konstipasi diare revisi

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tua atau lansia merupakan proses yang harus dijalani setiap orang, dan proses ini merupakan proses yang alamiah. Hal ini berarti, setiap orang sudah melewati 3 tahapan kehidupan, yakni tahap anak, dewasa dan tua. Seseorang yang sudah memasuki usia tua, akan mengalami penurunan fisik, seperti kulit mengendur, gigi mulai ompong, rambut memutih, penglihatan semakin menurun, kurang jelasnya pendengaran, gerakan yang mulai melambat, dan postur tubuh tidak proposional. WHO dan Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab I pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur- angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian. Diare merupakan peningkatan frekuensi defekasi dan sulit untuk dikendalikan, dan bentuknya lebih cair dari biasanya. Diare tingkat berat diderita

Upload: syifaun-q-adhim

Post on 05-Dec-2014

172 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tua atau lansia merupakan proses yang harus dijalani setiap orang, dan proses ini merupakan proses yang alamiah. Hal ini berarti, setiap orang sudah melewati 3 tahapan kehidupan, yakni tahap anak, dewasa dan tua. Seseorang yang sudah memasuki usia tua, akan mengalami penurunan fisik, seperti kulit mengendur, gigi mulai ompong, rambut memutih, penglihatan semakin menurun, kurang jelasnya pendengaran, gerakan yang mulai melambat, dan postur tubuh tidak proposional. WHO dan Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab I pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian. Diare merupakan peningkatan frekuensi defekasi dan sulit untuk dikendalikan, dan bentuknya lebih cair dari biasanya. Diare tingkat berat diderita oleh 42,8 % lansia laki-laki dan 57,2 % lansia perempuan (Kistyoko, 2001). Selain diare, konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi (Holson, 2002). Pada pertumbuhan atau pertambahan usia pada

lansia, nilai ambang terhadap aroma, rasa pahit, manis dan asin mulai nyata penurunannya pada usia 70 tahun. Pengaruh obat tertentu secara tidak langsung dapat mempercepat penurunan fungsi indra-indra. Pada lansia, motilitas lambung menurun hingga pengosongan lambung menjadi lebih

lambat. Selain itu terjadi atropic gastriris yang menimpa satu dari empat lansia pada usia sekitar 60 tahun-an dan 40% pada usia 80 tahun-an. Kehilangan atau berkurangnya epitel lambung akan menyebabkan peningkatan pH lambung, dan penurunan sekresi faktor intrinsik. Penurunan pH akan menurunkan kemampuan absorpsi besi, kalsium, vitamin B6, B12 dan folat serta dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri pada usus halus.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 Apa yang dimaksud dengan Diare dan Konstipasi ? Apa faktor-faktor yang menyebabkan Diare dan Konstipasi ? Bagaimana tanda dan gejala Diare dan Konstipasi ? Bagaimana Asuhan Keperawatan dari Diare dan Konstipasi ?

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui gangguan system pencernaan: diare dan konstipasi 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui definisi dari Diare dan Konstipasi 2. Mengetahui faktor predisposisi dari Diare dan Konstipasi 3. Mengetahui faktor presipitasi dari Diare dan Konstipasi 4. Mengetahui tanda dan gejala dari Diare dan Konstipasi 5. Mengetahui proses terjadinya masalah dari Diare dan Konstipasi 6. Mengetahui tindakan keperawatan dari Diare dan Konstipasi

1.4 Manfaat 1.Mendapatkan pengetahuan tentang Diare dan Konstipasi. 2.Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan dengan Diare dan Konstipasi. 3. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan Diare dan Konstipasi. terhadap klien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori penuaan berkaitan dengan nutrisi dan cairan 2.1.1 Faktor Metabolisme Menurut Mc.Cay (1935), Weindruch dan Walford, 1998, menjelaskan bahwa proses menua secara biologic dapat dihambat asalkan gizi seimbang dan menganjurkan agar manusia mulai membatasi jumlah makannya, terutama asupan karbohidrat, asalkan jumlah zat gizi seimbang mulai usia 20 tahun agar proses menua dan penyakit degeneratif dapat dihambat. 2.1.2 Aspek Gizi Dua ribu lima ratus tahun lalu, Hippocrates mengatakan, "biarkan makananmu itu menjadi obatmu dan obatmu menjadi makananmu" dan beliau menyarankan untuk melakukan terapi gizi. Kemudian terapi gizi ini didukung pula oleh seorang tokoh besar abad ke 20, tahun 1968 yaitu Linus Pauling, beliau dua kali memenangkan hadiah nobel dan mengeluarkan istilah "ortho molecular medicine". Pauling menyarankan bahwa dengan memberi tubuh molekul yang tepat atau nutrisi optimum, kebanyakan penyakit dapat dibasmi. Pernyataan Pauling

