai tambahan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang manfaat
pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pasien
PPOK
4. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan peneliti tentang masalah keperawatan
oksigenisasi dan merupakan suatu pengalaman baru bagi penulis atas
informasi yang diperoleh selama penelitian

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
a. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah keadaan
penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. keterbatasan aliran udara ini biasanya progresif
dan berhubungan dengan respons peradangan yang abnormal dari paru
terhadap partikel atau udara yang berbahaya (Tanto, 2014).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK/COPD) merupakan
suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru
yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan PPOK adalah asma
bronchitis, bronchitis kronis, dan emfisema (Soemantri, 2007).
b. Klasifikasi
1) Bronkitis kronis
Adanya gangguan klinis yang ditandai dengan hiperproduksi
mukus dari percabangan bronkus dengan pencerminan batuk yang
menahun. Simtom tersebut terus terdapat setiap hari selama 2

8
tahun berturut-turut. Hal ini terdapat pada TBC paru, tumor paru
dan abses paru (Murwani, 2011).
2) Empisema
Adanya kelainan paru dengan pelebaran abnormal dari ruang udara
distal dari bronkiolis terminal yang disertai dengan penebalan dan
kerusakan di dinding alveoli (Murwani, 2011).
3) Bronkitis empisema
Adalah campuran bronkitis menahun dan empisema (Murwani,
2011).
4) Asma kronis dan bronkitis asmatis
a) Asma menahun pada asma bronkial menahun yang
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
b) Bronkitis asmatis adalah bronkitis yang menahun kemudian
menunjukkan tanda-tanda hiperaktifitas bronkus, yang di
tandai dengan sesak nafas dan wheezing (Murwani, 2011).
5) Penyakit TBC yang berkembang menjadi PPOM (Murwani, 2011).
c. Etiologi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis disebabkan oleh faktor
lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah.
Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus
pada laki-laki dengan usia antara 30 sampai 40 tahun paling banyak
menderita PPOK (Padila, 2012).

9
1) Usia
PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali
secara klinis sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang termasuk
perkeculian yang jarang dari pernyataan umum ini seringkali
berhubungan dengan sifat yang terkait dengan defisiensi bawaan.
Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan seseorang mengalami
emfisiema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang berisiko
menjadi semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008).
2) Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK yang paling umum,
dan mencakup 80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan.
Diduga bahwa sekitar 20% orang yang merokok akan mengalami
PPOK, dengan resiko perseorangan meningkat sebanding dengan
peningkatan jumlah rokok yang dihisapnya. Mengenai merokok,
merokok akan menekan aktivitas sel-sel pemangsa dan
mempengaruhi mekanisme pembersihan siliaris dari trakus
respiratorius, yaitu berfungsi untuk menjaga saluran pernafasan
bebas dari iritan, bakteri dan benda asing lainya yang terhirup.
Jumlah yang diisap oleh seseorang diukur dengan istilah pack
years, Satu pack years = menghisap 20 batang rokok per hari
selama satu tahun. Dengan demikian, seseorang yang merokok 40
batang rokok per hari selama satu tahun atau mereka yang

10
merokok 20 batang rokok selama dua tahun akan memiliki
akumulasi yang ekuivalen dengan 2 pack years (Francis, 2008).
3) Latar belakang genetik dan keluarga
Telah ditemukan keterkaitan keluarga yang lemah, tidak
seperti pada asma di riwayat asma sebelumnya di dalam keluarga
sangat dipertimbangankan sebagai faktor resiko yang penting.
(Francis, 2008).
d. Manifestasi klinis
Menurut Padila (2012) manifestasi klinis meliputi :
1) Batuk kronis
2) Sputum yang sangat produktif
3) mudah terkena iritasi oleh iritan-iritan inhalan, udara dingin atau
infeksi.
4) Sesak nafas
5) Terdapat otot bantu pernafasan
6) Hipoksia dan hiperkapnea
7) Takipnea
e. Patofisiologi
Menurut Morton,dkk, (2012) patofisiologi PPOK :
Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologis berikut
biasanya terjadi secara berurutan: hipersekesi mukus, disfungsi sillia,
keterbatasan aliran udara, hiperinflanasi pulmonal, abnormalitas

11
pertukuran gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas perifer menjadi
tempat utama obstruksi pada pasien PPOK. Perubahan struktural
dinding jalan nafas adalah penyebab terpenting peningkatan tahanan
jalan nafas perifer. Perubahan inflamasi seperti edema jalan nafas dan
hipersekresi mukus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas
perifer. Hipersekresi mukus disebabkan oleh abnormalitas ini dapat
terjadi selama beberapa tahun sebelum abnomalitas lain terjadi.
Keterbatasan aliran udara ekspirsi adalah temuan penting pada PPOK.
Ketika proses penyakit berkembang, volume ekspirasi kuat dalam satu
detik (forced expiratory volume in 1 second, FEV 1) dan kapasitas
vital kuat (forced vital capacity, FPC) menurun, hal ini berhubungan
dengan peningkatan ketebalan dinding jalan nafas, penurunan
kelekatan alveolar dan penurunan recoil elastis paru. Sering kali tanda
pertama terjadi keterbatasan aliran udara adalah penurunan rasio FEV1
pasca bronkodilator kurang dari 80% dari nilai prediksi yang
dikombinasikan.
f. Komplikasi
Menurut Muwarni (2011) komplikasi PPOK :
1) Kegagalan respirasi akibat sesak nafas atau dispnea.
2) Kardiovaskuler yaitu kor pulmonal aritmia jantung.
3) Ulkus peptikum.

12
4) PPOM umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu
yang lama, penderita jadi cacat dan tidak dapat melakukan
kegiatan sehari-hari.
5) Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi dan kematian
mendadak karena aritmia jantung.
g. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan farmakologi
a) Bronkodilator
Sesak nafas yang memburuk biasanya dapat ditangani
dengan penambahan bronkodilator kerja-singkat biasa maupun
dengan meningkatkan frekuensi penggunaannya. Penggunaan
nebulezier untuk memberikan pengobatan inhalasi secara rutin
digunakan di rumah sakit, walaupun demikian jika pasien
mampun mempertahankan tehnik inhalasi yang baik dengan
menggunakan spacer bervolume besar, maka metode ini telah
terbukti sama efektifnya dengan terapi nebulisasi (Francis,
2008).
b) Antibiotik
Terapi antibiotik sering diresepkan pada eksaserbasi
PPOK, dengan pemilihan antibiotik bergantung kepada
kebijakan lokal, terapi secara umum berkisar pada penggunaan
yang disukai antara amoksisilin, klaritromisin, atau trimetopri.

13
Biasanya lama terapi tujuh hari sudah mencukupi (Francis,
2008).
c) Indikasi oksigen
Pemberian oksigen dilakukan pada hipoksia akut atau
menahun yang tidak dapat diatasi dengan obat. Serangan
jangka pendek dengan ekserbasi akut, dan serangan akut pada
asma (Murwani, 2011).
2) Penatalaksanaan non farmakologi
a) Aktivitas olahraga
Program aktivitas olahraga untuk PPOK dapat terdiri
atas sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan
diatur waktunya, dan frekuensinya dapat berkisar dari setiap
hari sampai setiap minggu (Morton,dkk, 2012).
b) Konseling nutrisi
Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi
pada lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit.
Insiden malnutrisi bervariasi sesuai dengan derajat
abnormalitas pertukaran gas (Morton,dkk, 2012).

14
c) Penyuluhan
Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling
efektif dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK dan
memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Sesi konseling
singkat untuk mendorong perokok berhenti merokok
menyebabkan angka berhenti menjadi 5% sampai 10%
(Morton,dkk, 2012).
3) Pemeriksaan diagnostik
a) Uji fungsi paru
Bisa menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara
pada kasus PPOK merupakan hal yang paling penting secara
diagnostik. Hal ini biasanya dilakukan menggunakan laju
aliran ekspirasi puncak PEF. Pada beberapa kasus dimana
PPOK dicurigai, perlu dipertimbangkan untuk mengunakan
peak expiratory flow pediatrik. Ini bermanfaat untuk mencatat
volume keluaran yang lebih kecil dengan menyediakan skala
yang tepat untuk akurasi yang lebih baik. Hal ini sangat
berguna jika sebelumnya peak expiratory flow dewasa
menunjukkan angka yang rendah dan berubah-rubah atau jika
pasien mengalami kesulitan merapatkan mulut disekitar mouth
piece pada peak expiratory flow dewasa. Penting untuk dicatat
bahwa, sementara nilai laju aliran ekspirasi puncak yang

15
normal saja tidak dapat menyingkirkan diagnosis PPOK, nilai
FEV (volume udara yang dapat diekspirasi dalam waktu
standar selama tindakan FVC) normal yang diukur dengan
spirometer akan menyikirkan diagnosis PPOK (Francis, 2008).
b) Spirometri
Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat uji
reversibilitas digunakan untuk mematikan diagnosis yang
tepat. Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan hasil
spirometri yang di dapat saat episode debilitas respirasi dengan
hasil yang didapat setelah beberapa saat pemulihan. Pada kasus
asma uji reversibilitas akan menunjukkan bahwa terjadi
perbaikan setelah pemulihan, data numerik yang diperoleh
dapat berada diantara batas normal atas dan bawah. Hal ini
tidak khas pada PPOK dimana data akan menunjukkan
terjadinya sedikit perbaikan (Francis, 2008).
d) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Murwani (2012) pemeriksaan laboratorium pada
PPOK :
(1) Leukosit
(2) Eritrosit
(3) Hemoglobin
(4) BBS atau LED

16
(5) Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen)
(6) Semuanya sama dengan penyakit primernya
(7) Photo thoraks
Menurut Murwani (2012) photo thoraks meliputi :
(1) Bayangan lobus
(2) Corakan paru bertambah (bronkitis akut)
(3) Defesiensi arterial corakan paru bertambah (emfisiema)
2. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan
dan keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan.
Tujuan dari pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang
keadaan kesehatan pasien, menentukan masalah keperawatan dan
kesehatan pasien, menilai keadaan kesehatan pasien, membuat
keputusan yang tepat dalam menentukan langkah – langkah berikutnya
(Dermawan, 2012).
Pengkajian yang di lakukan pada pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronis:
1) Berapa lama pasien mengalami kesulitan pernafasaan
2) Kapan gejala muncul

17
3) Batasan terhadap toleransi aktifitas
4) Makanan dan pola tidur
5) Pengetahuan pasien tentang penyakit yang dialaminya
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan:
1) Frekuensi nadi dan pernafasan
2) Sianosis
3) Pembesaran vena leher
4) Edema perifer
5) Warna, jumlah, dan konsistensi sputum
6) Tingkat kegelisahan (Smeltzer dan Bare, 2002)
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai
respon individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan
atau proses kehidupan yang aktual atau potensial yang merupakan
dasar untuk memilih intervensi keperawatan untuk mencapai hasil
yang merupakan tanggung jawab perawat. Tujuan adalah
mengarahkan rencana asuhan keperawatan untuk membantu klien dan
keluarga beradaptasi terhadap penyakit dan menghilangkan masalah
keperawatan kesehatan (Dermawan, 2012).
Setelah melakukan analisis atau sintesis dan muncul diagnosa
keperawatan, maka perawat harus melakukan prioritas diagnosa
keperawatan menurut kebutuhan dasar manusia. Manusia mempunyai

18
kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui
proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun
kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat penting, bermaanfaat,
atau diperlukan untuk menjaga homeostasis dan kehidupan itu sendiri.
Banyak ahli filsafat, psikologis dan fisiologis menguraikan kebutuhan
manusia dan membahasnya dari berbagi segi. Abraham Maslow
seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang
Kebutuhan Dasar Manusia Maslow. Hierarki tersebut meliputi lima
kategori kebutuhan dasar, yakni:
1) Kebutuhan fisiologis, kebutuhan fisiologis memiliki prioritas
tertinggi dalam hierarki maslow, kebutuhan fisiologis merupakan
hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan hidup. Manusia
memiliki delapan macam kebutuhan, yaitu: kebutuhan oksigen dan
pertukaran gas, kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan
makanan, kebutuhan eliminasi urine, kebutuhan istirahat dan tidur,
kebutuhan aktivitas, kebutuhan kesehatan temperatur tubuh,
kebutuhan seksual.
2) Kebutuhan keselamatan dan rasa aman
3) Kebutuhan rasa cinta
4) Kebutuhan harga diri
5) Kebutuhan aktualisasi diri (Mubarak dan Cahyatin, 2008).

19
Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada pasien PPOK menurut
Smeltzer dan Bare (2002) dapat mencakup yang berikut ini:
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi-perfusi.
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak
efektif, dan infeksi bronkopulmonal.
3) Resiko tinggi infeksi pernafasan behubungan dengan akumulasi
sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder
akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufinsiensif ventilasi
dan oksigen.
5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipoksemia dan pola
pernafasan tidak efektif.
c. Intervensi keperawatan
Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan,
menentukan hasil akhir perawataan klien, mengidentifikasi tindakan
keperawatan dan klien yang sesuai dan rasional ilmiahnya, dan
menetapkan rencana asuhan keperawatan, diagnosa diprioritaskan
sesuai dengan keseriusan atau mengancam jiwa. Tujuannya adalah
untuk mengidentifikasi fokus keperawatan kepada pasien atau

20
kelompok, untuk membedakan tangguang jawab perawat dengan
profesi kesehatan lain, untuk menyediakan suatu kriteria guna
pengulangan dan evaluasi keperawatan, untuk menyediakan kriteria
dan klasifikasi pasien (Dermawan, 2012).
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi-perfusi.
Intervensi keperawatan :
a) Kaji keefektifan jalan nafas.
Rasional : Bronkhospasme di deteksi ketika terdengar mengi
saat di auskultasi dengan stetoskop. Peningkatan pembentukan
mukus sejalan dengan penurunan aksi mukosiliaris menunjang
penurunan lebih lanjut diameter.
b) Kolaborasi untuk pemberian bronkhodilator
Rasional : terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi
sehingga dapat dibuang. Bronkhodilator yang dihirup sering
ditambahkan ke dalam nebulizer untuk memberikan aksi
bronkhodilator langsung pada jalan nafas, dengan demikian
memperbaiki pertukaran gas.
c) Lakukan fisioterapi dada
Raional : Setelah inhalasi bronkodilator nebulizer, klien
disarankan untuk meminum air putih untuk lebih
mengencerkan sekresi, kemudian membatukkan dengan

21
ekspulsif atau postural drainase akan membantu dalam
pengeluaran sekresi. Klien dibantu untuk melakukan hal ini
dengan cara yang tidak membuatnnya keletihan.
d) Kolaborasi untuk pemantauan analisis gas arteri
Rasional : sebagai bahan evaluasi setelah melakukan intervensi.
e) Kolaborasi pemberian oksigen via nasal
Rasional : oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia. Perawat
harus memantau menggunakan alat pemberian oksigen. Klien
diinstruksikan tentang penggunaan oksigen yang tepat dan
tentang bahaya peningkatan laju aliran oksigen tanpa ada
arahan yang eksplisit dari perawat (Muttaqin, 2008).
2) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum
Rasional : karakteristik sputum dapat menunjukkan berat
ringannya obstruksi.
b) Atur posisi semi fowler
Rasional : meningkatkan ekspansi dada.
c) Ajarkan cara batuk efekti
Rasional : batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan
pengeluaran sekret yang melekat di jalan nafas.

