kontemporer #10

20
“DIES NATALIS” tampak mata Tiga Puluh Dua Tahun ISI Yogyakarta 3 | interupsi Kemeriahan dan Kesunyian, dalam Botol Kaca Dies Natalis 5 | penting Kurangnya Keterlibatan Mahasiswa dalam Dies Natalis ke-32 8 | sikat Apa Kabar BEMI? 10 | jujur Kurang Partisipasi Mahasiswa dalam Kegiatan maupun Acara Kampus 12 | kirimanmu Distorsi Mental 13 | ironi 14; 16 | gerombolan seni Seni dan Kritik Si Garda Blakang 15 | tokoh Lebih Dekat dengan Didi Nini Thowok 17 | komik 20 KONTEMPORER K BULETIN EDISI #10 | MEI 2016

Upload: lpm-pressisi

Post on 31-Jul-2016

259 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Bertepatan dengan ulang tahun Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang ke-32, Kontemporer hadir lagi bersama kalian di edisi spesial "Dies Natalis". Edisi yang kesepuluh ini juga membahas kabarnya BEMI saat ini, komunitas Garda Blakang, pula Didik Nini Thowok yang hadir dalam rubrik Tokoh.

TRANSCRIPT

Page 1: Kontemporer #10

“ D I E S N A T A L I S ”tampak mata Tiga Puluh Dua Tahun ISI Yogyakarta 3 | inter upsi

Kemeriahan dan Kesunyian, dalam Botol Kaca Dies Natalis 5 | pent ing

Kurangnya Keterlibatan Mahasiswa dalam Dies Natalis ke-32 8 | sikat

Apa Kabar BEMI? 10 | jujur Kurang Partisipasi Mahasiswa dalam Kegiatan

maupun Acara Kampus 12 | kirimanmu Distorsi Mental 13 | ironi 14; 16 |

gerombolan seni Seni dan Kritik Si Garda Blakang 15 | tokoh Lebih Dekat

dengan Didi Nini Thowok 17 | komik 20

KONTEMPORERKB U L E T I N

EDISI #10 | MEI 2016

Page 2: Kontemporer #10

2 K O N T E M P O R E R KGORESAN PENA

PUNGGAWA KONTEMPORER

Salam Persma!

Bulan ini merupakan bulan yang membahagiakan

bagi civitas akademika ISI Yogyakarta. Ya, kita semua

merayakan Dies Natalis XXXII yang mengambil tema

“Seni sebagai Gerakan Sosial Budaya”. Pada edisi

kesepuluh ini, Buletin Kontemporer mengulas seluk

beluk mengenai Dies Natalis yang akan dirayakan

tahun ini, mulai dari tema, perbandingan Dies

Natalis tahun ini dan yang lalu, serta keterlibatan

setiap elemen civitas akademika. Pada edisi ini,

kami juga akan membahas mengenai keberadaan

Badan Eksekutif Mahasiswa Institut atau BEMI saat

ini. Di rubrik lain, ada juga Garda Blakang, sebuah

perkumpulan seni yang bergerak di bidang zine dan

perform, serta tokoh Didik Nini Thowok, alumnus ISI

Yogyakarta yang terkenal dengan tariannya.

Dies Natalis, atau dalam bahasa Indonesia berarti

hari ulang tahun sepatutnya merupakan momen yang

dirayakan oleh setiap orang, apalagi dalam lingkup

kampus. Setiap orang pasti memiliki cara sendiri dalam

merayakannya. Ada yang memilih berintrospeksi, ada

yang memilih dengan hingar-bingar, ada yang memilih

dengan syukuran, dan sebagainya. Tidak ada yang

salah, toh, akhirnya partisipasi kita, apapun bentuknya

Ralat Caption Foto Kontemporer #9

Bersama ini kami sampaikan bahwa telah terjadi kesalahan penulisan caption foto pada Buletin Kontemporer edisi 9, halaman

17, Tahun 2016, pada rubrik Event Kampus berjudul “Memperingati Kartini dalam Balutan Tari” yang berbunyi “KEBEBASAN - Gerak tari

yang dipertunjukkan oleh Wisnu Dermawan Mahasiswa Jurusan Tari angkatan 2013 dalam Sepatu Menari di Plaza Fakultas Seni

Pertunjukkan. Jumat, 15/4/2016. Tari merupakan salah satu media dalam mencari kebebasan ilahiah yang dinilai sebagai peningkatan

atas fokus, disiplin dan kerjasama tim.”

Kalimat tersebut seharusnya berbunyi “MAHASISWA LAIN - Bukan hanya mahasiswa dari Jurusan Tari yang mengisi acara rutin Sepatu

Menari di Plaza Fakultas Seni Pertunjukkan. Jumat, 15/4/2016. Tetapi mahasiswa Etnomusikologi yang selama ini hanya membantu

dari balik layar pementasan tari. Menampilkan pertunjukkan yang mengundang tawa penonton di akhir acara Sepatu Menari ini.”

Redaksi memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan

penulisan caption tersebut. Dengan dimuatnya ralat ini, maka kesalahan tersebut telah diperbaiki.

Terima kasih.

Pelindung:

Drs An usApAti MFA

PimPinan umum:

ArAMi KAsih/ tV 2014

Bendahara:

AninDrA YuDhA utAMi/ FotogrAFi 2013

SekretariS:

nurFAtiMAh/ FotogrAFi 2013

PimPinan redakSi:

ClArA ViCtoriA pADMAsAri/ DKV 2013

redaktur PelakSana:

FitriAnA/ FotogrAFi 2014

KepAlA DiVisi FotogrAFi:

DiMAs pAriKesit/ FotogrAFi 2012

KepAlA DiVisi ilustrAsi:

Bio AnDAru/ pAt ung 2012

editor:

AiFiAt u AzAzA rAhMAh/ tV 2013

ArAMi KAsih/ tV 2014

FitriAnA/ FotogrAFi 2014

VinnY AlpiAni/ tV 2013

rePorter:

eKA ArieF setYAwAn/ tV 2015

FitriAnA/ FotogrAFi 2014

ArAMi KAsih/ tV 2014

serenA gABrielle/ Di 2014

wiwit nur FAizin/ tV 2015

AninDrA YuDhA utAMi/ FotogrAFi 2013

MuhAMMAD hADi/ Di 2014

ADinDA lisA irMAnti/ Di 2014

ClArA ViCtoriA pADMAsAri/ DKV 2013

rYAni p.D. silABAn/ luKis 2015

MiFtAChul AriFin/ tV 2015

nurFAtiMAh/ FotogrAFi 2013

FotograFer:

seFthiAn FAhis sAtAY/ FotogrAFi 2013

sAnDrA wAhYuningtYAs/ FotogrAFi 2014

DiMAs pAriKesit/ FotogrAFi 2012

iluStrator:

MoChAMMAD ADAM husein/ tV 2015

Bio AnDAru/ pAt ung 2012

rYAni p. D. silABAn/ luKis 2015

layout:

iwAng YuDitA FAjAr/ Di 2014

serenA gABrielle/ Di 2014

ClArA ViCtoriA pADMAsAri/ DKV 2013

kontriButor:

MuhAMMAD Alwi AssAgAF/ seni rupA Murni 2013

AlAMAt :

uKM pers MAhAsiswA pressisi

geDung st uDent Center

instit ut seni inDonesiA YogYAKArtA

jAlAn pArAngtritis KM 6,5 sewon, BAnt ul,

YogYAKArtA 55188, inDonesiA

KontAK:

087792067127

weB: pressisi.isi.AC.iD

FACeBooK: lpM pressisi

e-MAil: [email protected]

instAgrAM: @lpMpressisi

merupakan cara kita memunculkan rasa memiliki

kampus yang menginjak usia 32 tahun. Sebagai pers

kampus, kami merayakannya dengan menerbitkan

Kontemporer edisi ke-10, edisi spesial Dies Natalis atas

inisiatif kami. Lalu, bagaimana caramu?