ini terkenal dengan "nutrisi optimum adalah obat di masa mendatang".Nutrisi optimum itu mencakup mikro-nutrien seperti vitamin, mineral, selenium, zinc, asam amino, enzim, hormon dan lain-Iainnya yang ke semuanya ini banyak terdapat pada sayur-sayuran dan buah-buahan yang ada di sekitar kita. 2.2 Proses penuaan terkait dengan nutrisi dan cairan Perubahan normal terkait usia Rongga mulut a. Hilangnya tulang periosteum dan peridontal b. Retraksi dari struktur gusi c. Hilangnya kuncup rasa Esophagus, lambung, usus a. Dilatasi esophagus b. Kehilangn tonus sfingter jantung c. Penurunan reflex muntah d. Atrofi mukosa lambung e. Penurunan motilitas lambung Saluran empedu, hati, kandung empedu, pancreas a. Ukuran hati dan pankreas mengecil b. Terjadi penurunan kapasitas menyimpan dan kemampuan mensitesis protein dan enzim-enzim penurunan 2.3 Kebutuhan nutrisi dan cairan pada lansia Kebutuhan nutrisi dan cairan yang disarankan pada lansia usia 65-75 tahun menurut RDA (Recommended Daily Allowance) adalah 2300 kkal. Kebutuhan nutrisi dan cairan pada lansia usia 75 tahun diturunkan menjadi 2050 kkal, yang meliputi 55-65% karbohidrat kompleks, lemak kurang dari 30% dan Implikasi klinis a. Tanggalnya gigi b. Kesulitan dalam mempertahankan pelekatan gigi palsu yang pas c. Perubahan sensasi rasa Peningkatan penggunaan garam a. Peningkatan resiko aspirasi b. Perlambatan mencerna makanan c. Penurunan absorbs obat-obatan, zat besi, kalsium, vitamin B12 Konstipasi serig terjadi.

sisanya adalah protein. Kalsium yang dibutuhkan untuk lansia wanita sekitar 600mg per hari. Panduan diit terbaru menyarankan sedikitnya 1000mg per hari untuk seluruh lansia dan 1500 mg per hari untuk wanita lansia yang tidak menggunakan estrogen. 2.4 Diare 2.4.1 Definisi diare Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100 - 200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat), dapat pula disertai frekuensi defekasi yang meningkat (Mansjoer, Arif., et all. 1999). Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari ( WHO, 1980). Diare merupakan defekasi encer lebih dari 3 kali sehari, dengan/tanpa darah dan lendir dalam tinja. Diare dikatakan sebagai keluarnya tinja berbentuk cair sebanyak tiga kali atau lebih dalam dua puluh jam pertama, dengan temperatur rectal di atas 38C, kolik, dan muntah-muntah. Adapun tanda lainnya adalah seperti: kehilangan cairan dan elektrolit, mata cekung, haus, mulut kering, demam, letargis, dan kadang-kadang disertai muntah. Beberapa pengertian lain diare menurut beberapa ahli adalah keluarnya tinja air dan elektrolit yang hebat. Sedangkan ahli lain memberi batasan kasar diare sebagai produksi tinja harian melebihi 250 gram, mengandung 70%-90% air, yang menyebabkan bertambahnya volume tinja dan frekuensi buang air besar. (Robbins, 1999). 2.4.2 Etiologi diare Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor : 1) Infeksi a. Infeksi enteral Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab diare pada anak meliputi infeksi interal sebagai berikut :