22
d) Bantu klien latihan nafas dalam
Rasional : ventilasi maksimal membuka lumen jalan nafas dan
meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk
dikeluarkan.
e) Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari kecuali
tidak diindikasikan.
Rasional: hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret
dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
f) Kolaborasi pemberian mukolitik dan ekspektoran
Rasional : menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret
paru unuk memudahkan pembersihan.
g) Kolaborasi pemberian kortikosteroid
Rasional : menurunkan reaksi inflamasi akibat edema mukosa
dan dinding bronkus (Muttaqin, 2008).
3) Resiko tinggi infeksi pernafasan berhubungan dengan akumulasi
sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
Intevensi keperawatan:
a) Kaji kemampuan batuk klien.
Rasional : batuk yang diberikan dengan infeksi bronkhial
melalui siklus yang ganas dengan trauma dan kerusakan pada
paru lebih lanjut, kemajuan gejala, peningkatan
bronkhospasme, dan peningkatan lebih lanjut terhadap

23
kerentanan infeksi bronkhial. Infeki menggangu fungsi paru
dan merupakan penyebab umum gagal nafas pada klien
dengan PPOK.
b) Monitor adanya perubahan yang mengarah pada tanda-tanda
infeksi penafasan
Rasional: klien di instruksikan untuk melaporkan dengan
segera jika sputum mengalami warna, karena pengeluaran
sputum purulen atau perubahan karakter, warna, atau jumlah
adalah tanda dari infeksi.
c) Ajarkan latihan bernafas dan training penafasan
Rasional : latihan bernafas, sebagian besar individu dengan
PPOK bernafas dalam dari dada bagian atas dengan cara yang
cepat dan tidak efisien. Jenis bernafas dengan dada atas ini
dapat diubah menjadi bernafas diafragmatik dengan latihan.
Training pernafasan diafragmatik mengurangi frekuensi
pernafasan, meningkatkan ventilasi alveolar, dan kadang
membantu mengeluarkan udara sebanyak mungkin selama
ekspiasi (Muttaqin, 2008).
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder
akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufiensif ventilasi dan
oksigenasi.
Intervensi keperawatan:

24
a) Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan
diagframatik dengan efektivitas (misalnya berjalan dan
membungkuk).
Rasional : akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan
untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea
selama aktivitas.
b) Berikan pasien dorongan untuk memulai mandi sendiri,
berpakaian sendiri, berjalan dan minum. Bahas tentang tindakan
penghematan energi.
Rasional : sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan
mampu melakukan lebih banyak namun perlu di dorong untuk
menghindari peningkatan ketergantungan.
c) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan
Rasional : memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat
dalam perawatan dirinya, membantu membangun harga diri
dan menyampaikan untuk mengatasi di rumah (Smletzer dan
Bare, 2002).
5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan akibat keletihan,
hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas

25
Rasional : menjadi dasar dalam melakukan intervensi
selanjutnya.
b) Atur cara aktifitas klien sesuai kemampuan
Rasional : klien dengan PPOM mengalami penurunan toleransi
terhadap olahraga pada periode yang pasti dalam satu hari, hal
ini terutama tampak nyata pada saat bangun di pagi hari, karena
sekresi bronkhial dan edema menumpuk dalam paru selama
malam hari ketika individu berbaring.
c) Ajarkan latihan otot-otot pernafasan
Rasional : setelah klien mempelajari pernafasan diafragmatik,
suatu program pelatihan otot-otot penafasan dapat diberikan
untuk membantu menguatkan otot-otot yang digunakan dalam
benafas (Muttaqin, 2008).
3. Nebulizer
Nebulasi adalah salah satu terapi inhalasi dengan menggunakan
alat bernama nebulizer. Alat ini mengubah cairan menjadi droplet aerosol
sehingga dapat dihirup oleh pasien. Obat yang digunakan untuk nebulizer
dapat berupa solusio atau suspensi (Tanto, 2014).
Nebulizer merupakan suatu alat pengobatan dengan cara
pemberian obat-obatan dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut
terlebih dahulu dipecahkan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil
melalui cara aerosol atau humidifikasi (Purnamadyawati, 2000).

26
a. Tujuan pemberian nebulizer
Menurut Purnamadyawati (2000) tujuan dari pemberian nebulizer
antara lain :
1) Rileksasi dari spasme bronchial
2) Mengencerkan sekret
3) Melancarkan jalan nafas
4) Melembabkan saluran pernafasan
b. Alat
Menurut Tanto (2014) alat yang digunakan :
1) Nebulizer (umumnya nebulizer jet, dapat juga digunakan
kompresor oksigen)
2) Masker, mouth piece, atau kanul trakea.
3) Konektor.
4) Chamber sebagai tempat penampungan obat.
c. Bahan
Menurut Tanto (2014) bahan yang digunakan :
1) Obat-obatan dalam bentuk solusio. Seperti :
a) Beta-2 agonis : salbutamol solusio 2,5 mg/2cc, fenoterol
solusio 100µg/ml.
b) Antikolinergik : ipratropium bromida solusio 0,25 mg/ml.
c) Deuretik, antibiotik, anestesi lokal, surfaktan, atau
kartikosteroit.

27
d) Cairan salin normal.
d. Indikasi
Menurut Tanto (2014) :
1) Asma
2) PPOK
3) Fibrosis kristik
4) Bronkiektasis
5) Pneumonia pada pasien AIDS
6) Prosedur bronkoskopi
7) Obstruksi saluran nafas pada pasien dengan trakeostomi
8) Hipertensi pulmonal
e. Prosedur
Menurut Tanto (2014) prosedur pemberian nebulizer :
1) Siapkan alat dan bahan, pastikan nebulizer bekerja, konektor sudah
tersambung ke chamber, dan pilihlah ukuran masker yang sesuai.
Pastikan nebulizer sudah terpasang sumber listrik.
2) Masukkan obat kedalam chamber, tambahkan cairan salin normal
bila diperlukan.
3) Pasangkan masker dengan ujung chamber sehingga menempel.
4) Nyalakan nebulizer. Apabila nebulizer bekerja dengan baik akan
terlihat uap keluar dari masker.

28
5) Minta pasien untuk melakukan inspirasi dalam melalui masker
selama uap keluar.
6) Tunggu sekitar 15-20 menit sampai uap habis.
7) Periksa respon pasien terhadap obat.
8) Apabila hendak mengulangi nebulisasi disankan pemberian jeda
selama 15-20 menit.
4. Batuk Efektif
Batuk adalah proteksi utama pasien terhadap akumulasi sekresi
dalam bronki dan bronkiolus. Batuk diakibatkan oleh iritasi membran
mukosa dimana saja dalam saluran pernafasan. Batuk hebat, berulang,
atau tidak terkontrol yang tidak produktif akan sangat melelahkan dan
berpotensi membahayakan. Pembentukan sputum adalah reaksi paru-paru
terhadap setiap iritan yang kambuh secara konstan, tindakan yang bisa
dilakukan untuk mobilisasi sputum secara mandiri yaitu dengan terapi
batuk efektif (Smeltzer & Bare, 2002).
Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar dan pasien
dapat mengeluarkan dahak dengan maksimal. Namun latihan ini hanya
bisa dilakukan pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama (kooperatif)
(potter & perry, 2005).
Pemberian latihan batuk efektif terutama pada infeksi saluran
pernafasaan bawah yang berhubungan dengan akumulasi sekret pada
jalan nafas yang sering diakibatkan oleh kemampuan batuk yang menurun

29
atau adanya nyeri sehingga pasien malas untuk melakukan batuk
(Muttaqin, 2008).
a. Tujuan
Batuk efektif dilakukan untuk memobilisasi sekret dan mencegah efek
samping dari penumpukan sekret, memobilisasi sekret dan
mengeluarkannya, mencegah komplikasi pernafasan atelektasis dan
pneumonia, batuk tidak efektif dapat mengakibatkan efek yang
merugikan pasien dengan penyakit paru-paru kronis berat, seperti
kolaps saluran pernafasan, ruptur dingin alveoli dan pneumotoraks
(Muttaqin, 2008).
b. Prosedur
Menurut Kusyati (2006) prosedur tindakan batuk efektif :
1) Setelah menggunakan pengobatan bronkodilator (jika diresepkan),
tarik napas dalam lewat hidung dan tahan napas untuk beberapa
detik.
2) Batuk 2 kali, batuk pertama untuk melepaskan mukus dan batuk
kedua untuk mengeluarkan sekret. Jika klien merasa nyeri dada
pada saat batuk, tekan dada dengan bantal. Tampung sekret pada
sputum pot yang berisi lisol.
3) Untuk batuk menghembus, sedikit maju kedepan dan ekspirasi
kuat dengan suara “hembusan”. Teknik ini menjaga jalan napas
terbuka ketika sekresi bergerak ke atas dan keluar paru.

30
4) Inspirasi dengan napas pendek cepat secara bergantian
(menghirup) untuk mencegah mukus bergerak kembali ke jalan
napas yang sempit.
5) Istirahat
6) Hindari batuk yang terlalu lama karena dapat menyebabkan
kelelahan dan hipoksia.
5. Status Pernafasan
Kemampuan hidup manusia bergantung pada kemampuan oksigen
(O2) untuk mencapai sel-sel tubuh dan karbon dioksida (CO2).
Pernafasan adalah mekanisme tubuh menggunakan pertukaran udara
antara atmosfir dengan darah serta dengan sel (Potter & Perry, 2005).
Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran
tentang keadaan intrakranial. Jika frekuensi nafasnya cepat (>28 kali
permenit) dan tidak teratur, merupakan kadaan emergensi yang harus
segera dilaporkan kepada dokter. Tetapi untuk tindakan awalnya dapat
segera dinaikkan jumlah oksigen yang diberikan (Japardi, 2010).
Frekuensi adalah gerakan pernafasan yang diatur oleh pusat
pernafasan diotak, sedangkan aktivitas stimulus (rangsangan) dari karbon
diogsida (CO2). Pada umumnya manusia mampu bernafas antara 12-20
kali per menit. Frekuensi pernafasan dapat dipengaruhi oleh penyakit atau
keadaan sakit pada fungsi pernafasan (Potter & Perry, 2005).

31
a. Faktor Yang Mempengaruhi Karakter Pernafasan menurut Potter
& Perry (2005) sebagai berikut :
1) Olahraga
Olahraga meningkatkan frekuensi dan kedalaman untuk
memenuhi kebutuhan tubuh untuk menambah oksigen.
2) Nyeri Akut
Nyeri akut meningkatkan frekuensi dan kedalaman sebagai
akibat dari stimulasi simpatik. Klien dapat memmperberat
pergerakan dinding dada jika ada nyeri pada area dada atau
abdomen. Nafas akan menjadi dangkal.
3) Ansietas
Ansietas meningkatkan frekuensi dan kedalaman sebagai akibat
stimulasi simpatik.
4) Merokok
Merokok kronik mengubah jalan arus udara paru,
mengakibatkan peningkatan frekuensi.
5) Anemia
Perubahan kadar hemoglobin menurunkan jumlah pembawa O2
dalam darah. Individu bernafas dengan cepat untuk
meningkatkan penghantaran O2.

32
6) Penyakit paru kronik
Penyakit paru kronik mengakibatkan klien menggunakan otot
leher, dinding dada, dan obdomen secara aktif untuk memaksa
pengeluaran udara yang terperangkap dalam paru-paru.
7) Posisi Tubuh
Postur tubuh yang lurus dan tegak, meningkatkan ekspansi
penuh paru. Posisi yang bungkuk dan telungkup mengganggu
pergerakan ventilasi.
8) Medikasi
Analgesik narkotik dan sedatif menekan frekuensi dan
kedalaman. Amfetamin dan kokain dapat meningkatkan
frekuensi dan kedalaman.
9) Cedera Batang Otak
Cedera pada batang otak mengganggu pusat pernafasan dan
menghambat frekuensi dan irama pernafasan.
b. Gangguan dalam pola nafas menurut Potter & Perry (2005) yaitu :
1) Bradipnea
Frekuensi bernafas teratur namun lambat secara tidak normal
(kurang dari 16 kali per menit)
2) Takipnea
Frekuensi bernafas teratur namun cepat secara tidak normal
(lebih dari 24 kali per menit)

33
3) Hiperapnea
Pernafasan sulit, peningkatan kedalaman, peningkatan
frekuensi. Secara normal terjadi setelah olahraga. (lebih dari 24
kali per menit)
4) Apnea
Pernafasan berhenti untuk beberapa detik. Penghentian
persisten mengakibatkan henti nafas.
5) Hiperventilasi
Frekuensi dan kedalaman pernafasan meningkat. Dapat terjadi
hipokarbia.
6) Hipoventilasi
Frekuensi pernafasan abnormal dalam kecepatan dan
kedalaman. Ventilasi mungin mengalami depresi. Dapat terjadi
hiperkarbia.
7) Pernafasan Cheyne-Stokes
Frekuensi dan kedalaman tidak teratur, ditandai dengan periode
apnea dan hiperventilasi yang berubah-ubah. Siklus pernafasan
mulai dengan lambat, nafas dangkal yang meningkat secara
perlahan sampai frekuensi dan kedalaman yang abnormal. Pola
tersebut berbalik, bernafas lambat dan dangkal, klimaksnya
pada apnea sebelum kembali bernafas.