Redaksi

Page 3: Kontemporer #10

3B U L E T I N K O N T E M P O R E R

TAMPAK MATA

Suwarno Wisetrotomo, salah satu dosen Seni

Grafis di ISI Yogyakarta, mengatakan bahwa ia

ditunjuk oleh Forum Pimpinan, yang terdiri dari rektor,

pembantu rektor, dekan serta pembantu dekan melalui

telepon untuk menjadi Ketua Panitia Dies Natalis

XXXII ISI Yogyakarta. Tugas Forum Pimpinan, selain

menunjuk salah satu dosen menjadi ketua panitia, juga

menjadi penentu tema yang nantinya dikembangkan

oleh ketua dies natalis. “Begitu mengetahui tema dies

natalis tahun ini, saya senang sekali,” kata Suwarno,

begitu menjelaskan mengenai tema.

Mengenai tema kegiatan tersebut, beliau menjelaskan

bahwa seni memiliki peranan penting untuk

menggerakkan sosial budaya, bukan hanya sekedar

dalam hal untuk memenuhi kepentingan pribadi para

pelaku seni saja, seperti menjual karya seni maupun

mencari identitas diri. Namun, peran seni yang

sebenarnya lebih besar dari hal tersebut. Dengan kata

lain, seni memiliki potensi menjadi media perantara

untuk memediasi pikiran, membangun kesadaran,

melihat, menguji, serta membantu masyarakat untuk

Tiga Puluh Dua Tahun ISI YogyakartaTeks : Clara Victoria Padmasari/ DKV 2013 dan Ryani Silaban/ Lukis 2015Ilustrasi : Ryani P.D. Silaban/ Lukis 2015

dapat mengkritisi berbagai persoalan yang terjadi di

dalam masyarakat. Ia pun mengibaratkan kehidupan

seperti berada di sirkuit. “Cara kita mengemudikan

kendaraan, tujuannya untuk terampil di podium.

Podium bukanlah eksibisi, tapi pencapaian.” Suwarno

berpendapat bahwa acara dies tahun ini merupakan

momentum bagi civitas akademik ISI Yogyakarta untuk

sanggup melangkah dan memikirkan lebih serius

mengenai seni dalam fungsi serta peranannya sebagai

penggerak sosial budaya di masyarakat. Dari tema ini,

dies natalis menjadi sederhana, namun tetap menjadi

nadi kehidupan bagi civitas akademik, serta menjadi

momentum kesadaran bagi ISI Yogyakarta sendiri.

Kata sosial budaya, menurut beliau, merupakan suatu

keadaan untuk melihat apa yang terjadi di lingkungan

bahkan dunia. Pada dasarnya, sosial budaya sendiri

merupakan kata kerja. Budaya memiliki pengertian

tindakan mempermudah kita untuk memaknai

kehidupan. Sehingga, seni dapat dimanfaatkan sebagai

salah satu medium untuk mengolah kepekaan demi

mendapatkan sebuah kepemahaman dalam suatu

Sudah 32 tahun lamanya, Institut Seni Indonesia Yogyakarta

menjadi perguruan tinggi negeri yang terdiri dari beberapa

fakultas, antara lain Fakultas Seni Rupa, Seni Pertunjukan

dan Seni Media Rekam. Setiap tanggal 30 Mei atau sekitar

tanggal tersebut, ISI Yogyakarta mengadakan berbagai

rangkaian acara untuk memeriahkan hari ulang tahunnya,

yang biasa dikenal sebagai “Dies Natalis”. Tahun ini, dies

natalis akan dirayakan dengan tema “Seni sebagai Gerakan

Sosial Budaya”.

Page 4: Kontemporer #10

4 B U L E T I N K O N T E M P O R E R

masyarakat. Beliau memberi beberapa contoh, seperti

kegiatan ArtJog maupun penayangan Ada Apa dengan

Cinta 2 (AADC2). ArtJog, sebagai salah satu perhelatan

seni di masyarakat yang memberi sumbangsih untuk

menghidupi perekonomin beberapa warga yang

menganggur. Begitu juga dengan ditayangkannya

AADC2 di layar tanah air, yang mampu menggaet

para wisatawan untuk berkunjung ke lokasi tersebut.

Sehingga, mampu menaikkan pendapatan daerah.

Dari beberapa contoh tersebut, dapat kita pahami juga

bahwa seni juga mampu menjadi media penggerak

sosial budaya di Indonesia.

Namun, dari tema ini, beliau memilih untuk

tidak mengadakan acara yang meriah, karena lebih

bersifat reflektif. “Jadi, acara tidak ada yang di luar

ruangan. Semuanya di dalam.” Ia menilai bahwa untuk

mengalami refleksi terhadap diri, diperlukan suasana

penuh dengan kesunyian dan ketenangan, yang

artinya acara-acara yang diadakan tidak perlu terlalu

menonjolkan kemeriahan, namun lebih mengarah

pada usaha introspeksi diri. Dari sinilah acara di dies

natalis tahun ini yang bersifat paling menonjol adalah

seminar. Seminar yang bertemakan sama dengan tema

besar dies natalis ini turut mengundang beberapa

pembicara, yaitu Hilmar Farid, Ph.D, yang sekarang

menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan,

Prof. Heru Nugroho sosiolog dari Universitas Gadjah

Mada, dan Garin Nugroho, sineas muda, dan satu lagi

pembicara yang masih dirahasiakan identitasnya.

“Alasan memilih tiga tokoh tersebut adalah karena

mereka adalah orang yang hebat dalam bidangnya,

yang mampu memberi perspektif kritis untuk tema

besar dies natalis tahun ini,” ucap beliau mengenai

ketiga pembicara tersebut. Seminar akademik yang

dilaksanakan pada Selasa (31/5) di Gedung Kuliah

Umum Fakultas Seni Pertunjukan (GKU FSP) terbuka

untuk umum tapi dengan kuota sekitar 200 orang.

Bersama timnya yang terdiri dari sekretaris, Lutse

Lambert Daniel Morin dan Lina Setiawati, bendahara,

Siswanto dan Sugiyarti, koordinator seminar,

Retno Mustikawati, koordinator Bidang Pagelaran,

Dindin Heryadi, koordinator Bidang Penayangan,

Mahendradewa Suminto, koordinator Bidang

Pameran, I Gede Arya Sucitra, koordinator Seremonial,

Dra. Kusminiastuti, dan terakhir koordinator Desain

dan Publikasi, M. Faizal Rochman, juga merangkai

acara dies natalis tahun ini dengan mengadakan

beberapa acara tradisi Jawa, yaitu kenduri,

tirakatan, serta macapatan. Juga seperti tahun-

tahun sebelumnya, ada pameran foto, penayangan

animasi dan film dari seni media rekam, pameran

seni rupa, serta penampilan dari UKM Marching

Band Saraswati ISI Yogyakarta (MBSI). Mengenai

keterlibatan masyarakat di acara dies natalis tahun ini,

ia mengatakan bahwa masyarakat dalam dies natalis

tahun ini hanya menjadi tamu undangan saja.

Waktu persiapan dies natalis ke-32 yang relatif

singkat, menurut beliau, menjadi salah satu kendala

dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Penunjukan

ketua dies natalis yang baru dilakukan sekitar dua

bulan sebelum acara membuat beliau menganggap ada

kelengahan di tubuh Forum Pimpinan. “Seharusnya

penunjukan ketua dies natalis harus dilakukan satu

semester atau satu tahun sebelumnya,” ujarnya. (K)

Page 5: Kontemporer #10

5B U L E T I N K O N T E M P O R E R

INTERUPSI

Tahun ini, Dies Natalis terasa lebih sunyi. Tidak

ada lagi poster raksasa di dekat perpustakaan,

maupun boneka-boneka dari Sasenitala. Meski begitu,

kesunyian dianggap menjadi tempat untuk dapat

berefleksi. Komparasi filosofis dua dies natalis ini

sangat menarik, dimana yang satu ingin merayakan

ulang tahun semeriah mungkin, sementara yang satu

ingin merayakan dengan takzim dan khidmat. Simak

wawancara berikut.