- Infeksi bakteri vibrio, E. coli, Salmonella, Sigela, Campylobakteri, Yersenia, Aerromonas dan sebagainya. - Infeksi virus Entro virus, adenovirus, Rotavirus, Astovirus dll. - Infeksi parasit Cacing protozoa dan jamur. b. Infeksi parenteral Infeksi diluar alat pencernaan makan seperti otitis media akut (OMA) tonsillitis/ Tonsiloparingitis, bronkhopnemonia, encepalitis dsb. (Behrman, 2009). 2) Faktor malabsorbsi a. Malabsorbsi Karbohidrat b. Malabsorbsi protein c. Malabsorbsi lemak 3) Faktor makanan Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. 4) Faktor psikologis Rasa takut, cemas dan gelisah 2.4.3 Patofisiologi Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah: a) Gangguan osmotic Akibat terdapat makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkanya sehingga timbul diare. (Poorwo, 2003) b) Gangguan sekresi

Akibat rangsang tertentu, misalnya toksin pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus. c) Gangguan motalitas usus Hiperpristaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus menyerap makan seingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan selanjutnya timbul diare pula. (Poorwo, 2003). 2.4.4 Manifestasi klinik diare Pada Diare cair akut dapat ditemukan gejala dan tanda-tanda sebagai berikut : a. Gelisah b. Suhu tubuh meningkat c. Nafsu makan berkurang d. Tinja mungkin disertai lender dan atau darah. e. Daerah anus dan sekitarnya timbul luka lecet karena sering defekasi f. Gejala muntah dapat timbul sebelum atau selama diare dan dapat disebabkan karena lambung turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit g. Bila kehilangan cairan terus berlangsung tanpa penggantian yang memadai h. Gejala dehidrasi: berat badan menurun, turgor kulit berkurang, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit kering i. Bila dehidrasi terus berlanjut dapat terjadi renjatan hipovolemik dengan gejala denyut jantung menjadi cepat, denyut nadi cepat dan lemah bahkan tidak teraba, tekanan darah menurun, klien tampak lemah dengan kesadaran menurun j. Karena kekurangan cairan, diuresis berkurang (oliguria sampai anuria) k. Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat, pernapasan cepat dan dalam (pernapasan Kussmaul). 2. 4. 5 Klasifikasi diare

1. Diare berdasarkan patogenesisnya a. Diare osmotic Terjadi ketika terdapat zat terlarut berlebih yang tertahan pada lumen intestinal. Kondisi ini menyebabkan air tidak dapat diabsorpsi dan terjadi diare. Penyebabnya: -. Malabsorpsi, contohnya lactose intolerance akibat defisiensi lactase pada brush border, sehingga lactose tidak dapat digidrolisis menjadi galaktosa dan glukosa untuk diabsorpsi. Laktosa yang tertahan ini menahan air tetap di dalam lumen usus. Ditambah lagi, laktosa di dalam colon difermentasi oleh normal flora, sehingga menyebaban produksi gas. -. Mengonsumsi substrat yang sulit diabsorpsi, biasanya karbohidrat atau ion divalen misal MgSO4, MgOH2. b. Diare sekretorik Terjadi ketika sekresi air ke dalam lumen intestine melebihi absorpsinya, disebabkan oleh toksin (vibrio cholera, E. coli) yang mengaktivasi adenyl cyclase sehingga terjadi peningkatan berkepanjangan konsentrasi cAMP pada intraseluler di crypta enterosit. Perubahan ini menyebabkan pembukaan kanal klorida yang lebih lama sehingga terjadi sekresi yang tidak terkontrol. Penyebab lain yang dapat menyebabkan diare sekretori dengan cara mengaktifkan mekanisme sekretori, yaitu pencahar, hormon yang diekskresikan pada jenis tumor tertentu (vasoactive intestinal peptide), obat-obatan (asma, antidepresan, obat jantung), logam, toksin organik, dan produk tanaman (arsen, insektisida, toksin jamur, caffeine). c. Diare yang berhubungan dengan kerusakan motilitas Adanya kelainan dalam motilitas yang mempercepat waktu transit dapat menurunkan absorpsi sehingga menghasilkan diare. Bahkan,proses absorpsi akan terjadi lebih awal. Perubahan dalam