34
8) Pernafasan Kussmaul
Pernafasan dalam secara tidak normal dalam dan frekuensi
meningkat.
9) Pernafasan Biot
Pernafasan dangkal secara tidak normal untuk dua atau tiga
nafas diikuti periode apnea yang tidak teratur.
c. Pengkajian Pernafasan
Pernafasan adalah tanda vital yang paling mudah dikaji,
namun sering di ukur secara sembrono. Pengukuran yang akurat
memerlukan observasi dan palpasi gerakan dinding dada (Potter &
Perry, 2005).
Perubahan karakter pernafasan yang tiba-tiba mungkin
penting. Karena pernafasan berhubungan erat dengan berbagai
sistem tubuh. Pengkajian pernafsan dapat sangat baik dilakukan
segera setelah mengukur frekuensi nadi, dengan tangan perawat
tetap di atas abdomen atau dada (Potter & Perry, 2005).
1) Prosedur
Menurut Potter & Perry (2007) prosedur pengkajian pernafasan
yaitu :
a) Jaga agar posisi pasien tetap selama melakukan pengukuran
kecepatan pernafasan.
b) Amati dada atau abdomen pasien selama respirasi

35
c) Hitung jumlah pernafasan (inhalasi dan ekshalasi di hitung
sebagai satu pernafasan) dalam 30 detik, dan jika ritme
teratur, kalikan dua jumlah tadi.
d) Jika ritme tidak teratur, hitung jumlah nafas dalam 1 menit.
Catat nilai sebagai respirasi per menit (rpm).
d. Menurut Doengoes (2000), gejala pernafasan pada PPOK :
1) Nafas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea)
2) Sulit bernafas
3) Rasa dada tertekan
4) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama
pada saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut
setiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum dapat banyak
sekali.
5) Batuk hilang timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini
meskipun dapat menjadi produktif.
6) Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia atau
iritan pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret
atau debu (asap) misalnya asbes, debu batubara, serbuk gergaji.
7) Pengunaan oksigen pada malam hari atau terus-menerus.
e. Tanda pernafasan pada PPOK
1) Pernafasan biasanya cepat dan lambat, fase ekspirasi
memanjang dengan mendengkur nafas bibir.

36
2) Lebih memilih posisi tiga titik (tripot) untuk bernafas
3) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
4) Dada dapat terlihat hiperinflasi, gerakan diafragma minimal.
5) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi, menyebar,
lembut, atau krekles lembab kasar, ronki mengi sepanjang area
paru pada ekspirasi dan kemungkinan pada inspirasi berlanjut
sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas.
6) Perkusi : hiperesonan pada area paru, bunyi pekak pada area
paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
7) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
8) Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku abu-abu
keseluruhan, warna merah, atau pink puffer karena warna kulit
normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi
pernafasan cepat.

37
B. Kerangka Teori
Gambar 2.1
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Faktor Merokok
Faktor Lingkungan
-paparan asap atau
polutan
Faktor host
-riwayat penyakit
keluarga atau pasien
Penyakit Paru Obstruksi
Kronik
Gejala klinik
-batuk kronik
-dahak kronik
- Sesak nafas
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi Barrel
chest Sela iga
melebar Purse
lips breathing
Hipertrofi otot
bantu napas
- Auskultasi
Fremitus
melemah Mengi,
ronkhi Ekspirasi
memanjang
- Perkusi
Hipersonor
Penatalaksanaan
-Diet/nutrisi
-Olahraga
-Farmakologis
Pem Penunjang
- Spirometri
FEV1/FVC
- Foto toraks
- Analisa gas darah
- Lab darah rutin
Status Kesehtan COPD
Assessment Test

38
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Subjek aplikasi riset ini adalah pemberian nebulizer dan batuk efektif
pada Tn.A dengan Chronic Obstructive Pumonaly Disease (COPD) / Penyakit
Paru Obstruksi kronik (PPOK)
B. Tempat danWaktu
Tempat yang digunakan adalah di Ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta pada tanggal 11-13 Januari 2016.
C. Media dan Alat yang digunakan
1. Nebulizer
Alat yang digunakan :
a. Tabung oksigen lengkap dengan flowmeter, humidifier
b. Masker nebulizer
c. Stetoskop
d. Perlak pengalas
e. Obat yang akan diberikan
Jenis obat-obat :
1) Pulmicort : kombinasi anti radang dengan obat yang
melonggarkan saluran pernafasan
2) NaCl : mengencerkan dahak

39
3) Bisolvon Cair : mengencerkan dahak
4) Atroven : melonggarkan saluran nafas
5) Berotex : melonggarkan saluran nafas
6) Inflamid : untuk anti radang
7) Comboiven : kombinasi untuk melonggarkan saluran nafas
8) Meptin : melonggarkan saluran nafas
f. Spuit 2cc (sesuai dengan jumlah obat yang diberikan)
g. Alat tulis
2. Batuk Efektif
Alat yang digunakan :
a. Sputum pot
b. Lisol 2-3 %
c. Handuk pengalas
d. Peniti
e. Bantal jika diperlukan
f. Tissue
g. Bengkok
3. Status pernafasan
Alat yang digunakan :
a. Jam arlogi
b. Alat tulis
D. Prosedur tindakan

40
1. Nebulizer
a. Fase Orientasi
1) Memberi salam/ menyapa paisen
2) Memperkenalkan diri
3) Menjelaskan tujuan tindakan
4) Menjelaskan langkah prosedur
5) Menanyakan kesiapan pasien
b. Fase kerja
1) Mencuci tangan
2) Mendekatkan alat-alat dengan klien
3) Memasang handscoon
4) Mendengarkan suara nafas menggunakan stetoskop dan memasang
perlak pengalas
5) Mengambil tempat obat kemudian memasukkan obat kedalam
tempat obat pada nebulizer
6) Memasang tutup adaptor, kemudian menyalakan dengan tombol
ON
7) Memasang masker nebulizer pada hidung pasien
8) Menganjurkan pasien untuk menghirup uap keluar dari nebulizer
melalui hidung dan keluar lewat mulut selama 10 menit
9) Mematikan nebulizer
10) Melepaskan masker

41
11) Mendengarkan lagi suara nafas dengan stetoskop
12) Membersihkan area sekitar mulut pasien dengan tissue
13) Membereskan alat
14) Mencuci tangan
c. Fase Terminasi
1) Melakukan evaluasi tindakan
2) Menyampaikan rencana tindak lanjut
3) Berpamitan
d. Penampilan
1) Melakukan komunikasi terapiutik selama tindakan
2) Ketelitian selama tindakan
3) Menjaga keamanan pasien
4) Menjaga keamanan perawat
2. Batuk Efektif
a. Fase Orientasi
1) Mengucapkan salam
2) Memperkenalkan diri
3) Menjelaskan tujuan tindakan
4) Menjelaskan langkah prosedur
5) Menanyakan kesiapan pasien
b. Fase Kerja

42
1) Mencuci tangan
2) Memakai sarung tangan
3) Melakukan auskultasi pada area paru pada dada depan dan
belakang, pasien diminta tarik nafas panjang
4) Memberikan air minum hangat
5) Mengatur posisi pasien dengan letak secret, pasien membungkuk
dan memeluk bantal
6) Memasang handuk pada dada dan pengalas pada pangkuan
7) Melakukan clapping selama 3-5 menit pada area yang terdapat
secret
8) Melakukan vibrasi pada saat ekshalasi selama 3 kali pada area
terdapat sekret
9) Mengajarkan batuk efektif dan meminta pasien melakukanya
10) Menampung secret pada sputum pot
11) Memberikan pasien minum air hangat
12) Melepas sarung tangan
13) Mencuci tangan
c. Terminasi
1) Melakukan evalusai
2) Menyampaikan rencana tindak lanjut
3) Berpamitan dengan pasien
d. Penampilan

43
1) Ketenangan
2) Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan
3) Ketelitian
E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset
Alat ukur status pernafasan tidak di jelaskan di dalam jurnal normal
penuh kecepatan pernafasan. Inspeksi dilakukan untuk mengevaluasi
kecepatan pernafasan pasien. Karena kebanyakan orang tidak menyadari
pernafasannya dan mendadak menjadi waspada terhadap pernafasannya dapat
mengubah pola pernafasan normalnya, maka jangan memberitahu pasien
ketika mengukur kecepatan pernafasannya.
Untuk mengukur kecepatan pernafasan:
1. Jaga agar posisi pasien tetap selama melakukan pengukuran kecepatan
pernafasan.
2. Amati dada atau abdomen pasien selama respirasi
3. Hitung jumlah pernafasan (inhalasi dan ekshalasi dihitung sebagai satu
pernafasan) dalam 30 detik, dan jika ritme teratur, kalikan dua jumlah tadi.
4. Jika ritme tidak teratur, hitung jumlah nafas dalam 1 menit.
5. Catat nilai sebagai respirasi per menit (rpm).

44
Kecepatan Respiratory Rate
Usia Pernafasan (rpm)
Bayi < 25 atau > 60
1-4 tahun < 20 atau > 30
5-14 tahun < 15 atau > 25
Dewasa 14 tahun atau lebih ≤ 11 atau > 24
Sumber : Nanda NIC NOC(2014)
Tabel 3.2

45
BAB IV
LAPORAN KASUS
Pada bab ini akan disampaikan studi kasus pada Tn.A selama tiga hari
di ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Studi
kasus yang dilakukan oleh penulis meliputi pengkajian, analisa data, diagnosa,
intervensi, implementasi, evaluasi keperawatan.
A. Identitas Pasien
Pengkajian dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 07.45 WIB
dengan metode alloanamnesa dan autoanamnesa. Dari wawancara tersebut
didapatkan identitas pasien yaitu pasien dengan inisial Tn.A dengan usia 62
tahun, agama islam, pendidikan SMA, pekerjaan pedagang, alamat
karangganyar, tanggal masuk 07 Januari 2016, merupakan pasien rujukan dari
puskesmas Ngargoyoso karangganyar dengan diagnosa medis cronic
obstruksi pelmonal disease, nomer register 01325720. Selain identitas pasien
juga didapatkan identitas penanggung jawab pasien yaitu nama dengan inisial
Tn.B, usia 26 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan swasta, alamat
karangganyar, hubungan dengan pasien adalah anak ke tiga pasien.

46
B. Pengkajian
1. Riwayat penyakit Sekarang
Pada tanggal 07 Januari 2016 pasien masuk IGD jam 21.00 WIB.
Pasien merupakan pasien rujukan dari peskesmas ngargoyoso
karangganyar. Pasien mengeluh batuk berdarah dengan dahak warna
putih dan sesak nafas, di IGD pasien mendapat terapi nebulizer berotek
16 tetes : atroven 14 tetes, Nacl 2cc, infus Nacl 0,9 % 20 tetes per menit,
O2 nasal kanul 3 liter, injeksi metil pretnisolon 62,8 gram/8 jam,
ceftriaxon 2 gram/24 jam (skin test), asam traneksamat 1 gram/ 8 jam, N
asetil sifein 3 x 1 200 mg. Pada tanggal 08 Januari 2016 jam 04.00 WIB
pasien di pindah kebangsal anggrek 1. Pada tanggal 11 Januari 2016 jam
07.45 WIB saat pengkajian pasien mengatakan batuk berdahak, sulit
untuk mengeluarkan dahak, pasien mengatakan masih sesak nafas, dada
ampek, bila malam hari pasien sering terbangun karena sesak nafas dan
suasana yang berisik. Pasien tampak batuk, terdapat suara tambahan
wheezing, vasekuler melemah, pasien bernafas dengan cuping hidung dan
pernafasan bibir, dan pasien tampak bernafas dengan otot bantu
pernafasan, pasien tampak memakai O2 nasal kanul 2 lpm, pasien tampak
lemah dan kelelahan, kantung mata sedikit hitam. Tangan kanan pasien
terpasang infus NaCl 20 tetes per menit, dan dari hasil pemeriksaan
tanda-tanda vital tekanan darah : 130/100 mmHg, nadi : 86 x/menit, suhu
: 36,3 ˚C/aksila, Respiratori Rate : 29 x/menit.