Siapa yang menentukan tema dan kepanitiaan?

“Saya ditunjuk oleh forum pimpinan yang hanya

menunjuk ketua umum. Nah, saya punya otoritas

untuk menentukan tim. Forum Pimpinan itu rektor,

para pembantu rektor, dekan dan para pembantu dekan

di setiap fakultas.”

Acara perayaan dies natalis tahun ini lebih sedikit

dibanding tahun lalu. Apa ada alasan tertentu?

“Dies kali ini temanya Seni Sebagai Gerakan Sosial

Budaya. Ini ngomong teknis, saya ditunjuk sebagai

ketua panitia itu H-2 bulan yang lalu, sangat singkat.

Kemudian, saya memaknai ulang tahun ini lebih

reflektif. Akan lebih mengurangi acara gebyar-

gebyar panggung. Reflektif menurut saya hanya bisa

dilakukan kalau kita memilih ruang sunyi untuk bisa

merenung, berpikir. Nah, karena itu kegiatan kesenian

yang panggung di luar hampir tidak ada, kecuali

nanti di pembukaan pameran dan pagelaran, itu pun

hanya ada tiga materi, seni musik, etnomusikologi, dan

karawitan. Seminar menjadi unggulan, karena jelas

sebagai ruang refleksi, dengerin orang, berpikir, kalau

dikritik ya harus lapang telinga dan lapang dada, harus

memikirkan betul, kemudian berdiskusi, berargumen

dan seterusnya.”

Teks: Eka Arief Setyawan/ TV 2015 danFitriana/ Fotografi 2014

Kemeriahan dan Kesunyian , dalam Botol Kaca Dies Natalis

Setiap setahun sekali, Institut Seni Indonesia

Yogyakarta mengadakan acara Dies Natalis, dalam

rangka merayakan kelahiran institusi seni ini setiap

tanggal 30 Mei. Tahun lalu, berbagai kemeriahan

acara digelar, alumni diundang, angkringan bayar

suka-suka dipersiapkan, bahkan tak tanggung-

tanggung, pagelaran ini diadakan hingga satu

minggu lebih, tepatnya dari tanggal 20 Mei hingga 1

Juni 2015. Meski sempat ada tandingan acara Dies

Mortalis, acara tahun lalu terbilang sukses.

Wawancara dengan Suwarno Wisetrotomo, M.Hum, Ketua Umum Panitia Dies Natalis ISI

Yogyakarta ke-32 tahun 2016

Page 6: Kontemporer #10

6 B U L E T I N K O N T E M P O R E R

Berarti ada kesan filosofis seperti tadi, tentang

kesunyian?

“Ini kesempatan berefleksi, merenungkan diri.

Menurut saya selama ini, secara umum, seni sudah

terlampau cukup untuk kepentingan bersenang-

senang, untuk kepentingan diri sendiri. Sementara

kita berada di tengah kehidupan yang riil, di tengah

kehidupan sosial budaya dengan problem sosial,

ekonomi, politik, kultural, yang begitu kompleks.

Hidup semakin penuh tantangan, membutuhkan setiap

individu untuk bertarung memperebutkan kehidupan

itu sendiri, memperebutkan panggung-panggung,

seperti ada di sirkuit, cara kita terampil mengemudikan

kendaraan dengan lincah. Tujuannya adalah untuk

muncul di podium, bukan untuk eksibisi, namun

pencapaian. Poinnya ada dua, satu, cara kita melihat

kita ini (civitas akademika) bagaimana memikirkan

seni mampu menggerakkan aspek sosial budaya.

Poin kedua, adalah kita melihat apa yang terjadi

di luar, bagaimana seni itu memiliki potensi untuk

menggerakkan sosial budaya.”

Tahun ini keterlibatan mahasiswa lebih minim

dibanding tahun lalu. Apa karena memang faktor

waktu dimana H-2 bulan anda ditunjuk sebagai ketua,

atau ada alasan lain?

“Waktu dua bulan itu sungguh belum cukup untuk

mengelola sebuah event, apalagi seperti dies natalis.

Konsen saya mahasiswa harus terlibat, sebetulnya. Tapi

problemnya bagaimana dalam waktu yang pendek,

kita secara efektif melibatkan mahasiswa. Nah, kalau

di Seni Rupa, partisipasi mahasiswa itu berupa karya

yang dipamerkan. Seni Pertunjukan saya mendorong

melibatkan mahasiswa konkrit sebagai pelaku. Kalau

di Seni Media Rekam saya kira yang memunculkan

karya mahasiswa itu dosen ya, mungkin memang

tradisinya begitu. Nah, ada juga drum band ada inisiatif

untuk dihadirkan. Itu seluruhnya mahasiswa. Saya

mendorong ada paduan suara yang tampil di forum-

forum penting, semuanya mahasiswa. Sesungguhnya,

bagi saya itu belum cukup. Partisipasi mahasiswa

seharusnya tidak hanya itu. Saya punya angan-angan

ideal mahasiswa itu terlibat dalam mempersiapkan,

memberikan ide.”

Untuk penunjukan sebagai ketua umum saat H-2

bulan, ini sebenarnya kecerobohan dari pihak mana

ya?

“Saya memilih diksi lengah. Sesuatu yang saking

rutinnya itu bisa lengah. Kalau anda bilang ceroboh

itu anda yang bilang, kalau saya, pilih diksinya lengah.

Jadi itu sudah sistematik, kalau awal semester pertama

atau kedua sudah ada orang yang ditunjuk, tema sudah

dipikirkan, pasti menggelinding tuh. Pasti punya

waktu kan.”

Untuk dana sendiri, Pak, habis berapa untuk acara

ini?

“ISI ini kan kecil, kalau duit pasti nggak banyak.

Anggaran dies ini jumlah kotornya Rp. 400 juta. Itu

kecil sekali. Biaya terbesar itu untuk seremoni sidang

senat, upacara dies, karena itu kan namanya juga

ulang tahun, jadi kesempatan kolega diundang untuk

mendengarkan laporan rektor, mendengarkan pidato

ilmiah, untuk pameran seni rupa, penayangan animasi,

dan pameran fotografi, dan seminar sebenarnya tidak

dalam dana yang ideal, tapi it’s okay. Sebenarnya kalau

waktunya cukup bisa justru menantang untuk kreatif.

Kegiatan yang ada di pascasarjana sama sekali tidak

dapat dana bantuan dari sini, nggak cukup. Angka

empat (ratus juta—red) itu real-nya hanya tiga koma

sekian saja, karena dipotong pajak.”

Untuk seminar sendiri tentang apa?

“Seminar tetap dengan tema yang sama. Saya bilang

temanya seksi kali ini, penting.”

Ini terbuka untuk umum kan, Pak?

“Terbuka untuk umum, tapi tetap dengan kapasitas

ruang yang terbatas. Di Gedung Kuliah Umum, hanya

200-an orang. Melampaui dari jumlah juga tidak

masuk akal. Pembicaranya ini masih dalam konfirmasi,

satu Hilmar Farid, Ph.D. Posisi politiknya sekarang

adalah Direktur Jenderal Kebudayaan. Kemudian

pembicara kedua Prof. Heru Nugroho, sosiolog dari

UGM. Pembicara ketiga Garin Nugroho, sineas. Kita

masih bergerilya satu pembicara yang belum bisa saya

sebutkan namanya karena masih tentatif. Mereka

dipilih karena orang-orang itu punya kapasitas

untuk memberi perspektif kritis pada tema. ISI itu

membutuhkan perspektif kritis dari orang-orang di

luar “pagar,” agar lebih obyektif.”

Page 7: Kontemporer #10

7B U L E T I N K O N T E M P O R E R

Apa target utama dalam dies natalis tahun ini?