motilitas intestinal (biasanya peningkatan propulsi) diamati pada beberapa tipe diare. d. Diare infeksi dan inflamasi Adanya kerusakan epitel intestin karena patogen atau infeksi virus merupakan penyebab paling umum dari diare. Destruksi dari epitel tidak hanya menghasilkan eksudasi seum dan darah ke dalam lumen,tetatapi sering juga dihubungkan dengan perluasan destruksi dari epitel absorpsi. 2. Diare berdasarkan klinis a. Acute watery diarrhea Yang terjadi beberapa jam hingga hari. Bahaya utama adalah dehidrasi, hilangnya berat badan, dapat terjadi jika tidak disertai dengan asupan makanan yang adekuat. b. Acute bloody diarrhea Komplikasi utama adalah kerusakan intestine, sepsis, dan malnutrisi. Dehidrasi bisa terjadi. c. Persistent diarrhea Jika terjadi lebih dari 14 hari maka akan terjadi komplikasi diantaranya, malnutrisi, infeksi intestinal yang serius. d. Diare dengan malnutrisi yang berat Komplikasi utama yaitu, infeksi sistemik, dehidrasi, gagal jantung, defisiensi vitamin dan mineral. e. Diare kronik Diare yang intermitten (hilang timbul), yang berlangsung lama dengan penyebab non infeksi. Misalnya hipersensitivitas gluten, gangguan metabolism yang menurun. 2.4.6 Komplikasi diare a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis). Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler. b. Renjatan hipovolemik. c. Hipokalemia (dengan gejala hipotoni otot, lemah, bradikardi, perubahan pada elektro kardiogram). d. Hipoglikemia e. Hipoglikemia terjadi pada penderita diare. Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan/ penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa.. f. Gangguan sirkulasi Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal. g. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan. h. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik. 2.4.7 Penatalaksanaan diare

a. Pemberian cairan 1. Cairan per oral Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang, cairan diberikan peroral berupa cairan yang berisikan NaCl dan Na, HCO, K dan Glukosa, untuk Diare akut diatas umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan, atau sedang kadar natrium 50-60 Meq/l dapat dibuat sendiri (mengandung larutan garam dan gula ) atau air tajin yang diberi gula dengan garam. Hal tersebut diatas adalah untuk pengobatan dirumah sebelum dibawa ke rumah sakit untuk mencegah dehidrasi lebih lanjut. 2. Cairan parenteral Mengenai seberapa banyak cairan yang harus diberikan tergantung dari berat badan atau ringannya dehidrasi, yang diperhitungkan kehilangan cairan sesuai dengan umur dan berat badannya. b. Diatetik Pemberian makanan dan minuman khusus pada klien dengan tujuan penyembuhan dan menjaga kesehatan adapun hal yang perlu diperhatikan : Memberikan bahan makanan yang mengandung kalori, protein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih. c. Obat-obatan a. Obat anti sekresi b. Obat anti spasmolitik c. Obat antibiotik. 2.4.8 Pemeriksaan diagnostic diare Pemeriksaan diagnostik diare meliputi : a. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah. b. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.

c. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan fosfat. 2.4.9 Web of caution (WOC) 2.5 Konstipasi 2.5.1 Definisi konstipasi Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000). Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau keduanya yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999). Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi (cheskin dkk, 1990). 2.5.2 Etiologi konstipasi Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi merupakan

masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot. Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut: a. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik, golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi, antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar. b. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati diabetic. c. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme. d. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB, mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner. e. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon. f. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat,

imobilitas/kurang olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah parut 2.5.3 Patofisiologi konstipasi Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang diikuti relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk

BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para simpatis terlibat dalam proses ini. Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan perjalanan saluran cerna. Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma beta- endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan lebih lanjut. 2.5.4 Manifestasi klinik Konstipasi Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS, 2002) 1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB 2. Mengejan keras saat BAB 3. Massa feses yang keras dan sulit keluar

4. Perasaan tidak tuntas saat BAB 5. Sakit pada daerah rectum saat BAB 6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB 2.5.5 Klasifikasi konstipasi Menurut Hadi (1995) konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: a. Konstipasi simpel (konstipasi yang diakibatkan oleh gangguan fungsi): 1. Rektal stasis (dyschezia) 2. Kolon stasis b. Konstipasi simtomatik (konstipasi sebagai gejala suatu penyakit): 1. Konstipasi sebagai gejala penyakit akut: - dehidrasi - obstruksi intestinal - apendisitis akut - post hematamesis 2. Konstipasi sebagai gejala penyakit kronik: - kelainan pada traktus gastrointestinal - kelainan pada pelvis - penyakit umum di organ lain 2.5.6 Komplikasi konstipasi Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi hanya sekedar mengganggu, tetapi untuk untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di rektum (70%), sigmoid(20%), dan kolon bagian proksimal(10%). Impaksi feses penyebab penting dari morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan resiko perawatan di rumah sakit dan mempunyai potensi