47
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Dalam hasil pengkajian penulis mendapatkan riwayat penyakit
dahulu, pasien mengatakan 1½ tahun yang lalu pernah dirawat dan operasi
hernia di RSUD karangganyar, pasien tidak memiliki riwayat alergi obat
dan makanan apapun. Pasien mengatakan batuk sudah 2 tahun. Sejak kelas
2 SD pasien mengatakan sudah mulai merokok dan berhenti merokok ±2
tahun.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam riwayat kesehatan keluarga pasien mengatakan dalam
keluarga tidak ada riwayat penyakit yang menular dan menurun seperti
hipertensi, jantung, dan diabetus militus. Pasien memiliki satu kakak,
pasien menikah dengan Ny. S dan memiliki empat anak dan tiga cucu.
Pasien tinggal serumah dengan istri dan anak ketiga.
Genogram :
Tn.A 62 th

48
Keterangan :
: Laki-laki : Garis keturunan
: Perempuan - - - - - - - : Tinggal serumah
: Laki-laki meninggal : Pasien
: Perempuan meninggal
4. Pola Kesehatan Fungsional
Pola persepsi dan pemeliharaan diri, pasien mengatakan kesehatan
itu sangat penting sehingga jika terdapat keluarga yang sakit segera
memeriksakan diri ke puskesmas terdekat.
Pola nutrisi metabolisme, sebelum sakit pasien mengatakan tinggi
badan : 160 cm, berat badan : 46 kg, makan 3 x sehari dengan porsi 1
piring habis ada nasi, sayur, lauk, air putih 7 – 8 gelas sehari dan teh 1
gelas tiap pagi, tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan tinggi
badan : 160 cm, berat badan : 46 kg, IMT 17,96 (kurang), hemoglobin :
12,4 g/dl (kurang), albumin 3,5 u/L (normal), pasien mengatakan tidak
mual dan muntah, pasien tampak tidak pucat dan konjungtiva tidak
anemis, makan 3 x sehari dengan porsi 1 piring habis ada nasi, sayur,
lauk, buah, air putih 6–7 gelas dan teh 1 gelas sehari, tidak ada keluhan.
Pola eliminasi, pasien mengtakan sebelum sakit BAK 4–6 x/hari,
warna kuning, tidak ada keluhan. BAB 1 kali sehari tiap pagi, dengan
bentuk lunak dan bau khas, warna kuning kecoklatan, dan juga tidak ada

49
keluhan. Selama sakit pasien mengatakan BAK 4–5 x/hari, warna kuning,
dan tidak ada keluhan. BAK 1 kali sehari pagi hari, dengan bentuk padat
berbentuk dan bau khas, warna kuning kecoklatan, dan juga tidak ada
keluhan.
Pola aktivitas dan latihan, pasien mengatakan sebelum sakit pasien
makan/minum, toileting, berpakaian, mobilisasi di tempat tidur,
berpindah dan ambulasi secara mandiri. Selama sakit makan/minum
mandiri, toileting, berpakaian, mobilisasi di tempat tidur, berpindah dan
ambulasi dibantu orang lain.
Pola istirhat tidur, sebelum sakit pasien mengatakan pasien biasa
tidur siang 2 jam dan pasien tidur malam selama 7–8 jam, tidak ada
keluhan tidur dan saat bangun terasa nyaman. Selama sakit pasien
mengatakan tidur siang 1 jam dan tidur malam 3–4 jam, kantung mata
hitam, pasien tampak lemas, pasien sering terbangun karena sesak nafas
yang dirasakan dan suasana yang berisik.
Pola kognitif dan perseptual, sebelum sakit pasien mengatakan
dapat berbicara dengan jelas, tidak ada gangguan penglihatan dan
pendengaran. Selama sakit pasien mengatakan dapat berbicara dengan
baik, tidak ada gangguan penglihatan, tetapi ada gangguan pada
pendengaran telinga kanan sejak ±5 tahun karna kemasukan air.
Pola persepsi konsep diri, pada gambaran diri pasien mengatakan
optimis dengan kondisi tubuhnya saat ini. Ideal diri pasien mengatakan

50
ingin cepat sembuh dan cepat pulang. Harga diri pasien mengatakan
merasa dihargai dan disayangi oleh istri dan anak-anaknya. Peran diri,
pasien mengatakan tidak bisa menjalankan tugas sebagai seorang suami
selama sakit. Identitas diri, pasien mengatakan seorang ayah dan kakek,
pasien memilik 4 orang anak, 2 laki–laki dan 2 perempuan dan pasien
sudah memiliki 3 orang cucu.
Pola hubungan peran, sebelum sakit pasien mengatakan hubungan
dengan keluarga baik, pasien juga ikut serta dalam kegiatan desa seperti
gotong royong. Selama sakit pasien mengatakan hubungan dengan
keluarga baik, pasien juga di jenguk oleh tetangga saat pasien sakit.
Pola seksual reproduksi, pasien mengatakan menikah umur 27
tahun, pasien saat ini memiliki 4 orang anak 2 laki – laki dan 2
perempuan, dan memiliki 3 orang cucu, pasien tidak memiliki penyakit
kelamin.
Pola mekanisme koping, pasien mengatakan tidak terlalu cemas
dengan sakitnya saat ini, pasien terlihat menerima dan tabah menghadapi
penyakitnya saat ini, jika memiliki masalah pasien selalu mendiskusikan
dengan istri dan anak – anaknya.
Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan beragama islam dan
pasien selalu beribadah dan berdoa untuk kesehatan dan kesembuhan
dirinya.

51
5. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemerikasaan, keadaan umum pasien baik. Tingkat kesadaran
pasien sadar penuh (Composmentis) dengan nilai GCS (Glasgow Coma
Scale) = 15 (E= 4, V= 5, M= 6), hasil pemerikasaan tanda-tanda vital
didapatkan tekanan darah 130/100 mmHg, nadi dengan frekuensi 86
x/menit irama teratur dengan kekuatan/isi kuat, respiratori rate dengan
frekuensi 29 x/menit irama cepat dan dalam, suhu 36,3 ˚C/aksila.
Bentuk kepala mesochepal tidak ada cedera, kulit kepala sedikit
lembab dan tidak ada ketombe, rambut lurus pendek dan beruban. Bentuk
muka simetris kanan dan kiri, palpebra terlihat sedikit hitam, konjungtiva
tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter kanan dan kiri 2
mm simetris kanan dan kiri, reflek terhadap cahaya positif, dan pasien
tidak mengguanakan alat bantu penglihatan. Lubang hidung simetris tidak
ada polip dan terpasang O2 nasal kanul 2 liter per menit. Mulut simetris,
mukosa bibir kering dan tidak ada sianosis. Gigi tampak kekuningan dan
terdapat lubang pada gigi bagian belakang bawah kanan. Telinga simetris,
terdapat gangguan pendengaran pada telinga bagian kanan sejak 5 tahun
karena kemasukan air dan ada sedikit serumen. Leher tidak ada
pembesaran kelenjar tyroid dan tidak ada kaku kuduk.
Pada pemeriksaan paru-paru : inspeksi bentuk dada barel chest
(dada tong) simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan
kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler

52
menurun dan suara wheezing. Abdomen : inspeksi bentuk simetris
kanan/kiri dan terdapat luka insisi pada kuadran IV, auskultasi bising
usus terdengar 5 x/menit, perkusi terdengar pekak pada kuadran I dan
terdengar tympani pada kuadran II,III,IV, palpasi tidak teraba massa dan
tidak ada nyeri tekan. Jantung : inspeksi bentuk kanan dan kiri sama dan
ictus cordis tidak tampak, palpasi ictus cordis teraba pada ICS 4 kelima
mid klavikula, perkusi pekak, auskultasi tidak ada suara tambahan
reguler.
Genetalia bersih, tidak memiliki penyakit kelamin dan tidak
menggunakan kateter. Rektum tidak terdapat hemoroid. Ekstremitas atas
dan bawah kekuatan otot kanan dan kiri 5, capilary refile < 2 detik, akral
hangat dan tidak ada perubahan bentuk tulang.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan pada tanggal 07 Januari 2016 didapatkan hasil sebagai berikut :
hemoglobin sebesar 13,1 g/dl (nilai normal 13,5 – 17,5) , hematokrit 38%
(33 – 45), leukosit 14,9 ribu/uL (4,5 – 11,0), trombosit 185 ribu/uL (150 –
450), eritrosit 3,93 juta/uL (4,50 – 5,90), MCV 95,7 fL (80,0 – 96,0),
MCH 33,3 pg (28,0 – 33,0), MCHC 34,8 g/dl (33,0 – 36,0), RDW 12,7%
( 11,6 – 14,6), MPV 8,4 fL ( 7,2 – 11,1), PDW 16% (25 – 65), eosinofil
0,10% (0,00 – 4,00),basofil 0,10% (0,00 – 2,00), netrofil 81,90% (55,0 –
80,00), limfosit 8,20% (22,0 – 44,0), monosit 9,70 % (0,00 – 7,00),

53
golongan darah B, PT 16,0 detik (10,0 – 15,0), APPT 33,7 detik (20,0 –
40,0), albumin 2,9 g/dL (3,2 – 4,6), creatinine 0,9 mg/dL (0,8 – 1,3),
ureum 38 mg/dL (<50), natrium darah 133 mmol/L (136 – 145), kalium
darah 3,7 mmol/L (3,7 – 5,4), klorida darah 103 mmol/L (98 -106), PH
7,430 mmol/L (7,310 – 7.420), BE 9,9 mmol/L (-2 - +3), PCO2 51,0
mmHg (27,0 – 41,0), PO2 106,0 mmHg (80,0 – 100,0), hematokrit 43%
(37 – 50), HCO3 31,3 mmol/L (21,0 – 28,0), total CO2 36,0 (19,0 –
24,0), O2 saturasi 98,0% (94,0 – 98,0), arteri 1,50 mmol/L ( 0,36 – 0,75),
HBSAg nonreactive, troponin1 <0,01 ug/L (0,00 – 0,50), CKMB 3,17
ng/ml (<4,9). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 11
Januari 2016 didapatkan hasil sebagai berikut : hemoglobin sebesar 12,4
g/dl (nilai normal 13,5 – 17,5) , hematokrit 38% (33 – 45), leukosit 5,6
ribu/uL (4,5 – 11,0), trombosit 241 ribu/uL (150 – 450), monosit 3,83
juta/uL (4,50 – 5,90), SGOT 41 u/L (<35), SGPT 22 u,L (<45), albumin
3,5 u/L (3,2 – 4,6).
7. Terapi
Pada tanggal 07-01-2016 terapi yang diberikan adalah infus NaCl
0,9% 20 tpm fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit,
injeksi metil pretnisolon 62,8 gr/8 jam, ceftriaxon 2gr/24 jam (skin test)
fungsinya untuk mengobati infeksi saluran nafas dalam, asam tranexamat
1 gr/8 jam fungsinya untuk mengatasi perdarahan abnormal dan gejala
lain seperti hipertensi, N asetil sifein 3 x 1 200 mg fungsinya pengencer

54
dahak, nebulizer : berotek 16 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran
nafas, atroven 14 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas,
NaCl 2cc fungsinya untuk mengencerkan dahak. Terapi pada tanggal 11
januar 2016 yaitu infus NaCl 0,9% 20 tpm fungsinya untuk
mengembalikan keseimbangan elektrolit, injeksi asam tranexamat 500
mg/8 jam fungsinya untuk mengatasi perdarahan abnormal dan gejala lain
seperti hipertensi, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam fungsinya untuk
mengobati tukak lambung, injeksi ceftriaxon 2 gr/24 jam fungsinya untuk
mengobati infeksi saluran nafas dalam, furosemid 40 mg x 1 fungsinya
untuk mengobati oedem karena gangguan jantung, diavon 80 mg x 1
fungsinya untuk menurunkan tekanan darah tinggi, bisoprolol 1,25 mg x 1
fungsinya untuk pengobatan hipertensi, N asetil sistein 200 mg x 3
fungsinya pengencer dahak, codein 10 mg x 3 fungsinya untuk mengobati
batuk, vitamin C 250 mg x 3 fungsinya untuk memperkuat daya tahan
tubuh, curcuma 20 mg x 2 fungsinya untuk pengobatan gangguan fungsi
hati, nebulizer : berotek 16 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran
nafas, atroven 14 tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas,
NaCl 2cc fungsinya untuk mengencerkan dahak (ISO,2014).
C. Perumusan Masalah Keperawatan
Dari hasil pengkajian dan observasi di atas penulis merumuskan
masalah utama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan sekret yang berlebih dengan alasan karena merupakan keluhan utama

55
yang dirasakan pasien dan harus segera ditangani. Prioritas diagnosa
keperawatan Tn.A adalah bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan sekresi yang berlebih. Data penunjang diagnosa keperawatan tersebut
meliputi data subyektif pasien mengatakan batuk sudah 2 tahun batuk
berdahak dan sulit untuk mengeluarkan dahak. Data obyektif yang didapat
adalah pasien tampak batuk, pada pemeriksaan paru-paru = inspeksi bentuk
dada barel chest (dada tong) simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus
kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler
menurun dan suara wheezing. Tekanan darah : 130/100 mmHg, nadi : 86
x/menit, suhu : 36,3 ˚C/aksila, respiratori rate : 29 x/menit
Dan untuk masalah keperawatan yang kedua penulis merumuskan
masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.
Dengan data penunjang meliputi data subyektif pasien mengatakan sesak nafas
dan dada ampek. Dan data obyektif pasien tampak kelelahan, bernafas dengan
otot bantu pernafasan, bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir,
auskultasi vasekuler melemah, RR : 29 x per menit.
Diagnosa ketiga penulis merumuskan masalah gangguan pola tidur
berhubungan dengan gangguan sesak nafas. Dengan data penunjang meliputi
data subyektif pasien mengatakan tiap malam terbangun karna sesak nafas dan
lingkungan yang berisik. Data obyektif pasien tampak lemas, kantung mata
hitam dan tidur malam 3–4 jam.