“Ini berjalan sederhana tetapi mengisi nadi

pemahaman kita. Jadi lebih sederhana namun lebih

bermakna. Saya ingin momentum dies ini menjadi

momentum kesadaran kita sebagai warga negara

ISI Yogyakarta. Institusi ini tempat yang kita pilih

untuk belajar, membangun karier, oleh karena itu

tidak pada tempatnya kita bersikap apatis, atau hanya

ngomel-ngomel dan protes. Menurut saya sikap paling

bertanggung jawab adalah kita kritis, dan menjadi

bagian dari solusi, bukan masalah.”

Menurut anda, bagaimana evaluasi dari dies natalis

ke-31 pada tahun lalu?

“Saya kira dalam sebuah penyelenggaraan acara

selalu ada saja yang kurang, terlebih-lebih pada

sosialisasi yang mana masih belum semuanya (para

civitas akademika) dapat menikmati, dari dulu juga

seperti itu, juga kurang pada perencanaan yang cukup

pendek sekali.”

Lalu, bagaimana menurut anda sendiri mengenai

evaluasi tersebut?

“Saya mengadakan sebuah acara tentu tidak berharap

yang terbaik, namun setidaknya dapat mengumpulkan

massa. Saya juga tidak setengah-setengah kok dalam

mengerjakan tugas serta memaksimalkan waktu sebaik

mungkin. Tetapi waktu itu banyak acara yang dapat

terselenggarakan dengan meriah, lalu sempat dihadiri

menteri (Pendidikan dan Kebudayaan, M. Anies

Baswedan) juga bersama para tokoh-tokoh lainnya pada

seminar, menurut saya pengalaman tersebut tentu

tak akan bisa diwujudkan dengan berapapun nominal

uang, bahkan jika (pengalaman itu) ditukar dengan

uang pun juga tak akan cukup.”

Mengapa pada tahun kemarin anda memilih

melibatkan banyak mahasiswa dalam mengurusi acara

Dies Natalis waktu itu?

“Di ISI Yogyakarta ini terdapat sebuah ruang kosong,

yang mana menurut saya seperti tidak pernah melihat

mahasiswa ikut serta (dalam kegiatan intern kampus),

lalu dari alumni juga tidak ada integrasi kepada

kampus. Bukan kita ingin menyalahkan mahasiswa

dan alumni. Tetapi menurut saya kampus itu bagaikan

sebuah negara, yang mana para mahasiswa dan alumni

merupakan pondasinya. Dan d isitulah ruang kosong

tersebut yang saya coba ingin masukkan melalui acara

(Dies Natalis ke-31) itu.

Lalu, mengapa anda juga memilih acara ini

diselenggarakan semeriah mungkin?

“Saya pernah menjadi mahasiswa yang tentu

merasakan kerinduan untuk melakukan sebuah

kemeriahan.”

Kapan kira-kira anda merencanakan persiapan dies

natalis tersebut? Apakah sama seperti Suwarno (Ketua

Panitia Dies Natalis ke-32 2016) yang ditunjuk sebagai

ketua panitia dua bulan sebelum acara dimulai?

“Sama, saya juga ditunjuk oleh pihak Forum Pimpinan

kampus dua bulan sebelum acara dies natalis dimulai.

Dan sejak saat ditunjuk itu, saya kemudian mencari

orang-orang untuk membantu saya yang sekiranya

mampu dan mau bekerja secara maksimal di waktu yang

cukup singkat ini.”

Mengapa bisa sampai terjadi seperti itu (perencanaan

yang terkesan mendadak)?

“Birokrasi kita tidak semudah itu, dan kesederhanaan

ini memang sudah bertahun-tahun terjadi.”

Lalu, apa saran dari anda terhadap masalah itu?

“Kalau menurut saya, sebuah festival jika sudah ada

kepastian mengapa sih tidak sedikitnya 6 bulan, atau 1

tahun (perencanaan) juga bisa.”

Bagaimana dengan anggarannya? Apakah saat itu

juga sama seperti tahun ini (kurang lebih sekitar 400

juta)?

“Iya, sama. Tahun kemarin juga rata-rata mencapai

jumlah segitu. Uang yang diamanahkan untuk acara

itu saya gunakan sebaik-baiknya terutama kepada

mahasiswa, dan sisanya pun kemudian juga saya

kembalikan semua kepada pihak rektorat.”

Apakah anda sempat bertemu ketua panitia dies

natalis tahun ini (Suwarno) untuk mungkin memberikan

masukan atau saran untuk dies natalis tahun ini?

“Saya dalam hal ini (membahas Dies Natalis ke-32)

Wawancara dengan Dr. Koes Yuliadi, Ketua

Umum Panitia Dies Natalis ISI Yogyakarta ke-31

tahun 2015

Page 8: Kontemporer #10

8 B U L E T I N K O N T E M P O R E R

tidak ikut campur dan juga belum pernah membahas

apapun dengan beliau (Suwarno).”

Apa yang dipikirkan pertama kali ketika mendapat

tema “Implementasi Seni berbasis Riset dan Teknologi”

pada dies natalis tahun lalu?

“Saya sempat tertawa bahkan sempat menolak juga,

karena menurut saya temanya terkesan ‘kurang seksi’.

Seharusnya kan setidaknya tema itu mengikuti zaman

modern seperti sekarang yang lebih unik dan keren.

Saya pun juga bingung awalnya bagaimana hubungan

antara seni dengan sebuah riset dan teknologi, menurut

saya seni itu tidak harus melulu tentang riset juga lho.”

Namun bagaimana setelah itu (setelah diberi tema

demikian)?

“Saya pun langsung mencari sumber dan wawasan

yang berhubungan dengan tema itu, lalu kemudian saya

implementasikan sendiri dalam bentuk acara-acara pada

Dies Natalis.”

Bagaimana menurut anda mengenai sistem pemilihan

ketua panitia dies natalis di ISI Yogyakarta?

“Ketua panitia itu ditunjuk setiap tahunnya oleh

Forum Pimpinan dan berdasarkan pengguliran dari

fakultas, jadi jika tahun kemarin berasal dari Fakultas

Seni Pertunjukan, lalu tahun ini berasal dari Fakultas

Seni Rupa, bisa saja tahun depan berasal dari Fakultas

Seni Media Rekam, bergantung dari hasil rapat forum

pimpinan juga.”

Lalu untuk tema, apakah juga ditentukan dari pihak

pimpinan?

“Untuk tema juga demikian halnya seperti ketua

panitia, Rapat Senat yang menentukan.”

Tahun lalu juga sempat terjadi sebuah atraksi ‘Dies

Mortalis’, bagaimana menurut anda?

“Sebenarnya kami (panitia) juga ikut membiayai

happening art tersebut. Kami menginginkan supaya

ada sebuah happening art (atraksi seni) dari Fakultas

Seni Rupa, cuma mungkin karena waktu itu yang

saya tunjuk mungkin terlalu bersemangat dalam

mengimplementasikan tema yang dibahas saat itu, tetapi

itu memang resiko bagi kami atas peristiwa tersebut.”

Harapan untuk dies natalis tahun ini?

“Saya berharap supaya dapat menjadi acara yang tetap

berguna bagi civitas akademika ISI Yogyakarta.” (K)

PENTING

Yogyakarta – Dies Natalis (peringatan hari kelahiran)

dalam sejumlah besar budaya dianggap sebagai

peristiwa penting yang menandai awal perjalanan

kehidupan. Karena itu, biasanya peringatan tersebut

dirayakan dengan penuh syukur dan kebahagiaan.