terjadinya komplikasi yang fatal. penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesifik. kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,5 o, delirium perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta takipnia karena karena peregangan dari diafragma. pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. peristiwa ini dapat disebabkan ulserasi sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang. dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak. Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadangh-kadang gagal ginjal yang membaik setelah impaksi dihilangkan titik. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah kolorektal. Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum. 2.5.7 Penatalaksanaan konstipasi a. Tatalaksana non farmakologi 1) Cairan Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil. 2) Serat

Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit (transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat. 3) Bowel training Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam. 4) Latihan jasmani Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan

atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus. 5) Evaluasi penggunaan obat Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula menyebabkan konstipasi. b. Tatalaksana farmakologi a) Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative) Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.

b) Pelembut tinja Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus dicegah. c) Pencahar stimulan Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali seminggu. d) Pencahar hiperosmolar Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan

karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria. e) Enema Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon, hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran ( tap water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut. 2.5.8 Pemeriksaan diagnostik konstipasi a. Pemeriksaan laboratorium Perlu diperhatikan warna, bentuk, besarnya dan konsistensi dari masa fekal. Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai untuk menyingkirkan kelainan metabolik sebagai penyebab konstipasi, seperti : hipokalemia dan hiperkalsemia. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan adanya anemia akibat perdarahan per anum (gross atau

occult). Tes fungsi tiroid dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya hipotiroid. b. Pemeriksaan radiology Foto polos abdomen (berdiri dan berbaring) : dapat

menunjukkan jumlah tinja dalam kolon penderita. Dengan demikian diagnosis banding antara : fecal impaction, obstruksi usus, dan fecalith dapat dibuat. Diagnosis adanya fecalith penting untuk dipastikan karena kemungkinan terjadinya komplikasi stercoral ulcers, yang dapat menimbulkan perforasi kolon dapat terjadi setiap saat. Gastropati diabetik, seperti halnya fecal impaction, dapat timbul pada penderita neuropati diabetik. Sisa barium (sesudah pemeriksaan barium enemas) dapat juga tampak pada foto polos abdomen. Skleroderma dan penyakit jaringan ikat yang lain, dapat disertai gangguan motorik yang dapat menutupi gejala-gejala obstruksi kolon pada pemeriksaan foto polos abdomen Myxedema ileus dapat terjadi akibat hipotiroid. c. Rektosigmoidoskopi Perlu dikerjakan dan diperhatikan membran mukosa, untuk memperhatikan ada tidaknya tanda-tanda kataral proktosigmoiditis dan melanosis koli. Pada penderita yang biasa mempergunakan laksatif atau terlalu sering melakukan lavement, maka terlihat tanda-tanda inflamasi yang ringan yaitu mukosa membran terlihat kuning kecoklat-coklatan. Sering terlihat bahwa sigmoid mengalami dilatasi, sehingga instrument dapat dengan mudah masuk ke sigmoid. Pemeriksaan ekstensif yang lebih teliti pada penderita konstipasi dapat dilakukan secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan

bila keluhan berlangsung lebih dari 3 6 bulan, dan pengobatan medik tidak ada hasilnya. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melihat baik anatomi (barium enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) maupun fisiologi (colonic transit study, defecography, manometry, electromyography). Kolonoskopi atau sigmoidoskopi fleksibel dapat

memeperlihatkan melanosis koli sebagai bercak berwarna hitam coklat pada mukosa usus yang terjadi akibat penggunaan preparat laksatif antrakuinon secara kronik. Tidak adanya haustra pada endoskopi atau barium enema menunjukkan kolon katartik akibat penyalahgunaan preparat laksatif. Barium enema juga dapat memperlihatkan lesi obstruktif kolon, penyakit mega kolon atau mega rektum, dan pada penyakit hirschsprung akan menunjukkan segmen usus yang mengalami denervasi serta memperlihatkan gambaran yang khas dengan dilatasi segmen kolon yang proksimal. Pada kasus-kasus seperti ini, biopsi rektum dapat dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya neuron. d. Anoscopy/Proctoscopy Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara rutin pada setiap penderita konstipasi untuk melihat adanya : fisura ani, tukak, hemoroid, dan keganasan lokal anorektal. e. Digital disimpaction (disimpaksi dengan jari) Dengan menggunakan sarung tangan yang telah di lubrikasi, tinja yang telah menekan daerah anorektal bawah selama beberapa lama dapat dilepaskan.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Asuhan Keperawatan pada pasien diare 3.1.1 Contoh kasus