56
D. Perencanaan Kperawatan
Penulis melakukan intervensi keperawatan berdasarkan ONEC, O
(Observation), N (nursing), E (education), C (Colaboration). Setelah
ditemukan masalah keperawatan, kriteria hasil yang ingin dicapai berdasarkan
SMART, S (Spesifik), M (Measureble), A (Achieveable), R (Region), T
(Time). Pada diagnosa pertama, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
bersihan jalan nafas tidak efektif dengan kriteria hasil tanda-tanda vital dalam
batas normal, mampu batuk efektif secara mandiri, jalan nafas paten, tidak ada
bunyi nafas tambahan. Rencana keperawatan yaitu observasi tanda-tanda
vital, rasional untuk mengetahui keadaan umum pasien. Jelaskan manfaat
pemberian terapi nebulizer dan batuk efektif, rasional untuk memberikan
pengetahuan pada pasien. Ajarkan batuk efektif, rasional untuk membantu
mengeluarkan sputum. Berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter, rasional
untuk membantu mengencerkan dahak dan melonggarkan saluran nafas.
Diagnosa yang kedua, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola
nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien menyatakan nyaman, RR
(respiratory rate) dalam batas normal, pasien tidak tampak kelelahan.
Rencana keperawatan yaitu obsevasi status pernafasan pasien, rasional untuk
mengetahui keadaan pernafasan pasien. Berikan posisi semi fowler, rasional
untuk memudahkan jalan nafas pasien. Menjelaskan manfaat oksigen nasal

57
kanul, rasional untuk memberikan pengetahuan pada pasien. Berikan terapi
O2 nasal kanul sesuai advis dokter, rasional untuk memberikan tambahan
oksigen.
Pada diagnosa yang ketiga, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai
adalah setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pola tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil : pasien tidur 7-8 jam per
hari, pasien tampak segar, kantung mata tidak hitam. Rencana keperawatan
yaitu observasi jumlah jam tidur pasien, rasional untuk memantau kebutuhan
tidur pasien. Berikan lingkungan yang nyaman, rasional untuk memberikan
kenyamanan. Diskusikan pentingnya tidur adekuat, rasional untuk
memberikan pengetahuan pada pasien dan keluarga pasien. Kolaborasikan
pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter, rasional untuk
mempercepat proses penyembuhan.
E. Implementasi Keperawatan
Tanggal 11 Januari 2014, tindakan keperawatan yang dilakukan
berdasarkan dignosa yang pertama yaitu pada jam 07.45 WIB mengobservasi
tanda-tanda vital dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, dan respon obyektif keadaan umum
composmentis, tekanan darah 130/100 mmHg, nadi 86 x/menit, suhu 36,3
˚C/aksila, dan pernafasan 29 x/menit. Jam 08.30 WIB menjelaskan tentang
manfaat nebulizer dan batuk efektif dengan respon subyektif pasien
mengatakan mengerti manfaat nebulizer untuk mengencerkan dahak dan

58
batuk efektif untuk mengeluarkan dahak, dan data obyektif Tn.A tampak
mengerti edukasi yang diberikan. Jam 14.30 WIB memberikan nebulizer
sesuai advis dokter dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk
diberi terapi nebulizer, dan data obyektif Tn.A tampak menghirup uap dan
mengeluarkan dari mulut. Jam 15.00 WIB mengajarkan batuk efektif dengan
respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk melakukan batuk efektif,
dan data obyektif Tn.A tampak melakukan batuk efektif dengan baik dan
dahak bisa keluar sedikit. RR : 29 x/menit.
Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua yaitu, jam 09.00 WIB
mengobservasi status pernafasan pasien dengan respon subyektif pasien
mengatakan sesak nafas dan dada ampek, dan data obyektif Tn.A tampak
kelelahan dan pasien memakai oksigen nasal kanul, RR : 29 x per menit,
irama cepat dan dalam. Jam 09.30 WIB memberikan posisi semi fowler
pasien dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk berposisi
setengah duduk, dan respon obyektif Tn.A tampak nyaman dengan posisi
setengah duduk. Jam 10.00 WIB memberikan oksigen nasal kanul dengan
respon subyektif pasien mengatakan oksigen yang dipakai membuat pasien
nyaman, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman. Jam 10.30 menjelaskan
manfaat oksigen nasal kanul dengan respon subyektif pasien mengatakan
mengerti bila sesak nafas menggunakan oksigen nasal kanul agar menambah /
mendapatkan oksigen, data obyektif Tn.A tampak menghirup oksigen nasal
kanul dan bernafas dengan otot bantu pernafasan.

59
Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga yaitu, jam 11.00 WIB
memberikan obat sesuai resep yang diberikan dokter dengan respon subyektif
pasien mengatakan bersedia untuk di suntik, dan data obyektif Tn.A tampak
mendapat suntikan IV ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 2 gr/24 jam. Jam
12.00 WIB mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan respon subyektif
pasien mengatakan malam hari sering terbangun karena sesak nafas dan
lingkungan yang berisik, data obyektif pasien tampak lemas, kantung mata
hitam dan tidur malam 3-4 jam siang ½ jam. Jam 13.00 WIB mendiskusikan
pentingnya tidur adekuat dengan respon subyektif keluarga pasien mengatakan
bila malam pasien sering terbangun, data obyektif keluarga pasien tampak
mengerti edukasi yang diberikan untuk mengontrol tidur pasien dan bersikap
tenang saat pasien tidur dan juga memberikan lingkungan yang nyaman. Jam
14.00 WIB memberikan lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif
pasien mengatakan ingin tidur dengan satu bantal dan tirai di tutup, dan data
obyektif Tn.A tampak nyaman dengan posisinya dan keluarga tampak tidak
berisik.
Tanggal 12 Januari 2016, tindakan keperawatan yang dilakukan untuk
diagnosa pertama yaitu jam 14.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital
dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa, dan data
obyektif pasien tampak tenang, tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi : 83
x/menit, suhu : 36,5 ˚C/aksila, RR : 28 x/menit. Jam 14.30 WIB memberikan
terapi nebulizer dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk

60
diberi terapi nebulizer untuk mengencerkan dahak, dan data obyektif Tn.A
tampak memakai masker dan menghirup uap dan menghembuskan lewat
mulut. Jam 15.00 WIB mengajarkan batuk efektif dengan respon subyektif
pasien mengatakan bersedia untuk melakukan batuk efektif agar dahak dapat
keluar dan pasien masih batuk berdahak, dan data obyektif Tn.A tampak
melakukan batuk efektif dengan baik, sputum dapat keluar ±2 sendok teh,
batuk efektif dilakukan 3-4 kali.
Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua yaitu, jam 15.30 WIB
mengobservasi status pernafasan pasien dengan respon subyektif pasien
mengatakan merasa longgar setelah di nebulizer dan batuk efektif, dan data
obyektif Tn.A tampak lemas dan masih memakai oksigen nasal kanul, RR :
27x per menit, Irama : cepat dan dalam. Jam 16.00 WIB memberikan posisi
semi fowler dengan respon subyektif pasien mengatakan mau untuk berposisi
setengah duduk, dan data obyektif Tn.A tampak nyaman berposisi setengah
duduk dengan menggunakan 2 bantal. Jam 17.00 WIB memberikan oksigen
nasal kanul dengan respon subyektif pasien mengatakan merasa sesak nafas
dan mesih memakai O2 nasal kanul 2 lpm, dan data obyektif pasien tampak
memakai O2 nasal kanul, dan pasien masih menggunakan otot bantu
pernafasan dan cuping hidung.
Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga yaitu, jam 18.00 WIB
mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan respon subyektif pasien
mengatakan tidur malam hanya terbangun sebentar dan tidur lagi, dan data

61
obyektif Tn.A tampak agak segar jumlah jam tidur malam 4-5 jam dan siang 1
jam. Jam 19.00 WIB mendiskusikan tidur yang adekuat dengan respon
subyektif keluarga pasien mengatakan masih tetap menjaga ketenangan bila
pasien sedang tidur dan membantu menutup tirai, dan data obyektif keluarga
pasien tampak memberikan perhatianya pada pasien. Jam 20.00 WIB
memberikan obat sesuai resep dokter dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia untuk disuntik dan meminum obat, dan data obyektif
Tn.A tampak mau disuntik injeksi ranitidin 50 mg/ 8jam dan meminum obat
oral N.asetil sistein 200 mg x 3, codein 10 mg x 3, vitamin C 250 mg x 3. Jam
20.45 WIB memberikan lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif
pasien mengatakan ingin tidur dengan 1 bantal dan bad dinaikan sedikit, dan
data obyektif Tn.A tampak nyaman tidur dengan 1 bantal dan bad dinaikan
ssedikit, keluarga tampak menutupkan tirai.
Tanggal 13 Januari 2016, tindakan keperawatan yang dilakukan untuk
diagnosa pertama yaitu, jam 14.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital
dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa, dan data
obyektif Tn.A tampak nyaman, tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 80
x/menit, susu : 36 ˚C/aksila, RR : 26 x/menit. Jam 15.00 WIB memberikan
terapi nebulizer dengan respon subyektif pasien mengatakan mau untuk
diberikan terapi nebulizer berotex : atroven dan NaCl 2cc, dan data obyektif
Tn.A tampak tenang dan menghirup uap nebulizer dan menghembuskan lewat
mulut. Jam 16.00 WIB memberikan terapi batuk efektif dengan respon

62
subyektif pasien mengatakan masih batuk berdahak dan pasien mau untuk
melakukan batuk efektif, dan data obyektif Tn.A tampak melakukan batuk
efektif dan mengeluarkan sputum ±3 sendok teh berwarna putih, suara
tambahan wheezing terdengar lirih.
Tindakan keperawatan diagnosa kedua yaitu, jam 17.00 WIB
mengobservasi status pernafasan pasien dengan respon subyektif pasien
mengatakan nafas masih sedikit berat dan dada ampek, dan data obyektif Tn.A
tampak nyaman setelah di nebulizer dan batuk efektif dan bernafas dengan
otot bantu pernafasan dan pasien tampak tidak memakai oksigen nasal kanul,
RR: 24x per menit, irama: cepat dan dalam. Jam 18.00 WIB memberikan
posisi semi fowler dengan respon subyektif pasien mengatakan mau untuk
berposisi setengah duduk agar merasa nyaman, dan data obyektif Tn.A tampak
nyaman berposisi semi fowler.
Tindakan keperawatan diagnosa ketiga yaitu, jam 19.00 WIB
mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan respon subyektif pasien
mengatakan malam hari masih terbangun sebentar dan tidur lagi, dan data
obyektif pasien tampak agak segar, jam tidur malam 4-5 jam siang 1½ jam.
Jam 19.30 WIB mendiskusikan pentingnya tidur adekuat dengan respon
subyektif keluarga pasien mengatakan masih menjaga ketenangan bila pasien
tidur, dan data obyektif keluarga pasien tampak memberikan perhatian kepada
pasien dengan membantu menaikan bad tidur. Jam 20.00 WIB memberikan
obat sesuai resep dokter dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia

63
untuk disuntik dan meminum obat, dan data obyektif Tn.A tampak mau untuk
di injeksi ranitidin 50 mg/ 8jam dan meminum obat oral N. asetil sistein 200
mg x 3, codein 10 mg x 3, vitamin C 250 mg x 3. Jam 20.45 WIB
memberikan lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif pasien
mengatakan nyaman dengan posisi tidurnya saat ini, dan data obyektif Tn.A
tampak nyaman, kantung mata hitam mulai berkurang.
F. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, hasil evaluasi pada tanggal
11 Januari 2016 dengan metode SOAP, diagnosa pertama hasilnya adalah
subyektif pasien mengatakan masih batuk berdahak, dan sulit untuk
mengeluarkan dahak. Obyektif pasien tampak batuk, auskultasi terdengar
suara wheezing, tekanan darah : 130/90 mmHg, nadi : 86 x/menit, suhu : 36,3
˚C/aksila, RR (Respiratory Rate) : 29 x/menit. Analisis masalah keperawatan
belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan
meliputi observasi tanda-tanda vital, ajarkan batuk efektif dan berikan terapi
nebulizer sesuai advis dokter.
Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengatakan masih sesak
nafas dan dada ampek. Obyektif pasien tampak kelelahan, bernafas dengan
otot bantu pernafasan dan cuping hidung dan pasien menggunakan oksigen
nasal kanul 2 liter per menit. Analisis masalah belum teratasi. Planning
lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status

64
pernafasan pasien, berikan posisi semi fowler, berikan oksigen nasal kanul
sesuai advis dokter.
Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien mengatakan tiap malam
terbangun karena sesak nafas dan lingkungan yang berisik. Obyektif pasien
tampak lemah, kantung mata hitam. Analisis masalah belum teratasi. Planning
lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah
jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya
tidur adekuat, berikan obat sesuai jadwal dan dosis.
Hasil evaluasi tanggal 12 Januari 2016 diagnosa pertama yaitu
subyektif pasien mengatakan masih batuk berdahak, tekanan darah : 130/80
mmHg, nadi : 83 x/menit, suhu : 36,5 ˚C/aksila, RR : 27 x/menit. Obyektif
pasien tampak batuk, terdengar suara wheezing, dahak bisa keluar ±2 sendok
teh. Analisis masalah keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda
vital, ajarkan batuk efektif, berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter.
Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengatakan masih sesak
nafas dan pernafasan pasien lebih nyaman. Obyektif pasien tampak nyaman
dan memakai oksigen nasal kanul 2 liter per menit. Analisis masalah teratasi
sebagian. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan
meliputi observasi status pernafasan pasien, beri posisi semi fowler, beri
oksigen nasal kanul.

65
Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien mengatakan pada malam
hari terbangun sebentar dan tidur lagi. Obyektif pasien tampak agak segar,
jumlah jam tidur siang 1 jam dan malam 4-5 jam. Analisis masalah teratasi
sebagian. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan
meliputi observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman,
diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai resep dokter.
Hasil evaluasi tanggal 13 Januari 2016 diagnosa pertama yaitu
subyektif pasien mengatakan masih batuk berdahak. Obyektif pasien tampak
batuk, terdengar suara wheezing, sputum dapat keluar sebanyak 3 sendok teh,
tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, suhu : 36 ˚C/aksila, RR : 24
x/menit. Analisis masalah keperawatan teratasi sebagian. Planning lanjutkan
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda
vital, ajarkan batuk efektif, beri terapi nebulizer sesuai advis.
Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengatakan tidak sesak
nafas tetapi dada ampek. Obyektif pasien tampak nyaman dan tidak tampak
kelelahan. Analisis maslah keperawatan teratasi sebagian. Planning lanjutkan
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status
pernafasan, beri posisi semi fowler.
Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien mengatakan malam hari
masih terbangun sebentar dan tidur lagi. Obyektif pasien tampak agak segar,
kantung mata hitam sedikit berkurang, jumlah jam tidur malam 4-5 jam, siang
1½ jam. Analisis masalah keperawatan teratasi sebagian. Planning lanjutkan

66
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam
tidur, beri lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat,
berikan obat sesuai resep dari dokter.

67
BAB V
PEMBAHASAN
Pembahasan pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang
“Pemberian Nebulizer dan Batuk Efektif Terhadap Status Pernafasan pada
Asuhan Keperawatan Tn.A dengan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
di Bangsal Anggrek 1 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta”. Di samping itu
bab ini penulis juga akan membahas tentang faktor pendukung dan
kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara teori dan kenyataan yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,
implementasi, dan evaluasi. Prinsip dari pembahasan ini memfokuskan pada
kegawat daruratan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia di dalam
asuhan keperawatan.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan
keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari
pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan
pasien, menentukan masalah keperawatan dan kesehatan pasien, menilai
keadaan kesehatan pasien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan
langkah–langkah berikutnya (Dermawan, 2012).