Bertambahnya usia selalu diikuti dengan pengharapan

akan makin bertambahnya kedewasaan. Tidak hanya

bagi manusia, pertambahan usia bagi institusi pun

selalu dikaitkan dengan tingkat kedewasaan. Apalagi

bagi sebuah perguruan tinggi yang merupakan

Kurangnya Keterlibatan Mahasiswa dalam Dies Natalis ke-32Teks: Muhammad Hadi/ DI 2014 dan adinda lisa irmanti/ DI 2014 Ilustrator : Soni Harsono/ DI 2014

Page 9: Kontemporer #10

9B U L E T I N K O N T E M P O R E R

penghasil ilmuan untuk negara. Institut Seni Indonesia

Yogyakarta pada hari ini secara resmi

mengijakan usianya yang ke-32, tentu saja

itu merupakan usia yang sudah terbilang

tidak lagi muda, dan sudah banyak sekali

menghasilkan seniman-seniman terbaik

yang membantu dalam melestarikan

kebudayaan bangsa.

Tahun ini dengan bangga Institut Seni

Indonesia Yogyakarta menghelat acara dies

natalisnya yang ke-32 dan bertajuk “Seni

Sebagai Gerakan Sosial Budaya”. Perayaan

kali ini sedikit berbeda dengan tahun

sebelumnya yang bertajuk “Implementasi

Seni Berbasis Riset dan Teknologi’’, yakni

tidak hanya mahasiswa yang terlibat dalam

perayaan hari penting tersebut, dalam hal

ikut merancang acara, menyumbangkan ide,

dan menjadi bagian dari kepanitiaan.

”Untuk dies natalis kali ini dari tema saja

sangat berbeda dibanding dengan tahun

sebelumnya, meskipun saya tidak terlibat

dalam susunan kepanitiaan untuk dies

natalis sekarang ini, namun saya sangat

berharap jika peran mahasiswa dapat

dilibatkan, begitu juga dengan UKM-UKM

yang ada di kampus ini,” papar Anusapati sebagai Pembantu Rektor III.

Dies Natalis punya makna penting bukan

hanya sebagai penanda bertambahnya

usia, tapi juga penanda tingkat kedewasaan

dalam berkarya. Keberadaan ISI Yogyakarta

yang sudah dibilang tidak lagi muda

menjadi bukti bahwa masih ISI Yogyakarta masih

memiliki daya tarik di tengah persaingan yang makin

ketat di antara perguruan-perguruan tinggi negeri

maupun swasta. Tapi, ISI Yogyakarta juga menghadapi

tantangan berat karena di era keterbukaan informasi

seperti sekarang, banyak perguruan tinggi lain yang

mampu mengejar ketertinggalan dari sisi usia dengan

memanfaatkan strategi pemasaran yang canggih untuk

membangun pencitraan dan reputasi dirinya.

Dies natalis seharusnya menjadi momentum

untuk menguatkan komitmen akan perubahan demi

kemajuan. Perlu ada penegasan tentang upaya-upaya

yang harus dilakukan sebagai bagian dari resolusi

ulang tahun. Tidak ada salahnya merayakan dies

natalis dengan kegiatan-kegiatan hiburan bila ini

bagian dari upaya membangun budaya organisasi baru,

menghilangkan sekat-sekat antargenerasi, membangun

sportivitas, dan seterusnya. “Semoga acara dies kali ini

lancar dan lebih ramai dari dies natalis yang kemarin,

melihat tema yang diterapkan kali ini saya yakin akan

lebih meriah dari tahun sebelumnya,” harap Anusapati.

(K)

Page 10: Kontemporer #10

1 0 K O N T E M P O R E R KSIKAT

Sebuah organisasi sudah seharusnya dianggap

penting. Terlebih bagi kalangan mahasiswa. Kegiatan-

kegiatannya pun turut serta menjadi faktor penunjang

kemajuan suatu perguruan tinggi. Namun, berbeda

dengan yang terjadi pada salah satu organisasi di

Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Badan Eksekutif

Mahasiswa ISI (BEMI). Badan eksekutif ini terlihat

sangat berkebalikan dari kondisi yang seharusnya

tampak pada sebuah organisasi tingkat kampus.

Luai Ahsani Fahmi, selaku Pelaksana Tugas (Plt.)

BEMI bagian sekretaris mengatakan bahwa pengurus

BEMI saat ini sudah tidak lagi aktif. Demikian juga

perihal kabar dari pengurus sebelum pembentukan

Plt. “Kalau dari pengurus yang asli, sudah tidak ada

lagi. Mereka tidak pernah muncul lagi,” kata Luai.

Namun, terdapat beberapa orang yang masih memberi

perhatian diantaranya adalah Arok, Kumalla, Adib,

Anok, dan Luai. Hal tersebut terjadi sejak tahun 2015,

khususnya setelah Program Pengenalan Akademik

dan Kemahasiswaan (PPAK) ISI Yogyakarta 2015 dan

berlangsung hingga sekarang.

Terkait perbedaan kondisi antara badan eksekutif

di ISI dengan kampus lain yang terjadi, kemudian

muncul anggapan dari mahasiswa bahwa BEMI

telah vakum. “Sebab awalnya, ketua pengurus untuk

tahun 2015 tiba-tiba menghilang dan tidak diketahui

keberadaannya,” kata Luai. Hal tersebut berdampak

cukup besar pada perkembangan BEMI. “Tidak adanya

lagi kegiatan atau kesibukan-kesibukan, satu per satu

membuat pengurus mulai pergi,” lanjutnya.

Sementara itu, hal tersebut terjadi pada saat

mendekati penyelenggaraan PPAK tahun 2015 yang

seharusnya segera dipersiapkan. Adanya kekosongan

anggota yang berada di tubuh BEMI membuat keadaan

menjadi semakin membingungkan. Sehingga untuk

mengatasi permasalahan tersebut, dibentuklah sebuah

Plt. BEMI yang saat itu bertujuan hanya sebagai

Apa Kabar Teks: Miftachul Arifin/ TV 2015 dan

Nurfatimah/ Fotografi 2013Foto: Seftian Fahis Satay/ Fotografi 2013

BEMI?

pengganti sementara. Plt. BEMI bertugas sebagai

pelaksana tugas, yang menangani tugas-tugas BEMI

dalam jangka waktu singkat.

Luai juga menyayangkan bahwa beberapa hari

setelah PPAK usai, para anggota asli dari BEMI tidak

segera kembali. Sedangkan para mahasiswa yang

masih berstatus ‘Pelaksana Tugas’ merasa bimbang

ketika akan menjalankan kegiatan-kegiatan yang

DALAM RUANG – Bagian dalam ruangan BEMI (Badan Eksekutif Mahasiswa Institut) yang terletak di belakang gedung Rektorat lama

Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Rabu, 18/5/2016. Kondisi yang terjadi dalam struktur organisasi setingkat BEMI yang menaungi seluruh

mahasiswa di lingkup Institusi adalah ‘Vakum’. rp.16

Page 11: Kontemporer #10

berkaitan dengan BEMI. Plt pada saat itu tidak

dapat menyusun kegiatan karena belum berstatus

pengurus tetap sementara tidak adanya kegiatan dapat

mengancam status aktif BEMI. Hal ini bisa berdampak

langsung pada anggaran dana.

Tidak adanya kepastian posisi Plt. membuat satu

per satu dari mereka meninggalkan BEMI. Posisi Plt.

yang menggantung juga tidak lepas dari pengaruh cara

pemilihannya yang dilakukan dengan cara penawaran

langsung kepada mahasiswa, bukan melalui tahap

Ópen Recruitment. Ketidakpastian kemudian terjadi

pada program kerja BEMI. Sehingga membuat sebuah

persepsi berkelanjutan dari mulut ke mulut mahasiswa

mengenai BEMI yang sudah tidak ada lagi, sepi, dan

lain sebagainya sampai saat ini.

Dalam ranah keterkaitan dengan penyelenggaraan

Dies Natalies, BEMI mengaku tidak pernah memiliki

hubungan. Artinya, BEMI tidak turut serta sama sekali

dalam penyelenggaraan acara tersebut. Sedangkan

baru-baru ini, untuk kegiatan lain selain PPAK dan

Pemilu, tidak ada lagi bentuk kegiatan lain yang murni

diadakan oleh BEMI.