Seorang pasien Tuan Y berusia 80 tahun dengan BB 60 kg dan TB 160 cm MRS dengan diagnose diare kronis dehidrasi sedang, TD : 80/60 mmHg, Nadi : 60 x/menit, RR : 14 x/menit, suhu : 38 C, memliki riwayat gastritis 2 tahun yang lalu. Tinggal dengan anak ketiganya, menantu dan 3 orang cucu, keadaan fisik sudah mengalami ompong dan giginya tinggal 3 pada bagian depan dan 1 pada bagian belakang sehingga sulit untuk mengunyah makanan yang keras. Kebiasaan makan tidak teratur, saat ini Tuan Y sedang mengalami diare karena pola makannya yang suka mengkonsumsi makanan yang pedas dan asam. 3.1.2 Pengkajian a. Identitas pasien Nama Jenis kelamin Usia b. Keluhan utama c. Riwayat penyakit Dahulu Sekarang d. Riwayat Kesehatan keluarga e. Riwayat Psikososial Kebiasaan makan tidak teratur, suka mengkonsumsi makanan yang pedas dan asam 2. Pemeriksaan Fisik a. Status Kesehatan a. Keadaan umum b. Kesadaran : lemas : composmentis : Gastritis 2 tahun yang lalu : Diare : Tn Y : Laki-laki : 80 tahun : Diare 1. Anamnese

c. Vital sign d. BB/ TB b. Kepala dan leher

: TD : 80/60 mmHg, Nadi : 60 x/menit, : 60 kg/160 cm

RR : 14 x/menit, suhu: 38 c

Kepala : Conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-) Leher : Limfono di leher tidak teraba, pembesaran kelenjar tiroid (-) c. Sistem Intergumen Telapak tangan basah (-), berkeringat (-) d. Sistem pernafasan Vesikuler e. Sistem Kardiovaskuler f. Sistem gastrointestinal Penurunan berat badan, Hiperperistaltik, mukosa kering g. Sistem Urinary oliguri h. Sistem muskuloskeletal dan intergumen lemas, turgor kulit sedang i. Sistem neurologis j. Sistem Endokrin -

k. Pola eliminasi Lama diare Frekuensi BAB perhari Bentuk feses : 4 minggu : >5 kali per hari : encer

3. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah : a. Pemeriksaan elektrolit Pemeriksaan elektrolit meliputi : Natrium : , kalium :

No. 1

Data DS : Pasien mengatakan bahwa ia suka makan pedas dan asam, makan tidak teratur, mempunyai riwayat gastritis 2 tahun yang lalu. DO: Diare selama 4 minggu. Frekuensi diare 5 kali per hari. Bentuk feses encer. DS: Pasien mengatakan bahwa ia malas makan, mempunyai riwayat gastritis 2 tahun yang lalu, merasa haus. DO: Diare selama 12 hari, anemis, lemas. DS: Pasien mengatakan ia mengalami kesulitn dalam mengunyah makanan keras, makan tidak teratur. DO: Jumlah gigi 3 di bagian depan, lemas, anemis

Etiologi Makanan yang pedas dan asam Iritasi saluran pencernaan Diare

Masalah Keperawatan Diare

2

Malas makan, selalu haus Lemas Kehilangan cairan Kekurangan volume cairan Gigi ompong Rasa tidak nyaman untuk makan Malaise Intake nutrisi kurang Perubahan nutrisi kurang dari

Kekurangan volume cairan

3

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

4

DS: klien mengeluh daerah perianal terasa nyeri DO: kulit perianal klien teerlihat kemerah merahan

kebutuhan tubuh Defekasi berulang

Resiko kerusakan integritas kulit

Iritasi kulit Resiko kerusakan integritas kulit