68
Dalam pengkajian penulis melakukan empat kegiatan yaitu observasi,
wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka. Observasi dilakukan melalui
pengamatan pada pasien dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi pada pasien. Wawancara dilakukan penulis yaitu dengan cara
menyimpulkan data secara autoanamnesa (pengumpulan data dengan
mengajukan pertanyaan pada klien) dan alloanamnesa (pengumpulan data
dengan mengajukan pertanyaan pada orang lain selain pasien). Studi
dokumentasi dengan cara membaca data-data pasien atau catatan pasien
seperti catatan status, catatan program terapi, pemeriksaan laboratorium. Pada
kegiatan studi pustaka penulis mencari sumber yang berkaitan pada kasus ini.
Sumber-sumber didapat dari buku-buku keperawatan medikal bedah dan dari
sumber data dari internet (Priharjo, 2007).
Dalam riwayat kesehatan tanda dan gejala PPOK ditandai dengan
keluhan pasien batuk kronis, sputum yang produktif, mudah terkena iritasi
oleh iritan-iritan inhalan udara dingin atau infeksi, sesak nafas, terdapat otot
bantu pernafasan, hipoksia, hiperkapnea, takipnea (Padila, 2012).
Pengkajian Tn.A dilakukan tanggal 11 Januari 2016 penulis
menemukan tanda dan gejala PPOK yaitu batuk berdahak dan dahak tidak
dapat keluar, terdengar suara tambahan wheezing, sesak nafas, bernafas
dengan cuping hidung dan pernafasan bibir, pernafasan 29 x/menit (rentan
normal 16-24x/menit). Pada pemeriksaan paru-paru didapat inspeksi bentuk
dada barel chest (dada tong), menggunakan otot bantu pernafasan, simetris

69
kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi
hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler melemah dan suara
wheezing.
Berdasarkan tanda dan gejala yang telah disebutkan di atas, antara
teori dan observasi serta pengkajian pada Tn.A penulis tidak menemukan
kesenjangan, pada pasien PPOK batuk kronis ditimbulkan karena stimulasi
pembesaran kelenjar yang menyekresi mukus dan peningkatan jumlah sel
goblet oleh mediatior inflamasi seperti leukosillia mengalami metaplasia
skuoamosa, yang menyebabkan gangguan pembersihan mukosillia, yang
biasanya merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali tejadi pada
PPOK, dan pada pasien PPOK sesak nafas ditimbulkan karena hipersekresi
mukus juga menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer (Morton,dkk
2012).
Pada pola kesehatan fungsional Gordon didapatkan data pada istirahat
tidur selama sakit Tn.A mengatakan tidak bisa tidur, tidur hanya 3-4 jam per
hari dan sering terbangun karena merasa sesak nafas. Pada pasien PPOK salah
satu masalah yang muncul yaitu gangguan pola tidur. Data dasar pada
pengkajian istirahat tidur pasien dengan PPOK menyatakan bahwa pasien
PPOK akan mengalami intensitas tidur karena mengalami distress pernafasan
dan perlu tidur dalam posisi duduk tinggi (Doengoes, 2000).
Pada Tn.A penyebab dari PPOK yang dialami yaitu karena Tn.A
memiliki riwayat perokok aktif sejak kelas 2 SD, dalam sehari pasien dapat

70
menghabiskan 1 bungkus rokok dan sudah berhenti merokok 2 tahun yang
lalu. Dalam teori dijelaskan ada beberapa penyebab dari PPOK, yaitu faktor
usia, merokok, lingkungan, genetik dan keluarga. Ini merupakan penyebab
PPOK yang paling umum, dan mencakup 80% dari semua kasus PPOK yang
ditemukan. Diduga bahwa 20% orang yang merokok akan mengalami PPOK.
Merokok menekan aktivitas sel-sel pemangsa dan mempengaruhi mekanisme
pembersihan siliaris dari trakus respiratorius, yaitu berfungsi untuk menjaga
saluran pernafasan bebas dari iritan, bakteri dan benda asing lainya yang
terhirup (Francis, 2008). Pada kasus Tn.A ditemukan adanya persamaan
dengan teori yaitu penyebab dari PPOK salah satunya adalah merokok.
Pada pemeriksaan fisik PPOK di dalam teori didapatkan hasil inspeksi
pada pasien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan, serta
penggunaan otot bantu pernafasan. Pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat
pasien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap,
penipisan massa otot, bernafas dengan bibir, dan pernafasan abnormal yang
tidak efektif. Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun. Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma mendatar atau menurun. Pada auskultasi sering didapatkan adanya
bunyi ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruksi pada
bronkhiolus (Muttaqin, 2008).
Hasil dari pemeriksaan fisik paru yang telah dilakukan penulis pada
Tn.A didapatkan inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), menggunakan

71
otot bantu pernafasan, simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan
dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler
melemah dan suara wheezing. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik paru
dengan teori tidak ada kesenjangan, pada pasien PPOK ronkhi dan wheezing
ditimbulkan karena terdapat obstruksi pada bronkhiolus (Muttaqin,2008).
Untuk lebih mendukung tanda dan gejala yang muncul pada pasien
PPOK perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pengukuran fungsi paru,
analisa gas darah, pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, hematokrit, jumlah
darah merah, eosinofil, pulse oksimetri), pemeriksaan sputum (Muttaqin,
2008).
Pada Tn.A pemeriksaan yang dilakukan sesuai teori yaitu yang
dilakukan pada tanggal 11 Januari 2016 pada Tn. A didapatkan hasil
hemoglobin sebesar 12,4 g/dl (nilai normal 13,5 – 17,5), hematokrit 38 %
(nilai normal 33-45), leukosit 5,6 ribu/uL (4,5 – 11,0), sputum berwarna putih,
dari hasil tersebut pada hemoglobin kurang dari normal karena Tn.A yang
masih mengalami sesak nafas sehingga pasokan oksigen ke bagian tubuh
berkurang dan dapat menyebabkan hemoglobin tidak normal (Brunner &
Suddarth, 2002).
Terapi yang diberikan pada Tn.A adalah infus NaCl 0,9% 20 tetes per
menit fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit, injeksi asam
tranexamat 500 mg/8 jam fungsinya untuk mengatasi perdarahan abnormal
dan gejala lain seperti hipertensi, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam fungsinya

72
untuk mengobati tukak lambung, injeksi ceftriaxon 2 gr/24 jam fungsinya
untuk mengobati infeksi saluran nafas dalam, furosemid 40 mg x 1 fungsinya
untuk mengobati oedem karena gangguan jantung, diavon 80 mg x 1
fungsinya untuk menurunkan tekanan darah tinggi, bisoprolol 1,25 mg x 1
fungsinya untuk pengobatan hipertensi, N asetil sistein 200 mg x 3 fungsinya
pengencer dahak, codein 10 mg x 3 fungsinya untuk mengobati batuk, vitamin
C 250 mg x 3 fungsinya untuk memperkuat daya tahan tubuh, curcuma 20 mg
x 2 fungsinya untuk pengobatan gangguan fungsi hati, nebulizer : berotek 16
tetes fungsinya untuk melonggarkan saluran nafas, atroven 14 tetes fungsinya
untuk melonggarkan saluran nafas, NaCl 2cc fungsinya untuk mengencerkan
dahak (ISO, 2014).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon
individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial yang merupakan dasar untuk memilih
intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung
jawab perawat. Tujuan adalah mengarahkan rencana asuhan keperawatan
untuk membantu klien dan keluarga beradaptasi terhadap penyakit dan
menghilangkan masalah keperawatan kesehatan (Dermawan, 2012).
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 11 Januari 2016 di dapat
hasil untuk diagnosa pertama, yaitu data subyektif pasien mengatakan batuk
sudah 2 tahun batuk berdahak dan sulit untuk mengeluarkan dahak. Data

73
obyektif yang didapat adalah pasien tampak batuk dan lemah, pada
pemeriksaan paru-paru = inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong),
menggunakan otot bantu pernafasan, simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal
fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara
vasekuler melemah dan suara wheezing. Tekanan darah : 130/100 mmHg,
nadi : 86 x/menit, suhu : 36,3 ˚C/aksila, respiratori rate : 29 x/menit. Maka
muncul masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan sekresi yang tertahan (Smletzer dan Bare, 2012).
Bersihan jalan nafas tidak efektif merupakan ketidakmampuan untuk
membersihakan sekresi atau obtruksi dari saluran nafas untuk
mempertahankan bersihan jalan nafas (Nanda, 2014). Batasan karakteristik
dari bersihan jalan nafas tidak efektif yaitu batuk, suara nafas tambahan,
perubahan frekuensi nafas, perubahan irama nafas, sianosis, kesulitan
berbicara/mengeluarkan suara, perubahan bunyi nafas, dispnea, sputum dalam
jumlah berlebih, batuk yang tidak efektif, ortopnea, gelisah, mata terbuka
lebar (Nanda, 2014). Sedangkan batasan karakteristik yang muncul pada Tn.A
yaitu batuk berdahak, dahak sulit keluar, terdapat suara tambahan wheezing.
Pada masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
penulis menentukan etiologi sekret yang berlebih karena adanya gangguan
klinis yang ditandai dengan hiperproduksi mukus dari percabangan broncus
dengan pencerminan batuk yang menahun atau pun sputum yang produktif
(Murwani, 2011).

74
Pada diagnosa kedua saat pengkajian didapat data subyektif pasien
mengatakan sesak nafas dan dada ampek dan bertambah saat posisi terlentang,
data obyektif pasien tampak bernafas dengan cuping hidung, pernafasan bibir,
pasien tampak menggunakan otot bantu pernafasan dan pasien tampak
kelelahan, auskultasi vasekuler melemah, respiratory rate 29x per menit.
Maka penulis memunculkan masalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi (Bruner & Suddarth, 2002).
Ketidakefektifan pola nafas merupakan inspirasi dan atau ekspirasi
yang tidak memberi ventilasi yang adekuat (Nanda, 2014). Batasan
karakteristik ketidakefektifan pola nafas yaitu perubahan kedalaman
pernafasan, bradipnea, perubahan tekanan ekspirasi, perubahan tekanan
inspirasi, perubahan ventilasi semenit, perubahan kapasitas vital, dispnea,
pernafasan cuping hidung, ortopnea, fase ekspirasi memanjang, pernafasan
bibir, takipnea, penggunaan otot aksesoris untuk bernafas (Nanda, 2014).
Sedangkan batasan karakteristik yang muncul pada Tn.A yaitu sesak nafas
dan dada ampek, bernafas dengan cuping hidung, pernafasan bibir, pasien
tampak menggunakan otot bantu pernafasan dan pasien tampak kelelahan.
Pada masalah ketidakefektifan pola nafas penulis menentukan etiologi
hiperventilasi, karena adanya gangguan klinis yang ditandai dengan
hipersekresi mukus yang menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer
dengan pencerminan bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir
(Marton,dkk 2012).

75
Pada diagnosa ketiga saat pengkajian didapat data subyektif pasien
mengatakan tiap malam terbangun karena sesak nafas dan lingkungan yang
berisik. Data obyektif pasien tampak lemah, kantung mata hitam dan tidur
malam 3–4 jam per hari. Maka penulis memunculkan masalah gangguan pola
tidur berhubungan dengan sesak nafas (Bruner & Suddarth, 2002).
Gangguan pola tidur merupakan gangguan kualitas dan kuantitas
waktu tidur akibat faktor eksternal (Nanda, 2014). Batasan karakteristik
gangguan pola tidur yaitu perubahan pola tidur normal, penurunan
kemampuan berfungsi, ketidakpuasan tidur, menyatakan sering terjaga,
menyatakan mengalami kesulitan tidur, menyatakan tidak merasa cukup
istirahat (Nanda, 2014). Sedangkan batasan karakteristik yang muncul pada
Tn.A yaitu pasien sering terbangun karna sesak nafas, pasien tampak lemah,
kantung mata hitam, tidur malam 3-4 jam.
Pada masalah gangguan pola tidur penulis menentukan etiologi
gangguan sesak nafas, karena pasien sesak nafas juga akan mengalami
gangguan pola tidur karena mengalami distress pernafasan (Doengoes, 2000).
Data pasien melaporkan sering terjaga dimalam hari sudah terkaji oleh penulis
dan sudah terdokumentasikan pada asuhan keperawatan Tn.A.
Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan umum
seharusnya masuk dalam dokumnentasi asuhan keperawatan Tn.A, yaitu
dengan data Tn.A melakukan aktivitas makan/minum mandiri, toileting,
berpakaian, mobilisasi di tempat tidur, berpindah dan ambulasi dibantu orang

76
lain. Itu disebabkan Tn.A sudah merasa sesak nafas jika melakukan banyak
aktifitas.
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis dan
fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-
hari yang harus atau yang dilakukan (Nanda, 2014). Batasan karakteristik
intoleransi aktivitas yaitu respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas,
respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas, perubahan EKG yang
mencerminkan aritmia dan iskemia,dan ketidaknyamanan setelah beraktivitas,
dispnea setelah beraktivitas, menyatakan merasa letih dan lemah (Nanda,
2014). Namun karena keterbatasan waktu dan kurang ketelitian penulis maka
diagnosa ini tidak dapat terangkat.
Secara teori diagnosa yang muncul pada PPOK yaitu gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi,
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi,
peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, dan infeksi
bronkopulmonal, resiko tinggi infeksi pernafasan behubungan dengan
akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan batuk efektif,
defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernafasan dan insufinsiensif ventilasi dan oksigen,
intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipoksemia dan pola pernafasan
tidak efektif. Namun pada kasus penulis diagnosa yang muncul yaitu
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang

77
berlebih, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, dan
gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak nafas. Diagnosa ini penulis
tegakkan berdasarkan hasil pengkajian pada pasien.
Untuk menentukan prioritas masalah keperawatan penulis
menggunakan Teori Hierarki Maslow yaitu terdapat lima kebutuhan dasar
manusia yang harus tepenuhi, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan
keselamatan dan rasa aman, kebutuhan rasa cinta, kebutuhan akan harga diri,
dan kebutuhan aktualisasi diri (Mubarak dan Cahyatin, 2008).
Hasil analisa di atas, maka penulis membuat prioritas diagnosa
keperawatan yang pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan sekret yang berlebih, yang kedua keetidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi, yang ketiga gangguan pola tidur
berhubungan dengan sesak nafas.
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan, menentukan
hasil akhir klien, mengidentifikasi tindakan keperawatan dan klien yang
sesuai dan rasional ilmiahnya, dan menetapkan rencana asuhan keperawatan,
diagnosa diprioritaskan sesuai dengan keseriusan atau mengancam jiwa.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi fokus keperawatan kepada pasien
atau kelompok, untuk membedakan tangguang jawab perawat dengan profesi
kesehatan lain, untuk menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan

78
evaluasi keperawatan, untuk menyediakan kriteria dan klasifikasi pasien
(Dermawan, 2012).
Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan SMART (Spesific,
Measurable, Achieveble, Reasonable, dan Time). Spesific adalah berfokus
pada klien, measurable dapat diukur, dilihat, diraba, dirasakan, dan dibau,
achieveble adalah tujuan yang harus dicapai, sedangkan reasonable
merupakan tujuan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
time adalah batasan pencapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas
batasan waktunya (Dermawan, 2012).
Penulis mencantumkan diagnosa keperawatan ketidakefektifan
bersihanjalan nafas berhubungan dengan sekresi yang berlebih, dengan tujuan
dan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam, daharapkan bersihan jalan nafas tidak efektif
dengan kriteria hasil : RR (Respirotory Rate) dalam batas normal (16-
24x/menit), mampu batuk efektif secara mandiri, jalan nafas paten, tidak ada
bunyi nafas tambahan wheezing (Muttaqin, 2008).
Menurut teori intervensi yang diberikan pada pasien PPOK dengan
diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan sekresi yang berlebih adalah observasi tanda-tanda vital, intervensi
yang diberikan menurut teori obsevasi tanda-tanda vital bertujuan untuk
mengetahui keadaan umum pasien (Priharjo, 2007). Jelaskan manfaat
pemberian terapi nebulizer dan batuk efektif, intervensi yang diberikan

79
menurut teori untuk pemberikan penjelasan kepada pasien berguna untuk
memulihkan fungsi paru sebelumnya dan menghilangkan gejala-gejala
sebanyak mungkin (Bruner & Suddarth, 2002).
Ajarkan batuk efektif, intervensi yang diberikan menurut teori batuk
yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran sekret yang
melekat di jalan nafas (Muttaqin, 2008) .
Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar dan pasien
dapat mengeluarkan dahak dengan maksimal. Namun latihan ini hanya bisa
dilakukan pada orang yang sudah bisa diajak kerja sama (kooperatif) (potter &
pery, 2005). Pembentukan sputum adalah reaksi paru-paru terhadap setiap
iritan yang kambuh secara konstan, tindakan yang bisa dilakukan untuk
mobilisasi sputum secara mandiri yaitu dengan terapi batuk efektif (Smeltzer
& Bare, 2002).
Berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter, intervensi yang diberikan
dalam teori terapi nebulizer untuk rileksasi dari psasme bronchial,
mengencerkan sekret melancarkan jalan nafas, melembabka saluran
pernafasan (Purnamadyawat, 2000).
Nebulasi adalah salah satu terapi inhalasi dengan menggunakan alat
bernama nebulizer. Alat ini mengubah cairan menjadi droplet aerosol
sehingga dapat dihirup oleh pasien. Obat yang digunakan untuk nebulizer
dapat berupa solusio atau suspensi (Tanto, 2014).

80
Nebulizer merupakan suatu alat pengobatan dengan cara pemberian
obat-obatan dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut terlebih dahulu
dipecahkan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara aerosol
atau humidifikasi (Purnamadyawati, 2000).
Diagnosa kedua penulis mencantumkan diagnosa keperawatan
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi, dengan tujuan
dan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas dapat teratasi dengan
kriteria hasil : pasien menyatakan nyaman, tanda-tanda vital dalam batas
normal, pasien tidak tampak kelelahan (Bruner & Suddarth, 2002).
Menurut teori intervensi yang diberikan yaitu obsevasi status
pernafasan pasien, dalam teori observasi status pernafasan berfungsi untuk
mengetahui pola nafas dan adanya bunyi tambahan yang ada ganguan
(Smeltzer, 2002).
Pernafasan adalah mekanisme tubuh menggunakan pertukaran udara
antara atmosfir dengan darah serta dengan sel (Potter & Perry, 2005). Pada
umumnya manusia mampu bernafas antara 12-20 kali per menit. Frekuensi
pernafasan dapat dipengaruhi oleh penyakit atau keadaan sakit pada fungsi
pernafasan (Potter & Perry, 2007).
Berikan posisi semi fowler, intervensi yang diberikan menurut teori
posisi semi fowler digunakan untuk pasien yang mengalami masalah
pernafasan dan posisi ini untuk mempertahankan kenyamanan dan

81
menfasilitasi fungsi pernafasan membuat oksigen di dalam paru-paru semakin
meningkat sehingga memperingan kesukaran napas dan menurunkan tekanan
darah (Potter & Perry, 2006).
Posisi semi fowler (setengah duduk) adalah posisi tidur pasien dengan
kepala dan dada lebih tinggi dari pada posisi panggul dan kaki. Pada posisi
semi fowler kepala dan dada dinaikkan dengan sudut 30-45 derajat (Potter &
Perry, 2006).
Jelaskan manfaat oksigen nasal kanul, intervensi yang diberikan
menurut teori klien diinstruksikan tentang penggunaan oksigen yang tepat dan
tentang bahaya peningkatan laju aliran oksigen tanpa ada arahan yang
eksplisit dari perawat. Berikan terapi O2 nasal kanul 2 liter per menit,
menurut teori oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia dan pemberian
oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan keracunan O2 pada pasien.
(Muttaqin, 2008)
Diagnosa ketiga penulis mencantumkan diagnosa keperawatan
gangguan pola tidur berhubungan dengan ganguan sesak nafas, dengan tujuan
kriteria hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tidakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan pola tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil
: pasien tidur 7-8 jam per hari, pasien tampak segar, kantung mata tidak hitam
(Doengoes, 2000).
Menurut teori intervensi yang diberikan yaitu observasi jumlah jam
tidur pasien, rasional untuk memantau kebutuhan tidur pasien. Berikan

82
lingkungan yang nyaman, rasional untuk memberikan kenyamanan.
Diskusikan pentingnya tidur adekuat, rasional untuk memberikan pengetahuan
pada pasien dan keluarga pasien. Kolaborasikan pemberian obat sesuai resep
yang diberikan dokter, rasional untuk mempercepat proses penyembuhan
(Doengoes, 2000).
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang lebih baik
yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Darmawan, 2012).
Diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan sekret yang berlebih pada tanggal 11-13 Januari 2016
dilakukan implementasi yaitu mengobservasi tanda-tanda vital pasien,
menjelaskan kepada pasien tentang manfaat pemberian nebulizer dan batuk
efektif agar dapat memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi
tanpa menyebabkan sesak nafas dan keletihan, dan dengan batuk yang
terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran dari sekret yang
melekat di jalan nafas (Muttaqin, 2008).
Memberikan terapi nebulizer pada pasien dengan terapi nebulizer 1
kali selama 15 menit, dan Tn.A mendapatkan obat untuk nebulizer yaitu
berotex 16 tetes, atroven 14 tetes dan NaCl 2cc dengan cara penulis mencuci
tangan dan mendekatkan alat dan memakai handscoon, kemudian penulis
mendengarkan suara nafas dan memasang perlak pengalas, memasukan obat

83
kedalam tempat obat pada nebulizer dan alat nebulizer sudah penulis pastikan
berfungsi dengan baik, memasangkan masker pada hidung pasien dan
menyuruh pasien menghirup uap selama 10-15 menit, setelah itu mematikan
alat serta melepas masker lalu penulis mendengarkan suara nafas dan
membersihkan area sekitar mulut dengan tisue.
Menurut teori alat yang digunakan yaitu nebulizer (umumnya
nebulizer jet, dapat juga digunakan kompresor oksigen), masker, mouth piece,
atau kanul trakea, konektor, chamber sebagai tempat penampungan obat
(Tanto, 2014). Dengan bahan yang digunakan seperti obat-obatan dalam
bentuk solusio, beta-2 agonis : salbutamol solusio 2,5 mg/2cc, fenoterol
solusio 100µg/ml, antikolinergik : ipratropium bromida solusio 0,25 mg/ml,
deuretik, antibiotik, anestesi lokal, surfaktan, atau kartikosteroit (Tanto,
2014).
Pemberian nebulizer menurut teori yaitu siapkan alat dan bahan,
pastikan nebulizer bekerja, konektor sudah tersambung ke chamber, dan
pilihlah ukuran masker yang sesuai. Pastikan nebulizer sudah terpasang
sumber listrik, masukkan obat kedalam chamber, tambahkan cairan salin
normal bila diperlukan, pasangkan masker dengan ujung chamber sehingga
menempel, nyalakan nebulizer. Apabila nebulizer bekerja dengan baik akan
terlihat uap keluar dari masker, minta pasien untuk melakukan inspirasi dalam
melalui masker selama uap keluar, tunggu sekitar 15-20 menit sampai uap

84
habis, periksa respon pasien terhadap obat, apabila hendak mengulangi
nebulisasi disarankan pemberian jeda selama 15-20 menit (Tanto, 2014).
Mengajarkan batuk efektif kepada pasien dengan cara penulis
memberikan terapi batuk efektif 3-4 kali setelah pemberian nebulizer dan
dengan cara penulis mencuci tangan dan memakai sarung tangan, kemudian
penulis melakukan auskultasi dada depan dan belakang dan meminta pasien
tarik nafas panjang, kemudian pasien meminum air hangat dan meminta
pasien untuk membungkuk dengan memeluk bantal dan memasang handuk
pada dada dan pengalas pada pangkuan pasien, kemudian penulis melakukan
claping selama 3-5 menit, dan vibrasi 3 kali pada area yang terdapat sekret,
kemudian penulis meminta pasen tarik nafas dan membatukan serta
menampung sekret pada bengkok yang berisi lisol 2-3%.
Menurut teori prosedur batuk efektif yaitu tarik napas dalam lewat
hidung dan tahan napas untuk beberapa detik, Batuk 2 kali, batuk pertama
untuk melepaskan mukus dan batuk kedua untuk mengeluarkan sekret. Jika
klien merasa nyeri dada pada saat batuk, tekan dada dengan bantal, tampung
sekret pada sputum pot yang berisi lisol, untuk batuk menghembus, sedikit
maju ke depan dan ekspirasi kuat dengan suara “hembusan”. Teknik ini
menjaga jalan napas terbuka ketika sekresi bergerak ke atas dan keluar paru,
inspirasi dengan napas pendek cepat secara bergantian (menghirup) untuk
mencegah mukus bergerak kembali ke jalan napas yang sempit, istirahat,

85
hindari batuk yang terlalu lama karena dapat menyebabkan kelelahan dan
hipoksia (Kusyati, 2006).
Tn.A sebelumnya bersedia melakukan terapi nebulizer dan teknik
batuk tanpa mengaplikasikan teori betuk efektif didapatkan hasil sputum
belum bisa keluar dan status respiratory rate pasien 29x per menit, setelah
pasien mengaplikasikan nebulizer dan batuk efektif sekret dapat keluar
sebanyak ± 2 sendok dan status respiratory rate pasien 27x permenit, dan
selanjutnya keluar ± 3 sendok dengan status respiratory rate pasien 24x per
menit.
Dari hasil penelitian Wahyuni (2014) didapatkan hasil sebelum
pemberian nebulizer dan batuk efektif dan setelah pemberian nebulizer dan
batuk efektif sebanyak 15 responden (75%) mengalami peningkatan atau
menjadi lebih baik, sedangkan 5 responden (25%) yang tidak mengalami
penurunan status pernafasan. Implementasi yang dilaksanakan sudah sesuai
dengan teori terdapat penurunan status pernafasan setelah melaksanakan
terapi nebulizer dan teknik batuk efektif dibuktikan dengan hasil yang
didapatkan penulis sama dengan penelitian sebelumnya dan ditandai dengan
tindakan yang sudah dilaksanakan ada dalam teori (Muttaqin, 2008).
Tindakan yang dilakukan pada Tn.A untuk diagnosa kedua penulis
sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi pada tanggal
11-13 Januari 2016 dilakukan implementasi yaitu mengobservasi status

86
pernafasan pasien dengan mengobservasi frekuensi pernafasan dan adanya
suara tambahan pada Tn.A dengan cara penulis mengamati dada dan abdomen
dan menaruh tangan penulis pada abdomen pasien, kemudian penulis
menghitung jumlah pernafasan selama 30 detik dan penulis mengalikan
jumlah 2 dan penulis mencatat nilai respiratory rate pasien pada tanggal 11
Januari 2016 respiratory rate pasien 29 kali per menit, tanggal 12 Januari
2016 respiratory rate pasien 27 kali per menit, tanggal 13 Januari 2016
respiratory rate pasien 24 kali per menit.
Menurut teori prosedur pengkajian pernafasan yaitu jaga agar posisi
pasien tetap selama melakukan pengukuran kecepatan pernafasan, amati dada
atau abdomen pasien selama respirasi, hitung jumlah pernafasan (inhalasi dan
ekshalasi dihitung sebagai satu pernafasan) dalam 30 detik, dan jika ritme
teratur, kalikan dua jumlah tadi, jika ritme tidak teratur, hitung jumlah nafas
dalam 1 menit, catat nilai sebagai respirasi per menit (rpm) (Potter & Perry,
2007).
Memberikan posisi semi fowler pada pasien dengan cara penulis
meninggikan bed pasien dengan sudut 45 derajat atau memberikan bantal 1-2
dengan bed dinaikan sedikit atau tanpa bed dinaikan, menjelaskan oksigen
nasal kanul pada pasien bahwa penulis memastikan pada pasien oksigen tidak
menimbulkan kecanduan dan menjelaskan tindak kewaspadaan yang
mencakup dalam penggunaan oksigen, memberikan terapi O2 nasal kanul 2
liter per menit pada Tn.A, antara implementasi yang dilaksanakan penulis