“Solusinya tentang regenerasi pengurus, adanya

penerapan sistem yang jelas dalam regenerasi

selanjutnya. Yaitu menggunakan pemilihan mahasiswa

tertentu dari rekomendasi organisasi kampus di bawah

naungan BEMI. Sedangkan untuk kegiatan, kami

menyerahkan penyelenggaraan kegiatan pada HMJ,

BEM, dan UKM. Karena hal itu juga termasuk ke dalam

fungsi dari BEMI,” tutur Arok. (K)

GEDUNG – Serangkaian Gedung BEMI (Badan Eksekutif Mahasiswa Institut) yang terletak sejajar dengan ruang Koperasi dan ruang BLM Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Rabu, 18/5/2016. Terlihat bahwa ruang yang menjadi tempat berkumpulnya pengurus BEMI untuk membuat kegiatan atau sebagai

sarana penghubung antar mahasiswa tampak sepi. rp.16

Page 12: Kontemporer #10

1 2 K O N T E M P O R E R K

Ajeng Pratiwi ( Patung ‘14)

“Kalau dari aku sendiri sih, harusnya dari mahasiswa

itu sendiri yang aktif, bukan hanya dari kepengurusan

kegiatan atau acara. Misalnya kalau ada kegiatan,

mahasiswa seharusnya lebih aktif untuk mencari tahu

dan mengikuti acara. Makanya, sebenarnya mahasiswa

harus lebih kritis, jangan hanya bermodal disuapi

kalau ada kegiatan ini itu. Padahal udah ada organisasi

atau kegiatan kampus dan udah dibikin acara, tapi tetap

aja kesadaran beberapa mahasiswa masih kurang.”

Dimar Panjaitan (Pendidikan Sendratasik ‘15)

“Kalau menurut aku sih. Satu, karena kurangnya

publikasi acara atau kegiatan itu sendiri. Penyebab

lainnya, karena mahasiswa itu sendiri yang kurang

tertarik dan berminat ikut serta dalam acara atau

kegiatan maupun organisasi. Kebanyakan mahasiswa

lebih mengikuti egonya dan sibuk dengan kegiatannya

sendiri.”

Dahlia Saraswati (Televisi ‘15)

“Mungkin karena kurang sosialisasi tiap fakultas

kali ya. Misalnya, kayak di tempatku sendiri kan ada

kegiatan-kegiatan dari Oricon, ARTV, dan yang lain.

Nah, kebanyakan mahasiswa dari fakultas lain itu pada

nggak tau di ISI ada kegiatan yang itu. Nah, harusnya

publikasi dan sosialisasi kegiatan itu harus lebih

diperluas lagi.”

Erika Olivia (Musik ‘14)

“Kebanyakan mungkin karena malas. Ada juga

yang pengen ikut, tapi malu dan ingin menunggu

temannya ada yang ikut juga. Mungkin juga karena

kurangnya publikasi atau memang mereka sendiri

Kurangnya Partisipasi Mahasiswa dalam Kegiatan maupun Acara Kampus

Teks: Ryani P.D. Silaban/ Lukis 2015

“Bagaimana pendapat kritis Anda mengenai kurangnya

partisipasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan serta acara

kampus?”

yang nggak punya minat atau kemauan untuk ikut.

Seharusnya, sebagai mahasiswa seni ya, kita harus bisa

juga mengapresiasi kegiatan dan acara. Baik yang dari

kampus, jurusannya, maupun yang dari jurusan lain.”

Ruth Ginting (Musik ‘12)

“Kalau dari saya sebagai mahasiswa, masih belum

banyak mahasiswa yang punya rasa kepedulian untuk

tahu kegiatan atau acara maupun organisasi yang

ada di kampus. Terus, penyebaran poster acara atau

kegiatan itu juga masih kurang dan tidak menarik

perhatian untuk dilihat. Selain itu, pastinya karena

relasi mahasiswanya yang masih kurang. Padahal,

sebagai mahasiswa penting banget untuk punya relasi.”

Alfin Rizal (Lukis ‘13)

“Mahasiswa seni, dalam hal acara kampus atau

sekedar diskusi seni itu ada empat tipe, yang pertama

tahu tapi masa bodoh dan nggak mau ikut. Kedua,

mahasiswa yang asal ikut saja, tapi tidak tahu apa-

apa. Ketiga, yang nggak ikut karena nggak tahu dan

nggak mau tahu. Keempat, ini masih sangat sedikit,

yaitu mahasiswa yang aktif dan kritis. Seperti yang

pernah aku sampaikan ke acara Gelar Tikar HMJ

Murni kemarin. Bahwa, kita itu kekurangan gesekan

kreativitas. Acara-acara yang dibikin kurang membuat

mahasiswa terpicu semangatnya. Nggak usah jauh-jauh,

di kelas pun gesekan kreativitas udah mulai hilang.

Merasa kalah dulu liat temen-nya lebih bagus karyanya,

atau milih diam karena kalah omongan. Artinya, mau

ada acara di kampus atau nggak yang jadi masalahnya

itu tadi, gesekan kreativitas. Gimana sih caranya biar

teman-teman pada terpicu semangat berkaryanya,

diskusinya, wacananya, dan lain-lain.” (K)

JUJUR

Page 13: Kontemporer #10

1 3B U L E T I N K O N T E M P O R E R

KIRIMANMU

Distorsi Mental

Teks: Muhammad Alwi Assagaf/ Seni Rupa Murni 2013

Sejak kepemimpinan Presiden

Jokowi hingga saat ini, gerakan

revolusi mental terus menerus

digalakkan melalui bermacam cara

dan bermilyar dana. Meski begitu,

aplikasinya sejauh ini masih dalam

tahap perkenalan saja karena lebih

mudah mengubah pakaian daripada

karakter seseorang. Program

revolusi mental ini terhitung

sangat bagus, melihat tidak hanya

di Indonesia saja yang mengalami

krisis mental. Bagi negara maju pun

masalah mental dan moral masih

mendapat sorotan tajam mengingat

tindak kriminal yang terjadi hari

ini hanya sedikit yang didasari

faktor kemiskinan, selebihnya

adalah masalah mental yang sakit.

Secara garis besar, mental

seseorang dapat ditentukan oleh

beberapa faktor, antara lain adalah

faktor usia, pendidikan, dan

lingkungan. Usia dari seseorang

pada umumnya hampir setara

dengan tingkat kedewasan

yang dimilikinya. Begitu pun

dengan usia sebuah lembaga atau

program tertentu, jika lembaga

itu masih berjalan hingga hari ini

maka sangatlah relevan untuk

dikaji kapasitas mental dan

kedewasaannya.

Pada faktor usia, ketika seseorang

menjadi mahasiwa, serangkaian

tes yang diberikan pihak akademis

setidaknya sudah bisa menjadi

filter bagi kelayakan orang tersebut

membawa beban berat sebagai

“agen perubahan”. Tidak peduli

masalah umur, yang jadi ukuran

kedewasaan mahasiswa adalah

kecakapan dalam mengaplikasikan

tri dharma perguruan tinggi-

nya. Maka jika pada hari ini

banyak mahasiswa yang kadar

kecakapannya sama dengan siswa

SMA, yang patut dicurigai adalah

seleksi dari perguruan tinggi

itu sendiri. Terlalu kejam kah?

Sepertinya tidak, ketika kita sama-

sama memahami apa fungsi di balik

ospek yang dewasa ini menjadi

perbincangan atas eksistensinya.

Faktor kedua adalah tingkat

pendidikan. Membongkar

komponen pendidikan rasanya

kurang lengkap jika hanya

membahas statistik saja. Jika setiap

sekolah selalu bangga dengan

kuantitas kelulusan lantaran

persaingan akreditasi, apakah

kualitas anak didiknya juga mampu

disetarakan dengan akreditasi

nyata berupa “seleksi alam” yang

menanti di depan? Bagaimana

jika pada 100% kelulusan juga

melahirkan 100% pengangguran?

Mari kita renungkan sejenak kisah

romantis Si Budi dan Si Pekerti

karya Ki Hajar Dewantara.

Belajar dari maraknya

boarding school yang sedang tren

diaplikasikan di tingkat SMP

dan SMA, nampaknya pihak

swasta lebih peka menghadapi

kemerosotan mental remaja yang

kebanyakan dibius konsumsi

media. Bahkan di Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas) pun

sekarang banyak dihuni oleh

“Jika setiap sekolah selalu bangga dengan kuantitas kelulusan

lantaran persaingan akreditasi, apakah kualitas anak didiknya

juga mampu disetarakan dengan akreditasi nyata berupa

“seleksi alam” yang menanti di depan? Bagaimana jika pada

100% kelulusan juga melahirkan 100% pengangguran?”

Page 14: Kontemporer #10

1 4 B U L E T I N K O N T E M P O R E R

IRONI

remaja. Apakah mahasiwa juga

perlu diasramakan agar tidak

“nakal”?

Jika mau kita cermati pada

berita yang tersebar tentang

kenakalan, maka kata selanjutnya

adalah remaja, bukan pemuda.

Mahasiswa seharusnya sudah

selesai dengan keremajaannya,

pemegang panji-panji perubahan

adalah pemuda. Mereka yang tidak

perlu diasramakan lagi untuk

menghindari pengaruh negatif.

Mereka yang sudah tahu harus

berbuat apa ketika jam kuliah

selesai. Juga mereka yang lancar

membaca teks sehingga paham

dengan konteks.

Ketiga, adalah faktor lingkungan.

Setiap orang boleh saja punya

pendirian, setiap lembaga boleh saja

punya visi misi yang jadi pedoman,

tapi baik pendirian maupun visi

misi haruslah sesuai dengan lahan

yang ditempati. Belum ada petani

yang begitu ngotot menanam padi

di padang pasir. Begitu pun bagi

perkembangan karakter sesorang,

tanpa memahami bumi yang

dipijaknya, maka dia tak akan tahu

warna langit yang dijunjungnya.

Selamat ulang tahun kampus

tercinta.

Ilustrasi : Bio Andaru/ Patung 2012

Page 15: Kontemporer #10

1 5B U L E T I N K O N T E M P O R E R

Berawal dari sebuah performing art yang dilakukan

di sekitar Tugu Yogyakarta pada tahun 2014, nama

Garda Blakang mulai dikenal oleh berbagai kalangan.

Pertunjukan seni dengan wacana mengkritik dan

kostum nyentrik merupakan salah satu ciri khas dari

kelompok seni yang namanya sering disingkat GB

ini. Menurut para penggeraknya, GB memang sengaja

dibuat dengan tujuan mengkritik. Tema kritikan yang

diangkat umumnya mencakup isu-isu yang sedang

“booming” di masyarakat. GB juga sempat menggelar

sebuah pertunjukan di Fakultas Seni Rupa Institut

Seni Indonesia Yogyakarta sebagai kritikan terhadap

kampus ISI yang pada saat itu diisukan ‘sepi’.

Nama Garda Blakang diambil dari filosofi nama

itu sendiri. ”Jadi yang ngasih nama itu ‘kan, temenku

si Rahmat sebetulnya. Dulu ya celetukan aja. Kampus

‘kan sepi. Harusnya kampus itu ‘kan garda depan

pencetak seniman. Gitu ‘kan? Tapi kok akhir-akhir

ini menjadi kurang produktif. Suasananya kurang

aja untuk menjadi tempat berkreativitaslah di sana.

Akhirnya muncullah nama Garda Blakang. Jadi,

guyonannya itu ketika garda belakang sudah bicara,

berarti garda depannya gak berfungsi. Begitu. Jadi

sebenernya se-simple itu,” ujar Chrisna, salah satu

penggerak Garda Blakang ketika ditemui di Ruang

Garda Blakang, Dusun Pelem Sewu RT 2 RW 39,

Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Garda Blakang digerakkan oleh beberapa penggerak

tetap yang antara lain : Chrisna Fernand, Adhi

Pandoyo, Lestiyono, Adnan Aditya, Prahasdhika Dimas,

Rachmad Afandi, GD Alif sebagai responden, Afif

sebagai dokumentasi, dan lain-lain.

Semakin berkembang, pada Mei 2015 Garda

SENI DAN KRITIK

SI GARDA BLAKANGTeks : Serena Gabrielle/ DI 2014 dan

Arami Kasih/ TV 2014Foto: Sandra Wahyuningtyas/ Fotografi 2014 dan

Dokumentasi Pribadi

GEROMBOLAN SENI

ANGGOTA – (dari kanan ke kiri) Rachmat Affandi, Prahasdhika Dimas, Chrisna Fernand, Adhi Pandoyo, Lestyono, adalah sebagian anggota Garda

Blakang yang sedang melakukan unlive performence art untuk merespon pembredelan buku-buku berbau kiri (17/05). Aksi ini berjudul “Bacalah

Buku Kiri Kanan, Kami Cukup Senang”.

Page 16: Kontemporer #10

1 6

ZINE – Zine merupakan karya dari komunitas seni “Garda Blakang” yang telah diterbitkan tahun 2015 silam. Senin (16/05). Komunitas seni “Garda Blakang” yang didirikan tahun 2015 ini sudah menerbitkan dua edisi khusus zine, yakni edisi khusus dan edisi biasa.

B U L E T I N K O N T E M P O R E R

Blakang membuat produk cetak berupa zine (seperti

majalah namun berbeda). Kemunculan produk ini

juga merupakan bulan resmi lahirnya kalompok seni

tersebut. GB memproduksi zine yang dibagi menjadi dua

kategori yaitu mayor dan minor. Zine minor merupakan

edisi khusus yang direkam dari kejadian-kejadian di

luar seni rupa. Sedangkan mayor merupakan rekaman

media seputar seni rupa.

Selain membuat zine dan perform art, GB juga

membuat diskusi-diskusi rutin yang rencananya

diadakan setiap bulan. Akan tetapi, kesibukan dari

pribadi masing-masing penggerak membuat diskusi ini

sulit dijaga kerutinannya. Meski demikian, berbagai

diskusi nonformal tetap diadakan pada waktu-waktu

senggang.Kegiatan diskusi formal maupun nonformal

ini bersifat terbuka untuk umum. Dari kegiatan-

kegiatan tersebut, GB akhirnya berkembang tidak

hanya sebagai performer namun menjadi sebuah ruang

untuk diskusi dan sharing. Menurut mereka, Garda

Blakang bukan lagi sebuah komunitas melainkan

sebuah peristiwa.

Dalam menjalankan kegiatan berkesenian dan

mengkritik, Garda Blakang sendiri mengaku memiliki

suka duka. Seperti saat melakukan diskusi yang

dibarengi acara hiburan di daerah mereka. Melihat

kondisi lingkungan yang mayoritas merupakan rumah

warga, GB sempat mendapat teguran dari masyarakat.

Selain itu, kesibukan dari masing-masing penggerak

juga kerap menjadi persoalan. ”Karena space-nya di

tengah kampung. Terus, kalo pas perform gitu. Temen-

temen waktu ada acara sedangkan temanya krusial

harus cepat dirembuk terus banyak yang nggak bisa.

Akhirnya individu yang harus terjun sendiri untuk

merespon. Gitu misalnya. Fleksibel jadinya. Ada satu

orang dua orang ya berangkat. Nggak harus semua

siap,” jelas Chrisna.