87
dengan teori sudah sesuai dengan yang ditandai dengan tindakan yang
dilaksanakan penulis sesuai dengan teori (Muttaqin, 2008).
Tindakan keperawatan dengan diagnosa gangguan pola tidur
berhubungan dengan gangguan sesak nafas pada tanggal 11-13 Januari 2016
dilakukan implementasi yaitu mengobservasi jumlah jam tidur pasien,
memberikan lingkungan yang nyaman dengan cara penulis meminta keluarga
untuk tenang dan tidak berisik ketika pasien istirahat, diskusikan pentingnya
tidur adekuat, kolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang diberikan
dokter. Implementasi yang dilaksanakan sudah sesuai dengan teori, ditandai
dengan tindakan yang dilakukan penulis sesuai dengan teori yang ada
(Doengoes, 2000).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan
keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang ditetapkan dengan
respon perilaku klien yang tampil. Tujuan dari evaluasi antara lain untuk
menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai efektifitas dan efisiensi
tindakan keperawatan, mendapatkan umpan balik dari respon klien, dan
sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan (Dermawan, 2012)
Evaluasi hari pertama pada diagnosa pertama hasilnya adalah klien
mengatakan masih batuk berdahak dan sulit untuk mengeluarkan dahak,
auskultasi terdengar suara wheezing, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 86x

88
per menit, suhu 36,3˚C, respiratory rate 29x per menit, masalah bersihan jalan
nafas belum teratasi, lanjutkan intervensi observasi tanda-tanda vital, ajarkan
batuk efektif dan berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter. Hasil evaluasi
pada hari kedua adalah klien mengatakan masih batuk berdahak, tekanan
darah : 130/80 mmHg, nadi : 83 x/menit, suhu : 36,5 ˚C/aksila, RR : 27
x/menit, klien tampak batuk, suara wheezing terdengar lirih, dahak bisa keluar
±2 sendok teh, masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian., lanjutkan
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda
vital, ajarkan batuk efektif, berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter. Hasil
evaluasi hari ketiga adalah klien mengatakan masih batuk berdahak, klien
tampak batuk, suara wheezing terdengar lirih, sputum dapat keluar sebanyak
±3 sendok teh,tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, suhu : 36
˚C/aksila, RR : 24 x/menit, masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian,
lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-
tanda vital, ajarkan batuk efektif, beri terapi nebulizer sesuai advis.
Kriteria evaluasi yang diharapkan pada klien dengan diagnosa
bersihan jalan nafas tidak efektif adalah klien dapat mempertahankan jalan
nafas paten dengan bunyi nafas bersih, batuk efektif dan pengeluaran sekret,
tanda-tanda vital dalam batas normal (Doengoes, 2000). Dari hasil analisa
penulis kriteria pada teori di atas belum dicapai oleh Tn.A karena auskultasi
klien masih terdengar suara tambahan wheezing karna masih terdapat
penyempitan jalan nafas.

89
Pada hari pertama, klien mengatakan masih sesak nafas dan dada
ampek, klien tampak kelelahan, bernafas dengan otot bantu pernafasan,
bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir, pasien menggunakan
oksigen nasal kanul 2 liter per menit, respiratory rate 29 x/menit, masalah
pola nafas belum teratasi, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan
meliputi observasi status pernafasan pasien, berikan posisi semi fowler,
berikan oksigen nasal kanul sesuai advis dokter. Hasil hari kedua klien
mengatakan masih sesak nafas dan pernafasan pasien lebih nyaman, klien
masih bernafas dengan cuping hidung, menggunakan pernafasan bibir kadang-
kadang, dan masih menggunakan otot bantu pernafasan, pasien tampak
nyaman, masih mengguanakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit, masalah
pola nafas teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang
dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan pasien, beri posisi semi
fowler, beri oksigen nasal kanul. Hasil hari ketiga klien mengatakan tidak
sesak nafas tetapi dada ampek, klien tampak nyaman, sedikit tampak
kelelahan, masih bernafas dengan cuping hidung dan otot bantu pernafasan,
tidak menggunakan pernafasan bibir, pasien tidak menggunakan oksigen nasal
kanul, masalah pola nafas teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan
intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan, beri posisi
semi fowler.
Kriteria evaluasi yang diharapkan dari klien dengan diagnosa
ketidakefektifan pola nafas klien melaporkan tidak sesak nafas, tidak ada

90
sianosis, tidak ada otot bantu pernafasan (Doengoes, 2000). Menurut analisa
penulisan klien pada teori diatas belum mencapai kriteria evaluasi, karena
klien masih menggunakan otot bantu pernafasan karena pasien masih sesak
nafas.
Pada hari pertama, klien mengatakan tiap malam terbangun karena
sesak nafas dan lingkungan yang berisik, klien tampak lemah, kantung mata
hitam tidur siang 1 jam, masalah pola tidur belum teratasi, lanjutkan
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur
pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur
adekuat, berikan obat sesuai jadwal dan dosis. Hasil hari kedua klien
mengatakan pada malam hari terbangun sebentar dan tidur lagi, klien tampak
agak segar, jumlah jam tidur siang 1 jam dan malam 4-5 jam, masalah pola
tidur teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan
meliputi observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman,
diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai resep dokter. Hasil
hari ketiga klien mengatakan malam hari masih terbangun sebentar dan tidur
lagi, klien tampak agak segar, kantung mata hitam sedikit berkurang, jumlah
jam tidur malam 4-5 jam, siang 1½ jam, masalah pola tidur teratasi sebagian,
lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah
jam tidur, beri lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat,
berikan obat sesuai resep dari dokter.

91
Kriteria evaluasi yang diharapkan dari klien dengan diagnosa
gangguan pola tidur klien melaporkan perbaikan dalam pola tidur,
mengungkapkan rasa sejahtera dan segar (Doengoes, 2000). Menurut analisa
penulisan klien pada teori diatas belum mencapai kriteria evaluasi, karena
pola jumlah jam tidur pasien kurang.
Berdasarkan hasil evaluasi asuhan keperawatan dan hasil observasi
pada terapi nebulizer dan batuk efektif pada Tn.A dengan diagnosa Penyakit
Paru Obstruksi Kronis menunjukan bahwa terapi nebulizer dan batuk efektif
dapat meningkatkan status pernafasan dibuktikan dengan hasil yang
didapatkan penulis sama dengan penelitian sebelumnya dan ditandai dengan
tindakan yang sudah dilaksanakan ada dalam teori.

92
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan pengkajian, penentuan diagnosa,
perencanaan, implementasi, evaluasi serta mengaplikasikan pemberian
nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pada Asuhan
Keperawatan pada Tn.A dengan penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) di
Bangsal Anggrek 1 RSU Moewardi Soerakarta, maka dapat ditarik
kesimpulan :
1. Pengkajian
Hasil pengkajian pada Tn.A didapat data subyektif klien
mengatakan batuk sudah 2 tahun batuk berdahak dan sulit untuk
mengeluarkan dahak, sesak nafas dan dada ampek, pasien tampak batuk
dan terdengar suara tambahan wheezing, pasien tampak bernafas dengan
cuping hidung, pernafasan bibir, dan bernafas dengan otot bantu
pernafasan. Pada pemeriksaan paru-paru = inspeksi bentuk dada barel
chest (dada tong), menggunakan otot bantu pernafasan, simetris kanan
dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor,
auskultasi terdengar suara vasekuler melemah dan suara wheezing.
Tekanan darah : 130/100 mmHg, nadi : 86 x/menit, suhu : 36,3 ˚C/aksila,
respiratori rate : 29 x/menit.

93
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn.A dengan PPOK
yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret
yang tertahan, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, dan gangguan tidur berhubungan dengan gangguan sesak
nafas.
Diagnosa utama yang muncul pada Tn.A adalah ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret yang tertahan.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang direncanakan oleh penulis pada Tn.A
dengan PPOK dengan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan sekret yang tertahan memiliki tujuan dan kriteria
hasil yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam,
diharapkan bersihan jalan nafas tidak efektif dengan kriteria hasil :
Tanda-tanda vital dalam batas normal, mampu batuk efektif secara
mandiri, jalan nafas paten, tidak ada suara nafas tambahan. Dengan
berdasarkan ONEC O (observatio), N (Nursing), E (Education), C
(Colaboration). Pada diagnosa pertama, rencana keperawatan yaitu
observasi tanda-tanda vital, jelaskan manfaat pemberian terapi nebulizer
dan batuk efektif, ajarkan batuk efektif, berikan terapi nebulizer sesuai
advis dokter.

94
Diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi memiliki tujuan dan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas dapat
teratasi dengan kriteria hasil : pasien menyatakan nyaman, tanda-tanda
vital dalam batas normal, pasien tidak tampak kelelahan. Pada diagnosa
kedua rencana keperawatan yaitu, obsevasi status pernafasan pasien,
berikan posisi semi fowler, jelaskan manfaat oksigen nasal kanul, berikan
terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter.
Diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan
sesak nafas memiliki tujuan dan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan
tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola tidur pasien
terpenuhi dengan kriteria hasil : pasien tidur 7-8 jam per hari, pasien
tampak segar, kantung mata tidak hitam. Pada diagnosa ketiga rencana
keperawatan yaitu, observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan
yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, kolaborasikan
pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter.
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn.A selama 11-13
Januari 2016 yaitu diagnosa pertama mengobservasi tanda-tanda vital,
menjelaskan manfaat pemberian terapi nebulizer dan batuk efektif,
mengajarkan batuk efektif, memberikan terapi nebulizer sesuai advis
dokter.

95
Diagnosa kedua mengobsevasi status pernafasan pasien,
memberikan posisi semi fowler, menjelaskan manfaat oksigen nasal
kanul, memberikan terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter.
Diagnosa ketiga mengobservasi jumlah jam tidur pasien,
memberikan lingkungan yang nyaman, mendiskusikan pentingnya tidur
adekuat, mengkolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang
diberikan dokter.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan pada Tn.A selama 3 hari dengan evaluasi
hari ketiga klien masih mengatakan batuk berdahak pasien tampak batuk,
tetapi suara wheezing terdengar lirih, sputum dapat keluar sebanyak 3
sendok teh, tekanan darah : 120/80 mmHg, nadi : 80 x/menit, suhu : 36
˚C/aksila, RR : 24 x/menit. Masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian
dan intervensi masih dilanjutkan.
6. Analisa Pemberian Nebulizer dan Batuk Efektif Pada Pasien dengan
PPOK
Pengaplikasian pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap
status pernafasan pada Tn.A belum berhasil sepenuhnya, setelah 3 hari
dengan pemberian nebulizer dan batuk efektif respiratory rate menjadi 24
x per menit. Klien mengatakan saat diberikan terapi nebulizer dan batuk
efektif pernafasan pasien berkurang meskipun sesak nafas belum hilang
dan secret masih belum banyak yang keluar. Hal ini disebabkan karena

96
pasien belum bisa menerapkan teknik batuk efektif dengan baik dan benar
sesuai teori.
B. Saran
Setelah penulis melakukan aplikasi pemberian nebulizer dan batuk
efektif terhadap status pernafasan pada asuhan keperawatan pada klien dengan
penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) penulis akan memberikan usulan dan
masukan positif khususnya di bidang kesehatan antara lain :
1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan Rumah Sakit Umum Khususnya Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan
kerja sama baik antara tim kesehatan maupun klien sehingga dapat
menngkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada
umumnya dan dapat mengaplikasikan pemberian nebulizer dan batuk
efektif terhadap status pernafasan pasien batuk berdahak, khususnya
pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
2. Bagi Tenaga Kesehatan Khusunya Perawat
Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainya dalam
memberikan asuhan keperawatan agar lebih maksimal, khususnya pada
klien gangguan pemenuhan dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK). Perawat diharapkan
dapat mengaplikasikan pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap
pasien keluhan batuk berdahak.

97
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas
dan profesional agar tercipta perawat yang profesional, terampil, inovatif,
aktif, dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara
menyeluruh berdasarkan kode etika keperawatan dan dapat
mengaplikasikan pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status
pernafasan pasien batuk berdahak.

98
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jilid I. Jakarta: EGC
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka
Kerja.Gosyen
Doengoes, Marlyn E, Moorhouse, Mary F dan Geissler, Alice C, 2000, Rencana
Keperawatan
Francis, C. (2008). Perawatan respiasi. Jakarta: Erlangga
Helmi, N. (2013). Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PPOK.
Univesitas riau
ISO. 2014. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI
Kusyati, E. (2006). Keterampilan dan prosedur laboratorium keperawatan dasar.
Jakarta: EGC
Morton, dkk. (2012). Keperawatan Kritis Volume 1. Jakarta: EGC
Mubarak, Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan Aplikasi Dalam
Praktik. Jakarta: EGC
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta: Salemba Medika
Muwarni, A (2011). Perawatan pasien penyakit dalam. Yogyakarta: Gosyen
Publishing
NANDA dan NIC – NOC. 2014. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawat
Profesional Jilid 2. Jogjakarta.
Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha medika
Potter, A.P, & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Pranowo, C.(2008). Efektifitas batuk efektif dalam pengeluaran sputum untuk
penemuan bta pada pasien tb paru di ruang rawat inap rumah sakit mardi
rahayu kudus. Diakses pada tanggal 02 November 2015
Purnamadyawati. (2000). Nebulizer Work Shop II. Jurnal Perbedaan Postural Drainage dan
Latihan Batuk Efektif pada Intervensi Nebulizer Terhadap Penurunan Frekuensi
Batuk pada Asma Bronchiale Anak Usia 3-5 Tahun. Diakses tanggal 02 November
2015
Soemantri , I . 2007. Gangguan Sistem Pernafasan, Edisi 2. Jakarta : Salemba

99
Medika
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Tanto Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedoktera., edisi 4.Media Aedculapius.
jakarta
Wahyuni, L.(2014). Pengaruh pemberian nebulizer dan batuk efektif terhadap status
pernafasan pasien COPD. Diakses pada tanggal 24 November 2015
WHO.2011. Noncommunicable Deseases Country Profile. 2010
WHO.2013.World COPD Day in Your Country.http://www.Goldcopd.Org/wed in
yourcountry.html?country_id=55&submit=Go. Diakses tgl 2 Maret 2013