Saat ini, Garda Blakang sedang memersiapkan zine

kedua yang rencananya membahas tentang kehidupan

seni rupa di Jogja. Menurut mereka, rencana ini sudah

lama ingin direalisasikan. Namun, GB mengaku masih

kesulitan untuk mendapatkan angle yang tepat. (K)

IRONIIlustrasi : Mochammad Adam Husein/ TV 2015

Page 17: Kontemporer #10

1 7B U L E T I N K O N T E M P O R E R

Siapa yang tak mengenal sosok Didik Hadiprayitno

atau yang lebih dikenal dengan nama Didik Nini Thowok? Seorang penari tradisional komedi cross

gender yang sudah puluhan tahun merambah dunia

entertainment dan sudah melalang buana hingga 38

negara. Ia merupakan keturunan campuran Jawa dan

Tionghoa. Dengan latar belakang demikian, sejak kecil

Didik diperkenalkan dengan dua budaya yang berbeda,

Tionghoa dan Jawa.

Didik begitu menyukai seni budaya Jawa sebab

sering diajak menonton ketoprak oleh sang kakek. Ia

bercerita bahwa sejak remaja sudah mengajarkan tari

pada anak muda lainnya, meskipun hobi dan cita-cita

yang dimiliki sejak kecil ingin menjadi pelukis. “Saat

itu hobi melukis masih terus saya lakukan, soalnya

memang tertarik dengan seni rupa,” katanya.

Minatnya dengan dunia seni rupa membuat

Didik dewasa ingin memasuki perguruan tinggi di

Yogyakarta. Sayangnya Didik mengalami kendala

dana, ia setidaknya harus mempunyai modal untuk

memenuhi tugas di jurusan seni rupa yang diinginkan.

Tentu saja, kendala teknis tersebut membuat Didik ragu

dan bimbang. Ia akhirnya memilih untuk bekerja di

Kabin Kebudayaan Temanggung untuk mengajar tari.

Pekerjaan tersebut ternyata membuat Didik bertemu

dengan kakak tingkat saat SMA yang pernah kuliah

di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia), salah satu

perguruan tinggi seni tari di Yogyakarta. Berbekal

TOKOH

informasi dari kakak kelas tersebut akhirnya Didik

melanjutkan pendidikannya di ASTI dan lulus sarjana

tahun 1982. Saat menjalani masa perkuliahan, selain

menjadi mahasiswa Didik pun menjadi dosen sampai

tahun 1985.

Didik dikenal bukan dari nama aslinya, melainkan

lebih dikenal dengan sebutan Didik Nini Thowok.

Nama Nini Thowok melekat padanya ketika ia

menarikan tari Nini Thowok atau Nini Thowong yang

berati menyerupai perempuan karya tugas akhir Bekti

Budi Hastutik. Tarian tersebut dibawakan dengan genre

komedi. Didik lebih memilih tarian ber-genre komedi

karena menurutnya tarian komedi lebih diterima

hampir semua lapisan masyarakat. “Tapi saya juga

tidak lupa untuk belajar tari-tari lainnya,” ungkap

Didik saat diwawancarai.

Gebrakan karya yang menjadi salah satu identitas

Didik adalah tarian dwi muka. Tarian tersebut

dibawakan dengan genre komedi dan mengandung

pesan yang sangat dalam. Berawal dari sebuah film

yang memberi inspirasi dan dihubungkan dengan

pengalaman hidup, terwujudlah sebuah karya dwi

muka yang diproses sejak tahun 1979 dan dibakukan

pada tahun 1987.

Didik menjadi seperti sekarang tidak terlepas dari

guru-guru senior yang dijadikan panutan karena

memiliki sifat yang ramah dan bersahabat. Didik pun

mengikuti jejak mereka untuk menjadi orang yang

tidak sombong terhadap siapa pun dan selalu ikhlas

dalam membantu. “Saya bisa seperti sekarang karena

banyak mencari teman dan membangun relasi dengan

orang banyak dan membuat diri lebih dikenal oleh

masyarakat luas. Menjadi seniman jangan mengkotak-

kotakkan diri,” tutur Didik.

Penampilan Didik yang selalu total dan menghargai

apa yang akan dibawakan membuatnya tidak

dipandang sebelah mata oleh penikmat tari lainnya.

Pesona yang dibawa saat di atas panggung mampu

memukau para penonton karena Didik mampu

memaksimalkan apa yang akan ditampilkan.

Karyanya tidak hanya tarian, Didik juga membuat

buku tentang cross gender. Buku tersebut dibuat karena

sebelumnya ia merasa minoritas. Hanya ada sedikit

laki-laki yang membawakan tari perempuan. Tarian

lebih dekat dengan

didik nini thowok

Teks: Anindra Yudha Utami/ Fotografi 2013 dan Wiwit Nur Faizin/ TV 2015 Foto: Dimas Parikesit/ Fotografi 2012

Page 18: Kontemporer #10

1 8 B U L E T I N K O N T E M P O R E R

seperti itu masih belum membudaya di Indonesia pada

awal Didik membawakan sehingga membuat Didik

tergugah untuk melakukan penelitian di beberapa

negara termasuk Indonesia untuk mencari bagaimana

penari cross gender yang sebenarnya. Dari pengalaman

dan wawasan yang didapat, terciptalah buku cross

gender yang menunjukkan bahwa penari-penari

cross gender memang sudah mendunia, hanya saja di

Indonesia kurang membudaya.

Penampilan Didik saat di panggung dengan sehari-

hari sangat berbeda. Menurutnya, seniman yang luar

biasa harus bisa bertransformasi menjadi sosok yang

lain saat di panggung. “Tapi kalo sehari-hari dan di

panggung sama aja ya gak ada apa-apanya. Harus tahu

tempat,” lanjutnya. Baginya ketika seniman mampu

membedakan waktu sedang bekerja dan di waktu

sehari-hari membuatnya memiliki nilai lebih.

Mengingat Institut Seni Indonesia Yogyakarta

memasuki usia 32, Didik pun menyampaikan

harapannya. “Diharapkan saat Dies Natalis ISI

menjadi ajang reuni para senior semua jurusan yang

telah berhasil di tengah masyarakat untuk berbagi

dengan para junior yang ada di ISI agar bisa bertukar

pikiran dan memberi masukan pada generasi muda,”

ungkapnya. (K)

Didik Nini Thowok berpose didepan kantor miliknya di Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta. FOTO/Dimas Parikesit

Page 19: Kontemporer #10

1 9B U L E T I N K O N T E M P O R E R

SENAM

Pukul : 07.00 WIB

Tempat : di Halaman Gedung

Rektorat Baru

Peserta : Pegawai dan Dosen di

lingkungan ISI Yogyakarta serta

sponsor

27

29

30

31

MEI 2016JUMAT

MEI 2016MINGGU

Kenduri, Tirakatan, Macapatan

Pukul : 16.00 – 21.00 WIB

Tempat : di Loby Gedung Rektorat

Baru

Undangan : Masyarakat di sekitar

Kampus ISI Yogyakarta dan

Pimpinan beserta panitia Dies

Natalis XXXII ISI Yogyakarta

MEI 2016SENIN

Pertunjukan Kesenian Rakyat

Sanggar Saujana Krogowanan

Magelang

Pukul : 11.00 WIB

Tempat : di Halaman Rektorat

Lama

Pameran dan Penayangan Seni

Media Rekam

Pukul : 19.00 WIB

Tempat : di Galery Fakultas Seni

Media Rekam

Pameran Seni Rupa

Pukul : 13.30 WIB

Tempat : di Galeri R.J. Katamsi ISI

Yogyakarta

MEI 2016SELASA

Seminar Nasional “Seni sebagai

Gerakan Sosial Budaya”

Pukul : 08.00 – 14.30 WIB

Tempat : di GKU FSP ISI

Yogyakarta

Pembicara :1. Hilmar Farid, Ph.D2. Prof. Heru Nugroho

3. Garin Nugroho

Undangan : 250 Peserta

Pergelaran Seni Pertunjukan

Pukul : 19.00 WIB

Tempat : di Concert Hall ISI

Yogyakarta

RANGKAIAN KEGIATANDIES NATALIS XXXII

Page 20: Kontemporer #10

2 0 B U L E T I N K O N T E M P O R E R KOMIK

Ilus

tras

i : B

io A

nd

aru

/ Pat

ung

201

2